004. Surat An-Nisa Ayat 128 - 129 - 130 - Tafsir Ibnu Katsir - Muslim Notebook
Terjemah Tafsir Ibnu Katsir Al-Quran Surat 4. An-Nisa Ayat 128 - 129 - 130 - Muslim Notebook
An-Nisa, ayat 128-130
وَإِنِ
امْرَأَةٌ خافَتْ مِنْ بَعْلِها نُشُوزاً أَوْ إِعْراضاً فَلا جُناحَ عَلَيْهِما
أَنْ يُصْلِحا بَيْنَهُما صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ
الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ بِما تَعْمَلُونَ
خَبِيراً (128) وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ
حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوها كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ
تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ غَفُوراً رَحِيماً (129) وَإِنْ
يَتَفَرَّقا يُغْنِ اللَّهُ كُلاًّ مِنْ سَعَتِهِ وَكانَ اللَّهُ واسِعاً حَكِيماً
(130)
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz
atau sikap tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kalian menggauli istri
kalian dengan baik dan memelihara diri kalian (dari nusyuz dan sikap tak acuh),
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Dan
kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (kalian),
walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kalian
terlalu cenderung (kepada yang kalian cintai), sehingga kalian biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Jika
keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya
dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi
Mahabijaksana.
Allah Swt. memberitahukan serta mensyariatkan ketetapan hukum-hukum-Nya
menyangkut berbagai kondisi yang dialami oleh sepasang suami istri. Adakalanya
pihak suami bersikap tidak senang kepada istrinya, adakalanya pihak suami serasi
dengan istrinya, dan adakalanya pihak suami ingin bercerai dengan istrinya.
Keadaan pertama terjadi bilamana pihak istri merasa khawatir terhadap
suaminya, bila si suami merasa tidak senang kepadanya dan bersikap tidak acuh
kepada dirinya. Maka dalam keadaan seperti ini pihak istri boleh menggugurkan
dari kewajiban suaminya seluruh hak atau sebagian haknya yang menjadi tanggungan
suami, seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal serta lain-lainnya yang
termasuk hak istri atas suaminya. Pihak suami boleh menerima hal tersebut dari
pihak istrinya, tiada dosa bagi pihak istri memberikan hal itu kepada suaminya,
tidak (pula) penerimaan pihak suami dari pihak istrinya akan hal itu. Untuk
itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{فَلا
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا}
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya. (An-Nisa: 128)
Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَالصُّلْحُ
خَيْرٌ}
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). (An-Nisa: 128)
Yakni daripada perceraian.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَأُحْضِرَتِ
الأنْفُسُ الشُّحَّ}
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. (An-Nisa: 128)
Maksudnya, perdamaian di saat saling bertolak belakang adalah lebih baik
daripada perceraian. Karena itulah ketika usia Saudah binti Zam'ah sudah lanjut,
Rasulullah Saw. berniat akan menceraikannya, tetapi Saudah berdamai dengan
Rasulullah Saw. dengan syarat ia tetap menjadi istrinya dan dengan suka rela ia
memberikan hari gilirannya kepada Siti Aisyah. Maka Nabi Saw. menerima
persyaratan tersebut yang diajukan oleh Saudah, dengan imbalan Saudah tetap
berstatus sebagai istri Nabi Saw.
Riwayat mengenai hal tersebut
Dikemukakan oleh Abu Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami
Sulaiman ibnu Mu'az, dari Sammak ibnu Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa Saudah merasa khawatir bila dirinya diceraikan oleh
Rasulullah Saw. Maka ia berkata, "Wahai Rasulullah, janganlah engkau ceraikan
aku, aku berikan hari giliranku kepada Aisyah," maka Rasulullah Saw. menyetujui
apa yang dimintanya. Dan turunlah firman-Nya: Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz atau sikap tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi
keduanya. (An-Nisa: 128), hingga akhir ayat.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa segala persyaratan yang disetujui oleh kedua
belah pihak diperbolehkan.
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Muhammad ibnul Musanna, dari Abu Daud
At-Tayalisi dengan lafaz yang sama, kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis
ini berpredikat garib.
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ibnu Juraij, dari Ata,
dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan
orang istri; sebelum itu beliau Saw. memberikan hari gilirannya kepada delapan
orang istrinya.
Di dalam kitab Sahihain disebut melalui hadis Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, dari Aisyah r.a. yang menceritakan, "Ketika usia Saudah binti Zam'ah
sudah lanjut, ia menghadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah. Sejak saat itu
Nabi Saw. menggilir Siti Aisyah selama dua hari; satu hari milik Siti Aisyah,
sedangkan hari yang lain hadiah dari Saudah."
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebut melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari
Aisyah dengan lafaz yang semisal.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman
ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam, dari ayahnya (yaitu Urwah) yang menceritakan bahwa
Allah Swt. telah menurunkan firman berikut berkenaan dengan Saudah dan
wanita-wanita lainnya yang serupa, yaitu: Dan jika seorang wanita khawatir
akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An-Nisa: 128) Salah
seorang istri Rasulullah Saw. (yaitu Saudah) telah berusia lanjut; ia merasa
khawatir bila diceraikan oleh Rasulullah Saw., sedangkan dalam waktu yang sama
ia tidak mau dilepaskan dari statusnya sebagai istri Rasulullah Saw. Tetapi ia
mengetahui benar kecintaan Rasulullah Saw. kepada Siti Aisyah dan kedudukan Siti
Aisyah di sisi Rasulullah Saw. Maka ia menghadiahkan hari gilirannya dari
Rasulullah Saw. untuk Siti Aisyah r.a., dan Rasulullah Saw. menerima hal
tersebut.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa Imam Ahmad ibnu Yunus telah meriwayatkannya
dari Al-Hasan ibnu Abuz Zanad secara mausul.
Jalur ini diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Untuk
itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ishaq Al-Faqih
(seorang ahli fiqih), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali ibnu
Ziyad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan
kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya,
dari Siti Aisyah, bahwa ia pernah mengatakan kepadanya, "Hai anak saudara
perempuanku, Rasulullah Saw. dahulu tidak pernah memprioritaskan salah seorang
di antara kami atas yang lainnya dalam hal gilirannya kepada kami. Jarang sekali
Rasulullah Saw. dalam setiap harinya tidak berkeliling mengunjungi kami semua.
Setiap hari beliau selalu mendekati setiap istrinya tanpa menggaulinya, kecuali
bila telah sampai pada giliran istri yang harus ia gilir pada saatnya, barulah
beliau menginap padanya. Sesungguhnya Saudah binti Zam'ah, ketika usianya telah
lanjut dan merasa khawatir akan diceraikan oleh Rasulullah Saw., ia mengatakan,
'Wahai Rasulullah, giliranku aku hadiahkan kepada Siti Aisyah.' Maka Rasulullah
Saw. menerima hal tersebut." Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa
berkenaan dengan peristiwa inilah Allah Swt. menurunkan firman-Nya, yaitu:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
suaminya. (An-Nisa: 128), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Ahmad ibnu Yunus dengan
lafaz yang sama; juga Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya, selanjutnya Imam
Hakim mengatakan bahwa sanad hadis sahih, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam
Muslim) tidak mengetengahkannya.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Abu Hilal Al-Asy'ari, dari Abdur
Rahman ibnu Abuz Zanad dengan lafaz yang semisal. Juga melalui riwayat Abdul
Aziz, dari Muhammad Ad-Darawardi, dari Hisyam ibnu Urwah dengan lafaz yang
semisal secara singkat.
Abul Abbas (yaitu Muhammad ibnu Abdur Rahman Ad-Da'uli) dalam permulaan kitab
Mu'jam-nya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya, telah
menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami
Hisyam Ad-Dustuwai', telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Abu Barrah
yang menceritakan bahwa Nabi Saw. mengirimkan utusannya kepada Saudah binti
Zam'ah dengan tujuan untuk menceraikannya. Ketika Rasul Saw. datang, maka Saudah
duduk untuk menyambutnya sebagaimana Siti Aisyah. Ketika Saudah melihat beliau,
maka ia berkata kepadanya, "Demi Tuhan yang menurunkan Kalam-Nya kepadamu dan
yang telah memilihmu dari semua makhluk-Nya. Aku memohon kepadamu, sudilah
engkau merujuk diriku. Karena sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang kini
telah berusia lanjut, dan memang aku tidak memerlukan lelaki lagi; tetapi aku
ingin agar kelak di hari kiamat dibangkitkan bersama istri-istrimu." Maka Nabi
Saw. merujuknya. Siti Saudah berkata, "Aku berikan siang hari dan malam hari
giliranku buat kekasih Rasulullah Saw. (yakni Siti Aisyah)."
Hadis ini berpredikat garib lagi mursal.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Muqatil, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari
Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir
akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An-Nisa: 128); Ayat ini
diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai istri yang telah
lanjut usia, sedangkan dia tidak begitu memerlukannya lagi, lalu ia bermaksud
menceraikannya. Tetapi si istri mengatakan kepadanya, "Aku halalkan kamu
sehubungan dengan perkara diriku." Maka turunlah ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah
menceritakan kepada kami ayahku, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti
Aisyah mengenai firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka). (An-Nisa: 128); Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa ayat ini berkenaan
dengan seorang wanita yang menjadi istri seseorang lelaki, sedangkan pihak
suaminya tidak memerlukannya lagi dan si istri tidak mempunyai anak, tetapi si
istri masih tetap ingin berstatus sebagai istrinya; lalu ia mengatakan kepada
suaminya, "Janganlah engkau ceraikan aku, dan aku halalkan engkau dari
urusanku."
Telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hajaj
ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Hisyam,
dari Urwah, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Dan jika seorang
wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An-Nisa:
128); Ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai dua orang istri;
salah satu di antaranya berusia tua, sedangkan yang lain tidak cantik rupanya
dan dia tidak mengingininya lagi, lalu si istri mengatakan, "Janganlah engkau
menceraikan diriku, dan sebagai imbalannya engkau bebas dari urusanku."
Hadis ini disebutkan di dalam kitab sahihain melalui berbagai jalur, dari
Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang semisal
dengan hadis di atas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid dan Ibnu
Waki'; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Asy'as,
dari Ibnu Sirin yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Khalifah
Umar ibnul Khattab, lalu bertanya kepadanya mengenai makna suatu ayat, dan Umar
tidak suka dengan pertanyaan tersebut, kemudian Umar memukul lelaki itu dengan
cemeti. Lalu ada lelaki lain datang menanyakan tentang makna ayat ini, yaitu
firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya. (An-Nisa: 128); Kemudian Umar berbuat hal yang sama
dengan orang yang pertama tadi. Akhirnya mereka yang ada menanyakannya, kemudian
barulah Umar r.a. menjawab bahwa wanita yang dimaksud adalah istri seseorang
yang telah dilupakannya, lalu suaminya kawin lagi dengan wanita muda dengan
maksud ingin mempunyai anak. Maka sesuatu yang disepakati oleh kedua belah pihak
melalui perdamaian merupakan hal yang diperbolehkan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain
Al-Hasanjani, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada
kami Abul Ahwas, dari Sammak ibnu Harb, dari Khalid ibnu Ur'urah yang
menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ali ibnu Abu Talib, lalu
bertanya kepadanya mengenai makna firman-Nya: Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa
bagi keduanya. (An-Nisa: 128), hingga akhir ayat. Maka Ali ibnu Abu Talib
menjawab bahwa hal ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai seorang
istri, lalu ia tidak menyukainya lagi karena rupanya yang tidak cantik, usianya
telah tua, akhlaknya jahat, atau ada cacatnya, tetapi si istri tidak suka
diceraikan oleh suaminya. Maka jika si istri menghapuskan sebagian dari mas
kawinnya (dengan syarat tidak diceraikan), maka hal itu halal bagi suaminya.
Jika si istri merelakan hari-hari gilirannya, tidak mengapa hal itu
dilakukan.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu'bah, dari
Hammad ibnu Salamah dan Abul Ahwas.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Israil, semuanya bersumber dari
Sammak.
Hal yang sama ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, Ubaidah As-Salmani, Mujahid ibnu
Jubair, Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Atiy-yah Al-Aufi, Makhul, Al-Hasan,
Al-Hakam ibnu Atabah, dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang
dari kalangan ulama Salaf dan para imam. Menurutku, aku belum mengetahui ada
seseorang yang berpendapat berbeda dengan penafsiran ayat ini.
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah dari
Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab, bahwa anak perempuan Muhammad ibnu Muslim menjadi
istri Rafi' ibnu Khadij. Maka Rafi' ibnu Khadij tidak menyukainya lagi karena
usianya telah lanjut atau faktor yang lain, lalu Rafi' bermaksud menceraikannya.
Kemudian si istri berkata, "Janganlah engkau ceraikan aku, dan gilirlah aku
menurut kemauanmu." Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya. (An-Nisa: 128), hingga akhir ayat.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Abdur
Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab dan Sulaiman ibnu
Yasar dengan konteks yang lebih panjang dari ini.
Al Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Sa'id ibnu Abu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Ahmad ibnu
Abdullah Al-Muzani, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Isa,
telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepadaku Syu'aib
ibnu Abu Hamzah, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayyab
dan Sulaiman ibnu Yasar, menurut ketentuan sunnah sehubungan dengan kedua ayat
yang di dalamnya menceritakan perihal seorang lelaki dan sikap tidak acuh
terhadap istrinya, yaitu firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan
nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An-Nisa: 128), hingga akhir
ayat berikutnya. berkenaan dengan seorang lelaki bila nusyuz (tidak suka lagi)
terhadap istrinya dan tidak lagi memperhatikannya. Maka sebagai jalan keluarnya
si suami adakalanya menceraikannya atau tetap memegangnya sebagai istri dengan
memperoleh hak sepenuhnya berupa hak giliran, juga sebagian dari harta; hal ini
boleh dilakukan oleh pihak suami. Begitu pula sebaliknya jika pihak istri
mengadakan perdamaian kepada pihak suami dengan merelakan hak-hak tersebut,
pihak istri boleh melakukannya. Menurut Sa'id ibnul Musayyab dan Sulaiman,
perdamaian inilah yang dimaksud oleh firman-Nya: maka tidak mengapa bagi
keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih
baik (bagi mereka). (An-Nisa: 128)
Diriwayatkan kepadaku bahwa Rafi' ibnu Khadij Al-Ansari (salah seorang
sahabat Nabi Saw.) mempunyai seorang istri; ketika istrinya telah tua, lalu ia
kawin lagi dengan gadis yang masih muda hingga hatinya lebih cenderung kepada
istri mudanya. Maka istri tuanya meminta diceraikan, lalu Rafi' menceraikannya
dengan satu talak dan menangguhkannya. Tetapi bila masa idah-nya akan habis,
maka Rafi' merujuknya kembali. Kemudian Rafi' tetap bersikap lebih memperhatikan
istri mudanya. Maka istri tuanya meminta cerai lagi, dan Rafi' berkata
kepadanya, "Saya hanya menuruti kemauanmu, sesungguhnya talakmu padaku hanya
tinggal sekali lagi. Jika kamu mau tetap menjadi istriku dengan perlakuan
seperti yang kamu alami sekarang, kamu boleh tetap menjadi istriku; atau jika
kamu lebih suka kuceraikan, maka kamu aku ceraikan." Maka istri tua Rafi'
berkata, "Tidak, bahkan aku ingin tetap menjadi istrimu, sekalipun harus
berkorban." Maka Rafi' tetap memegangnya sebagai istri dengan persyaratan
tersebut; demikianlah perdamaian yang dilakukan oleh keduanya, dan Rafi' tidak
memandang hal ini sebagai perbuatan yang berdosa karena pihak istri rela tetap
berstatus sebagai istrinya, sekalipun hari gilirannya diberikan kepada istri
mudanya.
Hal yang sama secara lengkap diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari ayahnya,
dari Abul Yaman, dari Syu'aib, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab dan
Sulaiman ibnu Yasar, lalu Ibnu Abu Hatim mengetengahkannya dengan panjang
lebar.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَالصُّلْحُ
خَيْرٌ
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). (An-Nisa: 128)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud
ialah takhyir, yaitu pihak suami memberikan hak pilih kepada istrinya
antara tetap menjadi istri atau diceraikan. Hal ini lebih baik daripada ia
merelakan haknya kepada madunya dan membiarkan suaminya berkepanjangan
memberlakukannya demikian.
Menurut makna lahiriah ayat, perdamaian yang dilakukan keduanya ialah pihak
istri memberikan sebagian dari haknya kepada suaminya dan pihak suami menerima
syarat tersebut; hal ini lebih baik bagi pihak istri daripada diceraikan sama
sekali. Sebagaimana Nabi Saw. tetap memegang Siti Saudah binti Zam'ah sebagai
istrinya dengan merelakan hari gilirannya kepada Siti Aisyah r.a. dan Nabi Saw.
tidak menceraikannya, melainkan membiarkannya termasuk salah seorang dari
istri-istrinya.
Nabi Saw. sengaja melakukan demikian agar umatnya mengikuti jejaknya dalam
masalah ini, bahwa hal tersebut disyariatkan dan diperbolehkan. Hal ini lebih
baik bagi Nabi Saw., mengingat keserasian itu lebih disukai oleh Allah Swt.
daripada perceraian. Demikianlah makna firman-Nya: dan perdamaian itu lebih
baik (bagi mereka). (An-Nisa: 128)
Bahkan talak itu dimurkai oleh Allah Swt.
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah,
keduanya dari Kasir ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu Khalid, dari Ma’ruf ibnu
Wasil, dari Muharib ibnu Disar, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَبْغَضُ
الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ"
Perkara halal yang paling dimurkai oleh Allah ialah talak.
Kemudian Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Yunus, dari Ma'ruf,
dari Muharib yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, lalu ia
mengetengahkan hadis tersebut dengan lafaz yang semakna dengan hadis di atas
secara mursal.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ
تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ بِما تَعْمَلُونَ
خَبِيراً
Dan jika kalian menggauli istri kalian dengan baik dan memelihara diri
kalian (dari nusyuz dan sikap tak acuh terhadap istri), maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (An-Nisa: 128)
Jika kalian sabar menahan apa yang tidak kalian sukai dari mereka dan kalian
tetap membagi giliran kepada mereka sama dengan istri kalian yang lainnya, maka
sesungguhnya Allah Mengetahui hal tersebut, dan kelak Dia akan memberikan kepada
kalian balasan pahala yang berlimpah atas sikap kalian yang bijak itu.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri
(kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. (An-Nisa: 129)
Kalian tidak akan mampu, hai manusia, untuk berlaku adil kepada semua istri
kalian dengan perlakuan yang sama di antara sesama mereka dari segala segi.
Karena sesungguhnya jika memang terjadi keadilan dalam pembagian giliran secara
lahiriah, yaitu misalnya masing-masing istri mendapat giliran satu malam, maka
tidak luput dari perbedaan dalam segi cinta dan berahinya serta persetubuhan
yang dilakukan. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ubaidah
As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Basri, dan Ad-Dahhak ibnu Muzahim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Husain
Al-Ju'fi, dari Zaidah, dari Abdul Aziz ibnu Rafi', dari Ibnu Abu Mulaikah yang
mengatakan bahwa firman-Nya: Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat
demikian. (An-Nisa: 129) diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah r.a.
Demikian itu karena Nabi Saw. mencintainya dengan kecintaan yang lebih besar
daripada istri-istri beliau yang lainnya.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan para pemilik kitab sunan melalui hadis Hammad ibnu Salamah, dari
Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abdullah ibnu Yazid, dari Aisyah yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. membagi-bagi gilirannya di antara istri-istrinya dengan
cara yang adil. Kemudian Nabi Saw. bersabda:
«اللَّهُمَّ
هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ، فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا
أملك»
Ya Allah, inilah pembagianku terhadap apa yang aku miliki, tetapi
janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak
memilikinya.
Yang beliau maksud ialah kecenderungan hati.
Demikianlah menurut lafaz hadis yang diketengahkan oleh Imam Abu Daud, dan
hadis ini sanadnya sahih. Tetapi Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
diriwayatkan pula oleh Hammad ibnu Zaid dan lainnya yang bukan hanya seorang
dari Ayyub, dari Abu Qilabah, secara mursal. Menurut Imam Turmuzi, sanad ini
lebih sahih.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَلا
تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ}
Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai). (An-Nisa: 129)
Dengan kata lain, apabila kamu cenderung lebih mencintai seseorang dari
istri-istrimu, maka janganlah kamu berlebihan dalam kecenderungan itu secara
habis-habisan.
{فَتَذَرُوهَا
كَالْمُعَلَّقَةِ}
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. (An-Nisa: 129)
Yakni istri yang lainnya ditelantarkan.
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Ar-Rabi'
ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, makna yang dimaksud ialah istri
yang lain dibiarkan terkatung-katung, bukan seperti wanita yang bersuami, bukan
pula seperti wanita yang diceraikan.
قَالَ
أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ: أَنْبَأَنَا هَمَّام، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ
النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ بشير بن نَهِيك، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ شِقَّيْهِ سَاقِطٌ".
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammam dari
Qatadah, dari An-Nadr ibnu Anas, dari Basyir ibnu Nahik, dari Abu Hurairah yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa yang
mempunyai dua orang istri, lalu ia cenderung (lebih mencintai kepada) salah
seorangnya, kelak di hari kiamat ia akan datang, sedangkan salah satu dari
pundaknya miring.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunan
melalui hadis Hammam ibnu Yahya, dari Qatadah, dengan lafaz yang sama. Imam
Turmuzi mengatakan, sesungguhnya yang mengisnadkan hadis ini adalah Hammam, dan
Hisyam Ad-Dustuwai' meriwayatkannya dari Qatadah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa
menurut suatu pendapat, hadis ini tidak dikenal berpredikat marfu' kecuali yang
melalui hadis Hammam.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ
تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ غَفُوراً رَحِيماً
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa:
129)
Maksudnya, apabila kalian memperbaiki perkara kalian dan melakukan giliran
dengan adil terhadap semua istri kalian, serta kalian bertakwa kepada Allah
dalam segala keadaan, niscaya Allah memberikan ampunan bagi kalian atas apa yang
kalian lakukan, yaitu kecenderungan kalian kepada salah seorang di antara
istri-istri kalian, sedangkan yang lainnya tidak kalian cenderungi.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَإِنْ
يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا
حَكِيمًا}
Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada
masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Mahaluas
(karunia-Nya) lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 130)
Apa yang disebut oleh ayat ini merupakan keadaan yang ketiga, yaitu keadaan
perceraian. Allah memberitahukan bahwa apabila keduanya bercerai, sesungguhnya
Allah akan memberikan kecukupan kepada pihak laki-laki hingga tidak memerlukan
lagi bekas istrinya, dan akan memberikan kecukupan pula kepada pihak perempuan
hingga tidak memerlukan lagi bekas suaminya. Misalnya Allah memberikan ganti
kepada pihak laki-laki seorang istri yang lebih baik daripada bekas istrinya.
Allah memberikan ganti pula kepada pihak perempuan seorang suami yang lebih baik
daripada bekas suaminya yang lalu.
{وَكَانَ
اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا}
Dan adalah Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana. (An-Nisa:
130)
Artinya, Allah Mahaluas karunia-Nya lagi Mahabesar anugerah-Nya, lagi
Mahabijaksana dalam semua perbuatan dan takdir serta syariat-Nya.
No comments