Muslim Notebook Header Ads

004. Surat An-Nisa Ayat 001 - 025 - Tafsir Ibnu Katsir - Muslim Notebook




تَفْسِيرُ سُورَةِ النسَاء
(Wanita)
Madaniyyah, 176 ayat, turun sesudah surat Al-Mumtahanah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa surat An-Nisa diturunkan di Madinah.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih, dari Abdullah ibnuz Zubair dan Zaid ibnu Sabit.

رَوَى ابْنُ مَرْدَوَيْهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، ورَوَى مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ لَهِيعة، عَنِ أَخِيهِ عِيسَى، عَنْ عِكْرمة عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ سُورَةُ النِّسَاءِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا حَبْس "

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Abdullah ibnu Luhai'ah, dari saudaranya (yaitu Isa) dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika surat An-Nisa diturunkan, Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak ada tahanan lagi."

Imam Hakim mengatakan di dalam kitab Mustadrak-nya telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad ibnu Ya'qub. telah menceritakan kepada kami Abul Buhturi Abdullah ibnu Muhammad ibnu Syakir, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bisyr Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Mis'ar ibnu Kidam, dari Ma'n ibnu Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Di dalam surat An-Nisa terdapat lima ayat yang tidak suka hal itu bagiku bila ditukar dengan dunia dan seisinya," yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah. (An-Nisa: 40), hingga akhir ayat. Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya (An-Nisa: 48, dan 116), hingga akhir ayat. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu.(An-Nisa: 64), hingga akhir ayat.

Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa sanad asar ini sahih jika Abdur Rahman pernah mendengar dari ayahnya. 

Namun dalam hal ini telah berbeda pendapat, Abdur Razzak mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari seorang laki-laki, dari lbnu Mas'ud yang mengatakan bahwa 'Ada lima ayat dari surat An-Nisa yang lebih aku cintai daripada dunia seluruhnya," yaitu firman-Nya:  Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31); dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya. (An-Nisa: 40); Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya (An-Nisa: 48, dan 116),  Dan barang siapa yang mengenakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 110)

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir. 

Kemudian ia meriwayatkan melalui jalur Saleh Al-Murri, dari Qatadah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ada delapan buah ayat yang diturunkan di dalam surat An-Nisa yang lebih baik bagi umat ini daripada semua yang matahari terbit dan tenggelam padanya. Pertama adalah firman-Nya: Allah hendak menerangkan (hukum-hukum syariat-Nya) kepada kalian dan menunjuki kalian kepada jalan-jalan orang yang sebelum kalian (para nabi dan salihin) dan (hendak) menerima taubat kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 26); Yang kedua adalah firman-Nya: Dan Allah hendak menerima tobat kalian, sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (An-Nisa: 27); Yang ketiga yaitu firman-Nya: Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa: 28)

Kemudian ayat-ayat berikutnya sama saja dengan lima ayat yang terdapat di dalam perkataan Ibnu Mas’ud tadi yang telah kami terangkan di atas.

Imam Hakim meriwayatkan melalui jalur Abu Na'im, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Abdullah ibnu Abu Yazid, dari Ibnu Abu Mulaikah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas berkata, "Bertanyalah kepadaku tentang surat An-Nisa, karena sesungguhnya aku telah membaca Al-Qur'an sejak aku masih kecil."

Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.

An-Nisa, ayat 1

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1) }

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan Kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah. kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminla satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.

Allah Swt. berfirman memerintahkan kepada makhluk-Nya agar bertakwa kepada-Nya, yaitu menyembah kepada-Nya semata dan tidak membuat sekutu bagi-Nya. Juga mengingatkan mereka akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan mereka dari seorang diri berkat kekuasaan-Nya orang tersebut adalah Adam a.s.

{وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا}

dan darinya Allah menciptakan istrinya. (An-Nisa: 1)
Siti Hawa a.s. diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk sebelah kiri bagian belakang Adam a.s. ketika Adam a.s. sedang tidur. Saat Adam terbangun, ia merasa kaget setelah melihatnya, lalu ia langsung jatuh cinta kepadanya. Begitu pula sebaliknya, Siti Hawa jatuh cinta kepada Adam a.s.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Abu Hilal. dari Qatadah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Wanita diciptakan dari laki-laki, maka keinginan wanita dijadikan terhadap laki-laki; dan laki-laki itu dijadikan dari tanah, maka keinginannya dijadikan terhadap tanah, maka pingitlah wanita-wanita kalian."
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:

«إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ»

Sesungguhnya wanita itu dijadikan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Maka jika kamu bertindak untuk meluruskannya. niscaya kamu akan membuatnya patah. Tetapi jika kamu bersenang-senang dengannya, berarti kamu bersenang-senang dengannya, sedangkan padanya terdapat kebengkokan.
*******************
Firman Allah Swt.:

{وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً}

dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan. (An-Nisa: 1)
Allah mengembangbiakkan banyak laki-laki dan perempuan dari Adam dan Hawa, lalu menyebarkan mereka ke seluruh dunia dengan berbagai macam jenis, sifat, warna kulit, dan bahasa mereka. Kemudian sesudah itu hanya kepada-Nya mereka kembali dan dihimpunkan.
Kemudian Allah Swt. berfirman:

{وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ}

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. (An-Nisa: 1)
Maksudnya, bertakwalah kalian kepada Allah dengan taat kepada-Nya.
Ibrahim, Mujahid, dan Al-Hasan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, (An-Nisa: 1) Yakni seperti dikatakan, "Aku meminta kepadamu dengan nama Allah dan hubungan silaturahmi."
Menurut Ad-Dahhak, makna ayat adalah 'bertakwalah kalian kepada Allah yang kalian telah berjanji dan berikrar dengan menyebut nama-Nya'. Bertakwalah kalian kepada Allah dalam silaturahmi. Dengan kata lain, janganlah kalian memutuskannya. melainkan hubungkanlah dan berbaktilah untuknya. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid. Al-Hasan. Ad-Dahhak. Ar-Rabi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Salah seorang ulama membaca al-arhama menjadi al-arhami. yakni dengan bacaan jar karena di-'ataf-kan kepada damir yang ada pada bihi. Dengan kata lain, kalian saling meminta satu sama lain dengan menyebut nama Allah dan hubungan silaturahmi. Demikianlah menurut yang dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya.
*******************
Firman Allah Swt.:

{إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا}

Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian. (An-Nisa: 1)
Dia mengawasi semua keadaan dan semua perbuatan kalian. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

وَاللَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Al-Mujadilah: 6)
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:

«اعْبُدِ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ»

Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kamu melihat-Nya; jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.
Hal ini merupakan petunjuk dan sekaligus sebagai peringatan, bahwa diri kita selalu berada di dalam pengawasan Allah Swt.
Allah Swt. telah menyebutkan bahwa asal mula makhluk itu dari seorang ayah dan seorang ibu. Makna yang dimaksud ialah agar sebagian dari mereka saling mengasihi dengan sebagian yang lain, dan menganjurkan kepada mereka agar menyantuni orang-orang yang lemah dari mereka.
Di dalam hadis sahih Muslim disebutkan melalui hadis Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ عَلَيْهِ أُولَئِكَ النَّفَرُ مِنْ مُضَر -وَهُمْ مُجْتابو النِّمار -أَيْ مِنْ عُريِّهم وفَقْرهم -قَامَ فَخَطَب النَّاسَ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ فَقَالَ فِي خُطْبَتِهِ: {يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ} حَتَّى خَتَمَ الْآيَةَ وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ [وَاتَّقُوا اللَّهَ] } [الْحَشْرِ:18] ثُمَّ حَضَّهم عَلَى الصَّدَقَةِ فَقَالَ: "تَصَدَّقَ رجُلٌ مِنْ دِينَاره، مِنْ دِرْهَمِه، مِنْ صَاعِ بُرِّه، صَاعِ تَمْره ... " وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ.

bahwa ketika Rasulullah Saw. kedatangan sejumlah orang dari kalangan Mudar —mereka adalah orang-orang yang mendatangkan buah-buahan, yakni dari pohon-pohon milik mereka— maka Nabi Saw. berkhotbah kepada orang-orang sesudah salat Lohor. Dalam khotbahnya beliau Saw. membacakan firman-Nya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri. (An-Nisa: 1), hingga akhir ayat. Kemudian membacakan pula firman-Nya: Hai orang-orang yang berimah, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. (Al-Hasyr: 18) Kemudian Nabi Saw. menganjurkan mereka untuk bersedekah. Untuk itu beliau bersabda: Seorang lelaki bersedekah dari uang dinarnya, dari uang dirhamnya, dari sa' jewawutnya. dari sa' kurmanya, hingga akhir hadis.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ahlus sunan dari Ibnu Mas'ud dalam khotbah hajinya. yang di dalamnya disebut pula bahwa setelah itu Ibnu Mas'ud membacakan tiga buah ayat Salah satunya adalah firman-Nya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian. (An-Nisa: 1), hingga akhir ayat.

An-Nisa, ayat 2-4

وَآتُوا الْيَتامى أَمْوالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوالَهُمْ إِلى أَمْوالِكُمْ إِنَّهُ كانَ حُوباً كَبِيراً (2) وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى فَانْكِحُوا مَا طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَواحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ ذلِكَ أَدْنى أَلاَّ تَعُولُوا (3) وَآتُوا النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً (4) 

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kalian menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kalian makan harta mereka bersama-sama harta kalian. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar. Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku  adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Berikanlah mas-kawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya).

Allah Swt. memerintahkan agar menyerahkan harta benda anak-anak yatim apabila mereka telah mencapai usia balig yang sempurna dan dewasa. Allah melarang memakan harta anak yatim serta menggabungkannya dengan harta yang lainnya. Karena itulah Allah Swt. ber-firman:

{وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ}

jangan kalian menukar yang baik dengan yang buruk. (An-Nisa: 2)
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Saleh, "Janganlah kamu tergesa-gesa dengan rezeki yang haram sebelum datang kepadamu rezeki halal yang telah ditakdirkan buatmu."
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Janganlah kalian menukar harta halal milik kalian dengan harta haram milik orang lain." Yakni janganlah kalian menukarkan harta kalian yang halal, lalu kalian makan harta mereka yang haram bagi kalian.
Sa'id ibnul Musayyab dan Az-Zuhri mengatakan, "Janganlah kamu memberi kambing yang kurus dan mengambil kambing yang gemuk".
Ibrahim An-Nakha'i dan Ad-Dahhak mengatakan, "Janganlah kamu memberi yang palsu dan mengambil yang baik."
As-Saddi mengatakan, "Seseorang di antara mereka mengambil kambing yang gemuk dari ternak kambing milik anak yatim, lalu menggantikannya dengan kambing yang kurus, kemudian kamu katakan, 'Kambing dengan kambing. Janganlah kamu mengambil dirham yang baik, lalu menggantikannya dengan dirham yang palsu, kemudian kamu katakan, 'Dirham ditukar dengan dirham lagi'."
*******************
Firman Allah Swt.:

{وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ}

dan jangan kalian makan harta mereka bersama harta kalian (An-Nisa: 2)
Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, dan Sufyan Ibnu Husain mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah 'janganlah kalian mencampuradukkan harta kalian dengan harta anak-anak yatim, lalu kalian memakannya secara bersamaan (yakni tidak dipisahkan)'
Firman Allah Swt.:

{إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا}

Sesungguhnya perbuatan tersebut adalah dosa yang besar. (An-Nisa: 2)
Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan huban ialah dosa, yakni dosa yang besar.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai firman-Nya: dosa yang besar. (An-Nisa: 2) Yang dimaksud dengan huban kabiran ialah dosa besar.
Akan tetapi di dalam sanad hadis ini terdapat Muhammad ibnu Yusuf Al-Kindi, sedangkan dia orangnya daif.
Telah diriwayatkan hal yang sama dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Ad-Dahhak, Abu Malik, Zaid ibnu Aslam, dan Abu Sinan yang isinya semisal dengan perkataan Ibnu Abbas.
Di dalam hadis yang diriwayatkan di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan:

"اغْفِرْ لَنَا حُوبَنَا وَخَطَايَانَا"

Ampunilah bagi kami atas dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan berikut sanadnya sampai kepada Wasil maula Abu Uyaynah, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas, bahwa Abu Ayyub menceraikan istrinya. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya:

"يَا أَبَا أَيُّوبَ، إِنَّ طَلَاقَ أُمِّ أَيُّوبَ كَانَ حُوبًا"

Hai Abu Ayyub, sesungguhnya menceraikan Ummu Ayyub adalah dosa!
Menurut Ibnu Sirin. yang dimaksud dengan al-hub ialah dosa.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Musa telah menceritakan kepada kami Haudah ibnu Khalifah, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Anas, bahwa Abu Ayyub bermaksud hendak menceraikan Ummu Ayyub (istrinya). Maka ia meminta izin kepada Nabi Saw., tetapi Nabi Saw. bersabda:  Sesungguhnya menceraikan Ummu Ayyub benar-benar dosa.
Maka Abu Ayyub tidak jadi menceraikannya dan tetap memegangnya (sebagai istrinya).
Ibnu Murdawaih dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadis Ali ibnu Asim, dari Humaid At-Tawil yang mendengar dari sahabat Anas ibnu Malik pula bahwa Abu Talhah bermaksud menceraikan Ummu Sulaim (yakni istrinya). Maka Nabi Saw. bersabda:

"إِنَّ طَلَاقَ أُمِّ سُلَيْمٍ لَحُوبٌ"

Sesungguhnya menceraikan Ummu Sulaim benar-benar dosa.
Maka Abu Talhah mengurungkan niatnya.
Makna ayat: yaitu sesungguhnya bilamana kalian makan harta kalian yang dicampur dengan harta mereka (anak-anak yatim). hal itu adalah dosa yang besar dan merupakan kesalahan yang parah; maka jauhilah perbuatan tersebut.
*******************
Firman Allah Swt.:

{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى}

Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua. (An-Nisa: 3)
Yakni apabila di bawah asuhan seseorang di antara kalian terdapat seorang anak perempuan yatim, dan ia merasa khawatir bila tidak memberikan kepadanya mahar misil-nya, hendaklah ia beralih mengawini wanita yang lain, karena sesungguhnya wanita yang lain cukup banyak; Allah tidak akan membuat kesempitan kepadanya.
Imam Bukhari mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah. dari ayah-nya, dari Aisyah, bahwa ada seorang lelaki yang mempunyai anak perempuan yatim, lalu ia menikahinya. Sedangkan anak perempuan yatim itu mempunyai sebuah kebun kurma yang pemeliharaannya dipegang oleh lelaki tersebut, dan anak perempuan yatim itu tidak mendapat sesuatu maskawin pun darinya. Maka turunlah firman-Nya: Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil. (An-Nisa: 3)
Menurut keyakinanku, dia (si perawi) mengatakan bahwa anak perempuan yatim tersebut adalah teman seperseroan lelaki itu dalam kebun kurma, juga dalam harta benda lainnya.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Urwah ibnuz Zubair pernah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah mengenai firman-Nya: Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya). (An-Nisa: 3) Siti Aisyah mengatakan, "Hai anak saudara perempuanku, anak yatim perempuan yang dimaksud berada dalam asuhan walinya dan berserikat dengannya dalam harta bendanya. Lalu si wali menyukai harta dan kecantikannya, maka timbullah niat untuk mengawininya tanpa berlaku adil dalam maskawinnya; selanjutnya ia memberinya maskawin dengan jumlah yang sama seperti yang diberikan oleh orang lain kepadanya (yakni tidak sepantasnya). Maka mereka dilarang menikahi anak-anak yatim seperti itu kecuali jika berlaku adil dalam mas kawinnya, dan hendaklah maskawinnya mencapai batas maksimal dari kebiasaan maskawin untuk perempuan sepertinya. Jika para wali tidak mampu berbuat demikian, mereka diperintahkan untuk kawin dengan wanita lain selain anak-anak perempuan yatim yang berada dalam perwaliannya. Urwah mengatakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya ada orang-orang yang meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. sesudah ayat di atas. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita' (An-Nisa: 127)." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa diturunkan pula ayat lain-nya, yaitu firman-Nya: sedangkan kalian ingin mengawini mereka. (An-Nisa: 127) Karena ketidaksukaan seseorang di antara kalian terhadap anak yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya, kecuali dengan maskawin yang adil. Demikian itu karena ketidaksukaan mereka bila anak-anak yatim itu sedikit hartanya dan tidak cantik.
*******************
Firman Allah Swt.:

{مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ}

dua, tiga, empat. (An-Nisa: 3)
Nikahilah wanita mana pun yang kamu sukai selain dari anak yatim: jika kamu suka, boleh menikahi mereka dua orang; dan jika suka, boleh tiga orang; dan jika kamu suka, boleh empat orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

جاعِلِ الْمَلائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ

Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk meng-rus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. (Fathir: 1)
Maksudnya, di antara mereka ada yang mempunyai dua buah sayap. tiga buah sayap, ada pula yang mempunyai empat buah sayap. Akan tetapi, hal ini bukan berarti meniadakan adanya malaikat yang selain dari itu karena adanya dalil yang menunjukkan adanya selain itu.
Masalahnya lain dengan dibatasinya kaum lelaki yang hanya boleh menikahi empat orang wanita. Maka dalilnya berasal dari ayat ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama, mengingat makna ayat mengandung pengertian dibolehkan dan pemberian keringanan. Seandainya diperbolehkan mempunyai istri lebih dari itu (yakni lebih dari empat orang), niscaya hal ini akan disebutkan oleh firman-Nya.
Imam Syafii mengatakan, "Sesungguhnya sunnah Rasulullah Saw. yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah Saw. tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita." Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ini telah disepakati di kalangan para ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari segolongan ulama Syi’ah yang mengatakan, "Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang." Sebagian dari kalangan Syi'ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah Saw. dalam hal menghimpun istri lebih banyak daripada empat orang sampai sembilan orang wanita, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih.
Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan di dalam sebagian lafaz hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari; sesungguhnya Imam Bukhari sendiri telah men-ta'liq-nya (memberinya komentar). Telah diriwayatkan kepada kami, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. menikah dengan lima belas orang istri, sedangkan yang pernah beliau gauli hanya tiga belas orang, yang berkumpul dengan beliau ada sebelas orang, dan beliau wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri. Hal ini menurut para ulama termasuk kekhususan bagi Nabi Saw. sendiri, bukan untuk umatnya; karena adanya hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, yaitu membatasi istri hanya sampai empat orang. Dalam pembahasan berikut kami akan mengemukakan hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَا حَدَّثَنَا مَعمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ. قَالَ ابْنُ جَعْفَرٍ فِي حَدِيثِهِ: أَنْبَأَنَا ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ أَبِيهِ: أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمة الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشَرَةُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. فَلَمَّا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ طَلَّقَ نِسَاءَهُ، وَقَسَّمَ مَالَهُ بَيْنَ بَنِيهِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ فَقَالَ: إِنِّي لَأَظُنُّ الشَّيْطَانَ فِيمَا يَسْتَرِقُ مِنَ السَّمْعِ سَمِعَ بِمَوْتِكَ فَقَذَفَهُ فِي نَفْسِكَ وَلَعَلَّكَ لَا تَمْكُثُ إِلَّا قَلِيلًا. وَايْمُ اللَّهِ لتراجعنَّ نِسَاءَكَ وَلَتَرْجِعَنَّ فِي مَالِكَ أَوْ لأورثُهن مِنْكَ، وَلَآمُرَنَّ بِقَبْرِكَ فَيُرْجَمُ، كَمَا رُجِمَ قبرُ أَبِي رِغَال

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail dan Muhammad ibnu Ja'far; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri. Ibnu Ja'far mengatakan bahwa di dalam hadisnya disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dad Salim, dari ayahnya, bahwa Gailan ibnu Salamah As-Saqafi masuk Islam; saat itu ia mempunyai sepuluh orang istri. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja. Ketika pemerintahan Khalifah Umar. Gailan menceraikan semua istrinya dan membagi-bagikan hartanya di antara semua anaknya. Hal tersebut terdengar oleh sahabat Umar, maka ia berkata (kepada Gailan), "Sesungguhnya aku tidak menduga setan dapat mencuri pendengaran (dari pembicaraan para malaikat) mengenai saat kematianmu, lalu membisikkannya ke dalam hatimu. Yang jelas. barangkali kamu merasakan masa hidupmu tidak akan lama lagi. Demi Allah, kamu harus merujuk istri-istrimu kembali dan kamu harus mencabut kembali pembagian harta bendamu itu. atau aku yang akan memberi mereka warisan dari hartamu, lalu aku perintahkan membuat lubang kuburan buatmu, kemudian kamu dirajam sebagaimana Abu Riqal dirajam dalam kuburannya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Syafii, Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah, Imam Daruqutni, dan Imam Bailiaqi serta lain-lainnya melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Ulayyah, Gundar, Yazid ibnu Zurai', Sa'id ibnu Abu Arubah, Sufyan As-Sauri, Isa ibnu Yunus, Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dan Al-Fadl ibnu Musa serta lain-lainnya dari kalangan para huffazul hadis, dari Ma'mar berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal sampai pada sabda Nabi Saw.: Pilihlah olehmu empat orang saja di antara mereka!
Sedangkan lafaz lainnya mengenai kisah Umar r.a. termasuk asar yang hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri. Tetapi hal ini merupakan tambahan yang baik dan sekaligus melemahkan analisis yang dikemukakan oleh Imam Bukhari terhadap hadis ini menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi darinya.
Dalam riwayatnya itu Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari mengatakan bahwa hadis ini tidak ada yang hafal. Tetapi yang benar ialah hadis yang diriwayatkan oleh Syu'aib dan lain-lainnya, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa dia menceritakan hadis berikut dari Muhammad ibnu Abu Suwaid ibnus Saqafi, Gailan ibnu Salamah, hingga akhir hadis.
Imam Bukhari mengatakan, "Sesungguhnya hadis Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya hanyalah mengatakan bahwa seorang lelaki dari Bani Saqif menceraikan semua istrinya. Maka Umar berkata kepadanya, "Kamu harus merujuk istri-istrimu kembali, atau aku akan merajam kuburmu sebagaimana kubur Abu Rigal dirajam." Akan tetapi, analisis Imam Bukhari ini masih perlu dipertimbangkan.
Sesungguhnya Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma'mar, dari Az-Zuhri secara mursal. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Az-Zuhri secara mursal. Menurut Abu Zar'ah, hal ini lebih sahih.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa Uqail meriwayatkannya dari Az-Zuhri, telah sampai hadis ini kepada kami dari Usman ibnu Muhammad ibnu Abu Suwaid, dari Muhammad ibnu Yazid.
Abu Hatim mengatakan bahwa hal ini hanyalah dugaan belaka; sesungguhnya sanad hadis ini adalah Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah Saw. ... hingga akhir hadis.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa Yunus dan Ibnu Uyaynah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid. Hal ini sama dengan apa yang di-ta'liq-kan(dianalisiskan) oleh Imam Bukhari. Dan isnad yang telah kami ketengahkan dari kitab Musnad Imam Ahmad semua perawinya adalah orang-orang yang siqah dengan syarat Syaikhain.
Kemudian diriwayatkan melalui jalur selain Ma'mar, bahkan Az-Zuhri. Imam Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Ali Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-Nasai dan Yazid ibnu Umar ibnu Yazid Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Sar-rar ibnu Mujasysyar, dari Ayyub, dari Nafi' dan Salim, dari Ibnu Umar, bahwa Gailan ibnu Salamah pada mulanya mempunyai sepuluh orang istri. Lalu ia masuk Islam, dan semua istrinya ikut masuk Islam pula bersamanya. Maka Nabi Saw. menyuruh Gailan memilih empat orang istri saja di antara mereka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya.
Abu Ali ibnus Sakan mengatakan bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh Sarrar ibnu Mujasysyar. dan dia orangnya siqah Ibnu Mu'in menilainya siqah pula.
Abu Ali mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sumaid' ibnu Wahb, dari Sarrar.
Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami melalui hadis Qais ibnul Haris atau Al-Haris ibnu Qais dan Urwah ibnu Mas'ud As-Saqafi serta Safwan ibnu Umayyah, yakni hadis Gailan ibnu Salamah ini.
Pada garis besarnya tersimpulkan bahwa seandainya diperbolehkan menghimpun lebih dari enipat orang istri. niscaya Rasulullah Saw. memperbolehkan tetapnya semua istri Gailan yang sepuluh orang itu, mengingat mereka semua masuk Islam. Setelah Nabi Saw. memerintahkan Gailan memegang yang empat orang dan menceraikan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh memiliki istri lebih dari empat orang dengan alasan apa pun. Apabila hal ini berlaku untuk yang telah ada, maka terlebih lagi bagi yang pemula.

رَوَى أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ فِي سُنَنِهِمَا  مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيضة بْنِ الشَّمَرْدَل -وَعِنْدَ ابْنِ مَاجَهْ: بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ، وَحَكَى أَبُو دَاوُدَ أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: الشَّمَرْذَلِ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ -عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ. وَعِنْدَ أَبِي دَاوُدَ فِي رِوَايَةِ: الْحَارِثِ بْنِ قَيْسِ بْنِ عُمَيْرَةَ الْأَسَدِيِّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثماني نِسْوَةٍ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا".

Hadis lain mengenai hal tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnahnya masing-masing melalui jalur Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Khamisah ibnusy Syamardal, sedangkan yang ada pada Imam Ibnu Majah dari bintisy Syamardal. Imam Abu Daud meriwayatkan bahwa di antara mereka ada yang menyebut Asy-Syamarzal dengan memakai huruf Zal dari Qais ibnul Haris. Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Abu Daud dalam riwayat Al-Haris ibnu Qais, Umairah Al-Asadi pernah mengatakan, "Aku masuk Islam dalam keadaan mempunyai delapan orang istri. Lalu aku tuturkan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka beliau bersabda: 'Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja'!"
Sanad hadits ini jayyid; perbedaan syawahid seperti ini tidak menimbulkan mudarat pada hadis yang dimaksud.
Hadis lain sehubungan dengan masalah ini diriwayatkan oleh Imam Syafii di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa:

أَخْبَرَنِي مَنْ سَمِعَ ابْنَ أَبِي الزِّناد يَقُولُ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ سُهَيل بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَوْفِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ نَوْفَلِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الدِّيْلِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي خَمْسُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اخْتَرْ أَرْبَعًا أَيَّتَهُنَّ شِئْتَ، وَفَارِقِ الْأُخْرَى"، فَعَمَدت إِلَى أَقْدَمِهِنَّ صُحْبَةً عَجُوزٍ عَاقِرٍ مَعِي مُنْذُ سِتِّينَ سَنَةً، فَطَلَّقْتُهَا .

telah menceritakan kepadaku seseorang yang pernah mendengar dari Ibnu Abuz Zanad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Majid, dari Ibnu Sahl ibnu Abdur Rahman, dari Auf ibnul Haris, dari Naufal ibnu Mu'awiyah Ad-Daili yang mengatakan bahwa ketika dirinya masuk Islam, ia mempunyai lima orang istri. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah empat orang istri saja, mana yang kamu sukai, dan ceraikanlah yang lainnya. Ia mengatakan, "Maka aku menjatuhkan keputusanku terhadap seorang di antara mereka yang paling lama menemaniku, yaitu seorang wanita yang sudah tua lagi mandul, sejak enam puluh tahun yang silam, lalu aku ceraikan dia."
Semuanya merupakan syawahid yang memperkuat hadis Gailan tadi. menurut apa yang dikatakan oleh Imam Baihaqi.
*******************
Firman Allah Swt.:

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ}

Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 3)
Maksudnya, jika kalian merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila beristri banyak, yakni adil terhadap sesama mereka. Seperti yang dinyatakan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian (An-nisa 129)
Pendapat yang sahih adalah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yakni tidak berbuat zalim.
Dikatakan 'alafil hukmi apabila seseorang berbuat aniaya berat sebelah, dan curang dalam keputusan hukumnya Abu Talib mengatakan dalam salah satu bait qasidahnya yang terkenal:

بِمِيزَانِ قسطٍ لَا يَخيس شُعَيْرَةً ... لَهُ شَاهِدٌ مِنْ نَفْسِهِ غَيْرُ عَائِلِ

 Dengan timbangan keadilan yang tidak berat sebelah, walau hanya seberat sehelai rambut pun, dia mempunyai saksi dari dirinya yang tidak aniaya.

Hasyim meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa Usman ibnu Affan berkirim surat kepada penduduk Kufah sehubungan dengan sesuatu hal yang membuat mereka menegurnya. Di dalam suratnya itu Usman ibnu Affan mengatakan, "Sesungguhnya aku bukanlah neraca yang berat sebelah." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

وَقَدْ رَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَابْنُ مَرْدويه، وَأَبُو حَاتِمِ ابْنِ حِبَّان فِي صَحِيحِهِ، مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ دُحَيْم، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا} قال: "لا تجوروا".

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih serta Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abu Ibrahim dan Khaisam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Amr ibnu Muhammad ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Umair, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda sehubungan dengan firman-Nya: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yaitu, "Janganlah kalian berbuat aniaya!"
Ibnu Abu Hatim mengatakan.”Menurut ayahku hadis ini keliru. Yang benar hadis ini adalah dari Siti Aisyah secara mauquf tidak sampai kepada Nabi Saw
Ibnu Abu Hatim mengatakan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Siti Aisyah, Mujahid, Ikrimah. Al-Hasan, Imam Malik. Ibnu Razin, An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurasani. Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan.”Tidak berat sebelah."
Ikrimah memperkuat pendapatnya dengan bait yang diucapkan oleh Abu Talib, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Tetapi apa yang diucapkan oleh Abu Talib adalah seperti yang diriwayatkan di dalam kitab As-Sirah. Ibnu Jarir meriwayatkannya, kemudian ia mengemukakannya secara baik dan memilihnya.
*******************
Firman Allah Swt.:

{وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً}

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan istilah nihlah dalam ayat ini adalah mahar.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri. dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa nihlah adalah maskawin yang wajib.
Muqatil, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa nihlah artinya faridah (maskawin yang wajib), sedangkan Ibnu Juraij menambahkan bahwa maskawin tersebut adalah maskawin yang disebutkan.
Ibnu Zaid mengatakan, istilah nihlah dalam perkataan orang Arab artinya maskawin yang wajib. Disebutkan, "Janganlah kamu menikahinya kecuali dengan sesuatu (maskawin) yang wajib baginya. Tidak layak bagi seseorang sesudah Nabi Saw. menikahi seorang wanita kecuali dengan maskawin yang wajib. Tidak layak penyebutan maskawin didustakan tanpa alasan yang dibenarkan."
Pada garis besarnya perkataan mereka menyatakan bahwa seorang lelaki diwajibkan membayar maskawin kepada calon istrinya sebagai suatu keharusan. Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati. Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang diharuskan memberikan maskawin kepada istrinya secara senang hati pula. Jika pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan maskawinnya mengembalikan sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan senang hati dan halal. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

{فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا}

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari As-Saddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan itu, lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia mengambil air hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik akibatnya, sebagai obat yang diberkati."
Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu Saleh, bahwa seorang lelaki apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah yang menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah Swt. melarang mereka melakukan hal tersebut dan turunlah firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْأَحْمَسِيُّ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عُمَيْرٍ الْخَثْعَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ الطَّائِفِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلَمَاني قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً} قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: "مَا تَرَاضَى عَلَيْهِ أهْلوهُم"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Umair Al-Khas’ami. dari Abdul Malik ibnu Mugirah At-Taifi, dari Abdur Rahman ibnu Malik As-Salmani menceritakan bahwa Rasulullah Saw. Membacakan firman-Nya:  Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4) Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pertalian di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Jumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."

قَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقِ حَجَّاج بْنِ أرْطاة، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلمَاني عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "أَنْكِحُوا الْأَيَامَى" ثَلَاثًا، فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: "مَا تَرَاضَى عليه أهلوهم".

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Hajaj ibnu Artah, dari Abdul Malik ibnul Mugirah, dari Abdur Rahman ibnus Salman, dari Umar ibnul Khattab yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. berkhotbah kepada kami. Beliau Saw. bersabda, "Nikahkanlah oleh kalian wanita-wanita kalian yang sendirian," sebanyak tiga kali. Lalu ada seorang lelaki mendekat kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pengikat di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sejumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."
Ibnus Salman orangnya daif. kemudian dalam sanad hadis ini terdapat inqita'.

An-Nisa. ayat 5-6

وَلا تُؤْتُوا السُّفَهاءَ أَمْوالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِياماً وَارْزُقُوهُمْ فِيها وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفاً (5) وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوها إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ حَسِيباً (6)

Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas kesaksian itu).

Allah Swt. melarang memperkenankan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan tasarruf (penggunaan) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.
Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara lainnya.
Berangkat dari pengertian ini disimpulkan bahwa orang-orang yang kurang sempurna akalnya dikenakan hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya). Mereka yang di-hijir ini ada beberapa macam: adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda, sebab perkataan seorang anak kecil tidak dianggap (dalam mu'amalah).
Adakalanya hijir disebabkan karena penyakit gila. Adakalanya karena buruk da!am ber-tasarruf mengingat akalnya kurang sempurna atau agamama kurang. Adakalanya karena pailit, yang dimaksud dengan pailit ialah bila utang seorang lelaki menenggelamkan dirinya, dan semua hartanya tidak dapat untuk menutup utangnya itu. Untuk itu apabila para pemilik piutang menuntut kepada pihak hakim agar meng-hijir-nya, maka ia terkena hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya dan hartanya dibeslah).
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian. (An-Nisa: 5) Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah anak-anakmu dan wanita-wanita(mu).
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Al-Hasan, dan Ad-Dahhak, bahwa mereka adalah wanita-wanita dan anak-anak kecil.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, mereka adalah anak-anak yatim.
Mujahid dan Ikrimah serta Qatadah mengatakan bahwa mereka adalah wanita.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمّار، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَائِكَةِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَإِنَّ النِّسَاءَ السُّفَهاء إِلَّا الَّتِي أَطَاعَتْ قَيِّمَها".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abul Atikah, dari Ali ibnu Yazid. dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya wanita itu kurang sempurna akalnya kecuali wanita yang taat kepada qayyim (wali)nya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih secara panjang lebar.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, disebutkan dari Muslim ibnu Ibrahim bahwa telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syuraih, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian. (An-Nisa: 5) Bahwa mereka adalah para pelayan, dan mereka adalah setan-setan manusia.
*******************
Firman Allah Swt.:

{وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا}

Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (An-Nisa: 5)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Janganlah kamu berniat terhadap hartamu dan apa yang diberikan oleh Allah kepadamu sebagai penghidupanmu, lalu kamu berikan hal itu kepada istrimu atau anak perempuanmu, lalu kamu hanya menunggu dari pemberian apa yang ada di tangan mereka. Tetapi peganglah hartamu dan berbuat kemaslahatanlah dengannya (yakni kembangkanlah). Jadilah dirimu sebagai orang yang memberi mereka nafkah, yaitu sandang pangan dan biaya mereka."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Firas, dari Asy-Sya'bi, dari Abu Burdah. dari Abu Musa yang mengatakan, "Ada tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak memperkenankan bagi mereka. yaitu: Seorang lelaki yang mempunyai istri yang berakhlak buruk. lalu ia tidak menceraikannya; seorang lelaki yang memberikan harta (orang yang ada dalam kekuasaan)nya kepada orang yang kurang sempurna akalnya (yang ada dalam pemeliharaannya), sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 'Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian' (An-Nisa: 5). Dan seorang lelaki yang mempunyai utang kepada lelaki lain sedangkan si pemiutang tidak mempunyai saksi terhadapnya
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (An-Nisa: 5) Yakni dalam rangka berbuat bajik dan bersilaturahmi.
Ayat yang mulia ini mengandung makna berbuat baik kepada istri (keluarga) dan orang-orang yang berada dalam pemeliharaannya, yaitu berbuat baik secara nyata dengan memberi nafkah berupa sandang pangan disertai dengan kata-kata yang baik dan akhlak yang mulia.
*******************
Firman Allah Swt.:

{وَابْتَلُوا الْيَتَامَى}

Dan ujilah anak yatim itu. (An-Nisa: 6)
Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, As-Saddi. dan Muqatil mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perintah untuk melakukan ujian terhadap anak-anak yatim (oleh para walinya).

{حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ}

sampai mereka cukup umur untuk kawin. (An-Nisa: 6)
Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan nikah dalam ayat ini ialah mencapai usia balig.
Jumhur ulama mengatakan bahwa alamat usia balig pada anak remaja adakalanya dengan mengeluarkan air mani, yaitu dia bermimpi dalam tidurnya  melihat sesuatu atau mengalami sesuatu yang membuatnya mengeluarkan air mani. Air mani ialah air yang memancar yang merupakan cikal bakal terjadinya anak.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan dari Ali yang mengatakan bahwa ia selalu ingat akan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:

«لَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ وَلَا صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ»

Tidak ada yatim sesudah balig dan tidak ada puasa siang sampai malam hari.
Di dalam hadis yang lain dari Siti Aisyah dan sahabat lainnya dari Nabi Saw. disebutkan:

«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ»

Qalam diangkat dari tiga macam orang, yaitu dari anak kecil hingga usia balig atau genap berusia lima belas tahun, dari orang yang tidur sampai terbangun, dan dari orang gila sampai sadar.
Mereka mengambil kesimpulan akan hal tersebut dari hadis yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Umar r.a. yang mengatakan:

عُرِضْت عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يوم أحد وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشَرَةَ، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ الخَنْدَق وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشَرَةَ فَأَجَازَنِي، فَقَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ -لَمَّا بَلَغَهُ هَذَا الْحَدِيثُ -إِنَّ هَذَا الْفَرْقَ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ

Diriku ditampilkan kepada Nabi Saw. dalam Perang Uhud, sedangkan saat itu usiaku baru empat belas tahun; maka beliau tidak membolehkan diriku (ikut perang). Dan diriku ditampilkan kepadanya dalam Perang Khandaq. Sedangkan saat itu  berusia lima belas tahun maka aku diperbolehkan ikut perang. Umar ibnu Abdul Aziz —ketika sampai kepadanya hadis ini— mengatakan bahwa sesungguhnya hadis inilah yang membedakan antara anak kecil dan orang yang sudah dewasa.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan, apakah hal ini merupakan alamat balig atau tidak? Ada tiga pendapat mengenainya. Menurut pendapat yang ketiga, dalam hal ini dibedakan antara anak-anak kaum muslim dengan anak-anak kafir zimmi. Pada anak-anak kaum muslim hal tersebut tidak menunjukkan usia balig, mengingat adanya kemungkinan faktor pengobatan. Lain halnya pada anak-anak kafir zimmi maka tumbuhnya rambut keras pada kemaluan merupakan pertanda usia balig bagi mereka; karena barang siapa yang telah tumbuh rambut kemaluannya, maka dibebankan kepadanya membayar jizyah, untuk itulah mereka tidak mau mengobatinya.
Menurut pendapat yang sahih, tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan merupakan pertanda usia balig, mengingat hal ini merupakan sesuatu yang alami; semua orang tidak ada bedanya dalam hal tersebut, dan mengenai faktor pengobatan jauh dari kemungkinan.
Kemudian sunnah menunjukkan ke arah itu melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Atiyyah Al-Qurazi yang menceritakan:

عُرضنا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظة فَكَانَ مَنْ أنْبَتَ قُتل، وَمَنْ لَمْ يُنْبت خَلّي سَبِيلَهُ، فَكُنْتُ فِيمَنْ لَمْ يُنْبِت، فَخَلَّى سَبِيلِي.

Mereka (orang-orang Bani Quraizah) ditampilkan di hadapan Nabi Saw. seusai Perang Quraizah. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada seseorang untuk memeriksa siapa di antara mereka yang telah tumbuh rambut kemaluannya. Maka orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya dikenai hukuman mati, dan orang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya dibebaskan. Maka aku (Atiyyah Al-Qurazi) termasuk salah seorang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya aku dibebaskan."
Ahlu sunan mengetengahkan hadis yang semisal, yakni ahlus sunan yang empat orang (yang dikenai dengan sebutan Arba'ah). Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Sesungguhnya keputusan tersebut tetap berlaku; sebagai buktinya ialah di saat Sa'd ibnu Mu'az menjatuhkan keputusan hukumnya di antara mereka (para tawanan), ia memutuskan menghukum mati orang-orang (dari kalangan musuh) yang ikut berperang dan menahan anak-anak mereka.
Abu Ubaid di dalam kitab Al-Garib mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. dari Ismail ibnu Umayyah ibnu Yahya ibnu Hibban dari Umar, bahwa pernah ada seorang anak remaja menuduh berzina -seorang wanita muda dalam syairnya. Maka Khalifah Umar berkata "Periksalah dirinya." Ternyata diketahui bahwa anak tersebut masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya hukuman had (menuduh berzina) tidak dikenakan terhadap dirinya.
Abu Ubaid mengatakan. ibtaharaha artinya menuduh (si wanita) berbuat zina; al-ibtihar ialah bila seseorang mengatakan.”Aku telah mengerjainya," padahal ia dusta dalam pengakuannya itu. Jika pengakuan tersebut benar, maka istilahnya disebut ibtiyar. Seperti pengertian yang ada dalam perkataan Al-Kumait melalui salah satu bait syairnya:

قَبِيحٌ بِمِثْلِي نَعْتُ الفَتَاةِ ... إِمَّا ابْتِهَارًا وَإِمَّا ابتيارا

Amatlah buruk bagi orang semisalku bila menuduh seorang wanita berbuat zina, bait dengan tuduhan dusta ataupun tuduhan yang sebenarnya.
*******************
Firman Allah:

{فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ}

Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (An-Nisa: 6)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan yang dimaksud rusydan ialah kelayakan dalam agamanya dan dapat memelihara hartanya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan bukan hanya seorang dari kalangan para Imam berdasarkan riwayat yang bersumber dari mereka.
Ulama fiqih mengatakan hal yang sama yaitu: Apabila seorang anak yatim telah mencapai usia yang membuat dirinya berlaku layak dalam agama dan hartanya, maka ia dibebaskan dari hijr (larangan menggunakan harta bendanya). Untuk itu, maka semua harta yang berada di tangan walinya diserahkan kepadanya.
*******************
Firman Allah Swt.

{وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا}

Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. (An-Nisa: 6)
Allah Swt. melarang memakan harta anak yatim tanpa adanya keperluan yang mendesak.
Yang dimaksud dengan istilah israfan wa bidaran ialah tergesa-gesa membelanjakannya sebelum anak-anak yatim itu dewasa.
Kemudian Allah Swt. berfirman:

{وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ}

Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6)
Yang dimaksud dengan falyasta'fif ialah memelihara diri dari harta anak yatim dan janganlah memakannya barang sedikit pun.
Asy-Sya’bi mengatakan bahwa harta anak yatim baginya (orang yang mampu) sama halnya dengan bangkai dan darah (yakni haram dimakan).

{وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ}

Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut (An-Nisa: 6)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan harta anak yatim.
Telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj serta Harun ibnu Ishaq. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim yang memeliharanya dan berbuat kemaslahatan untuknya, bilamana keperluan mendesak memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id Al-Asbahani. telah menceritakan kepada kami ali ibnu Mishar, dari Hisyam. dari ayahnya. dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim, yaitu firman-Nya: Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu. Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang patut ialah sesuai dengan jerih payahnya terhadap anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ishaq Ibnu Abdullah ibnu Numair, dari Hisyam dengan lafaz yang sama.
Ulama fiqih mengatakan, wali yang miskin diperbolehkan memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya dalam jumlah yang paling minim di antara kedua alternatif. yaitu upah misil-nya (standarnya) atau menurut keperluannya.
Ulama fiqih berselisih pendapat mengenai masalah bila wali anak yatim menjadi orang kaya setelah miskinnya, apakah ia diharuskan mengembalikan harta anak yatim yang telah dimakannya, atau tidak? Ada dua pendapat mengenainya.
Pendapat pertama, mengatakan "'tidak" karena ia hanya memakan sekadar imbalan jerih payahnya dan lagi dia dalam keadaan miskin. Pendapat inilah yang sahih di kalangan murid-murid Imam Syafii, karena makna ayat jelas membolehkan memakan sebagian harta anak yatim tanpa menggantinya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw. Dia mengatakan, "Aku tidak berharta, sedangkan aku mempunyai anak yatim."' Maka Rasulullah Saw. bersabda:

«كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَذِّرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ  مَالَا وَمِنْ غَيْرِ أَنْ تَقِيَ مَالَكَ- أَوْ قَالَ- تَفْدِيَ مَالَكَ بِمَالِهِ»

Makanlah dari sebagian harta anak yatimmu dengan tidak berlebih-lebihan, tidak menghambur-hamburkannya, dan tidak menghimpunkannya sebagai harta(mu). Dan juga tanpa mengekang hartamu —atau— tanpa mengganti hartanya dengan hartamu.
Kata   ‘atau' merupakan ragu dari pihak Husain.
Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mukattab, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak yatim yang mempunyai harta, sedangkan aku sendiri tidak berharta, bolehkah aku ikut makan dari sebagian hartanya?" Rasulullah Saw. menjawab:

«بِالْمَعْرُوفِ غَيْرَ مُسْرِفٍ»

Makanlah dengan cara yang makruf tanpa berlebih-lebihan!
Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Husain Al-Mu'allim.
Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab sahihnya dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Ya'la ibnu Mahdi, dari Ja'far ibnu Sulaiman, dari Abu Amir Al-Khazzaz, dari Amr ibnu Dinar, dari Jabir, bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah yang boleh aku ambil dari anak yatimku?" Nabi Saw. menjawab:

«مَا كُنْتَ ضَارِبًا مِنْهُ وَلَدَكَ غَيْرَ وَاقٍ مَالَكَ بِمَالِهِ وَلَا مُتَأَثِّلٍ مِنْهُ مَالًا»

Sejumlah apa yang biasa kamu ambil dari anakmu, tanpa mengekang hartamu terhadap hartanya dan tanpa menghimpunkan dari hartanya sebagai harta(mu).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya. telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa ada seorang Badui datang kepada Ibnu Abbas lalu orang Badui itu berkata.”sesungguhnya di dalam pemeliharaanku terdapat banyak anak yatim, dan mereka mempunyai ternak unta; aku pun mempunyai ternak unta pula, tetapi aku berikan sebagian dari ternak untaku kepada orang-orang miskin. Maka sebatas apakah yang dihalalkan bagiku terhadap air susunya?" Ibnu Abbas menjawab, "Jika engkau bekerja mencari ternak untanya yang hilang, mengobati yang sakit, menggiringnya ke tempat air minumnya. Menggembalakannya maka minumlah (air susunya) tanpa membahayakan terhadap anaknya. dan tidak ada larangan bagimu dalam memerah air susunya".'
Imam Malik meriwayatkannya di dalam kitab Al-Muwatha dari Yahya ibnu Sa'id dengan lafaz yang sama.
Pendapat inilah —yakni tidak wajib mengganti— yang dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Atiyyah Al-Aufi, dan Al-Hasan Al-Basri.
Pendapat yang kedua, mengatakan "wajib mengganti" karena harta anak yatim adalah harta yang ada dalam larangan; kecuali bila diperlukan, maka baru diperbolehkan, tetapi diharuskan menggantinya. Perihalnya sama dengan makan harta orang lain bagi orang yang dalam keadaan terpaksa di saat ia memerlukannya.
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan dan Israil, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata, "Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku mampu, maka aku menahan diri: dan jika aku perlu, maka aku berutang; dan apabila aku dalam keadaan mudah, maka aku melunasinya."
Jalur lain diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Al-Bana yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata kepadanya: Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta Allah ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku memerlukannya, maka aku mengambil sebagian darinya; dan jika aku dalam keadaan mudah, maka aku kembalikan; dan jika aku dalam keadaan mampu, maka aku menahan diri (tidak menggunakannya).
Sanad asar ini sahih. Imam Baihaqi meriwayatkan hal yang semisal dari sahabat ibnu Abbas.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang makruf ialah dengan utang.
Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaidah, Abul Aliyah, Abu Wail, dan Sa'id ibnu Jubair dalam salah satu riwayatnya, Mujahid, Ad-Dahak, dan As-Saddi hal yang semisal.
Telah diriwayatkan melalui jalur As-Saddi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa-6) Menurut Ibnu Abbas, hendaknya orang yang bersangkutan memakan dengan memakai tiga buah jari.
Imam Baihaqi mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Makna yang dimaksud ialah hendaknya orang yang bersangkutan hanya makan sebagian dari harta anak yatim dalam batasan cukup untuk makan dirinya hingga ia tidak memerlukan harta anak yatim lagi.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid dan Maimun ibnu Mihran dalam salah satu riwayatnya, serta Imam Hakim.
Amir Asy-Sya'bi mengatakan bahwa seseorang tidak boleh memakan harta anak yatim kecuali bila ia dalam keadaan terpaksa. sebagaimana seseorang terpaksa memakan bangkai. Jika ia memakan sebagian darinya, maka ia harus menggantinya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Nafi’ ibnu Abu Na'im Al-Qari' yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari dan Rabi'ah tentang makna firman Allah Swt. yang mengatakan: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) hingga akhir ayat. Hal tersebut berkenaan dengan anak yatim, yakni: Jika si wali adalah orang yang miskin, maka anak yatim itu diberi nafkah sesuai dengan kemiskinannya, dan tidak ada hak bagi wali terhadap harta anak yatim barang sedikit pun.
Akan tetapi, pendapat tersebut menyimpang dari konteks ayat, mengingat dalam firman-Nya disebutkan: Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6) Yakni hendaklah para pemelihara itu menahan dirinya. jangan memakan harta anak yatimnya. dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Bagi para wali yang miskin. diperbolehkan memakan harta anak yatimnya dengan cara yang baik. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lainnya. yaitu firman-Nya:

وَلا تَقْرَبُوا مالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ

Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa. (Al-An'am: 152 dan Al-Isra’: 34)
Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan maksud untuk berbuat yang bermanfaat terhadapnya; jika kalian memerlukannya, kalian boleh memakan sebagian darinya menurut cara yang patut.
*******************
Firman Allah Swt.:

{فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ}

Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka. (An-Nisa: 6)
Sesudah mereka mencapai usia balig dan dewasa, menurut pendapat kalian mereka telah cerdas dan pandai memelihara harta, maka saat itulah kalian harus menyerahkan kepada mereka harta mereka yang ada di tangan kalian. Apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka:

{فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ}

maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. (An-Nisa: 6)
Hal ini merupakan perintah dari Allah Swt.. ditujukan kepada para wali anak-anak yatim. Perintah ini menyatakan bahwa hendaknya mereka mengadakan saksi-saksi sehubungan dengan anak-anak yatim mereka, bila anak-anak yatim mereka telah mencapai usia dewasa dan harta mereka diserahkan kepadanya. Dimaksudkan agar tidak terjadi sebagian dari mereka adanya pengingkaran dan bantahan terhadap apa yang telah diserahterimakannya. Kemudian Allah Swt. berfirman:

{وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا}

Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas  (atas  persaksian  itu). (An-Nisa: 6)
Yakni cukuplah Allah sebagai Penghitung, Saksi, dan Pengawas terhadap para wali sehubungan penilaian mereka terhadap anak yatimnya dan di saat mereka menyerahkan harta kepada anak-anak yatim. Dengan kata lain, apakah harta itu dalam keadaan lengkap lagi utuh, ataukah kurang perhitungannya serta perkaranya dipalsukan, semuanya Allah mengetahui dan mengawasi akan hal tersebut. Karena itulah maka disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي، لَا تَأَمَّرَن على اثنين، ولا تَلِيَنَّ مال يتيم"

Hai Abu Zar, sesungguhnya aku melihatmu orang yang lemah, den sesungguhnya aku menyukai bagimu sebagaimana aku menyukai buat diriku sendiri. Jangan sekali-kali kamu memerintah atas dua orang, dan jangan sekali-kali kamu menjadi wali harta anak yatim.

An-Nisa, ayat 7-10

لِلرِّجالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً مَفْرُوضاً (7) وَإِذا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُوا الْقُرْبى وَالْيَتامى وَالْمَساكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفاً (8) وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعافاً خافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً (9) إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً (10)

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wania ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadamya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah. yang mereka khawatir ter-adap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesurgguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Sa'id ibnu Jubair dan Qatadah mengatakan bahwa dahulu orang-orang musyrik memberikan hartanya kepada anak-anaknya yang besar-besar saja, dan mereka tidak mewariskannya kepada wanita dan anak-anak. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. (An-Nisa: 7), hingga akhir ayat.
Yaitu semuanya sama dalam hukum Allah Swt. Mereka mempunyai hak waris, sekalipun terdapat perbedaan menurut bagian-bagian yang ditentukan oleh Allah Swt. bagi masing-masing dari mereka sesuai dengan kedudukan kekerabatan mereka dengan si mayat, atau hubungan suami istri, atau hubungan al-wala. Karena sesungguhnya hubungan wala itu merupakan daging yang kedudukannya sama dengan daging yang senasab.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari jalur Ibnu Hirasah. dari Sufyan As-Sauri, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil. dari Jabir yang menceritakan bahwa Ummu Kahhah datang nienghadap Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang anak perempuan yang bapaknya telah mati, sedangkan keduanya tidak memperoleh warisan apa pun (dari ayahnya)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabat. (An-Nisa: 7), hingga akhir ayat.
Hadis ini akan diterangkan nanti dalam pembahasan kedua ayat tentang pembagian warisan.
*******************
Firman Allah Swt.:

وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8)
Menurut suatu pendapat makna yang dimaksud ialah apabila di saat pembagian warisan dihadiri oleh kaum kerabat yang bukan dari kalangan ahli waris.

أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى

anak yatim dan orang miskin. (An-Nisa: 8)
Maka hendaklah mereka diberi bagian sekadarnya sebagai persen. Sesungguhnya hal tersebut pada permulaan Islam diwajibkan. Menurut pendapat yang lain adalah sunat. Para ulama berselisih pendapat, apakah hal ini dimansukh ataukah tidak; ada dua pendapat mengenainya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abdullah Al-Asyja'i, dari Sufyan, dari Asy-Syaibani, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini. Dikatakan bahwa ayat ini muhkamah dan tidak dimansukh. Pendapat Imam Bukhari ini diikuti oleh Sa'id yang meriwayatkannya juga dari Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Al-Hajjaj, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini masih tetap berlaku dan dipakai.
As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan ayat ini, bahwa pemberian tersebut hukumnya wajib atas ahli waris si mayat dalam jumlah yang disetujui oleh mereka dan mereka rela memberikannya. Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Abu Musa, Abdur Rahman ibnu Abu Bakar, Abul Aliyah, Asy-Sya'bi, dan Al-Hasan.
Ibnu Sirin, Sa'id ibnu Jubair, Makhul, Ibrahim An-Nakha'i. Ata ibnu Abu Rabah, Az-Zuhri, dan Yahya ibnu Ya'mur mengatakan bahwa pemberian tersebut hukumnya wajib.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Asyaj. dari Ismail ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Ibnu Sirin mengatakan bahwa Ubaidah mengurus suatu wasiat; ia memerintahkan agar didatangkan seekor kambing, lalu kambing itu disembelih, kemudian ia memberi makan orang-orang yang disebutkan dalam hadis ini, lalu berkata, "Seandainya tidak ada ayat ini, niscaya biayanya diambil dari hartaku."
Imam Malik dalam suatu riwayat yang ia ketengahkan di kitab tafsir—bagian dari satu juz—yang terhimpun dalam muwatha mengatakan bahwa urwah pernah memberi orang-orang  dari harta Mus'ab ketika ia membagikan  harta (yang ditinggalkan)nya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa ayat ini muhkam. Telah diriwayatkan dari Abdul Karim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa pemberian tersebut suatu hak yang wajib dalam batas yang disetujui oleh orang-orang yang bersangkutan.
Alasan orang-orang yang berpendapat bahwa pemberian bagian tersebut merupakan perintah wasiat yang ditujukan kepada mereka yang bersangkutan.
Abdur Razzaq mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu  Mulaikah, bahwa Asma binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar As-Siddiq dan Al-Qasim ibnu Muhammad; keduanya telah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pernah membagikan harta warisan ayahnya (yaitu Abdur Rahman) yang saat itu Siti Aisyah masih hidup. Selanjutnya Abdullah tidak membiarkan seorang miskin pun, tidak pula seorang kerabat, melainkan diberinya bagian dari harta peninggalan ayahnya.  Lalu keduanya membacakan firman Allah Swt.: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8) Al-Qasim mengatakan bahwa lalu aku ceritakan hal tersebut kepada Ibnu Abbas, maka ia berkata, "Kurang tepat, sebenarnya dia tidak usah melakukan hal itu. Sesungguhnya hal itu hanyalah berdasarkan wasiat, dan ayat ini hanyalah berkenaan dengan wasiat yang dikehendaki oleh si mayat buat mereka." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Alasan orang yang berpendapat bahwa ayat ini dimansukh secara keseluruhan.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa: 8), hingga akhir ayat. Bahwa ayat ini dimansukh.
Ismail ibnu Muslim Al-Makki meriwayatkan dari Qatadah, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan ayat berikut. yaitu firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8) Bahwa ayat ini dimansukh oleh ayat sesudahnya, yaitu oleh firman-Nya: Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 11)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan ini, yaitu firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8) Hal ini berlaku sebelum turunnya ayat tentang bagian-bagian tertentu dalam harta pusaka. Sesudah itu Allah menurunkan ayat bagian-bagian tertentu dan memberikan kepada ahli waris haknya. kemudian sedekah diadakan menurut apa yang disebutkan oleh si mayat (sewaktu masih hidupnya). Semua itu diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah. Telah menceritakan kepada  kami Hajaj. dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ati. Dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir anak yatim dan orang miskin. (An-Nisa: 8) Ayat ini dimansukh oleh ayat tentang pembagian harta pusaka. Maka Allah menjadikan bagi setiap ahli waris bagiannya yang tertentu dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kaum kerabatnya, ada yang men-dapat sedikit dan ada yang mendapat banyak.
Telah menceritakan kepada kami Usaid ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir, dari Hammam, dari Qatadah. dari Sa'id ibnul Musayyab; ia pernah mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh. Sebelum ada ayat yang nicnentukan bagian-bagian tertentu bagi ahli waris. harta peninggaian seorang Lelaki sebagian darinya diberikan kepada anak yatim, orang fakir miskin, dan kaum kerabat apabila mereka menghadiri pembagiannya. Selanjutnya dimansukh oleh ayat yang menentukan bagian-bagian tertentu bagi ahli waris, maka Allah menetapkan bagi tiap-tiap ahli waris liak yang didapatnya. Wasiat diambil dari sebagian harta peninggalan si mayat yang ia wasiatkan buat kaum kerabat yang dikehendakinya.
Malik meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh oleh ayat mawaris dan ayat mengenai wasiat.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Abusy Sya'sa, Al-Qasim ibnu Muhammad, Abu Saleh dan Abu Malik, juga oleh Zaid ibnu Aslam, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani, Muqatil ibnu Hayyan, dan Rabi'ah ibnu Abu Abdur Rahman. Disebutkan bahwa mereka mengatakan ayat ini telah dimansukh.
Hal ini merupakan mazhab jumhur ulama fiqih, Imam yang empat dan para pengikutnya masing-masing.
Sehubungan dengan masalah ini Ibnu Jarir memilih suatu pendapat yang aneh sekali. Kesimpulannya menyatakan bahwa makna ayat menurutnya ialah: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa: 8) Yakni apabila pembagian harta wasiat itu dihadiri oleh kaum kerabat mayat: maka berilah mereka dari harta itu, dan ucapkanlah oleh kalian. (An-Nisa: 8) Kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin bila mereka menghadirinya. perkataan yang benar. (An-Nisa: 8)
Demikianlah makna yang disimpulkan oleh Ibnu Jarir sesudah pembicaraan yang bertele-tele dan berulang-ulang.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa: 8) Yaitu pembagian warisan.
Demikianlah yang dikatakan bukan hanya seorang ulama, dan makna inilah yang dinilai benar, bukan seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir tadi.
Makna yang dimaksud ialah apabila dalam pembagian tersebut hadir orang-orang fakir dari kerabat si mayat, yaitu mereka yang tidak mempunyai hak waris, serta hadir pula orang-orane miskin, anak-anak yatim, sedangkan harta peninggalan yang ditinggalkan melimpah jumlahnya. Maka akan timbul keinginan untuk mendapatkan sesuatu dari harta tersebut. Bila mereka melihat yang ini menerima dan yang itu menerima warisan, sedangkan mereka tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan seperti apa yang mereka terima. Maka Allah Swt. Yang Maha Pengasih dan  Penyayang memerintahkan agar diberikan kepada mereka. Suatu pemberian dari harta warisan tersebut dalam jumlah yang sekadamya, sebagai sedekah buat mereka, dan sebagai kebaikan serta silaturahmi kepada mereka, sekaligus untuk menghapuskan ketidakberdayaan mereka. Seperti pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt.:

كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصادِهِ

Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya kepada fakir miskin). (Al-An'am: 141)
Allah Swt. mencela orang-orang yang mengangkut harta dengan sembunyi-sembunyi agar tidak kelihatan oleh orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhajat kepadanya. Seperti yang diberitakan oleh Allah Swt. tentang para pemilik kebun. yaitu melalui firman-Nya:

إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّها مُصْبِحِينَ

ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. (Al-Qalam: 17)
Makna yang dimaksud ialah di malam hari.
Allah Swt. telah berfirman:

فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخافَتُونَ أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ

Maka pergilah mereka seraya saling berbisik-bisik.”Pada hari ini janganlah ada seorang miskin masuk ke dalam kebun kalian." (Al-Qalam: 23-24)
Maka sebagai akibatnya mereka dibinasakan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:

دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلِلْكافِرِينَ أَمْثالُها

Allah telah. rnenimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (Muhammad: 10)
Barang siapa yang ingkar terhadap hak Allah, niscaya Allah akan menghukumnya dengan rnenimpakan malapetaka terhadap barang milik yang paling disayanginya. Karena itulah maka disebutkan di dalam sebuah hadis:

«مَا خَالَطَتِ الصَّدَقَةُ مَالًا إِلَّا أَفْسَدَتْهُ»

Tidak sekali-kali harta zakat mencampuri suatu harta, melainkan ia pasti merusaknya.
Dengan kata lain, tidak menunaikan zakat merupakan penyebab bagi ludesnya harta tersebut secara keseluruhan.
*******************
Firman Allah Swt.:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka. (An-Nisa: 9), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang rnenjelang ajalnya, lalu kedengaran oleh seorang lelaki bahwa dia mengucapkan suatu wasiat yang menimbulkan mudarat terhadap ahli warisnya. Maka Allah Swt. memerintahkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut. hendaknya ia bertakwa kepada Allah, membimbing si sakit serta meluruskannya ke jalan yang benar. Hendaknya si sakit memandang kepada keadaan para ahli warisnya. sebagaimana diwajibkan baginya berbuat sesuatu untuk ahli warisnya, bila dikhawatirkan mereka akan terlunta-lunta.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Di dalam sebuah hadis dalam kitab Sahihain disebutkan seperti berikut:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم لَمَّا دَخَلَ عَلَى سَعْد بْنِ أَبِي وَقَاصٍّ يَعُودُهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةً، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: "لَا". قَالَ: فالشَّطْر؟ قَالَ: "لَا". قَالَ: فَالثُّلُثُ؟ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ". ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إنك أن تَذر وَرَثَتَك أغنياء خَيْر من أَنْ تَذَرَهم عَالةً يتكَفَّفُون النَّاسَ"

Ketika Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumah Sa’d ibnu Abu Waqqas dalam rangka menjenguknya, maka Sa'd bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta, sedangkan tidak ada orang yang mewarisiku kecuali hanya seorang anak perempuan. Maka bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak boleh." Sa'd bertanya.”Bagaimana kalau dengan separonya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Jangan." Sa'd bertanya, "Bagaimana kalau sepertiganya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sepertiganya sudah cukup banyak." Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu membiarkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang.
Di dalam kitab sahih dari Ibnu Abbas mengatakan,

لَوْ أَنَّ النَّاسَ غَضّوا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ"

"Seandainya orang-orang menurunkan dari sepertiga ke seperempat, maka sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, 'Sepertiganya sudah cukup banyak'."
Para ahli fiqih mengatakan, "Jika ahli waris si mayat adalah orang-orang yang berkecukupan, maka si mayat disunatkan berwasiat sebanyak sepertiga dari hartanya secara penuh. Jika ahli warisnya adalah orang-orang yang miskin. maka wasiatnya kurang dari sepertiga."
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh ayat ialah takutlah kalian kepada Allah dalam memegang harta anak-anak yatim.

{وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا}

Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas keperluan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya). (An-Nisa: 6)
Demikianlah menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Al-Aufi dari Ibnu Abbas. Hal ini merupakan pendapat yang baik lagi mengukuhkan makna ancaman yang terdapat dalam ayat berikutnya sehubungan dengan memakan harta anak-anak yatim secara aniaya.
Dengan kata lain, sebagaimana kamu menginginkan bila keturunanmu sesudahmu diperlakukan dengan baik, maka perlakukanlah keturunan orang lain dengan perlakuan yang baik bila kamu memelihara mereka.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa orang yang memakan harta anak-anak yatim secara aniaya, sesungguhnya ia memakan api sepenuh perutnya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:

{إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا}

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa: 10)
Bila mereka makan harta anak yatim tanpa alasan yang dibenarkan. sesungguhnya yang mereka makan itu adalah api yang menyala-nyala di dalam perut mereka di hari kiamat kelak.
Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Sulaiman ibnu Bilal.dari Saur ibnu Zaid, dari Salim Abul Gais, dari Abu Hurairah, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ» قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: «الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ»

"Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang membinasakan." Ditanyakan, "Apa sajakah dosa-dosa itu, wahai Rasulullah?" Beliau Saw. menjawab, "Mempersekutukan Allah. Sihir,  membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita-wanita mukmin yang memelihara kehormatannya yang sedang lalai."

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبَيْدَةُ أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ الصَّمَدِ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ العمِّى، حدثنا أبو هاروي العَبْدي عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قُلْنَا: يا رسول الله، ما رأيت لَيْلَةَ أُسَرِيَ بِكَ؟ قَالَ: "انطَلَق بِي إِلَى خَلْقٍ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ كَثِيرٍ، رِجَال، كُلُّ رَجُلٍ لَهُ مِشْفَران كَمِشْفَرَيِ الْبَعِيرِ، وَهُوَ موَكَّل بِهِمْ رِجَالٌ يَفُكُّونَ لِحَاءَ أَحَدِهِمْ، ثُمَّ يُجَاءُ بِصَخْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَتُقْذَف فِي فِي أَحَدِهِمْ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ أَسْفَلِهِ وَلَهُمْ  خُوار وصُرَاخ. قُلْتُ يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وسَيَصْلَوْن سَعِيرًا".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdus Samad Al-Ama, telah menceritakan kepada kami Abu Harun Al-Abdi, dari Abu Said Al-Khudri yang mengatakan bahwa kami pernah bertanya.”Wahai Rasulullah, apa sajakah yang telah engkau lihat sewaktu engkau melakukan isra?" Nabi Saw. menjawab, "Aku dibawa ke arah sekumpulan makhluk Allah yang jumlahnya banyak, semuanya terdiri atas kaum laki-laki. Masing-masing dari mereka memegang sebuah pisau besar seperti yang digunakan untuk menyembelih unta. Mereka ditugaskan untuk menyiksa sejumlah orang yang terdiri atas kaum laki-laki. Mulut seseorang dari mereka dibedah, lalu didatangkan sebuah batu besar dari neraka, kemudian dimasukkan ke dalam mulut seseorang di antara mereka hingga batu besar itu keluar dari bagian bawahnya, sedangkan mereka menjerit dan menggeram (karena sakit yang sangat). Lalu aku bertanya. 'Hai Jibril. siapakah mereka?  Jibril menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)'."
As-Saddi mengatakan bahwa di hari kiamat kelak pemakan harta anak yatim dibangkitkan, sedangkan dari mulut dan telinganya, kedua lubang hidung dan kedua matanya keluar api; setiap orang yang melihatnya mengetahui bahwa dia adalah pemakan harta anak yatim.

قَالَ أَبُو بَكْرِ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَير، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الْمُنْذِرِ، عَنْ نَافِعِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي بَرْزَةَ؛ أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْقَوْمُ مِنْ قُبُورِهِمْ تَأَجَّج أَفْوَاهُهُمْ نَارًا" قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: "أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ قَالَ: {إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا [إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا] } الْآيَةَ.

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnul Munzir, dari Nafi' ibnul Haris, dari Abu Barzah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dibangkitkan di hari kiamat suatu kaum dari kuburan mereka, sedangkan dari mulut mereka keluar api yang menyala-nyala. Ketika ditanyakan, "Wahai Rasulullah, siapakah mereka?" Beliau bersabda, "Tidakkah kamu membaca firman-Nya yang mengatakan: 'Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim' (An-Nisa: 101. hingga akhir ayat."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari ibnu Makram. Ibnu Hibban mengetengahkannya di dalam kitab sahih-nya, dari Ahmad ibnu Ali ibnul Musanna, dari Uqbah ibnu Makram.

قَالَ ابْنُ مَردويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جعفر، أحمد بْنُ عِصَامٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَبْدِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ  بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِيُّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنِ المقبرِيّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أُحَرِّجُ مَالَ الضَّعِيفيْن: الْمَرْأَةِ وَالْيَتِيمِ"

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Isam, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Abdi telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja’far Az-Zuhri Muhammad, dari Al-Maqbari, dari abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku enggan terhadap harta dua orang yang lemah, yaitu wanita dan anak yatim.
Makna yang dimaksud ialah 'aku berwasiat kepada kalian agar menjauhi harta kedua orang tersebut'.
Telah diketengahkan di dalam surat Al-Baqarah sebuah asar melalui jalur Ata ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair. dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya. (An-Nisa: 10), hingga akhir ayat. Maka berangkatlah orang-orang yang di dalam pemeliharaannya terdapat anak yatim, lalu ia memisahkan makanannya dengan makanan anak yatimnya. begitu pula antara minumannya dengan minuman anak yatimnya. sehingga akibatnya ada sesuatu dari makanan itu yang lebih tetapi makanan tersebut disimpan buat si anak yatim hingga si anak yatim memakannya atau makanan menjadi basi. Maka hal tersebut terasa amat berat bagi mereka, lalu mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim, katakanlah mengurus urusan mereka secara patut adalah baik."  (Al-Baqarah: 220), hingga akhir ayat. Maka mereka kembali mencampurkan makanan dan minurnan mereka dengan makanan dan minurnan anak-anak yatimnya.

An-Nisa, ayat 11

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (11)

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat yang mulia ini, ayat sesudahnya, serta ayat yang memungkasi surat ini ketiganya merupakan ayat-ayat yang membahas ilmu faraid. Ilmu faraid merupakan rincian dari ketiga ayat ini, dan hadis-hadis yang menerangkan tentang hal ini kedudukannya sebagai tafsir dari ayat-ayat tersebut.
Kami akan mengetengahkan sebagian darinya yang berkaitan dengan tafsir ayat ini. Mengenai ketetapan semua masalah dan perbedaan pendapat, semua dalilnya dan alasan-alasan yang dikemukakan di kalangan para Imam, pembahasannya terdapat di dalam kitab-kitab fiqih yang membahas masalah hukum-hukum syara'.
Di dalam hadis telah disebutkan anjuran untuk belajar ilmu faraid, dan bagian-bagian waris tertentu ini merupakan hal yang paling penting dalam ilmu faraid.
Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Abdur Rahman ibnu Ziyad ibnu An'am Al-Ifriqi, dari Abdur Rahman ibnu Rafi* At-Tanukhi, dari Abdullah ibnu Amr secara marfu':

«الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ: آيَةٌ مُحْكَمَةٌ، أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ، أَوْ فَرِيضَةٌ عَادَلةٌ»

Ilmu itu ada tiga macam, dan yang selain dari itu hanya dinamakan keutamaan (pelengkap), yaitu ayat muhkamah, atau sunnah yang ditegakkan, atau faridah (pembagian waris) yang adil.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، تَعلَّمُوا الفرائِضَ وعلِّموهُ فَإِنَّهُ نصْف الْعِلْمِ، وَهُوَ يُنْسَى، وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْتزَع مِنْ أُمَّتِي".

Pelajarilah ilmu faraid dan ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya ilmu faraid itu adalah separuh dari ilmu, dan ia akan terlupakan, dan ilmu faraid merupakan sesuatu yang paling pertama dicabut dari umatku.
Hadis riwayat Ibnu Majah, tetapi sanadnya daif
Telah diriwayatkan melalui hadis Ibnu Mas'ud dan Abu Sa'id, tetapi sanad masing-masing dari keduanya perlu dipertimbangkan.
Ibnu Uyaynah mengatakan, sebenarnya ilmu faraid itu dinamakan separo ilmu, karena dengan ilmu ini semua manusia mendapat cobaan.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini:

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا هِشَامٌ: أن ابن جُرَيج أَخْبَرَهُمْ قَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ المُنْكدِر، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: عَادَنِي رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ فِي بَنِي سَلمَةَ مَاشِيَيْنِ، فوجَدَني النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَعْقِلُ شَيْئًا، فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ مِنْهُ، ثُمَّ رَش عَلَيَّ، فَأَفَقْتُ، فَقُلْتُ: مَا تَأْمُرُنِي أَنْ أَصْنَعَ فِي مَالِي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَنَزَلَتْ: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ} .

telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam, bahwa Ibnu Juraij pernah menceritakan kepada mereka, telah menceritakan kepadaku Ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan: Rasulullah Saw. dan Abu Bakar datang dengan berjalan kaki menjengukku di Bani Salamah. Nabi menjumpaiku dalam keadaan tidak sadar akan sesuatu pun. Lalu beliau meminta air wudu dan melakukan wudu, kemudian mencipratkan (bekas air wudunya itu) kepadaku hingga aku sadar. Lalu aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang akan engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengan hartaku? Apa yang harus kuperbuat dengannya?" Maka turunlah firman-Nya. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Nasai melalui hadis Hajaj ibnu Muhammad Al-A'war, dari Ibnu Juraii dengan lafaz yang sama.
Jama'ah meriwayatkannya, semuanya melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir.

Hadis lain dari Jabir mengenai asbabun nuzul ayat ini.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدّثنا زَكَرِيَّا بْنُ عَدِيٍّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ -هُوَ ابْنُ عَمْرو الرَّقِّيُّ -عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقيل، عن جابر قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةُ سَعْدِ بْنِ الرَّبيع إِلَى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَاتَانِ ابْنَتَا سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ، قُتل أَبُوهُمَا مَعَكَ فِي أحُد شَهِيدًا، وَإِنَّ عَمَّهُمَا أَخَذَ مَالَهُمَا، فَلَمْ يَدَعْ لَهُمَا مَالًا وَلَا يُنْكَحَان إِلَّا وَلَهُمَا مَالٌ. قَالَ: فَقَالَ: "يَقْضِي اللَّهُ فِي ذَلِكَ". قَالَ: فَنَزَلَتْ آيَةُ الْمِيرَاثِ، فَأَرْسَلَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَمِّهِمَا فَقَالَ: "أعْطِ ابْنَتي سَعْدٍ الثُّلُثَيْنِ، وأُمُّهُمَا الثُّمُنَ، وَمَا بَقِيَ فَهُوَ لَكَ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah (yaitu Ibnu Amr Ar-Ruqqi), dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail. dari Jabir yang menceritakan bahwa istri Sa'd ibnur Rabi' datang menghadap Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, kedua wanita ini adalah anak perempuan Sa'd ibnur Rabi', ayahnya telah gugur sebagai syuhada ketika Perang Uhud bersamamu. Sesungguhnya paman kedua anak perempuan ini mengambil semua hartanya dan tidak meninggalkan bagi keduanya sedikit harta pun, sedangkan keduanya tidak dapat menikah kecuali bila keduanya mempunyai harta." Jabir melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. bersabda: Allah akan memberikan keputusan mengenai hal tersebut. Maka turunlah ayat tentang pembagian waris. Kemudian Rasulullah Saw. mengirimkan utusan kepada paman kedua wanita itu dan bersabda (kepadanya): Berikanlah dua pertiganya kepada kedua anak perempuan Sa'd dan bagi ibu keduanya seperdelapan. sedangkan selebihnya adalah untukmu.
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail dengan. lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hal ini tidak dikenal kecuali melalui hadisnya (Ibnu Uqail).
Yang jelas hadis Jabir yang pertama sebenarnya menerangkan asbabun nuzul ayat terakhir dari surat An-Nisa ini, seperti yang akan diterangkan kemudian. Karena sesungguhnya saat itu ia hanya mempunyai beberapa saudara perempuan dan tidak mempunyai anak perempuan. dan sebenarnya kasus pewarisannya adalah berdasarkan kalalah. Tetapi kami sengaja menyebutkannya dalam pembahasan ayat ini karena mengikut kepada Imam Bukhari, mengingat dia pun menyebutkannya dalam bab ini.
Hadis kedua dari Jabir lebih dekat kepada pengertian asbabun nuzul ayat ini.
*******************
Firman Allah Swt.:

{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ}

Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. Yaitu: Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (An-Nisa: 11)
Allah memerintahkan kepada kalian untuk berlaku adil terhadap mereka. Karena dahulu orang-orang Jahiliah menjadikan semua harta pusaka hanya untuk ahli waris laki-laki saja. sedangkan ahli waris perempuan tidak mendapatkan sesuatu pun darinya. Maka Allah memerintahkan agar berlaku adil di antara sesama mereka (para ahli waris) dalam pembagian pokok harta pusaka. tetapi bagian kedua jenis dibedakan oleh Allah Swt.; Dia rnenjadikan bagian anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan.. Dikarenakan itu karena seorang lelaki dituntut kewajiban memberi nafkah, dan beban biaya lainnya. jerih payah dalam berniaga, dan berusaha serta menanggung semua hal yang berat. Maka sangatlah sesuai bila ia diberi dua kali lipat dari apa yang diterima oleh perempuan.
Seorang ulama yang cerdik menyimpulkan dari firman-Nya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan  Bahwa Allah Swt. lebih kasih sayang kepada makhluk-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya, karena Allah telah mewasiatkan kepada kedua orang tua terhadap anak-anak mereka, maka diketahuilah bahwa Dia lebih sayang kepada mereka daripada orang-orang tua mereka sendiri. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih. bahwa ada seorang wanita dari kalangan para tawanan dipisahkan dengan bayinya. Lalu si ibu mencari-cari bayinya kesana kemari. Ketika ia menjumpai bayinya, maka ia langsung mengambilnya dan menempelkannya pada dadanya, lalu menyusukannya. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabatnya:

«أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ» ؟ قَالُوا: لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ «فو الله لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا»

Bagaimanakah menurut kalian, tegakah wanita ini mencampakkan bayinya ke dalam api, sedangkan dia mampu melakukannya. Mereka menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda.”Maka demi Allah, sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya."
Imam Bukhari sehubungan dengan bab ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, dari Warqa, dari Ibnu Abu Najaih. dari Ata. dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pada mulanya harta pusaka bagi anak (si mayat) dan bagi kedua orang tuanya hanya wasiat, maka Allah menurunkan sebagian dari ketentuan tersebut menurut apa yang disukai-Nya. Dia menjadikan bagian anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan menjadikan bagi kedua orang tua, masing-masing dari keduanya mendapat seperenam dan sepertiga, dan bagi istri seperdelapan dan seperempat, dan bagi suami separo dan seperempat.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. Yaitu: Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (An-Nisa: 11) Demikian itu karena ketika turun ayat faraid yang isinya adalah ketetapan dari Allah Swt. yang menentukan bagian bagi anak lelaki, anak perempuan, dan kedua orang tua; maka orang-orang merasa tidak suka atau sebagian dari mereka tidak senang dengan pembagian itu. Di antara mereka ada yang mengatakan, "Wanita diberi seperempat atau seperdelapan dan anak perempuan diberi setengah serta anak lelaki kecil pun diberi, padahal tiada seorang pun dari mereka yang berperang membela kaumnya dan tidak dapat merebut ganimah." Akan tetapi, hadis ini didiamkan saja; barangkali Rasulullah Saw. melupakannya atau kita katakan kepadanya, lalu beliau bersedia mengubahnya. Mereka berkata. "Wahai Rasulullah, mengapa engkau memberikan bagian warisan kepada anak perempuan separo dari harta yang ditinggalkan ayahnya. padahal ia tidak dapat menaiki kuda dan tidak pula dapat berperang rnembela kaumnya?" Bahkan anak kecil pun diberi bagian warisan padahal ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tersebutlah bahwa di masa Jahiliah mereka tidak memberikan warisan kecuali hanya kepada orang yang berperang membela kaumnya. dan mereka hanya memberikannya kepada anak yang tertua dan yang lebih tua lagi.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
*******************
Firman Allah Swt.:

{فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ}

dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
Sebagian ulama mengatakan bahwa lafaz fauqa (lebih) adalah tambahan yang berarti, jika anak itu semuanya perempuan dua orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْناقِ

maka penggallah kepala mereka. (Al-Anfal: 12)
Akan tetapi, pendapat ini kurang dapat diterima. baik dalam ayat ini ataupun dalam ayat yang kedua. Karena sesungguhnya tidak ada dalam Al-Qur'an suatu tambahan pun yang tidak ada faedahnya, maka pendapat tersebut tidak dapat diterima.
Kemudian firman-Nya yang mengatakan

{فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ}

maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. (An-Nisa: 11)
Seandainya makna yang dimaksud adalah seperti apa yang dikatakan mereka, niscaya akan disebutkan dalam firman di atas dengan memakai Lafaz falahuma (maka bagi keduanya) dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Sebenarnya pengertian bagian dua pertiga bagi dua anak perempuan ini diambil dari pengertian hukum bagian dua saudara perempuan yang terdapat pada ayat terakhir dari surat An-Nisa. Karena sesungguhnya dalam ayat ini Allah menetapkan bahwa bagian dua saudara perempuan adalah dua pertiga. Apabila dua saudara perempuan mendapat bagian dua pertiga. maka terlebih lagi dua anak perempuan secara analoginya.
Dalam pembahasan yang lalu disebutkan melalui hadis Jabir, bahwa Nabi Saw. pernah menetapkan bagi kedua orang anak perempuan Sa'd ibnur Rabi' dua pertiga. Maka Al-Kitab dan Sunnah menunjukkan kepada pengertian ini pula, juga sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman:  

{وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ}

jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. (An-Nisa: 11)
Seandainya bagian dua anak perempuan adalah separo, niscaya hal ini dinaskan oleh ayat Al-Qur'an. Untuk itu disimpulkan, bilamana ditetapkan bagi anak perempuan yang seorang bagiannya sendiri, maka hal ini menunjukkan bahwa dua orang anak perempuan mempunyai bagian yang sama dengan tiga orang anak perempuan.
*******************
Firman Allah Swt.:

وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan. (An-Nisa: 11), hingga akhir ayat.
Ibu dan bapak mempunyai bagian warisan dalam berbagai keadaan seperti penjelasan berikut:
  • Pertama, bilamana keduanya berkumpul bersama anak-anak si mayat, maka ditetapkan bagi masing-masing dari keduanya bagian seperenam. Jika si mayat tidak mempunyai anak kecuali hanya seorang anak perempuan. maka bagi si anak perempuan ditetapkan separo harta warisan. sedangkan masing-masing kedua orang tua si mayat mendapat bagian seperenam. Kemudian si ayah mendapat seperenam lainnya secara ta'sib. Dengan demikian. pihak ayah dalam keadaan seperti ini memperoleh dua bagian. yaitu dari bagian yang tertentu dan dari status 'asabah.
  • Kedua, bilamana ibu dan bapak yang mewaris harta peninggalan si mayat tanpa ada ahli waris yang lain, maka ditetapkan bagi ibu bagian sepertiga, sedangkan bagi ayah dalam keadaan seperti mengambil semua sisanya secara 'asabah murni. Dengan demikian si ayah memperoleh bagian dua kali lipat dari si ibu yaitu dua pertiganya.
    Seandainya kedua ibu bapak dibarengi dengan suami atau istri si mayat, maka si suami mengambil separonya atau si istri mengambil seperempatnya. Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai bagian yang diambil oleh si ibu sesudah tersebut. Pendapat mereka tersimpul ke dalam tiga kelompok:
    • Ibu mendapat bagian sepertiga dari sisa (setelah bagian suami atau istri diambil) dalam kedua masalah di atas. karena sisanya seakan-akan adalah seluruh warisan bagi keduanya, dan Allah menetapkan bagi si ibu separo dari apa yang diterima oleh si ayah. Dengan demikian, berarti si ibu mendapat sepertiga dari sisa sedangkan si ayah mendapat dua pertiga dari sisa. Demikianlah menurut pendapat Umar dan Usman serta riwayat yang paling sahih di antara dua riwayat yang bersumber dari Ali. Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Mas'ud dan Zaid ibnu Sabit, yang merupakan pegangan para ahli fiqih yang tujuh orang dan keempat orang Imam, serta jumhur ulama.
    • Si ibu mendapat sepertiga dari seluruh harta peninggalan. Karena berdasarkan keumuman makna firman-Nya: jika orang yang meninggal tidak punya anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. (An-Nisa: 11) Karena sesungguhnya makna ayat lebih mencakup daripada hanya dibatasi dengan adanya suami atau istri atau tidak sama sekali. Hal ini merupakan pendapat Ibnu Abbas. Telah diriwayatkan hal yang serupa dari Ali dan Mu'az ibnu Jabal. Hal yang sama dikatakan oleh Syuraih serta Daud Az-Zahiri. Pendapat ini dipilih oleh Abul Husain Muhammad ibnu Abdullah. ibnul Labban Al-Basri di dalam kitabnya Al-Ijaz fi 'Umul Faraid. Tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, bahkan boleh dikata lemah, karena makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa sebenarnya pembagian tersebut hanyalah bila keduanya saja yang mewarisi semua harta, tanpa ada ahli waris yang lain. Dalam masalah ini sebenarnya suami atau istri mengambil bagian yang telah ditentukan. sedangkan sisanya dianggap seakan-akan semua warisan. lalu si ibu mengambil sepertiganya.
    • Ibu mendapat sepertiga dari seluruh warisan dalam masalah istri secara khusus. Istri mendapat bagian seperempatnya, yaitu memperoleh tiga point dari dua belas point. Sedangkan ibu mendapat sepertiganya, yaitu empat point. Sisanya diberikan kepada bapak si mayat. Dalam masalah suami, ibu mendapat sepertiga dari sisa  agar si ibu tidak mendapat bagian lebih banyak daripada bagian si ayah sekiranya si ibu mendapat sepertiga dari seluruh harta warisan. Dengan demikian. maka asal masalahnya adalah enam: Suami mendapat separonya. yaitu tiga point; bagi si ibu sepertiga dari sisa, yakni asal masalah dikurangi bagian suami, yaitu satu point. Sedangkan bagi si ayah adalah sisanya setelah diambil bagian si ibu, yaitu dua point. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Sirin; pendapat ini merupakan gabungan dari kedua pendapat di atas. Tetapi pendapat ini pun dinilai lemah, dan pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi.
  • Ketiga, bilamana ibu bapak si mayat berkumpul dengan saudara-saudara lelaki si mayat, baik yang dari seibu sebapak atau yang dari sebapak atau yang dari seibu. Maka sesungguhnya saudara-saudara si mayat tidak dapat warisan apa pun bila ada bapak si mayat. Tetapi sekalipun demikian, mereka dapat menghijab (menghalang-halangi) ibu untuk mendapat sepertiganya. tetapi yang didapat oleh si ibu hanyalah seperenamnya. Maka bagian si ibu bersama keberadaan saudara-saudara si mayat adalah seperenam.
    Jika tiada ahli waris lagi selain ibu bapak, maka si bapak mendapat sisa keseluruhannya. Hukum mengenai kedua saudara lelaki sama dengan hukum banyak saudara lelaki, seperti yang telah disebutkan di atas. Demikianlah menurut jumhur ulama.
    Imam Baihaqi meriwayatkan melalui jalur Syu'bah maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia masuk menemui Usman, lalu Ibnu Abbas mengatakan 'Sesungguhnya seorang saudara tidak dapat menolak ibu untuk mendapatkan sepertiga." Allah Swt. telah berfirman: jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara. (An-Nisa: 11) Dua orang saudara menurut bahasa kaummu berbeda dengan beberapa orang saudara. Maka sahabat Usman berkata.”Aku tidak mampu mengubah apa yang telah berlaku sebelumku dan telah dijalankan di beberapa kota besar, dijadikan sebagai kaidah waris-mewaris di kalangan orang-orang."
    Akan tetapi, kebenaran asar ini masih perlu dipertimbangkan, karena Syu'bah yang disebut dalam sanad asar ini pemah diragukan oleh Malik ibnu Anas. Seandainya asar ini sahih dari Ibnu Abbas, niscaya akan dijadikan pegangan oleh murid-muridnya yang terdekat. Apa yang dinukil oleh mereka dari Ibnu Abbas justru berbeda dengan hal tersebut.
    Telah diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Kharijah ibnu Zaid, dari ayatnya yang mengatakan bahwa dua orang saudara dinamakan pula ikhwah (beberapa orang saudara).
    Kami telah membahas masalah ini secara terpisah dengan pembahasan yang terinci.
    Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai, dari Sa'id, dari Qatadah, sehubungan dengan  Firman Allah Swt.: Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam. (An-Nisa: 11) Mereka (beberapa saudara) dapat merugikan bagian ibu. sekalipun mereka tidak dapat mewaris (karena adanya ayah si mayat). Tetapi jika saudara si mayat hanya seorang, maka ia tidak dapat menghalang-halangi ibu dari bagian sepertiganya, dan ibu baru dapat dihalang-halangi jika jumlah saudara lebih dari satu orang. Para ulama berpendapat. sebenarnya mereka (beberapa saudara) dapat menghalang-halangi sebagian dari bagian ibu —yakni dari sepertiga menjadi seperenam— karena ayah mereka menjadi wali yang menikahkan mereka dan memberi mereka nafkah, sedangkan ibu mereka tidak.
    Pendapat ini dinilai cukup baik.
    Tetapi telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan sanad yang sahih, bahwa ia memandang seperenam bagian ibu karena ada mereka, adalah untuk mereka yang sisanya.
    Pendapat ini dinilai syaz. diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
    Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seperenam yang dihalang-halangi oleh beberapa saudara dari ibu mereka adalah agar bagian tersebut untuk mereka, bukan untuk ayah mereka.
    Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat ini berbeda dengan pendapat semua ulama. Telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr, dari Al-Hasan ihnu Muhammad, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua (yakni yang mewarisinya hanyalah saudara-saudaranya saja).
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ}

    sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan); sesudah dibayar utangnya. (An-Nisa: 11)
    Para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa utang lebih didahulukan daripada wasiat. Pengertian ini dapat tersimpul dari makna ayat bila direnungkan secara mendalam.
    Imam Ahmad. Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah serta para penulis kitab tafsir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Ishaq, dari Al-Haris ibnu Abdullah Al-A'war, dari Ali ibnu Abu Talib yang mengatakan bahwa:

    إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ} وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ، وَإِنَّ أَعْيَانَ بَنِي الْأُمِّ يَتَوَارَثُونَ دُونَ بَنِي العَلات، يَرِثُ الرَّجُلُ أَخَاهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ دُونَ أَخِيهِ لِأَبِيهِ.

    sesungguhnya kalian telah membaca firman-Nya: sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (An-Nisa: 11) Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memutuskan bahwa utang lebih didahulukan daripada wasiat.  Sesungguhnya saudara-saudara yang seibu itu dapat saling mewaris, tetapi saudara-saudara yang berbeda ibu tidak dapat saling mewaris. Seorang Lelaki dapat mewarisi saudara yang seibu sebapak, tetapi tidak kepada saudara yang sebapak.
    Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, "Kami tidak mengetahui asar ini kecuali melalui riwayat Al-Haris, sebagian dan kalangan ulama ada yang membicarakan tentangnya."
    Menurut kami: Al-Haris adalah orang yang mahir dalam Ilmu faraid dan mendalaminya serta menguasai ilmu hisab.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا}

    Orang-orang tua kalian dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian. (An-Nisa: 11)
    Sesungguhnya Kami menentukan bagi orang-orang tua dan anak-anak bagian yang tertentu. dan Kami samakan di antara masing-masingnya dalam pembagian warisan, berbeda dengan perkara yang biasa dilakukan di Masa Jahiliah. Berbeda dengan apa yang pernah diterapkan pada permulaan Islam, yaitu harta pusaka buat anak. sedangkan buat kedua orang tua adalah berdasarkan wasiat, seperti dalam riwayat yang lalu dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya Allah menasakh hal tersebut, lalu menggantinya dengan ketentuan dalam ayat ini, maka diberi-Nyalah bagian kepada mereka, juga kepada yang lainnya berdasarkan kekerabatan mereka (dengan si mayat). Hal ini tiada lain karena manusia itu adakalanya mendapat manfaat duniawi atau ukhrawi atau kedua-duanya dari pihak ayah banyak hal yang tidak ia dapatkan dari anaknya sendiri: tetapi adakalanya sebaliknya. Karena itulah Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya: Orang-orang tua kalian dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian. (An-Nisa: 11)
    Yakni sesungguhma manfaat dapat diharapkan dari pihak ini, sebagaimana manfaat pun dapat diharapkan dari pihak yang lain. Karena itulah maka Kami menentukan bagian untuk ini dan untuk itu, sena Kami samakan di antara kedua belah pihak dalam hal mewaris harta pusaka.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ}

    Ini adalah ketetapan dari Allah. (An-Nisa: 11)
    Ketetapan yang telah Kami sebutkan menyangkut rincian bagian warisan dan memberikan kepada sebagian ahli waris bagian yang lebih banyak daripada yang lainnya. Hal tersebut merupakan ketentuan dari Allah dan keputusan yang telah ditetapkan-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, Dia tidak akan meletakkan segala sesuatu yang bukan pada tempatnya, dan Dia pasti memberi setiap orang hak yang layak, diterima sesuai dengan keadaannya. Karena itulah Allah Swt. berfirman:  

    {إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا}

    Sesungguhnya Allah Maha tahu dan Maha bijaksana. (An-Nisa: 11)

An-Nisa, ayat 12

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (12)

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

Allah Swt. berfirman.”Bagi kalian, hai kaum Lelaki, separo harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, jika mereka mati tanpa meninggalkan seorang anak pun. Jika mereka mempunyai seorang anak, maka bagi kalian hanyalah seperempat dari apa yang mereka tinggalkan setelah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar utangnya."
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa pelunasan utang harus didahulukan atas penunaian wasiat; sesudah utang diselesaikan, maka barulah wasiat; dan sesudah wasiat, baru harta dibagikan kepada ahli waris si mayat. Ketetapan ini telah disepakati oleh para ulama. Hukum cucu lelaki dari anak lelaki sama dengan hukum anak lelaki sendiri yang menurunkan mereka.
Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ

para istri memperoleh seperempti harta yang kalian tinggalkan. (An-Nisa: 12), hingga akhir ayat.
Baik dalam seperempat atau seperdelapan seorang istri —dua orang istri, tiga orang istri, atau empat orang istri— mereka bersekutu dalam bagian tersebut.
Firman Allah Swt. :

{مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ}

sesudah dipenuhi wasiat.
Tafsir firman ini telah dikemukakan di atas.
Firman Allah Swt.:

{وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً}

Jika seseorang diwaris secara kalalah. (An-Nisa: 12)
Al-kalalah berakar dari kata iklil, artinya kalungan yang diletakkan di atas kepala dan meliputi semua sisinya. Makna yang dimaksud ayat ini ialah sesorang yang mati, kemudian harta peninggalannya diwarisi oleh kaum kerabat dari sisi-sisinya, bukan dari pokok (orang tua), bukan pula dari cabang (anak keturunannya).
Asy-Sya'bi meriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, bahwa ia pernah ditanya mengenai kalalah, maka ia menjawab, "Aku akan rnenjawab masalah ini melalui rayu (pendapat)ku sendiri. Jika jawabanku ini benar. maka berasal dari Allah: dan jika keliru, berarti dariku dan dari setan. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya bebas darinya. Al-kalalah ialah orang yang tidak mempunyai orang tua dan tidak mempunyai anak," (dengan kata lain, yang mewarisinya hanyalah saudara-saudaranya). Manakala Umar pergi, ia berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar malu bila berbeda pendapat dengan Abu Bakar."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid, dari Sufyan, dari Sulaiman Al-Ahwal, dari Tawus yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar ibnu Abbas mengatakan, "Saya adalah orang yang paling akhir menemui sahabat Umar. Ku dengar di akhir usianya ia mengatakan, "Apakah yang pernah saya katakan, Apakah yang pernah saya katakan. Ibnu abbas menceritakan.”Al-kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua, (yang mewarisi hanyalah saudara-saudaranya saja)."
Hal yang sama dikatakan oleh Ali dan Ibnu Mas'ud dan menurut pendapat yang sahih diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja bersumber dari Ibnu Abbas serta Zaid ibnu Sabit. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Jabir ibnu Zaid, dan Al-Hakam. Hal yang sama dikatakan oleh ulama Madinah, Kufah dan  Basrah.
Pendapat inilah yang dikatakan oleh tujuh ulama fiqih, empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, bahkan seluruhnya.
Telah diriwayatkan bukan hanya oleh seseorang tentang adanya ijma' (kesepakatan) di kalangan para ulama sehubungan dengan pendapat ini. Telah diriwayatkan sebuah hadis marfu' yang mengatakan hal yang sama. Abu Husain ibnul Labban mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas suatu pendapat yang berbeda dengan pendapat ini. Yaitu bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak. Tetapi riwayat yang sahih yang bersumber dari Ibnu Abbas adalah riwayat yang pertama tadi. Barangkali si perawi masih belum memahami apa yang dimaksud oleh Ibnu Abbas.
*******************
Firman Allah Swt.:

{وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ}

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) (An-Nisa: 12)
Yang dimaksud dengan saudara dalam ayat ini ialah saudara seibu, seperti menurut qiraah sebagian ulama Salaf. antara lain ialah Sa'd ibnu Abu Waqqas. Hal yang sama dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq menurut apa yang diriwayatkan oleh Qatadah darinya.
Firman Allah Swt.:

{فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ}

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu
Saudara seibu berbeda dengan saudara seayah dalam hal mewarisi ditinjau dari berbagai segi seperti berikut:





  • Pertama, mereka dapat mewaris bersama adanya yang nurunkan mereka, yaitu ibu.
  • Kedua, jenis laki-laki dan jenis perempuan dari mereka sama bagian warisannya.
  • Ketiga, mereka tidak dapat mewaris kecuali jika mayat mereka diwaris secara kalalah. Oleh karena itu. mereka tidak dapat mewarisi bila ada ayah si mayat atau kakek si mayat, atau cucu laki-laki si mayat. 
  • Keempat bagian mereka tidak lebih dari sepertiga sekalipun jumlah mereka yang terdiri atas laki-laki dan perempuan itu jumlahnya banyak. Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa Khalifah Umar memutuskan bahwa warisan saudara yang seibu di antara sesama mereka bagian laki-laki sama dengan bagian perempuan. Az-Zuhri mengatakan tidak sekali-kali Khalifah Umar memutuskan demikian. melainkan ia telah mengetahuinya dari Rasulullah Saw." Ayat berikut inilah yang dikatakan oleh Allah Swt. mengenai masalah tersebut, yaitu firman-Nya: Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu. (An-Nisa: 12)
    Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan masalah musytarakah (persekutuan mewarisi antara saudara seibu dan saudara seibu seayah). Masalah musytarakah ini terdiri atas suami, ibu atau nenek dan dua orang sudara seibu serta seorang atau lebih dari seorang dari saudara laki-laki seibu seayah.
    Menurut pendapat jumhur ulama, suami mendapat setengah, ibu atau nenek mendapat seperenam, dan saudara seibu mendapat sepertiga; dan bersekutu dalam bagian ini saudara-saudara seibu seayah, mengingat adanya persekutuan di antara sesama mereka. yaitu persaudaraan seibu.
    Masalah ini pernah terjadi di masa pemerintahan Amirul Muminin Umar ra. Karenanya ia memberi suami setengah, ibu seperenam, dan memberikan yang sepertiganya kepada anak-anak ibu (saudara-saudara seibu). Maka saudara-saudara (lelaki) yang seibu dan seayah dari si mayat berkata kepada Umar, "Wahai Amirul Mukminin, seandainya ayah kami adalah keledai, bukankan kami berasal dari satu ibu juga?" Akhirnya Khalifah Umar mempersekutukan mereka dalam bagian sepertiga itu, antara saudara seibu dan saudara seibu seayah.
    Persekutuan dalam sepertiga ini pernah pula dikatakan oleh Usman menurut riwayat yang sahih. Hal yang sama dikatakan menurut salah satu di antara kedua riwayat dari Ibnu Mas'ud dan Zaid ibnu Sabit serta Ibnu Abbas, semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka.
    Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih Al-Qadi, Masniq, Tawus, Muhammad ibnu Sirin, Ibrahim An-Nakha'i. Umar ibnu Abdul Aziz, As-Sauri, dan Syarik. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Imam Malik. Imam Syafii, dan Ishaq ibnu Rahawaih.
    Disebutkan bahwa Khalifah Ali ibnu Abu Talib pernah tidak mempersekutukan mereka (dalam perkara itu). bahkan dia menjadikan bagian yang sepertiga itu hanya untuk saudara-saudara seibu si mayat, sedangkan saudara-Saudara seibu dan seayah tidak mendapat apa-apa, karena mereka terdiri atas laki-laki (asyabah).
    Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ubay ibnu Ka’b dan Abu Musa Al-Asy'ari, yang terkenal dari Ibnu Abbas. Pendapat inilah yang dijadikan pegangan oleh Asy-Sya’bi. Ibnu Abu Laila. Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad ibnul Hasan. Al-Hasan ibnu Ziyad. Zufar ibnul Huzail. Imam Ahmad. Yahya ibnu Aslam, Nuaim bin Hammad. Abu Saur. dan Daud Al-Zahiri.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ}

    sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (si mayat) atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kerugian kepada ahli waris).
    Hendaknya wasiat yang dibuat oleh si mayat  tidak merupakan mudarat kepada ahli waris, tidak aniaya, dan tidak menyimpang. Hal yang menyimpang ialah misalnya si mayat dengan wasiatnya itu mengakibatkan terhalangnya sebagian ahli waris dari bagiannya atau mengurangi bagiannya, atau memberinya lebih dari apa yang telah ditetapkan baginya oleh Allah Swt. Barang siapa yang berbuat demikian, berarti sama saja dengan orang yang menentang Allah dalam Hukum dan syariat-Nya.

    قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ الدِّمَشْقِيُّ الْفَرَادِيسِيُّ، حَدَّثَنَا عُمَر بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْإِضْرَارُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ".

    Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr Ad-Dimasyqi telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Mugirah, dan Dari Ibn Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw bersabda: Menimpakan mudarat (terhadap ahli waris) dalam wasiat termasuk dosa besar.
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari jalur Umar bin Mughirah dia adalah Abu Hafs Basri.
    Sehubungan dengan Abu Hafs ini, Ibnu Asakir mengatakan bahwa dia dikenal sebagai orang yang memberikan kecukupan kepada orang-orang miskin. Telah meriwayatkan darinya banyak orang dari kalangan para imam.
    Abu Hatim Ar-Razi mengatakan dia adalah seorang syekh (guru).
    Ali ibnul Madini mengatakan: Dia orang yang tidak dikenal. dan aku tidak mengenalnya.
    Ibnu Jarir mengatakan bahwa menurut pendapat yang sahih, hadis ini mauquf.
    Karena itulah para Imam berselisih pendapat tentang iqrar (pengukuhan) buat ahli waris apakah hal ini dianggap tindakan yang benar ataukah tidak? Ada dua pendapat mengenainya. Salah satunya mengatakan, tidak sah mengikrarkan bagian waris kepada ahli waris. Rasululah Saw. pernah bersabda:

    إِنَّ اللَّهَ قَدْ أعْطَى كُلَّ ذِي حَق حَقَّه، فَلَا وَصِيَّة لِوَارِثٍ

    Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orarg (ahli waris) hak yang diperoleh, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.
    Pendapat ini merupakan mazhab Malik, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Abu Hanifah serta qaul qadim Imam Syafi’i, sedangkan dalam qaul jadid Imam Syafii mengatakan iqrar adalah sah (dibenarkan).
    Pendapat yang mengatakan sah ini merupakan rnazhab Tawus, Ata, Al-Hasan, dan Umar ibnu Abdul Aziz; pendapat ini pulalah yang dipilih oleh Abu Abdullah Al-Bukhari di dalam kitab sahih-nya. dengan alasan bahwa Rafi' ibnu Khadij pernah berwasiat bahwa Al-Fazariah yang telah ditutup pintunya tidak boleh dibuka.
    Ibnu Jarir mengatakan sebagian ulama mengatakan seseorang tidak boleh melakukan iqrar karena hal ini memberikan kesan buruk prasangka terhadap para ahli waris. Karena sesungguhnya Nabi Saw. pernah bersabda:

    «إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ»

    Hati-hatilah kalian terhadap prasangka karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling dusta.
    Allah Swt. telah berfirman:

    {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا}

    Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58)
    Dalam ayat ini Allah tidak mengkhususkan kepada seorang ahli waris pun. juga tidak kepada yang lainnya.
    Sebagai kesimpulannya dapat dikatakan bahwa manakala iqrar dinyatakan sah sesuai dengan duduk perkara yang sebenarnya, maka berlakulah perbedaan pendapat seperti yang disebut di atas. Tetapi manakala iqrar yang dimaksud adalah sebagai tipu muslihat dan sarana untuk menambahi bagian sebagian ahli waris atau mengurangi bagian sebagian dari mereka, maka hal ini haram hukumnya menurut kesepakatan ulama dan nas ayat yang mulia yang mengatakan:

    {غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ}

    dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (An-Nisa: 12)

  • An-Nisa, ayat 13-14

    تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها وَذلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (13) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خالِداً فِيها وَلَهُ عَذابٌ مُهِينٌ (14)

    (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.

    Dengan kata lain, bagian-bagian dan ketentuan-ketenman yang telah dijadikan oleh Allah untuk para ahli waris sesuai dengan dekatnya hubungan nasab mereka dengan si mayat dan keperluan mereka kepadanya serta kesedihan mereka di saat ditinggalkan. semuanya itu merupakan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah maka janganlah kalian melanggar dan menyimpangkannya.
    Allah berfirman:

    {وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ}

    Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (An-Nisa: 13)
    Yakni dalam batasan-batasan tersebut, dan tidak menambahi atau mengurangi bagian sebagian ahli waris melalui cara tipu muslihat dan sarana penggelapan, melainkan membiarkan mereka menuruti hukum Allah, bagian, dan ketetapan yang telah ditentukan-Nya.

    {يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ}

    niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang men-durhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentu-an-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 13 – 14)
    Dikatakan demikian karena hal tersebut berarti mengubah hukum yang telah ditentukan oleh Allah dan menentang Allah dalam hukum-Nya. Sikap seperti itu tiada lain hanyalah timbul dari orang yang merasa tidak puas dengan apa yang telah dibagikan dan ditetapkan Allah untuknya. Karena itu, Allah membalasnya dengan penghinaan dalam siksa yang sangat pedih lagi terus-menerus.

    قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ شَهْر ابن حَوْشَب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَل بِعَمَلِ أَهْلِ الْخَيْرِ سَبْعِينَ سَنةً، فَإِذَا أوْصَى حَافَ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ بَشَرِّ عَمَلِهِ، فيدخل النار؛ وإن الرجل ليعمل بعمل أهل الشَّرِّ سَبْعِينَ سَنَةً، فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ عَمَلِهِ فَيُدْخُلُ الْجَنَّةَ". قَالَ: ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ {تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ} إِلَى قَوْلِهِ: {عَذَابٌ مُهِينٌ}

    Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Asy'as ibnu Abdullah, dari Syahr ibnu Hausab. dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengerjakan amal ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun, tetapi apabila ia berwasiat dan berlaku aniaya dalam wasiatnya, maka amal perbuatan terakhirnya ditetapkan amal perbuatan yang buruk, lalu ia masuk neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengerjakan perbuatan ahli keburukan selama tujuh puluh tahun, tetapi ia berlaku adil dalam wasiatnya. maka amal perbualan terakhir-nya adalah amal kebaikan, lalu masuklah ia ke dalam surga. Kemudian sahabat Abu Hurairah mencatakan, "Bacalah oleh kalian jika kalian suka," yaitu firman-Nya: (Hukum-hukum tersebut ) adalah ketentuan dari Allah. (An-Nisa: 13) Sampai dengan firman-Nya: dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 14)
    Imam Abu Daud mengatakan di dalam Bab "Menimpakan Mudarat dalam Berwasiat", bagian dari kitab sunannya:

    حَدَّثَنَا عَبْدَة بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا [نَصْرُ] بْنُ عَلِيٍّ الحُدَّاني، حَدَّثَنَا الْأَشْعَثُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَابِرٍ الحُدَّاني، حَدَّثَنِي شَهْرُ بْنُ حَوشَب: أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ: أَنَّ رسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ الرَّجُلَ لِيَعْمَلُ أَوِ الْمَرْأَةَ بِطَاعَةِ اللَّهِ سِتِّينَ سَنَةً، ثُمَّ يَحْضُرُهُمَا الْمَوْتُ فَيُضَاران فِي الْوَصِيَّةِ، فَتَجِبُ لَهُمَا النَّارُ" وَقَالَ: قَرَأَ عَلِيٌّ أَبُو هُرَيْرَةَ مِنْ هَاهُنَا: {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ} حَتَّى بَلَغَ: { [وَ] ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} .

    telah menceritakan kepada kami Ubaidah ibnu Abdullah, telah menceritakan keruda kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnn Ali Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Al-Asy’as ibnu Abdullah ibnu Jabir Al-Haddani, telah menceritakan kepadaku Syahr ibnu Hausyab, bahwa sahabat Abu Hurairah pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. pernah berabda: Sesungguhnya seorang lelaki atau seorang wanita benar-benar melakukan amal ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun, kemudian keduanya menjelang kematiannya, lalu keduanya menimpakan mudarat (kepada ahli warisnya) dalam wasiatnya, maka pastilah keduanya masuk neraka. Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa Abu Hurairah ra. membacakan firman-Nya kepadaku mulai dari firman-Nya: sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (si mayat) atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (An-Nisa: 12) sampai dengan firman-Nya: dan itulah kemenangan yang besar. (An-Nisa: 13)
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Asy'as dengan lafaz yang lebih lengkap darinya. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Tetapi lafaz hadis Imam Ahmad jauh lebih lengkap dan lebih sempurna.

    An-Nisa, ayat 15-16

    وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفاحِشَةَ مِنْ نِسائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً (15) وَالَّذانِ يَأْتِيانِها مِنْكُمْ فَآذُوهُما فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحا فَأَعْرِضُوا عَنْهُما إِنَّ اللَّهَ كانَ تَوَّاباً رَحِيماً (16)

    Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji], hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya]. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

    Ketetapan hukum di masa permulaan Islam menyatakan bahwa seorang wanita itu apabila nyata melakukan perbuatan zina melalui bukti yang adil, maka ia ditahan di dalam rumah dan tidak dapat keluar darinya hingga ia mati (yakni dikurung) sampai mati. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:

    {وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ}

    Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji. (An-Nisa: 15)
    Yang dimaksud dengan fahisyah dalam ayat ini ialah perbuatan zina.

    {مِن نِّسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مّنكُمْ فَإِن شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا}

    di antara wanita-wanua kalian, hendaklah ada empat orang saksi di antara kalian (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah wanita-wanita itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. (An-Nisa: 15)
    Yang dimaksud dengan jalan yang lain yang dijadikan oleh Allah ialah ayat lain yang menasakh (merevisi) hukum ini.
    Ibnu Abbas mengatakan bahwa pada mulanya ketetapan hukum adalah seperti yang tertera dalam ayat ini, hingga Allah menurunkan surat An-Nur, lalu me-nasakh-nya dengan hukum dera atau hukum rajam.
    Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair Al-Hasan, Ata Al-Khurrasani, Abu Saleh, Qatadah, Zaid ibnu Aslam, dan Ad-Dahhak, bahwa ayat ini dimansukh. Pendapat ini disepakati oleh semua ulama.

    قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ حِطَّان بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الرَّقاشِي، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ أَثَّرَ عَلَيْهِ وَكَرُبَ لِذَلِكَ وتَرَبّد وَجْهُهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ ذَاتَ يَوْمٍ، فَلَمَّا سُرِّيَ عَنْهُ قَالَ: "خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَل اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ، والبِكْرُ بالبكرِ، الثَّيِّبُ جَلْدُ مِائَةٍ، ورَجْمٌ بِالْحِجَارَةِ، وَالْبِكْرُ جَلْدُ مِائَةٍ ثُمَّ نَفْى سَنَةٍ".

    Imam ahmad berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far. telah menceritakan kepada kami Sa'id. dari Qatadah. dari Al-Hasan, dari Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah ibnus Samit yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. apabila turun wahyu kepadanya, hal itu mempengaruhinya dan beliau tampak susah serta wajahnya berubah (karena beratnya wahyu). Maka pada suatu hari Allah Swt. menurunkan wahyu kepadanya; setelah selesai dan keadaan beliau menjadi seperti sediakala, beliau bersabda: Ambillah dariku! Sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi mereka (wanita-wanita itu) jalan yang lain; janda dengan duda, dan jejaka dengan perawan. Janda (duda) dikenai hukuman dera seratus kali dan dirajam dengan batu, sedangkan jejaka (perawan) dikenai hukuman dera seratus kali dan dibuang (diasingkan) selama satu tahun.
    Imam Muslim dan Ashabus Sunan meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Hattan, dari Ubadah ibnus Samit, dari Nabi Saw. yang lafaznya seperti berikut:

    " خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا؛ الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ".

    Ambillah dariku, ambillah dariku! Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain bagi mereka (wanita-wanita itu), jejaka dengan gadis seratus kali dera dan dibuang satu tahun, sedangkan duda dengan janda seratus kali dera dan dirajam.
    Imam Turmuzi mengatakan bahwa hasan shahih
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Duud At-Tayalisi:

    عَنْ مُبَارَكِ بْنِ فَضَالة، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ حِطَّانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الرَّقَاشِيِّ، عَنْ عُبَادَةَ: أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ عُرف ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ، فَلَمَّا أُنْزِلَتْ: {أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا} [وَ] ارْتَفَعَ الْوَحْيُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذُوا خُذُوا، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا البكْرُ بالبكرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنفيُ سَنَةٍ، والثَّيِّب بالثيبِ جَلْدُ مِائَةٍ ورَجْمٌ بِالْحِجَارَةِ".

    dari Mubarak ibnu Fudalah, dari Al-Hasan, dari Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah, bahwa Rasulullah Saw. apabila sedang turun wahyu kepadanya, hal tersebut dapat diketahui melalui wajahnya. Allah menurunkan ayat berikut: atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. (An-Nisa: 15) Ketika wahyu telah selesai darinya, maka ia bersabda: Ambillah, ambillah oleh kalian, Allah telah beri jalan yang lain kepada wanita-wanita itu, jekaka dan gadis seratus kali dera dan dibuang satu tahun. sedangkan duda dengan janda seratus kali dera dan dirajam dengan batu.
    Imam Ahmad meriwayatkan pula hadis ini:

    عَنْ وَكِيع بْنِ الْجَرَّاحِ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دَلْهَم، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ قُبَيْصَة بْنِ حُرَيث، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ المُحَبَّق قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ".

    Dari Waki' ibnul Jarrah, dari Al-Hasan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dalham, dari Qubaisah ibnu Harb, dari Salamah ibnul Muhabbaq yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ambillah dariku, ambillah dariku! Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada wanita-wanita itu. Jejaka dengan gadis seratus kali dera dan dibuang satu tahun, sedangkan duda dengan janda seratus kali dera dan dirajam.
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dengan panjang lebar melalui hadis Al-Fadl ibnu Dalham. Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Al-Fadl orangnya bukan Hafiz. dia adalah tukang tebu di Wash.
    Hadis yang lain. Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan:

    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عَبَّاسُ بْنُ حَمْدَانَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَبْدِ الْغَفَّارِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "البكْرَان يُجْلَدان ويُنفيَانِ، وَالثَّيِّبَانِ يُجْلَدَانِ ويُرجَمانِ، والشَّيْخانِ يُرجَمان".

    telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abbas ibnu Hamdan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdul Gaffar, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Dua orang yang belum pernah kawin, kedua-duanya didera dan dibuang; sedangkan dua orang yang pernah kawin, kedua-duanya didera dan dirajam; dan kedua orang yang sudah tua, kedua-duanya dihukum rajam (bila berzina).
    Ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat garib.
    Imam Tabrani meriwayatkan melalui jalur Ibnu Luhai'ah, dari saudaranya Isa ibnu Luhai'ah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setelah surat An-Nisa diturunkan, maka Rasulullah Saw. pernah bersabda:

    «لَا حَبْسَ بَعْدَ سُورَةِ النِّسَاءِ»

    Tidak ada kurungan lagi sesudah surat An-Nisa.
    Imam Ahmad ibnu Hambal berpegang kepada makna hadis ini, yaitu yang menggabungkan antara hukuman dera dan rajam terhadap duda atau janda yang berzina. Sedangkan menurut jumhur ulama, janda atau duda yang berzina hanya dikenai hukuman rajam saja, tanpa hukuman dera. Mereka mengatakan demikian dengan alasan bahwa Nabi Saw. telah merajam Ma’iz dan Al-Gamidiyyah serta kedua orang Yahudi (yang telah berbuat zina) dan beliau tidak mendera mereka. Maka hal ini menunjukkan bahwa hukuman dera bukan merupakan suatu keputusan yang pasti dan tidak dapat diganggu gugat lagi melainkan ia dimansukh. Demikianlah menurut pendapat mereka (jumhur ulama).
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا}

    Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kalian, maka berilah hukuman kepada keduanya. (An-Nisa: 16)
    Yaitu dua orang yang berbuat zina, kalian harus menghukumnya. Menurut Ibnu Abbas r.a. dan Sa'id ibnu Jubair serta selain keduanya. hukuman tersebut berupa caci maki dan memukulinya dengan terompah dan sandal. Pada mulanya memang demikian hukumnya sebelum Allah menasakhnya dengan hukuman dera dan hukuman rajam.
    Ikrimah, Ata. Al-Hasan. dan Abdullah ibnu Kasir mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dan seorang wanita apabila keduanya berbuat zina.
    As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan muda-mudi sebelum mereka kawin (lalu melakukan perbuatan zina).
    Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki yang melakukan perbuatan tidak senonoh. Seakan-akan dia bermaksud bahwa kedua lelaki tersebut melakukan perbuatan homo.
    Ahlus Sunan meriwayatkan melalui hadis Amr ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas secara marfu'. Ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

    «مَنْ رَأَيْتُمُوهُ يَعَمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ»

    Barang siapa yang kalian lihat sedang melakukan perbuatan kaumnya Nabi Lut, maka bunuhlah si pelaku dan yang dikerjainya.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا}

    kemudian jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri.  (An-Nisa: 16)
    Yakni jera dan berhenti dari apa yang dilakukan oleh keduanya serta memperbaiki dirinya dan amal perbuatannya menjadi baik.

    {فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا}

    maka biarkanlah mereka. (An-Nisa: 16)
    Janganlah kalian mengerasi keduanya dengan kata-kata yang buruk sesudah itu. karena orang yang telah bertobat dari dosanya sama dengan orang yang tidak berdosa.

    {إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا}

    Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 16)
    Di dalam kitab Sahihain disebutkan:

    «إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ، فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا»

    Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina, maka hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi ia tidak boleh mencacinya.
    Yakni mencaci makinya karena perbuatannya, setelah ia menjalani hukuman had yang merupakan penghapus dosa dari perbuatannya itu.

    An-Nisa, ayat 17-18

    إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً (17) وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئاتِ حَتَّى إِذا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولئِكَ أَعْتَدْنا لَهُمْ عَذاباً أَلِيماً (18)

    Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan], yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang." Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.

    Allah Swt. berfirman bahwa sesungguhnya Allah hanya menerima tobat dari orang yang berbuat keburukan lantaran kebodohannya. kemudian ia bertobat, sekalipun sesudah menyaksikan kedatangan malaikat maut yang akan mencabut nyawanya sampai di tenggorokan.
    Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya serang mengatakan bahwa setiap orang yang berbuat durhaka kepada Allah karena tersalah atau sengaja, ia dinamakan jahil hingga ia menghentikan perbuatan dosanya.
    Qatadah meriwayatkan dari Abul Aliyah yang menceritakan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. pernah mengatakan, "Setiap perbuatan dosa yang dilakukan oleh seorang hamba, maka hamba yang bersangkutan dinamakan jahil." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
    Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar. dari Qatadah yang mengatakan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. Berkumpul, lalu mereka berpendapat bahwa setiap perbuatan yang dianggap durhaka terhadap Allah pelakunya berada dalam kejahilan, baik ia melakukannya dengan sengaja ataupun selain disengaja.
    Ibnu Juraij meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Kasir, dari Mujahid yang mengatakan bahwa setiap orang yang berbuat maksiat kepada Allah, ia dalam keadaan jahil di saat mengerjakannya. Ibnu Juraij mengatakan bahwa Ata ibnu Abu Rabah pernah mengatakan hal yang sama kepadanya.
    Abu Saleh meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa termasuk kejahilan seseorang ialah bila ia mengerjakan perbuatan yang jahat.
    Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: kemudian mereka bertaubat dengan segera. (An-Nisa: 17) Yang dimaksud dengan min qarib batas maksimalnya ialah mulai dia mengerjakan perbuatan dosa sampai ia melihat malaikat maut.
    Ad-Dahhak mengatakan bahwa masa yang sedikit sebelum kematian disebut dengan istilah qarib (dekat).
    Qatadah dan As-Saddi mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah selagi orang yang bersangkutan berada dalam masa sehatnya. Perdapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
    Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: kemudian mereka bertobat dengan segera. (An-Nisa: 17) Makna yang dimaksud ialah selagi nyawa orang yang bersangkutan belum sampai ke tenggorokan. Ikrimah mengatakan bahwa dunia seluruhnya dinamakan qarib.

    Hadits-hadits dalam masalah ini:

    قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاش وَعِصَامُ بْنُ خَالِدٍ، قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْبان، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ جُبَير بْنِ نُفَيْر عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إنَّ اللَّهَ يَقْبلُ تَوْبَةَ العبدِ مَا لَمْ يُغَرغِر".

    Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami ali ibnu Iyasy dan Isam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami -Sauban, dari ayahnya. dari Mak-hul. dari Jubair ibnu Nufair dari Ibnu Umar. dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selagi nyawanya belum sampai di tenggorokan.
    Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Suban dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Disebutkan di dalam kitab Sunan Ibnu Majah bahwa sebutan dari Abdullah ibnu Amr adalah dugaan belaka. sebenarnya dia adalah Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab.

    Hadis lain Dari Ibnu Umar

    قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَسَنِ الْخُرَاسَانِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْبَابِلُتِّيُّ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ نَهِيك الْحَلَبِيُّ قَالَ: سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ أَبِي رَبَاحٍ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَر، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ عَبْدٍ مُؤْمِن يَتُوبُ قَبْلَ الموتِ بِشَهْرٍ إِلَّا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ، وأدْنَى مِنْ ذَلِكَ، وقَبْل مَوْتِهِ بِيَوْمٍ وَسَاعَةٍ، يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ التَّوْبَةَ والإخلاصَ إِلَيْهِ إِلَّا قَبِل مِنْهُ"

    Ibnu Murdawaih mengatakan. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Hasan Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah Al-Babili, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Nuhaik Al-Halabi; ia pernah mendengar Ata ibnu Abu Rabaah berkata bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Umar mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang hamba yang mukmin bertobat sebelum ia mati dalam jarak satu bulan, melainkan Allah menerimanya dalam jarak yang lebih pendek dari itu, dan (tidak sekali-kali seorang hamba yang mukmin bertobat) sebelum matinya dalam jarak satu hari. Allah mengetahui tobat yang dilakukannya dan Allah menerimanya.

    Hadis lain

    قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْمُونٍ، أَخْبَرَنِي رَجُلٌ مَنْ مِلْحَان يُقَالُ لَهُ: أَيُّوبُ -قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ: مَنْ تَابَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِعَامٍ تِيبَ عَلَيْهِ، وَمَنْ تَابَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِشَهْرٍ تِيب عَلَيْهِ، وَمَنْ تَابَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِجُمُعَةٍ تِيبَ عَلَيْهِ، وَمَنْ تَابَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِيَوْمٍ تِيبَ عَلَيْهِ، وَمَنْ تَابَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِسَاعَةٍ تِيبَ عَلَيْهِ. فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ: {إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ} فَقَالَ: إِنَّمَا أُحدِّثك مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم.

    Abu Daud At-Thayalisi mengatakan: telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Ibrahim ibnu Maimunah, dan telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari Mulhan yang dikenal dengan nama Ayyub. Ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar ibnu Umar berkata, "Barang siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu tahun, niscaya tobatnya diterima. Barang siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu bulan, niscaya tobatnya diterima. Barang siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu minggu. niscaya tobatnya diterima. Barang siapa bertobat sebelum matima dalam jarak satu hari. niscaya tobatnya diterima. Barang siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu jam, niscaya tobatnya diterima". Ketika aku (perawi) katakan bahwa sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera. (An-Nisa: 17) Maka Ibnu Umar berkata, "Sesungguhnya aku menceritakan kepadamu hanya berdasarkan apa yang telah kudengar dari Rasulullah Saw."
    Demikianlah menurut riwayat Abu Daud At-Tayalisi, dan Abu Umar Al-Haudi serta Abu Amir Al-Aqdi, dari Syu'bah.

    Hadis lain:

    قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حُسين بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مطَرَّف، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلماني قَالَ: اجْتَمَعَ أَرْبَعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ أَحَدُهُمْ: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَة العبدِ قَبْلَ أَنْ يموتَ بيومٍ". فَقَالَ الْآخَرُ: أنتَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: وَأَنَا سمعتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يقول: "إن الله يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ بِنِصْفِ يَوْمٍ" فَقَالَ الثَّالِثُ: أنتَ سمعتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قال: نَعَمْ. قَالَ: وَأَنَا سمعتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ بضَحْو". قَالَ الرَّابِعُ: أنتَ سمعتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ وَأَنَا سمعتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ [تَعَالَى] يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ  يُغَرغر بِنَفَسِهِ".

    Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Muhammad. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mutarrif, dari Zaid Ibnu Aslam. dari Abdur Rahman ibnus Baylmani yang menceritakan bahwa empat orang sahabat Nabi Saw. berkumpul, lalu seseorang dari mereka mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:  Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba yang dilakukannya sehari sebelum ia mati. Sahabat lainnya bertanya, "Apakah kamu mendengar hal ini dari Rasulullah Saw.?" Ia menjawab, "Ya." Sahabat yang kedua mengatakan kalau dirinya pernah mendengar Rasulullah Saw. Bersabda:  Sesungguhnya Allah menerima taubat seeorang hamba yang dilakukannya setengah hari sebelum ia mati. Sahabat yang ketiga bertanya, "Apakah kamu mendengarnya dari Rasulullah Saw.?" Ia menjawab, "Ya." Lalu sahabat yang ketiga mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah menerima taubat seeorang hamba yang dilakukannya beberapa saat sebelum ia mati. Sahabat yang keempat bertanya.”Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah Saw.?" Ia menjawab.”Ya." Sahabat yang keempat mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selagi napasnya belum sampai ke tenggorokannya.
    Sa’id ibnu Mansur meriwayatkannya dari Ad-Darawardi, dari Zaid ibnu Aslam, dari Abdur Rahman ibnus Salmani, lalu ia menyebutkan hadis yang hampir sama dengan hadis ini.

    Hadis lain.

    قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ، حَدَّثَنَا عَوْف، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِين، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ يَقبل تَوْبَة عَبْدِهِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ"

    Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Usman ibnul Haisam, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Muhammad ibnu Sirin dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulllahh Saw bersabda: Sesungguhnya Allah menerima tobat hamba-Nya selagi nyawa si hamba belum sampai ke tenggorokannya.

    Hadis-hadis mursal dalam hal ini .

    قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ عَوْف، عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: بَلَغَنِي أنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "إنَّ اللَّهَ يَقْبلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغرْ"

    Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Auf. dari Al-Hasan. telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba sebelum nyawanya sampai ke tenggorokannya.
    Hadis ini berpredikat mursal lagi hasan, dari Al-Hasan Al-Basri.
    Ibnu Jarir mengatakan pula:

    حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ زِيَادٍ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ بُشَيْرِ بْنِ كَعْبٍ؛ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغرْ"

    telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar. telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, dari Al-Ala ibnu Ziyad, dari Abu Ayyub Basyir ibnu Ka'b, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selagi nyawanya belum sampai ke tenggorokannya.
    Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari Said. dari Qatadah, dari Ubadah ibnus Samit, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, lalu Ibnu Jarir mengetengahkan hadis yang semisal dengan hadis di atas.

    Hadis lain.

    Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar. telah menceritakan kepada kami Abu Daud. telah menceritakan kepada kami Imran, dari Qatadah yang menceritakan bahwa ketika kami sedang berada di rumah Anas ibnu Malik yang saat itu terdapat pula Abu Qilabah, maka Abu Qilabah bercerita bahwa sesungguhnya Allah Swt. ketika melaknat iblis, si iblis meminta kepada Allah penangguhan sejenak. lalu iblis berkata.”Demi keagungan-Mu aku tidak akan keluar dari kalbu anak Adam selagi di dalam tubuhnnya masih ada rohh." Maka Allah Swt. berfirman.”Demi keagungan-Ku. Aku tidak akan menutup pintu tobat baginya selagi didalam tubuhnya masih ada roh."
    Hal ini disebutkan di dalam sebuah hadis marfu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya melalui jalur Amr ibnu Abu Amr dan Abul Haisam Al-Atwari; keduanya dari Abu Sa'id, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

    "قَالَ إِبْلِيسُ: وعِزَّتِك لَا أزَالُ أُغْوِيهم مَا دَامَتْ أرْوَاحهُمْ فِي أَجْسَادِهِمْ. فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا أَزَالُ  أغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُوني"

    Iblis berkata, "Wahai Tuhanku, demi keagungan-Mu, aku akan terus-menerus menyesatkan mereka (Bani Adam) selagi roh mereka masih ada dalam tubuhnya." Maka Allah Swt. berfirman, "Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku akan terus memberikan ampunan bagi mereka selagi mereka meminta ampun kepada-Ku."
    Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa barang siapa bertobat kepada Allah Swt.. sedangkan dia berharap masih dapat hidup, maka sesungguhnya tobatnya diterima. Karena itulah Allah Swt. berfirman:

    {فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا}

    maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 17)
    Bila ia merasa putus harapan untuk dapat hidup dan menyaksikan kedatangan malaikat pencabut nyawa, roh telah sampai di tenggnrokannya, dadanya terasa sesak. dan roh mencapai halqam-nya. napasnya mulai naik ke atas lebih dari itu sampai di galasim. Maka tiada tobat yang diterima saat itu, dan pintu tobat telah tertutup baginya. Karena itulah Allah Swt. berfirman:

    {وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ}

    Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, "Sesungguhnya saya bertobat sekarang." (An-Nisa: 18)
    Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:

    فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنا قالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

    Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, "Kami beriman kepada Allah saja." (Al-Mu’min: 84)
    Juga semakna dengan apa yang diputuskan oleh Allah Swt., yaitu pintu tobat bagi penduduk bumi ditutup apabila mereka melihat niatahari terbit dari arah barat. Hal ini disebutkan melalui firman-Nya:

    {يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا}

    Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. (Al-An’am: 158)
    Ibnu Abbas, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati, sedangkan mereka di dalam kekafiran. (An-Nisa: 18) Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik.

    قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ مَكْحُولٍ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ نُعَيْمٍ حَدَّثَهُ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ سَلْمَانَ: أَنَّ أَبَا ذَرٍّ حَدَّثَهُمْ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ عَبْدِه -أَوْ يَغْفِرُ لِعَبْدِهِ-مَا لَمْ يَقَعِ الحِجَاب". قِيلَ: وَمَا وُقُوع الْحِجَابِ؟ قَالَ: "أَنْ تَخرجَ النَّفْسُ وَهِيَ مُشْرِكة"

    Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Sauban, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Makhul; Umar ibnu Na'im pernah menceritakan kepadanya bahwa Abu Zar pernah menceritakan kepada mereka bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya Allah masih menerima tobat hamba-Nya —atau masih memberikan ampunan bagi hamba-Nya— selagi hijab belum diturunkan. Ketika ditanyakan kepada beliau mengenai makna hijab tersebut. maka beliau Saw. menjawab: (Yaitu di saat) roh (akan) keluar, sedangkan ia dalam keadaan musyrik.
    Untuk itu Allah Swt. berfirman:

    {أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا}

    Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (An-Nisa: 18)
    Yakni siksaan yang pedih, sangat keras, lagi abadi.

    An-Nisa, ayat 19-22 

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّساءَ كَرْهاً وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً (19) وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدالَ زَوْجٍ مَكانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتاناً وَإِثْماً مُبِيناً (20) وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضى بَعْضُكُمْ إِلى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثاقاً غَلِيظاً (21) وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آباؤُكُمْ مِنَ النِّساءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كانَ فاحِشَةً وَمَقْتاً وَساءَ سَبِيلاً (22)

    Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

    Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil. telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad telah menceritakan kepada kami Asy-Syaibani, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas —Asy-Syaibani mengatakan bahwa hadis ini diketengahkan pula oleh Abul Hasan As-Sawa-i, yang menurut dugaannya tidak sekali-kali ia menuturkannya melainkan dari Ibnu Abbas— sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. Ibnu Abbas mengatakan bahwa di masa lalu apabila ada seorang lelaki dari kalangan mereka meninggal dunia, maka para wali si mayat adalah orang yang lebih berhak terhadap diri istri si mayat. Dengan kata lain, jika sebagian dari mereka menyukainya, maka ia boleh mengawininya; dan jika tidak suka, maka mereka boleh mengawinkannya; dan jika mereka menginginkan agar istri si mayat tidak kawin, maka mereka boleh tidak mengawinkannya. Pada garis besarnya mereka lebih berhak terhadap diri istri si mayat daripada keluarga si istri. Lalu Allah menurunkan ayat ini. yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai'. wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19)
    Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari, Imam Abu Daud. Imam Nasai. Ibnu Murdawaih, dan Ibnu Abu Hatim melalui hadis Abu Ishaq Asy-Syaibani yang nama aslinya adalah Sulaiman ibnu Abu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Abul Hasan As-Sawa-i yang nama aslinya ialah Ata Kufi yang tuna netra, keduanya menerima hadis ini dari Ibnu Abbas, seperti yang telah disebutkan di atas.
    Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Sabit Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku ali ibnu Husain, dari ayahnya. dari Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbbas sehubungan dengan firman-Nya: tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (An-Nisa: 19) Demikian itu karena di masa lalu seorang lelaki mewarisi istri kerabatnya, lalu ia bersikap selalu menyusahkannya hingga si istri meninggal dunia atau (baru dibebaskan) bila si istri mau mengembalikan maskawinnya. Maka Allah memberikan ketentuan hukum mengenai hal tersebut, yakni melarang perbuatan itu.
    Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, tetapi diriwayatkan pula oleh yang lain yang bukan hanya satu orang, dari Ibnu Abbas hal yang semisal.
    Waki' meriwayatkan dari Sufyan, dari Ali ibnu Nadimah, dari Miqsarn, dari ibnu Abbas, bahwa dahulu di masa Jahiliah ada seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. lalu datanglah seorang lelaki yang melemparkan bajunya kepada si Wanita itu. Maka si lelaki tersebutlah yang lebih berhak terhadap diri wanita itu Lalu turunlah firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa.  (An-Nisa: 19)
    Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19) Apabila seorang lelaki mati meninggalkan anak perempuan, maka kerabat terdekatnya melemparkan baju kepada si perempuan itu, maka dia berhak mencegahnya dikawini oleh orang lain. Jika si perempuan itu cantik dan ia suka, maka ia mengawininya; tetapi jika si perempuan bertampang tidak cantik, ia mengurungnya hingga mati, lalu ia mewarisinya.
    Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dahulu di masa Jahiliah apabila ada seorang kerabatnya yang meninggal dunia, maka ia melemparkan baju kepada istri si mayat. Dengan demikian, dialah yang mewarisi nikahnya dan tidak boleh orang lain menikahinya. Ia dapat saja mengurungnya di dalam rumah hingga istri si mayat membayar tebusan kepadanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19)
    Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa dahulu penduduk Yasrib (Madinah) di masa Jahiliah, apabila ada seorang lelaki dari kalangan mereka yang mati, istrinya ikut diwaris oleh orang yang mewarisi hartanya. Lalu si pewaris menyusahkannya hingga ia mewarisi hartanya atau menikahkannya dengan orang yang ia kehendaki. Dahulu penduduk Tihamah seorang lelaki dari kalangan mereka biasa memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang baik hingga ia menceraikannya, tetapi dengan syarat 'hendaknya si istri tidak kawin kecuali dengan lelaki yang disetujuinya, sebelum si istri membayar tebusan kepadanya dengan sebagian dari maskawin yang pernah diberikannya'. Maka Allah melarang orang-orang mukmin melakukan perbuatan tersebut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
    Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Muhammad ibnu Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, dari ayahnya yang telah menceritakan bahwa ketika Abu Qais ibnul Aslat meninggal dunia, anak lelakinya bermaksud mengawini istri (ibu tiri)nya. Hal ini di masa Jahiliah berlaku di kalangan mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya: tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19)
    Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Muhammad Ibnu Fudail dengan lafaz yang sama. Kemudian ia meriwayatkan pula melalui jalur Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Ata pernah bercerita kepadanya, "Di masa lalu orang-orang Jahiliah itu apabila ada seorang lelaki meninggal dunia dan meninggalkan istri, maka si istri dikurung oleh keluarga si mayat dan dipaksa mengasuh seorang bayi yang ada di kalangan mereka (keluarga si mayat)." Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19) hingga akhir ayat.
    Ibnu Juraij mengatakan, Mujahid pernah mengatakan bahwa dahulu bila ada seorang lelaki meninggal dunia, maka anak laki-lakinya lebih berhak terhadap istrinya. Dengan kata lain, ia boleh mengawininya jika si istri itu bukan ibunya; atau boleh pula menikahkannya dengan siapa yang disukai anaknya, baik dengan saudaranya ataupun anak saudaranya.
    Ibnu Juraij mengatakan, Ikrimah pernah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Kabisyah binti Ma'an ibnu Asim ibnul Aus yang suaminya (yaitu Abu Qais ibnul Aslat) meninggal dunia, lalu anak (tiri)nya mencintainya. Maka Kabisyah datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak dapat mewaris harta suamiku dan tidak pula dibiarkan nikah dengan orang lain." Maka Allah menurunkan ayat ini.
    As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, bahwa dahulu di masa Jahiliah bila seorang wanita ditinggal mati suaminya, maka wali suaminya datang dan melemparkan baju kepadanya. Jika si mayat mempunyai seorang anak lelaki yang masih kecil atau seorang saudara laki-laki. maka si wali mengurung wanita itu hingga si anak dewasa atau si wanita itu mati. Lalu anak mewarisinya. Tetapi jika si wanita melarikan diri ke rumah keluarganya dan belum sempat dilempari baju, beratii ia selamat. Maka Allah menurunkan firman-Nya: tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19)
    Mujahid mengatakan sehubungan dengan ayat ini. bahwa dahulu ada seorang lelaki yang dalam asuhannya terdapat seorang anak yatim perempuan. sedangkan ia menjadi wali dari anak perempuan yatim itu, maka ia mengurungnya dengan harapan kalau istrinya mati nanti ia mengawininya, atau mengawinkannya dengan anak laki-lakinya sendiri. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
    Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, Ata ibnu Abu Rabah, Abu Mijlaz, Ad-Dahhak, Az-Zuliri, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan lial yang semisal.
    Menurut kami ayat ini mengandung makna yang umum mencakup semua perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliah, juga mencakup apa yang disebut oleh Mujahid serta orang-orang yang mendukungnya serta semua perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan hal tersebut.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ}

    dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19)
    Janganlah kalian dalam mempergauli mereka menyusahkan mereka yang pada akhirnya mereka membiarkan kamu mengambil apa yang telah kamu serahkan kepada mereka sebagai maskawinnya, atau mengambil sebagiannya, atau salah satu hak mereka yang ada padamu, atau sesuatu dari hal tersebut karena kalian ambil dari mereka dengan cara paksa dan menimpakan mudarat terhadap mereka.
    ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena Artinya. janganlah kalian memaksa mereka. karena hendak mengambil kembali sebagian dan apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19) Seorang lelaki yang mempunyai istri, sedangkan dia tidak menyukainya, padahal dia telah membayar maskawin kepadanya. maka ia bersikap menyusahkan dirinya dengan tujuan agar si istri menebus kebebasannya dengan maskawin yang telah dibayarkan kepadanya dari dia. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh para ulama dan bukan hanya seorang. Inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
    Ibnul Mubarak dan Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, telah menceritakan kepadaku Sammak ibnul Fadl, dan lbnu Salmani yang menceritakan bahwa salali satu dari kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan kebiasaan di zaman Jahiliah, sedangkan yang lainnya diturunkan berkenaan dengan apa yang terjadi di masa (permulaan) Islam. Abdullah lbnul Mubarak mengatakan, yang dimaksud ialah firman-Nya: Tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19) Yakni seperti yang biasa terjadi di masa Jahiliah. dan janganlah kalian menyusahkan mereka. (An-Nisa: 19) Seperti yang terjadi pada jaman permulaan Islam.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

     {إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ}

    terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. (An-Nisa: 19)
    Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab. Asy-Sya'bi. Al-Hasan Al-Basri, Muhammad ibnu Sirin. Said ibnu Jubair. Mujahid. lkrimah, Ata Al-Khurraaani. Ad-Dahhak. Abu Qilabah, Abu Saleh, As-Saddi. Zaid ibnu Aslam. dan Sa'id ibnu Abu Hilal inengatakan, yang dimaksud dengan fahisyah atau perbuatan keji ini adalah perbuatan zina.
    Dengan kata lain, bila si istri berbuat zina, maka kamu boleh mengambil kembali darinya maskawin yang telah kamu berikan kepadanya, misalnya kamu bersikap menyusahkannya hingga ia membiarkan maskawin itu diambil olehmu dan meminta khulu' darimu. Seperti pengertian yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya:

    وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلَّا أَنْ يَخافا أَلَّا يُقِيما حُدُودَ اللَّهِ

    Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuasu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya kha watir tidak akan dapat menegakkan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.
    Ibnu Abbas, Ikrimah, dan Ad-Dahhak rnengatakan bahwa perbuatan keji yang nyata adalah membangkang dan durhaka.
    Sedangkan Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan keji yang nyata mencakup semuanya, yakni zina dan durhaka, membangkang dan bermulut kotor. serta lain-lainnya. Dengan kata lain, reaksi seperti itu dari istri membolehkan pihak suami bersikap menyusahkannya agar si istri membebaskan seluruh haknya atau sebagiannya yang ada pada tanggungan suaminya, lalu si suami menceraikannya. Pendapat ini dinilai cukup baik.
    Dalam pembahasan yang lalu terdapat sebuah asar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid (menyendiri) melalui jalur Yazid An-Nahwi. dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak men-ambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. (An-Nisa: 19) Ibnu Abbas mengatakan bahwa demikian itu karena di masa lalu seorang lelaki mewarisi istri kerabatnya yang meninggal dunia, lalu ia bersikap menyusahkannya hingga istri si mayat mati atau mengembalikan maskawin kepadanya. Maka Allah memutuskan perbuatan-tersebut, yakni melarangnya.
    Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan. hal ini memberikan pengertian bahwa konteks seluruh ayat ini berkaitan dengan apa yang biasa dilakukan di masa Jahiliah. Tetapi Allah melarang kaum muslim mengerjakannya dalam masa Islam.
    Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan, kebiasaan bersikap menyusahkan istri ini biasa dialami orang-orang Quraisy di Mekah. Seorang lelaki dari kalangan mereka mengawini seorang wanita yang terhormat. manakala terjadi pihak istri tidak cocok dengan suaminya itu. maka si suami mau menceraikannya dengan syarat bahwa si istri tidak boleh kawin lagi kecuali dengan seizinnya. Untuk itu pihak suami mendatangkan beberapa orang saksi, kemudian mencatat syarat tersebut atas diri si istri, lalu dipersaksikan. Bilamana datang seorang pelamar dan si istri memberi bekas suaminya serta membuatnya puas dengan jalan yang diterimanya. barulah bekas' suami mengizinkannnya.. Karena itu, maka turunlah firman-Nya: dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19). hingga akhir ayat.
    Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19) Bahwa sikap menyusahkan dalam ayat ini semakna dengan pengertian yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah (ayat 229).
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ}

    Dan bergaullah dengan mereka secara patut. (An-Nisa: 19)
    Bertutur sapa dengan baiklah kalian kepada mereka, dan berlakulah dengan baik dalam semua perbuatan dan penampilan kalian terhadap mereka dalam batas yang sesuai dengan kemampuan kalian. Sebagaimana kalian pun menyukai hal tersebut dari mereka, maka lakukan olehmu hal yang semisal terhadap mereka. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

    وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

    Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (Al-Baqarah: 228)
    Rasulullah Saw. pernah bersabda:

    «خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي»

    Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik perlakuan kalian kepada istrinya, sedangkan aku adalah orang yang paling baik kepada istriku di antara kalian.
    Tersebutlah bahwa termasuk akhlak Nabi Saw. dalam mempergauli istri ialah beliau orang yang sangat baik dalam bergaul, selalu gembira, sering bermain dengan istrinya. dan bersikap lemah lembut kepada mereka, memberi mereka kelapangan dalam nafkah serta gemar bersenda gurau. Hingga pernah beliau berlomba lari dengan Siti Aisyah Ummul Mukminin r.a. sambil bercengkerama dan berkasih mesra dengannya.
    Siti Aisyah r.a. mengatakan adakalanya Rasulullah menang atas diriku dan adakalanya aku yang menang. demikian itu terjadi sebelum aku bertubuh gemuk. Setelah aku bertubuh gemuk dan mendahuluinya. maka beliau menyusulku seraya mengatakan : 'Kali ini sebagai balasan dari kekalahan yang tadi"."
    Rasulullah Saw. selalu mengumpulkan semua istrinya setiap malam di dalam satu rumah yang merupakan malam giliran beliau. lalu adakalanya beliau makan malam bersama-sama mereka. Setelah itu masing-masing istri kembali ke tempatnya sendiri-sendiri (kecuali yang digilir oleh beliau Saw.).
    Nabi Saw. tidur dengan salah seorang istrinya dalam satu kemah, dan beliau terlebih dahulu meletakkan kain selendangnya, lalu tidur dengan memakai kain sarung.
    Nabi Saw. bila telah melakukan salat Isya dan masuk ke dalam rumahnya, terlebih dahulu begadang sebentar bersama keluarganya sebelum tidur; hal itu beliau lakukan untuk mengakrabkan diri dengan mereka. Allah Swt. telah berfirman:

    {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ}

    Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian ( Al-Ahzab 21)
    Mengenai hukum-hukum mempergauli wanita dan hal-hal yang berkaitan dengannya, pembahasannya secara rinci dapat dijumpai dalam kitab-kitab yang membahas masalah-masalah hukum (kitab-kitab fiqih).
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلُ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا}

    kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena barangkali kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An-Nisa: 19)
    Dengan kata lain, barangkali sikap sabar kalian memegang mereka tetap menjadi istri kalian —padahal kalian tidak suka kepada mereka— mengandung kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan akhirat.
    Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini; yang dimaksud ialah hendaknya si suami tetap berlemah lembut kepada istrinya (yang tidak ia sukai itu), maka pada akhirnya ia akan dianugerahi seorang anak dari istrinya, dan dari anaknya itu ia mendapatkan kebaikan yang banyak.
    Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:

    «لَا يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ سَخِطَ مِنْهَا خُلُقًا رضي منها آخر»

    Seorang lelaki mukmin jangan membenci wanita mukminah, jika ia tidak menyukai suatu akhlak darinya. maka ia senang dengan akhlaknya yang lain darinya.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا}

    Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (An-Nisa: 20)
    Jika seseorang di antara kalian ingin menceraikan seorang istri dan menggantikannya dengan istri yang lain, maka janganlah ia mengambil darinya maskawin yang pernah ia berikan kepadanya di masa lalu barang sedikit pun, sekalipun apa yang telah ia berikan kepadanya berupa harta yang banyak.
    Dalam surat Ali Imran telah kami sebutkan penjelasan mengenai pengertian qintar ini dengan penjelasan yang cukup. hingga tidak perlu diulangi lagi di sini.
    Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan boleh memberikan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak. Akan tetapi, Khalifah Umar ibnul Khattab pernah melarang mengeluarkan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian beliau mencabut kembali larangannya itu.

    قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ عَلْقَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرين، قَالَ: نُبِّئْت عَنْ أَبِي العَجْفَاء السُّلميِّ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ: أَلَا لَا تُغْلُوا فِي صَداق النِّسَاءِ، فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ تَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ كَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا أصْدَقَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ، وَلَا أُصدِقَت امْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ أَكْثَرَ مِنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّة، وَإِنْ كَانَ الرَّجُلُ ليُبْتَلَى بصَدُقَةِ امْرَأَتِهِ حَتَّى يَكُونَ لَهَا عَدَاوَةٌ فِي نَفْسِهِ، وَحَتَّى يَقُولَ: كَلِفْتُ إِلَيْكِ عَلَق القِرْبة

    Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Alqamah, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar dari Abul Ajfa As-Sulami yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Khalifah Umar ibnul Khattab berkata, "Ingatlah, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam bermaskawin terhadap wanita, karena sesungguhnya seandainya maskawin itu merupakan kemuliaan di dunia atau suatu ketakwaan di sisi Allah, niscaya Nabi Saw. lebih mendahuluinya daripada kalian. Rasulullah Saw. tidak pernah memberikan maskawin kepada seorang pun dari istri-istrinya, tidak pula seorang wanita pun dari anak perempuannya menerima maskawin dalam jumlah yang lebih dari dua belas auqiyah. Sesungguhnya seorang lelaki itu benar-benar akan mendapat ujian karena maskawin istrinya, hingga ia mempunyai rasa permusuhan terhadap istrinya dalam dirinya dan hingga ia mengatakan, "Aku terpaksa menggantungkan qirba-ku untuk mendapatkanmu."
    Kemudian hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan melalui berbagai jalur dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abul Aufa yang nama aslinya ialah Haram ibnu Sayyib Al-Basri.
    Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih.

    Jalur yang lain dari Umar r.a.

    قَالَ الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا أَبِي، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الْمُجَالِدِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ مَسْرُوقٍ، قَالَ: رَكِبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْبَرَ رَسُولِ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، مَا إِكْثَارُكُمْ فِي صُدُق النِّسَاءِ وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأصحابه وإنماالصدقات فِيمَا بَيْنَهُمْ أَرْبَعُمِائَةِ دِرْهَمٍ فَمَا دُونَ ذَلِكَ. وَلَوْ كَانَ الْإِكْثَارُ فِي ذَلِكَ تَقْوًى عِنْدَ اللَّهِ أَوْ كَرَامَةً لَمْ تَسْبِقُوهُمْ إِلَيْهَا. فَلا أعرفَنَّ مَا زَادَ رَجُلٌ فِي صَدَاقِ امْرَأَةٍ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ قَالَ: ثُمَّ نَزَلَ فَاعْتَرَضَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالَتْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، نَهَيْتَ النَّاسَ أَنْ يَزِيدُوا النِّسَاءَ صَدَاقَهُمْ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ؟ قَالَ: وَأَيُّ ذَلِكَ؟ فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ: {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا [فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا] } [النساء: 20] قال: فقال: اللَّهُمَّ غَفْرًا، كُلُّ النَّاسِ أَفْقَهُ مِنْ عُمَرَ. ثُمَّ رَجَعَ فَرَكِبَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ أَنْ تَزِيدُوا النِّسَاءَ فِي صَدَاقِهِنَّ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ مَالِهِ مَا أَحَبَّ.

    Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Khaisamah. telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami ayahku. dari Ibnu Ishaq. telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdur Rahman, dari Khalid ibnu Sa'id, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab menaiki mimbar Rasulullah Saw., kemudian berkata, "Hai manusia, mengapa kalian berbanyak-banyak dalam mengeluarkan maskawin untuk wanita, padahal dahulu Rasulullah Saw. dan para sahabatnya membayar maskawin mereka di antara sesama mereka hanya empat ratus dirham atau kurang dari itu. Seandainya memperbanyak maskawin merupakan ketakwaan di sisi Allah atau suatu kemuliaan, niscaya kalian tidak akan dapat mendahului mereka dalam hal ini. Sekarang aku benar-benar akan mempermaklumatkan, hendaknya seorang lelaki jangan membayar maskawin kepada seorang wanita dalam jumlah lebih dari empat ratus dirham." Masruq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Khalifah Umar turun dari mimbarnya, tetapi ada seorang wanita dari kalangan Quraisy mencegatnya dan mengatakan kepadanya, "Wahai Amirul Mu’minin, engkau melarang orang-orang melebihi empat ratus dirham dalam maskawin mereka?" Khalifah Umar menjawab, "Ya." Wanita itu berkata.”Tidakkah engkau mendengar apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam Al-Qur'an?" Khalifah Umar bertanya, "Ayat manakah yang engkau maksudkan?" Wanita itu menjawab, "Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Allah Swt. telah berfirman: 'sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak' (An-Nisa: 20), hingga akhir ayat." Maka Khalifah Umar berkata.”Ya Allah, ampunilah aku sesungguhnya orang ini lebih pandai daripada Umar." Kemudian Khalifah Umar kembali menaiki mimbar, dan berkata.”Hai manusia sekalian. sesungguhnya aku telah melarang kalian melebihi empat ratus dirham dalam membayar maskawin wanita. Sekarang barang siapa yang ingin memberi mahar dari hartanya menurut apa yang disukainya, ia boleh melakukannya."
    Abu Ya'la mengatakan, "Menurut dugaan kuatku, Umar r.a. mengatakan, 'Barang siapa yang suka rela (memberi mahar dalam jumlah yang lebih dari empat ratus dirham), ia boleh melakukannya'." Sanad asar ini dinilai jayyid (baik) lagi kuat.

    Jalur yang lain.

    قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ رَبِيعٍ، عَنْ أَبِي حُصَيْنٍ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: لَا تُغَالُوا فِي مُهُورِ النِّسَاءِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: لَيْسَ ذَلِكَ لَكَ يَا عُمَرُ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: "وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا مِنْ ذَهَبٍ". قَالَ: وَكَذَلِكَ هِيَ فِي قِرَاءَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ: "فَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا" فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّ امْرَأَةً خَاصَمَتْ عُمَرَ فَخَصَمَتْهُ

    Ibnul Munzir mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, dari Abdur Razzau. dari Qais Ibnu Rabi', dari Abu Husain. dari Abu Abdur Rahman As-Sulami yang menceritakan bahwa Khalifah Umar Ibnu Khattab pernah mengatakan, "Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam membayar maskawin wanita." Lalu ada seorang wanita berkata, "Tidaklah demikian, hai Umar, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: 'Sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak' (An-Nisa: 20)."  Yang dimaksud dengan qintar ialah emas yang banyak. Abu Abdur Rahman As-Sulami mengatakan, "Demikian pula menurut qiraah Abdullah ibnu Mas'ud, yakni seqintar emas. Maka janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun." Kemudian Khalifah Umar berkata, "Sesungguhnya seorang wanita telah mendebat Umar, ternyata wanita itu dapat mengalahkannya."

    Jalur lain dari Umar terdapat inqita (rawi yang terputus).

    Az-Zubair ibnu Bakkar mengatakan, telah menceritakan kepadaku pamanku Mus'ab ibnu Abdullah, dari kakekku yang telah menceritakan bahwa Khalifah Umar pernah mengatakan.”Janganlah kalian berlebihan dalam membayar maskawin Wanita. sekalipun wanita yang dimaksud adalah anak perempuan Zul Qussah (yakni Yazid ibnul Husain Al-Harisi). Dan barang siapa yang berlebihan, maka selebihnya diberikan ke Baitul Mal" Maka ada seorang wanita jangkung dari barisan kaum wanita —yang pada hidungnya terdapat anting-anting— mengatakan, "Itu tidak ada hak bagimu." Khalifah Umar bertanya, "Mengapa?" Wanita itu menjawab bahwa Sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak. (An-Nisa: 20), hingga akhir ayat. Maka Umar berkata, "Seorang wanita benar, dan seorang lelaki keliru." Karena itulah Allah Swt. berfirman dengan nada mengingkari: Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. (An-Nisa: 21)
     Maksudnya bagaimana kalian tega mengambil kembali maskawin dari wanita. padahal kamu telah bergaul dan bercampur dengannya; dan ia pun telah bergaul dan bercampur denganmu. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, As-Saddi, dan ulama lainnya, yang dimaksud dengan 'bergaul' di sini ialah bersetubuh.
    Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada dua orang yang melakukan li’an, sesudah keduanya selesai dari sumpah li'an-nya:

    "اللَّهُ يَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ. فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ" ثَلَاثًا. فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَالِي -يَعْنِي: مَا أُصْدِقُهَا -قَالَ: "لَا مَالَ لَكَ إِنْ كُنْتَ صدَقْت عَلَيْهَا فَهُوَ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا وَإِنْ كُنْتَ كَذَبْتَ عَلَيْهَا فَهُوَ أَبْعَدُ لَكَ مِنْهَا

    Allah mengetahui bahwa salah satu dari kalian berdua ada yang dusta, maka adakah di antara kamu yang man bertobat? Nabi Saw. mengucapkan kalimat ini sebanyak tiga kali. Maka si lelaki berkata, "Wahai Rasulullah. bagaimanakah dengan hartaku —yakni maskawin yang telah diberikan?" Nabi Saw bersabda: Kamu tidak mempunyai harta itu lagi, jika kamu telah memberikannya sebagai maskawin, maka hal itu sebagai imbalan dari apa yang telah engkau halalkan dari farjinya. Dan jika kamu adalah orang yang berdusta terhadapnya (istrimu), maka harta itu lebih jauh lagi bagimu dan lebih dekat kepadanya.
    Di dalam kitab Sunan Abu daud dan lain-lain diriwayatkan dari Nadrah ibnu Abu Nadrah. Bahwa ia pernah kawin dengan seorang wanita yang masih perawan yang berada dalam pingitannya. Tetapi ternyata tiba-tiba wanita itu sudah hamil. Lelaki itu datang kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Nabi Saw. memutuskan bahwa pihak lelaki tetap harus membayar maskawin kepada wanita itu, lalu beliau Saw. menceraikan keduanya dan memerintahkan agar si wanita dihukum dera.
    Lalu beliau Saw. bersabda:

    «الْوَلَدُ عَبْدٌ لَكَ.فَالصَّدَاقُ فِي مُقَابَلَةِ الْبُضْعِ»

    Anak ini adalah budakmu, dan maskawin itu sebagai ganti dari al-bud'u (farji).
    Maka dari itulah disebutkan di dalam firman-Nya:

    {وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ}

    Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. (An-Nisa: 21)
    *******************
    Firman Allah SWT:

    {وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا}

    Dan mereka (istri-istri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat. (An-Nisa: 21)
    Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Sa'id ibnu Jubair, bahwa yang dimaksud dengan misaq atau perjanjian ialah akad nikah.
    Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firnun-Nya: Dan mereka (istri-istri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat. (An-Nisa: 21) Yang dimaksud dengan mislaqan galizan ialah memegang dengan cara yang patut atau melepaskan dengan cara yang baik.
    Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid. Abul Aliyah. Al-Hasan, Qatadah, Yahya ibnu Abu Kasir, Ad-Dahhak, dan As-Saddi hal yang semisal.
    Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan ayat ini, bahwa yang dimaksud ialah kalian telah menjadikan mereka istri-istri kalian dengan amanat dari Allah dan kalian  telah  menghalalkan  farji  mereka  dengan  menyebut  kalimah Allah. Karena sesungguhnya kalimah Allah itu adalah membaca syahadat dalam khotbah nikah.
    Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
    Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Jabir tentang khotbah haji wada’, bahwa Nabi Saw. di dalamnya antara lain mengatakan:

    "وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُروجهن بِكَلِمَة اللَّهِ"

    Berwasiatlah kalian dengan kebaikan sehubungan dengan wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil (memperistri) mereka dengan amanat dari Allah dan kalian halalkan farji mereka dengan menyebut kalimah Allah.
    *******************
    Firman Allah Swt:

    {وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا }

    Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. (An-Nisa: 22). hingga akhir ayat.
    Allah mengharamkan istri-istri para ayah sebagai penghormatan buat mereka, dan memuliakan serta menghargai mereka agar janganlah istri-istri mereka dikawini (oleh anak-anak tirinya). Sehingga istri ayah diharamkan bagi seorang anak hanya setelah si ayah melakukan akad nikah dengannya. Hal ini merupakan suatu perkara yang telah disepakati oleh semuanya.

    قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سَوَّار، عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ: لَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو قَيْس -يَعْنِي ابْنَ الْأَسْلَتِ-وَكَانَ مِنْ صَالِحِي الْأَنْصَارِ، فَخَطَبَ ابنَه قَيْسٌ امْرَأَتَهُ، فَقَالَتْ: إِنَّمَا أعُدُّكَّ وَلَدًا وَأَنْتَ مِنْ صَالِحِي قَوْمِكَ، وَلَكِنْ آتِي  رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْتَأْمِرُهُ. فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقالت: إِنَّ أَبَا قَيْسٍ تُوفِّي. فَقَالَ: "خَيْرًا". ثُمَّ قَالَتْ: إِنَّ ابْنَهُ قَيْسًا خَطَبَنِي وَهُوَ مِنْ صَالِحِي قَوْمِهِ. وَإِنَّمَا كُنْتُ أَعُدُّهُ وَلَدًا، فَمَا تَرَى؟ فَقَالَ لَهَا: "ارْجِعِي إِلَى بَيْتِكِ". قَالَ: فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ {وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ [إِلا مَا قَدْ سَلَفَ] }

    Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi’, telah menceritakan kepada kami Asy'as ibnu Siwar, dari Addi ibnu Sabit, dari seorang lelaki dari kalangan Ansar yang menceritakan bahwa tatkala Abu Qais (yakni Ibnul Aslat, salah seorang yang saleh dari kalangan Ansar) meninggal dunia, anak lelakinya melamar bekas istrinya. Lalu si istri berkata, "Sebenarnya aku menganggapmu sebagai anak, dan engkau termasuk orang yang saleh di kalangan kaummu. Tetapi aku akan datang terlebih dahulu kepada Rasulullah Saw Istri Ibnu Aslat berkata: sesungguhnya Abu Qais telah meninggal dunia." Nabi Saw. Bersabda, ”Baik." Si istri bertanya.”Sesungguhnya anak lelakinya (yaitu Qais) melamarku, sedangkan dia adalah seorang yang saleh dari kalangan kaumnya, dan sesungguhnya aku menganggapnya sebagai anak. Bagaimanakah menurut pendapatmu?" Nabi Saw. bersabda, "Kembalilah kamu ke rumahmu." Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayah kalian. (An Nisa:22) hingga akhir ayat.
    Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Husain, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayah kalian, terkecuali pada masa yang telah lampau. (An-Nisa: 22) ia mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Qais ibnul Aslat yang meninggalkan Ummu Ubaidillah (yaitu Damrah). Di masa lalu Damrah adalah bekas istri ayahnya. diturunkan berkenaan dengan Al-Aswad ibnu Khalaf yang mempunyai istri bekas istri ayahnya sendiri, yaitu anak perempuan At-Talhah ibnu Abdul Uzza ibnu Usman ibnu Abdud Dar. Juga diturunkan berkenaan dengan Fakhitah (anak perempuan Al-Aswad ibnul Muttalib ibnu Asad) yang dahulunya adalah istri Umayyah ibnu Khalaf. Setelah Umayyah ibnu Khalaf meninggal dunia, maka bekas istrinya itu dikawini oleh anak lelaki Umayyah (yaitu Safwan ibnu Umayyah). As-Suhaili menduga mengawini istri ayah (yakni ibu tiri) diperbolehkan di masa Jahiliah.
    Karena itulah maka disebutkan di dalam firman-Nya:

    {إِلا مَا قَدْ سَلَفَ}

    kecuali pada masa lampau.
    Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

    {وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ}

    dan (diharamkan bagi kalian) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.  (An-Nisa: 23)
    As-Suhaili mengatakan bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh Kinanah ibnu Khuzaimah; ia pernah kawin dengan bekas istri ayahnya, lalu dari perkawinannya itu lahirlah An-Nadr Ibnu Kinanah. As-Suhaili mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

    "وُلِدتُ مِنْ نِكاحٍ لَا مِنْ سِفَاحٍ".

    Aku dilahirkan dari hasil nikah, bukan dari sifah (perkawinan di masa Jahiliah).
    As-Suhaili mengatakan, "Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan seperti itu diperbolehkan bagi mereka di masa Jahiliah, dan mereka menganggap hal tersebut sebagai suatu perkawinan."
    Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Qurad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Jahiliah di masa lampau mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah, kecuali istri ayah dan menghimpun dua perempuan bersaudara dalam satu perkawinan. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian kawini wanita yarg telah dikawini oleh ayah kalian. (An-Nisa: 22); dan (diharamkan bagi kalian) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara. (An-Nisa: 23)
    Hal yang sama dikatakan oleh Ata dan Qatadah.
    Akan tetapi, apa yang dinukil oleh As-Suhaili sehubungan dengan kisah Kinanah masih perlu dipertimbangkan (kesahihannya).
    Dengan alasan apa pun hal tersebut tetap diharamkan bagi umat ini dan merupakan perbuatan yang sangat keji. Karena itulah Allah Swt. berfirman:

    {إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا}

    Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (An-Nisa: 22)
    *******************
    Allah Swt. berfirman:

    {وَمَقْتًا}

    dan dibenci Allah. (An-Nisa: 22)
    Yaitu dibenci. Dengan kata lain, perbuatan tersebut memang suatu dosa besar, yang akibatnya akan membuat si anak benci kepada ayahnya sesudah ia mengawini bekas istri ayahnya. Karena pada galibnya (pada umumnya) setiap orang yang mengawini seorang wanita janda selalu membenci bekas suami istrinya. Karena itulah maka Umma-hatul Mukminin (istri-istri Nabi Saw.) diharamkan atas umat ini, karena kedudukan mereka sama dengan ibu dan karena mereka adalah istri-istri Nabi Saw. yang kedudukannya sebagai bapak dari umat ini, bahkan hak Nabi Saw. lebih besar daripada para ayah, menurut kesepakatan semuanya. Bahkan cinta kepada Nabi Saw. harus didahulukan di atas kecintaan kepada orang lain.
    Ata ibnu Abu Rabbah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan dibenci Allah. (An-Nisa: 22) Maksudnya, perbuatan yang dibenci oleh Allah Swt. dan seburuk-buruk jalan. (An-Nisa: 22) Yakni merupakan jalan yang paling buruk bagi orang yang menempuhnya. Barang siapa yang melakukan perbuatan tersebut sesudah adanya larangan ini. berarti dia telah murtad dari agamanya dan dikenai hukuman mati serta hartanya menjadi harta fa'i diserahkan ke Baitul Mal.
    Imam Ahmad dan ahlus sunan meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Al-Barra ibnu Azib, dari pamannya (yaitu Abu Burdah) —menurut riwayat yang lain Ibnu Umar— dan menurut riwayat yang lainnya lagi dari paman dari pihak ayahnya. Disebutkan bahwa Rasulullah Sav.. pernah mengutusnya kepada seorang lelaki yang mengawini istri ayahnya sesudah ayahnya meninggal dunia. Perintah Nabi Saw. menginstruksikan kepadanya untuk menghukum mati lelaki tersebut dan menyita harta bendanya.
    Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Asy'as, dari Aildi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan, "Pamanku bersua denganku, yakni Al-Haris ibnu Umair yang saat itu memimpin sejumlah pasukan yang kepemimpinannya diarahkan kepada pamanku." Maka aku bertanya.”Hai paman. ke manakah Nabi Saw. mengutusmu?" Pamanku menjawab, "'Beliau mengutusku kepada seorang lelaki yang telah mengawini bekas istri ayahnya. Nabi Saw. memerintahkan kepadaku agar memancungnya.'

    MASALAH

    Para ulama sepakat mengharamkan wanita yang pernah disetubuhi oleh seorang ayah, baik melalui nikah atau hamba sahaya (pemilikan) atau wati syubhat (persetubuhan secara keliru).
    Tetapi mereka berselisih pendapat mengenai wanita yang pernah digauli oleh ayah dengan syahwat. tetapi bukan persetubuhan; atau dipandangnya bagian-bagian tubuh yang tidak halal bagi si ayah sekiranya wanita itu adalah wanita lain (bukan mahramnya).

    An-Nisa, ayat 23

    {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) }

    Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak kalian yang perempuan; saudara-saudara kalian yang perempuan, saudara-saudara bapak kalian yang perempuan; saudara-saudara ibu kalian yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara lelaki kalian: anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian: ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara sepersusuan kalian; ibu-ibu istri kalian (mertua) anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istri kamu itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

    Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang mengharamkan mengawini wanita mahram dari segi nasab dan hal-hal yang mengikutinya, yaitu karena sepersusuan dan mahram karena menjadi mertua, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim.
    Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman ibnu Mahdi, dari Sufyan ibnu Habib, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Telah diharamkan bagi kalian tujuh wanita dari nasab dan tujuh wanita karena mertua (hubungan perkawinan)." Lalu ia membacakan firman-Nya: Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat.
    Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu Yahya ibnu Said, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ismail ibnu Raja, dari Umair maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diharamkan tujuh orang karena nasab dan tujuh orang pula karena sihrun (kerabat karena perkawinan). Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak kalian yang perempuan: saudara-saudara kalian yang perempuan; saudara-saudara bapak kalian yang perempuan: saudara-saudara ibu kalian yang perempuan: anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kalian: dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan kalian ( An-Nisa: 23)
    Mereka adalah mahram dari nasab.
    Jumhur ulama menyimpulkan dalil atas haramnya anak perempuan yang terjadi akibat air mani zina bagi pelakunya berdasarkan keumuman makna firman-Nya: dan anak-anak perempuan kalian. (An-Nisa: 23)
    Walaupun bagaimana keadaannya, ia tetap dianggap sebagai anak perempuan, sehingga pengertiannya termasuk ke dalam keumuman makna ayat. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad ibnu Hambal.
    Menurut riwayat dari Imam Syafii, boleh mengawininya, mengingat anak tersebut bukan anak perempuannya menurut syara'. Sebagaimana pula ia (anak perempuan tersebut) tidak termasuk ke dalam pengertian firman-Nya: Allah telah menyariatkan bagi kalian tentang pembagian pusaka. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (An-Nisa: 11)
    Dengan alasan apa pun ia tidak dapat mewaris menurut kesepakatan. Maka ia pun tidak termasuk ke dalam pengertian ayat ini (An-Nisa:23).
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ}

    Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan sepersusuan kalian. (An-Nisa: 23)
    Sebagaimana diharamkan atas kamu mengawini ibu kamu yang telah melahirkanmu, maka diharamkan pula atas dirimu mengawini ibumu yang telah menyusukanmu.
    Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui hadis Malik ibnu Anas, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari Amrah binti Abdur Rahman, dari Siti Aisyah Ummul Mukminin, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

    «إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ»

    Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan mahram sebagaimana mahram karena kelahiran.
    Menurut lafaz Imam Muslim disebutkan:

    "يَحْرُم مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُم مِنَ النَّسَبِ"

    Diharamkan karena persusuan hal-hal yang diharamkan karena nasab.
    Sebagian kalangan ulama fiqih mengatakan bahwa semua hal yang diharamkan karena hubungan nasab. diharamkan pula karena hubungan persusuan, kecuali dalam empat gambaran. Sebagian dari mereka mengatakan enam gambaran. Semuanya itu disebutkan di dalam kitab-kitab furu' (fiqih).
    Akan tetapi, menurut penelitian disimpulkan bahwa tidak ada sesuatu pun dari hal tersebut yang dikecualikan, mengingat dijumpai persamaan sebagiannya dalam nasab, sedangkan sebagian yang lain sebenarnya diharamkan karena ditinjau dari segi kekerabatan karena nikah. Untuk itu, sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan oleh hadis menurut kaidah asalnya.
    Kemudian para imam berbeda pendapat mengenai bilangan penyusuan yang dapat menyebabkan mahram. Sebagian di antara mereka berpendapat, dinilai menjadi mahram hanya dengan penyusuan saja karena berdasarkan keumuman makna ayat ini. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, dan diriwayatkan dari Ibnu Umar. Pendapat ini pulalah yang dikatakan oleh Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, dan Az-Zuhri.
    Ulama lainnya mengatakan bahwa tidak menjadikan mahram bila persusuan kurang dari tiga kali, karena berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam kitab Sahih Muslin: melalui jalur Hasyim ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

    "لَا تُحرِّم المصةُ وَالْمَصَّتَانِ"

    Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.
    Qatadah meriwayatkan dari Abul Khalil, dari Abdullah ibnul Haris, dari Ummul Fadl yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

    «لَا تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ وَلَا الرَّضْعَتَانِ، وَالْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ»

    Tidak menjadikan mahram sekali persusuan, dan (tidak pula) dua kali persusuan; juga sekali sedotan, serta tidak pula dua kali sedotan.
    Menurut lafaz yang lain disebutkan:

    "لَا تُحَرِّمُ الإمْلاجَة وَلَا الْإِمْلَاجَتَانِ"

    Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.
    Hadis riwayat Imam Muslim.
    Di antara ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, dan Abu Sur. Hadis ini diriwayatkan pula dari Ali, Siti Aisyah. Ummul Fadl, Ibnuz Zubair, Sulaiman ibnu Yasar. dan Sa'id ibnu Jubair.
    Ulama lainnya berpendapat. tidak dapat menjadikan mahram persusuan yang kurang dari lima kali, karena berdasarkan kepada hadis yang terdapat di dalam kitab Sahih Muslim melalui jalur Malik, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Urwah, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa dahulu termasuk di antara ayat Al-Qur'an yang diturunkan ialah firman-Nya: Sepuluh kali persusuan yang telah dimaklumi dapat menjadikan mahram.Kemudian hal ini dimansukh oleh lima kali persusuan yang dimaklumi. Lalu Nabi Saw. wafat, sedangkan hal tersebut termasuk bagian dari Al-Qur'an yang dibaca.
    Diriwayatkan dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah hal yang semisal.
    Di dalam hadis Sahlah (anak perempuan Suhail) disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan kepadanya agar menyusukan Salim maula Abu Huzaifah sebanyak lima kali persusuan.
    Disebutkan bahwa Siti Aisyah selalu memerintahkan kepada orang yang menginginkan masuk bebas menemuinya agar menyusu lima kali persusuan kepadanya terlebih dahulu. Hal inilah yang dikatakan oleh Imam Syafi’i dan murid-muridnya.
    Kemudian perlu diketahui bahwa hendaknya masa persusuan harus dilakukan dalam usia masih kecil, yakni di bawah usia dua tahun, menurut pendapat jumhur ulama. Pembahasan mengenai masalah ini telah kami kemukakan di dalam surat Al-Baqarah, yaitu pada tafsir firman-Nya:

    {يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ}

    Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. (Al-Baqarah: 233)
    Kemudian para ulama berselisih pendapat kemahraman akibat air susu dari pihak ayah persusuan. seperti yang dikatakan oleh kebanyakan penganut Imam yang empat dan lain-lainnya: ataukah persusuan mengakibatkan mahram hanya dari pihak ibu persusuan dan tidak merembet sampai kepada pihak ayah persusuan seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf. Semuanya dihubungkan dengan masalah ini ada dua pendapat. Pembahasan masalah ini secara rinci hanya didapat pada kitab-kitab fiqih.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ}

    ibu-ibu istri kalian (mertua kalian); anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya. (An-Nisa: 23)
    Adapun mengenai mertua perempuan, ia langsung menjadi mahram begitu si lelaki mengawini anak perempuannya baik ia telah menggaulinya maupun belum menggaulinya.
    Mengenai anak tiri perempuan (yakni anak istri), hukumnya masih belum dikatakan mahram sebelum orang yang bersangkutan menggauli ibunya. Jika si lelaki yang bersangkutan terlebih dahulu menceraikan ibunya sebelum digauli, maka diperbolehkan baginya mengawini anak perempuan bekas istrinya yang belum digauli itu. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (An-Nisa: 23)
    Ketentuan ini hanya khusus bagi anak tiri saja. Akan tetapi, sebagian ulama memahami kembalinya damir kepada ummahat dan rabaib. Ia mengatakan bahwa tiada seorang pun dari istri dan tiada pula dari anak tiri dikatakan menjadi mahram hanya dengan sekadar melakukan akad nikah dengan salah seorangnya, sebelum si lelaki yang bersangkutan menggaulinya. Karena berdasarkan kepada firman-Nya:  tetapi jika kamu belum bercampur dengan mereka (salah seorang dari istri dan anak tirimu) itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (An-Nisa: 23)
    Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi dan Abdul Alaa, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Jallas ibnu Amr, dari Ali r.a. sehubungan dengan seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu menceraikannya sebelum menggaulinya, apakah si lelaki yang bersangkutan boleh mengawini ibu si wanita itu? Ali r.a. menjawab bahwa ibu si wanita itu sama kedudukannya dengan rabibah (anak tiri perempuan).
    Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar. telah menceritakan kepada kami Yahya. dari Qatadah. dari Said ibnul Musayyab, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, “Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya sebelum mengaulinya. tidak ada dosa baginya jika ia mengawini ibu bekas istrinya itu."
    Menurut riwayat yang lain, dari Qatadah, dari Sa’id, dari Zaid ibnu Sabit, ia pernah mengatakan, "Apabila si istri mati dan si suami menerima warisannya, maka makruh baginya menggantikannya dengan ibunya. Tetapi jika si suami terlebih dahulu menceraikannya sebelum menggaulinya. jika ia suka boleh mengawini ibunya "
    Ibnul Munzir mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari Abdur Razzaq, dan Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Abu Bakar ibnu Hafs telah menceritakan kepadanya dari Muslim ibnu Uwaiinir Al-Ajda", bahwa Bakr ibnu Kinanah pernah menceritakan kepadanya bahwa ayahnya menikahkan dirinya dengan seorang wanita di Taif. Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, "Wanita tersebut tidak kugauli sehingga pamanku meninggal dunia, meninggalkan Utrima yang juga adalah ibu si wanita itu, sedangkan ibunya adalah wanita yang memiliki harta yang banyak." Ayahku berkata (kepadaku), "Maukah engkau mengawini ibunya?" Bakr ibnu Kinanah mengatakan. Lalu aku bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai masalah tersebut. Ternyata ia berkata, 'Kawinilah ibunya!'." Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ia bertanya kepada Ibnu Umar. Maka ia menjawab, "Jangan kamu kawini dia." Setelah itu aku ceritakan apa yang dikatakan oleh keduanya (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar). Lalu ayahku menulis surat kepada Mu'awiyah yang isinya memberitakan apa yang dikatakan oleh keduanya. Mu'awiyah menjawab, "Sesungguhnya aku tidak berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, tidak pula mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Kamu tinggalkan saja masalah tersebut, karena wanita selainnya cukup banyak." Dalam jawabannya itu Mu'awiyah tidak melarang —tidak pula mengizinkan— aku melakukan hal tersebut. Lalu ayahku berpaling meninggalkan ibu si wanita itu dan tidak jadi menikahkannya (denganku).
    Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Sammak ibnul Fadl, dari seorang lelaki, dari Abdulllah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa rabibah (anak tiri) dan ibunya sama saja, boleh dinikahi salah satunya jika lelaki yang bersangkutan masih belum menggauli istrinya. Akan tetapi, di dalam sanad riwayat ini terkandung misteri.
    Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ikrimah ibnu Kalid (Khalid), bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: ibu-ibu istri kalian (mertua), dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian. (An-Nisa: 23) Makna yang dimaksud ialah bila menggauli kedua-duanya.
    Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Zaid ibnu Sabit, Abdullah ibnuz Zubair, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, dan Ibnu Abbas. Sedangkan Mu’awiyah bersikap abstain (diam) dalam masalah ini.
    Orang-orang dari kalangan mazhab Syafii yang berpendapat demikian ialah Abul Hasan Ahmad As-Sabuni menurut apa yang dinukil oleh Imam Rafi'i dari Al-Abbadi. Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud hal yang semisal, tetapi setelah itu ia mencabut kembali pendapatnya.
    Imam Tabrani mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Ad-Duburi. telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari As-Sauri, dari Abu Farwah. dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Ibnu Mas'ud, bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani Kamakh dari Fazzarah mengawini seorang wanita. lalu ia melihat ibu istrinya dan ternyata menyukainya. Kemudian lelaki itu meminta fatwa Ibnu Mas'ud, maka Ibnu Mas'ud memerintahkan kepadanya agar segera menceraikan istrinya, lalu boleh kawin dengan ibu istrinya. Dari perkawinan itu ia memperoleh banyak anak. Kemudian Ibnu Mas'ud datang ke Madinah, dan ada orang yang menanyakan masalah tersebut. maka ia mendapat berita bahwa hal tersebut tidak halal. Ketika ia kembali ke Kufah. berkatalah ia kepada lelaki tadi, "Sesungguhnya istrimu itu haram bagimu." lalu si lelaki menceraikan istrinya.
    Jumhur ulama berpendapat bahwa rabibah tidak menjadikan mahram hanya karena melakukan akad nikah dengan ibunya. lain halnya dengan ibu; sesungguhnya rabibah langsung menjadi mahramnya setelah ia melakukan akad nikah dengan ibunya.
    Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Haain ibnu Urwah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan. apabila seorang lelaki menceraikan istrinya sebelum ia menggauli (mencampuri)nya, atau si istri meninggal dunia (sebelum sempat ia menggaulinya), maka ibu istrinya tidak halal baginya.
    Menurut riwayat yang lain, Ibnu Abbas pernah mengatakan, "'Sesungguhnya masalah ini masih misteri." Maka ia memutuskan sebagai hal yang makruh.
    Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Imran ibnu Husain, Masaiq, Tawus, Ikrimah. Ata, Al-Hasan, Makhul, Ibnu Sirin, Qatadah, dan Az-Zuhri hal yang semisal.
    Pendapat inilah yang dianut oleh mazhab yang empat dan ulama fiqih yang tujuh orang, serta kebanyakan ulama fiqih, baik yang dahulu maupun yang sekarang.
    Ibnu Juraij mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah ibu (mertua) termasuk masalah yang mubham (misteri), karena sesungguhnya Allah tidak mensyaratkan adanya persetubuhan dengan mereka (ibu-ibu mertua). Lain halnya dengan masalah ibu-ibu anak tiri perempuan, dalam masalah ini persyaratan adanya persetubuhan ditetapkan.
    Menurut kesepakatan hujah yang tidak dapat dibantah lagi, ditetapkan hal yang sama (yaitu adanya syarat bersetubuh).
    Telah diriwayatkan pula suatu hadis yang berpredikat garib mengenai hal tersebut dan di dalam sanadnya masih perlu dipertimbangkan. Hadis itu adalah apa yang telah diceritakan kepadaku oleh Ibnul Musanna.

    حَدَّثَنَا حِبَّانُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، أَخْبَرَنَا الْمُثَنَّى بْنُ الصَّبَّاحِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جده عن النبي صلىالله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا نَكَحَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ أُمَّهَا، دُخِلَ بِالْبِنْتِ أَوْ لَمْ يُدْخَلَ، وَإِذَا تَزَوَّجَ الْأُمَّ فَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَإِنْ شَاءَ تَزَوَّجَ الِابْنَةَ

    Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hibban ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna ibnus Sabbah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila seorang lelaki mengawini seorang wanita, maka tidak halal baginya mengawini ibu wanita itu, baik ia telah menggaulinya atau masih belum menggaulinya. Dan apabila ia kawin dengan ibu si wanita, lalu ia tidak menggaulinya dan menceraikannya, maka jika ia suka boleh kawin dengan anaknya.
    Ibnu Juraij mengatakan bahwa hadis ini —sekalipun di dalam sanad-nya terkandung sesuatu yang perlu dipertimbangkan— sesungguhnya menurut kesepakatan hujah menunjukkan keabsahan pendapat ini, hingga sudah dianggap cukup tanpa mengambil dalil dari selainnya dan tanpa bergantung kepada kesahihan hadis tersebut.
    *******************
    Adapun mengenai firman-Nya:

    {وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ}

    anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu. (An-Nisa: 23)
    Menurut pendapat jumhur ulama anak tiri hukumnya haram dinikahi, tanpa memandang apakah anak tersebut berada dalam pemeliharaan lelaki yang bersangkutan ataupun tidak. Mereka mengatakan bahwa khitab seperti ini dinamakan ungkapan yang memprioritaskan umum, dan tidak mengandung hukum pengertian apa pun. Perihalnya sama dengan firman-Nya:

    {وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا}

    Dan janganlah kalian paksa budak-budak kalian melakukan pelacuran. Sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur: 33)
    Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Ummu Habibah pernah berkata:

    يَا رَسُولَ اللَّهِ، انْكِحْ أُخْتِي بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ -وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ: عَزَّةَ بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ-قَالَ: "أَوْ تُحِبِّينَ ذَلِكَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، لَسْتُ لَكَ بمُخْليَة، وَأَحَبُّ مَنْ شَارَكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي. قَالَ: "فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَحل لِي". قَالَتْ: فَإِنَّا نُحَدثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ. قَالَ بنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ؟ " قَالَتْ نَعَمْ. قَالَ: إِنَّهَا لَوْ لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حِجْرِي مَا حَلَّتْ لِي، إِنَّهَا لَبِنْتُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ، أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَة فَلَا تَعْرضْن عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلَا أَخَوَاتِكُنَّ". وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: "إِنِّي لَوْ لَمْ أَتَزَوَّجْ أُمَّ سَلَمَةَ مَا حَلَّتْ لِي"

    "Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku. yaitu anak perempuan Abu Sufyan." - Menurut lafaz Imam Muslim yang dimaksud adalah Izzah binti Abu Sufyan - Nabi Saw. menjawab, "Apakah kamu suka hal tersebut?" Ummu Habibah menjawab, "Ya. Aku tidak akan membiarkanmu, dan aku ingin agar orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan adalah saudara perempuanku sendiri." Nabi Saw. Menjawab: ”Sesungguhnya hal tersebut tidak halal bagiku." Ummu Habibah berkata. '"Sesungguhnya kami para istri sedang membicarakan bahwa engkau bermaksud akan mengawini anak perempuan Abu Salamah." Nabi Saw. bertanya: Anak perempuan Ummu Salamah?" Ummu Habibah menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya dia jikalau bukan sebagai rabibah yang ada dalam pemeliharaanku, ia tetap tidak halal (dikawin) olehku. Sesungguhnya dia adalah anak perempuan saudara lelaki sepersusuanku. Aku dan Abu Salamah disusukan oleh Suwaibah. Maka janganlah kalian menawarkan kepadaku anak-anak perempuan kalian, jangan pula saudara-saudara perempuan kalian. Menurut riwayat Imam Bukhari disebutkan seperti berikut: Sesungguhnya aku sekalipun tidak mengawini Ummu Salamah, ia (anak perempuan Abu Salamah) tetap tidak halal bagiku.
    Dalam hadis ini kaitan pengharaman dihubungkan dengan perkawinan beliau Saw. dengan Ummu Salamah, dan memutuskan hukum sebagai mahram hanya dengan penyebab tersebut.
    Hal inilah yang dipegang oleh empat orang Imam dan tujuh orang ulama fiqih serta jumhur ulama Salaf dan Khalaf.
    Memang ada suatu pendapat yang mengatakan tidak ada faktor yang menyebabkan rabibah menjadi mahram kecuali jika si rabibah berada dalam pemeliharaan orang yang bersangkutan. Jika si rabibah bukan berada dalam pemeliharaannya, maka rabibah bukan termasuk mahram.
    Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Ibnu Yusuf), dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ubaid ibnu Rifa’ah, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Aus ibnul Hadsan yang mengatakan, "Dahulu aku mempunyai seorang istri, lalu ia meninggal dunia, sedangkan sebelum itu ia telah punya seorang anak perempuan, dan aku menyukainya. Ketika Ali ibnu Abu Talib bersua denganku, ia bertanya, 'Mengapa kamu?' Aku menjawab, 'Istriku telah meninggal dunia.' Ali bertanya, 'Apakah dia punya anak perempuan?' Aku menjawab, 'Ya, dan tinggal di Taif.' Ali bertanya, 'Apakah dahulunya ia berada dalam pemeliharaanmu?' Aku menjawab, 'Tidak, tetapi ia tinggal di Taif." Ali berkata, 'Kawinilah dia'. Aku berkata, 'Bagaimanakah dengan firman-Nya yang mengatakan: anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian.  (An-Nisa: 23). Ali berkata, 'Sesungguhnya dia bukan berada dalam pemeliharaanmu. Sebenarnya ketentuan tersebut jika ia berada dalam pemeliharaanmu'."
    Sanad asar ini kuat dan kukuh hingga sampai kepada Ali ibnu Abu Talib dengan syarat Muslim. Akan tetapi Pendapat ini  garib (aneh) sekali. Pendapat inilah yang dipegang oleh Daud Ibnu Ali Az-Zahiri dan semua muridnya, diriwayatkan oleh Abul Qasim Ar-Rafi'i. Dipilih oleh Ibnu Hazm.
    Guruku Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi menceritakan kepadaku bahwa masalah ini pernah diajukan kepada Imam Taqi’ud Din Ibnu Taimiyyah, maka dia menganggap masalah ini sulit dipecahkan dan ia bersikap diam terhadapnya.
    Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Al-Asram, dari Abu Ubaidah sehubungan dengan firman-Nya: yang dalam pemeliharaan kalian. (An-Nisa: 23) Yakni di dalam rumah-rumah kalian.
    Sehubungan dengan rabibah dalam kasus milkul yamin (budak perempuan yang diperistri), Imam Malik ibnu Anas meriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah ditanya mengenai masalah seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya adalah budak, kemudian salah seorang digauli sesudah menggauli yang lainnya. Maka Khalifah Umar berkata, "Aku tidak suka memperbolehkan keduanya digauli." ia bermaksud bahwa ia tidak mau menggauli keduanya lewat milkul yamin. Asar ini munqati'.
    Sunaid ibnu Daud mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Tawus, dari Tariq ibnu Abdur Rahman, dari Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah seorang lelaki boleh menggauli seorang wanita dan anak perempuan yang kedua-duanya adalah budak miliknya?" Ia menjawab.”Keduanya dihalalkan oleh suatu ayat, tetapi keduanya diharamkan oleh ayat yang lain dan aku tidak akan melakukan hal tersebut."
    Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama, bahwa tidak halal bagi seorang lelaki menggauli seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya dari milkul yamin (budak perempuan). Karena sesung-guhnya Allah Swt. mengharamkan hal tersebut dalam nikah melalui firman-Nya: ibu-ibu istri kalian (mertua) dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri kalian yang telah kalian campuri. (An-Nisa: 23) Milkul Yamin menurut mereka diikutkan ke masalah nikah, kecuali apa yang diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Abbas. Tetapi pendapat tersebut tidak pernah diikuti oleh seorang imam pun dari kalangan ulama ahli fatwa, tidak pula selain mereka.
    Hisyam meriwayatkan dari Qatadah, bahwa anak perempuan rabibah dan anak perempuannya hingga terus ke bawah tidak layak (digauli secara bersamaan) di kalangan banyak kabilah. Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah, dari Abul Aliyah.
    *******************
    Makna firman-Nya:

    {اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ}

    dari istri kalian yang telah kalian campuri. (An-Nisa: 23)
    Yaitu telah kalian nikahi. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
    Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata. bahwa yang dimaksud dengan dukhlah ialah bila si istri menyerahkan dirinya dan si suami membuka serta meraba-raba dan duduk di antara kedua pangkal pahanya. Aku bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu jika si lelaki melakukan hal itu di rumah keluarga istrinya?" Ata menjawab, "Sama saja. hal itu sudah cukup membuat anak perempuan si istri menjadi mahramnya."
    Ibnu Jarir mengatakan menurut kesepakatan ulama khalwat seorang lelaki dengan istrinya tidak menjadikan mahram anak perempuan si istri bagi si lelaki. jika si lelaki ternyata menceraikan istrinya sebelum mencampuri dan menyetubuhinya.
    Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa memandang kemaluan si istri dengan nafsu berahi tertentu yang menunjukan pengertian bahwa si lelaki telah sampai kepada istrinya melalui jimak (hal ini cukup menjadikan mahram anak perempuan istri bagi si suami).
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    {وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ}

    dan istri-istri anak kandung kalian (menantu)
    Maksudnya diharamkan bagi kalian mengawini istri-istri anak kalian yang lahir dari tulang sulbi kalian (anak kandung). Hal ini untuk mengecualikan anak angkat yang biasa digalakkan di masa Jahiliah. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

    فَلَمَّا قَضى زَيْدٌ مِنْها وَطَراً زَوَّجْناكَها لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْواجِ أَدْعِيائِهِمْ

    Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka. (Al-Ahzab: 37), hingga akhir ayat.
    Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata mengenai makna firman-Nya: dan istri-istri anak kandung kalian. (An-Nisa: 23) Kami pernah menceritakan —hanya Allah yang lebih mengetahui— bahwa ketika Nabi Saw. mengawini istri Zaid, orang-orang musyrik di Mekah memperbincangkan hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: dan istri-istri anak kandung kalian. (An-Nisa: 23); dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian. (Al-Ahzab: 4); Turun pula firman-Nya:  Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian. (Al-Ahzab: 40)
    Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Muqaddami, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, dari Al-Asy'as, dari Al-Hasan ibnu Muhammad, bahwa ayat-ayat berikut mengandung makna yang mubham (tidak jelas), yaitu firman-Nya: dan istri-istri anak kandung kalian (An-Nisa: 23) serta firman-Nya: ibu-ibu istri kalian (mertua). (An-Nisa: 23)
    Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Tawus, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan Mak-hul hal yang semisal.
    Menurut kami, makna mubham maksudnya umum mencakup wanita yang telah digauli dan yang belum digauli; maka hal tersebut menjadikan mahram hanya sekadar melakukan akad nikah dengannya. Hal inilah yang telah disepakati.
    Jika dikatakan bahwa dari segi apakah menjadi mahram istri anak sepersusuannya, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama. Tetapi sebagian ulama meriwayatkan masalah ini sebagai suatu ijma', padahal dia bukan dari tulang sulbinya (bukan anak kandung sendiri).
    Sebagai jawabannya dapat dikemukakan sabda Nabi Saw. yang mengatakan:

    "يَحْرُم مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ".

    Diharamkan karena rada (persusuan) hal-hal yang diharamkan karena nasab.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ

    dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua wanita yang bersaudara kecuali yang telah terjadi di masa lampau. (An-Nisa: 23). hingga akhir ayat.
    Diharamkan atas kalian menghimpun dua orang wanita yang bersaudara dalam suatu perkawinan. Hal yang sama dikatakan pula sehubungan dengan milkul yamin (yakni terhadap budak perempuan). Kecuali apa yang telah terjadi di masa Jahiliah, maka Kami memaafkan dan mengampuninya.
    Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh menggabungkan dua wanita yang bersaudara di masa mendatang. karena dikecualikan oleh ayat hal-hal yang telah terjadi di masa silam. Pengertiannya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

    {لَا يَذُوقُونَ فِيهَا الْمَوْتَ إِلا الْمَوْتَةَ الأولَى}

    mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati yang pertama (ketika di dunia). (Ad-Dukhan: 56)
    Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak akan merasakan mati lagi di dalamnya untuk selama-lamanya  (yakni mereka hidup kekal di dalamnya).
    Para ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam —baik yang terdahulu maupun yang sekarang— sepakat bahwa diharamkan menghimpun dua wanita yang bersaudara dalam perkawinan. Barang siapa yang masuk Islam, sedangkan dia mempunyai dua orang istri yang bersaudara, maka ia diharuskan memilih salah satunya saja dan menceraikan yang lainnya, tanpa bisa ditawar-tawar lagi.
    Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abu Wahb Al-Jusyani, dari Ad-Dahhak ibnu Fairuz, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ketika masuk Islam, ia dalam keadaan mempunyai dua orang istri yang bersaudara. Maka Nabi Saw. memerintahkannya agar menceraikan salah seorangnya.
    Kemudian Imam Ahmad, Imam Turmuzi. dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Luhai'ah. Imam Abu Daud dan Imam Tumiuzi mengetengahkannya pula melalui hadis Yazid ibnu Abu Habib, keduanya menerima hadis ini dari Abu Wahb Al-Jusyani —Imam Turmuzi mengatakan bahwa Aba Wahb nama aslinya adalah Dulaim ibnul Hausya'—, dari Ad-Dahhak ibnu Fairuz Ad-Dailami, dari ayahnya dengan lafaz yang sama.
    Menurut lafaz yang diketengahkan oleh Imam Tumiuzi. lalu Nabi Saw. bersabda:

    "اخْتَرْ أَيَّتَهُمَا شِئْتَ"

    Pilihlah salah seorang di antara keduanya yang kamu sukai.
    Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.

    قَالَ ابْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَحْيَى بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الْخَوْلَانِيُّ حَدَّثَنَا هَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي فَرْوة عَنْ رُزَيق بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ، عَنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ تَحْتِي أُخْتَيْنِ؟ قَالَ: "طَلق أَيَّهُمَا شِئْتَ"

    Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yahya ibnu Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya Al-Khaulani. telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, dari Ishaq ibnu Abdullah ibnu Abu Farwah, dari Zur ibnu Hakim, dari Kasir ibnu Murrah. dari Ad-Dailami yang menceritakan: Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai istri dua wanita yang bersaudara." Beliau bersabda, "Ceraikanlah salah seorangnya yang kamu kehendaki."
    Ad-Dailami yang disebut pertama adalah Ad-Dahhak ibnu Fairuz Ad-Dailami, seorang sahabat. Dia termasuk salah seorang amir di Yaman yang mendapat tugas untuk membunuh Al-Aswad Al-Anasai, seseorang yang mengaku dirinya menjadi nabi: semoga Allah melaknatnya.
    Menghimpun dua wanita bersaudara ke dalam milkul yamin hukumnya haram berdasarkan keumuman makna ayat.
    Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Abdullah ibnu Abu Anabah atau Atabah, dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan, maka Ibnu Mas'ud tidak menyukai hal tersebut. Si penanya mengemukakan kepadanya firman Allah Swt. yang mengatakan: Kecuali budak-budak yang kamu miliki. (An-Nisa: 24) Maka Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Ternak untamu termasuk apa yang dimiliki oleh tangan kananmu (milkul yamin-mu)."
    Demikianlah pendapat terkenal dari kebanyakan ulama dan empat orang Imam serta lainnya, sekalipun sebagian ulama Salaf ada yang tidak menanggapi masalah ini (tawaqquf).
    Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab. dari Qubaisah ibnu Zuaib, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Khalifah Usman ibnu Affan tentang dua wanita bersaudara dalam milkul yamin, apakah keduanya boleh dihimpun (yakni boleh digauli)? Maka Khalifah Usman menjawab, "Keduanya dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain, tetapi aku sendiri tidak berani melarang hal tersebut." Lelaki itu keluar dari hadapan Usman r.a., lalu bersua dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. ia bertanya kepadanya tentang masalah itu, kemudian sahabat Nabi Saw. berkata, "Seandainya dirinya mempunyai kekuasaan. lalu ia menjumpai seseorang melakukan hal tersebut. niscaya ia benar-benar akan menghukumnya." Imam Malik mengatakan: Menurut Ibnu Syihab, yang dimaksud dengan lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw. itu adalah Ali ibnu Abu Talib." Imam Malik mengatakan, "Telah sampai kepadaku hal yang semisal dari Az-Zubair ibnul Awwam."
    Ibnu Abdul Barr An-Nimri mengatakan di dalam kitab Istizkar, sebenarnya Qubaisah ibnu Zuaib sengaja menyebut nama seorang le!aki dari sahabat Nabi Saw. —tanpa menyebut nama jelasnya yang sebenarnya adalah Ali ibnu Aba Talib— tiada lain karena ia adalah pengikut Abdul Malik ibnu Marwan – (yang tidak suka kepada Ali ibnu Abu Talib). Mereka merasa keberatan bila menyebut nama Ali ibnu Abu Talib r.a. dengan sebutan yang jelas.
    Kemudian Abu Umar mengatakan, telah menceritakan kepadaku Khalaf ibnu Ahmad secara qiraah, bahwa Khalaf ibnu Mutarrit pernah menceritakan kepada mereka, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Sulaiman dan Sa'id ibnu Sulaiman serta Muhammad ibnu Umar ibnu Lubabah; mereka mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Muqri, dari Musa ibnu Ayyub Al-Gafiqi, telah menceritakan kepadaku pamanku has ibnu Amir yang mengatakan, "Aku pernah berkata kepada Ali ibnu Abu Talib. Untuk itu aku katakan, 'Aku mempunyai dua saudara perempuan di antara budak-budak wanita yang kumiliki, lalu aku mempergundik salah seorangnya dan ia melahirkan untukku banyak anak. Kemudian aku senang kepada saudara perempuannya, apakah yang harus aku lakukan?' Ali ibnu Abu Talib r.a. menjawab. 'Kamu merdekakan budak wanita yang telah kamu campuri itu. kemudian kamu boleh menggauli yang lainnya." Aku berkata, "Akan tetapi. orang-orang (para ulama)  mengatakan  bahwa aku boleh  mengawininya dan menggauli yang lainnya." Ali ibnu Abu Talib berkata, 'Bagaimanakah menurutmu jika ia diceraikan oleh suaminya atau suaminya meninggal dunia, bukankah ia pasti kembali kepadamu? Sesungguhnya kamu memerdekakannya adalah jalan yang lebih selamat bagimu.' Kemudian Ali memegang tanganku dan berkata kepadaku, 'Sesungguhnya diharamkan atas kamu terhadap budak-budak milikmu hal-hal yang diharamkan di dalam Kitabullah terhadap wanita-wanita merdeka, kecuali poligami.' Atau Ali mengatakan, "Kecuali empat orang istri. dan diharamkan pula atas dirimu sehubungan dengan masalah persusuan hal-hal yang diharamkan di dalam Kitabullah sehubungan dengan nasab."
    Kemudian Abu Umar berkata bahwa asar ini merupakan hasil jerih payah perjalanan seorang lelaki. Dia tidak memperoleh dari kawasan Magrib yang terjauh dan Masyriq sampai ke Mekah kecuali hanya asar ini, yaitu ketika unta kendaraannya tidak dapat melanjutkan perjalanannya lagi.
    Menurut kami, asar ini diriwayatkan pula dari Ali dari Usman.
    Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Abbas, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnul Mubarak Al-Makhrami, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Ali ibnu Abu Talib pernah berkata kepadaku, "Keduanya diharamkan oleh satu ayat dan dihalalkan oleh ayat yang lain," yakni masalah kedua wanita yang bersaudara tadi. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka mengharamkan aku untuk mendekatkan diri dengan mereka, tetapi mereka tidak mengharamkan pendekatan sebagian mereka dengan sebagian yang lain, yaitu para hamba sahaya wanita. Dahulu orang-orang Jahiliah mengharamkan semua hal yang kalian haramkan —kecuali istri ayah (ibu tiri)— dan menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan. Setelah Islam datang, maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayah kalian, kecuali pada masa yang telah lampau. (An-Nisa: 22)
    Firman Allah Swt. yang mengatakan: dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. (An-Nisa: 23) Yakni dalam pernikahan.
    Selanjutnya Abu Umar mengatakan bahwa Imam Ahmad ibnu Hambal telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Hisyam. dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa diharamkan terhadap budak-budak wanita hal-hal yang diharamkan terhadap wanita-wanita merdeka. kecuali bilangan (poligami).
    Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Asy-Sya'bi hal yang semisal.
    Abu Umar mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dengan perkataan Khalifah Usman dari segolongan ulama Salaf, antara lain Ibnu Abbas. Akan tetapi, pendapat mereka berbeda dan tiada se-orang pun dari kalangan ulama fiqih kota-kota besar, Hijaz, Irak, dan semua negeri Timur yang ada di belakangnya serta negeri Syam dan negeri Magrib (Barat), kecuali orang yang berpendapat menyendiri dari jamaahnya karena mengikut kepada makna lahiriah dan meniadakan qiyas (analogi). Orang yang mengamalkan demikian secara terang-terangan harus dikucilkan bila kita berkumpul dengannya.
    Jamaah ulama fiqih sepakat, tidak halal menghimpun dua wanita bersaudara dengan menyetubuhi keduanya melalui milkul yamin, sebagaimana hal tersebut tidak dihalalkan dalam nikah.
    Ulama kaum muslim sepakat bahwa makna firman-Nya: Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, dan saudara-saudara perempuan kalian. (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat. Bahwa nikah dan milkul yamin terhadap mereka (yang disebut di dalam ayat ini) sama saja (ketentuan hukumnya). Demikian pula halnya merupakan suatu keharusan ketentuan hukum ini berlaku secara rasio dan analogi terhadap masalah menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan serta masalah ibu-ibu istri dan anak-anak tiri. Demikianlah pendapat yang berlaku di kalangan jumhur ulama, dan pendapat ini merupakan suatu hujah yang mematahkan alasan orang-orang yang berpendapat menyendiri dan berbeda.
    **************************************
    Akhir Tafsir Juz 4
    **************************************

    An-Nisa, ayat 24

    وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (24)

    dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian itu, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

    Firman Allah Swt.:

    وَالْمُحْصَناتُ مِنَ النِّساءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ

    dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)
    Diharamkan atas kalian mengawini wanita yang telah terpelihara kehormatannya, yakni telah bersuami. Kecuali budak-budak yang kalian miliki melalui tawanan perang, dihalalkan bagi kalian menggauli mereka bila terlebih dahulu kalian meng-istibra' -kan (membersihkan rahim) mereka terlebih dahulu, karena sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan hal tersebut.
    Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Usman Al-Batti, dari Abul Khalil, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan, "Kami pernah memperoleh tawanan perang dari tawanan Perang Autas, sedangkan mereka (wanita-wanita hasil tawanan) mempunyai suami. Maka kami tidak suka menggauli mereka karena mereka punya suami. Lalu kami bertanya kepada Nabi Saw., dan turunlah firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kalian miliki ' (An-Nisa: 24). Maka kami menghalalkan farji mereka."
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Ahmad ibnu Mani', dari Hasyim. Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri dan Syu'bah ibnul Hajjaj, ketiga-tiganya menerima hadis ini dari Usman Al-Batti.
    Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Asy'as ibnu Siwar, dari Usman Al-Batti. Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Syu'bah, dari Qatadah. Usman Al-Batti dan Qatadah menerima hadis ini dari Abul Khalil Saleh ibnu Abu Maryam, dari Abu Sa'id Al-Khudri.
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari Abu Sa'id Al-Khudri dengan lafaz yang sama.
    Diriwayatkan melalui jalur lain dari Abul Khalil, dari Abu Alqamah Al-Hasyimi, dari Abu Sa'id Al-Khudri. Untuk itu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari Abu Alqamah, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. memperoleh tawanan wanita dalam Perang Autas, sedangkan tawanan-tawanan wanita itu mempunyai suami yang musyrik. Tersebutlah bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. ada yang enggan dan merasa berdosa bila menggauli mereka. Maka turunlah ayat berikut sehubungan dengan peristiwa itu, yaitu firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui hadis Sa'id ibnu Abu Arubah. Imam Muslim dan Syu'bah menambahkan bahwa Imam Turmuzi meriwayatkannya dari hadis Hammam ibnu Yahya. Ketiga-tiganya menerima hadis ini dari Qatadah berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.”Aku merasa yakin tidak ada seorang pun yang menyebutkan Abu Alqamah dalam sanad hadis ini kecuali apa yang diutarakan oleh Hammam dari Qatadah," demikianlah menurut Imam Turmuzi. Ternyata hal ini diikuti oleh Sa'id dan Syu'bah.
    Imam Tabrani meriwayatkan melalui hadis Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tawanan Perang Khaibar, lalu Tabrani menuturkan kisah seperti yang diutarakan oleh Abu Sa'id.
    Segolongan ulama Salaf berpendapat, menjual budak wanita merupakan talak baginya dari suaminya, karena berdasarkan keumuman makna ayat ini.
    Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa ia pernah ditanya tentang masalah budak perempuan yang dijual, sedangkan budak perempuan itu mempunyai suami. Maka Ibrahim mengatakan, "Dahulu Abdullah pernah mengatakan bahwa menjualnya berarti sama saja dengan menceraikannya dari suaminya. Lalu Abdullah membacakan firman-Nya: 'dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki ' (An-Nisa: 24)."
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Mansur dan Mugirah dan Al-A'masy dari Ibrahim, dari ibnu Mas'ud yang telah mengatakan "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan menceraikannya." Asar ini munqati'.
    Sufyan As-Sauri meriwayatkannya dari Khulaid, dari Abu Qilabah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa budak perempuan apabila dijual dalam keadaan telah bersuami, maka tuan yang membelinya adalah orang yang lebih berhak terhadap farjinya.
    Sa'id meriwayatkannya dari Qatadah yang mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b, Jabir ibnu Abdullah, dan Ibnu Abbas mengatakan, "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan menceraikannya."
    Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Khulaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa perceraian budak perempuan ada enam (lima) perkara, yaitu: Menjualnya berarti menceraikannya, memerdekakannya berarti menceraikannya, menghibahkannya berarti menceraikannya, meng-istibra'-kannya berarti menceraikannya, dan diceraikan oleh suaminya berarti menceraikannya.
    Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab sehubungan dengan firman -Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami. (An-Nisa: 24) Bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita-wanita yang mempunyai suami, Allah mengharamkan mengawini mereka; kecuali budak-budak yang dimiliki olehmu, maka menjualnya berarti sama dengan menceraikannya. Ma'mar mengatakan bahwa Al-Hasan telah mengatakan hal yang semisal.
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)
    Apabila budak wanita mempunyai suami. lalu dijual, maka menjualnya sama dengan menceraikannya dari suaminya.
    Auf telah meriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa menjual budak perempuan sama dengan menceraikannya dari suaminya, dan menjual budak laki-laki sama dengan menceraikannya dari istrinya.
    Demikianlah pendapat yang dikatakan oleh ulama Salaf. Tetapi berbeda dengan mereka apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, baik yang terdahulu maupun yang kemudian; mereka berpendapat bahwa menjual budak perempuan bukan berarti menceraikannya dari suaminya. Dikatakan demikian karena pihak pembeli merupakan pengganti dari pihak penjual. Sedangkan pihak penjual sejak semula telah dikecualikan dari pemilikannya manfaat ini, lalu ia menjual si budak yang memegang manfaat ini.
    Mereka yang mengatakan demikian berpegang kepada hadis Barirah yang diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan kitab lainnya. Disebutkan bahwa Siti Aisyah Ummul Mukminin membeli Barirah, lalu memerdekakannya, sedangkan nikah Barirah dengan suaminya —Mugis— tetap utuh, tidak fasakh, melainkan Rasulullah Saw. menyuruhnya memilih antara fasakh dan tetap. Ternyata Barirah memilih fasakh. Kisah mengenai Barirah ini cukup terkenal.
    Disimpulkan dari hadis di atas, seandainya menjual budak perempuan adalah menceraikannya dari suaminya, seperti yang dikatakan mereka, niscaya Nabi Saw. tidak menyuruhnya memilih. Karena ternyata Nabi Saw. menyuruhnya memilih antara fasakh dan tetap, hal ini berarti menunjukkan bahwa nikahnya tetap utuh. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat tersebut khusus bagi wanita-wanita yang dihasilkan dari tawanan perang saja.
    Barangkali dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud dari firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami. (An-Nisa: 24) Yakni wanita-wanita yang terpelihara kehormatannya diharamkan bagi kalian sebelum kalian memiliki pegangannya melalui nikah, saksi-saksi, mahar, dan wali; seorang, dua orang, tiga orang, atau empat orang. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abul Aliyah, Tawus, dan selain keduanya.
    Umar dan Ubaid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami. (An-Nisa: 24) selain dari empat orang istri, haram bagi kalian (kawin lagi), kecuali budak-budak wanita yang kalian miliki (pergundikan, pent.).
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    كِتابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

    sebagai ketetapan (dari) Allah buat kalian. (An-Nisa: 24)
    Pengharaman ini adalah hukum Allah yang ditetapkan-Nya atas kalian. Yang dimaksud ialah empat istri. Maka berpeganglah kalian kepada ketetapan-Nya dan janganlah kalian menyimpang dari hukum-hukum-Nya, tetapilah syariat dan hukum-Nya.
    Ubaidah, Ata, dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman -Nya: sebagai ketetapan Allah atas kalian. (An-Nisa: 24) Yakni empat orang istri.
    Ibrahim mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: sebagai ketetapan Allah atas kalian. (An-Nisa: 24) Yaitu hal-hal yang diharamkan atas kalian.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَراءَ ذلِكُمْ

    Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian.  (An-Nisa: 24)
    Selain dari wanita-wanita mahram yang telah disebutkan, semuanya halal kalian kawini. Demikianlah menurut Ata dan lain-lainnya.
    Ubaidah dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian.  (An-Nisa: 24) Selain dari empat orang istri. Akan tetapi, pendapat ini jauh dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Ata tadi.
    Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian.  (An-Nisa: 24) Yaitu budak-budak wanita yang kalian miliki.
    Ayat ini merupakan dalil yang dijadikan hujah bagi orang yang mengatakan halal menghimpun dua wanita bersaudara dalam nikah. Juga oleh pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah tersebut dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسافِحِينَ

    (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk kalian kawini, bukan untuk berzina. (An-Nisa: 24)
    Kalian boleh mencari istri sebanyak empat orang dengan harta kalian, atau budak-budak wanita sebanyak yang kamu sukai melalui jalan yang diakui oleh syariat. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: untuk kalian kawini,  bukan untuk berzina.   (An-Nisa: 24)
    *******************
    Firman Allah Swt

    فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً

    Maka istri-istri yang telah kalian gauli di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. (An-Nisa: 24)
    Sebagaimana kalian telah memperoleh kesenangan dari mereka, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai imbalan hal tersebut. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

    وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضى بَعْضُكُمْ إِلى بَعْضٍ

    Bagaimana kalian mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain. (An-Nisa: 21)
    Sama dengan makna firman-Nya:

    وَآتُوا النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً

    Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.  (An-Nisa: 4)
    Seperti firman Allah Swt.:

    وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً

    Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka.   (Al-Baqarah: 229)
    Keumuman makna ayat ini dijadikan dalil yang membolehkan nikah mut'ah, dan tidak diragukan lagi nikah mut'ah memang disyariatkan pada masa permulaan Islam, kemudian sesudah itu dimansukh.
    Imam Syafii dan segolongan ulama mengatakan bahwa pada permulaannya nikah mut'ah diperbolehkan, kemudian dimansukh, lalu diperbolehkan lagi dan akhirnya dimansukh lagi; pe-nasikh-an terhadapnya terjadi dua kali. Sedangkan ulama lainnya berpendapat lebih banyak dari dua kali. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa nikah mut'ah hanya diperbolehkan sekali, kemudian dimansukh dan tidak diperbolehkan lagi sesudahnya.
    Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sejumlah sahabat suatu pendapat yang mengatakan boleh bila dalam keadaan darurat. Pendapat ini merupakan riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad. Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas, Ubay ibnu Ka'b, Sa'id ibnu Jubair, dan As-Saddi membaca ayat ini dengan memakai tafsirnya seperti berikut:

    "فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمَّى فَآتَوْهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً"

    Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka —sampai dengan batas waktu tertentu— berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.
    Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah nikah mut'ah.
    Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat tidak demikian. Hal yang menjadi pegangan dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang terdapat di dalam kitab Sahihain dari Amirul Mu’minun Ali ibnu Abu Talib yang mengatakan:

    نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ، وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ

    Rasulullah Saw. melarang nikah mut'ah dan (memakan) daging keledai kampung pada hari Perang Khaibar.
    Hadis ini mempunyai banyak lafaz dan ungkapan, yang semuanya itu merupakan bagian dari kitabul ahkam (kitab-kitab yang membahas masalah hukum).
    Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ar-Rabi' ibnu Sabrah ibnu Ma'bad Al-Juhani, dari ayahnya, bahwa ia pernah berperang bersama-sama Rasulullah Saw. pada hari penaklukan atas kota Mekah. Maka beliau Saw. bersabda:

    "يَأَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرم ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا"

    Hai manusia sekalian, sesungguhnya aku dahulu pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mut'ah terhadap wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut sekarang sampai hari kiamat. Karena itu, barang siapa yang padanya terdapat sesuatu dari nikah mut'ah ini, hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil kembali apa yang telah kalian berikan kepada mereka barang sedikit pun.
    Juga di dalam riwayat lain bagi Imam Muslim dalam kisah haji wada', hadis ini diungkapkan dengan berbagai lafaz, yang pembahasannya berada di dalam kitab-kitab fiqih.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    وَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ

    dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. (An-Nisa: 24)
    Orang yang menginterpretasikan ayat ini bermakna nikah mut'ah sampai batas waktu yang ditentukan mengatakan, "Tidak ada dosa bagi kalian apabila waktunya telah habis untuk saling merelakan (bernegosiasi) untuk penambahan masa nikah mut'ah dan penambahan imbalannya."
    As-Saddi mengatakan, "Jika pihak lelaki menghendaki, boleh merelakan pihak wanita sesudah mahar yang pertama, yakni upah yang telah diberikannya kepada pihak wanita sebagai imbalan menikmati tubuhnya sebelum masa berlaku nikah mut'ah yang disepakati kedua belah pihak habis. Untuk itu pihak laki-laki berkata kepada pihak perempuan, 'Aku akan nikah mut'ah lagi denganmu dengan imbalan sekian dan sekian.' Jika upah bertambah sebelum pihak wanita membersihkan rahimnya pada hari habisnya masa mut'ah di antara keduanya, maka hal inilah yang disebutkan di dalam firman-Nya: 'dan tiada mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya sesudah menentukan faridah itu'' (An-Nisa: 24)."
    As-Saddi mengatakan, "Apabila masa mut'ah habis, maka tiada jalan bagi pihak laki-laki terhadap pihak wanita, dan pihak wanita bebas dari pihak laki-laki. Sesudah itu pihak wanita harus membersihkan rahimnya, dan tidak ada saling mewarisi lagi di antara keduanya. Untuk itu satu pihak tidak dapat mewarisi pihak lainnya. Hubungan keduanya telah terputus."
    Orang yang berpendapat seperti ini pada pendapat yang pertama tadi menjadikan ayat ini semakna dengan firman-Nya:

    وَآتُوا النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً

    Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
    Dengan kata lain, apabila engkau telah menentukan sejumlah mas kawin kepada pihak wanita, lalu pihak wanita merelakan sebagian darinya untuk pihak laki-laki atau keseluruhannya, maka tidak ada dosa bagi kamu dan bagi pihak wanita dalam hal tersebut.
    Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Miftamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Al-Hadrami menduga bahwa banyak kaum lelaki yang telah menentukan mahar, kemudian barangkali seseorang dari mereka ada yang mengalami kesulitan. Maka Allah Swt. berfirman, "Tidak mengapa bagi kamu, hai manusia, terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar. Yakni jika pihak wanita merelakan kepadamu sebagian dari maharnya, maka hal itu diperbolehkan bagimu." Pendapat inilah yang dipilih oleh ibnu Jarir.
    Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. (An-Nisa: 24) Yang dimaksud dengan saling merelakan ialah bila pihak lelaki memberikan mahar secara sempurna kepada pihak wanita, kemudian pihak lelaki menyuruh pihak wanita menentukan pilihan, antara tetap menjadi istri atau berpisah (cerai).
    *******************
    Firman Allah Swt:

    إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلِيماً حَكِيماً

    Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui  lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 24)
    Sangatlah sesuai penyebutan kedua sifat Allah ini sesudah Dia mensyaratkan hal-hal yang diharamkan.

    An-Nisa, ayat 25

    وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَناتِ الْمُؤْمِناتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ مِنْ فَتَياتِكُمُ الْمُؤْمِناتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَناتٍ غَيْرَ مُسافِحاتٍ وَلا مُتَّخِذاتِ أَخْدانٍ فَإِذا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَناتِ مِنَ الْعَذابِ ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (25)

    Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kalian miliki. Allah mengetahui keimanan kalian; sebagian kalian adalah dari sebagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya, dan berilah mas kawinnya menurut yang patut, sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kalian, dan kesabaran itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

    Allah Swt. berfirman:

    وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا

    Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya. (An-Nisa: 25)
    Yakni tidak mempunyai kemampuan dan kemudahan.

    أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَناتِ الْمُؤْمِناتِ

    untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman. (An-Nisa: 25)
    Yaitu wanita yang merdeka, terpelihara kehormatannya lagi mukminah.
    Ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdul Jabbar telah menceritakan kepadaku dari Rabi'ah sehubungan dengan firman-Nya: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25) Menurut Rabi'ah, yang dimaksud dengan tulan ialah kesukaan, yakni ia boleh menikahi budak perempuan, jika memang dia suka kepadanya.
    Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, kemudian ia mengomentari pendapat ini dengan komentar yang buruk, bahkan menyanggahnya.

    فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ مِنْ فَتَياتِكُمُ الْمُؤْمِناتِ

    maka ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 25)
    Dengan kata lain, kawinilah olehmu budak-budak wanita yang beriman yang dimiliki oleh orang-orang mukmin, mengingat firman Allah menyebutkan: dari budak-budak wanita kalian yang beriman. (An-Nisa: 25)
    Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, hendaklah dia mengawini budak-budak perempuan kaum mukmin. Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi dan Muqatil ibnu Hayyan.
    Kemudian disebutkan jumlah mu'taridah (kalimat sisipan) melalui firman-Nya:

    وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ

    Allah mengetahui keimanan kalian; sebagian kalian adalah dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 25)
    Dia mengetahui semua hakikat segala perkara dan rahasia-rahasianya, dan sesungguhnya bagi kalian, hai manusia, hanyalah yang lahiriah saja dari perkara-perkara tersebut.
    Selanjutnya disebutkan oleh firman-Nya:

    فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ

    karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya. (An-Nisa: 25)
    Hal ini menunjukkan bahwa tuan yang memiliki budak adalah sebagai walinya; seorang budak perempuan tidak boleh nikah kecuali dengan seizin tuannya. Demikianlah pula halnya si tuan merupakan wali dari budak lelakinya; seorang budak lelaki tidak diperkenankan kawin tanpa seizin tuannya. Seperti disebutkan di dalam sebuah hadis yang mengatakan:

    "أَيُّمَا عَبْدٍ تَزَوّج بِغَيْرِ إِذَنْ مَوَاليه فَهُوَ عَاهِر"

    siapa pun budaknya kawin tanpa seizin tuan-tuannya, maka dia adalah seorang pezina.
    Apabila tuan seorang budak perempuan adalah seorang wanita, maka si budak perempuan dikawinkan oleh orang yang mengawinkan tuannya dengan seizin si tuan, berdasarkan kepada sebuah hadis yang mengatakan:

    «لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلَا الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا»

    Wanita tidak boleh mengawinkan wanita lainnya, dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya perempuan pezina adalah wanita yang mengawinkan dirinya sendiri.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

    dan berilah mas kawinnya menurut yang patut. (An-Nisa: 25)
    Artinya, bayarkanlah oleh kalian mas kawin mereka dengan cara yang makruf, dengan kerelaan hati kalian; dan janganlah kalian mengurangi mas kawinnya karena meremehkan mereka karena   mereka adalah budak-budak perempuan yang dimiliki.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    مُحْصَناتٍ

    yang memelihara kehormatannya. (An-Nisa: 25)
    Yaitu menjaga dirinya dari perbuatan zina dan tidak pernah melakukannya. Karena itu, disebutkan dalam firman selanjutnya:

    غَيْرَ مُسافِحاتٍ

    bukan pezina. (An-Nisa: 25)
    Yang dimaksud dengan musafihat ialah wanita-wanita tuna susila yang tidak pernah menolak lelaki yang hendak berbuat keji terhadap dirinya.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    وَلا مُتَّخِذاتِ أَخْدانٍ

    dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25)
    Menurut Ibnu Abbas, makna musafihat ialah wanita tuna susila yang terang-terangan, yakni mereka yang tidak pernah menolak lelaki yang hendak berbuat mesum terhadap dirinya.
    Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan firman-Nya: dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25) Yakni laki-laki piaraan.
    Hal yang sama dikatakan menurut riwayat Abu Hurairah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani, Yahya ibnu Abu Kasir, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi; mereka semuanya mengatakan, yang dimaksud adalah laki-laki piaraan.
    Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan muttakhizati akhdan ialah wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai temannya.
    Ad-Dahhak pernah pula mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25) Yaitu wanita yang mempunyai laki-laki yang ia setujui (yakni kumpul kebo). Allah Swt. melarang hal tersebut, yakni mengawini wanita seperti itu selagi si wanita masih tetap dalam keadaan demikian.
    *******************
    Firman Allah Swt.:

    فَإِذا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَناتِ مِنَ الْعَذابِ

    dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa: 25)
    Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan bacaan ahsanna; sebagian dari mereka membacanya uhsinna dalam bentuk mabni majhul, dan sebagian yang lain membacanya ahsanna sebagai fi'il yang lazim.
    Kemudian disimpulkan bahwa makna kedua qiraah tersebut sama saja, tetapi mereka berbeda pendapat sehubungan dengan makna; pendapat mereka terangkum ke dalam dua pendapat, yaitu:
    • Pertama, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah Islam. Hal tersebut diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Anas, Al-Aswad ibnu Yazid, Zurr ibnu Hubaisy, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, dan As-Saddi.
      Az-Zuhri meriwayatkan pendapat yang sama dari Umar ibnul Khattab, predikatnya munqati'.
      Pendapat inilah yang dinaskan oleh Imam Syafii dalam riwayat Ar-Rabi'. Ia mengatakan, "Sesungguhnya kami mengatakan pendapat ini semata-mata berlandaskan kepada sunnah dan ijma' kebanyakan ahlul 'ilmi."
      Ibnu Abu Hatim meriwayatkan sehubungan dengan masalah ini sebuah hadis marfu'. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul Junaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari ayahnya, dari Abu Hamzah, dari Jabir, dari seorang lelaki, dari Abu Abdur Rahman, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa Rasulullah Saw. sehubungan dengan firman-Nya: dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin. (An-Nisa: 25) pernah bersabda menafsirkannya:

    «إِحْصَانُهَا إِسْلَامُهَا وَعَفَافُهَا»

    Ihsan seorang wanita ialah bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya.
    Ibnu Abu Hatim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Ali mengatakan, "Deralah mereka (budak-budak wanita yang berzina)." Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hadis ini munkar.
    Menurut kami, dalam sanad hadis ini terkandung kelemahan, di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak disebutkan namanya; hadis seperti ini tidak layak dijadikan sebagai hujah (pegangan).
    Al-Qasim dan Salim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan ialah bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya.
    • Kedua, menurut pendapat lain makna yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin.
      Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan lain-lainnya.
      Pendapat ini dinukil oleh Abu Ali At-Tabari di dalam kitabnya yang berjudul Al-Idah, dari Imam Syafii, menurut apa yang diriwayatkan oleh Abul Hakam ibnu Abdul Hakam dari Imam Syafii.
      Lais ibnu Abu Sulaim meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ihsan seorang budak wanita ialah bila dikawini oleh lelaki merdeka; dan sebaliknya ihsan seorang budak laki-laki ialah bila dikawini oleh wanita merdeka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. Kedua-duanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Asy-Sya'bi dan An-Nakha'i.
      Menurut pendapat lain, makna kedua bacaan tersebut berbeda. Orang yang membaca uhsinna, makna yang dimaksud ialah kawin. Dan orang yang membaca ahsanna, makna yang dimaksud ialah Islam. Pendapat kedua ini dipilih dan didukung oleh Abu Ja'far ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
      Pendapat yang kuat —hanya Allah yang mengetahui— bahwa makna yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah nikah, karena konteks ayat menunjukkan kepada pengertian tersebut, mengingat Allah Swt. telah berfirman:

      {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمْ}

      Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 25)
      Konteks ayat ini menunjukkan pembicaraan tentang wanita-wanita yang beriman. Dengan demikian, makna ihsan dalam ayat ini hanya menunjukkan pengertian kawin, seperti tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan lain-Lainnya.
      Pada garis besarnya masing-masing dari kedua pendapat di atas masih mengandung kemusykilan (kesulitan) menurut pendapat jumhur ulama. Dikatakan demikian karena mereka mengatakan bahwa sesungguhnya budak wanita itu apabila berbuat zina dikenai hukuman dera sebanyak lima puluh kali, baik ia muslimah ataupun kafirah, dan baik sudah kawin ataupun masih gadis. Padahal pengertian ayat menunjukkan bahwa tiada hukuman had kecuali terhadap wanita yang sudah kawin berbuat zina, sedangkan dia bukan budak.
      Analisis mereka sehubungan dengan masalah ini (budak wanita yang berbuat zina) berbeda-beda, seperti penjelasan berikut:

      Pertama, menurut jumhur ulama tidak diragukan lagi bahwa makna yang tersirat lebih diprioritaskan daripada makna yang tidak tersirat.
      Banyak hadis yang mengandung makna umum menunjukkan ditegakkannya hukuman had terhadap budak wanita yang berzina. Karena itu, pengertian ini lebih kami prioritaskan ketimbang makna yang tidak tersirat.
      Antara lain ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui Ali r.a., bahwa ia pernah berkhotbah, "Hai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had atas budak-budak perempuan kalian, baik yang telah menikah ataupun yang belum menikah. Karena sesungguhnya pernah budak perempuan milik Rasulullah Saw. melakukan perbuatan zina, maka beliau Saw. memerintahkan kepadaku untuk menderanya. Ternyata budak perempuan tersebut masih baru dalam keadaan nifas, maka aku merasa khawatir bila menderanya, nanti dia akan mati. Ketika aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda:

      «أَحْسَنْتَ اتْرُكْهَا حَتَّى تَمَاثَلَ»

      'Tindakanmu baik, biarkanlah dia dahulu hingga keadaannya membaik''."
      Menurut   riwayat   Abdullah   ibnu   Ahmad,   dari   selain   ayahnya, Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:

      «فَإِذَا تَعَالَتْ مِنْ نَفْسِهَا حَدَّهَا خَمْسِينَ»

      Apabila dia telah bebas dari nifasnya, maka deralah dia sebanyak lima puluh kali.
      Dari   Abu   Hurairah,   disebutkan   bahwa    ia   pernah   mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

      «إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا، فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ، وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا، ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّانِيَةَ، فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ، وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا، ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّالِثَةَ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَبِعْهَا ولو بِحَبْلٍ مَنْ شَعْرٍ»

      Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina, dan perbuatannya itu terbukti, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki. Kemudian jika si budak perempuannya berbuat zina lagi untuk kedua kalinya, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki. Kemudian jika si budak berbuat zina lagi untuk ketiga kalinya dan perbuatan zinanya terbukti, hendaklah ia menjualnya, sekalipun dengan harga (yang senilai dengan) seutas tali bulu.

      Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut:

      إِذَا زَنتْ ثَلَاثًا فَلْيَبِعْهَا فِي الرَّابِعَةِ

      Apabila si budak berbuat zina sebanyak tiga kali, hendaklah ia menjualnya bila melakukan untuk keempat kalinya.
      Malik telah meriwayatkan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Abdullah ibnu Iyasy ibnu Abu Rabi'ah Al-Makhzumi yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah memerintahkan kepadanya untuk menjatuhkan hukuman terhadap para pemuda Quraisy. Maka kami menjatuhkan hukuman dera terhadap budak-budak wanitanya sebanyak lima puluh kali dera terhadap lima puluh orang, karena berbuat zina.

      Kedua, menurut analisis orang yang berpendapat bahwa seorang budak wanita bila berbuat zina, sedangkan dia belum kawin, maka tidak ada hukuman had atas dirinya, melainkan hanya hukuman pukulan sebagai hukuman ta'zir.
      Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. Pendapat inilah yang dipegang oleh Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri menurut suatu riwayat darinya.
      Pegangan mereka adalah makna yang tersirat dari ayat ini, yaitu pemahaman yang berkaitan dengan persyaratan. Hal inilah yang dijadikan hujah di kalangan kebanyakan dari mereka, dan lebih diprioritaskan oleh mereka daripada keumuman makna ayat. Juga Hadis Abu Hurairah serta Zaid ibnu Khalid yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai masalah seorang budak wanita yang berbuat zina, sedangkan ia masih belum kawin. Maka beliau Saw. menjawab:

      «إِنْ زَنَتْ فَحِدُّوهَا، ثُمَّ إِنَّ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ بِيعُوهَا وَلَوْ بِضَفِيرٍ»

      Jika ia berbuat zina, maka had-lah dia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah dia; kemudian juallah dia, sekalipun hanya dengan seharga seutas tali.
      Ibnu Syihab mengatakan, "Aku tidak mengetahui ada yang ketiga atau yang keempat kalinya." Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain.
      Menurut riwayat Imam Muslim, Ibnu Syihab mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dafirin ialah seutas tali.
      Mereka mengatakan bahwa di dalam hadis ini tidak disebutkan batasan hukuman had, tidak seperti hukuman terhadap wanita yang telah kawin. Tidak seperti apa yang dikatakan di dalam Al-Qur'an yang padanya disebutkan batasan hukumannya, yaitu separo dari hukuman wanita yang merdeka. Karena itu, sudah merupakan suatu keharusan menggabungkan pengertian ayat dengan hadis ini.
      Dalil lain yang lebih jelas daripada hadis di atas ialah apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur dari Sufyan, dari Mis'ar, dari Arm ibnu Murrah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

      «لَيْسَ عَلَى أَمَةٍ حَدٌّ حَتَّى تُحْصَنَ- أَوْ حَتَّى تُزَوَّجَ- فَإِذَا أُحْصِنَتْ بِزَوْجٍ فَعَلَيْهَا نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ»

      Tiada hukuman terhadap budak wanita sebelum kawinnya, apabila ia telah kawin, dikenakan atasnya separo hukuman dari wanita yang merdeka (yakni apabila si budak berbuat zina).
      Ibnu Khuzaimah meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Imran Al-Abidi dari Sufyan dengan lafaz yang sama secara marfu'. Ibnu Khuzaimah mengatakan, "Predikat marfu' untuk hadis ini keliru, sebenarnya itu adalah perkataan Ibnu Abbas."
      Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Baihaqi melalui hadis Abdullah ibnu Imran, kemudian Imam Baihaqi mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khuzaimah (yakni bukan marfu').
      Mereka mengatakan bahwa hadis Ali dan Umar membahas masalah a'yan, sedangkan terhadap hadis Abu Hurairah dapat dijawab dengan jawaban seperti berikut:
      Pertama, bahwa hal tersebut dapat diinterpretasikan terhadap budak wanita yang telah kawin, karena berdasarkan pemahaman gabungan antara hadisnya dengan hadis ini.
      Kedua, ungkapan had yang disebutkan di dalam sabdanya: Maka hendaklah ia menegakkan hukuman had terhadapnya. merupakan kata sisipan dari salah seorang perawi, sebagai buktinya ialah ada pada jawaban yang ketiga. Yaitu bahwa hadis ini bersumber dari dua orang sahabat, sedangkan hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah sendiri. Hadis yang berasal dari dua orang itu jelas lebih diutamakan daripada hadis yang hanya berasal dari satu orang saja.
      Selain itu Imam Nasai meriwayatkannya berikut sanadnya dengan syarat Imam Muslim melalui hadis Abbad ibnu Tamim, dari pamannya. Pamannya adalah salah seorang yang ikut dalam Perang Badar. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

      «إِذَا زَنَتِ الْأَمَةُ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ إِذَا زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ إِذَا زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ إِذَا زَنَتْ فَبِيعُوهَا وَلَوْ بِضَفِيرٍ»

      Apabila budak wanita berbuat zina, maka deralah dia oleh kalian; kemudian jika ia berzina lagi, maka deralah pula dia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah pula ia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi. maka juallah dia, sekalipun dengan harga seutas tali.

      Ketiga, tidaklah mustahil bila salah seorang perawi mengucapkan lafaz had dalam hadis ini dengan maksud hukuman dera; karena ketika yang disebutkan adalah hukuman dera, maka ia memahaminya sebagai hukuman had, atau dia sengaja mengucapkan lafaz had dengan maksud hukuman ta'zir.
      Perihalnya sama dengan sebutan had terhadap pukulan yang ditimpakan terhadap orang-orang sakit yang berbuat zina, yaitu dengan sapu lidi pelepah kurma yang di dalamnya terdapat seratus lidi. Juga terhadap hukuman dera yang ditimpakan terhadap seorang lelaki yang berbuat zina dengan budak perempuan istrinya, jika si istri mengizinkannya untuk berbuat zina terhadap budak perempuannya, si suami dikenakan seratus kali dera. Sesungguhnya hukuman tersebut hanyalah sebagai hukuman ta'zir yang bersifat edukatif menurut pandangan orang yang berpendapat demikian, seperti Imam Ahmad dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf.
      Sesungguhnya hukuman had yang hakiki ialah seratus kali dera bagi orang yang belum pernah kawin, dan hukuman rajam bagi orang yang telah kawin atau orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Lut.
      Ibnu Majah meriwayatkan —juga lbnu Jarir— di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Budak wanita tidak boleh dipukul, bila ia berbuat zina selagi ia belum kawin." Sanad asar ini sahih, bersumber dari Sa'id ibnu Jubair.
      Merupakan pendapat yang aneh jika Sa'id ibnu Jubair bermaksud bahwa si budak perempuan pada asalnya tidak dikenai hukuman pukulan melainkan hukuman had, seakan-akan ia mengambil dari mafhum ayat ini dan belum sampai kepadanya hadis mengenai hal tersebut. Jika dia bermaksud bahwa si budak perempuan tidak dikenai hukuman had pukulan, maka hal ini bukan berarti dia bebas dari hukuman pukulan sebagai ta'zir. Jika demikian, berarti sama dengan pendapat ibnu Abbas dan orang-orang yang mengikutinya dalam masalah ini.
      Ayat ini (An-Nisa: 25) menunjukkan bahwa budak perempuan yang telah kawin bila berbuat zina dikenai hukuman had separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka. Jika ia berbuat zina sebelum ihsan, maka pengertiannya tercakup ke dalam keumuman makna Al-Qur'an dan sunnah yang menyatakan dikenai hukuman dera sebanyak seratus kali. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

      الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ واحِدٍ مِنْهُما مِائَةَ جَلْدَةٍ

      Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur: 2)
      Hadis Ubadah ibnus Samit mengatakan:

      «خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَرَجْمُهَا بِالْحِجَارَةِ»

      Ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar bagi mereka; orang yang belum kawin dengan orang yang belum kawin dikenai seratus kali dera dan dibuang satu tahun, dan orang yang sudah kawin dengan orang yang sudah kawin dikenai seratus kali dera dan dirajam dengan batu.
      Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahih Imam Muslim, dan hadis-hadis lainnya. Pendapat ini dikenal bersumber dari Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Tetapi pendapat ini sangat lemah, karena bilamana Allah Swt. telah memerintahkan mendera budak wanita yang telah kawin dengan hukuman dera separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka, yaitu lima puluh kali dera. Maka bagaimana hukumannya bila ia melakukan zina sebelum kawin, mengapa dikatakannya jauh lebih berat daripada setelah kawin? Padahal kaidah hukum syariat menyatakan kebalikan dari pendapatnya.
      Nabi Saw. sendiri ketika ditanya oleh sahabat-sahabatnya tentang hukum budak wanita yang berbuat zina, sedangkan budak tersebut belum kawin, maka beliau bersabda, "Deralah ia," tetapi beliau tidak menyebutkan sebanyak seratus kali. Seandainya hukum budak wanita itu seperti yang diduga oleh Daud Az-Zahiri, niscaya Nabi Saw. menjelaskan hukuman tersebut kepada sahabat-sahabatnya. Mengingat mereka sengaja bertanya kepada Nabi Saw. karena tidak ada penjelasan hukum seratus kali dera terhadap budak-budak wanita yang telah kawin berbuat zina. Jika tidak demikian pengertiannya, apakah faedah ungkapan mereka dalam pertanyaannya yang menyebutkan, "Sedangkan dia belum kawin," mengingat tidak ada perbedaan di antara keduanya (yang sudah kawin dan yang belum kawin), sekiranya ayat ini belum diturunkan.
      Tetapi mengingat mereka mengetahui hukum salah satunya, maka mereka sengaja menanyakan hukum yang lainnya, lalu Nabi Saw. menjelaskan hal tersebut kepada mereka. Perihalnya sama dengan pengertian sebuah hadis yang terdapat di dalam kitab Sahihain, yaitu bahwa mereka (para sahabat) pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang melakukan salawat buat Nabi Saw. Lalu Nabi Saw. menerangkannya kepada mereka, kemudian beliau bersabda kepada mereka:

      «وَالسَّلَامُ مَا قَدْ عَلِمْتُمْ»

      Dan mengenai salam adalah seperti apa yang telah kalian ketahui.
      Menurut lafaz yang lain, ketika Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

      Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Al-Ahzab: 56)
      Para sahabat bertanya, "Salam penghormatan kepadamu telah kami ketahui, tetapi bagaimanakah bersalawat untukmu?" Hingga akhir hadis. Demikian pula maksud pertanyaan yang terkandung pada hadis di atas.
      Mengenai mafhum ayat, dikemukakan oleh Abu Saur. Pendapat ini lebih aneh daripada pendapat yang dikemukakan oleh Daud ditinjau dari berbagai seginya. Dikatakan demikian karena ia mengatakan, "Apabila budak-budak wanita tersebut telah kawin (lalu berbuat zina), maka dikenakan atasnya hukuman separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka yang telah kawin, yaitu hukuman rajam; padahal hukuman rajam itu tidak dapat dibagi dua. Maka budak perempuan yang berbuat zina tetap harus dikenai hukuman rajam. Sebelum ihsan (kawin), maka wajib dikenai hukuman dera sebanyak lima puluh kali."
      Ternyata Abu Saur keliru dalam memahami ayat, dan pendapatnya bertentangan dengan pendapat jumhur ulama dalam hukum masalah ini. Bahkan Abu Abdullah Asy-Syafii pernah mengatakan bahwa kaum muslim tidak ada yang memperselisihkan bahwa tidak ada hukuman rajam terhadap budak dalam masalah zina.
      Demikian itu karena ayat ini menunjukkan bahwa dikenakan atas mereka hukuman separo yang dikenakan terhadap wanita-wanita merdeka. Huruf alif dan lam pada lafaz al-muhsanat menunjukkan makna 'ahd (telah dimaklumi), mereka adalah wanita-wanita yang telah kawin yang disebutkan di permulaan ayat, melalui firman-Nya: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman. (An-Nisa: 25)
      Yang dimaksud adalah wanita-wanita saja, yakni janganlah ia mencoba kawin dengan wanita yang merdeka. Firman Allah Swt. yang mengatakan ‘separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa: 25) menunjukkan bahwa makna yang dimaksud dari hukuman tersebut ialah hukuman yang dapat diparo (dibagi), yaitu hukuman dera, bukan hukuman rajam.
      Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis untuk menjawab pendapat Abu Saur melalui riwayat Al-Hasan ibnu Sa'id, dari ayahnya, bahwa Safiyyah pernah berbuat zina dengan seorang lelaki dari Al-Hims. dan dari perbuatan zinanya itu lahirlah seorang bayi, lalu si bayi diakui oleh lelaki tersebut. Keduanya bersengketa di hadapan Khalifah Usman, dan Khalifah Usman mengajukan perkara ini kepada Ali ibnu Abu Talib. Maka Ali ibnu Abu Talib mengatakan, "Aku akan memutuskan terhadap keduanya dengan keputusan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., yaitu anak bagi firasy, sedangkan bagi pezina adalah batu." Lalu Ali mendera mereka masing-masing sebanyak lima puluh kali deraan.
      Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dari mafhum (makna yang tidak tersirat) ayat ini ialah menjatuhkan hukuman yang ringan dengan mengingatkan hukuman yang paling berat. Dengan kata lain, hukuman yang diterima oleh budak wanita yang berbuat zina ialah separo hukuman yang diterima oleh wanita merdeka, sekalipun budak yang bersangkutan telah kawin. Pada asalnya tidak ada hukuman had dengan rajam atasnya, baik sebelum ataupun sesudah nikah; dan sesungguhnya hukuman had yang mereka terima (budak-budak uanita yang berzina) hanyalah hukuman dera dalam dua keadaan berdasarkan sunnah.
      Pendapat ini dikatakan oleh penulis kitab Al-Ifsah. Dia menuturkan pendapat ini dari Imam Syafii melalui riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abdul Hakam. Imam Baihaqi meriwayatkannya pula di dalam kitab sunnah dan asarnya dari Imam Syafii. Tetapi pendapat ini sangat jauh dari pengertian lafaz ayat, karena sesungguhnya kami mengambil kesimpulan hukuman setengah wanita merdeka ini hanya dari ayat, bukan dari dalil lainnya. Bagaimana mungkin dapat disimpulkan setengah hukuman bila bukan dari ayat"'
      Imam Baihaqi mengatakan, bahkan makna yang dimaksud ialah bila si budak dalam keadaan telah kawin, tiada seorang pun yang berhak menegakkan hukuman had terhadap dirinya selain Imam. Dalam keadaan seperti ini tuan si budak tidak boleh menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat di kalangan mazhab Imam Ahmad. Sebelum kawin si tuan boleh menegakkan hukuman had terhadapnya. Hukuman had dalam dua keadaan tersebut (belum kawin dan sudah kawin) adalah separo hukuman had orang merdeka.
      Pendapat ini pun jauh dari kebenaran, karena di dalam ayat ini tidak terkandung pengertian yang menunjukkan ke arah itu. Seandainya tidak ada ayat, niscaya kita tidak akan mengetahui bagaimanakah hukuman tansif terhadap budak-budak belian yang berbuat zina. Jika tidak ada ayat ini, sudah dipastikan hukuman mereka dimasukkan ke dalam keumuman makna ayat yang menyatakan hukuman had secara sempurna, yaitu seratus kali dera atau dirajam, seperti yang tampak jelas pada makna lahiriahnya.
      Dalam pembahasan di atas disebutkan bahwa sahabat Ali r.a. pernah mengatakan, "Hai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had atas budak-budak kalian, baik yang telah kawin maupun yang belum kawin." Sedangkan hadis-hadis yang disebutkan di atas tidak mengandung rincian antara budak yang telah kawin dan lainnya, seperti hadis Abu Hurairah yang dijadikan hujah oleh jumhur ulama, yaitu:

      "إِذَا زَنَتْ أمةُ أحدِكم فَتَبَيَّنَ زِناهَا فَليجْلِدها الحدَّ وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْها"

      Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina dan perbuatan zinanya itu terbuktikan, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, dan tidak boleh dimaki-maki.
      Kesimpulan makna ayat menyatakan bahwa apabila seorang budak berbuat zina, maka ada beberapa pendapat, seperti penjelasan berikut:

      Pertama, dikenai hukuman had lima puluh kali dera, baik telah kawin ataupun belum. Akan tetapi, apakah dibuang; ada tiga pendapat mengenainya. Pendapat pertama mengatakan dibuang, pendapat kedua mengatakan tidak dibuang sama sekali, dan pendapat yang ketiga mengatakan dibuang selama setengah tahun, yaitu separo hukuman orang merdeka. Perbedaan pendapat ini terjadi di kalangan mazhab Imam Syafii.
      Menurut Imam Abu Hanifah, pembuangan merupakan hukuman ta'zir dan bukan termasuk bagian dari hukuman had. Sebenarnya hukum pembuangan ini semata-mata pendapat Imam belaka; jika ia melihat perlu dijatuhkan, maka ia melaksanakannya; dan jika ia melihat tidak perlu, maka ia boleh meniadakannya, baik terhadap pihak laki-laki ataupun pihak wanita yang bersangkutan.
      Menurut Imam Malik, sesungguhnya hukuman pembuangan ini hanya diberlakukan terhadap pihak laki-laki (yang berzina), tidak untuk pihak wanita, karena pembuangan bertentangan dengan citra memelihara kehormatannya; dan tidak ada suatu dalil pun yang menyatakan hukuman pembuangan terhadap pihak laki-laki, tidak pula terhadap pihak wanita.
      Memang sehubungan dengan masalah ini ada hadis Ubadah dan Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah memutuskan terhadap seorang yang berbuat zina hukuman pembuangan selama satu tahun dan menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari. Tetapi hal ini hanya khusus diberlakukan terhadap orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, tujuan utama dari hukuman pembuangan ialah adanya jaminan terpelihara, sedangkan faktor ini tidak dapat terpenuhi jika si terpidananya adalah wanita.

      Kedua, seorang budak wanita bila melakukan zina didera lima puluh kali bila telah kawin, dan hanya dikenai hukuman pukulan sepantasnya sebagai hukuman ta'zir bila ia belum kawin.
      Dalam pembahasan di atas disebutkan sebuah asar yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa budak wanita yang belum kawin (bila berbuat zina) tidak dikenai hukuman pukulan. Jika yang dimaksudkan ialah meniadakan hukuman tersebut, berarti bertentangan dengan takwil. Jika tidak demikian pengertiannya, berarti sama dengan pendapat yang kedua.
      Pendapat yang lain mengatakan bahwa budak wanita bila berbuat zina sebelum kawin dikenai hukuman dera seratus kali, dan bila sudah kawin hanya dikenai lima puluh kali dera, seperti pendapat yang terkenal dari Daud. Pendapat ini sangat lemah.
      Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa ia dikenai hukuman dera sebelum kawin, yaitu sebanyak lima puluh kali dera. Jika ia telah kawin dikenai hukuman rajam. Pendapat ini dikatakan oleh Abu Saur, dan pendapat ini dinilai lemah pula; hanya Allah yang mengetahui pendapat yang benar.
      *******************
      Firman Allah Swt.:

      ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ

      Yang demikian itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kalian. (An-Nisa: 25)
      Sesungguhnya diperbolehkan mengawini budak-budak wanita dengan persyaratan yang telah disebutkan di atas, hanyalah bagi orang yang merasa khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan zina, dan dirinya tidak sabar menahan keinginan penyaluran biologisnya. Bila keinginan ini ditahannya, maka akan menyebabkan dirinya kepayahan. Dalam keadaan seperti ini ia diperbolehkan mengawini budak perempuan. Tetapi jika ia tidak mengawininya dan berjihad melawan hawa nafsunya agar jangan berzina, hal ini lebih baik baginya. Dikatakan demikian karena bila ia terpaksa mengawini budak wanita, kelak anak-anaknya yang akan lahir menjadi budak-budak bagi tuannya. Kecuali jika suaminya adalah seorang laki-laki asing, maka anak-anak yang akan lahir darinya bukan menjadi budak lagi, menurut qaul qadim Imam Syafii.
      *******************
      Firman Allah Swt.:

      وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.

      dan kesabaran itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 25)
      Dari ayat ini jumhur ulama menyimpulkan dalil yang memperbolehkan mengawini budak-budak perempuan, dengan syarat bila lelaki yang bersangkutan tidak mempunyai perbelanjaan yang cukup untuk mengawini wanita yang merdeka, karena takut akan terjerumus ke dalam perbuatan zina. Dikatakan demikian karena menikahi budak perempuan akan menimbulkan mafsadat bagi anak-anaknya kelak karena mereka akan menjadi budak seperti ibunya. Juga karena perbuatan beralih menikahi budak wanita dengan meninggalkan wanita merdeka merupakan perbuatan yang rendah.
      Imam Abu Hanifah dan semua muridnya berpendapat berbeda dengan jumhur ulama sehubungan dengan kedua syarat ini. Untuk itu mereka mengatakan, manakala lelaki yang bersangkutan belum pernah kawin dengan wanita merdeka, diperbolehkan baginya mengawini budak perempuan yang mukminah dan yang Ahli Kitab, baik ia mempunyai perbelanjaan yang cukup untuk mengawini wanita merdeka atau tidak, dan baik ia takut terjerumus ke dalam perbuatan zina atau tidak; semuanya sama saja, tidak ada pengaruhnya.
      Dalil yang menjadi pegangan mereka (jumhur ulama) ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:

      وَالْمُحْصَناتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

       (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)
      Yang dimaksud dengan muhsanat ialah wanita-wanita yang memelihara kehormatannya, pengertiannya umum mencakup wanita merdeka dan budak. Ayat ini mengandung makna yang umum dan surat An-Nisa ayat 25 jelas maknanya, menurut pendapat jumhur ulama.



    No comments

    Tafsir Jalalain

    Tafsir Ibnu Katsir

    Back to top