004. Surat An-Nisa Ayat 105 - 106 - 107 - 108 - 109 - Tafsir Ibnu Katsir - Muslim Notebook
Terjemah Tafsir Ibnu Katsir Al-Quran Surat 004. An-Nisa Ayat 105 - 106 - 107 - 108 - 109 - Muslim Notebook
An-Nisa, ayat 105-109
إِنَّا
أَنْزَلْنا إِلَيْكَ الْكِتابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِما أَراكَ
اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخائِنِينَ خَصِيماً (105) وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ كانَ غَفُوراً رَحِيماً (106) وَلا تُجادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتانُونَ
أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كانَ خَوَّاناً أَثِيماً (107)
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ
يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضى مِنَ الْقَوْلِ وَكانَ اللَّهُ بِما يَعْمَلُونَ
مُحِيطاً (108) هَا أَنْتُمْ هؤُلاءِ جادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَياةِ الدُّنْيا
فَمَنْ يُجادِلُ اللَّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ
وَكِيلاً (109)
Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Kitab kepada kamu dengan
membawa kebenaran,
supaya kamu
mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang
khianat, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang
mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu
berkhianat lagi bergelimang dosa; mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka
tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu
malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak Allah ridai. Dan adalah
Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. Beginilah
kalian, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka
dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk
(membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka
(terhadap siksa Allah)?
Allah Swt. berfirman, ditujukan kepada Rasul-Nya:
{إِنّا
أَنزلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ}
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran. (An-Nisa: 105)
Kitab itu adalah perkara yang hak dari Allah; di dalam berita dan perintah
serta larangannya mengandung perkara yang hak.
Firman Allah Swt.:
لِتَحْكُمَ
بَيْنَ النَّاسِ بِما أَراكَ اللَّهُ
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
perlihatkan kepadamu. (An-Nisa: 105)
Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan ulama Usul yang berpendapat bahwa Nabi
Saw. boleh memutuskan peradilan dengan ijtihad, berdasarkan makna ayat ini.
Berdasarkan apa yang telah disebut di dalam kitab Sahihain, dari Hisyam ibnu
Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Ummu Salamah, dari Ummu Salamah, bahwa
Rasulullah Saw. pernah mendengar suara gaduh persengketaan di depan pintu
rumahnya. Maka beliau keluar menemui mereka, dan bersabda:
«أَلَا
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّمَا أَقْضِي بِنَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ، وَلَعَلَّ
أَحَدَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي لَهُ فَمَنْ
قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هي قطعة من النار فَلْيَحْمِلْهَا أَوْ
لِيَذَرْهَا»
Ingatlah, sebenarnya aku adalah seorang manusia, dan aku hanya
memutuskan peradilan sesuai dengan apa yang aku dengar. Dan barangkali seseorang
dari kalian adalah orang yang lebih lihai dalam beralasan daripada sebagian yang
lain, lalu aku memutuskan peradilan untuk (kemenangan)nya. Maka barang siapa
yang aku telah putuskan peradilan untuknya terhadap hak seorang muslim,
sesungguhnya hal itu hanyalah sepotong api neraka. Karena itu, hendaklah ia
membawanya atau membiarkannya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعٍ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: جَاءَ رَجُلَانِ مِنَ
الْأَنْصَارِ يَخْتَصِمَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي مَوَارِيثَ بَيْنَهُمَا قَدْ دَرَسَتْ، لَيْسَ عِنْدَهُمَا
بَيِّنَةٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّكُمْ
تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ ألْحَن
بحُجَّتِه مِنْ بَعْضٍ، وَإِنَّمَا أَقْضِي بَيْنَكُمْ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا
أَسْمَعُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْهُ،
فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ، يَأْتِي بِهَا إِسْطَامًا فِي
عُنُقِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ". فَبَكَى الرَّجُلَانِ وَقَالَ كُلٌّ مِنْهُمَا:
حَقِّي لِأَخِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"أَمَّا إِذَا قُلْتُمَا فَاذْهَبَا فَاقْتَسِمَا، ثُمَّ تَوَخَّيَا الْحَقَّ،
ثُمَّ اسْتَهِمَا، ثُمَّ ليُحْللْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْكُمَا
صَاحِبَهُ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah
menceritakan kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Rafi', dari Ummu
Salamah yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki dari kalangan Ansar datang
mengadukan persengketaan mereka kepada Rasulullah Saw. mengenai warisan yang ada
di antara keduanya di masa yang lalu, sedangkan masing-masing tidak mempunyai
bukti. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya kalian mengadukan perkara
kalian kepadaku, dan sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, barangkali salah
seorang dari kalian lebih lihai dalam alasannya daripada yang lain, dan aku
hanya memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar. Maka barang siapa yang
aku putuskan sesuatu untuk kemenangannya menyangkut hak saudaranya, janganlah
dia mengambilnya. Karena sebenarnya aku memberikan kepadanya sepotong api
neraka, yang akan ia bawa seraya dikalungkan di lehernya kelak di hari
kiamat. Maka kedua lelaki itu menangis, lalu masing-masing
mengatakan, "Hakku untuk saudaraku." Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Mengapa
tidak kalian katakan sejak semula, sekarang pergilah dan berbagilah kalian, dan
tegakkanlah perkara yang hak di antara kalian berdua, kemudian bagikanlah di
antara kamu berdua dan hendaklah masing-masing dari kalian menghalalkan kepada
temannya.
Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Usamah ibnu Zaid dengan lafaz
yang sama, tetapi ditambahkan:
«إِنِّي
إِنَّمَا أَقْضِي بَيْنَكُمَا بِرَأْيٍ فِيمَا لَمْ يَنْزِلْ عَلَيَّ
فِيهِ»
Sesungguhnya aku hanya memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan
pendapatku sehubungan dengan hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku
mengenainya.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui Al-Aufi, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa segolongan orang dari kalangan Ansar ikut berperang
bersama-sama Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan. Lalu baju besi salah
seorang dari mereka ada yang mencuri. Menurut dugaanku, pencuri tersebut adalah
seseorang dari kalangan Ansar. Maka pemilik baju besi itu datang kepada
Rasulullah Saw. dan berkata, "Sesungguhnya Tu'mah ibnu Ubairiq telah mencuri
baju besiku." Setelah si pencuri melihat hal tersebut, maka dengan sengaja ia
menaruh baju besi itu di dalam rumah seseorang yang tidak mencuri (tanpa
sepengetahuannya), lalu ia datang kepada segolongan dari kaum kerabatnya,
"Sesungguhnya aku sembunyikan baju besi itu dengan menaruhnya di rumah si Fulan,
maka baju besi itu kelak akan dijumpai di dalam rumahnya.' Lalu keluarga si
pencuri berangkat menemui Nabi Saw. di malam hari dan mengatakan, "Wahai Nabi
Allah, sesungguhnya teman kami tidak bersalah, dan pemilik baju besi itu (yakni
si Fulan) telah mengetahui tuduhan yang dilancarkannya. Maafkanlah teman kami di
mata orang banyak dan belalah dia; karena sesungguhnya jika ia tidak dipelihara
oleh Allah melaluimu, niscaya dia akan binasa." Rasulullah Saw. bangkit dan
membersihkan namanya serta memaafkannya di hadapan orang banyak. Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan jangan-lah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, dan mohonlah ampun
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya.
(An-Nisa: 105-107); Kemudian Allah Swt. berfirman, ditujukan kepada
orang-orang yang datang kepada Rasulullah Saw. seraya menyembunyikan kedustaan,
yaitu: mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari
Allah. (An-Nisa: 108), hingga akhir ayat berikutnya. Ayat ini ditujukan
kepada orang-orang yang datang kepada Rasulullah Saw. seraya menyembunyikan
sesuatu untuk membela orang yang berbuat khianat. Kemudian Allah Swt.
berfirman: Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya din
sendiri. (An-Nisa: 110), hingga akhir ayat. Yang dimaksud ialah mereka yang
datang kepada Rasulullah Saw. seraya menyembunyikan kedustaan. Kemudian dalam
ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman: Barang siapa yang mengerjakan
kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka
sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.
(An-Nisa: 112) Maksudnya, si pencuri tersebut dan orang-orang yang membelanya. Akan tetapi konteks hadis ini garib.
Mujahid, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya telah
mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang pencuri dari
kalangan Bani Ubairiq. Mereka mengetengahkan kisahnya dengan konteks yang
berbeda-beda, tetapi pengertiannya berdekatan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan kisah ini secara panjang lebar. Untuk itu
Abu Isa At-Turmuzi dalam kitab Jami'-nya dalam tafsir ayat ini —dan Imam Ibnu
Jarir dalam kitab tafsirnya— mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan
ibnu Ahmad ibnu Abu Syu'aib Abu Muslim Al-Harrani, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Salamah Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Ishaq, dari Asim, dari Umar ibnu Qatadah, dari ayahnya, dari kakeknya
(yaitu Qatadah ibnu Nu'man r.a.) yang menceritakan hadis berikut:
Dalam salah satu ahli bait dari kalangan kami yang dikenal dengan nama Bani
Ubairiq terdapat orang yang bernama Bisyr, Basyir, dan Mubasysyir. Basyir adalah
seorang munafik, dia mengucapkan syair untuk mengejek sahabat-sahabat Rasul
Saw., kemudian ia menisbatkannya kepada seseorang dari kalangan orang-orang
Badui. Lalu ia mengatakan bahwa si Fulan telah mengatakan anu dan anu, dan si
Fulan yang lain telah mengatakan demikian dan demikian. Akan tetapi, bila
sahabat-sahabat Rasulullah Saw. mendengar syair tersebut, mereka berkata, "Demi
Allah, tidak ada orang yang mengatakan syair ini kecuali lelaki yang jahat itu,"
atau kalimat yang serupa. Mereka mengatakan bahwa yang mengatakannya adalah
Ibnul Ubairiq. Bani Unairiq adalah suatu keluarga yang miskin lagi sengsara,
baik di masa Jahiliah maupun di masa Islam. Di Madinah makanan pokok mereka
adalah buah kurma dan gandum. Seseorang yang mempunyai kemampuan, bila datang
kafilah dari negeri Syam (yaitu dari Darmak), dia membeli makanan pokoknya dari
kafilah tersebut khusus untuk dirinya. Adapun anak-anak mereka, makanan pokoknya
adalah kurma dan gandum. Ketika datang kafilah dari Syam, pamanku (yaitu Rifa'ah
ibnu Zaid) membeli sepikul makanan pokok yang dibawa kafilah itu dari Darmak,
lalu ia memasukkannya ke dalam pedaringan (gentong beras); di dalam pedaringan
itu terdapat pula senjata, baju besi, dan pedang. Pada suatu malam sesudah
pembelian itu, rumah pamanku kemasukan pencuri yang masuk dari bagian bawah. Si
pencuri membobok pedaringan dan mengambil makanan berikut senjata. Pada pagi
harinya, pamanku Rifa'ah datang kepadaku melaporkan, "Hai anak saudaraku,
sesungguhnya tadi malam kita kemalingan, tempat penyimpanan makanan kita dibobok
dan pencuri membawa makanan serta senjata kita." Lalu kami menyelidiki di
sekitar perkampungan itu. Kami bertanya ke sana dan kemari. Akhirnya ada yang
mengatakan bahwa mereka melihat Bani Ubairiq menyalakan api (memasak) tadi
malam, dan mereka berpendapat bahwa yang mereka masak itu tiada lain makanan
curian dari kami. Ketika kami sedang melakukan penyelidikan, yang saat itu Bani
Ubairiq ada di dalam perkampungan itu, mereka mengatakan, "Demi Allah, kami
merasa yakin orang yang mencuri makanan kalian itu tiada lain Labid ibnu Sahl,
seorang lelaki dari kalangan kita yang dikenal baik dan Islam." Ketika Labid
mendengar tuduhan itu, dengan serta merta ia menghunus pedangnya dan berkata,
"Aku dikatakan mencuri? Demi Allah, kalian akan merasakan pedang ini atau kalian
harus membuktikan pencurian ini." Mereka berkata, "Tenanglah, menjauhlah engkau
dari kami, engkau bukan pencurinya." Maka kami terus melakukan penyelidikan di
perkampungan itu sampai kami tidak meragukan lagi bahwa mereka adalah
pencurinya. Kemudian pamanku berkata kepadaku, "Hai keponakanku, sebaiknya
engkau datang saja kepada Rasulullah Saw. dan berbicara kepadanya mengenai hal
tersebut." Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia datang kepada Rasulullah
Saw. dan berkata, "Sesungguhnya ada suatu keluarga dari kalangan kami yang
miskin, mereka mengincar rumah pamanku Rifa'ah ibnu Zaid, lalu mereka mencuri
apa yang tersimpan di dalam tempat makanannya; mereka mengambil senjata dan
makanan yang ada padanya. Maka aku memohon kepadamu untuk mengatakan kepada
mereka, hendaknya mereka mengembalikan kepada kami senjata kami. Adapun mengenai
makanan, maka kami relakan." Nabi Saw. bersabda, "Aku akan melaksanakan hal
tersebut." Tetapi ketika Bani Ubairiq mendengar hal tersebut, mereka datang
kepada seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Usaid ibnu
Urwah, lalu mereka berbicara kepadanya mengenai hal itu. Maka mereka sepakat
untuk mengadakan pembelaan di hadapan Nabi Saw., lalu mereka berkata, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Qatadah ibnun Nu'man dan pamannya datang kepada suatu
keluarga dari kalangan kami yang dikenal sebagai ahli Islam dan orang baik-baik;
lalu mereka menuduhnya berbuat mencuri, tanpa bukti dan saksi." Qatadah
melanjutkan kisahnya, Maka aku datang lagi kepada Nabi Saw. untuk membicarakan
hal itu, tetapi Nabi Saw. bersabda (kepadaku), 'Kamu telah datang ke suatu
keluarga yang dikenal di kalangan mereka sebagai pemeluk Islam dan orang
baik-baik, lalu kamu tuduh mereka mencuri tanpa bukti dan tanpa saksi'." Qatadah
mengatakan, "Lalu aku kembali, dan sesungguhnya perasaanku saat itu benar-benar
rela mengeluarkan sebagian dari hartaku, tanpa harus membicarakan hal tersebut
kepada Rasulullah Saw. Lalu pamanku datang kepadaku dan bertanya, 'Hai
keponakanku, apakah yang telah kamu lakukan?' Lalu aku menceritakan kepadanya
apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah Saw. kepadaku. Maka pamanku berkata,
'Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan'." Tetapi tidak lama kemudian
turunlah wahyu Al-Qur'an yang mengatakan seperti berikut, yaitu: Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
jangan-lah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat. (An-Nisa: 105) dan mohonlah ampun kepada
Allah. (An-Nisa: 106) Yang dimaksud dengan 'orang-orang yang berkhianat' itu
adalah Bani Ubairiq. Yaitu memohon ampun dari apa yang telah kamu katakan kepada
Qatadah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah
kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya.
(An-Nisa: 106-107) sampai dengan firman-Nya: Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (An-Nisa: 110) Dengan kata lain, seandainya mereka meminta ampun,
niscaya mereka diampuni. Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka
sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudaratan) dirinya sendiri. (An-Nisa:
111) sampai dengan firman-Nya: dosa yang nyata. (An-Nisa: 112) Firman
Allah Swt. yang ditujukan kepada Labid, yaitu: Sekiranya bukan karena karunia
Allah dan rahmat-Nya kepadamu. (An-Nisa: 113) sampai dengan firman-Nya: maka
kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (An-Nisa: 114) Ketika Al-Qur'an
telah diturunkan kepada Rasulullah Saw., senjata itu diserahkan kepada
Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. mengembalikannya kepada Rifa'ah. Qatadah
mengatakan, "Aku datang kepada pamanku dengan membawa senjata tersebut,
sedangkan pamanku adalah orang yang sudah lanjut usia atau telah tuna netra
sejak zaman Jahiliah; 'atau' di sini mengandung makna ragu-ragu dari pihak Abu
Isa, dan aku menilai Islam pamanku masih diragukan. Ketika aku menyerahkan
senjata itu kepadanya, ia berkata, "Hai keponakanku, senjata itu kusedekahkan
buat sabilillah." Maka aku merasa yakin bahwa Islamnya adalah benar. Setelah
Al-Qur'an mengenai hal tersebut diturunkan, maka Basyir bergabung dengan
orang-orang musyrik, lalu ia bertempat tinggal di rumah Sulafah binti Sa'd ibnu
Sumayyah. Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan barang siapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu. dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik
itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan
(sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.
(An-Nisa: 115-116) Setelah Basyir tinggal di rumah Sulafah binti Sa'd, maka
Hissan ibnu Sabit mengejeknya melalui bait-bait syair. Maka Sulafah mengambil
pelana unta kendaraan Basyir dan memanggulnya di atas kepala, lalu ia keluar
rumah dan mencampakkan pelana itu ke padang pasir. Kemudian ia berkata, "Kamu
menghadiahkan kepadaku syairnya Hissan (yang pedas), kamu bukan datang kepadaku
dengan kebaikan."
Lafaz hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Turmuzi disebutkan bahwa hadis
ini garib, kami tidak mengetahui seseorang pun yang meng-isnad-kan
(menyandarkan)nya selain Muhammad ibnu Salamah Al-Harrani.
Yunus ibnu Bukair dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah
meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim ibnu Umar ibnu Qatadah
secara mursal, tanpa menyebutkan dari ayahnya, dari kakeknya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Hasyim ibnul Qasim Al-Harrani, dari
Muhammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama dengan sebagiannya.
Ibnul Munzir di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ismail (yakni As-Saiq), telah menceritakan kepada kami Ahmad
ibnu Abu Syu'aib Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Salamah, lalu ia mengetengahkan hadis ini dengan panjang lebar.
Abusy Syekh Al-Asbahani di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan hadis ini
dari Muhammad ibnu Ayyasy ibnu Ayyub dan Al-Hasan ibnu Ya'qub; keduanya dari
Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu'aib Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah
dengan lafaz yang sama. Kemudian di akhirnya ia mengatakan bahwa Muhammad ibnu
Salamah mengatakan, "Telah mendengar hadis ini dariku Yahya ibnu Mu'in, Ahmad
ibnu Hambal, dan Ishaq ibnu Israil."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi di
dalam kitabnya yang berjudul Al-Mustadrak, dari Ibnu Abbas Al-Asam, dari Ahmad
ibnu Abdul Jabbar Al-Utaridi, dari Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq
secara makna lagi lebih lengkap daripada yang lain, dan di dalamnya terdapat
syair. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Imam
Muslim, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak
mengetengahkannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
يَسْتَخْفُونَ
مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ
mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari
Allah. (An-Nisa: 108)
Ayat ini mengingkari perbuatan orang-orang munafik, karena mereka
menyembunyikan keburukan-keburukannya dari mata manusia, agar manusia tidak
ingkar terhadap mereka (percaya kepada mereka), tetapi mereka berani
terang-terangan melakukan hal tersebut terhadap Allah, karena Allah melihat
semua rahasia mereka dan mengetahui apa yang terkandung di dalam hati sanubari
mereka.
Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَهُوَ
مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا
يَعْمَلُونَ مُحِيطًا}
padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan
keputusan rahasia yang tidak Allah ridai. Adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya)
terhadap apa yang mereka kerjakan. (An-Nisa: 108)
Ayat ini mengandung makna ancaman dan peringatan terhadap mereka.
*******************
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
هَا
أَنْتُمْ هَؤُلاءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
Beginilah kalian, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk
(membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. (An-Nisa: 109)
Dengan kata lain, misalnya mereka menang dalam perkaranya berkat apa yang
mereka kemukakan atau berkat alasan-alasan yang mereka ajukan kepada para hakim
yang menjalankan tugasnya menurut apa yang ada pada lahiriahnya saja, sekalipun
mereka itu dianggap beribadah di dalam pekerjaannya. Maka apakah yang akan
dilakukan oleh mereka kelak di hari kiamat di hadapan peradilan Allah Swt. yang
mengetahui semua rahasia dan yang tidak tampak? Siapakah yang akan membela
mereka pada hari kiamat itu untuk memperkuat pengakuan mereka? Dengan kata lain,
makna yang dimaksud ialah tidak ada seorang pun yang dapat menolong mereka.
Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: Atau siapakah yang jadi
pelindung mereka (terhadap siksa Allah)? (An-Nisa: 109)
No comments