004. Surat An-Nisa Ayat 026 - 052 - Tafsir Ibnu Katsir - Muslim Notebook
An-Nisa, ayat 26-28
يُرِيدُ
اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (26) وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ
يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَواتِ أَنْ تَمِيلُوا
مَيْلاً عَظِيماً (27) يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ
الْإِنْسانُ ضَعِيفاً (28)
Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepada kalian, dan menunjuki kalian kepada jalan-jalan orang yang sebelum kalian (para nabi dan salihin) dan (hendak) menerima tobat kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan Allah hendak menerima tobat kalian, sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia akan menjelaskan kepada kalian, hai orang-orang mukmin, hal-hal yang dihalalkan bagi kalian dan hal-hal yang diharamkan bagi kalian melalui hal-hal yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya dan yang lainnya.
وَيَهْدِيَكُمْ
سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
dan memberi kalian petunjuk kepada jalan-jalan orang yang sebelum kalian. (An-Nisa: 26)
Yaitu jalan-jalan mereka yang terpuji agar kalian mengikuti syariat-syariat-Nya yang disukai dan diridai-Nya.
وَيَتُوبَ
عَلَيْكُمْ
Dan Allah hendak menerima tobat kalian. (An-Nisa: 26)
dari semua dosa dan semua perbuatan haram.
وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 26)
Yakni dalam syariat-Nya, dalam takdir-Nya, dalam semua perbuatan dan ucapan-Nya.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَيُرِيدُ
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَواتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا
عَظِيماً
sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (An-Nisa: 27)
Para pengikut setan dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta para tuna susila bertujuan menyimpangkan kalian dari kebenaran menuju kepada kebatilan dengan penyimpangan yang sejauh-jauhnya.
يُرِيدُ
اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ
Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian. (An-Nisa: 28)
Yaitu dalam syariat-syariat-Nya, perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, serta semua yang ditakdirkan-Nya bagi kalian. Karena itu, Dia memperbolehkan kalian mengawini budak-budak perempuan dengan syarat-syarat tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya sehubungan dengan firman-Nya: dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa: 28)
Maka adanya keringanan ini sangatlah sesuai, mengingat kondisi manusia itu lemah, begitu pula tekad dan kemauannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa: 28) Yakni terhadap perkara wanita. Menurut Waki', akal lelaki lemah bila menghadapi wanita.
Musa a.s. kalimullah a.s. berkata kepada Nabi kita Muhammad Saw. ketika beliau menjalani isra dan bersua dengannya di saat baru kembali dari Sidratul Muntaha, "Apakah yang telah difardukan atas kalian?" Nabi Saw. menjawab, "Allah memerintahkan kepadaku mengerjakan salat lima puluh kali setiap sehari semalam." Nabi Musa a.s. berkata, "Kembalilah kepada Tuhanmu, dan mintalah keringanan kepada-Nya, karena sesungguhnya umatmu pasti tidak akan mampu melakukan hal tersebut. Sesungguhnya aku telah menguji manusia dengan tugas yang lebih ringan dari itu, tetapi ternyata mereka tidak mampu; dan sesungguhnya umatmu memiliki pendengaran, penglihatan, dan kalbu yang lebih lemah (daripada umatku)."
Maka Nabi Saw. kembali, dan diringankan sebanyak sepuluh kali, lalu Nabi Saw. kembali lagi kepada Musa. Hal tersebut terus-menerus terjadi hingga pada akhirnya tinggal salat lima waktu.
An-Nisa, ayat 29-31
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ
يَسِيرًا (30) إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ
عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا (31)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. Dan janganlah
kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada
kalian. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka
Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah. Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang
dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian
(dosa-dosa kalian yang kecil) dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia
(surga).Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang batil, yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat, seperti dengan cara riba dan judi serta cara-cara lainnya yang termasuk ke dalam kategori tersebut dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan. Sekalipun pada lahiriahnya cara-cara tersebut memakai cara yang diakui oleh hukum syara', tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba, tetapi dengan cara hailah (tipu muslihat). Demikianlah yang terjadi pada kebanyakannya.
Hingga Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul MuSanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang membeli dari lelaki lain sebuah pakaian. Lalu lelaki pertama mengatakan, "Jika aku suka, maka aku akan mengambilnya, dan jika aku tidak suka, maka akan ku kembalikan berikut dengan satu dirham." Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal inilah yang disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29)
Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Musalli, telah menceritakan kepada kami lbnul Futlail, dari Daud Al-Aidi, dari Amir, dari Alqamah, dari Abdullah sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini muhkamah, tidak dimansukh dan tidak akan dimansukh sampai hari kiamat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29) Maka kaum muslim berkata, "Sesungguhnya Allah telah melarang kita memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta kita yang paling utama. Maka tidak halal bagi seorang pun di antara kita makan pada orang lain, bagaimanakah nasib orang lain (yang tidak mampu)?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tiada dosa atas orang-orang tuna netra. (Al-Fath: 17), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Qatadah.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجارَةً عَنْ تَراضٍ مِنْكُمْ
terkecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. (An-Nisa: 29)
Lafaz tijaratan dapat pula dibaca tijaratun. ungkapan ini merupakan bentuk istisna munqati'. Seakan-akan dikatakan, "Janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan, tetapi berniagalah menurut peraturan yang diakui oleh syariat, yaitu perniagaan yang dilakukan suka sama suka di antara pihak pembeli dan pihak penjual; dan carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat." Perihalnya sama dengan istisna yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَلا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar. (Al-An'am: 151)
Juga seperti yang ada di dalam firman-Nya:
لَا
يَذُوقُونَ فِيهَا الْمَوْتَ إِلَّا الْمَوْتَةَ الْأُولى
mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. (Ad-Dukhan: 56)
Berangkat dari pengertian ayat ini, Imam Syafii menyimpulkan dalil yang mengatakan tidak sah jual beli itu kecuali dengan serah terima secara lafzi (qabul), karena hal ini merupakan bukti yang menunjukkan adanya suka sama suka sesuai dengan makna nas ayat. Lain halnya dengan jual beli secara mu'atah, hal ini tidak menunjukkan adanya saling suka sama suka, adanya sigat ijab qabul itu merupakan suatu keharusan dalam jual beli.
Tetapi jumhur ulama. Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad berpendapat berbeda. Mereka mengatakan, sebagaimana ucapan itu menunjukkan adanya suka sama suka. begitu pula perbuatan, ia dapat menunjukkan kepastian adanya suka sama suka dalam kondisi tertentu. Karena itu, mereka membenarkan keabsahan jual beli secara mu'atah (secara mutlak).
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa jual beli mu'atah hanya sah dilakukan terhadap hal-hal yang kecil dan terhadap hal-hal yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai jual beli. Tetapi pendapat ini adalah pandangan hati-hati dari sebagian ulama ahli tahqiq dari kalangan mazhab Syafii.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. (An-Nisa: 29) Baik berupa jual beli atau ata yang diberikan dari seseorang kepada orang lain. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Al-Qasim, dari Sulaiman Al-Ju'fi, dari ayahnya, dari Maimun ibnu Mihran yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الْبَيْعُ
عَنْ تَرَاضٍ وَالْخِيَارُ بَعْدَ الصَّفْقَةِ، وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ
يَغُشَّ مُسْلِمًا»
Jual beli harus dengan suka sama suka, dan khiyar adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya.
Hadis ini berpredikat mursal.
Faktor yang menunjukkan adanya suka sama suka secara sempurna terbukti melalui adanya khiyar majelis. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا»
Penjual dan pembeli masih dalam keadaan khiyar selagi keduanya belum berpisah.
Menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari disebutkan seperti berikut:
«إِذَا
تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا»
Apabila dua orang lelaki melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar selagi keduanya belum berpisah.
Orang yang berpendapat sesuai dengan makna hadis ini ialah Imam Ahmad dan Imam Syafii serta murid-murid keduanya, juga kebanyakan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Termasuk ke dalam pengertian hadis ini adanya khiyar syarat sesudah transaksi sampai tiga hari berikutnya disesuaikan menurut apa yang dijelaskan di dalam transaksi mengenai subyek barangnya, sekalipun sampai satu tahun, selagi masih dalam satu kampung dan tempat lainnya yang semisal. Demikianlah menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik.
Mereka menilai sah jual beli mu'atah secara mutlak. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Syafii. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa jual beli secara mu'atah itu sah hanya pada barang-barang yang kecil yang menurut tradisi orang-orang dinilai sebagai jual beli. Pendapat ini merupakan hasil penyaringan yang dilakukan oleh segolongan ulama dari kalangan murid-murid Imam Syafii dan telah disepakati di kalangan mereka.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
Dan janganlah kalian membunuh diri kalian. (An-Nisa: 29)
Yakni dengan mengerjakan hal-hal yang diharamkan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat terhadap-Nya serta memakan harta orang lain secara batil.
إِنَّ
اللَّهَ كانَ بِكُمْ رَحِيماً
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. (An-Nisa: 29)
Yaitu dalam semua perintah-Nya kepada kalian dan dalam semua larangannya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة،
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عمْران بْنِ أَبِي أَنَسٍ، عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَير، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ لَمَّا بَعَثَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَامَ ذَاتِ السَّلَاسِلِ قَالَ: احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ
شَدِيدَةِ الْبَرْدِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ، فَتَيَمَّمْتُ
ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي صَلَاةَ الصُّبْحِ، قَالَ: فَلَمَّا قدمتُ عَلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: "يَا
عَمْرُو صَلَّيت بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ! " قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنِّي احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ الْبَرْدِ،
فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أهلكَ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ اللَّهِ
[عز وَجَلَّ]
{وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا} فَتَيَمَّمْتُ
ثُمَّ صَلَّيْتُ. فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Abdur Rahman ibnu Jubair, dari Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa ketika Nabi Saw. mengutusnya dalam Perang Zatus Salasil, di suatu malam yang sangat dingin ia bermimpi mengeluarkan air mani. Ia merasa khawatir bila mandi jinabah, nanti akan binasa. Akhirnya ia terpaksa bertayamum, lalu salat Subuh bersama teman-temannya. Amr ibnul As melanjutkan kisahnya, "Ketika kami kembali kepada Rasulullah Saw., maka aku ceritakan hal tersebut kepadanya. Beliau bersabda, 'Hai Amr, apakah kamu salat dengan teman-temanmu, sedangkan kamu mempunyai jinabah?'. Aku (Amr) menjawab, 'Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya aku bermimpi mengeluarkan air mani di suatu malam yang sangat dingin, hingga aku merasa khawatir bila mandi akan binasa, kemudian aku teringat kepada firman Allah Swt. yang mengatakan: Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. (An-Nisa: 29) Karena itu, lalu aku bertayamum dan salat.' Maka Rasulullah Saw tertawa dan tidak mengatakan sepatah kata pun."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud melalui hadis Yahya ibnu Ayyub, dari Yazid ibnu Abu Habib.
Ia meriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Abu Salamah, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Luhai'ah, dan Umar ibnul Haris; keduanya dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Abdur Rahman ibnu Jubair Al-Masri, dari Abu Qais maula Amr ibnul As, dari Amr ibnul As. Lalu ia menuturkan hadis yang semisal. Pendapat ini —Allah lebih mengetahui— lebih dekat kepada kebenaran.
قَالَ
أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُوَيه: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
حَامِدٍ البَلْخِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ صَالِحِ بْنِ سَهْلٍ الْبَلْخِيُّ،
حدثنا عُبَيد عبد اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ، حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ
خَالِدٍ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ:
أَنَّ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ صَلَّى بِالنَّاسِ وَهُوَ جُنُب، فَلَمَّا قَدِمُوا
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ،
فَدَعَاهُ فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، خفْتُ أَنْ
يَقْتُلَنِي الْبَرْدُ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ [إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا] } قَالَ: فَسَكَتَ عَنْهُ
رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Hamid Al-Balkhi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saleh ibnu Sahl Al-Balkhi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Sa'd, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Amr ibnul As pernah salat menjadi imam orang-orang banyak dalam keadaan mempunyai jinabah. Ketika mereka datang kepada Rasulullah Saw., lalu mereka menceritakan kepadanya hal tersebut. Rasulullah Saw. memanggil Amr dan menanyakan hal itu kepadanya. Maka Amr ibnul As menjawab, "Wahai Rasulullah, aku merasa khawatir cuaca yang sangat dingin akan membunuhku (bila aku mandi jinabah), sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 'Dan janganlah kalian membunuh diri kalian' (An-Nisa: 29), hingga akhir ayat." Maka Rasulullah Saw. diam, membiarkan Amr ibnul As.
Kemudian sehubungan dengan ayat ini Ibnu Murdawaih mengetengahkan sebuah hadis melalui Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«من
قتل نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ، فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ، يَجَأُ بِهَا بَطْنَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ
قَتَلَ نَفْسَهُ بِسُمٍّ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ، يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ
نَفْسَهُ، فَهُوَ مُتَرَدٍّ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا
أَبَدًا»
Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah besi, maka besi itu akan berada di tangannya yang dipakainya untuk menusuki perutnya kelak di hari kiamat di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan racun, maka racun itu berada di tangannya untuk ia teguki di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.
Hadis ini ditetapkan di dalam kitab Sahihain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abuz Zanad dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Dari Abu Qilabah, dari Sabit ibnu Dahhak r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«مَنْ
قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka kelak pada hari kiamat dia akan diazab dengan sesuatu itu.
Al- Jama'ah telah mengetengahkan hadis tersebut dalam kitabnya dari jalur Abu Qilabah.
Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Hasan dari Jundub ibnu Abdullah Al-Bajli dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«كَانَ
رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ بِهِ جُرْحٌ فَأَخَذَ سِكِّينًا نَحَرَ
بها يده، فما رقأ الدَّمُ
حَتَّى مَاتَ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ «عَبْدِي بَادَرَنِي بِنَفْسِهِ،
حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Dahulu ada seorang lelaki dari kalangan umat sebelum kalian yang terluka, lalu ia mengambil sebuah pisau dan memotong urat nadi tangannya, lalu darah terus mengalir hingga ia mati. Allah Swt. berfirman, "Hamba-Ku mendahului {Izin)-Ku terhadap dirinya, Aku haramkan surga atas dirinya."
*******************
Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
وَمَنْ
يَفْعَلْ ذلِكَ عُدْواناً وَظُلْماً
Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya. (An-Nisa: 30)
Maksudnya, barang siapa yang melakukan hal-hal yang diharamkan Allah terhadap dirinya dengan melanggar kebenaran dan aniaya dalam melakukannya. Yakni dia mengetahui keharaman perbuatannya dan berani melanggarnya:
فَسَوْفَ
نُصْلِيهِ ناراً
maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. (An-Nisa: 30)
Ayat ini mengandung ancaman keras dan peringatan yang dikukuhkan. Karena itu, semua orang yang berakal dari kalangan orang-orang yang mempunyai pendengaran dan menyaksikan hendaklah bersikap hati-hati dan waspada.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنْ
تَجْتَنِبُوا كَبائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ
سَيِّئاتِكُمْ
Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31)
Apabila kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kalian mengerjakannya. maka Kami akan menghapus dosa-dosa kecil kalian, dan Kami masukkan kalian ke dalam surga. Oleh karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
وَنُدْخِلْكُمْ
مُدْخَلًا كَرِيماً
dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga). (An-Nisa: 31)
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muammal ibnul Hisyam, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Ayyub, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah. dari Anas yang mengatakan, "Kami belum pernah melihat hal yang semisal dengan apa yang disampaikan kepada kami dari Tuhan kami, kemudian kami rela keluar meninggalkan semua keluarga dan harta benda, yaitu diberikan pengampunan bagi kami atas semua dosa selain dosa-dosa besar." Allah Swt. telah berfirman: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapuskan kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat.
Banyak hadis yang berkaitan dengan makna ayat ini. Berikut ini akan kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم عَنْ مُغِيرة، عَنْ أَبِي مَعْشَر، عَنْ
إِبْرَاهِيمَ، عَنْ قَرْثَع الضَّبِّي، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ: قَالَ
لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَدْرِي مَا يَوْمُ
الْجُمُعَةِ؟ " قُلْتُ: هُوَ الْيَوْمَ الَّذِي جَمَعَ اللَّهُ فِيهِ أَبَاكُمْ.
قَالَ: "لَكِنْ أدْرِي مَا يَوْمُ الجُمُعَةِ، لَا يَتَطَهَّرُ الرَّجُلُ فيُحسِنُ
طُهُوره، ثُمَّ يَأْتِي الجُمُعة فيُنصِت حَتَّى يَقْضِيَ الْإِمَامُ صَلَاتَهُ،
إِلَّا كَانَ كَفَّارَةً لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ،
مَا اجْتُنبت الْمَقْتَلَةُ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hassyim, dari Mugirah, dari Abu Ma'syar, dari Ibrahim, dari Marba' Ad-Dabbi, dari Salman Al-Farisi yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda kepadanya, "Tahukah kamu, apakah hari Jumat itu?" Salman Al-Farisi menjawab, "Hari Jumat adalah hari Allah menghimpun kakek moyangmu (yakni hari kiamat terjadi pada hari Jumat)." Nabi Saw. bersabda: Tetapi aku mengetahui apakah hari Jumat itu. Tidak sekali-kali seorang lelaki bersuci dan ia melakukannya dengan baik, lalu ia mendatangi salat Jumat dan diam mendengarkan khotbah hingga imam menyelesaikan salatnya, melainkan hari Jumat itu merupakan penghapus bagi dosa-dosa (kecil)nya antara Jumat itu sampai Jumat berikutnya selagi dosa-dosa yang membinasakan (dosa besar) dijauhi (nya).
Imam Bukhari meriwayatkan hal yang semisal dari jalur yang lain, melalui Salman.
قَالَ
أَبُو جَعْفَرِ بْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى [بْنُ إِبْرَاهِيمَ]
حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، حَدَّثَنِي خَالِدٌ، عَنْ سَعِيدِ
بْنِ أَبِي هِلَالٍ، عَنْ نُعَيْمٍ المُجْمر، أَخْبَرَنِي صُهَيْبٌ مَوْلَى
العُتْوارِي، أَنَّهُ سَمِعَ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ يَقُولَانِ:
خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ:
"وَالَّذِي نَفْسي بِيَدِهِ" -ثَلَاثَ مَرَّاتٍ-ثُمَّ أكَبَّ، فَأَكَبَّ كُلُّ
رَجُلٍ مِنَّا يَبْكِي، لَا نَدْرِي عَلَى مَاذَا حَلَفَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَفَعَ
رَأْسَهُ وَفِي وَجْهِهِ الْبِشْرُ فَكَانَ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ حُمْر النَّعَم،
فَقَالَ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] مَا مِنْ عَبْدٍ يُصَلِّي الصَّلَواتِ
الخمسَ، ويَصُومُ رمضانَ، ويُخرِج الزَّكَاةَ، ويَجْتنبُ الْكَبَائِرَ السَّبعَ،
إِلَّا فُتِحتْ لَهُ أبوابُ الجَنَّةِ، ثُمَّ قِيلَ لَهُ: ادْخُل
بسَلامٍ".
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Khalid, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari Na'im Al-Mujammar, telah menceritakan kepadaku Suhaib maula As-sawari; ia pernah mendengar Abu Hurairah dan Abu Sa'id menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. di suatu hari berkhotbah kepada para sahabat. Beliau Saw. bersabda, "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya." Kalimat ini diucapkannya tiga kali, lalu beliau menundukkan kepalanya. Maka masing-masing dari kami menundukkan kepala pula seraya menangis; kami tidak mengetahui apa yang dialami oleh beliau. Setelah itu beliau mengangkat kepalanya, sedangkan pada roman wajahnya tampak tanda kegembiraan; maka hal tersebut lebih kami sukai ketimbang mendapatkan ternak unta yang unggul. Lalu Nabi Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang hamba salat lima waktu, puasa Ramadan, menunaikan zakat, dan menjauhi tujuh dosa besar, melainkan dibukakan baginya semua pintu surga, kemudian dikatakan kepadanya, "Masuklah dengan selamat."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Al-Lais ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkan pula —juga Ibnu Hibban— di dalam kitab sahihnya melalui hadis Abdullah ibnu Wahb, dari Amr ibnul Haris', dari Sa'id ibnu Abu Hilal dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Tujuh dosa besar
Disebut di dalam kitab Sahihain:
مِنْ
حَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْر بْنِ زَيْدٍ، عَنْ سَالِمٍ أَبِي
الْغَيْثِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "اجْتَنِبُوا السبعَ المُوبِقَاتِ" قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: "الشِّركُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ النَّفْس الَّتِي حَرَّمَ
اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، والسِّحرُ، وأكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ، والتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْف، وقَذْفُ المحصنَات الْمُؤْمِنَاتِ
الْغَافِلَاتِ"
melalui hadis Sulaiman ibnu Hilal, dari Saur ibnu Zaid, dari Salim Abul Gais,
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Jauhilah oleh
kalian tujuh dosa yang membinasakan." Dikatakan, "Wahai Rasulullah, apa
sajakah hal itu?" Nabi Saw. bersabda, "Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar. sihir,
memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang (sabilillah), dan
menuduh berzina wanita mukmin yang memelihara kehormatannya yang sedang
lalai."
Jalur lain dari Abu Hurairah diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Hatim.
حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا فَهْد بْنُ عَوْف، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانة، عَنْ عَمْرو بْنِ
أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قال: "الْكَبَائِرُ سَبْعٌ، أَوَّلُهَا الإشراكُ
بِاللَّهِ، ثُمَّ قَتْل النَّفْس بِغَيْرِ حَقِّهَا، وأكْلُ الرِّبَا، وأَكْلُ
مَالِ اليتيمِ إِلَى أَنْ يَكْبُرَ، والفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، ورَميُ
الْمُحْصَنَاتِ، وَالِانْقِلَابُ إِلَى الْأَعْرَابِ بَعْدَ
الهِجْرَةِ"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Fahd ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Amr
ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu', bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Dosa besar itu ada tujuh macam, yang
pertama ialah mempersekutukan Allah, kemudian membunuh jiwa tanpa alasan yang
hak, memakan riba, memakan harta anak yatim sampai ia dewasa, lari dari medan
perang, menuduh wanita yang terpelihara kehormatannya berbuat zina, dan kembali
ke perkampungan sesudah hijrah.”
Nas yang menyatakan bahwa dosa-dosa besar yang tujuh macam ini tidak berarti
meniadakan dosa-dosa besar selainnya, kecuali menurut pendapat orang yang
berpegang kepada pengertian kata kiasan. Tetapi pendapat ini lemah jika tidak
dibarengi dengan adanya qarinah, terlebih lagi bila adanya dalil yang
kuat bagi mantuq yang menunjukkan tidak ada penafsiran lain, seperti yang
akan kami ketengahkan dalam pembahasan berikut.
Di antara hadis-hadis yang mengandung penjelasan dosa-dosa besar selain
ketujuh macam dosa di atas ialah diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab
Mustadrak-nya.
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ كَامِلٍ الْقَاضِي، إِمْلَاءً حَدَّثَنَا أَبُو قِلَابَةَ عَبْدُ
الْمَلِكِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هَانِئٍ، حَدَّثَنَا حَرْب بْنُ
شَدَّاد، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ
سِنَان، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْر، عَنْ أَبِيهِ -يَعْنِي عُمَير بْنَ
قَتَادَةَ-رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ -وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ-أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ: "أَلَا إِنَّ
أَوْلِيَاءَ اللَّهِ المُصَلُّون مَنْ يُقِيم الصلواتِ الخمسَ الَّتِي كُتبت
عَلَيْهِ، ويَصومُ رَمَضَانَ ويَحتسبُ صومَهُ، يَرَى أَنَّهُ عَلَيْهِ حَقٌّ،
ويُعطي زكاةَ مَالِهِ يَحْتسِبها، وَيَجْتَنِبُ الْكَبَائِرَ الَّتِي نَهَى اللَّهُ
عَنْهَا". ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا
الْكَبَائِرُ؟ فَقَالَ: "تِسْعٌ: الشِّركُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ نَفْسِ مُؤْمِنٍ
بِغَيْرِ حَقٍّ وفِرارُ يَوْمِ الزّحْفِ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَأَكْلُ
الرِّبا، وقذفُ المُحصنَة وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ الْمُسْلِمَيْنِ،
وَاسْتِحْلَالُ الْبَيْتِ الْحَرَامِ قِبْلَتِكُمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا، ثُمَّ
قَالَ: لَا يَمُوتُ رَجُلٌ لَا يَعْمَلُ هَؤُلَاءِ الْكَبَائِرَ، وَيُقِيمُ
الصَّلَاةَ، ويُؤتِي الزَّكَاةَ، إِلَّا كَانَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دَارٍ أَبْوَابُهَا مَصَارِيعٌ مِنْ
ذَهَبٍ".
Imam Hakim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil
Al-Qadi secara imla, telah menceritakan kepada kami Abu Qilabah (yaitu Abdul
Malik ibnu Muhammad), telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hani', telah
menceritakan kepada kami Harb ibnu Syaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya
ibnu Abu Kasir, dari Abdul Hamid ibnu Sinan, dari Ubaid ibnu Uniair, dari
ayahnya (yakni Umair ibnu Qatadah r.a.) yang mempunyai predikat sahabat, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haji wada'-nya: Ingatlah, sesungguhnya
wali-wali Allah itu adalah orang-orang yang salat, yaitu orang yang mendirikan
salat lima waktu yang diwajibkan atas dirinya, puasa Ramadan karena mengharapkan
pahala Allah dan memandangnya sebagai suatu kewajiban baginya, dan menunaikan
zakat hartanya dengan mengharapkan pahala Allah, dan menjauhi dosa-dosa besar
yang dilarang oleh Allah. Kemudian ada seorang lelaki bertanya, "Wahai
Rasulullah, apakah dosa-dosa besar itu?” Maka Nabi Saw. menjawab: Ada
sembilan macam, yaitu mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang mukmin tanpa
alasan yang hak, lari dari medan perang, memakan harta anak yatim, memakan riba,
menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, menyakiti kedua orang tua
yang kedua-duanya muslim, menghalalkan Baitul Haram kiblat kalian dalam keadaan
hidup dan mati, kemudian seseorang mati dalam keadaan tidak mengerjakan
dosa-dosa besar tersebut, dan ia mendirikan salat serta menunaikan zakat,
melainkan ia kelak akan bersama Nabi Saw. di dalam istana yang terbuat dari emas
(yakni di dalam surga).
Demikianlah menurut riwayat Imam Hakim secara panjang lebar. Imam Abu Daud
dan Imam Nasai mengetengahkannya secara ringkas melalui hadis Mu'az ibnu Hani'
dengan sanad yang sama. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula melalui hadis Mu’az
ibnu Hani" dengan panjang lebar. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa para
perawi hadis ini menurut kitab Sahihain dapat dijadikan sebagai hujah, kecuali
Abdul Hamid ibnu Sinan.
Menurut kami, Abdul Hamid ibnu Sinan adalah seorang ulama Hijaz; ia tidak
dikenal kecuali melalui hadis ini. Ibnu Hibban menyebutkannya sebagai seorang
yang berpredikat siqah di dalam kitab As-siqat-nya. Imam Bukhari mengatakan
bahwa hadis yang diriwayatkan olehnya masih perlu dipertimbangkan.
Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini dari Sulaiman ibnu Sabit Al-Juhdari, dari
Salim ibnu Salam, dari Ayyub ibnu Atabah, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Ubaid
ibnu Umair, dari ayahnya, lalu ia menyebutkan hadis ini tanpa menyebut nama
Abdul Hamid ibnu Sinan di dalam sanadnya.
Hadis lain yang semakna dengan hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu
Murdawaih.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ
الْوَلِيدِ، عَنِ الْمُطَّلِبِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْطَبٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: صَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمِنْبَرَ فَقَالَ: "لَا أقْسِمُ، لَا أقْسِمُ". ثُمَّ نَزَلَ فَقَالَ:
"أبْشِرُوا، أبْشِرُوا، مَنْ صَلَّى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، واجْتَنَبَ
الْكَبَائِرَ السَّبعَ، نُودِيَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ: ادخُل". قَالَ عَبْدُ
الْعَزِيزِ: لَا أَعْلَمُهُ إِلَّا قَالَ: "بِسَلَامٍ". قَالَ الْمُطَّلِبُ:
سَمِعْتُ مَنْ سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرو: أَسْمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُهُنَّ؟ قَالَ: نَعَمْ: "عُقُوقُ
الْوَالِدَيْنِ، وإشْرَاكٌ بِاللَّهِ، وقَتْلُ النَّفْسِ، وقَذْفُ المُحْصنات،
وأكْلُ مالِ اليتيمِ، والفِرارُ مِنَ الزَّحفِ، وأكْلُ الرِّبَا"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Yahya
ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, dari Muslim ibnul
Walid, dari Al-Muttalib, dari Abdullah ibnu Hantab, dari Ibnu Umar yang
menceritakan bahwa Nabi Saw. naik ke mimbar, lalu bersabda: Aku bersumpah,
aku bersumpah. Kemudian beliau turun dan bersabda: Gembiralah, gembiralah
kalian; barang siapa yang mengerjakan salat lima waktu dan menjauhi tujuh
dosa-dosa besar, kelak ia akan diseru dari semua pintu surga, "Masuklah"
Abdul Aziz mengatakan, "Aku merasa yakin bahwa beliau pun mengatakan, 'Dengan
selamat"." Al-Muttalib mengatakan bahwa ia pernah mendengar seseorang
bertanya kepada Abdullah Ibnu Umar, "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah
Saw.?" Ibnu Umar menjawab: Ya, yaitu menyakiti kedua orang tua,
mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, menuduh berzina wanita yang memelihara
kehormatannya, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan memakan
riba.
Hadis lain yang semakna diriwayatkan oleh Abu Ja'far ibnu Jarir di dalam
kitab tafsirnya.
حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ، أَخْبَرَنَا زِيَادُ بْنُ مِخْرَاق عَنْ
طَيْسَلَةَ بْنِ مَيَّاسٍ قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّجدات، فَأَصَبْتُ ذُنُوبًا لَا
أَرَاهَا إِلَّا مِنَ الْكَبَائِرِ، فَلَقِيتُ ابْنَ عُمَر فَقُلْتُ لَهُ: إِنِّي
أَصَبْتُ ذُنُوبا لَا أَرَاهَا إِلَّا مِنَ الْكَبَائِرِ قَالَ: مَا هِيَ؟ قُلْتُ:
أَصَبْتُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَ مِنَ الْكَبَائِرِ. قُلْتُ: وَأَصَبْتُ
كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَ مِنَ الْكَبَائِرِ قَالَ -بِشَيْءٍ لَمْ يُسَمِّهِ
طَيْسَلَة-قَالَ: هِيَ تِسْعٌ وَسَأَعُدُّهُنَّ عَلَيْكَ: الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ،
وَقَتْلُ النَّفْسِ بِغَيْرِ حَقِّهَا وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ
الْمُحْصَنَةِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ظُلْمًا، وَإِلْحَادٌ
فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالَّذِي يَسْتَسْحِرُ وَبُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ
الْعُقُوقِ. قَالَ زِيَادٌ: وَقَالَ طَيْسَلَةُ لَمَّا رَأَى ابْنَ عُمَرَ: فَرَقي.
قَالَ: أَتُخَافُ النَّارَ أَنْ تَدْخُلَهَا؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: وَتُحِبُّ
أَنْ تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قُلْتُ:
عِنْدِي أُمِّي. قَالَ: فَوَاللَّهِ لَئِنْ أَنْتَ ألَنْتَ لَهَا الْكَلَامَ،
وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ، لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ
الْمُوجِبَاتِ
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah
menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Mikhraq, dari Taisalah ibnu Miyas yang
menceritakan bahwa ketika ia baru masuk Islam, ia melakukan banyak perbuatan
dosa yang menurut pendapatnya adalah termasuk dosa-dosa besar, lalu ia bersua
dengan Ibnu Umar, lalu bertanya kepadanya, "Sesungguhnya aku telah melakukan
banyak dosa yang menurut pendapatku adalah dosa besar." Ibnu Umar berkata, "Apa
sajakah yang telah engkau lakukan?" Aku (Taisalah) menjawab, "Aku telah
melakukan dosa anu dan anu." Ibnu Umar berkata, "Itu bukan dosa besar." Aku
berkata, "Aku telah melakukan pula dosa anu dan anu." Ibnu Umar menjawab, "Itu
bukan dosa besar." Ibnu Ulayyah berkata, "Apa sajakah yang tidak disebutkan oleh
Taisalah?" Ziyad ibnu Mikhraq menjawab, "Yang tidak disebutkan oleh Taisalah ada
sembilan macam," seperti dalam penjelasan berikut: Mempersekutukan Allah,
membunuh jiwa tanpa hak, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita yang
terpelihara kehormatannya, memakan riba, memakan harta anak yatim secara aniaya,
menghalalkan kesucian Masjidil Haram, melakukan sihir, dan membuat kedua orang
tua menangis termasuk menyakitinya (yakni dosa besar). Ziyad
melanjutkan kisahnya, bahwa Taisalah mengatakan, ketika Ibnu Umar akan berpisah
meninggalkannya, berkatalah Ibnu Umar, "Apakah kamu takut masuk neraka?" Aku
(Taisalah) menjawab, "Ya." Ibnu Umar bertanya, "Kamu juga ingin masuk surga?"
Aku menjawab, "Ya." Ibnu Umar berkata, "Hormatilah kedua orang tuamu." Aku
berkata, "Aku hanya mempunyai ibu." Ibnu Umar berkata, "Jika kamu dapat berkata
lemah lembut kepadanya dan memberinya makan, niscaya kamu benar-benar akan masuk
surga selagi kamu menjauhi dosa-dosa yang memastikan kamu masuk neraka."
Jalur Lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Sabit Al-Juh
dari Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Salam, telah
menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Atabah, dari Taisalah ibnu Ali An-Nahdi yang
menceritakan, "Aku datang menjumpai Ibnu Umar yang sedang berteduh di bawah
sebuah pohon siwak di hari Arafah, saat itu ia sedang menuangkan air ke atas
kepala dan wajahnya. Lalu aku bertanya, 'Ceritakanlah kepadaku tentang dosa-dosa
besar!' Ibnu Umar menjawab, 'Ada sembilan macam. Aku bertanya, "Apa sajakah?'
Ibnu Umar menjawab, 'Mempersekutukan Allah, menuduh berzina wanita yang
terpelihara kehormatannya.' Aku bertanya, 'Tentu saja sebelum membunuh jiwa."
Ibnu Umar berkata, 'Ya, juga membunuh jiwa, yaitu membunuh jiwa yang mukmin,
lari dari medan perang, sihir, memakan riba, memakan harta anak yatim, menyakiti
kedua orang tua, dan menghalalkan kesucian Masjidil Haram, kiblat kalian dalam
keadaan hidup dan mati'."
Demikianlah Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui dua jalur tersebut secara
mauquf (hanya sampai pada Ibnu Umar).
Ali ibnul Ja'd meriwayatkannya dari Ayyub ibnu Atabah, dari Taisalah ibnu Ali
yang menceritakan bahwa ia datang menemui Ibnu Umar di sore hari pada hari
Arafah. Saat itu Ibnu Umar berada di bawah naungan pohon siwak sedang menuangkan
air ke atas kepalanya. Lalu ia bertanya kepada Ibnu Umar tentang dosa-dosa
besar. Maka Ibnu Umar menjawab bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda bahwa dosa besar itu ada tujuh macam. Abu (Taisalah) bertanya, "Apa
sajakah hal itu?" Ibnu Umar menjawab, "Mempersekutukan Allah dan menuduh berzina
wanita yang terpelihara kehormatannya." Aku bertanya, "Tentu saja sebelum
membunuh?" Ibnu Umar menjawab, "Ya, sebelum membunuh, yaitu membunuh jiwa yang
mukmin, lari dari medan perang, melakukan sihir, memakan riba, memakan harta
anak yatim, menyakiti kedua orang tua, menghalalkan kesucian Baitullah, kiblat
kalian dalam keadaan hidup dan mati."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Hasan ibnu Musa Al-Asyyab, dari Ayyub ibnu
Atabah Al-Yamani, tetapi di dalamnya terkandung kelemahan.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا
زَكَرِيَّا بْنُ عَديّ، حَدَّثَنَا بَقِيَّة، عَنْ بَحير بْنُ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ
بْنِ مَعْدان: أَنَّ أَبَا رُهْم السَّمَعِيَّ حَدَّثَهُمْ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ عَبَدَ
اللَّهَ لَا يُشرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَأَقَامَ الصَّلَاةَ، وَآتَى الزَّكَاةَ،
وَصَامَ رَمَضَانَ، واجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ، فَلَهُ الْجَنَّةُ -أَوْ دَخَلَ
الْجَنَّةَ" فَسَأَلَهُ رَجُلٌ: مَا الْكَبَائِرُ؟ فَقَالَالشِّرْكُ بِاللَّهِ،
وقَتْلُ نَفْسٍ مُسْلِمَةٍ، والفِرار يَوْمَ الزَّحْف".
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah
menceritakan kepada kami Baqiyyah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Khalid ibnu
Ma'dan, bahwa Abu Rahin As-Sam’i pernah menceritakan kepada mereka hadis berikut
dari Abu Ayyub yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Barang siapa yang menyembah Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan menjauhi dosa-dosa
besar, maka baginya surga atau niscaya ia masuk surga. Lalu ada seorang
lelaki bertanya, "Apakah dosa-dosa besar itu?" Nabi Saw. Menjawab:
Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang muslim, dan lari dari medan
perang.
Imam Ahmad meriwayatkannya pula, dan Imam Nasai melalui banyak jalur
periwayatan dari Baqiyyah.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui
jalur Sulaiman ibnu Daud Al-Yamani —orangnya daif—, dari Az-Zuhri, dari Al-Hafiz
Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Umar ibnu Hazm, dari ayahnya, dari kakeknya yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengirim surat kepada penduduk negeri Yaman
yang isinya mengandung hal-hal yang fardu, sunat-sunat, dan masalah diat. Surat
itu dibawa oleh Amr ibnu Hazm.
Di dalam surat tersebut antara Lain tertulis:
"إِنَّ
أَكْبَرَ الْكَبَائِرِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: إشْراكٌ باللهِ وقَتْل
النفْسِ الْمُؤْمِنَةِ بِغَيْرِ حَقٍّ، والفِرارُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَوْمَ
الزَّحْفِ، وعُقوق الْوَالِدَيْنِ، ورَمْي الْمُحْصَنَةِ، وتَعَلُّم السحر، وأكل
الربا، وأكل مال اليتيم"
Sesungguhnya dosa yang paling besar di sisi Allah pada hari kiamat ialah
mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang mukmin tanpa hak, lari dari medan
perang sabilillah, menyakiti kedua orang tua, menuduh berzina wanita yang
terpelihara kehormatannya, belajar sihir, memakan riba, dan memakan harta anak
yatim.
Hadis lain mengenai masalah ini disebutkan
di dalamnya kesaksian palsu.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا شُعْبَةُ،
حَدَّثَنِي عُبَيد اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
قَالَ: ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَبَائِرَ
-أَوْ سُئِلَ عَنِ الْكَبَائِرِ-فَقَالَ: "الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ النفْسِ،
وعُقوق الْوَالِدَيْنِ". وَقَالَ: "أَلَا أُنْبِئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ "
قَالَ: "قَوْلُ الزُّورِ -أَوْ شَهَادَةُ الزُّورِ". قَالَ شُعْبَةُ: أَكْبَرُ
ظَنِّي أَنَّهُ قَالَ" "شَهَادَةُ الزُّورِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far,
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Abdullah
ibnu Abu Bakar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas ibnu Malik
menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. menuturkan perihal dosa-dosa
besar atau ditanya mengenai dosa-dosa besar. Beliau Saw. bersabda:
"Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, dan menyakiti kedua orang tua."
Dan Nabi Saw. bersabda, "Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang dosa yang
paling besar?" Kami (para sahabat) berkata, "Tentu saja mau." Nabi Saw.
bersabda, "Mempersekutukan Allah dan ucapan atau kesaksian palsu."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Syu'bah dengan
lafaz yang sama. Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui dua jalur lain yang
kedua-duanya garib, dari Anas dengan lafaz yang semisal.
Hadis Lain diketengahkan oleh Syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim)
melalui hadis Abdur Rahman ibnu Abu Bakar, dari ayahnya, bahwa Nabi Saw. pernah
bersabda:
"أَلَا
أُنْبِئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ "، قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ،
قَالَ: "الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ" وَكَانَ مُتَّكِئًا
فَجَلَسَ فَقَالَ: "أَلَا وَشَهَادَةُ الزُّورِ، أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ". فَمَا
زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ
"Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang dosa-dosa besar?" Kami
menjawab, "Tentu saja mau, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda,
"Mempersekutukan Allah dan menyakiti kedua orang tua." Tadinya beliau
bersandar, lalu duduk dan bersabda, "Ingatlah, dan kesaksian palsu, ingatlah,
dan perkataan dusta." Nabi Saw. terus mengulang-ulang sabdanya, hingga kami
berharap seandainya beliau diam.
Hadis lain disebutkan di dalamnya tentang
membunuh anak.
Hadis ini ditetapkan di dalam kitab Sahihain melalui Abdullah ibnu Mas'ud
yang menceritakan:
قُلْتُ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ -وَفِي رِوَايَةٍ: أَكْبَرُ-قَالَ:
"أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدا وَهُوَ خَلَقكَ" قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "أَنْ
تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَم مَعَكَ". قُلْتُ: ثُمَّ أي؟ قَالَ: "أَنْ
تُزاني حَلِيلَةَ جارِك" ثُمَّ قَرَأَ: {وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ
إِلَهًا آخَرَ [وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا
بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا] } إِلَى
قَوْلِهِ: {إِلا مَنْ تَابَ}
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling berat —menurut
riwayat yang lain disebutkan paling besar—?" Nabi Saw. bersabda, "Bila kamu
membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakan kamu." Aku
bertanya, "Kemudian apa lagi?" Beliau Saw. bersabda, "Bila kamu membunuh
anakmu karena takut ia makan bersamamu." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa
lagi?" Beliau Saw. menjawab, "Bila kamu berbuat zina dengan istri
tetanggamu." Kemudian beliau Saw. membacakan firman-Nya: Dan
orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah. (Al-Furqan:
68) sampai dengan firman-Nya: kecuali orang-orang yang bertobat.
(Al-Furqan: 70)
Hadis lain menyebutkan meminum khamr.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul
A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu
Sakhr, bahwa ada seorang lelaki menceritakan hadis kepadanya, dari Imarah ibnu
Hazm, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr ibnul As yang sedang berada di
Hijr (Ismail) di Mekah, lalu ia (Imarah) bertanya kepadanya mengenai khamr.
Abdullah ibnu Amr menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya merupakan dosa besar jika
seorang syekh seperti aku berdusta terhadap Rasulullah Saw. di tempat ini." Lalu
Imarah pergi, dan lelaki itu bertanya kepada Imarah; maka Imarah kembali (untuk
bertanya), lalu ia bercerita bahwa ia bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang
khamr. Maka Abdullah ibnu Amr menjawab, "Minum khamr merupakan dosa paling
besar, dan merupakan biang dari segala perbuatan keji. Barang siapa yang minum
khamr, niscaya ia meninggalkan salat, dan menyetubuhi ibu dan semua bibinya,
baik dari pihak ibu ataupun dari pihak ayah."
Bila ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat garib.
Jalur lain diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih melalui hadis
Abdul Aziz ibnu Muhammad Ad-Darawardi, dari Daud ibnu Saleh. dari Salim ibnu
Abdullah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar As-Siddiq dan Umar ibnul Khattab serta
sejumlah sahabat Rasulullah Saw. duduk berkumpul setelah Rasulullah Saw. wafat,
lalu mereka membicarakan tentang dosa yang paling besar, tetapi pembicaraan
mereka menemui jalan buntu. Lalu mereka mengutusku kepada Abdullah ibnu Amr
ibnul As untuk menanyakan kepadanya tentang masalah tersebut. Abdullah ibnu Amr
menceritakan kepadaku bahwa dosa yang paling besar ialah meminum khamr. Aku
kembali kepada mereka dan menceritakan jawaban itu kepada mereka. Mereka
mengingkari jawaban tersebut. Akhirnya karena tidak puas, maka mereka semua
mendatangi Abdullah ibnu Amr di rumahnya. Abdullah ibnu Amr menceritakan kepada
mereka bahwa para sahabat pernah berbicara di hadapan Rasulullah Saw.,
menceritakan suatu kisah sebagai berikut: Dahulu ada seorang raja dari kalangan
Bani Israil menangkap seorang lelaki. Kemudian raja menyuruh lelaki itu memilih
antara minum khamr, atau membunuh jiwa, atau berzina atau makan daging babi;
jika tidak mau, maka raja akan membunuhnya. Akhirnya si lelaki memilih meminum
khamr (yang menurutnya dipandang paling ringan di antara semua alternatif).
Ternyata setelah ia minum khamr, semua perbuatan yang tadinya ia tolak, kini
berani ia lakukan. Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda kepada kami sebagai
jawabannya:
"مَا
مِنْ أَحَدٍ يَشْرَبُ خَمْرًا إِلَّا لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةٌ أَرْبَعِينَ
لَيْلَةً، وَلَا يَمُوتُ أَحَدٌ فِي مَثَانَتِهِ مِنْهَا شَيْءٌ إِلَّا حَرَّم
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ فإنْ مَاتَ فِي أَرْبَعِينَ لَيْلَةً مَاتَ ميتَةً
جَاهِلِيَّةً".
Tidak sekali-kali seorang hamba minum khamr melainkan salat-nya tidak
diterima selama empat puluh malam, dan tidak sekali-kali seseorang mati sedang
di dalam perutnya terdapat sesuatu dari khamr melainkan Allah mengharamkan surga
atas dirinya; dan jika ia mati dalam masa empat puluh malam (sesudah minum
khamr), maka matinya adalah mati Jahiliah.
Hadis ini sangat garib bila ditinjau dari segi sanad; akan tetapi Daud ibnu
Saleh yang disebut dalam sanadnya dikenal dengan nama "At-Tammar Al-Madani maula
orang-orang Ansar", Imam Ahmad sehubungan dengannya mengatakan, "Menurut
hematku, dia tidak mengapa (hadisnya dapat dipakai)." Ibnu Hibban menyebutkannya
di dalam kitab As-Siqat, "Aku belum pernah melihat seseorang
men-tajrih-nya (men-daif-kan dia)."
Hadis lain diriwayatkan dari Abdullah ibnu
Amr, di dalamnya disebutkan sumpah palsu.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبة، عَنْ
فِرَاسٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ
الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وعُقُوق الْوَالِدَيْنِ، أَوْ قَتْل النَّفْس -شُعْبَةُ
الشَّاكُّ-وَالْيَمِينُ الغَمُوس"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far,
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Firas, dari Asy-Sya'bi, dari
Abdullah ibnu Amr, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dosa-dosa yang paling
besar ialah mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, atau membunuh jiwa
—Syu'bah ragu— dan sumpah palsu (dusta).
Imam Bukhari, Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis
Syu'bah. Imam Bukhari menambahkan, demikian pula Syaiban; keduanya menerima
hadis ini dari Firas dengan lafaz yang sama.
Hadis lain tentang sumpah dusta.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ كَاتِبُ
اللَّيْثِ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ،
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ مُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي
أُمَامَةَ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُنَيْسٍ الْجُهَنِيِّ، عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ
الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وعُقوق الْوَالِدَيْنِ، وَالْيَمِينُ الغَمُوس، وَمَا حَلَفَ
حَالِفٌ بِاللَّهِ يَمِينَ صَبْر فَأَدْخَلَ فِيهَا مِثْلَ جَنَاحِ الْبَعُوضَةِ،
إِلَّا كَانَتْ وَكْتَةً فِي قَلْبِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ".
Imam Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh juru
tulis Al-Lais, telah menceritakan kepada kami Al-Lais ibnu Sa’d, telah
menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'id, dari Muhammad ibnu Yazid ibnu
Muhajir ibnu Qunfuz At-Taimi, dari Abu Umamah Al-Ansari, dari Abdullah ibnu
Unais Al-Juhanni dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Dosa yang paling
besar ialah mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, sumpah dusta, dan
tidak sekali-kali seseorang bersumpah dengan menyebut nama Allah sumpah yang
teguh, lalu ia memasukkan ke dalam sumpahnya itu (kedustaan) seberat sayap
nyamuk, melainkan hal itu akan menjadi titik noda di dalam hatinya sampai hari
kiamat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya, juga
oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya; keduanya dari Yunus ibnu
Muhammad Al-Muaddib, dari Al-Lais ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengetengahkannya dari Abdu ibnu Humaid dengan lafaz yang sama,
dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Abu Umamah Al-Ansari
adalah Ibnu Sa'labah, namanya tidak dikenal. Tetapi ia telah meriwayatkan banyak
hadis dari sahabat-sahabat Nabi Saw.
Guru kami Al-Hafiz Abul Hajjaj Al-Mazzi mengatakan bahwa hadis ini
diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Ishaq Al-Madani, dari Muhammad ibnu Yazid,
dari Abdullah ibnu Abu Umamah, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Unais; di dalam
sanadnya ditambahkan Abdullah ibnu Abu Umamah.
Menurut kami, memang demikianlah yang disebutkan di dalam tafsir Ibnu
Murdawaih dan kitab Sahih Ibnu Hibban melalui jalur Abdur Rahman ibnu Ishaq,
seperti yang dikatakan oleh guru kami.
Hadis lain dari Abdullah ibnu Amr,
disebutkan penyebab yang membuat kedua orang tua dicaci maki.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عَمْرو بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَوَدِيُّ،
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مِسْعر وَسُفْيَانُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ
حُمَيد بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو -رَفَعَهُ
سُفْيَانُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَوَقَفَهُ
مِسْعَرٌ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو -قَالَ: "مِنَ الْكَبَائِرِ أَنْ
يَشْتُم الرجلُ وَالِدَيْهِ": قَالُوا: وَكَيْفَ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟
قَالَ: "يَسُبُّ الرجلُ أَبَا الرَّجُلِ فيسبَّ أَبَاهُ، ويسُبُّ أمَّه فيسب
أمه"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah
Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Mis'ar dan Sufyan, dari Sa'd
ibnu Ibrahim, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Abdullah ibnu Amr; Sufyan
me-rafa'-kannya sampai kepada Nabi Saw., sedangkan Mis'ar
me-mauquf-kannya hanya sampai pada Abdullah ibnu Amr, bahwa Nabi Saw.
pernah bersabda: "Termasuk dosa besar ialah bila seseorang mencaci kedua
orang tuanya." Mereka (para sahabat) bertanya, "Bagaimanakah seorang anak
dapat mencaci kedua orang tuanya?" Nabi Saw. bersabda, "Dia mencaci ayah
orang lain, maka orang lain membalas mencaci ayahnya. Dan dia mencaci ibu orang
lain, maka orang lain membalas mencaci ibunya."
Imam Bukhari mengetengahkannya dari Ahmad ibnu Yunus, dari Ibrahim ibnu Sa'd
ibnu Ibrahim ibnu Abdur Rahman ibnu Auf, dari ayahnya, dari pamannya (Humaid
ibnu Abdur Rahman ibnu Auf), dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إن
مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَن الرجلُ وَالِدَيْهِ". قَالُوا: وكيفَ
يَلْعَنُ الرجلُ وَالِدَيْهِ؟! قَالَ: "يَسُبُّ الرجلُ أَبَا الرَّجُلِ فيسبَّ
أَبَاهُ، ويسُبُّ أمَّه فَيَسُبُّ أُمَّهُ".
"Termasuk dosa besar bila seseorang melaknat kedua orang tuanya."
Mereka bertanya, "Bagaimanakah seseorang melaknat kedua orang tuanya?" Nabi Saw.
bersabda, "Dia mencaci ayah orang lain, maka orang lain membalas mencaci
ayahnya. Dan dia mencaci ibu orang lain, maka orang lain membalas mencaci
ibunya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Sufyan dan Syu'bah
serta Yazid ibnul Had, ketiga-tiganya dari Sa'd ibnu Ibrahim secara marfu'
dengan lafaz yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini sahih.
Dan di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
«سِبَابُ
الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»
Mencaci orang muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya adalah suatu
kekufuran.
Hadis lain mengenai hal ini diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Hatim.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ دُحَيم، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي
سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ عِرْضُ الرَّجُلِ
الْمُسْلِمِ، والسَّبَّتَان والسَّبَّة"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Dahim, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu
Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, dari Al-Ala
ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Termasuk dosa besar seseorang mencemarkan
kehormatan seorang muslim dan melabraknya dengan cacian dan makian.
Demikianlah bunyi hadis menurut riwayat ini.
Dan Imam Abu Daud meriwayatkannya di dalam Kitabul Adab, bagian dari kitab
sunnah-nya, dari Ja'far ibnu Musafir, dari Amr ibnu Abu Salamah, dari Zuhair
ibnu Muhammad, dari Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang
telah bersabda:
«من
أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ اسْتِطَالَةُ الْمَرْءِ فِي عِرْضِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ
حَقٍّ، وَمِنَ الْكَبَائِرِ السَّبَّتَانِ بِالسَّبَّةِ»
Termasuk dosa besar ialah berlaku sewenang-wenang terhadap kehormatan diri
seorang lelaki muslim tanpa hak, dan termasuk dosa besar mencaci
makinya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur Abdullah ibnul
Ala ibnu Zaid, dari Al-Ala (ayahnya), dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw., lalu ia
menyebutkan hadis yang semisal.
Hadis lain menyebutkan perihal menjamak
dua salat tanpa uzur.
حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا نُعَيم
بْنُ حَمَّادٍ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِر بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حَنَش
عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلاتين مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ، فَقَدْ أَتَى
بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْكَبَائِرِ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami
Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Hanasy, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa menjamakkan di antara
dua salat tanpa uzur, maka sesungguhnya ia telah mendatangi suatu pintu dari
pintu-pintu dosa besar.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Isa At-Turmuzi, dari Abu Salamah Yahya
ibnu Khalaf, dari Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan lafaz yang semisal. Kemudian
Imam Turmuzi mengatakan bahwa Hanasy nama julukannya ialah Abu Ali Ar-Rahbi yang
juga dikenal dengan nama Husain ibnu Qais; dia orangnya daif menurut
kalangan ahli hadis, dan Imam Ahmad serta lain-lainnya menilainya
daif.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Muhammad As-Sabbah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ulayyah, dari
Khalid Al-Hazza, dari Humaid ibnu Hilal, dari Abu Qatadah (yakni Al-Adawi) yang
menceritakan, "Pernah dibacakan kepada kami surat Khalifah Umar yang isinya
menyebutkan bahwa termasuk dosa besar ialah menggabungkan di antara dua salat
—yakni tanpa uzur—, lari dari medan perang, dan merampok." Sanad asar ini
sahih.
Tujuannya ialah apabila ancaman ini ditujukan kepada orang yang menggabungkan
antara dua salat, seperti salat Lohor dengan salat Asar, baik jamak taqdim
ataupun jamak takhir; demikian pula halnya orang yang menjamakkan antara salat
Magrib dan salat Isya. Perihalnya sama dengan jamak karena penyebab yang diakui
oleh syariat. Barang siapa yang melakukannya tanpa sesuatu pun dari uzur-uzur
tersebut (yang disebut di dalam bab persyaratan membolehkan jamak), berarti dia
melakukan suatu dosa yang besar, terlebih lagi bagi orang yang meninggalkan
salat secara keseluruhan. Karena itu, diriwayatkan di dalam kitab Sahih Muslim
sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
«بَيْنَ
الْعَبْدِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ تَرْكُ الصلاة»
Antara seorang hamba dan kemusyrikan ialah meninggalkan salat.
Di dalam kitab sunan disebutkan sebuah hadis marfu' yang mengatakan sebagai
berikut:
«الْعَهْدُ
الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، من تَرَكَهَا فَقَدْ
كَفَرَ»
Janji antara Kami dan mereka adalah salat; barang siapa yang
meninggalkannya, berarti ia telah kafir.
Rasulullah Saw. telah bersabda pula:
«مَنْ
تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ»
Barang siapa yang meninggalkan salat Asar, maka sesungguhnya amalnya telah
dihapuskan.
«مَنْ
فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وَتِرَ أَهْلَهُ
وَمَالَهُ»
Barang siapa yang meninggalkan salat Asar, maka seakan-akan ia
ditinggalkan oleh keluarga dan harta bendanya.
Hadis lain menyebutkan putus asa dari
rahmat Allah dan merasa aman dari Azab Allah.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَاصِمٍ
النَّبِيلُ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شَبِيب بْنُ بِشْر، عَنْ عِكْرِمَةَ،
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ مُتَّكِئًا فَدَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: مَا الْكَبَائِرُ؟ فَقَالَ:
"الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْح اللَّهِ، والقُنوط مِنْ رَحْمَةِ
اللَّهِ، وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ، وَهَذَا أَكْبَرُ
الْكَبَائِرِ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr ibnu
Abu Asim An-Nabil, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Syabib ibnu Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ketika
Rasulullah Saw. sedang duduk bersandar, masuklah seorang lelaki dan bertanya,
"Apa sajakah dosa-dosa besar itu?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya:
Mempersekutukan Allah, ingkar kepada nikmat Allah, dan putus harapan dari
rahmat Allah Swt. serta merasa aman dari siksa (pembalasan) Allah, hal ini
merupakan dosa yang paling besar.
Imam Al-Bazzar meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Ishaq Al-Attar, dari Abu
Asim An-Nabil, dari Syabib ibnu Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa
seorang lelaki pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, apa sajakah dosa-dosa besar
itu?" Rasulullah Saw. menjawab:
«الْإِشْرَاكُ
بِاللَّهِ وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ، وَالْقُنُوطُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ»
Mempersekutukan Allah, ingkar kepada nikmat Allah, dan putus asa dari
rahmat Allah Swt.
Akan tetapi, hadis ini di dalam sanadnya masih ada hal yang perlu
dipertimbangkan. Hal yang lebih dekat kepada kebenaran bila menilai hadis ini
sebagai hadis mauquf (hanya sampai pada Ibnu Abbas), karena sesungguhnya
diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud hal yang semisal (yakni mauquf).
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي
يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا مُطَرِّفٌ، عَنْ
وَبْرة بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ قَالَ: قَالَ ابْنُ
مَسْعُودٍ: أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَالْإِيَاسُ مِنْ رَوْح
اللَّهِ، والقُنوط مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ، وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ
اللَّهِ.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mutarrif,
dari Wabrah ibnu Abdur Rahman, dari Abut Tufail yang menceritakan bahwa Ibnu
Mas'ud r.a. pernah berkata: Dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah,
ingkar kepada nikmat Allah, dan putus asa dari rahmat Allah Swt. serta merasa
aman dari pembalasan Allah.
Hal yang sama diriwayatkan melalui hadis Al-A'masy dan Abu Ishaq, dari
Wabrah, dari Abut Tufail, dari Abdullah ibnu Mas'ud dengan lafaz yang sama.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui berbagai jalur dari Abut Tufail
dari Ibnu Mas'ud, asar ini tidak diragukan lagi sahih sampai kepada Ibnu
Mas'ud.
Hadis lain, di dalamnya disebutkan buruk
sangka kepada Allah.
قَالَ
ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ بُنْدار،
حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ بَكْرُ بْنُ عَبْدَانَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
مُهَاجِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو حُذَيْفَةَ الْبُخَارِيُّ، عَنْ مُحَمَّدُ بْنُ
عَجْلَانَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ:]
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ["أَكْبَرُ
الْكَبَائِرِ سُوءُ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ibrahim ibnu Bandar, telah menceritakan kepada kami Abu Hatim (yaitu Bakr ibnu
Abdan), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhajir, telah menceritakan
kepada kami Abu Huzaifah Al-Bukhari, dari Muhammad ibnu Ajlan, dari Nafi', dari
Ibnu Umar, bahwa ia pernah mengatakan: Termasuk dosa besar ialah berburuk
sangka terhadap Allah Swt.
hadis ini garib sekali.
Hadis lain, di dalamnya disebutkan kembali
ke perkampungan sesudah hijrah.
Dalam pembahasan yang lalu disebutkan melalui riwayat Umar ibnu Abu Salamah,
dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu'.
قَالَ
أَبُو بَكْرِ بْنُ مرْدويه: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أحمد، حدثنا أحمد بن
رشدين، حَدَّثَنَا عَمْرو بْنُ خَالِدٍ الْحَرَّانَيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ محمد بن سهل ابن أَبِي حَثْمة عَنْ أَبِيهِ
قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
"الْكَبَائِرُ سَبْعٌ، أَلَا تَسْأَلُونِي عَنْهُنَّ؟ الشِّركُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ
النفْسِ، والفِرارُ يَوْمَ الزَّحْفِ، وأكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَأَكْلُ الرِّبَا،
وقَذْفُ المحصَنَة، وَالتَّعَرُّبُ بَعْدَ الْهِجْرَةِ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu
Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Rasyidin, telah menceritakan
kepada kami Amr ibnu Khalid Al-Har-rani, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Luhai'ah, dari Ziyad ibnu Abu Habib, dari Muhammad ibnu Sahl ibnu Abu Khaisamah,
dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. pernah
bersabda: Dosa besar itu ada tujuh macam, mengapa kalian tidak menanyakannya
kepadaku? Yaitu mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, lari dari medan perang,
memakan harta anak yatim, memakan riba, menuduh berzina wanita yang terpelihara
kehormatannya, dan kembali ke perkampungan sesudah hijrah.
Tetapi di dalam sanadnya masih ada hal yang perlu dipertimbangkan. Menilai
marfu' hadis ini keliru sekali.
Hal yang benar ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, yaitu telah
menceritakan kepada kami Tamim ibnu Muntasir, telah menceritakan kepada kami
Yazid, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu
Sahl ibnu Abu Khaisamah, dari ayahnya yang menceritakan, "Sesungguhnya aku
pernah berada di dalam masjid ini, yakni masjid Kufah. Ketika itu Khalifah Ali
r.a. sedang berkhotbah kepada orang-orang di atas mimbarnya seraya berkata, 'Hai
manusia sekalian, dosa besar itu ada tujuh macam.' Maka semua orang tunduk
terdiam, dan Ali mengulangi ucapannya itu tiga kali, lalu berkata, 'Mengapa
kalian tidak mau bertanya kepadaku tentang dosa-dosa besar itu?' Mereka
menjawab, "Wahai Amirul Muminin, apa sajakah dosa-dosa besar itu?" Khalifah Ali
r.a. menjawab, 'Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah,
menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, memakan harta anak yatim,
memakan riba, lari dari medan perang (jihad), dan kembali ke perkampungan
sesudah hijrah.' Maka aku (Muhammad ibnu Sahl) bertanya kepada ayahku, 'Hai
ayahku, mengapa kembali ke perkampungan dimasukkan ke dalam bab ini?' Ayahku
menjawab, 'Hai anakku, tiada dosa yang lebih besar daripada seseorang yang
melakukan hijrah, hingga setelah ia mendapat bagian dari harta fai' dan
diwajibkan atas dirinya melakukan jihad, kemudian ia melepaskan diri dari
tanggung jawab tersebut dan kembali ke perkampungan Badui seperti keadaan
semula'."
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
حَدَّثَنَا
هَاشِمُ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ -يَعْنِي شَيْبَانَ-عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ
هِلَالِ بْنِ يسَاف، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ قَيْسٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ: "أَلَا
إِنَّمَا هُنَّ أَرْبَعٌ: أَلَّا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلَا تَقْتُلُوا
النفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَلَا تَزْنُوا، وَلَا
تَسْرِقُوا". قَالَ: فَمَا أَنَا بِأَشَحَّ عَلَيْهِنَّ مِنِّي، إِذْ سَمِعْتُهُنَّ
مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abu
Mu'awiyah (yakni Sinan), dari Mansur, dari Hilal ibnu Yusaf, dari Salamah ibnu
Qais Al-Asyja'i yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haji
wada'-nya: Ingatlah, sesungguhnya dosa besar itu ada empat: Janganlah kalian
mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, janganlah kalian membunuh jiwa yang
diharamkan oleh Allah membunuhnya kecuali dengan alasan yang hak, janganlah
kalian berzina, dan janganlah kalian mencuri. Salamah ibnu Qais Al-Asyja'i
mengatakan, "Setelah aku mendengar hal ini dari Rasulullah Saw., maka aku tidak
segan-segan menceritakannya (kepada orang yang belum pernah mendengarnya)."
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula hal yang semisal dengan hadis di
atas, juga Imam Nasai serta Ibnu Murdawaih melalui hadis Mansur berikut
sanadnya.
Hadis lain, dalam pembahasan yang terdahulu telah diutarakan sebuah hadis
melalui riwayat Umar ibnul Mugirah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
«الْإِضْرَارُ
فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ»
Menimpakan mudarat (terhadap ahli waris) dalam berwasiat merupakan dosa
besar.
Tetapi yang sahih ialah yang diriwayatkan oleh selain Umar ibnul Mugirah,
dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa
menurut pendapat yang sahih, riwayat ini berasal dari Ibnu Abbas dan merupakan
perkataannya.
Hadis lain mengenai hal ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami
Abbad ibnu Abbad, dari Ja'far ibnuz-Zubair, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah,
bahwa ada sejumlah orang dari kalangan sahabat Nabi Saw. sedang
berbincang-bincang mengenai dosa-dosa besar; saat itu Nabi Saw. sedang duduk
bersandar. Mereka mengatakan, "Dosa-dosa besar itu ialah mempersekutukan Allah,
memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita yang
terpelihara kehormatannya; menyakiti kedua orang tua, kesaksian palsu,
penggelapan (korupsi), sihir, dan memakan riba." Maka Rasulullah Saw.
bersabda:
«فَأَيْنَ
تَجْعَلُونَ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمانِهِمْ ثَمَناً
قَلِيلًا»
Lalu di manakah kalian tempatkan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya,
"Orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah mereka dengan harga yang
sedikit"?
Akan tetapi, di dalam sanadnya terkandung kelemahan.
Berbagai pendapat ulama salaf mengenai dosa-dosa besar
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan asar yang diriwayatkan dari Umar
dan Ali yang terkandung di dalam hadis-hadis mengenai masalah ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ibnu Aun, dari Al-Hasan, bahwa sejumlah orang pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Amr di Mesir. Untuk itu mereka berkata, "Kami melihat banyak hal di dalam Kitabullah yang memerintahkan agar diamalkan, tetapi ternyata tidak diamalkan. Maka kami bermaksud untuk menjumpai Amirul Mukminin sehubungan dengan masalah ini." Maka Abdullah ibnu Amr datang bersama mereka (ke Madinah), lalu langsung menghadap Khalifah Umar r.a. Khalifah Umar bertanya, "Kapankah kamu tiba?" Abdullah ibnu Amr menjawab, "Sejak hari anu." Khalifah Umar bertanya, "Apakah kamu datang dengan membawa izin?" Abdullah ibnu Amr mengatakan, "Aku tidak mengetahui jawaban apakah yang akan kukemukakan kepadanya." Akhirnya Abdullah ibnu Amr berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya orang-orang menjumpaiku di Mesir, lalu mereka mengatakan, 'Sesungguhnya kami melihat banyak hal di dalam Kitabullah yang memerintahkan untuk diamalkan, tetapi tidak diamalkan,' Lalu mereka menginginkan menghadap kepadamu untuk menanyakan hal tersebut." Khalifah Umar berkata, "Kumpulkanlah mereka kepadaku." Abdullah ibnu Amr mengatakan, "Maka aku mengumpulkan mereka kepadanya." Ibnu Aun (perawi) mengatakan, "Menurut keyakinanku Al-Hasan mengatakan, 'Kumpulkanlah mereka di serambi'." Lalu Khalifah Umar memanggil seorang lelaki yang paling dekat dengannya dari mereka dan bertanya, "Aku meminta jawabanmu yang jujur, demi Allah dan demi hak Islam atas dirimu, apakah kamu telah membaca Al-Qur'an semuanya?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Umar bertanya, "Apakah kamu telah mengamalkannya dalam dirimu?" Lelaki itu menjawab, "Ya Allah, belum." Al-Hasan mengatakan, seandainya lelaki itu mengatakan, "Ya," niscaya Khalifah Umar mendebatnya. Umar bertanya, "Apakah engkau telah mengamalkannya pada penglihatanmu? Apakah engkau telah mengamalkannya pada ucapanmu? Apakah engkau telah mengamalkannya pada jejak-jejakmu (anak cucumu)?" Kemudian Khalifah Umar menanyai mereka satu persatu hingga sampai pada orang yang terakhir. Lalu Khalifah Umar berkata, "Celakalah Umar, apakah kalian membebaninya agar dia menegakkan semua orang untuk mengamalkan semua yang ada di dalam Kitabullah, padahal Allah telah mengetahui bahwa kita pasti akan melakukan keburukan-keburukan (dosa-dosa)?" Al-Hasan melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Khalifah Umar membacakan firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat. Kemudian Khalifah Umar bertanya, "Apakah penduduk Madinah mengetahui?" Atau ia mengatakan, "Apakah ada seseorang yang mengetahui apa yang menyebabkan kalian datang ke sini?" Mereka menjawab, "Tidak ada." Khalifah Umar berkata, "Seandainya mereka (penduduk atau ulama Madinah) mengetahui, niscaya aku beri mereka nasihat dengan masalah kalian ini."
Sanad asar ini sahih dan matannya hasan. Sekalipun dalam riwayat Al-Hasan dari Umar terdapat inqitha, tetapi karena mengingat terkenalnya asar ini, maka ketenarannya sudah cukup dijadikan sebagai jaminan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad (yakni Az-Zubairi), telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Saleh, dari Usman ibnul Mugirah, dari Malik ibnu Jarir, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Dosa-dosa besar ialah mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, memakan harta anak yatim, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, lari dari medan perang, kembali ke kampung sesudah hijrah, sihir, menyakiti kedua orang tua, memakan riba, memisahkan diri dari jamaah, dan melanggar perjanjian."
Dalam pembahasan yang lalu disebutkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, ingkar terhadap nikmat Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari pembalasan Allah Swt."
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Al-A'masy ibnu Abud-Duha, dari Masruq dan Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah; keduanya (yakni Masruq dan Alqamah) dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa dosa-dosa besar disebutkan mulai dari awal surat An-Nisa sampai ayat tiga puluh.
Juga darinya disebutkan oleh hadis Sufyan As-Sauri dan Syu'bah, dari Asim ibnu Abun Nujud, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa dosa-dosa yang paling besar disebutkan pada permulaan surat An-Nisa sampai tiga puluh ayat. Kemudian ia membacakan firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Hayyan, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa dosa-dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, melarang lebihan air sesudah pengairan dilakukan, dan mencegah pemanfaatan ternak pejantan kecuali dengan imbalan.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw. pernah bersabda:
Kelebihan air tidak boleh ditahan dengan maksud agar rerumputan tidak tumbuh.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula sebuah hadis dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
Ada tiga macam orang, Allah tidak mau memandang mereka kelak di hari kiamat dan tidak mau menyucikan mereka (dari dosa-dosanya) serta bagi mereka siksa yang amat pedih, yaitu seorang lelaki yang memiliki lebihan air di padang pasir, lalu ia mencegahnya dari Ibnus Sabil. hingga akhir hadis.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya sebuah hadis marfu' yang mengatakan:
Barang siapa yang menahan lebihan air dan kelebihan rerumputan, niscaya Allah akan menahan kemurahan-Nya dari dia kelak di hari kiamat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Syaiban Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, dari Sufyan, dari Al-A'masy, dari Muslim, dari Masruq, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa dosa-dosa besar yang dilarang kaum wanita mengerjakannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa yang dimaksud olehnya ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak mencuri. (Al-Mumtahanah: 12), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Mikhraq, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada sahabat Anas ibnu Malik, dan tersebutlah bahwa termasuk di antara pembicaraan dia kepada kami ialah ia mengatakan, "Aku belum pernah melihat anugerah yang semisal dengan apa yang diberikan oleh Tuhan kepada kita, lalu untuk mendapatkannya tidak usah keluar meninggalkan keluarga dan harta benda." Kemudian sahabat Anas ibnu Malik r.a. diam sejenak, lalu berkata, "Demi Allah, kita tidak dibebani hal tersebut, sesungguhnya Allah telah memaafkan dosa-dosa kita selain dosa-dosa besar." Lalu ia membacakan firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ibnu Aun, dari Al-Hasan, bahwa sejumlah orang pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Amr di Mesir. Untuk itu mereka berkata, "Kami melihat banyak hal di dalam Kitabullah yang memerintahkan agar diamalkan, tetapi ternyata tidak diamalkan. Maka kami bermaksud untuk menjumpai Amirul Mukminin sehubungan dengan masalah ini." Maka Abdullah ibnu Amr datang bersama mereka (ke Madinah), lalu langsung menghadap Khalifah Umar r.a. Khalifah Umar bertanya, "Kapankah kamu tiba?" Abdullah ibnu Amr menjawab, "Sejak hari anu." Khalifah Umar bertanya, "Apakah kamu datang dengan membawa izin?" Abdullah ibnu Amr mengatakan, "Aku tidak mengetahui jawaban apakah yang akan kukemukakan kepadanya." Akhirnya Abdullah ibnu Amr berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya orang-orang menjumpaiku di Mesir, lalu mereka mengatakan, 'Sesungguhnya kami melihat banyak hal di dalam Kitabullah yang memerintahkan untuk diamalkan, tetapi tidak diamalkan,' Lalu mereka menginginkan menghadap kepadamu untuk menanyakan hal tersebut." Khalifah Umar berkata, "Kumpulkanlah mereka kepadaku." Abdullah ibnu Amr mengatakan, "Maka aku mengumpulkan mereka kepadanya." Ibnu Aun (perawi) mengatakan, "Menurut keyakinanku Al-Hasan mengatakan, 'Kumpulkanlah mereka di serambi'." Lalu Khalifah Umar memanggil seorang lelaki yang paling dekat dengannya dari mereka dan bertanya, "Aku meminta jawabanmu yang jujur, demi Allah dan demi hak Islam atas dirimu, apakah kamu telah membaca Al-Qur'an semuanya?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Umar bertanya, "Apakah kamu telah mengamalkannya dalam dirimu?" Lelaki itu menjawab, "Ya Allah, belum." Al-Hasan mengatakan, seandainya lelaki itu mengatakan, "Ya," niscaya Khalifah Umar mendebatnya. Umar bertanya, "Apakah engkau telah mengamalkannya pada penglihatanmu? Apakah engkau telah mengamalkannya pada ucapanmu? Apakah engkau telah mengamalkannya pada jejak-jejakmu (anak cucumu)?" Kemudian Khalifah Umar menanyai mereka satu persatu hingga sampai pada orang yang terakhir. Lalu Khalifah Umar berkata, "Celakalah Umar, apakah kalian membebaninya agar dia menegakkan semua orang untuk mengamalkan semua yang ada di dalam Kitabullah, padahal Allah telah mengetahui bahwa kita pasti akan melakukan keburukan-keburukan (dosa-dosa)?" Al-Hasan melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Khalifah Umar membacakan firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat. Kemudian Khalifah Umar bertanya, "Apakah penduduk Madinah mengetahui?" Atau ia mengatakan, "Apakah ada seseorang yang mengetahui apa yang menyebabkan kalian datang ke sini?" Mereka menjawab, "Tidak ada." Khalifah Umar berkata, "Seandainya mereka (penduduk atau ulama Madinah) mengetahui, niscaya aku beri mereka nasihat dengan masalah kalian ini."
Sanad asar ini sahih dan matannya hasan. Sekalipun dalam riwayat Al-Hasan dari Umar terdapat inqitha, tetapi karena mengingat terkenalnya asar ini, maka ketenarannya sudah cukup dijadikan sebagai jaminan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad (yakni Az-Zubairi), telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Saleh, dari Usman ibnul Mugirah, dari Malik ibnu Jarir, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Dosa-dosa besar ialah mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, memakan harta anak yatim, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, lari dari medan perang, kembali ke kampung sesudah hijrah, sihir, menyakiti kedua orang tua, memakan riba, memisahkan diri dari jamaah, dan melanggar perjanjian."
Dalam pembahasan yang lalu disebutkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, ingkar terhadap nikmat Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari pembalasan Allah Swt."
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Al-A'masy ibnu Abud-Duha, dari Masruq dan Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah; keduanya (yakni Masruq dan Alqamah) dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa dosa-dosa besar disebutkan mulai dari awal surat An-Nisa sampai ayat tiga puluh.
Juga darinya disebutkan oleh hadis Sufyan As-Sauri dan Syu'bah, dari Asim ibnu Abun Nujud, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa dosa-dosa yang paling besar disebutkan pada permulaan surat An-Nisa sampai tiga puluh ayat. Kemudian ia membacakan firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Hayyan, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa dosa-dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, melarang lebihan air sesudah pengairan dilakukan, dan mencegah pemanfaatan ternak pejantan kecuali dengan imbalan.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw. pernah bersabda:
«لَا
يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعَ بِهِ الْكَلَأُ»
Kelebihan air tidak boleh ditahan dengan maksud agar rerumputan tidak tumbuh.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula sebuah hadis dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
«ثَلَاثَةٌ
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يُزَكِّيهِمْ،
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالْفَلَاةِ يَمْنَعُهُ
ابْنَ السَّبِيلِ»
Ada tiga macam orang, Allah tidak mau memandang mereka kelak di hari kiamat dan tidak mau menyucikan mereka (dari dosa-dosanya) serta bagi mereka siksa yang amat pedih, yaitu seorang lelaki yang memiliki lebihan air di padang pasir, lalu ia mencegahnya dari Ibnus Sabil. hingga akhir hadis.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya sebuah hadis marfu' yang mengatakan:
«مَنْ
مَنَعَ فَضْلَ الْمَاءِ وَفَضْلَ الْكَلَأِ مَنَعَهُ اللَّهُ فَضْلَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ»
Barang siapa yang menahan lebihan air dan kelebihan rerumputan, niscaya Allah akan menahan kemurahan-Nya dari dia kelak di hari kiamat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Syaiban Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, dari Sufyan, dari Al-A'masy, dari Muslim, dari Masruq, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa dosa-dosa besar yang dilarang kaum wanita mengerjakannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa yang dimaksud olehnya ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
عَلى
أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئاً وَلا يَسْرِقْنَ
bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak mencuri. (Al-Mumtahanah: 12), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Mikhraq, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada sahabat Anas ibnu Malik, dan tersebutlah bahwa termasuk di antara pembicaraan dia kepada kami ialah ia mengatakan, "Aku belum pernah melihat anugerah yang semisal dengan apa yang diberikan oleh Tuhan kepada kita, lalu untuk mendapatkannya tidak usah keluar meninggalkan keluarga dan harta benda." Kemudian sahabat Anas ibnu Malik r.a. diam sejenak, lalu berkata, "Demi Allah, kita tidak dibebani hal tersebut, sesungguhnya Allah telah memaafkan dosa-dosa kita selain dosa-dosa besar." Lalu ia membacakan firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat
Pendapat Ibnu Abbas mengenai dosa-dosa besar
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari
ayahnya, dari Tawus yang menceritakan bahwa mereka membicarakan perihal
dosa-dosa besar di hadapan Ibnu Abbas; mereka mengatakan bahwa dosa-dosa besar
itu ada tujuh macam. Maka Ibnu Abbas berkata bahwa dosa-dosa besar itu lebih
banyak dari tujuh macam dan tujuh macam lainnya.
Tawus mengatakan bahwa ia tidak ingat lagi berapa banyak Ibnu Abbas menyebutkannya (yakni banyaknya macam dosa besar).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Lais, dari Tawus yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apa sajakah tujuh macam dosa besar itu?" Ibnu Abbas menjawab, "Dosa-dosa besar itu yang benar banyaknya sampai tujuh puluh macam, paling sedikit ada tujuh macam."
Ibnu Jarir meriwayatkan asar ini dari Ibnu Humaid, dari Lais, dari Tawus yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu berkata, "Bagaimanakah pendapatmu terhadap dosa-dosa besar yang tujuh macam yang disebutkan Allah? Apa sajakah?" Ibnu Abbas menjawab, "Dosa-dosa besar jumlahnya mencapai tujuh puluh macam hingga yang paling sedikit ada tujuh macam."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Tawus, dari ayahnya yang menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada ibnu Abbas tentang tujuh macam dosa-dosa besar. Ibnu Abbas menjawab, "Semuanya sampai tujuh puluh macam banyaknya." Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah Ar-Rayyahi rahimahullah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Qais ibnu Sa'd, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas, "Berapa macamkah tujuh dosa besar itu?" Ibnu Abbas menjawab, "Macamnya ada sampai tujuh puluh hingga tujuh ratus macam, yang paling ringkas adalah tujuh macam. Tetapi tidak ada dosa besar bila disertai dengan istigfar, dan tidak ada dosa kecil bila dibarengi dengan terus-menerus melakukannya (yakni dosa kecil bisa menjadi dosa besar bila dilakukan terus-menerus)."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Syibl dengan lafaz yang sama.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31) Ibnu Abbas mengatakan bahwa dosa besar itu ialah setiap dosa yang dipastikan oleh Allah (atas pelakunya) neraka, atau murka-Nya atau kutukan-Nya atau azab-Nya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Syabib, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setiap dosa yang dipastikan oleh Allah neraka besar bagi pelakunya adalah dosa besar. Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Al-Hasan Al-Basri.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa ia mendapat berita bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Setiap dosa yang dilarang oleh Allah adalah dosa besar." Disebutkan masalah tarfah (memandang), maka Ibnu Abbas menjawab bahwa tarfah adalah sekali pandang.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ma'dan, dari Abul Walid yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai dosa-dosa besar, maka Ibnu Abbas menjawab, "Segala sesuatu yang mendurhakai Allah adalah dosa besar."
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ibnu Abu Nujaih dan dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah r.a. pernah berkata, "Wahai Rasulullah, kaum pria dapat ikut berperang, sedangkan kami (kaum wanita) tidak dapat ikut berperang, dan bagi kami hanya separo warisan (yang diterima lelaki)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 32)
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ibnu Abu Umar, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah, bahwa ia pernah menceritakan hadis berikut. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis. Imam Turmuzi mengatakan hadis ini garib.
Salah seorang dari mereka (perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah r.a. pernah bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis.
Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadis As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak dapat berperang dan tidak dapat mati syahid, dan mengapa kami tidak dapat mewaris (sepenuhnya)?" Maka turunlah ayat ini, dan Allah menurunkan pula firman-Nya:
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan. (Ali Imran: 195)
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Nujaih dengan lafaz yang sama.
Yahya Al-Qattan dan Waki' ibnul Jarrah meriwayatkan dari As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah yang telah menceritakan, "Aku pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah,' hingga akhir hadis."
Diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan serta Khasif hal yang semisal.
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Juraij, dari Ikrimah dan Mujahid; keduanya pernah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ummu Salamah.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seorang syekh dari kalangan ulama Mekah yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan perkataan kaum wanita yang mengatakan, "Aduhai, seandainya kita menjadi kaum pria, niscaya kami akan berjihad sebagaimana mereka berjihad dan kami dapat ikut berperang di jalan Allah Swt."
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan keadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far (yakni Ibnu Abul Mugirah), dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa seorang wanita datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, seorang lelaki mendapat warisan dua kali lipat seorang wanita, dan kesaksian dua orang wanita sebanding dengan kesaksian seorang lelaki, padahal kami dalam beramal sama saja. Tetapi jika seorang wanita melakukan suatu kebaikan, maka yang dicatatkan baginya adalah separo pahala kebaikan (yang dilakukan oleh seorang lelaki)." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian iri hati. (An-Nisa: 32), hingga akhir ayat.
Dengan kata lain, sesungguhnya hal tersebut merupakan tindakan yang adil dari-Ku. Akulah yang membuatnya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa kaum laki-laki mengatakan, "Sesungguhnya kami menghendaki agar kami beroleh pahala dua kali lipat pahala kaum wanita, seperti halnya kami memperoleh dua bagian dalam harta warisan." Kaum wanita mengatakan, "Sesungguhnya kami menghendaki agar kami memperoleh pahala yang sama dengan para syuhada, karena kami tidak mampu berperang. Seandainya diwajibkan atas kami berperang, niscaya kami akan berperang pula." Allah menolak hal tersebut dan berfirman kepada mereka, "Mintalah oleh kalian kepada-Ku sebagian dari kemurahan-Ku." Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa yang dimaksud ialah bukan yang berkaitan dengan harta duniawi."
Diriwayatkan hal yang sama dari Qatadah.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, janganlah seorang lelaki berharap melalui ucapannya, "Aduhai, sekiranya aku mempunyai harta dan istri seperti yang dimiliki oleh si Fulan." Maka Allah Swt. melarang hal tersebut, tetapi hendaklah dia memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Al-Hasan, Muhammad ibnu Sirin, Ata, dan Ad-Dahhak mengatakan hal yang semisal. Pengertian ini merupakan makna lahiriah dari ayat. Akan tetapi, tidak termasuk ke dalam pengertian ini hal berikut yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih, yaitu:
Tidak boleh dengki kecuali dalam dua hal, yaitu (terhadap) seorang lelaki yang dianugerahi oleh Allah harta yang banyak, lalu ia menginfakkan (membelanjakan)nya di jalan yang hak, dan ada lelaki lain mengatakan, "Seandainya aku mempunyai apa yang semisal dengan yang dipunyai oleh si Fulan, niscaya aku akan mengamalkan hal yang sama," kedua-duanya beroleh pahala yang sama.
Maka sesungguhnya iri hati yang disebutkan di dalam hadis ini bukan termasuk hal yang dilarang oleh ayat ini. Demikian itu karena hadis menganjurkan berharap untuk memperoleh nikmat yang semisal dengan apa yang diperoleh si Fulan. Sedangkan makna ayat dilarang berharap mempunyai kebendaan yang semisal dengan apa yang dimiliki oleh si Fulan tersebut.
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 32)
Yakni yang berkenaan dengan masalah-masalah duniawi; demikian pula dengan masalah-masalah agama, karena berdasarkan kepada hadis Ummu Salamah dan Ibnu Abbas.
Hal yang sama dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan larangan mengharapkan dapat memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain, berkenaan dengan harapan kaum wanita yang menginginkan agar mereka seperti laki-laki sehingga mereka dapat berperang. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. (An-Nisa: 32)
Dengan kata lain, setiap imbalan disesuaikan dengan amal perbuatannya. Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya pun baik; jika amal perbuatannya buruk, maka balasannya pun buruk pula. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dengan hal tersebut berkaitan dengan masalah miras (warisan). Dengan kata lain, setiap ahli waris mendapat bagian sesuai dengan kedudukannya dengan si mayat. Demikianlah menurut Al-Wabili dari Ibnu Abbas.
Kemudian Allah memberikan petunjuk kepada mereka untuk melakukan hal yang bermaslahat buat diri mereka.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. (An-Nisa: 32)
Dengan kata lain, janganlah kalian iri terhadap apa yang telah Kami lebihkan buat sebagian dari kalian atas sebagian yang lain, karena sesungguhnya hal ini merupakan takdir. Dengan kata lain, berharap untuk memperolehnya merupakan hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Tetapi mintalah kalian sebagian dari kemurahan-Ku, niscaya Aku akan memberi kalian, karena sesungguhnya Aku Mahamulia lagi Pemberi.
Imam Turmuzi dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Hammad ibnu Waqid, bahwa ia pernah mendengar Israil menceritakan hadis berikut dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Mohonlah kalian kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta. Dan sesungguhnya ibadah yang paling afdal (utama) ialah menunggu jalan keluar.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Waqid, tetapi Hammad ibnu Waqid bukan orang yang hafiz.
Abu Na'im meriwayatkannya dari Israil dari Hakim ibnu Jubair, dari seorang lelaki, dari Nabi Saw. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Na'im lebih dekat kepada predikat kesahihan. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Waki', dari Israil.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Qais ibnur Rabi', dari Hakim ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yarig mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Memohonlah kalian kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta, dan sesungguhnya hamba Allah yang paling disukai oleh-Nya ialah orang yang suka (menunggu) jalan keluar.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32)
Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak memperoleh duniawi, lalu Dia memberinya sebagian dari duniawi; juga terhadap orang yang berhak mendapat kemiskinan, lalu Dia membuatnya miskin. Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak mendapat pahala ukhrawi, lalu Dia memberinya taufik untuk mengamalkannya. Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak memperoleh kehinaan, lalu Dia membuatnya hina hingga tidak dapat melakukan kebaikan dan penyebab-penyebabnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32).
Tawus mengatakan bahwa ia tidak ingat lagi berapa banyak Ibnu Abbas menyebutkannya (yakni banyaknya macam dosa besar).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Lais, dari Tawus yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apa sajakah tujuh macam dosa besar itu?" Ibnu Abbas menjawab, "Dosa-dosa besar itu yang benar banyaknya sampai tujuh puluh macam, paling sedikit ada tujuh macam."
Ibnu Jarir meriwayatkan asar ini dari Ibnu Humaid, dari Lais, dari Tawus yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu berkata, "Bagaimanakah pendapatmu terhadap dosa-dosa besar yang tujuh macam yang disebutkan Allah? Apa sajakah?" Ibnu Abbas menjawab, "Dosa-dosa besar jumlahnya mencapai tujuh puluh macam hingga yang paling sedikit ada tujuh macam."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Tawus, dari ayahnya yang menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada ibnu Abbas tentang tujuh macam dosa-dosa besar. Ibnu Abbas menjawab, "Semuanya sampai tujuh puluh macam banyaknya." Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah Ar-Rayyahi rahimahullah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Qais ibnu Sa'd, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas, "Berapa macamkah tujuh dosa besar itu?" Ibnu Abbas menjawab, "Macamnya ada sampai tujuh puluh hingga tujuh ratus macam, yang paling ringkas adalah tujuh macam. Tetapi tidak ada dosa besar bila disertai dengan istigfar, dan tidak ada dosa kecil bila dibarengi dengan terus-menerus melakukannya (yakni dosa kecil bisa menjadi dosa besar bila dilakukan terus-menerus)."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Syibl dengan lafaz yang sama.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31) Ibnu Abbas mengatakan bahwa dosa besar itu ialah setiap dosa yang dipastikan oleh Allah (atas pelakunya) neraka, atau murka-Nya atau kutukan-Nya atau azab-Nya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Syabib, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setiap dosa yang dipastikan oleh Allah neraka besar bagi pelakunya adalah dosa besar. Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Al-Hasan Al-Basri.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa ia mendapat berita bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Setiap dosa yang dilarang oleh Allah adalah dosa besar." Disebutkan masalah tarfah (memandang), maka Ibnu Abbas menjawab bahwa tarfah adalah sekali pandang.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ma'dan, dari Abul Walid yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai dosa-dosa besar, maka Ibnu Abbas menjawab, "Segala sesuatu yang mendurhakai Allah adalah dosa besar."
Pendapat tabi'in
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ibnu Aun, dari Muhammad yang
mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubaidah tentang dosa-dosa besar. Ia
menjawab bahwa dosa-dosa besar ialah mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang
dilarang oleh Allah membunuhnya kecuali dengan alasan yang hak, lari dari medan
perang, memakan harta anak yatim, memakan riba, dan buhtan (kedustaan).
Ibnu Ulayyah mengatakan bahwa mereka berkata, "Kembali ke kampung sesudah
hijrah." Ibnu Aun berkata, "Aku tanyakan kepada Muhammad, bagaimanakah dengan
sihir?" Muhammad menjawab, "Sesungguhnya buhtan itu mencakup kejahatan
yang banyak."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ubaid Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas Salam ibnu Sulaim, dari Abu Ishaq, dari Ubaid ibnu Umair yang mengatakan bahwa dosa besar itu ada tujuh macam; tidak ada suatu dosa pun darinya melainkan disebutkan di dalam suatu ayat dari Kitabullah; antara lain ialah mempersekutukan Allah disebutkan oleh firman-Nya:
Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin. (Al-Hajj: 31), hingga akhir ayat.
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya. (An-Nisa: 10)
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275)
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23)
Mengenai lari dari medan perang sabilillah disebutkan oleh firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerang kalian. (Al-Anfal: 15), hingga akhir ayat.
Mengenai kembali ke kampung sesudah hijrah disebutkan di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka. (Muhammad: 25)
Mengenai membunuh orang mukmin disebutkan di dalam firman-Nya:
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya. (An-Nisa: 93)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim pula melalui hadis Abu Ishaq, dari Ubaid ibnu Umair dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata ibnu Abu Rabah yang mengatakan bahwa dosa-dosa besar itu ada tujuh macam, yaitu membunuh jiwa, memakan harta anak yatim, memakan riba, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, kesaksian palsu, menyakiti kedua orang tua, dan lari dari medan perang.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mugirah yang mengatakan bahwa dahulu sering dikatakan, mencaci maki Abu Bakar dan Umar r.a. termasuk dosa besar.
Menurut kami, sesungguhnya ada segolongan ulama berpendapat bahwa orang yang mencaci sahabat dihukumi kafir. Pendapat ini merupakan suatu riwayat yang bersumber dari Malik ibnu Anas rahimahullah..
Muhammad ibnu Sirin mengatakan, "Aku tidak menduga seseorang mencintai Rasulullah Saw. bila ia membenci Abu bakar dan Umar." Diriwayatkan oleh Imam Tirmizi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Iyasy yang menceritakan bahwa Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan firman Allah Swt.: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31) Bahwa termasuk di antara dosa besar ialah mempersekutukan Allah, ingkar terhadap ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya, melakukan sihir, membunuh anak-anak, dan orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak atau istri, dan semua amal perbuatan serta ucapan yang semisal dengan hal tersebut yang tiada suatu amal pun dapat diterima bila dibarengi dengannya.
Setiap dosa yang tidak membahayakan agama dan amal kebaikan dapat diterima, sekalipun ada bersamanya. Maka sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa (kecil) itu dengan amal-amal kebaikan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat. Sesungguhnya Allah telah menjanjikan ampunan bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Qatadah menceritakan kepada kami bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
Jauhilah dosa-dosa besar, berjalan luruslah kalian, dan bergembiralah kalian.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Anas dan dari Jabir sebuah hadis yang marfu', yaitu:
Syafaatku bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dari kalangan umatku.
Akan tetapi, sanad hadis ini dari semua jalur periwayatannya mengandung ke-daif-an, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Syafaatku buat orang-orang yang berdosa besar dari umatku.
Sesungguhnya sanad hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain. Abu Isa At-Turmuzi meriwayatkannya secara munfarid dengan lafaz yang sama dari segi ini melalui Abbas Al-Anbari dari Abdur Razzaq. Kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Di dalam kitab sahih terdapat hadis yang membenarkan maknanya, yaitu sabda Nabi Saw. sesudah menuturkan tentang syafaat:
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ubaid Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas Salam ibnu Sulaim, dari Abu Ishaq, dari Ubaid ibnu Umair yang mengatakan bahwa dosa besar itu ada tujuh macam; tidak ada suatu dosa pun darinya melainkan disebutkan di dalam suatu ayat dari Kitabullah; antara lain ialah mempersekutukan Allah disebutkan oleh firman-Nya:
وَمَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّما خَرَّ مِنَ السَّماءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ
تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ
Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin. (Al-Hajj: 31), hingga akhir ayat.
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ ناراً
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya. (An-Nisa: 10)
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَما يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطانُ مِنَ الْمَسِّ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275)
الَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَناتِ الْغافِلاتِ الْمُؤْمِناتِ
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23)
Mengenai lari dari medan perang sabilillah disebutkan oleh firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
زَحْفاً
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerang kalian. (Al-Anfal: 15), hingga akhir ayat.
Mengenai kembali ke kampung sesudah hijrah disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلى أَدْبارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ
الْهُدَى
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka. (Muhammad: 25)
Mengenai membunuh orang mukmin disebutkan di dalam firman-Nya:
وَمَنْ
يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزاؤُهُ جَهَنَّمُ خالِداً
فِيها
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya. (An-Nisa: 93)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim pula melalui hadis Abu Ishaq, dari Ubaid ibnu Umair dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata ibnu Abu Rabah yang mengatakan bahwa dosa-dosa besar itu ada tujuh macam, yaitu membunuh jiwa, memakan harta anak yatim, memakan riba, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, kesaksian palsu, menyakiti kedua orang tua, dan lari dari medan perang.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mugirah yang mengatakan bahwa dahulu sering dikatakan, mencaci maki Abu Bakar dan Umar r.a. termasuk dosa besar.
Menurut kami, sesungguhnya ada segolongan ulama berpendapat bahwa orang yang mencaci sahabat dihukumi kafir. Pendapat ini merupakan suatu riwayat yang bersumber dari Malik ibnu Anas rahimahullah..
Muhammad ibnu Sirin mengatakan, "Aku tidak menduga seseorang mencintai Rasulullah Saw. bila ia membenci Abu bakar dan Umar." Diriwayatkan oleh Imam Tirmizi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Iyasy yang menceritakan bahwa Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan firman Allah Swt.: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31) Bahwa termasuk di antara dosa besar ialah mempersekutukan Allah, ingkar terhadap ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya, melakukan sihir, membunuh anak-anak, dan orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak atau istri, dan semua amal perbuatan serta ucapan yang semisal dengan hal tersebut yang tiada suatu amal pun dapat diterima bila dibarengi dengannya.
Setiap dosa yang tidak membahayakan agama dan amal kebaikan dapat diterima, sekalipun ada bersamanya. Maka sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa (kecil) itu dengan amal-amal kebaikan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat. Sesungguhnya Allah telah menjanjikan ampunan bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Qatadah menceritakan kepada kami bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"اجْتَنِبُوا
الْكَبائر، وسَدِّدُوا، وأبْشِرُوا"
Jauhilah dosa-dosa besar, berjalan luruslah kalian, dan bergembiralah kalian.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Anas dan dari Jabir sebuah hadis yang marfu', yaitu:
«شَفَاعَتِي
لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي»
Syafaatku bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dari kalangan umatku.
Akan tetapi, sanad hadis ini dari semua jalur periwayatannya mengandung ke-daif-an, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«شَفَاعَتِي
لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي»
Syafaatku buat orang-orang yang berdosa besar dari umatku.
Sesungguhnya sanad hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain. Abu Isa At-Turmuzi meriwayatkannya secara munfarid dengan lafaz yang sama dari segi ini melalui Abbas Al-Anbari dari Abdur Razzaq. Kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Di dalam kitab sahih terdapat hadis yang membenarkan maknanya, yaitu sabda Nabi Saw. sesudah menuturkan tentang syafaat:
"أترَوْنَها
لِلْمُؤْمِنِينَ المتقين؟ لا ولكنها للخاطئين المُتَلَوِّثِينَ".
Tentu kalian memandangnya buat orang-orang mukmin yang
bertakwa? Tidak, melainkan syafaat itu buat orang-orang yang bersalah
lagi berlumuran dengan dosa.
Ulama usul dan ulama furu' berbeda pendapat mengenai definisi dosa besar. Di
antara mereka ada yang mengatakan bahwa dosa besar ialah suatu tindakan kriminal
yang ada sanksi hukuman hadnya dalam syariat. Ada pula yang mengatakan bahwa
dosa besar ialah suatu hal yang ada ancaman khusus mengenainya dari Al-Qur'an
dan sunnah. Pendapat yang lain mengatakan selain itu.
Abul Qasim (yaitu Abdul Karim ibnu Muhammad Ar-Rafi'i) mengatakan di dalam kitabnya yang terkenal, yaitu Syarhul Kabir, dalam bagian "Kitabusy Syahadat". Selanjutnya para sahabat radiyallahu anhum dan generasi yang sesudah mereka berbeda pendapat mengenai definisi dosa besar dan perbedaan antara dosa besar dengan dosa kecil. Sebagian kalangan sahabat ada yang menginterpretasikan dosa besar ditinjau dari berbagai segi berikut:
Pertama, perbuatan tersebut merupakan maksiat yang mewajibkan
pelakunya terkena hukuman had.
Kedua, perbuatan maksiat yang mengakibatkan pelakunya terkena
ancaman yang keras oleh nas Al-Qur'an atau hadis. Pendapat inilah yang banyak
dikatakan di kalangan mereka. Pendapat yang pertama lebih disukai, tetapi
pendapat yang kedua lebih sesuai berdasarkan keterangan yang mereka kemukakan
dalam menafsirkan pengertian dosa besar.
Ketiga, Imam Haramain mengatakan di dalam kitab Al-Irsyad —juga
selain dia— bahwa setiap tindak pidana yang menunjukkan pelakunya tidak
mengindahkan agama dan bahwa agamanya sangat tipis, maka hal tersebut
membatalkan predikat 'adalah-nya.
Keempat, Al-Qadi Abu Sa'id Al-Harawi mengatakan bahwa dosa
besar itu ialah setiap perbuatan yang pengharamannya dinaskan oleh Kitabullah,
dan setiap perbuatan maksiat yang mengharuskan pelakunya terkena hukuman had,
seperti perbuatan membunuh atau lain-lainnya; meninggalkan setiap perkara fardu
yang diperintahkan agar dikerjakan dengan segera; dan berdusta dalam kesaksian,
periwayatan, dan sumpah.
Demikianlah menurut apa yang dikatakan mereka secara ringkas. Kemudian Abu
Sa'id Al-Harawi mengatakan bahwa Al-Qadi Ar-Rauyani merincikannya. Untuk itu ia
mengatakan bahwa dosa besar itu ada tujuh macam, yaitu: Membunuh jiwa tanpa
alasan yang dibenarkan, berzina, liwat (hubungan sejenis), meminum khamr,
mencuri, merampas harta orang lain, dan menuduh orang lain berzina. Ia
menambahkan dalam kitab Asy-Syamil-nya di samping yang tujuh macam tadi, yaitu
kesaksian palsu.
Penulis kitab Al-Uddah menambahkan selain dari semuanya itu hal-hal berikut, yaitu: Memakan riba, berbuka di siang hari Ramadan tanpa uzur, sumpah dusta, memutuskan silaturahmi, menyakiti kedua orang tua, lari dari medan perang, memakan harta anak yatim, khianat (curang) dalam melakukan takaran dan timbangan, mendahulukan salat atas waktunya, mengakhirkan salat dari waktunya tanpa uzur, memukul orang muslim tanpa alasan yang hak, dusta terhadap Rasulullah Saw. dengan sengaja, mencaci sahabat-sahabat Rasul Saw., menyembunyikan kesaksian tanpa uzur, menerima risywah (suap), menjadi germo, menjilat sultan, tidak membayar zakat, meninggalkan amar makruf dan nahi munkar, padahal mampu melakukannya, melupakan Al-Qur'an sesudah mempelajarinya, membakar hewan dengan api, wanita menolak ajakan suaminya tanpa sebab, putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari pembalasan Allah; dan menurut pendapat yang lain, termasuk dosa besar menjatuhkan martabat ahlul ilmi dan orang-orang yang hafal Al-Qur'an.
Termasuk dosa besar lagi ialah melakukan zihar dan memakan daging babi serta bangkai, kecuali dalam keadaan darurat.
Imam Rafi'i selanjutnya mengatakan, "Tetapi pada' sebagian dari hal-hal yang disebutkan di atas masih ada yang masih memerlukan pembahasan lebih lanjut."
Menurut kami, banyak ulama menulis tentang dosa-dosa besar ini ke dalam berbagai karya tulis; antara lain ialah apa yang dihimpun oleh guru kami Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi yang bilangannya sampai tujuh puluh macam dosa besar.
Apabila dikatakan bahwa sesungguhnya dosa besar itu ialah hal-hal yang pelakunya diancam secara khusus oleh pen-tasyri' akan masuk neraka, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya, maka hal yang diikutkan kepada pengertian ini akan terhimpun banyak macam dosa besar.
Jika dikatakan bahwa dosa besar adalah semua yang dilarang Allah, maka aneka ragam dosa besar menjadi lebih banyak lagi bilangannya.
Abul Qasim (yaitu Abdul Karim ibnu Muhammad Ar-Rafi'i) mengatakan di dalam kitabnya yang terkenal, yaitu Syarhul Kabir, dalam bagian "Kitabusy Syahadat". Selanjutnya para sahabat radiyallahu anhum dan generasi yang sesudah mereka berbeda pendapat mengenai definisi dosa besar dan perbedaan antara dosa besar dengan dosa kecil. Sebagian kalangan sahabat ada yang menginterpretasikan dosa besar ditinjau dari berbagai segi berikut:
Penulis kitab Al-Uddah menambahkan selain dari semuanya itu hal-hal berikut, yaitu: Memakan riba, berbuka di siang hari Ramadan tanpa uzur, sumpah dusta, memutuskan silaturahmi, menyakiti kedua orang tua, lari dari medan perang, memakan harta anak yatim, khianat (curang) dalam melakukan takaran dan timbangan, mendahulukan salat atas waktunya, mengakhirkan salat dari waktunya tanpa uzur, memukul orang muslim tanpa alasan yang hak, dusta terhadap Rasulullah Saw. dengan sengaja, mencaci sahabat-sahabat Rasul Saw., menyembunyikan kesaksian tanpa uzur, menerima risywah (suap), menjadi germo, menjilat sultan, tidak membayar zakat, meninggalkan amar makruf dan nahi munkar, padahal mampu melakukannya, melupakan Al-Qur'an sesudah mempelajarinya, membakar hewan dengan api, wanita menolak ajakan suaminya tanpa sebab, putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari pembalasan Allah; dan menurut pendapat yang lain, termasuk dosa besar menjatuhkan martabat ahlul ilmi dan orang-orang yang hafal Al-Qur'an.
Termasuk dosa besar lagi ialah melakukan zihar dan memakan daging babi serta bangkai, kecuali dalam keadaan darurat.
Imam Rafi'i selanjutnya mengatakan, "Tetapi pada' sebagian dari hal-hal yang disebutkan di atas masih ada yang masih memerlukan pembahasan lebih lanjut."
Menurut kami, banyak ulama menulis tentang dosa-dosa besar ini ke dalam berbagai karya tulis; antara lain ialah apa yang dihimpun oleh guru kami Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi yang bilangannya sampai tujuh puluh macam dosa besar.
Apabila dikatakan bahwa sesungguhnya dosa besar itu ialah hal-hal yang pelakunya diancam secara khusus oleh pen-tasyri' akan masuk neraka, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya, maka hal yang diikutkan kepada pengertian ini akan terhimpun banyak macam dosa besar.
Jika dikatakan bahwa dosa besar adalah semua yang dilarang Allah, maka aneka ragam dosa besar menjadi lebih banyak lagi bilangannya.
An-Nisa, ayat 32
وَلَا
تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا
اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
(32)
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ibnu Abu Nujaih dan dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah r.a. pernah berkata, "Wahai Rasulullah, kaum pria dapat ikut berperang, sedangkan kami (kaum wanita) tidak dapat ikut berperang, dan bagi kami hanya separo warisan (yang diterima lelaki)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 32)
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ibnu Abu Umar, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah, bahwa ia pernah menceritakan hadis berikut. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis. Imam Turmuzi mengatakan hadis ini garib.
Salah seorang dari mereka (perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah r.a. pernah bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis.
Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadis As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak dapat berperang dan tidak dapat mati syahid, dan mengapa kami tidak dapat mewaris (sepenuhnya)?" Maka turunlah ayat ini, dan Allah menurunkan pula firman-Nya:
أَنِّي
لَا أُضِيعُ عَمَلَ عامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثى
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan. (Ali Imran: 195)
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Nujaih dengan lafaz yang sama.
Yahya Al-Qattan dan Waki' ibnul Jarrah meriwayatkan dari As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah yang telah menceritakan, "Aku pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah,' hingga akhir hadis."
Diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan serta Khasif hal yang semisal.
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Juraij, dari Ikrimah dan Mujahid; keduanya pernah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ummu Salamah.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seorang syekh dari kalangan ulama Mekah yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan perkataan kaum wanita yang mengatakan, "Aduhai, seandainya kita menjadi kaum pria, niscaya kami akan berjihad sebagaimana mereka berjihad dan kami dapat ikut berperang di jalan Allah Swt."
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan keadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far (yakni Ibnu Abul Mugirah), dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa seorang wanita datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, seorang lelaki mendapat warisan dua kali lipat seorang wanita, dan kesaksian dua orang wanita sebanding dengan kesaksian seorang lelaki, padahal kami dalam beramal sama saja. Tetapi jika seorang wanita melakukan suatu kebaikan, maka yang dicatatkan baginya adalah separo pahala kebaikan (yang dilakukan oleh seorang lelaki)." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian iri hati. (An-Nisa: 32), hingga akhir ayat.
Dengan kata lain, sesungguhnya hal tersebut merupakan tindakan yang adil dari-Ku. Akulah yang membuatnya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa kaum laki-laki mengatakan, "Sesungguhnya kami menghendaki agar kami beroleh pahala dua kali lipat pahala kaum wanita, seperti halnya kami memperoleh dua bagian dalam harta warisan." Kaum wanita mengatakan, "Sesungguhnya kami menghendaki agar kami memperoleh pahala yang sama dengan para syuhada, karena kami tidak mampu berperang. Seandainya diwajibkan atas kami berperang, niscaya kami akan berperang pula." Allah menolak hal tersebut dan berfirman kepada mereka, "Mintalah oleh kalian kepada-Ku sebagian dari kemurahan-Ku." Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa yang dimaksud ialah bukan yang berkaitan dengan harta duniawi."
Diriwayatkan hal yang sama dari Qatadah.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, janganlah seorang lelaki berharap melalui ucapannya, "Aduhai, sekiranya aku mempunyai harta dan istri seperti yang dimiliki oleh si Fulan." Maka Allah Swt. melarang hal tersebut, tetapi hendaklah dia memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Al-Hasan, Muhammad ibnu Sirin, Ata, dan Ad-Dahhak mengatakan hal yang semisal. Pengertian ini merupakan makna lahiriah dari ayat. Akan tetapi, tidak termasuk ke dalam pengertian ini hal berikut yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih, yaitu:
"لَا
حَسَد إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فسَلَّطَه عَلَى
هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، فَيَقُولُ رَجُلٌ: لَوْ أَنَّ لِي مِثْلَ مَا لِفُلَانٍ
لعَمِلْتُ مِثْلَهُ. فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ"
Tidak boleh dengki kecuali dalam dua hal, yaitu (terhadap) seorang lelaki yang dianugerahi oleh Allah harta yang banyak, lalu ia menginfakkan (membelanjakan)nya di jalan yang hak, dan ada lelaki lain mengatakan, "Seandainya aku mempunyai apa yang semisal dengan yang dipunyai oleh si Fulan, niscaya aku akan mengamalkan hal yang sama," kedua-duanya beroleh pahala yang sama.
Maka sesungguhnya iri hati yang disebutkan di dalam hadis ini bukan termasuk hal yang dilarang oleh ayat ini. Demikian itu karena hadis menganjurkan berharap untuk memperoleh nikmat yang semisal dengan apa yang diperoleh si Fulan. Sedangkan makna ayat dilarang berharap mempunyai kebendaan yang semisal dengan apa yang dimiliki oleh si Fulan tersebut.
*******************
Allah Swt. berfirman:
{وَلا
تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ}
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 32)
Yakni yang berkenaan dengan masalah-masalah duniawi; demikian pula dengan masalah-masalah agama, karena berdasarkan kepada hadis Ummu Salamah dan Ibnu Abbas.
Hal yang sama dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan larangan mengharapkan dapat memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain, berkenaan dengan harapan kaum wanita yang menginginkan agar mereka seperti laki-laki sehingga mereka dapat berperang. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
لِلرِّجالِ
نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبْنَ
(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. (An-Nisa: 32)
Dengan kata lain, setiap imbalan disesuaikan dengan amal perbuatannya. Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya pun baik; jika amal perbuatannya buruk, maka balasannya pun buruk pula. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dengan hal tersebut berkaitan dengan masalah miras (warisan). Dengan kata lain, setiap ahli waris mendapat bagian sesuai dengan kedudukannya dengan si mayat. Demikianlah menurut Al-Wabili dari Ibnu Abbas.
Kemudian Allah memberikan petunjuk kepada mereka untuk melakukan hal yang bermaslahat buat diri mereka.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
وَسْئَلُوا
اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ
dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. (An-Nisa: 32)
Dengan kata lain, janganlah kalian iri terhadap apa yang telah Kami lebihkan buat sebagian dari kalian atas sebagian yang lain, karena sesungguhnya hal ini merupakan takdir. Dengan kata lain, berharap untuk memperolehnya merupakan hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Tetapi mintalah kalian sebagian dari kemurahan-Ku, niscaya Aku akan memberi kalian, karena sesungguhnya Aku Mahamulia lagi Pemberi.
Imam Turmuzi dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Hammad ibnu Waqid, bahwa ia pernah mendengar Israil menceritakan hadis berikut dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"سلُوا
اللَّهَ مِنْ فَضْلِه؛ فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يُسْأَلَ وَإِنَّ أَفْضَلَ
الْعِبَادَةِ انْتِظَارُ الْفَرَجِ".
Mohonlah kalian kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta. Dan sesungguhnya ibadah yang paling afdal (utama) ialah menunggu jalan keluar.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Waqid, tetapi Hammad ibnu Waqid bukan orang yang hafiz.
Abu Na'im meriwayatkannya dari Israil dari Hakim ibnu Jubair, dari seorang lelaki, dari Nabi Saw. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Na'im lebih dekat kepada predikat kesahihan. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Waki', dari Israil.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Qais ibnur Rabi', dari Hakim ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yarig mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"سَلُوا
اللَّهَ مِنْ فَضْلِه، فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يُسأل، وَإِنَّ أحبَّ
عِبَادِهِ إِلَيْهِ الَّذِي يُحب الْفَرَجَ"
Memohonlah kalian kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta, dan sesungguhnya hamba Allah yang paling disukai oleh-Nya ialah orang yang suka (menunggu) jalan keluar.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ كانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32)
Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak memperoleh duniawi, lalu Dia memberinya sebagian dari duniawi; juga terhadap orang yang berhak mendapat kemiskinan, lalu Dia membuatnya miskin. Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak mendapat pahala ukhrawi, lalu Dia memberinya taufik untuk mengamalkannya. Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak memperoleh kehinaan, lalu Dia membuatnya hina hingga tidak dapat melakukan kebaikan dan penyebab-penyebabnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32).
An-Nisa, ayat 33
وَلِكُلٍّ
جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ
عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيدًا (33)
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewaris. Dan
(jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu.
Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Saleh, Qatadah, Zaid ibnu Aslam,
As-Saddi, Ad-Dahhak, dan Muqatil ibnu Hayyan serta lain-lainnya mengatakan
sehubungan dengan firman-Nya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan, Kami jadikan
pewaris-pewaris. (An-Nisa: 33) Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat
ini ialah warasah (para ahli waris).
Menurut riwayat lain yang dari Ibnu Abbas, mawali artinya para
'asabah (ahli waris laki-laki).
Ibnu Jarir mengatakan, orang-orang Arab menamakan anak paman (saudara sepupu)
dengan sebutan maula. Seperti yang dikatakan oleh Al-Fadl ibnu Abbas dalam salah
satu bait syairnya, yaitu:
مَهْلا بَنِي عَمّنا مَهْلا مَوالينا ... لَا تُظْهِرَن لَنَا ما كَانَ مدفُونا
Tunggulah, hai anak-anak paman kami,
mawali kami, jangan sekali-kali tampak di antara kita hal-hal yang sejak lalu
terpendam!
Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud oleh firman-Nya: dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat. (An-Nisa: 33) Yakni berupa harta
peninggalan kedua orang tua dan kaum kerabat.
Takwil ayat: Bagi masing-masing dari kalian, hai manusia, telah kami jadikan
para 'asabah yang akan mewarisinya, yaitu dari harta pusaka yang ditinggalkan
oleh orang tua dan kaum kerabatnya sebagai warisannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَالَّذِينَ
عَقَدَتْ أَيْمانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ
Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan
mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33)
Yaitu terhadap orang-orang yang kalian telah bersumpah setia atas nama iman
yang dikukuhkan antara kalian dan mereka, berikanlah kepada mereka bagiannya
dari harta warisan itu, seperti halnya terhadap hal-hal yang telah kalian
janjikan dalam sumpah-sumpah yang berat. Sesungguhnya Allah menyaksikan
perjanjian dan transaksi yang terjadi di antara kalian.
Ketentuan hukum ini berlaku di masa permulaan Islam, kemudian hukum ini
dimansukh sesudahnya. Tetapi mereka tetap diperintahkan agar memenuhi janji
terhadap orang-orang yang mengadakan perjanjian dengan mereka, dan mereka tidak
boleh melupakan keberadaan transaksi yang telah mereka lakukan setelah ayat ini
diturunkan.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu
Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Umamah, dari Idris, dari Talhah
ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan Kami jadikan
pewaris-pewaris. (An-Nisa: 33) Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini
ialah pewaris-pewaris. Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah
setia dengan mereka. (An-Nisa: 33) Dahulu ketika kaum Muhajirin tiba di
Madinah; seorang Muhajir mewarisi harta seorang Ansar, bukan kaum kerabat orang
Ansar itu sendiri, karena persaudaraan yang telah digalakkan oleh Nabi Saw. di
antara mereka. Tetapi ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah Swt.:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan, Kami jadikan pewaris-pewarisnya.
(An-Nisa: 33) Maka hukum tersebut dimansukh. Kemudian Ibnu Abbas membacakan
firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia
dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Yaitu
berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat, sedangkan hak waris sudah ditiadakan
dan yang ada baginya adalah bagian dari wasiat.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa Abu Usamah mendengar dari Idris, dan
Idris mendengar dari Talhah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj,
telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Idris
Al-Audi, telah menceritakan kepadaku Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan (jika ada)
orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33),
hingga akhir ayat. Dahulu kaum Muhajirin ketika tiba di Madinah; seorang Muhajir
dapat mewaris seorang Ansar, bukan kaum kerabat orang Ansar itu sendiri, karena
berkat persaudaraan yang dicanangkan oleh Rasulullah Saw. di antara mereka.
Ketika diturunkan firman-Nya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta
yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabatnya, Kami jadikan
pewaris-pewarisnya. (An-Nisa: 33) maka ketentuan tersebut dimansukh,
kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang
kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka
bagiannya. (An-Nisa: 33)
حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ، حَدَّثَنَا حَجّاج، عَنِ ابْنِ جُرَيْج
-وَعُثْمَانُ بْنُ عَطَاءٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: {وَالَّذِينَ
عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ} فَكَانَ الرَّجُلُ قَبْلَ
الْإِسْلَامِ يُعَاقِدُ الرَّجُلَ، يَقُولُ: تَرِثُنِي وَأَرِثُكَ وَكَانَ
الْأَحْيَاءُ يَتَحَالَفُونَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "كُلُّ حِلْف كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَوْ عَقْد أدْرَكَه الإسلامُ،
فَلَا يَزِيدُه الإسلامُ إِلَّا شدَّةً، وَلَا عَقْد وَلَا حِلْفٌ فِي الإسلامِ".
فَنَسَخَتْهَا هَذِهِ الْآيَةُ: {وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ
فِي كِتَابِ اللَّهِ}
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah
menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata,
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang
kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka
bagiannya. (An-Nisa: 33) Dahulu sebelum Islam, seorang lelaki mengadakan
transaksi perjanjian dengan lelaki lain, lalu ia mengatakan kepadanya, "Engkau
dapat mewarisiku dan aku dapat mewarisimu." Hal seperti ini telah membudaya di
kalangan banyak kabilah, yakni saling bersumpah setia. Maka Rasulullah Saw.
bersabda: Setiap sumpah setia atau transaksi perjanjian di masa Jahiliah,
kemudian dijumpai oleh masa Islam, maka Islam tidak menambahkan kepadanya
melainkan hanya memperkuatnya; tetapi tidak ada transaksi dan tidak ada sumpah
setia lagi di masa Islam. Kemudian ketentuan tersebut dimansukh oleh ayat
ini, yaitu firman-Nya: Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di
dalam Kitabullah. (Al-Anfal: 75)
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu
Jubair, Mujahid, Ata, Al-Hasan, Ibnul Musayyab, Abu Saleh, Sulaiman ibnu Yasar,
Asy-Sya'bi, Ikrimah, As-Saddi, Ad-Dahhak, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan,
bahwa mereka (yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka) adalah
hulafa (saudara sepakta).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu Usamah, dari Zakaria, dari
Sa'id ibnu Ibrahim yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tidak ada sumpah pakta dalam Islam. Tetapi sumpah pakta apa pun yang terjadi
di masa Jahiliah, maka Islam tidak menambahkan kepadanya, melainkan hanya
memperkuatnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam Nasai meriwayatkannya
melalui hadis Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq, dari Zakaria, dari Said ibnu Ibrahim,
dari Nafi', dari Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya dengan lafaz yang sama.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ شَرِيكٌ، عَنْ
سِمَاك، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا مُصْعَبُ
بْنُ الْمِقْدَامِ، عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ يُونُسَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا حِلْفَ فِي
الْإِسْلَامِ، وكلُّ حِلْف كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ
إِلَّا شِدَّة، وَمَا يَسُرُّني أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَم وَإِنِّي نَقَضْتُ
الحِلْفَ الَّذِي كَانَ فِي دَارِ النَّدْوة"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Waki’, dari Syarik, dari Sammak, dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda. Telah
menceritakan pula kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mus'ab
ibnul Miqdam, dari Israil, dari Yunus, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman maula
keluarga Talhah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada hilf (sumpah pakta) dalam Islam;
dan setiap hilf yang terjadi di masa Jahiliah, maka Islam tidak menambahkan
kepadanya, melainkan hanya mengukuhkannya. Dan tidak menggembirakan diriku bila
aku mempunyai ternak unta, sedangkan aku berbuat melanggar hilf yang pernah
dilakukan di Darun Nudwah.
Demikianlah menurut lafaz Ibnu Jarir.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ
عُلَيَّة، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"شهِدتُ حِلْف المُطيَّبين، وَأَنَا غُلامٌ مَعَ عُمُومتي، فَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي
حُمْرَ النَّعَم وَأَنَا أنكثُهُ". قَالَ الزُّهْرِيُّ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَمْ يُصب الإسلامُ حِلْفا إِلَّا زَادَهُ
شِدَّةً". قَالَ: "وَلَا حِلْف فِي الْإِسْلَامِ". وَقَدْ أَلَّفَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ قُرَيْشٍ وَالْأَنْصَارِ.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Abdur Rahman ibnu
Ishaq, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya, dari Abdur Rahman
ibnu Auf, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku menyaksikan hilf
Tayyibin ketika aku masih berusia remaja bersama paman-pamanku, dan aku tidak
suka bila aku mempunyai ternak unta yang unggul, tetapi harus dengan melanggar
hilf tersebut. Az-Zuhri mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tidak sekali-kali Islam memperoleh hilf melainkan menambahkan kepadanya
kekukuhan. Nabi Saw. telah bersabda pula: Tidak ada hilf dalam
Islam. Sesungguhnya Nabi Saw. pernah menyatukan antara orang-orang
Quraisy dan orang-orang Ansar.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Bisyr ibnul Mufaddal, dari
Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri dengan selengkapnya.
وَحَدَّثَنِي
يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هُشَيْم، أَخْبَرَنِي مُغِيرَةُ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ شُعْبَةَ بْنِ التَّوْأَمِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ: أَنَّهُ
سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْحِلْفِ، قَالَ:
فَقَالَ: "مَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَمَسَّكُوا بِهِ، وَلَا
حِلْفٍ فِي الْإِسْلَامِ".
Telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada
kami Hasyim, telah menceritakan kepadaku Mugirah, dari ayahnya, dari Syu'bah
ibnut Tauam, dari Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw.
tentang hilf, maka Nabi Saw. bersabda: Hilf yang dilakukan di masa Jahiliah
pegang teguhlah oleh kalian, tetapi tidak ada hilf lagi di dalam Islam.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ahmad, dari Hasyim.
وَحَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ
ابْنِ جُدْعان، عَنْ جَدَّتِهِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا حِلْف فِي الْإِسْلَامِ، وَمَا كَانَ مِنْ
حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا
شِدَّةً"
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Daud ibnu Abu Abdullah, dari ibnu Jad'an, dari neneknya dari Ummu
Salamah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada hilf dalam Islam;
dan hilf yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya
kecuali kekukuhan.
وَحَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: لَمَّا
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ
قَامَ خَطِيبًا فِي النَّاسِ فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، مَا كَانَ مِنْ
حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، لَمْ يَزِدْه الإسْلامُ إِلَّا شِدَّةً، وَلَا حِلْفَ
فِي الإسلامِ".
Telah menceritakan kepada kami Kuraib, telah menceritakan kepada kami Yunus
ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari
kakeknya yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Saw. memasuki Mekah pada hari
kemenangan atas kota Mekah, maka beliau berdiri seraya berkhotbah kepada
orang-orang banyak. Beliau bersabda: Hai manusia sekalian, hilf yang terjadi
di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan, tetapi
tidak ada hilf dalam Islam.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadis Husain Al-Mu'allim dan
Abdur Rahman ibnul Haris dari Amr ibnu Syu'aib dengan lafaz yang sama.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ
نُمَيْرٍ وَأَبُو أُسَامَةَ، عَنْ زَكَرِيَّا، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لَا حِلْفَ فِي الإسْلامِ، وَأَيُّمَا حِلْفٍ كَانَ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْه الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu Usamah, dari Zakaria, dari
Sa'd ibnu Ibrahim, dari ayahnya, dari Jubair ibnu Mut'im yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada hilf dalam Islam, dan hilf apa pun
yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali
kekukuhan.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah ibnu Muhammad
(yaitu Abu Bakar ibnu Abu Syaibah) dengan sanadnya dan dengan lafaz yang
semisal.
Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Usman, dari Muhammad ibnu Abu Syaibah,
dari Muhammad ibnu Bisyr dan Ibnu Numair serta Abu Usamah, ketiga-tiganya dari
Zakaria (yaitu Ibnu Abu Zaidah) dengan sanadnya dan dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Muhammad ibnu Bisyr dengan lafaz
yang sama.
Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui hadis Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq,
dari Zakaria, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Nafi' ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari
ayahnya dengan lafaz yang sama.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ: مُغِيرَةُ أَخْبَرَنِي، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ شُعْبَةَ بْنِ التَّوْأَمِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ: أَنَّهُ
سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْحِلْفِ، فَقَالَ:
"مَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَمَسَّكُوا بِهِ، وَلَا حِلْفَ فِي
الإسْلامِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah
menceritakan kepada kami Mugirah, dari ayahnya, dari Syu'bah ibnut Tauam, dari
Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah berta-nya kepada Nabi Saw. tentang hilf. Maka
beliau Saw. bersabda: Terhadap hilf yang telah terjadi di masa Jahiliah,
pegang teguhlah oleh kalian, tetapi tidak ada hilf dalam Islam.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Syu'bah, dari Mugirah, (yaitu Ibnu Miqsam),
dari ayahnya dengan lafaz yang sama.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnul Husain yang menceritakan
bahwa ia pernah belajar kepada Ummu Sa'd bintir Rabi' bersama anak laki-laki
Ummu Sa'd (Musa ibnu Sa'd); saat itu ia sebagai seorang anak yatim yang berada
di dalam pemeliharaan Abu Bakar. Lalu ia membaca firman-Nya kepada Ummu Sa'd
dengan qiraah (bacaan) berikut:
والذين
عاقدت أَيْمَانُكُمْ
Dan (jika ada) orang-orang yang bersumpah setia kepada kalian.
(An-Nisa: 33) Maka Ummu Sa'd menjawab, "Tidak begitu, tetapi seperti ini,"
yaitu:
وَالَّذِينَ
عَقَدَتْ أَيْمانُكُمْ
Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan
mereka. (An-Nisa: 33)
Ummu Sa'd berkata, "Sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan
peristiwa Abu Bakar dan anaknya (yakni Abdur Rahman), yaitu ketika Abdur Rahman
menolak masuk Islam. Maka Abu Bakar bersumpah bahwa ia tidak akan memberinya
warisan. Tetapi setelah Abdur Rahman masuk Islam —saat Islam mulai melakukan
peperangan—, maka Allah memerintahkan agar Abu Bakar memberikan bagian warisan
kepada Abdur Rahman.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula.
Akan tetapi, pendapat ini garib. Pendapat yang sahih adalah yang pertama
tadi, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi pada permulaan
Islam, mereka saling mewaris melalui hilf (sumpah setia), kemudian
ketentuan ini dimansukh (dihapuskan).
Tetapi bekas pengaruh dari tradisi hilf masih membekas, sekalipun
mereka diperintahkan agar menunaikan janji-janji dan semua transaksi serta
hilf yang pernah mereka lakukan sebelum itu.
Dalam hadis Jubair ibnu Mut'im yang disebutkan di atas, juga sahabat lainnya
menyebutkan:
لَا
حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ، وَأَيُّمَا حِلْفٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ
يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً.
Tidak ada hilf dalam Islam, dan hilf apa pun yang terjadi di masa
Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.
Hadis ini merupakan nas yang membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa
di masa sekarang ada saling mewaris karena hilf, seperti yang dikatakan
oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta suatu riwayat dari Imam
Ahmad ibnu Hambal.
Pendapat yang benar adalah yang dikatakan oleh jumhur ulama, Imam Malik, dan
Imam Syafii serta Imam Ahmad menurut riwayat yang terkenal darinya. Mengingat
firman Allah Swt. menyebutkan:
{وَلِكُلٍّ
جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ}
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan oleh ibu
bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. (An-Nisa: 33)
Yaitu para pewaris dari kalangan kaum kerabatnya yang dari seibu sebapak,
juga kaum kerabat lainnya; merekalah yang akan mewarisi hartanya, bukan orang
lain.
Seperti yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Abbas, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«أَلْحِقُوا
الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ
ذَكَرٍ»
Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada pemiliknya masing-masing; dan apa
yang masih tersisa, maka berikanlah kepada kerabat lelaki yang paling
dekat.
Dengan kata lain, bagikanlah harta warisan kepada ahli waris yang mempunyai
bagian-bagian tertentu yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam dua ayat faraid;
dan sisa yang masih ada sesudah pembagian tersebut, berikanlah kepada
asabah.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَالَّذِينَ
عَقَدَتْ أَيْمانُكُمْ
Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan
mereka. (An-Nisa: 33)
Yakni sebelum turunnya ayat ini.
فَآتُوهُمْ
نَصِيبَهُمْ
maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33)
Yaitu dari harta warisan yang ada. Maka hilf apa pun yang dilakukan
sesudah itu, hilf tidak berarti lagi. Menurut suatu pendapat,
sesungguhnya ayat ini memansukh hilf di masa mendatang, juga hukum
hilf di masa yang lalu; maka tidak ada saling mewaris lagi di antara
orang-orang yang terlibat di dalam hilf (sumpah setia).
Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami
Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah
menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah menceritakan kepadaku Talhah ibnu
Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Yaitu berupa
pertolongan, bantuan, dan nasihat; diberikan wasiat kepadanya, tetapi tidak ada
hak waris lagi baginya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Abu Usamah. Hal yang sama
diriwayatkan dari Mujahid serta Abu Malik dengan lafaz yang semisal.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia
dengan mereka. (An-Nisa: 33) Di masa lalu seorang lelaki mengadakan
transaksi dengan lelaki lain yang isinya menyatakan bahwa siapa saja di antara
keduanya meninggal dunia, maka ia dapat mewarisinya. Maka Allah menurunkan
firman-Nya:
وَأُولُوا
الْأَرْحامِ بَعْضُهُمْ أَوْلى بِبَعْضٍ فِي كِتابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُهاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلى أَوْلِيائِكُمْ
مَعْرُوفاً
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewaris) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang
Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara
(seagama) kalian. (Al-Ahzab: 6)
Allah Swt. bermaksud kecuali jika kalian menetapkan suatu wasiat buat mereka,
maka hal tersebut diperbolehkan diambil dari sepertiga harta peninggalan. Hal
inilah yang kita maklumi. Hal yang sama di-naskan oleh bukan hanya seorang dari
kalangan ulama Salaf, bahwa hukum ini dimansukh oleh firman-Nya: Dan
orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada
saudara-saudara (seagama) kalian. (Al-Ahzab: 6)
Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna yang dimaksud ialah berikanlah kepada mereka
bagian warisannya. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa sahabat Abu bakar
mengadakan transaksi dengan seorang maula (bekas budaknya), maka Abu Bakar dapat
mewarisinya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Az-Zuhri meriwayatkan dari Ibnul Musayyab, bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan orang-orang yang mengadopsi anak angkat, lalu anak-anak angkat
mereka mewarisi hartanya. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya sehubungan dengan
mereka, maka Dia menjadikan bagi mereka bagian dari wasiat, sedangkan warisan
diberikan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mayat dari
kalangan kaum kerabatnya dan para asabah-nya. Allah menolak adanya hak waris
bagi anak angkat, dan hanya memberikan bagian bagi mereka melalui wasiat si
mayat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan makna yang dimaksud oleh firman-Nya: maka berilah
kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Berupa pertolongan, bantuan, dan
nasihat, bukan memberi mereka bagian warisan dari harta si mayat, tanpa
mengatakan bahwa ayat ini dimansukh. Hal tersebut bukan pula merupakan suatu
hukum di masa lalu yang kemudian dimansukh, melainkan ayat ini hanya menunjukkan
kepada pengertian wajib menunaikan hilf yang telah disepakati, yaitu
saling membantu dan saling menolong (bukan saling mewaris). Kesimpulan ayat ini
bersifat muhkam dan tidak dimansukh. Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh
Ibnu Jarir ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya di antara
hilf itu ada yang isinya hanya menyatakan kesetiaan untuk saling membantu
dan saling menolong, tetapi ada pula yang isinya menyatakan saling mewarisi,
seperti yang diriwayatkan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Juga seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa dahulu seorang Muhajir dapat
mewarisi seorang Ansar, bukan kaum kerabat atau famili si orang Ansar, lalu
hukum ini dimansukh. Mana mungkin dikatakan bahwa ayat ini muhkam dan tidak
dimansukh?
An-Nisa, ayat 34
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا
تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
(34)
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Firman Allah Swt.:
الرِّجالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّساءِ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34)
Dengan kata lain, lelaki itu adalah pengurus wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya jika menyimpang.
{بِمَا
فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ}
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). (An-Nisa: 34)
Yakni karena kaum laki-laki lebih afdal daripada kaum wanita, seorang lelaki lebih baik daripada seorang wanita, karena itulah maka nubuwwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum laki-laki. Demikian pula seorang raja. Karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«لَنْ
يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»
Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita.
Hadis riwayat Imam Bukhari melalui Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya. Demikian pula dikatakan terhadap kedudukan peradilan dan lain-lainnya.
وَبِما
أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوالِهِمْ
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34)
Berupa mahar (mas kawin), nafkah, dan biaya-biaya lainnya yang diwajibkan oleh Allah atas kaum laki-laki terhadap kaum wanita, melalui kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya.
Diri lelaki lebih utama daripada wanita, laki-laki mempunyai keutamaan di atas wanita, juga laki-lakilah yang memberikan keutamaan kepada wanita. Maka sangat sesuailah bila dikatakan bahwa lelaki adalah pemimpin wanita. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَلِلرِّجالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni menjadi kepala atas mereka; seorang istri diharuskan taat kepada suaminya dalam hal-hal yang diperintahkan oleh Allah yang mengharuskan seorang istri taat kepada suaminya. Taat kepada suami ialah dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta suami. Hal yang sama dikatakan oleh Muqatil, As-Saddi, dan Ad-Dahhak.
Al-Hasan Al-Basri meriwayatkan bahwa ada seorang istri datang kepada Nabi Saw. mengadukan perihal suaminya yang telah menamparnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Balaslah!" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Akhirnya si istri kembali kepada suaminya tanpa ada qisas (pembalasan).
Ibnu Juraij dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Al-Hasan Al-Basri. Hal yang sama di-mursal-kan hadis ini oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Saddi. Semuanya itu diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Murdawaih menyandarkan hadis ini ke jalur yang lain. Untuk itu ia mengatakan:
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عَلِيٍّ النَّسَائِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الْهَاشِمِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْأَشْعَثُ، حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ مُوسَى بْنِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي
أَبِي، عَنْ جَدِّي، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ علي قال:
أَتَى النَّبِيَّ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ بِامْرَأَةٍ لَهُ، فَقَالَتْ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ زَوْجَهَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ الْأَنْصَارِيُّ، وَإِنَّهُ
ضَرَبَهَا فَأَثَّرَ فِي وَجْهِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ليْسَ ذَلِكَ لَه". فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ [بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ]}
أَيْ: قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ فِي الْأَدَبِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَرَدْتُ أمْرًا وأرَادَ اللَّهُ
غَيْرَه"
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali An-Nasai, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hibatullah Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhammad Al-Asy'as, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail ibnu Musa ibnu Ja'far ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa ayahku telah menceritakan kepada kami, dari kakekku, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali yang menceritakan bahwa datang kepada Rasulullah Saw. seorang lelaki dari kalangan Ansar dengan seorang wanita mahramnya. Lalu si lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya suami wanita ini (yaitu Fulan bin Fulan Al-Ansari) telah menampar wajahnya hingga membekas padanya." Rasulullah Saw. bersabda, "ia tidak boleh melakukan hal itu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni dalam hal mendidik. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Aku menghendaki suatu perkara, tetapi ternyata Allah menghendaki yang lain.
Hadis ini di-mursal-kan pula oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Saddi; semuanya diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34) Yaitu mas kawin yang diberikan oleh laki-laki kepadanya. Tidakkah Anda melihat seandainya si suami menuduh istrinya berzina, maka si suami melakukan mula'anah terhadapnya (dan bebas dari hukuman had). Tetapi jika si istri menuduh suaminya berbuat zina, si istri dikenai hukuman dera.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "As-Salihat," artinya wanita-wanita yang saleh.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "Qanitat menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yang dimaksud ialah istri-istri yang taat kepada suaminya.
{حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ}
lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya. (An-Nisa: 34)
Menurut As-Saddi dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah wanita yang memelihara kehormatan dirinya dan harta benda suaminya di saat suaminya tidak ada di tempat.
*******************
Firman Allah Swt.:
بِما
حَفِظَ اللَّهُ
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (An-Nisa: 34)
Orang yang terpelihara ialah orang yang dipelihara oleh Allah.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنَا
أَبُو مَعْشَر، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمقبري، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"خَيرُ النساءِ امرأةٌ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذَا أمَرْتَها
أطاعتكَ وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظتْكَ فِي نَفْسِها ومالِكَ". قَالَ: ثُمَّ
قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ} إِلَى آخِرِهَا.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik wanita ialah seorang istri yang apabila kamu melihat kepadanya, membuatmu gembira; dan apabila kamu memerintahkannya, maka ia menaatimu; dan apabila kamu pergi meninggalkan dia, maka ia memelihara kehormatan dirinya dan hartamu. Abu Hurairah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Yunus ibnu Habib, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Zi-b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang semisal.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا ابْنُ
لَهِيعة، عَنْ عُبيد اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرَ: أَنَّ ابْنَ قَارِظٍ أَخْبَرَهُ:
أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا صَلَّت الْمَرْأَةُ خَمسها، وَصَامَتْ شَهْرَهَا
وَحَفِظَتْ فَرْجَها؛ وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ
أيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abdullah ibnu Abu Ja'far; Ibnu Qariz pernah menceritakan kepada-nya bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Seorang wanita itu apabila mengerjakan salat lima waktunya, puasa bulan (Ramadan)nya, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, "Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana pun yang kamu sukai."
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid (menyendiri) oleh Imam Ahmad melalui jalur Abdullah ibnu Qariz, dari Abdur Rahman ibnu Auf.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَاللَّاتِي
تَخافُونَ نُشُوزَهُنَّ
Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya. (An-Nisa: 34)
Yakni wanita-wanita yang kalian khawatirkan bersikap membangkang terhadap suaminya.
An-Nusyuz artinya tinggi diri; wanita yang nusyuz ialah wanita yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya. Apabila timbul tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, hendaklah si suami menasihati dan menakutinya dengan siksa Allah bila ia durhaka terhadap dirinya. Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadanya agar taat kepada suaminya dan haram berbuat durhaka terhadap suami, karena suami mempunyai keutamaan dan memikul tanggung jawab terhadap dirinya. Rasulullah Saw. sehubungan dengan hal ini telah bersabda:
"لَوْ
كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجد لِأَحَدٍ لأمرتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ
لِزَوْجِهَا، مِنْ عِظَم حَقِّه عَلَيْهَا"
Seandainya aku diberi wewenang untuk memerintah seseorang agar bersujud terhadap orang lain, niscaya aku perintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena hak suami yang besar terhadap dirinya.
Imam Bukhari meriwayatkan melalui Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امرَأتَهُ إِلَى فِرَاشِه فأبَتْ عَلَيْهِ، لَعَنَتْهَا
الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِح"
Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu si istri menolaknya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.
Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut:
"إِذَا
بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجرة فِراش زَوْجِها، لَعْنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى
تُصبِح"
Apabila seorang istri tidur semalam dalam keadaan memisahkan diri dari tempat tidur dengan suaminya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.
Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَاللاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ}
Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka. (An-Nisa: 34)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضاجِعِ
dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka. (An-Nisa: 34)
Menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah hendaklah si suami tidak menyetubuhinya, tidak pula tidur bersamanya; jika terpaksa tidur bersama. maka si suami memalingkan punggungnya dari dia.
Hal yang sama dikatakan pula oleh bukan hanya seorang. Tetapi ulama yang lainnya, antara lain As-Saddi, Ad-Dahhak, Ikrimah, juga Ibnu Abbas menurut riwayat yang lain mengatakan bahwa selain itu si suami jangan berbicara dengannya, jangan pula mengobrol dengannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, hendaknya si suami menasihatinya sampai si istri kembali taat. Tetapi jika si istri tetap membangkang, hendaklah si suami berpisah dengannya dalam tempat tidur, jangan pula berbicara dengannya, tanpa menyerahkan masalah nikah kepadanya; yang demikian itu terasa berat bagi pihak istri.
Mujahid, Asy-Sya'bi, Ibrahim, Muhammad ibnu Ka’b, Miqsam, dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hajru ialah hendaknya si suami tidak menidurinya.
قَالَ
أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ
عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي حَرَّةَ الرَّقَاشِيِّ، عَنْ عَمِّهِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "فَإِن خِفْتُمْ نُشُوزَهُنَّ
فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ" قَالَ حَمَّادٌ: يَعْنِي
النِّكَاحَ
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid. dari Abu Murrah Ar-Raqqasyi, dari pamannya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Jika kalian merasa khawatir mereka akan nusyuz (membangkang), maka pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka. Hammad mengatakan bahwa yang dimaksud ialah jangan menyetubuhinya.
Di dalam kitab sunan dan kitab musnad disebutkan dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, bahwa ia pernah bertanya:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ امْرَأَةِ أَحَدِنَا؟ قَالَ: "أَنْ تُطعمها إِذَا
طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِب الوَجْهَ وَلَا
تُقَبِّح، وَلَا تَهْجُر إِلَّا فِي البَيْتِ"
"Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri di antara kami atas diri suaminya?" Nabi Saw. menjawab: Hendaknya kamu memberi dia makan jika kamu makan, dan memberinya pakaian jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah dan jangan memburuk-burukkan, janganlah kamu mengasingkannya kecuali dalam lingkungan rumah.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَاضْرِبُوهُنَّ
dan pukullah mereka. (An-Nisa: 34)
Yakni apabila nasihat tidak bermanfaat dan memisahkan diri dengannya tidak ada hasilnya juga, maka kalian boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda dalam haji wada'-nya:
واتَّقُوا
اللهَ فِي النِّساءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ
أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ
ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن بِالْمَعْرُوفِ"
Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yaitu dengan pukulan yang tidak melukakan.
Menurut Al-Hasan Al-Basri, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak membekas.
Ulama fiqih mengatakan, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuh pun, dan tidak membekas barang sedikit pun.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas; jika si istri nusyuz, hendaklah si suami memisahkan diri dari tempat tidurnya. Jika si istri sadar dengan cara tersebut, maka masalahnya sudah selesai. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah mengizinkan kepadamu untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak melukakan, dan janganlah kamu mematahkan suatu tulang pun dari tubuhnya, hingga ia kembali taat kepadamu. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah telah menghalalkan bagimu menerima tebusan (khulu') darinya.
Sufyan ibnu Uyaynah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah ibnu Umar, dari Iyas ibnu Abdullah ibnu Abu Ziab yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"لَا
تَضْرِبوا إماءَ اللهِ". فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ذئِرَت النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ. فَرَخَّصَ
فِي ضَرْبِهِنَّ، فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَقَدْ أطافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ
يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ، لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ"
Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah! Maka datanglah Umar r.a. kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan, "'Banyak istri yang membangkang terhadap suaminya," Lalu Rasulullah Saw. memperbolehkan memukul mereka (sebagai pelajaran). Akhirnya banyak istri datang kepada keluarga Rasulullah Saw. mengadukan perihal suami mereka. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya banyak istri yang berkerumun di rumah keluarga Muhammad mengadukan perihal suami mereka; mereka (yang berbuat demikian terhadap istrinya) bukanlah orang-orang yang baik dari kalian.
Hadis riwayat Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ -يَعْنِي أَبَا دَاوُدَ
الطَّيَالِسِيَّ-حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ دَاوُدَ الأوْدِيِّ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ المُسْلي عَنِ الْأَشْعَثِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ ضفْتُ عُمَرَ،
فَتَنَاوَلَ امْرَأَتَهُ فَضَرَبَهَا، وَقَالَ: يَا أَشْعَثُ، احْفَظْ عَنِّي
ثَلَاثًا حَفظتهن عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا
تَسألِ الرَّجُلَ فِيمَ ضَرَبَ امرَأَتَهُ، وَلَا تَنَم إِلَّا عَلَى وِتْر
...
وَنَسِيَ الثَّالِثَةَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud (yakni Abu Daud At-Tayalisi), telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi, dari Abdur Rahman As-Sulami, dari Al-Asy’as ibnu Qais yang menceritakan, "Aku pernah bertamu di rumah Umar r.a. Lalu Umar memegang istrinya dan menamparnya, setelah itu ia berkata, 'Hai Asy'as, hafalkanlah dariku tiga perkara berikut yang aku hafalkan dari Rasulullah Saw. yaitu: Janganlah kamu menanyai seorang suami karena telah memukul istrinya, dan janganlah kamu tidur melainkan setelah mengerjakan witir'." Al-Asy'as lupa perkara yang ketiganya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, dari hadis Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi dengan lafaz yang sama.
*******************
Firman Allah Swt.:
فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. (An-Nisa: 34)
Artinya, apabiia seorang istri taat kepada suaminya dalam semua apa yang dikehendaki suaminya pada diri si istri sebatas yang dihalalkan oleh Allah, maka tidak ada jalan bagi si suami untuk menyusahkannya, dan suami tidak boleh memukulnya, tidak boleh pula mengasingkannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنَّ
اللَّهَ كانَ عَلِيًّا كَبِيراً
Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (An-Nisa: 34)
Mengandung ancaman terhadap kaum laki-laki jika mereka berlaku aniaya terhadap istri-istrinya tanpa sebab, karena sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar yang akan menolong para istri; Dialah yang akan membalas terhadap lelaki (suami) yang berani berbuat aniaya terhadap istrinya.
An-Nisa, ayat 35
وَإِنْ
خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ
أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (35)
Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam pembahasan pertama disebutkan bilamana nusyuz dan membangkang timbul
dari pihak istri, kemudian dalam pembahasan ini disebutkan bilamana nusyuz
timbul dari kedua belah pihak. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَإِنْ
خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ
أَهْلِهَا}
Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)
Ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi persengketaan di antara sepasang
suami istri, maka hakimlah yang melerai keduanya sebagai pihak penengah yang
mempertimbangkan perkara keduanya dan mencegah orang yang aniaya dari keduanya
melakukan perbuatan aniayanya.
Jika perkara keduanya bertentangan juga dan persengketaan bertambah panjang,
maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya dari keluarga si perempuan dan
seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki, lalu keduanya berkumpul untuk
mempertimbangkan perkara kedua pasangan yang sedang bersengketa itu. Kemudian
keduanya melakukan hal yang lebih maslahat baginya menurut pandangan keduanya,
antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami istri. Akan tetapi, imbauan
syariat menganjurkan untuk tetap utuh sebagai suami istri. Karena itulah
disebutkan di dalam firman-Nya:
{إِنْ
يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا}
Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan
agar mereka mengundang seorang lelaki yang saleh dari kalangan keluarga
laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal dari kalangan keluarga si
perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari fakta, siapa di
antara keduanya yang berbuat buruk. Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk
adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi dari istrinya,
dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap memberi nafkah. Jika
yang berbuat buruk adalah pihak perempuan. maka mereka para hakam mengenakan
sanksi terhadapnya untuk tetap di bawah naungan suaminya, tetapi mereka
mencegahnya untuk mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau
mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami istri,
hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika kedua hakam berpendapat
sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari
suami istri yang bersangkutan rela dan yang lainnya tidak; kemudian salah
seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak
rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu
Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu
Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Aku dan
Mu'awiyah pernah diutus sebagai hakam." Ma'mar melanjutkan kisahnya, bahwa yang
mengutus kedua-ya adalah Khalifah Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya,
"Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu dikumpulkan
kembali, kamu berdua boleh menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua berpendapat
sebaiknya keduanya dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah
menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Aqil ibnu Abu Talib kawin dengan
Fatimah binti Atabah ibnu Rabi'ah. Maka Fatimah binti Atabah berkata, "Kamu ikut
denganku dan aku bersedia menafkahimu." Tersebutlah apabila Aqil masuk menemui
istrinya, istrinya berkata, "Di manakah Atabah ibnu Rabi'ah dan Syaibah ibnu
Rabi'ah?" Lalu Aqil menjawabnya, "Di sebelah kirimu di neraka jika kamu
memasukinya." Mendengar jawaban itu Fatimah binti Atabah merapikan bajunya, lalu
datang kepada Khalifah Usman dan menceritakan kepadanya perihal suaminya itu.
Maka Khalifah Usman tertawa, lalu mengutus Ibnu Abbas dan Mu'awiyah untuk
melerai keduanya.
Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar akan memisahkan keduanya."
Lain halnya dengan Mu'awiyah, ia mengatakan.”Aku tidak akan memisahkan di antara
dua orang dari kalangan Bani Abdu Manaf." Ketika Ibnu Abbas dan Mu'awiyah datang
kepada keduanya, ternyata mereka berdua menjumpai pintu rumahnya tertutup bagi
mereka. Akhirnya Ibnu Abbas dan Mu'awiyah kembali.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub,
dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah yang menceritakan bahwa ia pernah
menyaksikan sahabat Ali kedatangan seorang wanita dan seorang lelaki (suami
istri). Masing-masing dari keduanya diiringi oleh sejumlah orang. Akhirnya
Khalifah Ali mengangkat salah seorang dari suatu rombongan sebagai hakam, dan
dari rombongan yang lain seorang hakam lagi. Kemudian ia berkata kepada kedua
hakam itu, "Tahukah kalian, apakah yang harus kalian kerjakan? Sesungguhnya
kewajibanmu adalah jika kamu berdua meiihat bahwa kedua pasangan itu sebaiknya
dikumpulkan, maka kamu harus menyatukannya kembali." Pihak wanita berkata, "Aku
rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah." Pihak laki-laki berkata,
"Aku tidak mau berpisah." Khalifah Ali berkata, "Kamu dusta, demi Allah, kamu
tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum kamu rela dengan keputusan apa pun
berdasarkan Kitabullah."' Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Ya'qub, dari Ibnu Ulayyah. dari Ayyub,
dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang semisal. Ibnu Jarir
meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali
dengan lafaz yang sama.
Para ulama sepakat bahwa dua orang hakam diperbolehkan menyatukan dan
memisahkan, hingga Ibrahim An-Nakha'i mengatakan.”Jika dua orang hakam
menghendaki perpisahan di antara pasangan yang bersangkutan, keduanya boleh
menjatuhkan sekali talak, atau dua kali talak, atau tiga kali talak secara
langsung." Pendapat ini menurut riwayat yang bersumber dari Imam Malik.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dua orang hakam mempunyai hak sepenuhnya
untuk mempersatukan pasangan yang bersangkutan, tetapi tidak untuk
memisahkannya.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam. Pendapat inilah
yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Saur, dan Imam Daud.
Dalil mereka ialah firman Allah Swt. yang mengatakan: Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami istri itu. (An-Nisa: 35) Ternyata dalam ayat ini tidak disebutkan
masalah memisahkan suami istri yang bersangkutan.
Jika kedua orang tersebut sebagai wakil dari masing-masing pihak yang
bersangkutan, maka hukum yang ditetapkan keduanya dapat dilaksanakan, baik yang
menyimpulkan menyatukan kembali ataupun memisahkan keduanya, tanpa ada seorang
ulama pun yang memperselisihkannya.
Para Imam berselisih pendapat sehubungan dengan kedua hakam ini, apakah
keduanya diangkat oleh hakim, karenanya mereka berdua berhak memutuskan perkara,
sekalipun pasangan suami istri yang bersangkutan tidak puas? Ataukah keduanya
berkedudukan sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan? Sebagai
jawabannya ada dua pendapat.
Jumhur ulama cenderung kepada pendapat yang pertama tadi, karena berdasarkan
kepada firman-Nya yang mengatakan: maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)
Dalam ayat ini keduanya dinamakan hakam, dan sudah sepantasnya bagi hakam
menetapkan keputusannya, sekalipun yang dikenai keputusannya tidak puas.
Pendapat ini merupakan makna lahiriah ayat.
Sedangkan menurut qaul jadid dari mazhab Syafii —juga menurut pendapat Imam
Abu Hanifah serta semua murid-muridnya— cenderung kepada pendapat yang kedua,
karena berdasarkan kepada perkataan Khalifah Ali r.a. kepada seorang suami yang
mengatakan, "Aku tidak menginginkan perpisahan," lalu Ali r.a. berkata, "Kamu
dusta, sebelum kamu mengakui seperti pengakuan yang dilakukan oleh istrimu."
Mereka mengatakan, "Seandainya kedua orang tersebut benar-benar hakam. niscaya
tidak diperlukan adanya ikrar dari pihak suami."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa para ulama sepakat dua orang
hakam itu apabila pendapat keduanya berbeda, maka pendapat pihak lain tidak
dianggap. Tetapi mereka sepakat bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila
menyangkut penyatuan kembali, sekalipun pihak suami istri yang bersangkutan
tidak mengangkat keduanya sebagai wakil dari masing-masing pihak.
Mereka berselisih pendapat, apakah pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila
menyangkut masalah perpisahan? Kemudian diriwayatkan dari jumhur ulama bahwa
pendapat keduanya dapat dilaksanakan sehubungan dengan masalah perpisahan ini,
sekalipun tanpa perwakilan (dari suami istri yang bersangkutan).
An-Nisa, ayat 36
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
(36)
Sembahlah Allah dan janganlah kalian
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu
bapak, karib kerabat. anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kalian
miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.
Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar menyembah Dia semata,
tiada sekutu bagi Dia. Karena sesungguhnya Dialah Yang Maha Pencipta, Maha
Pemberi rezeki, Yang memberi nikmat, Yang memberikan karunia kepada makhluk-Nya
dalam semua waktu dan keadaan. Dialah Yang berhak untuk disembah oleh mereka
dengan mengesakan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dari
makhluk-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam sabda Nabi Saw. kepada Mu'az ibnu
Jabal:
"أتَدْرِي
مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ ؟ " قَالَ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.
قَالَ: "أَنْ يَعْبدُوهُ ولا يُشْرِكُوا
بِهِ شَيْئًا"، ثُمَّ قَالَ: "أتَدْري مَا حَقُّ العبادِ عَلَى اللهِ إِذَا
فَعَلُوا ذَلِكَ؟ أَلَّا يُعَذِّبَهُم"
"Tahukah kamu, apakah hak Allah atas hamba-hamba-Nya?" Mu'az menjawab,
"Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi Saw. bersabda, "Hendaknya mereka
menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun."
Antara lain Nabi Saw. bersabda pula: Tahukah kamu, apakah hak hamba-hamba
Allah atas Allah, apabila mereka mengerjakan hal tersebut? Yaitu Dia tidak akan
mengazab mereka.
Kemudian Nabi Saw. mewasiatkan agar kedua orang tua diperlakukan dengan
perlakuan yang baik, karena sesungguhnya Allah Swt. menjadikan keduanya sebagai
penyebab bagi keberadaanmu dari alam 'adam sampai ke alam wujud. Sering sekali
Allah Swt. menggandengkan antara perintah beribadah kepada-Nya dengan berbakti
kepada kedua orang tua, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
أَنِ
اشْكُرْ لِي وَلِوالِدَيْكَ
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. (Luqman:
14)
وَقَضى
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوالِدَيْنِ
إِحْساناً
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu (Al-Isra: 23)
Kemudian berbuat baik kepada ibu bapak ini diiringi dengan perintah berbuat
baik kepada kaum kerabat dari kalangan kaum laki-laki dan wanita. Seperti yang
disebutkan di dalam sebuah hadis:
«الصَّدَقَةُ
عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ صَدَقَةٌ
وَصِلَةٌ»
Bersedekah kepada orang miskin adalah sedekah, tetapi kepada kerabat
adalah sedekah dan silaturahmi.
*******************
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَالْيَتامى
dan (berbuat baiklah kepada) anak-anak yatim. (An-Nisa: 36)
Demikian itu karena mereka telah kehilangan orang yang mengurus kemaslahatan
mereka dan orang yang memberi mereka nafkah. Maka Allah memerintahkan agar
mereka diperlakukan dengan baik dan dengan penuh kasih sayang.
Kemudian disebutkan oleh firman-Nya:
وَالْمَساكِينِ
dan (berbuat baiklah kepada) orang-orang miskin. (An-Nisa: 36)
Mereka adalah orang-orang yang memerlukan uluran tangan karena tidak
menemukan apa yang dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka. Maka Allah
memerintahkan agar mereka dibantu hingga kebutuhan hidup mereka cukup terpenuhi
dan terbebaskan dari keadaan daruratnya. Pembahasan mengenai fakir miskin ini
akan disebutkan secara rinci dalam tafsir surat Bara’ah (surat At-Taubah).
*******************
Firman Allah Swt.:
وَالْجارِ
ذِي الْقُرْبى وَالْجارِ الْجُنُبِ
dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh. (An-Nisa: 36)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan
jari dzil qurba ialah tetangga yang antara kamu dan dia ada
hubungan kerabat, sedangkan jaril junub ialah tetangga yang antara kamu
dan dia tidak ada hubungan kerabat.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Maimun ibnu Mihran,
Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Muqatil ibnu Hayyan. dan Qatadah.
Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf Al-Bakkali sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat. (An-Nisa:
36) Yakni tetangga yang muslim. dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang
jauh. (An-Nisa: 36) Yakni yang beragama Yahudi dan Nasrani. Demikianlah
menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Jabir Al-Ju'fi meriwayatkan dari Asy-Sya'bi, dari Ali dan Ibnu Mas'ud
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) tetangga
yang dekat. (An-Nisa: 36) Yakni istri.
Mujahid mengatakan pula sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (berbuat
baiklah kepada) tetangga yang jauh. (An-Nisa: 36) Yaitu teman seperjalanan.
Banyak hadis yang menganjurkan berbuat baik kepada tetangga, berikut ini kami
ketengahkan sebagian darinya yang mudah, hanya kepada Allah kami memohon
pertolongan.
Hadis pertama.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ،
عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ: أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ مُحَمَّدًا
يُحَدِّثُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا زَالَ جِبرِيل يُوصِينِي بالْجَارِ حَتِّى ظَنَنْتُ
أَنَّهُ سَيُوَرِثُه".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far,
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Umar ibnu Muhammad ibnu Zaid, bahwa
ia pernah mendengar Muhammad menceritakan hadis berikut dari Abdullah ibnu Umar,
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Jibril masih terus berwasiat kepadaku
mengenai tetangga, hingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya hak
mewaris.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya
masing-masing dengan melalui Muhammad ibnu Zaid ibnu Abdullah ibnu Umar dengan
lafaz yang sama.
Hadis kedua.
قَالَ
الإمامُ أحمدُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ داودَ بنِ شَابُورٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا زالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بالْجَارِ حتى ظننْتُ أنَّه
سَيُوَرِّثُهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Daud ibnu
Syabur, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai tetangga
sehingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya hak mewaris.
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkan hal yang semisal melalui hadis
Sufyan ibnu Uyaynah, dari Basyir Abu Ismail.
Imam Turmuzi menambahkan Daud ibnu Syabur, keduanya (yakni Abu Ismail dan
Daud ibnu Syabur) dari Mujahid dengan lafaz yang sama.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib bila ditinjau
dari sanadnya. Hadis ini diriwayatkan pula dari Mujahid, Aisyah, dan Abu
Hurairah, dari Nabi Saw.
Hadis ketiga.
قَالَ
أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيد، أَخْبَرَنَا حَيْوةُ،
أَخْبَرَنَا شَرْحَبِيلُ بنُ شُرَيكٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الحُبُلي يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بنِ الْعَاصِ، عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه قَالَ: "خَيْرُ الأصْحَابِ عِندَ
اللهِ خَيْرُهُم لِصَاحِبِهِ، وخَيْرُ الجِيرانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ
لِجَارِهِ".
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Yazid, telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah menceritakan kepada kami
Syurahbil ibnu Syarik, bahwa ia pernah mendengar Abu Abdur Rahman Al-Jaili
menceritakan hadis berikut dari Abdullah ibnu Amr ibnul As, dari Nabi Saw.,
bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah orang
yang paling baik kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah
orang yang paling baik kepada tetangganya.
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnul
Mubarak, dari Haiwah ibnu Syuraih dengan lafaz yang sama. Ia mengatakan bahwa
hadis ini garib.
Hadis keempat.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ عَنْ عُمَر قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَشْبَعُ الرَّجُلُ دُونَ
جَارِهِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ayahnya, dari Abayah ibnu
Rifa'ah, dari Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Seorang lelaki tidak boleh kenyang tanpa tetangganya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid
(menyendiri).
Hadis kelima.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلِ بْنِ غَزْوان، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ
الْأَنْصَارِيُّ، سَمِعْتُ أَبَا ظَبْية الكَلاعِيّ، سَمِعْتُ المقدادَ بْنَ
الْأَسْوَدِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِأَصْحَابِهِ: ["مَا تَقُولُونَ فِي الزِّنَا؟ " قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهُ اللهُ
ورسُولُه، فَهُوَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. فَقَالَ: رسولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] لأنْ يَزني الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَة،
أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَن يزنيَ بامرَأَةِ جَارِهِ". قَالَ: مَا تَقُولُونَ فِي
السَّرِقَة؟ قَالُوا: حَرَّمَهَا اللهُ وَرَسُولُهُ فَهِيَ حَرَامٌ. قَالَ "لَأَنْ
يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِن عَشْرَةِ أَبْيَاتٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يسرِقَ
مِنْ جَارِهِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail ibnu Gazwan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'd Al-Ansari yang mengatakan bahwa ia
mendengar dari Abu Zabyah Al-Kala'i yang telah mendengarnya dari Al-Miqdad ibnul
Aswad yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada sahabat-sahabatnya:
"Bagaimanakah menurut kalian perbuatan zina itu?" Mereka menjawab,
"Perbuatan haram yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, zina tetap
diharamkan sampai hari kiamat." Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya bila
seseorang lelaki berbuat zina dengan sepuluh orang wanita, hal ini lebih ringan
baginya daripada ia berbuat zina dengan istri tetangganya." Rasulullah Saw.
bertanya pula, "Bagaimanakah menurut kalian perbuatan mencuri itu?"
Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, dan ia tetap haram
sampai hari kiamat." Rasulullah Saw. menjawab, "Sesungguhnya bila seseorang
lelaki mencuri dari sepuluh rumah, hal ini lebih ringan baginya daripada ia
mencuri dari rumah tetangganya."
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri). Tetapi
hadis ini mempunyai syahid yang memperkuatnya di dalam kitab Sahihain melalui
hadis Ibnu Mas'ud yang mengatakan:
قُلْتُ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أيُّ الذَّنْب أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ
نِدًّا وهُوَ خَلَقَكَ". قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ
خَشْيَةَ أَن يُطْعَم مَعَكَ". قُلتُ: ثُمَّ أيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تُزَاني حَليلةَ
جَارِكَ"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?" Nabi Saw.
menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia Yang
menciptakan kamu." Aku bertanya, "Kemudian apa lagi?" Nabi Saw.
menjawab.”Bila kamu membunuh anakmu karena khawatir dia akan makan
bersamamu." Aku bertanya, "Kemudian apa lagi?" Nabi Saw. menjawab, "Bila
kamu berzina dengan istri tetanggamu."
Hadis keenam.
قَالَ
الإمامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا هِشَامُ، عَنْ حَفْصَةَ، عَنْ
أبِي الْعَالية، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ: خَرَجْتُ مِنْ أَهْلِي أريدُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فإذَا بِهِ قَائِمٌ وَرَجُلٌ مَعَهُ
مُقْبِل عَليه، فَظَنَنْتُ أَنَّ لَهُمَا حَاجة -قَالَ الأنْصَارِيُّ: لَقَدْ قَامَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حتى جَعَلْتُ أَرْثِي لِرَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ، فَلمَّا انْصَرفَ
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَقَدْ قَامَ بِكَ هَذَا الرَّجُلُ حَتَّى جَعَلْتُ
أَرْثِي لَك مِنْ طُولِ الْقِيَامِ. قَالَ: "وَلَقَدْ رَأَيتَه؟ " قُلتُ: نَعَمْ.
قَالَ: "أَتَدْرِي مَن هُوَ؟ " قُلْتُ: لَا. قَال: "ذَاكَ
جِبْرِيِلُ، مَا
زَالَ يُوصِينِي بِالجِارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّه سَيُورثُه. ثُمَّ قَالَ: أَمَا
إِنَّك لَو سَلَّمْتَ عَلَيْهِ، رَدَّ عَلَيْكَ السَّلَامَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah
menceritakan kepada kami Hisyam, dari Hafsah, dari Abul Aliyah, dari seorang
lelaki dari kalangan Ansar yang telah menceritakan hadis berikut: Aku keluar
dari rumah keluargaku menuju rumah Nabi Saw. Tiba-tiba aku jumpai beliau sedang
berdiri menghadapi seorang lelaki yang ada bersamanya. Aku menduga bahwa
keduanya sedang dalam suatu keperluan. Lelaki Ansar melanjutkan kisahnya, bahwa
Rasulullah Saw. terus berdiri dalam waktu yang cukup lama sehingga aku merasa
kasihan kepadanya. Ketika lelaki itu pergi, aku bertanya, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya lelaki ini sangat lama berdiri denganmu, sehingga aku merasa
kasihan kepadamu karena lama berdiri melayaninya." Rasulullah Saw. bersabda,
"Apakah kamu melihatnya?" Aku menjawab, "Ya." Rasulullah Saw. bertanya,
"Tahukah kamu siapakah dia?" Aku menjawab, "Tidak." Nabi Saw, bersabda:
Dia adalah Jibril, dia terus-menerus mewasiatkan kepadaku mengenai tetangga,
hingga aku menduga bahwa dia akan memberinya hak mewaris. Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda pula: Ingatlah, sesungguhnya kamu seandainya
mengucapkan salam kepadanya, niscaya dia menjawab salammu.
Hadis ketujuh.
Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya.
حَدَّثَنَا
يَعْلَى بْنُ عُبَيْد، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ -يَعْنِي الْمدَنيّ-عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْعَوَالِي وَرَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وجِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يُصَلِّيانِ
حَيْثُ يُصَلَّى عَلَى الْجَنائِز، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ الرَّجُلُ: يَا رسولَ
اللَّهِ، مَنْ هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي رَأَيْتُ مَعَكَ؟ قَالَ: "وَقَدْ رأيْتَه؟ "
قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: "لَقَدْ رأَيْتَ خَيْرًا كَثِيرًا، هَذَا جِبْرِيلُ مَا
زَالَ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى رُئِيت أَنَّه سَيُورثُه".
telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada
kami Abu Bakar (yakni Al-Madani), dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan
bahwa seorang lelaki dari pegunungan datang ketika Rasulullah Saw. dan Malaikat
Jibril sedang salat, yaitu pada saat Nabi Saw. sedang menyalatkan jenazah.
Ketika Nabi Saw. menyelesaikan salatnya, lelaki tersebut bertanya, "Wahai
Rasulullah, siapakah lelaki yang kulihat ikut salat bersamamu itu?" Rasulullah
Saw. balik bertanya, "Apakah kamu melihatnya?" ia menjawab, "Ya." Nabi
Saw. bersabda: Sesungguhnya engkau telah melihat kebaikan yang banyak. Orang
ini adalah Jibril. Dia terus-menerus berwasiat kepadaku mengenai tetangga,
hingga aku berpendapat bahwa dia akan memberinya hak mewaris.
Ditinjau dari segi ini hadis diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid secara
munfarid, tetapi hadis ini mengukuhkan hadis sebelumnya.
Hadis kedelapan.
قَالَ
أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو
الرَّبِيعِ الْحَارِثِيّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْن أَبِي
فُدَيْك، أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحمن بنُ الْفَضل عَنْ عَطَاء الخَراساني، عَنِ
الْحَسَنِ، عَنْ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الجِيرانُ ثَلاثَةٌ: جَارٌ لهُ حَقٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ
أَدْنَى الجيرانِ حَقًّا، وَجَارٌ لَهُ حقَّان، وجَارٌ لَهُ ثلاثةُ حُقُوقٍ، وَهُوَ
أفضلُ الجيرانِ حَقًّا، فَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ فَجَارٌ مُشْرِكٌ لَا
رَحمَ لَهُ، لَهُ حَقُّ الجَوار. وأمَّا الَّذِي لَهُ حقانِ فَجَارٌ مُسْلِمٌ، لَهُ
حَقُّ الْإِسْلَامِ وَحَقُّ الْجِوارِ، وأَمَّا الَّذِي لَهُ ثَلاثةُ حُقُوقٍ،
فَجَارٌ مُسْلِمٌ ذُو رَحِمٍ لَهُ حَقُّ الْجِوَارِ وَحَقُّ الْإِسْلَامِ وحَقُّ
الرحِمِ".
Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah
ibnu Muhammad alias Abur Rabi' Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ismail ibnu Abu Fudail, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman
ibnul Fadl, dari Ata Al-Khurrasani, dari Al-Hasan, dari Jabir ibnu Abdullah yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tetangga itu ada tiga
macam, yaitu tetangga yang mempunyai satu hak; dia adalah tetangga yang memiliki
hak paling rendah. Lalu tetangga yang mempunyai dua hak, dan tetangga
yang mempunyai tiga hak, dia adalah tetangga yang memiliki hak paling utama.
Adapun tetangga yang mempunyai satu hak, maka dia adalah tetangga musyrik yang
tidak mempunyai hubungan kerabat baginya; dia mempunyai hak tetangga. Adapun
tetangga yang mempunyai dua hak, maka dia adalah tetangga muslim; dia mempunyai
hak Islam dan hak tetangga. Adapun tetangga yang mempunyai tiga hak ialah
tetangga muslim yang masih mempunyai hubungan kerabat; dia mempunyai hak
tetangga, hak Islam, dan hak kerabat.
Al-Bazzar mengatakan, "Kami tidak mengetahui ada seseorang yang meriwayatkan
dari Abdur Rahman ibnul Fadl kecuali hanya Ibnu Abu Fudail."
Hadis
kesembilan.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا شُعْبَةُ، عَنْ
أَبِي عِمْرَانَ، عنْ طَلْحَةَ بنِ عَبْد اللهِ، عَنْ عَائِشَةَ؛ أَنَّهَا سَأَلَتْ
رسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: "إنَّ لِي جَارَيْنِ،
فَإِلَى أيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: "إِلَى أقْرَبِهِمَا مِنْك
بَابًا"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far,
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Imran, dari Talhah ibnu
Abdullah, dari Aisyah, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. Untuk itu
ia mengatakan: "Sesungguhnya aku mempunyai dua orang tetangga. maka kepada
siapakah aku akan mengirimkan hadiah (kiriman) ini?" Nabi Saw. bersabda,
"Kepada tetangga yang pintunya lebih dekat kepadamu."
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah dengan sanad yang
sama.
Hadis kesepuluh.
Imam Tabrani dan Abu Na'im meriwayatkan dari Abdur Rahman yang di dalam
riwayatnya ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan wudu, lalu orang-orang
berebutan mengusapkan bekas air wudunya. Maka Rasulullah Saw. bersabda,
"Apakah gerangan yang mendorong kalian berbuat demikian?" Mereka
menjawab, "Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah Saw. bersabda:
«من
سره أن يحب الله ورسوله فليصدق الحديث إذا حدث، وليؤد الأمانة إذا
ائتمن»
Barang siapa yang menginginkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah
ia berkata benar apabila berbicara, dan hendaklah ia menunaikan amanat bila
dipercaya, (dan hendaklah ia berbuat baik dengan tetangga).
Hadis
kesebelas.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah yang telah mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
«إن
أَوَّلُ
خَصْمَيْنِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ جَارَانِ
»
Sesungguhnya mula-mula dua seteru yang diajukan di hari kiamat nanti
adalah dua orang yang bertetangga.
*******************
Firman Allah Swt.
وَالصَّاحِبِ
بِالْجَنْبِ
dan (berbuat baiklah kepada) teman-teman sejawat. (An-Nisa: 36)
As-Sauri meriwayatkan dari Jabir Al-Ju'fi, dari Asy-Sya'bi, dari Ali dan Ibnu
Mas'ud, yang dimaksud ialah istri.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Abu
Laila, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan, dan Sa'id ibnu Jubair dalam salah satu
riwayatnya yang menyatakan hal selain itu.
Ibnu Abbas dan sejumlah ulama mengatakan, yang dimaksud adalah tamu. Ibnu
Abbas, Mujahid, Ikrimah, dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah teman
seperjalanan.
Adapun Ibnu Sabil, menurut Ibnu Abbas dan sejumlah ulama, yang dimaksud
adalah tamu. Menurut Mujahid, Abu Ja'far, Al-Baqir, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan
Muqatil, yang dimaksud dengan Ibnu Sabil ialah orang yang sedang dalam
perjalanan yang mampir kepadamu. Pendapat ini lebih jelas, sekalipun pendapat
yang mengatakan "tamu" bermaksud orang yang dalam perjalanan, lalu bertamu, pada
garis besarnya kedua pendapat bermaksud sama.
Pembahasan mengenai Ibnu Sabil ini akan diketengahkan secara rinci dalam
tafsir surat Al-Bara’ah (surat At-Taubah). Hanya kepada Allah mohon keperca-yaan
dan hanya kepada-Nya bertawakal.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَما
مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ
dan (berbuat baiklah kepada) hamba sahaya yang kalian miliki.
(An-Nisa: 36)
Ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik kepada para hamba sahaya, karena
hamba sahaya adalah orang yang lemah upayanya, dan dikuasai oleh orang lain.
Karena itu, terbukti bahwa Rasulullah Saw. mewasiatkan kepada umatnya dalam
sakit yang membawa kewafatannya melalui sabdanya yang mengatakan:
«الصَّلَاةَ
الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ»
Salat, salat, dan budak-budak yang kalian miliki!
Maka beliau Saw. mengulang-ulang sabdanya hingga lisan beliau kelihatan terus
berkomat-kamit mengatakannya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي الْعَبَّاسِ، حَدَّثَنَا
بَقِيّة، حَدَّثَنَا بَحِيرُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَان، عَنِ
الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِ يكَرِب قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَك فَهُوَ لَكَ صدقةٌ، وَمَا أطعمتَ
وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ،
ومَا أطعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَك صَدَقَهٌ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abul
Abbas, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami
Bujair ibnu Sa'd. dari Khalid ibnu Ma'dan, dari Al-Miqdam ibnu Ma'di Kariba yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali kamu
beri makan dirimu melainkan hal itu sedekah bagimu, tidak sekali-kali kamu beri
makan anakmu melainkan hal itu sedekah bagimu, tidak sekali-kali kamu beri makan
istrimu melainkan hal itu sedekah bagimu, dan tidak sekali-kali kamu beri makan
pelayanmu melainkan hal itu sedekah bagimu.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Baqiyyah, sanad hadis berpredikat
sahih.
Dari Abdullah ibnu Amr, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Qahriman
(pegawai)nya, "Apakah engkau telah memberikan makanan pokok kepada budak-budak?"
Ia menjawab, "Belum." Abdullah ibnu Amr berkata, "Berangkatlah sekarang dan
berikanlah makanan pokok itu kepada mereka, karena sesungguhnya Rasulullah Saw.
telah bersabda:
«كَفَى
بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُمْ»
'Cukuplah dosa seseorang, bila ia menahan makanan pokok terhadap hamba
sahayanya.’
Hadis riwayat Imam Muslim.
Disebutkan dari sahabat Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah
bersabda:
«لِلْمَمْلُوكِ
طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ، وَلَا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا
يُطِيقُ»
Hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaiannya, dan tidak boleh
dibebani dengan pekerjaan melainkan sebatas kemampuannya.
Hadis riwayat Imam Muslim pula.
Dari Abu Hurairah r.a. pula, dari Nabi Saw. Disebutkan bahwa. Nabi Saw.
pernah bersabda:
«إِذَا
أَتَى أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ مَعَهُ
فَلْيُنَاوِلْهُ لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ، أَوْ أَكْلَةً أَوْ أَكْلَتَيْنِ،
فَإِنَّهُ وَلِيَ حَرَّهُ وَعِلَاجَهُ»
Apabila pelayan seseorang di antara kalian datang menyuguhkan makanan,
lalu ia tidak mau mempersilakan pelayan untuk makan bersamanya, maka hendaklah
ia memberikan kepadanya sesuap atau dua suap makanan, sepiring atau dua piring
makanan, karena sesungguhnya pelayanlah yang memasak dan yang
menghidangkannya.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Lafaz hadis ini
berdasarkan apa yang ada pada Sahih Bukhari, sedangkan menurut lafaz Imam Muslim
adalah seperti berikut:
«فَلْيُقْعِدْهُ
مَعَهُ فَلْيَأْكُلْ، فَإِنْ كَانَ الطَّعَامُ مَشْفُوهًا قَلِيلًا، فَلْيَضَعْ فِي
يَدِهِ أَكْلَةً أَوْ أَكْلَتَيْنِ»
Hendaklah ia mempersilakan pelayannya untuk makan bersamanya; dan jika
makanan tersebut untuk orang banyak lagi sedikit, maka hendaklah ia memberinya
makanan di tangannya barang sesuap atau dua suap makanan.
Dari Abu Zar r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
«هُمْ
إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ، فَمَنْ كَانَ
أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا
يَلْبَسُ، وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ
كَلَّفْتُمُوهُمْ
فَأَعِينُوهُمْ
»
Mereka (para pelayan) adalah saudara-saudara kalian lagi budak-budak
kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah kekuasaan kalian. Maka barang
siapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, hendaklah ia memberinya
makan dari apa yang ia makan, dan hendaklah ia memberinya pakaian dari apa yang
ia pakai, dan janganlah kalian membebani mereka pekerjaan yang tidak mampu
mereka lakukan; dan jika kalian terpaksa membebani mereka (dengan pekerjaan
berat), maka bantulah mereka.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كانَ مُخْتالًا فَخُوراً
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36)
Yakni congkak, takabur, dan sombong terhadap orang lain; dia melihat bahwa
dirinya lebih baik daripada mereka. Dia merasa dirinya besar, tetapi di sisi
Allah hina dan di kalangan manusia dibenci.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong. (An-Nisa: 36) yang dimaksud dengan
mukhtal ialah takabur dan sombong. Sedangkan yang dimaksud dengan
firman-Nya: lagi membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36) tidak pernah
bersyukur kepada Allah Swt. setelah diberi nikmat oleh-Nya, bahkan dia berbangga
diri terhadap orang-orang dengan karunia nikmat yang telah diberikan oleh Allah
Swt. kepadanya, dan dia orang yang sedikit bersyukur kepada Allah atas hal
tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah
menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Kasir, dari Abdullah ibnu Waqid, dari Abu Raja Al-Harawi yang mengatakan bahwa
ia tidak pernah menjumpai orang yang jahat perangainya kecuali ada pada diri
orang yang sombong lagi membangga-banggakan dirinya, lalu ia membacakan
firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) hamba sahaya yang kalian miliki.
(An-Nisa: 36), hingga akhir ayat. Tidak pernah ia jumpai orang yang menyakiti
kedua orang tuanya kecuali ada pada diri orang sombong lagi durhaka, lalu ia
membacakan firman-Nya: dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan
aku seorang yang sombong lagi celaka. (Maryam: 32)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Al-Awwam ibnu Hausyab hal yang semisal
sehubungan dengan makna mukhtal (sombong) dan fakhur
(membangga-banggakan diri). Untuk itu ia mengatakan:
حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا الْأُسُودُ بْنُ شَيْبَان،
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّير قَالَ: قَالَ مُطَرِّف:
كَانَ يَبْلُغُنِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ حَدِيثٌ كُنْتُ أَشْتَهِي لِقَاءَهُ،
فَلَقِيتُهُ فَقُلْتُ: يَا أَبَا ذَرٍّ، بَلَغَنِي أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَكُمْ: "إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
ثَلَاثَةً ويُبْغض ثَلَاثَةً"؟ قَالَ: أَجَلْ، فَلَا إِخَالُنِي أَكْذِبُ عَلَى
خَلِيلِي، ثَلَاثًا. قُلْتُ: مَنِ الثَّلَاثَةُ الَّذِينَ يُبْغِضُ اللَّهُ؟ قَالَ:
الْمُخْتَالُ الْفَخُورُ، أَوَلَيْسَ تَجِدُونَهُ عِنْدَكُمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ
الْمُنَزَّلِ؟ ثُمَّ قَرَأَ الْآيَةَ: {إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ
مُخْتَالا فَخُورًا}
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu
Na'im, dari Al-Aswad ibnu Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu
Abdullah ibnusy Syiklikhir yang mengatakan bahwa Mutarrif pernah menceritakan
bahwa telah sampai kepadanya sebuah hadis dari Abu Zar yang membuatnya ingin
sekali bersua dengan Abu Zar. Lalu ia menjumpai Abu Zar. Aku (Mutarrif)
bertanya, "Hai Abu Zar, telah sampai kepadaku bahwa dirimu pernah menduga bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda, 'Sesungguhnya Allah menyukai tiga orang dan
membenci tiga orang'." Abu Zar menjawab, "Memang benar, kamu tentu percaya
bahwa aku tidak akan berdusta kepada kekasihku (Nabi Saw.)," sebanyak tiga kali.
Aku bertanya, "Lalu siapakah tiga macam orang yang dibenci oleh Allah itu?" Abu
Zar menjawab, "Orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri. Bukankah kamu
pun telah menjumpainya di dalam Kitabullah yang ada pada kalian?" Kemudian Abu
Zar r.a. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36)
وَحَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا وُهَيْبُ عَنْ خَالِدٍ،
عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَلْهُجَيم قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَوْصِنِي. قَالَ: "إِيَّاكَ وإسبالَ الْإِزَارِ، فَإِنَّ إِسْبَالَ
الْإِزَارِ مِنَ المَخِيلة، وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ المَخِيلة"
Dan telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami
Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Khalid, dari Abu
Tamimah, dari seorang lelaki dari kalangan Banil Hujaim yang menceritakan: Aku
pernah berkata, "Wahai Rasulullah, berwasiatlah untukku." Maka Rasulullah Saw.
bersabda, "Jangan sekali-kali kamu memanjangkan kainmu, karena sesungguhnya
memanjangkan kain merupakan sikap orang yang sombong, dan sesungguhnya Allah
tidak menyukai (orang yang bersikap) sombong."
An-Nisa, ayat 37-39
الَّذِينَ
يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتاهُمُ اللَّهُ
مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنا لِلْكافِرِينَ عَذاباً مُهِيناً (37) وَالَّذِينَ
يُنْفِقُونَ أَمْوالَهُمْ رِئاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا
بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطانُ لَهُ قَرِيناً فَساءَ قَرِيناً
(38) وَماذا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا
مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ وَكانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيماً (39)
(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barang siapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya. Apakah kemudaratannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.
Allah Swt. berfirman mencela orang-orang yang kikir dengan harta benda mereka, tidak mau menginfakkannya untuk keperluan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah, seperti berbakti kepada kedua orang tua, berbuat kebajikan kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh dan teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya yang mereka miliki. Mereka tidak mau membayar hak Allah yang ada pada harta mereka, bahkan mereka menganjurkan orang lain untuk bersikap kikir. Rasulullah Saw. telah bersabda:
"وَأَيُّ
دَاءٍ أَدْوَأ مِنَ الْبُخْلِ؟ "
Penyakit manakah yang lebih parah dari penyakit kikir?
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah Saw. bersabda pula:
«إِيَّاكُمْ
وَالشُّحَ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ
فَقَطَعُوا، وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا»
Hati-hatilah kalian terhadap sifat kikir, karena sesungguhnya sifat kikir itu telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Sifat kikir memerintahkan kepada mereka untuk memutuskan hubungan silaturahmi, lalu mereka memutuskannya. Dan sifat kikir memerintahkan kepada mereka untuk berbuat maksiat, lalu mereka mengerjakannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَيَكْتُمُونَ
مَا آتاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. (An-Nisa: 37)
Orang yang kikir adalah orang yang ingkar kepada nikmat Allah; nikmat Allah tidak tampak pada dirinya, tidak kelihatan pada makanan, pakaian, tidak pula pada pemberian dan sumbangan. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
إِنَّ
الْإِنْسانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ وَإِنَّهُ عَلى ذلِكَ لَشَهِيدٌ
Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. (Al-Adiyat: 6-7)
Yakni menyaksikan keadaan dan sepak terjangnya sendiri yang ingkar itu.
وَإِنَّهُ
لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. (Al-Adiyat: 8)
Sedangkan dalam surat An-Nisa ini disebutkan:
{وَيَكْتُمُونَ
مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ}
dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. (An-Nisa: 37)
Karena itulah dalam firman selanjutnya Allah Swt. mengancam mereka:
وَأَعْتَدْنا
لِلْكافِرِينَ عَذاباً مُهِيناً
Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 37)
Al-Kufru artinya menutupi dan menyembunyikan; orang yang kikir menutupi nikmat Allah yang diberikan kepadanya, lalu ia sembunyikan dan ia ingkari, maka dia kafir terhadap nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"إِنَّ
اللَّهَ إِذَا أَنْعَمَ نِعْمَةً عَلَى عبدٍ أحبَّ أَنْ يَظْهَرَ أثرُها
عَلَيْهِ"
Sesungguhnya Allah apabila memberikan suatu nikmat kepada seorang hamba, Dia suka bila si hamba menampakkan pengaruh dari nikmat itu pada dirinya.
Dalam doa Nabawi disebutkan:
"وَاجْعَلْنَا
شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ، مُثِنِينَ بِهَا عَلَيْكَ قَابِلِيهَا -وَيُرْوَى:
قَائِلِيهَا-وَأَتْمِمْهَا عَلَيْنَا"
Dan jadikanlah kami orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu, memuji-Mu karenanya, menerimanya, dan sempurnakanlah nikmat-Mu kepada kami.
Sebagian ulama Salaf menginterpretasikan makna ayat ini ditujukan kepada kekikiran orang-orang Yahudi, karena mereka telah mengetahui perihal sifat Nabi Muhammad Saw. melalui kitab-kitab yang ada di tangan mereka, tetapi mereka menyembunyikannya. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا}
Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 37)
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Pendapat ini dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Tidak diragukan memang ayat ini mengandung pengertian tersebut. Tetapi makna lahiriah ayat menunjukkan sifat kikir dalam masalah harta benda, sekalipun kikir dalam masalah ilmu termasuk pula ke dalam maknanya dengan pengertian yang prioritas.
Konteks ayat ini berkaitan dengan memberi nafkah kepada kaum kerabat dan orang-orang lemah (miskin). Begitu pula ayat yang sesudahnya, yaitu firman-Nya:
{والَّذِينَ
يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ}
Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya (pamer) kepada manusia. (An-Nisa: 38)
Pada ayat pertama disebutkan perihal orang-orang yang menyembunyikan hartanya lagi tercela; mereka adalah orang-orang yang kikir. Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena pamer, dengan tujuan pada pemberiannya itu ingin dipuji dan dihormati, dan dalam hal tersebut mereka sama sekali tidak mengharapkan pahala Allah Swt.
Di dalam hadis mengenai tiga macam orang yang api neraka dibesarkan untuk mereka —yaitu orang alim, orang yang berperang, dan orang yang berinfak; yang semuanya itu dilakukan mereka karena riya (pamer) dengan amal perbuatan mereka— disebutkan seperti berikut:
«يَقُولُ
صَاحِبُ الْمَالِ: مَا تَرَكْتُ مِنْ شَيْءٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهِ إِلَّا
أَنْفَقْتُ فِي سَبِيلِكَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: كَذَبْتَ إِنَّمَا أَرَدْتَ أَنْ
يُقَالَ: جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ»
Pemilik harta berkata.”Aku tidak pernah membiarkan suatu jalan pun yang Engkau sukai bila aku berinfak untuknya, melainkan aku mengeluarkan infak di jalan-Mu itu." Maka Allah berfirman, "Kamu dusta, sesungguhnya yang kamu ingini ialah agar dikatakan bahwa kamu orang yang dermawan, dan hal itu telah diucapkan."
Yakni kamu telah mengambil (menerima) pahalamu di dunia yang merupakan tujuan dari perbuatanmu itu.
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada Addi ibnu Hatim:
«إِنَّ
أَبَاكَ رَامَ أَمْرًا فَبَلَغَهُ»
Sesungguhnya ayahmu menghendaki suatu perkara, dan ia telah mencapai (mendapatkan)nya.
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai Abdullah ibnu Jad'an, apakah infak dan memerdekakan budak yang dilakukannya bermanfaat bagi dia. Maka Rasulullah Saw. menjawab:
"لَا
إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا مِنَ الدَّهْرِ: رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ
الدِّينِ"
Tidak, karena sesungguhnya dia dalam suatu hari dari masa hidupnya belum pernah mengatakan, "Ya Tuhanku, ampunilah bagiku atas kesalahan-kesalahan (dosa-dosa)ku di hari pembalasan (nanti)."
Karena itulah dalam ayat ini disebutkan:
وَلا
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ
dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. (An-Nisa: 38), hingga akhir ayat.
Dengan kata lain, sesungguhnya yang mendorong mereka berbuat perbuatan yang buruk itu dan menyimpang dari jalan ketaatan adalah setan. Setanlah yang membisikkan hal itu kepada mereka dan membuat mereka berangan-angan untuk melakukannya. dan setan selalu menemani mereka hingga semua perbuatan yang buruk akan mereka kerjakan dengan baik. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan seperti berikut: Barang siapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya. (An-Nisa: 38)
Salah seorang penyair sehubungan dengan pengertian ini telah mengatakan:
عَنِ
الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِينِهِ ...
فَكُلُّ قَرِينٍ بِالْمَقَارَنِ يَقْتَدِي
Jangan kamu tanyakan kepada seseorang siapa dia adanya, tetapi lihatlah siapa temannya, karena setiap teman mempengaruhi orang yang ditemaninya.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَماذا
عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا
رَزَقَهُمُ اللَّهُ
Apakah kemudaratannya bagi mereka. kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? (An-Nisa: 39), hingga akhir ayat.
Apakah bahayanya sekiranya mereka beriman kepada Allah dan menempuh jalan yang terpuji, membebaskan diri dari riya (pamer) dan berikhlas serta beriman kepada Allah dengan mengharapkan janji-Nya di hari akhirat bagi orang yang beramal baik, dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang diberikan oleh Allah kepada mereka ke jalan-jalan yang disukai dan diridai Allah Swt.?
*******************
Firman Allah Swt.:
وَكانَ
اللَّهُ بِهِمْ عَلِيماً
Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka. (An-Nisa: 39)
Dia Maha Mengetahui niat mereka. apakah niat yang baik atau yang buruk, dan Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak dari mereka yang mendapat taufik, lalu Dia memberinya jalan petunjuk dan memberinya ilham untuk mengerjakanya serta menggerakkannya untuk melakukan amal saleh yang diridai-Nya. Dia Maha mengetahui tentang orang yang berhak mendapat kehinaan dan yang terusir dari sisi-Nya Yang Mahabesar, yaitu orang yang terusir dari rahmat-Nya. Sesungguhnya orang tersebut sangat kecewa dan merugi di dunia dan akhirat. Semoga Allah melindungi kita semua dari keadaan seperti itu.
An-Nisa, ayat 40-42
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضاعِفْها وَيُؤْتِ
مِنْ لَدُنْهُ أَجْراً عَظِيماً (40) فَكَيْفَ إِذا جِئْنا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ
بِشَهِيدٍ وَجِئْنا بِكَ عَلى هؤُلاءِ شَهِيداً (41) يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ الَّذِينَ
كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّى بِهِمُ الْأَرْضُ وَلا يَكْتُمُونَ
اللَّهَ حَدِيثاً (42)
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti) apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). Dan hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.
Allah Swt. berfiiman memberitakan bahwa Dia tidak menganiaya seorang makhluk pun di hari kiamat nanti barang sebesar biji sawi, tidak pula barang seberat zarrah, melainkan Dia pasti menunaikannya dan melipatgandakannya jika hal itu merupakan amal kebaikan. Seperti yang disebutkan dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
وَنَضَعُ
الْمَوازِينَ الْقِسْطَ
Kami akan memasang timbangan yang tepat. (Al-Anbiya: 47)
Allah Swt. telah berfirman pula menceritakan perihal Luqman, bahwa ia pernah mengatakan, seperti yang disitir oleh firman-Nya:
يَا
بُنَيَّ إِنَّها إِنْ تَكُ مِثْقالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ
أَوْ فِي السَّماواتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ
Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi niscaya Allah akan mendatangkannya. (Luqman: 16)
Dan dalam ayat yang lain Allah Swt. telah berfirman:
{يَوْمَئِذٍ
يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ. فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا
يَرَهُ}
Pada hari itu manusia keluar dari kuburannya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Az-Zalzalah: 6-8)
Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw. sehubungan dengan hadis syafaat yang cukup panjang. Di dalamnya antara lain disebutkan hal berikut:
«فَيَقُولُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ حَبَّةِ
خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ، فَأَخْرِجُوهُ مِنَ النَّارِ»
Maka Allah Swt. berfirman, "Kembalilah kalian. Maka barang siapa yang kalian jumpai dalam kalbunya iman sebesar biji sawi, keluarkanlah dia oleh kalian dari neraka.'"
Dalam lafaz yang lain disebutkan:
«أَدْنَى
أَدْنَى أَدْنَى مِثْقَالِ ذَرَّةٍ مِنْ إِيمَانٍ، فَأَخْرِجُوهُ مِنَ النَّارِ
فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا»
"Kadar iman yang jauh lebih kecil, jauh lebih kecil, jauh lebih kecil dari zarrah, maka keluarkanlah dia oleh kalian dari neraka. Lalu keluarlah dari neraka manusia yang jumlahnya banyak."
Kemudian Abu Sa'id mengatakan, "Bacalah oleh kalian jika kalian suka firman Allah Swt. berikut," yaitu: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah. (An-Nisa: 40)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Harun ibnu Antarah, dari Abdullah ibnus Saib, dari Zazan, bahwa sahabat Abdullah Ibnu Mas'ud pernah mengatakan hal berikut: Kelak di hari kiamat seorang hamba laki-laki atau seorang hamba perempuan didatangkan, lalu ada juru penyeru menyerukan di kalangan semua makhluk, baik yang terdahulu maupun yang terkemudian, "Ini adalah Fulan bin Fulan. Barang siapa yang mempunyai hak terhadapnya, hendaklah ia datang mengambil haknya." Maka hamba wanita merasa gembira bila ia mempunyai hak atas ayahnya atau ibunya atau saudaranya atau suaminya. Kemudian Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (Al-Mu’minun: 101); Lalu Allah memberikan ampunan dari haknya menurut apa yang dikehendakinya, tetapi Dia tidak memberikan ampunan barang sedikit pun yang bertalian dengan hak-hak orang lain. Lalu hamba yang dipanggil dihadapkan di muka orang-orang (yang bersangkutan dengannya), dan Allah Swt. berfirman kepadanya, "Berikanlah kepada orang-orang itu hak-hak mereka!" Hamba yang bersangkutan menjawab, "Ya Tuhanku, dunia telah lenyap. Dari manakah aku dapat memenuhi hak-hak mereka?" Allah Swt. berfirman, "Ambillah oleh kalian dari amal-amal salehnya!" Lalu para malaikat memberikan kepada orang-orang itu haknya masing-masing sesuai dengan perbuatan aniaya si hamba (terhadap dirinya). Jika si hamba yang bersangkutan adalah kekasih Allah, dan masih ada tersisa sebesar zarrah dari amal salehnya, maka Allah melipatgandakannya untuk si hamba hingga si hamba masuk surga karenanya. Selanjutnya Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya kepada kami, yaitu: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya. (An-Nisa: 40); Jika si hamba yang bersangkutan adalah orang yang celaka, maka malaikat yang ditugaskan berkata melapor, "Ya Tuhanku, semua kebaikannya telah habis, sedangkan orang-orang yang menuntutnya masih banyak." Lalu Allah Swt. berfirman, "Ambillah dari amal keburukan mereka, kemudian tambahkanlah kepada amal keburukan si hamba itu." Kemudian si hamba yang bersangkutan dibelenggu dan dimasukkan ke dalam neraka.
Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur lain dari Zazan dengan lafaz yang semisal. Sebagian dari kandungan asar ini mempunyai syahid (bukti) yang memperkuatnya dari hadis yang sahih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Fudail (yakni Ibnu Marzuq), dari Atiyah Al-Aufi, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Arab Badui, yaitu firman-Nya: Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. (Al-An'am: 160); Seorang lelaki bertanya, "Hai Abu Abdur Rahman, lalu apakah buat orang-orang Muhajirin?" Abdullah ibnu Umar menjawab, "Bagi mereka ada pahala yang lebih utama dari itu, yakni yang disebutkan di dalam firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar' (An-Nisa: 40)."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah,telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya. (An-Nisa: 40) Adapun orang musyrik, diringankan darinya azab di hari kiamat, tetapi ia tidak dapat keluar dari neraka selama-lamanya.
Ia mengatakan demikian atas dasar dalil hadis sahih yang menyebutkan bahwa Al-Abbas pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya pamanmu Abu Talib dahulu selalu melindungimu dan menolongmu, apakah engkau dapat memberikan sesuatu manfaat untuknya?" Nabi Saw. menjawab:
"نَعَمْ
هُوَ فِي ضَحْضَاح مِنْ نَارٍ، وَلَوْلَا أنا لكان في الدَّرْك الأسفل مِنَ
النَّارِ"
Ya, dia berada di bagian pinggir (atas) dari neraka. Seandainya tidak ada aku, niscaya dia berada di bagian paling bawah dari neraka.
Tetapi barangkali hal ini hanya khusus bagi Abu Talib, bukan untuk orang-orang kafir. Sebagai dalilnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab musnadnya:
حَدَّثَنَا
عِمْرَانُ، حَدَّثَنَا قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ الْمُؤْمِنَ
حَسَنَةً، يُثَابُ عَلَيْهَا الرِّزْقَ فِي الدُّنْيَا ويُجْزَى بِهَا فِي
الْآخِرَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِهَا فِي الدُّنْيَا، فَإِذَا كَانَ
يَوْمُ الْقِيَامَةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ"
telah menceritakan kepada kami Imran, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya orang mukmin walaupun suatu kebaikan, Allah memberinya pahala rezeki di dunia, dan memberinya balasan pahala di akhirat nanti. Adapun orang kafir, maka Allah hanya memberinya di dunia; dan apabila hari kiamat, maka dia tidak memiliki suatu kebaikan pun.
Abu Hurairah, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (An-Nisa: 40) Yakni berupa surga; kami memohon rida Allah dan surga.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus-Samad, telah menceritakan kepada kami Sulaiman (yakni Ibnul Mugirah), dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman yang menceritakan, "Telah sampai kepadaku dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Allah Swt. membalas satu kebaikan seorang hamba yang mukmin dengan sejuta kebaikan." Ali ibnu Zaid melanjutkan kisahnya, bahwa ia mendapat kesempatan untuk berangkat melakukan haji atau umrah, lalu ia menjumpai Abu Usman. Ia bertanya, "Sesungguhnya telah sampai kepadaku sebuah hadis darimu bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, 'Suatu kebaikan seorang hamba mendapat balasan sejuta kebaikan'." Aku (Abu Usman) berkata, "Kasihan kamu. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang lebih banyak belajar dari Abu Hurairah selain diriku, tetapi aku belum pernah mendengar hadis ini darinya." Maka aku berangkat dengan tujuan untuk menemui Abu Hurairah, tetapi aku tidak menjumpainya karena ia telah berangkat menunaikan haji. Aku pun berangkat pula menunaikan haji untuk mencari hadis ini. Ketika aku menjumpainya, aku langsung bertanya, "Wahai Abu Hurairah, hadis apakah yang pernah kudengar engkau memberikannya kepada penduduk Basrah?" Abu Hurairah balik bertanya, "Hadis apakah yang kamu maksudkan?" Aku menjawab, "Mereka menduga bahwa engkau telah mengatakan, 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan'." Abu Hurairah mengatakan, "Wahai Abu Usman, apakah yang membuatmu heran dengan masalah ini? Bukankah Allah Swt. telah berfirman: 'Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipatganda yang banyak' (Al-Baqarah: 245). Allah Swt. telah berfirman pula: 'Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit' (At-Taubah: 38). Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, aku benar-benar telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
«إِنَّ
اللَّهَ لِيُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ»
'Sesungguhnya Allah melipatgandakan satu kebaikan menjadi duajuta (pahala) kebaikan'."
Imam Ahmad mengatakan bahwa hadis ini garib, dan Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an ini mempunyai banyak hadis yang munkar.
Imam Ahmad meriwayatkannya pula. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudailah dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada sahabat Abu Hurairah, lalu bertanya kepadanya, "Telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan, 'Sesungguhnya pahala suatu kebaikan itu benar-benar dilipatgandakan menjadi sejuta pahala kebaikan'." Abu Hurairah r.a. bertanya, "Apakah yang menyebabkan kamu merasa heran dari hal tersebut? Sesungguhnya aku, demi Allah, pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
«إِنَّ
اللَّهَ لِيُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ»
'Sesungguhnya Allah benar-benar melipatgandakan pahala suatu kebaikan (hingga) menjadi duajuta pahala kebaikan'."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur lain. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Khallad dan Sulaiman ibnu Khallad Al-Mu-addib, telah menceritakan kepada kami Muhammad Ar-Rifa'i, dari Ziyad ibnul Jassas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang lebih banyak duduk (belajar) kepada Abu Hurairah selain diriku. Abu Hurairah datang berhaji lebih awal dariku, sedangkan aku datang sesudahnya. Tiba-tiba orang-orang dari Basrah mengklaim adanya sebuah hadis darinya yang menyebutkan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta pahala kebaikan'." Lalu aku berkata, "Kasihan kalian ini. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang lebih banyak belajar dari Abu Hurairah selain diriku sendiri, tetapi aku tidak pernah mendengar hadis ini darinya." Lalu aku bertekad menemuinya, tetapi kujumpai dia telah berangkat menunaikan haji. Kemudian aku pun berangkat menunaikan haji untuk menemuinya sehubungan dengan hadis ini.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur lain. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Rauh, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Khalid Az-Zahabi, dari Ziyad Al-Jassas, dari Abu Usman yang menceritakan hadis berikut: Aku bertanya kepada Abu Hurairah, "Hai Abu Hurairah, aku mendengar saudara-saudaraku di Basrah menduga engkau pernah meriwayatkan bahwa engkau pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Sesungguhnya Allah membalas pahala suatu kebaikan dengan sejuta pahala kebaikan'." Abu Hurairah menjawab, "Demi Allah, bahkan aku mendengar Nabi Saw. bersabda: 'Sesungguhnya Allah membalas pahala suatu kebaikan dengan dua juta pahala kebaikan'." Kemudian Abu Hurairah membacakan firman-Nya: Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (At-Taubah: 38)
*******************
Firman Allah Swt.:
فَكَيْفَ إِذا جِئْنا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنا بِكَ عَلى
هؤُلاءِ شَهِيداً
Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41)
Allah Swt. berfirman, menceritakan kengerian yang terjadi pada hari kiamat dan perkara serta keadaannya yang sangat keras; maka bagaimanakah perkara dan keadaan hari kiamat nanti ketika didatangkan seorang saksi dari tiap-tiap umat, yang dimaksud ialah para nabi. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَأَشْرَقَتِ
الْأَرْضُ بِنُورِ رَبِّها وَوُضِعَ الْكِتابُ وَجِيءَ بِالنَّبِيِّينَ
وَالشُّهَداءِ
Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi. (Az-Zumar: 69), hingga akhir ayat.
وَيَوْمَ
نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيداً عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri. (An-Nahl: 89), hingga akhir ayat.
قَالَ
الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا سفيانُ، عَنِ
الأعْمَشِ، عَنْ إبراهيمَ، عَنْ عُبَيْدَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ
قَالَ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "اقْرَأْ عَلَيَّ"
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنزلَ؟ قَالَ: "نَعَمْ،
إِنِّي أُحِبُّ أَنَّ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي" فَقَرَأْتُ سُورَةَ النِّسَاءِ،
حَتَّى أَتَيْتُ إِلَى هَذِهِ الْآيَةِ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ
أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا} قَالَ: "حَسْبُكَ
الْآنَ" فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَان.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepadanya: "Bacakanlah (Al-Qur'an) untukku!" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, apakah aku membacakan Al-Qur'an untukmu. padahal Al-Qur'an diturunkan kepadamu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya, sesungguhnya aku- suka bila mendengarnya dari orang lain." Lalu aku membaca surat An-Nisa. Ketika bacaanku sampai kepada firman-Nya: Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41) Maka Nabi Saw. bersabda: Cukuplah sekarang! Ternyata kedua mata beliau berlinangan air mata.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Al-A'masy dengan sanad yang sama. Telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu Mas'ud; hal ini membuktikan bahwa hadis ini benar-benar dari Ibnu Mas'ud. Imam Ahmad meriwayatkan melalui jalur Abu Hayyan dan Abu Razin, dari Ibnu Mas"ud.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي الدُّنْيَا، حَدَّثَنَا
الصَّلْتُ بنُ مَسْعُود الجَحْدَري، حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ،
حَدَّثَنَا يونُس بنُ مُحَمَّدِ بْنِ فضَالَة الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ
-وَكَانَ أَبِي مِمَّنْ صَحِبَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُمْ فِي بَنِي
ظَفَر، فَجَلَسَ عَلَى الصَّخْرَةِ الَّتِي فِي بَنِي ظَفَرٍ الْيَوْمَ، وَمَعَهُ
ابْنُ مَسْعُودٍ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَنَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَأَمْرَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَارِئًا فَقَرَأَ، فَأَتَى عَلَى
هَذِهِ الْآيَةِ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا
بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا} فَبَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حتى اضْطَرَبَ
لِحْيَاهُ وَجَنْبَاهُ، فَقَالَ: "يَا رَبُّ هَذَا شهدتُ عَلَى مَنْ أَنَا بَيْنَ
ظَهْرَيْهِ، فَكَيْفَ بِمَنْ لَمْ أَرَهُ؟ "
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abud Dunia, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu Mas'ud Al-Juhdari, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad ibnu Fudalah Al-Ansari, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ayahnya termasuk salah seorang yang menjadi sahabat Nabi Saw. ia pernah menceritakan bahwa Nabi Saw. datang mengunjungi mereka di Bani Zafar, lalu beliau duduk di atas sebuah batu besar yang ada di tempat Bani Zafar. Saat itu Nabi Saw. ditemani oleh Ibnu Mas'ud, Mu'az ibnu Jabal dan sejumlah orang dari kalangan sahabat-sahabatnya. Lalu Nabi Saw. memerintahkan kepada seorang qari’ untuk membaca Al-Qur'an. Manakala bacaan si qari' sampai pada firman-Nya: Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41) Maka Rasulullah Saw. menangis hingga air matanya membasahi kedua pipi dan janggutnya. Lalu beliau Saw. berkata: Ya Tuhanku, sekarang aku bersaksi atas orang-orang yang aku berada di antara mereka, bagaimanakah dengan orang yang belum aku lihat (yakni sesudahku)?
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah Az-Zuhri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-Mas'udi, dari Ja'far ibnu Amr ibnu Harb, dari ayahnya, dari Abdullah (yaitu Ibnu Mas'ud) sehubungan dengan ayat ini. ia menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«شَهِيدٌ
عَلَيْهِمْ مَا دُمْتُ فِيهِمْ، فَإِذَا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ
عَلَيْهِمْ»
Aku orang yang menyaksikan lagi mengetahui selagi aku berada di antara mereka; tetapi apabila Engkau mewafatkan diriku, maka hanya Engkaulah yang mengawasi mereka.
Adapun mengenai apa yang diceritakan oleh Abu Abdullah Al-Qurtubi di dalam kitab Tazkirah, ia mengatakan dalam bab "Hal yang Menyebutkan Kesaksian Nabi Saw. atas Umatnya", telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami seorang lelaki dari kalangan Ansar, dari Al-Minhal ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, "Tiada suatu hari pun yang terlewatkan melainkan ditampilkan kepada Nabi Saw. perihal umatnya di pagi dan sore harinya. Maka Nabi Saw. mengenal nama dan amal perbuatan mereka. Karena itulah Nabi Saw. mempersaksikan atas perbuatan mereka. Allah Swt. telah berfirman: Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41)
Maka sesungguhnya hal ini adalah asar (bukan hadis), di dalam sanadnya terdapat inqita'. Di dalam sanadnya terdapat seseorang yang tidak dikenal lagi tidak disebutkan namanya. Hal ini merupakan periwayatan Sa'id ibnul Musayyab sendiri, dan dia tidak me-rafa'-kannya (sampai kepada Rasulullah Saw.)
Ternyata Al-Qurtubi menerima kenyataan ini. Lalu sesudah mengetengahkan asar ini ia mengatakan dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa semua amal perbuatan dilaporkan kepada Allah pada tiap hari Senin dan Kamis; kepada para nabi, para ayah, dan para ibu pada hari Jumat. Al-Qurtubi mengatakan, tidak ada pertentangan mengingat barangkali hal ini khusus bagi Nabi kita saja, sehingga ditampilkan kepadanya semua amal perbuatan setiap hari, juga pada hari Jumat yang bersama-sama para nabi lainnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
يَوْمَئِذٍ
يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّى بِهِمُ الْأَرْضُ
وَلا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثاً
Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42)
Seandainya saja bumi terbelah dan menelan mereka, nisaya mereka terhindar dari kengerian dan huru-hara di Mauqif (padang mahsyar), dan terhindar dari kehinaan, kemaluan, dan cemoohan. Makna ayat ini sama seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
يَوْمَ
يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ
pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya. (An-Naba': 40) , hingga akhir ayat.
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلا
يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا}
dan mereka tidak dapat meyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42)
Hal ini menceritakan keadaan mereka, bahwa mereka mengakui semua yang telah mereka kerjakan, dan tidak dapat menyembunyikan dari Allah sesuatu pun dari amal perbuatan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hakim, telah menceritakan kepada kami Amr, dari Mutarrif, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu lelaki itu menanyakan kepadanya tentang firman Allah Swt. yang menceritakan keadaan orang-orang musyrik di hari kiamat, bahwa mereka mengatakan: Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah. (Al-An'am: 23) Dalam ayat yang lain Allah Swt. telah berfirman: dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42); Maka Ibnu Abbas mengatakan, "Adapun mengenai firman-Nya: 'Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah' (Al-An'am: 23). Sesungguhnya mereka (orang-orang musyrik) ketika melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa tidak dapat masuk surga kecuali hanya orang-orang Islam, maka mereka berkata (kepada sesamanya), 'Marilah kita mengingkari perbuatan kita!' Lalu mereka mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah' (Al-An'am: 23). Maka Allah mengunci mati mulut mereka dan berbicaralah kedua kaki dan tangan mereka. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 'dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun' (An-Nisa: 42)."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seorang lelaki, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu bertanya banyak hal yang bertentangan di dalam Al-Qur'an menurut pendapatku. Ibnu Abbas berkata, "Coba sebutkan yang mana, apakah engkau meragukan Al-Qur'an?" Lelaki itu berkata, "Tidak, tetapi aku bingung memahaminya." Ibnu Abbas bertanya, "Apakah yang membingungkanmu di dalam Al-Qur'an itu?" Lelaki itu berkata bahwa Allah Swt. telah berfirman dalam suatu ayat, yaitu firman-Nya: Kemudian tiadalah fitnah mereka kecuali mengatakan, "Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah." (Al-An'am: 23) Dalam ayat yang lainnya Allah Swt. telah berfirman: dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42) Ternyata dari pengertian tersebut mereka dapat menyembunyikan sesuatu dari Allah? Maka Ibnu Abbas menjawab bahwa mengenai firman-Nya: Kemudian tiadalah fitnah mereka kecuali mengatakan, "Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah." (Al-An'am: 23) Sesungguhnya tatkala mereka menyaksikan di hari kiamat bahwa Allah tidak memberikan ampunan kecuali kepada pemeluk agama Islam, dan Allah mengampuni semua dosa betapapun besarnya kecuali dosa mempersekutukan Allah. Mereka bermaksud mengingkari hal tersebut. Untuk itu mereka mengatakan: Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah. (Al-An'am: 23) Mereka mengharapkan dengan hal ini agar Allah memberikan ampunan bagi mereka, tetapi Allah mengunci mulut mereka dan berbicaralah kedua tangan dan kedua kaki mereka tentang hal-hal yang mereka lakukan sebenarnya. Maka di saat itulah disebutkan di dalam firman-Nya: Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42)
Juwabir meriwayatkan dari Ad-Dahhak, bahwa Nafi' ibnul Azraq pernah datang kepada Ibnu Abbas, lalu menanyakan kepadanya mengenai makna firman-Nya: Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42) Juga firman-Nya: Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah. (Al-An'am: 23) Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, "Aku merasa yakin bahwa kamu berangkat dari kalangan teman-temanmu dengan maksud akan menemuiku untuk menanyakan ayat-ayat mutasyabih dari Al-Qur'an. Untuk itu apabila kamu kembali kepada mereka, beri tahukanlah kepada mereka bahwa Allah Swt. menghimpun semua manusia di hari kiamat di suatu padang (mahsyar). Lalu orang-orang yang mempersekutukan Allah mengatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menerima sesuatu pun dari seseorang kecuali dari orang yang mengesakan-Nya. Lalu mereka berkata, 'Marilah kita ingkari perbuatan kita.' Ketika ditanyai, mereka mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 'Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah' (Al-An'am: 23)." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa sebelum mereka mengatakan hal tersebut Allah mengunci mulut mereka dan berbicaralah semua anggota tubuh mereka, dan bersaksilah semua anggota tubuh mereka terhadap diri mereka dengan menyatakan bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah. Maka pada saat itu mereka berharap seandainya diri mereka ditelan oleh bumi. dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42)
Riwayat Ibnu Jarir.
An-Nisa, ayat 43
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكارى حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُباً إِلاَّ عابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى
تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ
مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كانَ
عَفُوًّا غَفُوراً (43)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang
kalian ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub,
kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi. Dan jika kalian sakit atau
sedang dalam musafir atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang
air atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapat air,
maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci); sapulah muka kalian dan
tangan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.
Allah Swt. melarang orang-orang mukmin melakukan salat dalam keadaan mabuk
yang membuat seseorang tidak menyadari apa yang dikatakannya. Dan Allah melarang
pula mendekati tempat salat (yaitu masjid-masjid) bagi orang yang mempunyai
jinabah (hadas besar), kecuali jika ia hanya sekadar melewatinya dari
suatu pintu ke pintu yang lain tanpa diam di dalamnya.
Ketentuan hukum ini terjadi sebelum khamr diharamkan, seperti yang
ditunjukkan oleh hadis yang telah kami ketengahkan dalam tafsir ayat surat
Al-Baqarah, yaitu pada firman-Nya:
يَسْئَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.
(Al-Baqarah: 219), hingga akhir ayat.
Rasulullah Saw. membacakannya (sebanyak tiga kali) kepada Umar. Maka Umar
berkata, "Ya Allah, jelaskanlah kepada kami masalah khamr ini dengan penjelasan
yang memuaskan."
Ketika ayat ini diturunkan, maka Nabi Saw. membacakannya kepada Umar. Lalu
Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang masalah khamr ini
dengan penjelasan yang memuaskan." Setelah itu mereka tidak minum khamr dalam
waktu-waktu salat, hingga turun ayat berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ
وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-gan panah, adalah perbuatan keji,
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian
mendapat keberuntungan. (Al-Maidah: 90)
sampai dengan firman-Nya:
فَهَلْ
أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ مُنْتَهُونَ
maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah:
91)
Maka barulah Umar mengatakan, "Kami berhenti, kami berhenti."
Menurut riwayat Israil, dari Abi lshaq, dari Umar ibnu Syurahbil, dari Umar
ibnul Khattab mengenai kisah pengharaman khamr yang di dalamnya antara lain
disebutkan: Maka turunlah ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, yaitu
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat, sedang
kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian
ucapkan. (An-Nisa: 43); Tersebutlah bahwa juru seru Rasulullah Saw. (yakni
tukang azan) apabila mengiqamahkan salat menyerukan seruan berikut, yaitu:
"Jangan sekali-kali orang yang sedang mabuk mendekati salat!" Demikianlah lafaz
hadis menurut riwayat Imam Abu Daud.
Ibnu Abu Syaibah menuturkan sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Habib, telah
menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah
menceritakan kepadaku Sammak ibnu Harb yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Mus'ab ibnu Sa'd menceritakan hadis berikut dari Sa'd yang mengatakan, "Telah
diturunkan empat buah ayat berkenaan dengan kami (orang-orang Ansar). Pada awal
mulanya ada seorang lelaki dari kalangan Ansar membuat jamuan makanan, lalu ia
mengundang sejumlah orang dari kalangan Muhajirin dan sejumlah orang dari
kalangan Ansar untuk menghadirinya.
Maka kami makan dan minum hingga kami semua mabuk, kemudian kami saling
membangga-banggakan diri. Lalu ada seorang lelaki mengambil rahang unta dan
memukulkannya ke hidung Sa'd hingga hidung Sa'd terluka karenanya. Demikian itu
terjadi sebelum ada pengharaman khamr. Lalu turunlah firman-Nya: 'Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan
mabuk.' (An-Nisa: 43), hingga akhir ayat."
Hadis secara lengkapnya ada pada Imam Muslim melalui riwayat Syu'bah. Hadis
ini diriwayatkan pula oleh Ahlus Sunan —kecuali Ibnu Majah— dengan melalui
berbagai jalur dari Sammak dengan lafaz yang sama.
Penyebab lain berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah
menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah Ad-Dusytuki, telah
menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari Ata ibnus Saib, dari Abu Abdur Rahman
As-Sulami, dari Ali ibnu Abu Talib yang menceritakan, "Abdur Rahman ibnu Auf
membuat suatu jamuan makanan buat kami, lalu ia mengundang kami dan memberi kami
minuman khamr. Lalu khamr mulai bereaksi di kalangan sebagian dari kami, dan
waktu salat pun tiba." Kemudian mereka mengajukan si Fulan sebagai imam. Maka si
Fulan membaca surat Al-Kafirun dengan bacaan seperti berikut, "Katakanlah, hai
orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kami
menyembah apa yang kalian sembah" (dengan bacaan yang keliru sehingga mengubah
artinya secara fatal). Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian salat. sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga
kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (An-Nisa: 43)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Imam Turmuzi telah
meriwayatkan melalui Abdu ibnu Humaid, dari Abdur Rahman Ad-Dusytuki dengan
lafaz yang sama. Imam Turmuzi selanjutnya mengatakan bahwa hadis ini hasan
sahih.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Abdur Rahman
ibnu Mahdi, dari Sufyan As-Sauri, dari Ata ibnus Said. dari Abu Abdur Rahman,
dari Ali. bahwa dia (Ali) dan Abdur Rahman serta seorang lelaki lainnya pernah
minum khamr, lalu Abdur Rahman salat menjadi imam mereka dan membaca surat
Al-Kafirun, tetapi bacaannya itu ngawur dan keliru. Maka turunlah firman-Nya:
janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa:
43)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui hadis
As-Sauri dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Ibnu Humaid, dari Jarir, dari Ata, dari Abu
Abdur Rahman As-Sulami yang menceritakan bahwa Ali bersama sejumlah sahabat
pernah diundang ke rumah Abdur Rahman ibnu Auf, lalu mereka makan, dan Abdur
Rahman menyajikan khamr kepada mereka, lalu mereka meminumnya. Hal ini terjadi
sebelum ada pengharaman khamr. Lalu datanglah waktu salat, maka mereka
mengajukan Ali sebagai imam mereka, dan Ali membacakan kepada mereka surat
Al-Kafirun, tetapi bacaannya tidak sebagaimana mestinya. Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat,
sedang kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43)
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah
menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnul Minhal, telah menceritakan kepada kami
Haminad, dari Ata ibnus Saib, dari Abdur Rahman ibnu Habib (yaitu Abu Abdur
Rahman As-Sulami), bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah membuat suatu jamuan
makanan dan minuman. Lalu ia mengundang sejumlah sahabat Nabi Saw. Kemudian ia
salat Magrib bersama mereka, yang di dalamnya ia membacakan surat Al-Kafirun
dengan bacaan seperti berikut, "Katakanlah, 'Hai orang-orang kafir, aku
menyembah yang kalian sembah dan kalian menyembah apa yang aku sembah, dan aku
menyembah apa yang kalian sembah; bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama
kami'." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian
mengerti apa yang kalian ucapkan. (An-Nisa: 43)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan kisah ayat ini, bahwa
sejumlah kaum lelaki datang dalam keadaan mabuk; hal ini terjadi sebelum khamr
diharamkan. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: janganlah kalian salat,
sedang kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh Abu Razin dan
Mujahid.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa mereka selalu
menjauhi mabuk-mabukan di saat hendak menghadapi salat lima waktu, kemudian hal
ini dimansukh dengan pengharaman khamr.
Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa yang dimaksud bukanlah
mabuk karena khamr, melainkan mabuk karena tidur (yakni tertidur lelap sekali).
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Tetapi Ibnu Jarir memberikan komentarnya, "Yang benar, makna yang dimaksud ialah
mabuk karena khamr." Ibnu Jarir mengatakan bahwa larangan ini tidak ditujukan
kepada mabuk yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak dapat memahami
khitab (perintah) karena hal ini disamakan hukumnya dengan orang gila.
Sesungguhnya larangan ini hanyalah ditujukan kepada mabuk yang orang yang
bersangkutan masih dapat memahami taklif (kewajiban). Demikianlah kesimpulan
dari komentar Ibnu Jarir.
Pendapat ini disebutkan pula bukan oleh hanya seorang dari kalangan ulama
Usul Fiqh, yaitu bahwa larangan ini ditujukan kepada orang yang dapat memahami
ucapan, bukan orang mabuk yang tidak mengerti apa yang diucapkan kepadanya,
karena sesungguhnya pemahaman itu merupakan syarat bagi taklif.
Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud ialah
sindiran yang mengandung arti larangan terhadap orang yang mabuk berat,
mengingat mereka diperintahkan pula untuk mela-kukan salat lima waktu di
sepanjang malam dan siang hari. Dengan demikian, si pemabuk berat selarrianya
tidak dapat mengerjakan salat lima waktu pada waktunya masing-masing. Hal ini
sama pengertiannya dengan makna firman Allah Swt. yang mengatakan:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imran: 102)
Ayat ini mengandung makna perintah yang ditujukan kepada mereka agar mereka
bersiap-siap mati dalam keadaan memeluk agama Islam dan selalu menetapi ketaatan
kepada Allah yang merupakan realisasi dari hal tersebut.
*******************
Dan firman-Nya:
حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (An-Nisa: 43)
Hal ini merupakan pendapat terbaik yang dikatakan sehubungan dengan definisi
mabuk, yaitu orang yang bersangkutan tidak mengerti apa yang diucapkannya. sebab
orang yang sedang mabuk itu bacaan Al-Qur'annya pasti akan ngawur dan tidak
direnungi serta tidak ada kekhusyukan dalam bacaannya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلابةَ،
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي، فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيُتِمَّ حَتَّى يَعْلَمَ
مَا يَقُولُ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Sammad, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu
Qilabah, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Apabila seseorang di antara kalian mengantuk, sedangkan ia dalam salat,
hendaklah ia bersalam, lalu tidur hingga ia mengerti (menyadari) apa yang
diucapkannya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid, tanpa Imam Muslim.
Adapun Imam Muslim, dia meriwayatkannya —juga Imam Nasai— melalui hadis Ayyub
dengan lafaz yang sama, tetapi pada sebagian lafaz hadis disebutkan:
«فَلَعَلَّهُ
يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ»
karena barangkali ia mengucapkan istigfar, tetapi justru memaki dirinya
sendiri.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلا
جُنُباً إِلَّا عابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
(Jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali
sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi. (An-Nisa: 43)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ammar. telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah
menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu
Yasar,dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan (jangan pula hampiri
masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja hingga
kalian mandi. (An-Nisa: 43)
Ibnu Abbas mengatakan, "Janganlah kalian memasuki masjid ketika kalian sedang
dalam keadaan berjinabah, kecuali orang yang hanya sekadar lewat saja." Dengan
kata lain, hanya lewat saja dan tidak duduk di dalamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan pula
dari Abdullah ibnu Mas'ud, Anas, Abu Ubaidah, Sa'id ibnul Musayyab, Ad-Dahhak,
Ata, Mujahid, Masruq, Ibrahim An-Nakha'i, Zaid ibnu Aslam, Abu Malik, Amr ibnu
Dinar, Al-Hakam ibnu Atabah, Ikrimah, Al-Hasan Al-Basri, Yahya ibnu Sa'id
Al-Ansari, Ibnu Syihab, dan Qatadah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah
menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepadaku Al-Lais, telah
menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Habib mengenai firman Allah Swt.: dan
(jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub kecuali sekadar
berlalu saja. (An-Nisa: 43); Sesungguhnya banyak kaum laki-laki dari
kalangan Ansar pintu rumah-rumah mereka menghadap ke masjid. Apabila mereka
mengalami jinabah, sedangkan mereka tidak mempunyai air, maka terpaksalah mereka
harus mencari air, dan jalan yang paling dekat menuju tempat air tiada lain
harus melalui masjid. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: dan (jangan pula
hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub kecuali sekadar berlalu
saja. (An-Nisa: 43)
Kesahihan riwayat Yazid ibnu Abu Habib rahimahullah ini terbukti melalui
sebuah hadis di dalam Sahih Bukhari yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
«سُدُّوا
كُلَّ خَوْخَةٍ فِي الْمَسْجِدِ إِلَّا خَوْخَةَ أَبِي بَكْرٍ»
Tutuplah semua celah (pintu) yang menuju ke masjid, kecuali celah milik
Abu Bakar.
Hal ini dikatakan oleh Nabi Saw. dalam usia senjanya, sebagai pemberitahuan
darinya bahwa Abu Bakar r.a. kelak akan memegang tampuk khalifah sesudahnya.
Jalan menuju masjid kebanyakan hanya dipakai untuk keperluan-keperluan penting
yang menyangkut kemaslahatan kaum muslim. Maka Nabi Saw. memerintahkan agar
menutup semua pintu yang menuju masjid, kecuali pintu milik Abu Bakar r.a.
Adapun mengenai riwayat seseorang yang mengatakan bahwa yang tidak ditutup
adalah pintu milik Ali r.a., seperti yang disebut di dalam sebagian kitab sunan;
hal ini merupakan suatu kekeliruan. Yang benar adalah riwayat yang ditetapkan di
dalam kitab Sahih Bukhari tadi.
Berangkat dari pengertian ayat ini, banyak kalangan imam yang menarik
kesimpulan bahwa orang yang mempunyai jinabah diharamkan berdiam di dalam
masjid, tetapi diperbolehkan baginya melewati masjid. Termasuk pula ke dalam
pengertian jinabah yaitu wanita yang berhaid dan yang sedang nifas; tetapi ada
sebagian ulama yang mengharamkan keduanya melewati masjid karena dikhawatirkan
darahnya akan mengotori masjid. Sebagian ulama mengatakan, jika masing-masing
dari keduanya terjamin kebersihannya dan tidak akan mengotori masjid, maka
keduanya boleh melewati masjid; tetapi jika tidak terjamin, hukumnya tetap
haram, tidak boleh lewat masjid.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis dari Siti Aisyah r.a.
yang menceritakan:
قَالَ
لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ
مِنَ الْمَسْجِدِ» فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضٌ، فَقَالَ «إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ
فِي يَدِكِ»
Rasulullah Saw. pernah bersabda kepadaku, "Ambilkanlah kain penulup kepala
dari dalam masjid." Maka Aku menjawab, "Sesungguhnya aku sedang berhaid."
Nabi Saw. bersabda, "Sesungguhnya haidmu bukan pada tanganmu."
Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal melalui Abu Hurairah r.a. Di
dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan bahwa wanita yang berhaid
boleh lewat di dalam masjid, dan wanita yang bernifas termasuk ke dalam
pengertian wanita yang berhaid.
Imam Abu Daud meriwayatkan melalui hadis Aflat ibnu Khalifah Al-Amiri,dari
Jisrah (anak perempuan Dajajah), dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنِّي
لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جنبٍ"
Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang haid, tidak
pula bagi orang yang berjinabah.
Abu Muslim Al-Khattabi mengatakan bahwa jamaah menilai daif hadis ini. Mereka
mengatakan bahwa Aflat adalah orang yang tidak dikenal. Akan tetapi, Ibnu Majah
meriwayatkannya melalui hadis Abul Khattab Al-Hajri, dari Mahduj Az-Zuhali, dari
Jisrah, dari Ummu Salamah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang sama. Abu Zar'ah
Ar-Razi mengatakan bahwa Jisrah mengatakan dari Ummu Salamah. Yang benar adalah
Jisrah. dari Siti Aisyah.
Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Abu Isa At-Turmuzi, dari Salim
ibnu Abu Hafsah, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
يَا
عَلِيُّ، لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يُجْنب فِي هَذَا الْمَسْجِدِ غَيْرِي
وَغَيْرِكَ.
Hai Ali, tidak halal bagi seseorang yang berjinabah di dalam masjid ini
selain aku dan kamu.
Hadis ini daif dan tidak kuat, karena sesungguhnya Salim yang disebut dalam
sanadnya berpredikat matruk (tak terpakai hadisnya); dan gurunya (yaitu Atiyyah)
berpredikat daif.
Hadis lain sehubungan dengan makna ayat diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah
menceritakan kepada kami Abdullali ibnu Musa, telah menceritakan kepadaku Ishaq
ibnu Abu Laila, dari Al-Minhal, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Ali sehubungan
dengan makna firman-Nya: Dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam
keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja. (An-Nisa: 43); Seseorang
tidak boleh mendekati (mengerjakan) salat (bila dalam keadaan berjinabah);
kecuali jika ia sebagai seorang musafir yang mengalami jinabah, lalu ia tidak
menjumpai air, maka ia boleh salat hingga menjumpai air.
Kemudian Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur lain dari Al-Minhal
ibnu Amr, dari Zur, dari Ali ibnu Abu Talib, lalu ia mengetengahkannya. Ibnu Abu
Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam
salah satu riwayatnya, juga dari Sa'id ibnu Jubair serta Ad-Dahhak.
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Waki', dari Abu Laila, dari Abbad ibnu
Abdullah atau Zur ibnu Hubaisy, dari Ali, lalu ia mengetengahkannya. Ibnu Jarir
meriwayatkannya pula melalui jalur Al-Aufi dan Abu Mijlaz, dari Ibnu Abbas, lalu
ia mengetengahkannya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula hal yang semisal dari Sa'id ibnu Jubair,
Mujahid, Al-Hasan ibnu Muslim, Al-Hakam ibnu Utbah, Zaid ibnu Aslam, dan anaknya
(yaitu Abdur Rahman).
Diriwayatkan melalui jalur Ibnu Jarir, dari Abdullah ibnu Kasir yang
mengatakan, "Kami pernah mendengar hal tersebut berkaitan dengan masalah safar
(bepergian).'
Pendapat ini didukung oleh adanya sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan ahlus sunan melalui hadis Abu Qilabah, dari Umar ibnu Najdan, dari Abu
Zar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الصَّعِيدُ
الطَّيِّبُ طَهُورُ الْمُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ تَجِدِ الْمَاءَ عشر حجج، فإذا وجدت
الماء فأمسه بَشَرَتَكَ، فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ»
Debu yang baik (suci) adalah sarana bersuci orang muslim, sekalipun engkau
belum menjumpai air selama sepuluh haji (tahun). Dan apabila kamu menjumpai air,
maka usapkanlah ke kulitmu, karena hal tersebut lebih baik bagimu.
Selanjutnya Ibnu Jarir sesudah mengetengahkan kedua pendapat di atas
mengatakan bahwa pendapat yang lebih utama sehubungan dengan makna firman-Nya:
dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali
sekadar berlalu saja. (An-Nisa: 43); ialah pendapat yang mengatakan bahwa
terkecuali bagi orang-orang yang melewatinya saja. Demikian itu karena Allah
Swt. telah menjelaskan hukum orang musafir bila tidak menemukan air, sedangkan
ia dalam keadaan junub. Yaitu yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan jika
kalian sakit atau sedang dalam musafir. (An-Nisa: 43), hingga akhir
ayat.
Dengan demikian berarti masalahnya telah dimaklumi, bahwa seandainva firman
Allah Swt.: dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan
junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi. (An-Nisa: 43)
dimaksudkan adalah orang yang dalam bepergian (musafir), maka tidak perlu
diulang lagi penyebutannya pada firman-Nya: Dan jika kalian sakit atau sedang
dalam musafir. (An-Nisa: 43) mengingat dalam firman sebelumnya telah
disebutkan.
Dengan demikian, berarti takwil ayat adalah seperti berikut: Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian mendekati masjid untuk salat di dalamnya ketika
kalian sedang dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian
ucapkan; jangan pula kalian hampiri masjid ketika kalian sedang dalam keadaan
junub, hingga kalian mandi, kecuali sekadar berlalu saja.
'Abirus sabil artinya orang yang melewati dan menyeberanginya. Seperti
pengertian dalam kalimat "Aku menyeberangi jalan itu" dan "Si Fulan menyeberangi
sungai itu", disebutkan dengan akar kata yang sama, yaitu 'abara,
'abran, dan 'uburan. Termasuk ke dalam pengertian kata
'araba ialah dikatakan terhadap unta yang kuat dalam perjalanan jauh
dengan sebutan 'abral asfar, mengingat kekuatannya dalam menjelajahi
jarak yang sangat jauh.
Pendapat inilah yang didukung oleh jumhur ulama, yaitu sesuai dengan makna
lahiriah ayat. Seakan-akan Allah Swt. melarang melakukan pekerjaan salat dalam
keadaan tidak pantas. bertentangan dengan tujuan dari salat itu sendiri;
melarang pula memasuki tempat salat dalam keadaan yang tidak layak, yaitu
berjinabah; yang jelas bertentangan dengan salat, juga dengan tempat salat itu
sendiri yang suci.
*******************
Firman Allah Swt.:
حَتَّى
تَغْتَسِلُوا
hingga kalian mandi. (An-Nisa: 43)
Firman ini merupakan dalil bagi mazhab ketiga Imam, yaitu Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, dan Imam Syafii yang mengatakan bahwa haram bagi orang yang junub
diam di dalam masjid, hingga ia mandi atau bertayamum jika tidak ada air, atau
tidak mampu menggunakan air karena sesuatu sebab.
Imam Ahmad berpendapat, "Manakala orang yang mempunyai jinabah melakukan
wudu, maka ia diperbolehkan tinggal di dalam masjid," karena berdasarkan kepada
apa yang diriwayatkan sendiri dan juga Sa'id ibnu Mansur di dalam kitab sunannya
dengan sanad yang sahih, yang menyebutkan bahwa dahulu para sahabat melakukan
hal tersebut.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan di dalam kitab sunannya: telah menceritakan
kepada kami Abdul Aziz Ibnu Muhammad (yakni Ad-Darawardi), dari Hisyam ibnu
Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar yang menceritakan bahwa ia
melihat banyak sahabat Rasulullah Saw. duduk-duduk di dalam masjid —sedangkan
mereka dalam keadaan junub— karena mereka telah melakukan wudu seperti wudu
untuk salat.
Sanad riwayat ini sahih dengan syarat Muslim.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ
لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً
طَيِّباً
Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir atau seseorang di antara
kalian datang dari tempat buang air atau kalian telah menyentuh perempuan,
kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang
baik (suci). (An-Nisa: 43)
Adapun mengenai sakit yang membolehkan seseorang bertayamum adalah sakit yang
mengkhawatirkan akan matinya salah satu anggota tubuh, atau sakit bertambah
parah, atau sembuhnya bertambah lama jika menggunakan air. Tetapi ada ulama yang
membolehkan bertayamum hanya karena alasan sakit saja, berdasarkan keumuman
makna ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abu Gassan Malik ibnu Ismail, telah menceritakan kepada
kami Qais ibnu Hafs, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Dan jika
kalian sakit. (An-Nisa: 43) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang
lelaki dari kalangan Ansar yang sedang sakit, karenanya ia tidak dapat bangkit
untuk melakukan wudu, dan ia tidak mempunyai seorang pembantu pun yang
menyediakan air wudu untuknya. Lalu ia menanyakan masalah tersebut kepada Nabi
Saw. Maka Allah menurunkan ayat ini. Hadis ini mursal.
Mengenai safar atau bepergian, tidak ada bedanya antara jarak yang jauh dan
jarak yang dekat.
*******************
Firman Allah Swt.:
أَوْ
جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ
atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air.
(An-Nisa: 43)
Yang dimaksud dengan al-gait ialah tempat yang tenang, kemudian
dipinjam untuk menunjukkan pengertian tempat buang air.
Adapun mengenai firman-Nya:
أَوْ
لامَسْتُمُ النِّساءَ
atau kalian telah menyentuh perempuan. (An-Nisa: 43)
Ada yang membacanya lamastum (لمستم), dan ada pula yang membacanya lamastum
(لامستم). Ulama tafsir dan para imam berbeda pendapat
mengenai maknanya.
Pertama mengatakan bahwa hal tersebut adalah kata
kinayah (sindiran) mengenai persetubuhan, karena berdasarkan firman Allah
Swt. yang lainnya, yaitu:
وَإِنْ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ
فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan
mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah
separo dari mahar yang telah kalian tentukan itu. (Al-Baqarah: 237)
Dalam ayat yang lain Allah Swt. telah berfirman pula:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِناتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَما لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ
تَعْتَدُّونَها
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta
menyempurnakannya. (Al-Ahzab: 49)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kep.ada kami Abu Sa'id
Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki", dari Sufyan, dari Abu Ishaq,
dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: atau
kalian telah menyentuh perempuan. (An-Nisa: 43) bahwa yang dimaksud dengan
lamastum dalam ayat ini adalah persetubuhan.
Telah diriwayatkan dari Ali, Ubay ibnu Ka'b, Mujahid, Tawus, Al-Hasan, Ubaid
ibnu Umair, Sa’id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan hal
yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Humaid ibnu Mas'adah,
telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai", telah menceritakan kepada kami
Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa mereka
membicarakan masalah al-lams, maka sebagian orang dari kalangan
bekas-bekas budak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bukan persetubuhan
(tetapi persentuhan). Sejumlah orang dari kalangan orang-orang Arab mengatakan
bahwa makna yang dimaksud adalah persetubuhan.
Sa'id ibnu Jubair melanjutkan kisahnya, "Setelah itu aku menjumpai Ibnu
Abbas, dan kukatakan kepadanya bahwa orang-orang dari kalangan Mawali dan
orang-orang Arab berselisih pendapat mengenai makna al-lams. Para Mawali
mengatakan bahwa hal itu bukan persetubuhan, sedangkan orang-orang Arab
mengatakannya persetubuhan."
Ibnu Abbas bertanya, "Kalau kamu berasal dari golongan yang mana di antara
kedua golongan itu?" Aku menjawab, "Aku berasal dari Mawali." Ibnu Abbas
berkata, "Kelompok Mawali kalah, sesungguhnya lams dan mass serta
muhasyarah artinya persetubuhan. Allah sengaja mengungkapkannya dengan
kata-kata sindiran menurut apa yang dikehendaki-Nya."
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Ibnu Basysyar, dari Gundar,
dari Syu'bah dengan makna yang semisal.
Kemudian ia meriwayatkannya pula melalui jalur lainnya dari Sa'id ibnu Jubair
dengan lafaz yang semisal.
Hal yang semisal disebutkannya bahwa telah menceritakan kepadaku Ya'qub,
telah menceritakan kepada kami Hasyim yang mengatakan bahwa Abu Bisyr pernah
berkata, "Telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa al-lams, al-mass, dan al-mubasyarah
artinya persetubuhan, tetapi Allah mengungkapkannya dengan kata sindiran menurut
apa yang disukai-Nya."
Telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Bayan, telah menceritakan
kepada kami Ishaq Al-Azraq, dari Sufyan, dari Asim Al-Ahwal, dari Bikr ibnu
Abdullah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-imilamasah artinya
jimak; tetapi Allah Mahamulia, Dia mengungkapkannya dengan kata sindiran menurut
apa yang dikehendaki-Nya.
Menurut riwayat yang dinilai sahih, telah disebutkan hal tersebut dari Ibnu
Abbas melalui berbagai jalur periwayatan. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya
dari salah seorang yang dikemukakan oleh Ibnu Abu Hatim dari mereka.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa Allah Swt.
bermaksud menggunakan ungkapan tersebut ditujukan kepada setiap orang yang
menyentuh dengan tangannya atau dengan anggota lainnya. Diwajibkan pula atas
setiap orang yang menyentuhkan salah satu anggota tubuhnya kepada anggota tubuh
perempuan secara langsung (tanpa penghalang).
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada
kami Sufyan, dari Mukhariq, dari Tariq, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang
mengatakan bahwa al-lams ialah melakukan kontak tubuh dengan perempuan
selain persetubuhan.
Diriwayatkan dari berbagai jalur bersumber dari Ibnu Mas'ud dengan lafaz yang
semisal.
Diriwayatkan melalui hadis Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Abu Ubaidah, dari
Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa ciuman termasuk al-massu,
pelakunya diwajibkan berwudu.
Imam Tabrani meriwayatkan berikut sanadnya, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang
mengatakan bahwa seorang lelaki diharuskan berwudu karena melakukan persentuhan
dengan perempuan, memegangnya dengan tangan, juga menciumnya. Tersebutlah bahwa
Abdullah ibnu Mas'ud mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu
firman-Nya: atau kalian telah menyentuh perempuan. (An-Nisa: 43) Yakni
mengedipkan mata.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar, dari
Nafi", bahwa Ibnu Umar pernah melakukan wudu karena telah mencium istrinya. ia
berpendapat bahwa perbuatan tersebut mengharuskan seseorang berwudu. Menurutnya
perbuatan tersebut termasuk al-limas.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur Syu'bah, dari
Mukhariq, dari Tariq, dari Abdullah yang mengatakan bahwa al-lams ialah
melakukan kontak tubuh dengan perempuan kecuali bersetubuh.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari
Ibnu Umar, Ubaidah, Abu Usman An-Nahdi, Abu Ubaidah (yakni ibnu Abdullah ibnu
Mas'ud), Amir Asy-Sya'bi, Sabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha'i, dan Zaid ibnu
Aslam.
Menurut kami diriwayatkan oleh Imam Malik dari Az-Zuhri, dari Salim ibnu
Abdullah ibnu Umar, dari ayahnya, bahwa ia pernah mengatakan, "Ciuman seorang
lelaki terhadap istrinya dan memegangnya (meremasnya) dengan tangan termasuk ke
dalam pengertian mulamasah. Karena itu, barang siapa yang mencium
istrinya atau memegangnya dengan tangan, maka ia harus berwudu."
Al-Hafiz Abdul Hasan Ad-Daruqutni meriwayatkan hal yang semisal di dalam
kitab sunannya melalui Umar ibnul Khattab.
Akan tetapi, diriwayatkan kepada kami dari Umar ibnul Khattab melalui jalur
yang lain, bahwa ia pernah mencium istrinya, kemudian langsung salat tanpa wudu
lagi.
Riwayat yang bersumber dari Umar berbeda-beda. Karena itu, dapat
diinterpretasikan riwayat darinya yang mengatakan wudu, jika memang sahih
bersumber darinya bahwa yang dimaksudkan adalah sunat, bukan wajib.
Pendapat yang mengatakan wajib wudu karena menyentuh perempuan adalah
pendapat Imam Syafii dan semua sahabatnya serta Imam Malik, dan menurut riwayat
yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal.
Orang-orang yang mendukung pendapat ini mengatakan bahwa ayat ini ada yang
membacanya lamastum, ada pula yang membacanya laamastum.
Pengertian al-lams menurut istilah syara' ditujukan kepada makna menyentuh atau
memegang dengan tangan, seperti pengertian yang terdapat di dalam
firman-Nya:
وَلَوْ
نَزَّلْنا عَلَيْكَ كِتاباً فِي قِرْطاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ
Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat
memegangnya dengan tangan mereka. (Al-An'am: 7)
Yakni memegangnya dan menyentuhnya dengan tangan mereka.
Rasulullah Saw. telah bersabda kepada Ma'iz tatkala ia mengaku berbuat zina,
lalu Nabi Saw. menawarkan kepadanya agar mencabut kembali pengakuannya melalui
sabdanya:
«لَعَلَّكَ
قَبَّلْتَ أَوْ لَمَسْتَ»
Barangkali kamu hanya menciumnya atau memegang-megangnya.
Di dalam hadis sahih disebutkan:
"وَالْيَدُ
زِنَاهَا اللَّمْسُ"
Zina tangan ialah meraba (wanita lain).
Siti Aisyah r.a. menceritakan hadis berikut, "Jarang sekali kami lewatkan
setiap harinya melainkan Rasulullah Saw. berkeliling mengunjungi kami (para
istrinya) semua, lalu beliau mencium dan memegang (kami)."
Termasuk pula ke dalam pengertian ini sebuah hadis yang telah ditetapkan di
dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah Saw. melarang jual beli mulamasah
(yang dipegang berarti dibeli).
Pada garis besarnya makna lafaz ini —berdasarkan kedua penafsiran di atas—
tetap merujuk kepada pengertian memegang dengan tangan. Mereka mengatakan,
"Menurut istilah bahasa, lafaz al-lams ditujukan kepada pengertian
memegang dengan tangan, sebagaimana ditujukan pula kepada pengertian
bersetubuh." Salah seorang penyair mengatakan,
وألمستُ
كَفي كفَّه أَطْلُبُ الغِنَى ...
"Telapak tanganku berjabatan tangan
dengan telapak tangannya untuk meminta kecukupan."
Sehubungan dengan pengertian memegang ini mereka kemukakan pula sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَأَبُو سَعِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا زَائِدَةُ، عَنْ
عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ -وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: حَدَّثَنَا عَبْدِ
الْمَلِكِ بْنِ عُمَير، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بن أبي لَيْلَى، عَنْ مُعَاذٍ
قَالَ: أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تَقُولُ فِي رَجُلٍ لَقِيَ امْرَأَةً لَا يَعْرِفُهَا،
فَلَيْسَ يَأْتِي الرَّجُلُ مِنِ امرأته شيء إلا أَتَاهُ مِنْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ
لَمْ يُجَامِعْهَا؟ قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَذِهِ الْآيَةَ:
{وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ
الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ} [هُودٍ:
114] قَالَ: فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"تَوَضَّأَ ثُمَّ صَلِّ". قَالَ مُعَاذٌ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَهُ
خَاصَّةً أَمْ لِلْمُؤْمِنِينَ عَامَّةً؟ قَالَ: "بَلْ لِلْمُؤْمِنِينَ
عَامَّةً".
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mahdi dan Abu
Sa'id; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaidah, dari Abdul
Malik ibnu Umair yang mengatakan bahwa Abu Sa'id mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdul Malik Ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari
Mu'az, bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah kedatangan seorang lelaki, lalu
lelaki itu bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang seorang
lelaki yang menjumpai seorang wanita yang tidak dikenalnya, lalu lelaki itu
melakukan segala sesuatu terhadapnya sebagaimana terhadap istrinya sendiri,
hanya saja ia tidak menyetubuhinya?” Sahabat Mu'az ibnu Jabal melanjutkan
kisahnya, bahwa sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah firman-Nya: Dan
dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian
permulaan daripada malam. (Hud: 114), hingga akhir ayat. Mu'az melanjutkan
kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. bersabda: "Berwudulah, kemudian
salatlah!" Mu'az bertanya, "Apakah khusus baginya, wahai Rasulullah; ataukah
untuk kaum mukmin secara umum?" Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak, bahkan
untuk kaum mukmin secara umum."
Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Zaidah dengan lafaz yang sama,
lalu ia mengatakan bahwa sanad hadis ini tidak muttasil.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah, dari Abdul Malik ibnu
Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila secara mursal. Mereka mengatakan bahwa
Nabi Saw. memerintahkan kepadanya untuk melakukan wudu, karena dia hanya
menyentuh perempuan dan tidak menggaulinya. Tetapi penilaian ini disanggah
dengan alasan bahwa dalam sanad hadis ini terdapat inqita antara Abu
Laila dan Mu'az, karena sesungguhnya Abu Laila tidak pernah bersua dengan Mu'az
ibnu Jabal.
Kemudian makna hadis ini dapat pula diinterpretasikan bahwa perintah Nabi
Saw. yang menganjurkannya melakukan wudu dan mengerjakan salat fardu adalah sama
dengan apa yang disebutkan di dalam hadis As-Siddiq (Abu Bakar) yang telah kami
sebutkan jauh sebelum ini, yaitu:
«مَا
مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ إِلَّا غَفَرَ
اللَّهُ لَهُ»
Tidak sekali-kali seseorang hamba melakukan suatu dosa. lalu ia berwudu
dan melakukan salat dua rakaat, melainkan Allah memberikan ampunan baginya.
hingga akhir hadis.
Hadis ini disebutkan di dalam tafsir surat Ali Imran, yaitu pada pembahasan
mengenai firman-Nya:
ذَكَرُوا
اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.
(Ali Imran: 135)
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang paling benar di antara
kedua pendapat tersebut ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud
oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, "Au-lamastumun nisa" ialah
persetubuhan, bukan makna lams lainnya. Karena ada sebuah hadis sahih
dari Rasulullah Saw. yang mengatakan bahwa beliau pernah mencium salah seorang
istrinya, lalu salat tanpa wudu lagi.
Lalu Ibnu Jarir mengatakan.”Hal tersebut diceritakan kepadaku oleh Ismail
ibnu Musa As-Saddi yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar ibnu Ayyasy, dari Al-A'masy, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Urwah, dari
Siti Aisyah yang menceritakan:
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يُقَبِّلُ، ثُمَّ
يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ
'Rasulullah Saw. pernah melakukan wudu, kemudian mencium (salah seorang
istrinya), lalu langsung salat tanpa wudu lagi'."
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Habib, dari Urwah, dari
Siti Aisyah: Bahwa Rasulullah Saw. mencium salah seorang istrinya, kemudian
keluar rumah untuk menunaikan salat tanpa wudu lagi. Aku (Urwah) berkata, "Dia
tiada lain kecuali engkau sendiri." Maka Siti Aisyah tertawa.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu
Majah, dari sejumlah guru mereka, dari Waki" dengan lafaz yang sama. Kemudian
Imam Abu Daud mengatakan. telah diriwayatkan dari As-Sauri; ia pernah
mengatakan, "Habib tidak pernah menceritakan hadis kepada kami kecuali dari
Urwah Al-Muzani." Yahya Al-Qattan mengatakan kepada seorang perawi,
"Riwayatkanlah dariku bahwa hadis ini mirip dengan bukan hadis." Imam Turmuzi
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari menilai daif hadis ini. Imam
Turmuzi mengatakan, "Habib ibnu Abu Sabit belum pernah mendengar hadis dari
Urwah."
Disebutkan di dalam hadis riwayat Ibnu Majah bahwa ia menerimanya dari Abu
Bakar ibnu Abu Syaibah dan Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, dari Waki', dari
Al-A’masy, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Aisyah.
Lebih jelas lagi hal tersebut ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di
dalam kitab musnadnya melalui hadis Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti
Aisyah. Hal ini merupakan nas yang menunjukkan bahwa dia adalah Urwah ibnuz
Zubair, dan yang menjadi buktinya ialah ucapannya yang mengatakan, "Dia tiada
lain kecuali engkau sendiri," lalu Siti Aisyah tertawa.
Akan tetapi, Imam Abu Daud meriwayatkan dari Ibrahim ibnu Makhlad, telah
menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu
Rauq Al-Hamdani At-Taliqani, dari Abdur Rahman ibnu Magra, dari Al-A'masy yang
mengatakan, "Telah menceritakan kepada kami teman-teman kami dari Urwah
Al-Muzani, dari Siti Aisyah, lalu ia menuturkan hadis ini."
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو زَيْدٍ عُمَرُ بْنُ شَبَّةَ، عَنْ شِهَابِ
بْنِ عبَّاد، حَدَّثَنَا مَنْدَل بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ
عَائِشَةَ -وَعَنْ أَبِي رَوْق، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيمي، عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَالُ مِنِّي
القبلةَ بَعْدَ الْوُضُوءِ، ثُمَّ لَا يُعِيدُ الْوُضُوءَ
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid, dari
Umar ibnu Unais, dari Hisyam ibnu Abbad, telah menceritakan kepada kami Musaddad
ibnu Ali, dari Lais, dari Ata, dari Siti Aisyah. Juga dari Abu Rauq, dari
Ibrahim At-Taimi, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Dahulu Nabi Saw.
pernah berkesempatan menciumku sesudah wudu, kemudian beliau tidak mengulangi
wudunya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي رَوْقٍ
الهمْدَاني، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ عَائِشَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ
يَتَوَضَّأْ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki", telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Rauq Al-Hamdani, dari Ibrahim
At-Taimi, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Bahwa Rasulullah Saw. pernah
menciumku, lalu langsung salat tanpa wudu lagi.
Imam Abu Daud dan Imam Kasai meriwayatkannya melalui hadis Yahya Al-Qattan,
Imam Abu Daud menambahkan Ibnu Mahdi yang kedua-duanya dari Sufyan As-Sauri,
dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Abu Daud dan Imam Nasai mengatakan bahwa
Ibrahim At-Taimi belum pernah mendengar dari Siti Aisyah.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan pula:
حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى الْأُمَوِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ
سِنَان، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي
كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ، ثُمَّ لَا يُفْطِرُ،
وَلَا يُحْدِثُ وُضُوءًا
telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya Al-Umawi, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yazid, dari Sinan, dari Abdur
Rahman Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah, dari Ummu
Salamah: Bahwa Rasulullah Saw. menciumnya. sedangkan beliau dalam keadaan
puasa, lalu tidak berbuka dan tidak pula melakukan wudu.
Ibnu Jarir mengatakan pula:
حَدَّثَنَا
أَبُو كَرَيْبٍ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِياث، عَنْ حَجَّاجٍ، عَنِ عَمْرِو بْنِ
شُعَيْبٍ، عَنْ زَيْنَبَ السَّهْمِية عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: أَنَّهُ كَانَ يُقَبّل ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا
يَتَوَضَّأُ.
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami
Hafs ibnu Gayyas, dari Hajyaj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari Zainab As-Sahmiyyah,
dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw.: Bahwa Nabi Saw. pernah mencium (salah
seorang istrinya), kemudian langsung salat tanpa wudu lagi.
Imam Ahmad ibnu Muhammad ibnu Fudail meriwayatkannya dari Hajjaj ibnu Artah,
dari Amr ibnu Syu'aib, dari Zainab As-Sahmiyyah, dari Siti Aisyah, dari Nabi
Saw. dengan lafaz yang sama.
*******************
Firman Allah Swt.:
فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً
kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah
yang baik (suci). (An-Nisa: 43)
Kebanyakan ulama fiqih menyimpulkan hukum ayat ini, bahwa seseorang yang
tidak menemukan air tidak boleh bertayamum kecuali setelah berupaya terlebih
dahulu mencari air. Bilamana ia telah berupaya mencari air dan tidak
menemukannya juga, barulah ia boleh melakukan tayamum. Mereka menyebutkan
cara-cara mencari air di dalam kitab-kitab fiqih dalam Bab "Tayamum".
Mengenai kebolehan bertayamum ini disebut di dalam kitab Sahihain melalui
hadis Imran ibnu Husain:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا مُعْتَزِلًا لَمْ
يُصَلِّ فِي الْقَوْمِ، فَقَالَ: "يَا فُلَانُ، مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّيَ مَعَ
الْقَوْمِ؟ أَلَسْتَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ؟ " قَالَ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ،
وَلَكِنْ أَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ وَلَا مَاءَ. قَالَ: "عَلَيْكَ بِالصَّعِيدِ،
فَإِنَّهُ يَكْفِيكَ".
bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang lelaki menyendiri, tidak ikut salat
bersama kaum yang ada. Maka beliau Saw. bertanya: Hai Fulan, apakah yang
mencegahmu hingga kamu tidak salat bersama kaum, bukankah kamu seorang muslim?
Lelaki itu menjawab, "Wahai Rasulullah, tidak demikian, melainkan karena aku
terkena jinabah, sedangkan air tidak ada." Rasulullah Saw. bersabda: Pakailah
debu olehmu, karena sesungguhnya debu itu cukup bagi (bersuci)mu.
Karena itulah maka di dalam firman-Nya disebutkan:
{فَإِنْ
لَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا}
kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah
yang baik (suci). (An-Nisa: 43)
Istilah tayamum menurut bahasa artinya bertujuan. Orang-orang Arab
mengatakan, "Tayammamakallahu bihifzihi" artinya semoga Allah berkenan
memelihara dirimu, yakni bertujuan untuk melindungimu. Termasuk ke dalam
pengertian ini perkataan Imru'ul Qais dalam bait-bait syairnya,
yaitu:
وَلَمَّا
رَأَتْ أَنَّ الْمَنِيَّةَ وِرِدُهَا ... وَأَنَّ
الْحَصَى من تحت أقدامها دامي
تَيَمَّمَتِ
الْعَيْنَ الَّتِي عِنْدَ ضَارِجٍ ... يَفِيءُ
عَلَيْهَا الفيء عرمضها طام
Ketika kekasihku melihat bahwa maut
pasti datang merenggutnya, dan batu-batu kerikil yang berada di bawah telapak
kakinya telah penuh dengan darah(nya), maka ia menuju ke mata air yang berada di
Darij untuk mencari naungan yang airnya penuh berlimpah.
As-Sa'id menurut pendapat yang lain adalah segala sesuatu yang muncul
di permukaan bumi. Dengan demikian, termasuk pula ke dalam pengertiannya debu,
pasir, pepohonan, bebatuan, dan tumbuh-tumbuhan. Demikianlah menurut pendapat
Imam Malik.
Menurut pendapat lainnya lagi, yang dimaksud dengan sa'id ialah segala
sesuatu yang termasuk ke dalam jenis debu, seperti pasir, granit, dan kapur.
Demikianlah menurut mazhab Imam Abu Hanifah.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan sa'id ialah
debu saja. Demikianlah menurut pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad serta semua
murid mereka. Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya yang
mengatakan:
فَتُصْبِحَ
صَعِيداً زَلَقاً
hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin. (Al-Kahfi: 40)
Yaitu debu yang licin lagi baik. Berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam
Sahih Muslim melalui Huzaifah ibnul Yaman yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
«فُضِّلْنَا
عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ: جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ،
وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا، وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا
طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ»
Kita diberi keutamaan di atas semua orang (umat) karena tiga perkara,
yaitu saf-saf kita dijadikan seperti saf-saf para malaikat, bumi dijadikan bagi
kita semua sebagai tempat untuk sujud (salat), dan tanah dijadikan bagi kita
suci lagi menyucikan jika kita tidak menemukan air.
Menurut lafaz yang lain disebutkan:
«وَجُعِلَ
تُرَابُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ»
Dan dijadikan debunya bagi kita suci lagi menyucikan bilamana kita tidak
menemukan air.
Mereka mengatakan penyebutan debu dalam hadis ini sebagai sarana untuk
bersuci merupakan suatu prioritas. Seandainya ada hal lain yang dapat
menggantikan fungsinya, niscaya disebutkan bersamanya. Yang dimaksud dengan
istilah tayyib dalam ayat ini ialah yang halal. Menurut pendapat yang
lain, yang tidak najis alias suci.
Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahli Sunan
kecuali Ibnu Majah melalui Abu Qilabah, dari Amr ibnu Najdan, dari Abu Zar yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الصَّعِيدُ
الطَّيِّبُ طَهُورُ الْمُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ حِجَجٍ،
فَإِذَا وَجَدَهُ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ»
Debu yang suci merupakan sarana bersuci orang muslim jika ia tidak
menemukan air, sekalipun selama sepuluh musim haji (sepuluh tahun). Tetapi
apabila ia menemukan air, hendaklah ia menyentuhkan (menggunakan)fiya ke
kulitnya, karena sesungguhnya hal ini lebih baik baginya.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih, dan Imam Ibnu Hibban
menilainya sahih.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar di dalam kitab musnadnya telah meriwayatkannya
melalui Abu Hurairah. dan hadisnya ini dinilai sahih oleh Al-Hafiz Abul Hasan
Al-Qattan.
Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa tanah (debu) yang paling baik ialah yang
dari lahan pertanian. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, dan Ibnu
Murdawaih me-rafa'-kannya di dalam kitab tafsirnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
sapulah muka kalian dan tangan kalian. (An-Nisa: 43)
Tayamum merupakan pengganti wudu dalam pengertian kegunaannya, tetapi bukan
berarti merupakan pengganti wudu dalam semua anggotanya, melainkan cukup hanya
dengan mengusapkannya pada muka dan kedua tangan saja. Demikianlah menurut
kesepakatan semua ulama.
Akan tetapi, para imam berselisih pendapat mengenai cara bertayamum, seperti
dalam penjelasan berikut:
-
Menurut mazhab Syafii dalam qaul jadid-nya, diwajibkan mengusap wajah dan kedua tangan sampai ke batas siku dengan dua kali usapan. Dikatakan demikian karena kata 'kedua tangan' pengertiannya menunjukkan sampai batas kedua pangkal lengan, juga sampai batas kedua siku, sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat mengenai wudu. Adakalanya diucapkan dengan maksud sampai sebatas kedua telapak tangan, seperti yang terdapat di dalam ayat mengenai hukuman mencuri, yaitu firman-Nya: maka potonglah tangan keduanya. (Al-Maidah: 38)Mereka mengatakan bahwa menginterpretasikan kata 'kedua tangan" dalam ayat ini (An-Nisa: 43) dengan pengertian seperti yang ada pada ayat mengenai wudu adalah lebih utama karena adanya kesamaan dalam Bab "Bersuci". Salah seorang ulama menuturkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni melalui Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:«التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ: ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ، وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ»
Tayamum itu adalah dua kali usapan, satu usapan pada muka dan yang lainnya pada kedua tangan sampai batas kedua siku.
Akan tetapi, di dalam sanad ini terkandung kelemahan yang membuat hadis kurang kuat untuk dijadikan sebagai dalil.
Imam Abu Daud meriwayatkan melalui Ibnu Umar dalam sebuah hadis yang mengatakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرْبَ بِيَدَيْهِ عَلَى الْحَائِطِ وَمَسْحَ بِهِمَا وَجْهَهُ، ثُمَّ ضَرَبَ ضَرْبَةً أُخْرَى فَمَسَحَ بِهَا ذِرَاعَيْهِ.
bahwa Rasulullah Saw. menempelkan telapak tangannya pada tembok, lalu tangannya itu beliau usapkan ke muka. Kemudian beliau tempelkan lagi tangannya (ke tembok), setelah itu ia gunakan untuk mengusap kedua hastanya.
Tetapi di dalam sanadnya terdapat Muhammad ibnu Sabit Al-Adbi, sedangkan sebagian huffaz ada yang menilainya daif. Selain Imam Abu Daud ada yang meriwayatkannya dari beberapa orang yang siqah, lalu mereka memauqufkannya hanya sampai pada perbuatan Ibnu Umar.
Imam Bukhari, Abu Zar'ah, dan Ibnu Addi mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah yang menilainya sahih. Imam Baihaqi mengatakan bahwa menilai marfu' hadis ini tidak dapat diterima.
Imam Syafii berdalilkan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibrahim ibnu Muhammad, dari Abul Huwairis, dari Abdur Rahman ibnu Mu'awiyah, dari Al-A'raj, dari Ibnus Summah, bahwa Rasulullah Saw. melakukan tayamum, untuk itu beliau mengusap wajah dan kedua hastanya.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ سَهْلٍ الرَّمْلِيُّ، حَدَّثَنَا نَعِيمُ بْنُ حَمَّاد، حَدَّثَنَا خارجةُ بْنُ مُصْعب، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَطَاءٍ، عَنْ موسى بن عُقْبة، عن الأعرج، عن أبي جُهيم قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ حَتَّى فَرَغَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الْحَائِطِ فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ عَلَيْهِ، فَمَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ، ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ عَلَى الْحَائِطِ فَمَسَحَ بِهِمَا يَدَيْهِ إلى المرفقين، ثم رد علي السلام
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Sahl Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Kharijah ibnu Mus'ab, dari Abdullah ibnu Ata, dari Musa ibnu Uqbah, dari Al-A'raj, dari Abu Juhaim yang menceritakan: Aku pernah melihat Rasulullah Saw. sedang buang air kecil, lalu aku mengucapkan salam penghormatan kepadanya, tetapi beliau tidak menjawab salamku, hingga beliau selesai dari buang air kecilnya. Kemudian beliau berdiri di dekat tembok, lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke tembok itu, lalu mengusapkan kedua tangannya ke mukanya. Kemudian menempelkan lagi kedua tangannya ke tembok itu, lalu mengusapkan keduanya pada kedua tangannya sampai kedua sikunya. setelah itu baru beliau menjawab salamku.
-
Pendapat ini mengatakan bahwa yang diwajibkan ialah mengusap wajah dan kedua
telapak tangan dengan dua kali usapan (sekali usapan pada masing-masingnya).
Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii dalam qaul qadim-nya.
- Pendapat ketiga mengatakan, cukup mengusap muka dan kedua telapak tangan dengan sekali usapan (pada kesemuanya).
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ ذَرّ، عَنِ
ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ رَجُلًا أَتَى عُمَرَ
فَقَالَ: إِنِّي أَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِدْ مَاءً؟ فَقَالَ عُمَرُ: لَا تُصَلِّ.
فَقَالَ عَمَّارٌ: أَمَا تَذْكُرُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ أَنَا وَأَنْتَ
فِي سَرِيَّةٍ فَأَجْنَبْنَا فَلَمْ نَجِدْ مَاءً، فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ،
وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فِي التُّرَابِ فَصَلَّيْتُ، فَلَمَّا أَتَيْنَا
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ:
"إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ". وَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِيَدِهِ الْأَرْضَ، ثُمَّ نَفَخَ فِيهَا وَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ
وَكَفَّيْهِ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far,
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Zar, dari Abdur
Rahman ibnu Abza, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap
Khalifah Umar. Lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku terkena jinabah
dan aku tidak menemukan air." Khalifah Umar berkata, "Kalau demikian, kamu
jangan salat." Ammar (yang hadir di majelis itu) berkata, "Tidakkah engkau
ingat, hai Amirul Mukminin, ketika aku dan engkau berada dalam suatu pasukan
khusus. Lalu kita mengalami jinabah, sedangkan kita tidak menemukan air. Adapun
engkau tidak melakukan salat karenanya, sedangkan aku berguling di tanah (debu),
lalu aku salat. Ketika kita datang kepada Nabi Saw., lalu kuceritakan hal
tersebut kepadanya. Maka beliau Saw. bersabda: Sebenarnya cukup bagimu
seperti ini. Kemudian Nabi Saw. menempelkan telapak tangannya ke tanah, lalu
meniupnya, setelah itu beliau gunakan untuk mengusap wajah dan kedua telapak
tangannya."
قَالَ
أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عفَّان، حَدَّثَنَا أَبَانٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةَ،
عَنْ عَزْرَة عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزى، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ عَمَّارٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي
التَّيَمُّمِ: "ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah
menceritakan kepada kami Abban, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari
Urwah, dari Sa'id ibnu Abdur Rahman ibnu Abza, dari ayahnya, dari Ammar, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Melakukan tayamum ialah dengan sekali usap
pada wajah dan kedua telapak tangan.
Jalur lain.
قَالَ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ، حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ الْأَعْمَشُ، حَدَّثَنَا شَقِيقٌ قَالَ: كُنْتُ قَاعِدًا مَعَ عَبْدِ
اللَّهِ وَأَبِي مُوسَى فَقَالَ أَبُو مُوسَى لِعَبْدِ اللَّهِ: لَوْ أَنَّ رَجُلًا
لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ لَمْ يُصَلِّ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: لَا. فَقَالَ أَبُو
مُوسَى: أما تذكر إذ قال عمَّار لعمر: أَلَا تَذْكُرُ إِذْ بَعَثَنِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِيَّاكَ فِي إِبِلٍ، فَأَصَابَتْنِي
جَنَابَةٌ، فَتَمَرَّغْتُ فِي التُّرَابِ؟ فَلَمَّا رجعتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ، فَضَحِكَ وَقَالَ: "إِنَّمَا
كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ هَكَذَا"، وَضَرَبَ بِكَفَّيْهِ إِلَى الْأَرْضِ،
ثُمَّ مَسَحَ كَفَّيْهِ جَمِيعًا، وَمَسَحَ وَجْهَهُ مَسْحَةً وَاحِدَةً بِضَرْبَةٍ
وَاحِدَةٍ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: لَا جَرَمَ، مَا رَأَيْتُ عُمَرَ قَنِعَ
بِذَاكَ قَالَ: فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى: فَكَيْفَ بِهَذِهِ الْآيَةِ فِي سُورَةِ
النساء: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيًدا طَيِّبًا} ؟ قَالَ: فَمَا
دَرَى عَبْدُ اللَّهِ مَا يَقُولُ، وَقَالَ: لَوْ رَخَّصْنَا لَهُمْ فِي
التَّيَمُّمِ لَأَوْشَكَ أَحَدُهُمْ إِذَا بَرَدَ الْمَاءُ عَلَى جِلْدِهِ أَنْ
يَتَيَمَّمَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahid, dari Sulaiman Al-A'masy, telah
menceritakan kepada kami Syaqiq, bahwa ia pernah duduk bersama Abdullah dan Abu
Musa. Lalu Abu Ya'la berkata kepada Abdullah, "Seandainya ada seorang lelaki
tidak menemukan air, lalu ia tidak salat. Bagaimanakah menurut pendapatmu?"
Abdullah menjawab, "Tidakkah kamu ingat apa yang dikatakan oleh Ammar kepada
Khalifah Umar, yaitu: 'Tidakkah kamu ingat ketika Rasulullah Saw. mengirimku
bersamamu dalam suatu iringan unta, lalu aku mengalami jinabah, dan kemudian aku
berguling di tanah. Ketika aku kembali kepada Rasulullah Saw., kuceritakan hal
itu kepadanya. Maka Rasulullah Saw. hanya tertawa dan bersabda: Sebenarnya
kamu cukup melakukan seperti ini. Lalu beliau Saw. menempelkan kedua telapak
tangannya ke tanah, kemudian debunya ia gunakan untuk mengusap kedua telapak
tangannya, dan mukanya sekali usap dengan sekali ambilan debu tadi'." Abdullah
berkata, "Tidak mengapa selagi kamu melihat Umar menerima hal tersebut." Abu
Musa berkata lagi kepadanya, "Jika demikian. bagaimanakah dengan ayat yang di
dalam surat An-Nisa," yaitu firman-Nya: kemudian kalian tidak mendapat air,
maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). (An-Nisa: 43)
Abdullah tidak mengetahui apa yang harus ia katakan, lalu Abu Musa berkata,
"Seandainya kita memberikan kemurahan buat mereka dalam masalah tayamum, niscaya
tanpa segan-segan bila seseorang di antara mereka merasa dingin jika kena air,
ia langsung melakukan tayamum."
*******************
Dalam surat Al-Maidah disebutkan oleh firman-Nya:
فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah (debu) itu.
(Al-Maidah: 6)
Berangkat dari pengertian ayat ini Imam Syafii berpendapat bahwa tayamum
diharuskan memakai tanah yang suci dan mengandung debu, hingga ada sebagian dari
debu itu yang menempel pada muka dan kedua tangan. Seperti yang disebutkan dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dengan sanad yang telah disebutkan di
atas dari Ibnus Summah, bahwa ia pernah bersua dengan Nabi Saw. yang sedang
buang air kecil, lalu ia mengucapkan salam kepadanya. Tetapi Nabi Saw. tidak
menjawab salamnya, melainkan beliau langsung menuju ke sebuah tembok dan
mengeriknya dengan tongkat yang ada padanya. Setelah itu beliau menempelkan
telapak tangannya pada tembok itu, kemudian mengusapkannya pada wajah dan kedua
hastanya.
*******************
Firman Allah Swt.:
مَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
Allah tidak hendak menyulitkan kalian. (Al-Maidah: 6)
Yakni dalam masalah agama yang telah disyariatkan-Nya buat kalian.
وَلكِنْ
يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
tetapi Dia hendak membersihkan kalian. (Al-Maidah: 6)
Karena itulah maka Allah membolehkan tayamum bila kalian tidak menemukan air,
yaitu menggantinya dengan debu. Tayamum merupakan suatu karunia bagi kalian,
supaya kalian bersyukur.
Untuk itulah maka disebutkan bahwa di antara keistimewaan umat ini ialah
disyariatkan-Nya tayamum bagi mereka, sedangkan pada umat lain hal tersebut
tidak disyariatkan.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Jabir ibnu
Abdullah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«أُعْطِيتُ
خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي، نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ،
وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي
أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ»
Aku dianugerahi lima hal yang belum pernah diberikan kepada seorang (rasul
pun) sebelumku, yaitu: Aku diberi pertolongan melalui rasa gentar (yang mencekam
hati musuh) dalam jarak perjalanan satu bulan, bumi ini dijadikan bagiku sebagai
tempat untuk salat dan sarana untuk bersuci. Karena itu, barang siapa dari
kalangan umatku menjumpai waktu salat, hendaklah ia salat.
Menurut lafaz yang lain adalah seperti berikut:
«فَعِنْدَهُ
طَهُورُهُ وَمَسْجِدُهُ، وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ
قَبْلِي، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ
وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً»
karena di dekatnya ada masjid dan sarana bersuci; ganimah dihalalkan
bagiku, sedangkan ganimah belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumku;
aku diberi izin untuk memberi syafaat; dan dahulu seorang nabi diutus hanya
untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh umat manusia.
Dalam hadis Huzaifah yang lalu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
disebutkan:
«فُضِّلْنَا
عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ، جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ،
وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَتُرْبَتُهَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ
الْمَاءَ»
Kita diberi keutamaan di atas manusia karena tiga perkara, yaitu saf-saf
kita dijadikan seperti saf-saf para malaikat; bumi dijadikan bagi kita sebagai
tempat salat dan tanahnya suci lagi menyucikan jika kita tidak menemukan
air.
*******************
Allah Swt. dalam surat ini (An-Nisa) berfirman:
فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَفُوًّا غَفُوراً
sapulah muka kalian dan tangan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun. (An-Nisa: 43)
Dengan kata lain, termasuk pemaafan dari Allah kepada kalian dan ampunan-Nya
bagi kalian ialah disyariatkan-Nya tayamum bagi kalian, dan membolehkan kalian
mengerjakan salat dengan tayamum bila kalian tidak menemukan air, sebagai
kemudahan dan keringanan buat kalian.
Di dalam ayat ini terkandung pula makna yang menunjukkan bahwa demi
membersihkan salat, tidak boleh mengerjakannya dengan keadaan yang tidak baik,
misalnya dalam keadaan mabuk, hingga seseorang mengerti dan memahami apa yang
diucapkannya. Tidak boleh pula mengerjakannya dalam keadaan mempunyai jinabah,
hingga mandi; atau berhadas, hingga berwudu; kecuali jika orang yang
ber-sangkutan dalam keadaan sakit atau tidak ada air, maka Allah mem-berikan
keringanan dengan membolehkan tayamum sebagai rahmat dari Allah buat
hamba-hamba-Nya, kasih sayang Allah kepada mereka, dan kemurahan bagi
mereka.
Latar belakang pen-tasyri'-an (penetapan hukum) tayamum
Sesungguhnya kami sengaja menyebutkan asbabun nuzul pen-tasyri'-an
tayamum dalam pembahasan ini karena ayat surat An-Nisa diturunkan lebih dahulu
daripada ayat Al-Maidah. Jelasnya ayat ini diturunkan sebelum ada pengharaman
masalah khamr. Sesungguhnya khamr hanya baru diharamkan sesudah Perang Uhud
dalam jangka waktu yang tidak lama, yaitu di saat Nabi Saw. mengepung Bani
Nadir.
Ayat tayamum yang ada di dalam surat Al-Maidah sesungguhnya termasuk wahyu
Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan, terlebih lagi bagian permulaannya. Maka
sangatlah sesuai bila asbabun nuzul-nya diketengahkan dalam pembahasan ini.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ أَسْمَاءَ قِلَادَةً،
فَهَلَكَتْ، فَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رِجَالًا
فِي طَلَبِهَا فَوَجَدُوهَا، فَأَدْرَكَتْهُمُ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ،
فَصَلُّوهَا بِغَيْرِ وُضُوءٍ، فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ، فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ
الْحُضَيْرِ لِعَائِشَةَ: جَزَاكِ اللَّهُ خَيْرًا، فَوَاللَّهِ مَا نَزَلَ بِكِ
أَمْرٌ تَكْرَهِينَهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ لَكِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ
خَيْرًا
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Namir, dari
Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a., bahwa ia pernah meminjam sebuah
kalung dari Asma, lalu kalungnya itu hilang. Maka Rasulullah Saw. mengirimkan
beberapa orang lelaki untuk mencarinya, ternyata mereka berhasil menemukannya.
Waktu salat tiba, sedangkan mereka tidak mempunyai air, maka mereka terpaksa
mengerjakannya tanpa wudu. Setelah itu mereka melaporkan hal tersebut kepada
Rasulullah Saw., lalu Allah Swt. menurunkan ayat tayamum. Usaid ibnu Hudair
berkata kepada Siti Aisyah, "Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Demi
Allah, tidak sekali-kali kamu mengalami suatu hal yang tidak kamu sukai,
melainkan Allah menjadikan bagimu —juga bagi kaum muslim— suatu kebaikan dalam
hal tersebut .
Jalur yang lain.
قَالَ
الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَنْبَأَنَا مَالِكٌ، عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ
أَسْفَارِهِ، حَتَّى إِذَا كُنَّا فِي الْبَيْدَاءِ -أَوْ بِذَاتِ
الْجَيْشِ-انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي، فَأَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْتِمَاسِهِ، وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ، وَلَيْسُوا
عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ، فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ
فَقَالُوا: أَلَا تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ؟ أَقَامَتْ بِرَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِالنَّاسِ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ
مَعَهُمْ مَاءٌ! فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ، فَقَالَ: حَبَسْتِ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ
وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ! قَالَتْ عَائِشَةُ: فَعَاتَبَنِي أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ
مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ، وَجَعَلَ يَطْعَنُ بِيَدِهِ فِي خَاصِرَتِي، وَلَا
يَمْنَعُنِي مِنَ التَّحَرُّكِ إِلَّا مَكَانُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي، فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى غَيْرِ مَاءٍ،
فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ فَتَيَمَّمُوا، فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ
الْحُضَيْرِ: مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَركتكم يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ. قَالَتْ:
فَبَعَثْنَا الْبَعِيرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ، فَوَجَدْنَا الْعِقْدَ
تَحْتَهُ.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yusuf,
telah menceritakan kepada kami Malik, dari Abdur Rahman ibnul Qasim, dari
ayahnya, dari Siti Aisyah yang mengatakan, "Kami berangkat bersama Rasulullah
Saw. dalam suatu perjalanannya. Ketika kami sampai di Al-Baida atau di Zatul
Jaisy. kalungku putus dan terjatuh. Maka Rasulullah Saw. berhenti untuk
mencarinya. Orang-orang pun berhenti pula bersamanya, sedangkan saat itu mereka
bukan di tempat yang ada mata airnya, dan mereka tidak mempunyai air lagi.
Orang-orang datang kepada Abu Bakar, lalu berkata, Tidakkah kamu lihat apa yang
telah dilakukan oleh Aisyah. Dia telah menghentikan Rasulullah Saw. dan semua
orang, padahal mereka berhenti bukan di tempat yang ada mata airnya, dan
persediaan air mereka telah habis.' Lalu Abu Bakar datang, saat itu Rasulullah
Saw. sedang tidur dengan meletakkan kepalanya di atas pangkuanku. Abu Bakar
berkata, 'Engkau telah menahan Rasulullah Saw. dan orang banyak, sedangkan
mereka bukan berada di tempat yang ada mata airnya dan persediaan air mereka
telah habis'." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Maka Abu Bakar menegurku dan
mengucapkan kata-kata menurut apa yang dikehendaki oleh Allah. Dan ia
menggelitiki pinggangku, sedangkan aku tidak berani bergerak karena kepala
Rasulullah Saw. berada di atas pahaku ( sedang tidur). Rasulullah Saw. bangun
pada waktu subuh, sedang saat itu tidak ada air. Maka Allah menurunkan ayat
tayamum, lalu mereka semua bertayamum." Usaid ibnu Hudair berkata, "Ini bukan
berkah kalian yang pertama, hai keluarga Abu Bakar." (Selanjutnya Siti Aisyah
berkata), "Kemudian aku membenahi unta yang kunaiki, ternyata aku menemukan
kalung tersebut berada di bawahnya."
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui Qutaibah, dari Ismail. Imam Muslim
meriwayatkannya dari Yahya ibnu Yahya, dari Malik.
Hadis lain.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ صَالِحٍ قَالَ:
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عَرَّسَ
بِأُولَاتِ الْجَيْشِ وَمَعَهُ عَائِشَةُ زَوْجَتُهُ، فَانْقَطَعَ عِقْدٌ لَهَا
مِنْ جَزْع ظَفَار، فَحَبَسَ النَّاسَ ابْتِغَاءَ عِقْدِهَا، وَذَلِكَ حَتَّى
أَضَاءَ الْفَجْرُ، وَلَيْسَ مَعَ النَّاسِ مَاءٌ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ، عَزَّ
وَجَلَّ، عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُخْصَةَ التَّطَهُّرِ
بِالصَّعِيدِ الطَّيِّبِ، فَقَامَ الْمُسْلِمُونَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَرَبُوا بِأَيْدِيهِمُ الْأَرْضَ، ثُمَّ رَفَعُوا
أَيْدِيَهُمْ وَلَمْ يَقْبِضُوا مِنَ التُّرَابِ شَيْئًا، فَمَسَحُوا بِهَا
وُجُوهَهُمْ وَأَيْدِيَهُمْ إِلَى الْمَنَاكِبِ، وَمِنْ بُطُونِ أَيْدِيهِمْ إِلَى
الْآبَاطِ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah
menceritakan kepada kami ayahku, dari Abu Saleh, Ibnu Syihab mengatakan bahwa
telah menceritakan kepadaku Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas, dari
Ammar ibnu Yasir, bahwa Rasulullah Saw. turun istirahat di malam hari di Zatul
Jaisy; saat itu Rasulullah Saw. ditemani oleh Siti Aisyah. Lalu kalung yang
dipakai Siti Aisyah terbuat dari untaian kuku binatang putus dan terjatuh. Maka
orang-orang (yang bersama Rasulullah Saw.) berhenti mencari kalungnya yang
hilang, hingga fajar subuh terbit, sedangkan orang-orang tidak mempunyai bekal
air. Maka Allah menurunkan kepada Rasul-Nya wahyu yang berisikan keringanan
bersuci memakai debu yang suci. Maka kaum muslim bersama-sama Rasulullah Saw.
menempelkan tangannya masing-masing ke tanah, lalu tangan mereka diangkat tanpa
membersihkannya lagi dari debu yang menempel padanya barang sedikit pun,
kemudian mereka usapkan langsung ke wajah dan kedua tangan mereka sampai ke
batas pundak, dan dari bagian dalam tangan mereka sampai ke ketiak mereka.
وَقَدْ
رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا صَيْفِيٌّ، عَنِ
ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ،] عَنِ الزُّهْرى [عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ،
عن أَبِي الْيَقْظَانِ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَهَلَكَ عِقْدٌ لِعَائِشَةَ، فَأَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَضَاءَ الْفَجْرُ فَتَغَيَّظَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى
عَائِشَةَ] رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا [فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ الرُّخْصَةُ: الْمَسْحُ
بِالصَّعِيدِ الطَّيِّبِ. فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَهَا: إِنَّكِ
لَمُبَارَكَةٌ! نَزَلَتْ فِيكِ رُخْصَةٌ! فَضَرَبْنَا بِأَيْدِينَا ضَرْبَةً
لِوُجُوهِنَا، وَضَرْبَةً لِأَيْدِينَا إِلَى الْمَنَاكِبِ
وَالْآبَاطِ.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib berikut
sanadnya sampai kepada Ibnu Abul Yaqzan yang menceritakan, "Kami pernah bersama
Rasulullah Saw., lalu kalung milik Siti Aisyah hilang, maka Rasulullah Saw.
terpaksa turun istirahat sampai fajar subuh terbit. Peristiwa ini membuat Abu
Bakar marah kepada Siti Aisyah. Maka turunlah kepada Rasulullah rukhsah yang
membolehkan bersuci dengan memakai debu yang suci. Setelah itu Abu Bakar masuk
menemui Siti Aisyah dan berkata kepadanya, 'Sesungguhnya engkau membawa berkah,
telah diturunkan suatu rukhsah karena kamu.' Maka kami mengambil debu dengan
telapak tangan kami sekali ambil untuk diusapkan ke wajah kami, dan sekali ambil
lagi untuk kami usapkan ke tangan kami sampai batas pundak dan ketiak."
Hadis lain.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مَرْزُوقٍ، حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ أَبِي سَوِيَّةَ، حَدَّثَنِي
الْهَيْثَمُ عَنْ زُرَيق الْمَالِكِيِّ -مِنْ بَنِي مَالِكِ بْنِ كَعْبِ بْنِ
سَعْدٍ، وَعَاشَ مِائَةً وَسَبْعَ عَشْرَةَ سَنَةً-عَنْ أَبِيهِ، عَنْ الْأَسْلَعِ
بْنِ شَرِيكٍ قَالَ: كُنْتُ أُرَحِّل ناقة رسول الله صلى الله عليه وسلم
فَأَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ، وَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرِّحْلَةَ، فَكَرِهْتُ أَنْ أُرَحِّلَ
نَاقَتِهِ وَأَنَا جُنُبٌ، وَخَشِيتُ أَنْ أَغْتَسِلَ بِالْمَاءِ الْبَارِدِ
فَأَمُوتَ أَوْ أَمْرَضَ، فَأَمَرْتُ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ فَرَحَّلَهَا،
ثُمَّ رضَفت أَحْجَارًا فَأَسْخَنْتُ بِهَا مَاءً، فَاغْتَسَلْتُ. ثُمَّ لَحِقْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ فَقَالَ: "يَا
أَسْلَعُ، مَالِي أَرَى رِحْلَتَكَ تَغَيَّرَتْ؟ " قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
لَمْ أُرَحِّلْهَا، رَحَّلَهَا رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، قَالَ: "وَلِمَ؟ "
قُلْتُ: إِنِّي أَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ، فَخَشِيتُ القُرَّ عَلَى نَفْسِي،
فَأَمَرْتُهُ أَنْ يُرَحِّلَهَا، وَرَضَفْتُ أَحْجَارًا فَأَسْخَنْتُ بِهَا مَاءً
فَاغْتَسَلْتُ بِهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ [وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي
سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بوجوهكم وأيديكم]
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Marzuq, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Abu Sariyyah,
telah menceritakan kepadaku Al-Haisam, dari Zuraiq Al-Maliki dari kalangan Bani
Malik ibnu Ka'b ibnu Sa'd yang hidup selama seratus tujuh belas tahun; ia
meriwayatkan hadis ini dari ayahnya, dari Al-Asla' ibnu Syarik yang mengatakan
bahwa ia pernah ditugaskan untuk menyiapkan unta kendaraan Rasulullah Saw. Di
suatu malam yang sangat dingin ia terkena jinabah, tidak lama kemudian
Rasulullah Saw. bermaksud melanjutkan perjalanannya. Maka ia tidak suka bila
menyiapkan kendaraan Rasulullah Saw. saat dia sedang dalam keadaan mempunyai
jinabah, sedangkan ia khawatir mati atau sakit bila mandi dengan memakai air
dingin. Lalu ia memerintahkan kepada seorang lelaki dari kalangan Ansar, dan
lelaki Ansar itu langsung menyiapkannya. Kemudian aku (Asia') membakar beberapa
buah batu yang kugunakan untuk menghangatkan air, lalu aku mandi. Setelah itu
aku menyusul rombongan Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Maka Rasulullah Saw.
bersabda, "Hai Asia', mengapa kurasakan pelana unta yang kamu persiapkan ini
menjadi berbeda?" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, bukan aku yang
mempersiapkannya, melainkan seseorang dari kalangan Ansar." Rasulullah Saw.
bertanya, "Mengapa?" Aku menjawab, "Sesungguhnya aku terkena jinabah dan
aku merasa khawatir terhadap cuaca yang sangat dingin ini akan membahayakan
diriku, maka aku perintahkan kepada seseorang dari kalangan Ansar untuk
mempersiapkannya, sedangkan aku sendiri memanaskan batu-batuan untuk kugunakan
menghangatkan air mandiku, lalu aku mandi dengan air itu." Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk,
sehingga kalian mengeni apa yang kalian ucapkan. (An-Nisa: 43) sampai dengan
firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (An-Nisa:
43)
Hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur lain yang juga bersumber dari
Al-Asla'.
An-Nisa, ayat 44-46
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلَالَةَ
وَيُرِيدُونَ أَنْ تَضِلُّوا السَّبِيلَ (44) وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ
وَكَفَى بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَى بِاللَّهِ نَصِيرًا (45) مِنَ الَّذِينَ
هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا
وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ
وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ
وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ
بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا (46)
Apakah kalian tidak melihat orang-orang yang
telah diberi bagian Al-Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan
(dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kalian tersesat (menyimpang) dari
jalan (yang benar). Dan Allah lebih mengetahui (daripada kalian) tentang
musuh-musuh kalian. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagi kalian). Dan
cukuplah Allah menjadi Penolong (bagi kalian). Yaitu orang-orang Yahudi, mereka
mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, "Kami mendengar,
tetapi kami tidak mau menurutinya." Dan (mereka mengatakan pula), "Dengarlah,"
semoga kalian tidak dapat mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan), "Ra'ina,"
dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan,
"Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami," tentulah
itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah mengutuk mereka, karena
kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat
tipis.
Allah menceritakan perihal orang-orang Yahudi —semoga laknat Allah
terus-menerus menimpa mereka sampai hari kiamat—, bahwa mereka membeli kesesatan
dengan petunjuk, yakni menukar petunjuk dengan kesesatan; dan berpaling dari
wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, serta menyembunyikan
pengetahuan yang ada di tangan mereka dari para nabi terdahulu mengenai
sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. dengan tujuan memperoleh imbalan harga yang
sedikit berupa harta duniawi yang fana.
وَيُرِيدُونَ
أَنْ تَضِلُّوا السَّبِيلَ
dan mereka bermaksud supaya kalian menyimpang dari jalan yang benar.
(An-Nisa: 44)
Mereka sangat mengharapkan bila kalian ingkar terhadap apa yang diturunkan
kepada kalian; hai orang-orang mukmin, dan meninggalkan hidayah serta ilmu yang
bermanfaat yang ada pada kalian.
{وَاللهُ
أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ}
Dan Allah lebih mengetahui (daripada kalian) tentang musuh-musuh
kalian. (An-Nisa: 45)
Dia lebih mengetahui perihal mereka dan memperingatkan kalian agar kalian
bersikap waspada terhadap mereka.
{وَكَفَى
بِاللهِ وَلِيًّا وَكَفَى بِاللهِ نَصِيرًا}
Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagi kalian), dan
cukuplah Allah menjadi Penolong (bagi kalian). (An-Nisa:
45)
Cukuplah Allah sebagai Pelindung orang yang berlindung kepada-Nya, dan
sebagai Penolong orang yang meminta tolong kepada-Nya.
مِنَ
الَّذِينَ هادُوا
Yaitu orang-orang Yahudi. (An-Nisa: 46)
Min dalam ayat ini menunjukkan makna keterangan jenis. Seperti
pengertian min yang terdapat di dalam firman lainnya, yaitu:
فَاجْتَنِبُوا
الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثانِ
maka jauhilah perkara yang najis yaitu berhala-berhala tersebut.
(Al-Hajj: 30)
Adapun firman Allah Swt.:
يُحَرِّفُونَ
الْكَلِمَ عَنْ مَواضِعِهِ
mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. (An-Nisa: 46)
Maksudnya, mereka menakwilkannya bukan dengan takwil yang sebenarnya, dan
menafsirkannya bukan dengan tafsir yang dimaksud oleh Allah Swt.; dengan sengaja
mereka melakukannya sebagai kedustaan dari mereka sendiri.
{وَيَقُولُونَ
سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا}
Mereka mengatakan, "Kami mendengar." (An-Nisa: 46)
Yakni kami mendengar apa yang engkau katakan, hai Muhammad, dan kami tidak
akan menaatimu. Demikianlah menurut apa yang ditafsirkan oleh Mujahid dan Ibnu
Zaid mengenai makna yang dimaksud dari kalimah ini. Hal ini jelas menggambarkan
kekufuran dan keingkaran mereka yang sangat keterlaluan. Sebenarnya mereka
berpaling dari Kitabullah sesudah mereka memahaminya, padahal mereka mengetahui
bahaya yang menimpa diri mereka akibat perbuatannya, yaitu berupa dosa dan
siksaan yang akan menimpa diri mereka. Ucapan mereka yang disebutkan oleh
firman-Nya:
{وَاسْمَعْ
غَيْرَ مُسْمَعٍ}
Dan ucapan mereka, "Dengarlah," semoga kamu tidak mendengar apa-apa.
(An-Nisa: 46)
Artinya, dengarkanlah apa yang kami katakan, mudah-mudahan kamu tidak
mendengarnya. Demikianlah makna ayat menurut apa yang diriwayatkan oleh
Ad-Dahhak dari Ibnu Abbas. Mujahid dan Al-Hasan mengatakan bahwa makna ayat
ialah: "Dengarlah, mudah-mudahan kamu tidak mau menerimanya."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang benar adalah makna yang pertama karena hal
ini menunjukkan cemoohan dan ejekan mereka. Semoga laknat Allah selalu menimpa
mereka.
{وَرَاعِنَا
لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ}
Dan (mereka mengatakan pula), "Ra'ina," dengan memutar-mutar
lidahnya dan mencela agama. (An-Nisa: 46)
Ucapan mereka yang mengatakan, "Ra'ina" memberikan kesan bahwa
seakan-akan mereka mengatakan, "Perhatikanlah kami dengan pendengaranmu."
Padahal sebenarnya mereka bermaksud mencaci Nabi Saw. melalui perkataan ini yang
berakar dari kata ru'unah (cacian). Pembahasan mengenai tafsir ini telah
kami kemukakan dalam tafsir firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا راعِنا وَقُولُوا
انْظُرْنا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada
Muhammad), "Ra'ina." Tetapi katakanlah, "Unzurna." (Al-Baqarah: 104)
Karena itulah- Allah Swt. berfirman menyebutkan perihal orang-orang Yahudi
yang selalu mengeluarkan ucapan-ucapan yang bertentangan dengan sikap
lahiriahnya, yaitu:
{لَيًّا
بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ}
dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. (An-Nisa: 46)
Karena mereka mencaci Nabi Saw. Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَلَوْ
أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا
لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا
قَلِيلا}
Sekiranya mereka mengatakan, "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah,
dan perhatikanlah kami," tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat,
tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman
kecuali iman yang sangat tipis. (An-Nisa: 46)
Hati mereka dijauhkan dari kebaikan dan terusir dari kebaikan, sehingga iman
tidak masuk dalam kalbu mereka barang sedikit pun yang dapat memberikan manfaat
buat mereka. Mengenai firman-Nya:
فَلا
يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا
Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis. (An-Nisa: 46)
telah disebutkan dalam pembahasan yang jauh sebelum ini. Makna yang dimaksud
ialah bahwa mereka tidaklah beriman dengan keimanan yang bermanfaat buat diri
mereka.
An-Nisa, ayat 47-48
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ آمِنُوا بِما نَزَّلْنا مُصَدِّقاً لِما
مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهاً فَنَرُدَّها عَلى أَدْبارِها أَوْ
نَلْعَنَهُمْ كَما لَعَنَّا أَصْحابَ السَّبْتِ وَكانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً
(47) إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذلِكَ
لِمَنْ يَشاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرى إِثْماً عَظِيماً
(48)
Hai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kalian sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Allah Swt. memerintahkan kepada Ahli Kitab agar mereka beriman kepada kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw., berupa Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an terkandung berita yang membenarkan berita-berita yang ada pada kitab mereka menyangkut berita-berita gembira, dan mengandung ancaman bagi mereka jika mereka tidak mau beriman kepadanya.
Ancaman ini disebutkan melalui firman-Nya:
{مِنْ
قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدْبَارِهَا}
sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa makna yang dimaksud oleh firman-Nya: sebelum Kami mengubah muka (kalian). (An-Nisa: 47); At-tams artinya membalikkan, yakni memutarkannya ke arah belakang dan pandangan mereka pun menjadi ada di belakang mereka. Tetapi dapat pula diinterpretasikan bahwa makna firman-Nya: sebelum Kami mengubah muka (kalian). (An-Nisa: 47) ialah Kami tidak akan membiarkan bagi wajah mereka adanya pendengaran, penglihatan, dan penciuman. Tetapi sekalipun demikian, Kami tetap memutarkannya ke arah belakang.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: sebelum Kami mengubah muka (kalian). (An-Nisa: 47) Yang dimaksud dengan mengubahnya ialah membutakan matanya. lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47)
Allah Swt. berfirman, "Kami jadikan muka mereka berada di tengkuknya, hingga mereka berjalan mundur, dan kami jadikan pada seseorang dari mereka dua buah mata pada tengkuknya.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Atiyyah Al-Aufi. Hal ini merupakan siksaan yang paling berat dan pembalasan yang paling pedih. Apa yang diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya ini merupakan perumpamaan tentang keadaan mereka yang berpaling dari perkara yang hak dan kembali kepada perkara yang batil. Mereka menolak hujah yang terang dan menempuh jalan kesesatan dengan langkah yang cepat seraya berjalan mundur ke arah belakang mereka.
Ungkapan ini menurut sebagian ulama sama maknanya dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّا
جَعَلْنا فِي أَعْناقِهِمْ أَغْلالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقانِ فَهُمْ مُقْمَحُونَ
وَجَعَلْنا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا
Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan kami adakan di hadapan mereka dinding. (Yasin: 8-9), hingga akhir ayat.
Dengan kata lain, hal ini merupakan perumpamaan buruk yang dibuatkan oleh Allah tentang mereka dalam hal kesesatan dan penolakan mereka terhadap petunjuk.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum Kami mengubah muka (kalian). (An-Nisa: 47) Yakni sebelum Kami palingkan mereka dari jalan kebenaran. Lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47) Maksudnya, mengembalikan mereka ke jalan kesesatan. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Abbas dan Al-Hasan.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47) Yaitu kami cegah mereka dari jalan kebenaran dan Kami kembalikan mereka kepada kekufuran, Kami kutuk mereka sebagai kera-kera (orang-orang yang bersifat seperti kera).
Menurut Abu Zaid, Allah mengembalikan mereka ke negeri Syam dari tanah Hijaz. Menurut suatu riwayat, Ka'b Al-Ahbar masuk Islam ketika mendengar ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Jabir ibnu Nuh, dari Isa ibnul Mugirah yang menceritakan, "Kami pernah membincangkan perihal Ka'b masuk Islam di dekat Maqam Ibrahim." Isa ibnul Mugirah mengatakan bahwa Ka'b masuk Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar. Pada mulanya ia berangkat menuju ke Baitul Maqdis, lalu ia lewat di Madinah, maka Khalifah Umar keluar menemuinya dan berkata kepadanya, "Hai Ka'b, masuk Islamlah kamu." Maka Ka'b menjawab, "Bukankah kalian yang mengatakan dalam kitab kalian hal berikut (yakni firman-Nya): 'Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.' (Al-Jumu'ah: 5) dan sekarang aku membawa kitab Taurat itu. Maka Umar membiarkannya." Kemudian Ka'b meneruskan perjalanannya. Ketika sampai di Himsa, ia mendengar seorang lelaki dari kalangan ulamanya sedang dalam keadaan sedih seraya membacakan firman-Nya: Hai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kalian sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47) hingga akhir ayat. Setelah itu Ka'b berkata, "Ya Tuhanku, sekarang aku masuk Islam." Ia bersikap demikian karena takut akan terancam oleh ayat ini, lalu ia kembali dan pulang ke rumah keluarganya di Yaman, kemudian ia datang membawa mereka semua dalam keadaan masuk Islam.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dengan lafaz yang lain melalui jalur yang lain.
Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Waqid, dari Yunus ibnu Hulais, dari Abu Idris (yaitu Aizullah Al-Khaulani) yang menceritakan bahwa Abu Muslim Al-Jalili dan rombongannya, antara lain terdapat Ka'b; dan Ka'b selalu mencelanya karena ia bersikap terlambat, tidak mau tunduk kepada Rasulullah Saw. Pada suatu hari Abu Muslim mengirimkan Ka'b untuk melihat apakah Rasulullah Saw. itu benar seperti yang disebutkan olehnya (Ka'b). Ka'b mengatakan bahwa lalu ia segera memacu kendaraannya menuju Madinah. Setelah sampai di Madinah, tiba-tiba ia menjumpai seorang qari' sedang membacakan firman-Nya: Hai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kalian sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47) Maka ia segera mengambil air dan langsung mandi. Ka'b menceritakan, "Sesungguhnya aku benar-benar menutupi mukaku karena takut akan dikutuk, kemudian aku masuk Islam."
*******************
Firman Allah Swt.:
أَوْ
نَلْعَنَهُمْ كَما لَعَنَّا أَصْحابَ السَّبْتِ
atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. (An-Nisa: 47)
Yakni orang-orang yang melanggar larangan menangkap ikan pada hari Sabtu dengan memakai tipu muslihat. Mereka dikutuk oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-babi. Dalam surat Al-A'raf kisah mengenai mereka akan disebutkan dengan pembahasan yang terinci.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَكانَ
أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
Dan ketetapan Allah pasti berlaku. (An-Nisa: 47)
Apabila Allah memerintahkan sesuatu, maka Dia tidak dapat ditentang dan tidak dapat dicegah.
Kemudian Allah Swt. memberitakan bahwa:
{لَا
يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ}
Dia tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan Dia
yakni Dia tidak akan memberikan ampunan kepada seorang hamba yang menghadap kepada-Nya dalam keadaan mempersekutukan Dia.
{وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَلِكَ}
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu. (An-Nisa: 48)
Yang dimaksud dengan ma dalam ayat ini ialah segala macam dosa.
{لِمَنْ
يَشَاءُ}
bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 48)
dari kalangan hamba-hamba-Nya.
Sehubungan dengan makna ayat ini banyak hadis yang berhubungan dengannya dalam keterangan-keterangannya. Maka berikut ini kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah didapat, yaitu:
Hadis pertama.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا صَدَقَةُ بْنُ مُوسَى،
حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ بَابَنُوسَ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"الدَّوَاوِينُ عِنْدَ اللَّهِ ثَلَاثَةٌ؛ دِيوَانٌ لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ
شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا
يَغْفِرُهُ اللَّهُ. فَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ،
فَالشِّرْكُ بِاللَّهِ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ
بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ} [الْمَائِدَةِ:72] وَأَمَّا
الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا، فَظُلْمُ الْعَبْدِ
نَفْسَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، مِنْ صَوْمِ يَوْمٍ تَرْكَهُ، أَوْ
صَلَاةٍ تَرْكَهَا؛ فَإِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ ذَلِكَ وَيَتَجَاوَزُ إِنْ شَاءَ.
وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا، فَظُلْمُ
الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا؛ الْقَصَاصُ لَا مَحَالَةَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Imran Al-Jauni, dari Yazid ibnu Abu Musa, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kitab-kitab catatan amal perbuatan di sisi Allah ada tiga macam, yaitu: Kitab catatan yang tidak diindahkan oleh Allah adanya barang sedikit pun, kitab catatan yang tidak dibiarkan oleh Allah barang sedikit pun darinya, dan kitab catatan yang tidak diampuni oleh Allah. Adapun kitab catatan yang tidak diampuni oleh Allah ialah perbuatan mempersekutukan Allah. Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Diamengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu. (An-Nisa: 48), hingga akhir ayat. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga. (Al-Maidah: 72) Adapun mengenai kitab Catatan yang tidak diindahkan oleh Allah barang sedikit pun, berkaitan dengan perbuatan aniaya seorang hamba kepada dirinya sendiri menyangkut dosa antara dia dengan Allah, seperti tidak berpuasa sehari atau meninggalkan suatu salat; maka sesungguhnya Allah mengampuni hal tersebut dan memaafkannya jika Dia menghendaki. Adapun mengenai kitab catatan yang tidak dibiarkan oleh Allah barang sedikit pun darinya, maka menyangkut perbuatan aniaya sebagian para hamba terhadap sebagian yang lain, hukumannya ialah qisas sebagai suatu kepastian.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri).
Hadis kedua.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
مَالِكٍ، حَدَّثَنَا زَائِدَةُ بْنُ أبي الرقاد، عن زياد النمري، عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الظُّلْمُ
ثَلَاثَةٌ، فَظُلْمٌ لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ، وَظُلْمٌ يَغْفِرُهُ اللَّهُ،
وَظُلْمٌ لَا يَتْرُكُهُ اللَّهُ: فَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي لَا يَغْفِرُهُ
اللَّهُ فَالشِّرْكُ، وَقَالَ {إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ} [لُقْمَانَ:13]
وَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي يَغْفِرُهُ اللَّهُ فَظُلْمُ الْعِبَادِ لِأَنْفُسِهِمْ
فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَبِّهِمْ، وَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي لَا يَتْرُكُهُ
فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا، حَتَّى يَدِينَ لِبَعْضِهِمْ مِنْ
بَعْضٍ"
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Malik, telah menceritakan kepada kami Zaidah ibnu Abuz Zanad An-Namiri, dari Anas ibnu Malik, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Perbuatan aniaya (dosa) itu ada tiga macam, yaitu perbuatan aniaya yang tidak diampuni oleh Allah, perbuatan aniaya yang diampuni oleh Allah, dan perbuatan aniaya yang tidak dibiarkan begitu saja oleh Allah barang sedikit pun darinya. Adapun perbuatan aniaya yang tidak diampuni oleh Allah ialah perbuatan syirik (mempersekutukan Allah). Allah telah berfirman, "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (Luqman: 13). Adapun perbuatan aniaya yang diampuni oleh Allah ialah perbuatan aniaya para hamba terhadap dirinya masing-masing menyangkut dosa antara mereka dengan Tuhan mereka. Dan adapun mengenai perbuatan aniaya yang tidak dibiarkan oleh Allah ialah perbuatan aniaya sebagian para hamba atas sebagian yang lain, hingga Allah memperkenankan sebagian dari mereka untuk menuntut balas kepada sebagian yang lain (yang berbuat aniaya).
Hadis ketiga.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ
يَزِيدَ، عَنْ أَبِي عَوْنٍ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ قَالَ: سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ
يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
"كُلُّ ذَنْبٍ عَسَى اللَّهُ أن يغفره، إلا الرجل يموت كافرا، أو الرَّجُلَ
يَقْتُلُ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا".
Imam Ahmad mengatakan. telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Saur ibnu Yazid, dari Abu Aun, dari Abu Idris yang menceritakan bahwa ia telah mendengar Mu'awiyah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Semua dosa mudah-mudahan diampuni oleh Allah kecuali dosa seseorang yang mati dalam keadaan kafir atau seseorang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu Musanna, dari Safwan ibnu Isa dengan lafaz yang sama.
Hadis keempat.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْحَمِيدِ، حَدَّثَنَا شَهْرٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ غَنْمٍ أَنَّ أَبَا ذَرٍّ
حَدَّثَهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ
اللَّهَ يَقُولُ: يَا عَبْدِي، مَا عَبَدْتَنِي وَرَجَوْتَنِي فَإِنِّي غَافِرٌ
لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ، يَا عَبْدِي، إِنَّكَ إِنْ لَقِيتَنِي بِقُرَابِ
الْأَرْضِ خَطِيئَةً مَا لَمْ تُشْرِكْ بِي، لَقِيتُكَ بِقُرَابِهَا
مَغْفِرَةً"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, telah menceritakan kepada kami Syahr, telah menceritakan kepada kami Ibnu Tamim, bahwa Abu Zar pernah menceritakan kepadanya dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman, "Hai hamba-Ku, selagi kamu menyembah-Ku dan berharap kepada-Ku, maka sesungguhnya Aku mengampuni kamu atas semua dosa yang telah kamu lakukan. Hai hamba-Ku, sesungguhnya jika kamu menghadap kepada-Ku dengan dosa-dosa yang sepenuh bumi, kemudian kamu bersua dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan diri-Ku dengan sesuatu pun. niscaya Aku membalasmu dengan ampunan sepenuh bumi."
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid bila ditinjau dari segi sanad ini.
Hadis kelima.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا
حُسَيْنٌ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ أَنَّ يَحْيَى بْنَ يَعْمَرَ حَدَّثَهُ، أَنَّ
أَبَا الْأَسْوَدِ الدِّيلِيَّ حَدَّثَهُ، أَنَّ أَبَا ذَرٍّ حَدَّثَهُ قَالَ:
أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "مَا مِنْ
عَبْدٍ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ
الْجَنَّةَ" قُلْتُ: وَإِنَّ زَنَى وإن سرق؟ قال: "وإن زنى وإن سرق" قلت: وإن زنى
وإن سرق؟ قال: "وإن زَنَى وَإِنْ سَرَقَ". ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ فِي الرَّابِعَةِ:
"عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِي ذَرٍّ"! قَالَ: فَخَرَجَ أَبُو ذَرٍّ وَهُوَ يَجُرُّ
إِزَارَهُ وَهُوَ يَقُولُ: وَإِنْ رَغِمَ أَنْفُ أَبِي ذَرٍّ". وَكَانَ أَبُو ذَرٍّ
يُحَدِّثُ بِهَذَا بَعْدُ وَيَقُولُ: وَإِنْ رَغِمَ أَنْفُ أَبِي
ذَرٍّ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada Kami Husain Ibnu Buraidah; Yahya ibnu Ya'mur pernah menceritakan kepadanya bahwa Abul Aswad Ad-Dai’li pernah menceritakan kepadanya bahwa Abu Zar pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang hamba mengucapkan kalimah "Tidak ada Tuhan selain Allah", kemudian ia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, niscaya ia masuk surga. Aku (Abu Zar) bertanya, "Sekalipun dia telah berbuat zina dan mencuri?" Nabi Saw. menjawab, "Sekalipun dia berbuat zina dan sekalipun dia mencuri." Abu Zar bertanya lagi, "Sekalipun dia telah berzina dan mencuri?" Nabi Saw. menjawab, "Sekalipun dia berbuat zina dan sekalipun mencuri," sebanyak tiga kali, dan pada yang keempat kalinya beliau Saw. bersabda, "Sekalipun hidung Abu Zar keropos." Abul Aswad Ad-Daili melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Abu Zar keluar seraya menyingsingkan kainnya (karena ketakutan) sambil bergumam, "Sekalipun hidung Abu Zar keropos." Dan tersebutlah bahwa setelah itu jika Abu Zar menceritakan hadis ini selalu mengatakan di akhirnya, "Sekalipun hidung Abu Zar keropos."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui Husain dengan lafaz yang sama.
Jalur lain mengenai hadis Abu Zar.
قَالَ
[الْإِمَامُ] أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ،
عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: "كُنْتُ أَمْشِي مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَرَّةِ الْمَدِينَةِ عِشَاءً،
وَنَحْنُ نَنْظُرُ إِلَى أُحُدٍ، فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ". فَقُلْتُ: لَبَّيْكَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ، [قَالَ] مَا أُحِبُّ أَنَّ لِي أُحُدًا ذَاكَ عِنْدِي ذَهَبًا
أُمْسِي ثَالِثَةً وَعِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ، إِلَّا دِينَارًا أَرْصُدُهُ
-يَعْنِي لِدَيْنٍ-إِلَّا أَنْ أَقُولَ بِهِ فِي عِبَادِ اللَّهِ هَكَذَا". وَحَثَا
عَنْ يَمِينِهِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَعَنْ يَسَارِهِ. قَالَ: ثُمَّ مَشَيْنَا
فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّ الْأَكْثَرِينَ هُمُ الْأَقَلُّونَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ قَالَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا". فَحَثَا عَنْ
يَمِينِهِ وَمِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَعَنْ يَسَارِهِ. قَالَ: ثُمَّ مَشَيْنَا
فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، كَمَا أَنْتَ حَتَّى آتِيَكَ". قَالَ: فَانْطَلَقَ
حَتَّى تَوَارَى عَنِّي. قَالَ: فَسَمِعْتُ لَغَطًا فَقُلْتُ: لَعَلَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَضَ لَهُ. قَالَ فَهَمَمْتُ أَنْ
أَتَّبِعَهُ، ثُمَّ ذَكَرْتُ قَوْلَهُ: "لَا تَبْرَحْ حَتَّى آتِيَكَ"
فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى جَاءَ، فَذَكَرْتُ لَهُ الَّذِي سَمِعْتُ، فَقَالَ: "ذَاكَ
جِبْرِيلُ أَتَانِي فَقَالَ: مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِكَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ
شَيْئًا دخل الجنة". قلت: وإن زنى وإن سرق؟ قَالَ: "وَإِنْ زَنَى وَإِنْ
سَرَقَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Zaid ibnu Wahb, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa ketika ia sedang berjalan bersama Nabi Saw. di tanah lapang Madinah pada suatu petang hari, seraya memandang ke arah Bukit Uhud, maka Nabi Saw. bersabda, "Hai Abu Zar!" Aku (Abu Zar) menjawab, "Labaika, ya Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Aku tidak suka sekiranya Bukit Uhud itu menjadi emas milikku, lalu berlalu masa tiga hari, sedangkan pada diriku masih tersisa dari dinar darinya —melainkan satu dinar yang kusimpan, yakni untuk membayar utangnya— kecuali aku menyedekahkannya kepada hamba-hamba Allah seperti ini." Rasulullah Saw. mengatakan demikian seraya meraupkan kedua tangannya dari arah kanan, dari arah kiri, dan dari arah depannya (memperagakan pengambilan untuk sedekahnya). Abu Zar melanjutkan kisahnya, "Setelah itu kami melanjutkan perjalanan kami, dan Rasulullah Saw. bersabda, 'Hai Abu Zar, sesungguhnya orang-orang yang memiliki harta yang banyak kelak adalah orang-orang yang paling sedikit memiliki pahala di hari kiamat, kecuali orang-orang yang bersedekah seperti ini dan seperti ini.' Rasulullah Saw. mengatakan demikian seraya memperagakannya dengan meraupkan kedua tangan dari arah kanan, arah kiri, dan bagian depannya." Abu Zar melanjutkan kisahnya, "Lalu kami melanjutkan perjalanan kami, dan Rasulullah Saw. bersabda, 'Hai Abu Zar, tetaplah kamu di tempatmu sekarang hingga aku datang kepadamu'." Abu Zar melanjutkan kisahnya, "Nabi Saw. pergi hingga tidak kelihatan olehku. Lalu aku mendengar suara gemuruh, dan aku berkata (kepada diriku sendiri), 'Barangkali Rasulullah Saw. mengalami suatu gangguan.' Ketika aku hendak mengikutinya, aku teringat kepada pesan beliau yang mengatakan, 'Jangan kamu tinggalkan tempatmu ini hingga aku datang kepadamu.' Maka terpaksa aku diam menunggu hingga beliau Saw. datang. Lalu aku ceritakan kepadanya suara gemuruh yang tadi aku dengar. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Dia adalah Jibril, datang menemuiku, lalu berkata, 'Barang siapa dari kalangan umatmu yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, niscaya dia masuk surga.' Aku (Abu Zar) bertanya, 'Sekalipun dia telah berbuat zina dan sekalipun ia telah mencuri?' Rasulullah Saw. bersabda, 'Sekalipun dia berzina dan sekalipun dia mencuri'."
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya pula dari Qutaibah, dari Jarir, dari Abdul Hamid, dari Abdul Aziz ibnu Raff, dari Zaid ibnu Wahb, dari Abu Zar yang menceritakan:
خَرَجْتُ
لَيْلَةً مِنَ اللَّيَالِي، فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَمْشِي وَحْدَهُ، لَيْسَ مَعَهُ إِنْسَانٌ، قَالَ: فَظَنَنْتُ أَنَّهُ
يَكْرَهُ أَنْ يَمْشِيَ مَعَهُ أَحَدٌ. قَالَ: فَجَعَلْتُ أَمْشِي فِي ظِلِّ
الْقَمَرِ، فَالْتَفَتَ فَرَآنِي، فَقَالَ: "مَنْ هَذَا؟ " فَقُلْتُ: أَبُو ذَرٍّ،
جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاكَ. قَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، تَعَالَ". قَالَ: فَمَشَيْتُ
مَعَهُ سَاعَةً فَقَالَ: "إِنَّ الْمُكْثِرِينَ هُمُ الْمُقِلُّونَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَعْطَاهُ الله خيرا فنفخ فِيهِ عَنْ يَمِينِهِ
وَشِمَالِهِ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَوَرَائَهُ، وَعَمِلَ فِيهِ خَيْرًا". قَالَ:
فَمَشَيْتُ مَعَهُ سَاعَةً فَقَالَ لِي: "اجْلِسْ هَاهُنَا"، قَالَ: فَأَجْلَسَنِي
فِي قَاعٍ حَوْلَهُ حِجَارَةٌ، فَقَالَ لِي: "اجْلِسْ هَاهُنَا حَتَّى أَرْجِعَ
إِلَيْكَ". قَالَ: فَانْطَلَقَ فِي الْحَرَّةِ حَتَّى لَا أَرَاهُ، فَلَبِثَ عَنِّي
فَأَطَالَ اللُّبْثَ، ثُمَّ إِنِّي سَمِعْتُهُ وَهُوَ مُقْبِلٌ، وَهُوَ يَقُولُ:
"وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى". قَالَ: فَلَمَّا جَاءَ لَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قُلْتُ:
يَا نَبِيَّ اللَّهِ، جعلني الله فداءك، من تكلم فِي
جَانِبِ الْحَرَّةِ؟ مَا سَمِعْتُ أَحَدًا يَرْجِعُ إِلَيْكَ شَيْئًا. قَالَ:
"ذَاكَ جِبْرِيلُ، عَرَضَ لِي مِنْ جَانِبِ الْحَرَّةِ فَقَالَ: بَشِّرْ أُمَّتَكَ
أَنَّهُ من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الْجَنَّةَ. قُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، وَإِنْ
سَرَقَ وَإِنْ زَنَى؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْتُ: وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى؟ قَالَ:
نَعَمْ. قُلْتُ: وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى؟ قَالَ: نَعَمْ، وَإِنْ شَرِبَ
الْخَمْرَ"
bahwa di suatu malam ia pernah keluar. Tiba-tiba ia bersua dengan Rasulullah Saw. yang sedang berjalan sendirian tanpa ditemani oleh seorang pun. Abu Zar mengatakan bahwa ia menduga Rasulullah Saw. sedang dalam keadaan tidak suka berjalan dengan seorang teman pun. Maka aku (Abu Zar) berjalan dari kejauhan di bawah terang sinar rembulan. Tetapi Nabi Saw. menoleh ke belakang dan melihatku. Maka beliau bertanya, "Siapakah kamu?" Aku menjawab, "Abu Zar, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu." Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Abu Zar, kemarilah!" Lalu aku berjalan bersama beliau selama sesaat, dan beliau bersabda: Sesungguhnya orang-orang yang memperbanyak hartanya adalah orang-orang yang mempunyai sedikit pahala kelak di hari kiamat, kecuali orang yang diberi kebaikan (harta) oleh Allah, lalu ia menyebarkannya (menyedekahkannya) ke arah kanan, ke arah kiri, ke arah depan, dan ke arah belakangnya, serta harta itu ia gunakan untuk kebaikan. Aku berjalan lagi bersamanya selama sesaat, lalu ia bersabda kepadaku, "Duduklah di sini." Beliau Saw. menyuruhku duduk di suatu legokan yang dikelilingi oleh bebatuan. Kemudian beliau bersabda, "Duduklah di sini hingga aku kembali kepadamu!" Rasulullah Saw. pergi ke arah harrah (padang pasir) hingga aku tidak melihatnya lagi. Beliau cukup lama pergi meninggalkan aku. Beberapa lama kemudian aku mendengar suara langkah-langkah beliau datang seraya mengatakan, "Sekalipun dia telah berzina dan sekalipun dia telah mencuri." Ketika beliau datang, aku tidak sabar lagi untuk mengajukan pertanyaan. Lalu aku bertanya, "Wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikan diriku ini sebagai tebusanmu, siapakah orang yang berbicara denganmu di dekat harrah tadi? Karena sesungguhnya aku mendengar suara seseorang yang melakukan tanya jawab denganmu." Rasulullah Saw. bersabda: Dia adalah Jibril yang menampakkan dirinya kepadaku di sebelah padang itu, lalu dia berkata, "Sampaikanlah berita gembira ini kepada umatmu, bahwa barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, niscaya ia masuk surga." Aku bertanya, "Wahai Jibril, sekalipun dia telah mencuri dan telah berbuat zina?" Jibril menjawab, "Ya." Aku bertanya, "Sekalipun dia telah mencuri dan berbuat zina?" Jibril menjawab, "Ya." Aku bertanya lagi, "Dan sekalipun ia telah mencuri dan berbuat zina?" Jibril menjawab, "Ya, sekalipun ia telah minum khamr."
Hadis keenam.
قال
عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى،
عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْمُوَجِبَتَانِ ؟ قَالَ: "مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ
بِاللَّهِ شَيْئًا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ، وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ
شَيْئًا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ".
Abdu ibnu Humaid menceritakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Musa, dari Ibnu Abu Laila, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan dua perkara yang memastikan itu?" Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, pastilah ia masuk surga. Dan barang siapa yang mati dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu, pastilah ia masuk neraka.
Abdu ibnu Humaid mengetengahkan hadis ini secara munfarid, bila ditinjau dari sanad ini, lalu ia mengetengahkan hadis ini hingga selesai.
Jalur lain.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرِو بْنِ
خَلَادٍ الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْقُرَشِيُّ،
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ، الرَّبَذِيُّ، أَخْبَرَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُبَيْدَةَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْ نَفْسٍ تَمُوتُ، لَا تُشْرِكُ بِاللَّهِ
شَيْئًا، إِلَّا حَلَّتْ لَهَا الْمَغْفِرَةُ، إِنْ شَاءَ اللَّهُ عَذَّبَهَا،
وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهَا: {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Amr ibnu Khallad Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Ismail Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Musa Ibnu Ubaidah At-Turmuzi, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Ubaidah, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, melainkan magfirah (ampunan) dapat mengenainya; jika Allah menghendaki, mengazabnya; dan jika Dia menghendaki, niscaya mengampuninya. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Al-Hafiz Abu Ya'la meriwayatkannya di dalam kitab musnad melalui hadis Musa ibnu Ubaidah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Ubaidah), dari Jabir. bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"لَا
تَزَالُ الْمَغْفِرَةُ عَلَى الْعَبْدِ مَا لَمْ يَقَعِ الْحِجَابُ". قِيلَ: يَا
نَبِيَّ اللَّهِ، وَمَا الْحِجَابُ؟ قَالَ: "الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ". قَالَ: "مَا
مِنْ نَفْسٍ تَلْقَى اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا إِلَّا حَلَّتْ لَهَا
الْمَغْفِرَةُ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى، إِنْ يَشَأْ أَنْ يُعَذِّبَهَا، وَإِنْ
يَشَأْ أَنْ يَغْفِرَ لَهَا غَفَرَ لَهَا". ثُمَّ قَرَأَ نَبِيُّ اللَّهِ: {إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ}
Magfirah (ampunan Allah) terus-menerus mengenai seorang hamba selagi dia tidak melakukan hijab (dosa yang menghalangi ampunan). Seseorang ada yang bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan hijab itu, wahai Nabi Allah?" Nabi Saw. menjawab, "Mempersekutukan Allah." Selanjutnya Nabi Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seseorang menghadap kepada Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, melainkan ia akan memperoleh ampunan dari Allah Swt. Jika Dia menghendaki untuk mengazabnya (Dia akan mengazabnya), dan jika Dia menghendaki untuk mengampuninya (Dia akan mengampuninya). Kemudian Nabi Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. ( An-Nisa: 48)
Hadis ketujuh.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا، عَنْ
عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ مَاتَ لا يشرك بالله شيئا دخل
الْجَنَّةَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Zakaria, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, niscaya masuk surga.
Ditinjau dari segi sanad ini Imam Ahmad meriwayatkannya secara munfarid (menyendiri).
Hadis kedelapan.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ،
حَدَّثَنَا أَبُو قُبَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَاشِرٍ مِنْ بَنِي سريع قال:
سمعت أبا رهم قاصن أَهْلِ الشَّامِ يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا أَيُّوبَ
الْأَنْصَارِيَّ يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَرَجَ ذَاتَ يَوْمٍ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ لَهُمْ: "إن ربكم، عز وجل،
خيرني بَيْنَ
سَبْعِينَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَفْوًا بِغَيْرِ حِسَابٍ، وَبَيْنَ
الْخَبِيئَةِ عِنْدَهُ لِأُمَّتِي". فَقَالَ لَهُ بعض أصحابه: يا رسول الله، أيخبأ
ذَلِكَ رَبُّكَ؟ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ
خَرَجَ وَهُوَ يُكَبِّرُ، فَقَالَ: "إِنَّ رَبِّي زَادَنِي مَعَ كُلِّ أَلْفٍ
سَبْعِينَ أَلْفًا وَالْخَبِيئَةُ عِنْدَهُ" قَالَ أَبُو رُهْمٍ: يَا أَبَا
أَيُّوبَ، وَمَا تَظُنُّ خَبِيئَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ؟ فَأَكَلَهُ النَّاسُ بِأَفْوَاهِهِمْ فَقَالُوا: وَمَا أَنْتَ
وَخَبِيئَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟! فَقَالَ أَبُو
أَيُّوبَ: دَعُوا الرَّجُلَ عَنْكُمْ، أُخْبِرْكُمْ عَنْ خَبِيئَةِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا أَظُنُّ، بَلْ كَالْمُسْتَيْقِنِ. إِنَّ
خَبِيئَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقُولَ: مَنْ
شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ مُصَدِّقًا لِسَانَهُ قَلْبُهُ أَدْخَلَهُ
الْجَنَّةَ"
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Qabil, dari Abdullah ibnu Nasyir, dari Bani Sari’ yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Rahm —seorang ulama Syam— mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Ayub Al-Ansari menceritakan hadis berikut: Di suatu hari Rasulullah Saw. keluar menjumpai mereka (para sahabat). Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya Tuhan kalian Yang Mahaagung lagi Mahatinggi telah menyuruhku memilih antara tujuh puluh ribu orang masuk surga dengan cuma-cuma tanpa hisab dan simpanan yang ada di sisi-Nya bagi umatku." Salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhanmu menyimpan hal tersebut?" Rasulullah Saw. (tidak menjawab), lalu masuk (ke dalam rumah), kemudian ke luar lagi seraya bertakbir dan bersabda, "Sesungguhnya Tuhanku memberikan tambahan kepadaku pada setiap seribu orang (dari mereka yang tujuh puluh ribu itu) ditemani oleh tujuh puluh ribu orang lagi, dan (menyuruhku memilih antara itu dengan) simpanan di sisi-Nya." Abu Rahm (perawi) bertanya, "Wahai Abu Ayyub, apakah yang dimaksud dengan simpanan buat Rasulullah itu menurut dugaanmu? Agar tidak menjadi bahan pertanyaan orang-orang yang nantinya mereka mengatakan, 'Apakah urusanmu dengan simpanan Rasulullah Saw.?'." Akhirnya Abu Ayyub mengatakan, "Biarkanlah lelaki ini, jangan kalian hiraukan. Aku akan menceritakan kepada kalian tentang simpanan Rasulullah Saw. itu menurut dugaanku —bahkan dia mengatakan demikian seakan-akan merasa yakin—. Sesungguhnya simpanan Rasulullah Saw. itu adalah sabda beliau yang mengatakan: 'Barang siapa yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, dengan lisannya yang dibenarkan oleh kalbunya, niscaya ia masuk surga'."
Hadis kesembilan.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْمُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ
الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ (ح) وَأَخْبَرَنَا هَاشِمُ بْنُ
الْقَاسِمِ الْحَرَّانِيُّ -فِيمَا كَتَبَ إِلَيَّ-قَالَ: حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ
يُونُسَ نَفْسُهُ، عَنْ وَاصِلِ بْنِ السَّائِبِ الرُّقَاشِيِّ، عَنْ أَبِي
سَوْرَةَ ابْنِ أَخِي أَبِي أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم فقال: إن لي ابْنَ أَخٍ
لَا يَنْتَهِي عَنِ الْحَرَامِ. قَالَ: "وَمَا دِينُهُ؟ " قَالَ: يُصَلِّي
وَيُوَحِّدُ اللَّهَ تَعَالَى. قَالَ "اسْتَوْهِبْ مِنْهُ دِينَهُ، فَإِنْ أَبَى
فَابْتَعْهُ مِنْهُ". فَطَلَبَ الرَّجُلُ ذَاكَ مِنْهُ فَأَبَى عَلَيْهِ، فَأَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: وَجَدْتُهُ
شَحِيحًا فِي دِينِهِ. قَالَ: فَنَزَلَتْ: {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ
يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ayahku telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Muammal ibnul Fadl Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus. Juga telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim Al-Harrani melalui suratnya yang ditujukan kepadaku, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus sendiri, dari Wasil ibnus Saib Ar-Raqqasyi, dari Abu Surah (keponakan Abu Ayyub Al-Ansari), dari Abu Ayyub yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang menghadap Nabi Saw., lalu bertanya, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang keponakan yang tidak pernah berhenti dari melakukan perbuatan yang diharamkan." Nabi Saw. bertanya, "Apakah agama yang dipeluknya?" Ia menjawab, "Dia salat dan mengesakan Allah Swt." Rasulullah Saw. bersabda, "Agamanya kamu minta saja. Apabila ia tidak mau memberikan, maka belilah darinya." Lelaki itu berangkat dan meminta hal tersebut kepada keponakannya, tetapi si keponakan tetap menolaknya (tidak mau memberi, tidak mau pula menjualnya). Maka lelaki itu datang menghadap Nabi Saw. dan menceritakan hal tersebut seraya berkata, "Aku menjumpainya sangat teguh dengan agamanya." Abu Ayyub melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 48)
Hadis kesepuluh.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الضَّحَّاكِ، حَدَّثَنَا أَبِي،
حَدَّثَنَا مَسْتُورٌ أَبُو هَمَّامٍ الْهُنَائِيُّ، حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ
أَنَسٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تَرَكْتُ حَاجَةً وَلَا ذَا حَاجَةٍ إِلَّا قَدْ
أَتَيْتُ. قَالَ: "أَلَيْسَ تَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ " ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: "فَإِنَّ
ذَلِكَ يَأْتِي عَلَى ذَلِكَ كُلِّهِ"
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnud Dahhak, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Hammam Al-Hanai, telah menceritakan kepada kami Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, aku tidak pernah membiarkan suatu keperluan pun dan tidak pula seorang pun yang perlu ditolong melainkan aku memberinya." Rasulullah Saw. bertanya, "Bukankah kamu telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah?" Hal ini dikatakannya sebanyak tiga kali. Lelaki itu menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda, "Maka sesungguhnya kesaksianmu itulah yang membuat semuanya diterima."
Hadis kesebelas.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ
عَمَّارٍ، عَنْ ضَمْضَمِ بْنِ جَوْسٍ الْيَمَامِيِّ قَالَ: قَالَ لِي أَبُو
هُرَيْرَةَ: يَا يَمَامِيُّ لَا تَقُولَنَّ لِرَجُلٍ: وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ
اللَّهُ لَكَ. أَوْ لَايُدْخِلُكَ الْجَنَّةَ أَبَدًا. قُلْتُ: يَا أَبَا
هُرَيْرَةَ إِنَّ هَذِهِ كَلِمَةٌ يَقُولُهَا أَحَدُنَا لِأَخِيهِ وَصَاحِبِهِ
إِذَا غَضِبَ قَالَ: لَا تَقُلْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "كَانَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ رَجُلَانِ
كَانَ أَحَدُهُمَا مُجْتَهِدًا فِي الْعِبَادَةِ، وَكَانَ الْآخَرُ مُسْرِفًا عَلَى
نَفْسِهِ، وَكَانَا مُتَآخِيَيْنِ وَكَانَ الْمُجْتَهِدُ لَا يَزَالُ يَرَى
الْآخَرَ عَلَى ذَنْبٍ، فَيَقُولُ: يَا هَذَا أَقْصِرْ. فَيَقُولُ: خَلِّنِي
وَرَبِّي! أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا؟ قَالَ: إِلَى أَنْ رَآهُ يَوْمًا عَلَى
ذَنْبٍ اسْتَعْظَمَهُ، فَقَالَ لَهُ: وَيْحَكَ! أَقْصِرْ! قَالَ: خَلِّنِي
وَرَبِّي! أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا؟ فَقَالَ: والله لَا
يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ -أَوْ لَا يُدْخِلُكَ الْجَنَّةَ أَبَدًا-قَالَ: فَبَعَثَ
اللَّهُ إِلَيْهِمَا مَلَكًا فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا وَاجْتَمَعَا عِنْدَهُ،
فَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي. وَقَالَ
لِلْآخَرِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا؟ أَكُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا؟
اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ. قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسُ أبي القاسم بيده لتكلم
بكلمة أو بقت دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar, dari Damdam ibnu Jausy Al-Yamami yang mengatakan bahwa Abu Hurairah pernah berkata kepadanya, "Hai Yamami, jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap seseorang, 'Semoga Allah tidak mengampunimu, atau semoga Allah tidak memasukkanmu ke dalam surga'." Aku (Yamami) berkata, "Hai Abu Hurairah, sesungguhnya kalimat tersebut biasa dikatakan oleh seseorang terhadap saudaranya dan temannya jika ia dalam keadaan marah." Abu Hurairah berkata, "Jangan kamu katakan hal itu, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda," yaitu: Dahulu di kalangan umat Bani Israil terdapat dua orang lelaki; salah seorangnya rajin beribadah, sedangkan yang lainnya zalim terhadap dirinya sendiri (tukang maksiat); keduanya sudah seperti saudara. Orang yang rajin ibadah selalu melihat saudaranya berbuat dosa dan mengatakan kepadanya, "Hai kamu, hentikanlah perbuatanmu." Tetapi saudaranya itu menjawab, "Biarkanlah aku dan Tuhanku, apakah kamu ditugaskan untuk terus mengawasiku?" Hingga pada suatu hari yang rajin beribadah melihat saudaranya tukang maksiat itu melakukan suatu perbuatan dosa yang menurut penilaiannya sangat besar. Maka ia berkata kepadanya, "Hai kamu, hentikanlah perbuatanmu." Dan orang yang ditegurnya menjawab, "Biarkanlah aku, ini urusan Tuhanku, apakah engkau diutus sebagai pengawasku?" Maka yang rajin beribadah berkata, "Demi Allah, semoga Allah tidak memberikan ampunan kepadamu, atau semoga Allah tidak memasukkanmu ke surga untuk selama-lamanya." Abu Hurairah melanjutkan kisahnya: bahwa setelah itu Allah mengutus seorang malaikat untuk mencabut nyawa kedua orang tersebut, dan keduanya berkumpul di hadapan Allah. Maka Allah Swt. berfirman kepada orang yang berdosa, "Pergilah, dan masuklah ke dalam surga karena rahmat-Ku." Sedangkan kepada yang lainnya Allah Swt. berfirman, "Apakah kamu merasa alim, apakah kamu mampu meraih apa yang ada di tangan kekuasaan-Ku? Bawalah dia ke dalam neraka!" Nabi Saw. bersabda, "Demi Tuhan yang jiwa Abul Qasim berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya orang tersebut (yang masuk neraka) benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya."
Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Ikrimah ibnu Ammar, bahwa Damdam ibnu Jausy menceritakan kepadanya dengan lafaz yang sama.
Hadis kedua belas.
قَالَ
الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو شَيْخٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ
عَجْلَانَ الْأَصْبَهَانِيِّ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ، حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَكَمِ بْنِ أَبَانٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: مَنْ عَلِمَ أَنِّي ذُو قُدْرَةٍ عَلَى مَغْفِرَةِ
الذُّنُوبِ غَفَرْتُ لَهُ وَلَا أُبَالِي، مَا لَمْ يُشْرِكْ بِي شَيْئًا"
.
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abusy Syekh, dari Muhammad ibnul Hasan ibnu Ajlan Al-Asfahani, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Hakam ibnu Abban, dari ayahnya, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang mengetahui bahwa Aku mempunyai kekuasaan untuk mengampuni segala dosa, niscaya Aku memberikan ampunan baginya tanpa peduli selagi dia tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu.
Hadis ketiga belas.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ وَالْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى [الْمَوْصِلِيُّ]
حَدَّثَنَا هُدْبَةُ -هُوَ ابن خالد-حدثنا سهل بْنُ أَبِي حَزْمٍ، عَنْ ثَابِتٍ،
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مَنْ وَعَدَهُ اللَّهُ عَلَى عَمَلٍ ثَوَابًا فَهُوَ مُنْجِزُهُ لَهُ، وَمَنْ
تَوَعَّدَهُ عَلَى عَمَلٍ عِقَابًا فَهُوَ فِيهِ بِالْخِيَارِ".
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar dan Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hudbah (yaitu Ibnu Khalid), telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Abu Hazm, dari Sabit, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang dijanjikan suatu pahala oleh Allah atas suatu amal perbuatan, maka Dia pasti menunaikan pahala itu baginya. Dan barang siapa yang diancam oleh Allah mendapat suatu siksaan karena suatu amal perbuatan, maka Dia sehubungan dengan hal ini bersikap memilih (antara memaafkan dan menghukum).
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bahr ibnu Nasr Al-Khaulani, telah menceritakan kepada kami Khalid (yakni Ibnu Abdur Rahman Al-Khurrasani), telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Hammad, dari Salam ibnu Abu Muti', dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa kami sahabat Nabi Saw. tidak meragukan lagi terhadap pembunuh jiwa, pemakan harta anak yatim, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, dan saksi palsu (bahwa mereka pasti masuk neraka), hingga turun ayat ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 48) Maka sejak saat itu semua sahabat Nabi Saw. menahan diri dari kesaksian.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Al-Haisam ibnu Hammad dengan lafaz yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abdur Rahman Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Dahulu kami tidak meragukan lagi terhadap orang yang dipastikan oleh Allah masuk neraka di dalam Al-Qur'an, hingga turun kepada kami ayat ini, yaitu firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya" (An-Nisa: 48). Setelah kami mendengar ayat ini, maka kami menahan diri dari kesaksian dan mengembalikan segala urusan kepada Allah Swt."
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syuraib, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Dahulu kami tidak mau memohon ampun buat orang-orang yang berdosa besar, hingga kami mendengar Nabi kami membacakan firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya' (An-Nisa: 48).
Dan Nabi Saw. telah bersabda:
«أَخَّرْتُ
شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ»
'Aku tangguhkan syafaatku buat orang-orang yang berdosa besar dari umatku kelak di hari kiamat'."
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi', telah menceritakan kepadaku Muhabbar, dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa ketika ayat ini diturunkan,yaitu firman-Nya: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. (Az-Zumar: 53), hingga akhir ayat. Maka ada seorang lelaki berdiri dan bertanya, "Bagaimanakah dengan dosa mempersekutukan Allah, wahai Nabi Allah?" Rasulullah Saw. tidak suka dengan pertanyaan tersebut, lalu beliau Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (An-Nisa: 48)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui berbagai jalur dari Ibnu Ulnar.
Ayat yang ada dalam surat Az-Zumar tadi mengandung suatu syarat, yaitu tobat. Maka barang siapa yang bertobat dari dosa apapun, sekalipun ia melakukannya berulang-ulang, niscaya Allah menerima tobatnya. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ
رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ
الرَّحِيمُ}
Katakanlah, "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya." (Az-Zumar: 53)
Yakni dengan syarat tobat. Seandainya diartikan tidak demikian, niscaya termasuk pula ke dalam pengertian ayat ini dosa mempersekutukan Allah. Pengertian ini jelas tidak benar, mengingat Allah Swt. telah memastikan tiada ampunan bagi dosa syirik dalam ayat ini (An-Nisa: 48), dan Dia telah memastikan pula bahwa Dia mengampuni semua dosa selain dari dosa mempersekutukan Allah, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dengan kata lain, sekalipun pelakunya belum bertobat, hal ini memberikan pengertian bahwa ayat surat An-Nisa ini lebih besar harapannya daripada ayat surat Az-Zumar tadi, bila ditinjau dari segi ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرى إِثْماً عَظِيماً
Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (An-Nisa: 48)
Ayat ini sama maknanya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman: 13)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis melalui Ibnu Mas'ud yang menceritakan hadis berikut:
عَنِ
ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ
أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
...”
وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثَ.
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?” Nabi Saw. menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dialah Yang menciptakanmu.” hingga akhir hadis.
قَالَ
ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا إسحق بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ، حَدَّثَنَا
مَعْنٌ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ بَشِيرٍ حَدَّثَنَا قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ،
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُخْبِرُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ:
الشِّرْكُ بِاللَّهِ" ثُمَّ قَرَأَ: {وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى
إِثْمًا عَظِيمًا} وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ". ثُمَّ قَرَأَ: {أَنِ اشْكُرْ لِي
وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ}
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Ma’an, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Imran ibnu Husain, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Aku akan menceritakan kepada kalian tentang dosa besar yang paling berat, yaitu mempersekutukan Allah. Kemudian beliau Saw. membacakan firman-Nya: Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (An-Nisa: 48) ; dan menyakiti kedua orang tua. Lalu beliau membacakan firman-Nya: Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembali kalian. (Luqman: 14)
An-Nisa, ayat 49-52
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشاءُ
وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلاً (49) انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ
الْكَذِبَ وَكَفى بِهِ إِثْماً مُبِيناً (50) أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا
نَصِيباً مِنَ الْكِتابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ
لِلَّذِينَ كَفَرُوا هؤُلاءِ أَهْدى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلاً (51) أُولئِكَ
الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيراً
(52)
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka). Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain Allah dan tagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barang siapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa firman-Nya berikut ini: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49) diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani ketika mereka mengatakan, "Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." Juga sehubungan dengan ucapan mereka yang disebutkan oleh firman-Nya: Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani. (Al-Baqarah: 111)
Mujahid mengatakan bahwa dahulu mereka menempatkan anak-anak di hadapan mereka dalam berdoa dan sembahyang sebagai imam mereka; mereka menduga bahwa anak-anak itu tidak mempunyai dosa. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Abu Malik. Ibnu Jarir m-riwayatkan hal tersebut.
Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49) Bahwa demikian itu karena orang-orang Yahudi mengatakan, "Sesungguhnya anak-anak kita telah meninggal dunia dan mereka mempunyai hubungan kerabat dengan kita. Mereka pasti memberi syafaat kepada kita dan membersihkan kita (dari dosa-dosa)." Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49), hingga akhir ayat.
Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musaffa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Himyar, dari Ibnu Luhai'ah, dari Bisyr ibnu Abu Amrah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang Yahudi menempatkan anak-anak mereka sebagai imam dalam sembahyangnya, juga menyerahkan korban mereka kepada anak-anak tersebut. Mereka berbuat demikian dengan alasan bahwa anak-anak mereka masih belum berdosa dan tidak mempunyai kesalahan. Mereka berdusta, dan Allah menjawab mereka, "Sesungguhnya Aku tidak akan membersihkan orang yang berdosa karena orang lain yang tidak berdosa." Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Mujahid, Abu Malik, As-Saddi, Ikrimah, dan Ad-Dahhak. Ad-Dahhak mengatakan bahwa orang-orang Yahudi selalu mengatakan, "Kami tidak mempunyai dosa sebagaimana anak-anak kami tidak mempunyai dosa." Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49) ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka itu.
Menurut pendapat yang lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan celaan terhadap perbuatan memuji dan menyanjung.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Al-Miqdad ibnul Aswad yang menceritakan hadis berikut:
أَمَرَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَحْثُوَ فِي وُجُوهِ
الْمَدَّاحِينَ التُّرَابَ
Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepada kita agar menaburkan pasir ke wajah orang-orang yang tukang memuji.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui jalur Khalid Al-Hazza, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم سَمِعَ رَجُلًا يُثْنِي عَلَى
رَجُلٍ، فَقَالَ: "وَيْحَكَ. قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ". ثُمَّ قَالَ: "إِنْ كَانَ
أَحَدُكُمْ مَادِحًا صَاحِبَهُ لَا مَحَالَةَ، فَلْيَقُلْ: أَحْسَبُهُ كَذَا وَلَا
يُزَكِّي عَلَى اللَّهِ أَحَدًا"
bahwa Rasulullah Saw. mendengar seorang lelaki memuji lelaki lainnya. Maka beliau Saw. bersabda: Celakalah kamu, kamu telah memotong leher temanmu. Kemudian Nabi Saw. bersabda: Jika seseorang dari kalian diharuskan memuji temannya, hendaklah ia mengatakan, "Aku menduganya demikian," karena ia tidak dapat membersihkan seseorang terhadap Allah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir, dari ayahnya, dari Na'im ibnu Abu Hindun yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah berkata, "Barang siapa yang mengatakan, 'Aku orang mukmin," maka dia adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang alim, maka dia adalah orang yang jahil (bodoh). Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Musa ibnu Ubaidah, dari Talhah ibnu Ubaidillah ibnu Kuraiz, dari Umar, bahwa Umar pernah mengatakan, "Sesungguhnya hal yang paling aku khawatirkan akan menimpa kalian ialah rasa ujub (besar diri) seseorang terhadap pendapatnya sendiri. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya orang mukmin, maka dia adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang alim, maka dia adalah orang yang bodoh. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا شعبة وَحَجَّاجٌ،
أَنْبَأَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ
قَالَ: كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: وَكَانَ قَلَّمَا يَكَادُ أَنْ يَدَعَ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ أَنْ يُحَدِّثَ بِهِنَّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: "مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا
يُفَقِّهُهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّ هَذَا الْمَالَ حُلْوٌ خَضِرٌ، فَمَنْ
يَأْخُذُهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكُ لَهُ فِيهِ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ
الذَّبْحُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Hajaj, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Ma'bad Al-Juhani yang menceritakan bahwa Mu'awiyah jarang menceritakan hadis dari Nabi Saw. Ma'bad Al-Juhani mengatakan bahwa Mu'awiyah hampir jarang tidak mengucapkan kalimat-kalimat berikut pada hari Jumat, yaitu sebuah hadis dari Nabi Saw. Ia mengatakan bahwa Nabi Saw. telah bersabda: Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya dia memberinya pengertian dalam masalah agama. Dan sesungguhnya harta ini manis lagi hijau, maka barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang hak, niscaya diberkati padanya; dan waspadalah kalian terhadap puji memuji, karena sesungguhnya pujian itu adalah penyembelihan.
Ibnu Majah meriwayatkan sebagian darinya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Gundar, dari Syu'bah dengan lafaz yang sama yang bunyinya seperti berikut:
"إِيَّاكُمْ
وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ"
Hati-hatilah kalian terhadap puji-memuji, karena sesungguhnya pujian itu adalah penyembelihan.
Ma'bad adalah Ibnu Abdullah ibnu Uwaim Al-Basri Al-Qadri.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ibrahim Al-Mas'udi, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud pernah mengatakan, "Sesungguhnya seorang lelaki berangkat dengan agamanya, kemudian ia kembali, sedangkan padanya tidak ada sesuatu pun dari agamanya itu. Dia menjumpai seseorang yang tidak mempunyai kekuasaan untuk menimpakan mudarat terhadap dirinya, tidak pula memberikan manfaat kepadanya; lalu ia berkata kepadanya, 'Sesungguhnya kamu, demi Allah, demikian dan demikian (yakni memujinya).' Dia berbuat demikian dengan harapan kembali memperoleh imbalan. Tetapi ternyata dia tidak memperoleh suatu keperluan pun darinya, bahkan ia kembali dalam keadaan Allah murka terhadap dirinya."
Kemudian sahabat Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49), hingga akhir ayat.
Pembahasan ini akan diterangkan secara rinci dalam tafsir firman-Nya:
فَلا
تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى
Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (An-Najm: 32)
Karena itulah dalam surat ini Allah Swt. berfirman:
{بَلِ
اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ}
Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 49)
Yakni segala sesuatu mengenai hal ini dikembalikan kepada Allah Swt. Dialah yang lebih mengetahui hakikat semua perkara dan rahasia-rahasianya.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَلا
يُظْلَمُونَ فَتِيلا}
dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. (An-Nisa: 49)
Dia tidak akan membiarkan bagi seseorang sesuatu pahala pun. Betapapun kecilnya pahala itu, Dia pasti menunaikan pahala itu kepadanya.
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ata, Al-Hasan, dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, yang dimaksud dengan fatil ialah sesuatu yang sebesar biji sawi.
Menurut suatu riwayat yang juga dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah sebesar sesuatu yang kamu pintal dengan jari jemarimu. Kedua pendapat ini saling berdekatan pengertiannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
انْظُرْ
كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? (An-Nisa: 50)
Yaitu dalam pengakuan mereka yang menganggap diri mereka bersih dari dosa-dosa, dan pengakuan mereka yang mengatakan bahwa diri mereka adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Juga perkataan mereka yang disitir oleh firman-Nya:
{لَنْ
يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى}
Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani. (Al-Baqarah: 111)
Ucapan mereka yang disebutkan oleh firman-Nya:
{لَنْ
تَمَسَّنَا النَّارُ إِلا أَيَّامًا مَعْدُودَةً}
Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja. (Al-Baqarah: 80)
Juga penyandaran nasib mereka kepada amal perbuatan nenek moyang mereka yang saleh. Padahal Allah telah menentukan bahwa amal perbuatan nenek moyang tidak dapat menjamin anak keturunannya barang sedikit pun. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
تِلْكَ
أُمَةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ
Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya, dan bagi kalian apa yang sudah kalian usahakan. (Al-Baqarah: 134), hingga akhir ayat.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَكَفَى
بِهِ إِثْمًا مُبِينًا}
Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka). (An-Nisa: 50)
Artinya, cukuplah perbuatan mereka itu sebagai perbuatan dusta dan kebohongan yang nyata.
*******************
Firman Allah Swt.:
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيباً مِنَ الْكِتابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ
وَالطَّاغُوتِ أَمَّا الْجِبْتُ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain Allah dan tagut. (An-Nisa: 51)
Makna al-jibti menurut riwayat Muhammad ibnu Ishaq, dari Hissan ibnu Qaid, dari Umar ibnul Khattab, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah sihir, sedangkan tagut ialah setan. Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan As-Saddi.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, dan Atiyyah, bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah setan. Menurut riwayat dari Ibnu Abbas ditambahkan di Al-Habasyiyyah.
Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa al-jibt artinya syirik, juga berarti berhala-berhala.
Menurut riwayat dari Asy-Sya'bi, al-jibt artinya juru ramal (tukang tenung).
Dari Ibnu Abbas Iagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah Huyay ibnu Akhtab.
Dari Mujahid, yang dimaksud dengan al-jibt ialah Ka'b ibnul Asyraf.
Allamah Abu Nasr ibnu Ismail ibnu Hammad Al-Jauhari di dalam kitab sahihnya mengatakan bahwa lafaz al-jibt ditujukan kepada pengertian berhala, tukang ramal, penyihir, dan lain sebagainya yang semisal.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"الطِّيَرَةُ
وَالْعِيَافَةُ وَالطَّرْقُ مِنَ الْجِبْتِ"
Tiyarah, iyafah, dan tarq termasuk jibt.
Selanjutnya Abu Nasr mengatakan bahwa kata al-jibt ini bukan asli dari bahasa Arab, mengingat di dalamnya terhimpun antara huruf jim dan huruf ta dalam satu kata, bukan karena sebab sebagai huruf yang dipertemukan.
Hadis yang disebutkan oleh Abu Nasr ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya.
Untuk itu Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا، عَوْفٌ عَنْ حَيَّانَ أَبِي الْعَلَاءِ،
حَدَّثَنَا قَطَنُ بْنُ قَبِيصَةَ، عَنْ أَبِيهِ -وَهُوَ قَبِيصَةُ بْنُ
مُخَارِقٍ-أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"إِنَّ الْعِيَافَةَ وَالطَّرْقَ وَالطِّيَرَةَ مِنَ الْجِبْتِ"
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Auf ibnu Hayyan ibnul Ala, telah menceritakan kepada kami Qatn ibnu Qubaisah, dari ayahnya (yaitu Qubaisah ibnu Mukhariq), bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya 'iyafah, larq, dan tiyarah termasuk al-jibt.
Auf mengatakan bahwa iyafah ialah semacam ramalan yang dilakukan dengan mengusir burung. At-Tarq yaitu semacam ramalan dengan cara membuat garis-garis di tanah. Menurut Al-Hasan, al-jibt artinya rintihan (bisikan) setan.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya, Imam Nasai, dan Ibnu Abu Hatim di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Auf Al-A’rabi.
Dalam surat Al-Baqarah telah disebutkan makna lafaz tagut. Jadi, dalam pembahasan ini tidak perlu diulangi lagi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnud-Daif, telah menceritakan kepada kami Hajaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Abuz-Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah ketika ditanya mengenai arti tawagit. Maka Jabir ibnu Abdullah menjawab, "Mereka adalah para peramal yang setan-setan turun membantu mereka."
Mujahid mengatakan bahwa tagut ialah setan dalam bentuk manusia, mereka mengangkatnya sebagai pemimpin mereka dan mengadukan segala perkara mereka kepada dia, dialah yang memutuskannya.
Imam Malik mengatakan bahwa tagut ialah semua yang disembah selain Allah Swt.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَيَقُولُونَ
لِلَّذِينَ كَفَرُوا هؤُلاءِ أَهْدى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا
سَبِيلًا
dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 51)
Mereka lebih mengutamakan orang-orang kafir daripada kaum muslim, karena kebodohan mereka sendiri, minimnya agama mereka, dan kekafiran mereka kepada Kitab Allah yang ada di tangan mereka.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang menceritakan bahwa Huyay ibnu Akhtab dan Ka'b ibnul Asyraf datang kepada penduduk Mekah, lalu mereka bertanya kepada keduanya, "Kalian adalah Ahli Kitab dan Ahlul Ilmi (orang yang berilmu). Maka ceritakanlah kepada kami perihal kami dan perihal Muhammad!" Mereka balik bertanya, "Bagaimanakah dengan kalian dan bagaimanakah pula dengan Muhammad?" Mereka menjawab, "Kami selalu bersilaturahmi, menyembelih unta, memberi minum air di samping air susu, membantu orang yang kesulitan dan memberi minum orang-orang yang haji. Sedangkan Muhammad adalah orang yang miskin lagi hina, memutuskan silaturahmi dengan kami, diikuti oleh jamaah haji pencuri dari Bani Giffar. Manakah yang lebih baik, kami atau dia?" Keduanya menjawab, "Kalian jauh lebih baik dan lebih benar jalannya (daripada dia)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? (An-Nisa: 51), hingga akhir ayat.
Hadis ini diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu Abbas dan sejumlah ulama Salaf.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika Ka'b ibnul Asyraf tiba di Mekah, maka orang-orang Quraisy berkata, "Bagaimanakah menurutmu si miskin yang diasingkan oleh kaumnya ini? Dia menduga bahwa dirinya lebih baik daripada kami, padahal kami adalah ahli jamaah haji dan ahli yang mengurus Ka'bah serta ahli siqayah." Ka'b ibnul Asyraf menjawab, "Kalian lebih baik." Maka turunlah firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus. (Al-Kausar: 3) Turun pula firman-Nya yang mengatakan: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? (An-Nisa: 51) sampai dengan firman-Nya: niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. (An-Nisa: 52)
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang yang membantu pasukan golongan bersekutu ialah dari kabilah Quraisy, Gatafan, Bani Quraisah, Huyay ibnu Akhtab, Salam ibnu Abul Haqiq, Abu Rafi", Ar-Rabi' ibnu Abul Haniq, Abu Amir, Wahuh ibnu Amir, dan Haudah ibnu Qais. Wahuh dan Abu Amir serta Haudah berasal dari Bani Wail, sedangkan sisanya dari kalangan Bani Nadir. Ketika mereka tiba di kalangan orang-orang Quraisy, maka orang-orang Quraisy berkata, "Mereka adalah para rahib Yahudi dan ahli ilmu tentang kitab-kitab terdahulu. Maka tanyakanlah kepada mereka, apakah agama kalian yang lebih baik, ataukah agama Muhammad?" Lalu mereka bertanya kepada orang-orang Yahudi tersebut, dan para rahib Yahudi itu menjawab, "Agama kalian lebih baik daripada agama Muhammad, dan jalan kalian lebih benar daripada dia dan orang-orang yang mengikutinya." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? (An-Nisa: 51) sampai dengan firman-Nya: dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (An-Nisa: 54)
Hal ini merupakan laknat Allah bagi mereka, sekaligus sebagai pemberitahuan bahwa mereka tidak akan memperoleh penolong di dunia, tidak pula di akhirat. Mereka berangkat menuju Mekah yang sebenarnya untuk meminta pertolongan dari kaum musyrik Mekah, dan sesungguhnya mereka mengatakan demikian untuk mendapatkan simpati dari kaum musyrik agar mereka mau membantunya. Ternyata kaum musyrik mau membantu mereka dan datang bersama mereka dalam Perang Ahzab, hingga memaksa Nabi Saw. dan para sahabatnya untuk menggali parit di sekitar Madinah sebagai pertahanannya. Akhirnya Allah menolak kejahatan mereka, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَرَدَّ
اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنالُوا خَيْراً وَكَفَى اللَّهُ
الْمُؤْمِنِينَ الْقِتالَ وَكانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزاً
Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu. yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Mahakuat lagi Maha-perkasa. (Al-Ahzab: 25)
No comments