Muslim Notebook Header Ads

002. Surat Al-Baqoroh Ayat 104 - 150 - Tafsir Ibnu Katsir - Muslim Notebook


Al-Baqarah, ayat 104-105


{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (104) مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنزلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (105) }
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina" tetapi katakanlah, "Unzurna" dan, "Dengarlah." Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkan sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Melalui ayat ini Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupakan diri dengan orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan. Demikian itu karena orang-orang Yahudi selalu menggunakan ucapan-ucapan yang di dalamnya terkandung makna sindiran untuk menyembunyikan maksud sebenarnya, yaitu menghina Nabi Saw.; semoga Allah melaknat mereka. Untuk itu apabila mereka hendak mengatakan, "Sudilah kiranya Anda mendengar (memperhatikan) kami," maka mereka mengatakannya menjadi ra'ina; mereka menyindirnya dengan kata-kata yang berarti kebodohan (ketololan), diambil dari akar kata ar-ra'inah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا}
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, "Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.'"' Dan (mereka mengatakan pula), "Dengarlah," semoga kamu tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan), "Ra’ina," dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikan kami," tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis. (An-Nisa: 46)
Demikian pula disebutkan oleh hadis-hadis yang menceritakan bahwa mereka itu (orang-orang Yahudi) apabila mengucapkan salam, sesungguhnya yang mereka ucapkan hanya berarti As-samu 'alaikum, sedangkan makna as-samu ialah kebinasaan atau kematian.
Karena itulah bila menjawab salam mereka kita diperintahkan menggunakan kata-kata wa 'alaikum. Karena sesungguhnya yang diperkenankan oleh Allah hanyalah buat kita untuk kebinasaan mereka, sedangkan dari mereka yang ditujukan kepada kita tidak diperkenankan.
Tujuan ayat ini ialah Allah melarang kaum mukmin menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatannya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "ra’ina" tetapi katakanlah, "Unzurna," dan "Dengarlah." Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (Al-Baqarah: 104)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي مُنيب الجُرَشي، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةَ بِالسَّيْفِ، حَتَّى يُعبد اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ. وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَتِ الذِّلَّةُ والصَّغارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sabit, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Atiyyah, dari Abu Munib Al-Jarasyi, dari Ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku diutus sebelum hari kiamat dengan membawa pedang hingga hanya Allah semata yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya; dan rezekiku dijadikan di bawah naungan tombakku, serta kenistaan dan kehinaan dijadikan bagi orang yang menentang perintahku. Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Usman ibnu Abu Syaibah, dari Abun Nadr Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ibnul Qasim dengan lafaz yang sama, yaitu:
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.
Di dalam hadis ini terkandung larangan, peringatan, dan ancaman yang keras meniru-niru orang kafir dalam ucapan, perbuatan, pakaian, hari-hari raya, ibadah mereka, serta perkara-perkara lainnya yang tidak disyariatkan kepada kita dan yang kita tidak mengakuinya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Mis'ar, dari Ibnu Ma'an dan Aun atau salah seorang dari keduanya, bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah ibnu Mas'ud, lalu lelaki itu berkata, "Berilah aku pelajaran." Ibnu Mas'ud menjawab, "Apabila kamu mendengar Allah Swt. berfirman, 'Hai orang-orang yang beriman,' maka bukalah lebar-lebar telingamu (perhatikanlah) karena sesungguhnya hal itu merupakan kebaikan yang diperintahkan, atau kejahatan yang dilarang."
Al-A'masy meriwayatkan dari Khaisamah yang pernah berkata, "Apa yang kalian baca di dalam Al-Qur'an yang bunyinya mengatakan, 'Hai orang-orang yang beriman,' maka sesungguhnya hal itu di dalam kitab Taurat disebutkan, 'Hai orang-orang miskin'."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna kalimat ra'ina. Ia mengatakan, artinya ialah 'perhatikanlah kami dengan pendengaranmu'.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina." (Al-Baqarah: 104)  Pada mulanya mereka mengatakan kepada Nabi Saw., "Bukalah pendengaranmu lebar-lebar untuk kami." Sesungguhnya ucapan ra'ina ini sama dengan ucapanmu, "'Alinna."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abul Aliyah dan Abu Malik serta Ar-Rabi' ibnu Anas, Atiyyah Al-Aufl dan Qatadah.
Mujahid mengatakan, makna la taqulu ra'ina ialah janganlah kalian mengatakan hal yang bertentangan. Menurut riwayat lain disebutkan, "Janganlah kamu katakan, 'Perhatikanlah kami, maka kami akan memperhatikanmu'."
Ata mengatakan bahwa ra'ina adalah suatu dialek di kalangan orang-orang Ansar, maka Allah melarang hal tersebut.
Al-Hasan mengatakan bahwa ucapan ra'ina artinya kata-kata ejekan, mengingat ar-ra'inu minal qauli artinya kata-kata yang digunakan untuk tujuan tersebut. Allah Swt. melarang memperolok-olok ucapan Nabi Saw. dan seruan beliau yang mengajak mereka masuk Islam. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ibnu Juraij, bahwa dia mengatakan hal yang semisal.
Abu Sakhr mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina," tetapi katakanlah, "Unzurna." (Al-Baqarah: 104) Pada mulanya apabila ada seseorang dari kalangan kaum mukmin mempunyai suatu hajat (keperluan) kepada Nabi Saw., sedangkan Nabi Saw. telah beranjak dari mereka, maka mereka memanggilnya dengan ucapan, "'Sudilah kiranya engkau memperhatikan kami." Hal ini terasa kurang enak oleh Rasulullah Saw. bila ditujukan kepada diri beliau.
As-Saddi mengatakan, seorang lelaki dari kalangan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa' yang dikenal dengan nama Rifa'ah ibnu Zaid sering datang kepada Nabi Saw. Apabila Rifa'ah bersua dengannya, lalu mereka berbincang-bincang. Rifa'ah mengatakan, "Dengarkanlah aku, semoga engkau tidak mendengar apa-apa" (dengan memakai dialeknya), sedangkan kaum muslim menduga bahwa para nabi terdahulu dihormati dengan ucapan tersebut. Maka salah seorang kaum muslim ikut-ikutan mengatakan, "Dengarkanlah, semoga engkau tidak mendengar, semoga engkau tidak berkecil hati." Kalimat inilah yang disebutkan di dalam surat An-Nisa. Maka Allah Swt. memerintahkan kepada kaum mukmin, janganlah mereka mengucapkan kata-kata ra'ina kepada Nabi Saw. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam meriwayatkan pula hal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar menurut kami sehubungan dengan masalah ini ialah Allah melarang kaum mukmin mengatakan kepada Nabi-Nya ucapan ra’ina. Karena kalimat ini tidak disukai oleh Allah Swt. bila mereka tujukan kepada Nabi-Nya. Pengertian ayat ini sama dengan makna yang terkandung di dalam sabda Nabi Saw., yaitu:
«لَا تَقُولُوا لِلْعِنَبِ الْكَرْمَ وَلَكِنْ قُولُوا الْحَبَلَةُ  وَلَا تَقُولُوا عَبْدِي وَلَكِنْ قُولُوا فَتَايَ»
Janganlah kalian sebutkan buah anggur dengan nama Al-Karam, melainkan sebutlah Al-Habalah; dan janganlah kalian sebulkan, "Hambaku" melainkan sebutlah, "Pelayanku."
Dan lain-lainnya yang semisal.
***********
Firman Allah Swt.:
{مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنزلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ}
Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. (Al-Baqarah: 105)
Melalui riwayat ini Allah menjelaskan (kepada Nabi-Nya) permusuhan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik yang sangat keras (terhadap diri Nabi Saw.). Mereka adalah orang-orang yang kaum mukmin diperingatkan oleh Allah Swt. agar jangan menyerupai mereka, sehingga terputuslah hubungan intim di antara kaum mukmin dan mereka.
Kemudian Allah Swt. mengingatkan kaum mukmin akan nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka berupa syariat yang sempurna yang telah Dia turunkan kepada nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Saw. Hal ini diungkapkan oleh Allah melalui firman-Nya:
{وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ}
Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Baqarah: 105)

Al-Baqarah, ayat 106-107

{مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (106) أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (107) }
Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! Dan tiada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin," artinya ayat apa pun yang Kami ganti.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan tafsir ayat ini, artinya "ayat apa pun yang kami hapuskan."
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan. (Al-Baqarah: 106) Arti nasakh ialah 'ayat apa pun yang Kami tetapkan khat (tulisan)nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti'. Mujahid mengetengahkan tafsir ini dari murid-murid Abdullah ibnu Mas'ud r.a.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Abul Aliyah dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi.
Menurut Ad-Dahhak, makna ma nansakh min ayatin ialah ayat apa saja yang Kami buat engkau lupa padanya.
Menurut Ata, makna ma nansakh ialah apa saja dari Al-Qur'an yang Kami tinggalkan. Menurut Abu Hatim, makna yang dimaksud ialah apa pun yang ditinggalkan (oleh Allah) dan tidak diturunkan kepada Muhammad Saw.
As-Saddi mengatakan, makna ma nansakh ialah ayat apa pun yang dicabut oleh Allah.
Menurut Ibnu Abu Hatim maksudnya adalah dicabut dan diangkat oleh Allah Swt., seperti firman-Nya:
«الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ»
Kakek-kakek dan nenek-nenek (laki-laki dan perempuan dewasa yang sudah kawin) apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sebagai suatu kepastian.
"لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى لَهُمَا ثَالِثًا".
Seandainya anak Adam mempunyai dua lembah yang penuh dengan emas, niscaya dia menginginkan lembah lain yang ditambahkan kepada kedua lembah itu.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ma nansakh min ayatin ialah hukum ayat apa saja yang Kami pindahkan ke yang lainnya dan Kami ubah serta Kami ganti hukumnya. Misalnya, Kami ganti halal menjadi haram, haram menjadi halal, mubah menjadi dilarang, dan dilarang menjadi mubah (boleh).
Hal ini hanya terjadi dalam masalah perintah, larangan, cegahan, mutlak, larangan dan ibahah (perbolehan). Yang menyangkut masalah-masalah berita dan kisah-kisah, tiada nasikh dan mansukh padanya.
Kata nasakh berasal dari naskhul kitab, yakni menukilnya dari suatu salinan ke salinan yang lain. Demikian pula makna me-nasakh hukum ke hukum yang lainnya, hanya makna yang dimaksud ialah memindahkan hukumnya dan menukil suatu ibarat ke ibarat yang lainnya —yakni merevisinya— tanpa membedakan apakah yang di-nasakh itu hukumnya atau khat (tulisan)nya saja, mengingat dua keadaan tersebut tetap dinamakan nasakh.
Sehubungan dengan definisi nasakh, ulama ahli Usul berbeda-beda dalam mengungkapkannya. Tetapi kesimpulan dari semua pendapat mereka saling berdekatan (tidak jauh berbeda), mengingat makna nasakh menurut istilah syara' sudah dimaklumi di kalangan ulama. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nasakh artinya menghapuskan suatu hukum dengan dalil syar'i yang datang kemudian. Termasuk ke dalam pengertian definisi ini me-nasakh hukum yang ringan dengan hukum yang berat dan sebaliknya, juga nasakh yang tidak ada gantinya. Rincian mengenai hukum-hukum nasakh, jenis-jenis serta syarat-syaratnya dibahas di dalam kitab Usul Fiqh.
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو شُبَيْلٍ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ وَاقِدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْفَضْلِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَرْقَمَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَرَأَ رَجُلَانِ سُورَةً أَقْرَأَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم فكانا يقرآن بِهَا، فَقَامَا ذَاتَ لَيْلَةٍ يُصَلِّيَانِ، فَلَمْ يَقْدِرَا مِنْهَا عَلَى حَرْفٍ فَأَصْبَحَا غَادِيَيْنِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهَا مِمَّا نُسِخَ وَأُنْسِي، فَالْهُوَا عَنْهَا".
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Subail (yaitu Ubaidillah ibnu Abdur Rahman ibnu Waqid), telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Fadl, dari Sulaiman ibnu Arqam, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki membaca suatu surat yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada keduanya, dan kedua lelaki itu selalu membaca surat tersebut dengan bacaan itu. Maka di suatu malam keduanya berdiri mengerjakan salat, tetapi keduanya tidak mampu membaca surat tersebut barang satu huruf pun. Lalu pada pagi harinya keduanya datang menghadap Rasulullah Saw. dan menceritakan hal tersebut. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya surat itu termasuk surat yang dinasakh atau aku dijadikan lupa kepadanya. Karena itu, lupakanlah ia.
Az-Zuhri membacanya ma nansakh min ayatin au nunsiha. Akan tetapi, Sulaiman ibnul Arqam orangnya daif.
Tetapi Abu Bakar ibnul Ambari meriwayatkan hal yang semisal dari ayahnya, dari Nasr ibnu Daud, dari Abu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Saleh, dari Lais, dari Yunus dan Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif secara marfu’. Riwayat ini diketengahkan oleh Al-Qurtubi.
Firman Allah Swt, "Au nunsiha" (Kami jadikan manusia lupa kepadanya) dibaca menurut dua segi bacaan, yaitu nansa-uha dan nunsiha. Orang yang membaca nansa-uha artinya Kami menangguhkannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai tafsir firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," ialah apa saja ayat yang Kami ganti atau yang Kami tinggalkan tanpa menggantinya.
Mujahid meriwayatkan dari teman-teman (murid-murid) sahabat Ibnu Mas'ud r.a. tentang makna au nansa-uha: Kami tetapkan khat-nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti.
Abdu ibnu Umair, Mujahid, dan Ata mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan dan Kami tangguhkan hukumnya.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan hukumnya, tetapi tidak Kami nasakh. As-Saddi dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan hal yang semisal.
Ad-Dahhak mengatakan, ayat ini menerangkan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh (yakni ada yang merevisi dan ada yang direvisi).
Menurut Abul Aliyah, au nansa-uha artinya ialah Kami mengakhirkan (menangguhkan) hukumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Khalaf, telah menceritakan kepada kami Al-Khaffaf, dari Ismail (yak-ni Ibnu Aslam), dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada suatu hari Khalifah Umar r.a. berkhotbah kepada kami, lalu ia membacakan firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," yakni atau Kami tangguhkan hukumnya.
Adapun menurut bacaan au nunsiha, maka Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. (Al-Baqarah: 106) Allah Swt. menjadikan Nabi-Nya lupa kepada apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dari ayat-ayat tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sawad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Auf ibnul Hasan, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Au nunsiha," bahwa sesungguhnya Nabi kalian membaca suatu ayat Al-Qur'an, kemudian beliau dibuat-Nya lupa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnuz Zubair Al-Harrani, dari Al-Hajjaj (yakni Al-Jazari), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara wahyu yang diturunkan oleh Nabi Saw. adalah wahyu yang diturunkan di malam hari, dan pada siang harinya beliau lupa. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106)
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, Abu Ja'far ibnu Nufail mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Hajjaj bukan Al-Hajjaj ibnu Artah, melainkan salah seorang guru kami yang dinisbatkan kepada Al-Jazari.
Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa makna au nunsiha ialah Kami menghapuskan hukumnya dari kalian.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Ya’la ibnu Ata, dari Al-Qasim ibnu Rabi'ah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Sa'd ibnu Abu Waqqas membacakan ayat ini seperti berikut: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. (Al-Baqarah: 106) Yakni dengan bacaan nunsiha. Maka ia berkata kepada Sa'd ibnu Abu Waqqas bahwa sesungguhnya Sa'id ibnul Musayyab membacanya dengan bacaan au nansa-uha. Maka Sa'd ibnu Abu Waqqas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepada Al-Musayyab, juga tidak kepada keluarga Al-Musayyab." Selanjutnya Sa'd ibnu Abu Waqqas membacakan firman-Nya:
سَنُقْرِئُكَ فَلا تَنْسى
Kami akan membacakan (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa. (Al-A’la: 6)
وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذا نَسِيتَ
Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq ibnu Hasyim. Imam Hakim mengetengahkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Abu Hatim Ar-Razi, dari Adam, dari Syu'bah, dari Ya’la ibnu Ata dengan lafaz yang sama, kemudian Imam Hakim mengatakan dengan syarat Syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Muhammad ibnu Ka'b, Qatadah, dan Ikrimah hal yang semisal dengan perkataan Sa'id ibnul Musayyab r.a.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Habib ibnu Abu Sab it, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Umar r.a. pernah mengatakan, "Orang yang paling adil di antara kami dan Ubay ialah orang yang paling ahli qiraat, tetapi sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena Ubay pernah mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan sesuatu pun yang pernah ia dengar dari Rasulullah Saw." Padahal Allah Swt. telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa sahabat Umar pernah mengatakan, "Orang yang paling ahli qiraat di antara kami adalah Ubay, sedangkan orang yang paling ahli dalam masalah peradilan di antara kami adalah Ali. Tetapi sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena dia pernah mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan sesuatu pun dari apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah Saw. 'Padahal Allah Swt. telah berfirman:  Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya (Al-Baqarah: 106)
****************
Adapun firman Allah Swt.:
{نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا}
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106)
Yakni dalam hal hukum bila dikaitkan dengan masalah kaum Mukallafin, seperti yang telah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya. (Al-Baqarah: 106) Maksudnya, yang lebih baik manfaatnya buat kalian dan lebih ringan bagi kalian.
Abul Aliyah mengatakan, "Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan," maka kami tidak mengamalkannya, "atau Kami menangguhkannya," yakni Kami tangguhkan oleh pihak Kami, maka Kami akan mendatangkannya atau Kami datangkan yang sebanding dengannya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106) Yaitu Kami datangkan yang lebih baik daripada apa yang telah Kami nasakh-kan itu, atau Kami datangkan yang sebanding dengan apa yang Kami tinggalkan itu.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan yang lebih balk daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106) Yang dimaksud ialah ayat yang di dalamnya terkandung keringanan atau rukhsah (kemurahan) atau perintah atau larangan.
****************
Firman Allah Swt:
{أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ* أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ}
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha-kuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! Dan tiada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. (Al-Baqarah: 106-107)
Melalui ayat ini Allah Swt. memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya bahwa Dialah yang mengatur semua makhluk menurut apa yang Dia kehendaki, Dialah yang menciptakan dan yang memerintah, Dialah yang mengatur, Dialah yang menciptakan mereka menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia membahagiakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia mencelakakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia menyehatkan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang membuat sakit siapa yang dikehendaki-Nya, Dia memberi taufik siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya.
Allah-lah yang mengatur hukum pada hamba-hamba-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu Dia menghalalkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya, Dia membolehkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya. Dialah yang mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, tiada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan tiada yang menanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Dia menguji hamba-hamba-Nya dan ketaatan mereka kepada rasul-rasul-Nya melalui hukum nasakh.
Untuk itu, Dia memerintahkan sesuatu karena di dalamnya terkandung kemaslahatan yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya, kemudian Dia melarangnya karena suatu penyebab yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya. Taat yang sesungguhnya ialah mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, mengikuti rasul-rasul-Nya dalam membenarkan apa yang diberitakan oleh mereka, dan mengerjakan apa yang diperintahkan mereka serta menjauhi apa yang dilarang oleh mereka.
Di dalam ayat ini terkandung makna bantahan yang keras dan penjelasan yang terang kepada kekufuran orang-orang Yahudi dan kepalsuan keraguan mereka yang menduga bahwa nasakh merupakan hal yang mustahil, baik menurut rasio mereka maupun menurut apa yang didugakan oleh sebagian dari kalangan mereka yang bodoh lagi ingkar, atau menurut dalil naqli seperti yang dibuat-buat oleh sebagian yang lain dari kalangan mereka untuk mendustakannya.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil ayat ini adalah seperti berikut:
Tidakkah kamu mengetahui, hai Muhammad, bahwa sesungguhnya milik-Ku-lah semua kerajaan langit dan kerajaan bumi serta kekuasaan keduanya, bukan milik selain-Ku. Aku mengatur hukum pada keduanya dan semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Dan Aku memerintahkan pada keduanya serta pada semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Aku melarang semua yang Aku kehendaki. Aku me-nasakh dan mengganti sebagian dari hukum-hukum-Ku yang telah Aku tetapkan terhadap hamba-hamba-Ku menurut apa yang aku kehendaki di saat Aku menghendakinya. Aku menetapkan pada keduanya semua yang Aku kehendaki.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, sekalipun berita ini ditujukan sebagai khitab kepada Nabi Saw. oleh Allah Swt. sebagai penghormatan dari-Nya buat Nabi Saw., tetapi sekaligus sebagai bantahan yang mendustakan orang-orang Yahudi karena mereka mengingkari adanya pe-nasakh-an kitab Taurat serta ingkar kepada kenabian Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad Saw. Mereka melakukan demikian karena kedua rasul ini datang dengan membawa kitab yang diturunkan dari sisi Allah yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diturunkan oleh Allah untuk mengubah sebagian dari hukum-hukum Taurat.
Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa milik Dialah semua kerajaan langit dan bumi serta kekuasaan yang ada pada keduanya. Semua makhluk adalah penduduk dari kerajaan-Nya yang harus taat kepada-Nya. Mereka harus patuh dan taat kepada perintah dan larangan-Nya, dan Allah berhak memerintah mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya, serta melarang mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya. Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya. Dia berhak mengadakan apa yang dikehendaki-Nya, baik berupa ketetapan, perintah, ataupun larangan-Nya.
Menurut pendapat kami, hal yang mendorong orang-orang Yahudi mengungkit-ungkit masalah nasakh tiada lain hanyalah kekufuran dan keingkaran mereka. Karena sesungguhnya menurut rasio tiada sesuatu hal pun yang mencegah adanya pe-nasakh-an dalam hukum-hukum Allah Swt., sebab Dia memutuskan hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Dia berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya. Padahal masalah nasakh itu sesungguhnya telah terjadi di dalam kitab-kitab Allah yang terdahulu dan syariat-syariat-Nya sebelum Al-Qur'an.
Misalnya dalam syariat Nabi Adam Allah menghalalkan meni-kahkan anak-anak lelakinya dengan anak-anak perempuannya. Kemudian setelah populasi manusia bertambah banyak, maka hal tersebut diharamkan. Dalam syariat Nabi Nuh, sesudah dia keluar dari perahunya ia dihalalkan memakan daging semua hewan; kemudian di-mansukh, dan yang dihalalkan hanya sebagiannya saja.
Di masa lalu —dalam syariat Nabi Ya'qub— kaum Bani Israil diperbolehkan menikahi dua orang perempuan yang bersaudara (kakak dan adiknya), kemudian di dalam kitab Taurat hal tersebut diharamkan, demikian pula pada syariat-syariat sesudahnya.
Allah Swt pernah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih anak laki-lakinya (yaitu Nabi Ismail), kemudian hal itu di-mansukh sebelum Nabi Ibrahim melakukannya. Allah memerintahkan agar membunuh semua Bani Israil yang pernah menyembah anak lembu, kemudian hukuman tersebut di-nasakh agar mereka tidak habis karena dihukum mati. Masih banyak hal lainnya yang sangat panjang kisahnya bila dikemukakan; mereka mengakui adanya pe-nasakh-m tersebut, tetapi mereka berpaling dan tidak mau mengakuinya. Bantahan yang mereka kemukakan terhadap dalil-dalil tersebut tujuan utamanya ialah untuk mengelak dari kenyataan itu sendiri.
Di dalam kitab-kitab mereka sudah dikenal adanya berita gembira mengenai kedatangan Nabi Muhammad Saw., juga perintah untuk mengikutinya. Kenyataan ini mengharuskan mereka mengikuti Nabi Saw. dan bahwa tiada lagi suatu amal pun yang dapat diterima kecuali dengan mengamalkan syariatnya, tanpa memandang kepada suatu pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya syariat-syariat yang terdahulu sudah berakhir sampai dengan masa Nabi Saw. diangkat menjadi utusan Allah. Maka hal ini bukan dinamakan nasakh karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيامَ إِلَى اللَّيْلِ
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Menurut pendapat lainnya apa yang disebut oleh ayat ini bersifat mutlak, dan bahwa syariat Nabi Muhammad Saw. telah me-nasakh-nya.
Berdasarkan interpretasi mana pun pada garis besamya diwajibkan mengikuti syariat Nabi Muhammad Saw., tiada pilihan lain, mengingat dia datang membawa Kitabullah yang paling akhir dan yang baru diturunkan oleh Allah Swt. Melalui ayat surat Al-Baqarah ini Allah Swt. menjelaskan boleh adanya nasakh sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi —semoga laknat Allah menimpa mereka— mengingat Allah Swt. telah berfirman: Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu! Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! (Al-Baqarah: 106-107), hingga akhir ayat.
Karena semua kerajaan ini adalah milik Allah tanpa ada yang me-nyaingi-Nya, maka Dia berhak mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. (Al-A'raf: 54)
Telah ditetapkan di dalam surat Ali Imran dalam salah satu ayatnya yang menceritakan perihal kaum ahli kitab, bahwa di dalamnya terdapat nasakh. Yaitu pada firman-Nya:
كُلُّ الطَّعامِ كانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرائِيلُ عَلى نَفْسِهِ
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri. (Ali Imran: 93), hingga akhir ayat.
Adapun penafsirannya akan disebutkan pada tempatnya nanti.
Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa nasakh dalam hukum-hukum Allah itu ada, mengingat di dalamnya terkandung hikmah yang agung; dan mereka semua mengatakan bahwa nasakh itu ada.
Akan tetapi, mengenai pendapat Abu Muslim Al-Asbahani —seorang ulama tafsir— yang mengatakan bahwa tiada suatu nasakh-pun di dalam Al-Qur'an, pendapatnya itu lemah, tidak dapat diterima lagi tak diindahkan; karena ternyata dia memaksakan diri dalam membantah kenyataan nasakh yang ada, antara lain dalam masalah idah empat bulan sepuluh hari yang sebelumnya adalah satu tahun. Dia tidak mengemukakan jawaban yang dapat diterima dalam masalah ini. Juga dalam masalah pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, dia tidak menjawab sepatah kata pun. Masalah lainnya yang dia tidak dapat menjawabnya ialah di-nasakh-Nya perintah bersabar bagi seorang muslim dalam menghadapi sepuluh orang musyrik, hingga menjadi dua orang musyrik saja. Contoh lainnya ialah wajib bersedekah sebelum bermunajat (berbicara) dengan Rasul Saw., dan lain sebagainya.

Al-Baqarah, ayat 108

{أَمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَسْأَلُوا رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَى مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَتَبَدَّلِ الْكُفْرَ بِالإيمَانِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ (108) }
Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus.
Melalui ayat ini Allah Swt. melarang kaum mukmin banyak bertanya kepada Nabi Saw. mengenai hal-hal yang belum terjadi. Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْئَلُوا عَنْ أَشْياءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْئَلُوا عَنْها حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian; dan jika kalian menanyakannya di waktu Al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian. (Al-Maidah: 101)
Maksudnya, jika kalian menanyakannya secara rinci sesudah Al-Qur'an diturunkan, niscaya hal itu akan diterangkan kepada kalian. Tetapi janganlah kalian menanyakan sesuatu sebelum ada keterangannya, karena barangkali hal itu akan diharamkan karena adanya pertanyaan kalian itu. Karena itu, di dalam sebuah hadis sahih disebutkan seperti berikut:
«إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ»
Sesungguhnya orang muslim yang paling besar dosanya ialah seseorang yang menanyakan sesuatu yang (pada asal mulanya) tidak diharamkan, kemudian diharamkan karena pertanyaannya itu.
Ketika Rasulullah Saw. ditanya mengenai seorang lelaki yang menjumpai istrinya sedang bersama lelaki lain, beliau bingung; sebab jika menjawabnya berarti beliau membicarakan suatu perkara yang besar. Tetapi jika beliau diam, berarti beliau diam terhadap perbuatan tersebut. Maka beliau Saw. tidak suka dengan orang yang menanyakan demikian, lalu beliau mencelanya. Setelah itu turunlah ayat Mula'anah, yakni ayat tentang li’an. Karena itu, maka di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Mugirah ibnu Syu'bah telah ditetapkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَى عَنْ قيل وقال، وإضاعة المال، وكثرة السؤال
Bahwa Rasulullah Saw. melarang perbuatan qil dan qal, memboroskan harta, dan banyak bertanya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan:
«ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِنْ نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ»
Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan buat kalian, karena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian hanya karena mereka banyak bertanya dan banyak menentang nabi-nabi mereka. Oleh karena itu, apabila aku perintahkan suatu perintah kepada kalian, kerjakanlah oleh kalian apa yang kalian mampu darinya. Dan jika aku larang kalian dari sesuatu, maka jauhilah ia.
Tiadalah hal ini beliau ucapkan melainkan setelah beliau Saw. memberitahukan kepada mereka (kaum muslim) bahwa Allah Swt. memfardukan ibadah haji atas mereka. Lalu ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun?" Rasulullah Saw. diam, tidak menjawab. Setelah tiga kali bertanya, baru Rasulullah Saw. bersabda:
«لَا، وَلَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَوْ وَجَبَتْ لَمَا اسْتَطَعْتُمْ»
Tidak. Seandainya aku katakan, "Ya," niscaya menjadi wajib. Dan sekiranya diwajibkan, niscaya kalian tidak akan mampu. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, "Biarkanlah daku dengan apa yang aku tinggalkan buat kalian" hingga akhir hadis.
Karena itu, Anas ibnu Malik mengatakan, "Kami dilarang menanyakan sesuatu kepada Rasulullah Saw." Anas r.a. sangat senang bila ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Badui (perkampungan), lalu lelaki itu bertanya kepada Rasulullah Saw., maka kami akan mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Al-Hafiz Abu Ya’la Al-Mausuli mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan, "Sesungguhnya telah berlalu masa satu tahun memendam perasaan ingin bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang suatu masalah, tetapi aku merasa takut dan segan kepadanya. Sesungguhnya aku benar-benar berharap semoga ada orang Badui datang bertanya kepadanya (lalu aku mendengarnya)."
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Ata ibnus Sa-ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan, "Aku belum pernah melihat suatu kaum yang lebih baik daripada sahabat-sahabat Muhammad Saw. Mereka tidak pernah bertanya kecuali dua belas masalah, yang semuanya itu terdapat di dalam Al-Qur'an." Yaitu firman-Nya:
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ}
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. (Al-Baqarah: 219)
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ}
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. (Al-Baqarah: 217)
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. (Al-Baqarah: 220)
Yakni hal ini dan lain-lainnya yang serupa.
**************
Firman Allah Swt.:
{أَمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَسْأَلُوا رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَى مِنْ قَبْلُ}
Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? (Al-Baqarah: 108)
Yakni memang kalian menghendakinya. Atau istifham (kata tanya) di sini mempunyai arti sesuai dengan babnya, yakni istifham inkari (kata tanya yang mengandung kecaman). Hal ini bersifat menyeluruh mencakup kaum mukmin, juga orang-orang kafir, karena sesungguhnya Rasulullah Saw. diutus untuk kesemuanya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:         ,
{يَسْأَلُكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنْ تُنزلَ عَلَيْهِمْ كِتَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَقَدْ سَأَلُوا مُوسَى أَكْبَرَ مِنْ ذَلِكَ فَقَالُوا أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ}
Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata." Maka mereka disambar petir karena kezalimannya. (An-Nisa: 153)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Raff ibnu Huraimilah dan Wahb ibnu Zaid (keduanya adalah orang-orang Yahudi) bertanya, "Hai Muhammad, datangkanlah kepada kami sebuah kitab yang engkau turunkan dari langit kepada kami untuk kami baca, dan alirkanlah buat kami sungai-sungai, niscaya kami akan mengikuti kamu dan percaya kepadamu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya sebagai iawaban terhadap ucapan mereka itu, yaitu: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 108)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada masa dahulu? (Al-Baqarah: 108) Bahwa ada seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya kifarat kita sama dengan kifarat kaum Bani Israil." Maka Nabi Saw. menjawab:
«اللَّهُمَّ لَا نَبْغِيهَا- ثَلَاثًا- مَا أَعْطَاكُمُ الله خير مما أعطى بَنِي إِسْرَائِيلَ، كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِذَا أَصَابَ أَحَدُهُمُ الْخَطِيئَةَ وَجَدَهَا مَكْتُوبَةً عَلَى بَابِهِ وَكَفَّارَتَهَا، فَإِنْ كَفَّرَهَا كَانَتْ لَهُ خِزْيًا فِي الدُّنْيَا وَإِنْ لَمْ يُكَفِّرْهَا كَانَتْ لَهُ خِزْيًا فِي الْآخِرَةِ، فَمَا أَعْطَاكُمُ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا أَعْطَى بَنِي إِسْرَائِيلَ»
Ya Allah, kami tidak menginginkannya —sebanyak tiga kali— apa yang diberikan oleh Allah kepada kalian lebih baik daripada apa yang diberikan kepada Bani Israil. Dahulu orang-orang Bani Israil apabila seseorang dari mereka melakukan perbuatan dosa, maka ia menjumpai dosanya itu tertulis di atas pintu rumahnya dan tertulis pula kifaratnya. Jika dia membayar kifarat-nya, maka baginya kehinaan di dunia; dan jika dia tidak membayar kifarat dosanya, maka baginya kehinaan di akhirat. Apa yang diberikan oleh Allah kepada kalian lebih baik daripada apa yang diberikan kepada Bani Israil.
Selanjutnya Abul Aliyah membacakan firman-Nya:
{وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا}
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 110)
Sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ مِنَ الْجُمْعَةِ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَاتٌ لَمَّا بَيْنَهُنَّ"
Salat lima waktu dari suatu Jumat ke Jumat yang lainnya merupakan kifarat bagi dosa-dosa di antara keduanya.
Sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"مَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْهِ، وَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ سَيِّئَةً وَاحِدَةً، وَمَنْ هُمْ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً وَاحِدَةً، وَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرَ أَمْثَالِهَا، وَلَا يَهْلَكُ عَلَى اللَّهِ إِلَّا هَالِكٌ"
Barang siapa yang berniat melakukan suatu perbuatan dosa, lalu ia tidak mengerjakannya, maka tidak dicatatkan kepadanya; dan jika dia mengerjakannya, maka dicatatkan kepadanya satu dosa. Dan barang siapa yang berniat akan mengerjakan kebaikan, lalu ia tidak melakukannya, maka dicatatkan baginya sebuah pahala; dan jika ia melakukannya, maka dicatatkan baginya pahala sepuluh kali lipat yang semisal dengannya. Dan tidak akan binasa karena Allah melainkan hanya orang (yang ditakdirkan) binasa.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? (Al-Baqarah: 108)
Mujahid menyatakan sehubungan dengan firman-Nya: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu. (Al-Baqarah: 108) Yakni ketika mereka meminta kepada Musa a.s. agar memperlihatkan Allah secara terang-terangan kepada mereka.
Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Quraisy pernah meminta kepada Muhammad Saw. agar menjadikan Bukit Safa menjadi emas buat mereka. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"نَعَمْ وَهُوَ لَكُمْ كَالْمَائِدَةِ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِنْ كَفَرْتُمْ"، فَأَبَوْا وَرَجَعُوا.
 "Ya, Bukit Safa menjadi emas bagi kalian seperti maidah (hidangan dari langit) buat Bani Israil." Dan ternyata mereka menolak serta mencabut kembali permintaan mereka.
Hal yang semisal diriwayatkan dari As-Saddi dan Qatadah.
Makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah bahwa Allah mencela orang yang meminta sesuatu hal kepada Rasulullah Saw. dengan permintaan yang menyusahkan dan menggurui, seperti permintaan yang diajukan oleh Bani Israil kepada Nabi Musa a.s. dengan permintaan yang menyusahkan, mendustakan, dan mengingkarinya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ يَتَبَدَّلِ الْكُفْرَ بِالإيمَانِ}
Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekufuran. (Al-Baqarah: 108)
Maksudnya, membeli kekufuran dengan menukamya dengan keimanan.
{فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ}
Maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 108)
Yakni dia benar-benar telah menyimpang dari jalan yang lurus dan menuju kepada kebodohan dan kesesatan. Memang demikianlah keadaan orang-orang yang menyimpang dari percaya kepada nabi-nabi, tidak mau mengikuti dan tidak mau taat kepada mereka, bahkan menentang dan mendustakan mereka serta menyusahkan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak diperlukan yang tujuannya tiada lain hanya ingkar dan memberatkan mereka. Seperti yang dinyatakan di dalam firman lainnya, yaitu:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دارَ الْبَوارِ. جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَها وَبِئْسَ الْقَرارُ
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. (Ibrahim: 28-29)
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna ayat ini (yakni Al-Baqarah: 108) ialah barang siapa yang menukar kebahagiaan dengan kesengsaraan.

Al-Baqarah, ayat 109-110

{وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (109) وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (110) }
Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkahlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kalian usahakan dari kebaikan bagi diri kalian, tentu kalian akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kalian kerjakan.
Allah Swt. memperingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar waspada terhadap tingkah laku orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab. Dia memberitahukan kepada mereka akan permusuhan orang-orang Ahli Kitab itu terhadap diri mereka, baik secara lahir maupun batin. Juga diberitahukan oleh Allah bahwa di dalam hati mereka (Ahli Kitab) memendam bara kedengkian terhadap kaum mukmin, padahal mereka mengetahui keutamaan kaum mukmin atas diri mereka dan keutamaan Nabi kaum mukmin atas nabi-nabi mereka.
Allah Swt. memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar bersikap lapang dada dan pemaaf atau bersabar, hingga datang perintah Allah yang membawa pertolongan dan kemenangan. Allah memerintahkan mereka agar mendirikan salat, menunaikan zakat, serta menganjurkan dan mendorong mereka untuk mengerjakannya. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, bahwa telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Huyay ibnu Akhtab dan Abu Yasir ibnu Akhtab merupakan dua orang Yahudi yang paling dengki kepada orang-orang Arab, karena mereka telah diberi keistimewaan dengan Rasulullah Saw. yang berasal dari kalangan mereka. Keduanya selalu berupaya keras membalikkan orang-orang dari Islam dengan semua kemampuan yang dimiliki keduanya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian. (Al-Baqarah: 109), hingga akhir ayat.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Wadda kasirum min ahlil kitabi." Yang dimaksud ialah Ka'b ibnul Asyraf.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik, dari ayahnya, bahwa Ka'b ibnul Asyraf adalah seorang penyair Yahudi; dia sering menghina Nabi Saw. (melalui syair-syairnya). Maka sehubungan dengan dialah diturunkan firman-Nya: Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran —sampai dengan firman-Nya— Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka. (Al-Baqarah: 109)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa seorang rasul yang ummi mengabarkan kepada mereka (ahli kitab) kitab-kitab, rasul-rasul, dan mukjizat-mukjizat yang telah dilakukan oleh rasul-rasul mereka. Kemudian rasul yang ummi itu membenarkan hal tersebut seperti mereka membenarkannya, tetapi mereka ingkar kepada rasul itu karena kufur, dengki, dan kesombongan mereka. Seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya: Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. (Al-Baqarah: 109)
Yakni sesudah kebenaran telah jelas dan terang bagi mereka hingga tiada sesuatu pun dari kebenaran itu yang tidak diketahuinya. Akan tetapi, kedengkian yang terpendam di dalam hati mereka mendorong mereka ingkar. Karena itu, Allah mencela dan mengecam serta menghina mereka dengan hinaan yang keras. Kemudian Allah Swt. mensyariatkan kepada Nabi-Nya —juga kepada kaum mukmin— semua hal yang diamalkan oleh mereka, yaitu membenarkan dan beriman serta mengakui kitab yang diturunkan kepada mereka (Al-Qur'an) dan kitab-kitab yang diturunkan sebelum mereka. Semuanya itu berkat kemurahan dari Allah, pahala-Nya yang berlimpah, serta pertolongan-Nya kepada mereka.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa min 'indi anfusihim artinya dari diri mereka sendiri.
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Sesudah nyata bagi mereka kebenaran," yakni sesudah nyata bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang mereka jumpai namanya di dalam kitab mereka, Taurat dan Injil. Lalu mereka ingkar kepadanya karena dengki dan iri hati karena Rasul tersebut bukan dari kalangan mereka. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ}
Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. (Al-Baqarah: 109)
Ayat ini sama pengertiannya dengan firman-Nya:
{وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ}
Dan kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. (Ali Imran: 186), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. (Al-Baqarah: 109) bahwa ayat ini telah di-mansukh oleh firman-Nya: Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai. (At-Taubah: 5) Dan firman-Nya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian —sampai dengan firman-Nya— sedangkan mereka dalam keadaan tunduk. (At-Taubah: 29) Ayat terakhir inilah yang menasakh pemberian maaf kepada orang-orang musyrik.
Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Saddi; sesungguhnya ayat ini (Al-Baqarah: 109) dimansukh oleh ayat Saif (ayat yang memerintahkan perang). Hal ini diisyaratkan pula oleh firman-Nya: sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. (Al-Baqarah: 109)
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي عُرْوَة بْنُ الزُّبَيْرِ: أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ أَخْبَرَهُ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ يَعْفُونَ عَنِ الْمُشْرِكِينَ وَأَهْلِ الْكِتَابِ، كَمَا أَمَرَهُمُ اللَّهُ، وَيَصْبِرُونَ عَلَى الْأَذَى، قَالَ اللَّهُ: {فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ} وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يتأوَّل مِنَ الْعَفْوِ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ بِهِ، حَتَّى أَذِنَ اللَّهُ فِيهِمْ بِقَتْلٍ، فَقَتَلَ اللَّهُ بِهِ مَنْ قَتَلَ مِنْ صَنَادِيدِ قُرَيْشٍ
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Urwah ibnuz Zubair, bahwa Usamah ibnu Zaid menceritakan hadis berikut: Pada mulanya Rasulullah Saw. dan para sahabatnya memaafkan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka dan mereka bersabar dalam menahan gangguan yang menyakitkan (dari kalangan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab). Allah Swt. telah berfirman, "Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuau’ (Al-Baqarah: 109). Dan Rasulullah Saw. menakwilkan makna memaafkan sesuai dengan instruksi yang diperintahkan Allah kepadanya, hingga Allah mengizinkan beliau untuk memerangi mereka. Maka terbunuhlah orang-orang yang terbunuh dari kalangan para pemimpin Quraisy setelah ada izin dari Allah (untuk memerangi mereka).
Sanad hadis ini sahih, hanya penulis belum pernah melihatnya pada suatu kitab pun dari kitab-kitab Sittah. Tetapi hadis ini mempunyai sumber di dalam kitab Sahihain, dari Usamah ibnu Zaid r.a.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ}
Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kalian usahakan dari kebaikan bagi diri kalian, tentu kalian akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. (Al-Baqarah: 110)
Allah Swt. menganjurkan mereka menyibukkan diri mengerjakan hal-hal yang bermanfaat bagi diri mereka dan membawa akibat yang baik untuk diri mereka di hari kiamat nanti —seperti mendirikan salat dan menunaikan zakat— hingga Allah menetapkan bagi mereka pertolongan dalam kehidupan di dunia dan di hari semua saksi berdiri tegak (hari kiamat), yaitu hari yang disebutkan oleh firman-Nya:
{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ الظَّالِمِينَ مَعْذِرَتُهُمْ وَلَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ}
(yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat dan bagi mereka ternpat tinggal yang buruk. (Al-Mu’min: 52)
Karena itulah dalam akhir ayat disebutkan:
{إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 110)
Artinya, Allah sama sekali tidak melupakan amal perbuatan orang yang beramal; dan amal tersebut tidak akan hilang di sisi-Nya, baik amal yang baik ataupun amal yang jahat. Karena sesungguhnya Dia akan memberikan balasan kepada setiap orang sesuai dengan amal perbuatannya.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 110) Berita dari Allah ini ditujukan kepada orang-orang mukmin yang diperintahkan oleh Allah Swt. melalui ayat-ayat ini, bahwa bagaimanapun mereka mengerjakan amal kebaikan atau amal kejahatan —baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan— Dia Maha Melihat. Tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya; untuk itu Dia akan membalas kebaikan dengan kebaikan, dan amal keburukan dengan pembalasan yang setimpal dengan keburukannya. Sekalipun kalimat ayat ini menurut pengertian lahiriahnya merupakan kalimat berita, tetapi di dalamnya terkandung janji dan ancaman serta perintah dan larangan. Dikatakan demikian karena Allah Swt. mempermaklumatkan kepada kaum mukmin bahwa Dia Maha Melihat semua amal perbuatan mereka, dengan tujuan agar mereka bersungguh-sungguh dalam taat kepada-Nya, mengingat pahalanya pasti tersimpan di sisi-Nya bagi mereka yang beramal, hingga Allah menunaikan pahala-Nya buat mereka di hari kemudian, seperti yang disebutkan oleh firman lainnya, yaitu:
{وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ}
Dan apa-apa yang kalian usahakan dari kebaikan bagi diri kalian, tentu kalian akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. (Al-Baqarah: 110)
Agar mereka menghindarkan diri mereka dari perbuatan durhaka kepada-Nya.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan pula mengenai lafaz basirun, sesungguhnya makna yang dimaksud ialah mubsirun (melihat), diubah bentuknya menjadi basirun; sebagaimana diubahnya lafaz mubdi'un (pencipta) menjadi badi'un (Maha Pencipta), dan mu-limun (menyakitkan) menjadi alimun (sangat menyakitkan).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair, dari Uqbah ibnu Amir yang mengatakan, "Aku acapkali mendengar Rasulullah Saw. sedang membacakan ayat berikut: Sami'un basir, yakni Melihat segala sesuatu."

Al-Baqarah, ayat 111-113

{وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (111) بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (112) وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ (113) }
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani" Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, "Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian jika kalian adalah orang-orang yang benar." (Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.
Allah Swt. menjelaskan perihal orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani yang teperdaya oleh apa yang mereka berada di dalamnya, mengingat masing-masing pihak dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mendakwakan bahwa tidak akan masuk surga kecuali hanya orang yang memeluk agamanya. Seperti yang diberitakan oleh Allah di dalam swt Al-Maidah, menyitir perkataan mereka, yaitu:
نَحْنُ أَبْناءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ
Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. (Al-Maidah: 18)
Maka Allah mendustakan mereka melalui berita yang Dia tujukan kepada mereka, bahwa Dia kelak akan mengazab mereka karena dosa-dosanya. Sekiranya keadaan seperti apa yang mereka dakwakan, niscaya mereka tidak akan diazab oleh Allah. Perihalnya sama saja dengan pengakuan mereka terdahulu, yaitu mereka tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali hanya beberapa hari yang sedikit, setelah itu mereka pindah masuk ke dalam surga. Kemudian Allah membantah pengakuan mereka itu. Hal yang sama dilakukan pula oleh Allah dalam ayat ini sehubungan dengan dakwaan yang mereka lakukan tanpa dalil, tanpa hujah, dan tanpa bukti. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. (Al-Baqarah: 111)
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna ayat ini ialah cita-cita yang mereka angan-angankan terhadap Allah tanpa alasan yang benar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Dalam firman selanjutnya disebutkan:
{قُلْ} أَيْ: يَا مُحَمَّدُ، {هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ}
Katakanlah (hai Muhammad), "Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian." (Al-Baqarah: 111)
Menurut Abu Aliyah, Mujahid, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, arti burhanakum ialah hujah (alasan) kalian, hingga kalian berani mengatakan demikian. Sedangkan menurut Qatadah, artinya bukti kalian atas hal tersebut.
{إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
jika kalian adalah orang-orang yang benar. (Al-Baqarah: 111)
dalam pengakuan yang kalian dakwakan itu.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ}
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 112)
Dengan kata lain, barang siapa yang ikhlas dalam beramal karena Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Seperti yang disebutkan dalam firman lainnya, yaitu:
{فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ} الْآيَةَ
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." (Ali Imran: 20), hingga akhir ayat.
Abul Aliyah dan Ar-Rabi' mengatakan, makna man aslama wajhahu lillah ialah barang siapa yang ikhlas kepada Allah.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa aslama ialah ikhlas, dan wajhahu artinya agamanya, yakni barang siapa yang mengikhlaskan agamanya karena Allah semata. Wahuwa muhsinun artinya mengikuti Rasulullah Saw. dalam beramal. Dikatakan demikian karena syarat bagi amal yang diterima itu ada dua; salah satunya ialah hendaknya amal perbuatan dilakukan dengan niat karena Allah semata, dan syarat lainnya ialah hendaknya amal tersebut benar lagi sesuai dengan tuntunan syariat (mengikuti petunjuk Rasul Saw.). Karena itu, dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam salah satu sabdanya:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»
Barang siapa mengerjakan suatu amal yang bukan termasuk urusan kami, maka amal itu ditolak.
Hadis riwayat Imam Muslim melalui hadis Siti Aisyah r.a.
Untuk itu amal para rahib dan orang-orang yang semisal dengan mereka, sekalipun amal mereka dinilai ikhlas karena Allah, sesungguhnya amal tersebut tidak diterima dari mereka sebelum mereka mendasarinya karena mengikut kepada Rasulullah Saw. yang diutus kepada mereka dan kepada segenap umat manusia. Sehubungan dengan mereka dan orang-orang yang semisal dengan mereka, Allah Swt. berfirman:
وَقَدِمْنا إِلى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْناهُ هَباءً مَنْثُوراً
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (Al-Furqan: 23)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمالُهُمْ كَسَرابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذا جاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً  
Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga; tetapi bila didatanginya, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. (An-Nur: 39)
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خاشِعَةٌ عامِلَةٌ ناصِبَةٌ تَصْلى نَارًا حامِيَةً تُسْقى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ
Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. (Al-Ghasyiyah: 2-5)
Telah diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Umar r.a. bahwa ia menakwilkan makna ayat ini ditujukan kepada para rahib, seperti yang akan dijelaskan nanti.
Jika amal perbuatan yang dikerjakan sesuai dengan tuntunan syariat dalam gambaran lahiriahnya, sedangkan niat pengamalnya tidak ikhlas karena Allah, maka amal ini pun tidak diterima dan dikembalikan kepada pelakunya. Yang demikian itu adalah keadaan orang-orang yang pamer dan orang-orang munafik, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنَّ الْمُنافِقِينَ يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ وَإِذا قامُوا إِلَى الصَّلاةِ قامُوا كُسالى يُراؤُنَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk bersalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (An-Nisa: 142)
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ ساهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُراؤُنَ وَيَمْنَعُونَ الْماعُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang berguna. (Al-Ma'un: 4-7)
Untuk itu, dalam firman Allah yang lain disebutkan:
فَمَنْ كانَ يَرْجُوا لِقاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya. (Al-Kahfi: 110)
Di dalam ayat ini disebutkan:
{بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ}
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 112)
***************
{فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ}
maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Baqarah: 112)
Melalui ayat ini Allah Swt. telah menjamin bahwa mereka pasti mendapat pahala tersebut dan mengamankan mereka dari hal-hal yang mereka takuti. Dengan kata lain, tiada kekhawatiran bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, tiada pula kesedihan bagi mereka atas masa lalu mereka. Menurut Sa'id ibnu Jubair, la khaufun 'alaihim artinya tiada kekhawatiran bagi mereka, yakni di hari kemudian; wala hum yahzanuna, dan tiada pula mereka bersedih hati, yakni tiada kesedihan atas diri mereka dalam menghadapi kematiannya.
********
Firman Allah Swt.:
{وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ}
Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113)
Melalui ayat ini Allah menjelaskan pertentangan, saling membenci, saling bermusuhan, dan saling mengingkari di antara kedua belah pihak, yaitu antara kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tatkala datang kepada Rasulullah Saw. orang-orang Nasrani utusan penduduk negeri Najran, maka datanglah para rahib Yahudi (Madinah) menemui mereka, lalu mereka berdebat di hadapan Rasulullah Saw. Rafi’ ibnu Harmalah (dari kalangan Yahudi) berkata, "Kalian tidak mempunyai pegangan apa pun," dan ia ingkar kepada kenabian Isa dan kitab Injil-nya. Lalu salah seorang dari orang-orang Nasrani Najran mengatakan kepada orang-orang Yahudi, "Kalian tidak mempunyai pegangan apa pun," dan ia mengingkari kenabian Musa dan kitab Tauratnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan," padahal mereka membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113)
Yakni masing-masing pihak dalam kitabnya membaca hal-hal yang membenarkan apa yang diingkarinya. Orang-orang Yahudi ingkar kepada kenabian Isa, padahal pada kitab Taurat mereka terdapat janji Allah yang diambil dari mereka melalui lisan Nabi Musa agar mereka membenarkan Nabi Isa. Di dalam kitab Injil terdapat keterangan yang dibawa oleh Isa, yang isinya membenarkan Nabi Musa dan apa yang diturunkan kepadanya dari sisi Allah (yaitu kitab Taurat). Akan tetapi, masing-masing pihak mengingkari keterangan yang ada dalam kitabnya masing-masing.
Mujahid mengatakan di dalam kitab tafsirnya sehubungan dengan tafsir ayat ini, memang pada awalnya para pendahulu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mempunyai pegangan.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Orang-orang Yahudi berkata, 'Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan' (Al-Baqarah: 113)." Qatadah mengatakan, "Tidak demikian, bahkan pada awalnya para pendahulu orang-orang Nasrani mempunyai pegangan, tetapi pada akhirnya mereka membuat-buat kedustaan dan bercerai-berai. Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Orang-orang Nasrani berkata, 'Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan' (Al-Baqarah: 113)." Qatadah berkata, "Tidak demikian, bahkan pada mulanya para pendahulu orang-orang Yahudi mempunyai suatu pegangan, tetapi pada akhirnya mereka membuat-buat kedustaan dari diri mereka sendiri dan bercerai-berai.
Dari Qatadah disebutkan pula riwayat lain yang sama dengan riwayat Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan tafsir ayat ini: Orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan." (Al-Baqarah: 113) Mereka adalah ahli kitab yang hidup di masa Rasulullah Saw. Akan tetapi, pendapat ini memberikan kesimpulan bahwa masing-masing pihak dari kedua golongan tersebut membenarkan tuduhan yang mereka lemparkan terhadap pihak lainnya. Akan tetapi, makna lahiriah konteks ayat menyimpulkan bahwa apa yang mereka katakan itu dicela, padahal pengetahuan mereka bertentangan dengan apa yang mereka katakan. Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan: padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113) Yakni mereka mengetahui syariat kitab Taurat dan Injil; masing-masing kitab pernah disyariatkan kepada mereka di suatu masa, tetapi mereka saling mengingkari apa yang ada di antara mereka (kedua belah pihak), karena keingkaran dan kekufuran mereka dan membalas kebatilan dengan kebatilan yang lain, seperti yang telah disebutkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah pada riwayat yang pertama sehubungan dengan tafsir ayat ini.
**********
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ}
Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. (Al-Baqarah: 113)
Melalui ayat ini dijelaskan kebodohan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dalam ucapan yang mereka gunakan untuk saling menyerang pihak lainnya. Hal ini termasuk ke dalam pengertian isyarat yang menyindir kebodohan dan ketololan mereka.
Mengenai orang-orang yang dimaksud dalam firman-Nya, "Orang-orang yang tidak mengetahui" (Al-Baqarah: 113), masih diperselisihkan di kalangan Mufassirin. Untuk itu, Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui" ialah mereka akan mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani kepada masing-masing pihak (pengertiannya menyeluruh).
Ibnu Juraij mengatakan, ia pernah bertanya kepada Ata, "Siapakah yang dimaksud dengan mereka yang tidak mengetahui itu?" Ia menjawab bahwa mereka adalah umat-umat sebelum adanya agama Yahudi dan Nasrani, sebelum adanya kitab Taurat dan Injil.
As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dengan orang-orang yang tidak mengetahui dalam ayat ini ialah orang-orang Badui; mereka mengatakan bahwa Muhammad tidak mempunyai suatu pegangan.
Sedangkan Abu Ja'far ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini bersifat umum dan pengertiannya dapat mengena kepada semua orang.
Akan tetapi, memang tidak ada dalil yang akurat yang membantu salah satu dari pendapat-pendapat di atas. Sebagai kesimpulannya ialah menginterpretasikan makna ayat ini dengan semua pengertian di atas adalah hal yang lebih utama.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ}
Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya. (Al-Baqarah: 113)
Yakni di hari kemudian kelak Allah Swt. akan menghimpun mereka semua dan memutuskan hukum di antara mereka dengan keputusan yang adil, yang tiada kezaliman, tiada penyimpangan padanya barang sekecil apa pun. Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang ada dalam surat Al-Hajj, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصارى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Sabi-in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (Al-Hajj: 17)
Semakna pula dengan firman-Nya:
قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنا رَبُّنا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ
Katakanlah, "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui" (Saba': 26)

Al-Baqarah, ayat 114

{وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (114) }
Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya. Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan, dan di akhirat mendapat siksa yang berat.
Mufassirin berbeda pendapat mengenai makna yang dimaksud dengan orang-orang yang menghalang-halangi manusia untuk menyebut asma Allah di dalam masjid-masjid Allah dan mereka berusaha merusaknya. Pendapat mereka tersimpul ke dalam dua pendapat berikut
Pendapat pertama, menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya. (Al-Baqarah: 114) Mujahid mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani, mereka melemparkan kotoran ke dalam Baitul Maqdis dan menghalang-halangi manusia untuk melakukan salat. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan berusaha merobohkannya" (Al-Baqarah: 114). Mereka adalah Bukhtanasar dan para prajuritnya yang pernah merusak Baitul Maqdis dengan bantuan orang-orang Nasrani.
Sa'id telah meriwayatkan dari Qatadah bahwa mereka adalah musuh-musuh Allah, yaitu orang-orang Nasrani. Karena terdorong oleh kebencian mereka terhadap orang-orang Yahudi, maka mereka meminta bantuan kepada Raja Bukhtanasar dari Babil yang Majusi itu untuk merusak Baitul Maqdis.
As-Saddi mengatakan, mereka membantu Bukhtanasar merusak Baitul Maqdis hingga benar-benar rusak, dan Bukhtanasar memerintahkan supaya bangkai-bangkai dilemparkan ke dalamnya. Sesungguhnya orang-orang Romawi mau membantu Bukhtanasar merusak BaituI Muqaddas karena orang-orang Bani Israil telah membunuh Nabi Yahya ibnu Nabi Zakaria. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Al-Hasan Al-Basri.
Pendapat kedua, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa Ibnu Zaid pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya (Al-Baqarah: 114) Mereka adalah orang-orang musyrik yang berusaha menghalang-halangi Rasulullah Saw. pada hari Hudaibiyyah untuk memasuki kota Mekah, hingga Rasul Saw. terpaksa menyembelih hadyu (binatang kurban) di Zu Tuwa dan beliau mengadakan perjanjian perdamaian dengan mereka, dan beliau Saw. bersabda kepada mereka (kaum musyrik).
Tiada seorang pun yang dihalang-halangi untuk memasuki Baitullah; dahulu seorang lelaki berjumpa dengan pembunuh ayahnya dan saudaranya, tetapi dia tidak berani menghalang-halanginya (untuk memasuki Baitullah). Maka mereka menjawab, "Tidak boleh masuk ke dalam kota kami orang-orang yang telah membunuh ayah-ayah kami dalam Perang Badar, sedangkan di antara kami masih ada yang hidup"
Sehubungan dengan firman-Nya, "Dan berusaha untuk merobohkannya" (Al-Baqarah: 114), Ibnu Jarir mengatakan, "Dikatakan demikian karena mereka menyetop orang-orang yang meramaikan Baitullah dengan berzikir menyebut asma-Nya dan datang kepadanya untuk menunaikan ibadah haji dan umrah."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah disebutkan dari Salamah bahwa Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut, bahwa orang-orang Quraisy melarang Nabi Saw. melakukan salat di dekat Ka'bah Masjidil Haram. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya. (Al-Baqarah: 114)
Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang pertama dengan alasan bahwa orang-orang Quraisy tidak ada yang berupaya untuk merusak Ka'bah. Adapun orang-orang Romawi, memang mereka berusaha melakukan pengrusakan terhadap Baitul Maqdis.
Menurut kami, pendapat yang lebih kuat —hanya Allah yang mengetahuinya— adalah pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Zaid dan riwayat yang dikemukakan dari Ibnu Abbas. Dikatakan demikian karena apabila orang-orang Nasrani menghalang-halangi orang-orang Yahudi melakukan sembahyang di Baitul Maqdis, berarti agama mereka lebih lurus daripada agama orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nasrani lebih dekat (kepada kebenaran) daripada mereka (orang-orang Yahudi). Sedangkan bila yang dimaksudkan oleh Allah adalah perbuatan orang-orang Yahudi, hal tersebut tidak dapat diterima, mengingat mereka telah dilaknat sebelum itu melalui lisan Nabi Daud dan Nabi Isa ibnu Maryam karena perbuatan durhaka mereka, dan mereka adalah orang-orang yang melampaui batas. Lagi pula setelah Allah mengarahkan celaan-Nya kepada sikap orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, maka Allah mengarahkan celaan-Nya terhadap kaum musyrik, yaitu mereka yang mengusir Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dari Mekah; mereka juga menghalang-halangi Rasul Saw. dan para sahabatnya untuk melakukan salat di Masjidil Haram.
Mengenai pegangan yang mengatakan bahwa orang-orang Quraisy belum pernah berusaha merusak Ka'bah, dapat dijawab kerusakan apa lagi yang lebih besar daripada kerusakan yang telah mereka lakukan? Mereka mengusir Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dari Mekah, juga menguasai Mekah dengan berhala-berhala mereka dan tandingan-tandingan serta sekutu-sekutu Allah yang dijadikan oleh mereka sendiri, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
وَما لَهُمْ أَلَّا يُعَذِّبَهُمُ اللَّهُ وَهُمْ يَصُدُّونَ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَما كانُوا أَوْلِياءَهُ إِنْ أَوْلِياؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalang-halangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Al-Anfal: 34)
مَا كانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَساجِدَ اللَّهِ شاهِدِينَ عَلى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولئِكَ حَبِطَتْ أَعْمالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خالِدُونَ. إِنَّما يَعْمُرُ مَساجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسى أُولئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (At-Taubah: 17-18)
هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفاً أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ وَلَوْلا رِجالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِساءٌ مُؤْمِناتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَؤُهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذاباً أَلِيماً
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalang-halangi kalian dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kalian ketahui, bahwa kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesusahan tanpa pengetahuan kalian (tentulah Allah tidak akan menahan tangan kalian dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih. (Al-Fath: 25)
Karena itulah Allah Swt. menyebutkan di dalam firman-Nya: Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tiada takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. (At-Taubah: 18)
Apabila keadaan orang yang bersifat demikian (yakni mereka yang disebutkan dalam ayat terakhir ini) terusir dari masjid-masjid Allah dan dihalang-halangi untuk mendatanginya, maka kerusakan apa lagi yang lebih besar daripada hal tersebut?
Makna yang dimaksud dengan memakmurkan masjid-masjid ialah bukan dengan menghiasinya dan menegakkan gambamya saja, melainkan dengan melakukan zikrullah di dalamnya, menegakkan syariat Allah di dalamnya, dan membersihkannya dari kotoran dan kemusyrikan.
****************
Firman Allah Swt.:
{أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلا خَائِفِينَ}
Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). (Al-Baqarah: 114)
Ungkapan ayat ini merupakan kalimat berita, tetapi makna yang di-kandungnya adalah anjuran. Dengan kata lain, janganlah kamu biarkan mereka memasukinya jika kalian mampu, kecuali di bawah perjanjian gencatan senjata dan mau membayar jizyah. Karena itulah ketika Rasulullah Saw. membuka kota Mekah, pada tahun berikutnya (yakni tahun sembilan) beliau diperintahkan menyerukan maklumat berikut ini di Mina:
«أَلَّا لَا يَحُجَّنَّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ ، وَلَا يَطُوفَنَّ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ، وَمَنْ كَانَ لَهُ أَجْلٌ فَأَجَلُهُ إِلَى مُدَّتِهِ»
Ingatlah, tidak boleh melakukan haji sesudah tahun ini seorang musyrik pun; dan tidak boleh tawaf di Baitullah seorang pun yang telanjang. Dan barang siapa yang masih mempunyai waktu (perjanjian), maka batasnya ialah sampai berakhirnya waktu (perjanjian)nya.
Hal tersebut dilakukan sesuai dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرامَ بَعْدَ عامِهِمْ هذا
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (At-Taubah: 28)
Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa makna ayat ini ialah 'tidaklah layak bagi mereka (orang-orang musyrik) memasuki masjid-masjid Allah kecuali dalam keadaan takut terhadap kesiagaan dan kewaspadaan kaum mukmin yang selalu mengintai akan memukul mereka, terlebih lagi bila kaum musyrik tersebut menguasai masjid-masjid Allah dan melarang kaum mukmin untuk memasukinya'. Dengan kata lain, keadaan yang seharusnya tiada lain kecuali seperti itu, seandainya saja tiada kelaliman dari pihak orang-orang kafir dan selain mereka.
Menurut pendapat yang lain, makna ayat ini mengandung berita gembira dari Allah buat kaum muslim, bahwa kelak kaum muslim akan menguasai Masjidil Haram, juga masjid-masjid lain. Kelak kaum musyrik akan tunduk kepada mereka, hingga tiada seorang pun dari kalangan mereka yang masuk ke dalam Masjidil Haram kecuali dengan rasa takut. Ia akan takut ditangkap, lalu dihukum atau dibunuh jika tidak mau masuk Islam.
Sesungguhnya Allah menunaikan janji ini seperti yang disebutkan di atas, yaitu kaum musyrik dilarang memasuki Masjidil Haram. Dan Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar tidak membiarkan ada dua agama di Jazirah Arabia; hendaklah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani diusir. Segala puji dan anugerah adalah milik Allah. Hal tersebut tiada lain karena menghormati Masjidil Haram dan membersihkan kawasan tersebut yang merupakan tempat kelahiran seorang rasul yang diutus oleh Allah buat seluruh umat manusia dengan membawa berita gembira sebagai juru ingat.
Hal tersebut merupakan kehinaan bagi kaum musyrik di dunia, karena pembalasan itu tiada lain disesuaikan dengan jenis perbuatannya. Maka sebagaimana orang-orang musyrik itu pernah melarang kaum mukmin untuk memasuki Masjidil Haram, kini mereka dilarang memasukinya. Sebagaimana mereka pernah mengusir kaum mukmin dari Mekah, maka mereka pun harus diusir.
*****************
Firman Allah Swt.:
{وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ}
dan di akhirat mereka mendapat siksa yang berat. (Al-Baqarah: 114)
Hal itu sebagai balasan atas perbuatan mereka yang berani menodai kesucian Baitullah dan menghinanya dengan memasang banyak berhala di sekitarnya, menyeru selain Allah di dalamnya, tawaf dengan telanjang bulat, dan perbuatan-perbuatan mereka yang lain yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Adapun orang yang menafsirkannya sebagai Baitul Maqdis, hal ini bersumber dari Ka'b Al-Ahbar yang pernah mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Nasrani ketika berhasil menguasai Baitul Maqdis, mereka melakukan pengrusakan. Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. serta menurunkan firman-Nya kepadanya, yaitu: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya dan berusaha untuk merobohkannya. Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut. (Al-Baqarah: 114), hingga akhir ayat. Tiada seorang Nasrani pun di muka bumi ini yang memasuki Baitul Maqdis kecuali dalam keadaan takut.
Menurut As-Saddi, sekarang tiada seorang Romawi pun di muka bumi ini yang memasukinya kecuali dalam keadaan takut lehernya akan dipancung, atau ditakuti dengan keharusan membayar jizyah.
Qatadah berpendapat, orang-orang Romawi tidak berani memasuki Baitul Maqdis kecuali dengan sembunyi-sembunyi.
Menurut kami penafsiran terakhir ini dapat dimasukkan ke dalam makna umum ayat ini; karena sesungguhnya ketika orang-orang Nasrani itu berbuat aniaya terhadap Baitul Maqdis dengan mencemarkan Sakhrah yang merupakan kiblat orang-orang Yahudi, dalam ibadah, maka orang-orang Nasrani tersebut memperoleh hukumannya menurut syara' dan takdir dengan mendapat kehinaan padanya, kecuali hanya dalam masa-masa tertentu mereka dapat memasuki Baitul Maqdis. Demikian pula halnya orang-orang Yahudi; ketika mereka melakukan kedurhakaan di dalamnya yang lebih besar daripada kedurhakaan orang-orang Nasrani, mereka pun mendapat hukuman yang lebih besar.
Mereka menafsirkan makna kehinaan di dunia dengan munculnya Imam Mahdi, seperti yang dikatakan oleh As-Saddi dan Ikrimah serta Wail ibnu Daud. Sedangkan menurut Qatadah, mereka diharuskan membayar jizyah dengan patuh pada saat mereka dalam keadaan tunduk.
Pendapat yang benar, takwil dari makna kehinaan di dunia lebih umum daripada semuanya. Telah diriwayatkan di dalam sebuah hadis yang menerangkan tentang memohon perlindungan kepada Allah dari kehinaan di dunia dan siksa di akhirat, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad;
حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ بْنِ مَيْسَرَةَ بْنِ حَلبس سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ، عَنْ بُسْر بْنِ أَرْطَاةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو: "اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ"
telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ayyub ibnu Maisarah ibnu Halas, bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadis berikut dari Bisyr ibnu Artah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. acapkali mengucapkan doa berikut: Ya Allah, jadikanlah akibat semua urusan kami kebaikan belaka, dan lindungilah kami dari kehinaan di dunia dan siksa di akhirat.
Hadis ini berpredikat hasan, tetapi tidak terdapat di dalam kitab Sittah; dan pemilik hadis ini (yaitu Bisyr ibnu Artah yang terkadang disebut dengan nama Ibnu Abu Artah) tidak mempunyai hadis lain kecuali hadis ini dan hadis lainnya yang mengatakan:
"لَا تُقْطَعُ الْأَيْدِي فِي الْغَزْوِ"
Tangan-tangan tidak boleh dipotong dalam peperangan.

Al-Baqarah, ayat 115

{وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (115) }
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Makna ayat ini —hanya Allah yang mengetahuinya— merupakan penghibur bagi Rasulullah Saw. dan para sahabat yang telah diusir dari Mekah dan berpisah meninggalkan masjid dan tempat salat mereka. Pada mulanya Rasulullah Saw. salat di Mekah menghadap ke arah Baitul Maqdis, sedangkan Ka'bah berada di hadapannya. Ketika beliau Saw. tiba di Madinah, beliau masih menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Kemudian Allah Swt. memalingkannya ke arah Ka'bah. Karena itu, Allah Swt. berfirman: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam telah meriwayatkan di dalam kitab Nasikh wal Mansukh, telah menceritakan kepada kami Hajaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa bagian permulaan dari Al-Qur'an yang dimansukh bagi kami menurut apa yang diceritakan kepada kami —hanya Allah Yang lebih mengetahui— adalah mengenai masalah kiblat. Allah Swt. berfirman: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Maka Rasulullah Saw. menghadap ke arah Baitul Maqdis dalam salatnya dan meninggalkan arah Baitul 'Atiq (Ka'bah). Kemudian Allah me-nasakh-nya dan memalingkannya ke arah Baitul 'Atiq, yaitu melalui firman-Nya: Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu sekalian berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (Al-Baqarah: 150)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa permulaan ayat Al-Qur'an yang di-mansukh adalah mengenai masalah kiblat. Hal ini terjadi ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah yang penduduknya antara lain adalah orang-orang Yahudi. Maka Allah memerintahkannya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya), hingga orang-orang Yahudi gembira melihat hal itu. Rasulullah Saw. menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya) selama belasan bulan, padahal Rasulullah Saw. sendiri lebih menyukai kiblat Nabi Ibrahim a.s. (yaitu Ka'bah). Karena itu, beliau Saw. selalu menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit —sampai dengan firman-Nya— maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (Al-Baqarah: 144-150)
Melihat hal tersebut orang-orang Yahudi merasa curiga, lalu mereka berkata, "Apakah gerangan yang memalingkan mereka dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang pada mulanya mereka telah berkiblat kepada-nya?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat." (Al-Baqarah: 142)
*******************
{فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ}
Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115). Yang dimaksud dengan wajah Allah ialah kiblat Allah, yakni ke mana pun kamu menghadap, di situlah kiblat Allah, baik ke arah timur ataupun ke arah barat.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115), yakni di mana pun kalian berada, maka menghadaplah kalian ke arah kiblat yang kalian sukai, yaitu Ka'bah.
Sesudah mengetengahkan riwayat asar di atas, Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas sebuah asar mengenai pe-nasakh-an kiblat ini melalui Ata, dari Ibnu Abbas. Telah diriwayatkan dari Abul Aliyah, Al-Hasan, Ata Al-Khurrasani, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, dan Zaid ibnu Aslam hal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya bahkan ada yang mengatakan bahwa Allah menurunkan ayat ini sebelum ada kewajiban menghadap ke arah Ka'bah. Sesungguhnya Allah Swt. menurunkan ayat ini hanya untuk memberitahukan kepada Nabi-Nya dan para sahabatnya bahwa dalam salatnya mereka boleh menghadapkan wajah ke arah mana pun yang mereka sukai di antara arah timur dan barat. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali mereka menghadapkan wajahnya ke suatu arah mana pun melainkan Allah Swt. berada di arah tersebut, mengingat semua arah timur dan barat hanyalah milik-Nya belaka; dan bahwa tiada suatu arah pun melainkan Allah Swt. selalu berada padanya, seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:
وَلا أَدْنى مِنْ ذلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كانُوا
Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. (Al-Mujadilah: 7)
Mereka mengatakan bahwa setelah itu keharusan yang ditetapkan atas mereka adalah menghadap ke arah Masjidil Haram. Demikianlah menurut keterangan Ibnu Jarir. Mengenai penjelasan yang mengatakan bahwa tiada suatu tempat pun melainkan Allah selalu berada padanya; jika yang dimaksudkan adalah ilmu Allah Swt., berarti benar. Tetapi jika yang dimaksudkan adalah Zat-Nya, maka tidak benar, karena Zat Allah tidak dapat dibatasi oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya (yakni Allah tidak membutuhkan tempat). Mahasuci Allah dari hal tersebut, dan Maha Tinggi Dia dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, bahkan ayat ini diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya sebagai izin dari-Nya boleh menghadap ke arah mana pun —baik ke arah timur atau-pun ke arah barat— dalam salat sunatnya; juga dalam perjalanannya, ketika perang sedang berkobar, dan dalam keadaan yang sangat menakutkan.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik alias Ibnu Abu Sulaiman, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah salat menghadap ke arah mana unta kendaraannya menghadap, lalu ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah melakukan hal itu berdasarkan takwil ayat berikut: maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Asar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai serta Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih melalui berbagai jalur dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman dengan lafaz seperti tersebut di atas. Asal hadis ini berada di dalam kitab Sahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) melalui hadis Ibnu Umar dan Amir ibnu Rabi'ah, tetapi tanpa menyebutkan ayat.
Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Nafi’ dari Ibnu Umar r.a. disebutkan bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai salat Khauf, ia menggambarkan (memperagakan)nya. Kemudian ia mengatakan, "Apabila keadaan semakin menakutkan, maka mereka salat dengan berjalan kaki, ada pula yang berkendaraan, ada yang menghadap ke arah kiblat ada pula yang tidak menghadap ke arah kiblat." Selanjutnya Nafi' mengatakan, "Aku merasa yakin bahwa Ibnu Umar tidak sekali-kali menyebutkan hal ini melainkan dari Nabi Saw."
Imam Syafii, menurut pendapat yang masyhur darinya, tidak membedakan antara perjalanan biasa dan perjalanan untuk melakukan perang. Keduanya memang bersumber dari dia, ia memperbolehkan salat tatawwu' di atas kendaraan (dalam dua keadaan tersebut). Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, lain halnya dengan Imam Malik dan jamaahnya yang berpendapat berbeda. Sedangkan Abu Yusuf dan Abu Sa'id Al-Astakhri memilih pendapat boleh melakukan salat sunat di atas kendaraan ketika di Mesir. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Yusuf melalui Anas ibnu Malik r.a., tetapi Abu Ja'far At-Tabari memilih pendapat ini dan pendapat yang membolehkannya bagi orang yang berjalan kaki.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum yang buta sama sekali akan arah kiblat hingga mereka tidak mengetahui mana arahnya, lalu mereka melakukan salatnya menghadap ke arah yang berbeda-beda. Maka Allah Swt. berfirman, "Dan kepunyaan Akulah timur dan barat itu. Maka ke arah mana pun kalian menghadapkan wajah kalian, di situlah terdapat wajah-Ku yang merupakan kiblat kalian; hal ini sebagai pemberitahuan buat kalian bahwa salat kalian harus tetap dilangsungkan."
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq Al-Ahwazi, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Abur Rabi' As-Samman, dari Asim ibnu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, dari ayahnya yang menceritakan:
Kami pernah bersama Rasulullah Saw. di suatu malam yang gelap gulita dan kami turun istirahat di suatu tempat, lalu seseorang mulai mengambil batu-batu untuk membuat masjid (tempat sujud) untuk salat. Ketika pagi harinya, ternyata jelas bagi kami bahwa kami telah salat bukan menghadap ke arah kiblat. Maka kami berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tadi malam salat bukan menghadap ke arah kiblat." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah." (Al-Baqarah: 115), hingga akhir ayat.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis yang semisal melalui Sufyan ibnu Waki', dari ayahnya, dari Abur Rabi' As-Samman. Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Mahmud ibnu Gailan, dari Waki'; sedangkan Ibnu Majah, dari Yahya ibnu Hakim, dari Abu Daud, dari Abur Rabi' As-Samman. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, dari Sa'id ibnu Sulaiman, dari Ar-Rabi' As-Samman yang nama aslinya ialah Asy'as ibnu Sa'id Al-Basri, dia orang yang daif hadisnya. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan, tetapi sanadnya tidaklah demikian, dan kami tidak mengetahuinya kecuali melalui hadis Al-Asy'as As-Samman, sedangkan Asy'as dinilai lemah hadisnya. Menurut kami (penulis), gurunya juga (yaitu Asim) dinilai lemah; bahkan menurut Imam Bukhari hadisnya dinilai munkar. Ibnu Mu'in mengatakan bahwa dia orangnya daif, hadisnya tidak dapat dijadikan hujah. Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadisnya berpredikat matruk.
Sesungguhnya telah diriwayatkan dari jalur yang lain melalui Jabir. Untuk itu, Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih telah meriwayatkan di dalam tafsir ayat ini bahwa telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali ibnu Syabib, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdullah ibnul Hasan yang mengatakan bahwa di dalam kitab catatan ayahnya ia pernah menemukan hal berikut, bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Al-Azrami, dari Ata ibnu Jabir yang menceritakan hadis berikut:
Rasulullah Saw. mengutus suatu pasukan yang aku termasuk salah satu anggotanya, maka kami mengalami malam yang gelap gulita hingga kami tidak mengetahui arah kiblat. Lalu segolongan orang dari kami berkata, "Sesungguhnya kami telah mengetahui arah kiblat mengarah ke sebelah ini, yakni sebelah utara." Maka mereka melakukan salat dan membuat garis-garis sebagai tandanya; ketika mereka berada di pagi hari dan matahari terbit, ternyata garis-garis tersebut bukan menghadap ke arah kiblat. Ketika kami kembali dari perjalanan misi kami, maka kami tanyakan hal itu kepada Nabi Saw., tetapi beliau diam (tidak menjawab), dan Allah menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).
Kemudian Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui hadis Muhammad ibnu Ubaidillah Al-Azrami, dari Ata, dari Jabir dengan lafaz yang sama.
قَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ: قُرِئَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ -وَأَنَا أَسْمَعُ-حَدَّثَكُمْ دَاوُدُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ الْوَاسِطِيُّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سَالِمٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ جَابِرٍ، قال: كنا مع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسِيرٍ فَأَصَابَنَا غَيْمٌ، فَتَحَيَّرْنَا فَاخْتَلَفْنَا فِي الْقِبْلَةِ، فَصَلَّى كُلٌّ (1) مِنَّا عَلَى حِدَةِ، وَجَعَلَ أَحَدُنَا يَخُطُّ بَيْنَ يَدَيْهِ لَنَعْلَمَ أَمْكِنَتَنَا، فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَأْمُرْنَا بِالْإِعَادَةِ، وَقَالَ: "قَدْ أَجَزَّأَتْ صَلَاتُكُمْ".
Imam Daruqutni mengatakan, telah dibacakan kepada Abdullah ibnu Abdul Aziz, sedangkan aku mendengarkannya. Si pembaca hadis mengatakan, telah menceritakan kepada kalian Daud ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid Al-Wasiti, dari Muhammad ibnu Salim, dari Ata, dari Jabir yang menceritakan, "Kami pernah bersama Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan, kemudian awan menutupi (pandangan kami) hingga kami kebingungan. Maka kami berbeda pendapat dalam masalah kiblat, dan masing-masing orang dari kami melakukan salat dengan menghadap ke arahnya masing-masing, dan seseorang di antara kami membuat garis di depannya sebagai tanda untuk mengetahui tempat kami menghadap. Kemudian kami ceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw., dan ternyata beliau tidak memerintahkan kami untuk mengulangi salat kami, lalu beliau Saw. bersabda, "Salat kalian telah lewat"
Kemudian Imam Daruqutni mengatakan bahwa demikianlah apa yang telah dikatakan oleh Muhammad ibnu Salim. Sedangkan selain Imam Daruqutni meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami, dari Ata, tetapi keduanya (Muhammad ibnu Salim dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami) berpredikat daif.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas: Bahwa Rasulullah Saw. pernah mengirim suatu pasukan sariyyah, lalu mereka tertutup oleh kabut hingga mereka tidak mendapat petunjuk untuk mengetahui arah kiblat. Maka mereka salat dengan menghadap ke arah selain kiblat, kemudian jelaslah bagi mereka setelah matahari cerah, bahwa mereka salat menghadap ke arah selain kiblat. Ketika mereka datang kepada Rasulullah Saw., mereka menceritakan hal itu kepadanya, lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini, yaitu: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).
Semua sanad yang telah diketengahkan di atas mengandung ke-daif-an, barangkali sebagian darinya memperkuat sebagian yang lain.
Mengulangi salat bagi orang yang keliru (menghadap bukan ke arah kiblat), sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama. Semua hadis yang telah dikemukakan merupakan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa qada itu tidak ada.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 115) diturunkan karena masalah Raja Najasyi, seperti yang diceritakan oleh Muhammad ibnu Basysyar kepada kami, bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya seorang saudara kalian telah meninggal dunia, maka salatkanlah dia oleh kalian." Mereka bertanya, "Apakah kami akan menyalatkan seorang lelaki yang bukan muslim?" Qatadah melanjutkan riwayatnya, bahwa setelah itu turunlah firman-Nya: Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah. (Ali Imran: 199) Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka mengatakan, "Sesungguhnya dia (Raja Najasyi) tidak salat menghadap ke arah kiblat." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Hadis ini berpredikat garib. Menurut suatu pendapat, sesungguhnya Raja Najasyi salat menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum sampai kepadanya pe-nasakh-an yang memerintahkan beralih menghadap ke arah Ka'bah, menurut riwayat yang diketengahkan oleh Al-Qurtubi melalui Qatadah.
Imam Qurtubi menyebutkan pula bahwa ketika Raja Najasyi meninggal dunia, Rasulullah Saw. menyalatkannya. Maka hadis ini dijadikan sebagai dalil oleh orang-orang yang mengatakan disyariatkannya salat gaib. Selanjutnya Imam Quitubi mengatakan, hal ini merupakan suatu kekhususan menurut pendapat di kalangan kami, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, Rasulullah Saw. menyaksikan kematiannya. Di saat Raja Najasyi meninggal dunia, maka bumi dilipat untuk Rasulullah Saw. hingga beliau dapat menyaksikannya.
Kedua, ketika Raja Najasyi meninggal dunia, tiada seorang pun yang menyalatkannya di negeri tempat tinggalnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Arabi. Tetapi menurut Imam Qurtubi, mustahil bila ada seorang raja muslim, sedangkan di kalangan kaumnya tiada seorang pun yang seagama dengannya. Ibnul Arabi menjawab sanggahan tersebut, barangkali di kalangan mereka masih belum disyariatkan salat mayat. Jawaban ini cukup baik.
Ketiga, Nabi Saw. sengaja menyalatkannya dengan maksud untuk memikat hati raja-raja lainnya.
وَقَدْ أَوْرَدَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويه فِي تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قبْلَة لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَأَهْلِ الشَّامِ وَأَهْلِ الْعِرَاقِ".
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Amr ibnu Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Di antara timur dan barat terdapat kiblat bagi penduduk Madinah, penduduk Syam, dan penduduk Irak.
Hadis ini mempunyai kaitan dengan bab ini, dan telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Ma'syar yang nama aslinya ialah Nujaih ibnu Abdur Rahman As-Saddi Al-Madani dengan lafaz yang sama, yaitu:
«مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ»
Di antara timur dan barat terdapat kiblat.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Abu Hurairah. Sebagian kalangan ahlul ilmi mengenai diri Abu Ma'syar dari segi hafalan hadisnya (yakni hafalannya lemah).
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan:
حَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ [أَبِي] بَكْرٍ الْمَرْوَزِيُّ، حَدَّثَنَا الْمُعَلَى بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْزُومِيُّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَخْنَسِيِّ، عَنْ سَعِيدٍ الْمُقْبِرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ"
telah menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu Bakar Al-Mawarzi, telah menceritakan kepada kami Al-Ma’la ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far Al-Makhzumi, dari Usman ibnu Muhammad ibnul Mugirah Al-Akhnas, dari Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:  Di antara timur dan barat terdapat kiblat.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, hadis ini berpredikat hasan sahih. Telah diriwayatkan dari Imam Bukhari bahwa dia telah mengatakan hadis ini lebih kuat dan lebih sahih daripada hadis Abu Ma'-syar.
Imam Turmuzi mengatakan, telah diriwayatkan hadis berikut oleh bukan hanya seorang dari kalangan sahabat, yaitu: Di antara timur dan barat terdapat kiblat. Di antara mereka adalah Umar ibnul Khattab, Ali, dan Ibnu Abbas radiyallahu 'anhum. Ibnu Umar r.a. pernah mengatakan:
Apabila engkau jadikan arah barat di sebelah kananmu dan arah timur di sebelah kirimu, maka di antara keduanya adalah arah kiblat, jika engkau hendak menghadap ke arah kiblat.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Yusuf maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Namir, dari Abdullah ibnu Umar, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Di antara timur dan barat terdapat arah kiblat.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni dan Imam Baihaqi. Ibnu Murdawaih mengatakan, menurut pendapat yang masyhur hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. adalah perkataan Ibnu Umar r.a. sendiri.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ini (Al-Baqarah ayat 115) dapat diinterpretasikan seperti berikut: "Ke mana pun kalian mengarahkan wajah kalian dalam doa kalian kepada-Ku, maka di situlah terdapat wajah-Ku; Aku akan memperkenankan doa yang kalian panjatkan." Seperti yang diceritakan kepada kami oleh Al-Qasim yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj yang mengatakan bahwa Ibnu Juraij pernah meriwayatkan dari Mujahid, ketika ayat ini diturunkan (yaitu firman-Nya): Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. (Al-Mu’min: 60) maka mereka bertanya, "Ke arah manakah kami menghadap?" Lalu turunlah firman-Nya: Maka ke arah mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 115) Artinya, rahmat Allah mencakup semua makhluk-Nya dengan memberi mereka kecukupan, karunia, dan anugerah dari-Nya. Firman-Nya, "'Alimun" artinya sesungguhnya Allah Swt. Maha Mengetahui perbuatan-perbuatan mereka; tiada sesuatu pun dari amal mereka yang tidak diketahui-Nya dan tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi pengetahuan-Nya, bahkan Allah Swt. Maha Mengetahui kesemuanya itu (baik yang lahir maupun yang batin).

Al-Baqarah, ayat 116-117

{وَقَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ (116) بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (117) }
Dan mereka (orang-orang kafir) berkata, "Allah mempunyai anak." Mahasuci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan kepadanya, "Jadilah." Lalu jadilah ia.
Ayat ini dan ayat yang berikutnya mengandung bantahan terhadap orang-orang Nasrani —semoga laknat Allah menimpa mereka— dan juga orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik Arab, yaitu mereka yang menjadikan para malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah. Allah mendustakan dakwaan semuanya, demikian juga dakwaan mereka yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah beranak. Untuk itu Dia berfirman, "Subhanahu," Mahasuci dan Mahabersih serta Maha Tinggi Allah dari hal tersebut dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.
{بَلْ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ}
Bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah. (Al-Baqarah: 116)
Yakni perkara yang sebenarnya tidaklah seperti apa yang mereka buat-buat, sesungguhnya hanya milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi dan semua yang ada padanya. Dialah yang mengatur mereka, yang menciptakan mereka, yang memberi mereka rezeki, yang menguasai mereka, yang menundukkan mereka, yang menjalankan mereka, dan yang menggerakkan mereka menurut apa yang dikehendaki-Nya. Semuanya merupakan hamba-hamba-Nya dan milik-Nya, maka mana mungkin Dia mempunyai anak dari kalangan mereka? Karena sesungguhnya seorang anak itu hanya dilahirkan dari dua spesies yang sama, sedangkan Allah Swt. tiada yang menyamai-Nya dan tiada yang menyekutui-Nya dalam kebesaran dan keagungan-Nya; dan tiada istri bagi-Nya, maka mana mungkin Dia beranak? Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
بَدِيعُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu. (Al-An'am: 101)
وَقالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمنُ وَلَداً لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئاً إِدًّا. تَكادُ السَّماواتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمنِ وَلَداً. وَما يَنْبَغِي لِلرَّحْمنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَداً إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمنِ عَبْداً لَقَدْ أَحْصاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيامَةِ فَرْداً
Dan mereka berkata, "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak."'' Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. (Maryam: 88-95)
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ. اللَّهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ
Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlas: 1-4)
Melalui ayat-ayat tersebut di atas Allah Swt. menetapkan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Mahaagung Yang tiada tandingan dan tiada persamaan bagi-Nya. Segala sesuatu selain Dia adalah makhluk-Nya yang menjadi hamba-hamba-Nya, maka mana mungkin Dia beranak dari mereka? Karena itu, dalam tafsir ayat ini Imam Bukhari mengatakan:
أَخْبَرَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي حُسَين، حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ جُبَيْرٍ -هُوَ ابْنُ مُطْعَمٍ-عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قَالَ: "قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: كَذَّبني ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إيَّاي فَيَزْعُمُ أَنِّي لَا أَقْدِرُ أَنْ أُعِيدَهُ كَمَا كَانَ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لِي وَلَدٌ. فَسُبْحَانِي أَنْ أَتَّخِذَ صَاحِبَةً أَوْ وَلَدًا ".
telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Abdullah ibnu Abul Husain, telah menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Jubair (yaitu Ibnu Mut'im), dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Anak Adam telah mendustakan Aku, padahal tidak layak baginya mendustakan Aku. Dan dia telah mencaci-Ku, padahal tidak patut baginya mencaci-Ku. Adapun kedustaan yang dilakukannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Aku tidak dapat menghidupkannya kembali seperti semula. Adapun caciannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Aku mempunyai anak. Mahasuci Aku dari mempunyai istri atau anak."
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Bukhari sendiri dari satu jalur.
وَقَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ كَامِلٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُحَمَّدٍ الفَرْوي، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَنْبَغِ لَهُ أَنْ يُكَذِّبَنِي، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَنْبَغِ لَهُ أَنْ يَشْتُمَنِي، أَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لَنْ يُعِيدَنِي كَمَا بَدَأَنِي. وَلَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلِيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ. وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا. وَأَنَا اللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ"
Ibnu Murdawaih berkata, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Ath-Thurmuzi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Muhammad Al-Qarwi, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Anak Adam telah mendustakan Aku, padahal tidak layak baginya mendustakan Aku. Dan dia telah mencaci-Ku, padahal tidak patut baginya mencaci-Ku. Adapun kedustaan yang dilakukannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan, "Allah tidak akan membangkitkan aku seperti Dia menciptakan aku pada awal mulanya," padahal permulaan penciptaan tidaklah lebih mudah daripada mengembalikannya. Adapun caciannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Allah telah mengambil anak (beranak), padahal Aku adalah Allah Yang Maha Esa yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu; tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.
Di dalam kitab Sahihain (Bukhari dan Muslim) disebutkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw., bahwa beliau pernah bersabda:
"لَا أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ؛ إِنَّهُمْ يَجْعَلُونَ لَهُ وَلَدًا، وَهُوَ يَرْزُقُهُمْ وَيُعَافِيهِمْ"
Tiada seorang pun yang lebih sabar daripada Allah atas gangguan yang telah didengarnya; sesungguhnya mereka menganggap-Nya beranak. Akan tetapi, Dia tetap memberi mereka rezeki dan membiarkan mereka.
*****************
Firman Allah Swt.:
{كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ}
Semua tunduk kepada-Nya. (Al-Baqarah: 116)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asbat, dari Mutarrif, dari Atiyyah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna qanitun, yakni musallun (berdoa).
Menurut Ikrimah dan Abu Malik, artinya semua mengakui bahwa Dia wajib disembah. Menurut Sa'id ibnu Jubair makna qanitun ialah ikhlas. Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, qanitun artinya berdiri di hari kiamat. Menurut As-Saddi artinya semua taat kepada-Nya di hari kiamat.
Khasif meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna qanitun, yaitu semua taat kepada-Nya. Bila dikatakan, "Jadilah kamu manusia," maka jadilah manusia. Dan bila dikatakan, "Jadilah kamu keledai," maka jadilah keledai.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan dari Mujahid bahwa qanitun artinya mereka semuanya taat kepada Allah. Selanjutnya Mujahid mengatakan bahwa taat orang kafir ialah melalui bayangannya yang sujud kepada Allah, sedangkan diri orang kafir itu sendiri tidak suka. Pendapat dari Mujahid ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Dari semua pendapat di atas Ibnu Jarir menyimpulkan bahwa tunduk, patuh, dan taat hanya kepada Allah merupakan hal yang (diperintahkan) oleh syariat. Hal ini telah diriwayatkan dalam hadis, sebagaimana disebutkan pula di dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ طَوْعاً وَكَرْهاً وَظِلالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْآصالِ
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. (Ar-Ra'd: 15)
Telah diriwayatkan di dalam sebuah hadis yang mengandung penjelasan tentang lafaz qunut dalam Al-Qur'an, bahwa yang dimaksud adalah taat, tunduk, dan patuh; seperti yang telah dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim:
حَدَّثَنَا يونُس بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ: أَنَّ دَرَّاجًا أَبَا السَّمْحِ حَدَّثَهُ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "كُلُّ حَرْفٍ مِنَ الْقُرْآنِ يُذْكَرُ فيه القنوت فهو الطَّاعَةُ".
telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, bahwa Darraj yang dijuluki Abus Samah telah menceritakan hadis berikut dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Setiap lafaz Al-Qur'an yang menyebutkan al-qunut artinya taat.
Hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Hasan ibnu Musa, dari Ibnu Abu Luhai'ah, dari Darraj dengan sanad yang semisal, tetapi di dalam sanadnya terdapat kelemahan dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Predikat rafa' hadis ini merupakan hal yang tidak dapat diterima, mengingat adakalanya hal ini merupakan perkataan seorang sahabat atau orang yang lebih rendah daripada dia. Banyak sekali tafsir yang mengetengahkan sanad ini, padahal di dalamnya terkandung hal yang diingkari. Maka janganlah Anda teperdaya olehnya, karena sesungguhnya sanad ini predikatnya daif.
************
Firman Allah Swt.:
{بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ}
Allah Pencipta langit dan bumi. (Al-Baqarah: 117)
Yakni Allah yang menciptakan keduanya tanpa contoh terlebih dahulu. Menurut Mujahid dan As-Saddi, lafaz badi'un dalam ayat ini sesuai dengan makna lugah (bahasa)nya. Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan terhadap sesuatu yang merupakan kreasi baru dengan sebutan bid'ah. Seperti yang terdapat di dalam hadis sahih Muslim, yaitu:
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah.
Bid'ah ada dua macam, yaitu adakalanya bid'ah menurut istilah syara' (yakni bid'ah sayyi'ah), seperti pengertian yang terkandung di dalam sabda Nabi Saw.:
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid 'ah, dan setiap bid'ah itu sesat.
Yang kedua ialah bid'ah menurut istilah bahasa (yakni bid'ah hasanah) seperti perkataan Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a. ketika melihat hasil jerih payahnya yang telah berhasil menghimpun kaum muslim melakukan salat tarawih hingga mereka menjadikannya sebagai tradisi, yaitu:
نعْمَتْ البدعةُ هَذِهِ
Sebaik-baik bid'ah adalah ini (yakni berjamaah salat tarawih).
Ibnu Jarir mengatakan, makna firman-Nya: Allah Pencipta langit dan bumi. (Al-Baqarah: 117) Makna yang dimaksud ialah mubdi'uhuma (Pencipta keduanya), karena sesungguhnya bentuk asalnya hanyalah mubdi'aun, kemudian di-tasrif menjadi badi'un; sebagaimana di-tasrif lafaz mu'limun menjadi 'alimun, dan lafaz musmi'un menjadi sami'un. Makna yang dimaksud ialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, dan Yang Menjadikan tanpa ada seorang pun yang lebih dahulu menciptakan hal yang semisal dengan ciptaan-Nya itu. Ibnu Jarir mengatakan, "Oleh sebab itu, seorang yang membuat bid'ah dalam agama dinamakan mubtadi', karena dia menciptakan hal baru yang belum pernah dilakukan oleh orang lain dalam agama. Hal yang sama dikatakan pula terhadap orang yang membuat ucapan atau kreasi yang baru yang belum pernah dilakukan oleh pendahulunya." Orang-orang Arab menyebut orang yang berbuat demikian dengan nama mubtadi'; antara lain ialah seperti dalam perkataan A'sya ibnu Sa'labah yang memuji Hauzah ibnu Ali Al-Hanafi, yaitu:
يُرعى إِلَى قَوْل سَادَاتِ الرِّجَالِ إِذَا ... أبدَوْا لَهُ الحزْمَ أَوْ مَا شَاءَهُ ابتدَعا
Ia dikenal dengan sebutan pemimpin kaum laki-laki apabila timbul tekadnya yang bulat atau membuat kreasi yang dikehendakinya.
Yakni bila dia hendak membuat kreasi baru dari dirinya sendiri.
Makna ayat menurut Ibnu Jarir ialah seperti berikut: "Mahasuci Allah dari mempunyai anak, Dia adalah Raja semua apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya telah menyaksikan keesaan-Nya melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan semuanya mengaku taat kepada-Nya. Dialah yang menciptakan, yang mengadakan, dan yang menjadikan mereka tanpa asal-usul, juga tanpa contoh yang diikuti-Nya dalam penciptaan-Nya itu." Hal ini merupakan pemberitahuan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, bahwa di antara orang-orang yang mengakui hal tersebut adalah Al-Masih yang mereka nisbatkan sebagai anak Allah, dan merupakan pemberitahuan dari Allah kepada mereka bahwa Dia Yang menciptakan langit dan bumi tanpa asal-usul dan tanpa contoh yang mendahuluinya, Dia adalah Tuhan Yang menciptakan Is a tanpa melalui seorang ayah, tetapi hanya dengan kekuasaan-Nya. Pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini merupakan pendapat yang baik dan merupakan ungkapan yang benar.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ}
Dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan kepadanya, "Jadilah" Lalu jadilah ia. (Al-Baqarah: 117)
Melalui ayat ini Allah Swt. menerangkan kesempurnaan kekuasaan-Nya dan kebesaran pengaruh-Nya. Dan bahwa apabila Dia menetapkan sesuatu, lalu Dia berkehendak akan mengadakannya, maka se-sungguhnya Dia hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah kamu!" Yakni hanya sekali ucap. Maka terjadilah sesuatu yang dikehendaki-Nya itu sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya yang lain, yaitu:
إِنَّما أَمْرُهُ إِذا أَرادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah" Maka terjadilah ia. (Yasin: 82)
إِنَّما قَوْلُنا لِشَيْءٍ إِذا أَرَدْناهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah" Maka jadilah ia. (An-Nahl: 40)
وَما أَمْرُنا إِلَّا واحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ
Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kedipan mata. (Al-Qamar: 50)
Salah seorang penyair mengatakan:
إِذَا مَا أَرَادَ اللَّهُ أَمْرًا فإنَّما ... يَقُولُ لَهُ كُنْ قَوْلَةً فيكونُ ...
Apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka sesungguhnya Dia hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah!" Hanya dengan satu perkataan, maka jadilah ia.
Melalui ayat ini Allah mengingatkan bahwa penciptaan Isa hanya dengan kalimat Kun (Jadilah!), maka jadilah Isa sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah.
Allah Swt. telah berfirman:
{إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ}
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, "Jadilah!" (seorang manusia), maka jadilah dia. (Ali Imran: 59)

Al-Baqarah, ayat 118

{وَقَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ لَوْلا يُكَلِّمُنَا اللَّهُ أَوْ تَأْتِينَا آيَةٌ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِثْلَ قَوْلِهِمْ تَشَابَهَتْ قُلُوبُهُمْ قَدْ بَيَّنَّا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (118) }
Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata, "Mengapa Allah tidak (langsung) berkata dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?'' Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Raff ibnu Harimalah pernah berkata kepada Rasulullah Saw., "Hai Muhammad, jika engkau adalah seorang rasul dari Allah, seperti apa yang kamu katakan, maka katakanlah kepada Allah agar Dia berbicara langsung kepada kami hingga kami dapat mendengar kalam-Nya." Maka sehubungan dengan hal ini Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata, "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya." (Al-Baqarah: 118)
Mujahid mengatakan bahwa orang-orang yang mengatakan demikian adalah orang-orang Nasrani. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, mengingat konteks ayat sedang membicarakan perihal mereka. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Imam Qurtubi telah meriwayatkan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami." (Al-Baqarah: 118) Yakni berbicara kepada kami mengenai kenabianmu, hai Muhammad? Menurut kami (penulis), memang demikianlah makna lahiriah konteksnya.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Saddi sehubungan dengan tafsir ayat ini mengatakan bahwa bagian pertama dari ayat ini merupakan perkataan orang-orang kafir Arab.  Sedangkan firman-Nya:  Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu. (Al-Baqarah: 118) Yang dimaksud dengan orang-orang yang sebelum mereka adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang yang mengatakan hal tersebut adalah kaum musyrik Arab diperkuat oleh firman-Nya:
وَإِذا جاءَتْهُمْ آيَةٌ قالُوا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّى نُؤْتى مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ اللَّهِ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسالَتَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ أَجْرَمُوا صَغارٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعَذابٌ شَدِيدٌ بِما كانُوا يَمْكُرُونَ
Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata, "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah" (Al-An'am: 124), hingga akhir ayat.
وَقالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعاً إلى قوله: قُلْ سُبْحانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَراً رَسُولًا
Dan mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami —sampai dengan firman-Nya— "Katakanlah, 'Mahasuci Tuhan-ku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul? (Al-Isra: 90-93)
وَقالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقاءَنا لَوْلا أُنْزِلَ عَلَيْنَا الْمَلائِكَةُ أَوْ نَرى رَبَّنا
Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami, "Mengapakah tidak diturunkan pada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?" (Al-Furqin: 21), hingga akhir ayat.
بَلْ يُرِيدُ كُلُّ امْرِئٍ مِنْهُمْ أَنْ يُؤْتى صُحُفاً مُنَشَّرَةً
Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka. (Al-Muddatstsir: 52)
Masih banyak ayat lain yang menunjukkan kekufuran kaum musyrik Arab, keingkaran, dan kekerasan mereka. Permintaan yang mereka ajukan tanpa ada keperluan dengan permintaan itu hanyalah karena terdorong oleh kekufuran dan keingkaran. Perihal mereka sama dengan apa yang telah dilakukan oleh kaum-kaum terdahulu dari kalangan Ahli Kitab dan lain-lainnya, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:
يَسْئَلُكَ أَهْلُ الْكِتابِ أَنْ تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتاباً مِنَ السَّماءِ فَقَدْ سَأَلُوا مُوسى أَكْبَرَ مِنْ ذلِكَ فَقالُوا أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً
Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata." (An-Nisa: 153)
وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً
Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang." (Al-Baqarah: 55)
*************
Adapun firman Allah Swt.:
{تَشَابَهَتْ قُلُوبُهُمْ}
hati mereka serupa. (Al-Baqarah: 118)
Maksudnya, hati orang-orang musyrik Arab serupa dengan hati para pendahulu mereka dalam hal kekufuran, keingkaran, dan melampaui batas. Seperti yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
كَذلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قالُوا ساحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ أَتَواصَوْا بِهِ
Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, "Ia itu adalah seorang tukang sihir atau orang gila." Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? (Adz-Dzariyat: 52-53), hingga akhir ayat.
************
{قَدْ بَيَّنَّا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ}
Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin. (Al-Baqarah: 118)
Yakni sesungguhnya Kami telah menerangkan tanda-tanda yang menunjukkan kebenaran rasul-rasul itu yang dengan adanya bukti-bukti tersebut tidak diperlukan lagi adanya pertanyaan dan tambahan lainnya bagi orang yang yakin, percaya, dan mau mengikuti rasul-rasul serta mengerti bahwa apa yang didatangkan oleh mereka adalah dari sisi Allah Swt. Mengenai orang yang hati serta pendengarannya telah dikunci mati, dijadikan gisyawah (penutup) pada pandangannya, maka mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ وَلَوْ جاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ حَتَّى يَرَوُا الْعَذابَ الْأَلِيمَ
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (Yunus: 96-97)

Al-Baqarah ayat 119

{إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ (119) }
Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ الْفَزَارِيُّ عَنْ شَيْبَانَ النَّحْوِيِّ، أَخْبَرَنِي قَتَادَةُ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُنْزِلَتْ عَلِيَّ: {إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا} قَالَ: "بَشِيرًا بِالْجَنَّةِ، وَنَذِيرًا مِنَ النَّارِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Abdullah Al-Fazzari, dari Syaiban An-Nahwi, telah menceritakan ke-padaku Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Telah diturunkan kepadaku firman-Nya, "Sesungguhnya Kami mengutusmu dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan." Beliau Saw. bersabda, "Sebagai pembawa berita gembira dengan surga dan pemberi peringatan terhadap neraka."
************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ}
Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka. (Al-Baqarah: 119)
Menurut bacaan kebanyakan ulama qiraat ialah wala tus-alu dengan ta yang di-dammah-kan sebagai kalimat berita. Menurut bacaan Ubay ibnu Ka'b dikatakan wa ma tas-alu (dan janganlah kamu bertanya), sedangkan menurut qiraat Ibnu Mas'ud dibaca wa lan tus-alu. Qiraat ini dinukil oleh Ibnu Jarir yang artinya Kami tidak akan menanyakan kepadamu tentang kekufuran orang-orang yang kafir. Perihalnya sama dengan firman-Nya:
فَإِنَّما عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسابُ
Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan saja, sedangkan Kamilah yang menghisab (amalan mereka). (Ar-Ra'd: 40)
فَذَكِّرْ إِنَّما أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (Al-Ghasyiyah: 21-22)
نَحْنُ أَعْلَمُ بِما يَقُولُونَ وَما أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِجَبَّارٍ فَذَكِّرْ بِالْقُرْآنِ مَنْ يَخافُ وَعِيدِ
Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur'an orang yang takut kepada ancaman-Ku. (Qaf: 45)
Masih banyak ayat lainnya yang semakna.
Akan tetapi, ulama lainnya membacanya la tas-al dengan huruf ta yang di-fat-hah-km dengan makna nahi, yakni janganlah kamu tanyakan tentang keadaan mereka.
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَخْبَرَنَا الثَّوْرِيُّ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَيْتَ شِعْرِي مَا فَعَلَ أَبَوَايَ، لَيْتَ شِعْرِي مَا فَعَلَ أَبَوَايَ، لَيْتَ شِعْرِي مَا فَعَلَ أَبَوَايَ؟ ". فَنَزَلَتْ: {وَلا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ} فَمَا ذَكَرَهُمَا حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Aduhai, apakah yang telah dilakukan oleh kedua orang tuaku? Aduhai, apakah yang telah dilakukan oleh kedua ibu bapakku. Aduhai, apakah yang telah dilakukan oleh kedua ayah ibuku? Maka turunlah ayat wala tas-al 'an as-habil jahim (Dan janganlah kamu bertanya tentang penghuni-penghuni neraka). Maka beliau tidak lagi menyebut-nyebut kedua orang tuanya hingga Allah Swt. mewafatkannya.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis yang semisal, dari Abu Kuraib, dari Waki', dari Musa ibnu Ubaidah yang pribadinya masih dibicarakan oleh mereka, dari Muhammad ibnu Ka'b.
Al-Qurtubi meriwayatkan hadis ini melalui Ibnu Abbas dan Muhammad ibnu Ka'b. Al-Qurtubi mengatakan, perumpamaan kalimat ini sama dengan kata-kata, "Jangan kamu tanyakan tentang si Fulan." Makna yang dimaksud ialah bahwa keadaan si Fulan melampaui apa yang menjadi dugaanmu. Dalam tazkirah telah kami sebutkan bahwa Allah Swt. menghidupkan bagi Nabi Saw. kedua ibu bapaknya hingga keduanya beriman kepada beliau, dan kami telah mengemukakan sanggahan-sanggahan kami sehubungan dengan sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ»
Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.
Menurut kami (penulis), hadis yang menceritakan tentang kedua orang tua Nabi Saw. dihidupkan kembali untuk beriman kepadanya tidak terdapat di dalam kitab-kitab Sittah, juga kitab lainnya; sanad hadisnya berpredikat daif, wallaahu a'lam.
ثُمَّ قَالَ [ابْنُ جَرِيرٍ] وَحَدَّثَنِي الْقَاسِمُ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ، حَدَّثَنِي حَجَّاجٌ، عَنِ ابْنِ جُرَيج، أَخْبَرَنِي دَاوُدُ بْنُ أَبِي عَاصِمٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَاتَ يَوْمٍ: "أَيْنَ أَبَوَايَ؟ ". فَنَزَلَتْ: {إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ}
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Daud ibnu Abu Asim: Bahwa Nabi Saw. di suatu hari bertanya, "Di manakah kedua orang tuaku?" Maka turunlah firman-Nya, "Sesungguhnya Kami mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan; dan janganlah kamu bertanya tentang penghuni-penghuni neraka."'
Hadis ini berpredikat mursal, sama dengan hadis sebelumnya. Sesungguhnya Ibnu Jarir membantah pendapat yang diriwayatkan dari Muhammad ibnu Ka'b dan lain-lainnya dalam masalah tersebut, karena mustahil Rasulullah Saw. ragu terhadap perkara kedua orang tuanya; dan Ibnu Jarir memilih qiraat yang pertama (yakni yang membaca wa la tus alu). Tetapi sanggahan yang dikemukakannya itu dalam tafsir ayat ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat boleh saja hal tersebut terjadi di saat Nabi Saw. memohon ampun buat kedua orang tuanya sebelum beliau mengetahui nasib keduanya. Ketika beliau telah mengetahui hal tersebut, maka beliau berlepas diri dari keduanya dan menceritakan keadaan yang dialami oleh kedua orang tuanya, bahwa keduanya termasuk penghuni neraka, seperti yang telah ditetapkan di dalam kitab sahih; dan masalah ini mempunyai banyak perumpamaannya yang semisal, untuk itu apa yang disebutkan oleh Ibnu Jarir tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Falih ibnu Sulaiman, dari Hilal ibnu Ali, dari Ata ibnu Yasar yang menceritakan bahwa ia pernah bersua dengan Abdullah ibnu Amr ibnul As, lalu ia bertanya, "Ceritakanlah kepadaku tentang sifat Rasulullah Saw. di dalam kitab Taurat." Maka Abdullah ibnu Amr ibnul As menjawab, "Baiklah, demi Allah, sesungguhnya sifat-sifat beliau yang disebutkan di dalam kitab Taurat sama dengan yang disebutkan di dalam Al-Qur'an," yaitu seperti berikut: Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira, pemberi peringatan, dan sebagai benteng pelindung bagi orang-orang ummi (buta huruf). Engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku; Aku namai kamu mutawakkil (orang yang bertawakal), tidak keras, tidak kasar, tidak pernah bersuara keras di pasar-pasar, dan tidak pernah menolak (membalas) kejahatan dengan kejahatan lagi, tetapi memaafkan dan mengampuni. Allah tidak akan mewafatkannya sebelum dia dapat meluruskan agama yang tadinya dibengkokkan (diselewengkan), hingga mereka mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah.'''' Maka dengan melaluinya Allah membuka mata yang buta, telinga yang tuli, dan hati yang tertutup.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Bukhari sendiri, dia mengetengahkannya di dalam Bab "Buyu' (Jual Beli)", dari Muhammad ibnu Sinan, dari Falih dengan lafaz seperti tertera di atas, sedangkan orang yang mengikutinya mengatakan dari Abdul Aziz ibnu Abu Salamah, dari Hilal. Sa'id mengatakan dari Hilal, dari Ata, dari Abdullah ibnu Salam. Imam Bukhari meriwayatkannya pula dalam Bab "Tafsir", dari Abdullah, dari Abdul Aziz ibnu Abu Salamah, dari Hilal, dari Ata, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As dengan lafaz yang semisal.
Abdullah yang disebutkan dalam sanad hadis ini adalah Ibnu saleh, seperti yang dijelaskannya di dalam Kitabul Adah. Dan Ibnu Mas'ud Ad-Dimasyqi menduganya adalah Abdullah ibnu Raja'.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam tafsir surat Al-Baqarah ini dari Ahmad ibnul Hasan ibnu Ayyub, dari Muhammad ibnu Ahmad ibnul Barra, dari Al-Mu'afi ibnu Sulaiman, dari Falih dengan lafaz yang sama, dan menambahkan bahwa Ata mengatakan, "Kemudian aku bersua dengan Ka'b Al-Ahbar, lalu aku tanyakan kepadanya tentang hadis ini, ternyata keduanya tidak berbeda dalam mengetengahkan lafaz hadis ini kecuali Ka'b yang mengatakan, 'Menurut yang sampai kepadanya disebutkan 'A'yunan 'umuma, wa azanan sumuma, wa quluban gulufa (mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang tertutup)'."

Al-Baqarah ayat 120-121

{وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (120) الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (121) }
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (Al-Baqarah: 120) Orang-orang Yahudi —juga orang-orang Nasrani itu— hai Muhammad, selamanya tidak akan senang kepadamu. Karena itu, tinggalkanlah upaya untuk membuat mereka senang dan suka kepadamu. Sekarang hadapkanlah dirimu untuk memohon rida Allah karena engkau telah mengajak mereka untuk mengikuti perkara hak yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu.
************
Firman Allah Swt.:
{قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى}
Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)." (Al-Baqarah: 120)
Yakni, katakanlah hai Muhammad, "Sesungguhnya petunjuk yang diturunkan oleh Allah kepadaku adalah petunjuk yang sebenarnya." Dengan kata lain, petunjuk tersebut merupakan agama yang lurus, benar, sempurna, dan bersifat umum.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)" (Al-Baqarah: 120), bahwa kalimat ini merupakan cara membantah yang diajarkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya untuk mendebat orang-orang yang sesat.
Selanjutnya Qatadah mengatakan, telah sampai kepada kami sebuah hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يَقْتَتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ".
Segolongan orang dari kalangan umatku masih terus-menerus berperang dalam rangka membela perkara yang hak, tiada membuat mereka mudarat orang-orang yang menentang mereka hingga datang perintah Allah (hari kiamat)
Menurut kami (penulis) hadis ini diketengahkan pula di dalam kitab sahih melalui Abdullah ibnu Amr.
************
Firman Allah Swt.:
{وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ}
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (Al-Baqarah: 120)
Di dalam ayat ini terkandung makna ancaman dan peringatan yang keras bagi umat Nabi Saw. agar mereka jangan sekali-kali mengikuti jalan-jalan kaum Yahudi dan kaum Nasrani, sesudah mereka mempunyai pengetahuan dari Al-Qur'an dan sunnah, na'uzubillah min zalik. Khitab ayat ini ditujukan kepada Rasul Saw., tetapi perintahnya ditujukan kepada umatnya.
Kebanyakan ulama fiqih menyimpulkan dalil dari firman-Nya: hingga kamu mengikuti agama mereka. (Al-Baqarah: 120) Bahwa kekufuran itu dengan berbagai macam alirannya merupakan satu agama, karena di dalam ayat ini lafaz millah diungkapkan dalam bentuk mufrad (tunggal). Perihalnya sama dengan firman Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untuk kalian agama kalian, dan untukkulah agamaku. (Al-Kafirun: 6)
Berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa antara orang-orang muslim dan orang-orang kafir tidak boleh ada saling mewaris, dan masing-masing dari kalangan orang-orang kafir boleh mewaris saudara sekafirnya, baik seagama ataupun tidak; karena sekalipun mereka terdiri atas berbagai aliran, semuanya dianggap sebagai satu agama, yaitu agama kafir. Demikianlah menurut mazhab Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat yang bersumber darinya. Sedangkan dalam riwayat yang lainnya Imam Ahmad mengatakan pendapat yang sama dengan pendapat Imam Malik, yaitu tidak boleh saling mewaris di antara berbagai macam agama, seperti yang telah dijelaskan di dalam hadis.
**************
Firman Allah Swt.:
{الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ}
Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. (Al-Baqarah: 121)
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa yang dimaksud dengan orang-orang tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini merupakan pendapat Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sa'id meriwayatkan dari Qatadah, bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah Saw.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa dan Abdullah ibnu Imran Al-Asbahani yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yaman, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari ayahnya, dari Umar ibnul Khattab, sehubung-an dengan tafsir firman-Nya, "Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya" (Al-Baqarah: 121). Yang dimaksud dengan bacaan yang sebenarnya ialah apabila si pembaca melewati penyebutan tentang surga, maka ia memohon surga kepada Allah. Apabila ia melewati penyebutan tentang neraka, maka ia meminta perlindungan dari neraka.
Abul Aliyah mengatakan bahwa sahabat Ibnu Mas'ud pernah berkata, "Demi Allah Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya bacaan yang sebenarnya ialah hendaknya si pembaca menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah, membacanya persis seperti apa yang diturunkan oleh Allah, dan tidak mengubah kalimat-kalimat dari tem-patnya masing-masing, serta tidak menakwilkan sesuatu pun darinya dengan takwil dari dirinya sendiri."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah dan Mansur ibnul Mu'tarnir, dari Ibnu Mas'ud.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Ibnu Abbas sehu-bungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh-Nya, serta tidak mengubah-ubahnya dari tempat-tempat yang sebenarnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka mengetahui ke-muhkam-an (bacaan)nya dan beriman kepada mutasyabih-nya, serta memasrahkan hal-hal yang sulit bagi mereka kepada yang mengetahuinya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. (Al-Baqarah: 121) Bahwa mereka mengikuti petunjuknya dengan ikut yang sesungguhnya. Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya (sebagai bukti bahwa makna yailunahu adalah mengikutinya):
وَالْقَمَرِ إِذا تَلاها
Dan bulan apabila mengikutinya. (Asy-Syams: 2)
Yang dimaksud dengan talaha ialah ittaba'aha (yakni mengikutinya).
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ikrimah, Ata, Mujahid, Abu Razin, dan Ibrahim An-Nakha'i. Sufyan As-Sauri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zubaid, dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya" (Al-Baqarah: 121), bahwa mereka mengikutinya dengan ikut yang sebenarnya.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa Nasr ibnu Isa meriwayatkan dari Malik, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya" (Al-Baqarah: 121), bahwa makna yang dimaksud ialah mereka mengikutinya dengan sebenar-benarnya.
Kemudian Al-Qurtubi mengatakan bahwa di dalam sanadnya terdapat bukan hanya seorang perawi dari kalangan perawi-perawi yang tak dikenal. Demikianlah menurut Al-Khatib, tetapi makna hadis memang sahih (benar).
Abu Musa Al-Asy'ari mengatakan, "Barang siapa yang mengikuti petunjuk Al-Qur'an, niscaya dia akan bertempat tinggal di taman-taman surga bersamanya."
Dari Umar ibnul Khattab, disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang apabila dalam bacaannya melewati ayat rahmat, mereka memohon rahmat kepada Allah; dan apabila melewati ayat azab, mereka memohon perlindungan dari azab itu.
Al-Qurtubi mengatakan, "Sesungguhnya makna seperti ini telah diriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa beliau apabila melewati ayat rahmat (dalam bacaan Al-Qur'an), beliau meminta rahmat; dan apabila melewati ayat azab, beliau meminta perlindungan (kepada Allah dari azab)."
*********
Firman Allah Swt.:
{أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ}
mereka itu beriman kepadanya. (Al-Baqarah: 121)
Bagian ini merupakan khabar dari firman sebelumnya, yaitu:
{الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ}
Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. (Al-Baqarah: 121)
Dengan kata lain, barang siapa dari kalangan ahli kitab yang menegakkan (mengamalkan) kitabnya yang diturunkan kepada para nabi terdahulu dengan pengamalan yang sebenarnya, niscaya dia akan beriman kepada risalah yang Kutugaskan kepadamu, hai Muhammad. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقامُوا التَّوْراةَ وَالْإِنْجِيلَ وَما أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil serta Al-Qur'an yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. (Al-Maidah: 66), hingga akhir ayat.
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتابِ لَسْتُمْ عَلى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْراةَ وَالْإِنْجِيلَ وَما أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
Katakanlah, "Hai ahli kitab, kalian tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kalian menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al-Qur'an yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian." (Al-Maidah: 68)
Dengan kata lain, apabila kalian menegakkannya dengan sebenar-benarnya dan kalian beriman kepadanya dengan iman yang sebenarnya, serta kalian membenarkan berita yang terkandung di dalamnya mengenai kerasulan Nabi Muhammad Saw., sifat-sifat dan ciri-ciri khasnya, perintah mengikutinya, membantunya dan mendukungnya, niscaya hal itu akan menuntun kalian kepada kebenaran dan menggerakkan kalian untuk mengikuti kebaikan dunia dan akhirat. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِنْدَهُمْ فِي التَّوْراةِ وَالْإِنْجِيلِ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. (Al-A'raf: 157), hingga akhir ayat.
Allah Swt. telah berfirman:
قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذا يُتْلى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقانِ سُجَّداً وَيَقُولُونَ سُبْحانَ رَبِّنا إِنْ كانَ وَعْدُ رَبِّنا لَمَفْعُولًا
Katakanlah, "Berimanlah kalian kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, "Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi." (Al-Isra: 107-108)
Artinya, apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada kami mengenai perkara Nabi Muhammad Saw. pasti terjadi.
Allah Swt. telah berfirman:
الَّذِينَ آتَيْناهُمُ الْكِتابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ. وَإِذا يُتْلى عَلَيْهِمْ قالُوا آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ. أُولئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِما صَبَرُوا وَيَدْرَؤُنَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ
Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Qur'an, mereka beriman (pula) dengan Al-Qur'an itu. Dan apabila dibacakan (Al-Qur'an itu) kepada mereka, mereka berkata, "Kami beriman kepadanya, sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya)." Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan; dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan. (Al-Qashash: 52-54)
وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّما عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبادِ
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, "Apakah kalian (mau) masuk Islam?' Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali Imran: 20)
Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 121)
Seperti makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الْأَحْزابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ
Dan barang siapa di antara mereka yang ingkar kepadanya dari kalangan golongan-golongan yang bersekutu, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya. (Hud: 17)
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ: يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ لَا يُؤْمِنُ بِي، إِلَّا دَخَلَ النَّارَ"
Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, tiada seorang pun yang mendengar tentangku dari kalangan umat ini, baik orang Yahudi ataupun orang Nasrani, kemudian ia tidak beriman kepadaku, melainkan dia masuk neraka.

Al-Baqarah ayat 122-123

{يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ (122) وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ (123) }
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Kuanugerahkan kepada kalian dan Aku telah melebihkan kalian atas segala umat. Dan takutlah kalian kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang yang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan darinya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafaat kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.
Dalam pembahasan yang lalu —yaitu pada permulaan surat Al-Baqarah— telah disebutkan ayat yang bermakna semisal dengan ayat ini. Sengaja diulangi dalam bagian ini untuk mengukuhkan maknanya dan sebagai anjuran untuk mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang mereka jumpai sifat-sifatnya, ciri khasnya, namanya, perkaranya, dan umat-nya di dalam kitab-kitab mereka. Maka Allah memperingatkan mereka agar jangan menyembunyikan hal tersebut, jangan pula menyembunyikan anugerah yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka sebagai nikmat dari-Nya. Allah memerintahkan agar mereka selalu ingat akan nikmat duniawi dan nikmat agama yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka. Untuk itu, janganlah mereka merasa dengki dan iri kepada anak-anak paman mereka (yaitu bangsa Arab) atas rezeki Allah yang diberikan kepada mereka, berupa diutus-Nya seorang rasul terakhir yang dijadikan-Nya dari kalangan mereka. Janganlah kedengkian tersebut mendorong mereka menentang rasul itu, mendustakannya, dan tidak berpihak kepadanya. Semoga salawat dan salam-Nya terlimpahkan kepada Rasul selama-lamanya sampai hari kiamat.

Al-Baqarah ayat 124

{وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (124) }
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata, "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim."
Melalui ayat ini Allah mengingatkan kemuliaan Nabi Ibrahim a.s. dan bahwa Allah Swt. telah menjadikannya sebagai imam bagi umat manusia yang menjadi panutan mereka semua dalam ketauhidan. Yaitu di kala Nabi Ibrahim a.s. menunaikan semua tugas perintah dan larangan Allah yang diperintahkan kepadanya. Karena itu, disebutkan di dalam firman-Nya: "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat." Dengan kata lain, hai Muhammad, ceritakanlah kepada orang-orang musyrik dan kedua ahli kitab (yaitu mereka yang meniru-niru agama Nabi Ibrahim), padahal apa yang mereka lakukan bukanlah agama Nabi Ibrahim. Karena sesungguhnya orang-orang yang menegakkan agama Nabi Ibrahim itu hanyalah engkau dan orang-orang mukmin yang mengikutimu. Ceritakanlah kepada mereka cobaan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, yaitu berupa perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditugaskan oleh Allah kepadanya. Kemudian Nabi Ibrahim a.s. dapat menunaikannya dengan sempurna, seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
وَإِبْراهِيمَ الَّذِي وَفَّى
dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (An-Najm: 37)
Yakni Nabi Ibrahim a.s. telah mengerjakan semua syariat yang diperintahkan oleh Allah Swt. kepadanya dengan secara sempurna. Allah Swt. telah berfirman dalam ayat yang lain, yaitu:
إِنَّ إِبْراهِيمَ كانَ أُمَّةً قانِتاً لِلَّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ. شاكِراً لِأَنْعُمِهِ اجْتَباهُ وَهَداهُ إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ. وَآتَيْناهُ فِي الدُّنْيا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ. ثُمَّ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْراهِيمَ حَنِيفاً وَما كانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemu-dian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (An-Nahl: 120-123)
قُلْ إِنَّنِي هَدانِي رَبِّي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ. دِيناً قِيَماً مِلَّةَ إِبْراهِيمَ حَنِيفاً وَما كانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah, "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik." (Al-An'am: 161)
مَا كانَ إِبْراهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرانِيًّا وَلكِنْ كانَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَما كانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ. إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْراهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad) dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 67-68)
Firman Allah Swt., "Bikalimatin," artinya dengan syariat-syariat, perintah-perintah, dan larangan-larangan. Karena sesungguhnya lafaz al-kalimat itu bila disebutkan adakalanya bermakna kekuasaan, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَصَدَّقَتْ بِكَلِماتِ رَبِّها وَكُتُبِهِ وَكانَتْ مِنَ الْقانِتِينَ
dan dia (Maryam) membenarkan kalimat (kekuasaan) Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat. (At-Tahrim: 12)
Adakalanya makna yang dimaksud ialah syariat atau peraturan, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقاً وَعَدْلًا
Telah sempurnalah kalimat (syariat) Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An'am: 115)
Maksudnya, syariat-syariat-Nya; adakalanya merupakan berita yang benar dan adakalanya perintah berbuat adil, jika kalimatnya berupa perintah atau larangan. Termasuk ke dalam pengertian al-kalimah dalam arti syariat ialah firman-Nya:
{وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya, (Al-Baqarah: 124)
Yakni Nabi Ibrahim mengerjakannya dengan sempurna.
**********
Firman Allah Swt.:
{إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا}
Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh umat manusia. (Al-Baqarah: 124)
Yaitu sebagai balasan dari apa yang telah dikerjakannya, mengingat Nabi Ibrahim telah menunaikan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Untuk itu Allah menjadikannya buat seluruh umat manusia sebagai teladan dan panutan yang patut untuk ditiru dan diikuti.
Mengenai ketentuan kalimat-kalimat yang diujikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim a.s., masih diperselisihkan di kalangan Mufassirin. Sehubungan dengan masalah ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas beberapa riwayat; antara lain oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Allah mengujinya dengan manasik-manasik (haji)." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ishaq As-Subai'i, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). (Al-Baqarah: 124): Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah mengujinya dengan bersuci, yaitu menyucikan lima anggota pada bagian kepala dan lima anggota pada bagian tubuh. Menyucikan bagian kepala ialah dengan mencukur kumis, berkumur, istinsyaq (membersihkan lubang hidung dengan air), bersiwak, dan membersihkan belahan rambut kepala. Sedangkan menyucikan bagian tubuh ialah memotong kuku, mencukur rambut kemaluan, berkhitan, mencabut bulu ketiak, serta membasuh bekas buang air besar dan buang air kecil dengan air.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab, Mujahid, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Abu Saleh, dan Abul Jalad.
Menurut kami, ada sebuah hadis di dalam kitab Sahih Muslim yang pengertiannya mendekati riwayat di atas, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللَّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الْأَظْفَارِ، وَغَسْلُ البرَاجم، وَنَتْفُ الْإِبِطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ"
Ada sepuluh perkara yang termasuk fitrah, yaitu mencukur kumis, membiarkan janggut, siwak, menyedot air dengan hidung (istinsyaq), memotong kuku, membasuh semua persendian tulang, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut kemaluan, dan hemat memakai air. (Perawi mengatakan) aku lupa yang kesepuluhnya, tetapi aku yakin bahwa yang kesepuluh itu adalah berkumur.
Waki' mengatakan bahwa intiqasul ma' artinya ber-istinja (cebok).
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
«الْفِطْرَةُ خَمْسٌ: الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ  وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ»
Fitrah itu ada lima perkara, yaitu khitan, istihdad (belasungkawa), mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.
Sedangkan lafaz hadis ini berdasarkan apa yang ada dalam kitab Sahih Muslim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la secara qiraat, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah, dari Ibnu Hubairah, dari Hanasy ibnu Abdullah As-San'ani, dari Ibnu Abbas. Ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124) Menurut Ibnu Abbas, kalimat-kalimat tersebut ada sepuluh; yang enam ada pada diri manusia, sedangkan yang empat pada masya'ir (manasik-manasik haji). Yang ada pada diri manusia ialah mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, dan khitan; disebutkan bahwa Ibnu Hubairah sering mengatakan bahwa ketiga hal itu adalah satu. Kemudian memotong kuku, mencukur kumis, bersiwak serta mandi pada hari Jumat. Sedangkan yang empatnya ialah yang ada pada manasik-manasik, yaitu tawaf, sa'i antara Safa dan Marwah, melempar jumrah, dan tawaf ifadah.
Daud ibnu Abu Hindun meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Tiada seorang pun yang diuji dengan peraturan agama ini, lalu ia dapat menunaikan kesemuanya, selain Nabi Ibrahim." Allah Swt. telah berfirman: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124); Aku (Ikrimah) bertanya kepadanya (Ibnu Abbas), "Apakah kalimat-kalimat yang diujikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, lalu Ibrahim menunaikannya?" Ibnu Abbas menjawab, "Islam itu ada tiga puluh bagian; sepuluh bagian di antaranya terdapat di dalam surat Al-Baraah (surat At-Taubah), yaitu di dalam firman-Nya, 'Orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang beribadah' (At-Taubah: 112), hingga akhir ayat. Sepuluh lainnya berada pada permulaan surat Al-Mu’minun, dan dalam firman-Nya, 'Seseorang telah meminta kedatangan azab yang akan menimpa' (Al-Ma'arij: 1). Sepuluh terakhir berada di dalam surat Al-Ahzab, yaitu firman-Nya, 'Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim' (Al-Ahzab: 35), hingga akhir ayat. Ternyata Nabi Ibrahim dapat menunaikan semuanya dengan sempurna, lalu dicatatkan baginya bara-ah. Allah Swt. berfirman, 'Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (An-Najm: 37)."
Demikian pula menurut riwayat Imam Hakim, Abu Ja'far ibnu Jarir, dan Abu Muhammad ibnu Abu Hatim berikut sanad-sanad mereka sampai kepada Daud ibnu Hindun dengan lafaz yang sama, sedangkan lafaz riwayat di atas berdasarkan apa yang ada pada Ibnu Abu Hatim.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa beberapa kalimat yang diujikan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim, lalu Nabi Ibrahim menunaikannya dengan sempurna ialah: Berpisah dengan kaumnya karena Allah ketika Allah memerin-tahkan agar dia berpisah dari mereka; perdebatan yang dilakukannya terhadap Raja Namruz ketika ia membela agamanya yang bertentangan dengan agama Raja Namruz; kesabaran Nabi Ibrahim dan keteguhan hatinya ketika ia dilemparkan ke dalam api oleh mereka demi membela agamanya; setelah itu ia berhijrah dari tanah tumpah darah dan negeri tercintanya karena Allah, yaitu ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk hijrah meninggalkan kaumnya; juga ketika dia mengerjakan perintah Allah yang menyuruhnya untuk menghormati para tamu serta bersikap sabar menghadapi mereka dengan jiwa dan harta bendanya sendiri; dan ujian lainnya, yaitu ketika dia diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putra kesayangannya. Ketika Nabi Ibrahim mengerjakan semua ujian Allah itu dengan ikhlas, maka Allah Swt. berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam" (Al-Baqarah: 131) Yakni tunduk patuh mengerjakan perintah Allah, sekalipun berten-tangan dengan kaumnya dan rela berpisah dengan mereka.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ulyah, dari Abu Raja, dari Al-Hasan (yakni Al-Basri) sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124) Allah mengujinya dengan bintang-bintang, ia bersabar; mengujinya dengan bulan, ia bersabar; mengujinya dengan matahari, ia bersabar; mengujinya dengan hijrah, ia bersabar; mengujinya dengan khitan, ia bersabar; dan mengujinya dengan anaknya (menyembelihnya), ia bersabar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah yang mengatakan bahwa Al-Hasan pernah berkata, "Ya, demi Allah, sesungguhnya Allah telah mengujinya dengan suatu perkara, maka ia bersabar dalam menunaikannya. Allah Swt. mengujinya dengan bintang-bintang, matahari, dan bulan; maka ia menunaikan ujiannya itu dengan baik dan menyimpulkan dari ujian tersebut bahwa Tuhannya adalah Zat Yang Mahaabadi dan tidak akan lenyap. Dia menghadapkan wajahnya kepada Tuhan Yang Menciptakan langit dan bumi seraya mencintai agama yang hak dan menjauhi kebatilan; dia bukan termasuk orang-orang yang musyrik.
Kemudian Allah mengujinya dengan hijrah, ia keluar meninggalkan negeri tercintanya dan kaumnya hingga sampai di negeri Syam dalam keadaan berhijrah kepada Allah Swt.
Allah mengujinya pula dengan api sebelum hijrah, ternyata dia bersabar menghadapinya. Allah mengujinya dengan perintah menyembelih anaknya serta berkhitan, maka dia menunaikan semuanya itu dengan penuh kesabaran.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari orang yang pernah mendengar Al-Hasan berkata sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). (Al-Baqarah: 124) Allah mengujinya dengan perintah menyembelih anaknya, dengan api, bintang-bintang, matahari, dan bulan.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Salam ibnu Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Al-Hasan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). (Al-Baqarah: 124) Bahwa Allah mengujinya dengan bintang-bintang, matahari, dan bulan; maka Allah menjumpainya sebagai orang yang sabar.
Al-Aufi mengatakan di dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124) Di antara kalimat-kalimat yang diujikan kepadanya disebutkan di dalam firman-Nya: Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.'' (Al-Baqarah: 124) Antara lain disebutkan di dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (Al-Baqarah: 127) Di antaranya lagi disebutkan di dalam ayat-ayat yang menceritakan tentang maqam yang dijadikan buat Nabi Ibrahim dan rezeki yang diberikan kepada penduduk Baitullah, serta Nabi Muhammad diutus dengan membawa agama Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Syababah, dari Warqa, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124) Allah Swt. berfirman kepada Nabi Ibrahim, "Sesungguhnya Aku akan mengujimu dengan suatu perintah. Perintah apakah itu?" Ibrahim menjawab, "Aku memohon semoga Engkau menjadikan diriku imam bagi umat manusia." Allah Swt. berfirman, "Ya." Lalu Ibrahim berkata: (Dan aku mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Al-Baqarah 124) Ibrahim a.s. berkata, "Semoga Engkau jadikan rumah ini (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia." Allah menjawab, "Ya." Ibrahim berkata, "Dan juga sebagai tempat yang aman." Allah menjawab, "Ya." Ibrahim berkata, "Dan semoga Engkau menjadikan kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan jadikanlah pula di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau." Allah menjawab, "Ya." Ibrahim a.s. berkata, "Semoga Engkau memeri rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada Allah." Allah menjawab, "Ya."
Ibnu Abu Nujaih berkata, ia mendengar riwayat ini dari Ikrimah, lalu menunjukkannya kepada Mujahid, ternyata Mujahid tidak memprotesnya. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir bukan hanya dari satu jalur, melalui Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.
Sufyan As-Sauri mengatakan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124) Nabi Ibrahim a.s. diuji dengan apa yang disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya, yaitu: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 124)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat. (Al-Baqarah: 124) Nabi Ibrahim a.s. diuji dengan ayat-ayat yang sesudahnya, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124); Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. (Al-Baqarah: 125); Firman-Nya yang lain: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail. (Al-Baqarah: 125), hingga akhir ayat. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (Al-Baqarah 127), hingga akhir ayat. Semua itu merupakan kalimat-kalimat yang diujikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim a.s.
As-Saddi mengatakan, kalimat-kalimat yang diujikan kepada Nabi Ibrahim oleh Tuhannya ialah yang disebutkan di dalam firman-Nya: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguh-nya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk pa-tuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau —sampai dengan firman-Nya— Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka. (Al-Baqarah: 127-129)
Al-Qurtubi meriwayatkan asar berikut —juga disebutkan di dalam kitab Muwatta' dan kitab-kitab lainnya— dari Yahya ibnu Sa'id, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, "Ibrahim adalah orang yang mula-mula berkhitan, yang mula-mula menghormati tamu, yang mula-mula memotong kuku, yang mula-mula mencukur kumis, dan yang mula-mula beruban. Ketika ia melihat uban (di kepalanya), berkatalah ia, 'Wahai Tuhanku, apakah ini?' Allah Swt. menjawab, 'Keagungan.' Ibrahim berkata, 'Wahai Tuhanku, tambahkanlah keagungan pada diriku'."
Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari ayahnya yang mengatakan bahwa orang yang mula-mula berkhotbah di atas mimbar adalah Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa orang yang mula-mula mengadakan pos adalah Nabi Ibrahim. Dia orang yang mula-mula memukul dengan pedang, yang mula-mula bersiwak, yang mula-mula bebersih memakai air, dan yang mula-mula memakai celana.
Diriwayatkan dari Mu'az ibnu Jabal bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِنْ أَتَّخِذِ الْمِنْبَرَ فَقَدِ اتَّخَذَهُ أَبِي إِبْرَاهِيمُ، وَإِنْ أَتَّخِذِ الْعَصَا فَقَدِ اتَّخَذَهَا أَبِي إِبْرَاهِيمُ»
 Jika aku membuat mimbar, maka sesungguhnya ayahku Ibrahim pernah membuatnya; dan jika aku memakai tongkat, maka sesungguhnya ayahku Ibrahim pernah memakainya.
Menurut kami (penulis) hadis ini tidak dapat dibuktikan sumbernya, wallahu a'lam.
Kemudian Al-Qurtubi mulai membahas hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan barang-barang tersebut.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, kesimpulannya dapat diringkas seperti berikut: Boleh juga makna yang dimaksud dari kalimat-ka-imat ini adalah semua yang telah disebutkan di atas, boleh pula sebagian darinya, tetapi tidak dapat menetapkan sesuatu pun darinya, lalu dikatakan bahwa inilah yang dimaksud secara tertentu, kecuali jika ada dalil dari hadis atau ijma'.
Selanjutnya Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, "Sehubungan dengan masalah ini tidak ada hadis sahih yang dapat dijadikan sebagai sandarannya, baik yang dinukil oleh jamaah ataupun oleh seorang perawi."
Selain Ibnu Jarir mengatakan, hanya saja memang telah diriwayatkan dari Nabi Saw. dua buah hadis yang mempunyai makna semisal dengan hadis ini. Salah satu di antaranya ialah apa yang diceritakan kepada kami oleh Abu Kuraib:
حَدَّثَنَا رَشْدِينُ بْنُ سَعْدٍ، حَدَّثَنِي زَبَّانُ بْنُ فَائِدٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ لِمَ سَمَّى اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلَهُ {الَّذِي وَفَّى} [النَّجْمِ: 37] ؟ لِأَنَّهُ كَانَ يَقُولُ كُلَّمَا أَصْبَحَ وَكُلَّمَا أَمْسَى: {فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ} [الرُّومِ: 17] حَتَّى يَخْتِمَ الْآيَةَ"
telah menceritakan kepada kami Rasyid ibnu Sa'd, telah menceritakan kepadaku Zaban ibnu Fa-id, dari Sahl ibnu Mu'az ibnu Anas yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:  Ingatlah, akan aku ceritakan kepada kalian mengapa Allah menamakan Ibrahim kekasih-Nya dengan sebutan orang yang selalu menunaikan janji! Hal ini tiada lain karena setiap pagi dan petang ia selalu mengucapkan, "Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kalian berada di petang hari dan waktu kalian berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi; dan di waktu kalian berada pada petang hari dan di waktu kalian berada di waktu lohor." (Ar-Rum: 17-18).
Sedangkan hadis lainnya diceritakan kepada kami oleh Abu Kuraib:
أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ، عَنْ عَطِيَّةَ، أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى} أَتُدْرُونَ مَا وَفَّى؟ ". قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "وفَّى عَمَلَ يَوْمِهِ، أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ فِي النَّهَارِ".
telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, dari Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Ja'far ibnuz Zubair, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (An-Najm: 37). Nabi Saw. bersabda, "Tahukah kalian, apa artinya orang yang selalu menyempurnakan janji?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi Saw. bersabda, "Dia selalu menyempurnakan (mengerjakan) amal hariannya, yaitu empat rakaat di siang hari."
Adam meriwayatkan pula hadis ini di dalam kitab tafsirnya, dari Hammad ibnu Salamah dan Abdu ibnu Humaid, dari Yunus ibnu Muhammad, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ja'far ibnuz Zubair dengan lafaz yang sama.
Selanjutnya Ibnu Jarir menilai daif kedua hadis ini. Menurutnya, tidak boleh mengetengahkan kedua hadis tersebut kecuali bila disebutkan dengan jelas predikat daif-nya dari berbagai segi, karena sesungguhnya kedua sanad ini mengandung bukan hanya seorang yang daif, selain itu di dalam matan (materi) hadisnya terdapat hal-hal yang menunjukkan kelemahannya.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan, seandainya ada seseorang berkata bahwa sesungguhnya pendapat yang dikatakan oleh Mujahid Abu Saleh dan Ar-Rabi' ibnu Anas lebih mendekati kebenaran dibandingkan pendapat yang dikatakan oleh selain mereka, berarti pendapat tersebut merupakan mazhab tersendiri, mengingat firman-Nya: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124) dan firman-Nya: Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf." (Al-Baqarah: 125), hingga akhir ayat. demikian pula semua ayat yang semakna pembahasannya, berkedudukan sebagai keterangan dari makna kalimat-kalimat yang disebutkan oleh Allah Swt. sebagai mata ujian buat Nabi Ibrahim a.s.
Menurut kami, pendapat yang mula-mula dikatakan olehnya (Ibnu Jarir) —yaitu bahwa beberapa kalimat tersebut mencakup semua hal yang disebutkan— merupakan pendapat yang lebih kuat daripada pendapat ini yang dia katakan dari pendapat Mujahid dan orang-orang yang sependapat dengannya. Dikatakan demikian karena konteks dari pembahasan masalah ini mempunyai pengertian yang berbeda dengan apa yang mereka katakan.
****************
Firman Allah Swt.:
{قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ}
Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim” (Al-Baqarah: 124)
Ketika Allah Swt. hendak menjadikan Ibrahim sebagai imam untuk seluruh umat manusia, Ibrahim memohon kepada Allah, hendaknya para imam sesudahnya terdiri atas kalangan keturunannya. Maka Allah memperkenankan apa yang dimintanya itu dan memberitahukan kepadanya bahwa kelak di antara keturunannya terdapat orang-orang yang zalim, dan janji Allah tidak akan mengenai mereka yang zalim itu; mereka tidak akan menjadi imam dan tidak dapat dijadikan sebagai panutan yang diteladani.
Dalil yang menunjukkan bahwa permintaan Nabi Ibrahim a.s. dikabulkan ialah firman Allah Swt. di dalam surat Al-'Ankabut, yaitu:
وَجَعَلْنا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتابَ
Dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya. (Al-'Ankabut: 27)
Maka setiap nabi yang diutus oleh Allah Swt. dan setiap kitab yang diturunkan Allah sesudah Nabi Ibrahim, semuanya itu terjadi di kalangan anak cucu keturunannya. Mengenai makna firman-Nya: Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Al-Baqarah: 124)
Mereka berbeda pendapat dalam menakwilkannya.
Khasif mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Al-Baqarah: 124) Kelak di antara anak cucu keturunanmu terdapat orang-orang yang zalim.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya ini, bahwa Aku tidak akan mengangkat orang yang zalim menjadi imam-Ku. Menurut riwayat yang lain, Aku tidak akan menjadikan imam yang zalim sebagai orang yang diikuti.
Sufyan meriwayatkan dari Mansur, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Al-Baqarah: 124) Maksudnya, imam yang zalim tidak akan menjadi orang yang diikuti.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Mansur, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. (Al-Baqarah: 124) Orang yang saleh dari kalangan mereka akan Aku jadikan sebagai imam yang diikuti; orang yang zalim dari kalangan mereka tidak Aku jadikan demikian, dan tiada nikmat baginya.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim" (Al-Baqarah: 124). Makna yang dimaksud ialah orang yang musyrik bukanlah imam yang zalim, yakni tidak akan ada imam yang musyrik.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata sehubungan dengan takwil firman-Nya: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124) Lalu Ibrahim berkata, "Dan aku memohon juga dari keturunanku menjadi imam." Maka Allah Swt. menolak menjadikan imam yang zalim dari keturunannya. Aku (Ibnu Juraij) bertanya kepada Ata, "Apakah yang dimaksud dengan al-'ahdu?" Ata menjawab, "Perintah Allah."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Saur Al-Qaisari dalam surat yang ditujukannya kepadaku, bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Faryabi, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Samak ibnu Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Allah Swt. berfirman kepada Nabi Ibrahim, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim a.s. menjawab, "Dan aku mohon juga dari keturunanku." Pada mulanya Allah menolak, kemudian berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim. (Al-Baqarah:124)
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan takwil firman-Nya: Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku."'' Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 124) Ayat ini merupakan pemberitahuan kepadanya bahwa di antara keturunannya kelak akan ada orang yang zalim; dia tidak akan memperoleh janji ini, dan udaklah layak bagi Allah menguasakan sesuatu pun dari perintah-Nya kepada orang yang zalim itu, sekalipun orang yang zalim itu berasal dari keturunannya. Hanya orang baik dari kalangan keturunannyalah yang akan memperoleh doa ini dan sampai kepadanya apa yang dimaksud dari doanya itu.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Tidak ada perintah bagimu untuk menaati (mendoakan) orang yang berbuat kezaliman dalam sepak terjangnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, te-ah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah, dari Israil, dari Muslim Al-A'war, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan takwil firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Yaitu tidak ada janji bagi orang-orang yang zalim. Jika engkau mengadakan perjanjian dengannya, maka batallah (rusaklah) perjanjian itu.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, dan Muqatil ibnu Hayyan. As-Sauri meriwayatkan dari Harun ibnu Antrah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa bagi orang yang zalim tiadalah janji yang ditaati.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, tentang takwil firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Janji Allah tidak akan mengenai orang-orang yang zalim kelak di akhirat. Adapun di dunia, adakalanya orang yang zalim mendapatkannya hingga ia beroleh keamanan, dapat makan dan hidup berkat janji tersebut.
Hal yang sama dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha'i, Ata, Al-Hasan, dan Ikrimah. Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, janji Allah yang ditetapkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya ialah agama-Nya. Allah Swt. berfirman bahwa orang-orang yang zalim tidak berada pada jalan agama-Nya. Hal ini ditegaskan di dalam firman-Nya:
وَبارَكْنا عَلَيْهِ وَعَلى إِسْحاقَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِما مُحْسِنٌ وَظالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِينٌ
Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata. (Ash-Shaffat: 113)
Yakni tidak semua keturunanmu, hai Ibrahim, berada pada jalan kebenaran.
Hal yang sama diriwayatkan dari Abul Aliyah, Ata, Muqatil, dan Ibnu Hayyan. Juwaibir meriwayatkan dari Dahhak, bahwa tidak memperoleh ketaatan kepada-Ku orang yang menjadi musuh-Ku, yaitu orang yang durhaka kepada-Ku; dan Aku tidak akan mengenakan-nya kecuali hanya kepada seorang kekasih yang taat kepada-Ku.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Hamid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdullah ibnu Sa'id Ad-Damgani, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Sa'id ibnu Ubaidah, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali ibnu Abu Talib, dari Nabi Saw. yang bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Bahwa makna yang dimaksud ialah: Tidak ada ketaatan kecuali dalam kemakrufan (kebajikan).
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Yang dimaksud dengan ahdi ialah kenabian-Ku.
Demikianlah pendapat Mufassirin Salaf mengenai ayat ini menurut apa yang telah dinukil oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini sekalipun makna lahiriahnya menunjukkan tidak akan memperoleh janji Allah, yakni kedudukan imam, seorang yang zalim, tetapi di dalamnya ter-kandung pemberitahuan dari Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim keka-sih-Nya; kelak akan dijumpai di kalangan keturunanmu orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri, seperti yang telah disebutkan ter-dahulu dari Mujahid dan lain-lainnya.
Ibnu Khuwaiz Mindad Al-Maliki mengatakan, orang yang zalim tidak layak menjadi khalifah, hakim, mufti, saksi, tidak layak pula sebagai perawi.

Al-Baqarah, ayat 125 (separo ayat)

{وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى (125) }
Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami jadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Yakni mereka tidak akan merasa puas dengan keperluan mereka darinya; mereka datang kepadanya, lalu kembali kepada keluarganya, kemudian kembali lagi kepadanya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna masabatal linnas, bahwa mereka berkumpul di tempat tersebut (Baitullah). Riwayat ini dan yang sebelumnya, kedua-duanya diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Muslim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Bahwa mereka berkumpul padanya, kemudian kembali ke tempat asalnya masing-masing.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan dari Abul Aliyah dan Sa'id ibnu Jubair —menurut riwayat yang lain—.
Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Ata, Mujahid, Al-Hasan, Atiyyah, Ar-Rabi' ibnu Anas serta Ad-Dahhak.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Karim ibnu Abu Umair, telah menceritakan kepadaku Al-Walid ibnu Muslim yang mengatakan bahwa Abu Amr (yakni Al-Auza'i) pernah berkata, telah menceritakan kepadanya Abdah ibnu Abu Lubabah sebuah asar mengenai takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Bahwa tiada seorang pun yang meninggalkannya —setelah menunaikan keperluannya— merasakan bahwa dirinya telah menunaikan keperluan darinya (yakni masih belum merasa puas dan ingin kembali lagi menunaikannya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Wahb yang mengatakan bahwa Ibnu Zaid pernah berkata sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Mereka berkumpul di Baitullah dari berbagai negeri, semua datang kepadanya. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh seorang penyair sehubungan dengan pengertian ini, seperti yang dikemukakan oleh Imam Qurtubi, yaitu:
جُعِلَ الْبَيْتُ مَثَابًا لَهُمْ ... لَيْسَ مِنْهُ الدَّهْرُ يَقْضُونَ الْوَطَرْ
Baitullah dijadikan tempat berkumpul bagi mereka, tetapi selamanya mereka tetap merasa belum puas akan keperluannya di Baitullah itu.
Sa'id ibnu Jubair dalam riwayatnya yang lain —demikian pula Ikrimah, Qatadah, dan Ata Al-Khurrasani— mengatakan bahwa masabatal linnas artinya tempat berkumpul.
Sedangkan makna lafaz amnan —menurut Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas— adalah tempat yang aman bagi manusia.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempal berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. (Al-Baqarah: 125) Maksudnya, aman dari gangguan musuh dan tidak boleh membawa senjata di dalam kotanya. Sedangkan di masa Jahiliah orang-orang yang ada di sekitar Mekah saling berperang dan membegal, tetapi penduduk Mekah dalam keadaan aman tiada seorang pun yang mengganggu mereka.
Diriwayatkan dari Mujahid, Ata, As-Saddi, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas yang mengatakan bahwa barang siapa memasukinya (Baitullah itu), menjadi amanlah dia.
Kesimpulan dari penafsiran mereka terhadap ayat ini ialah, bahwa Allah menyebutkan kemuliaan Baitullah dan segala sesuatu yang menjadi ciri khasnya yang mengandung ritual dan ketetapan hukum, yaitu Baitullah sebagai tempat berkumpulnya manusia.
Dengan kata lain, Allah menjadikannya sebagai tempat yang dirindukan dan disukai manusia; dan tiada suatu keperluan pun padanya ditunaikan oleh para pelakunya (yakni dia tidak akan merasa puas dengannya), sekalipun ia kembali lagi setiap tahunnya. Hal itu sebagai perkenan dari Allah Swt. terhadap doa Nabi Ibrahim a.s. di dalam firman-Nya:
{فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ} إِلَى أَنْ قَالَ: {رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ }
Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka —sampai dengan firman-Nya— Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (Ibrahim: 37-40)
Allah menjadikannya sebagai tempat yang aman. Barang siapa yang memasukinya, niscaya dia aman. Sekalipun dia telah melakukan apa yang telah dilakukannya, lalu dia masuk ke dalamnya, niscaya dia akan aman.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, pernah ada seorang lelaki menjumpai pembunuh ayahnya atau saudara laki-lakinya di dalam Masjidil Haram, ternyata lelaki tersebut tidak berani mengganggunya. Seperti yang digambarkan di dalam surat Al-Ma-idah, yaitu melalui firman-Nya:
جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرامَ قِياماً لِلنَّاسِ
Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu, sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia. (Al-Maidah: 97)
Dengan kata lain, ia merupakan tempat yang dapat melindungi mereka dari kejahatan disebabkan keagungannya.
Ibnu Abbas mengatakan, "Seandainya manusia tidak berhaji ke Baitullah itu, niscaya Allah akan membalikkan langit ke atas bumi." Kemuliaan ini tiada lain berkat kemuliaan orang yang mula-mula membinanya (membangunnya), yaitu kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَإِذْ بَوَّأْنا لِإِبْراهِيمَ مَكانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku." (Al-Hajj: 26)
Adapun firman Allah Swt.:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبارَكاً وَهُدىً لِلْعالَمِينَ. فِيهِ آياتٌ بَيِّناتٌ مَقامُ إِبْراهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كانَ آمِناً
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu), menjadi amanlah dia. (Ali Imran: 96-97)
Di dalam ayat ini disebutkan perihal maqam Ibrahim dan perintah mengerjakan salat padanya, yaitu melalui firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)
Mufassirin berbeda pendapat mengenai pengertian yang dimaksud dengan maqam Ibrahim ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Syabah An-Numairi, telah menceritakan kepada kami Abu Khalaf (yakni Abdullah ibnu Isa), telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abu Hindun, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah seluruh Masjidil Haram.
Hal yang semisal dengan riwayat ini diriwayatkan dari Mujahid dan Ata.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata tentang takwil firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Maka Ata menjawab bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas r.a. berkata, "Maqam Ibrahim yang disebutkan dalam ayat ini ialah maqam Ibrahim yang ada di dalam Masjidil Haram."
Kemudian Ibnu Juraij mengatakan, maqam Ibrahim menurut kebanyakan dimaksudkan manasik haji seluruhnya. Kemudian Ata mengartikannya kepadaku, untuk itu dia berkata bahwa maqam Ibrahim adalah maqam Ibrahim yang terdapat di dalam Masjidil Haram, dan dua salat (Lohor dan Asar secara jamak) di Arafah, Al-Masy'ar, Mina, melempar jumrah, dan tavvaf (sa'i) antara Safa dan Marwah. Lalu aku bertanya, "Apakah Ibnu Abbas yang menafsirkan semuanya itu?" Ata menjawab, "Tidak, tetapi dia hanya mengatakan maqam Ibrahim adalah seluruh manasik haji." Aku bertanya, "Apakah engkau mendengar hal tersebut seluruhnya dari dia?" Ata menjawab, "Ya, aku mendengarnya dari dia."
Sufyan As-Sauri mengatakan dari Abdullah ibnu Muslim, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim lempat salat. (Al-Baqarah: 125) Yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah sebuah batu yang dijadikan oleh Allah sebagai rahmat. Dan tersebutlah bahwa di masa lalu Nabi Ibrahim-berdiri di atasnya, sedangkan Nabi Ismail yang mengulurkan batu-batu bangunan Ka'bah kepadanya. Seandainya bagian atas dari batu itu dibasuh —menurut mereka— niscaya kedua kakinya menjadi bersilang.
As-Saddi mengatakan bahwa maqam Ibrahim adalah batu yang diletakkan oleh istri Nabi Ismail di bawah telapak kaki Nabi Ibrahim, hingga istri Nabi Ismail mencuci bagian atasnya. Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Al-Qurtubi dan dinilainya daif, tetapi selain Al-Qurtubi menguatkannya. Diriwayatkan pula oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya, dari Al-Hasan Al-Basri dan Qatadah serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, dari Ibnu Juraij, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Jabir menceritakan hadis tentang haji yang dilakukan oleh Nabi Saw.: Setelah Nabi Saw. tawaf, Umar berkata kepadanya, "Inikah maqam bapak kita? Nabi Saw. menjawab, "Ya." Umar berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat." (Al-Baqarah: 125)
Usman ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Zakaria, dari Abu Ishaq, dari Abu Maisarah, bahwa sahabat Umar pernah menceritakan hadis berikut: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, inikah maqam kekasih Tuhan kita!" Nabi Saw. menjawab, "Ya." Umar berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat? Maka turunlah ayat, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat." (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Gailan ibnu Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Masruq ibnul Mirzaban, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Abu Ishaq, dari Amr ibnu Maimun, dari Umar ibnul Khattab, bahwa ia pernah melewati maqam Ibrahim; lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah kita sekarang berada di maqam kekasih Tuhan kita?" Nabi Saw. menjawab, "Memang benar." Umar berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat." Sebentar kemudian turunlah firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ahmad ibnu Muhammad Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Junaid, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Malik ibnu Anas, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Saw. berdiri di dekat maqam Ibrahim pada hari pembukaan kota Mekah, Umar bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, inikah maqam Ibrahim yang disebutkan oleh firman-Nya, 'Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat'?" Nabi Saw. menjawab, "Ya." Al-Walid berkata, "Aku bertanya kepada Malik, 'Apakah memang demikian dia (Ja'far ibnu Muhammad) menceritakannya kepadamu, yakni wattakhizu? Ia menjawab, "Ya."
Demikianlah yang disebutkan di dalam riwayat terakhir ini.
Sanad hadis ini berpredikat garib, tetapi Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Al-Walid ibnu Muslim dengan makna yang semisal.
Imam Bukhari mengatakan dalam bab tafsir firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Masabah artinya tempat berkumpul bagi mereka, setelah itu mereka kembali (ke negerinya masing-masing).
حَدَّثَنَا مُسدَّد، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ. قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وافقتُ رَبِّي فِي ثَلَاثٍ، أَوْ وَافَقَنِي رَبِّي فِي ثَلَاثٍ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوِ اتَّخَذْتَ مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى؟ فَنَزَلَتْ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} وَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ يَدْخُلُ عَلَيْكَ الْبَرُّ وَالْفَاجِرُ، فَلَوْ أَمَرْتَ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِالْحِجَابِ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ الْحِجَابِ. وَقَالَ: وَبَلَغَنِي مُعَاتبة النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْضَ نِسَائِهِ، فَدَخَلْتُ عَلَيْهِنَّ فَقُلْتُ: إِنِ انْتَهَيْتُنَّ أَوْ ليبدلَن اللَّهُ رَسُولَهُ خَيْرًا مِنْكُنَّ، حَتَّى أَتَيْتُ إِحْدَى نِسَائِهِ، فَقَالَتْ: يَا عُمَرُ، أَمَا فِي رَسُولِ اللَّهِ مَا يَعِظُ نِسَاءَهُ حَتَّى تَعظهن أَنْتَ؟! فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ} الْآيَةَ [التَّحْرِيمِ: 5] .
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Humaid, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Umar pernah berkata: Aku bersesuaian dengan Tuhanku, atau Tuhanku bersesuaian denganku dalam tiga perkara. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim tempat salat." Maka turunlah firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Aku berkata, "Wahai Rasulullah, orang yang masuk menemuimu ada yang baik dan ada yang fajir (durhaka), sekiranya engkau perintahkan kepada Ummahatul Mu’minin untuk memakai hijab." Maka Allah Swt. menurunkan ayat hijab. Umar melanjutkan kisahnya, "Telah sampai kepadaku berita celaan Nabi Saw. terhadap salah seorang istrinya, maka aku masuk menemui mereka (istri-istri Nabi Saw.) dan kukatakan kepada mereka, 'Berhentilah kalian dari tuntutan kalian atau Allah benar-benar akan memberikan ganti kepada Rasul-Nya wanita-wanita yang lebih baik daripada kalian,' hingga sampailah aku pada salah seorang istrinya yang mengatakan, 'Hai Umar, adapun Rasulullah Saw., beliau belum pernah menasihati istri-istrinya hingga engkau sendirilah yang menasihati mereka.' Maka Allah menurunkan firman-Nya, “Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian yang patuh' (At-Tahrim: 5), hingga akhir ayat."
Ibnu Abu Maryam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Humaid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas menceritakan sebuah hadis dari Umar r.a.
Demikianlah menurut konteks yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dalam bab ini, dan ia men-ta'liq-kan jalur yang kedua dari gurunya (yaitu Sa'id ibnul Hakam yang dikenal dengan nama Ibnu Abu Maryam Al-Masri).
Imam Bukhari menyendiri dalam periwayatan hadis ini dari gurunya di kalangan pemilik kitab-kitab Sittah. Sedangkan yang lainnya meriwayatkan hadis ini dari guru Imam Bukhari melalui perantara. Tujuan Imam Bukhari men-ta'liq hadis ini ialah untuk menjelaskan ittisal (hubungan) sanad hadis ini, dan sesungguhnya dia tidak meng-isnad-kan hadis ini mengingat Yahya ibnu Abu Ayyub Al-Gafiqi orangnya masih mengandung sesuatu cela; menurut Imam Ahmad, hafalannya lemah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Hamid, dari Anas yang mengatakan bahwa Umar pernah berkata: Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim tempat salat" Maka turunlah firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat (Al-Baqarah: 125). Dan aku berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang yang masuk menemui istri-istrimu ada orang yang takwa dan ada pula orang yang fasik, maka sekiranya engkau memerintahkan mereka memakai hijab." Lalu turunlah ayat hijab. Dan semua istri Rasulullah Saw. berkumpul menemuinya dalam masalah cemburu, maka aku berkata kepada mereka, "Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian." Maka ternyata turunlah ayat yang berbunyi demikian.
Kemudian hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Yahya dan Ibnu Abu Addi yang kedua-duanya menerima hadis ini dari Humaid, dari Anas, dari Umar r.a. Disebutkan bahwa Umar pernah mengatakan, "Aku bersesuaian dengan Rabbku dalam tiga perkara, atau Rabb-ku bersesuaian denganku dalam tiga perkara." Kemudian ia menuturkan hadis ini.
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui Umar dan Ibnu Aun; Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui Ahmad ibnu Mani', Imam Nasai meriwayatkannya melalui Ya'qub ibnu Ibrahim Ad-Daruqi, dan Ibnu Majah meriwayatkannya dari Muhammad ibnus Sabah; semuanya dari Hasyim ibnu Basyir dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi meriwayatkannya pula dari Abdu ibnu Humaid, dari Hajjaj ibnu Minhal, dari Hammad ibnu Salamah; dan Imam Nasai meriwayatkannya dari Hanad, dari Yahya ibnu Abu Zaidah; keduanya menerimanya dari Humaid (yaitu Ibnu Tairawih At-Tawil) dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Imam Ali ibnul Madini meriwayatkannya dari Yazid ibnu Zurai', dari Humaid dengan lafaz yang sama; dia mengatakan bahwa hadis ini termasuk sahih, dia (Imam Ali ibnul Madini) orang Basrah.
Imam Muslim ibnu Hajjaj meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya dengan sanad dan lafaz yang lain.
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَم، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ عَامِرٍ، عَنْ جُوَيْرِيَةَ بْنِ أَسْمَاءَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ، قَالَ: وَافَقْتُ رَبِّي فِي ثَلَاثٍ: فِي الْحِجَابِ، وَفِي أُسَارَى بَدْرٍ، وَفِي مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ
Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir, dari Juwairiyah binti Asma', dari Nafi’ dari Ibnu Umar, dari Umar r.a., bahwa Umar pernah mengatakan: Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara, yaitu dalam masalah hijab, dalam masalah tawanan Perang Badar, dan dalam masalah maqam Ibrahim.
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Humaid At-Tawil, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah berkata:  Tuhanku bersesuaian denganku dalam tiga perkara, atau aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim tempal salat.? Maka turunlah fiman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan hijab buat istri-istrimu. Maka turunlah ayat hijab. Dan yang ketiga ialah ketika Abdullah ibnu Ubay mati, Rasulullah Saw. datang untuk menyalatkan (jenazah)nya, maka aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau salatkan orang kafir lagi munafik ini!" Nabi Saw. bersabda, "Diamlah kamu, hai Ibnul Khatab." Maka turunlah firman-Nya, "Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) orang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya" (At-Taubah: 84).
Sanad asar ini berpredikat sahih. Tidak ada pertentangan di antara asar ini dan asar sebelumnya, bahkan semuanya sahih. Dan apabila majhum 'adad bertentangan dengan mantuq, maka majhum 'adad lebih diprioritaskan atasnya.
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir:  Bahwa Rasulullah Saw. berlari kecil sebanyak tiga kali putaran dan berjalan biasa sebanyak empat kali putaran. Setelah beliau menyelesaikan (tawafnya), lalu beliau menuju ke maqam Ibrahim dan salat dua rakaat di belakangnya. Setelah itu beliau membacakan firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125).
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ سَلْمَانَ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: اسْتَلَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرُّكْنَ، فَرْمَلَ ثَلَاثًا، وَمَشَى أَرْبَعًا، ثُمَّ تَقَدَّمُ إِلَى مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ، فَقَرَأَ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} فَجَعَلَ الْمَقَامَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hatim ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir yang mengatakan: Rasulullah Saw. mengusap rukun, lalu berlari kecil sebanyak tiga kali (putaran) dan berjalan biasa sebanyak empat kali (putaran). Kemudian beliau menuju ke maqam Ibrahim dan membacakan firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Maka beliau menjadikan posisi maqam berada di antara diri beliau dan Baitullah, lalu beliau salat dua rakaat.
Hadis ini merupakan cuplikan dari sebuah hadis yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui hadis Hatim ibnu Ismail.
Imam Bukhari meriwayatkan berikut sanadnya melalui Amr ibnu Dinar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar menceritakan, "Rasulullah Saw. tiba (di Mekah), lalu melakukan tawaf di Baitullah sebanyak tujuh kali putaran dan salat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim."
Semua yang disebutkan di atas termasuk dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah sebuah batu yang pernah dijadikan sebagai tangga tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. ketika membangun Ka'bah. Ketika tembok Ka'bah makin tinggi, maka Ismail datang membawa batu tersebut agar Nabi Ibrahim berdiri di atasnya, sedangkan Nabi Ismail mengambilkan batu-batu untuk tembok Ka'bah, lalu diberikan kepadanya, dan Nabi Ibrahim memasang batu-batuan tersebut dengan tangannya untuk meninggikan bangunan Ka'bah. Manakala telah rampung dari satu sisi, maka batu itu dipindahkan oleh Nabi Ismail ke sisi berikutnya; demikianlah seterusnya hingga semua tembok Ka'bah selesai dibangun, seperti yang akan dijelaskan nanti dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Ka'bah, melalui riwayat Ibnu Abbas yang hadisnya berada pada Imam Bukhari.
Jejak bekas kedua telapak kaki Nabi Ibrahim tampak jelas pada batu tersebut, hal ini masih tetap terkenal; orang-orang Arab di zaman Jahiliah mengetahuinya. Karena itulah Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu qasidah lamiyahnya, yang antara lain disebutkan:
وَمَوْطِئُ إِبْرَاهِيمَ فِي الصَّخْرِ رَطْبَةٌ ... عَلَى قَدَمَيْهِ حَافِيًا غَيْرَ نَاعِلِ
Tempat berpijak Nabi Ibrahim di batu besar itu masih basah; ia berdiri di atasnya pada kedua telapak kakinya tanpa memakai terompah.
Kaum muslim masih sempat menjumpainya pula, seperti yang dikatakan oleh Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Yazid, dari Ibnu Syihab, bahwa Anas ibnu Malik pernah menceritakan kepada mereka kisah berikut. Ia berkata, "Aku pernah melihat maqam Ibrahim, padanya masih ada jejak bekas jari-jari kaki Nabi Ibrahim a.s., juga bekas kedua telapak kakinya, hanya sudah pudar karena banyak diusap oleh orang-orang dengan tangan-tangan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Sesungguhnya mereka hanya diperintahkan untuk melakukan salat di dekatnya, tidak diperintahkan mengusapnya. Akan tetapi, umat ini telah memaksakan diri melakukan sesuatu hal seperti yang pernah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya. Pernah dikisahkan kepada kami oleh orang yang melihat jejak bekas telapak kaki dan jari-jarinya masih tetap ada pada batu tersebut. Akan tetapi, umat ini masih terus mengusap-usapnya hingga jejak tersebut pudar dan terhapus.
Menurut kami, pada mulanya (yakni di masa silam) maqam Ibrahim ini menempel pada dinding Ka'bah, tempatnya berada di sebelah pintu Ka'bah (Multazam) yang berada di dekat Hajar Aswad. Tepatnya tempat maqam Ibrahim tersebut berada di sebelah kanan pintu Ka'bah bagi orang yang hendak memasukinya, yaitu di salah satu bagian yang terpisah. Ketika Nabi Ibrahim a.s. selesai membangun Baitullah, ia meletakkan (menempelkan) batu tersebut pada dinding Ka'bah. Atau setelah menyelesaikan pembangunannya beliau tinggalkan batu tersebut di tempat beliau menyelesaikannya. Karena itu —hanya Allah Yang lebih mengetahui—, diperintahkan melakukan salat di tempat itu bila seseorang telah selesai dari tawaf. Hal ini secara kebetulan tepat berada di dekat maqam Ibrahim, ketika beliau selesai dari membangun Ka'bah.
Sesungguhnya orang yang menjauhkannya dari Ka'bah adalah Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a., salah seorang imam yang mendapat petunjuk dan salah seorang Khulafaur Rasyidin yang kita semua diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Umar r.a. adalah salah seorang di antara dua orang lelaki yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam salah satu sabdanya, yaitu:
«اقْتَدَوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ»
Ikutilah oleh kalian dua orang yang sesudahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar.
Dia adalah orang yang Al-Qur'an diturunkan bersesuaian dengan idenya menganjurkan melakukan salat di dekat maqam Ibrahim. Karena itu, tiada seorang pun di antara para sahabat yang memprotes perbuatannya (menjauhkan maqam Ibrahim dari dinding Ka'bah).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ata dan lain-lainnya dari kalangan teman-teman kami bahwa orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim adalah Umar ibnul Khattab r.a.
Abdur Razzaq meriwayatkan pula dari Ma'mar, dari Humaid Al-A'raj, dari Mujahid yang mengatakan bahwa orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim hingga ke tempatnya sekarang adalah Umar ibnul Khattab r.a.
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Ali ibnul Husain Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Husain ibnul Fadl Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Al-Qadi Abu Bakar Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Muhammad ibnu Ismail As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Abu Sabit, telah menceritakan kepada kami Ad-Darawardi, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Bahwa maqam (Ibrahim) dahulu di masa Rasulullah Saw. dan masa Abu Bakar r.a. menempel pada (dinding) Ka'bah, kemudian dijauhkan oleh Umar ibnul Khattab r.a.
Sanad hadis ini berpredikat sahih bersama riwayat-riwayat yang telah disebutkan sebelumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Amr Al-Adani yang mengatakan bahwa Sufyan (yakni Ibnu Uyaynah, imam ulama Mekah di masanya) pernah mengatakan bahwa dahulu di masa Nabi Saw. maqam Ibrahim merupakan bagian dari dinding Ka'bah, kemudian dipindahkan oleh Umar ke tempatnya yang sekarang setelah Nabi Saw. wafat dan setelah firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Uyaynah mengatakan bahwa banjir telah mengalihkannya setelah dipindahkan oleh Umar dari tempatnya sekarang, kemudian Umar r.a. mengembalikannya ke tempatnya.
Sufyan mengatakan, "Aku tidak mengetahui berapa jarak antara maqam dan Ka'bah sebelum dipindahkan oleh Umar. Aku pun tidak mengetahui apakah maqam tadinya menempel atau tidak."
Semua asar yang kami kemukakan ini memperkuat apa yang kami sebutkan sebelumnya.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Umar alias Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hakim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Wahhab ibnu Abu Tamam, telah menceritakan kepada kami Adam alias Ibnu Abu Iyas di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Ibrahim ibnul Muhajir, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sekiranya kita salat di belakang maqam Ibrahim." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Pada awalnya maqam Ibrahim berada di dekat Ka'bah, kemudian dipindahkan oleh Rasulullah Saw. ke tempatnya yang sekarang. Mujahid mengatakan, tersebutlah bahwa Umar r.a. mempunyai suatu ide. Maka turunlah ayat Al-Qur'an yang sependapat dengannya.
Asar ini berpredikat mursal dari Mujahid, tetapi asar ini berbeda dengan apa yang telah disebutkan dalam riwayat Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Humaid Al-A'raj, dari Mujahid yang menyebutkan bahwa orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim ke tempatnya sekarang adalah Umar ibnul Khattab r.a. Akan tetapi, riwayat ini lebih sahih daripada jalur Ibnu Murdawaih, bila riwayat terakhir ini dikuatkan oleh riwayat-riwayat sebelumnya.

Al-Baqarah, lanjutan ayat 125-128

{وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِين وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (125) وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (126) وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (127) رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (128) }
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang rukuk, dan yang sujud" Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian:" Allah berfirman, "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan lempal-lempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail. (Al-Baqarah: 125) Allah memerintahkan kepada keduanya untuk menyucikan Baitullah dari kotoran dan najis, dan agar Baitullah jangan terkena sesuatu pun dari hal tersebut.
Ibnu Juraij pernah bertanya kepada Ata, "Apakah yang dimaksud dengan lafaz al-'ahdu dalam ayat ini?" Ata menjawab, "Yang dimaksud adalah perintah Allah."
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim" (Al-Baqarah: 125). Makna yang dimaksud ialah, "Telah Kami perintahkan kepadanya." Demikian menurut Abdur Rahman.          
Makna lahiriah lafaz ini di-muta'addi-kan kepada huruf ila, mengingat makna yang dimaksud ialah telah Kami dahulukan dan telah Kami wahyukan.
Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Bersihkanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf, yang i’tikaf. (Al-Baqarah: 125) Yang dimaksud dengan dibersihkan ialah dibersihkan dari berhala-berhala.
Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya:  Bersihkanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf. (Al-Baqarah: 125) Sesungguhnya perintah membersihkan Baitullah ini ialah membersihkannya dari berhala-berhala, perbuatan cabul (tawaf dengan telanjang), perkataan dusta, dan kotoran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaid ibnu Umair, Abul Aliyah, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Ata, dan Qatadah sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Bersihkanlah rumah-Ku oleh kamu berdua" (Al-Baqarah: 125), yakni dari kemusyrikan, dengan kalimat La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Lafaz taifin artinya orang-orang yang tawaf. Tawaf di Baitullah merupakan hal yang sudah dikenal.
Dari Sa'id ibnu Jubair, disebutkan bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Lit taifin." Yang dimaksud ialah orang yang datang kepada Baitullah dari negeri lain, sedangkan yang dimaksud dengan al-'akifin ialah orang-orang yang mukim (penduduk asli). Hal yang sama dikatakan pula dari Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa keduanya menafsirkan lafaz al-'akifin dengan makna penduduk asli yang mukim padanya; begitu pula apa yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair.
Yahya Al-Qattan meriwayatkan dari Abdul Malik (yakni Ibnu Abu Sulaiman), dari Ata sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Al-'akifin" bahwa al-'akifin ialah orang yang datang dari pelbagai kota, lalu bermukim di Baitullah. Ata mengatakan kepada kami, sedangkan kami tinggal bersebelahan dengan Baitullah, "Kalian adalah orang-orang yang i'tikaf."
Waki' meriwayatkan dari Abu Bakar Al-Huzali, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa apabila seseorang duduk padanya, maka dia termasuk orang-orang yang i'tikaf.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Sabit yang mengatakan bahwa kami pernah berkata kepada Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, "Aku harus berbicara kepada Amir agar dia mengizinkan aku melarang orang-orang yang tidur di dalam Masjidil Haram, karena sesungguhnya mereka mempunyai jinabah dan berhadas." Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair menjawab, "Jangan kamu lakukan itu, karena sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya mengenai mereka (yang tidur di dalam Masjidil Haram). Ia menjawab, 'Mereka adalah orang-orang yang sedang ber-i'tikaf." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Sulaiman ibnu Harb, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama.
Menurut kami, di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Ibnu Umar sering tidur di dalam Masjid Rasul (di Madinah) ketika ia masih jejaka.
**************
Mengenai firman-Nya:
{وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}
Orang-orang yang rukuk dan orang-orang yang sujud. (Al-Baqarah: 125)
Maka Waki' meriwayatkan dari Abu Bakar Al-Huzali, dari Ata, dari Ibnu Abbas, "Apabila seseorang sedang salat, maka dia termasuk orang-orang yang rukuk dan sujud."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata dan Qatadah.
Kemudian ibnu Jarir menilai lemah kedua hadis tersebut karena masing-masing dari kedua hadis tersebut mengandung orang-orang yang daif; dan kenyataannya memang seperti apa yang dikatakan oleh ibnu Jarir, yaitu kedua hadis ini tidak dapat dijadikan pegangan.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ini ialah "Dan Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk menyucikan rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf'. Perintah menyucikan Baitullah yang ditujukan kepada keduanya ialah agar menyucikannya dari berhala-berhala dan dari penyembahan kepada berhala-berhala di dalamnya, juga menyucikannya dari segala kemusyrikan.
Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan hipotesisnya. Untuk itu dia mengatakan, jika timbul pertanyaan "Apakah sebelum Nabi Ibrahim membangun Ka'bah, di dalam Ka'bah terdapat sesuatu dari hal tersebut yang Nabi Ibrahim diperintahkan untuk memberantasnya?" Sebagai jawabannya dapat dikatakan dua alasan berikut.
Pertama, Allah memerintahkan keduanya (Ibrahim dan Ismail) untuk menyucikan Baitullah dari penyembahan segala macam berhala dan patung-patung, yang hal ini dilakukan di masa silam di zaman Nabi Nuh a.s. agar hal tersebut menjadi teladan bagi orang-orang sesudah zaman keduanya; mengingat Allah Swt. telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai seorang imam yang diikuti. Seperti apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Bersihkanlah rumah-Ku olehmu berdua. (Al-Baqarah: 125) Yakni dari segala macam berhala yang disembah dan diagungkan oleh orang-orang musyrik di masa lalu.
Menurut kami, jawaban ini menyimpulkan bahwa dahulu di masa sebelum Nabi Ibrahim a.s. dilakukan penyembahan terhadap berhala di tempat tersebut. Tetapi hal ini memerlukan bukti berupa dalil dari orang yang ma'sum, yaitu dari Nabi Saw.
Kedua, Allah memerintahkan keduanya ikhlas dalam membangunnya karena Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Maka keduanya membangunnya seraya menyucikannya dari kemusyrikan dan keraguan, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيانَهُ عَلى تَقْوى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيانَهُ عَلى شَفا جُرُفٍ هارٍ
Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh. (At-Taubah: 109)
Demikian pula dalam firman-Nya:
{وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ}
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku." (Al-Baqarah: 125)
Artinya, bangunlah rumah-Ku oleh kamu berdua dalam keadaan bersih dan suci dari kemusyrikan dan keraguan. Seperti apa yang dikatakan oleh As-Saddi, makna an-tahhira baitiya ialah bangunlah oleh kamu berdua rumah-Ku ini buat orang-orang yang tawaf.
Kesimpulan dari jawaban di atas ialah bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. membangun Ka'bah atas nama-Nya semata —tiada sekutu bagi-Nya— buat orang-orang yang tawaf dan i'tikaf serta orang-orang yang mengerjakan salat di dalamnya dari kalangan orang-orang yang rukuk dan sujud, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَإِذْ بَوَّأْنا لِإِبْراهِيمَ مَكانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang rukuk dan sujud." (Al-Hajj: 26) serta beberapa ayat berikutnya.
Fuqaha (para ahli fiqih) berbeda pendapat mengenai masalah manakah yang lebih afdal antara salat di Baitullah dan tawaf. Imam Malik rahimahullah mengatakan, tawaf di Baitullah bagi penduduk kota-kota besar adalah lebih utama. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa salat lebih afdal secara mutlak. Alasan masing-masing dari kedua pendapat ini disebutkan secara rinci di dalam pembahasan hukum-hukum.
Maksud dan tujuan perintah tersebut adalah untuk membalas perbuatan orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah di rumah-Nya yang dibangun atas dasar menyembah-Nya semata dan tiada sekutu bagi-Nya. Kemudian selain itu mereka menghalang-halangi kaum mukmin yang memilikinya, tidak boleh memasukinya, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرامِ الَّذِي جَعَلْناهُ لِلنَّاسِ سَواءً الْعاكِفُ فِيهِ وَالْبادِ وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذابٍ أَلِيمٍ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25)
Kemudian Allah Swt. menyebutkan, sesungguhnya Baitullah itu hanya dibangun bagi orang yang menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, baik dengan cara tawaf ataupun salat. Selanjutnya di dalam surat Al-Hajj disebutkan ketiga bagian dari salat, yaitu berdirinya, rukuknya, dan sujudnya, tetapi tidak disebutkan al-'akifin karena telah disebutkan dalam ayat sebelumnya, yaitu: baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25)
Sedangkan di dalam ayat ini (Al-Hajj: 25) tidak disebutkan rukuk, sujud, dan qiyam, tetapi hanya disebutkan taifin dan 'akifin, karena sesungguhnya telah diketahui bahwa tiada rukuk dan tiada sujud melainkan sesudah qiyam (berdiri). Di dalam ayat ini terkandung pula bantahan terhadap orang-orang yang tidak mau berhaji kepadanya dari kalangan ahli kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sesungguhnya mereka mengakui keutamaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dan mereka pun mengetahui bahwa rumah itu (Baitullah) dibangun untuk tawaf dalam ibadah haji dan umrah serta ibadah lainnya; juga untuk i’tikaf serta melakukan salat padanya, sedangkan mereka tidak mengerjakan sesuatu pun dari hal tersebut. Maria mungkin mereka dinamakan sebagai orang-orang yang menganut agama Nabi Ibrahim, sedangkan mereka sendiri tidak mengerjakan apa yang telah disyariatkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim?
Sesungguhnya Nabi Musa ibnu Imran serta nabi-nabi lainnya telah melakukan haji ke Baitullah, seperti yang telah diberitakan oleh orang yang di-ma'sum yang tidak sekali-kali berbicara dari dirinya sendiri melainkan hanya semata-mata wahyu yang diturunkan kepadanya.
Dengan demikian, berarti makna ayat adalah seperti berikut Wa'ahidna ila Ibrahima, Kami telah perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail melalui wahyu kami, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang i'tikaf, yang rukuk, dan yang sujud." Dengan kata lain, bersihkanlah rumah-Ku dari kemusyrikan dan keraguan, dan bangunlah rumah-Ku dengan ikhlas karena Allah, yang kelak akan menjadi tempat bagi orang-orang yang i'tikaf, yang tawaf, yang rukuk, dan yang sujud.
Pengertian menyucikan masjid diambil dari ayat ini dan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيها بِالْغُدُوِّ وَالْآصالِ
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang. (An-Nur: 36)
Sedangkan dalil dari sunnah banyak hadis yang memerintahkan membersihkan masjid-masjid dan memberinya wewangian serta lain-lainnya, seperti membersihkannya dari kotoran dan najis-najis serta hal-hal yang serupa dengannya. Karena itu, Nabi Saw. pernah bersabda:
«إِنَّمَا بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ»
Sesungguhnya masjid-masjid itu dibangun hanya untuk tujuan yang sesuai dengan fungsinya.
Sesungguhnya kami menghimpun pembahasan ini dalam sebuah kitab tersendiri secara rinci.
Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang mula-mula membangun Ka'bah. Menurut suatu pendapat, yang mula-mula membangun Ka'bah adalah para malaikat Hal ini diriwayatkan melalui Abu Ja'far Al-Baqir, yaitu Muhammad ibnu Ali ibnul Husain; Imam Qurtubi menyebutkannya dan mengetengahkan riwayat tersebut, tetapi di dalamnya terkandung garabah (keanehan).
Menurut pendapat yang lain, orang yang mula-mula membangun Ka'bah adalah Nabi Adam a.s. Demikianlah menurut riwayat Abdur Razzaq, dari Ibnu Juraij, dari Ata dan Sa'id ibnul Musayyab sena lain-lainnya. Disebutkan bahwa Nabi Adamlah yang mula-mula membangunnya dari lima buah gunung, yaitu dari Gunung Hira, Gunung Tursina, Gunung Tur Zaitan, Gunung Libanon, dan Gunung Al-Judi. Akan tetapi, riwayat ini garib sekali.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka'b Al-Ahbar dan Qatadah, dari Wahb ibnu Munabbih, bahwa orang yang mula-mula membangunnya ialah Nabi Syis a.s.
Kebanyakan orang-orang yang mengetengahkan riwayat masalah ini mengambil sumber dari kitab-kitab kaum ahli kitab. Hal tersebut merupakan suatu topik yang tidak boleh dibenarkan, tidak boleh didustakan, tidak boleh pula dijadikan sebagai pegangan hanya berlandaskan ia semata. Jika ada hadis sahih yang menceritakan hal tersebut, maka dengan senang hati harus diterima.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian." (Al-Baqarah: 126)
قَالَ الْإِمَامُ أَبُو جَعْفَرِ بْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدي، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّم بَيْتَ اللَّهِ وأمَّنَه وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا فَلَا يُصَادُ صَيْدُهَا وَلَا يُقْطَعُ عِضَاهُهَا"
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan dan mengamankan Baitullah, dan sesungguhnya aku mengharamkan Madinah di antara kedua batasnya. Karena itu, tidak boleh diburu binatang buruannya dan tidak boleh ditebang pepohonannya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Bandar dengan lafaz yang sama. Imam Muslim mengetengahkannya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Amr ibnu Naqid, yang kedua-duanya menerimanya dari Abu Ahmad Az-Zubairi, dari Sufyan AS-Sauri.
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ -أَيْضًا-: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب وَأَبُو السَّائِبِ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ الرَّازِيُّ، قَالَا جَمِيعًا: سَمِعْنَا أَشْعَثَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ عَبْدَ اللَّهِ وَخَلِيلَهُ وَإِنِّي عبدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَإِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّم مَكَّةَ وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا، عضاهَها وصيدَها، لَا يُحْمَلُ فِيهَا سِلَاحٌ لِقِتَالٍ، وَلَا يُقْطَعُ مِنْهَا شَجَرَةً إِلَّا لِعَلَفِ بَعِيرٍ"
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib dan Abus Sa-ib yang kedua-duanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim Ar-Razi, keduanya mengatakan bahwa kami pernah mendengar Asy'as, dari Nafi’ dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Ibrahim adalah hamba dan kekasih Allah, dan sesungguhnya aku adalah hamba dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan Mekah kota suci, dan sesungguhnya aku menjadikan Madinah kota yang suci di antara kedua batasnya, yakni semua pepohonannya dan semua binatang buruannya. Tidak boleh membawa senjata ke dalamnya untuk tujuan perang, dan tidak boleh menebang sebuah pohon pun darinya kecuali untuk makanan unta.
Akan tetapi, jalur periwayatan ini garibah karena tidak dijumpai dalam salah satu kitab pun dari Kutubus Sittah. Asal hadis berada pada kitab Sahih Muslim, dari jalur yang lain melalui sahabat Abu Hurairah r.a. yang menceritakan hadis berikut:
انَ النَّاسُ إذا رأوا أول الثمر، جاؤوا بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا أَخَذَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي ثَمَرِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي مَدِينَتِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي مُدِّنا، اللَّهُمَّ إِنَّ إبراهيمَ عبدُك وَخَلِيلُكَ وَنَبِيُّكَ، وَإِنِّي عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ وَإِنَّهُ دَعَاكَ لِمَكَّةَ وَإِنِّي أَدْعُوكَ لِلْمَدِينَةِ بِمِثْلِ مَا دَعَاكَ لِمَكَّةَ وَمِثْلِهِ مَعَهُ" ثُمَّ يَدْعُو أصْغَرَ وَلِيدٍ لَهُ، فَيُعْطِيهِ ذَلِكَ الثَّمَرَ. وَفِي لَفْظٍ: "بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ" ثُمَّ يُعْطِيهِ أَصْغَرَ مَنْ يَحْضُرُهُ مِنَ الْوِلْدَانِ.
Orang-orang (penduduk Madinah) apabila musim buah kurma tiba, mereka mendatangkan yang mula-mula mereka petik kepada Rasulullah Saw. Dan apabila Rasulullah Saw. menerimanya, maka beliau berdoa, "Ya Allah, berkatilah bagi kami dalam buah kurma kami, berkatilah bagi kami dalam kota Madinah kami, berkatilah bagi kami dalam ukuran sa' kami, dan berkatilah bagi kami dalam ukuran mud kami. Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim adalah hamba, kekasih, dan Nabi-Mu; dan sesungguhnya aku adalah hamba dan Nabi-Mu. Dia telah berdoa untuk Mekah, dan sesungguhnya aku sekarang berdoa memohon kepada-Mu untuk kota Madinah ini dengan doa yang semisal dengan apa yang pernah didoakan olehnya (Ibrahim) buat Mekah, dan hal yang semisal semoga pula disertakan bersamanya." Kemudian Nabi Saw. memanggil anak yang paling kecil baginya, lalu memberikan buah kurma itu kepadanya. Menurut lafaz yang lain disebutkan (sebagai tambahannya): "berkah di samping berkah, " kemudian beliau memberikannya kepada anak yang paling kecil di antara anak-anak yang hadir.
Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُريب، حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرٍ، عَنِ ابْنِ الْهَادِ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ، عَنْ رَافِعِ بْنِ خَديج، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ، وَإِنِّي أُحَرِّمُ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا".
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Mudar, dari Ibnul Had, dari Abu Bakar ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Amr ibnu Usman, dari Rafi' ibnu Khadij yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota Mekah kota yang suci, dan sesungguhnya aku menjadikan kota Madinah di antara kedua batasnya sebagai kota yang suci.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Muslim sendiri. Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini dari Qutaibah, dari Bakr ibnu Mudar dengan lafaz yang sama dengan lafaz Imam Muslim.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Anas ibnu Malik r.a. yang menceritakan hadis berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَلْحَةَ: "الْتَمِسْ لِي غُلَامًا مِنْ غِلْمَانِكُمْ يَخْدِمُنِي" فَخَرَجَ بِي أَبُو طَلْحَةَ يَرْدِفُنِي وَرَاءَهُ، فَكُنْتُ أَخْدِمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا نَزَلَ. وَقَالَ فِي الْحَدِيثِ: ثُمَّ أقْبَلَ حَتَّى إِذَا بَدَا لَهُ أُحد قَالَ: "هَذَا جَبَلٌ يُحبُّنا وَنُحِبُّهُ". فَلَمَّا أَشْرَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ قَالَ:"اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّمُ مَا بَيْنَ جَبَلَيْهَا، مِثْلَمَا حَرَّمَ بِهِ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي مُدِّهم وَصَاعِهِمْ". وَفِي لَفْظٍ لَهُمَا: "اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي مِكْيَالِهِمْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِي صَاعِهِمْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِي مُدِّهِمْ". زَادَ الْبُخَارِيُّ: يَعْنِي: أَهْلَ الْمَدِينَةِ
bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada Abu Talhah, "Carikanlah buatku seorang pelayan laki-laki dari kalangan anak-anak kalian yang akan kujadikan sebagai pembantuku." Lalu Abu Talhah berangkat dengan memboncengku di belakang (menuju kepada Rasulullah Saw.). Maka aku melayani Rasulullah Saw. Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, manakala Rasulullah Saw. turun istirahat .... Dan Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, setelah itu beliau datang; dan manakala tampak baginya Bukit Uhud, maka beliau bersabda: Bukit ini (penghuninya) mencintaiku dan aku mencintainya. Manakala hampir tiba di Madinah, beliau berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku menjadikan apa yang ada di antara kedua bukit kota Madinah ini sebagai kota yang suci, sebagaimana Ibrahim telah menjadikan suci kota Mekah. Ya Allah, berkatilah bagi mereka dalam takaran mud dan sa' mereka. Menurut lafaz yang lain dalam kitab Sahihain disebutkan seperti berikut Ya Allah, berkatilah bagi mereka dalam takaran mereka, dan berkatilah mereka dalam takaran sa' mereka, dan berkati pula mereka dalam takaran mud mereka. Imam Bukhari menambahkan, "Yakni penduduk Madinah."
Disebutkan pula oleh keduanya (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim), dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah berdoa:
"اللَّهُمَّ اجْعَلْ بِالْمَدِينَةِ ضِعْفَي مَا جَعَلْتَهُ بِمَكَّةَ مِنَ الْبَرَكَةِ"
Ya Allah, semoga Engkau menjadikan di Madinah ini keberkahan dua kali lipat dari apa yang telah Engkau jadikan buat Mekah.
Dari Abdullah ibnu Zaid ibnu Asim r.a., dari Nabi Saw., disebutkan seperti berikut:
" إن إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لَهَا، وحَرَّمتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ، وَدَعَوْتُ لَهَا فِي مُدِّهَا وَصَاعِهَا مِثْلَ مَا دَعَا إِبْرَاهِيمُ لِمَكَّةَ"
Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota Mekah kota yang suci, dan ia telah mendoakan buat penduduknya. Dan sesungguhnya aku menjadikan kota Madinah kota yang suci, sebagai mana Ibrahim menjadikan suci kota Mekah. Dan sesungguhnya aku telah berdoa untuk Madinah dalam takaran mud dan sa'-nya sebagaimana Ibrahim telah mendoakan untuk Mekah.
Hadis ini dan lafaznya diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Imam Muslim telah meriwayatkan pula, sedangkan lafaznya berbunyi seperti berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah berdoa:
"إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لِأَهْلَهَا. وَإِنِّي حرَّمتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ، وَإِنِّي دَعَوْتُ لَهَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا بِمِثْلِ مَا دَعَا إِبْرَاهِيمُ لِأَهْلِ مَكَّةَ"
Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota Mekah kota yang suci, dan ia telah mendoakan buat penduduknya. Dan sesungguhnya aku menjadikan kota Madinah kota yang suci, sebagaimana Ibrahim menjadikan suci kota Mekah. Dan sesungguhnya aku telah berdoa untuk Madinah dalam takaran sa' dan mud-nya sebanyak dua kali lipat dari apa yang didoakan oleh Nabi Ibrahim untuk Mekah.
Dan Abu Sa'id telah menceritakan dari Nabi Saw., bahwa Rasulullah Saw. berdoa:
"اللَّهُمَّ إنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّم مَكَّةَ فَجَعَلَهَا حَرَامًا، وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ حَرَامًا مَا بَيْنَ مَأْزِمَيْهَا، لَا يَهْرَاقُ فِيهَا دَمٌ، وَلَا يُحْمَلُ فِيهَا سِلَاحٌ لِقِتَالٍ، وَلَا يُخْبَطُ فِيهَا شَجَرَةٌ إِلَّا لِعَلَفٍ. اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي مَدِينَتِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي مُدِّنا، اللَّهُمَّ اجْعَلْ مَعَ الْبَرَكَةِ بِرْكَتَيْنِ".
Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan kota Mekah, maka dia menjadikannya sebagai tanah suci. Dan sesungguhnya aku mengharamkan Madinah di antara kedua batasnya sebagai tanah suci agar tidak dialirkan darah padanya, tidak boleh membawa senjata ke dalamnya untuk peperangan, tidak boleh memotong sebuah pohon pun darinya kecuali hanya untuk makanan ternak. Ya Allah, berkatilah bagi kami kota Madinah kami. Ya Allah, berkatilah bagi kami takaran sa' kami. Ya Allah, berkatilah bagi kami takaran mud kami. Ya Allah, jadikanlah bersama keberkatan ini dua kali lipat keberkatan.
Hadis ini merupakan riwayat Imam Muslim.
Hadis-hadis yang menerangkan tentang keharaman (kesucian) kota Madinah cukup banyak jumlahnya. Kami mengutarakan sebagiannya saja yang ada kaitannya dengan pengharaman Nabi Ibrahim a.s. terhadap kota suci Mekah, mengingat pembahasan ini ada munasabah kaitannya dengan tafsir ayat yang sedang kita bahas.
Hadis-hadis tersebut dijadikan pegangan oleh orang yang mengatakan bahwa pengharaman kota Mekah hanya dilakukan oleh lisan Nabi Ibrahim a.s. Akan tetapi, pendapat yang lain mengatakan "sesungguhnya kota Mekah itu telah haram (suci) sejak bumi diciptakan"; pendapat yang terakhir ini lebih jelas dan lebih kuat.
Banyak hadis lainnya yang menerangkan bahwa Allah Swt telah mengharamkan kota Mekah sebelum langit dan bumi diciptakan, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abdullah ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda pada hari kemenangan atas kota Mekah:
"إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمه اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَإِنَّهُ لَمْ يحِل الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا ساعة من نهار، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. لَا يُعْضَد شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ، وَلَا تُلْتَقَط لُقَطَتُه إِلَّا مَنْ عرَّفها، وَلَا يُخْتَلَى خَلاهَا" فَقَالَ الْعَبَّاسُ: يَا رسول الله، إلا الإذْخَر فإنه لقَينهم ولبيوتهم. فَقَالَ: "إِلَّا الْإِذْخِرَ"
Sesungguhnya negeri ini (Mekah) telah diharamkan (dijadikan suci) oleh Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi, maka negeri ini tetap suci sejak disucikan oleh Allah hingga hari kiamat. Dan sesungguhnya negeri ini tidak dihalalkan peperangan di dalamnya oleh seorang pun sebelumku, tidak dihalalkan olehku kecuali sesaat dari siang hari. Maka negeri ini tetap suci sejak disucikan oleh Allah hingga hari kiamat. Pepohonannya tidak boleh ditebang, binatang buruannya tidak boleh diburu, barang temuannya tidak boleh diambil kecuali bagi orang yang hendak mengumumkannya, dan rerumputannya tidak boleh dicabut. Maka Al-Abbas bertanya, "Wahai Rasulullah, terkecuali izkhir, karena sesungguhnya kayu izkhir dipergunakan untuk pandai besi mereka dan untuk (atap) rumah-rumah mereka." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Terkecuali izkhir."
Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim. Imam Bukhari serta Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal melalui Abu Hurairah r.a.
Sesudah itu Imam Bukhari mengatakan bahwa Aban ibnu Saleh telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Yanaq, dari Safiyyah binti Syaibah yang mengatakan, "Aku pernah mendengar hal yang semisal dari Nabi Saw."
Riwayat inilah yang dinilai mu'allaq oleh Imam Bukhari.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Abdullah ibnu Majah':
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَير، عَنْ يُونُسَ بْنِ بُكَيْر، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ أَبَانَ بْنِ صَالِحٍ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ يَنَّاق، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ، قَالَتْ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَامَ الْفَتْحِ، فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إن الله حرم مكة يوم خلق السموات وَالْأَرْضَ، فَهِيَ حَرَام إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يُعْضَد شَجَرُهَا وَلَا يُنَفَّر صيدُها، وَلَا يَأْخُذُ لُقَطَتَها إِلَّا مُنْشِد" فَقَالَ الْعَبَّاسُ: إِلَّا الْإِذْخِرَ؛ فَإِنَّهُ لِلْبُيُوتِ وَالْقُبُورِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِلَّا الإذْخَر"
dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Numair, dari Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh, dari Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Yanaq, dari Safiyyah binti Syaibah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. berkhotbah pada hari kemenangan atas kota Mekah. Beliau Saw. bersabda: Hai manusia, sesungguhnya Allah telah mengharamkan (menyucikan) Mekah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Maka kota Mekah tetap haram hingga hari kiamat; pepohonannya tidak boleh ditebang, dan binatang buruannya tidak boleh diburu, serta barang temuannya tidak boleh dipungut kecuali bagi orang yang hendak mengumumkannya. Al-Abbas berkata, "Terkecuali izkhir, karena sesungguhnya izkhir buat rumah-rumah dan keperluan kuburan." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Terkecuali izkhir”
Dari Abu Syuraih Al-Adawi, disebutkan bahwa ia pernah berkata kepada Amr ibnu Sa'id ketika Amr ibnu Sa'id sedang melantik utusan-utusannya untuk ke Mekah, "Izinkanlah bagiku, wahai Amir, untuk mengemukakan kepadamu suatu ucapan yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Saw. Ketika keesokan harinya setelah kemenangan atas kota Mekah. Aku mendengarnya langsung dengan kedua telingaku ini dan menghafalnya, lalu aku melihat dengan kedua mata kepalaku ketika beliau mengatakannya. Sesungguhnya beliau pada permulaannya memuji dan menyanjung Allah Swt. Kemudian beliau Saw. bersabda:
"إِنَّ مَكَّةَ حرمها الله ولم يحرمها الناس، فلا يحل لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْفِكَ بها دما، ولا يعضد بها شجرة، فإن أَحَدٌ تَرَخَّصَ بِقِتَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا: إِنَّ اللَّهَ أَذِنَ لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَأْذَنْ لَكُمْ. وَإِنَّمَا أَذِنَ لِي فِيهَا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، وَقَدْ عَادَتْ حُرْمَتُهَا الْيَوْمَ كَحُرْمَتِهَا بِالْأَمْسِ، فَلْيُبَلِّغِ الشاهد الغائب". فقيل لأبي شُرَيح: ما قال لك عمرو؟ قال: أنا أعلم بذلك منك يَا أَبَا شُرَيْحٍ، إِنَّ الْحَرَمَ لَا يُعِيذُ عَاصِيًا، وَلَا فَارًّا بِدَمٍ، وَلَا فَارًّا بخَرَبَة.
'Sesungguhnya Mekah telah diharamkan oleh Allah, dan bukan diharamkan oleh manusia. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian mengalirkan darah padanya, dan menebang salah satu dari pepohonannya. Jika ada seseorang mengatakan mengapa diberikan rukhsah kepada Rasulullah Saw. untuk melakukan peperangan di dalamnya. Maka katakanlah bahwa sesungguhnya Allah hanya mengizinkan kepada Rasul-Nya dan tidak memberi izin kepada kalian. Sesungguhnya yang diizinkan kepadaku untuk melakukan peperangan di dalamnya hanyalah sesaat dari siang hari. Adapun sekarang, kota Mekah telah kembali menjadi haram seperti keharamannya kemarin. Maka hendaklah orang yang menyaksikan maklumat ini menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir" Kemudian dikatakan kepada Abu Syuraih, "Apakah yang dikatakan oleh Amr kepadamu?" Abu Syuraih menjawab, "Aku lebih mengetahui hal tersebut daripada kamu, hai Abu Syuraih: 'Sesungguhnya tanah haram (suci) itu tidak memberikan perlindungan kepada orang yang durhaka, tidak pula orang yang lari karena telah membunuh, dan tidak pula yang lari sehabis menimbulkan kerusakan'."
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Apa yang disebutkan di atas berdasarkan lafaz Imam Muslim.
Apabila hal ini telah diketahui, maka tidak ada pertentangan di antara hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Allah Swt. telah mengharamkan kota Mekah sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dengan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahimlah yang mengharamkannya. Karena sesungguhnya Nabi Ibrahimlah yang menyampaikan dari Allah hukum yang dikehendaki-Nya terhadap kota Mekah dan pengharaman Allah terhadapnya. Mekah masih tetap dalam keadaan haram (suci) menurut Allah sebelum Nabi Ibrahim mengadakan bangunan Baitullah padanya.
Perihalnya sama dengan masalah Rasulullah Saw. Sejak dahulu beliau tercatat sebagai pemungkas para nabi di sisi Allah, sedangkan Adam saat itu masih berupa tanah liat. Akan tetapi, sekalipun demikian Nabi Ibrahim a.s. berdoa:
{رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ}
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka. (Al-Baqarah: 129)
Allah memperkenankan doanya sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh ilmu-Nya di zaman azali. Karena itulah maka di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepada kami tentang permulaan kejadianmu." Maka Nabi Saw. menjawab:
"دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبُشْرَى عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ، وَرَأَتْ أُمِّي كَأَنَّهُ خَرَجَ مِنْهَا نور أضاء ت لَهُ قُصُورُ الشَّامِ".
(Aku adalah) doa ayahku Nabi Ibrahim a.s. dan berita gembira Isa ibnu Maryam, dan ibuku telah melihat seakan-akan keluar dari tubuhnya nur yang cahayanya menerangi gedung-gedung negeri Syam.
Pertanyaan ini menyatakan, "Ceritakanlah kepada kami tentang permulaan munculnya kejadianmu," seperti yang akan diterangkan nanti dalam waktu dekat, insya Allah.
Masalah keunggulan kota Mekah atas kota Madinah dari segi keutamaan, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama —atau kota Madinah atas kota Mekah, seperti yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan para pengikutnya— akan diketengahkan dalam pembahasan lain berikut dalil-dalilnya, insya Allah.
**************
Firman Allah Swt. menyitir doa yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim Al-Khalil:
 {رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا}
Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman. (Al-Baqarah: 126)
Yakni aman dari rasa takut, penduduknya tidak boleh ditakut-takuti. Allah Swt. telah melakukan hal tersebut, baik secara syari' ataupun secara takdir, seperti firman Allah Swt.:
Barang siapa memasukinya (Baitullah itu), menjadi amanlah dia. (Ali Imran: 97)
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنا حَرَماً آمِناً وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedangkan manusia sekitarnya rampok-merampok. (Al-'Ankabut: 67)
Masih banyak ayat lainnya yang semakna. Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan hadis-hadis yang mengharamkan melakukan peperangan di Tanah Suci. Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis oleh Jabir, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
«لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَحْمِلَ بِمَكَّةَ السِّلَاحَ»
Tidak dihalalkan bagi seseorang membawa senjata di Mekah.
Imam Muslim mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman. (Al-Baqarah: 126) Maksudnya, jadikanlah kawasan ini negeri yang aman sentosa. Doa ini dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim sebelum dia membangun Ka'bah. Di dalam surat Ibrahim disebutkan:
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman." (Ibrahim: 35)
Penempatan doa ini dalam surat Ibrahim sangat sesuai, —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— karena seakan-akan Ibrahim a.s. memanjatkan doanya sekali lagi sesudah membangun rumah itu (Ka'bah) dan para penduduknya telah menetap padanya.
Hal ini terjadi sesudah kelahiran Nabi Ishaq, putra bungsu Nabi Ibrahim; jarak umur Ishaq dengan Ismail adalah tiga belas tahun. Karena itulah dalam akhir doanya Nabi Ibrahim mengatakan:
{الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ}
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. (Ibrahim: 39)
***************
{وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ}
Dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman, "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali:" (Al-Baqarah: 126)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan takwil firman-Nya: Allah berfirman, "Dan kepada orang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." (Al-Baqarah: 126) Ubay ibnu Ka'b mengatakan bahwa bagian ayat ini merupakan firman Allah Swt Pendapat ini juga dikatakan oleh Mujahid dan Ikri-mah, dan inilah yang dinilai benar oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan yang lainnya mengatakan, bagian ayat ini merupakan lanjutan dari doa Nabi Ibrahim a.s., seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ja'far, dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah yang mengatakan, "Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa bagian ayat ini merupakan doa Nabi Ibrahim. Ia memohon kepada Allah, 'Barang siapa yang kafir, berikanlah kepadanya kesenangan sementara saja'."
Abu Ja'far meriwayatkan dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara. (Al-Baqarah: 126) Artinya, barang siapa yang kafir, Aku beri dia rezeki pula, tetapi sedikit (yakni sementara hanya selama di dunia saja). kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (Al-Baqarah: 126)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, setelah Nabi Ibrahim menolak mendoakan orang yang Allah enggan menjadikannya berhak menerima pengakuan dari-Nya, demi taat dan cintanya kepada Allah, demi menjauhkan diri dari orang yang menentang perintah Allah, sekalipun orang tersebut masih dari kalangan keturunannya; yaitu di saat Ibrahim a.s. mengetahui bahwa akan ada di antara keturunannya orang yang zalim yang tidak berhak mendapat janji (perintah) Allah —hal ini diketahuinya melalui pemberitahuan dari Allah kepada dirinya— maka Allah berfirman: Dan kepada orang yang kafir pun. (Al-Baqarah: 126)
Dengan kata lain, sesungguhnya Aku akan memberi rezeki kepada orang yang bertakwa, juga kepada orang yang durhaka; tetapi kepada orang yang durhaka Aku hanya memberinya kesenangan sementara.
Hatim ibnu Ismail meriwayatkan dari Humaid Al-Kharrat, dari Ammar Az-Zahabi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman senlosa, dan berikanlah rezeki buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. (Al-Baqarah: 126) Ibnu Abbas mengatakan bahwa pada mulanya Nabi Ibrahim dalam doanya hanya membatasi buat orang-orang mukmin saja, bukan untuk semua orang. Maka Allah menurunkan firman-Nya, "Kepada orang kafir pun Aku beri mereka rezeki sebagaimana Aku berikan rezeki kepada orang-orang mukmin. Apakah Aku ciptakan mereka, lalu Aku tidak berikan rezeki kepada mereka? Aku hanya memberikan kesenangan sementara saja kepada mereka, kemudian Aku paksa mereka menerima azab neraka, dan seburuk-buruk tempat kembali adalah neraka." Kemudian Ibnu Abbas r.a. membacakan firman-Nya yang lain, yaitu:
كُلًّا نُمِدُّ هؤُلاءِ وَهَؤُلاءِ مِنْ عَطاءِ رَبِّكَ وَما كانَ عَطاءُ رَبِّكَ مَحْظُوراً
Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (Al-Isra: 20)
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula hadis ini. Hal yang semisal diriwayatkan dari Ikrimah dan Mujahid.
Makna ayat ini (Al-Baqarah ayat 126) semisal dengan makna firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتاعٌ فِي الدُّنْيا ثُمَّ إِلَيْنا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذابَ الشَّدِيدَ بِما كانُوا يَكْفُرُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kamilah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka. (Yunus: 69-70)
وَمَنْ كَفَرَ فَلا يَحْزُنْكَ كُفْرُهُ إِلَيْنا مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِما عَمِلُوا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذاتِ الصُّدُورِ. نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ إِلى عَذابٍ غَلِيظٍ
Dan barang siapa kafir, maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kamilah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Se-sungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras. (Luqman: 23-24)
وَلَوْلا أَنْ يَكُونَ النَّاسُ أُمَّةً واحِدَةً لَجَعَلْنا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمنِ لِبُيُوتِهِمْ سُقُفاً مِنْ فِضَّةٍ وَمَعارِجَ عَلَيْها يَظْهَرُونَ. وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْواباً وَسُرُراً عَلَيْها يَتَّكِؤُنَ. وَزُخْرُفاً وَإِنْ كُلُّ ذلِكَ لَمَّا مَتاعُ الْحَياةِ الدُّنْيا وَالْآخِرَةُ عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ
Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan di atasnya. Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Az-Zukhruf: 33-35)
**************
Adapun firman Allah Swt.:
{ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ}
Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan ilulah seburuk-buruk tempat kembali. (Al-Baqarah: 126)
Yakni setelah Aku berikan kepadanya kesenangan duniawi dan keluasan naungannya, maka Aku kembalikan dia kepada siksa neraka, dan seburuk-buruk tempat kembali itu adalah neraka. Dengan kata lain, Allah sengaja menangguhkan mereka, setelah itu barulah Allah mengazab mereka dengan azab Yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa. Ayat ini maknanya semisal dengan firman Allah Swt.:
وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ أَمْلَيْتُ لَها وَهِيَ ظالِمَةٌ ثُمَّ أَخَذْتُها وَإِلَيَّ الْمَصِيرُ
Dan berapalah banyaknya kota yang Aku tangguhkan (azab-Ku) kepadanya, yang penduduknya berbuat zalim, kemudian Aku azab mereka, dan hanya kepada-Kulah kembalinya (segala sesuatu). (Al-Hajj: 48)
Di dalam hadis Sahihain (Bukhari dan Muslim) disebutkan:
"لَا أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ؛ إِنَّهُمْ يَجْعَلُونَ لَهُ وَلَدًا، وَهُوَ يَرْزُقُهُمْ وَيُعَافِيهِمْ"
Tiada seorang pun yang lebih sabar daripada Allah atas gangguan yang menyakitkan pendengarannya; sesungguhnya mereka menganggap Allah beranak, tetapi Allah tetap memberi mereka rezeki dan membiarkan mereka.
Di dalam hadis sahih disebutkan pula:
"إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي (2) لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ". ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَى: {وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ} [هُودٍ: 102]
Sesungguhnya Allah benar-benar menangguhkan orang yang zalim, dan manakala Allah mengazabnya, niscaya Allah tidak akan membiarkannya lolos (dari azab-Nya). Kemudian Nabi Saw. membacakan firman-Nya: Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (Hud: 102)
Sebagian ulama membaca ayat ini (Al-Baqarah: 126) dengan bacaan berikut: Qala wa man kafara fa-amli'hu qalilan (Dan barang siapa yang kafir, maka berilah dia kesenangan sementara), hingga akhir ayat. Dia menganggapnya sebagai kelanjutan dari doa Nabi Ibrahim. Tetapi bacaan ini syazzah, yakni berbeda dengan qiraat sab'ah; lagi pula susunan konteks bertentangan dengan maknanya. Karena sesungguhnya damir yang terkandung di dalam lafaz qala kembali kepada Allah Swt. menurut bacaan jumhur ulama, dan konteks ayat memang menunjukkan pengertian ini. Akan tetapi, menurut qiraat yang syazzah tadi berarti damir yang terkandung di dalam lafaz qala kembali kepada Ibrahim, dan ini jelas bertentangan dengan konteks kalimat.
******************
Firman Allah Swt:
{وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ*رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkan kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah: 127-128)
Al-qawa'id adalah bentuk jamak dari lafaz qa'idah, artinya tiang atau fondasi. Allah berfirman, "Hai Muhammad, ceritakanlah kepada kaummu kisah Ibrahim dan Ismail membangun Ka'bah dan meninggikan fondasi yang dilakukan oleh keduanya, seraya keduanya berdoa, 'Ya Tuhan kami, terimalah dari kami amalan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui'."
Al-Qurtubi dan lain-lainnya meriwayatkan melalui Ubay dan Ibnu Mas'ud bahwa keduanya membaca ayat ini: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 127) Yakni dengan menambahkan lafaz yaqulani sebelum rabbana taqabbal minna.
Menurut kami, bacaan tersebut tersimpul dari doa keduanya (Ibrahim dan Ismail) sesudah itu, yakni firman-Nya: Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128), hingga akhir ayat.
Keduanya sedang melakukan amal saleh seraya memohon kepada Allah, semoga Allah menerima amalan keduanya, seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Muhammad ibnu Ya-zid ibnu Khunais Al-Makki, dari Wahib ibnul Ward, bahwa ia membaca firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami)." (Al-Baqarah: 127)
Kemudian Wahib ibnul Ward menangis dan mengatakan, "Wahai kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, engkau sedang meninggikan dasar-dasar Baitullah, tetapi engkau merasa takut bila amalanmu tidak diterima."
Makna ayat ini semisal dengan yang disebutkan oleh Allah Swt. tentang keadaan orang-orang mukmin yang benar-benar ikhlas, melalui firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا}
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan. (Al-Mu’minun: 60)
Maksudnya, mereka memberikan apa yang telah mereka berikan berupa sedekah-sedekah, berbagai macam nafkah, dan amal taqarrub (kurban-kurban).
{وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ}
sedangkan hati mereka dalam keadaan takut. (Al-Mu’minun: 60)
Yakni takut amalan mereka tidak diterima oleh Allah Swt., seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih dari Siti Aisyah r.a., dari Rasulullah Saw. yang akan diketengahkan pada tempatnya nanti.
Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa orang yang meninggikan dasar-dasar bangunan Baitullah adalah Nabi Ibrahim, sedangkan orang yang berdoanya adalah Nabi Ismail. Akan tetapi, pendapat yang benar mengatakan bahwa keduanya sama-sama membina dasar-dasar Baitullah dan berdoa, seperti yang akan dijelaskan kemudian. Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis yang akan kami ketengahkan kemudian, setelah itu kami ikutkan pembahasan asar-asar yang berkaitan dengannya.
قَالَ الْبُخَارِيُّ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنْ أَيُّوبَ السخيتاني وَكَثِيرِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ الْمُطَّلِبِ بْنِ أَبِي وَدَاعة -يَزِيدُ أحدُهما عَلَى الْآخَرِ -عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَير، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَوَّلُ مَا اتَّخَذَ النِّسَاءُ المنْطَق مِنْ قبَل أُمِّ إِسْمَاعِيلَ، عَلَيْهِمَا السَّلَامُ اتَّخَذَتْ مِنْطَقًا لِيُعَفِّيَ أَثَرَهَا عَلَى سَارَّةَ. ثُمَّ جَاءَ بِهَا إِبْرَاهِيمُ وَبِابْنِهَا إِسْمَاعِيلَ، عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، وَهِيَ تُرْضِعُهُ، حَتَّى وَضَعَهُمَا عِنْدَ الْبَيْتِ عِنْدَ دَوْحَةٍ فَوْقَ زَمْزم فِي أَعْلَى الْمَسْجِدِ، وَلَيْسَ بِمَكَّةَ يَوْمَئِذٍ أَحَدٌ، وَلَيْسَ بِهَا مَاءٌ فَوَضَعَهُمَا هُنَالِكَ، وَوَضَعَ عِنْدَهُمَا جِرَابًا فِيهِ تَمْرٌ وسِقَاء فِيهِ مَاءٌ، ثُمَّ قَفَّى إِبْرَاهِيمُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، مُنْطَلِقًا. فَتَبِعَتْهُ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ فَقَالَتْ: يَا إِبْرَاهِيمُ، أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الْوَادِي الذِي لَيْسَ فِيهِ إِنْسٌ وَلَا شَيْءَ؟ فَقَالَتْ لَهُ ذَلِكَ مِرَارًا، وَجَعَلَ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهَا. فَقَالَتْ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَتْ: إِذًا لَا يُضَيِّعُنَا. ثُمَّ رَجَعَتْ. فَانْطَلَقَ إِبْرَاهِيمُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، حَتَّى إِذَا كَانَ عِنْدَ الثَّنِيَّةِ حَيْثُ لَا يَرَوْنَهُ، اسْتَقْبَلَ بِوَجْهِهِ الْبَيْتَ، ثُمَّ دَعَا بِهَؤُلَاءِ الدَّعَوَاتِ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ، قَالَ: {رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ} [إِبْرَاهِيمَ: 37] ، وَجَعَلَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ تُرْضِعُ إِسْمَاعِيلَ، عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، وَتَشْرَبُ مِنْ ذَلِكَ الْمَاءِ، حَتَّى إِذَا نَفِدَ مَاءُ السِّقَاءِ عَطِشَتْ وَعَطِشَ ابْنُهَا، وجعلت تنظر إليه يتلوى - أَوْ قَالَ: يَتَلَبَّطُ -فَانْطَلَقَتْ كَرَاهِيَةَ أَنْ تَنْظُرَ إِلَيْهِ، فَوَجَدَتِ الصَّفَا أقربَ جَبَلٍ فِي الْأَرْضِ يَلِيهَا فَقَامَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتِ الْوَادِي تَنْظُرُ هَلْ تَرَى أَحَدًا؟ فَلَمْ تَرَ أَحَدًا. فَهَبَطَتْ مِنَ الصَّفَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْوَادِي رَفَعَتْ طَرْفَ دِرْعِهَا، ثُمَّ سَعَتْ سَعْيَ الْإِنْسَانِ الْمَجْهُودِ حَتَّى جَاوَزَتِ الْوَادِي. ثُمَّ أَتَتِ الْمَرْوَةَ، فَقَامَتْ عَلَيْهَا وَنَظَرَتْ هَلْ تَرَى أحَدًا؟ فَلَمْ تَرَ أَحَدًا. فَفَعَلَتْ ذَلِكَ سَبْعَ مَرَّاتٍ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فَلِذَلِكَ سَعَى النَّاسُ بَيْنَهُمَا". فَلَمَّا أَشْرَفَتْ عَلَى الْمَرْوَةِ سَمِعَتْ صَوْتًا فَقَالَتْ: صَهٍ، تُرِيدُ نَفْسَهَا، ثُمَّ تَسَمَّعت فسمعَت أَيْضًا. فَقَالَتْ: قَدْ أَسْمَعْتَ إِنْ كَانَ عِنْدَكَ غُوَاث فَإِذَا هِيَ بالمَلَك عِنْدَ مَوْضِعِ زَمْزَمَ، فَبَحَثَ بِعَقِبِهِ -أَوْ قَالَ: بِجَنَاحِهِ -حَتَّى ظَهَرَ الْمَاءُ، فَجَعَلَتْ تُحَوِّضُهُ، وَتَقُولُ بِيَدِهَا هَكَذَا، وَجَعَلَتْ تَغْرِفُ مِنَ الْمَاءِ فِي سِقَائِهَا وَهُوَ يَفُورُ بَعْدَمَا تَغْرِفُ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَرْحَمُ اللَّهُ أَمَّ إِسْمَاعِيلَ، لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ -أَوْ قَالَ: لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ الْمَاءِ -لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعينًا". قَالَ: فَشَرِبَتْ وَأَرْضَعَتْ وَلَدَهَا، فَقَالَ لَهَا الْمَلَكُ: لَا تَخَافِي الضَّيْعَةَ؛ فَإِنَّ هَاهُنَا بَيْتًا لِلَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، يَبْنِيهِ هَذَا الْغُلَامُ وَأَبُوهُ، وَإِنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، لَا يُضَيِّعُ أَهْلَهُ. وَكَانَ الْبَيْتُ مُرْتَفِعًا مِنَ الْأَرْضِ كَالرَّابِيَةِ تَأْتِيهِ السُّيُولُ فَتَأْخُذُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، فَكَانَتْ كَذَلِكَ حَتَّى مَرَّتْ بِهِمْ رُفْقَةٌ مِنْ جُرْهُم -أَوْ أَهْلِ بَيْتٍ مِنْ جُرْهم -مُقْبِلِينَ مِنْ طَرِيقِ كَدَاء. فَنَزَلُوا فِي أَسْفَلِ مَكَّةَ، فَرَأَوْا طَائِرًا عَائِفًا، فَقَالُوا: إِنَّ هَذَا الطَّائِرَ لَيَدُورُ عَلَى الْمَاءِ، لعَهْدُنا بِهَذَا الْوَادِي وَمَا فِيهِ مَاءٌ. فَأَرْسَلُوا جَرِيًّا أَوْ جَرِيَّين، فَإِذَا هُمْ بِالْمَاءِ. فَرَجَعُوا فَأَخْبَرُوهُمْ بِالْمَاءِ، فَأَقْبَلُوا. قَالَ: وَأُمُّ إِسْمَاعِيلَ عِنْدَ الْمَاءِ. فَقَالُوا: أَتَأْذَنِينَ لَنَا أَنْ نَنْزِلَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، وَلَكِنْ لَا حَقَّ لَكُمْ فِي الْمَاءِ. قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فَأَلْفَى ذَلِكَ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ وَهِيَ تُحِبُّ الْأُنْسَ. فَنَزَلُوا، وَأَرْسَلُوا إِلَى أَهْلِيهِمْ فَنَزَلُوا مَعَهُمْ. حَتَّى إِذَا كَانَ بِهَا أَهْلُ أَبْيَاتٍ مِنْهُمْ وَشَبَّ الغلامُ، وَتَعَلَّمَ الْعَرَبِيَّةَ مِنْهُمْ، وأنْفَسَهم وَأَعْجَبَهُمْ حِينَ شَبَّ، فَلَمَّا أَدْرَكَ زَوَّجُوهُ امْرَأَةً مِنْهُمْ. وَمَاتَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ، عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، فَجَاءَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ مَا تَزَوَّجَ إسماعيلُ لِيُطَالِعَ تَرْكَتَه. فَلَمْ يَجِدْ إِسْمَاعِيلَ، فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ عَنْهُ فَقَالَتْ: خَرَجَ يَبْتَغِي لَنَا. ثُمَّ سَأَلَهَا عَنْ عَيْشِهِمْ وَهَيْئَتِهِمْ، فَقَالَتْ: نَحْنُ بشَرّ، نَحْنُ فِي ضِيقٍ وَشِدَّةٍ. وَشَكَتْ إِلَيْهِ. قَالَ: فَإِذَا جَاءَ زَوْجُكِ فَاقْرَئِي عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَقُولِي لَهُ: يُغَيِّرُ عَتَبَةَ بَابِهِ. فَلَمَّا جَاءَ إِسْمَاعِيلُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، كَأَنَّهُ أَنِسَ شَيْئًا. فَقَالَ: هَلْ جَاءَكُمْ مَنْ أَحَدٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، جَاءَنَا شَيْخٌ كَذَا وَكَذَا، فَسَأَلَ عَنْكَ، فَأَخْبَرْتُهُ، وَسَأَلَنِي كَيْفَ عَيْشُنَا؟ فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّا فِي جَهْد وشدَّة. قَالَ: فَهَلْ أَوْصَاكِ بِشَيْءٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ السَّلَامَ، وَيَقُولُ غَيِّرْ عَتَبَةَ بَابِكَ. قَالَ: ذَاكَ أَبِي. وَقَدْ أَمَرَنِي أَنْ أُفَارِقَكِ، فَالْحَقِي بِأَهْلِكِ. فَطَلَّقَها وَتَزَوَّجَ مِنْهُمْ بِأُخْرَى، فَلَبِثَ عَنْهُمْ إِبْرَاهِيمُ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ أَتَاهُمْ بَعْدُ فَلَمْ يَجِدْهُ. فَدَخَلَ عَلَى امْرَأَتِهِ، فَسَأَلَهَا عَنْهُ، فَقَالَتْ: خرج يبتغي لنا. قال: كيف أنتم؟ وَسَأَلَهَا عَنْ عَيْشِهِمْ وَهَيْئَتهم. فَقَالَتْ: نَحْنُ بِخَيْرٍ وَسَعَةٍ. وَأَثْنَتْ عَلَى اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ. فَقَالَ: مَا طَعَامُكُمْ؟ قَالَتِ: اللَّحْمُ. قَالَ: فَمَا شَرَابُكُمْ؟ قَالَتِ: الْمَاءُ. قَالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي اللَّحْمِ وَالْمَاءِ". قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ يَوْمَئِذٍ حَب، وَلَوْ كَانَ لَهُمْ، لَدَعَا لَهُمْ فِيهِ. قَالَ: فَهُمَا لَا يَخْلُو عَلَيْهِمَا أَحَدٌ بِغَيْرِ مَكَّةَ إِلَّا لَمْ يُوَافِقَاهُ". قَالَ: "فَإِذَا جَاءَ زَوْجُكِ فَاقْرَئِي عَلَيْهِ السَّلَامُ، ومُريه يُثَبِّت عَتَبَةَ بَابِهِ، فَلَمَّا جَاءَ إِسْمَاعِيلُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، قَالَ: هَلْ أَتَاكُمْ مَنْ أَحَدٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، أَتَانَا شَيْخٌ حَسَنُ الْهَيْئَةِ، وَأَثْنَتْ عَلَيْهِ فَسَأَلَنِي عَنْكَ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَسَأَلَنِي: كَيْفَ عَيْشُنَا؟ فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّا بِخَيْرٍ. قَالَ: فَأَوْصَاكِ بِشَيْءٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، هُوَ يَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلَامَ، وَيَأْمُرُكَ أَنْ تُثَبِّتَ عَتَبَةَ بَابِكَ. قَالَ: ذَاكَ أَبِي، وَأَنْتِ الْعَتَبَةُ، أَمَرَنِي أَنْ أُمْسِكَكِ. ثُمَّ لَبثَ عَنْهُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، ثُمَّ جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ وَإِسْمَاعِيلُ يَبْرِي نَبْلا لَهُ تَحْتَ دَوْحَةٍ قَرِيبًا مِنْ زَمْزَمَ، فَلَمَّا رَآهُ قَامَ إِلَيْهِ، فَصَنَعَا كَمَا يَصْنَعُ الْوَلَدُ بِالْوَالِدِ، وَالْوَالِدُ بِالْوَلَدِ. ثُمَّ قَالَ: يَا إِسْمَاعِيلُ، إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي بِأَمْرٍ. قَالَ: فَاصْنَعْ مَا أَمَرَكَ رَبُّكَ، عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: وَتُعِينُنِي؟ قَالَ: وَأُعِينُكَ. قَالَ: فَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أَبْنِيَ هَاهُنَا بَيْتًا -وَأَشَارَ إِلَى أكَمَةٍ مُرْتَفِعَةٍ عَلَى مَا حَوْلَهَا -قَالَ: فَعِنْدَ ذَلِكَ رَفَعا الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ فَجَعَلَ إِسْمَاعِيلُ يَأْتِي بِالْحِجَارَةِ وَإِبْرَاهِيمُ يَبْنِي، حَتَّى إِذَا ارْتَفَعَ الْبِنَاءُ جَاءَ بِهَذَا الْحَجَرِ فَوَضَعَهُ لَهُ، فَقَامَ عَلَيْهِ وَهُوَ يَبْنِي، وَإِسْمَاعِيلُ يُنَاوِلُهُ الْحِجَارَةَ، وَهُمَا يَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ} " قَالَ: "فَجَعَلَا يَبْنِيَانِ حَتَّى يَدُورَا حَوْلَ الْبَيْتِ، وَهُمَا يَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub As-Sukhtiyani dan Kasir ibnu Kasir ibnul Muttalib ibnu Abu Wida'ah —salah seorang dari keduanya memberikan tambahan atas yang lain—, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan kisah berikut: Wanita yang mula-mula memakai mintaq (ikat pinggang atau kemben) di zaman dahulu adalah ibu Nabi Ismail. Ia sengaja memakai kemben untuk menghapus jejak kehamilannya terhadap Siti Sarah (permaisuri Nabi Ibrahim a.s. yang belum juga punya anak). Kemudian Nabi Ibrahim membawanya pergi bersama anaknya Ismail (yang baru lahir), sedangkan ibunya menyusuinya. Lalu Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di dekat Baitullah, yaitu di bawah sebuah pohon besar di atas Zamzam, bagian dari masjid yang paling tinggi. Saat itu di Mekah masih belum ada seorang manusia pun, tiada pula setetes air. Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di tempat itu dan meletakkan di dekat keduanya sebuah kantong besar yang berisikan buah kurma dan sebuah wadah yang berisikan air minum. Kemudian Nabi Ibrahim pulang kembali (ke negerinya). Maka ibu Nabi Ismail mengikutinya dan bertanya, "Hai Ibrahim, ke manakah engkau akan pergi, tegakah engkau meninggalkan kami di lembah yang tandus dan tak ada seorang pun ini?" Ibu Nabi Ismail mengucapkan kata-kata ini berkali-kali, tetapi Nabi Ibrahim tidak sekali pun berpaling kepadanya. Maka ibu Nabi Ismail bertanya, "Apakah Allah telah memerintahkan kamu melakukan hal ini?" Nabi Ibrahim baru menjawab, 'Ya." Ibu Nabi Ismail berkata, "Kalau demikian, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kami." Lalu ibu Nabi Ismail kembali (kepada anaknya), sedangkan Nabi Ibrahim berangkat meneruskan perjalanannya. Ketika ia sampai di sebuah celah (lereng bukit) hingga mereka tidak melihatnya, maka ia menghadapkan wajahnya ke arah Baitullah, kemudian memanjatkan doanya seraya mengangkat kedua tangannya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. (Ibrahim: 37) sampai dengan firman-Nya: mudah-mudahan mereka bersyukur. (Ibrahim: 37) Ibu Ismail menyusui anaknya dan minum dari bekal air tersebut. Lama-kelamaan habislah bekal air yang ada di dalam wadahnya itu, maka ibu Ismail merasa kehausan, begitu pula dengan Ismail. Ibu Ismail memandang bayinya yang menangis sambil meronta-ronta, lalu ia berangkat karena tidak tega memandang anaknya yang sedang kehausan. Ia menjumpai Bukit Safa yang merupakan bukit terdekat yang ada di sebelahnya. Maka ia berdiri di atasnya, kemudian menghadapkan dirinya ke arah lembah seraya memandang ke sekitarnya, barangkali ia dapat menjumpai seseorang, tetapi ternyata ia tidak me-lihat seorang manusia pun di sana. Ia turun dari Bukit Safa. Ketika sampai di lembah bawah, ia mengangkat (menyingsingkan) baju kurungnya dan berlari kecil seperti berlarinya orang yang kepayahan hingga lembah itu terlewati olehnya, lalu ia sampai di Marwah. Maka ia berdiri di atas Marwah, kemudian menghadap ke arah lembah seraya memandang ke sekelilingnya, barangkali ia menjumpai seseorang, tetapi ternyata ia tidak melihat seorang manusia pun. Hal ini dilakukannya sebanyak tujuh kali. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Karena itu, maka manusia melakukan sa'i di antara keduanya (Safa dan Marwah). Ketika ibu Ismail sampai di puncak Bukit Marwah, ia mendengar suatu suara, lalu ia berkata kepada dirinya sendiri, "Tenanglah!" Kemudian ia memasang pendengarannya baik-baik, dan ternyata ia mendengar adanya suara, lalu ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Sesungguhnya aku telah mendengar sesuatu, niscaya di sisimu (Ismail) ada seorang penolong." Ternyata dia bersua dengan malaikat di sumur Zamzam, malaikat itu sedang menggali tanah dengan kakinya atau dengan sayapnya hingga muncul air. Maka ibu Ismail membuat kolam dan mengisyaratkan dengan tangannya, lalu ia menciduk air itu dengan kedua tangannya untuk ia masukkan ke dalam wadah air minumnya, sedang-kan sumur Zamzam terus memancar setelah ibu Ismail selesai menciduknya. Ibnu Abbas r.a. melanjutkan kisahnya bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Semoga Allah merahmati ibu Ismail. Sekiranya dia membiarkan Zamzam —atau tidak menciduk sebagian dari airnya—, niscaya Zamzam akan menjadi mata air yang mengalir. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ibu Ismail minum air Zamzam dan menyusui anaknya. Maka malaikat itu berkata kepadanya, "Janganlah kamu takut tersia-siakan, karena sesungguhnya di sini terdapat sebuah rumah milik Allah yang kelak akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan penduduk rumah ini." Tersebutlah bahwa rumah itu (Baitullah) masih berupa tanah yang menonjol ke atas mirip dengan gundukan tanah (bukit kecil); bila datang banjir, maka air mengalir ke sebelah kanan dan kirinya. Ibu Ismail tetap dalam keadaan demikian, hingga lewat kepada mereka serombongan orang dari kabilah Jurhum atau salah satu ke-luarga dari kabilah Jurhum yang datang kepadanya melalui jalur Bukit Kida. Mereka turun istirahat di bagian bawah Mekah, lalu mereka melihat ada burung-burung terbang berkeliling (di suatu tempat), maka mereka berkata, "Sesungguhnya burung-burung ini benar-benar mengitari sumber air. Menurut kebiasaan kami, di lembah ini tidak ada air." Lalu mereka mengirimkan seorang atau dua orang pelari mereka, dan ternyata mereka menemukan adanya air. Kemudian pelari itu kembali dan menceritakan kepada rombongannya bahwa di tempat tersebut memang ada air. Lalu rombongan mereka menuju ke sana. Ibnu Abbas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa ketika itu ibu Ismail berada di dekat sumur Zamzam. Mereka berkata, "Apakah engkau mengizinkan kami untuk turun istirahat di tempatmu ini?" Ibu Ismail menjawab, "Ya, tetapi tidak ada hak bagi kalian terhadap air kami ini." Mereka menjawab, "Ya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Saw. bersabda: Maka dengan kedatangan mereka ibu Ismail merasa terhibur, karena memang dia memerlukan teman. Mereka tinggal di Mekah dan mengirimkan utusannya kepada keluarga mereka (di tempat asalnya), lalu mereka datang dan tinggal bersama ibu Ismail dan rombongan pertama mereka. Ketika di Mekah telah berpenghuni beberapa ahli bait dari kalangan mereka (orang-orang Jurhum), sedangkan pemuda itu (Ismail) telah dewasa dan belajar bahasa Arab dari mereka, ternyata pribadi Ismail memikat mereka di saat dewasanya. Setelah usia Ismail cukup matang untuk kawin, lalu mereka mengawinkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Tidak lama kemudian ibu Ismail wafat. Setelah Ismail kawin, Nabi Ibrahim datang menjenguk keluarga yang ditinggalkannya, tetapi ternyata ia tidak menjumpai Ismail. Lalu ia menanyakannya kepada istrinya, maka istri Ismail menjawab, "Suamiku sedang keluar mencari nafkah buat kami." Kemudian Nabi Ibrahim bertanya kepada istri Ismail tentang penghidupan dan keadaan mereka. Istri Ismail menjawab, "Kami dalam keadaan buruk, hidup kami susah dan keras." Ternyata ia mengemukakan keluhannya kepada Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim menjawab, "Apabila suamimu datang, sampaikanlah salamku kepadanya dan katakanlah kepadanya agar dia mengganti kusen pintunya." Lalu Ismail datang dengan penampiian seakan-akan sedang merindukan sesuatu. Ia berkata, "Apakah telah datang seseorang kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, telah datang kepadaku seorang tua yang ciri-cirinya anu dan anu, lalu ia menanyakan kepadaku tentang keadaanmu. maka aku ceritakan segalanya kepadanya. Ia menanyakan kepadaku tentang penghidupan kita. Maka aku katakan kepadanya bahwa kita hidup sengsara dan keras." Ismail bertanya, "Apakah dia memesankan sesuatu kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, dia berpesan kepadaku untuk menyampaikan salamnya kepadamu, dan mengatakan hendaknya engkau mengganti kusen pintumu." Ismail menjawab, "Dia adalah ayahku, dan sesungguhnya dia memerintahkan kepadaku agar menceraikanmu. Karena itu, kembalilah kamu kepada keluargamu." Ismail menceraikannya dan kawin lagi dengan perempuan lain dari kalangan mereka. Setelah selang beberapa masa yang dikehendaki oleh Allah, Nabi Ibrahim tidak menjenguk mereka. Kemudian dia datang lagi kepada mereka, tetapi dia tidak menemukan Ismail, lalu ia masuk menemui istri Ismail dan menanyakan kepadanya tentang Ismail. Maka istri Ismail menjawab, "Suamiku sedang keluar mencari nafkah buat kami." Nabi Ibrahim bertanya, "Bagaimanakah keadaan kalian?" Nabi Ibrahim menanyakan kepada istri Ismail tentang penghidupan dan keadaan mereka. Maka istri Ismail menjawab, "Kami dalam keadaan baik-baik saja dan dalam kemudahan hidup," hal ini dikatakannya seraya memuji kepada Allah Swt. Nabi Ibrahim bertanya, "Apakah makanan pokok kalian?" Istri Ismail menjawab, "Daging." Ibrahim a.s. bertanya, "Apakah minum kalian?" Istri Ismail menjawab, "Air." Nabi Ibrahim a.s. berdoa, "Ya Allah, berkatilah daging dan air bagi mereka." Nabi Saw. bersabda: Tiadalah bagi mereka di masa itu biji-bijian. Seandainya mereka mempunyai biji-bijian, niscaya Nabi Ibrahim mendoakannya buat mereka. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa tidak sekali-kali daging dan air tersebut bila dijadikan sebagai makanan pokok oleh seseorang di luar kota Mekah melainkan keduanya tidak akan cocok baginya. Nabi Ibrahim berkata, "Apabila suamimu datang, sampaikanlah salamku kepadanya dan katakanlah kepadanya agar dia mengukuhkan kusen pintunya." Ketika Ismail datang dan bertanya, "Apakah telah datang seseorang kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, telah datang kepada kami seorang syekh yang penampilannya baik," istri Ismail memuji syekh tersebut Ia melanjutkan kata-katanya, "Lalu ia menanyakan kepadaku tentang engkau, maka aku ceritakan kepadanya; dan ia bertanya kepadaku tentang penghidupan kita, maka kujawab bahwa kami dalam keadaan baik-baik saja." Ismail bertanya, "Apakah dia mewasiatkan sesuatu kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, dia menyampaikan salamnya kepadamu, dan memerintahkan kepadamu agar mengukuhkan kusen pintumu." Ismail berkata, "Dia adalah ayahku dan kusen pintu tersebut adalah kamu sendiri. Dia memerintahkan kepadaku agar memegang engkau menja-di istriku selamanya." Setelah selang beberapa lama yang dikehendaki oleh Allah Swt, maka datanglah Ibrahim a.s.; saat itu Nabi Ismail sedang membuat anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat sumur Zamzam. Ketika Ismail melihatnya, ia segera bangkit menyambutnya dan keduanya melakukan perbuatan yang biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya dan seorang anak kepada ayahnya (bila lama tak bersua, lalu berjumpa). Kemudian Nabi Ibrahim berkata, "Hai Ismail, sesungguhnya Allah telah memerintahkan sesuatu kepadaku." Ismail menjawab, "Apakah perintah Tuhanmu itu?" Nabi Ibrahim balik bertanya, "Maukah engkau membantuku?" Ismail menjawab, "Dengan senang hati aku akan membantu ayah." Nabi Ibrahim a.s. berkata, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku membangun sebuah rumah (Baitullah) di sini," seraya mengisyaratkan kepada sebuah gundukan tanah tinggi yang lebih tinggi daripada tanah yang ada di sekitarnya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa pada saat itu juga keduanya mulai meninggikan dasar-dasar Baitullah; Nabi Ismail yang mendatangkan batu-batuan, sedangkan Nabi Ibrahim yang membangunnya. Ketika bangunan mulai tinggi, Ismail datang membawa batu ini (maqam Ibrahim), lalu meletakkannya untuk menjadikannya se-bagai tangga Nabi Ibrahim selama membangun. Maka Nabi Ibrahim berdiri di atasnya sambil membangun, sedangkan Nabi Ismail terus menyuplai batu-batunya seraya keduanya mengucapkan doa berikut, yang disitir oleh firman-Nya: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127) Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail terus membangun Ka'bah hingga berputar merampungkan sekelilingnya seraya mengucapkan doa: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu Ibnu Humaid, dari Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama lagi cukup panjang. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula dari Abu Abdullah, yaitu Muhammad ibnu Hammad At-Tabrani dan Ibnu Jarir, dari Ahmad ibnu Sabit Ar-Razi, keduanya meriwayatkan hadis ini dari Abdur Razzaq, tetapi dengan lafaz yang singkat.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Azraqi, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid Az-Zunji, dari Abdul Malik ibnu Juraij, dari Kasir ibnu Kasir yang menceritakan bahwa pada suatu malam ia pernah bersama Us-man ibnu Abu Sulaiman dan Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Husain berada di antara sekumpulan orang-orang yang dihadiri oleh Sa'id ibnu Jubair di bagian masjid yang paling tinggi. Maka Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Bertanyalah kalian kepadaku sebelum kalian tidak melihatku lagi." Lalu mereka menanyakan kepadanya tentang kisah maqam Ibrahim, maka Sa'id ibnu Jubair tampil menceritakan kepada mereka sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, kemudian ia menceritakan hadis ini dengan panjang lebar.
ثُمَّ قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ. حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ نَافِعٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ كَثِيرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَمَّا كَانَ بَيْنَ إِبْرَاهِيمَ وَبَيْنَ أَهْلِهِ مَا كَانَ، خَرَجَ بِإِسْمَاعِيلَ وَأُمِّ إِسْمَاعِيلَ، وَمَعَهُمْ شَنَّة فِيهَا مَاءٌ، فَجَعَلَتْ أم إسماعيل تشرب من لشنَّة، فيَدِرُّ لَبَنُهَا عَلَى صَبِيِّهَا، حَتَّى قَدِمَ مَكَّةَ فَوَضَعَهَا تَحْتَ دَوْحَةٍ، ثُمَّ رَجَعَ إِبْرَاهِيمُ إِلَى أَهْلِهِ، فَاتَّبَعَتْهُ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ، حَتَّى بَلَغُوا كَدَاء نَادَتْهُ مِنْ وَرَائِهِ: يَا إِبْرَاهِيمُ، إِلَى مَنْ تَتْرُكُنَا؟ قَالَ: إِلَى اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ. قَالَتْ: رَضِيتُ بِاللَّهِ. قَالَ: فرجَعَتْ، فَجَعَلَتْ تَشْرَبُ مِنَ الشَّنَّةِ، ويَدر لَبَنُهَا عَلَى صَبيها حَتَّى لَمَّا فَنِي الْمَاءُ قَالَتْ: لَوْ ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ لَعَلِّي أُحِسُّ أَحَدًا. قَالَ: فذهَبَتْ فصَعدت الصَّفَا، فَنَظَرَتْ وَنَظَرَتْ هَلْ تُحِسُّ أَحَدًا، فَلَمْ تُحِسَّ أَحَدًا. فَلَمَّا بَلَغَتِ الْوَادِي سَعَت حَتَّى أَتَتِ الْمَرْوَةَ، فَفَعَلَتْ ذَلِكَ أَشْوَاطًا ثُمَّ قَالَتْ: لَوْ ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ مَا فَعَلَ، تَعْنِي الصَّبِيَّ، فَذَهَبَتْ فَنَظَرَتْ فَإِذَا هُوَ عَلَى حَالِهِ كَأَنَّهُ يَنْشَغُ لِلْمَوْتِ، فَلَمْ تقُرَّها نَفْسُهَا، فَقَالَتْ: لَوْ ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ لَعَلِّي أُحِسُّ أَحَدًا. قَالَ: فَذَهَبَتْ فَصَعِدَتِ الصَّفَا، فَنَظَرَتْ ونَظرت فَلَمْ تُحس أَحَدًا، حَتَّى أَتَمَّتْ سَبْعًا، ثُمَّ قَالَتْ: لَوْ ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ مَا فَعَلَ، فَإِذَا هِيَ بِصَوْتٍ، فَقَالَتْ: أغثْ إِنْ كَانَ عِنْدَكَ خَيْرٌ. فَإِذَا جِبْرِيلُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، قَالَ: فَقَالَ بِعَقِبِهِ هَكَذَا، وَغَمَزَ عَقِبَه عَلَى الْأَرْضِ. قَالَ: فَانْبَثَقَ الْمَاءُ، فَدَهَشَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ، فَجَعَلَتْ تَحْفِرُ. قَالَ: فَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْ تركَتْه لَكَانَ الْمَاءُ ظَاهِرًا . قَالَ: فَجَعَلَتْ تَشْرَبُ مِنَ الْمَاءِ ويَدِرُّ لَبَنُهَا عَلَى صَبِيِّها. قَالَ: فَمَرَّ نَاسٌ مَنْ جُرْهم بِبَطْنِ الْوَادِي، فَإِذَا هُمْ بِطَيْرٍ، كَأَنَّهُمْ أَنْكَرُوا ذَلِكَ، وَقَالُوا: مَا يَكُونُ الطَّيْرُ إِلَّا عَلَى مَاءٍ فَبَعَثُوا رَسُولَهُمْ فَنَظَرَ، فَإِذَا هُوَ بِالْمَاءِ. فَأَتَاهُمْ فَأَخْبَرَهُمْ. فَأَتَوْا إِلَيْهَا فَقَالُوا: يَا أُمَّ إِسْمَاعِيلَ، أَتَأْذَنِينَ لَنَا أَنْ نَكُونَ مَعَكِ -وَنُسْكِنَ مَعَكِ؟ -فَبَلَغَ ابْنُهَا وَنَكَحَ فِيهِمُ امْرَأَةً. قَالَ: ثُمَّ إِنَّهُ بَدَا لِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِأَهْلِهِ: إِنِّي مُطَّلع تَرْكَتي. قَالَ: فَجَاءَ فَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَيْنَ إِسْمَاعِيلُ؟ قَالَتِ امْرَأَتُهُ: ذَهَبَ يَصِيدُ. قَالَ: قُولِي لَهُ إِذَا جَاءَ: غَيِّرْ عَتَبَةَ بَيْتِكَ. فَلَمَّا جَاءَ أَخْبَرَتْهُ، قَالَ: أَنْتِ ذَاكِ، فَاذْهَبِي إِلَى أَهْلِكِ. قَالَ: ثُمَّ إِنَّهُ بَدَا لِإِبْرَاهِيمَ، فَقَالَ لِأَهْلِهِ: إِنِّي مُطَّلع تَرْكتي. قَالَ: فَجَاءَ فَقَالَ: أَيْنَ إِسْمَاعِيلُ؟ فَقَالَتِ امْرَأَتُهُ: ذَهَبَ يَصِيدُ. فَقَالَتْ: أَلَا تَنْزِلَ فَتَطْعَم وَتَشْرَبَ؟ فَقَالَ: مَا طَعَامُكُمْ وَمَا شَرَابُكُمْ؟ قَالَتْ: طَعَامُنَا اللَّحْمُ، وَشَرَابُنَا الْمَاءُ. قَالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي طَعَامِهِمْ وَشَرَابِهِمْ. قَالَ: فَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "بَرَكة بِدَعْوَةِ إِبْرَاهِيمَ" قَالَ: ثُمَّ إِنَّهُ بَدَا لِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِأَهْلِهِ: إِنِّي مُطَّلع تَرْكتي. فَجَاءَ فَوَافَقَ إِسْمَاعِيلَ مِنْ وَرَاءِ زَمْزَمَ يُصْلِحُ نَبْلا لَهُ فَقَالَ: يَا إِسْمَاعِيلُ، إِنَّ رَبَّكَ، عَزَّ وَجَلَّ، أَمَرَنِي أَنْ أَبْنِيَ لَهُ بَيْتًا. فَقَالَ: أطعْ رَبَّكَ، عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: إِنَّهُ قَدْ أَمَرَنِي أَنْ تُعِينَنِي عَلَيْهِ؟ فَقَالَ: إِذَنْ أفعلَ -أَوْ كَمَا قَالَ -قَالَ: فَقَامَا [قَالَ] فَجَعَلَ إِبْرَاهِيمُ يَبْنِي، وَإِسْمَاعِيلُ يُنَاوِلُهُ الْحِجَارَةَ، وَيَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ} قَالَ: حَتَّى ارْتَفَعَ الْبِنَاءُ وضَعُفَ الشَّيْخُ عَنْ نَقْلِ الْحِجَارَةِ. فَقَامَ عَلَى حَجَر الْمَقَامِ، فَجَعَلَ يُنَاوِلُهُ الْحِجَارَةَ وَيَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Amir (yakni Abdul Malik ibnu Amr), telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Nafi', dari Kasir ibnu Kasir, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ihnu Abbas r.a. yang menceritakan kisah berikut: Setelah terjadi perselisihan antara Nabi Ibrahim dan permaisurinya, ia berangkat membawa Ismail dan ibunya dengan bekal sekendi air minum. Maka ibu Ismail minum dari air kendi tersebut, lalu air susunya mengalir dan ia susukan kepada bayinya (Ismail), hingga sampailah Ibrahim di Mekah. Ia menempatkan keduanya di bawah sebuah pohon, kemudian Ibrahim kembali kepada keluarganya (di Syam). Tetapi ibu Ismail mengikutinya; hingga ketika keduanya sampai di Bukit Kida, ibu Ismail memanggil Ibrahim dari belakang, "Hai Ibrahim, kepada siapa engkau menyerahkan (menitipkan) kami?" Ibrahim menjawab, "Kutitipkan kalian kepada Allah." Ibu Ismail menjawab, "Aku rela dengan Allah." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ibu Ismail kembali dan minum air dari kendi itu, lalu air susunya ia berikan kepada si bayi. Setelah persediaan air habis, ia berkata, "Sebaiknya aku pergi untuk melihat-lihat keadaan, barangkali aku dapat menemukan seseorang." Maka ia pergi dan naik ke Bukit Safa, lalu melayangkan pandangannya, tetapi ia tidak melihat seorang manusia pun. Setelah sampai di lembah, maka ia berlari kecil hingga sampai ke Bukit Marwah; ia lakukan hal ini berkali-kali hingga tujuh kali. Kemudian ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Sebaiknya aku pergi untuk menengok apa yang dilakukan oleh bayiku." Lalu ia pergi dan melihat bayinya, tetapi ternyata si bayi masih tetap dalam keadaan seperti semula, seakan-akan seperti orang yang sedang menghadapi kematian. Jiwanya tidak tenang, lalu ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Sekiranya aku pergi lagi untuk melihat-lihat, barangkali saja aku dapat menemukan seorang manusia." Lalu ia pergi dan naik ke Bukit Safa; kemudian ia melayangkan pandangannya ke semua arah, tetapi ternyata ia tidak menemukan seorang manusia pun, hingga ia lakukan hal itu sebanyak tujuh kali. Kemudian ia berkata, "Sebaiknya aku pergi untuk melihat keadaan bayiku, apa yang sedang dialaminya." Tiba-tiba ia mendengar suara, lalu ia berseru, "Tolong, sekiranya engkau mempunyai kebaikan." Ternyata ia bersua dengan Malaikat Jibril a.s. yang sedang me-nancapkan tumitnya ke tanah. Maka keluarlah air, hingga ibu Ismail kagum melihatnya, lalu ia menggalinya (dengan kedua tangannya). Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Seandainya dia (ibu Ismail) membiarkannya, niscaya airnya akan keluar dengan sendirinya. Lalu ia minum air sumur itu dan menyusukan air susunya kepada anaknya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu lewat serombongan orang dari kabilah Jurhum di perut lembah (Mekah). Mereka terkejut melihat rombongan burung-burung yang terbang berkeliling pada sesuatu, seakan-akan mereka tidak mempercayainya. Mereka berkata, 'Tiada lain burung-burung ini terbang melainkan di atas air." Lalu mereka mengirimkan utusannya untuk melihat keadaan, dan ternyata utusan itu benar-benar melihat adanya air. Lalu utusan itu kembali kepada rombongannya dan menceritakan apa yang telah mereka saksikan. Mereka datang kepada ibu Ismail dan berkata, "Wahai ibu Ismail, sudikah engkau mengizinkan kami untuk tinggal bersama engkau?" Setelah putranya dewasa dan menikah dengan seorang wanita dari kalangan mereka, timbul di dalam hati Nabi Ibrahim suatu niat. Maka ia berkata kepada permaisurinya, "Sesungguhnya aku akan menjenguk tinggalanku (di Mekah)." Ibrahim a.s. tiba dan mengucapkan salam, lalu bertanya, "Di manakah Ismail?" Istri Ismail menjawab, "Dia sedang pergi berburu." Ibrahim a.s. berkata, "Katakanlah kepadanya agar dia mengubah tangga pintu rumahnya." Ketika istri Ismail menceritakan hal tersebut kepada Ismail, maka Ismail berkata, "Engkaulah yang dimaksud dengan tangga pintu rumah, maka kembalilah kamu kepada keluargamu." Kemudian timbul niat lagi pada diri Nabi Ibrahim, lalu ia berkata (kepada permaisurinya), "Sesungguhnya aku akan menjenguk tinggalanku." Ia datang, lalu bertanya, "Di manakah Ismail?" Istri Ismail menjawab, "Dia sedang pergi berburu." Istri Ismail berkata pula, "Sudikah engkau istirahat untuk makan dan minum?" Ibrahim bertanya, "Apakah makanan dan minuman kalian?" Ia menjawab, "Makanan kami adalah daging, dan minuman kami adalah air." Ibrahim a.s. ber-doa, "Ya Allah, berkatilah mereka dalam makanan dan minuman mereka." Maka Abul Qasim (yakni Nabi Saw.) bersabda, "Itu suatu berkah berkat doa Ibrahim." Kemudian timbul lagi niat pada diri Nabi Ibrahim, maka ia berkata kepada permaisurinya, "Sesungguhnya aku akan menjenguk tinggalanku." Lalu ia datang dan menjumpai Ismail berada di dekat sumur Zamzam sedang memperbaiki anak panahnya. Ibrahim berkata, "Hai Ismail, sesungguhnya Tuhanmu memerintahkan aku agar membangun rumah-Nya di tempat ini." Ismail menjawab, "Taatilah Tuhanmu." Ibrahim berkata, "Sesungguhnya Dia telah memerintahkan kepadaku agar engkau membantuku dalam pelaksanaannya." Ismail menjawab, "Kalau demikian, aku akan melakukannya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Ibrahim bangkit, lalu mulai membangun, sedangkan Ismail menyediakan batu-batunya. Sambil bekerja, keduanya mengatakan: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127) Ketika bangunan makin tinggi dan Nabi Ibrahim yang sudah berusia lanjut itu merasa lemah untuk mengangkat batu-batuan, maka ia berdiri di atas batu maqam, sedangkan Ismail memberikan batu-batu itu kepadanya. Keduanya bekerja seraya mengucapkan doa berikut: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127)
Demikianlah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui dua jalur di dalam Kitabul Anbiya.
Akan tetapi, yang mengherankan ialah Al-Hafiz Abu Abdullah Al-Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya dari Abul Abbas Al-Asam, dari Muhammad ibnu Sinan Al-Qazzaz, dari Abu Ali alias Ubaidillah ibnu Abdul Majid Al-Hanafi, dari Ibrahim ibnu Nafi' dengan lafaz yang sama.  Ia mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Demikianlah menurut Imam Hakim. Padahal Imam Bukhari mengetengahkannya seperti yang Anda lihat sendiri melalui hadis Ibrahim ibnu Nafi', tetapi di dalam hadis ini seakan-akan terjadi peringkasan, mengingat di dalamnya tidak disebutkan perihal penyembelihan.
Disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa kedua tanduk domba yang disembelihnya itu digantungkan di Ka'bah. Disebutkan pula bahwa Nabi Ibrahim berkunjung kepada keluarganya di Mekah dengan memakai kendaraan buraq yang kecepatannya seperti kilatan sinar. Setelah usai dari kunjungannya, ia kembali lagi ke Baitul Maqdis. Di dalam riwayat hadis ini disebutkan nama-nama tempat yang sudah tiada, diketengahkan oleh Ibnu Abbas, dari Nabi Saw.
Sehubungan dengan hadis ini telah disebutkan dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib hal-hal yang sebagiannya berbeda dengan apa yang telah dikemukakan di atas, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Jarir.
Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar dan Muhammad ibnul Musanna; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib, dari Ali ibnu Abu Talib yang menceritakan kisah berikut: Ketika Ibrahim diperintahkan membangun Baitullah, ia berangkat bersama Ismail dan Hajar. Sesampainya di Mekah, ia melihat gumpalan awan berupa seperti kepala manusia di angkasa yang letaknya tepat di atas tempat Baitullah (Ka'bah), lalu awan itu berkata, "Hai Ibrahim, bangunlah di bawah naunganku ini," atau awan tersebut mengatakan, "Sebesar diriku, jangan lebih, jangan pula kurang." Setelah selesai membangun, Ibrahim berangkat dan meninggalkan Ismail serta Hajar. Maka Hajar berkata kepada Ibrahim, "Kepada siapakah engkau menyerahkan kami (menitipkan kami)?" Ibrahim menjawab, "Kepada Allah." Hajar menjawab, "Berangkatlah, sesungguhnya Dia tidak akan menyia-nyiakan kami." Ismail pun merasa sangat haus, lalu Hajar naik ke atas Bukit Safa dan memandang ke sekelilingnya, ternyata ia tidak melihat sesuatu pun (yang dapat membantunya). Ia terus berjalan hingga sampai di Bukit Marwah, tetapi ia tidak juga melihat sesuatu pun. Lalu ia kembali lagi ke Bukit Safa dan melihat-lihat lagi, tetapi ia tidak melihat sesuatu pun. Ia lakukan demikian sebanyak tujuh kali. Akhirnya ia berkata, "Aduhai Ismail anakku, kiranya aku bakal tidak akan melihatmu lagi karena engkau akan mati." Ia datang kepada Ismail yang saat itu sedang mengamuk seraya menangis karena kehausan. Maka Hajar diseru oleh Malaikat Jibril, "Siapakah kamu?" Hajar menjawab, "Aku Hajar, ibu dari anak Ibrahim ini." Jibril bertanya, "Kepada siapakah kamu berdua diserahkan?" Hajar menjawab, "Dia menyerahkan kami kepada Allah." Jibril berkata, "Dia menyerahkan kalian kepada Tuhan Yang Maha Mencukupi." Kemudian Jibril mengorek tanah dengan jarinya, maka keluarlah air darinya dengan berlimpah. Lalu Hajar membendung air itu, dan Jibril berkata, "Biarkanlah air ini, karena sesungguhnya air ini berlimpah!" Di dalam riwayat ini disimpulkan bahwa Ibrahim membangun Baitullah sebelum meninggalkan keduanya (Hajar dan anaknya). Tetapi dapat diinterpretasikan bahwa apa yang dilakukan oleh Ibrahim hanyalah semata-mata untuk memelihara batasan-batasannya. Dengan kata lain, pada awalnya Ibrahim hanya membuat patok-patoknya saja, bukan membangunnya sampai tinggi; menunggu Ismail besar, lalu keduanya akan membangunnya bersama-sama, seperti apa yang disebutkan di dalam firman-Nya.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa Hannad ibnus Sirri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah, pernah ada seorang lelaki menghadap kepada Ali r.a., lalu berkata, "Ceritakanlah kepadaku kisah Baitullah, apakah Baitullah merupakan rumah (rumah ibadah) yang pertama kali dibangun di muka bumi ini?" Ali r.a. menjawab, "Tidak, tetapi Baitullah adalah rumah yang mula-mula dibangun dalam keberkatan, padanya terdapat maqam Ibrahim; dan barang siapa memasukinya, menjadi amanlah dia. Jika kamu suka, maka akan kuceritakan kepadamu bagaimana asal mula pembangunannya." Sahabat Ali r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Ibrahim, "Bangunkanlah sebuah rumah di bumi untuk-Ku!" Tetapi Ibrahim mendapat kesulitan besar untuk merealisasikannya. Lalu Allah mengirimkan sakinah, yaitu angin yang berputar. Angin ini mempunyai dua kepala (putaran); yang satu mengikuti yang lainnya, hingga sampailah keduanya di Mekah. Ketika sampai di Mekah, angin tersebut membentuk lingkaran di tempat Baitullah seperti lingkaran sebuah perisai. Kemudian Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk membangun Baitullah di tempat angin sakinah itu berhenti. Ibrahim membangun Baitullah hingga yang tertinggal hanyalah sebuah batu, lalu si pemuda (Ismail) pergi mencari sesuatu dan Ibrahim berkata kepada anaknya itu, "Carikanlah sebuah batu seperti apa yang aku perintahkan." Ismail berangkat untuk mencarikan sebuah batu bagi Ibrahim, lalu ia datang membawa batu tersebut, tetapi ia menjumpai Hajar Aswad telah terpasang di tempat tersebut. Maka ia bertanya, "Hai ayahku, siapakah yang mendatangkan batu ini kepadamu?" Ibrahim menjawab, "Batu ini didatangkan kepadaku oleh seseorang yang tidak mengandalkan peran sertamu." Malaikat Jibril a.s. mendatangkan batu itu dari langit, lalu Ibrahim menyempurnakan bangunannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Bisyr ibnu Asim, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ka'b Al-Ahbar yang menceritakan kisah berikut: Pada mulanya Baitullah itu terapung di atas air sebelum Allah menciptakan bumi dalam jarak empat puluh tahun. Dari Baitullahlah bumi dihamparkan.
Sa'id mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abu Talib, bahwa Ibrahim tiba dari negeri Armenia ditemani oleh sakinah yang menunjukkan kepadanya tempat Baitullah, sebagaimana seekor laba-laba membangun rumahnya. Maka sakinah menjumpai batu-batuan yang salah satu darinya tidak dapat diangkat kecuali oleh tiga puluh orang. Lalu aku (perawi) bertanya, "Hai Abu Muhammad, sesungguhnya Allah Swt telah berfirman: 'Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismai’l’ (Al-Baqarah: 127)." Maka Abu Muhammad menjawab, "Hal tersebut terjadi sesudahnya."
As-Saddi mengatakan, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada Ibrahim unruk membangun Baitullah bersama Ismail, dan Allah berfirman, "Bangunkanlah olehmu berdua rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, yang i'tikaf, yang rukuk, dan yang sujud." Maka Ibrahim berangkat hingga tiba di Mekah, lalu dia dan Ismail mengambil cangkul, sedangkan keduanya masih belum mengetahui letak Baitullah yang akan dibangunnya. Maka Allah mengirimkan angin yang dikenal dengan sebutan angin khajuj (puting beliung). Angin tersebut mempunyai dua sayap dan kepala seakan-akan bentuknya seperti ular. Kemudian angin tersebut menguakkan bagi keduanya (Ibrahim dan Ismail) semua yang ada di sekitar Ka'bah hingga tampaklah fondasi Baitullah yang pertama. Lalu keduanya mengikutinya dengan cangkul mereka, keduanya terus menggali hingga fondasi diletakkan. Yang demikian itu adalah yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah. (Al-Baqarah: 127); Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah. (Al-Hajj: 26) Ketika keduanya hampir selesai dari pembangunannya, dan tahapan pembangunannya sampai pada rukun, lalu Ibrahim berkata kepada Ismail, "Hai anakku, carikanlah sebuah batu yang baik untukku, nanti akan aku letakkan di tempat (rukun) ini." Ismail menjawab, "Wahai ayahku, sesungguhnya aku sedang malas dan lelah." Ibrahim berkata, "Sekalipun demikian, kamu harus mencarinya." Maka berangkatlah Ismail mencari batu tersebut untuk ayahnya. Ketika itu juga Malaikat Jibril datang kepada Ibrahim dengan membawa Hajar Aswad dari India. Pada mulanya Hajar Aswad berwarna putih. Ia adalah batu yaqut berwana putih seperti bunga sagamah (putih bersih). Pada mulanya batu itu dibawa oleh Adam dari surga ketika diturunkan ke bumi, lalu batu itu menjadi hitam karena dosa-dosa manusia. Ismail datang membawa batu yang diminta, tetapi ternyata ia menjumpai bahwa rukun tersebut telah diisi dengan Hajar Aswad. Maka ia bertanya, "Wahai ayahku, siapakah yang mendatangkan batu ini kepadamu?" Ibrahim menjawab, "Ia didatangkan oleh orang yang lebih bersemangat daripada kamu." Lalu keduanya terus membangun seraya berdoa mengucapkan kalimat-kalimat yang pernah diujikan oleh Allah kepada Ibrahim. Lalu Ibrahim berkata: Wahai Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127)
Di dalam riwayat ini terdapat pengertian yang menunjukkan bahwa dasar-dasar (fondasi) Baitullah telah ada sebelum Nabi Ibrahim, dan sesungguhnya Nabi Ibrahim hanya ditunjukkan ke tempat Baitullah berada dan tinggal meneruskannya. Hadis ini dijadikan pegangan oleh orang-orang yang berpendapat demikian.
Imam Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah. (Al-Baqarah: 127) Bahwa dasar-dasar Baitullah tersebut adalah dasar-dasar yang telah ada sebelumnya.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hassan, dari Siwar menantu Ata, dari Ata ibnu Abu Rabah yang menceritakan, "Ketika Allah menurunkan Adam dari surga ke bumi, kedua kaki Adam berada di bumi, sedangkan kepalanya berada di langit (karena sangat tingginya) seraya mendengarkan percakapan penduduk langit (para malaikat) dan doa mereka hingga hatinya merasa terhibur karena mereka. Maka para malaikat merasa takut, hingga mereka mengadu kepada Allah Swt. dalam doa dan salatnya. Lalu Allah mengurangi tinggi Adam hingga lebih dekat ke bumi (tidak terlalu tinggi). Ketika Adam tidak dapat mendengar lagi percakapan yang ia dengar dari penduduk langit, ia merasa kesepian. Lalu ia mengadu kepada Allah Swt. dalam doa dan salatnya, akhirnya Allah mengarahkannya ke Mekah. Maka tersebutlah bahwa bekas pijakan kaki Adam kelak akan menjadi kota, sedangkan langkah-langkahnya akan menjadi tanah lapang (sahara). Kemudian sampailah Adam ke Mekah." Allah menurunkan batu yaqut dari surga, batu yaqut tersebut diletakkan di Baitullah. Baitullah masih dipakai untuk tawaf hingga Allah menurunkan banjir besar di zaman Nabi Nuh a.s., lalu batu yaqut itu diangkat kembali ke langit, dan diturunkan kembali ke bumi di saat Ibrahim a.s. membangun Baitullah. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah. (Al-Hajj: 26)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ata yang menceritakan bahwa Adam mengadu, "Sesungguhnya aku tidak lagi mendengar suara malaikat." Allah berfirman, "Itu karena kesalahanmu, tetapi turunlah ke bumi dan bangunlah sebuah rumah buat-Ku. Setelah itu kelilingilah olehmu sebagaimana kami melihat para malaikat mengelilingi Bait-Ku di langit." Dan orang-orang menduga bahwa Adam membangunnya dari lima buah bukit, yaitu dari Bukit Hira, Bukit Zaita, Bukit Sinai, dan Bukit Judi; dan tersebutlah bahwa batu fondasinya dari Bukit Hira. Demikianlah pembangunan yang dilakukan oleh Adam, kembali dibangun dengan fondasi yang sama oleh Ibrahim a.s. jauh sesudahnya.
Sanad hadis ini memang sahih sampai kepada Ata, tetapi pada sebagiannya terdapat hal-hal yang tidak dapat diterima.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah yang telah menceritakan bahwa Allah menurunkan Baitullah bersama-sama Adam. Adam diturunkan oleh Allah ke bumi, dan tempat turunnya ialah di India. Ketika itu kepala Adam berada di langit, sedangkan kedua kakinya di bumi. Maka para malaikat merasa takut kepadanya, lalu Allah mengurangi tingginya menjadi enam puluh hasta. Maka Adam merasa sedih karena ia tidak dapat lagi mendengar suara para malaikat dan suara tasbih mereka. Adam mengadukan hal tersebut kepada Allah, maka Allah Swt. ber-firman, "Hai Adam, sesungguhnya Aku telah menurunkan buatmu sebuah rumah untuk tawafmu, sebagaimana di sekitar 'Arasy-Ku para malaikat bertawaf, dan kamu salat padanya sebagaimana mereka melakukan salat di dekat 'Arasy-Ku." Maka Adam berangkat menuju Baitullah seraya memanjangkan langkah-langkahnya, di antara setiap dua langkah akan terjadi padang Sahara, dan sahara-sahara tersebut masih tetap ada sesudahnya. Setelah sampai di Baitullah, Adam melakukan tawaf padanya, demikian pula para nabi lainnya sesudahnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ya'qub Al-'Ama, dari Hafs ibnu Humaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan, "Allah meletakkan Baitullah di atas pilar-pilar air yang semuanya ada empat pilar, sebelum dunia diciptakan Allah dalam jarak dua ribu tahun, kemudian bumi dihamparkan dari bawah Baitullah."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Abdullah ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid dan lain-lainnya dari kalangan ahlul ilmi, sesungguhnya Allah ketika hendak memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah, Ibrahim berangkat menuju Baitullah dari negeri Syam seraya membawa Ismail dan ibunya, yaitu Hajar. Ketika itu Ismail masih bayi dan masih menyusu. Mereka menunggang kendaraan —menurut yang mereka kisahkan kepadaku yaitu kendaraan buraq— dengan ditemani oleh Malaikat Jibril yang menjadi penunjuk jalan ke tempat Baitullah dan tanda-tanda Tanah Suci. Malaikat Jibril berangkat bersama mereka, dan tersebutlah bahwa tidak sekali-kali Jibril melalui sebuah kampung melainkan Adam berkata, "Apakah tempat ini yang diperintahkan kepadamu, hai Jibril?" Jibril menjawab, "Teruskanlah perjalananmu," hingga sampailah Jibril dan Adam di Mekah. Saat itu hanya ada tumbuh-tumbuhan rumput berduri, pohon salam serta pohon samar, dan di luar Mekah serta sekelilingnya terdapat bangsa Amaliqah yang menghuni kawasan tersebut. Sedangkan Baitullah ketika itu merupakan sebuah bukit kecil yang batu kerikilnya berwama merah. Lalu Ibrahim berkata kepada Jibril, "Di sinikah engkau diperintahkan agar aku menempatkan keduanya (Hajar dan Ismail, putranya)?" Jibril menjawab, "Ya." Kemudian Ibrahim menuju ke tempat Hijir (Ismail), lalu menurunkan keduanya di tempat itu, dan ia memerintahkan kepada Hajar —ibu Ismail— untuk membuat sebuah tanda di tempat itu, lalu Ibrahim berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati —sampai dengan— mudah-mudahan mereka bersyukur. (Ibrahim: 37)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hassan, telah menceritakan kepadaku Humaid, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan tempat rumah ini (Baitullah) sebelum Dia menciptakan sesuatu pun dalam jarak dua ribu tahun. Pilar-pilarnya berada di bumi lapis yang ketujuh. Hal yang sama dikatakan pula oleh Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, bahwa dasar-dasar Baitullah sampai ke bumi lapis yang ketujuh.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Rati', telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Mu'awiyah, dari Abdul Mu’min ibnu Khalid, dari Alya ibnu Ahmar, ketika Zul Qarnain tiba di Mekah, ia menjumpai Ibrahim dan Ismail sedang membina dasar-dasar Baitullah dari lima buah bukit. Zul Qarnain bertanya, "Apakah yang sedang kalian berdua lakukan terhadap tanah kekuasaan kami?" Ibrahim menjawab, "Kami adalah dua hamba Allah yang diperintahkan untuk membangun Ka'bah ini." Zul Qarnain bertanya, "Kalau demikian, kemukakanlah bukti yang memperkuat pengakuan kalian itu." Maka bangkitlah lima ekor domba, lalu kelima-limanya mengatakan, "Kami bersaksi bahwa Ibrahim dan Ismail adalah dua orang hamba Allah, yang kedua-duanya diperintahkan untuk membangun Ka'bah ini." Akhirnya Zul Qarnain berkata, "Aku rela dan menyerah," kemudian ia melangsungkan perjalanan pengembaraannya.
Al-Azraqi meriwayatkan di dalam kitab Tarikh Mekah-nya bahwa Zul Qarnain ikut tawaf bersama Nabi Ibrahim a.s. di Baitullah. Riwayat ini menunjukkan bahwa Zul Qarnain hidup di masa silam sebelum Nabi Ibrahim.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (Al-Baqarah: 127), hingga akhir ayat. Al-qawa'id artinya fondasi atau dasar, bentuk tunggalnya adalah qa'idah; al-qawa'id minan nisa (wanita-wanita yang telah berhenti haidnya dan tidak mengandung lagi), bentuk tunggalnya qa'idah pula.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخْبَرَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَر، عَنْ عائشة زوج النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: "أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ حِينَ بَنَوُا الْبَيْتَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ؟ " فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَرُدَّها عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ؟ قَالَ: "لَوْلَا حِدْثان قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ". فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: لَئِنْ كَانَتْ عَائِشَةُ سَمعت هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَرَى رسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ اسْتِلَامَ الرُّكنين اللذَين يَلِيان الحِجْر إِلَّا أَنَّ الْبَيْتَ لَمْ يُتَمَّم عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ
Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku Malik, dari Ibnu Syihab, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abu Bakar telah menceritakan kepada Abdullah ibnu Umar, dari Siti Aisyah r.a. (istri Nabi Saw.) bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:  "Tahukah kamu bahwa kaummu ketika membangun Baitullah, mereka membangunnya kurang dari fondasi-fondasi yang telah diletakkan oleh Ibrahim? Aku (Siti Aisyah r.a.) berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengembalikannya seperti keadaan semula sampai pada fondasi Nabi Ibrahim?" Nabi Saw. menjawab, "Seandainya kaummu bukan masih baru meninggalkan kekufuran, (tentu aku mau melakukannya)." Sahabat Abdullah Ibnu Umar r.a. berkata, "Seandainya Siti Aisyah benar-benar mendengar ini langsung dari Rasulullah Saw., maka apa yang aku lihat Rasulullah Saw. tidak pernah mengusap kedua rukun (sudut) yang berada di kedua sisi Hijir Ismail, tiada lain hal tersebut karena belum disempurnakan menurut fondasi yang telah diletakkan oleh Nabi Ibrahim a.s."
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Bab "Haji", dari Al-Qa'nabi, sedangkan di dalam Bab "Ahadisul Anbiya (Kisah-kisah para Nabi)" ia meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Yusuf dan Imam Muslim, dari Yahya ibnu Yahya, juga dari hadis Ibnu Wahb, sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Abdur Rahman ibnul Qasim, semuanya meriwayatkannya dari Malik dengan lafaz yang disebutkan di atas.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Nafi' yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Abu Quhafah menceritakan hadis berikut kepada Abdullah ibnu Umar, dari Siti Aisyah r.a. dan Nabi Saw. Disebutkan di dalam riwayat ini bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"لولا أن قَوْمَكِ حَدِيثُو عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ -أَوْ قَالَ: بِكُفْرٍ -لَأَنْفَقْتُ كَنْزَ الْكَعْبَةِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَلَجَعَلْتُ بَابَهَا بِالْأَرْضِ، وَلَأَدْخَلْتُ فِيهَا الْحِجْرَ"
Seandainya kaummu bukan masih baru meninggalkan masa Jahiliahnya —atau baru meninggalkan kekufurannya— niscaya aku akan menafkahkan harta simpanan Ka'bah di jalan Allah (yakni untuk merenovasi Ka'bah), dan sungguh aku akan menjadikan pintunya dekat ke tanah dan sungguh aku akan memasukkan Hijir Ismail ke dalam bangunannya.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عُبَيد اللَّهِ بْنُ مُوسَى، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، قَالَ: قَالَ لِيَ ابنُ الزُّبَيْرِ: كَانَتْ عَائِشَةُ تُسر إِلَيْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا، فَمَا حَدَّثَتْكَ فِي الْكَعْبَةِ؟ قَالَ قُلْتُ: قَالَتْ لِي: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا عائشة، لولا قومك حديث عَهْدُهُمْ -فَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: بِكُفْرٍ -لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ، فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابًا يَدْخُلُ مِنْهُ النَّاسُ، وَبَابًا يَخْرُجُونَ". فَفَعَلَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Aswad yang mengatakan bahwa Ibnuz Zubair pernah bertanya kepadanya, "Dahulu Siti Aisyah sering menceritakan kepadamu banyak hadis dengan sembunyi-sembunyi, ceritakanlah kepadaku apa yang telah dikisahkannya mengenai masalah Ka'bah!" Al-Aswad berkata, Siti Aisyah mengatakan kepadanya bahwa Nabi Saw. pernah bersabda kepadanya: Hai Aisyah, seandainya kaummu bukan masih baru meninggalkan kebiasaan mereka —menurut Ibnuz Zubair diartikan kekufuran— niscaya aku akan membongkar Ka'bah, kemudian aku buatkan baginya dua buah pintu; satu pintu untuk orang-orang masuk, sedangkan yang lainnya untuk mereka keluar darinya. Kemudian hal itu dilakukan oleh Ibnuz Zubair.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Bukhari sendiri. Dia meriwayatkannya dengan lafaz demikian di dalam Kitabul 'Ilmi, bagian dari kitab sahihnya.
قَالَ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عائشة قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْلَا حَدَاثة عَهْدِ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ، فَإِنَّ قُرَيْشًا حِينَ بَنَتِ الْبَيْتَ اسْتَقْصَرَتْ، وَلَجَعَلْتُ لَهَا خَلْفًا".
Imam Muslim di dalam kitab sahihnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepadanya: Seandainya kaummu bukan baru meninggalkan kebiasaan kekufurannya, niscaya aku akan membongkar Ka'bah dan aku jadikan berada di atas fondasi Ibrahim. Karena sesungguhnya kaum Quraisy ketika membangun Baitullah, mereka menguranginya (dari fondasi Ibrahim), dan sesungguhnya aku akan menjadikan baginya pintu keluar.
Imam Muslim mengatakan bahwa hadis ini diceritakan kepada kami oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Abu Kuraib; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dari Hisyam dengan sanad ini. Sanad ini diketengahkan oleh Imam Muslim sendiri.
وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمُ بْنُ حَيَّان، عَنْ سَعِيدٍ -يَعْنِي ابْنَ مِينَاءَ -قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُ: حَدَّثَتْنِي خَالَتِي -يَعْنِي عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"يَا عائشة، لولا قومك حديث عَهْد (2) بِشِرْكٍ، لَهَدَمْتُ الْكَعْبَةَ، فَأَلَزَقْتُهَا بِالْأَرْضِ، وَلَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابًا شَرْقِيًّا، وَبَابًا غَرْبِيًّا، وزدتُ فِيهَا سِتَّةَ أَذْرُعٍ مِنَ الحِجْر؛ فَإِنَّ قُرَيْشًا اقْتَصَرَتْهَا حَيْثُ بَنَتِ الْكَعْبَةَ"
Imam Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Hatim, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sulaim ibnu Hayyan, dari Sa'id (yakni Ibnu Mina) yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnuz Zubair mengatakan bahwa bibinya (yakni Siti Aisyah r.a.) pernah bercerita kepadanya bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Hai Aisyah, seandainya kaummu bukan baru meninggalkan kebiasaan kekufurannya, niscaya aku akan membongkar Ka'bah, lalu aku tempelkan ke tanah; dan sesungguhnya aku akan membuat pintu timur dan pintu barat baginya, serta aku akan menambahkan padanya sepanjang enam hasta dari Hijir (Ismail). Karena sesungguhnya orang-orang Quraisy menguranginya ketika merenovasi Ka'bah.
Riwayat ini pun diketengahkan oleh Imam Muslim sendiri.
Kisah Pembangunan Ka'bah oleh Quraisy Sesudah Nabi Ibrahim A.S. dan Lima Tahun Sebelum Rasulullah Diangkat Menjadi Utusan
Rasulullah Saw. ikut memindahkan batu-batuan bersama mereka (orang-orang Quraisy), ketika itu usia beliau baru tiga puluh lima tahun. Semoga salawat dan salam-Nya terlimpahkan kepadanya selama-lamanya sampai hari pembalasan.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan di dalam Bab "Sirah", ketika usia Rasulullah Saw. mencapai tiga puluh lima tahun, orang-orang Quraisy mengadakan kumpulan rapat untuk merenovasi Ka'bah; dan mereka merasa khawatir Ka'bah yang sudah berusia tua itu akan ambruk, karena saat itu Ka'bah hanya berupa tembok yang tingginya hanya lebih sedikit dari orang yang sedang berdiri (tanpa atap). Maka mereka berniat untuk mengatapinya.
Hal tersebut dilakukan mereka karena ada segolongan orang yang telah mencuri perbendaharaan Ka'bah. Saat itu perbendaharaan Ka'bah hanya disimpan di dalam sebuah sumur (lubang) yang terletak di dalam Ka'bah. Tersebutlah bahwa orang yang ditemukan padanya harta perbendaharaan Ka'bah adalah Duwaik maula Bani Malih ibnu Amr, dari Bani Khuza'ah, lalu tangannya dipotong. Orang-orang menduga bahwa sebenarnya yang mencurinya adalah segolongan orang yang tidak dikenal, lalu mereka meletakkannya di rumah Duwaik.
Tersebut pula bahwa laut telah mendamparkan sebuah perahu besar di Jeddah milik salah seorang pedagang Romawi, lalu perahu itu pecah. Mereka mengambil kayu-kayunya, lalu mereka persiapkan buat mengatapi Ka'bah. Di Mekah pada zaman itu terdapat seorang lelaki Qibti (Mesir sekarang) tukang kayu, lalu ia membuatkan bagi mereka segala sesuatu yang diperlukan untuk merenovasi Ka'bah.
Tersebut pula bahwa ada seekor ular besar keluar dari dalam sumur Ka'bah tempat dilemparkan ke dalamnya segala hadiah yang diberikan kepada Ka'bah setiap harinya. Lalu ular itu menaiki tembok Ka'bah. Ular itu merupakan hewan yang mereka takuti, karena tidak sekali-kali ada seseorang berani mendekati Ka'bah melainkan ular tersebut menegakkan tubuhnya dan siap untuk menerkam seraya membuka rahangnya lebar-lebar, maka mereka sangat takut kepadanya.
Pada suatu hari seperti biasanya ular itu menaiki tembok Ka'bah, tiba-tiba Allah mengirimkan seekor burung pemangsa, lalu burung tersebut menyambar ular itu dan membawanya terbang. Maka orang-orang Quraisy berkata, "Sesungguhnya kita berharap semoga peristiwa ini merupakan pertanda bahwa Allah rida dengan niat kita. Di antara kita ada seorang pekerja (tukang kayu) yang baik, dan kita sekarang mempunyai kayu yang cukup. Sesungguhnya Allah telah membebaskan kita dari ular tersebut."
Ketika tekad mereka telah bulat untuk membongkar Ka'bah dan membangunnya kembali dengan bangunan yang baru, maka berdirilah Ibnu Wahb ibnu Amr ibnu Aiz ibnu Abdu ibnu Imran ibnu Makhzum, lalu ia mengambil sebuah batu dari Ka'bah, tetapi batu itu terlepas dari tangannya dan kembali lagi ke tempatnya semula. Maka ia berkata:
Hai orang-orang Quraisy, janganlah kalian memasukkan ke dalam pembangunannya dari penghasilan kalian kecuali penghasil-an yang halal; tidak boleh dimasukkan ke dalamnya maskawin pelacur, tidak boleh dari hasil jual beli secara riba, dan tidak boleh pula dari hasil perbuatan aniaya terhadap orang lain.
Ibnu Ishaq mengatakan, orang-orang menisbatkan pidato ini kepada Al-Walid ibnul Mugirah ibnu Abdullah ibnu Amr ibnu Makhzum.
Setelah itu orang-orang Quraisy membagi-bagi pekerjaan pembaruan Ka'bah ini ke beberapa bagian; bagian yang ada pintunya diserahkan kepada Bani Abdu Manaf dan Bani Zuhrah, sedangkan bagian yang terletak di antara rukun dan Hajar Aswad serta rukun yamani diserahkan kepada Bani Makhzum dan beberapa suku Quraisy yang bergabung dengan mereka. Bagian atas Ka'bah diserahkan kepada Bani Jumah dan Bani Sahm. Bagian yang ada Hajar Aswad diserahkan kepada Bani Abdud Dar ibnu Qusai, Bani Asad ibnu Abdul Uzza ibnu Qusai serta Bani Addi ibnu Ka'b ibnu Lu-ay; bagian ini dikenal dengan nama Hatim.
Kemudian orang-orang merasa takut untuk meruntuhkannya; dan mereka bercerai-berai, tidak mau melakukannya. Maka Al-Walid ibnul Mugirah berkata, "Akulah yang akan memulai meruntuhkannya." Lalu ia mengambil linggis dan berdiri di atas Ka'bah seraya berkata, "Ya Allah, jangan khawatir. Ya Allah, sesungguhnya kami tidak menghendaki apa-apa kecuali kebaikan belaka." Kemudian ia mulai meruntuhkannya dari bagian dua rukun, sedangkan orang-orang bersikap menunggu malam itu, dan mereka mengatakan, "Kita lihat saja nanti. Jika dia tertimpa sesuatu, maka kita tidak akan meruntuhkannya barang sedikit pun, dan kita biarkan keadaannya seperti semula. Tetapi jika ternyata dia tidak dikenai apa-apa, berarti Allah rida kepada apa yang kita lakukan."
Maka pada pagi harinya malam itu Al-Walid berangkat menuju tempat kerjanya, lalu ia membongkar Ka'bah. Maka orang-orang pun mengikuti jejaknya, hingga sampailah pembongkaran mereka pada bagian fondasi, yaitu fondasi Nabi Ibrahim a.s. Kemudian mereka mencoba mengangkat batu-batu hijau yang bentuknya seperti tombak-tombak yang satu sama lainnya saling mengait.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku seseorang yang meriwayatkan kisah ini, bahwa seorang lelaki Quraisy dari kalangan orang-orang yang bekerja membongkar Ka'bah memasukkan linggisnya di antara kedua batu di antara batu-batu tersebut untuk membongkar salah satu di antaranya dengan linggisnya itu. Ketika batu tersebut bergerak, maka seluruh kota Mekah mengalami gempa, akhirnya mereka tidak berani lagi mengganggu fondasi tersebut.
Ibnu Ishaq mengatakan, setelah itu semua kabilah Quraisy mengumpulkan batu-batuan untuk membangunnya kembali. Masing-masing kabilah mengumpulkan batu-batunya sendiri, hingga sampailah pembangunan mereka pada tempat rukun, yakni tempat Hajar Aswad. Mereka bersengketa mengenainya, masing-masing kabilah ingin meletakkan sendiri Hajar Aswad itu ke tempatnya tanpa kabilah yang lain. Akhirnya mereka berembuk, tetapi hasilnya justru saling bertentangan, dan tiada jalan penyelesaian, bahkan masing-masing pihak bersiap-siap untuk menghadapi perang. Bani Abdud Dir menyuguh-kan sepanci darah, kemudian mereka bersama-sama Bani Addi ibnu Ka'b ibnu Lu-ay mengadakan sumpah setia untuk mati dan mereka memasukkan tangannya masing-masing ke dalam panci yang berisikan darah itu. Lalu mereka menamakannya dengan peristiwa "La'qatud Dam". Orang-orang Quraisy bersikap diam melihat gelagat tersebut selama empat atau lima malam, lalu mereka mengadakan musyawarah dan rapat untuk mencari jalan keluarnya.
Salah seorang ahli riwayat (sejarah) menduga bahwa Abu Umayyah ibnul Mugirah ibnu Abdullah ibnu Amr ibnu Makhzum —yang saat itu merupakan orang Quraisy yang tertua di antara se-muanya— mengatakan, "Hai orang-orang Quraisy, marilah kita adakan suatu sayembara untuk menyelesaikan masalah yang kalian sengketakan ini; barang siapa yang paling dahulu masuk ke dalam masjid di antara kalian, maka dialah yang akan memutuskan perkara kalian ini." Akhirnya mereka setuju dengan pendapat ini.
Ternyata orang yang paling dahulu masuk ke dalam masjid adalah Rasulullah Saw. Ketika mereka melihat kenyataan tersebut, maka mereka berkata, "Orang ini dapat dipercaya (Al-Amin), kami rela dengan keputusannya. Dialah Muhammad." Setelah semuanya masuk ke dalam masjid dan diberitakan bahwa pemenangnya adalah Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda, "Berikanlah sebuah kain kepadaku!" Kain itu diberikan kepadanya, lalu ia mengambil rukun —yakni Hajar Aswad— dan meletakkannya di kain itu oleh tangannya sendiri. Kemudian ia bersabda, "Hendaklah masing-masing suku memegang salah satu dari tepi kain ini, kemudian angkatlah Hajar Aswad ini oleh kalian semua." Maka mereka melakukannya. Dan ketika mereka sampai di tempat Hajar Aswad, maka tangan Nabi sendirilah yang meletakkan Hajar Aswad itu ke tempatnya, kemudian beliau sendiri pulalah yang menyelesaikannya.
Sebelum beliau diangkat menjadi utusan, orang-orang Quraisy menjuluki Nabi Saw. dengan nama "Al-Amin". Setelah mereka selesai dari pembangunan Ka'bah yang telah mereka renovasi menurut yang mereka kehendaki, maka Az-Zubair ibnul Abdul Muttalib mengisahkan kembali kejadian ular yang ditakuti oleh orang-orang Quraisy sewaktu hendak merenovasi Ka'bah. Hal ini diungkapkannya melalui bait-bait syairnya, yaitu:
عَجِبْتُ لَمَّا تَصَوَّبَتِ الْعُقَابُ ... إِلَى الثُّعْبَانِ وَهِيَ لَهَا اضْطِرَابُ
وَقَدْ كَانَتْ يَكُونُ لَهَا كَشِيشٌ ... وَأَحْيَانًا يَكُونُ لَهَا وُثَابُ
إِذَا قُمْنَا إِلَى التَّأْسِيسِ شَدَّتْ ... تُهَيِّبُنُا الْبِنَاءَ وَقَدْ تُهَابُ
فَلَمَّا إن خشينا الرجز  جَاءَتْ ... عُقَابٌ تَتْلَئِبُّ   لَهَا انْصِبَابُ
فَضَمَّتْهَا إِلَيْهَا ثُمَّ خَلَّتْ ... لَنَا الْبُنْيَانَ لَيْسَ لَهُ حِجَابُ
فقمنا حاشدين إلى باء ... لَنَا مِنْهُ الْقَوَاعِدُ وَالتُّرَابُ
غَدَاةَ نُرَفِّعُ التَّأْسِيسَ منه ... وليس على مساوينا   ثِيَابٌ
أَعَزَّ بِهِ الْمَلِيكُ بَنِي لُؤَيٍّ ... فَلَيْسَ لِأَصْلِهِ مِنْهُمْ ذَهَابُ
وَقَدْ حَشَدَتْ هُنَاكَ بَنُو عَدِيٍّ ... وَمُرَّةُ قَدْ تَقَدَّمَهَا كِلَابُ
فَبَوَّأَنَا الْمَلِيكُ بِذَاكَ عِزًّا ... وَعِنْدَ اللَّهِ يُلْتَمَسُ الثَّوَابُ
Aku takjub ketika burung gagak itu menukik ke arah ular besar yang bergerak-gerak itu.
Ular itu mendesis dan adakalanya meloncat-loncat bila kami bangkit hendak merenovasinya, membuat kami semua merasa takut kepadanya.
Ketika kami merasa takut berbuat dosa, tiba-tiba datanglah burung gagak yang menukik dengan buasnya ke arah ular itu.
Ular itu dicengkeramnya, lalu dibawa pergi, hingga tiada hambatan dan halangan lagi bagi kami untuk mengadakan pembangunan.
Lalu kami bangkit menghimpun semua kekuatan kami untuk membongkar tembok dan plesteran bangunan kami.
Di hari kami meninggikan bangunannya, kami semua tak berbaju. Alangkah mulianya Malik ibnu Lu-ay, maka kejayaan kakek moyang mereka masih tetap berlangsung.
Terhimpun di sana Bani Addi dan Bani Murrah yang didahului oleh Bani Kilab.
Maka kami menempalkan Yang Maharaja dengan pembangunan ini di tempal kedudukan Yang Agung, dan hanya kepada Allah-lah pahala diminta.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Ka'bah di masa Nabi Saw. mempunyai panjang (dan lebar) delapan belas hasta dan diberi kelambu dengan kain qubali (katun), setelah itu diberi kelambu dengan kain burdah. Orang yang mula-mula memakaikan kain sutera kepada Ka'bah ialah Al-Hajjaj ibnu Yusuf.
Menurut kami, bangunan Ka'bah masih tetap atas dasar bangunan Quraisy hingga ia mengalami kebakaran di masa permulaan pemerintahan Abdullah ibnuz Zubair, yaitu sesudah tahun 60 Hijriah di akhir masa kekuasaan Yazid ibnu Mu'awiyah ketika mereka mengepung Ibnuz Zubair.
Dalam masa pemerintahan Abdullah ibnuz Zubair, Ka'bah dibongkarnya, kemudian dibangun kembali sesuai dengan fondasi Nabi Ibrahim; dan memasukkan Hijir Ismail ke dalamnya, serta membuat dua buah pintu yang dekat dengan tanah, yaitu pintu sebelah timur dan sebelah barat karena menuruti apa yang didengar oleh Siti Aisyah r.a. dari Rasulullah Saw. Siti Aisyah r.a. Ummul Mu’minin adalah bibi Abdullah ibnuz Zubair. Ia menyampaikan hadis tersebut kepada kemenakannya, lalu kemenakannya (Abdullah ibnuz Zubair) melakukannya.
Keadaan Ka'bah tetap seperti apa yang dibangun oleh Abdullah ibnuz Zubair, hingga Abdullah ibnuz Zubair tewas di tangan Al-Hajjaj, lalu Al-Hajjaj mengembalikan bangunan Ka'bah seperti semula atas perintah dari Abdul Malik ibnu Marwan yang menginstruksikannya untuk melakukan hal tersebut.
Kisah ini disebutkan oleh Imam Muslim ibnul Hajjaj di dalam kitab sahihnya:
حَدَّثَنَا هَنَّاد بْنُ السَّري، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، قَالَ: لَمَّا احْتَرَقَ الْبَيْتُ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ حِينَ غَزَاهَا أَهْلُ الشَّامِ، وَكَانَ مِنْ أَمْرِهِ مَا كَانَ، تَرَكَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ حَتَّى قَدِمَ النَّاسُ الموسمَ يُرِيدُ أَنْ يُجَرِّئَهم -أَوْ يُحزبهم -عَلَى أَهْلِ الشَّامِ، فَلَمَّا صَدَرَ النَّاسُ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَشِيرُوا عليَّ فِي الْكَعْبَةِ، أَنْقُضُهَا ثُمَّ أَبْنِي بِنَاءَهَا أَوْ أُصْلِحُ مَا وَهَى مِنْهَا؟ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَإِنِّي  قَدْ فَرِقَ لِي رَأْيٌ فِيهَا، أَرَى أَنْ تُصْلِحَ مَا وَهى مِنْهَا، وَتَدَعَ بَيْتًا أَسْلَمَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَأَحْجَارًا أَسْلَمَ النَّاسُ عَلَيْهَا، وَبُعِثَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: لَوْ كَانَ أَحَدُهُمُ احْتَرَقَ بَيْتُهُ مَا رَضِيَ حَتَّى يُجَدِّدَهُ، فَكَيْفَ بَيْتُ رَبِّكُمْ، عَزَّ وَجَلَّ؛ إِنِّي مُسْتَخِيرٌ رَبِّي ثَلَاثًا ثُمَّ عَازِمٌ عَلَى أَمْرِي. فَلَمَّا مضَت ثَلَاثٌ أَجْمَعَ رَأْيَهُ عَلَى أَنْ يَنْقُضَهَا. فَتَحَامَاهَا الناسُ أَنْ يَنْزِلَ بِأَوَّلِ النَّاسِ يَصْعَدُ فِيهِ أمْر مِنَ السَّمَاءِ، حَتَّى صَعِدَهُ رَجُلٌ، فَأَلْقَى مِنْهُ حِجَارَةً، فَلَمَّا لَمْ يَره النَّاسُ أَصَابَهُ شَيْءٌ تَتَابَعُوا، فَنَقَضُوهُ حَتَّى بَلَغُوا بِهِ الْأَرْضَ. فَجَعَلَ ابْنُ الزُّبَيْرِ أَعْمِدَةً يَسْتُرُ عَلَيْهَا السُّتُورَ، حَتَّى ارْتَفَعَ بِنَاؤُهُ. وَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: إِنِّي سَمِعْتُ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، تَقُولُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "لَوْلَا أَنَّ النَّاسَ حَدِيثٌ عهدُهم بِكُفْرٍ، وَلَيْسَ عِنْدِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يُقَوِّيني عَلَى بِنَائِهِ، لَكُنْتُ أَدْخَلْتُ فِيهِ مِنَ الْحِجْرِ خَمْسَةَ أَذْرُعٍ، وَلَجَعَلْتُ لَهُ بَابًا يَدْخُلُ النَّاسُ مِنْهُ، وَبَابًا يَخْرُجُونَ مِنْهُ. قَالَ: فَأَنَا أَجِدُ مَا أُنْفِقُ، وَلَسْتُ أَخَافُ النَّاسَ. قَالَ: فَزَادَ فِيهِ خَمْسَةَ أَذْرُعٍ مِنَ الْحِجْرِ، حَتَّى أَبْدَى لَهُ أُسًّا نَظَر النَّاسُ إِلَيْهِ فَبَنَى عَلَيْهِ الْبِنَاءَ. وَكَانَ طُولُ الْكَعْبَةِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ ذِرَاعًا، فَلَمَّا زَادَ فِيهِ اسْتَقْصَرَهُ فَزَادَ فِي طُولِهِ عَشَرَةَ أَذْرُعٍ، وَجَعَلَ لَهُ بَابَيْنِ: أَحَدُهُمَا يُدْخَلُ مِنْهُ، وَالْآخَرُ يُخْرَجُ مِنْهُ. فَلَمَّا قُتِل ابنُ الزُّبَيْرِ كَتَبَ الحجَّاج إِلَى عَبْدِ الْمَلِكِ يُخْبِرُهُ بِذَلِكَ، وَيُخْبِرُهُ أَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ قَدْ وَضَعَ الْبِنَاءَ عَلَى أُسٍّ نَظَرَ إِلَيْهِ الْعُدُولُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عَبْدُ الْمَلِكِ: إِنَّا لَسْنَا مِنْ تَلْطِيخِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فِي شَيْءٍ، أَمَّا مَا زَادَهُ فِي طُولِهِ فَأَقِرَّهُ. وَأَمَّا مَا زَادَ فِيهِ مِنَ الْحِجْرِ فَرُدَّهُ إِلَى بِنَائِهِ، وَسُدَّ الْبَابَ الذِي فَتَحَهُ. فَنَقَضَهُ وَأَعَادَهُ إِلَى بِنَائِهِ
telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Sulaiman, dari Ata yang menceritakan kisah berikut: Ketika Baitullah mengalami kebakaran di masa pemerintahan Yazid ibnu Mu'awiyah, yaitu di saat penduduk Syam memerangi Mekah, maka keadaan Baitullah saat itu dibiarkan saja oleh Abdullah ibnuz Zubair (setelah kebakaran), hingga datanglah orang-orang di musim haji dengan maksud melindungi penduduk Mekah dari serangan penduduk negeri Syam. Ketika orang-orang berkumpul, Abdullah ibnuz Zubair berkata, "Hai manusia, kemukakanlah pendapat kalian kepadaku mengenai Ka'bah ini, apakah aku harus meruntuhkannya, kemudian membangun kembali; ataukah aku harus memperbaiki ba-gian dari Baitullah yang sudah seharusnya diperbaiki?" Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai pendapat yang berbeda mengenainya. Aku berpendapat sebaiknya engkau memperbaiki bagiannya yang harus diperbaiki, kemudian biarkanlah olehmu Baitullah dalam keadaan seperti semula ketika orang-orang mulai masuk Islam dan ketika orang-orang mengangkut batu-batu untuk membangunnya serta ketika Nabi Saw. diutus." Ibnuz Zubair berkata, "Seandainya salah seorang dari mereka mengalami kebakaran rumahnya, pasti dia tidak akan puas sebelum memperbaharuinya. Maka terlebih lagi dengan Baitu Tuhan kalian? Sesungguhnya aku akan beristikharah kepada Tuhanku selama tiga malam, kemudian aku bertekad untuk melakukan urusanku." Setelah berlalu tiga malam, maka bulatlah tekad Ibnuz Zubair untuk membongkarnya (guna perbaikan), tetapi orang-orang tidak berani melakukannya karena takut bila nanti ada azab yang turun dari langit yang akan menimpa orang yang mula-mula melakukannya. Lalu ada seorang lelaki naik ke atas Ka'bah dan melemparkan batu-batunya (Ka'bah). Ketika orang-orang melihatnya tidak apa-apa, maka mereka mengikuti jejaknya, lalu mereka membongkar Ka'bah hingga rata dengan tanah. Lalu Ibnuz Zubair membuat tiang-tiang, kemudian ditutup dengan kain hingga bangunan Ka'bah tinggi.  Ibnuz Zubair berkata, ia pernah mendengar Siti Aisyah r.a. menceritakan hadis berikut dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Seandainya orang-orang bukan masih baru meninggalkan kekufuran, dan aku mempunyai biaya untuk memperbaikinya, niscaya aku akan memasukkan Hijir Ismail ke dalamnya sepanjang lima hasta, dan sungguh aku akan membuat satu pintu baginya untuk orang-orang yang masuk ke dalamnya dan satu pintu lagi untuk orang-orang yang keluar. Ibnu Zubair mengatakan, "Sekarang aku mempunyai biaya dan aku tidak takut kepada manusia." Maka Abdullah ibnuz Zubair melakukan perluasan sepanjang lima hasta dengan memasukkan sebagian dari Hijir Ismail ke dalamnya. Ketika fondasi mulai tampak baginya, orang-orang menyangkalnya, tetapi ia terus meninggikan bangunan di atas fondasi itu. Panjang Ka'bah seluruhnya adalah delapan belas hasta. Ketika Abdullah ibnuz Zubair melakukan pelebaran, biayanya kurang cukup, maka ia hanya menambahkan panjangnya sebanyak sepuluh hasta; dan ia membuat dua buah pintu, salah satunya untuk pintu masuk, sedangkan pintu lainnya untuk jalan keluar. Ketika Ibnuz Zubair tewas, Al-Hajjaj mengirimkan surat kepada Abdul Malik untuk meminta izin kepadanya menyangkut kelangsungan pembangunan Ka'bah, dan ia memberitahukan bahwa Ibnuz Zubair telah membuat tembok di atas fondasi yang mendapat sanggahan dari orang-orang arif Mekah. Maka Abdul Malik membalas suratnya seraya mengatakan, "Sesungguhnya kami tidak ikut campur dengan perombakan yang dilakukan oleh Ibnuz Zubair. Mengenai tambahan panjangnya, aku menyetujuinya; tetapi apa yang ia tambabkan padanya dari sebagian Hijir Ismail, maka kembalikanlah kepada bangunan yang semula, kemudian tutuplah pintu yang dibukanya." Maka Al-Hajjaj merombak Ka'bah dan mengembalikannya kepada bangunan semula.
Hal ini telah diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya melalui Hannad, dari Yahya ibnu Abu Zaidah, dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Ata, dari Ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah dengan sanad yang marfu' sampai kepadanya (Ibnuz Zubair), tetapi Imam Nasai tidak menyebutkan kisahnya.
Pada prinsipnya ketentuan sunnah menyetujui apa yang dilakukan oleh Abdullah Ibnuz Zubair r.a. karena hal itulah yang ingin dilakukan oleh Rasulullah Saw. seandainya saja beliau tidak khawatir akan menimbulkan rasa antipati di dalam hati sebagian orang-orang Mekah, mengingat mereka baru saja masuk Islam dan baru meninggalkan kekufuran.
Akan tetapi, sunnah ini masih belum diketahui oleh Abdul Malik ibnu Marwan. Karena itu, ketika ia mengetahui bahwa Siti Aisyah r.a. memang benar telah meriwayatkannya dari Rasulullah Saw., maka ia berkata, "Alangkah senangnya kami seandainya kami biarkan apa yang telah dilakukannya (Ibnuz Zubair)."
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيج، سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُبَيد بْنِ عُمَيْرٍ وَالْوَلِيدَ بْنَ عَطَاءٍ، يُحَدِّثَانِ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدٍ: وَفَدَ الْحَارِثُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَلَى عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ فِي خِلَافَتِهِ، فَقَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ: مَا أَظُنُّ أَبَا خُبَيبٍ -يَعْنِي ابْنَ الزُّبَيْرِ -سَمِعَ مِنْ عَائِشَةَ مَا كَانَ يَزْعُمُ أَنَّهُ سَمِعَهُ مِنْهَا. قَالَ الْحَارِثُ: بَلَى، أَنَا سَمِعْتُهُ مِنْهَا. قَالَ: سَمِعْتُهَا تَقُولُ مَاذَا؟ قَالَ: قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ قَوْمَكِ اسْتَقْصَرُوا مِنْ بُنْيَانِ الْبَيْتِ، وَلَوْلَا حَدَاثَةُ عَهْدِهِمْ بِالشِّرْكِ أَعَدْتُ مَا تَرَكُوا مِنْهُ، فَإِنْ بَدَا لِقَوْمِكِ مِنْ بَعْدِي أَنْ يَبْنُوهُ فَهَلُمِّي لِأُرِيَكِ مَا تَرَكُوا مِنْهُ". فَأَرَاهَا قَرِيبًا مِنْ سَبْعَةِ  أَذْرُعٍ
Imam Muslim meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, bahwa ia pernah mendengar dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dan Al-Walid ibnu Ata; keduanya menceritakan hadis dari Al-Haris ibnu Abdullah ibnu Abu Rabi'ah, bahwa Abdullah ibnu Ubaid pernah menceritakan kisah berikut: Al-Haris ibnu Ubaidillah mengirimkan dutanya kepada Abdul Malik ibnu Marwan dalam masa pemerintahannya. Maka Abdul Malik berkata, "Aku tidak menduga Abu Habib —yakni Ibnuz Zubair— pernah mendengar dari Siti Aisyah hadis yang ia yakini menerimanya langsung dari Siti Aisyah." Al-Haris berkata, "Memang benar, aku pun pernah mendengarnya dari Siti Aisyah." Abdul Malik bertanya, "Apakah engkau pun pernah mendengar darinya? Coba ceritakan apa yang telah dia katakan!" Al-Haris berkata, Siti Aisyah r.a. pernah bercerita kepadanya bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya kaummu mengurangi sebagian dari bangunan Baitullah. Seandainya bukan karena mereka baru meninggalkan kemusyrikan, niscaya aku akan mengembalikannya kepada bentuk semula yang mereka tinggalkan. Dan jika kaummu kelak sesudahku berniat akan membangunnya kembali, maka kemarilah, akan aku tunjukkan kepadamu batas yang mereka tinggalkan darinya." Lalu Nabi Saw. memperlihatkan kepadanya kekurangan tersebut, yaitu kurang lebih tujuh hasta.
هَذَا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبيد [بْنِ عُمَيْرٍ]. وَزَادَ عَلَيْهِ الْوَلِيدُ بْنُ عَطَاءٍ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَلَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ مَوْضُوعَيْنِ فِي الْأَرْضِ شَرْقِيًّا وَغَرْبِيًّا، وَهَلْ تَدْرِينَ لِمَ كَانَ قَوْمُكِ رَفَعُوا بَابَهَا؟ " قَالَتْ: قُلْتُ: لَا. قَالَ: "تَعَزُّزًا أَلَّا يَدْخُلَهَا إِلَّا مَنْ أَرَادُوا. فَكَانَ الرَّجُلُ إِذَا هُوَ أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَهَا، يَدَعونه حَتَّى (7) يَرْتَقِيَ، حَتَّى إِذَا كَادَ أَنْ يَدْخُلَ دَفَعُوهُ فَسَقَطَ" قَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ: فَقُلْتُ لِلْحَارِثِ: أَنْتَ سَمِعْتَهَا تَقُولُ هَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَنَكَتَ سَاعَةً بِعَصَاهُ، ثُمَّ قَالَ: وَدِدْتُ أَنِّي تَرَكْتُ وَمَا تَحَمَّل.
Ini adalah hadis yang diceritakan oleh Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dan Al-Walid ibnu Ata menambahkan bahwa Nabi Saw. bersabda: Dan sungguh aku akan membuat dua buah pintu padanya yang menempel di tanah, yaitu di sebelah timur dan sebelah barat. Tahukah kamu mengapa kaummu meninggikan pintunya? Siti Aisyah r.a. menjawab, "Tidak." Nabi Saw. bersabda, "Untuk mempersulit agar tiada yang memasukinya kecuali orang yang benar-benar menghendakinya. Apabila ada seorang lelaki yang hendak memasukinya, mereka membiarkannya sampai naik ke atas; dan apabila lelaki itu sudah masuk, maka mereka mendorongnya hingga ia terjatuh." Abdul Malik berkata, "Aku bertanya kepada Al-Haris, 'Apakah engkau pernah mendengar Siti Aisyah mengatakan hal ini'?" Al-Haris menjawab, "Ya." Maka Abdul Malik mengetuk-ngetukkan tongkatnya, sesaat kemudian ia berkata, "Seandainya saja aku membiarkannya dan menuruti apa yang kamu hafalkan itu."
Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Abdu ibnu Humaid, dan telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq; kedua-duanya menceritakan hadis ini dari Ibnu Juraij dengan sanad ini semisal dengan hadis Abu Bakar.
قَالَ: وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَكْرٍ السَّهْمِيُّ، حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ أَبِي صَغيرة، عَنْ أَبِي قَزَعَة أنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ بَيْنَمَا هُوَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ إِذْ قَالَ: قَاتَلَ اللَّهُ ابْنَ الزُّبَيْرِ حَيْثُ يَكْذِبُ عَلَى أمِّ الْمُؤْمِنِينَ، يَقُولُ: سَمِعْتُهَا تَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا عَائِشَةُ، لَوْلَا حِدْثان قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ حَتَّى أَزِيدَ فِيهَا مِنَ الْحِجْرِ، فإنَّ قَوْمَكِ قَصَّرُوا فِي الْبِنَاءِ". فَقَالَ الْحَارِثُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ: لَا تَقُلْ هَذَا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَنَا سَمِعْتُ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُحَدِّثُ هَذَا. قَالَ: لَوْ كنتُ سَمِعْتُهُ قَبْلَ أَنْ أهدمَه لتركته على ما بنى ابن الزبير
Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Bakar As-Sahmi, telah menceritakan kepada kami Hatim ibnu Abu Sagirah, dari Abu Quza'ah: Ketika Abdul Malik ibnu Marwan sedang tawaf di Baitullah, tiba-tiba ia berkata, "Semoga Allah melaknat Ibnuz Zubair. Dia berdusta terhadap Ummul Mu’minin (maksudnya Siti Aisyah) karena dia mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar Siti Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 'Hai Aisyah, seandainya kaummu bukan masih baru meninggalkan kekufurannya, sungguh aku akan membongkar Ka'bah, lalu aku tambahkan kepadanya sebagian dari Hijir (Ismail). Karena sesungguhnya kaummu mengurangi bangunannya.’ Maka Al-Haris ibnu Abdullah ibnu Abu Rabi'ah berkata, "Jangan kamu katakan itu, hai Amirul Mu’minin, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Siti Aisyah berkata demikian." Abdul Malik ibnu Marwan berkata, "Seandainya aku mendengarnya sebelum aku membongkar Ka'bah, niscaya aku akan membiarkannya seperti apa yang telah dibangun oleh Ibnuz Zubair."
Hadis ini sudah dapat dipastikan benar-benar dari Siti Aisyah r.a. karena hadis ini diriwayatkan darinya melalui berbagai jalur periwayatan yang berpredikat sahih, yaitu dari Al-Aswad ibnu Yazid, Al-Haris ibnu Abdullah ibnu Abu Rabi'ah, Abdullah ibnuz Zubair, Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abu Bakar, dan dari Urwah ibnuz Zubair. Maka hal ini menunjukkan bahwa apa yang diperbuat oleh Ibnuz Zubair adalah benar; seandainya dibiarkan, maka hal tersebut memang baik.
Tetapi setelah melihat perkembangannya sampai pada keadaan seperti itu, maka sebagian ulama memakruhkan mengubah Ka'bah dari keadaannya semula, seperti yang disebutkan di dalam riwayat dari Amirul Mu’minin Harun Ar-Rasyid atau ayahnya (yaitu Al-Mahdi). Disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Imam Malik tentang merenovasi Ka'bah dengan tujuan mengembalikannya seperti apa yang telah dilakukan oleh Ibnuz Zubair. Maka Imam Malik berkata kepadanya, "Mengapa engkau ini, wahai Amirul Mu’minin. Janganlah engkau jadikan Ka'bah Allah seperti mainan para raja; bila seseorang dari mereka tidak menyukai bentuknya, lalu dengan seenaknya dia merenovasinya." Maka Ar-Rasyid membiarkannya dan tidak berani melakukannya. Riwayat ini dinukil oleh Iyad dan Imam Nawawi.
Ka'bah akan tetap dalam keadaan seperti sekarang hingga akhir zaman nanti sampai datang suatu masa Ka'bah akan dirusak oleh orang-orang Habsyah yang berkaki pengkor, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يُخَرِّبُ الْكَعْبَةَ ذُو السُّوَيقتين مِنَ الْحَبَشَةِ".
Kelak Ka'bah akan dirusak oleh Zus Suwaiqalaini (orang-orang yang berkaki pengkor) dari kalangan orang-orang Habsyah.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini.
Dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw., disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"كَأَنِّي بِهِ أسودَ أفحَجَ، يَقْلَعُهَا حَجَرًا حَجَرًا".
Seakan-akan aku melihatnya berkulit hitam dan berkaki pengkor (berbentuk huruf o), ia membongkar Ka'bah batu demi batu.
Hadis ini merupakan riwayat Imam Bukhari.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab musnad-nya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الحَرَّاني، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، عن بن أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا  قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "يُخَرِّب الْكَعْبَةَ ذُو السُّوَيْقَتَيْنِ مِنَ الْحَبَشَةِ، وَيَسْلُبُهَا حلْيتها وَيُجَرِّدُهَا مِنْ كُسْوَتِهَا. وَلَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ أُصَيْلِعَ أفَيْدعَ يَضْرِبُ عَلَيْهَا بِمِسْحَاته ومِعْوله"
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Malik Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Kelak Ka'bah akan dirusak oleh orang yang berkaki pengkor dari Habsyah; dia merampok perhiasannya dan melucuti kiswah (kain kelambu)nya. Sekarang aku seakan-akan melihat dia berkepala botak dan betisnya melengkung, ia sedang memukuli Ka'bah dengan belincong dan linggis.
Al-fada' artinya lengkungan antara telapak kaki dan tulang betis. Hal ini —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— terjadi setelah Ya-juj dan Ma-juj muncul, karena berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Sahih Bukhari, dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"ليُحَجَّنَّ البيتُ وليُعْتَمَرَنَّ بَعْدَ خُرُوجِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ"
Sesungguhnya Baitullah masih tetap didatangi oleh jamaah yang melakukan haji dan umrah sesudah munculnya Ya-juj dan Ma-juj.
****************
Firman Allah Swt. yang menceritakan doa Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail:
{رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 128)
Menurut Ibnu Jarir, keduanya bermaksud, "Jadikanlah kami orang yang tunduk kepada perintah-Mu dan patuh dalam ketaatan kepada-Mu. Dalam taat kami kepada-Mu, kami tidak akan mempersekutukan Engkau dengan seorang pun selain Engkau sendiri, dan tidak pula daam beribadah kepada-Mu mempersekutukan-Mu dengan seorang pun selain Engkau sendiri."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Raja' ibnu Hibban Al-Husaini Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Ma'qal ibnu Abdullah, dari Abdul Karim sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Yakni jadikanlah kami orang yang ikhlas kepada Engkau, dan jadikanlah pula di antara anak cucu kami umat yang ikhlas kepada Engkau.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Al-Maqdami, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir, dari Salam ibnu Abu Muti' sehubungan dengan takwil ayat ini: Jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Dikatakan bahwa keduanya memang orang-orang yang tunduk dan patuh kepada Allah, tetapi keduanya memohon hal tersebut kepada Allah hanyalah semata-mata untuk memperteguh dan menguatkan.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini: Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Lalu Allah Swt. menjawabnya, "Aku kabulkan." Dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Maka Allah Swt. menjawabnya, "Aku perkenankan permintaanmu."
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Bahwa yang dimaksud oleh keduanya adalah orang-orang Arab.
Tetapi menurut Ibnu Jarir, pendapat yang benar doa tersebut ditujukan kepada umum, mencakup orang-orang Arab dan bangsa lain, karena sesungguhnya di antara anak cucu Nabi Ibrahim adalah Bani Israil. Allah Swt. telah berfirman:
{وَمِنْ قَوْمِ مُوسَى أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ}
Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan hak, dan dengan yang hak itulah mereka menjalankan keadilan. (Al-A'raf: 159)
Menurut kami apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir tidaklah bertentangan dengan yang dikatakan oleh As-Saddi, mengingat apa yang dikatakan oleh As-Saddi merupakan takhsis dari apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir, dan bukan berarti meniadakan selain mereka. Konteks ayat hanyalah berkaitan dengan bangsa Arab. Untuk itu disebutkan sesudahnya:
{رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ}
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur'an) dan hikmah serta menyucikan mereka. (Al-Baqarah: 129), hingga akhir ayat.
Yang dimaksud dengan rasul dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad Saw., dan Allah Swt. mengutusnya buat mereka. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:
{هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ}
Dialah Yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka. (Al-Jumu'ah: 2)
Sekalipun demikian, bukan berarti risalah yang diemban olehnya hanya untuk orang-orang Arab saja, tetapi juga untuk kulit merah dan kulit hitam. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا}
Katakanlah, "Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua." (Al-A'raf: 158)
Masih banyak ayat lainnya yang bermakna sama sebagai dalil pasti untuk pengertian ini.
Doa ini dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s., dipanjatkan pula oleh hamba-hamba Allah yang mukmin lagi bertakwa, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqah: 74)
Memanjatkan doa seperti ini dianjurkan oleh syariat, karena sesungguhnya termasuk kesempurnaan cinta ibadah kepada Allah Swt. ialah memohon dikaruniai keturunan yang hanya menyembah Allah Swt. semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Karena itu, ketika Allah Swt. berfirman kepada Ibrahim a.s.:
{إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا}
Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124)
Maka Nabi Ibrahim a.s. mengajukan permohonannya, yang disitir oleh firman-Nya seperti berikut
{وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ}
"Dan (saya mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Al-Baqarah: 124)
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan di dalam firman lain-nya, yaitu:
{وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ}
Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.. (Ibrahim: 35)
Telah disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يدعو له"
Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا}
Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. (Al-Baqarah: 128)
Menurut Ibnu Juraij, dari Ata, makna ayat ini ialah: "Tunjukkanlah kepada kami hal tersebut agar kami mengetahuinya."
Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa yang dimaksud dengan manasikana ialah tempat-tempat penyembelihan kurban kami. Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Ata dan Qatadah.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu Basyir, dari Khasif dan Mujahid yang mengatakan sehubungan dengan perkataan Nabi Ibrahim a.s. yang disitir oleh firman-Nya: Tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. (Al-Baqarah: 128) Bahwa Malaikat Jibril datang dan membawanya ke Baitullah, lalu Jibril berkata, "Tinggikanlah fondasi-fondasi ini." Maka Nabi Ibrahim meninggikan bangunan Ka'bah dan merampungkan pembangunannya, lalu Jibril menuntunnya dan membawanya ke Safa. Jibril berkata, "Ini termasuk syiar-syiar Allah." Kemudian Jibril membawanya pergi ke Marwah dan berkata pula, "Ini termasuk syiar-syiar Allah." Lalu Jibril membawanya pergi ke Mina. Ketika sampai di Aqabah, tiba-tiba iblis berdiri di bawah sebuah pohon, maka Jibril berkata, "Bertakbirlah dan lemparlah dia!" Maka Ibrahim bertakbir dan melemparnya. Iblis pergi, lalu berdiri di bawah Jumrah Wusta. Ketika Jibril dan Ibrahim melewatinya, maka Jibril berkata, "Bertakbirlah dan lemparlah dia!" Lalu Ibrahim bertakbir dan melemparnya. Maka iblis yang jahat itu pun pergi; pada mulanya iblis yang jahat itu hendak memasukkan sesuatu ke dalam ibadah haji, tetapi dia tidak mampu. Jibril membawa Ibrahim hingga sampai di Masy'aril Haram, lalu Jibril berkata, "Ini adalah Masy'aril Haram." Kemudian Jibril membawanya lagi hingga sampai di Arafah. Jibril berkata, "Sekarang kamu telah mengenal semua apa yang kuperlihatkan (kuperkenalkan) kepadamu," Kalimat ini dikatakannya sebanyak tiga kali. Ibrahim menjawab, "Ya."
Telah diriwayatkan dari Abul Mijlaz dan Qatadah hal yang semisal dengan riwayat di atas.
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abul Asim Al-Ganawi, dari Abut Tufail, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, sesungguhnya Nabi Ibrahim itu ketika diperlihatkan kepadanya tanda-tanda dan tempat-tempat ibadah haji, setan menampakkan dirinya di tempat sa'i, tetapi kedahuluan oleh Nabi Ibrahim. Kemudian Jibril membawa Ibrahim hingga sampai di Mina, lalu Jibril berkata, "Ini adalah tempat menginap orang-orang." Ketika Jibril dan Ibrahim sampai di Jumrah Aqabah, maka setan menampakkan diri kepada Ibrahim, lalu Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil hingga setan pergi. Lalu Jibril membawanya ke Jumrah Wusta, dan setan kembali menampakkan dirinya kepada Ibrahim, maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil hingga pergi. Kemudian Jibril membawa Ibrahim ke Jumrah Quswa, dan setan kembali menampakkan dirinya kepada Ibrahim, maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil hingga lenyap. Kemudian Jibril membawanya ke Jam'an, lalu berkata kepadanya, "Ini adalah Masy'ar." Setelah itu Jibril membawanya ke Arafah, lalu berkata kepadanya, "Apakah engkau telah mengenalnya?"

Al-Baqarah, ayat 129

{رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (129) }
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur'an) dan hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Allah Swt. memberitakan tentang kesempurnaan doa Nabi Ibrahim buat penduduk Tanah Suci, yaitu dia memohon kepada Allah semoga Allah mengutus untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri. Dengan kata lain, dari keturunan Ibrahim sendiri. Ternyata doa yang mustajabah ini bertepatan dengan takdir Allah yang terdahulu yang telah menentukan Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang rasul untuk bangsa yang ummi dari kalangan mereka sendiri, juga untuk semua bangsa Ajam lainnya dari kalangan manusia dan jin.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ سُوَيد الْكَلْبِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى بْنِ هِلَالٍ السُّلَمِيِّ، عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إني عند الله لخاتم النَّبِيِّينَ، وَإِنَّ آدَمَ لَمُنْجَدِلٌ فِي طِينَتِهِ، وَسَأُنْبِئُكُمْ بِأَوَّلِ ذَلِكَ، دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبِشَارَةُ عِيسَى بِي، وَرُؤْيَا أُمِّي الَّتِي رَأَتْ، وَكَذَلِكَ أُمَّهَاتُ النَّبِيِّينَ يَرَيْنَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Sa'id ibnu Suwaid Al-Kalbi, dari Abdul A’la ibnu Hilal As-Sulami, dari Al-Irbad ibnu Sariyah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya aku di sisi Allah benar-benar tercatat sebagai penutup para nabi, sedangkan Adam benar-benar masih berupa tanah liat.  Dan aku akan menceritakan kepada kalian awal mula dari hal tersebut, yaitu doa ayahku Ibrahim, berita gembira Isa mengenaiku, dan impian diriku yang pernah dilihat oleh ibuku, demikian pula ibu-ibu para nabi semua melihatnya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb dan Lais serta dicatat oleh Abdullah ibnu Saleh, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, kemudian diikuti oleh Abu Bakar ibnu Abu Maryam, dari Sa'id ibnu Suwaid dengan lafaz yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الْفَرَجُ، حَدَّثَنَا لُقْمَانُ بْنُ عَامِرٍ: سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كَانَ أَوَّلُ بَدْء أَمْرِكَ؟ قَالَ: "دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبُشْرَى عِيسَى بِي، وَرَأَتْ أُمِّي أَنَّهُ خَرَجَ مِنْهَا نُورٌ أَضَاءَتْ لَهُ قُصُورُ الشَّامِ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Faraj, telah menceritakan kepada kami Luqman ibnu Amir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Umamah menceritakan hadis berikut:  Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah permulaan dari kejadianmu? Nabi Saw. menjawab, "Doa ayahku Ibrahim, berita gembira Isa mengenaiku, dan ibuku melihat dalam mimpinya telah keluar dari tubuhnya suatu nur yang cahayanya dapat menerangi gedung-gedung negeri Syam"
Makna yang dimaksud ialah, orang yang mula-mula sengaja menyebutnya dan memperkenalkannya kepada umat manusia adalah Ibrahim a.s. Nama beliau Saw. terus-menerus menjadi buah bibir manusia hingga namanya disebutkan dengan jelas oleh penutup nabi-nabi kalangan Bani Israil, yaitu Nabi Isa ibnu Maryam a.s. Ia berkhotbah di kalangan umat Bani Israil. Ucapannya ini disitir oleh firman-Nya:
{إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ}
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku —yaitu Taurat— dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad). (Ash-Shaff: 6)
Karena itulah Nabi Saw. bersabda di dalam hadis ini bahwa dia adalah doa Nabi Ibrahim dan berita gembira yang disampaikan oleh Isa ibnu Maryam.
Sabda Nabi Saw. yang mengatakan, "Dan ibuku telah melihat ada sebuah nur (cahaya) keluar dari tubuhnya yang cahayanya menyinari gedung-gedung negeri Syam." Menurut suatu pendapat, hal itu terjadi di dalam mimpinya ketika ibu Nabi Saw. sedang mengandungnya, lalu beliau menceritakannya kepada kaumnya, maka hal itu tersiar dan terkenal di kalangan mereka. Hal tersebut merupakan pendahuluan dan pengkhususan bagi negeri Syam, bahwa nur Nabi Saw. akan menyinarinya. Hal ini merupakan isyarat yang menunjukkan bahwa agama dan kenabian beliau Saw. kelak akan menetap di negeri Syam. Karena itu, maka negeri Syam di akhir zaman kelak akan menjadi benteng bagi Islam dan para pemeluknya. Di negeri Syam-lah kelak Nabi Isa ibnu Maryam diturunkan, yaitu di kota Damaskus, tepatnya di menara putih sebelah timur. Di dalam sebuah hadis Sahihain (Imam Bukhari dan Imam Muslim) disebutkan:
«لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ»
Segolongan dari umatku masih terus-menerus berjuang membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghina mereka dan tidak pula orang yang menentang mereka hingga datang perintah Allah (hari kiamat), sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian (membela kebenaran).
Di dalam Sahih Bukhari disebutkan:
«وَهُمْ بِالشَّامِ» .
sedangkan mereka tinggal di negeri Syam.
Abu Ja'far Ar-Razi menceritakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, sehubungan dengan takwil firman-Nya: Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka. (Al-Baqarah: 129) Yang dimaksud dengan mereka adalah umat Nabi Muhammad Saw. Lalu dikatakan kepada Ibrahim bahwa permintaannya telah dikabulkan. Apa yang dimintanya itu terbukti di akhir zaman (yakni zaman Nabi Muhammad Saw.). Hal yang sama dikatakan pula oleh As-Saddi dan Qatadah.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ} يَعْنِي: الْقُرْآنَ {وَالْحِكْمَةَ}
Dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan hikmah. (Al-Baqarah: 129)
Yang dimaksud adalah kitab Al-Qur'an. Sedangkan yang dimaksud dengan al-hikmah ialah sunnah.
Demikianlah menurut Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Abu-Malik serta lain-lainnya. Menurut pendapat lain, yang dimaksudkan ialah pengertian dalam agama. Akan tetapi, kedua pendapat tersebut tidaklah bertentangan.
Wayuzakkihim, menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah taat kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur'an) dan hikmah. (Al-Baqarah: 129) Bahwa yang dimaksud ialah mengajarkan kepada mereka Al-Qur'an dan kebaikan agar mereka mengerjakannya, juga keburukan agar mereka menjauhinya, serta menyampaikan kepada mereka bahwa Allah akan rida kepada mereka jika taat kepada-Nya. Demikian itu agar mereka banyak melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi semua hal yang membuat-Nya murka, juga menjauhi perbuatan durhaka terhadap-Nya.
************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}
Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 129)
Yakni Yang Mahaperkasa, tiada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya; dan Dia adalah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, lagi Mahabijaksana dalam semua firman dan perbuatan-Nya. Dia selalu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya karena pengetahuan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.

Al-Baqarah, ayat 130-132

{وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ (130) إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (131) وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (132) }
Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, "Tunduk patuhlah" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam." Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub (Ibrahim berkata), "Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
Ayat-ayat ini merupakan sanggahan dari Allah Swt. terhadap orang-orang kafir atas apa yang telah mereka buat-buat dan hal-hal baru yang mereka adakan berupa kemusyrikan terhadap Allah Swt. dan bertentangan dengan agama Nabi Ibrahim, imam para Hunafa. Karena sesungguhnya dia hanya mengesakan Tuhannya dan tidak menyeru kepada siapa pun selain kepada Tuhannya. Dia tidak mempersekutu-kan-Nya barang sekejap pun dan membebaskan diri dari semua sesembahan selain-Nya. Untuk membela agamanya ini Nabi Ibrahim menentang semua yang disembah oleh kaumnya hingga dia membebaskan dirinya dari ayahnya yang berpihak kepada kaumnya. Nabi Ibrahim mengatakan, seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ* إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ}
Dia berkata, "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Al-An'am: 78-79)
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ* إِلا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ}
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi taufik kepadaku." (Az-Zukhruf: 26-27)
{وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إيَّاهُ فَلَمَا تَبَيَّنَ لَهُ أنَّه عَدُوٌ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إنَّ إبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ}
Dan permintaan ampun Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari-nya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114)
{إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ* شَاكِرًا لأنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ* وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ}
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. (An-Nahl: 120-122)
Mengingat alasan-alasan yang telah disebutkan di atas serta lain-lain-nya yang semakna, maka dikatakan di dalam firman-Nya: Dan tiada yang benci kepada agama Ibrahim melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri. (Al-Baqarah: 130)
Dengan kata lain, dia berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri dengan memperbodohinya, dan buruk dalam berpikir karena meninggalkan perkara yang hak menuju kepada perkara yang batil; mengingat dia menyimpang dari jalan orang yang terpilih di dunia untuk memberi-kan hidayah dan bimbingan sejak dia kecil sampai Allah mengangkatnya menjadi kekasih-Nya, sedangkan dia di akhirat kelak menjadi salah seorang yang saleh lagi berbahagia. Barang siapa yang menyimpang dari jalan dan agama serta tuntunannya, lalu ia mengikuti jalan-jalan kesesatan dan kezaliman, maka perbuatan bodoh apakah yang lebih parah daripada hal ini? Dan perbuatan aniaya manakah yang lebih besar daripada hal ini? Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar perbuatan aniaya yang besar. (Luqman: 13)
Abul Aliyah dan Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi, karena mereka membuat-buat ja-lan yang bukan dari sisi Allah, dan mereka bertentangan dengan aga-ma Nabi Ibrahim dalam hal-hal yang mereka buat-buat itu. Kebenaran dari takwil ini terbukti melalui firman-Nya:
{مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ* إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ}
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang yang beriman. (Ali-Imran: 67-68)
****************
Adapun firman Allah Swt.:
{إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ}
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, "Tunduk patuhlah" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam." (Al-Baqarah: 131)
Yakni Allah memerintahkannya untuk berikhlas kepada-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya; dan ternyata Ibrahim a.s. menunaikan perintah Allah ini seperti apa yang telah dikehendaki oleh-Nya.
*************
Firman Allah Swt:
{وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ}
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Al-Baqarah: 132)
Yaitu Ibrahim mewasiatkan agama yang mengajarkan tunduk patuh kepada Allah ini kepada anak-anaknya; atau damir yang terkandung di dalam lafaz biha kembali kepada ucapan Nabi Ibrahim yang disebutkan oleh firman selanjutnya, yaitu: Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (Al-Baqarah: 131)
Demikian itu karena keteguhan mereka dan kecintaan mereka kepada agama ini. Mereka tetap berpegang teguh kepadanya hingga mening-gal dunia, dan bahkan sebelum itu mereka mewasiatkan kepada anak-anaknya agar berpegang teguh kepada agama ini sesudah mereka. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ}
Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid ini kalimat yang kekal pada keturunannya. (Az-Zukhruf: 28)
Sebagian ulama Salaf membaca lafaz Ya'qub dengan bacaan nasab —yakni Ya'quba— karena di-'ataf-kan kepada lafaz banihi, seakan-akan Ibrahim mewasiatkannya kepada anak-anaknya, juga kepada cucunya (yaitu Ya'qub ibnu Ishaq) yang pada saat itu memang Ya'qub menghadirinya.
Imam Qusyairi —menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Qurtubi darinya— menduga bahwa Ya'qub hanya dilahirkan sesudah Nabi Ibrahim wafat. Akan tetapi, pendapat ini memerlukan dalil yang sahih. Menurut pendapat yang kuat —hanya Allah yang mengetahuinya— Ishaq mempunyai anak Ya'qub sewaktu Nabi Ibrahim dan Sarah masih hidup, karena berita gembira yang disebutkan pada ayat berikut ditujukan kepada keduanya (Nabi Ibrahim dan Siti Sarah), yaitu firman-Nya:
{فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ}
Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub. (Hud: 71)
Ya'qub dapat pula dibaca nasab, yakni Ya'quba, atas dasar mencabut huruf khafad. Sekiranya Ya'qub masih belum lahir di masa keduanya masih hidup, niscaya penyebutan Ya'qub di antara anak-anak Ishaq tidak mempunyai faedah yang berarti. Lagi pula karena Allah Swt. telah berfirman di dalam surat Al-'Ankabut, yaitu:
{وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ وَآتَيْنَاهُ أَجْرَهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ}
Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub, dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya. (Al-'Ankabut: 27) hingga akhir ayat.
Allah Swt telah berfirman di dalam ayat yang lain, yaitu:
{وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ نَافِلَةً}
Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya'qub sebagai suatu anugerah (dari Kami). (Al-Anbiya: 72)
Hal ini semua menunjukkan bahwa Nabi Ya'qub memang telah ada semasa Nabi Ibrahim a.s. masih hidup. Dan sesungguhnya Nabi Ibrahimlah yang mula-mula membangun Baitul Maqdis, seperti yang disebutkan oleh kitab-kitab terdahulu. Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis melalui Abu Zar r.a. yang menceritakannya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ أَوَّلُ؟ قَالَ: "الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ"، قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "بَيْتُ الْمَقْدِسِ". قُلْتُ: كَمْ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: "أَرْبَعُونَ سَنَةً"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, masjid manakah yang mula-mula dibangun di muka bumi? Nabi Saw. menjawab, "Masjidil Haram" Aku bertanya, "Kemudian masjid mana lagi?" Nabi Saw. menjawab, "Baitul Maqdis." Aku bertanya, "Berapa lamakah jarak di antara keduanya? Nabi Saw. menjawab, "Empat puluh tahun," hingga akhir hadis.
Ibnu Hibban menduga bahwa jarak masa antara Nabi Sulaiman —yang menurutnya dialah yang membangun Baitul Maqdis, padahal kenyataannya dia hanya merenovasi dan memperbaharuinya sesudah mengalami banyak kerusakan, lalu dia menghiasinya dengan berbagai macam hiasan— dengan Nabi Ibrahim adalah empat puluh tahun. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Ibnu Hibban yang menjadi bumerang baginya, karena sesungguhnya jarak di antara Nabi Ibrahim dan Nabi Sulaiman lebih dari ribuan tahun.
Lagi pula sesungguhnya wasiat Ya'qub kepada anak-anaknya akan disebutkan dalam ayat berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa Ya'qub adalah termasuk orang yang berwasiat (bukan orang yang menerima wasiat. Dengan kata lain, bacaan rafa'-lah yang lebih kuat, yaitu Ya'qubu).
******************
Firman Allah Swt.:
{يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ}
Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam. (Al-Baqarah: 132)
Artinya, berbuat baiklah selama kalian hidup, dan berpegang teguhlah kalian kepada agama ini agar kalian diberi rezeki wafat dengan berpegang teguh padanya; karena sesungguhnya manusia itu biasanya meninggal dunia dalam keadaan memeluk agama yang dijalankannya, dan kelak dibangkitkan berdasarkan agama yang ia bawa mati. Sesungguhnya Allah telah memberlakukan kebiasaan-Nya, bahwa barang siapa yang mempunyai tujuan baik, maka Dia akan menuntunnya ke arah kebalkan itu dan memudahkan jalan baginya ke arah kebaikan. Barang siapa yang berniat melakukan kesalehan, maka Allah akan meneguhkannya dalam kesalehan itu. Hal ini tidaklah bertentangan dengan sebuah hadis sahih yang mengatakan:
"إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا بَاعٌ أَوْ ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلَهَا . وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا بَاعٌ أَوْ ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلَهَا"؛
Sesungguhnya seseorang itu benar-benar mengerjakan amal perbuatan ahli surga, hingga jarak antara dia dan surga hanya tinggal satu depa lagi atau satu hasta lagi; tetapi takdir menghendaki yang lain, akhirnya dia melakukan amal perbuatan ahli neraka dan masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya seseorang itu benar-benar mengerjakan amal perbuatan ahli neraka, hingga jarak amara dia dan neraka hanya tinggal satu depa atau satu hasta lagi; tetapi takdir menghendaki yang lain, maka akhirnya dia mengamalkan amalan ahli surga dan masuklah ia ke dalam surga.
Dikatakan tidak bertentangan karena di dalam riwayat yang lain dari hadis ini dijelaskan bahwa amal perbuatan ahli surga itu menurut apa yang tampak di mata manusia, dan amal ahli neraka tersebut menurut apa yang tampak di mata manusia. Karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman dalam ayat lainnya, yaitu:
{فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى* وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى* وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى* وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (Al-Lail: 5-10)

Al-Baqarah, ayat 133-134

{أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (133) تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ (134) }
Adakah kalian hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, "Apa yang kalian sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya." Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah diusahakannya dan bagi kalian apa yang sudah kalian usahakan, dan kalian tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Melalui ayat-ayat ini Allah Swt. membantah orang-orang musyrik Arab dari kalangan anak-anak Ismail dan orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil (yaitu Ya'qub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim a.s.), bahwa Ya'qub ketika menjelang kematiannya berwasiat kepada anak-anak-nya agar menyembah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Untuk itu ia berkata seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ}
"Apa yang kalian sembah sesudahku?' Mereka menjawab, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq." (Al-Baqarah: 133)
Penyebutan Nabi Ismail yang dimasukkan ke dalam kategori ayah dari Nabi Ya'qub termasuk ke dalam ungkapan taglib (prioritas), mengingat Nabi Ismail adalah paman Nabi Ya'qub. An-Nahhas mengatakan, orang-orang Arab biasa menyebut paman dengan sebutan ayah. Demikianlah menurut apa yang dinukil oleh Imam Qurtubi.
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang menjadikan kakek sama kedudukannya dengan ayah, dan kakek dapat menghalangi hak warisan saudara-saudara, seperti pendapat yang dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari darinya melalui jalur Ibnu Abbas dan Ibnuz Zubair. Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa pendapat ini tidak diperselisihkan. Siti Aisyah Ummul Mu’minin sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq ini. Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan Al-Basri, Tawus, dan Ata. Pendapat inilah yang dianut oleh mazhab Hanafi dan bukan hanya seorang ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf.
Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad menurut pendapat yang terkenal di kalangan mazhabnya mengatakan bahwa kakek ber-muqasamah (berbagi-bagi warisan) dengan saudara-saudara si mayat. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Usman, Ali, Ibnu Mas'ud, Zaid ibnu Sabit, dan sejumlah ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf. Pendapat inilah yang dipilih oleh dua murid terkemuka Imam Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad ibnul Hasan. Penjelasan dari masalah ini akan dikemukakan di lain pembahasan dalam ayat yang menyangkut pembagian warisan.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "liahan wahidan," artinya kami mengesakan-Nya sebagai Tuhan kami, dan kami tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya di samping Dia.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "Wanahnu lahu muslimun," artinya kami tunduk patuh kepada-Nya. Pengertian ini sama dengan apa yang terkandung di dalam firman Allah Swt.:
{وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ وسلم}
Padahal kepada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang di Langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan. (Ali Imran: 83)
Pada garis besamya Islam merupakan agama semua para nabi, sekalipun syariatnya bermacam-macam dan tuntunannya berbeda-beda, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah oleh kamu sekalian akan Akur (Al-Anbiya: 25)
Ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengutarakan makna ini banyak jumlahnya. Di antara hadis-hadis tersebut ialah sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"نَحْنُ مَعْشَرَ الْأَنْبِيَاءِ أَوْلَادُ عَلات دِينُنَا وَاحِدٌ"
Kami para nabi adalah anak-anak dari ibu yang berbeda-beda, agama kami satu (sama, yakni Islam).
***************
Firman Allah Swt:
{تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ}
Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya, dan bagi kalian apa yang sudah kalian usahakan. (Al-Baqarah: 134)
Dengan kata lain, sesungguhnya orang-orang terdahulu dari kalangan kakek moyang kalian yang menjadi nabi-nabi dan orang-orang saleh, tiada manfaatnya bagi kalian ikatan kalian dengan mereka jika kalian sendiri tidak mengerjakan kebaikan yang manfaatnya justru kembali kepada kalian. Karena sesungguhnya bagi mereka amalan mereka, dan bagi kalian amalan kalian sendiri. Dalam ayat berikutnya disebutkan:
{وَلا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Dan kalian tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 134)
Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Itu adalah umat yang lalu. (Al-Baqarah: 134) Bahwa yang dimaksud adalah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishaq, Nabi Ya'qub, dan anak cucunya. Karena itu, di dalam sebuah asar disebutkan:
مَنْ أَبْطَأَ به عمله لم يسرع به نسبه
Barang siapa yang lamban amalnya karena mengandalkan kepada keturunan, maka keturunan (yang dibangga-banggakannya) itu tidak akan cepat menyusulnya.
Akan tetapi, adakalanya suatu asar dikemukakan sebagai suatu bagian dari makna yang terkandung di dalam hadis marfu', mengingat asar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim secara marfu' melalui hadis yang panjang dari Abu Hurairah r.a.

Al-Baqarah, ayat 135

{وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (135) }
Dan mereka berkata, "Hendaklah kalian menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kalian mendapat petunjuk." Katakanlah, "Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik."
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Suria Al-A'war pernah berkata kepada Rasulullah Saw., "Tiadalah petunjuk itu melainkan agama yang kami peluk. Maka ikutlah kami, hai Muhammad, niscaya kamu mendapat petunjuk." Dan orang-orang Nasrani mengatakan hal yang serupa, maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan mereka berkata, "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk." (Al-Baqarah: 135)
****************
Firman Allah Swt.:
{بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا}
Katakanlah, "Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus.” (Al-Baqarah: 135)
Yakni kami tidak mau mengikuti agama Yahudi dan agama Nasrani yang kalian serukan kepada kami agar kami mengikutinya, melainkan kami hanya mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus. Hanifah artinya lurus menurut Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Ais ibnu Jariyah; tetapi menurut Khasif, dari Mujahid, artinya ikhlas.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa makna hanifan ialah hajjan (yang berhaji). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Al-Hasan, Ad-Dahhak, Atiyyah, dan As-Saddi.
Abul Aliyah mengatakan bahwa al-hanif artinya orang yang menghadap ke arah Baitullah dalam salatnya, dan ia berpendapat bahwa melakukan haji ke Baitullah hanyalah diwajibkan bila orang yang bersangkutan sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.
Mujahid dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa hanifan artinya orang yang diikuti tuntunannya.
Abu Qilabah mengatakan bahwa al-hanif artinya orang yang beriman kepada semua rasul, dari rasul yang pertama hingga rasul yang terakhir.
Qatadah mengatakan, al-hanifiyyah ialah suatu kesaksian yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah; termasuk ke dalam ajaran ini ialah haram menikahi ibu, anak perempuan, bibi dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, dan semua hal lainnya yang diharamkan oleh Allah Swt. Termasuk ajaran agama al-hanif ialah berkhitan.

Al-Baqarah, ayat 136

{قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنزلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (136) }
Katakanlah (hai orang-orang mukmin), "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak cucu-nya; dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya."
Melalui ayat ini Allah Swt. memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk beriman kepada Al-Qur'an secara rinci yang diturunkan kepada mereka melalui Rasul-Nya (yaitu Nabi Muhammad Saw.) dan beriman kepada semua kitab yang pernah diturunkan kepada para nabi terdahulu secara ijmal (globalnya). Dalam ayat ini disebutkan orang-orang yang tertentu dari kalangan para rasul, sedangkan yang lainnya disebutkan secara global. Hendaknya mereka tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para rasul itu, bahkan mereka beriman kepada semua rasul. Janganlah mereka seperti orang-orang yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا * أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا}
Dan mereka bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, "Kami beriman kepada yang sebagian (dari rasul-rasul itu), dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)," serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (lain) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. (An-Nisa: 150-151), hingga akhir ayat.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَر، أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قال: كان أهل الكتاب يقرؤون التَّوْرَاةَ بالعبْرَانيَّة وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذبوهم، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا"
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Amrah, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Mubarak, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa orang-orang ahli kitab acapkali membacakan kitab Taurat dengan bahasa Ibrani, lalu mereka menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Janganlah kalian percaya kepada ahli kitab, jangan pula kalian mendustakannya, melainkan katakanlah, "Kami beriman kepada Allah dan kepada kitab yang diturunkan Allah."
Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai meriwayatkan melalui hadis Usman ibnu Hakim, dari Sa'id ibnu Yasar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa kebanyakan bacaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dalam dua rakaat sebelum salat Subuh ialah firman-Nya: Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami. (Al-Baqarah: 136), hingga akhir ayat. Sedangkan dalam rakaat yang keduanya adalah firman-Nya: Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah). (Ali Imran: 52)
Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah mengatakan bahwa Asbat adalah anak-anak Nabi Ya'qub, semuanya berjumlah dua belas orang; masing-masing orang menurunkan suatu umat, maka mereka dinamakan Asbat.
Khalil ibnu Ahmad dan lain-lainnya mengatakan bahwa Asbat menurut istilah orang-orang Bani Israil sama halnya dengan istilah kabilah menurut kalangan Bani Ismail (orang-orang Arab).
Az-Zamakhsyari di dalam tafsir Kasysyaf-nya mengatakan bahwa Asbat adalah cucu-cucu Nabi Ya'qub alias keturunan dari anak-anaknya yang dua belas orang. Ar-Razi menukil pendapat ini darinya, dan ia tidak menyangkalnya.
Imam Bukhari mengatakan bahwa Asbat adalah kabilah-kabilah Bani Israil. Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan Asbat adalah suku-suku Bani Israil. Yang dimaksud dengan apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari kalangan mereka ialah kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada mereka, seperti yang dikatakan oleh Musa a.s. kepada mereka (Bani Israil) melalui firman-Nya:
{اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}
Ingatlah kalian nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka. (Al-Maidah: 20), hingga akhir ayat.
Allah Swt. telah berfirman:
{وَقَطَّعْنَاهُمُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أَسْبَاطًا أُمَمًا}
Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku. (Al-A'raf: 160)
Al-Qurtubi mengatakan, mereka dinamakan Asbat yang diambil dari kata sibt artinya berturut-turut (bertumpuk-tumpuk), maka mereka merupakan sebuah jamaah yang besar.
Menurut pendapat yang lain, bentuk asalnya adalah sabat yang artinya pohon. Karena jumlah mereka yang banyak, maka keadaan mereka diserupakan dengan pohon (yang banyak cabangnya); bentuk tunggalnya adalah sabatah.
Az-Zujaj mengatakan, pengertian tersebut dijelaskan oleh sebuah asar yang diceritakan kepada kami oleh Muhammad ibnu Ja'far Al-Anbari, telah menceritakan kepada kami Abu Najid Ad-Daqqaq, telah menceritakan kepada kami Al-Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seluruh nabi dari kalangan Bani Israil kecuali sepuluh orang nabi, yaitu Idris, Nuh, Hud, Saleh, Syu'aib, Ibrahim, Ishaq, Ya'qub, Ismail, dan Muhammad; semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepada mereka semua.
Al-Qurtubi mengatakan, as-sibt artinya jamaah dan kabilah yang berasal dari satu keturunan.
Qatadah mengatakan, Allah memerintahkan kaum mukmin untuk beriman kepada-Nya dan membenarkan kitab-kitab-Nya serta seluruh rasul-Nya.
Sulaiman ibnu Habib mengatakan, sesungguhnya kita hanya di-perintahkan beriman kepada kitab Taurat dan kitab Injil, tetapi tidak diperintahkan untuk mengamalkan apa yang ada di dalamnya.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُصْعب الصُّورِيُّ، حَدَّثَنَا مُؤَمَّل، حَدَّثَنَا عبيد الله بْنُ أَبِي حُمَيْدٍ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ مَعْقل بْنِ يَسَارٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "آمِنُوا بِالتَّوْرَاةِ وَالزَّبُورِ وَالْإِنْجِيلِ وليسَعْكمُ الْقُرْآنُ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhammad ibnu Mus'ab As-Suwari, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Humaid, dari Abul Malih, dari Ma'qal ibnu Yasar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Imanlah kepada Taurat, Zabur, dan Injil; dan amalkanlah Al-Qur'an oleh kalian.

Al-Baqarah, ayat 137-138

{فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (137) صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ (138) }
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sibgah Allah. Dan siapakah yang lebih baik sibgahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.
Allah Swt. berfirman, "Maka jika mereka beriman," yakni orang-orang kafir dan ahli kitab serta lain-lainnya mau beriman, "kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya," hai orang-orang mukmin, yakni mereka beriman kepada semua kitab dan rasul Allah, serta tidak membedakan seorang pun di antara mereka, "sungguh mereka telah mendapat petunjuk," yakni mereka telah menempuh jalan yang hak dan mendapat bimbingan ke arahnya.
Allah Swt. berfirman, "Dan jika mereka berpaling," yakni dari jalan yang benar dan menempuh jalan yang batil, sesudahnya hujah mematahkan alasan mereka, "sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu), maka Allah akan memelihara kamu dari mereka," yakni Allah akan menolongmu dalam menghadapi mereka dan Dia akan memberikan kemenangan kepada kalian atas mereka, "Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Yunus ibnu Abdul A’la telah membacakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Abu Na' im yang menceritakan bahwa mushaf Usman ibnu Affan dikirimkan kepada sebagian khulafa untuk dikoreksi. Ziad melanjutkan kisahnya, "Maka aku bertanya kepadanya (Nafi' ibnu Abu Na'im), 'Sesungguhnya orang-orang mengatakan bahwa mushaf (kopi asli Usman ibnu Affan) berada di atas pangkuannya ketika ia dibunuh, lalu darahnya menetesi mushaf yang ada tulisan firman-Nya: Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 137)
Nafi' mengatakan, "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri darah itu ada yang menetes pada ayat ini, tetapi agak pudar karena berlalunya masa."
Firman Allah Swt., "Sibgah Allah." Menurut Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan sibgah ialah agama Allah. Hal yang semakna telah diriwayatkan pula dari Mujahid, Abul Aliyah, Ikrimah, Ibrahim, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Abdullah ibnu Kasir, Atiyyah Al-Aufi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi.
Lafaz sibgah dibaca nasab, yakni sibgatallahi, adakalanya karena sebagai igra' (anjuran), seperti pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{فِطْرَتَ اللَّهِ}
(tetaplah atas) fitrah Allah. (Ar-Rum: 30)
Dengan demikian, berarti makna sibgatallahi ialah tetaplah kalian pada sibgah (agama) Allah itu.
Ulama yang lain mengatakan bahwa lafaz sibgah dibaca nasab karena berkedudukan sebagai badal dari firman-Nya: (kami mengikuti) agama Ibrahim. (Al-Baqarah: 135)
Menurut Imam Sibawaih, lafaz sibgah dibaca nasab karena menjadi masdar mu'akkid dari fi'il yang terkandung di dalam firman-Nya: Kami beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 136); Perihalnya sama dengan firman-Nya: Allah telah membuat suatu janji. (An-Nisa: 122)
Telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih melalui riwayat Asy'as ibnu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالُوا: يَا مُوسَى، هَلْ يَصْبُغ رَبُّكَ؟ فَقَالَ: اتَّقُوا اللَّهَ. فَنَادَاهُ رَبُّهُ: يَا مُوسَى، سَأَلُوكَ هَلْ يَصْبُغ رَبُّكَ؟ فَقُلْ: نَعَمْ، أَنَا أصبُغ الْأَلْوَانَ: الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ وَالْأَسْوَدَ، وَالْأَلْوَانُ كُلُّهَا مِنْ صَبْغي"
Sesungguhnya orang-orang Bani Israil pernah bertanya, "Wahai utusan Allah, apakah Tuhanmu melakukan celupan?" Musa a.s. menjawab, "Jangan kalian sembarangan, bertakwalah kepada Allah! Maka Tuhannya menyerunya, "Hai Musa, apakah mereka menanyakan kepadamu bahwa benarkah Tuhanmu melakukan celupan? Katakanlah, Benar, Aku mencelup berbagai warna, ada yang merah, ada yang putih, dan ada yang hitam, semuanya adalah hasil celupan-Ku." Allah Swt menurunkan kepada Nabi-Nya ayat berikut, yaitu firman-Nya: Sibgah Allah. Dan siapakah yang lebih baik sibgah-nya daripada Allah! (Al-Baqarah: 138)
Demikianlah menurut apa yang disebutkan di dalam riwayat Ibnu Murdawaih secara marfu’, sedangkan sanad ini menurut riwayat Ibnu Abu Hatim berpredikat mauquf, tetapi sanad Ibnu Abu Hatim lebih dekat kepada predikat marfu' jika sanadnya sahih.

Al-Baqarah, ayat 139-141

{قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ (139) أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (140) تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ (141) }
Katakanlah, "Apakah kalian memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian; bagi kami amalan kami, dan bagi kalian amalan kalian, dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati; ataukah kalian (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani? Katakanlah, ''''Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?" Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kalian kerjakan. Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya, dan bagi kalian apa yang kalian usahakan; dan kalian tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Melalui ayat ini Allah Swt. memberikan petunjuk kepada Nabi-Nya bagaimana cara menangkis hujah orang-orang musyrik. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ}
Katakanlah, "Apakah kalian memperdebatkan dengan kami tentang Allah!" (Al-Baqarah: 139)
Maksudnya, apakah kalian memperdebatkan dengan kami tentang mengesakan Allah, ikhlas kepada-Nya, taat dan mengikuti semua perintah-Nya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya?
{وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ}
padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 139)
Yakni Dialah yang mengatur kami dan juga kalian, Dia pula yang berhak di sembah secara ikhlas sebagai Tuhan yang tiada sekutu bagi-Nya.
{وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ}
Bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian. (Al-Baqarah: 139)
Dengan kata lain, kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah, dan kalian berlepas diri dari kami. Makna ayat ini sama dengan apa yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ}
Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah, "Bagiku pekerjaanku, dan bagi kalian pekerjaan kalian. Kalian berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan, dan aku pun berlepas diri terhadap apa yang kalian kerjakan." (Yunus: 41)
{فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ}
Kemudian jika mereka mendebat kamu, maka katakanlah, "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." (Ali Imran: 20), hingga akhir ayat.
Allah Swt. menceritakan apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim a.s. melalui firman-Nya:
{وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ}
Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata, "Apakah kalian hendak membantahku tentang Allah! (Al-An'am: 80), hingga akhir ayat.
Allah Swt. telah berfirman pula:         
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ}
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah). (Al-Baqarah: 258), hingga akhir ayat.
**************
Di dalam ayat berikut ini Allah Swt berfirman:
{ [وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ] وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ}
Bagi kami amalan kami, dan bagi kalian amalan kalian, dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati. (Al-Baqarah: 139)
Yakni ikhlas dalam ibadah dan menghadap kepada-Nya.
Kemudian Allah Swt. membantah dakwaan mereka yang mengakui bahwa Nabi Ibrahim dan nabi-nabi serta asbat yang disebutkan sesudahnya berada dalam agama mereka, yakni adakalanya agama Yahudi atau agama Nasrani. Karena itulah disebutkan di dalam firman selanjutnya:
{قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ}
Katakanlah, "Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah! (Al-Baqarah: 140)
Dengan kata lain, bahkan Allahlah yang lebih mengetahui. Sesungguhnya Allah Swt. telah memberitahukan bahwa mereka bukanlah Yahudi, bukan pula Nasrani. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ}
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. (Ali Imran: 67), dan ayat yang sesudahnya.
****************
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ}
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya. (Al-Baqarah: 140)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka (orang-orang ahli kitab) selalu membaca Kitabullah yang diturunkan kepada mereka, bahwa sesungguhnya agama yang diakui oleh Allah adalah agama Islam, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah; dan Ibrahim, Ismail, Ishaq dan Ya'qub serta asbat, mereka semua berlepas diri dari Yahudi dan Nasrani. Lalu mereka mempersaksikan hal tersebut kepada Allah dan mengakuinya kepada Allah atas diri mereka sendiri, tetapi mereka menyembunyikan kesaksian Allah yang ada pada mereka menyangkut masalah ini.
***************
Firman Allah Swt:
{وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ}
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 140)
Hal ini merupakan peringatan dan ancaman keras, yakni ilmu Allah meliputi semua amal perbuatan kalian dan kelak Dia akan membalas-kannya terhadap kalian.
************
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya, dan bagi kalian apa yang kalian usahakan; dan kalian tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 141)
Khalat, telah lalu.
Laha ma kasabat, walakum ma kasabtum, bagi mereka amal mereka dan bagi kalian amal kalian.
Wata tus-aluna 'amma kanu ya' maluna, tiada gunanya bagi kalian (ahli kitab) nasab kalian yang berkaitan dengan mereka bila kalian tidak mengikuti jejak mereka. Janganlah kalian teperdaya (terlena) hanya karena kalian mempunyai kaitan nasab dengan mereka, sebelum kalian mengikuti jejak mereka dalam menaati perintah-perintah Allah dan mengikuti rasul-rasul yang diutus sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Karena sesungguhnya orang yang ingkar kepada seorang nabi berarti ia ingkar terhadap seluruh rasul. Terlebih lagi jika ingkar kepada penghulu para nabi dan penutup para rasul, yaitu utusan Tuhan semesta alam kepada semua makhluk manusia dan jin dari kalangan kaum mukallaf. Semoga salawat Allah dan salam-Nya terlimpah kepadanya, juga kepada semua Nabi Allah.
*********************************
Akhir Juz 1
*********************************

Al-Baqarah, ayat 142-143

{سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (142) وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (143) }
Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata, "Apakah yang memalingkan mereka dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."
Menurut Az-Zujaj, yang dimaksud dengan Sufaha dalam ayat ini ialah orang-orang musyrik Arab. Menurut Mujahid adalah para rahib Yahudi. Sedangkan menurut As-Saddi, mereka adalah orang-orang munafik. Akan tetapi, makna ayat bersifat umum mencakup mereka semua.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيم، سَمِعَ زُهَيراً، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْبَرَاءِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ ستَّة عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلَاةٍ صَلَاهَا، صَلَاةَ الْعَصْرِ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ. فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ صَلَّى مَعَهُ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ الْمَسْجِدِ وَهُمْ رَاكِعُونَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صليتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قبَل مَكَّةَ، فدارُوا كَمَا هُمْ قَبِلَ الْبَيْتِ. وَكَانَ الذِي مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوّل قِبَلَ الْبَيْتِ رِجَالًا قُتِلُوا لَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im; ia pernah mendengar Zubair menceritakan hadis berikut dari Abu Ishaq, dari Al-Barra r.a.,bahwa Rasulullah Saw. salat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, padahal dalam hatinya beliau lebih suka bila kiblatnya menghadap ke arah Baitullah Ka'bah. Mula-mula salat yang beliau lakukan (menghadap ke arah kiblat) adalah salat Asar, dan ikut salat bersamanya suatu kaum. Maka keluarlah seorang lelaki dari kalangan orang-orang yang salat bersamanya, lalu lelaki itu berjumpa dengan jamaah suatu masjid yang sedang mengerjakan salat (menghadap ke arah Baitul Maqdis), maka ia berkata, "Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku telah salat bersama Nabi Saw. menghadap ke arah Mekah (Ka'bah)." Maka jamaah tersebut memutarkan tubuh mereka yang sedang salat itu ke arah Baitullah. Tersebutlah bahwa banyak lelaki yang meninggal dunia selama salat menghadap ke arah kiblat pertama sebelum dipindahkan ke arah Baitullah. Kami tidak mengetahui apa yang harus kami katakan mengenai mereka. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143)
Imam Bukhari menyendiri dalam mengetengahkan hadis ini melalui sanad tersebut. Imam Muslim meriwayatkannya pula, tetapi melalui jalur sanad yang lain.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan hadis berikut, bahwa pada mulanya Rasulullah Saw. salat menghadap ke arah Baitul Maqdis dan sering menengadahkan pandangannya ke arah langit, menunggu-nunggu perintah Allah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144) Lalu kaum laki-laki dari kalangan kaum muslim mengatakan, "Kami ingin sekali mengetahui nasib yang dialami oleh orang-orang yang telah mati dari kalangan kami sebelum kami dipalingkan ke arah kiblat (Ka'bah), dan bagaimana dengan salat kami yang menghadap ke arah Baitul Maqdis." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah:143) Kemudian berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia; mereka adalah Ahli Kitab, yang disitir oleh firman-Nya: Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? (Al-Baqarah: 142)  Maka Allah menurunkan firman-Nya: Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata. (Al-Baqarah: 142), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah salat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, sedangkan hati beliau Saw. lebih suka bila diarahkan menghadap ke Ka'bah, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144); Al-Barra melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Nabi Saw. menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Maka berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia, yaitu orang-orang Yahudi, yang disitir oleh firman-Nya: Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? (Al-Baqarah: 142) Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:  Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." (Al-Baqarah: 142)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah. Allah memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya). Maka orang-orang Yahudi gembira melihatnya. dan Rasulullah Saw. menghadap kepadanya selama belasan bulan. padahal di dalam hati beliau Saw. sendiri lebih suka bila menghadap ke arah kiblat Nabi Ibrahim. Untuk itu. beliau Saw. selalu berdoa kepada Allah serta sering menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke arahnya. (Al-Baqarah: 144) Orang-orang Yahudi merasa curiga akan hal tersebut, lalu mereka mengatakan: Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? (Al-Baqarah: 142) Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." (Al-Baqarah: 142)
Banyak hadis yang menerangkan masalah ini, yang pada garis besarnya menyatakan bahwa pada mulanya Rasulullah Saw. menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis. Beliau Saw. ketika di Mekah selalu salat di antara dua rukun yang menghadap ke arah Baitul Maqdis. Dengan demikian, di hadapannya ada Ka'bah; sedangkan ia menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis (Ycaissalem). Ketika beliau Saw. hijrah ke Madinah, beliau tidak dapat menghimpun kedua kiblat itu; maka Allah memerintahkannya agar langsung menghadap ke arah Baitul Maqdis. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan jumhur ulama.
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai perintah Allah kepadanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, apakah melalui Al-Qur'an atau lainnya? Ada dua pendapat mengenainya.
Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ikrimah Abul Aliyah dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa menghadap ke Baitul Maqdis adalah berdasarkan ijtihad Nabi Saw. sendiri. Yang dimaksudkan dengan menghadap ke Baitul Maqdis ialah setelah beliau Saw. tiba di Madinah. Hal tersebut dilakukan oleh Nabi Saw. selama belasan bulan, dan selama itu beliau memperbanyak doa dan ibtihal kepada Allah serta memohon kepada-Nya agar dihadapkan ke arah Ka'bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim a.s. Hal tersebut diperkenankan oleh Allah, lalu Allah Swt. memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Atiq. Lalu Rasulullah Saw. berkhotbah kepada orang-orang dan memberitahukan pemindahan tersebut kepada mereka. Salat pertama yang beliau lakukan menghadap ke arah Ka'bah adalah salat Asar, seperti yang telah disebutkan di atas di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Barra r.a.
Akan tetapi, di dalam kitab Imam Nasai melalui riwayat Abu Sa'id ibnul Ma'la disebutkan bahwa salat tersebut (yang pertama kali dilakukannya menghadap ke arah Ka'bah) adalah salat Lohor. Abu Sa'id ibnul Ma'la mengatakan, dia dan kedua temannya termasuk orang-orang yang mula-mula salat menghadap ke arah Ka'bah.
Bukan hanya seorang dari kalangan Mufassirin dan lain-lainnya menyebutkan bahwa pemindahan kiblat diturunkan kepada Rasulullah Saw. ketika beliau Saw. salat dua rakaat dari salat Lohor, turunnya wahyu ini terjadi ketika beliau sedang salat di masjid Bani Salimah, kemudian masjid itu dinamakan Masjid Qiblatain.
Di dalam hadis Nuwailah binti Muslim disebutkan, telah datang kepada mereka berita pemindahan kiblat itu ketika mereka dalam salat Lohor. Nuwailah binti Muslim melanjutkan kisahnya, "Setelah ada berita itu, maka kaum laki-laki beralih menduduki tempat kaum wanita dan kaum wanita menduduki tempat kaum laki-laki." Demikianlah menurut apa yang dituturkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar An-Namiri.
Mengenai ahli Quba, berita pemindahan itu baru sampai kepada mereka pada salat Subuh di hari keduanya, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) dari Ibnu Umar r.a. yang menceritakan:
بَيْنَمَا النَّاسُ بِقُبَاءَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قد أنزل عليه الليلة قرآن وقد أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ، فَاسْتَقْبِلُوهَا. وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
Ketika orang-orang sedang melakukan salat Subuh di Masjid Quba, tiba-tiba datanglah kepada mereka seseorang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. telah menerima wahyu tadi malam yang memerintahkan agar menghadap ke arah Ka'bah. Karena itu, menghadaplah kalian ke Ka'bah. Saat itu wajah mereka menghadap ke arah negeri Syam, lalu mereka berputar ke arah Ka'bah.
Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh nasikh masih belum wajib diikuti kecuali setelah mengetahuinya, sekalipun turun dan penyampaiannya telah berlalu. Karena ternyata mereka tidak diperintahkan untuk mengulangi salat Asar, Magrib, dan Isya.
Setelah hal ini terjadi, maka sebagian orang dari kalangan kaum munafik, orang-orang yang ragu dan Ahli Kitab merasa curiga, dan keraguan menguasai diri mereka terhadap hidayah. Lalu mereka mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا}
"Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" (Al-Baqarah: 142)
Dengan kata lain, mereka bermaksud 'mengapa kaum muslim itu sesekali menghadap ke anu dan sesekali yang lain menghadap ke anu'. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya sebagai jawaban terhadap mereka:
{قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ}
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat." (Al-Baqarah: 142)
Yakni Dialah yang mengatur dan yang menentukan semuanya, dan semua perintah itu hanya di tangan kekuasaan Allah belaka. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Adapun firman-Nya:
ولَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 177)
Dengan kata lain, semua perkara itu dinilai sebagai kebaktian bilamana didasari demi mengerjakan perintah-perintah Allah. Untuk itu ke mana pun kita dihadapkan, maka kita harus menghadap. Taat yang sesungguhnya hanyalah dalam mengerjakan perintah-Nya, sekalipun setiap hari kita diperintahkan untuk menghadap ke berbagai arah. Kita adalah hamba-hamba-Nya dan berada dalam pengaturan-Nya, kita adalah pelayan-pelayan-Nya; ke mana pun Dia mengarahkan kita, maka kita harus menghadap ke arah yang diperintahkan-Nya.
Allah Swt. mempunyai perhatian yang besar kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw. dan umatnya. Hal ini ditunjukkan melalui petunjuk yang diberikan-Nya kepada dia untuk menghadap ke arah kiblat Nabi Ibrahim kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu menghadap ke arah Ka'bah yang dibangun atas nama Allah Swt. semata, tiada sekutu bagi-Nya. Ka'bah merupakan rumah Allah yang paling terhormat di muka bumi ini, mengingat ia dibangun oleh kekasih Allah Swt., Nabi Ibrahim a.s. Karena itu, di dalam firman-Nya disebutkan:
{قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." (Al-Baqarah: 142)
وَقَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَاصِمٍ، عَنْ حُصَيْنِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عُمَر بْنِ قَيْسٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْأَشْعَثِ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -يَعْنِي فِي أَهْلِ الْكِتَابِ -:"إِنَّهُمْ لَا يَحْسُدُونَنَا عَلَى شَيْءٍ كَمَا يَحْسُدُونَنَا عَلَى يَوْمِ الْجُمْعَةِ، التِي هَدَانَا اللَّهُ لَهَا وضلوا عنها، وعلى القبلة التي هدانا الله لَهَا وَضَلُّوا عَنْهَا، وَعَلَى قَوْلِنَا خَلْفَ الْإِمَامِ: آمِينَ"
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali ibnu Asim, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu Qais, dari Muhammad ibnul Asy'As, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan kaum Ahli Kitab: Sesungguhnya mereka belum pernah merasa dengki terhadap sesuatu sebagaimana kedengkian mereka kepada kita atas hari Jumat yang ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya; dan atas kiblat yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya, serta atas ucapan kita amin di belakang imam.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا}
Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. (Al-Baqarah: 143)
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Kami palingkan kalian ke arah kiblat Ibrahim a.s. dan Kami pilihkan kiblat tersebut untuk kalian, hanya karena Kami akan menjadikan kalian sebagai umat yang terpilih, dan agar kalian kelak di hari kiamat menjadi saksi atas umat-umat lain, mengingat semua umat mengakui keutamaan kalian."
Al-wasat dalam ayat ini berarti pilihan dan yang terbaik, seperti dikatakan bahwa orang-orang Quraisy merupakan orang Arab yang paling baik keturunan dan kedudukannya. Rasulullah Saw. seorang yang terbaik di kalangan kaumnya, yakni paling terhormat keturunannya. Termasuk ke dalam pengertian ini salatul wusta, salat yang paling utama, yaitu salat Asar, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab sahih dan lain-lainnya. Allah Swt. menjadikan umat ini (umat Nabi Muhammad Saw.) merupakan umat yang terbaik; Allah Swt. telah mengkhususkannya dengan syariat-syariat yang paling sempurna dan tuntunan-tuntunan yang paling lurus serta jalan-jalan yang paling jelas, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
هُوَ اجْتَباكُمْ وَما جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْراهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيداً عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَداءَ عَلَى النَّاسِ
Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tua kalian Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supava kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia. (Al-Hajj: 78)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يُدْعَى نُوحٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَالُ لَهُ: هَلْ بلَّغت؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ. فَيُدْعَى قَوْمُهُ فَيُقَالُ لَهُمْ: هَلْ بَلَّغَكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: مَا أَتَانَا مِنْ نَذِيرٍ وَمَا أَتَانَا مِنْ أَحَدٍ، فَيُقَالُ لِنُوحٍ: مَنْ يَشْهَدُ لَكَ؟ فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ" قَالَ: فَذَلِكَ قَوْلُهُ: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا} قَالَ: الْوَسَطُ: الْعَدْلُ، فَتُدْعَوْنَ، فَتَشْهَدُونَ لَهُ بِالْبَلَاغِ، ثُمَّ أَشْهَدُ عَلَيْكُمْ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waqi', dari Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Nabi Nuh kelak dipanggil di hari kiamat, maka ditanyakan kepadanya, "Apakah engkau telah menyampaikan (risalahmu)?" Nuh menjawab, "Ya." Lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan kepada mereka, "Apakah dia telah menyampaikan(nya) kepada kalian?" Maka mereka menjawab, "Kami tidak kedatangan seorang pemberi peringatan pun dan tidak ada seorang pun yang datang kepada kami." Lalu ditanyakan kepada Nuh, "Siapakah yang bersaksi untukmu?" Nuh menjawab, "Muhammad dan umatnya."
Abu Sa'id mengatakan bahwa yang demikian itu adalah firman-Nya, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil" (Al-Baqarah: 143), al-wasat artinya adil. Kemudian kalian dipanggil dan kalian mengemukakan persaksian untuk Nabi Nuh, bahwa dia telah menyampaikan (nya) kepada umatnya, dan dia pun memberikan kesaksiannya pula terhadap kalian.
Hadis riwayat Imam Bukhari, Imam Turmuzi, Imam Nasai. Dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Al-A'masy.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَجِيءُ النَّبِيُّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ [وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالنَّبِيُّ] وَمَعَهُ الرَّجُلَانِ وَأَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ فَيُدْعَى قَوْمُهُ، فَيُقَالُ [لَهُمْ] هَلْ بَلَّغَكُمْ هَذَا؟ فَيَقُولُونَ: لَا. فَيُقَالُ لَهُ: هَلْ بَلَّغْتَ قَوْمَكَ؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ. فَيُقَالُ [لَهُ] مَنْ يَشْهَدُ لَكَ؟ فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ فَيُدْعَى بِمُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ، فَيُقَالُ لَهُمْ: هَلْ بَلَّغَ هَذَا قَوْمَهُ؟ فَيَقُولُونَ: نَعَمْ. فَيُقَالُ: وَمَا عِلْمُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: جَاءَنَا نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَنَا أَنَّ الرُّسُلَ قَدْ بَلَّغُوا" فَذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا} قَالَ: "عَدْلًا {لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا} "
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang nabi datang di hari kiamat bersama dua orang laki-laki atau lebih dari itu, lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan, "Apakah nabi ini telah menyampaikan(nya) kepada kalian?" Mereka menjawab, "Tidak." Maka dikatakan kepada si nabi, "Apakah kamu telah menyampaikan(nya) kepada mereka?" Nabi menjawab, "Ya." Lalu dikatakan kepadanya, "Siapakah yang menjadi saksimu?" Nabi menjawab, "Muhammad dan umatnya." Lalu dipanggillah Muhammad dan umatnya dan dikatakan kepada mereka, "Apakah nabi ini telah menyampaikan kepada kaumnya?" Mereka menjawab, "Ya." Dan ditanyakan pula, "Bagaimana kalian dapat mengetahuinya?" Mereka menjawab, "Telah datang kepada kami Nabi kami, lalu dia menceritakan kepada kami bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalahnya." Yang demikian itu adalah firman-Nya, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil agar kalian men-jadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian" (Al-Baqarah: 143).
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا} قَالَ: "عَدْلًا"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil. (Al-Baqarah: 143) Bahwa yang dimaksud dengan wasatan ialah adil.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Abdul Wahid ibnu Ziad, dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Al-Mugirah ibnu Utaibah ibnu Nabbas yang mengatakan bahwa seseorang pernah menuliskan sebuah hadis kepada kami dari Jabir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
أَنَا وأمَّتي يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى كَوْم مُشرفين عَلَى الْخَلَائِقِ. مَا مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ إِلَّا وَدَّ أَنَّهُ منَّا. وَمَا مِنْ نَبِيٍّ كَذَّبه قَوْمُهُ إِلَّا وَنَحْنُ نشهدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ رسالةَ رَبِّهِ، عز وجل
Aku dan umatku kelak di hari kiamat berada di atas sebuah bukit yang menghadap ke arah semua makhluk; tidak ada seorang pun di antara manusia melainkan dia menginginkan menjadi salah seorang di antara kami, dan tidak ada seorang nabi pun yang didustakan oleh umatnya melainkan kami menjadi saksi bahwa nabi tersebut benar-benar telah menyampaikan risalah Tuhannya.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula, sedangkan lafaznya menurut apa yang ada pada Ibnu Murdawaih melalui hadis Mus'ab ibnu Sabit, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan:
شَهِدَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِنَازَةً، فِي بَنِي سَلِمَةَ، وَكُنْتُ إِلَى جَانِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: وَاللَّهِ -يَا رسولَ اللَّهِ -لَنِعْمَ المرءُ كَانَ، لَقَدْ كَانَ عَفِيفًا مُسْلِمًا وَكَانَ ... وَأَثْنَوْا عَلَيْهِ خَيْرًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنْتَ بِمَا تَقُولُ". فَقَالَ الرَّجُلُ: اللَّهُ أَعْلَمُ بِالسَّرَائِرِ، فَأَمَّا الذِي بَدَا لَنَا مِنْهُ فَذَاكَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَجَبَتْ". ثُمَّ شَهِد جِنَازَةً فِي بَنِي حَارِثة، وكنتُ إِلَى جَانِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: يَا رسولَ اللَّهِ، بِئْسَ المرءُ كَانَ، إِنْ كَانَ لفَظّاً غَلِيظًا، فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ شَرًّا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبَعْضِهِمْ: "أَنْتَ بِالذِي تَقُولُ". فَقَالَ الرَّجُلُ: اللَّهُ أَعْلَمُ بِالسَّرَائِرِ، فَأَمَّا الذِي بَدَا لَنَا مِنْهُ فَذَاكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَجَبَتْ". قَالَ مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ: فَقَالَ لَنَا عِنْدَ ذَلِكَ مُحَمَّدُ بْنُ كَعْب: صدقَ رسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَرَأَ: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا}
bahwa Rasulullah Saw. menghadiri suatu jenazah di kalangan Bani Maslamah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah Saw. Maka sebagian dari mereka mengatakan, "Demi Allah, wahai Rasulullah, dia benar-benar orang yang baik, sesungguhnya dia semasa hidupnya adalah orang yang memelihara kehormatannya lagi seorang yang berserah diri (muslim)," dan mereka memujinya dengan pujian yang baik. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Anda berani mengatakan yang seperti itu?" Maka laki-laki itu menjawab, "Hanya Allah Yang Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada kami, begitulah." Maka Nabi Saw. bersabda, "Hal itu pasti (baginya)." Kemudian Rasulullah Saw. menghadiri pula jenazah lain di kalangan Bani Harisah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah Saw. Maka sebagian dari mereka (orang-orang yang hadir) berkata, "Wahai Rasulullah, dia adalah seburuk-buruk manusia, jahat lagi kejam." Lalu mereka membicarakannya dengan pembicaraan yang buruk. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada sebagian mereka, "Anda berani mengatakan yang seperti itu?" Jawabnya, "Hanya Allah Yang Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada kami, begitulah." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hal itu pasti (baginya)." Mus'ab ibnu Sabit berkata, "Pada saat itu Muhammad ibnu Ka'b mengatakan kepada kami, 'Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. itu,' kemudian ia membacakan firman-Nya: 'Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian ' (Al-Baqarah: 143)."
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ أَبِي الْفُرَاتِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُريدة، عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ أَنَّهُ قَالَ: أتيتُ الْمَدِينَةَ فَوَافَقْتُهَا، وَقَدْ وَقَعَ بِهَا مَرَضٌ، فَهُمْ يَمُوتُونَ مَوْتًا ذَريعاً. فَجَلَسْتُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَمَرَّتْ بِهِ جِنَازَةٌ، فَأثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا خَيْرٌ. فَقَالَ: وَجَبَتْ وجَبَت. ثُمَّ مُرّ بِأُخْرَى فَأُثْنِيَ عَلَيْهَا شرٌّ، فَقَالَ عُمَرُ: وَجَبَتْ [وَجَبَتْ]. فَقَالَ أَبُو الْأَسْوَدِ: مَا وَجَبَتْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ؟ قَالَ: قُلْتُ كَمَا قَالَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّمَا مُسْلِمٍ شَهِد لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ". قَالَ: فَقُلْنَا. وَثَلَاثَةٌ؟ قَالَ: "وَثَلَاثَةٌ". قَالَ، فَقُلْنَا: وَاثْنَانِ؟ قَالَ: "وَاثْنَانِ" ثُمَّ لَمْ نَسْأَلْهُ عَنِ الْوَاحِدِ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abul Furat, dari Abdullah ibnu Buraidah, dari Abul Aswad yang menceritakan hadis berikut: Aku datang ke Madinah, maka aku jumpai kota Madinah sedang dilanda wabah penyakit, hingga banyak di antara mereka yang meninggal dunia. Lalu aku duduk di sebelah Khalifah Umar r.a., maka lewatlah suatu iringan jenazah, kemudian jenazah itu dipuji dengan pujian yang baik. Khalifah Umar ibnul Khattab berkata, "Hal itu pasti baginya." Kemudian lewat pula suatu iringan jenazah yang lain. Jenazah itu disebut-sebut sebagai jenazah yang buruk. Maka Umar r.a. berkata, "Hal itu pasti baginya." Abul Aswad bertanya, "Apanya yang pasti itu, wahai Amirul Muminin?" Umar r.a. mengatakan bahwa apa yang dikatakannya itu hanyalah menuruti apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Saw., yaitu sabdanya: Siapa pun orang muslimnya dipersaksikan oleh empat orang dengan sebutan yang baik, niscaya Allah memasukkannya ke surga. Maka kami bertanya, "Bagaimana kalau tiga orang?" Beliau Saw. menjawab, "Ya, tiga orang juga." Maka kami bertanya, "Bagaimana kalau oleh dua orang?" Beliau Saw. menjawab, "Ya, dua orang juga." Tetapi kami tidak menanyakan kepadanya tentang persaksian satu orang.
Demikian pula hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui hadis Daud ibnul Furat dengan lafaz yang sama.
قَالَ ابْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ يَحْيَى، حَدَّثَنَا أَبُو قِلابة الرَّقَاشِيُّ، حَدَّثَنِي أَبُو الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنِي أُمِّيَّةُ بْنُ صَفْوَانَ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي زُهَيْرٍ الثَّقَفِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بالنَّباوَة يَقُولُ: "يُوشِكُ أَنْ تَعْلَمُوا خِيَارَكُمْ مِنْ شِرَارِكُمْ" قَالُوا: بِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: بِالثَّنَاءِ الْحَسَنِ وَالثَّنَاءِ السَّيِّئ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Qilabah Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepadaku Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Umar, telah menceritakan kepadaku Umayyah ibnu Safwan, dari Abu Bakar ibnu Abu Zuhair As-Saqafi, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda ketika di Al-Banawah:  Hampir saja kalian mengetahui orang-orang yang terpilih dari kalian dan orang-orang yang jahat dari kalian. Mereka bertanya, "Dengan melalui apakah, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Dengan melalui pujian yang baik dan sebutan yang buruk; kalian adalah saksi-saksi Allah yang ada di bumi."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yazid ibnu Harun, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Yazid ibnu Harun dan Abdul Malik ibnu Umar serta Syuraih, dari Nafi', dari Ibnu Umar dengan lafaz yang sama.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ}
Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. (Al-Baqarah: 143)
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Kami pada mulanya mensyariatkan kepadamu Muhammad untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, kemudian Kami palingkan kamu darinya untuk menghadap ke Ka'bah. Hal ini tiada lain hanya untuk menampakkan keadaan sesungguhnya dari orang-orang yang mengikutimu, taat kepadamu, dan menghadap bersamamu ke mana yang kamu hadapi."
مِمَّن يَنْقَلْبُ عَلَى عَقبَيْه
dan siapa yang membelot. (Al-Baqarah: 143)
Maksudnya, murtad dari agamanya.
{وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً}
Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat. (Al-Baqarah: 143)
Yakni pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah serta merasa yakin dengan percaya kepada Rasul, dan semua yang didatangkan beliau hanyalah perkara hak semata yang tidak diragukan lagi. Allah Swt. berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia memutuskan hukum menurut kehendak-Nya, Dia berhak membebankan kepada hamba-hamba-Nya apa yang Dia kehendaki, dan me-nasakh apa yang Dia kehendaki. Hanya milik-Nyalah hikmah yang sempurna dan hujah (alasan) yang kuat dalam hal tersebut secara keseluruhan.
Lain halnya dengan orang-orang yang di dalam hati mereka terdapat penyakit; sesungguhnya setiap kali terjadi sesuatu hal, maka timbullah rasa keraguan dalam hati mereka. Berbeda dengan keadaan orang-orang yang beriman, di dalam hati mereka keyakinan dan kepercayaan bertambah kuat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَإِذَا مَا أُنزلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ * وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ}
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, "Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada). (At-Taubah: 124-125)
{قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى}
Katakanlah, Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan Al-Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka." (Fushshilat: 44)
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَساراً
Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Isra: 82)
Karena itu, terbuktilah bahwa orang-orang yang teguh dalam membenarkan Rasulullah Saw. dan tetap mengikutinya dalam hal tersebut serta menghadap menurut apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. kepadanya tanpa bimbang dan tanpa ragu barang sedikit pun, mereka adalah para sahabat yang terhormat.
Sebagian ulama mengatakan bahwa orang-orang yang mendapat predikat sabiqin awwalin adalah dari kalangan Muhajirin dan orang-orang Ansar, yaitu mereka yang salat ke dua kiblat.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini:
حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ سُفيان، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: بَيْنَا الناسُ يُصَلُونَ الصُّبْحَ فِي مَسْجِدِ قُباء إِذْ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ: قَدْ أُنْزِلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرْآنٌ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا. فَتَوَجَّهُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Sufyan, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Ketika orang-orang sedang mengerjakan salat Subuh di Masjid Quba, tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya telah diturunkan kepada Nabi Saw. sebuah ayat yang memerintahkan kepada Nabi Saw. agar menghadap ke arah Ka'bah, maka menghadaplah kalian ke Ka'bah." Maka mereka pun menghadapkan dirinya ke Ka'bah.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim melalui jalur yang lain dari sahabat Ibnu Umar, dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri.
Di dalam riwayat Imam Turmuzi disebutkan:
أَنَّهُمْ كَانُوا رُكُوعًا، فَاسْتَدَارُوا كَمَا هُمْ إِلَى الْكَعْبَةِ، وَهُمْ رُكُوعٌ
Bahwa mereka sedang rukuk, lalu mereka berputar, sedangkan mereka dalam keadaan masih rukuk menghadap ke arah Ka'bah.
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Hammad ibnu Salimah, dari Sabit, dari Anas dengan lafaz yang semisal.
Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, juga ketundukan mereka terhadap perintah-perintah Allah Swt. Semoga Allah melimpahkan keridaan-Nya kepada mereka (para sahabat) semua.
******
Firman Allah Swt.:
{وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ}
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 143)
Yakni salat kalian yang telah kalian lakukan dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum ada pemindahan ke arah Ka'bah. Dengan kata lain, Allah Swt. tidak akan menyia-nyiakan pahalanya; pahala itu ada di sisi-Nya.
Di dalam kitab sahih disebutkan melalui Abu Ishaq As-Subai'i, dari Al-Barra yang menceritakan:
مَاتَ قَوْمٌ كَانُوا يُصَلُّونَ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ النَّاسُ: مَا حَالُهُمْ فِي ذَلِكَ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ}
Telah meninggal dunia kaum yang dahulu mereka salat menghadap ke Baitul Maqdis, maka orang-orang bertanya, "Bagaimanakah keadaan mereka?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian" (Al-Baqarah: 143).
Hadis diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Ibnu Abbas, dan Imam Turmuzi menilainya sahih.
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 143) Yaitu iman kalian kepada kiblat yang terdahulu, dan kepercayaan kalian kepada Nabi kalian serta mengikutinya menghadap ke arah kiblat yang lain (Ka'bah). Dengan kata lain, Allah pasti akan memberi kalian pahala keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 143) Dengan kata lain, Allah tidak akan menyia-nyiakan Muhammad Saw. dan berpaling kalian bersamanya mengikuti ke mana dia menghadap. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143)
Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang wanita dari kalangan tawanan perang, sedangkan antara wanita itu dengan anaknya telah dipisahkan. Maka setiap kali wanita itu menjumpai seorang bayi, ia menggendongnya dan menempelkannya pada teteknya, sedangkan dia terus berputar ke sana kemari mencari bayinya. Setelah wanita itu menemukan bayinya, maka langsung digendong dan disusukannya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَلَّا تَطْرَحَهُ؟ " قَالُوا: لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "فَوَاللَّهِ، لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا"
"Bagaimanakah pendapat kalian, akankah wanita ini tega melemparkan bayinya ke dalam api, sedangkan dia sendiri mampu untuk tidak melemparkannya?" Mereka menjawab, "Tentu tidak, wahai Rasulullah." Rasulullah Saw. bersabda, "Maka demi Allah, sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya."

Al-Baqarah, ayat 144

{قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (144) }
Sesungguhnya Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mula-mula ayat Al-Qur'an yang di-mansukh adalah masalah kiblat. Demikian itu terjadi ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, kebanyakan penduduk Madinah saat itu terdiri atas orang-orang Yahudi. Maka Allah memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Maqdis. Melihat hal ini orang-orang Yahudi merasa gembira. Rasulullah Saw. menghadap ke Baitul Maqdis selama belasan bulan, padahal beliau sendiri menyukai kiblat Nabi Ibrahim a.s. Beliau Saw. selalu berdoa kepada Allah serta sering memandang ke langit (menunggu-nunggu wahyu). Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. (Al-Baqarah: 144) Sampai dengan firman-Nya: Palingkanlah muka kalian ke arahnya. (Al-Baqarah: 144)
Melihat hal tersebut orang-orang Yahudi merasa curiga, lalu mereka mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ}
Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah,  "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat." (Al-Baqarah: 142)
فَأَيْنَما تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
{وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ}
Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblat kalian melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. (Al-Baqarah: 143)
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Al-Qasim Al-Umra dan pamannya Ubaidillah ibnu Amr, dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi Saw. apabila telah salam dari salatnya yang menghadap ke arah Baitul Maqdis selalu menengadahkan kepalanya ke langit, maka Allah menurunkan firman-Nya: Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144) Yakni ke arah Ka'bah, tepat ke arah mizab (talang)nya, sedangkan Malaikat Jibril a.s. bermakmum kepadanya.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya meriwayatkan melalui hadis Syu'bah, dari Ya'la ibnu Ata, dari Yahya ibnu Quttah yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Abdullah ibnu Amr duduk di Masjidil Haram di tempat yang lurus dengan talang Ka'bah, lalu ia membacakan firman-Nya:  Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144) Ia membacakan ayat ini seraya mengisyaratkan ke arah talang Ka'bah.
Kemudian Imam Hakim mengatakan, hadis ini sahih sanad-nya, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Hisyam, dari Ya'la ibnu Ata dengan lafaz yang sama. Hal yang sama dikatakan pula oleh yang lainnya.
Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat Imam Syafii r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud ialah menghadap ke arah 'ainul Ka'bah. Sedangkan pendapat lainnya yang dianut oleh kebanyakan ulama mengatakan, yang dimaksud ialah muwajahah (menghadap ke arahnya), seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Hakim melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, dari Umair ibnu Ziad Al-Kindi, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144) Yang dimaksud dengan syatrahu ialah ke arahnya (tidak harus tepat ke Ka'bah).
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hal ini merupakan pendapat Abul Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya. Seperti yang telah disebutkan dalam hadis terdahulu, yaitu:
«مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ»
Di antara timur dan barat terdapat arah kiblat.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْمَسْجِدِ، وَالْمَسْجِدُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْحَرَمِ، وَالْحَرَمُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ فِي مَشَارِقِهَا وَمَغَارِبِهَا مِنْ أُمَّتِي "
Baitullah adalah kiblat bagi ahli masjid, dan masjid adalah kiblat bagi penduduk kota suci, sedangkan kota suci merupakan kiblat bagi penduduk bumi yang ada di timur dan barat dari kalangan umatku.
Abu Na'im (yaitu Al-Fadl ibnu Dakin) mengatakan:
حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صلَّى قبلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ وَأَنَّهُ صَلّى صَلَاةَ الْعَصْرِ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ يُصَلِّي مَعَهُ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ الْمَسْجِدِ وَهُمْ رَاكِعُونَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلّيت مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قبل مكَّة، فداروا كما هم قبل البيت
telah menceritakan kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan hadis berikut: Bahwa Nabi Saw. salat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, padahal beliau sendiri lebih suka bila kiblatnya ke arah Baitullah (Ka'bah). Dan (pada suatu hari) beliau melakukan salat Asar dan salat pula bersamanya suatu kaum (maka turunlah ayat memerintahkan agar menghadap ke Ka'bah), lalu keluarlah seorang lelaki dari jamaah yang ikut salat bersamanya. Kemudian lelaki itu melewati ahli masjid yang sedang rukuk dalam salatnya, lalu lelaki itu berkata, "Aku bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya aku telah solat bersama Rasulullah Saw. Dengan menghadap ke arah Mekah.” Maka mereka berputar menghadap ke arah Baitullah dalam keadaan rukuk.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan "bahwa ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau salat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Rasulullah Saw. menyukai bila dipalingkan ke arah Ka'bah. Maka turunlah firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. (Al-Baqarah: 144) Maka beliau berpaling menghadap ke arah Ka'bah.
Imam Nasai meriwayatkan dari Abu Sa'id ibnul Ma'la yang menceritakan:
كُنَّا نَغْدُو إِلَى الْمَسْجِدِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَمُرُّ عَلَى الْمَسْجِدِ فَنُصَلِّي فِيهِ، فَمَرَرْنَا يَوْمًا -وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ عَلَى الْمِنْبَرِ -فَقُلْتُ: لَقَدْ حَدث أَمْرٌ، فَجَلَسْتُ، فَقَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا} حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْآيَةِ. فَقُلْتُ لِصَاحِبِي: تَعَالَ نَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَكُونَ أَوَّلَ مَنْ صَلَّى، فَتَوَارَيْنَا فَصَلَّيْنَاهُمَا. ثُمَّ نَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى لِلنَّاسِ الظُّهْرَ يَوْمَئِذٍ
"Kami biasa berangkat ke masjid di siang hari pada masa Rasulullah Saw. untuk melakukan salat. Pada suatu hari kami lewat ketika Rasulullah Saw. sedang duduk di atas mimbarnya. Maka aku berkata, 'Sesungguhnya telah terjadi suatu peristiwa penting.' Aku duduk dan Rasulullah Saw. membacakan ayat ini: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144), hingga selesai dari ayat ini. Aku berkata kepada temanku, 'Marilah kita salat dua rakaat sebelum Rasulullah Saw. turun dari mimbarnya. Dengan demikian, kita adalah orang yang mula-mula salat (menghadap ke arah Ka'bah).' Maka kami bersembunyi dan salat dua rakaat. Kemudian Nabi Saw. turun dari mimbamya dan salat Lohor menjadi imam orang-orang yang hadir saat itu."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui sahabat Ibnu Umar r.a., bahwa salat yang mula-mula dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan menghadap ke arah kiblat ialah salat Lohor. Salat Lohorlah yang dimaksud dengan salat Wusta itu.
Tetapi menurut pendapat yang masyhur, salat yang mula-mula dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan menghadap ke arah Ka'bah adalah salat Asar. Karena itu, maka berita pemindahan ini terlambat sampai kepada penduduk Quba dan baru sampai kepada mereka pada salat Subuhnya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التَّسْتَري، حَدَّثَنَا رَجَاءُ بْنُ مُحَمَّدٍ السَّقَطِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِدْرِيسَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ أَبِيهِ نُوَيلة بِنْتِ مُسْلِمٍ، قَالَتْ: صَلَّينا الظُّهْرَ -أَوِ الْعَصْرَ -فِي مَسْجِدِ بَنِي حَارِثَةَ، فَاسْتَقْبَلْنَا مَسْجِدَ إِيلِيَاءَ فَصَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ جَاءَ مَنْ يُحَدِّثُنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِ اسْتَقْبَلَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ، فَتَحَوَّلَ النساءُ مَكَانَ  الرِّجَالِ، والرجالُ مَكَانَ النِّسَاءِ، فَصَلَّيْنَا السَّجْدَتَيْنِ الْبَاقِيَتَيْنِ، وَنَحْنُ مُسْتَقْبِلُونَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ. فَحَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي حَارِثَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُولَئِكَ رِجَالٌ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ"
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Raja' ibnu Muhammad As-Siqti, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari neneknya (ibu ayah-nya) —yaitu Nuwailah binti Muslim— yang menceritakan, "Kami salat Lohor atau salat Asar di masjid Bani Harisah. Kami menghadapkan wajah kami ke arah Masjid Elia (Yerussalem/Baitul Maqdis). Setelah kami lakukan salat dua rakaat, tiba-tiba datanglah seseorang yang menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah Saw. telah menghadap ke arah Baitullah. Maka kaum wanita beralih menduduki tempat kaum laki-laki, dan kaum laki-laki beralih menduduki tempat kaum wanita. Lalu kami melanjutkan salat kami yang tinggal dua rakaat lagi menghadap ke arah Baitullah." Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Bani Harisah yang menceritakan kepadaku bahwa Nabi Saw. telah bersabda: Mereka adalah kaum laki-laki yang beriman kepada yang gaib.
Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail An-Nahdi, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Ziad ibnu Alaqah ibnu Imarah ibnu Aus yang menceritakan, "Ketika kami sedang dalam salat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis, yaitu dalam rukuk kami, tiba-tiba datanglah seorang yang menyerukan di pintu (masjid) bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah."
Imarah ibnu Aus melanjutkan kisahnya, bahwa ia menyaksikan imam mereka berpaling mengalihkan wajah mereka ke arah Ka'bah bersama-sama kaum laki-laki dan anak-anak yang bermakmum kepadanya, semua dalam keadaan rukuk.
***********
Firman Allah Swt:
{وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ}
Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah mukamu ke arah-nya. (Al-Baqarah: 144)
Allah Swt. memerintahkan menghadap ke arah Ka'bah dari segenap penjuru dunia, baik dari timur, barat, utara, maupun selatan; semua diperintahkan agar menghadap ke arahnya. Dalam hal ini tiada yang dikecualikan selain dari orang yang mengerjakan salat sunat di atas kendaraannya dalam perjalanan; ia diperbolehkan mengerjakan salat sunat menghadap ke arah mana pun kendaraannya menghadap, tetapi hatinya harus tetap tertuju ke arah Ka'bah. Demikian pula di saat perang sedang berkecamuk, orang-orang yang terlibat di dalamnya diperbolehkan salat dalam keadaan apa pun. Dan orang yang tidak mengetahui arah kiblat boleh salat menghadap ke arah yang menurut ijtihadnya adalah arah kiblat, sekalipun pada hakikatnya keliru; karena sesungguhnya Allah Swt. tidak sekali-kali memberatkan seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.
Mazhab Maliki menyimpulkan dalil ayat ini, bahwa orang yang salat harus memandang ke arah depannya, bukan ke arah tempat sujudnya. Seperti juga yang dikatakan oleh Imam Syafii, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah.
Mazhab Maliki mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144) Seandainya seseorang menghadapkan pandangannya ke tempat sujudnya, niscaya hal ini memerlukan sedikit menunduk, padahal hal ini bertentangan dengan kesempurnaan berdiri.
Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang yang berdiri dalam salatnya memandang ke arah dadanya.
Syuraik Al-Qadi mengatakan bahwa orang yang berdiri dalam salatnya memandang ke arah tempat sujudnya. Hal yang sama dikatakan oleh jumhur jamaah, karena hal ini lebih menampilkan rasa tunduk dan lebih kuat kepada kekhusyukan, dan memang ada keterangan hadis yang menganjurkannya.
Dalam keadaan rukuk pandangan mata diarahkan ke tempat kedua telapak kaki, dan dalam keadaan sujud pandangan mata ditujukan ke arah hidung, sedangkan dalam keadaan duduk pandangan mata diarahkan ke pangkuan.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ}
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 144)
Yakni orang-orang Yahudi yang memprotes kalian menghadap ke arah Ka'bah dan berpalingnya kalian dari arah Baitul Maqdis mengetahui bahwa Allah Swt. pasti akan mengarahkan kamu ke Ka'bah, melalui apa yang termaktub di dalam kitab-kitab mereka dari para nabi mereka tentang sifat dan ciri khas Nabi Muhammad Saw. serta umatnya. Disebutkan pula di dalamnya kekhususan yang diberikan oleh Allah kepadanya serta penghormatan yang diberikan-Nya, yaitu berupa syariat yang sempurna lagi besar. Akan tetapi Ahli Kitab menyembunyikan hal ini di antara sesama mereka karena dengki, kufur, dan ingkar. Karena itulah Allah mengancam mereka melalui firman-Nya:
{وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ}
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 144)

Al-Baqarah, ayat 145

{وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ (145) }
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.
Melalui ayat ini Allah Swt. menceritakan tentang kekufuran dan keingkaran orang-orang Yahudi serta pertentangan mereka terhadap apa yang mereka ketahui mengenai diri Rasulullah Saw. Seandainya ditegakkan terhadap mereka semua dalil yang membuktikan kebenaran apa yang disampaikan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mengikutinya dan justru mereka hanya tetap mengikuti hawa nafsu mereka sendiri. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ. وَلَوْ جاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ حَتَّى يَرَوُا الْعَذابَ الْأَلِيمَ
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga menyaksikan azab yang pedih. (Yunus: 96-97)
Karena itulah maka dalam ayat ini Allah Swt. berfirman:
{وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ}
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu. (Al-Baqarah: 145)
*********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ}
Dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. (Al-Baqarah: 145)
Ayat ini menggambarkan tentang keteguhan hati Rasulullah Saw. dalam mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Sebagaimana beliau berpegang teguh kepada perintah Allah, maka sebaliknya mereka pun berpegang teguh pula kepada pendapat dan keinginan mereka sendiri. Nabi Saw. akan tetap berpegang teguh kepada perintah Allah dan taat kepada-Nya serta mengikuti jalan yang di-ridai-Nya, beliau tidak akan mengikuti keinginan mereka dalam semua tindak tanduknya. Tidak sekali-kali beliau pernah menghadap ke arah Baitul Maqdis yang merupakan kiblat orang-orang Yahudi, melainkan semata-mata karena perintah Allah belaka.
Kemudian Allah Swt. memperingatkan agar jangan menentang perkara yang hak yang telah diketahuinya, dengan cara mengikuti keinginan diri sendiri. Karena sesungguhnya orang yang mengetahui, jika ia salah dalam berhujah akan berbalik menyerangnya, haruslah bersikap lebih lurus daripada orang lain (yang tidak mengetahui hujah). Untuk itu Allah berfirman kepada Rasul-Nya, sedangkan yang dimaksudkan adalah umatnya, yaitu:
{وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ}
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 145)

Al-Baqarah, ayat 146-147

{الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (146) الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (147) }
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
Allah Swt. memberitahukan bahwa ulama Ahli Kitab mengenal kebenaran dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. kepada mereka, sebagaimana seseorang dari mereka mengenal anaknya sendiri. Orang-orang Arab biasa membuat perumpamaan seperti ini untuk menunjukkan pengertian pengenalan yang sempurna.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada seorang lelaki yang bersama anaknya:
"ابْنُكُ هَذَا؟ " قَالَ: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَشْهَدُ بِهِ. قَالَ: "أَمَا إِنَّهُ لَا يَجْنِي عَلَيْكَ وَلَا تجْنِي عَلَيْهِ"
"Apakah ini adalah anakmu?" Si lelaki menjawab, "Benar, wahai Rasulullah, aku bersaksi bahwa dia adalah anakku." Rasulullah Saw. bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya dia tidak samar kepadamu dan kamu tidak samar kepadanya."
Al-Qurtubi mengatakan, telah diriwayatkan dari Umar r.a. bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Salam, "Apakah engkau dahulu mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal anakmu sendiri?" Abdullah ibnu Salam menjawab, "Ya, dan bahkan lebih dari itu; malaikat yang dipercaya turun dari langit kepada orang yang dipercaya di bumi seraya membawa keterangan mengenai sifat-sifatnya. Karena itu, aku dapat mengenalnya, tetapi aku tidak mengetahui seperti apa yang diketahui oleh ibunya."
Menurut kami, firman-Nya berikut ini:
{يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ}
Mereka mengenalnya (Muhammad) sebagaimana mereka mengenal anak-anaknya sendiri. (Al-Baqarah: 146)
Dapat diartikan bahwa mereka mengenal Nabi Muhammad Saw. seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri di antara anak-anak manusia lainnya. Dengan kata lain, tiada seorang pun yang bimbang dan ragu dalam mengenal anaknya sendiri jika dia melihatnya di antara anak-anak orang lain.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa sekalipun mereka mengetahui kenyataan ini dengan pengenalan yang yakin, tetapi mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran ini. Dengan kata lain, mereka menyembunyikan apa yang terdapat di dalam kitab-kitab mereka mengenai sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. dari pengetahuan umum, padahal mereka mengetahuinya, seperti yang disebutkan oleh firman selanjutnya:
وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 146)
Kemudian Allah Swt. mengukuhkan kedudukan Nabi-Nya dan kaum mukmin serta memberitahukan kepada mereka bahwa apa yang dibawa oleh Rasul Saw. adalah perkara yang hak, tiada keraguan di dalamnya dan tiada pula kebimbangan. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ}
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah: 147)

Al-Baqarah, ayat 148

{وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (148) }
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kalian berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat), sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan pengertian 'tiap-tiap umat mempunyai kiblatnya yang ia menghadap kepadanya' ialah semua pemeluk agama. Dengan kata lain, tiap-tiap kabilah mempunyai kiblatnya sendiri yang disukainya, dan kiblat yang diridai oleh Allah ialah kiblat yang orang-orang mukmin menghadap kepadanya.
Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi mempunyai kiblatnya sendiri yang mereka menghadap kepadanya, dan orang-orang Nasrani mempunyai kiblatnya sendiri yang mereka menghadap kepadanya. Allah memberikan petunjuk kepada kalian, hai umat Muhammad, kepada kiblat yang merupakan kiblat yang sesungguhnya.
Telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi hal yang semisal dengan pendapat Abul Aliyah tadi.
Mujahid mengatakan dalam riwayat yang lain —begitu pula Al-Hasaiy— bahwa Allah memerintahkan kepada semua kaum agar salat menghadap ke arah Ka'bah.
Ibnu Abbas, Abu Ja'far Al-Baqir, dan Ibnu Amir membaca ayat ini dengan bunyi walikullin wajhatun huwa muwallaha (Bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya sendiri yang diperintahkan oleh Dia (Allah) agar mereka menghadap kepadanya). Ayat ini serupa maknanya dengan firman-Nya:
لِكُلٍّ جَعَلْنا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهاجاً وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَلكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً
Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kalian semuanya. (Al-Maidah: 48)
Dalam surat ini Allah Swt. berfirman:
{أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
Di mana saja kalian berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah: 148)
Yakni Dia berkuasa untuk menghimpun kalian dari muka bumi, sekalipun jasad dan tubuh kalian bercerai-berai.

Al-Baqarah, ayat 149-150  

{وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (149) وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلأتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (150) }
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan. Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya, agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kalian takut kepada mereka, dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan supaya kalian mendapat petunjuk.
Apa yang disebutkan oleh ayat ini adalah perintah yang ketiga dari Allah Swt. yang memerintahkan agar semuanya dari berbagai penjuru dunia menghadap ke arah kiblat.
Mufassirin berbeda pendapat mengenai hikmah yang terkandung di dalam pengulangan sebanyak tiga kali ini. Menurut suatu pendapat, hal ini merupakan taukid (pengukuhan), mengingat ia merupakan permulaan nasikh yang terjadi di dalam Islam, menurut apa yang di-nas-kan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya.
Menurut pendapat yang lain bahkan hal ini merupakan tahapan dari berbagai keadaan. Tahapan yang pertama ditujukan kepada orang yang menyaksikan Ka'bah, tahapan yang kedua ditujukan kepada orang yang berada di dalam kota Mekah tetapi tidak melihat Ka'bah, dan tahapan yang ketiga ditujukan bagi orang yang berada di kota-kota lainnya. Demikianlah menurut pengarahan yang diketengahkan oleh Fakhrud Din Ar-Razi.
Menurut Al-Qurtubi, tahapan yang pertama ditujukan kepada orang yang berada di dalam kota Mekah, tahapan yang kedua ditujukan kepada orang yang tinggal di kota-kota lainnya, sedangkan tahapan yang ketiga ditujukan kepada orang yang berada di dalam perjalanannya. Demikianlah menurut apa yang ditarjihkan oleh Imam Qurtubi dalam jawabannya.
Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya yang demikian itu dikemukakan hanyalah karena ia berkaitan dengan konteks yang sebelum dan yang sesudahnya. Pada awalnya Allah Swt. berfirman:
{قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا}
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144)
Sampai dengan firman-Nya:
{وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ}
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 144)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan tentang permintaan Nabi Saw. yang dikabulkan-Nya dan Allah memerintahkannya untuk menghadap ke arah kiblat yang disukainya. Kemudian dalam tahapan yang kedua Allah Swt. berfirman:
{وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ}
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 149)
Maka Allah Swt. menyebutkan bahwa perintah tersebut adalah kebenaran yang datang dari Allah. Pada tahapan pertama disebutkan bahwa kiblat Ka'bah tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Rasul Saw. sendiri, dan padanya disebutkan bahwa hal tersebut merupakan kebenaran yang disukai dan diridai Allah pula.
Kemudian dalam tahapan yang ketiga disebutkan suatu hikmah yang mematahkan hujah orang-orang yang menentangnya dari kalangan orang-orang Yahudi, yaitu mereka yang memprotes masalah Rasul Saw. yang menghadap ke arah kiblat mereka, padahal mereka mengetahui melalui kitab-kitab mereka bahwa kelak Rasul Saw. akan dipalingkan ke arah kiblat Nabi Ibrahim a.s., yaitu ke Ka'bah. Demikian pula terpatahkan hujah orang-orang musyrik Arab ketika Rasu-lullah Saw. dipalingkan dari kiblat orang-orang Yahudi ke kiblat Nabi Ibrahim a.s., yaitu kiblat yang lebih mulia daripada kiblat Yahudi. Mereka mengagungkan Ka'bah dan merasa takjub dengan menghadap-nya Rasul ke arah Ka'bah.
Menurut pendapat yang lain tidak demikian alasan hikmah yang terkandung dalam pengulangan ini, seluruhnya dikemukakan oleh Ar-Razi dan lain-lainnya dengan bahasan yang terinci.
***********
Firman Allah Swt.:
لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ}
Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian. (Al-Baqarah: 150)
Yang dimaksud dengan manusia adalah Ahli Kitab, karena sesungguhnya mereka mengetahui bahwa salah satu dari sifat umat ini ialah menghadap ke arah Ka'bah dalam ibadahnya. Apabila umat ini (Nabi Saw.) tidak mempunyai sifat tersebut, barangkali mereka (Ahli Kitab) akan menjadikannya sebagai senjata buat menghujah orang-orang muslim. Agar mereka tidak menghujah kaum muslim pula, karena kaum muslim mempunyai kiblat yang sesuai dengan kiblat mereka, yaitu Baitul Maqdis. Hal ini jelas.
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian. (Al-Baqarah: 150) Yang dimaksud dengan manusia dalam ayat ini ialah kaum Ahli Kitab. yaitu di kala mereka mengatakan.”Muhammad telah dipalingkan ke arah Ka'bah.” Mereka mengatakan pula, "Lelaki ini merindukan rumah ayahnya dan agama kaumnya."
Tersebutlah bahwa hujah mereka terhadap Nabi Saw. ialah berpalingnya Nabi Saw. ke arah Baitul Haram, lalu mereka mengatakan, "Kelak dia akan kembali lagi kepada agama kita, sebagaimana dia kembali lagi kepada kiblat kita."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Saddi hal yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. (Al-Baqarah: 150) Menurut mereka, yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim di antara mereka adalah orang-orang musyrik Quraisy. Salah seorang dari mereka menghipotesiskan hujah orang-orang yang zalim itu, padahal hujah mereka dapat dipatahkan. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya lelaki ini menduga bahwa dirinya berada dalam agama Nabi Ibrahim. Maka jika dia menghadap ke arah Baitul Maqdis karena memeluk agama Nabi Ibrahim, lalu mengapa dia berpaling darinya?" Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa Allah Swt. memerintahkannya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis pada mulanya karena hikmah yang tertentu, lalu Nabi Saw. menaati Tuhannya dalam hal tersebut. Setelah itu Allah memalingkannya ke arah kiblat Nabi Ibrahim, yaitu Ka'bah; maka beliau menjalankan pula perintah Allah Swt. dalam hal tersebut. Nabi Saw. dalam semua keadaannya selalu taat kepada Allah, beliau tidak pernah menyimpang dari perintah Allah barang sekejap pun, dan umatnya berjalan mengikuti jejaknya.
************
Firman Allah Swt.:
{فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي}
Maka janganlah kalian takut kepada mereka, dan takutlah kalian kepada-Ku. (Al-Baqarah: 150)
Artinya, janganlah kalian merasa takut terhadap tuduhan yang dilancarkan oleh orang-orang zalim yang ingkar itu, dan takutlah kalian hanya kepada-Ku, karena sesungguhnya Allah Swt. lebih berhak untuk ditakuti.
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{وَلأتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ}
Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atas kalian. (Al-Baqarah: 150)
di-ataf-kan kepada firman-Nya:
{لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ}
Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian. (Al-Baqarah: 150)
Dengan kata lain, Aku akan menyempurnakan kepada kalian nikmat-Ku, yaitu dengan mensyariatkan kepada kalian agar menghadap ke arah Ka'bah, agar syariat yang kalian jalani merupakan syariat yang paling sempurna dari segala seginya.
{وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ}
Dan supaya kalian mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 150)
Yakni agar kalian tidak sesat seperti apa yang dialami oleh umat-umat terdahulu dari apa yang telah Kami tunjukkan kepada kalian dan Kami khususkan hal itu buat kalian. Karena itu, maka umat ini merupakan umat yang paling mulia dan paling utama.

No comments

Tafsir Jalalain

Tafsir Ibnu Katsir

Back to top