002. Surat Al-Baqoroh Ayat 065 - 103 - Tafsir Ibnu Katsir - Muslim Notebook
Al-Baqarah, ayat 65-66
{وَلَقَدْ
عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا
قِرَدَةً خَاسِئِينَ (65) فَجَعَلْنَاهَا نَكَالا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا
خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ (66) }
Dan sesungguhnya telah kalian ketahui
orang-orang yang melanggar di antara kalian pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman
kepada mereka, "Jadilah kalian kera-kera yang hina." Maka Kami jadikan yang
demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang
kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
Allah Swt. berfirman bahwa sesungguhnya kalian —hai orang-orang Yahudi— telah
mengetahui azab yang menimpa penduduk kampung itu yang durhaka terhadap perintah
Allah dan melanggar perjanjian dan ikrar-Nya yang telah Dia ambil dari kalian.
Yaitu kalian harus mengagungkan hari Sabtu dan menaati perintah-Nya. Dikatakan
demikian karena hal tersebut disyariatkan bagi mereka. Akan tetapi, pada
akhirnya mereka membuat kilah (tipu daya) agar mereka tetap dapat berburu
ikan di hari Sabtu, yaitu dengan cara meletakkan jaring-jaring dan
perangkap-perangkap ikan sebelum hari Sabtu.
Apabila hari Sabtu tiba dan ikan-ikan banyak didapat sebagaimana biasanya,
ikan-ikan tersebut terjerat oleh jaring-jaring dan perangkap-perangkap tersebut,
tiada suatu ikan pun yang selamat di hari Sabtu itu. Apabila malam hari tiba,
mereka mengambil ikan-ikan tersebut sesuduh hari Sabtu berlalu. Ketika mereka
melakukan hal tersebut, maka Allah mengutuk rupa mereka menjadi kera. Kera
adalah suatu binatang yang rupanya lebih mirip dengan manusia, tetapi kera bukan
jenis manusia. Dengan kata lain, demikian pula perbuatan dan tipu muslihat
mereka, mengingat apa yang mereka lakukan itu menurut lahiriah mirip dengan
perkara yang hak, tetapi batiniahnya berbeda bahkan kebalikannya. Maka
pembalasan dikutuk menjadi kera itu merupakan balasan dari perbuatan mereka
sendiri yang disesuaikan dengan jenis pelanggarannya.
Kisah ini disebutkan panjang lebar dalam tafsir surat Al-A'raf, yaitu pada
firman-Nya:
{وَاسْأَلْهُمْ
عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي
السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا
يَسْبِتُونَ لَا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا
يَفْسُقُونَ}
Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat
laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada
mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan
air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada
mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.
(Al-A'raf: 163)
Demikianlah kisah tersebut secara lengkap. As-Saddi mengatakan bahwa mereka
adalah penduduk kota Ailah, demikian pula menurut Qatadah. Kami akan
mengetengahkan pendapat ulama tafsir secara panjang lebar dalam tafsir ayat ini,
insya Allah.
**********
Firman Allah Swt.:
{كُونُوا
قِرَدَةً خَاسِئِينَ}
lalu Kami berfirman kepada mereka, "Jadilah kalian kera-kera yang
hina." (Al-Baqarah: 65)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah
menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl,
dari Ibnu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa hati
merekalah yang dikutuk, bukan rupa mereka. Sesungguhnya hal ini hanyalah sebagai
perumpamaan yang dibuat oleh Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam firman
lainnya:
{كَمَثَلِ
الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا}
seperti keledai yang membawa kitab-kitab. (Al-Jumu'ah: 5)
Telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Al-Musanna, dari Abu Huzaifah
dan dari Muhammad ibnu Umar Al-Bahili dan dari Asim, dari Isa, dari Ibnu Abu
Nujaih, dari Mujahid dengan lafaz yang sama. Sanad yang jayyid dan pendapat yang
garib (aneh) sehubungan dengan makna ayat ini bertentangan dengan makna lahiriah
ayat itu sendiri. Dalam ayat lainnya disebutkan melalui firman-Nya:
{قُلْ
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ
اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ
الطَّاغُوتَ}
Katakanlah, "Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang
yang lebih buruk pembalasannya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah,
yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang
dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah tagut?" (Al-Maidah:
60)
Al-Aufi mengatakan di dalam kitab tafsirnya, dari ibnu Abbas, sehubungan
dengan firman-Nya: lalu Kami berfirman kepada mereka, "Jadilah kalian kera
yang hina." (Al-Baqarah: 65) Bahwa Allah menjadikan sebagian dari mereka
(Bani Israil) kera dan babi. Diduga bahwa para pemuda dari kalangan mereka
dikutuk menjadi kera, sedangkan orang-orang yang sudah lanjut usianya dikutuk
menjadi babi.
Syaiban An-Nahwi meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini,
"Lalu Kami berfirman kepada mereka, 'Jadilah kalian kera yang hina',"
bahwa kaum itu menjadi kera yang memiliki ekor; sebelum itu mereka adalah
manusia yang terdiri atas kalangan kaum pria dan wanita.
Ata Al-Khurrasani mengatakan. diserukan kepada mereka, "Hai penduduk
negeri, jadilah kalian kera yang hina." Kemudian orang-orang yang melarang
mereka masuk menemui mereka dan berkata, "Hai Fulan, bukankah kami telah
melarang kamu (untuk melakukan perburuan di hari Sabtu)?" Mereka menjawab hanya
dengan anggukan kepala, yang artinya "memang benar".
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan,
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Rabi'ah di
Masisiyyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim (yakni
At-Taifi), dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan.”Sesungguhnya nasib yang menimpa mereka yang melakukan perburuan di
hari Sabtu ialah mereka dikutuk menjadi kera sungguhan, kemudian mereka
dibinasakan sehingga tidak ada keturunannya."
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah mengutuk mereka menjadi
kera karena kedurhakaan mereka. Ibnu Abbas mengatakan, mereka hanya hidup di
bumi ini selama tiga hari. Tiada suatu pun yang dikutuk dapat bertahan hidup
lebih dari tiga hari. Sesudah rupa mereka dikutuk dan diubah, mereka tidak mau
makan dan minum serta tidak dapat mengembangbiakkan keturunannya. Karena
sesungguhnya Allah telah menciptakan kera dan babi serta makhluk lainnya dalam
masa enam hari, seperti yang disebutkan di dalam Kitab-Nya. Allah mengubah rupa
kaum tersebut menjadi kera. Demikianlah Allah dapat melakukan terhadap siapa
yang dikehendaki-Nya, dan Dia dapat mengubah rupa ke dalam bentuk seperti apa
yang dikehendaki-Nya.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah sehubungan dengan
firman-Nya: Jadilah kalian kera-kera yang hina. (Al-Baqarah: 65) Yakni
jadilah kalian orang-orang yang nista dan hina (seperti kera). Hal yang semisal
telah diriwayatkan dari Mujahid, Qatadah, Ar-Rabi', dan Abu Malik.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnu Abul Husain, dari Ikrimah,
bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan, "Sesungguhnya hal yang difardukan oleh
Allah kepada kaum Bani Israil pada mulanya adalah sama dengan hari yang
difardukan oleh Allah kepada kalian dalam hari raya kalian, yaitu hari Jumat.
Tetapi mereka menggantinya menjadi hari Sabtu, lalu mereka menghormati hari
Sabtu (sebagai ganti hari Jumat) dan mereka meninggalkan apa-apa yang
diperintahkan kepadanya. Tetapi setelah mereka membangkang dan hanya menetapi
hari Sabtu, maka Allah menguji mereka dengan hari Sabtu itu dan diharamkan atas
mereka banyak hal yang telah dihalalkan bagi mereka diselain hari Sabtu. Mereka
yang melakukan demikian tinggal di suatu kampung yang terletak di antara Ailah
dan Tur, yaitu Madyan. Maka Allah mengharamkan mereka melakukan perburuan ikan
di hari Sabtu, juga mengharamkan memakannya di hari itu.
Tersebutlah apabila hari Sabtu tiba, maka ikan-ikan datang kepada mereka
terapung-apung di dekat pantai mereka berada. Tetapi apabila hari Sabtu telah
berlalu, ikan-ikan itu pergi semua hingga mereka tidak dapat menemukan seekor
ikan pun, baik yang besar maupun yang kecil. Singkatnya, bila hari Sabtu tiba
ikan-ikan itu muncul begitu banyak secara misteri; tetapi bila hari Sabtu
berlalu, ikan-ikan itu lenyap tak berbekas.
Mereka tetap dalam keadaan demikian dalam waktu yang cukup lama memendam rasa
ingin memakan ikan. Kemudian ada seseorang dari kalangan mereka sengaja
menangkap ikan dengan sembunyi-sembunyi di hari Sabtu, lalu ia mengikat ikan
tersebut dengan benang, kemudian melepaskannya ke laut; sebelum itu ia mengikat
benang itu ke suatu pasak yang ia buat di tepi laut, lalu ia pergi
meninggalkannya. Keesokan harinya ia datang ke tempat itu, lalu mengambil ikan
tersebut dengan alasan bahwa ia tidak mengambilnya di hari Sabtu. Selanjutnya ia
pergi membawa ikan tangkapannya itu, kemudian dimakannya. Pada hari Sabtu
berikutnya ia melakukan hal yang sama, ternyata orang-orang mencium bau ikan
itu. Maka penduduk kampung berkata, "Demi Allah, kami mencium bau ikan."
Kemudian mereka menemukan orang yang melakukan hal tersebut, lalu mereka
mengikuti jejak si lelaki itu. Mereka melakukan hal tersebut dengan
sembunyi-sembunyi dalam waktu cukup lama; Allah sengaja tidak menyegerakan
siksaan-Nya terhadap mereka, sebelum mereka melakukan perburuan ikan secara
terang-terangan dan menjualnya di pasar-pasar.
Segolongan orang dari kalangan mereka yang tidak ikut berburu berkata,
"Celakalah kalian ini, bertakwalah kepada Allah." Golongan ini melarang apa yang
diperbuat oleh kaumnya itu. Sedangkan golongan lainnya yang tidak memakan ikan
dan tidak pula melarang kaum dari perbuatan mereka berkata, "Apa gunanya kamu
menasihati suatu kaum yang bakal diazab oleh Allah atau Allah akan mengazab
mereka dengan azab yang keras." Mereka yang memberi peringatan kepada kaumnya
menjawab, "Sebagai permintaan maaf kepada Tuhan kalian, kami tidak menyukai
perbuatan mereka, dan barangkali saja mereka mau bertakwa (kepada Allah)."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Ketika mereka dalam keadaan demikian, maka
pada pagi harinya orang-orang yang tidak ikut berburu di tempat perkumpulan dan
masjid-masjidnya merasa kehilangan orang-orang yang berburu, mereka tidak
melihatnya. Kemudian sebagian dari kalangan mereka berkata kepada sebagian yang
lain, 'Orang-orang yang suka berburu di hari Sabtu sedang sibuk, marilah kita
lihat apakah yang sedang mereka lakukan.' Lalu mereka berangkat untuk melihat
keadaan orang-orang yang berburu di rumah-rumah mereka, ternyata mereka
menjumpai rumah-rumah tersebut dalam keadaan terkunci. Rupanya mereka memasuki
rumahnya masing-masing di malam hari, lalu menguncinya dari dalam, seperti
halnya orang yang mengurung diri. Ternyata pada pagi harinya mereka menjadi kera
di dalam rumahnya masing-masing, dan sesungguhnya orang-orang yang melihat
keadaan mereka mengenal seseorang yang dikenalnya kini telah berubah bentuk
menjadi kera. Para wanitanya menjadi kera betina, dan anak-anaknya menjadi kera
kecil."
Ibnu Abbas mengatakan, seandainya Allah tidak menyelamatkan orang-orang yang
melarang mereka berbuat kejahatan itu, niscaya semuanya dibinasakan oleh Allah.
Kampung tersebut adalah yang disebut oleh Allah Swt. dalam firman-Nya kepada
Nabi Muhammad Saw., yaitu:
{وَاسْأَلْهُمْ
عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ}
Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat
laut. (Al-A'raf: 163) hingga akhir ayat.
Ad-Dahhak meriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu Abbas r.a.
As-Saddi meriwayatkan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan
sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar di antara kalian
pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, "Jadilah kalian kera yang
hina." (Al-Baqarah: 65) Mereka adalah penduduk kota Ailah, yaitu suatu kota
yang terletak di pinggir pantai. Tersebutlah bila hari Sabtu tiba, maka
ikan-ikan bermunculan. sedangkan Allah telah mengharamkan orang-orang Yahudi
melakukan suatu pekerjaan pun di hari Sabtu. Bila hari Sabtu tiba, tiada seekor
ikan pun yang ada di laut itu yang tidak bermunculan sehingga ikan-ikan tersebut
menampakkan songot (kumis)nya ke permukaan air. Tetapi bila hari Ahad tiba,
ikan-ikan itu menetap di dasar laut, hingga tiada seekor ikan pun yang tampak,
dan baru muncul lagi pada hari Sabtu mendatang. Yang demikian itu dinyatakan di
dalam firman-Nya: Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang
terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu
datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di
permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang
kepada mereka. (Al-A’raf: 163)
Maka sebagian dari mereka ada yang ingin makan ikan, lalu seseorang (dari
mereka) menggali pasir dan membuat suatu parit sampai ke laut yang dihubungkan
dengan kolam galiannya itu. Apabila hari Sabtu tiba, ia membuka tambak paritnya,
lalu datanglah ombak membawa ikan hingga ikan-ikan itu masuk ke dalam kolamnya.
Ketika ikan-ikan itu hendak keluar dari kolam tersebut, ternyata tidak mampu
karena paritnya dangkal, hingga ikan-ikan itu tetap berada di dalam kolam
tersebut. Apabila hari Ahad tiba, maka lelaki itu datang, lalu mengambil
ikan-ikan tersebut. Lalu seseorang memanggang ikan hasil tangkapannya dan
ternyata tetangganya mencium bau ikan bakar. Ketika si tetangga menanyakan
kepadanya, ia menceritakan apa yang telah dilakukannya. Maka si tetangga
tersebut melakukan hal yang sama seperti dia, hingga tersebarlah kebiasaan makan
ikan di kalangan mereka.
Kemudian ulama mereka berkata, "Celakalah kalian, sesungguhnya kalian
melakukan perburuan di hari Sabtu, sedangkan hari tersebut tidak dihalalkan bagi
kalian." Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami hanya menangkapnya pada hari Ahad,
yaitu di hari kami mengambilnya." Maka orang-orang yang ahli hukum berkata,
"Tidak, melainkan kalian menangkapnya di hari kalian membuka jalan air bagi-nya,
lalu ia masuk."
Akhirnya mereka tidak dapat mencegah kaumnya menghentikan hal tersebut. Lalu
sebagian orang yang melarang mereka berkata kepada sebagian yang lain,
sebagaimana yang disebutkan oleh Firman-Nya:
{لِمَ
تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا
شَدِيدًا}
Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau
mengazab mereka dengan azab yang amat keras? (Al-A'raf 164)
Dengan kata lain, mengapa kalian bersikeras menasihati mereka, padahal kalian
telah menasihati mereka, tetapi ternyata mereka tidak mau menuruti nasihat
kalian. Maka sebagian dari mereka berkata, seperti yang disitir oleh
firman-Nya:
{مَعْذِرَةً
إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ}
Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian,
dan supaya mereka bertakwa. (Al-A'raf: 164)
Ketika mereka menolak nasihat tersebut, maka orang-orang yang taat kepada
perintah Allah berkata, "Demi Allah, kami tidak mau hidup bersama kalian dalam
satu kampung." Lalu mereka membagi kampung itu menjadi dua bagian yang
dipisahkan oleh sebuah tembok penghalang.
Lalu kaum yang taat pada perintah Allah membuat suatu pintu khusus buat
mereka sendiri, dan orang-orang yang melanggar pada hari Sabtu membuat pintunya
sendiri pula. Nabi Daud a.s. melaknat mereka yang melanggar di hari Sabtu itu.
Kaum yang taat pada perintah Allah keluar memakai pintunya sendiri, dan
orang-orang yang kafir keluar dari pintunya sendiri pula.
Pada suatu hari orang-orang yang taat pada perintah Tuhannya keluar.
sedangkan orang-orang yang kafir tidak membuka pintu khusus mereka. Maka
orang-orang yang taat melongok keadaan mereka dengan menaiki tembok penghalang
tersebut setelah merasakan bahwa mereka tidak mau juga membuka pintunya.
Ternyata mereka yang kafir itu telah berubah ujud menjadi kera, satu sama
lainnya saling melompati. Kemudian orang-orang yang taat membuka pintu mereka,
lalu kera-kera tersebut keluar dan pergi menuju suatu tempat. Yang demikian itu
dijelaskan di dalam firman-Nya:
{فَلَمَّا
عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً
خَاسِئِينَ}
Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka
mengerjakannya, Kami katakan kepada mereka, "Jadilah kalian kera yang hina!"
(Al-A'raf: 166)
Kisah inilah yang pada mulanya disebutkan oleh firman-Nya:
{لُعِنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ
مَرْيَمَ}
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan
Isa putra Maryam. (Al-Maidah: 78) hingga akhir ayat.
Merekalah yang dikutuk menjadi kera-kera itu.
Menurut kami, tujuan mengetengahkan pendapat para imam tersebut untuk
menjelaskan kelainan pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid rahimahullah. Dia
berpendapat bahwa kutukan yang menimpa mereka hanyalah kutukan maknawi, bukan
kutukan yang mengakibatkan mereka berubah ujud menjadi kera. Pendapat yang sahih
adalah yang mengatakan bahwa kutukan tersebut maknawi dan
suwari.
*********
Firman Allah Swt.:
{فَجَعَلْنَاهَا
نَكَالا}
Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan. (Al-Baqarah:
66)
Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa damir yang terkandung pada lafaz faja
alnaha kembali kepada al-qiradah (menjadi kera). Menurut pendapat
lain kembali kepada al-hitan (ikan-ikan). Menurut pendapat yang lainnya
kembali kepada siksaan, dan menurut yang lainnya lagi kembali kepada
al-qaryah (kampung tempat mereka tinggal). Demikian menurut riwayat Ibnu
Jarir.
Menurut pendapat yang sahih, damir tersebut kembali kepada al-qaryah,
yakni Allah menjadikan kampung itu; sedangkan yang dimaksud adalah para
penduduknya, karena merekalah yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu.
Nakalan, peringatan; yakni Kami siksa mereka dengan suatu siksaan,
lalu Kami jadikan siksaan itu sebagai peringatan, seperti pengertian yang
terkandung di dalam firman-Nya mengenai Fir'aun, yaitu:
{فَأَخَذَهُ
اللَّهُ نَكَالَ الآخِرَةِ وَالأولَى}
Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan di dunia.
(An-Nazi'at: 25)
********
Firman Allah Swt.:
{لِمَا
بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا}
bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian.
(Al-Baqarah: 66)
Damir ha kembali kepada al-qura (kampung-kampung). Ibnu Abbas
mengatakan bahwa Kami jadikan siksaan yang telah menimpa penduduk kampung
tersebut sebagai pelajaran atau peringatan bagi orang-orang yang ada di
kampung-kampung sekitarnya, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman
lainnya, yaitu:
{وَلَقَدْ
أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُونَ}
Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian
dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya
mereka kembali (bertobat). (Al-Ahqaf: 27)
Termasuk ke dalam pengertian ini firman lainnya, yaitu:
{أَوَلَمْ
يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا}
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi
daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit
demi sedikit) dari tepi-tepinya (sekitarnya). (Ar-Ra'd: 41)
Makna yang dimaksud dengan lafaz lima baina yadaiha wa ma khalfaha
ialah menyangkut tempat, seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari
Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa lima
bainaha artinya penduduk kampung setempat; wa ma khalfaha, penduduk
kampung-kampung yang di sekitarnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu
Jubair, bahwa lima baina yadaiha wa ma khalfaha, artinya orang yang ada
di tempat tersebut di masa itu.
Telah diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Khalid, Qatadah, dan Atiyyah Al-Aufi
sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Maka Kami jadikan yang demikian itu
sebagai peringatan bagi orang-orang di masa itu. (Al-Baqarah: 66) Ma
baina yadaiha artinya ma qablaha, yakni bagi orang-orang yang
sebelumnya yang menyangkut masalah hari Sabtu. Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan
Atiyyah mengatakan bahwa wa ma khalfaha artinya buat orang-orang yang
sesudah mereka dari kalangan Bani Israil agar mereka tidak melakukan hal yang
semisal dengan perbuatan orang-orang yang dikutuk itu. Mereka mengatakan bahwa
makna yang dimaksud dari lafaz ma baina yadaiha wa ma khalfaha berkaitan
dengan zaman, yakni sebelum dan sesudahnya.
Pengertian tersebut dapat dibenarkan bila dikaitkan dengan orang-orang
sesudah mereka, agar apa yang telah menimpa penduduk kampung itu menjadi
peringatan dan pelajaran bagi mereka. Jika dikaitkan dengan orang-orang sebelum
mereka, mana mungkin ayat ini ditafsirkan dengan makna tersebut, yakni sebagai
pelajaran dan peringatan buat orang-orang sebelum mereka? Barangkali setelah
dipa-hami tidak ada seorang pun yang mengatakan demikian.
Dengan demikian, maka tertentulah pengertian lafaz ma baina yadaiha wa ma
khalfaha artinya 'buat orang-orang yang tinggal di kampung-kampung
sekitarnya'. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Jubair.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah,
mengenai firman-Nya: Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan
bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian.
(Al-Baqarah: 66)
Bahwa makna yang dimaksud ialah sebagai hukuman terhadap dosa-dosa mereka
yang sekarang dan yang lalu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, As-Saddi
Al-Farra, dan Ibnu Atiyyah bahwa lima baina yadaiha artinya 'bagi
dosa-dosa kaum tersebut', sedangkan wa ma khalfaha artinya 'bagi orang
sesudahnya yang berani melakukan hal yang semisal dengan dosa-dosa mereka
itu'.
Ar-Razi meriwayatkan tiga buah pendapat sehubungan dengan tafsir ayat ini:
Yang pertama mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari lafaz ma baina yadaiha
wa ma khalfaha ialah 'bagi orang-orang sebelum mereka yang telah mengetahui
beritanya melalui kitab-kitab terdahulu dan bagi orang-orang sesudah mereka.
Pendapat kedua mengatakan, makna yang dimaksud ialah 'bagi para penduduk kampung
dan umat-umat yang semasa dengannya. Pendapat ketiga mengatakan bahwa Allah Swt.
menjadikan hal tersebut sebagai hukuman buat orang-orang yang melakukan
perbuatan tersebut sebelumnya, juga bagi orang-orang sesudahnya. Pendapat ketiga
ini merupakan pendapat Al-Hasan.
Menurut kami, pendapat yang kuat ialah yang mengartikan bahwa ma baina
yadaiha dan wa ma khalfaha artinya 'bagi orang-orang yang sezaman
dengan mereka, juga bagi orang-orang yang akan datang sesudah mereka', seperti
makna yang terkandung di dalam firman-Nya;
{وَلَقَدْ
أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُونَ}
Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar
kalian. (Al-Ahqaf: 27) hingga akhir ayat.
Dan Allah telah berfirman:
{وَلا
يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا تُصِيبُهُمْ بِمَا صَنَعُوا قَارِعَةٌ أَوْ تَحُلُّ
قَرِيبًا مِنْ دَارِهِمْ}
Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan
mereka sendiri. (Ar-Ra'd: 31)
{أَفَلا
يَرَوْنَ أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا}
Maka apakah mereka tidak melihat bahwa Kami mendatangi negeri (orang
kafir), lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya (Al-Anbiya: 44)
Maka Allah menjadikan mereka sebagai pelajaran dan peringatan buat
orang-orang yang sezaman dengan mereka, juga menjadi pelajaran bagi orang-orang
yang kemudian melalui berita yang mutawatir dari mereka. Karena itulah di akhir
ayat disebutkan:
{وَمَوْعِظَةً
لِلْمُتَّقِينَ}
serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah:
66)
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: serta menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 66) Yang dimaksud ialah bagi
orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat.
Al-Hasan Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Serta menjadi
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 66) Ia memperingatkan
mereka sehingga mereka memelihara diri dari hal-hal yang menyebabkan siksa Allah
dan mewaspadainya.
As-Saddi dan Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa makna firman-Nya: serta
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 66) ialah
umat Nabi Muhammad Saw.
Menurut kami, makna yang dimaksud dari lafaz al-mauizah dalam ayat ini
ialah peringatan. Dengan kata lain, Kami jadikan azab dan pembalasan yang telah
menimpa mereka sebagai balasan dari perbuatan mereka yang melanggar hal-hal yang
diharamkan oleh Allah dan tipu muslihat yang mereka jalankan. Karena itu,
hati-hatilah orang-orang yang bertakwa terhadap perbuatan seperti yang mereka
lakukan itu, agar tidak tertimpa siksaan yang telah menimpa mereka.
Sehubungan dengan pengertian ini Imam Abu Abdullah ibnu Buttah meriwayatkan:
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
الصَّبَّاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو [عَنْ أَبِي سَلَمَةَ] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قال: "لَا تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَ
الْيَهُودُ، فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللَّهِ بِأَدْنَى
الْحِيَلِ"
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Muslim, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah Az-Za'farani, telah
menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Umar, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Janganlah kalian lakukan seperti apa yang
telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, karena akibatnya kalian akan
menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah hanya dengan tipu muslihat yang
rendah.
Sanad ini berpredikat jayyid; Ahmad ibnu Muhammad ibnu Muslim dinilai siqah
oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Khatib Al-Bagdadi, sedangkan perawi lainnya sudah
dikenal dengan syarat sahih.
Al-Baqarah, ayat 67
وَإِذْ
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً
قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ
الْجَاهِلِينَ (٦٧)
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
kaumnya, "Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina."
Mereka berkata, "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab,
"Aku berlindung kepada Allah akan termasuk golongan orang-orang yang
jahil."
Allah Swt. berfirman melalui ayat ini, "Ingatlah kalian, hai kaum Bani
Israil, akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian dalam hal yang
menyangkut perkara yang berlainan dengan hukum alam bagi kalian," yaitu mengenai
seekor sapi betina dan keterangan mengenai si pembunuhnya dengan melalui sapi
betina itu, kemudian Allah menghidupkan si terbunuh, lalu si terbunuh menyebut
siapa pelaku yang telah membunuh dirinya dari kalangan mereka. Ibnu Abu Hatim
meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah,
telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami
Hisyam ibnu Hassan, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah As-Salmani yang
menceritakan hadis berikut:
Ada seorang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil yang mandul, tidak
mempunyai anak, sedangkan dia mempunyai harta benda yang banyak. Orang yang
mewarisinya hanyalah anak lelaki dari saudara laki-lakinya. Pada suatu malam
keponakannya itu membunuhnya dan meletakkan mayatnya di depan pintu rumah salah
seorang dari kalangan mereka. Di pagi harinya si pembunuh menuduh mereka, hingga
masing-masing pihak memakai senjatanya dan sebagian dari mereka berperang dengan
sebagian yang lain.
Kemudian orang-orang yang bijak dan berkuasa dari kalangan mereka berkata,
"Mengapa kalian saling membunuh di antara sesama kalian, sedangkan utusan Allah
berada di antara kalian?" Akhirnya mereka datang menghadap Nabi Musa a.s., lalu
menceritakan peristiwa tersebut. Maka Nabi Musa a.s. berkata, seperti yang
disitir oleh firman-Nya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih
seekor sapi betina" Mereka berkata, "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah
ejekan?" Musa menjawab, "Aku berlindung kepada Allah akan termasuk golongan
orang-orang yang jahil." (Al-Baqarah: 67)
Perawi mengatakan, seandainya mereka tidak menyangkal, niscaya sapi apa pun
yang mudah didapat sudah cukup bagi mereka. Tetapi mereka keras kepala, akhirnya
mereka diperberat. Setelah mereka mendapatkan sapi betina yang diperintahkan
agar mereka menyembelihnya, ternyata sapi betina itu adalah milik seorang lelaki
yang tidak punya sapi lain kecuali satu-satunya yang mereka harapkan itu.
Akhirnya si pemilik sapi berkata, "Demi Allah, sebagai tukarannya aku tidak mau
kurang dari sejumlah emas yang memenuhi kulitnya." Maka mereka terpaksa
mengambil sapi betina tersebut dengan memberikan tukaran berupa emas sepenuh
kulitnya. Mereka menyembelih sapi tersebut, lalu memukulkan sebagian dari
anggota badannya ke tubuh mayat yang dimaksudkan. Akhirnya si mayat dapat hidup.
Mereka bertanya, "Siapakah yang telah membunuhmu?" Ia menjawab, "Orang ini,"
seraya mengisyaratkan kepada keponakannya, lalu ia lunglai dan mati.
Si pembunuh tidak diberi sedikit harta pun dari peninggalan si mayat. Setelah
peristiwa tersebut, maka pembunuh tidak dapat mewarisi (harta si terbunuh).
Ibnu Jarir meriwayatkan hadis semisal melalui hadis Ayyub, dari Muhammad ibnu
Sirin, dari Ubaidah. Diriwayatkan pula oleh Abdu Ibnu Humaid di dalam kitab
tafsirnya, disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun
dengan lafaz yang sama. Telah diriwayatkan pula oleh Adam ibnu Abu Iyas di dalam
kitab tafsirnya, dari Abu Ja'far (yakni Ar-Razi), dari Hisyam ibnu Hassan dengan
lafaz yang sama.
Adam ibnu Abu Iyas di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Abu Ja'far Ar-Razi, dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah
mengenai firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor
sapi betina. (Al-Baqarah: 67) Tersebutlah bahwa ada seorang lelaki dari
kalangan Bani Israil, dia orang kaya dan tidak mempunyai seorang anak pun, yang
mewarisinya adalah salah seorang kerabatnya. Kemudian si kerabat membunuhnya
agar cepat memperoleh harta warisannya, lalu mayatnya ia campakkan di perempatan
jalan. Si pembunuh datang kepada Nabi Musa dan berkata, "Sesungguhnya kerabatku
telah terbunuh, hal ini merupakan suatu peristiwa yang sangat berat, karena aku
tidak menjumpai seorang pun selainmu yang dapat menjelaskan kepadaku siapa
pembunuhnya, wahai Nabi Allah?"
Maka Nabi Musa menyeru kepada semua orang, "Kuminta —demi Allah— siapa yang
mengetahui peristiwa ini, hendaknya dia menceritakannya kepada kami." Ternyata
tiada seorang pun dari mereka yang mengetahuinya. Lalu si pembunuh datang kepada
Musa dan berkata, "Engkau adalah Nabi Allah, maka mintakanlah kepada Allah buat
kami agar Dia menjelaskannya kepada kami." Nabi Musa a.s. memohon kepada
Tuhannya, lalu Allah berfirman: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian
menyembelih seekor sapi betina. (Al-Baqarah: 67) Mereka heran dengan jawaban
tersebut, lalu berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?"
Musa menjawab, "Aku berlindung kepada Allah akan termasuk golongan orang-orang
yang jahil’ Mereka menjawab, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia
menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu? " Musa menjawab, "Sesungguhnya
Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan
tidak muda, pertengahan di antara itu.” (Al-Baqarah: 67-68) Artinya sapi
betina tersebut tidak terlalu tua, tidak pula terlalu muda, melainkan
pertengahan di antara keduanya.
Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan
kepada kami warna sapi itu." Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya,
lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." (Al-Baqarah: 69) Sapi
betina tersebut berwama kuning mulus lagi membuat takjub orang-orang yang
memandangnya.
Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan
kepada kami bagaimana hakikal sapi betina itu? Karena sesungguhnya sapi itu
(masih) samar bagi kami, dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat
petunjuk." Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula
untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." (Al-Baqarah:
70-71) Yakni sapi betina tersebut belum pernah dipekerjakan untuk membajak tanah
dan mengairi tanaman, juga tidak ada cacat serta tidak ada belangnya. Mereka
berkata, "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
sebenarnya." Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu. (Al-Baqarah: 71)
Perawi mengatakan, "Seandainya kaum itu di saat menerima perintah untuk
menyembelih sapi betina, mereka langsung mendatangkan seekor sapi betina yang
mana pun, hal itu sudah cukup. Tetapi mereka memperberat dirinya sendiri, maka
Allah benar-benar memperberat mereka. Seandainya saja kaum itu tidak mengucapkan
kata istisna seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan sesungguhnya
kami insya Allah akan mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 70) niscaya mereka
tidak akan beroleh petunjuk untuk mendapatkan sapi betina tersebut untuk
selama-lamanya."
Menurut riwayat yang sampai kepada kami, mereka tidak menemukan sapi betina
yang spesifikasinya disebutkan kepada mereka kecuali hanya pada seorang wanita
tua yang memelihara banyak anak yatim; si nenek itulah yang mengurus mereka.
Tatkala si nenek mengetahui bahwa tiada yang dapat membersihkan mereka kecuali
hanya sapi miliknya, maka ia melipatgandakan harganya kepada mereka. Lalu mereka
menghadap Nabi Musa a.s. dan menceritakan kepadanya bahwa mereka tidak menemukan
sapi berciri khas seperti itu kecuali pada seorang wanita dan wanita itu meminta
harga pembelian yang berlipat ganda dari biasanya.
Nabi Musa a.s. berkata, "Sesungguhnya Allah telah memberikan keringanan
kepada kalian, tetapi kalian memperberat diri kalian sendiri. Maka berikanlah
kepada si nenek itu apa yang disukainya dan apa yang telah ditetapkannya." Lalu
mereka melakukannya, membeli sapi betina itu dan menyembelihnya. Kemudian Nabi
Musa a.s. memerintahkan mereka agar memotong salah satu dari tulang sapi betina
itu untuk dipukulkan kepada jenazah tersebut. Mereka melakukan apa yang
diperintahkan oleh Nabi Musa a.s., dan ternyata jenazah tersebut dapat hidup
kembali, lalu menyebutkan kepada mereka nama orang yang telah membunuhnya.
Sesudah itu ia mati kembali seperti semula. Maka Nabi Musa a.s. menangkap si
pembunuh yang ternyata adalah orang yang pernah datang dan mengadu kepada Nabi
Musa a.s. itu sendiri. Akhirnya si pembunuh tersebut dihukum mati sebagai
pembalasan dari perbuatan jahatnya itu.
Muhammad ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu
Sa'id, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku pamanku,
telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakekku, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan ayat yang menceritakan perihal sapi betina ini. Disebutkan bahwa ada
seorang lelaki yang lanjut usia di kalangan kaum Bani Israil pada zaman Nabi
Musa a.s. Lelaki tua tersebut mempunyai harta yang banyak, sedangkan anak-anak
saudara lelakinya miskin, tak berharta. Lelaki tua itu tidak beranak, dan ahli
warisnya adalah anak-anak saudara lelakinya. Mereka berkata, "Aduhai, seandainya
paman kita telah mati, niscaya kita akan mewarisi hartanya." Tetapi setelah masa
berlalu sangat lama, sedangkan paman mereka tidak juga mati, datanglah setan
kepada mereka dan mengatakan kepada mereka, "Mengapa tidak kalian bunuh saja
paman kalian, niscaya kalian akan segera mewarisi hartanya dan kalian menimpakan
diatnya kepada penduduk kota yang kalian tidak ada di dalamnya." Demikian itu
karena ada dua kota di sekitar daerah tersebut, dan mereka berada di salah
satunya. Sedangkan hukum yang berlaku di kalangan mereka ialah apabila ada
seseorang yang terbunuh, lalu mayatnya tergeletak di antara kedua kota, maka
dilakukan pengukuran jarak antara si mayat dan dua kota tersebut. Kota mana pun
di antara keduanya yang jaraknya lebih dekat kepada si mayat, maka penduduk kota
tersebutlah yang harus menanggung diatnya.
Ketika setan membujuk mereka untuk melakukan hal tersebut, mengingat paman
mereka tidak juga mati dalam waktu yang cukup lama, mereka terbujuk. Maka dengan
sengaja mereka membunuh pamannya, sesudah itu mereka lemparkan mayatnya di depan
pintu gerbang kota yang mereka bukan berasal dari kota tersebut. Pada keesokan
harinya penduduk kota kedatangan anak-anak saudara lelaki tua tersebut, lalu
mereka berkata, "Paman kami terbunuh di depan pintu gerbang kalian. Demi Allah,
kalian harus membayar diat paman kami kepada kami." Penduduk kota menjawab,
"Kami bersumpah dengan nama Allah, kami tidak membunuhnya dan kami tidak
mengetahui siapa pembunuhnya. Kami belum pernah membuka pintu gerbang kota kami
sejak kami menutupnya hingga pagi hari."
Mereka datang kepada Nabi Musa a.s., lalu berkata, "Paman kami telah kami
temukan dalam keadaan terbunuh di depan pintu kota mereka." Penduduk kota
menjawab, "Kami bersumpah kepada Allah, kami tidak membunuhnya dan kami tidak
pernah membuka pintu gerbang kota kami bila telah kami tutup hingga pagi
hari."
Kemudian datanglah Malaikat Jibril —membawa perintah dari Allah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui— kepada Nabi Musa a.s. Nabi Musa a.s. berkata
kepada mereka: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi
betina. (Al-Baqarah: 67) Kemudian kalian pukul mayat itu dengan salah satu
anggota badan sapi betina yang telah disembelih itu.
As-Saddi meriwayatkan sehubungan dengan firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika
Musa berkata kepada kaumnya, "Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih
seekor sapi betina." (Al-Baqarah: 67) Tersebutlah bahwa ada seorang lelaki
dari kalangan Bani Israil yang memiliki banyak harta dan seorang anak perempuan
serta seorang keponakan laki-laki yang miskin. Lalu si keponakan melamar anak
perempuannya. tetapi ia menolak dan tidak mau mengawinkan anak perempuannya
dengan keponakannya itu. Akhirnya si keponakan yang masih muda itu marah dan
mengatakan, "Demi Allah, aku benar-benar akan membunuh pamanku, merampas
hartanya, mengawini anak perempuannya, dan memakan diat pembunuhannya."
Si pemuda datang kepada pamannya ketika ada berita tentang kedatangan para
pedagang di salah satu suku Bani Israil, lalu si pemuda mengatakan kepada
pamannya, "Hai paman, berangkatlah bersamaku dan tolong ambilkan buatku sebagian
dari harta dagangan kaum tersebut, barangkali aku dapat memperoleh keuntungan
darinya. Sesungguhnya jika mereka melihat engkau bersamaku, niscaya mereka mau
memberikannya kepadaku." Si paman berangkat bersama keponakannya di malam hari.
Ketika si paman sampai di tempat kabilah yang dituju, maka si keponakan
membunuhnya, lalu si keponakan kembali kepada keluarganya.
Pada keesokan harinya si keponakan tersebut datang seakan-akan sedang mencari
pamannya, ia berpura-pura tidak mengetahui di mana pamannya berada dan
seakan-akan ia tidak menemukannya. Lalu ia berangkat menuju tempat pamannya
terbunuh, ternyata ia menjumpai kabilah tersebut sedang mengerumuni mayat
pamannya. Lalu ia mengambil mayat pamannya seraya berkata, "Kalian telah
membunuh pamanku, maka kalian harus membayar diatnya kepadaku." Ia mengatakan
demikian seraya menangis dan menaburkan pasir ke atas kepalanya sendiri dan
mengatakan, "Aduhai pamanku.'
Ia melaporkan hal tersebut kepada Nabi Musa a.s. Maka Nabi Musa a.s.
menjatuhkan keputusan agar mereka membayar diat kepada si pemuda itu. Tetapi
mereka berkata, "Wahai utusan Allah, mohonkanlah kepada Tuhanmu buat kami agar
Dia menjelaskan kepada kami siapakah yang telah membunuhnya, lalu kita tangkap
pelakunya. Demi Allah, sesungguhnya diat si terbunuh ini mudah bagi kami, tetapi
kami merasa malu dituduh sebagai pembunuh." Yang demikian itu disebutkan di
dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika kalian membunuh seorang manusia, lalu
kalian saling tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang
selama ini kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 72)
Musa a.s. berkata kepada mereka, sebagaimana yang dinyatakan di dalam
firman-Nya melalui ayat berikut: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian
menyembelih seekor sapi betina. (Al-Baqarah: 67) Tetapi jawaban mereka,
"Kami bertanya kepadamu tentang orang yang dibunuh dan orang yang membunuhnya,
tetapi engkau menjawabnya, 'Sembelihlah seekor sapi betina.' Apakah engkau
memperolok-olokkan kami?" Maka Nabi Musa a.s. menjawab: Musa menjawab, "Aku
berlindung kepada Allah akan termasuk golongan orang-orang yang jahil."
(Al-Baqarah: 67)
Sahabat Ibnu Abbas r.a. mengatakan, seandainya mereka mengambil seekor sapi
betina mana pun lalu, mereka menyembelihnya, niscaya hal itu sudah cukup bagi
mereka. Akan tetapi, mereka bersikpp keras dan membandel terhadap Nabi Musa
a.s., maka Allah memperkeras sanksi-Nya terhadap mereka. Mereka mengatakan:
Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami sapi
betina apakah itu. Musa menjawab, "Se-ungguhnya Allah berfirman bahwa sapi
betina itu adalah sapi betina yangg tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara
itu." (Al-Baqarah: 68)
Al-farid. sapi betina yang sudah tua dan tidak beranak lagi.
Al-bikr, sapi betina yang belum pernah beranak kecuali hanya baru sekali.
Al-'awan, pertengahan di antara keduanya.
Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kalian. Mereka berkata,
"Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa
warnanya." Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan
orang-orang yang memandangnya.'"' Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu
untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu,
karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya
Allah akan mendapat petunjuk.” Musa berkata, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa
sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak
tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak cacat, tidak ada
belangnya.”(Al-Baqarah: 68-71) Yakni tidak ada belang putih, belang hitam,
dan belang merah, melainkan kuning mulus.
Mereka berkata, "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina
yang sebenarnya." (Al-Baqarah: 71) Mereka mencarinya, dan ternyata mereka
tidak mampu menemukannya.
Tersebut di kalangan kaum Bani Israil terdapat seorang pemuda yang sangat
berbakti kepada ayahnya, pada suatu hari ada seorang lelaki lain yang lewat
kepadanya seraya membawa mutiara jualannya. Ketika itu ayahnya sedang tidur,
sedangkan kunci brankas berada di bawah bantalnya. Si lelaki penjual mutiara itu
berkata kepadanya, "Maukah engkau beli mutiara ini dengan harga tujuh puluh ribu
dirham?" Si pemuda menjawab, "Jika kamu bersabar hingga ayahku terbangun dari
tidur, aku mau membelinya darimu dengan harga delapan puluh ribu dirham." Si
penjual mutiara berkata, "Bangunkan saja ayahmu, nanti mutiara ini kujual
kepadamu dengan harga enam puluh ribu dirham." Maka si penjual mutiara terus
menurunkan harganya hingga mencapai harga tiga puluh ribu dirham, sedangkan si
pemuda menaikkannya sampai harga seratus ribu dirham, dengan syarat ayahnya
harus terbangun dengan sendirinya terlebih dahulu. Ketika si penjual mendesak
terus, maka si pemuda kesal, lalu berkata kepadanya "Demi Allah, aku tidak mau
membelinya darimu dengan harga berapa pun juga selama-lamanya." Dia menolak
untuk membangunkan ayahnya. Maka Allah mengganti mutiara tersebut menjadi sapi
betina untuk si pemuda (sebagai pahala berbakti kepada ayahnya).
Ketika kaum Bani Israil yang sedang mencari sapi betina itu melihat sapi
betina yang dicarinya berada di tangan si pemuda, mereka langsung meminta agar
si pemuda menjual sapinya kepada mereka, ditukar dengan sapi yang lain; tetapi
si pemuda itu menolak. Lalu mereka menambahkan tukarannya dengan dua ekor sapi,
namun si pemuda tetap menolak, dan mereka terus-menerus menambah hingga sampai
sepuluh ekor sapi seraya berkata, "Demi Allah, kami tidak akan membiarkanmu
sebelum kami membelinya darimu."
Lalu mereka membawa si pemuda itu kepada Nabi Musa a.s. Mereka berkata, "Hai
Nabi Allah, sesungguhnya kami menemukan sapi betina itu berada di tangan lelaki
muda ini, tetapi dia menolak memberikannya kepada kami, padahal kami telah
memberinya harga yang pantas." Maka Nabi Musa a.s. berkata kepada si pemuda,
"Berikanlah kepada mereka sapi betinamu itu." Si pemuda menjawab, "Wahai urusan
Allah, aku lebih berhak terhadap harta bendaku." Nabi Musa a.s. menjawab,
"Engkau benar." Selanjutnya Nabi Musa a.s. berkata kepada kaumnya, "Buatlah
teman kalian ini rela." Akhirnya mereka bersedia mengganti. sapi betinanya itu
dengan emas seberat sapi tersebut, tetapi si pemuda tetap menolak, dan mereka
terus menambah nilai tukarnya hingga sampai sepuluh kali lipat emas seberat
timbangan sapi betinanya. Akhirnya si pemuda memberikan sapi betinanya kepada
mereka dan mengambil harganya, lalu mereka menyembelih sapi betina tersebut.
Nabi Musa a.s. berkata, "Pukullah mayat itu dengan sebagian dari anggota
tubuh sapi betina yang disembelih itu!" Mereka memukulnya dengan bagian tubuh di
antara dua pundak sapi, maka mayat itu dapat hidup kembali. Lalu mereka bertanya
kepadanya, "Siapakah yang telah membunuhmu?" Ia berkata kepada mereka,
"Keponakanku. Dia mengatakan bahwa dia akan membunuhku, merampas hartaku, dan
mengawini anak perempuanku." Akhirnya mereka menangkap si pembunuh dan
membunuhnya.
Sunaid meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj (yakni Ibnu
Muhammad), dari Ibnu Juraij, dari Mujahid; dan Hajjaj, dari Abu Ma'syar, dari
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Muhammad ibnu Qais —riwayat sebagian dari
mereka dimasukkan ke dalam riwayat sebagian yang lainnya—. Disebutkan, ketika
suatu suku dari kalangan Bani Israil merasakan bahwa tindak kejahatan di
kalangan mereka kian banyak, maka mereka membangun sebuah kota terpisah, lalu
mereka menghindar dari kejahatan yang biasa dilakukan kebanyakan orang. Untuk
itu apabila sore hari tiba, mereka tidak membiarkan ada seorang pun di luar kota
melainkan disuruh masuk ke dalam kota. Apabila pagi hari tiba, pemimpin mereka
naik ke atas benteng dan melihat-lihat keadaan di luar; apabila ia tidak melihat
sesuatu pun yang mecurigakan, barulah ia membuka pintu gerbang kotanya, dan ia
selalu bersama mereka hingga petang harinya.
Tersebutlah bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Bani Israil yang memiliki
harta yang banyak, sedangkan ia tidak mempunyai ahli waris kecuali hanya saudara
lelakinya. Tetapi setelah dirasakan oleh si saudara pewaris bahwa saudaranya
yang kaya itu tidak juga mati melainkan berusia panjang, terdorong keinginannya
untuk mewaris dengan secepatnya. Maka ia membunuh saudaranya itu, kemudian
mayatnya ia letakkan di depan pintu kota tersebut, lalu ia dan teman-temannya
bersembunyi di suatu tempat yang tak terlihat.
Ketika pemimpin kota naik ke atas benteng pintu gerbang kotanya, lalu
melihat-lihat keadaan di luar, dan ternyata ia tidak melihat adanya sesuatu yang
mencurigakan, barulah ia membuka pintu gerbang kotanya. Tetapi begitu ia membuka
pintu gerbang kotanya, ia melihat ada seseorang yang mati terbunuh, untuk itu ia
segera menutup kembali pintu gerbang kotanya. Lalu saudara si terbunuh dan
teman-temannya berseru dari tempat persembunyiannya dan menampakkan diri,
"Kalian telah membunuhnya, kemudian kalian tutup kembali pintu gerbang
kalian."
Tersebutlah pula ketika Nabi Musa a.s. melihat banyak kejahatan pembunuhan di
kalangan kaum Bani Israil, maka apabila ia melihat ada seseorang terbunuh di
dekat suatu kaum, ia menghukum kaum tersebut. Di antara saudara si terbunuh dan
penduduk kota hampir terjadi perang di saat kedua belah pihak menyandang
senjatanya masing-masing, tetapi masing-masing masih bisa dapat menahan diri.
Kemudian mereka datang kepada Nabi Musa a.s. dan menceritakan persoalan mereka.
Mereka berkata, "Hai Musa, sesungguhnya orang-orang penduduk kota ini telah
membunuh seseorang, setelah itu mereka menutup pintu gerbangnya." Penduduk kota
menjawab, "Wahai utusan Allah, sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa kami
telah menghindarkan diri dari segala bentuk kejahatan, untuk itu kami telah
membangun kota tersendiri seperti yang engkau lihat dengan tujuan untuk
menghindarkan diri dari kejahatan orang lain. Demi Allah, kami tidak membunuh
dan tidak pula mengetahui pembunuhnya."
Maka Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi Musa a.s., memerintahkan agar
mereka menyembelih seekor sapi betina. Kemudian Nabi Musa a.s. berkata kepada
mereka: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi
betina. (Al-Baqarah: 67)
Konteks ini berasal dari Ubaidah, Abul Aliyah, As-Saddi, dan lain-lainnya;
masing-masing terdapat perbedaan, tetapi pada lahiriahnya riwayat ini diambil
dari kitab-kitab Bani Israil dari kategori yang boleh dinukil, namun tidak boleh
dibenarkan dan tidak boleh didustakan. Karena itu, maka kisah ini tidak dapat
dijadikan pegangan kecuali hal-hal yang sesuai dengan kebenaran yang ada pada
kita.
Al-Baqarah, ayat 68-71
{قَالُوا
ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا
بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا
تُؤْمَرُونَ (68) قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ
إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ
النَّاظِرِينَ (69) قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ
الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ (70)
قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا ذَلُولٌ تُثِيرُ الأرْضَ وَلا تَسْقِي
الْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لَا شِيَةَ فِيهَا قَالُوا الآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ
فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ (71) }
Mereka menjawab, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu
untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami sapi betina apakah itu." Musa
menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan di antara itu; maka kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepada kalian." Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu
untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya." Musa menjawab,
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang
kuning, kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."
Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan
kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi betina
itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat
petunjuk." Musa berkata, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula
untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." Mereka berkata,
"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya."
Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir mereka tidak melaksanakan perintah
itu.
Allah Swt. menceritakan kebandelan kaum Bani Israil dan mereka banyak
bertanya kepada rasul-rasul-Nya. Karena itu, tatkala mereka mempersempit diri
mereka, maka Allah benar-benar mempersempitnya. Seandainya mereka segera
menyembelih sapi betina apa pun, niscaya hal itu sudah cukup bagi mereka sesuai
dengan apa yang diperintahkan. Demikian menurut Ibnu Abbas, Ubaidah, dan
lain-lain-nya; tetapi ternyata orang-orang Bani Israil berkeras kepala, maka
Allah memperkeras sanksi-Nya kepada mereka. Mereka berkata seperti yang
disebutkan oleh firman-Nya:
{ادْعُ
لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ}
Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerang-kan kepada kami
sapi betina apakah itu. (Al-Baqarah: 68)
Makna yang dimaksud ialah bagaimana ciri khas sapi tersebut.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ali, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu
Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Seandainya mereka
mengambil sapi betina apa pun sejak semula, niscaya hal itu sudah cukup bagi
mereka. Tetapi mereka membandel, maka Allah memperkeras sanksi terhadap mereka."
Sanad asar ini berpredikat sahih, dan memang as'ar ini telah diriwayatkan oleh
bukan hanya seorang, bersumber dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Ubaidah, As-Saddi, Mujahid, Ikrimah, Abul Aliyah, dan lain-lainnya.
قَالَ
ابْنُ جُرَيْجٍ: قَالَ [لِي] عَطَاءٌ: لَوْ أَخَذُوا أَدْنَى بَقَرَةٍ كَفَتْهُمْ.
قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"إِنَّمَا أُمِرُوا بِأَدْنَى بَقَرَةٍ، وَلَكِنَّهُمْ لَمَّا شَدَّدُوا عَلَى
أَنْفُسِهِمْ شَدَّدَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ؛ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّهُمْ لَمْ
يَسْتَثْنُوا مَا بُيِّنَتْ لَهُمْ آخِرَ الْأَبَدِ"
Ibnu Juraij meriwayatkan bahwa Ata pernah mengatakan kepadanya, seandainya
mereka (orang-orang Bani Israil) mengambil sapi betina apa pun, niscaya sudah
cukup bagi mereka. Ibnu Juraij meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Sesungguhnya mereka hanya diperintahkan untuk mencari sapi betina
apa pun, tetapi mereka membandel, maka Allah mempekeras sanksi-Nya terhadap
mereka. Demi Allah, seandainya mereka tidak mengucapkan kalimat istisna
(insya Allah), niscaya mereka tidak akan diberi penjelasan sampai hari
kiamat.
************
Firman Allah Swt.:
{قَالَ
إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ}
Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang
tidak tua dan tidak muda. (Al-Baqarah: 68)
Tidak terlalu tua, tidak pula terlalu kecil, dan belum punya anak. Demikian
menurut Abul Aliyah, As-Saddi, Mujahid, Ikrimah, Atiyyah Al-Aufi, Ata
Al-Khurrasani, Wahb ibnu Munabbih, Ad-Dahhak, Al-Hasan, dan Qatadah. Hal yang
sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya,
'"Awanum baina zalika," yakni pertengahan antara usia tua dan usia muda;
dalam seusia itu biasanya binatang ternak —antara lain sapi— sedang dalam usia
puncak kekuatannya dan dalam kondisi paling baik. Hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ata
Al-Khurrasani, dan Ad-Dahhak.
As-Saddi mengatakan bahwa al-'awan ialah pertengahan di antara hal
tersebut, yaitu sapi betina yang telah melahirkan anaknya, lalu anaknya itu
telah beranak lagi.
Hasyim meriwayatkan dari Juwaibir, dari Kasir ibnu Ziad, dari Al-Hasan
sehubungan dengan sapi betina ini, bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
liar.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, dari Ibnu Abbas, "Barang siapa yang
memakai sandal (kulit yang berwarna) kuning, maka ia terus-menerus berada dalam
kesenangan selagi ia memakainya." Yang demikian itu adalah pengertian yang
dimaksud di dalam firman-Nya:
{صَفْرَاءُ
فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ}
menyenangkan orang-orang yang memandangnya. (Al-Baqarah: 69)
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid dan Wahb ibnu Munabbih, bahwa sapi
betina itu berwarna kuning.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa sapi betina itu mempunyai teracak (kuku)
berwarna kuning. Telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair bahwa sapi betina
tersebut berwarna kuning teracak dan tanduknya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah
menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Nuh ibnu
Qais, telah menceritakan kepada kami Abu Raja', dari Al-Hasan sehubungan dengan
firman-Nya: sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya.
(Al-Baqarah: 69) Makna yang dimaksud ialah sapi betina hitam, hitam legam
warnanya.
Riwayat ini berpredikat garib; riwayat yang benar ialah yang pertama tadi.
Karena itu, maka pada lafaz selanjutnya warna kuning dikuatkan dengan
firman-Nya, "Faq’iul launuha," yakni yang kuning tua warnanya.
Menurut Atiyyah Al-Aufi, faqi'ul launuha artinya hampir kelihatan
hitam karena kuningnya sangat kuat.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa faqVul launuha artinya ber-sih dan mulus
warnanya, yakni kuning mulus. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abul
Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Al-Hasan, dan Qatadah.
Syuraik meriwayatkan dari Ma'mar, bahwa faqi’ul launuha artinya bersih
warnanya.
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
faqi'ul launuha artinya sangat kuning atau kuning tua; karena sangat
kuning hingga kelihatan seperti putih warnanya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: menyenangkan orang-orang
yang memandangnya. (Al-Baqarah: 69)
Yakni membuat kagum orang-orang yang memandangnya. Hal yang sama dikatakan
oleh Abul Aliyah, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Wahb ibnu Munabbih mengatakan, "Apabila kamu melihatnya, sekan-akan cahaya
matahari memancar dari kulitnya."
Di dalam kitab Taurat disebutkan bahwa warna kulit sapi betina itu merah,
barangkali hal ini terjadi karena kekeliruan dalam menerjemahkan ke dalam bahasa
Arabnya. Atau seperti pendapat pertama yang mengatakan bahwa warna kulit sapi
betina tersebut sangat kuning hingga warnanya cenderung menjadi merah
kehitam-hitaman.
*****************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ
الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا}
karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami. (Al-Baqarah:
70)
Yaitu karena banyaknya sapi betina. Maka berikanlah ciri-ciri khas sapi
tersebut kepada kami dan jelaskanlah kepada kami secara rinci.
{وَإِنَّا
إِنْ شَاءَ اللَّهُ} إِذَا بَيَّنْتَهَا لَنَا {لَمُهْتَدُونَ}
dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk. (Al-Baqarah:
70)
untuk menemukannya.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الْأَوْدِيُّ الصُّوفِيُّ،
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ أَحْمَدُ بْنُ دَاوُدَ الْحَدَّادُ، حَدَّثَنَا سُرُورُ
بْنُ الْمُغِيرَةِ الْوَاسِطِيُّ، ابْنُ أَخِي مَنْصُورِ بْنِ زَاذَانَ، عَنْ
عَبَّادِ بْنِ مَنْصُورٍ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"لَوْلَا أَنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالُوا: {وَإِنَّا إِن شَاءَ اللَّهُ
لَمُهْتَدُونَ} لَمَا أُعْطُوا، وَلَكِنِ اسْتَثْنَوْا"
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya
Al-Audi As-Sufi, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Ahmad ibnu Daud
Al-Haddad, telah menceritakan kepada kami Surur ibnul Mugirah Al-Wasiti (anak
lelaki saudara lelaki Mansur ibnu Zazan), dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan,
dari Abu Rafi’, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Seandainya Bani Israil tidak mengatakan, "Dan sesungguhnya
kami insya Allah akan mendapat petunjuk" (Al-Baqarah: 70), niscaya mereka
tidak akan diberi tahu (untuk mendapatkan sapi betina itu), tetapi ternyata
mereka mengucapkan istisna (kalimat insya Allah)
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab
tafsirnya dari jalur lain:
عَنْ
سُرُورِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ زَاذَانَ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ مَنْصُورٍ، عَنِ
الْحَسَنِ، عَنْ حَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْلَا أَنَّ بَنِي
إِسْرَائِيلَ قَالُوا: {وَإِنَّا إِن شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ} مَا أُعْطُوا
أَبَدًا، وَلَوْ أَنَّهُمُ اعْتَرَضُوا بَقَرَةً مِنَ الْبَقَرِ فَذَبَحُوا
لَأَجْزَأَتْ عَنْهُمْ، وَلَكِنَّهُمْ شَدَّدُوا، فَشَدَّدَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ"
melalui Surur ibnul Mugirah: dari Zazan, dari Abbad ibnu Mansur, dari
Al-Hasan, dari hadis Abu Rafi', dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seandainya kaum Bani Israil tidak
mengatakan, "Dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk"
(Al-Baqarah: 70), niscaya mereka tidak akan diberi untuk selama-lamanya.
Dan seandainya mereka mengambil sapi betina mana pun, lalu mereka
menyembelihnya, niscaya hal itu sudah cukup bagi mereka. Tetapi mereka
membandel, maka Allah bersikap keras terhadap mereka.
Bila ditinjau dari segi jalur ini, maka hadis ini berpredikat garib, dan yang
lebih baik ialah bila hadis ini dianggap sebagai perkataan Abu Hurairah, seperti
yang telah disebutkan di atas, dari As-Saddi.
***********
Firman Allah Swt.:
{قَالَ
إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا ذَلُولٌ تُثِيرُ الأرْضَ وَلا تَسْقِي
الْحَرْثَ}
Musa berkata, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah
sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk
mengairi tanaman." (Al-Baqarah: 71)
Sapi betina tersebut bukan sapi betina yang dipersiapkan untuk membajak
tanah, tidak pula dipersiapkan untuk mengangkut air guna pengairan, melainkan
sapi betina yang dipelihara sebagai hewan kesayangan dalam keadaan sehat, utuh,
lagi tiada bercacat.
La syiyatafiha, tiada warna lain pada kulitnya selain dari warna
kuning, yakni tidak ada belangnya.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa musallamah artinya
tidak bercacat. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah dan Ar-Rabi'.
Mujahid mengatakan, musallamah artinya bebas dari belang, yakni tidak ada
belangnya.
Ata Al-Khurrasani mengatakan bahwa musallamah artinya semua kaki dan
seluruh tubuhnya mulus, bebas dari belang. Menurut Mujahid, la syiyata
fiha artinya tidak ada warna putih dan hitam, yakni tidak berbelang. Abul
Aliyah, Ar-Rabi', Al-Hasan, dan Qatadah mengatakan tidak ada belang putihnya.
Ata Al-Khurrasani mengatakan bahwa la syiyatafiha warnanya satu lagi tua.
Telah diriwayatkan dari Atiyyah Al-Aufi, Wahb ibnu Munabbih dan Ismail ibnu Abu
Khalid hal yang semisal. As-Saddi mengatakan, la syiyata fiha
artinya tidak ada belang putih, belang hitam, dan belang merahnya.
Semua makna yang telah disebutkan di atas hampir sama maksudnya, tetapi ada
sebagian ulama yang menduga bahwa firman Allah Swt., "Innaha baqaratul La
zalulun," artinya sesungguhnya sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak
dipersiapkan untuk dipekerjakan. Kemudian lafaz selanjutnya dianggap sebagai
kalimat baru, yaitu firman-Nya, "Tusirul arda" yakni dipekerjakan untuk
membajak tanah, hanya sapi betina tersebut tidak dipakai untuk mengairi tanaman.
Pendapat ini lemah karena lafaz La zalulun ditafsirkan oleh firman
selanjutnya, yaitu tusirul arda, yakni sapi betina itu tidak dipersiapkan
untuk membajak tanah, tidak pula untuk mengairi tanaman. Demikian menurut
ketetapan Al-Qurtubi dan lain-lainnya.
*************
Firman Allah Swt.:
{قَالُوا
الآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ}
Mereka berkata, "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina
yang sebenarnya." (Al-Baqarah: 71)
Menurut Qatadah, makna ayat ialah 'sekarang barulah kamu menerangkan yang
sebenarnya kepada kami'. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, pendapat
lain mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah Allah telah menyebutkan kepada
mereka hakikat sapi betina yang sebenarnya.
****************
Firman Allah Swt:
{فَذَبَحُوهَا
وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ}
Kemudian mereka menyembelihnya, dan hampir saja mereka tidak melaksanakan
perintah itu. (Al-Baqarah: 71)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa mereka hampir saja tidak
melakukan perintah itu, karena tujuan mereka bukanlah demikian melainkan mereka
bermaksud agar tidak menyembelih sapi betina yang dimaksudkan. Dengan kata lain,
setelah ada penjelasan, tanya jawab, dan keterangan ini mereka tidak juga
menyembelihnya kecuali setelah susah payah. Di dalam ungkapan ini terkandung
arti celaan yang ditujukan kepada mereka. Demikian itu karena maksud dan tujuan
mereka yang sesungguhnya hanyalah sebagai ungkapan pembangkangan mereka, maka
dikatakanlah bahwa mereka hampir saja tidak menyembelihnya.
Muhammad ibnu Ka'b dan Muhammad ibnu Qais mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: Kemudian mereka menyembelihnya, dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu. (Al-Baqarah: 71) mengingat harganya yang sangat
mahal.
Tetapi penafsiran ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat berita bahwa
harganya mahal masih belum dapat terbukti dengan kuat melainkan hanya melalui
nukilan dari kaum Bani Israil, seperti yang telah disebutkan di atas dalam
riwayat Abul Aliyah dan As-Saddi; dan Al-Aufi telah meriwayatkannya pula dari
Ibnu Abbas.
Ubaidah, Mujahid, Wahb ibnu Munabbih, Abul Aliyah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid
ibnu Aslam telah meriwayatkan bahwa kaum Bani Israil membeli sapi betina
tersebut dengan harta yang banyak jumlahnya. Akan tetapi, hal ini masih
diperselisihkan. Kemudian menurut pendapat yang lain harga pembayarannya
tidaklah sebanyak itu.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, telah
menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Suqah, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa
harga pembelian sapi betina itu hanyalah tiga dinar saja. Sanad riwayat ini
berpredikat jayyid, bersumber dari Ikrimah. Akan tetapi, pengertian lahiriah
riwayat ini menunjukkan bahwa hal ini pun dinukil dari ahli kitab juga.
Ibnu Jarir mengatakan, sehubungan dengan makna ayat ini ulama lainnya
mengatakan bahwa mereka hampir tidak melaksanakan perintah itu karena takut
rahasia pembunuh yang sebenarnya —yang mereka perselisihkan— akan terungkap.
Riwayat ini tidak disandarkan kepada seorang pun oleh perawi. Kemudian Ibnu
Jarir memilih bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini ialah mereka hampir
tidak melaksanakan perintah itu karena harganya terlampau mahal, juga karena
takut rahasia mereka terungkap. Akan tetapi, pendapat ini pun masih perlu
dipertimbangkan; dan pendapat yang benar —hanya Allah Yang Maha Mengetahui—
ialah seperti apa yang telah disebutkan di atas dalam riwayat Ad-Dahhak, dari
Ibnu Abbas, menurut pengarahan kami. Hanya kepada Allahlah kami memohon
taufik.
Kesimpulan hukum
Ayat ini —yang mengandung pembatasan sifat-sifat (spesifikasi) sapi betina
tersebut hingga bentuknya tertentu atau jelas ciri-cirinya yang sebelum itu
masih bersifat mutlak— menunjukkan sah melakukan transaksi salam
(pesanan) menyangkut hewan ternak, seperti yang disimpulkan oleh mazhab Maliki,
Al-Auza'i, Al-Lais, Asy-Syaqi'i, Ahmad, serta jumhur ulama Salaf dan Khalaf.
Sebagai dalilnya ialah sebuah hadis di dalam kitab Sahihain, disebutkan bahwa
Nabi Saw. pernah bersabda:
"لَا
تَنْعَتُ المرأةُ المرأةَ لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ
إِلَيْهَا"
Janganlah seorang istri menggambarkan sifat-sifat wanita lain kepada
suaminya (hingga tersimpulkan oleh suaminya) seakan-akan ia melihat wanita yang
dimaksud.
Dalil lainnya ialah seperti sifat-sifat yang dikemukakan oleh Nabi Saw.
tentang ternak unta diat dalam kasus pembunuhan secara keliru dan serupa dengan
sengaja, yaitu dengan sifat-sifat (spesifikasi) yang disebutkan di dalam hadis
mengenainya.
Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, As-Sauri, dan ulama Kufah. Mereka
berpendapat, tidak sah melakukan transaksi salam menyangkut hewan ternak,
mengingat keadaan hewan ternak selalu tidak stabil. Hal yang sama diriwayatkan
dari Ibnu Mas'ud, Huzaifah ibnul Yaman, Abdur Rahman ibnu Samurah, dan
lain-lainnya.
Al-Baqarah, ayat 72-73
{وَإِذْ
قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَادَّارَأْتُمْ فِيهَا وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَا كُنْتُمْ
تَكْتُمُونَ (72) فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا كَذَلِكَ يُحْيِي اللَّهُ
الْمَوْتَى وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (73)
}
Dan (ingatlah) ketika kalian membunuh seorang
manusia, lalu kalian saling tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah hendak
menyingkapkan apa yang selama ini kalian sembunyikan. Lalu Kami berfirman,
—"Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu. Demikianlah Allah
menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan pada kalian
tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kalian mengerti.
Imam Bukhari mengatakan bahwa iddara-tum fiha, artinya kalian
berselisih pendapat mengenai pembunuhnya.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dalam riwayat yang diketengahkan oleh
Ibnu Abu Hatim, dari ayahnya, dari Abu Huzaifah, dari Syibl, dari Ibnu Abu
Nu-jaih, dari Mujahid yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan
(ingatlah), ketika kalian membunuh seorang manusia, lalu kalian saling
tuduh-menuduh tentang itu. (Al-Baqarah: 72) Artinya, kalian berselisih
pendapat mengenai pembunuhnya.
Ata Al-Khurrasani dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa iddara-tum fiha.
artinya ikhtasamtum fiha, yakni kalian bertengkar mengenai siapa
pembunuhnya.
Sehubungan dengan firman-Nya ini Ibnu Juraij mengatakan bahwa sebagian dari
mereka terhadap sebagian yang lain saling mengatakan, "Kalianlah yang
membunuhnya," yakni saling tuduh.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
************
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ
مُخْرِجٌ مَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ}
Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kalian sembunyikan.
(Al-Baqarah: 72)
Mujahid mengatakan bahwa ma kuntum taktumun artinya yang selama ini
tidak kalian ketahui.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Amrah ibnu Aslam
Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnut Tufail Al-Abdi, telah
menceritakan kepada kami sadaqah ibnu Rustum yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Al-Musayyab ibnu Rafi' mengatakan, "Tidak sekali-kali seseorang
melakukan suatu amal kebaikan di tujuh rumah melainkan Allah akan
menampakkannya, dan tidak sekali-kali seseorang melakukan suatu amal keburukan
di tujuh rumah melainkan Allah akan menampakkannya." Hal yang membenarkan hal
ini berada dalam firman-Nya: Dan Allah pasti akan menyingkapkan apa yang
selama ini kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 72)
*************
Firman Allah Swt.:
فَقُلْنَا
اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا
Lalu Kami berfirman, "Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota (badan)
sapi betina itu.’ (Al-Baqarah: 73)
Sebagian anggota yang disebutkan dalam ayat ini adalah bagian dari anggota
tubuh sapi betina yang telah disembelih itu. Mukjizat dapat terjadi melaluinya
dan akan timbul darinya kejadian yang aneh, bertentangan dengan hukum alam.
Pada hakikatnya bagian dari anggota tersebut memang ditentukan. Seandainya
penentuan ini mengandung faedah bagi kita dalam urusan agama atau urusan dunia,
niscaya Allah Swt. menjelaskannya kepada kita bagian anggota yang mana. Akan
tetapi, sengaja Allah menyamarkannya dan tidak ada suatu penjelasan pun yang
datang dari Nabi Saw. melalui riwayat yang sahih sanadnya, maka kami tetap
menyamarkannya sebagaimana yang dilakukan oleh Allah Swt.
Sehubungan dengan hal ini Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Affan ibnu Muslim,
telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziad, telah menceritakan kepada
kami Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang Bani Israil yang diperintahkan
menyembelih sapi betina itu, mereka mencarinya selama empat puluh tahun. Mereka
baru dapat menemukannya setelah empat puluh tahun, yaitu pada ternak sapi milik
seorang lelaki dari kalangan mereka. Sapi betina itu sangat disayangi oleh
pemiliknya. Kemudian mereka membujuknya dengan memberikan harga yang pantas,
tetapi pemiliknya menolak untuk menjual. Akhirnya mereka memberinya dengan
tukaran emas sepenuh kulit sapi tersebut. Si pemilik sapi menyetujuinya, lalu
mereka menyembelihnya. Selanjutnya mereka memukul si terbunuh dengan salah satu
anggota badan sapi betina yang telah disembelih itu, maka si terbunuh hidup
kembali, sedangkan urat lehemya masih dalam keadaan berlumuran darah. Lalu
mereka berta-ya, 'Siapakah yang membunuhmu?' Ia menjawab, Fulan telah
membunuhku'."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan dan Abdur Rahman ibnu Zaid, bahwa
mayat tersebut dipukul dengan salah satu anggota badan sapi itu.
Menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, mayat itu dipukul dengan tulang yang
letaknya berdekatan dengan gadruf.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, bahwa Ayyub
telah meriwayatkan dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, bahwa mereka memukul si
terbunuh dengan sebagian daging sapi betina tersebut.
Ma'mar meriwayatkan, Qatadah pernah mengatakan bahwa mereka memukul mayat itu
dengan daging paha sapi betina, lalu mayat itu hidup kembali dan mengatakan, "Si
Fulan telah membunuhku."
Waki' ibnul Jarrah di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami An-Nadr Ibnu Arabi, dari Ikrimah, sehubungan dengan firman-Nya:
Lalu Kami berfirman, "Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota (badan) sapi
betina itu" (Al-Baqarah: 73) Maka mayat itu dipukul dengan paha sapi betina
tersebut, lalu ia hidup kembali dan berkata, "Si Fulan telah membunuhku."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid,
Qatadah, dan Ikrimah.
As-Saddi mengatakan, mereka memukul mayat itu dengan bagian anggota badan
sapi betina yang terletak di antara kedua tulang belikatnya, lalu mayat itu
hidup kembali. Mereka menanyakan kepadanya, lalu ia menjawab, "Keponakankulah
yang telah membunuhku."
Abul Aliyah mengatakan, Musa a.s. memerintahkan mereka untuk mengambil salah
satu dari tulang sapi tersebut guna dipukulkan ke tubuh mayat itu. Mereka
melakukannya dan ternyata mayat itu dapat hidup kembali, lalu si mayat
menyebutkan nama orang yang telah membunuhnya, sesudah itu ia mati kembali
seperti semula.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, mereka memukulnya dengan salah
satu dari anggota tubuhnya (bagian pangkal pahanya). Menurut pendapat lain
dengan lidah sapi betina itu, sedangkan menurut yang lainnya lagi dengan ujung
ekornya.
**************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ
يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَى}
Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati.
(Al-Baqarah: 73)
Yakni mereka memukul mayat itu, lalu mayat itu hidup kembali. Allah Swt.
mengingatkan mereka akan kekuasaan-Nya dan kemampuan-Nya dalam menghidupkan
orang-orang yang telah mati melalui apa yang mereka saksikan dengan mata kepala
mereka sendiri dalam kasus pembunuhan tersebut. Allah Swt. menjadikan kekuasaan
tersebut sebagai hujah buat mereka yang menunjukkan adanya hari berbangkit, dan
sekaligus untuk memutuskan masalah yang dipersengketakan di kalangan mereka dan
keingkaran mereka.
Di dalam surat ini (yakni Al-Baqarah) disebutkan peristiwa menghidupkan
orang-orang yang telah mati dalam lima tempat.
-
Pertama, kisah yang terdapat di dalam firman-Nya: Setelah itu Kami
bangkitkan kalian sesudah kalian mati. (Al-Baqarah: 56)
-
Kedua, seperti yang disebutkan di dalam ayat ini (yakni Al-Baqarah
ayat 73).
-
Ketiga, kisah tentang orang-orang yang keluar dari kampung halaman
mereka —sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya)— karena takut mati.
-
Keempat, kisah tentang orang yang melalui suatu negeri yang
(temboknya) telah roboh menutupi atapnya.
- Dan kelima, kisah tentang Nabi Ibrahim a.s. beserta keempat ekor burungnya.
Allah Swt. mengingatkan tentang pengembalian jasad yang telah hancur luluh
menjadi hidup kembali melalui penghidupan tanah sesudah matinya.
Sehubungan dengan hal ini Abu Daud At-Tayalisi telah meriwayatkan:
حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ، أَخْبَرَنِي يَعْلَى بْنُ عَطَاءٍ، قَالَ: سَمِعْتُ وَكِيع بْنَ عُدُس،
يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي رَزِين العُقَيلي، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
كَيْفَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَى؟ قَالَ: "أَمَا مَرَرْتَ بِوَادٍ مُمْحِل، ثُمَّ
مَرَرْتَ بِهِ خَضِرًا؟ " قَالَ: بَلَى. قَالَ: "كَذَلِكَ النُّشُورُ". أَوْ قَالَ:
"كَذَلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَى"
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Ya’la
ibnu Ata yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Waki' ibnu Adas menceritakan
hadis berikut dari Abu Razin Al-Uqaili r.a. yang mengatakan: Aku bertanya,
"Wahai Rasulullah, bagaimanakah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang
telah mati?' Nabi Saw. bersabda, "Pernahkah kamu melalui tanah yang tandus,
setelah itu kamu lalui lagi dalam keadaan telah menghijau? Abu Razin
menjawab, "Memang pernah." Nabi Saw. bersabda, "Demikianlah halnya bangkit
dari kubur." Atau Nabi Saw. bersabda, "Demikianlah Allah menghidupkan
kembali orang-orang yang telah mati."
Syahid yang membenarkan hadis ini ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
Syahid yang membenarkan hadis ini ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
{وَآيَةٌ
لَهُمُ الأرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ
يَأْكُلُونَ* وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا
فِيهَا مِنَ الْعُيُون* لِيَأْكُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ
أَفَلا يَشْكُرُونَ}
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang
mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka
darinya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan
Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari
buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka
tidak bersyukur? (Yasin: 33-35)
Kesimpulan hukum
Mazhab Imam Malik menyimpulkan dalil ayat ini yang menyatakan bahwa keadaan
ucapan orang yang dilukai, "Si Fulan telah membunuhku," sebagai suatu bukti.
Karena si terbunuh setelah dihidupkan kembali, ditanya mengenai siapa yang telah
membunuhnya, lalu ia mengatakan bahwa si Fulanlah yang telah membunuhnya. Maka
hal ini dapat diterima, mengingat saat itu tiadalah apa yang ia beritakan
melainkan hanya benar semata dan dalam keadaan seperti ini dia tidak dicurigai
membuat kepalsuan pengakuan.
Mereka menguatkan hal ini dengan sebuah hadis yang diceritakan oleh Anas r.a., bahwa ada seorang lelaki Yahudi membunuh seorang pelayan wanitanya dengan melukai kepalanya, yaitu dengan menggencet kepalanya di antara kedua batu. Lalu dikatakan kepada si pelayan wanita tersebut, "Siapakah yang melakukan ini terhadap diri-mu? Apakah si Fulan atau si anu?" Hingga akhirnya disebut nama seorang lelaki Yahudi sebagai pelakunya, lalu si pelayan wanita berisyarat dengan kepalanya (menganggukkan kepalanya). Kemudian si lelaki Yahudi itu ditangkap dan diinterogasi hingga mengaku. Lalu Rasulullah Saw. memerintahkan agar kepala si lelaki Yahudi itu digencet dengan dua buah batu (sebagai hukum qisasnya).
Menurut Imam Malik, hukuman qisas dapat dilakukan jika hal tersebut dianggap sebagai bukti, lalu diperkuat oleh sumpah keluarga pihak si terbunuh. Akan tetapi, jurnhur ulama berbeda pendapat dalam masalah ini; mereka tidak menjadikan ucapan si terbunuh sebagai bukti.
Mereka menguatkan hal ini dengan sebuah hadis yang diceritakan oleh Anas r.a., bahwa ada seorang lelaki Yahudi membunuh seorang pelayan wanitanya dengan melukai kepalanya, yaitu dengan menggencet kepalanya di antara kedua batu. Lalu dikatakan kepada si pelayan wanita tersebut, "Siapakah yang melakukan ini terhadap diri-mu? Apakah si Fulan atau si anu?" Hingga akhirnya disebut nama seorang lelaki Yahudi sebagai pelakunya, lalu si pelayan wanita berisyarat dengan kepalanya (menganggukkan kepalanya). Kemudian si lelaki Yahudi itu ditangkap dan diinterogasi hingga mengaku. Lalu Rasulullah Saw. memerintahkan agar kepala si lelaki Yahudi itu digencet dengan dua buah batu (sebagai hukum qisasnya).
Menurut Imam Malik, hukuman qisas dapat dilakukan jika hal tersebut dianggap sebagai bukti, lalu diperkuat oleh sumpah keluarga pihak si terbunuh. Akan tetapi, jurnhur ulama berbeda pendapat dalam masalah ini; mereka tidak menjadikan ucapan si terbunuh sebagai bukti.
Al-Baqarah, ayat 74
{ثُمَّ
قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ
قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الأنْهَارُ وَإِنَّ
مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا
يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (74)
}
Kemudian setelah itu hati kalian menjadi
keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu
sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya dan di antaranya sungguh ada
yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya dan di antaranya sungguh ada yang
meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang kalian kerjakan.
Allah Swt. berfirman mencemoohkan Bani Israil dan memberikan peringatan
kepada mereka melalui tanda-tanda kebesaran Allah Swt. dan penghidupan
orang-orang yang telah mati, semuanya itu mereka saksikan dengan mata kepala
mereka sendiri. Tetapi ternyata mereka tetap keras, seperti yang disebutkan di
dalam firman-Nya:
{ثُمَّ
قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ}
Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras. (Al-Baqarah: 74)
Artinya, setelah semuanya itu justru hati kalian menjadi keras seperti batu
yang tidak pernah lunak selama-lamanya. Karena itulah Allah Swt. melarang kaum
mukmin berperilaku seperti mereka, sebagaimana yang dinyatakan di dalam
firman-Nya:
{أَلَمْ
يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نزلَ
مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ
عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ
فَاسِقُونَ}
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati
mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan
Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati
mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang
fasik. (Al-Hadid: 16)
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Ketika si
terbunuh dipukul dengan salah satu anggota badan sapi betina tersebut, maka si
terbunuh duduk, hidup kembali seperti semula. Lalu ditanyakan kepadanya,
"Siapakah yang telah membunuhmu?" Ia menjawab, "Anak-anak saudaraku yang telah
membunuhku," kemudian ia mati lagi. Selanjutnya anak-anak saudaranya di saat si
terbunuh dicabut lagi nyawanya oleh Allah mereka mengatakan, "Demi Allah, kami
tidak membunuhnya." Mereka mendustakan perkara yang hak sesudah melihatnya
dengan mata kepala mereka sendiri. Maka Allah berfirman: Kemudian setelah itu
hati kalian menjadi keras. (Al-Baqarah: 74)
Yakni khitab ditujukan kepada anak-anak saudara si terbunuh. Dalam firman
selanjutnya disebutkan:
{فَهِيَ
كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً}
perihalnya sama seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (Al-Baqarah:
74)
Maka setelah berlalunya masa, jadilah hati kaum Bani Israil keras dan tidak
mempan lagi dengan nasihat dan pelajaran, sesudah mereka menyaksikan dengan mata
kepala sendiri tanda-tanda kebesaran Allah dan berbagai mukjizat. Kekerasan hati
mereka sama dengan batu yang mustahil dapat menjadi lunak, bahkan lebih keras
lagi dari batu. Karena sesungguhnya di antara bebatuan terdapat batu yang dapat
rnengalirkan mata air darinya hingga membentuk sungai-sungai. Di antaranya lagi
ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya, sekalipun tidak mengalir. Di
antaranya ada yang meluncur jatuh dari atas bukit karena takut kepada Allah, hal
ini menunjukkan bahwa benda mati pun mempunyai perasaan mengenai hal tersebut
disesuaikan dengan keadaannya, seperti yang dijelaskan oleh ayat lain, yaitu
firman-Nya:
{تُسَبِّحُ
لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا
يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ
حَلِيمًا غَفُورًا}
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada
Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi
kalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi
Maha Pengampun. (Al-Isra: 44)
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid bahwa ia pernah mengatakan, "Setiap
batu yang memancar darinya air atau terbelah mengeluarkan air, atau meluncur
jatuh dari atas bukit, sungguh hal ini terjadi karena takut kepada Allah.
Demikian menurut keterangan yang diturunkan oleh Al-Qur'an."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu
Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir
sungai-sungai darinya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah, lalu keluarlah
mata air darinya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut
kepada Allah. (Al-Baqarah: 74) Yakni sesungguhnya di antara batu-batu itu
terdapat batu yang lebih lunak daripada hati kalian, keadaannya tidaklah seperti
kebenaran yang kalian dakwakan itu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari
apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 74)
Abu Ali Al-Jayyani di dalam kitab tafsirnya mengatakan sehubungan dengan
tafsir firman-Nya: Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang meluncur
jatuh karena takut kepada Allah. (Al-Baqarah: 74) Maksudnya, jatuh meluncur
seperti jatuhnya salju dari awan.
Menurut Al-Qadi Al-Baqilani takwil ini jauh dari kebenaran, pendapatnya itu
diikuti oleh Ar-Razi. Memang demikian kenyataannya, mengingat makna yang
menyimpang dari lafaz tanpa dalil tidaklah dibenarkan.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami
Al-Hakam ibnu Hisyam As-Saqafi, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abu Talib
(yakni Yahya ibnu Ya'qub) sehubungan dengan firman-Nya: Dan sesungguhnya di
antara batu-batu itu ada yang mengalir sungai-sungai darinya. (Al-Baqarah:
74) Artinya yaitu banyak menangis. Dan sesungguhnya di antara batu-batu itu
ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air. (Al-Baqarah: 74) Makna yang
dimaksud ialah sedikit menangis. Dan sesungguhnya di antara batu-batu itu ada
yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. (Al-Baqarah: 74) Yakni
tangisan hati tanpa air mata.
Sebagian ulama menduga bahwa makna ayat ini termasuk ke dalam Bab "Majaz",
yaitu menyandarkan khusyuk kepada batu-batuan, seperti halnya makna menyandarkan
kehendak kepada tembok yang ada dalam firman-Nya: hendak runtuh (roboh).
(Al-Kahfi: 77)
Al-Razi dan Al-Qurtubi serta selain keduanya dari kalangan para imam ahli
tafsir mengatakan bahwa takwil seperti ini tidak diperlukan, karena sesungguhnya
Allah Swt. menciptakan watak tersebut pada diri batu; seperti halnya yang
disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{إِنَّا
عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا}
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung; maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya. (Al-Ahzab: 72)
تُسَبِّحُ
لَهُ السَّماواتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada
Allah. (Al-Isra: 44)
{وَالنَّجْمُ
وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ}
Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya.
(Ar-Rahman: 6)
{أَوَلَمْ
يَرَوْا إِلَى مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَفَيَّأُ
ظِلالُهُ}
Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan
Allah yang bayangannya berbolak-balik. (An-Nahl: 48)
{قَالَتَا
أَتَيْنَا طَائِعِينَ}
keduanya (langit dan bumi) menjawab, "Kami datang dengan suka hati."
(Fushshilat: 11)
{لَوْ
أَنزلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ}
Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung.
(Al-Hasyr: 21)
{وَقَالُوا
لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ}
Dan mereka berkata kepada kulit mereka, "Mengapa kamu menjadi saksi
terhadap kami?" Kulit mereka menjawab, "Allah yang telah menjadikan kami dapat
berbicara ...." (Fushshilat: 21)
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"هَذَا
جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ"
Gunung ini (yakni Gunung Uhud) adalah gunung yang mencintai kami dan kami
mencintainya.
Hadis lainnya ialah seperti hadis yang menceritakan rintihan dan tangisan
batang pohon kurma ketika ditinggalkan oleh Nabi Saw., seperti yang dijelaskan
di dalam hadis yang mutawatir.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis:
"إِنِّي
لَأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلِيَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّي
لَأَعْرِفُهُ الْآنَ"
Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui sebuah batu di Mekah yang pernah
mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebelum aku diangkat menjadi utusan
(rasul); sesungguhnya aku sekarang benar-benar masih mengetahui
tempatnya
Demikian pula hadis yang menceritakan tentang sifat hajar aswad. Di dalamnya
disebutkan bahwa di hari kiamat kelak hajar aswad akan menjadi saksi yang
membela orang yang pernah mengusapnya. Masih banyak hadis lainnya yang
menceritakan hal yang semakna.
Imam Qurtubi mengetengahkan sebuah pendapat yang mengatakan bahwa huruf
'ataf dalam ayat ini (Al-Baqarah: 74) mengandung makna takhyir,
yakni misal untuk ini dan misal untuk itu. Contohnya dalam perkataan orang-orang
Arab, "Jalisil hasana au Ibnu Sinn" (duduklah dengan Hasan atau Ibnu
Sirin). Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya.
Tetapi Ar-Razi menambahkan pendapat yang lain, yaitu yang mengatakan bahwa huruf
'ataf yang ada dalam ayat ini menunjukkan makna ibham bila
dihubungkan dengan mukhatab (lawan bicara). Perihalnya sama dengan ucapan
seseorang kepada lawan bicaranya, "Kamu telah makan roti atau kurma,"
padahal si pembicara mengetahui mana yang dimakan oleh si lawan bicara.
Pendapat lain mengatakan bahwa huruf 'ataf dalam ayat ini semakna
dengan ucapan seseorang, "Makanlah manisan atau asam-asaman." Dengan kata lain,
tidak dapat makan selain dari salah satu di antara keduanya. Yakni hati kalian
telah menjadi keras seperti batu atau lebih keras lagi daripada itu. Dengan kata
lain, keadaan hati mereka tidak keluar dari salah satu di antara kedua
pengertian tersebut.
Para ulama bahasa Arab berbeda pendapat mengenai makna firman-Nya; maka
hati mereka keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (Al-Baqarah: 74)
sesudah adanya kesepakatan di antara mereka bahwa mustahil huruf 'ataf’
ini bermakna syak (ragu). Sebagian dari mereka mengatakan bahwa huruf au
dalam ayat ini bermakna sama dengan huruf wawu (bermakna dan). Bentuk
lengkapnya adalah seperti berikut: Fahiya kal hijarati wa asyaddu qaswah
(maka hati mereka keras seperti batu dan lebih keras lagi). Perihalnya sama
dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَلا
تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا}
dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara
mereka. (Al-Insan: 24)
عُذْراً
أَوْ نُذْراً
untuk menolak alasan-alasan dan memberi peringatan. (Al-Mursalat:
6)
Juga seperti apa yang dikatakan oleh An-Nabigah Az-Zibyani (seorang penyair
Jahiliah), yaitu:
الَتْ
أَلَا لَيْتَمَا هَذَا الحمامُ لَنَا ... إِلَى
حَمامتنا أَوْ نِصفُه فَقدِ
Mereka mengatakan, "Aduhai, seandainya
burung merpati ini menjadi milik kami menyatu dengan burung merpati milik kami
dan separo darinya hilang."
Menurut Ibnu Jarir, makna yang dimaksud ialah 'mereka menghendaki burung
merpati itu, juga separo dari merpati miliknya'. Penyair lainnya bernama Jarir
ibnu Atiyyah mengatakan pula:
نَالَ الخِلافَةَ أَوْ كَانَتْ لَهُ قَدَرًا ... كَمَا أَتَى ربَّه مُوسى عَلَى
قَدَرِ
Dia (orang yang dipuji oleh penyair)
memperoleh tampuk khalifah dan kekhalifahan itu sudah merupakan takdir baginya,
sama halnya dengan Musa yang datang kepada Tuhannya di waktu yang telah
ditentukan.
Ibnu Jarir mengatakan, makna yang dimaksud ialah bahwa si Mamduh memperoleh
kekhalifahan yang sudah merupakan kepastian baginya.
Ulama lainnya mengatakan bahwa huruf au dalam ayat ini (Al-Baqarah:
74) bermakna bal (bahkan), hingga bentuk lengkapnya ialah seperti
berikut: Fahiya kal hijarati bal asyaddu qaswah (maka hati mereka keras
seperti batu, bahkan lebih keras lagi). Perihalnya sama dengan pengertian yang
terkandung di dalam firman-Nya:
{إِذَا
فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ
خَشْيَةً}
tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia
(musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat takut dari itu.
(An-Nisa: 77)
{وَأَرْسَلْنَاهُ
إِلَى مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ}
Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang, bahkan lebih.
(Ash-Shaffat: 147)
{فَكَانَ
قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى}
Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah,
bahkan lebih dekat (lagi). (An-Najm: 9)
Ulama lainnya mengatakan bahwa makna au adalah menurut aslinya, yaitu:
Maka hatinya keras seperti batu atau lebih keras lagi daripada batu yang biasa
kalian lihat. Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ulama lainnya mengatakan, makna yang dimaksud ialah ibham (menyamarkan
pengertian) terhadap mukhatab (lawan bicara), seperti pengertian yang terdapat
di dalam perkataan Abul Aswad, yaitu:
أُحِبُّ
مُحَمَّدًا حُبا شَدِيدًا ... وعبَّاسا وحمزةَ
وَالْوَصِيَّا
فَإِنْ
يَكُ حُبّهم رَشَدًا أُصِبْهُ ... وَلَسْتُ
بِمُخْطِئٍ
إِنْ كَانَ غَيَّا
Aku cinta kepada Muhammad dengan
kecintaan yang mendalam, juga (aku cinta kepada) Abbas, Hamzah, dan orang yang
diwasiati (Ali). Maka apabila cinta kepada mereka dianggap sebagai jalan ke arah
peiunjuk, maka aku mencintainya dengan kecintaan yang mendalam. Dan tidaklah
keliru bila cinta kepada mereka dianggap sebagai suatu kesesatan.
Ibnu Jarir mengatakan, para ulama berpendapat bahwa Abul Aswad sama sekali
tidak meragukan bahwa cinta kepada orang-orang yang telah dia sebut namanya itu
dianggap sebagai jalan menuju ke arah petunjuk (hidayah), tetapi dia ungkapkan
hal ini secara mubham (menyamarkan) terhadap lawan bicaranya.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah disebutkan suatu riwayat dari Abul
Aswad sendiri ketika dia mengatakan bait-bait syair ini ada orang yang bertanya
kepadanya, "Apakah engkau merasa ragu?" Maka ia menjawab, "Sama sekali tidak,
demi Allah." Kemudian ia membantahnya dengan membacakan firman-Nya:
{وَإِنَّا
أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
dan sesungguhnya kami atau kalian (orang-orang musyrik) pasti berada dalam
kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. (Saba': 24)
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa orang yang diberitakan hal ini berada
dalam keraguan, siapakah di antara mereka yang mendapat petunjuk dan siapa pula
yang sesat?
Sebagian ulama mengatakan bahwa makna ayat ini ialah hati kalian tidak
terlepas dari kedua misal ini; adakalanya keras seperti batu, dan adakalanya
lebih keras lagi dari itu. Ibnu Jarir mengatakan, be-dasarkan takwil ini berarti
makna yang dimaksud ialah bahwa sebagian dari hati mereka ada yang keras seperti
batu, dan sebagian yang lain ada yang lebih keras daripada batu. Pendapat inilah
yang dinilai rajih (kuat) oleh Ibnu Jarir disertai pengarahan lainnya.
Menurut kami, pendapat terakhir ini mirip dengan beberapa pengertian yang
terkandung di dalam firman-Nya, yaitu:
{مَثَلُهُمْ
كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا}
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api.
(Al-Baqarah: 17)
{أَوْ
كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ}
atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit.
(Al-Baqarah: 19)
{وَالَّذِينَ
كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ}
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana
fatamorgana. (An-Nur. 39)
{أَوْ
كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ}
Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam. (An-Nur: 40)
Dengan kata lain, di antara mereka ada yang seperti ini dan ada yang seperti
itu.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ
بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي الثَّلْجِ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حَفْصٍ، حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَاطِبٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
دِينَارٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ، فَإِنَّ
كَثْرَةَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةُ الْقَلْبِ، وَإِنَّ أَبْعَدَ
النَّاسِ مِنَ اللَّهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي".
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu
Abus-Salj, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hafs, telah menceritakan
kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Hatib, dari Abdullah ibnu Dinar, dari
Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Janganlah kalian banyak
bicara selain zikir kepada Allah, karena sesungguhnya banyak bicara selain zikir
kepada Allah mengakibatkan hati menjadi keras. Sesungguhnya sejauh-jauh
manusia dari Allah ialah orang yang berhati keras.
Imam Turmuzi meriwayatkan pula hadis ini di dalam Kitabuz Zuhdi di dalam
kitab Jami'-nya. dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abus Salj (murid Imam Ahmad)
dengan lafaz yang sama. Ia meriwayatkannya pula dari jalur yang lain melalui
Ibrahim ibnu Abdullah ibnul Haris ibnu Hatib dengan lafaz yang sama. Selanjutnya
ia mengatakan bahwa hadis ini berpredikat garib, kami tidak mengetahuinya
kecuali dari jalur Ibrahim.
Al-Bazzar meriwayatkan sebuah hadis melalui Anas secara marfu’ yaitu:
"أَرْبَعٌ
مِنَ الشَّقَاءِ: جُمُودُ الْعَيْنِ، وَقِسِيُّ الْقَلْبِ، وَطُولُ الْأَمَلِ،
والحرص على الدنيا"
Ada empat pekerti yang menyebabkan kecelakaan, yaitu kerasnya mata (tidak
pernah menangis karena Allah), hati yang keras. panjang angan-angan, dan rakus
terhadap keduniawian.Al-Baqarah, ayat 75-77
{أَفَتَطْمَعُونَ
أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ
ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (75) وَإِذَا
لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلا بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ
قَالُوا أَتُحَدِّثُونَهُمْ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ لِيُحَاجُّوكُمْ بِهِ
عِنْدَ رَبِّكُمْ أَفَلا تَعْقِلُونَ (76) أَوَلا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ
يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ (77) }
Apakah kalian masih mengharapkan mereka akan
percaya kepada kalian, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah,
lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedangkan mereka mengetahui.
Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata,
"Kami pun telah beriman." Tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja,
mereka berkata, "Apakah kalian menceritakan kepada mereka apa yang telah
diterangkan Allah kepada kalian, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan
hujah kalian di hadapan Tuhan kalian. Tidakkah kalian mengerti? Tidakkah mereka
mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang
mereka nyatakan.
Afatatmauna, apakah kalian masih mengharapkan, hai orang-orang
mukmin.
An yu-minu lakum, golongan yang sesat dari kalangan orang-orang Yahudi
itu mau tunduk dengan taat kepada kalian, yaitu mereka yang kakek moyangnya
telah menyaksikan berbagai mukjizat yang jelas dengan mata kepala mereka
sendiri, tetapi ternyata hati mereka menjadi keras sesudah itu.
Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka
mengubahnya, yakni menakwilkannya bukan dengan takwil yang sebenarnya. Hal itu
mereka lakukan setelah mereka memahaminya dengan pemahaman yang jelas. Tetapi
mereka menyimpang dengan sepengetahuan mereka, dan menyadari bahwa perubahan dan
takwil keliru yang mereka lakukan itu benar-benar salah. Hal ini sama dengan
pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt.:
{فَبِمَا
نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً
يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ}
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami
jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya. (Al-Maidah: 13)
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu
Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa setelah itu Allah Swt. berfirman kepada Nabi-Nya beserta
orang-orang yang mengikutinya dari kalangan kaum mukmin, memutuskan harapan
mereka terhadap orang-orang Yahudi itu: Apakah kalian masih mengharapkan
mereka akan percaya kepada kalian, padahal segolongan dari mereka mendengar
firman Allah. (Al-Baqarah: 75)
Makna yang dimaksud dari firman-Nya, "Yasma'una," adalah mendengar
kitab Taurat, karena kitab Taurat telah mereka dengar semua; tetapi mereka
adalah orang-orang yang meminta kepada Nabi Musa a.s. untuk dapat melihat Tuhan
mereka dengan jelas, lalu mereka disambar oleh halilintar di tempat
tersebut.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan —menukil perkataan yang dinukilnya dari
sebagian kalangan ahlul 'ilmi— bahwa mereka berkata kepada Musa, "Hai Musa,
sesungguhnya telah dihalang-halangi antara kami dan Tuhan kami hingga kami tidak
dapat melihat-Nya, maka perdengarkanlah kepada kami Kalam-Nya di saat Dia
berbicara kepadamu." Maka Nabi Musa a.s. memohon hal tersebut kepada Tuhannya,
dan Allah Swt. berfirman kepadanya, "Ya, perintahkanlah kepada mereka agar
bersuci dan mencuci pakaiannya serta berpuasa," lalu mereka melakukannya.
Kemudian Nabi Musa membawa mereka keluar hingga sampai di Bukit Tur. Ketika
mereka tertutupi oleh awan, Musa memerintahkan kepada mereka untuk sujud, lalu
mereka semua menyungkur bersujud, dan Allah berbicara kepada Musa, sedangkan
mereka mendengar firman Allah Swt. yang mengandung perintah dan larangan kepada
mereka, hingga mereka memahami apa yang mereka dengar dari-Nya. Sesudah itu Nabi
Musa a.s. kembali bersama mereka menuju kaum Bani Israil.
Ketika mereka datang kepada kaumnya, ada sebagian dari kalangan mereka
mengubah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada mereka. Mereka berkata
kepada kaum Bani Israil di saat Musa berkata kepada mereka, "Sesungguhnya Allah
telah memerintahkan kalian untuk mengerjakan anu dan anu."
Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan bahwa golongan tersebutlah yang disebut
oleh Allah Swt. dalam ayat ini (Al-Baqarah: 75). Sesungguhnya mereka mengatakan,
"Allah telah memerintahkan kepada kalian untuk mengerjakan anu dan anu,"
hanyalah untuk menentang apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada mereka,
yakni mereka mengubahnya dari perintah yang sesungguhnya. Golongan inilah yang
dimaksudkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam ayat ini.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: padahal segolongan dari
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya. (Al-Baqarah: 75)
Yang mereka ubah adalah kitab Taurat.
Apa yang disebut oleh As-Saddi ini lebih umum pengertiannya daripada yang
dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Ishaq, sekalipun pendapat ini dipilih oleh
Ibnu Jarir karena berpegang kepada konteks ayat. Karena sesungguhnya bukan
merupakan suatu kepastian bila mereka telah mendengar Kalamullah secara langsung
mempunyai pemahaman yang sama dengan apa yang didengar oleh Nabi Musa ibnu Imran
yang diajak bicara langsung oleh Allah Swt. Sedangkan dalam ayat lain Allah Swt.
telah berfirman:
{وَإِنْ
أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ
اللَّهِ}
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.
(At-Taubah: 6)
Yakni agar Nabi Saw. mempunyai kesempatan untuk menyampaikan firman Allah
Swt. kepadanya.
Karena itulah Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
kemudian mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedangkan mereka
mengetahui. (Al-Baqarah: 75) Yang dimaksud dengan mereka adalah orang-orang
Yahudi yang pernah mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya sesudah
mereka memahami dan menghafalnya.
Mujahid mengatakan bahwa orang-orang yang mengubah firman Allah Swt. dan yang
menyembunyikannya adalah para ulama dari kalangan mereka.
Abul Aliyah mengatakan, mereka sengaja mengubah sifat-sifat Nabi Muhammad
Saw. yang ada dalam kitab mereka dari tempat-tempatnya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Wahum ya'lamuna''
(sedangkan mereka mengetahui), yakni mereka berdosa.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa firman Allah Swt.: padahal mereka mendengar
firman Allah, lalu mereka mengubahnya. (Al-Baqarah: 75) Menurut Ibnu Zaid,
yang dimaksud dengan Kalamullah ialah kitab Taurat yang diturunkan kepada
mereka, lalu mereka mengubahnya. Mereka menjadikan hal yang halal di dalamnya
menjadi haram, dan yang haram mereka jadikan halal; lalu mereka mengubah perkara
yang hak menjadi perkara yang batil, dan yang batil menjadi hak. Apabila datang
kepada mereka orang yang berada dalam pihak yang benar disertai dengan uang
suap, barulah mereka mengeluarkan Kitabullah (Taurat). Jika datang kepada mereka
orang yang berada dalam pihak yang batil dengan membawa uang suap, mereka
mengeluarkan kitab yang telah mereka ubah itu sehingga dia berada dalam pihak
yang benar. Apabila datang kepada mereka seseorang yang menanyakan sesuatu
masalah kepada mereka tanpa ada kaitannya dengan perkara yang hak, tanpa uang
suap, dan tanpa lainnya, mereka memerintahkan perkara yang hak (sebenarnya)
kepada orang itu. Maka Allah Swt. berfirman kepada mereka:
{أَتَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ
أَفَلا تَعْقِلُونَ}
Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian
melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka
tidakkah kalian berpikir. (Al-Baqarah: 44)
****************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَإِذَا
لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا} الْآيَةَ
Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka
berkata, "''Kamipun telah beriman," tetapi apabila mereka berada sesama mereka
saja..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 76).
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan ayat ini, bahwa apabila mereka bersua dengan orang-orang yang
beriman, mereka berkata, "Kami pun telah beriman bahwa teman kalian itu adalah
utusan Allah, tetapi khusus bagi kalian." Jika sebagian dari mereka berada
bersama sebagian yang lain, mereka mengatakan, "Janganlah kalian bicarakan
rahasia ini kepada orang-orang Arab, karena sesungguhnya sejak dulu kalian
menunggu-nunggu kedatangannya untuk meminta pertolongannya dalam menghadapi
mereka (orang-orang Arab), tetapi ternyata dia (Rasulullah) muncul dari kalangan
mereka sendiri." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan apabila mereka
berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata, "Kami pun telah
beriman." Tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, mereka berkata,
"Apakah kalian menceritakan kepada mereka apa yang telah diterangkan Allah
kepada kalian, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujah kalian di
hadapan Tuhan kalian!" (Al-Baqarah: 76) Artinya, kalian mengakui dia (Nabi
Muhammad) adalah seorang nabi, padahal kalian telah berjanji kepada Allah Swt.
bahwa kalian akan mengikutinya, dan Dia telah memberitakan kepada mereka
(orang-orang Arab) bahwa dia adalah nabi yang sedang kita tunggu-tunggu
kedatangannya dan yang kita jumpai sebutannya di dalam kitab kita. Karena itu,
ingkarilah dia dan jangan sekali-kali kalian mengakuinya.
************
Firman Allah Swt.:
{أَوَلا
يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا
يُعْلِنُونَ}
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka
sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan (Al-Baqarah: 77)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud oleh ayat ini ialah
orang-orang munafik dari kalangan orang-orang Yahudi. Apabila bersua dengan
sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw., mereka mengatakan, "Kami pun beriman
kepadanya."
Menurut As-Saddi, mereka adalah segolongan orang dari kalangan orang-orang
Yahudi; mereka beriman, kemudian munafik. Hal yang sama dikatakan pula oleh
Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah, serta oleh bukan hanya seorang dari kalangan
ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Sehubungan dengan hal ini Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam —menurut apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Wahb darinya— mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"لَا
يَدْخُلَنَّ عَلَيْنَا قَصَبَةَ الْمَدِينَةِ إِلَّا مُؤْمِنٌ"
Jangan sekali-kali ada orang yang masuk kepada kami di kota Madinah
kecuali hanya orang mukmin.
Para pemimpin orang-orang Yahudi dari kalangan orang kafir dan munafik
mengatakan, "Berangkatlah kalian dan katakanlah bahwa kami pun beriman, tetapi
kufurlah kalian bila kalian kembali lagi kepada kami." Mereka berdatangan ke
Madinah di pagi hari, dan kembali kepada kaumnya sesudah asar.
Lalu perawi membacakan firman-Nya:
{وَقَالَتْ
طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمِنُوا بِالَّذِي أُنزلَ عَلَى الَّذِينَ
آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُونَ}
Segolongan (lain) dari ahli kitab berkata (kepada sesamanya),
"Perlihatkanlah (seolah-olah) kalian beriman kepada apa yang diturunkan kepada
orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang, dan ingkarilah
ia pada akhirnya supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada
kekafiran)." (Ali Imran: 72)
Mereka itu apabila memasuki kota Madinah mengatakan, "Kami pun orang-orang
muslim," dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang berita dan perkara
Rasulullah Saw. Apabila mereka berkumpul lagi dengan sesamanya, mereka kembali
menjadi kafir. Setelah Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya perihal orang-orang
munafik, maka Nabi menutup jalan mereka sehingga mereka tidak dapat menyusup ke
dalam tubuh kaum muslim. Sebelum itu orang-orang mukmin menduga bahwa
orang-orang munafik itu beriman, lalu mereka berkata kepada sesamanya, "Bukankah
Allah telah berfirman anu dan anu kepada kalian?" Lalu sebagian yang lainnya
menjawab, "Memang benar." Apabila mereka kembali kepada kaumnya (yakni para
pemimpin mereka), para pemimpin mereka bertanya, seperti yang disitir oleh
firman-Nya: Apakah kalian menceritakan kepada mereka (orang-orang Arab) apa
yang telah diterangkan Allah kepada kalian! (Al-Baqarah: 76)
Abul Aliyah berkata sehubungan dengan firman-Nya: Apakah kalian
menceritakan kepada mereka (orang-orang Arab) apa yang telah diterangkan Allah
kepada kalian. (Al-Baqarah: 76) yakni tentang apa yang telah diturunkan
kepada kalian, yaitu kitab kalian yang di dalamnya disebutkan ciri-ciri Nabi
Muhammad Saw.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan
firman-Nya ini, bahwa mereka (orang-orang Yahudi) selalu mengatakan, "Kelak akan
muncul seorang nabi." Lalu sebagian dari mereka berkumpul dengan sebagian yang
lain dan berkata: Apakah kalian menceritakan kepada mereka apa yang telah
diterangkan Allah kepada kalian, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan
hujah kalian di hadapan Tuhan kalian! (Al-Baqarah: 76)
Makna lafaz al-fath menurut pendapat lain disebutkan oleh riwayat Ibnu
Juraij yang mengatakan, telah menceritakan kepadanya Al-Qasim ibnu Abu Barzah,
dari Mujahid, sehubungan dengan makna firman-Nya: Apakah kalian menceritakan
kepada mereka (orang-orang Arab) apa yang telah diterangkan Allah kepada
kalian. (Al-Baqarah: 76) bahwa Nabi Saw. dalam Perang Khaibar di bawah
benteng pertahanan mereka (orang-orang Yahudi) pernah mengatakan, "Hai
saudara-saudara kera dan babi, hai para penyembah tagut (berhala)!" Mereka
menjawab, "Tiada lain orang yang memberitahukan ini melainkan Muhammad, tiadalah
ucapan berikut kecuali keluar dari kalian." Yang mereka maksudkan adalah firman
Allah Swt: Apakah kalian menceritakan kepada mereka (orang-orang Arab) apa
yang telah diterangkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 76) Yaitu apa yang
telah diputuskan Allah untuk memperoleh kemenangan, yang pada akhirnya hal
tersebut akan dijadikan sebagai hujah oleh mereka (orang-orang Arab) untuk
menghadapi kalian sendiri.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid, bahwa hal ini terjadi ketika Nabi Saw.
mengutus sahabat Ali kepada mereka (orang-orang Yahudi), lalu mereka menyakiti
Nabi Muhammad Saw.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Apakah kalian
menceritakan kepada mereka apa yang telah diterangkan Allah kepada kalian.
(Al-Baqarah: 76) yakni mengenai siksaan. Supaya dengan demikian mereka
(orang-orang Arab) dapat mengalahkan hujah kalian di hadapan Tuhan kalian
(Al-Baqarah: 76) Mereka yang berbuat demikian adalah segolongan orang-orang
Yahudi yang beriman, lalu munafik; mereka selalu berbicara kepada orang-orang
mukmin dari kalangan orang-orang Arab tentang siksaan yang mereka alami. Maka
sebagian dari golongan orang-orang Yahudi itu mengatakan kepada sebagian yang
lainnya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Apakah kalian menceritakan
kepada mereka (orang-orang Arab) apa yang telah diterangkan Allah kepada
kalian. (Al-Baqarah: 76) berupa siksaan (yang pernah kalian alami) yang
akibatnya mereka mengatakan kepada kalian, "Kami lebih dicintai oleh Allah
daripada kalian, dan kami lebih dimuliakan oleh Allah daripada kalian."
Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Apakah kalian
menceritakan kepada mereka (orang-orang Arab) apa yang telah diterangkan Allah
kepada kalian. (Al-Baqarah: 76) Yaitu apa yang telah ditakdirkan bagi kalian
berupa nikmat dan siksaan.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, orang-orang Yahudi itu apabila bersua dengan
orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, "Kami pun telah beriman." Tetapi
apabila mereka kembali berada di antara sesama mereka, maka sebagian dari mereka
berkata kepada sebagian yang lain, "Janganlah kalian ceritakan kepada
teman-teman Muhammad apa yang telah diterangkan Allah kepada kalian di dalam
kitab kalian, yang pada akhirnya hal tersebut dijadikan hujah oleh mereka untuk
menghadapi dan menentang kalian."
*************
Firman Allah Swt.:
{أَوَلا
يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا
يُعْلِنُونَ}
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka
sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan (Al-Baqarah: 77)
Abul Aliyah mengatakan, makna yang dimaksud ialah segala yang mereka
sembunyikan berupa kekufuran terhadap Nabi Muhammad Saw. dan kedustaan mereka
kepadanya, padahal mereka menemukan ciri-cirinya tercatat di dalam kitab yang
ada pada mereka. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah.
Al-Hasan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: bahwa Allah
mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan.
(Al-Baqarah: 77) Apa yang mereka sembunyikan itu ialah bilamana mereka
meninggalkan sahabat-sahabat Muhammad Saw., lalu berada di antara sesama mereka,
maka sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, yang kesimpulannya
mereka saling melarang di antara sesamanya untuk menceritakan kepada seseorang
dari sahabat-sahabat Nabi Saw. tentang hal-hal yang disebut di dalam kitab
mereka. Demikian itu karena mereka merasa khawatir bila hal tersebut akan
dijadikan hujah oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. terhadap diri mereka di hadapan
Tuhan mereka, yakni senjata makan tuan.
Wama yu’linuna, dan segala yang mereka lahirkan, yakni ucapan mereka
kepada sahabat-sahabat Nabi Saw. yang mengatakan, "Kami pun beriman." Demikian
pula yang dikatakan oleh Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah.
Al-Baqarah, ayat 78-79
{وَمِنْهُمْ
أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلا
يَظُنُّونَ (78) فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ
يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا فَوَيْلٌ
لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ (79)
}
Dan di antara mereka ada yang buta huruf,
tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka
hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis
Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, "Ini dari Allah,"
(dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.
Maka kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka
sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka
kerjakan.
Waminhum ummiyyuna, di antara ahli kitab itu ada yang buta huruf,
menurut Mujahid. Al-ummiyyun adalah bentuk jamak dari lafaz ummiy
yang artinya orang yang buta huruf. Demikian pula yang dikatakan oleh Abul
Aliyah, Ar-Rabi', Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, serta banyak ulama lainnya. Makna
ini jelas terdapat di dalam firman-Nya, "La ya'lamunal kitaba," yakni
mereka tidak mengetahui apa yang terkandung di dalam kitab Taurat. Sehubungan
dengan pengertian lafaz ini disebutkan dalam sifat-sifat Nabi Saw. bahwa beliau
adalah seorang yang ummiy. Dikatakan demikian karena beliau adalah orang
yang tidak dapat menulis (yakni buta huruf), seperti yang disebutkan oleh ayat
lainnya, yaitu firman-Nya:
{وَمَا
كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا
لارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ}
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur'an) sesuatu kitab pun dan
kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu
pernah membaca dan menulis), niscaya akan ragulah orang yang
mengingkari(mu). (Al-'Ankabut: 48)
Nabi Saw. pernah bersabda:
"إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
وَهَكَذَا"
Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak dapat menulis, dan
kami tidak dapat menghitung; satu bulan itu adalah segini, segini, dan
segini (yakni tiga puluh hari)
Dengan kata lain dalam ibadah kami, kami tidak memerlukan tulisan dan
hitungan untuk menentukan waktu-waktunya. Dan Allah Swt. telah berfirman:
{هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ}
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara
mereka. (Al-Jumu'ah: 2)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab menisbatkan orang yang tidak
dapat menulis dan membaca kepada ibunya, karena disamakan dengan keadaan ibunya
yang tidak dapat menulis, tetapi bukan dinisbatkan kepada ayahnya.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas suatu pendapat yang berbeda dengan
pendapat ini, yaitu sebuah riwayat yang diceritakan oleh Abu Kuraib. Dia
menceritakan, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id ibnu Bisyr ibnu
Imarah, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan di antara mereka ada yang buta huruf. (Al-Baqarah: 78)
Bahwa orang-orang ummi adalah suatu kaum yang tidak percaya kepada rasul yang
diutus oleh Allah Swt., tidak pula kepada kitab yang telah diturunkan oleh
Allah. Kemudian mereka menulis suatu kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu
mereka katakan kepada orang-orang yang bodoh dari kalangan mereka bahwa kitab
tersebut dari sisi Allah.
Ibnu Jarir memberikan komentarnya, telah diberitakan bahwa mereka
(orang-orang Yahudi tersebut) menulis sebuah kitab dengan tangan mereka. Tetapi
setelah itu mereka disebut sebagai orang-orang yang ummi karena keingkaran
mereka kepada kitab-kitab Allah dan rasul-rasul-Nya. Kemudian Ibnu Jarir
mengatakan pula bahwa takwil ini merupakan takwil yang berbeda dengan apa yang
dikenal di dalam percakapan orang-orang Arab dan bahasanya yang telah baku di
kalangan mereka. Demikian itu karena istilah ummi artinya ditujukan
kepada orang yang tidak dapat membaca dan menulis (yakni buta huruf).
Menurut kami kesahihan sanad riwayat ini, dari Ibnu Abbas, masih perlu
dipertimbangkan.
Firman Allah Swt., "Illa amaniyya," menurut Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu
Abbas disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah omongan-omongan belaka.
Menurut Ad-Dahhak —juga dari Ibnu Abbas— illa amaniyya artinya hanya
omongan yang keluar dari mulut mereka secara dusta. Sedangkan menurut Mujahid,
amaniyya artinya dusta.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid sehubungan
dengan firman-Nya: Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui
Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka. (Al-Baqarah: 78)
Segolongan orang dari kalangan orang-orang Yahudi yang tidak mengetahui Al-Kitab
(Taurat) barang sedikit pun —dan mereka berbincang-bincang hanya dengan dugaan
belaka tanpa dasar dari Kitabullah— mengatakan bahwa omongan bohong tersebut
adalah dari Al-Kitab. Padahal apa yang mereka katakan itu hanyalah omongan dusta
belaka yang mereka duga-duga. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan
Al-Basri.
Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Illa amaniyya,'" bahwa apa yang mereka katakan itu hanyalah
angan-angan belaka yang mereka harapkan dari Allah, padahal mereka sama sekali
tidak berhak untuk mendapatkannya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna illa
amaniyya, bahwa mereka berangan-angan dan mengatakan, "Kami adalah ahli
kitab," padahal kenyataannya mereka bukan termasuk ahli kitab.
Menurut Ibnu Jarir, pendapat yang lebih mirip kepada kebenaran ialah apa yang
telah dikemukakan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas tadi.
Mujahid mengatakan, sesungguhnya orang-orang ummi itu ialah kaum yang
disebutkan ciri-cirinya oleh Allah Swt., bahwa mereka tidak sedikit pun memahami
kitab yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa, tetapi mereka
membuat-buat kedustaan dan kebatilan serta kedustaan dan kepalsuan. Dengan
demikian, berarti makna tamanni dalam ayat ini ialah membuat-buat kedustaan dan
kepalsuan. Termasuk ke dalam pengertian ini, ada sebuah riwayat yang bersumber
dari sahabat Usman ibnu Affan r.a. Disebutkan bahwa ia pernah mengatakan, "Aku
tidak pernah bersyair, tidak pernah pula membuat kebatilan, serta aku tidak
pernah membuat kedustaan."
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan makna illa amaniyya
—dibaca dengan tasydid dan takhfif ialah illa tilawatan—
hanyalah bacaan belaka. Berdasarkan pengertian ini, berarti istisna yang
ada bersifat munqati. Para pendukung pendapat ini memperkuat pen-apatnya
berdalil kepada firman Allah Swt. yang mengatakan, "Melainkan apabila ia
hendak membaca, maka setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap bacaannya
itu," hingga akhir ayat 52 surat Al-Hajj (menurut orang yang mengartikan
lamanna dengan makna tala, yakni membaca).
Seorang penyair bernama Ka'b ibnu Malik mengatakan:
تمنى
كتاب الله أول ليلة ...
وآخره لاقى حمام المقادر
Dia membaca Kitabullah di permulaan
malam, dan pada penghujungnya dia menemui batasan takdirnya (batas
umurnya).
Penyair lainnya mengatakan pula:
تمنى
كتاب الله آخر ليلة ...
تمنّى داود الكتاب على رسل
Dia membaca Kitabullah di akhir malam
harinya dengan bacaan yang perlahan seperti bacaan Nabi Daud.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu
Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: mereka tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat) kecuali
dongengan-dongengan bohong belaka, dan mereka hanya menduga-duga.
(Al-Baqarah: 78) Artinya, mereka tidak mengetahui apa yang terkandung di dalam
Kitabullah (Taurat) dan mereka menemukan kenabianmu hanya dengan menduga-duga
saja.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wa in hum illa
yazunnuna” dan mereka hanya berdusta belaka.
Qatadah, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' mengatakan bahwa mereka menyangka terhadap
Allah dengan sangkaan yang tidak benar.
********
Firman Allah Swt.:
{فَوَيْلٌ
لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ
عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا}
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab
dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, "Ini dari Allah," (dengan
maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.
(Al-Baqarah: 79)
Mereka yang disebut dalam ayat ini adalah segolongan lain dari kalangan
orang-orang Yahudi. Mereka adalah orang-orang yang menyerukan kepada kesesatan
dengan cara pemalsuan dan berdusta kepada Allah, serta memakan harta orang lain
dengan cara yang batil.
Al-wail artinya kebinasaan dan kehancuran, kalimat ini sudah dikenal
di dalam bahasa Arab. Menurut Sufyan As-Sauri, dari Ziad ibnu Fayyad yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Iyad mengatakan, "Al-wail adalah nanah
yang berada di dasar neraka Jahannam." Menurut Ata ibnu Yasar, al-wail artinya
nama sebuah lembah di dalam neraka Jahannam; seandainya sebuah gunung besar
dilemparkan ke dalamnya, niscaya akan meleleh.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَخْبَرَنَا
ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ دَرَّاج، عَنْ أَبِي
الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "وَيْلٌ وَادٍ فِي جَهَنَّمَ، يَهْوِي فِيهِ
الْكَافِرُ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا قَبْلَ أَنْ يَبْلُغَ قَعْرَهُ".
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul
A’la, telah menceritakan kepada kami ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr
ibnul Haris, dari Darij, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a., dari
Rasulullah Saw. yang pernah bersabda: Wail adalah sebuah lembah di dalam
neraka Jahannam, orang kafir dicampakkan ke dalamnya selama empat puluh tahun
sebelum mencapai dasarnya.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Abdur Rahman ibnu Humaid,
dari Al-Hasan ibnu Musa, dari Ibnu Luhai'ah, dari Darij dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, kami tidak mengenalnya kecuali
hanya melalui hadis Ibnu Luhai'ah.
Menurut kami, hadis ini —seperti yang Anda lihat— tidak hanya diketengahkan
oleh Ibnu Luhai'ah, dan ternyata musibahnya menimpa orang-orang sesudahnya,
mengingat penilaian marfu' hadis ini merupakan hal yang munkar (diingkari).
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdus Salam, telah menceritakan kepada
kami Saleh Al-Qusyairi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Jarir, dari
Hammad ibnu Salamah, dari Abdul Himid ibnu Ja'far, dari Kinanah Al-Adawi, dari
Usman ibnu Affan ra dari Rasulullah Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan
mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka
kerjakan. (Al-Baqarah: 79); Rasulullah Saw. bersabda:
الْوَيْلُ
جَبَلٌ فِي النَّارِ
Al-Wail adalah nama sebuah bukit di dalam neraka.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan tingkah laku orang-orang Yahudi, karena
mereka berani mengubah isi kitab Taurat dengan menambahkan ke dalamnya apa yang
mereka sukai dan menghapus apa yang tidak mereka sukai, serta mereka menghapus
nama Nabi Muhammad Saw. dari kitab Taurat. Maka Allah murka terhadap mereka,
mengingat merekalah penyebab dari terhapusnya sebagian kitab Taurat. Untuk itu
Allah Swt. berfirman: Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa
yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka
karena apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 79)
Hadis ini pun dinilai garib, bahkan sangat garib.
Disebutkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-wail artinya penderitaan azab.
Al-Khalil ibnu Ahmad mengatakan, al-wail adalah kejahatan yang sangat
keras. Menurut Imam Sibawaih, al-wail ditujukan kepada orang yang
terjerumus ke dalam kebinasaan, sedangkan lafaz waihun ditujukan kepada
orang yang hampir terjerumus ke dalam kebinasaan.
Al-Asmu'i mengatakan, al-wail artinya ungkapan penderitaan, sedangkan
al-waih ungkapan belas kasihan. Tetapi selain Al-Asmu'i mengatakan bahwa al-wail
artinya kesedihan. Imam Khalil mengatakan sehubungan dengan makna wail, waih,
waisy, waih, waik, dan waib; bahwa di antara mereka ada orang yang membedakan
makna masing-masing. Sebagian ahli nahwu mengatakan, sesungguhnya lafaz al-wail
boleh dijadikan mubtada, sedangkan ia sendiri adalah isim nakirah; hal ini tiada
lain karena di dalamnya terkandung makna doa. Di antara ahli nahwu ada yang
memperbolehkannya dibaca nasab dengan makna al-zimhum wailan, yakni
semoga kecelakaan tetap atas diri mereka; tetapi menurut kami tidak ada seorang
pun yang membacanya demikian (nasab).
Diriwayatkan oleh Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a., sehubungan dengan tafsir
firman-Nya: Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis
oleh tangan mereka sendiri. (Al-Baqarah: 79) Menurut Ibnu Abbas, mereka
adalah para rahib Yahudi. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id, dari Qatadah,
bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Alqamah yang mengatakan
bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a. tentang makna firman-Nya:
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan
tangan mereka sendiri. (Al-Baqarah: 79) Ibnu Abbas r.a. mengatakan, ayat ini
diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik dan ahli kitab.
As-Saddi pernah mengatakan bahwa dahulu segolongan orang-orang Yahudi menulis
sebuah kitab dari kalangan mereka sendiri, lalu mereka menjualnya kepada
orang-orang Arab dan menceritakan kepada mereka bahwa kitab tersebut dari Allah;
mereka mempertukarkannya dengan harga yang sedikit.
Az-Zuhri meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Ubaidullah ibnu Abdullah,
dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Hai kaum
muslim, mengapa kalian bertanya kepada ahli kitab tentang sesuatu, sedangkan
Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya mengandung kisah-kisah dari Allah.
Kalian membacanya sebagai berita hangat yang tak kunjung pudar. Di dalamnya
Allah menceritakan kepada kalian bahwa sesungguhnya kaum ahli kitab telah
mengubah dan mengganti Kitabullah yang ada pada mereka, lalu mereka menulis
sebuah kitab dengan tangan mereka sendiri, kemudian mereka katakan, "Ini dari
sisi Allah," dengan tujuan untuk menukarnya dengan harga yang sedikit. Bukankah
ilmu yang telah sampai kepada kalian mencegah kalian untuk bertanya-tanya kepada
mereka? Tidak, demi Allah, kami belum pernah melihat seseorang dari kalangan
mereka menanyakan kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian.
Asar ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, yang dimaksud dengan harga yang sedikit ialah
dunia berikut segala isinya.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَوَيْلٌ
لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا
يَكْسِبُونَ}
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh
tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang
mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 79)
Artinya, kecelakaan bagi mereka karena apa yang mereka tulis dengan tangan
mereka sendiri berupa kedustaan, kebohongan, serta kepalsuan; dan kecelakaan
bagi mereka karena apa yang biasa mereka makan, yaitu riba. Seperti yang
dikatakan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas r.a., sehubungan dengan firman-Nya,
"Fawailul lahum" bahwa azab menimpa mereka yang menulis kedustaan
tersebut dengan tangan mereka.
Wawailul lahum mimma yaksibun, dan kecelakaan yang besarlah bagi
mereka disebabkan apa yang mereka upayakan, yakni apa yang biasa dimakan oleh
orang-orang yang rendah dan yang sama dengannya.
Al-Baqarah, ayat 80
{وَقَالُوا
لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلا أَيَّامًا مَعْدُودَةً قُلْ أَتَّخَذْتُمْ عِنْدَ
اللَّهِ عَهْدًا فَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ عَهْدَهُ أَمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ
مَا لَا تَعْلَمُونَ (80) }
Dan mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak
akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja." Katakanlah,
"Sudahkah kalian menerima janji dari Allah sehingga tidak akan memungkiri
janji-Nya, ataukah kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian
ketahui?"
Melalui ayat ini Allah menceritakan perihal orang-orang Yahudi tentang apa
yang mereka nukil dan mereka dakwakan untuk dirinya sendiri, bahwa diri mereka
tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali hanya beberapa hari saja, setelah
itu mereka selamat. Maka Allah menyangkal pengakuan tersebut melalui
firman-Nya:
{قُلْ
أَتَّخَذْتُمْ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدًا}
Katakanlah, "Sudahkah kalian menerima janji dari Allah...."
(Al-Baqarah: 80)
tentang hal tersebut. Apabila telah terjadi suatu perjanjian, pasti Allah
tidak akan mengingkari janji-Nya. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya dan apa
yang mereka akui itu sama sekali tidak ada buktinya. Karena itu. dalam ungkapan
ayat dipakai kata am yang bermakna bal (bahkan). yakni bahkan
kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui. Dengan
kata lain, kalian hanya mengatakan kedustaan dan kebohongan yang kalian
buat-buat terhadap Allah Swt.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Saif ibnu Sulaiman, dari Mujahid, dari
Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Yahudi sering mengatakan, "Sesungguhnya usia dunia
ini tujuh ribu tahun. Setiap seribu tahun kami hanya satu hari mengalami azab di
dalam neraka. Berarti azab di neraka bagi kami hanyalah tujuh hari." Maka Allah
menurunkan firman-Nya: Dan mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak akan
disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja." (Al-Baqarah:
80) sampai dengan firman-Nya. mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah:
81)
Kemudian perawi meriwayatkan pula hal yang semisal dari Muhammad, dari Sa'id
atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan
mereka mengatakan, "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka,
kecuali selama beberapa hari saja.'''' (Al-Baqarah: 80) Bahwa orang-orang
Yahudi telah mengatakan, "Kami tidak disentuh oleh api neraka kecuali hanya
selama empat puluh malam." Selain Al-Aufi menambahkan bahwa masa tersebut adalah
masa selama mereka menyembah anak lembu. Demikianlah menurut riwayat Al-Qurtubi,
dari Ibnu Abbas dan Qatadah.
Ad-Dahhak mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata, "Orang-orang Yahudi
mempunyai dugaan bahwa mereka menemukan di dalam kitab Taurat dicatatkan jarak
di antara bagian atas dan bagian bawah neraka Jahannam sama dengan perjalanan
selama empat puluh tahun, hingga sampai pada pohon Zaqqum yang terletak di dasar
neraka. Musuh-musuh Allah (orang-orang Yahudi) mengatakan bahwa mereka diazab
hanya sampai pada pohon Zaqqum, setelah itu neraka Jahannam tidak ada lagi dan
hancur." Yang demikian itu adalah perkataan mereka yang disitir oleh firman-Nya:
Dan mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka, kecuali
selama beberapa hari saja." (Al-Baqarah: 80)
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar dan Qatadah sehubungan dengan
firman-Nya: Dan mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak akan disentuh api
neraka, kecuali selama beberapa hari saja." (Al-Baqarah: 80) yakni selama
hari-hari mereka menyembah anak lembu.
Ikrimah meriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi berdebat dengan Rasulullah
Saw., lalu mereka berkata, "Kami tidak akan masuk neraka kecuali hanya selama
empat puluh malam, setelah itu kami digantikan oleh suatu kaum yang lain," yang
dimaksud oleh mereka ialah Nabi Saw. dan sahabat-sahabatnya radiyallahu 'anhum.
Maka Rasulullah Saw. berisyarat dengan tangannya di atas kepala mereka (yang
mengandung makna seakan-akan beliau bersabda):
"بَلْ
أَنْتُمْ خَالِدُونَ مُخَلَّدُونَ لَا يَخْلُفُكُمْ إِلَيْهَا
أَحَدٌ"
Bahkan kalian kekal di dalamnya, tiada seorang pun yang menggantikan
kalian.
Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka berkata, "Kami
sekali-kali tidak akan disentuh api neraka, kecuali selama beberapa hari
saja." (Al-Baqarah: 80)
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ صَخْرٍ،
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِئُ، حَدَّثَنَا لَيْثُ بْنُ سَعْدٍ،
حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا فُتِحَتْ خَيْبَرُ أُهْدِيَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةٌ فِيهَا سُمٌّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اجْمَعُوا لِي مَنْ كَانَ مِنَ الْيَهُودِ هَاهُنَا"
فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "من أَبُوكُمْ؟
" قَالُوا: فُلَانٌ . قَالَ: "كَذَبْتُمْ، بَلْ أَبُوكُمْ فُلَانٌ". فَقَالُوا:
صَدَقْتَ وبَرِرْت، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ: "هَلْ أَنْتُمْ صَادِقِيَّ عَنْ شَيْءٍ
إِنْ سَأَلْتُكُمْ عَنْهُ؟ ". قَالُوا: نَعَمْ، يَا أَبَا الْقَاسِمِ، وَإِنْ
كَذَبْنَاكَ عَرَفْتَ كَذِبَنَا كَمَا عَرَفْتَهُ فِي أَبِينَا. فَقَالَ لَهُمْ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ أَهْلُ النَّارِ؟ "
فَقَالُوا: نَكُونُ فِيهَا يَسِيرًا ثُمَّ تَخْلُفُونَا فِيهَا. فَقَالَ لَهُمْ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اخسأوا، وَاللَّهِ لَا
نَخْلُفُكُمْ فِيهَا أَبَدًا". ثُمَّ قَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَلْ أَنْتُمْ صَادِقِيَّ عَنْ شَيْءٍ إِنْ سَأَلْتُكُمْ
عَنْهُ؟ ". قَالُوا: نَعَمْ يَا أَبَا الْقَاسِمِ. فَقَالَ: "هَلْ جَعَلْتُمْ فِي
هَذِهِ الشَّاةِ سُمًّا؟ ". فَقَالُوا: نَعَمْ. قَالَ : "فَمَا حَمَلَكُمْ عَلَى
ذَلِكَ؟ ". فَقَالُوا: أَرَدْنَا إِنْ كُنْتَ كَاذِبًا أَنْ نَسْتَرِيحَ مِنْكَ،
وَإِنْ كُنْتَ نَبِيًّا لَمْ يَضُرَّكَ.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Muhammad ibnu Sakhr, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Muqri',
telah menceritakan kepada kami Lais ibnu Sa'd, telah menceritakan kepadaku Sa'id
ibnu Abu Sa'id, dari Abu Hurairah yang menceritakan: Ketika Khaibar berhasil
dibuka (dikalahkan), dihadiahkan kepada Rasulullah Saw. kambing yang telah
diracuni, maka Rasulullah Saw. bersabda, "Kumpulkanlah oleh kalian di
hadapanku semua orang Yahudi yang ada di tempat ini." Lalu Rasulullah Saw.
bersabda kepada mereka, "Siapakah nama bapak kalian?" Mereka menjawab, "Si Anu."
Nabi Saw. bersabda, "Kalian dusta, bapak kalian adalah si Fulan." Mereka
menjawab, "Engkau benar dan sesuai dengan kenyataan." Kemudian Rasulullah Saw.
bersabda kepada mereka, "Apakah kalian akan berkata sejujurnya kepadaku jika
kutanyakan kepada kalian tentang sesuatu hal?" Mereka menjawab, "Ya, wahai
Abul Qasim; dan jika kami dusta kepadamu, niscaya kamu akan mengetahui dusta
kami sebagaimana kamu mengetahuinya pada kakek moyang kami." Maka Rasulullah
Saw. bersabda kepada mereka, "Siapakah penghuni neraka itu? Mereka menjawab,
"Kami akan berada di dalamnya dalam masa yang sebentar, kemudian kalian
menggantikan kami menjadi penghuninya." Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka,
"Hinalah kalian. Demi Allah, kami tidak akan menggantikan kalian di dalamnya
untuk selama-lamanya." Kemudian beliau Saw. bersabda kepada mereka, "Apakah
kalian akan berkata sejujurnya kepadaku jika kutanyakan kepada kalian tentang
sesuatu hal?" Mereka menjawab, "Ya, wahai Abul Qasim." Beliau bertanya,
"Apakah kalian memasukkan racun ke dalam (daging) kambing ini? Mereka
menjawab, "Ya." Nabi Saw. bertanya, "Apakah yang mendorong kalian berbuat
demikian?" Mereka menjawab, "Kami bermaksud jika engkau berdusta, maka kami
terbebas darimu; dan jika engkau benar seorang nabi, niscaya racun itu tidak
akan membahayakan dirimu."
Hadis riwayat Ahmad, Bukhari, dan Nasai melalui jalur Lais ibnu Sa'd
menyebutkan hal yang semisal.
Al-Baqarah, ayat 81-82
{بَلَى
مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (81) وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (82)
}
(Bukan demikian), yang benar, barang siapa
berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh,
mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.
Melalui ayat ini Allah Swt. menyangkal bahwa perkaranya tidaklah seperti apa
yang kalian angan-angankan, tidak pula seperti yang kalian inginkan, melainkan
perkara yang sesungguhnya ialah barang siapa yang berbuat dosa hingga dosa
meliputi dirinya, maka dia menjadi penghuni neraka. Yaitu orang yang datang pada
hari kiamat tanpa membawa suatu amal kebaikan pun, bahkan semua amal
perbuatannya hanyalah dosa-dosa belaka.
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh. (Al-Baqarah: 82)
Yakni beriman kepada Allah dan rasul-Nya serta mengamalkan amal-amal saleh
yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh syariat, maka mereka adalah
penghuni surga. Pengertian kedua ayat ini sama dengan makna yang terkandung di
dalam firman lainnya, yaitu:
{لَيْسَ
بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ
بِهِ وَلا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا* وَمَنْ يَعْمَلْ
مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا}
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong
dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak
mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain Allah. Barang siapa
yang mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki maupun wanita, sedangkan ia
orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak
dianiaya walau sedikit pun. (An-Nisa: 123-124)
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu
Abu Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: (Bukan demikian), yang benar, barang siapa berbuat dosa.
(Al-Baqarah: 81) Maksudnya, melakukan amal seperti amal kalian dan kufur seperti
kufur kalian, hingga kekufuran meliputi dirinya dan tiada suatu amal kebaikan
pun yang ada pada dirinya. Maka
enurut riwayat yang lain, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan
sayyi-ah dalam ayat ini ialah kemusyrikan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal dengan riwayat di atas telah
diriwayatkan dari Abu Wa-il, Abul Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah,
dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Al-Hasan dan As-Saddi mengatakan pula bahwa as-sayyi-ah dalam ayat ini
ialah suatu dosa besar.
Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Dan ia
telah diliputi oleh dosanya. (Al-Baqarah: 81) Yang dimaksud dengan
bihi ialah biqalbihi, yakni 'dan hatinya telah diliputi oleh
dosanya'.
Abu Hurairah, Abu Wa-il, Ata, dan Al-Hasan telah mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya ini, bahwa kemusyrikan telah meliputi dirinya.
Al-A'masy —dari Abu Razin, dari Ar-Rabi' ibnu Khaisam— sehubungan dengan
firman-Nya ini mengatakan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut ialah orang
yang mati dengan membawa semua dosanya sebelum melakukan tobat. Hal yang semisal
telah diriwayatkan dari As-Saddi serta Abu Razin.
Abul Aliyah, Mujahid, dan Al-Hasan dalam riwayat yang lain —-juga Qatadah
serta Ar-Rabi' ibnu Anas— sehubungan dengan makna firman-Nya ini mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan khati-ah ialah dosa besar yang memastikan
pelakunya masuk neraka.
Semua pendapat yang disebutkan di atas mempunyai pengertian yang hampir
sama.
Sehubungan dengan hal ini layak kiranya bila disebutkan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa:
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ قَتَادَةَ عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ،
عَنْ أَبِي عِيَاضٍ، عن عبد الله بْنِ
مَسْعُودٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"إيَّاكم وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ، فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ
حَتَّى يُهْلِكْنَهُ". وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ضَرَبَ لهُنَّ مَثَلًا كَمَثَلِ قَوْمٍ نَزَلُوا بِأَرْضٍ فَلَاةٍ، فَحَضَرَ
صَنِيعُ الْقَوْمِ، فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَنْطَلِقُ فَيَجِيءُ بِالْعُودِ،
وَالرَّجُلُ يَجِيءُ بِالْعُودِ، حَتَّى جَمَعُوا سَوَادًا ، وَأَجَّجُوا نَارًا،
فَأَنْضَجُوا مَا قَذَفُوا فِيهَا
telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada
kami Amr ibnu Qatadah, dari Abdur Rabbih, dari Abu Iyad, dari Abdullah ibnu
Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Hati-hatilah kalian terhadap dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya dosa-dosa
kecil itu akan menumpuk pada seseorang, lalu membinasakannya. Sesungguhnya
Rasulullah Saw. pernah membuat suatu perumpamaan kepada mereka sehubungan dengan
dosa kecil ini, perihalnya sama dengan suatu kaum yang turun istirahat di suatu
tempat yang lapang (padang pasir). Kemudian orang yang mengatur urusan kaum ini
tiba, maka ia memerintahkan kepada seseorang untuk pergi mengambil kayu bakar,
lalu orang itu datang dengan membawa kayu bakar. Si pemimpin memerintahkan lagi
kepada yang lainnya untuk mendatangkan kayu bakar; demikian seterusnya hingga
mereka berhasil mengumpulkan setumpukan besar kayu api, lalu mereka membakar
kayu api itu hingga semua yang mereka lemparkan ke dalamnya menjadi hangus.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad, dari
Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan
orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka
kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 82) Artinya, barang siapa yang beriman
kepada apa yang diingkari oleh orang-orang Yahudi dan mengamalkan apa yang
ditinggalkan dalam agama mereka, baginya pahala surga; ia kekal di dalamnya.
Allah Swt. memberitakan kepada mereka bahwa pahala kebaikan dan keburukan akan
tetap dipikul oleh pelakunya untuk selama-lamanya, tiada terputus
darinya.
Al-Baqarah, ayat 83
{وَإِذْ
أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ
تَوَلَّيْتُمْ إِلا قَلِيلا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ (83)
}
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji
dari Bani Jsrail (yaitu): Janganlah kalian menyembah selain Allah, dan berbuat
baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin;
serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan
tunaikanlah zakat. Kemudian kalian tidak
memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kalian, dan kalian selalu
berpaling.
Melalui ayat ini Allah mengingatkan kaum Bani Israil terhadap apa yang telah
Dia perintahkan kepada mereka dan pengambilan janji oleh-Nya atas hal tersebut
dari mereka, tetapi mereka berpaling dari semuanya itu dan menentang secara
disengaja dan direncanakan, sedangkan mereka mengetahui dan mengingat hal
tersebut. Maka Allah Swt. memerintahkan mereka agar menyembah-Nya dan jangan
menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Hal yang sama diperintahkan pula kepada
semua makhluk-Nya, dan untuk tujuan tersebutlah Allah menciptakan mereka.
Sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
{وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ
إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ}
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kalian, melainkan Kami
wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah
Aku oleh kamu sekalian."" (Al-Anbiya: 25)
{وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ}
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu (An-Nahl:
36)
Hal ini merupakan hak yang paling tinggi dan paling besar, yaitu hak Allah
Swt. yang mengharuskan agar Dia semata yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya;
setelah itu baru hak makhluk, dan yang paling dikuatkan untuk ditunaikan ialah
hak kedua orang tua. Karena itu, Allah Swt. selalu membarengi hak kedua orang
tua dengan hak-Nya, seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya:
{أَنِ
اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ}
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, dan hanya
kepada-Kulah kembali kalian. (Luqman: 14)
Allah Swt. telah berfirman pula dalam ayat lainnya:
{وَقَضَى
رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا}
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia,
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
(Al-Isra: 23)
sampai dengan firman-Nya:
{وَآتِ
ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ}
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. (Al-Isra: 26)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis dari Ibnu Mas'ud r.a. seperti
berikut:
قُلْتُ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: "الصَّلَاةُ عَلَى
وَقْتِهَا". قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: "بِرُّ الْوَالِدَيْنِ". قُلْتُ: ثُمَّ
أَيٌّ؟ قَالَ: "الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, amal perbuatan apakah yang paling utama?
Beliau menjawab, "Salat pada waktunya" Aku bertanya lagi, "Kemudian apa
lagi!" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua ibu bapak." Aku bertanya,
"Kemudian apa lagi!" Beliau menjawab, ''Jihad dijalan Allah."
Karena itulah maka di dalam sebuah hadis sahih disebutkan seperti
berikut:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَبِرُّ؟ قَالَ: "أُمَّكَ". قَالَ: ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ:
"أُمَّكَ". قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: "أباك. ثم أدناك أدناك"
Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah yang harus didahulukan
aku berbakti kepadanya? Beliau menjawab, "Ibumu." Lelaki itu bertanya,
"Kemudian siapa lagi!" Beliau menjawab, "Ibumu." Lelaki itu bertanya
lagi, "Kemudian siapa lagi!" Beliau menjawab, "Ayahmu, kemudian orang yang
paling dekat kekerabatannya denganmu, lalu orang yang dekat kekerabatannya
denganmu."
***********
Firman Allah Swt.:
{لَا
تَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ}
Janganlah kalian menyembah selain Allah. (Al-Baqarah: 83)
Menurut Imam Zamakhsyari kalimat ayat ini berbentuk khabar, tetapi
bermakna talab; ungkapan seperti ini lebih kuat. Menurut pendapat yang
lain, bentuk asalnya adalah an la ta'budu illallah, seperti bacaan yang
dilakukan oleh ulama Salaf, lalu huruf an dibuang hingga tidak kelihatan.
Menurut suatu riwayat dari Ubay dan Ibnu Mas'ud, keduanya membaca ayat ini la
ta'budu illallah (janganlah kalian menyembah selain Allah). Pengarahan ini
dinukil oleh Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya, dari Imam Sibawaih. Imam
Sibawaih mengatakan bahwa bacaan inilah yang dipilih oleh Imam Kisai dan Imam
Farra.
Al-yatama artinya anak-anak kecil yang tidak mempunyai orang tua yang
menjarnin penghidupan mereka.
Al-masakin ialah orang-orang yang tidak menjumpai apa yang mereka
belanjakan buat diri mereka sendiri dan keluarganya. Dalam surat An-Nisa akan
dibahas secara rinci mengenai golongan-golongan tersebut yang diperintahkan
Allah dengan tegas agar kita menunaikannya, yaitu di dalam firman-Nya:
{وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا}
Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak. (An-Nisa: 36) sampai
akhir ayat.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَقُولُوا
لِلنَّاسِ حُسْنًا}
serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia. (Al-Baqarah:
83)
Maksudnya, berkatalah kepada mereka dengan baik dan lemah lembut; termasuk
dalam hal ini amar ma'ruf dan nahi munkar dengan cara yang makruf. Sebagaimana
Hasan Al-Basri berkata sehubungan dengan ayat ini, bahwa perkataan yang baik
ialah yang mengandung amar ma'ruf dan nahi munkar, serta mengandung kesabaran,
pemaafan, dan pengampunan serta berkata baik kepada manusia; seperti yang telah
dijelaskan oleh Allah Swt., yaitu semua akhlak baik yang diridai oleh Allah
Swt.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الخَزَّاز، عَنْ
أَبِي عِمْرَانَ الجَوْني، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ،
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ: "لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَالْقَ
أَخَاكَ بِوَجْهٍ مُنْطَلِقٍ".
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah
menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Kharraz, dari Abu Imran Al-Juni, dari
Abdullah ibnus Samit, dari Abu Zar r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Jangan sekali-kali kamu meremehkan suatu hal yang makruf (bajik) barang
sedikit pun; apabila kamu tidak menemukannya, maka sambutlah saudaramu dengan
wajah yang berseri.
Hadis yang sama diketengahkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya,
Imam Turmuzi di dalam kitab sahihnya melalui hadis Abu Amir Al-Kharraz yang nama
aslinya ialah Saleh ibnu Rustum.
Sangat sesuai sekali bila Allah memerintahkan kepada mereka untuk berkata
baik kepada manusia setelah Dia memerintahkan mereka untuk berbuat baik kepada
mereka melalui perbuatan. Dengan demikian, berarti dalam ayat ini tergabung dua
sisi kebajikan, yaitu kebajikan perbuatan dan ucapan. Kemudian perintah untuk
menyembah Allah dan berbuat baik kepada manusia ini dikuatkan lagi dengan
perintah yang tertentu secara detail dari hal tersebut, yaitu perintah
mendirikan salat dan menunaikan zakat. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ}
dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. (Al-Baqarah: 83)
Diceritakan pula bahwa ternyata mereka (Bani Israil) berpaling dari semua
perintah itu; yakni mereka meninggalkan hal tersebut, membelakanginya, dan
berpaling dengan sengaja sesudah mereka mengetahuinya, kecuali sedikit dari
kalangan mereka yang mengerjakannya.
Allah Swt. telah memerintahkan pula umat ini dengan hal yang serupa di dalam
surat An-Nisa, yaitu melalui firman-Nya:
{وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا
فَخُورًا}
Sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36)
Dengan demikian, berarti umat ini diberi kepercayaan oleh Allah Swt. untuk
mengerjakan perintah-perintah Allah yang tidak pernah dikerjakan oleh umat-umat
sebelumnya. Segala puji dan anugerah hanyalah milik Allah belaka.
Di antara nukilan yang garib (aneh) sehubungan dengan hal ini ialah sebuah
riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim di dalam kitab tafsirnya; telah
menceritakan kepada kami Abi (ayah Ibnu Abu Hatim), telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Khalaf Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami Abdullah
ibnu Yusuf (yakni At-Tanisi), telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Sabih,
dari Humaid ibnu Uqbah, dari Asad ibnu Wada'ah. Disebutkan bahwa Asad ibnu
Wada'ah bila keluar dari rumahnya tidak pernah bersua dengan seorang Yahudi atau
Nasrani melainkan ia mengucapkan salam kepadanya. Ketika ditanyakan kepadanya,
"Apakah gerangan yang mendorongmu hingga kamu mengucapkan salam kepada orang
Yahudi dan orang Nasrani?" Ia menjawab bahwa sesungguhnya Allah telah
berfirman:
{وَقُولُوا
لِلنَّاسِ حُسْنًا}
serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia. (Al-Baqarah:
83)
Perkataan yang baik itu menurutnya adalah ucapan salam. Ibnu Abu Hatim
mengatakan pula, hal yang sama telah diriwayatkan dari Ata Al-Khurrasani.
Menurut kami, telah ditetapkan di dalam sunnah bahwa kita tidak boleh memulai
mengucapkan salam penghormatan kepada mereka (orang-orang Yahudi dan orang-orang
Nasrani).
Al-Baqarah, ayat 84-86
{وَإِذْ
أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ لَا تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلا تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ (84) ثُمَّ أَنْتُمْ
هَؤُلاءِ تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ
دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِمْ بِالإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِنْ يَأْتُوكُمْ
أُسَارَى تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ
مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ
إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (85)
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآخِرَةِ فَلا يُخَفَّفُ
عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ (86) }
Dan (ingatlah) ketika kami mengambil janji
dari kalian (yaitu): Kalian tidak akan menumpahkan darah kalian (membunuh
orang), dan kalian tidak akan mengusir diri kalian (saudara sebangsa) dari
kampung halaman kalian, kemudian kalian berikrar (akan memenuhinya), sedangkan
kalian mempersaksikannya. Kemudian kalian (Bani Israil) membunuh diri kalian
(saudara kalian sebangsa) dan mengusir segolongan dari kalian dari kampung
halamannya, kalian bantu-membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan
permusuhan; tetapi jika mereka datang kepada kalian sebagai tawanan, kalian
tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagi kalian. Apakah
kalian beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian
yang lain Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripada kalian,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat besar. Allah tidak lengah dari apa yang
kalian perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan
(kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak
akan ditolong.
Melalui ayat ini Allah Swt. membantah orang-orang Yahudi yang ada di zaman
Rasulullah Saw. di Madinah dan mengecam tindakan mereka yang ikut berperang
melibatkan diri dalam perang antara Aus dan Khazraj, karena kabilah Aus dan
Khazraj —yakni orang-orang Ansar— dahulu di masa Jahiliah adalah penyembah
berhala, dan di antara kedua belah pihak banyak terjadi peperangan. Sedangkan
orang-orang Yahudi di Madinah terdiri atas tiga kabilah, yaitu Bani Qainuqa' dan
Bani Nadir; keduanya adalah teman sepakta kabilah Arab Khazraj, sedangkan Bani
Quraizah adalah teman sepakta kabilah Aus. Apabila terjadi peperangan di antara
kedua belah pihak, maka masing-masing berpihak kepada teman sepaktanya.
Orang-orang Yahudi pun terlibat pula dalam peperangan ini hingga ia membunuh
musuhnya, dan adakalanya seorang Yahudi membunuh Yahudi lain yang berpihak
kepada musuhnya. Padahal perbuatan tersebut diharamkan atas diri mereka menurut
ajaran agama yang dinaskan oleh kitab Taurat mereka. Mereka mengusir musuh
mereka dari kampung halamannya serta merampok semua peralatan, barang-barang,
dan harta benda yang ada padanya. Tetapi apabila perang telah berhenti dan
terjadi gencatan senjata di antara kedua kabilah yang bersangkutan,
masing-masing golongan dari kaum Yahudi menebus tawanan sekaumnya dari tangan
musuhnya, karena mengamalkan kandungan kitab Taurat. Karena itulah maka Allah
Swt. berfirman:
{أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ}
Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebagian yang lain? (Al-Baqarah: 85)
Di dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
{وَإِذْ
أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ لَا تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلا تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ}
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kalian (yaitu): Kalian
tidak akan menumpahkan darah kalian (membunuh orang), dan kalian tidak akan
mengusir diri kalian (saudara sebangsa kalian) dari kampung halaman kalian.
(Al-Baqarah: 84)
Makna yang dimaksud ialah, janganlah sebagian dari kalian membunuh sebagian
yang lain, jangan mengusirnya dari rumahnya, jangan pula saling membantu untuk
melakukan hal tersebut. Pengertian ini sama dengan firman Allah Swt.:
{فَتُوبُوا
إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ
بَارِئِكُمْ}
Maka bertobatlah kalian kepada Tuhan yang menjadikan kalian, dan bunuhlah
diri kalian. Hal itu lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menjadikan
kalian. (Al-Baqarah: 54)
Dikatakan demikian karena orang-orang yang memeluk agama yang sama, sebagian
darinya atas sebagian yang lain sama kedudukannya dengan satu orang, seperti
pengertian yang terkandung di dalam sabda Nabi Saw. berikut:
"مَثَلُ
الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَوَاصُلِهِمْ بِمَنْزِلَةِ
الْجَسَدِ الْوَاحِدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ
الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ"
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang serta
silaturahmi (keakraban) mereka sama dengan satu tubuh; apabila ada salah satu
anggota tubuh darinya merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh merasakan
sakitnya hingga demam dan tidak dapat tidur.
*********
Firman Allah Swt.:
{ثُمَّ
أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ}
Kemudian kalian berikrar (akan memenuhinya), sedangkan kalian
mempersaksikannya. (Al-Baqarah: 84)
Yaitu kalian berikrar bahwa diri kalian telah mengetahui janji tersebut dan
keabsahannya, sedangkan kalian mempersaksikannya.
{ثُمَّ
أَنْتُمْ هَؤُلاءِ تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ
دِيَارِهِمْ}
Kemudian kalian (Bani Israil) membunuh diri kalian (saudara sebangsa) dan
mengusir segolongan dari kalian dari kampung halamannya. (Al-Baqarah:
85)
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya
Muhammad Ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Kemudian kalian (Bani Israil) membunuh
diri kalian (saudara sebangsa kalian) dan mengusir segolongan dari kalian dari
kampung halamannya. (Al-Baqarah: 85) hingga akhir ayat. Allah Swt.
memberitahukan kepada mereka apa yang pernah mereka lakukan sebelum itu. Di
dalam kitab Taurat, Allah telah mengharamkan atas diri mereka mengalirkan darah
mereka dan diwajibkan atas diri mereka menebus orang sebangsanya yang
ditawan.
Mereka (Bani Israil) terdiri atas dua golongan. Salah satu golongannya adalah
Bani Qainuqa', teman sepakta Kabilah Khazraj dan Nadir. Dan golongan lainnya
—yaitu Bani Quraizah— adalah teman sepakta Kabilah Aus.
Tersebutlah bahwa apabila terjadi peperangan di antara kabilah Aus dan
Khazraj, Bani Qainuqa' dan Bani Nadir yang menjadi teman sepakta kabilah Khazraj
memihak pada kabilah Khazraj, dan Bani Quraizah berpihak kepada kabilah Aus.
Masing-masing pihak dari kalangan orang-orang Yahudi membela teman sepaktanya,
hingga mereka saling mengalirkan darah di antara sesamanya, padahal di tangan
mereka ada kitab Taurat dan mereka mengetahui semua hukum dan kewajiban yang
terkandung di dalamnya.
Kabilah Aus dan Khazraj adalah orang-orang musyrik penyembah berhala. Mereka
tidak mengenal adanya surga dan neraka, tidak pula hari berbangkit (hari
kiamat). Mereka tidak mengenal adanya kitab, tidak kenal pula dengan istilah
halal dan haram.
Apabila perang terhenti dan gencatan senjata terjadi, maka orang-orang Yahudi
tersebut menebus tawanan perang dari kalangan mereka berdasarkan nas kitab
Taurat dan sebagai pengamalannya. Maka orang-orang Bani Qainuqa' dan Bani Nadir
menebus tawanan perang mereka yang ada di tangan kabilah Aus, sedangkan
orang-orang Bani Quraizah menebus tawanan perang mereka yang berada di tangan
kabilah Khazraj.
Mereka mengajukan tuntutan terhadap apa yang telah teralirkan dari darah
mereka, dan mereka membunuh orang-orang yang telah mereka bunuh dari kalangan
mereka sendiri untuk membantu kaum musyrik yang ada di pihaknya. Allah Swt.
berfirman sehubungan dengan hal ini: Apakah kalian beriman kepada sebagian
Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain! (Al-Baqarah:
85)
Dengan kata lain, kalian saling menebus dan saling membunuh di antara sesama
kalian, padahal di dalam kitab Taurat telah disebutkan bahwa tidak boleh
membunuh, tidak boleh mengusir seseorang dari kampung halamannya, tidak boleh
pula membantu orang agar musyrik kepada Allah Swt. dan penyembah berhala untuk
melakukan hal itu karena mengharapkan keuntungan duniawi.
Menurut apa yang sampai kepadaku, semua yang telah kami sebut di atas tentang
perilaku orang-orang Yahudi bersama kabilah Aus dan Khazraj melatarbelakangi
turunnya ayat ini.
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, bahwa orang-orang Quraizah adalah teman
sepakta kabilah Aus, sedangkan orang-orang Bani Nadir teman sepakta kabilah
Khazraj. Mereka saling membunuh di dalam perang yang terjadi di antara sesama
mereka. Bani Quraizah berpihak kepada teman sepaktanya, dan Bani Nadir berpihak
kepada teman sepaktanya pula. Tersebutlah bahwa Bani Nadir pernah berperang
melawan Bani Quraizah dan teman sepaktanya; ternyata Bani Nadir dapat
mengalahkan mereka, maka orang-orang Bani Nadir mengusir orang-orang Bani
Quraizah dari tempat tinggalnya. Apabila ada orang-orang yang tertawan dari
kalangan kedua belah pihak, mereka mengumpulkan tawanan tersebut, lalu saling
menebus di antara sesama mereka. Melihat kejadian tersebut orang-orang Arab
mencela perbuatan mereka seraya mengatakan, "Mengapa kalian memerangi mereka,
kemudian kalian menebus tawanan mereka?" Orang-orang Yahudi menjawab, "Kami
telah diperintahkan untuk menebus mereka dan diharamkan atas kami memerangi
mereka (sesamanya)." Orang-orang Arab bertanya, "Lalu mengapa kalian memerangi
mereka?" Orang-orang Yahudi menjawab, "Kami merasa malu bila teman sepakta kami
mengalami penghinaan (kekalahan)." Yang demikian itulah yang di-sebutkan oleh
Allah Swt. di dalam firman-Nya: Kemudian kalian (Bani Israil) membunuh diri
kalian (saudara sebangsa kalian) 'dan mengusir segolongan dari kalian dari
kampung halamannya. (Al-Baqarah: 85), hingga akhir ayat.
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, dari Asy-Sya'bi, bahwa ayat berikut
diturunkan berkenaan dengan Qais ibnul Hatim, yaitu firman-Nya: Kemudian
kalian membunuh diri kalian sendiri dan mengusir se-olongan dari kalian dari
kampung halamannya. (Al-Baqarah: 85), hingga akhir ayat.
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, dari Abdu Khair yang menceritakan kisah
berikut: Kami berperang dengan Sulaiman ibnu Rabi'ah Al-Bahili di Lanjar. Kami
dapat mengepung penduduknya. Akhirnya kami beroleh kemenangan atas kota
tersebut, serta kami memperoleh banyak tawanan wanita. Abdullah ibnu Salam
membeli seorang wanita Yahudi dengan harga tujuh ratus. Ketika ia melalui Rasul
Jalut, ia turun istirahat padanya, lalu Abdullah berkata kepada pemimpin Rasul
Jalut, "Hai Rasul Jalut, maukah engkau membeli dariku seorang nenek yang ada di
tanganku dari kalangan pemeluk agamamu (agama Yahudi)?" Rasul Jalut menjawab,
"Ya." Abdullah ibnu Salam berkata, "Aku telah membelinya dengan harga tujuh
ratus (dirham)." Pemimpin Rasul Jalut menjawab, "Aku mau memberimu keuntungan
yang sama dengan modalmu itu." Abdullah ibnu Salam berkata, "Sesungguhnya aku
telah bersumpah bahwa aku tidak akan menjualnya dengan harga kurang dari empat
ribu (dirham)." Pemimpin Rasul Jalut menjawab, "Aku tidak memerlukannya."
Abdullah ibnu Salam berkata, "Demi Allah, kamu benar-benar membelinya dariku
atau kamu kafir terhadap agamamu sendiri yang kamu peluk sekarang." Selanjutnya
Abdullah ibnu Salam berkata, "Mendekatlah kepadaku." Maka pemimpin itu mendekat
kepadanya dan Abdullah ibnu Salam membacakan ke telinganya apa yang terkandung
di dalam kitab Taurat, yaitu: "Sesungguhnya kamu tidak sekali-kali menemukan
seorang budak dari kalangan Bani Israil melainkan kamu harus membelinya dan
memerdekakannya." Tetapi jika mereka datang kepada kalian sebagai tawanan,
kalian tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagi
kalian. (Al-Baqarah: 85) Pemimpin Rasul Jalut bertanya, "Engkau Abdullah
ibnu Salam?" Abdullah ibnu Salam menjawab, "Ya." Maka pemimpin Rasul Jalut
datang dengan membawa uang sejumlah empat ribu (dirham), dan Abdullah ibnu Salam
akhirnya menerima dua ribu saja, sedangkan yang dua ribu lagi ia kembalikan
kepada orang tersebut.
Adam ibnu Abu Iyas meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, bahwa telah
menceritakan kepada kami Abu Ja'far (yakni Ar-Razi), telah menceritakan kepada
kami Ar-Rabi' ibnu Anas, telah menceritakan kepada kami Abul Aliyah, bahwa
Abdullah ibnu Salam pernah lewat di Rasul Jalut (bawahan daerah Kufah),
sedangkan pemimpin Rasul Jalut menebus tawanan perang wanita (dari kalangan
Yahudi) yang belum disetubuhi oleh pasukan Arab, dan ia tidak mau menebus
tawanan wanita yang sudah digauli oleh tentara Arab. Maka Abdullah ibnu Salam
berkata, "Ingatlah, bukankah telah termaktub di dalam kitab yang ada padamu
bahwa kamu harus menebus mereka semuanya (tanpa pilih kasih)?"
Makna yang ditunjukkan oleh ayat dan konteksnya mengandung celaan yang
ditujukan kepada orang-orang Yahudi sehubungan dengan pengamalan mereka terhadap
perintah kitab Taurat yang mereka yakini kesahihannya, padahal kenyataannya
mereka bertentangan dengan syariat yang terkandung di dalamnya, sedangkan mereka
mengetahui hal tersebut. Ironisnya mereka mempersaksikan kebenaran dari
kekeliruan tersebut. Karena itu, mereka tidak beriman kepada apa yang terkandung
di dalam kitab Taurat, tidak pula terhadap penukilannya; serta tidak percaya
dengan apa yang mereka sembunyikan mengenai sifat Rasulullah Saw., ciri khasnya,
tempat diutusnya, saat munculnya dan tempat hijrahnya, serta lain-lainnya yang
diberitakan oleh para nabi sebelum Nabi Saw. muncul. Hal inilah yang
disembunyikan dengan rapi di antara sesama mereka, semoga laknat Allah menimpa
mereka. Sehubungan dengan hal ini Allah Swt. berfirman:
{فَمَا
جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا}
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari kalian melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia. (Al-Baqarah: 85)
Yakni disebabkan mereka menentang syariat Allah dan perintah-Nya.
{وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ}
dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat
berat. (Al-Baqarah: 85)
sebagai pembalasan yang setimpal terhadap perbuatan mereka yang menentang
Kitabullah yang berada di tangan mereka, yakni kitab Taurat.
{وَمَا
اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ* أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا بِالآخِرَةِ}
Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat. Itulah orang-orang yang
membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. (Al-Baqarah: 85-86)
Maksudnya, mereka lebih senang memilih kehidupan dunia daripada kehidupan
akhirat.
{فَلا
يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ}
maka tidak akan diringankan siksa mereka. (Al-Baqarah: 86)
Yakni tidak pernah terhenti siksaan atas diri mereka walau hanya sesaat.
{وَلا
هُمْ يُنْصَرُونَ}
dan mereka tidak akan ditolong. (Al-Baqarah: 86)
Artinya, tiada seorang penolong pun yang dapat menyelamatkan mereka dari azab
kekal yang menimpa diri mereka, dan tiada seorang pun yang dapat memberikan
perlindungan kepada mereka dari siksa tersebut
Al-Baqarah, ayat 87
{وَلَقَدْ
آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَقَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ وَآتَيْنَا
عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ
أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ
فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ (87) }
Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan
Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut)
sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran
(mukjizat) kepada Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan ruhul qudus.
Apakah setiap datang kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran)
yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu kalian menyombongkan diri; maka
beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain)
kalian bunuh.
Allah Swt. mengecap kaum Bani Israil sebagai orang-orang yang takabur,
pengingkar, penentang, dan sombong terhadap para nabi; dan bahwa mereka hanyalah
memperturutkan hawa nafsu mereka sendiri. Maka Allah Swt. menyebutkan bahwa Dia
telah memberikan kepada Musa sebuah kitab (yakni kitab Taurat), tetapi mereka
mengubah dan menggantinya serta menentang perintah-perintah yang terkandung di
dalamnya serta menakwilkannya dengan takwil yang lain. Kemudian Allah Swt
mengirimkan para rasul dan para nabi sesudah Musa a.s. yang menjalankan hukum
dengan syariat Nabi Musa a.s., sebagaimana yang disebutkan di dalam
firman-Nya:
{إِنَّا
أَنزلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ
الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا
اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ}
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk
dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara
orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, oleh
orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka
diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. (Al-Maidah: 44), hingga akhir ayat.
*******
Adapun firman Allah Swt.:
{وَقَفَّيْنَا
مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ}
dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan
rasul-rasul. (Al-Baqarah: 87)
As-Saddi telah meriwayatkan dari Abu Malik sehubungan dengan makna
waqaffaina, artinya 'Kami telah menyusulinya'. Sedangkan menurut yang
lainnya artinya 'Kami telah mengiringinya', seperti pengertian yang terkandung
di dalam firman-Nya:
{ثُمَّ
أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَا}
Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami
berturut-turut. (Al-Mu’minun: 44)
hingga rasul-rasul Bani Israil ditutup dengan terutusnya Nabi Isa ibnu
Maryam. Isa a.s. datang membawa syariat yang sebagian hukum-hukumnya
bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam kitab Taurat. Karena itu, Allah
memberinya berbagai jenis mukjizat untuk memperkuatnya.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa mukjizat-mukjizat Isa ialah menghidupkan
kembali orang yang telah mati, menciptakan sesuatu yang berbentuk burung dari
tanah liat, lalu ia meniupnya dan jadilah sesuatu itu burung yang hidup dengan
seizin Allah Swt. Ia pun dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit,
menceritakan hal-hal gaib serta diperkuat dengan ruhul qudus, yaitu Malaikat
Jibril a.s. Semuanya itu untuk memperkuat risalah yang ia sampaikan kepada kaum
Bani Israil agar mereka percaya dan beriman kepadanya. Tetapi kejadiannya justru
kebalikannya, kaum Bani Israil bertambah keras mendustakannya dan dengki serta
ingkar terhadapnya. Reaksi ini timbul karena apa yang didatangkannya
bertentangan dengan isi kitab Taurat dalam sebagian hukum-hukumnya, seperti yang
diceritakan oleh Allah Swt. menyitir perkataan Nabi Isa a.s., yaitu:
{وَلأحِلَّ
لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ وَجِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ
رَبِّكُمْ}
dan untuk menghalalkan bagi kalian sebagian yang telah diharamkan untuk
kalian dan aku datang kepada kalian dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari
Tuhan kalian. (Ali Imran: 50), hingga akhir ayat.
Orang-orang Bani Israil memperlakukan para nabi dengan perlakuan paling
buruk; sebagian dari mereka mendustakannya, dan sebagian yang lain membunuhnya.
Hal tersebut terjadi hanya karena para nabi mendatangkan kepada mereka
perkara-perkara yang bertentangan dengan hawa nafsu dan pendapat mereka. Para
nabi tersebut memerintahkan mereka agar menetapi hukum-hukum kitab Taurat asli
yang saat itu sudah mereka ubah untuk menentangnya. Karena itu, maka hal ini
terasa amat berat bagi mereka; akhirnya mereka mendustakan para rasulnya, dan
adakalanya membunuh sebagiannya. Hal ini telah disebutkan oleh firman-Nya:
{أَفَكُلَّمَا
جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا
كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ}
Apakah setiap datang kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu
(pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu kalian menyombongkan
diri; maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang
(yang lain) kalian bunuh (Al-Baqarah: 87)
Dalil yang menunjukkan bahwa Ruhul Qudus adalah Malaikat Jibril ialah apa
yang dinaskan oleh Ibnu Mas'ud dalam tafsir ayat ini, kemudian pendapatnya itu
diikuti oleh Ibnu Abbas, Muhammad ibnu Ka'b, Ismail ibnu Khalid, As-Saddi,
Ar-Rabi' ibnu Anas, Atiyyah Al-Aufi, dan Qatadah. Menurut Imam Bukhari disertai
dengan tafsir ayat berikut, yakni firman-Nya:
{نزلَ
بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ* عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ
الْمُنْذِرِينَ}
dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan. (Asy-Syu'ara: 193-194)
Ibnu Abuz Zanad meriwayatkan dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Siti
Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah meletakkan sebuah mimbar di dalam
masjid khusus buat Hassan ibnu Sabit, tempat untuk bersyair buat membela
Rasulullah Saw.; dan Rasulullah Saw. berdoa untuknya:
"اللَّهُمَّ
أَيِّدْ حَسَّانَ بِرُوحِ الْقُدُسِ كَمَا نَافَحَ عَنْ نَبِيِّكَ"
Ya Allah, perkuatlah Hassan dengan Ruhul Qudus (Malaikat Jibril),
sebagaimana dia berjuang membela Nabi-Mu (melalui syair-syairnya).
Lafaz hadis ini yang dari Imam Bukhari secara ta'liq. Akan tetapi, Imam Abu
Daud meriwayatkannya pula di dalam kitab Sunannya dari Ibnu Sirin, dan Imam
Turmuzi meriwayatkannya dari Ali ibnu Hujr dan Ismail ibnu Musa Al-Fazzari.
Ketiga-tiganya mengetengahkan hadis ini dari Abu Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad,
dari ayahnya dan Hisyam ibnu Urwah; keduanya meriwayatkan hadis ini dari Urwah,
dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa sanad
hadis ini berpredikat hasan atau sahih, yakni hadis Abuz Zanad.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
مِنْ
حَدِيثِ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ عُمَرَ مَرَّ بِحَسَّانَ، وَهُوَ
يُنْشِدُ الشِّعْرَ فِي الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ
إِلَيْهِ، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أَنْشُدُ فِيهِ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ.
ثُمَّ التَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، فَقَالَ: أَنْشُدُكَ اللَّهَ أَسْمِعْتَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: "أَجِبْ عَنِّي،
اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ"؟. فَقَالَ: اللَّهُمَّ
نَعَمْ
dari hadis Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab,
dari Abu Hurairah r.a., bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab melewati Hassan ibnu
Sabit yang sedang mendendangkan syair di dalam masjid, maka Umar r.a.
memelototinya, lalu Hassan berkata, "Sesungguhnya aku pernah mendendangkan syair
di dalam masjid ini, sedangkan di dalamnya terdapat orang yang lebih baik
daripada kamu (yakni Nabi Saw.)." Kemudian Umar ibnul Khattab r.a. menoleh
kepada Abu Hurairah dan berkata, "Kumohon atas nama Allah, pernahkah engkau
mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Perkenankanlah bagiku, ya Allah,
kuatkanlah dia (Hassan) dengan Ruhul Qudus (Malaikat Jibril)?'." Maka Abu
Hurairah menjawab, "Allahumma, na'am (ya)."
Menurut sebagian riwayat, Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Hassan:
"اهْجُهُمْ
-أَوْ: هَاجِهِمْ-وَجِبْرِيلُ مَعَكَ"
Seranglah mereka atau hinakanlah mereka dengan syairmu, semoga Jibril
membantumu.
Di dalam syair Hassan terdapat ucapan berikut:
وَجِبْرِيلٌ رَسُولُ اللَّهِ يُنَادِي ...
وَرُوحُ الْقُدُسِ لَيْسَ بِهِ خَفَاءُ
Dan Jibril utusan Allah berada bersama
kami, dia adalah Ruhul Qudus yang tidak diragukan lagi.
قَالَ
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
أَبِي حُسَيْنٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ الْأَشْعَرِيِّ: أَنَّ
نَفَرًا مِنَ الْيَهُودِ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالُوا: أَخْبِرْنَا عَنِ الرُّوحِ. فَقَالَ: "أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ
وَبِأَيَّامِهِ عِنْدَ بَنِي إِسْرَائِيلَ، هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّهُ جِبْرِيلُ؟
وَهُوَ الذِي يَأْتِينِي؟ " قَالُوا: نَعَمْ
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman
ibnu Abu Husain Al-Makki, dari Syahr ibnu Hausyab Al-Asy'ari: Bahwa ada
segolongan orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasulullah Saw., "Ceritakanlah
kepada kami tentang roh." Maka beliau menjawab, "Aku meminta kepada kalian,
demi Allah dan demi hari-hari-Nya bersama Bani Israil, tahukah kalian bahwa
Jibril yang selalu datang kepadaku adalah roh.?" Mereka menjawab, "Ya."
Di dalam kitab Sahih Ibnu Hibban disebutkan sebuah hadis dari Ibnu Mas'ud,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنَّ
رُوحَ الْقُدُسِ نَفَخَ فِي
رُوعِي: إِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا وَأَجَلَهَا
فَاتَّقَوُا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ"
Sesungguhnya Ruhul Qudus (Malaikat Jibril) telah menyampaikan wahyu
kepadaku, bahwa seseorang tidak akan mati sebelum menyempurnakan rezeki dan
ajalnya. Karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah dan berlakulah dengan baik
dalam mencari (meminta).
Beberapa pendapat lain sehubungan dengan makna Ruhul Qudus diriwayatkan oleh
Ibnu Abu Hatirn, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, Minjab ibnul Haris,
telah menceritakan kepada kami Bisyr, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan, "Ruhul Qudus adalah Ismul A'zam yang dibacakan oleh Nabi
Isa a.s. sewaktu menghidupkan orang-orang yang telah mati."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ia pernah menceritakan sebuah riwayat dari
Minjab, lalu ia menceritakan hal yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Sa'id
ibnu Jubair. Al-Qurtubi menukil dari Ubaid ibnu Umair yang juga mengatakan bahwa
Ruhul Qudus adalah Ismul A'zam.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan, Ar-Ruh adalah Malaikat Hafazah yang menjaga para
malaikat.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa Al-Qudus
adalah Tuhan Yang Mahasuci lagi Maha Tinggi. Hal ini adalah pendapat yang
dikatakan oleh Ka'b.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid dan Al-Hasan Al-Basri, keduanya
mengatakan bahwa Al-Qudus adalah Allah Swt., sedangkan Ar-Ruh adalah Malaikat
Jibril.
Dengan demikian, pendapat yang terakhir ini sama kedudukannya dengan pendapat
pertama tadi.
As-Saddi mengatakan bahwa Al-Qudus adalah Al-Barakah (keberkahan).
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Al-Qudus adalah suci.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa ibnu Zaid telah mengatakan
sehubungan dengan firman-Nya: dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus.
(Al-Baqarah: 87) bahwa Allah menguatkan Isa dengan roh dalam kitab Injil
sebagaimana Dia menjadikan roh dalam Al-Qur'an. Keduanya adalah Roh Allah,
seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
{وَكَذَلِكَ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا}
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah
Kami. (Asy-Syura: 52)
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil yang paling mendekati kepada
kebenaran dari semua itu adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa Ar-Ruh
dalam ayat ini bermakna Malaikat Jibril. Karena sesungguhnya Allah telah
memberitakan bahwa Dia telah menguatkan Isa dengan roh tersebut, seperti yang
disebutkan di dalam firman-Nya:
{إِذْ
قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلى
وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ
وَكَهْلا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ
وَالإنْجِيلَ}
(Ingatlah) ketika Allah mengalakan, "Hai Isa putra Maryam, ingatlah
nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan Ruhul
Qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan
sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah,
Taurat, dan Injil..., hingga akhir ayat, (Al-Maidah: 110).
Maka dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa Dia telah menguatkannya dengan
Ruhul Qudus. Seandainya roh yang dijadikan sebagai penguat Isa adalah kitab
Injil, niscaya firman-Nya: (Ingatlah) ketika Aku menguatkan kamu dengan Ruhul
Qudus. (Al-Maidah: 110) dan firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Aku
mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat, dan Injil. (Al-Maidah: 110) merupakan
kata ulangan yang tidak mengandung arti apa pun, sedangkan Allah Mahasuci dari
hal yang tidak mengandung faedah dalam berkhitab kepada hamba-hamba-Nya.
Menurut kami, termasuk dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan
Ar-Ruh adalah Malaikat Jibril ialah apa yang telah ditunjukkan oleh konteks ayat
sejak permulaannya.
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa Ruhul Qudus adalah roh yang disucikan,
perihalnya sama dengan perkataanmu hatimul jud (Hatim yang dermawan) dan
rajulun sidqun (lelaki yang benar).
Roh ini disifati dengan Al-Qudus, seperti juga yang disebutkan di dalam
firman-Nya, "Waruhum minhu" (dan roh daripada-Nya). Maka ungkapan
sifatnya disebut secara ikhtisas dan taqrib sebagai penghormatan buatnya.
Menurut pendapat yang lain, dikatakan demikian karena kejadiannya (Isa) bukan
berasal dari apa yang dikeluarkan oleh sulbi (air mani) dan rahim yang
mengeluarkan darah haid. Menurut pendapat yang lain, Roh di sini artinya
Malaikat Jibril. Menurut pendapat yang lainnya artinya kitab Injil, seperti yang
disebutkan di dalam firman-Nya tentang Al-Qur'an:
{رُوحًا
مِنْ أَمْرِنَا}
wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah kami. (Asy-Syura: 52)
Menurut pendapat lain, yang dimaksud ialah asma Allah yang teragung (Ismul
A'zam) yang dipakai oleh Isa a.s. ketika menghidupkan orang-orang yang telah
mati dengan mengucapkannya.
Pendapat Az-Zamakhsyari ini mengandung pengertian lain, yaitu yang dimaksud
dengan roh Isa ialah jiwanya yang suci lagi bersih.
Az-Zamakhsyari mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya:
{فَفَرِيقًا
كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ}
maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang
(yang lain) kalian bunuh (Al-Baqarah: 87)
Sesungguhnya dalam ayat ini tidak dikatakan wa fariqan qataltum (dan
beberapa orang dari para utusan itu telah kalian bunuh) hanyalah karena yang
dimaksudkan mencakup pula masa mendatang. Karena ternyata mereka pun pernah
berupaya untuk membunuh Nabi Saw. dengan racun dan sihir. Rasulullah Saw. pernah
bersabda dalam keadaan sakit yang membawa kepada kewafatannya:
مَا
زَالَتْ أَكْلَةُ خَيْبَرَ تُعَاوِدُنِي فَهَذَا أَوَانُ انْقِطَاعِ
أَبْهَرِي"
Makanan (yang kusuap) di Khaibar masih terus mempengaruhi diriku, dan
sekarang sudah tiba saat terputusnya urat nadi utamaku.
Menurut kami, hadis ini terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari dan kitab-kitab
hadis lainnya.
Al-Baqarah, ayat 88
{وَقَالُوا
قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلا مَا يُؤْمِنُونَ
(88) }
Dan mereka berkata, "Hati kami tertutup:'
Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka
sedikit sekali mereka yang beriman.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu
Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan
makna gulfun, bahwa makna yang dimaksud ialah hati kami tertutup.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir
lafaz gulfun, bahwa makna yang dimaksud ialah hati kami tidak dapat
memahami.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir lafaz ini,
bahwa makna yang dimaksud ialah hati yang terkunci mati. Mujahid mengatakan
sehubungan dengan tafsir lafaz ini, qulubuna gulfun artinya hati yang
telah tertutup oleh gisyawah (penutup). Ikrimah mengatakan hati yang
telah terkunci mati. Abul Aliyah mengatakan hati yang tidak dapat mengerti.
Menurut Assaddi yaitu hati yang tertutup oleh gilaf (penutup). Abdur
Razaq mengatakan dari Ma'mar, dari Qatadah, artinya 'maka hati yang tidak dapat
memahami dan tidak pula mengerti'. Mujahid dan Qatadah mengatakan bahwa Ibnu
Abbas membacanya gulufun dengan huruf lam yang di-dammah-kan, bentuk
jamak dari lafaz gilafun artinya hati kami merupakan wadah bagi semua
ilmu, maka kami tidak memerlukan lagi ilmumu.
Ibnu Abbas dan Ata mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Tetapi
sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka.
(Al-Baqarah: 88) Maksudnya, Allah telah mengusir dan menjauhkan mereka dari
semua kebaikan. maka sedikit sekali mereka yang beriman. (Al-Baqarah:
88)
Menurut Qatadah, makna ayat ini ialah tiada yang beriman dari kalangan mereka
kecuali sedikit sekali. Dan firman-Nya: Dan mereka berkata, "Hati kami
tertutup" (Al-Baqarah: 88) sama maknanya dengan apa yang terkandung di dalam
ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَقَالُوا
قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ}
Mereka berkata, "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa
yang kalian seru kami kepadanya." (Fushshilat: 5)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan tafsir lafaz
gulfun; perihalnya sama dengan perkataanmu, "Hatiku dalam keadaan
tertutup," karena itu ia tidak dapat memahami apa yang sampai kepadanya.
Lalu Abdur Rahman membacakan firman-Nya: Mereka berkata, "Hati kami berada
dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kalian seru kami kepadanya."
(Fushshilat: 5)
Pendapat inilah yang di-rajih-kan (dikuatkan) oleh Ibnu Jarir, dan ia
mendasari pendapatnya dengan sebuah hadis yang diriwayatkan melalui Amr ibnu
Murrah Al-Jumali, dari Abul Bukhturi, dari Huzaifah yang mengatakan bahwa hati
itu ada empat macam; lalu ia menyebutkan salah satunya, yaitu hati yang tertutup
lagi dibenci, hati ini adalah hatinya orang kafir.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdur Rahman Al-Arzami, telah menceritakan kepada kami ayahnya, dari kakeknya,
dari Qatadah, dari Al-Hasan sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Qulubuna
gulfun" artinya hati kami belum dikhitan (belum dibersihkan). Pendapat ini
merujuk kepada pendapat yang telah lalu, yaitu yang mengatakan bahwa hati mereka
tidak suci dan jauh dari kebaikan.
Pendapat yang lainnya dikatakan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa
qulubuna gulfun artinya hati kami telah penuh, tidak lagi memerlukan ilmu
Muhammad, tidak pula yang lainnya.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa makna gulufun yakni
wadah ilmu. Berdasarkan makna ini ada sebagian kalangan sahabat Ansar yang
membacanya demikian (yakni bukan gulfun, melainkan gulufun).
Bacaan ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, yakni dengan huruf lam yang
di-damah-kan, dinukil oleh Az-Zamakhsyari. Makna lafaz gulfun adalah
bentuk jamak dari lafaz gilafun, aetinya wadah; yakni mereka menduga
bahwa hati mereka telah penuh dengan ilmu. Karenanya mereka tidak lagi
memerlukan ilmu yang lain, sebagaimana mereka biasa memberikan fatwa mengenai
ilmu kitab Taurat. Karena itu, Allah Swt. berfirman:
{بَل
لَّعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلا مَّا يُؤْمِنُونَ}
Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka;
maka sedikit sekali mereka yang beriman. (Al-Baqarah: 88)
Dengan kata lain, keadaannya tidaklah seperti apa yang mereka duga, melainkan
hati mereka telah tertutup dan terkunci mati, seperti pengertian yang terkandung
di dalam ayat surat An-Nisa, yaitu:
{وَقَوْلِهِمْ
قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ طَبَعَ اللَّهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ
إِلا قَلِيلا}
Dan perkataan mereka, "Hati kami tertutup." Bahkan sebenarnya Allah telah
mengunci mati hati mereka karena kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman
kecuali sebagian kecil dari mereka. (An-Nisa: 155)
Mereka berbeda pendapat mengenai firman-Nya, "Faqalilamma
yu-minuna,'''' dan firman-Nya, "Fala yu-minuna illa qalilan" Sebagian
dari mereka mengatakan, artinya yaitu sedikit sekali orang yang beriman dari
kalangan mereka. Menurut pendapat yang lain, sedikit sekali iman mereka. Dengan
kata lain, mereka beriman kepada apa yang disampaikan oleh Musa kepada mereka
tentang hari akhirat, pahala, dan siksaan. Akan tetapi, iman tersebut tiada
manfaatnya bagi mereka karena hati mereka dipenuhi oleh kekufuran terhadap apa
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. kepada mereka.
Sebagian yang lain mengatakan, sesungguhnya mereka (Bani Israil) tidak
memiliki iman barang sedikit pun; dan sesungguhnya disebutkan di dalam
firman-Nya, "Faqalilamma yu-minun," menunjukkan ketiadaan iman pada
mereka, yakni mereka semuanya kafir. Pengertian kalimat ini sama dengan ucapan
orang-orang Arab, "Qallama ra-aitu misla haza qattu" (aku jarang sekali
melihat hal semisal ini).
Makna yang dimaksud ialah ma ra-aitu misla haza qaltu (aku belum
pernah melihat hal yang semisal dengan ini). Imam Kisai' berkata bahwa
orang-orang Arab mengatakan, "Man zana bi ardin qallama tanbutu" (barang
siapa yang berzina di suatu tanah, maka tanah itu jarang dapat menumbuhkan
tetumbuhan). Makna yang dimaksud ialah, tanah tersebut tidak dapat menumbuhkan
sesuatu pun. Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir rahimahullah.
Al-Baqarah, ayat 89
{وَلَمَّا
جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ
قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا
كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ (89) }
Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur'an
dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka
biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang
kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka
lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah
atas orang-orang yang ingkar itu.
Walamma ja-ahum, setelah datang kepada orang-orang Yahudi itu.
Kitabun min Indilah, Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw.
Musaddiqul lima ma ahum, yang isinya membenarkan kitab Taurat yang ada
pada mereka.
Sedangkan mengenai makna firman-Nya:
{وَكَانُوا
مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا}
padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat
kemenangan atas orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 89)
Makna yang dimaksud ialah bahwa sebelum kedatangan Rasul Saw. yang membawa
Al-Qur'an, mereka selalu memohon kepada Allah akan kedatangannya untuk
menghadapi musuh mereka dari kalangan kaum musyrik, bila mereka berperang
melawan kaum musyrik. Mereka (Bani Israil) selalu mengatakan, "Sesungguhnya
kelak akan diutus seorang nabi akhir zaman, kami akan bersamanya memerangi
kalian sebagaimana kami memerangi kaum Ad dan kaum Iram." Seperti yang dikatakan
oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim ibnu Arm. dari Qatadah Al-Ansari, dari
pemuka-pemuka Ansar yang mengatakan, "Demi Allah, berkenaan dengan kami dan
mereka ayat ini diturunkan," yakni berkenaan dengan kaum Ansar dan orang-orang
Yahudi yang bertetangga dengan merekalah kisah yang disebutkan dalam ayat
berikut ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan setelah 'datang kepada mereka
Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal
sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas
orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka
ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. (Al-Baqarah: 89)
Orang-orang Ansar mengatakan, "Kami berkuasa atas mereka dengan kekuatan
dalam suatu masa di zaman Jahiliah; padahal kami berasal dari orang-orang
musyrik, sedangkan mereka adalah ahli kitab." Mereka selalu mengatakan, 'Kelak
akan muncul seorang nabi yang sekarang sudah tiba masa perutusannya dan nanti
kami akan mengikutinya. untuk memerangi kalian seperti kami memerangi kaum Ad
dan Iram. Tetapi setelah Allah mengutus rasul-Nya dari kalangan Quraisy, maka
kami mengikutinya, sedangkan mereka sendiri ingkar kepadanya." Allah Swt.
berfirman sehubungan dengan sikap mereka itu: Dan setelah datang kepada
mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat
Allahlah atas orang-orang yang ingkar itu. (Al-Baqarah: 89)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya:
padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat
kemenangan atas orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 89) Bahwa mereka selalu
memohon pertolongan seraya mengatakan, "Kami akan membantu Muhammad untuk
melawan mereka," tetapi pada hakikatnya tidaklah demikian, mereka hanya berdusta
belaka.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu
Abu Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari
Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Yahudi di masa lalu selalu memohon kemenangan atas
orang-orang Aus dan Khazraj dengan kedatangan Rasulullah Saw. sebelum beliau
diangkat menjadi utusan. Akan tetapi, setelah Allah mengutusnya dari kalangan
bangsa Arab, mereka kafir dan ingkar kepada apa yang selalu mereka katakan
sebelumnya tentang dia. Maka berkatalah kepada mereka Mu'az ibnu Jabal, Bisyr
ibnul Barra ibnu Ma'rur, dan Daud ibnu Salamah, "Hai orang-orang Yahudi,
bertakwalah kalian kepada Allah dan masuk Islamlah kalian. Sesungguhnya kalian
dahulu selalu memohon untuk mendapat kemenangan atas kami dengan datangnya
Muhammad Saw., sedangkan kami masih dalam keadaan musyrik. Kalian menceritakan
kepada kami bahwa dia akan diutus dan kalian sebut pula sifat-sifatnya."
Maka Salam ibnu Misykum, saudara Bani Nadir (salah seorang dari kalangan
orang-orang Yahudi) menjawab, "Dia tidak menyampaikan kepada kami sesuatu pun
yang kami kenal, dan dia bukanlah orang yang dahulu sering kami katakan kepada
kalian." Maka Allah menurunkan firman-Nya sehubungan dengan perkataan mereka
itu: Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan
apa yang ada pada mereka. (Al-Baqarah: 89), hingga akhir ayat.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: padahal
sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapat kemenangan atas
orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 89) Mereka selalu memohon kemenangan dengan
datangnya Nabi Muhammad Saw. atas orang-orang musyrik Arab, yakni yang juga dari
kalangan ahli kitab seperti mereka. Tetapi setelah Nabi Muhammad Saw. diutus dan
kelihatan oleh mereka bukan dari kalangan mereka, maka mereka ingkar dan dengki
kepadanya.
Abul Aliyah mengatakan, dahulu orang-orang Yahudi selalu memohon kemenangan
dengan kedatangan Nabi Muhammad Saw. atas orang-orang musyrik Arab. Mereka
mengatakan, "Ya Allah, utuslah nabi yang kami jumpai termaktub dalam kitab kami
ini hingga kami dapat menghukum dan membunuh orang-orang musyrik." Tetapi
setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. dan mereka melihatnya bukan dari
kalangan mereka, maka mereka kafir kepadanya karena dengki terhadap bangsa Arab,
padahal mereka mengetahui bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah. Maka
Allah Swt berfirrnan: Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka
ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allahlah atas orang-orang
yang ingkar itu. (Al-Baqarah: 89)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: padahal sebelumnya mereka
biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang
kafir. (Al-Baqarah: 89) Dahulu mereka selalu mengatakan bahwa kelak akan
muncul seorang nabi. maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka
ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. (Al-Baqarah: 89)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan setelah datang kepada
mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat
Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (Al-Baqarah: 89) Mereka yang
disebut di dalam ayat ini adalah orang-orang Yahudi.
Al-Baqarah, ayat 90
{بِئْسَمَا
اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنزلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ
يُنزلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ فَبَاءُوا
بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ (90) }
Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka
yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan
Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hambah-hamba-Nya. Karena itu, mereka mendapat murka sesudah (mendapat)
kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.
Mujahid mengatakan bahwa firman-Nya: Alangkah buruknya (hasil perbuatan)
mereka yang menjual dirinya sendiri. (Al-Baqarah: 90) Mereka adalah
orang-orang Yahudi, mereka menjual perkara yang hak dengan mendapatkan gantinya
perkara yang batil, yaitu mereka menyembunyikan apa yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad Saw. dan mereka tidak mau menjelaskannya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka menjual
diri mereka dengan keburukan tersebut. Dengan kata lain, alangkah buruknya apa
yang mereka pertukarkan buat diri mereka sendiri; dan mereka rela dengan
pertukaran yang buruk itu dan memilihnya, yakni kafir kepada apa yang diturunkan
oleh Allah (Al-Qur'an) kepada Nabi Muhammad Saw. Mereka tidak mau
membenarkannya, tidak mau mendukung dan membantunya. Sesungguhnya yang mendorong
mereka berbuat demikian hanyalah rasa dengki dan kebencian serta kezaliman
mereka sendiri, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: karena dengki bahwa
Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 90) Tiada kedengkian yang lebih besar daripada
kedengkian seperti itu.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Alangkah buruknya (hasil perbuatan)
mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah
diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 90) Yakni
karena Allah menjadikan nabi tersebut bukan dari kalangan mereka (Bani Israil)
sendiri. Karena itu, mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan.
(Al-Baqarah: 90)
Menurut Ibnu Abbas, makna kemurkaan atas kemurkaan yang lain ialah Allah
murka kepada mereka karena mereka telah menyia-nyiakan kitab Taurat, padahal
kitab Taurat berada di tangan mereka. Allah murka pula kepada mereka karena
mereka ingkar kepada Nabi Saw. yang diutus-Nya kepada mereka semuanya.
Menurut kami, makna lafaz ba'u ialah mereka pasti dan berhak mendapat
murka di atas murka, dan mereka tetap berada di dalam kemurkaan yang bertumpang
tindih itu.
Abul Aliyah mengatakan, murka Allah terhadap mereka (Bani Israil) adalah
karena kekufuran (keingkaran) mereka kepada kitab Injil dan Nabi Isa, juga
karena mereka ingkar kepada Nabi Muhammad Saw. dan kepada Al-Qur'an. Hal yang
semisal telah diriwayatkan pula dari Ikrimah dan Qatadah.
As-Saddi mengatakan bahwa murka Allah yang pertama ialah ketika mereka
menyembah anak lembu, dan yang kedua ialah ketika mereka ingkar terhadap Nabi
Muhammad Saw. Hal yang semisal diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَلِلْكَافِرِينَ
عَذَابٌ مُهِينٌ}
Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan. (Al-Baqarah:
90)
Dikatakan demikian mengingat penyebab dari kekufuran mereka adalah rasa
dengki dan iri hati yang bersumber dari rasa takabur mereka. Maka sebagai
pembalasannya ialah kebalikannya, yaitu mereka mengalami kehinaan dan kerendahan
di dunia dan akhirat. Seperti yang disebutkan oleh ayat lainnya, yaitu
firman-Nya:
{إِنَّ
الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ
دَاخِرِينَ}
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari me-yembah-Ku akan
masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. (Al-Mu’min: 60)
Yakni dalam keadaan kecil, hina, rendah lagi kalah.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، حَدَّثَنَا ابْنُ عَجْلان، عَنْ عَمْرِوِ
بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ النَّاسِ، يَعْلُوهُمْ كُلُّ شَيْءٍ مِنَ الصَّغَارِ
حَتَّى يَدْخُلُوا سِجْنًا فِي جَهَنَّمَ، يُقَالُ لَهُ: بُولَس فَيَعْلُوهُمْ
نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ: عُصَارَةِ أَهْلِ
النَّارِ"
Imam Ahmad telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Ajlan, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Orang-orang yang sombong
digiring pada hari kiamat nanti dalam keadaan seperti semut paling kecil berupa
manusia, segala sesuatu berada di atas mereka karena kecilnya, hingga dimasukkan
di dalam sebuah penjara di neraka Jahannam. Penjara tersebut dikenal
dengan nama bulis yang dipenuhi oleh inti api neraka; mereka diberi minum dari
tinatul khabal, yaitu perasan dari tubuh penduduk neraka.
Al-Baqarah, ayat 91-92
{وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنزلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنزلَ
عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا
مَعَهُمْ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَاءَ اللَّهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ (91) وَلَقَدْ جَاءَكُمْ مُوسَى بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ
الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ (92) }
Dan apabila dikatakan kepada mereka,
"Berimanlah kepada Al-Qur'an yang diturunkan Allah," mereka berkata, "Kami hanya
beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami." Dan mereka kafir kepada
Al-Qur'an yang diturunkan sesudahnya, sedangkan Al-Qur'an itu adalah (kitab)
yang hak, yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah, "Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi
Allah jika benar kalian orang-orang yang beriman?" Sesungguhnya Musa telah
datang kepada kalian membawa bukti-bukti kebenaran (mukjizat), kemudian kalian
jadikan anak sapi (sebagai sesembahan) sesudah (kepergian)nya, dan sebenarnya
kalian adalah orang-orang yang zalim.
Allah Swt. berfirman, "Dan apabila dikatakan kepada mereka," yakni
kepada orang-orang Yahudi dan yang semisal dengan mereka dari ka.-langan ahli
kitab.”Berimanlah kepada Al-Qur'an yang diturunkan Allah," kepada Nabi
Muhammad Saw., percayalah kepadanya, dan ikutilah dia. Mereka berkata, "Kami
hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami." Maksudnya, cukup bagi
kami beriman kepada kitab Taurat dan Injil yang diturunkan kepada kami, dan kami
tidak mengakui selain itu. Mereka kafir kepada Al-Qur'an yang diturunkan
sesudahnya, yakni sesudah kitab-kitab tersebut.
Padahal Al-Qur'an itu adalah kitab yang hak, yang membenarkan apa yang ada
pada mereka; yakni mereka mengetahui bahwa kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. adalah perkara yang hak, yang membenarkan apa yang ada pada
mereka. Lafaz musaddiqan dibaca nasab karena berkedudukan menjadi
hal (keterangan keadaan), yakni keadaan Al-Qur'an itu membenarkan apa
yang ada pada mereka, yakni kitab Taurat dan Injil yang dipegang mereka. Dengan
demikian, di dalam kalimat ini terkandung hujah yang membantah pengakuan mereka;
seperti yang dijelaskan oleh firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
{الَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ
أَبْنَاءَهُمْ}
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan
Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.
(Al-Baqarah: 146)
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman, "Mengapa kalian
dahulu membunuh nabi-nabi Allah, jika benar kalian orang-orang yang
beriman?" Yakni jika kalian benar dalam pengakuan kalian yang menyatakan
bahwa kalian beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kalian, mengapa
kalian membunuh para nabi yang datang kepada kalian dengan membawa apa yang
membenarkan yang ada di tangan kalian? Kalian diperintahkan agar memutuskan
hukum berdasarkan kitab Taurat itu dan tidak boleh mengubahnya, padahal kalian
mengetahui bahwa para nabi tersebut benar. Tetapi ternyata kalian membunuh
mereka karena rasa dengki, ingkar, dan takabur kalian terhadap utusan-utusan
Allah. Kalian sama sekali tidak mengikuti kecuali hanya hawa nafsu kalian
sendiri, pendapat kalian, dan selera kalian sendiri. Makna ayat ini sama dengan
firman-Nya:
{أَفَكُلَّمَا
جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا
كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ}
Apakah setiap datang kepada kalian seorang rasul membawa suatu (pelajaran)
yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu kalian menyombong; maka beberapa
orang (di antara rasul-rasul itu) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain
dari mereka) kalian bunuh. (Al-Baqarah: 87)
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan ayat berikut, bahwa Allah mencela
perbuatan mereka melalui firman-Nya: Katakanlah, "Mengapa kalian dahulu
membunuh nabi-nabi Allah jika benar kalian orang-orang yang beriman.?”
(Al-Baqarah: 91) Menurut Abu Ja'far ibnu Jarir, makna ayat ini adalah
seperti berikut: Katakanlah —hai Muhammad— kepada orang-orang Yahudi Bani Israil
bila telah kamu katakan kepada mereka, "Berimanlah kepada Al-Qur'an yang
diturunkan oleh Allah." Lalu mereka menjawab, "Kami hanya beriman kepada apa
yang diturunkan kepada kami." Katakanlah, "Mengapa kalian membunuh para nabi,
hai orang-orang Yahudi, jika kalian adalah orang-orang yang beriman kepada apa
yang diturunkan oleh Allah? Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada kalian
membunuh mereka melalui Al-Kitab (Taurat) yang diturunkan kepada kalian. Bahkan
kitab kalian memerintahkan kepada kalian untuk mengikuti para nabi, taat, dan
percaya kepada mereka." Kalimat ayat ini mengandung makna pendustaan dari Allah
terhadap perkataan mereka (orang-orang Yahudi) yang menyatakan bahwa mereka
hanya beriman kepada kitab yang diturunkan kepada mereka; sekaligus sebagai
celaan terhadap sikap mereka yang demikian itu.
"Sesungguhnya Musa telah datang kepada kalian membawa bukti-bukti kebenaran
(mukjizat)," yakni tanda-tanda yang jelas dan bukti-bukti yang tak bisa
dipungkiri lagi. Semuanya menunjukkan bahwa Nabi Musa a.s. adalah utusan Allah
dan tidak ada Tuhan selain Allah. Tanda-tanda yang jelas itu berupa banjir,
belalang, kutu busuk, katak, darah, tongkat, tangan Nabi Musa a.s., terbelahnya
laut, awan menaungi mereka, manna dan salwa, batu, dan lain sebagainya di antara
mukjizat-mukjizat yang mereka saksikan sendiri dengan mata kepala mereka.
"Kemudian kalian jadikan anak sapi (sebagai sembahan)," yakni kalian
menjadikannya sebagai sembahan selain dari Allah di hari-hari Nabi Musa a.s.
mengalami kesibukan.
Firman Allah Swt., "Sesudah (kepergian)nya," yakni sesudah Nabi Musa
a.s. pergi meninggalkan kalian menuju Bukit Tur untuk bermunajat kepada Allah
Swt. Kelakuan mereka saat itu diterangkan oleh firman-Nya:
{وَاتَّخَذَ
قَوْمُ مُوسَى مِنْ بَعْدِهِ مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلا جَسَدًا لَهُ
خُوَارٌ}
Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke Gunung Tur membuat dari
perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara.
(Al-A'raf: 148)
"Dan sebenarnya kalian adalah orang-orang yang zalim," yakni kalian
adalah orang-orang yang zalim karena perbuatan kalian yang menyembah anak lembu
itu, sedangkan kalian mengetahui bahwa tiada yang wajib disembah kecuali hanya
Allah Swt., seperti yang disebutkan oleh firman-Nya yang lain, yaitu:
{وَلَمَّا
سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ
يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ}
Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan meng-tahui bahwa
mereka telah sesat, mereka pun berkata, "Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi
rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang
yang merugi." (Al-A'raf: 149)
Al-Baqarah, ayat 93
{وَإِذْ
أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ
بِقُوَّةٍ وَاسْمَعُوا قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ
الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (93) }
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji
dari kalian dan Kami angkat Bukit (Tursina) di atas kalian (seraya Kami
berfirman), "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepada kalian dan
dengarkanlah. Mereka menjawab, "Kami mendengar, tetapi tidak menaati." Dan telah
diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena
kekafirannya. Katakanlah, "Amat jahat
perbuatan yang diperintahkan iman kalian kepada diri kalian jika betul kalian
beriman (kepada Taurat)."
Allah Swt. menghitung-hitung kembali terhadap kekeliruan mereka, pelanggaran
mereka terhadap janji dan sifat takabur mereka, serta berpalingnya mereka dari
Allah Swt. hingga di suatu saat diangkat Bukit Tursina di atas mereka, akhirnya
mereka mau menerima janji itu. Tetapi sesudah itu mereka melanggarnya, seperti
yang disebutkan oleh firman-Nya:
{قَالُوا
سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا}
Mereka menjawab, "Kami mendengarkan, tetapi tidak menaati"
(Al-Baqarah: 93)
Tafsir ayat ini dikemukakan jauh sebelum ini.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan tafsir firman-Nya:
Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka (kecintaan menyembah) anak sapi
karena kekafirannya. (Al-Baqarah: 93) Qatadah mengatakan bahwa menyembah
anak sapi telah meresap ke dalam hati mereka sehingga kecintaan mereka mendalam
terhadap penyembahan tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah dan
Ar-Rabi' ibnu Anas.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عِصَامُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ الْغَسَّانِيُّ، عَنْ خَالِدِ بْنِ
مُحَمَّدٍ الثَّقَفِيِّ، عَنْ بِلَالِ بْنِ أَبِي الدَّرْدَاءِ، عَنْ أَبِي
الدَّرْدَاءِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"حُبُّك الشَّيْءَ
يُعْمِي ويُصم".
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Khalid,
telah menceritakan kepadaku Abu Bakar ibnu Abdullah ibnu Abu Maryam Al-Gassani,
dari Khalid ibnu Muhammad As-Saqafi, dari Bilal ibnu Abu Darda, dari Nabi Saw.
yang telah bersabda: Kecintaanmu kepada sesuatu membuatmu buta dan
tuli.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, dari Haiwah ibnu Syuraih,
dari Baqiyyah, dari Abu Bakar ibnu Abdullah ibnu Abu Maiyam dengan lafaz yang
sama.
As-Saddi meriwayatkan bahwa Musa a.s. segera menyembelih anak lembu itu
dengan pisau besar kemudian mencampakkannya ke laut. Setelah itu, maka tiada
suatu laut pun yang mengalir di masa itu kecuali terjadi sesuatu padanya.
Kemudian Musa a.s. berkata kepada mereka, "Minumlah kalian dari airnya!" Maka
mereka pun minum. Barang siapa yang cinta kepada anak lembu itu, maka keluarlah
emas dari kedua sisi kumisnya. Yang demikian itu disebutkan oleh Allah Swt.
melalui firman-Nya: Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan
menyembah) anak sapi. (Al-Baqarah: 93)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abi (ayahku),
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja', telah menceritakan kepada
kami Israil, dari Abi Ishaq, dari Imarah ibnu Umair dan Abu Abdur Rahman
As-Sulami, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa Musa a.s. menuju ke arah patung
anak lembu itu, lalu meletakkan kendi air di atasnya, kemudian ia mendinginkan
anak lembu itu dengan air kendi tersebut, sedangkan ia berada di pinggir sungai.
Tiada seorang pun yang minum air tersebut dari kalangan orang-orang yang pernah
menyembah anak lembu, melainkan wajahnya menjadi kuning seperti emas.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan
telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi.
(Al-Baqarah: 93)
Ketika anak lembu itu dibakar, sesudah itu didinginkan dan ditaburkan abunya
(ke sungai), maka mereka meminum airnya hingga wajah mereka tampak kuning
seperti wama minyak za'faran.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari kitab Al-Qusyairi, bahwa tiada seorang pun yang
minum air sungai itu dari kalangan orang-orang yang menyembah anak lembu kecuali
ia gila. Kemudian Al-Qurtubi mengatakan, bukan pendapat ini yang dimaksud oleh
ayat ini, karena makna yang dimaksud oleh konteks ayat ini ialah bahwa warna
kuning tampak pada bibir dan wajah mereka. Sedangkan hal yang termaktub
menceritakan bahwa telah diresapkan ke dalam hati mereka kecintaan menyembah
anak lembu, yakni di saat mereka menyembahnya. Kemudian Al-Qurtubi —sehubungan
dengan pengertian ini— mengetengahkan syair An-Nabigah ketika meratapi
kepulangan istrinya yang bernama Asmah:
تَغَلْغَلَ
حُبُّ عَثْمَةَ فِي فُؤَادِي ... فَبَادِيهِ مَعَ
الْخَافِي يَسِيرُ ...
تَغَلْغَلَ
حَيْثُ لَمْ يَبْلُغْ شَرَابٌ ... وَلَا حَزَنٌ
وَلَمْ يَبْلُغْ سُرُورُ ...
أَكَادُ
إِذَا ذَكَرْتُ الْعَهْدَ مِنْهَا ... أَطِيرُ
لَوَ انَّ إِنْسَانًا يَطِيرُ ...
Cinta kepada Asmah telah meresap ke
dalam relung hatiku hingga lahir dan batinku hanya tertuju kepadanya. Begitu
mendalamnya cintaku kepadanya hingga tiada suatu kesedihan dan tiada suatu
kegembiraan pun yang lebih membekas dalam hatiku selain darinya. Serasa daku
ingin terbang bila mengingat nostalgia dengannya, andaikata manusia dapat
terbang.
****************
Firman Allah Swt.:
{قُلْ
بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ}
Katakanlah, "Amat jahat perbuatan yang diperintahkan iman kalian kepada
diri kalian jika betul kalian beriman (kepada Taurat)." (Al-Baqarah: 93)
Artinya, alangkah jahat perbuatan yang sengaja kalian lakukan di masa lalu
dan masa sekarang, yaitu kalian ingkar kepada tanda-tanda kebesaran Allah,
menentang para nabi, dan dengan sengaja kalian ingkar kepada Nabi Muhammad Saw.
Hal terakhir ini merupakan dosa kalian yang paling besar dan paling parah kalian
lakukan, mengingat kalian kafir kepada pemungkas para rasul, sedangkan dia
adalah penghulu para nabi dan para rasul yang diutus kepada seluruh umat
manusia. Bagaimana kalian dapat mendakwakan bahwa diri kalian beriman, sedangkan
kalian telah melakukan semua perbuatan yang buruk itu; antara lain kalian sering
melanggar janji terhadap Allah, ingkar kepada ayat-ayat Allah, dan kalian berani
menyembah anak sapi selain Allah Swt.?
Al-Baqarah, ayat 94-96
{قُلْ
إِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ
النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (94) وَلَنْ
يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
بِالظَّالِمِينَ (95) وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ
الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ
بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا
يَعْمَلُونَ (96) }
Katakanlah, "Jika kalian (menganggap bahwa)
kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang
lain, maka inginilah kematian (kalian) jika kalian memang benar. Dan sekali-kali
mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya karena kesalahan yang
telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa
orang-orang yang aniaya. Dan sungguh kalian akan mendapati mereka, setamak-tamak
manusia kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih tamak lagi) daripada
orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun,
padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari
Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Allah Swt. berfirman
kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.: Katakanlah, "Jika kalian (menganggap bahwa)
kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang
lain, maka inginilah kematian (kalian) jika kalian memang benar”
(Al-Baqarah: 94) Yakni berdoalah kalian untuk minta segera dimatikan. Khitab ini
ditujukan kepada kedua belah pihak, yakni orang-orang Yahudi dan kaum muslim.
Dengan kata lain, manakah di antara kedua golongan itu yang berdusta. Ternyata
mereka menolak hal tersebut di hadapan Rasulullah Saw. Dan sekali-kali mereka
tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya karena kesalahan-kesalahan
yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui
siapa orang-orang yang aniaya. (Al-Baqarah: 95) Maksudnya, Allah
memberitahukan kepada Nabi-Nya perihal pengetahuan mereka mengenai
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri, bahkan mereka
mengetahui kekufuran diri mereka terhadap agamanya sendiri. Disebutkan,
seandainya mereka benar-benar menginginkan kematian di saat Allah berfirman
demikian terhadap mereka, niscaya tiada seorang pun dari kalangan Yahudi di muka
bumi ini melainkan pasti binasa saat itu juga.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Fatamannawul
mauta," artinya minta matilah kalian.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Abdul Karim Al-Jazari, dari
Ikrimah sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Maka inginilah kematian (kalian)
jika kalian memang benar. (Al-Baqarah: 94) Sahabat Ibnu Abbas pernah
mengatakan, "Seandainya orang-orang Yahudi itu mengingini kematian, niscaya
mereka akan mati semuanya."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan
kepada kami Assam yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Al-A'masy, yang
ia yakini bahwa Al-A'masy mendengamya dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair,
dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Seandainya mereka benar-benar mengingini
kematian, niscaya seseorang dari mereka menelan kembali air ludahnya
(dahaknya)." Sanad dari semua riwayat tersebut memang sahih sampai kepada Ibnu
Abbas.
Ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah sampai sebuah riwayat
kepada kami bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَوْ
أَنَّ الْيَهُودَ تَمَنَّوُا الْمَوْتَ لَمَاتُوا. وَلَرَأَوْا مَقَاعِدَهُمْ مِنَ
النَّارِ. وَلَوْ خَرَجَ الَّذِينَ يُباهلون رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَرَجَعُوا لَا يَجِدُونَ أَهْلًا
وَلَا مَالًا".
Seandainya orang-orang Yahudi itu mengingini kematian, niscaya mereka
semua mati dan niscaya mereka akan melihat tempat kediaman mereka di neraka. Dan
seandainya orang-orang yang diajak bermubahalah oleh Rasulullah Saw. keluar,
niscaya mereka akan kembali tanpa menemukan keluarga dan harta bendanya
lagi.
Hadis ini diceritakan kepada kami oleh Abu Kuraib, telah menceritakan kepada
kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari
Abdul Karim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah Saw. Imam Ahmad dari
Ismail ibnu Yazid Ar-Raqi telah meriwayatkannya pula bahwa telah menceritakan
kepada kami Furat, dari Abdul Karim dengan lafaz yang sama.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar, telah
menceritakan kepada kami Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari
Al-Hasan yang mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah Swt., "Mereka
(orang-orang Yahudi) sama sekali tidak akan mengingini kematian itu karena
kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka sendiri." Aku (Abbad
ibnu Mansur) bertanya, "Bagaimanakah menurutmu, seandainya mereka mengingini
kematian itu, ketika dikatakan kepada mereka, 'Inginilah kematian kalian!'
Apakah mereka akan mati ketika itu juga?" Al-Hasan menjawab, "Tidak, demi Allah,
mereka sama sekali tidak akan mati ketika itu juga, sekalipun mereka mengingini
kematian itu. Mereka sekali-kali tidak akan mengingini kematian itu, karena
sesungguhnya seperti apa yang telah kamu dengar, Allah Swt. telah berfirman:
'Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya
karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri).
Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya" (Al-Baqarah:
95)."
Sanad riwayat ini yang bersumber dari Al-Hasan berpredikat garib, mengingat
penafsiran yang diketengahkan oleh Ibnu Abbas r.a. mengenai makna ayat ini
bersifat telah dipastikan, yakni menyerukan kepada kedua belah pihak, siapakah
di antara keduanya yang berdusta; apakah mereka (orang-orang Yahudi) atau kaum
muslim melalui cara mubahalah (sumpah-menyumpah). Demikianlah menurut
keterangan yang dinukil oleh Ibnu Jarir, dari Qatadah, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi'
ibnu Anas rahimahullah.
Ayat lain yang semakna dengan ayat ini ialah firman Allah Swt. dalam surat
Al-Jumu'ah, yaitu:
{قُلْ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ هَادُوا إِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ
مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ* وَلا
يَتَمَنَّوْنَهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
بِالظَّالِمِينَ* قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ
مُلاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}
Katakanlah, "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kalian
mendakwakan bahwa sesungguhnya kalian sajalah kekasih Allah, bukan
manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematian kalian, jika kalian adalah
orang-orang yang benar." Mereka tidak akan mengharapkan kematian itu
selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan
mereka sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim.
Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya, maka sesungguhnya
kematian itu akan menemui kalian, kemudian kalian akan dikembalikan kepada
(Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada
kalian apa yang telah kalian kerjakan.'" (Al-Jumu'ah: 6-8)
Ketika mereka —semoga laknat Allah menimpa mereka— menduga bahwa diri mereka
adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya, serta mereka berani mengatakan,
"Tidak akan masuk surga kecuali hanya orang yang beragama Yahudi atau Nasrani,"
lalu mereka diajak untuk ber-mubahalah dan mendoakan kebinasaan terhadap siapa
yang berdusta di antara kedua belah pihak; yakni dari kalangan mereka atau dari
kalangan kaum muslim. Ketika mereka menolak untuk melakukan hal tersebut, maka
masing-masing orang dari kalangan mereka mengetahui bahwa mereka adalah
orang-orang yang zalim. Seandainya mereka merasa yakin dengan apa yang mereka
jalani, niscaya mereka berani maju melakukan mubahalah tersebut. Tetapi setelah
mereka mundur, maka diketahuilah bahwa mereka berdusta.
Hal yang sama pernah diserukan pula oleh Rasulullah Saw. terhadap delegasi
dari orang-orang Nasrani Najran sesudah hujah mereka dipatahkan dalam suatu
perdebatan, dan mereka masih tetap ingkar serta membangkang. Rasulullah Saw.
mengajak mereka untuk ber-mubahalah. Hal ini disebutkan oleh Allah Swt. dalam
firman-Nya:
{فَمَنْ
حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ
أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا
وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى
الْكَاذِبِينَ}
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang
meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak
kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami
dan diri kalian; kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta
supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (Ali Imran:
61)
Ketika mereka dihadapkan kepada suatu kenyataan, maka sebagian dari mereka
berkata kepada sebagian yang lain, "Demi Allah, jika kalian mau ber-mubahalah
dengan Nabi ini, niscaya tiada seorang pun dari kalian yang matanya masih
berkedip (mati semua)." Maka sejak saat itu akhirnya mereka lebih cenderung
untuk perdamaian, dan mereka bersedia membayar jizyah dengan patuh, sedangkan
mereka dalam keadaan hina. Maka Nabi Saw. menetapkan jizyah atas mereka dan
mengutus kepada mereka Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai amin
(sekretarisnya).
Sama dengan makna ayat ini atau mendekatinya adalah firman Allah Swt. kepada
Nabi-Nya yang memerintahkan agar mengatakan kepada orang-orang musyrik,
yaitu:
{قُلْ
مَنْ كَانَ فِي الضَّلالَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَنُ مَدًّا}
Katakanlah, "Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah
Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya." (Maryam: 75)
Yakni barang siapa yang berada dalam kesesatan dari kalangan kami dan kalian,
semoga Allah menambahkan kepadanya apa yang sudah ada baginya dan memperpanjang
serta menangguhkannya, seperti yang akan diterangkan pada tempatnya nanti, insya
Allah.
Adapun mengenai orang yang menafsirkan firman-Nya, "Jika kalian memang
benar," yakni dalam pengakuan kalian itu, maka inginilah kematian itu.
Mereka yang menafsirkan demikian tidak menyinggung masalah mubahalah, seperti
yang telah ditetapkan oleh segolongan ulama ahli kalam (ahli tauhid) dan
lain-lainnya.
Ibnu Jarir cenderung kepada pendapat ini sesudah mendekati pendapat yang
pertama (yakni yang menyinggung masalah mubahalah). Karena sesungguhnya ia telah
mengatakan sehubungan dengan takwil ayat berikut: Katakanlah, "Jika kalian
(beranggapan bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi
Allah, bukan untuk orang lain ..." (Al-Baqarah: 94) Bahwa ayat ini termasuk
salah satu ayat yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi-Nya sebagai hujah
terhadap orang-orang Yahudi yang berada di tempat dekat tempat hijrah beliau
Saw., sekaligus mengungkap kedustaan para rahib dan para pendeta mereka.
Demikian itu karena Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk memutuskan
peradilan yang adil dalam menangani kasus yang terjadi antara beliau dan mereka,
yakni kasus perselisihan. Seba-gaimana Allah memerintahkan kepada beliau agar
mengajak golongan yang lain (yakni kaum Nasrani) —di saat mereka bertentangan
dengannya dalam masalah Isa ibnu Maryam a.s. dan mereka berdebat dengan beliau
mengenainya— untuk melerai hal ini melalui mubahalah antara beliau dan
mereka.
Untuk itu dikatakan kepada golongan orang-orang Yahudi, "Jika kalian memang
benar (dalam pengakuan kalian), maka inginilah kematian kalian. Karena
sesungguhnya kematian itu tidak merugikan kalian jika kalian memang benar dalam
pengakuan kalian yang menyatakan bahwa kalian beriman dan kedudukan kalian dekat
dengan Allah Swt. Karena dengan kematian itu niscaya Allah akan segera
memberikan apa yang kalian cita-citakan dan yang selama ini kalian dambakan itu.
Karena sesungguhnya setelah kalian mati, kalian terbebas dari kepayahan hidup di
dunia ini yang penuh dengan kekeruhan dan kelelahan di dalamnya; kemudian kalian
beruntung memperoleh kedudukan di sisi Allah —yaitu di surga-Nya— jika
perkaranya seperti apa yang kalian duga, bahwa kampung akhirat (surga) hanya
khusus buat kalian, bukan kami. Tetapi jika kalian tidak mau melakukannya, maka
orang-orang lain akan mengetahui bahwa kalianlah yang batal dan kamilah yang
benar dalam pengakuan kami, serta ter-bukalah bagi mereka perkara kami dan
kalian."
Maka orang-orang Yahudi itu menolak melakukan hal tersebut karena mereka
mengetahui jika mereka mengingini kematian, niscaya mereka benar-benar binasa.
Akibatnya akan lenyaplah dunia mereka, dan tempat mereka kembali kepada kehinaan
selama-lamanya di ne-geri akhirat.
Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang Nasrani, mereka menolak diajak untuk
ber-mubahalah oleh Nabi Saw. ketika mereka bertentangan dengan Nabi Saw.
sehubungan dengan masalah Isa ibnu Maryam a.s.
Pendapat ini permulaannya memang baik, tetapi bagian terakhirnya masih perlu
dipertimbangkan. Demikian itu karena yang tersimpul darinya tidak mengandung
hujah terhadap mereka. Mengingat dapat saja dikatakan bahwa sesungguhnya tidak
ada kaitan antara keadaan mereka yang mengakui benar dalam dakwaannya dengan
konsekuensinya yang menyatakan bahwa mereka harus mengingini kematian. Dengan
kata lain, hubungan antara keberadaan kemaslahatan dan mengharapkan kematian
bukan merupakan suatu kaitan yang lazim. Dikatakan demikian karena pada
kenyataannya banyak orang saleh yang tidak mengharapkan kematian dirinya, dan
bahkan ia menginginkan untuk diperpanjang usianya agar kebaikannya bertambah dan
derajatnya di surga makin tinggi, seperti yang disebutkan di dalam salah satu
hadis:
"خَيْرُكُمْ
مَنْ طَالَ عَمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ"
Sebaik-baik kalian ialah orang yang panjang usianya dan baik
amalnya.
Alasan seperti ini memberikan kesempatan kepada mereka untuk membalikkannya
kepada kita, lalu mereka dapat saja mengatakan, "Sekarang kalian —kaum rnuslim—
berkeyakinan bahwa kalian adalah ahli surga, sedangkan kalian sendiri tidak
mengingini kematian dalam keadaan sehat. Mengapa kalian menetapkan kepada kami
hal yang kalian sendiri tidak melakukannya?"
Semua itu hanyalah bersumber dari penafsiran ayat atas dasar pengertian ini.
Adapun mengenai tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, sama sekali tidak
memberikan pengertian seperti itu; bahkan perkataan yang ditujukan kepada mereka
merupakan perkataan yang seadanya, yaitu: "Jika kalian berkeyakinan bahwa kalian
adalah kekasih-kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain; dan bahwa kalian
adalah anak-anak Allah serta kekasih-kekasih-Nya, serta kalian adalah ahli
surga, sedangkan selain kalian adalah ahli neraka, maka ber-mubahalah-lah kalian
untuk membuktikan hal tersebut. Berdoalah untuk kebinasaan orang-orang yang
dusta dari kalangan kalian atau dari kalangan selain kalian. Ketahuilah bahwa
mubahalah itu pasti akan membinasakan orang yang dusta!"
Setelah mereka merasa yakin akan hal tersebut dan mengetahui kebenaran Nabi
Saw., maka mereka menolak ber-mubahalah, mengingat mereka merasa bahwa diri
mereka dusta dan hanya bohong belaka. Mereka dengan sengaja menyembunyikan sifat
dan ciri khas Rasulullah Saw., dan mereka mengetahui Rasulullah Saw. sebagaimana
mereka mengetahui anak-anak mereka sendiri secara pasti. Maka masing-masing
mereka mengetahui kebatilan, kehinaan, kesesatan, dan keingkaran diri mereka;
semoga laknat Allah terus-menerus menimpa mereka sampai hari kiamat.
Mubahalah ini diungkapkan oleh ayat ini dengan istilah tamanni,
mengingat setiap orang yang merasa benar niscaya berharap semoga lawannya yang
batil dibinasakan oleh Allah. Terlebih lagi jika hal tersebut mengandung hujah
yang menampakkan dan membuktikan kebenaran pihaknya.
Mubahalah yang diajukan ialah mubahalah bersedia untuk mati, karena hidup
bagi mereka sangat berharga dan diagungkan, mengingat mereka menyadari keburukan
tempat kembali mereka sesudah mereka mati. Karena itulah maka Allah Swt.
berfirman: Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu
selama-lamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan
(mereka) sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. Dan
sungguh kalian akan mendapati mereka manusia yang paling tamak kepada kehidupan
(di dunia). (Al-Baqarah: 95-96)
Artinya, mereka adalah orang-orang yang paling menginginkan usia panjang,
karena mereka mengetahui bahwa tempat kembali mereka sangat buruk dan akibat
dari amal perbuatan mereka di hadapan Allah sangat merugi. Dunia ini bagaikan
penjara bagi orang mukmin, dan bagaikan surga bagi orang kafir. Mereka sangat
menginginkan seandainya ditangguhkan dari kepastian hari akhirat, untuk itu
mereka berupaya ke arah itu dengan semua kemampuan yang mereka kuasai. Akan
tetapi, apa yang mereka takutkan dan mereka hindari itu pasti akan menimpa diri
mereka; hingga mereka lebih tamak kepada kehidupan di dunia ketimbang
orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang tidak memiliki suatu kitab pun.
Pengertian dan takwil ini termasuk ke dalam Bab "Mengaitkan hal yang Khusus
kepada Hal yang Umum".
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari
Al-A'masy, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: bahkan (lebih loba lagi) daripada
orang-orang musyrik. (Al-Baqarah: 96) Yang dimaksud dengan orang-orang
musyrik adalah orang-orang Ajam, yakni selain orang Arab.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya
melalui hadis As-Sauri. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan
syarat keduanya (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Imam Hakim mengatakan bahwa keduanya telah sepakat (ittifaq) dalam sanad
tafsir yang dikemukakan oleh sahabat.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan
sungguh kamu akan mendapati mereka, setamak-tamak manusia kepada kehidupan
(di dunia). (Al-Baqarah: 96) Orang munafik adalah orang yang paling tamak kepada
kehidupan dunia dan lebih tamak lagi daripada orang musyrik.
Masing-masing dari mereka ingin, yakni masing-masing dari orang-orang Yahudi
menginginkan. Demikianlah maknanya menurut konteks ayat. Sedangkan menurut Abul
Aliyah, makna 'masing-masing dari mereka ingin' adalah orang-orang Majusi.
Pendapat ini sama dengan pendapat pertama tadi, yaitu agar diberi umur seribu
tahun.
Al-A'masy meriwayatkan dari Muslim Al-Batui, dari Sa'id ibnu Jubair, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Masing-masing dari mereka
ingin agar diberi umur seribu tahun. (Al-Baqarah: 96) Hal ini sama dengan
perkataan seorang Persia, "Dah hazarsal," yang artinya sepuluh ribu
tahun. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair sendiri.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali
ibnul Hasan ibnu Syaqiq. Ia pernah mendengar ayahnya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Hamzah, dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Masing-masing dari mereka ingin
agar diberi umur seribu tahun. (Al-Baqarah: 96) Maknanya sama dengan ucapan
seorang Ajam (Persia), "Hazarsal nuruz wamahrajan," semoga usia sepuluh
ribu tahun penuh dengan kegembiraan.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Masing-masing dari
mereka ingin agar diberi umur seribu tahun. (Al-Baqarah: 96) "Aku berharap
semoga sepanjang usia mereka dipenuhi dengan dosa-dosa."
Mujahid ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id
atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Padahal
usia panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.
(Al-Baqarah: 96) Yakni hal tersebut tidak dapat menyelamatkannya dari siksa.
Demikian itu karena orang musyrik tidak mengharapkan akan dibangkitkan kembali
sesudah matinya, dia selalu mencintai hidup di dunia dalam usia yang panjang.
Sedangkan seorang Yahudi telah mengetahui kehinaan apa yang bakal diterimanya
kelak di akhirat, karena ia telah menyia-nyiakan ilmu yang ada pada dirinya.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
Padahal usia panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.
(Al-Baqarah: 96) Mereka yang berharap demikian adalah orang-orang (Yahudi) yang
memusuhi Malaikat Jibril.
Abul Aliyah dan Ibnu Umar mengatakan sehubungan dengan tafsir firman ini,
bahwa hal tersebut (usia panjang) tidak dapat menolongnya dari azab, tidak pula
dapat menyelamatkannya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan tafsir firman ini
mengatakan bahwa orang Yahudi itu adalah setamak-tamak manusia kepada kehidupan
di dunia daripada selain mereka. Orang-orang Yahudi ingin seandainya
masing-masing dari mereka diberi umur seribu tahun, padahal usia panjang itu
sama sekali tidak dapat menyelamatkan dirinya dari azab Allah. Seandainya dia
diberi usia sebagaimana iblis, niscaya hal tersebut tiada manfaatnya bagi
dirinya, mengingat dia adalah orang kafir.
{وَاللَّهُ
بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ}
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah:
96)
Allah Mahawaspada lagi Maha Melihat semua yang dilakukan oleh
hamba-hamba-Nya, baik amal baik atau pun amal buruk; dan kelak setiap orang yang
beramal akan menerima balasan yang setimpal karena perbuatannya.
Al-Baqarah, ayat 97-98
{قُلْ
مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (97) مَنْ
كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ
اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ (98) }
Katakanlah, "Barang siapa yang menjadi musuh
Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan
seizin Allah; membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta
berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Barang siapa yang menjadi musuh
Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail, maka
sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.
Imam Abu Ja'far Ibnu Jarir At-Tabari rahimahullah mengatakan bahwa semua
ahlul 'ilmi telah sepakat dengan takwil berikut, bahwa ayat ini diturunkan
sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi dari kalangan Bani Israil. Karena
mereka mengatakan bahwa Malaikat Jibril adalah musuh mereka, sedangkan Malaikat
Mikail adalah teman mereka. Kemudian ahlul 'ilmi berselisih pendapat mengenai
penyebab yang membuat mereka (orang-orang Yahudi) mengatakan kata-kata seperti
itu. Menurut sebagian mereka, sesungguhnya penyebab yang membuat mereka
mengatakan kata-kata seperti itu hanyalah sewaktu terjadi dialog antara mereka
dengan Rasulullah Saw. mengenai perkara kenabian beliau Saw.
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْر، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ
بَهرام، عَنْ شَهْر بْنِ حَوْشَب، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: حَضَرَتْ
عِصَابَةٌ مِنَ الْيَهُودِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَقَالُوا: يَا أَبَا الْقَاسِمِ، حَدِّثْنَا عَنْ خِلَالٍ نَسْأَلُكَ عَنْهُنَّ،
لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا نَبِيٌّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سَلُوا عَمَّا شِئْتُمْ، وَلَكِنِ اجعلوا
لي ذِمَّةً
وَمَا أَخَذَ يَعْقُوبُ عَلَى بَنِيهِ، لَئِنْ أَنَا حَدَّثْتُكُمْ شَيْئًا
فَعَرَفْتُمُوهُ لتتابِعُنِّي عَلَى الْإِسْلَامِ". فَقَالُوا: ذَلِكَ لَكَ.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سَلُونِي عَمَّا
شِئْتُمْ". فَقَالُوا: أَخْبِرْنَا عَنْ أَرْبَعِ خِلَالٍ نَسْأَلُكَ عَنْهُنَّ:
أَخْبَرْنَا أَيُّ الطَّعَامِ حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ؟ وَأَخْبِرْنَا كَيْفَ مَاءُ الْمَرْأَةِ وَمَاءُ
الرَّجُلِ؟ وَكَيْفَ يَكُونُ الذَّكَرُ مِنْهُ وَالْأُنْثَى؟ وَأَخْبِرْنَا بِهَذَا
النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ فِي النَّوْمِ وَوَلِيِّهِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ؟ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلَيْكُمْ عَهْدَ اللَّهِ
لَئِنْ أَنَا أَنْبَأْتُكُمْ لتتابعنِّي؟ " فَأَعْطَوْهُ مَا شَاءَ اللَّهُ مِنْ
عَهْدٍ وَمِيثَاقٍ. فَقَالَ: "نَشَدْتُكُمْ بِالذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى
مُوسَى، هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ إِسْرَائِيلَ يَعْقُوبَ مَرِضَ مَرَضًا شَدِيدًا
فَطَالَ سَقَمُهُ مِنْهُ، فَنَذَرَ لِلَّهِ نَذْرًا لَئِنْ عَافَاهُ اللَّهُ مِنْ
سَقَمِهِ لَيُحَرِّمَنَّ أَحَبَّ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ إِلَيْهِ، وَكَانَ
أَحَبُّ الطَّعَامِ إِلَيْهِ لُحُومَ الْإِبِلِ وَأَحَبُّ الشَّرَابِ إِلَيْهِ
أَلْبَانَهَا؟ ". فَقَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُمَّ اشْهَدْ عَلَيْهِمْ. وَأَنْشُدُكُمْ
بِاللَّهِ الذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هو، الذي أنزل التوراة على موسى، هل تَعْلَمُونَ
أَنَّ مَاءَ الرَّجُلِ أَبْيَضُ غَلِيظٌ، وَأَنَّ مَاءَ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ
رَقِيقٌ، فَأَيُّهُمَا عَلَا كَانَ لَهُ الْوَلَدُ وَالشَّبَهُ بِإِذْنِ اللَّهِ،
وَإِذَا عَلَا مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَ الْمَرْأَةِ كَانَ الْوَلَدُ ذَكَرًا بِإِذْنِ
اللَّهِ، وَإِذَا عَلَا مَاءُ الْمَرْأَةِ مَاءَ الرَّجُلِ كَانَ الْوَلَدُ أُنْثَى
بِإِذْنِ اللَّهِ؟ ". قَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ. قَالَ: "اللَّهُمَّ اشْهَدْ".
قَالَ: "وَأَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى مُوسَى، هَلْ
تَعْلَمُونَ أَنَّ هَذَا النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ تَنَامُ عَيْنَاهُ وَلَا يَنَامُ
قَلْبُهُ؟ ". قَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ. قَالَ: "اللَّهُمَّ اشْهَدْ". قَالُوا:
أَنْتَ الْآنَ، فَحَدِّثْنَا مَنْ وَلِيُّكَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، فَعِنْدَهَا
نُجَامِعُكَ أَوْ نُفَارِقُكَ. قَالَ: "فَإِنَّ وَلِيِّي جِبْرِيلُ، وَلَمْ
يَبْعَثِ اللَّهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا وَهُوَ وليُّه". قَالُوا: فَعِنْدَهَا
نُفَارِقُكَ، لَوْ كَانَ وَلِيُّكَ سِوَاهُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ تَابَعْنَاكَ
وَصَدَّقْنَاكَ. قَالَ: "فَمَا مَنَعكم أَنْ تُصَدِّقُوهُ؟ " قَالُوا: إِنَّهُ
عَدُوُّنَا. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا
لِجِبْرِيلَ} إِلَى قَوْلِهِ: {لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 103]
فَعِنْدَهَا بَاؤُوا بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami
Yunus ibnu Bukair, dari Abdul Hamid ibnu Bahram, dari Syahr ibnu Hausyab, dari
Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Segolongan orang-orang Yahudi datang
kepada Rasulullah Saw., lalu mereka berkata, "Wahai Abul Qasim, ceritakanlah
kepada kami beberapa perkara yang akan kami tanyakan kepadamu. Perkara-perkara
tersebut tiada yang mengetahuinya kecuali seorang nabi." Maka Rasulullah Saw.
menjawab, "Bertanyalah tentang semua yang kalian sukai, tetapi berjanjilah
kalian kepadaku sebagaimana apa yang diambil oleh Ya'qub dari anak-anaknya,
sebagai jaminan untukku. Jika aku benar-benar menceritakan kepada kalian
tentang sesuatu hal, lalu kalian mengetahuinya, maka kalian benar-benar mau
mengikutiku dan masuk Islam?" Mereka menjawab, "Baiklah, kami ikuti
kemauanmu." Rasul Saw. bersabda, "Bertanyalah kalian tentang apa yang kalian
sukai." Mereka bertanya, "Ceritakanlah kepada kami tentang empat
perkara yang akan kami ajukan sebagai pertanyaan kepadamu. Ceritakanlah kepada
kami, rnakanan apakah yang diharamkan oleh Israil (Nabi Ya'qub) terhadap dirinya
sebelum kitab Taurat diturunkan? Sebutkanlah kepada kami bagaimanakah rupa air
mani laki-laki dan air mani perempuan, dan bagaimana bisa terjadi darinya anak
laki-laki dan anak perempuan. Dan ceritakanlah kepada kami tentang nabi yang
ummi dalam kitab Taurat, serta siapakah yang menjadi kekasihnya dari kalangan
para malaikat?" Nabi Saw. menjawab, "Berjanjilah kalian atas nama Allah, jika
aku dapat menceritakannya kepada kalian, maka kalian benar-benar akan
mengikutiku." Maka mereka memberikan kepada Nabi Saw. ikrar dan janjinya.
Lalu Nabi Saw. bersabda: "Aku bertanya kepada kalian atas nama Tuhan Yang
telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah kalian mengetahui bahwa Israil—yakni
Ya'qub—pernah mengalami sakit keras yang memakan waktu cukup lama. Lalu ia
bernazar kepada Allah, seandainya Allah menyembuhkannya dari penyakit yang
dideritanya itu, maka ia akan mengharamkan bagi dirinya makanan dan minuman yang
paling ia sukai. Makanan yang paling ia sukai ialah daging unta, dan minuman
yang paling disukainya ialah air susu unta" Mereka menjawab, "Ya Allah,
benar" Rasulullah Saw. bersabda, "Ya Allah, persaksikanlah atas diri mereka.
Aku mau bertanya kepada kalian dengan nama Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia
Yang menurunkan kitab Taurat kepada Musa. Apakah kalian mengetahui bahwa air
mani laki-laki itu rupanya kental lagi putih, sedangkan air mani perempuan encer
berwarna kuning. Maka mana saja di antara keduanya yang dapat mengalahkan yang
lain, maka kelak anaknya akan seperti dia dan mirip kepadanya dengan seizin
Allah Swt. Apabila air mani laki-laki mengalahkan air mani perempuan, maka
anaknya adalah laki-laki dengan seizin Allah. Dan apabila air mani perempuan
dapat mengalahkan air mani laki-laki, maka kelak anaknya bakal perempuan dengan
seizin Allah." Mereka menjawab, "Ya Allah, memang benar." Rasulullah Saw.
bersabda, "Ya Allah, persaksikanlah atas mereka. Dan aku bertanya kepada
kalian, demi Allah yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa. Apakah kalian
mengetahui bahwa nabi yang ummi ini kedua matanya tidur, tetapi hatinya tidak
tidur? Mereka menjawab, "Ya Allah, benar." Rasulullah Saw. bersabda, "Ya
Allah, persaksikanlah atas mereka." Mereka berkata, "Sekarang engkau harus
menceritakan kepada kami siapakah kekasihmu dari kalangan para malaikat. Jawaban
inilah yang menentukan apakah kami akan bergabung denganmu ataukah berpisah
denganmu." Rasulullah Saw. menjawab, "Sesungguhnya kekasihku adalah Jibril,
tidak sekali-kali Allah mengutus seorang nabi melainkan dia selalu
bersamanya." Mereka berkata, "Inilah yang menyebabkan kami berpisah
denganmu. Seandainya kekasihmu itu selainnya dari kalangan para malaikat, maka
kami akan mengikuti dan percaya kepadamu." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah
gerangan yang mencegah kalian untuk percaya kepadanya?" Mereka menjawab,
"Sesungguhnya dia adalah musuh kami." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya,
"Katakanlah, 'Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah
menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan
kitab-kitab yang sebelumnya —sampai dengan firman-Nya— kalau mereka
mengetahui (Al-Baqarah: 97-102)." Maka saat itu mereka kembali dengan
mendapat murka di atas kemurkaan yang telah ada pada pundak mereka.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad melalui Abun
Nadr Hasyim ibnul Qasim, dan Abdur Rahman ibnu Humaid di dalam kitab tafsir
melalui Ahmad ibnu Yunus. Keduanya telah meriwayatkan hadis ini dari Abdul Hamid
ibnu Bahram dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad meriwayatkannya pula melalui Al-Husain ibnu Muhammad Al-Mawarzi,
dari Abdul Hamid, dengan lafaz yang sama.
وَقَدْ
رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَارٍ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، فَذَكَرَهُ
مُرْسَلًا وَزَادَ فِيهِ: قَالُوا: فَأَخْبِرْنَا عن الروح قال: "أنشدكم بالله
وبآياته عِنْدَ بَنِي إِسْرَائِيلَ، هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّهُ جِبْرِيلُ، وَهُوَ
الذِي يَأْتِينِي؟ " قَالُوا: نَعَمْ، وَلَكِنَّهُ لَنَا عَدُوٌّ، وَهُوَ مَلَكٌ
إِنَّمَا يَأْتِي بِالشِّدَّةِ وَسَفْكِ الدِّمَاءِ، فَلَوْلَا ذَلِكَ
اتَّبَعْنَاكَ . فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِمْ: {قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا
لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ} إِلَى قَوْلِهِ:
{كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 101] .
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar meriwayatkannya pula seperti berikut: Telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Husain, dari Syahr
ibnu Hausyab, lalu ia mengetengahkannya secara mursal. Akan tetapi, di dalam
riwayatnya ini ditambahkan bahwa mereka (orang-orang Yahudi itu) bertanya, "Maka
ceritakanlah kepada kami tentang Ar-Ruh." Lalu Rasulullah Saw. menjawab: "Aku
bertanya kepada kalian demi nama Allah dan hari-hari-Nya bersama Bani Israil.
Tahukah kalian bahwa Ar-Ruh itu adalah Jibril, dialah yang selalu datang
kepadaku" Mereka menjawab, "Ya Allah, benar, tetapi dia adalah musuh kami.
Sesungguhnya dia adalah malaikat yang hanya mendatangkan kekerasan dan
mengalirkan darah. Seandainya bukan dia, niscaya kami akan mengikutimu." Maka
Allah menurunkan firman-Nya, "Katakanlah, Barang siapa yang menjadi musuh
Jibril —sampai dengan firman-Nya— kalau mereka mengetahui"
(Al-Baqarah: 97-102)
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
الْوَلِيدِ الْعِجْلِيُّ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ،
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: أَقْبَلَتْ يَهُودُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا أَبَا الْقَاسِمِ، إِنَّا نَسْأَلُكَ
عَنْ خَمْسَةِ أَشْيَاءَ، فَإِنْ أَنْبَأْتَنَا بِهِنَّ عَرَفْنَا أَنَّكَ نَبِيٌّ
وَاتَّبَعْنَاكَ. فَأَخَذَ عَلَيْهِمْ مَا أَخَذَ إِسْرَائِيلُ عَلَى بَنِيهِ إِذْ
قَالَ: {اللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ} [يُوسُفَ:66] قَالَ: "هَاتُوا".
قَالُوا: أَخْبِرْنَا عَنْ عَلَامَةِ النَّبِيِّ. قَالَ: "تَنَامُ عَيْنَاهُ ولا
ينام قلبه". قالوا: أخبرنا كيف تؤنث الْمَرْأَةُ وَكَيْفَ يُذْكَّرُ الرَّجُلُ؟
قَالَ: "يَلْتَقِي الْمَاءَانِ فَإِذَا عَلَا مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَ الْمَرْأَةِ
أَذْكَرَتْ، وَإِذَا عَلَا مَاءُ الْمَرْأَةِ مَاءَ الرَّجُلِ أَنَّثَتْ"، قَالُوا:
أَخْبِرْنَا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ. قَالَ: "كَانَ يَشْتَكِي
عِرْق النَّساء، فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا يُلَائِمُهُ إِلَّا أَلْبَانَ كَذَا
وَكَذَا" -قَالَ أَحْمَدُ: قَالَ بَعْضُهُمْ: يَعْنِي الْإِبِلَ، فَحَرَّمَ
لُحُومَهَا -قَالُوا: صَدَقْتَ. قَالُوا: أَخْبِرْنَا مَا هَذَا الرَّعْدُ؟ قَالَ
"مَلَكٌ مِنْ مَلَائِكَةِ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ
بِيَدَيْهِ-أَوْ فِي يَدِهِ-مِخْراق مِنْ نَارٍ يَزْجُرُ بِهِ السَّحَابَ،
يَسُوقُهُ حَيْثُ أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ". قَالُوا: فَمَا هَذَا الصَّوْتُ
الذِي نَسْمَعُهُ؟ قَالَ: "صَوْتُهُ". قَالُوا: صَدَقْتَ. إنما بقيت واحدة وهي التي
نتابعك إن أَخْبَرْتَنَا إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا وَلَهُ مَلَك
يَأْتِيهِ بِالْخَبَرِ، فَأَخْبِرْنَا مَنْ صَاحِبُكَ؟ قَالَ: "جِبْرِيلُ عَلَيْهِ
السَّلَامُ"، قَالُوا: جِبْرِيلُ ذَاكَ الذِي يَنْزِلُ بِالْحَرْبِ وَالْقِتَالِ
وَالْعَذَابِ عَدُوُّنَا، لَوْ قُلْتَ: ميكائيل الذي ينزل بالرحمة والنبات والقطر
لكان فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ}
إِلَى آخِرِ الْآيَةِ.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Walid Al-Ajali, dari Bukair ibnu Syihab,
dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut:
Orang-orang Yahudi menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu mereka berkata, "Wahai
Abul Qasim, ceritakanlah kepada kami tentang lima perkara; karena sesungguhnya
jika engkau menceritakannya kepada kami, maka kami mengetahui bahwa engkau
adalah seorang nabi dan kami akan mengikutimu." Maka Nabi Saw. mengambil janji
terhadap mereka sebagaimana apa yang pernah diambil oleh Israil (Ya'qub)
terhadap anak-anaknya, yaitu ketika dia mengatakan, "Allah adalah saksi terhadap
apa yang kita ucapkan (ini)." Rasul Saw. bersabda, "Kemukakanlah oleh
kalian." Mereka bertanya, "Ceritakanlah kepada kami tentang pertanda nabi."
Rasulullah Saw. menjawab, "Kedua matanya tertidur, tetapi hatinya tidak
tidur." Mereka bertanya, "Ceritakanlah kepada kami, bagaimanakah anak itu
lahir perempuan dan bagaimanakah pula lahir laki-laki?" Rasulullah Saw.
menjawab, "Kedua air mani bertemu; apabila air mani laki-laki mengalahkan air
mani wanita, maka anaknya akan lahir laki-laki. Dan apabila air mani perempuan
mengalahkan air mani laki-laki, maka anaknya akan perempuan." Mereka
bertanya, "Ceritakanlah kepada kami apa yang diharamkan oleh Israil (Nabi
Ya’qub) terhadap dirinya sendiri?" Rasulullah Saw. menjawab, "Pada mulanya
dia menderita suatu penyakit yang parah (irqun nisa), maka dia tidak menemukan
sesuatu yang lebih layak baginya (sebagai nazarnya jika ia sembuh) kecuali air
susu ternak anu —Imam Ahmad mengatakan bahwa sebagian dari mereka
mengatakan, yang dimaksud adalah ternak unta— maka dia mengharamkan dagingnya
(untuk dirinya sendiri)." Mereka berkata, "Engkau benar." Mereka bertanya,
"Ceritakanlah kepada kami apakah guruh itu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Salah
satu malaikat Allah Swt. yang ditugaskan untuk mengatur awan dengan kedua
tangannya, atau di tangannya ia memegang sebuah cemeti api yang ia gunakan untuk
menggiring awan menurut apa yang diperintahkan oleh Allah Swt." Mereka
bertanya, "Lalu apakah suara yang biasa kita dengar dari guruh itu? Rasulullah
Saw. menjawab, "Suara malaikat itu." Mereka menjawab, "Engkau benar."
Mereka berkata, "Sesungguhnya kini tinggal satu pertanyaan lagi yang menentukan
apakah kami akan mengikutimu jika kamu dapat menceritakannya. Sesungguhnya tiada
seorang nabi pun melainkan berteman dengan malaikat yang selalu datang kepadanya
membawa kebaikan (wahyu). Maka ceritakanlah kepada kami, siapa teman malaikatmu
itu? Rasul Saw. menjawab, "Jibril a.s." Mereka berkata, "Jibril, dia
adalah malaikat yang selalu turun dengan membawa peperangan, pembunuhan, dan
azab; dia adalah musuh kami, Seandainya engkau katakan Mikail yang biasa
menurunkan rahmat, hujan, dan tetumbuhan, niscaya kami akan mengikutimu." Maka
Allah menurunkan firman-Nya, "Katakanlah, 'Barang siapa yang menjadi musuh
Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan
seizin Allah'..., hingga akhir ayat," (Al-Baqarah: 97).
Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui hadis Abdullah ibnul
Walid dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
berpredikat hasan garib.
وَقَالَ
سُنَيْد فِي تَفْسِيرِهِ، عَنْ حَجَّاجِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْج:
أخبرني القاسم بن أبي بَزَّة أَنَّ يَهُودَ سَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَاحِبِهِ الذِي يَنْزِلُ عَلَيْهِ بِالْوَحْيِ. قَالَ:
"جِبْرِيلُ". قَالُوا: فَإِنَّهُ لَنَا عَدُوٌّ، وَلَا يَأْتِي إِلَّا بِالشِّدَّةِ
وَالْحَرْبِ وَالْقِتَالِ. فَنَزَلَ: {قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ}
الْآيَةَ.
Sunaid di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan dari Hajjah ibnu Muhammad,
dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadanya Al-Qasim ibnu Abu Buzzah: Bahwa
orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi Saw. tentang temannya yang biasa
menurunkan wahyu kepadanya. Maka beliau Saw. menjawab, "Jibrail" Mereka
berkata, "Sesungguhnya dia adalah musuh kami. Tiada yang ia datangkan kecuali
hanya perang, kekerasan, dan pembunuhan." Lalu turunlah ayat berikut:
"Katakanlah, 'Barang siapa yang menjadi musuh Jibril ..., hingga akhir
ayat," (Al-Baqarah: 97).
Ibnu Jarir mengatakan, Mujahid telah menceritakan hadis berikut: Orang-orang
Yahudi berkata, "Hai Muhammad, tiada yang dibawa oleh Jibril melainkan hanya
kekerasan, perang, dan pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah musuh kami." Maka
turunlah ayat ini, "Katakanlah, 'Barang siapa yang menjadi musuh Jibril
..., hingga akhir ayat," (Al-Baqarah: 97).
Imam Bukhari meriwayatkan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Barang
siapa yang menjadi musuh Jibril. (Al-Baqarah: 97) Menurut Ikrimah, lafaz
jabra, mik, dan israf artinya menurut bahasa Arab adalah
abdun (hamba), sedangkan lil artinya Allah.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُنير سَمِع عَبْدَ اللَّهِ بْنَ بَكْرٍ حدثنا حُمَيد، عن أنس
بن مالك، قَالَ:
سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلَامٍ بِمَقْدَمِ رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو
فِي أَرْضٍ يَخْتَرِفُ. فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: إِنِّي سَائِلُكَ عَنْ ثَلَاثٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا نَبِيٌّ: مَا
أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ؟ وَمَا أَوَّلُ طَعَامِ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ وَمَا
يَنْزِعُ الْوَلَدُ إِلَى أَبِيهِ أَوْ إِلَى أُمِّهِ؟ قَالَ: "أَخْبَرَنِي بِهن
جِبْرِيلُ آنِفًا". قَالَ: جِبْرِيلُ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: ذَاكَ عَدُوُّ
الْيَهُودِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، فَقَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ: {مَنْ كَانَ عَدُوًّا
لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ} "أَمَّا أَوَّلُ أَشْرَاطِ
السَّاعَةِ فَنَارٌ تَحْشُرُ النَّاسَ مِنَ الْمَشْرِقِ إِلَى الْمَغْرِبِ،
وَأَمَّا أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَزِيَادَةُ كَبِدِ
الْحُوتِ، وَإِذَا سَبَقَ مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَ الْمَرْأَةِ نَزَعَ الْوَلَدُ،
وَإِذَا سَبَقَ مَاءُ الْمَرْأَةِ [مَاءَ الرَّجُلِ نَزَعَتْ".
قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ
اللَّهِ. يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْيَهُودَ قَوْمٌ بُهُت، وَإِنَّهُمْ إِنْ
يَعْلَمُوا بِإِسْلَامِي قَبْلَ أَنْ تَسْأَلَهُمْ يَبْهَتُونِي. فَجَاءَتِ
الْيَهُودُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّ رَجُلٍ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ فِيكُمْ؟ " قَالُوا: خَيْرُنَا وَابْنُ خَيْرِنَا،
وَسَيِّدُنَا وَابْنُ سَيِّدِنَا. قَالَ: "أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَسْلَمَ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ". فَقَالُوا: أَعَاذَهُ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ. فَخَرَجَ عَبْدُ
اللَّهِ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ. فَقَالُوا: شَرُّنَا وَابْنُ شَرِّنَا.
فَانْتَقَصُوهُ. قَالَ
هَذَا الذِي كُنْتُ أَخَافُ يَا رَسُولَ اللَّهِ.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Munir yang pernah mendengar
Abdullah ibnu Bakr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas
ibnu Malik yang menceritakan hadis berikut: Abdullah ibnu Salam mendengar
kedatangan Nabi Saw. (di Madinah). Ketika itu ia sedang membajak lahannya, lalu
ia datang kepada Nabi Saw. dan bertanya, "Sesungguhnya aku akan bertanya
kepadamu tentang tiga perkara, tiada yang mengetahuinya kecuali seorang nabi.
Apakah tanda-tanda hari kiamat itu, apakah makanan yang mula-mula dimakan oleh
ahli surga, dan apakah yang menyebabkan seorang anak mirip kepada ayahnya atau
ibunya?'' Nabi Saw. menjawab, "Tadi Jibril baru saja menceritakannya
kepadaku." Abdullah ibnu Salam berkata, "Jibril?" Nabi Saw. menjawab,
"Ya." Abdullah ibnu Salam berkata, "Dia adalah musuh orang-orang Yahudi
dari kalangan para malaikat." Maka Nabi Saw. membacakan ayat ini, yaitu:
"Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya
(Al-Qur'an) ke dalam hatimu" (Al-Baqarah: 97). Adapun pertanda hari
kiamat ialah munculnya api yang menggiring manusia dari arah timur menuju ke
arah barat. Adapun makanan yang mula-mula dimakan oleh ahli surga, maka ia
adalah lebihan dari hati ikan paus. Dan apabila air mani laki-laki mendahului
air mani perempuan, maka si anak kelak akan menyerupainya. Dan apabila air mani
perempuan mendahului air mani laki-laki, maka kelak anaknya akan mirip
dengannya." Abdullah ibnu Salam berkata, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
(yang wajib disembah) selain Allah, dan bahwa engkau adalah utusan Allah. Wahai
Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi itu adalah kaum yang suka
mendustakan, dan sesungguhnya jika mereka mengetahui aku masuk Islam sebelum
engkau bertanya kepada mereka, nanti mereka akan mendustakan diriku." Maka
datanglah orang-orang Yahudi, dan Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka,
"Apakah kedudukan Abdullah ibnu Salam di antara kalian!" Mereka menjawab,
"Dia orang terbaik dari kalangan kami dan anak orang terbaik kami. Dia adalah
penghulu kami dan anak penghulu kami." Nabi Saw. bertanya, "Bagaimanakah
menurut kalian jika dia masuk Islam!" Mereka menjawab, "Semoga Allah
menghindarkannya dari itu." Kemudian keluarlah Abdullah dan berkata, "Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah." Maka mereka berkata, "Dia paling buruk di antara kami, anak orang
yang paling buruk dari kami" dan mereka terus mencelanya. Maka berkatalah
Abdullah ibnu Salam, "Inilah yang aku khawatirkan, wahai Rasulullah"
Imam Bukhari menyendiri dengan sanad ini, tetapi keduanya (Bukhari dan
Muslim) mengetengahkannya dari jalur yang lain melalui sahabat Anas dengan lafaz
yang semisal. Di dalam kitab Sahih Muslim terdapat hadis yang maknanya mendekati
makna hadis ini, diriwayatkan melalui Sauban maula Rasulullah Saw., seperti yang
akan diterangkan nanti pada tempatnya.
Riwayat Imam Bukhari —seperti yang disebutkan di atas melalui
Ikrimah—merupakan riwayat yang masyhur, yaitu yang mengatakan bahwa lil
artinya Allah. Hal ini diriwayatkan pula oleh Sufyan As-Sauri, dari Khasif, dari
Ikrimah. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari
Ibrahim ibnul Hakam, dari ayah-nya, dari Ikrimah.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Al-Husain ibnu Yazid At-Tah-han, dari Ishaq
ibnu Mansur, dari Qais ibnu Asim, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa
sesungguhnya Jibril menurut bahasa Arab artinya Abdullah (hamba Allah) dan
Mikail sama artinya dengan Abdullah (hamba Allah), karena lafaz lil
menurut bahasa Arab artinya Allah. Hal semisal diriwayatkan oleh Yazid An-Nahwi,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh sejumlah ulama
salaf, seperti yang akan diterangkan berikut ini.
Sebagian ulama mengatakan bahwa lil artinya abdun (hamba), sedangkan
kalimat yang lainnya artinya nama Allah, mengingat nama lil tidak berubah
pada kesemua itu, maka wazan-nya sama dengan nama-nama seperti Abdullah, Abdur
Rahman, Abdul Malik, Abdul Quddus, Abdus Salam, Abdul Kafi, dan Abdul Jalil.
Lafaz abdun ada dalam semua nama tersebut, sedangkan nama yang
di-mudaf-kan kepadanya berbeda-beda. Hal yang sama terjadi pula pada
lafaz Jabrail, Mikail, Azrail, Israfil, dan lain-lainnya yang sejenis. Akan
tetapi, perlu diingat bahwa dalam bahasa Arab terdapat perbedaan, selalu
mendahulukan mudaf ilaih daripada mudaf-nya.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya berpendapat bahwa penyebab yang
membuat mereka (orang-orang Yahudi) mengatakan hal tersebut (seperti yang
disebut di dalam surat Al-Baqarah ayat 97) ialah ketika terjadi dialog antara
mereka dengan sahabat Umar ibnul Khattab tentang perihal Nabi Saw.
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ الْمَثْنَى، حَدَّثَنِي رِبْعِيُّ بْنُ عُلَيّة، عَنْ دَاوُدَ بْنِ
أَبِي هِنْدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: نَزَلَ عُمَرُ الرَّوْحَاءَ، فَرَأَى
رِجَالًا يَبْتَدِرُونَ أَحْجَارًا يُصَلُّونَ إِلَيْهَا، فَقَالَ: مَا بَالُ
هَؤُلَاءِ؟ قَالُوا: يَزْعُمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وسلم صَلَّى هَاهُنَا. قَالَ: فَكَفَرَ ذَلِكَ. وَقَالَ: إِنَّمَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ بِوَادٍ صَلَّاهَا
ثُمَّ ارْتَحَلَ، فَتَرَكَهُ. ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُهُمْ، فَقَالَ: كُنْتُ
أَشْهَدُ الْيَهُودَ يَوْمَ مِدْرَاسهم فَأَعْجَبُ مِنَ التَّوْرَاةِ كَيْفَ
تُصَدِّقُ الْفُرْقَانَ وَمِنَ الْفُرْقَانِ كَيْفَ يُصَدِّقُ التَّوْرَاةَ؟
فَبَيْنَمَا أَنَا عِنْدَهُمْ ذَاتَ يَوْمٍ، قَالُوا: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، مَا
مِنْ أَصْحَابِكَ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْكَ. قُلْتُ: وَلِمَ ذَلِكَ؟
قَالُوا: إِنَّكَ تَغْشَانَا وَتَأْتِينَا. فَقُلْتُ: إِنِّي آتِيكُمْ فَأَعْجَبُ
مِنَ الْفُرْقَانِ كَيْفَ يُصَدِّقُ التَّوْرَاةَ، وَمِنَ التَّوْرَاةِ كَيْفَ
تُصَدِّقُ الْفُرْقَانَ. قَالَ: وَمَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، ذَاكَ صَاحِبُكُمْ فَالْحَقْ بِهِ،
قَالَ: فَقُلْتُ لَهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ: نَشَدْتُكُمْ بِاللَّهِ الذِي لَا إِلَهَ
إِلَّا هُوَ، وَمَا اسْتَرْعَاكُمْ مِنْ حَقِّهِ وَاسْتَوْدَعَكُمْ مِنْ كِتَابِهِ:
أَتَعْلَمُونَ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَ: فَسَكَتُوا. فَقَالَ لَهُمْ
عَالِمُهُمْ وَكَبِيرُهُمْ: إِنَّهُ قَدْ غَلَّظ عَلَيْكُمْ فَأَجِيبُوهُ.
فَقَالُوا: فَأَنْتَ عَالِمُنَا وَكَبِيرُنَا فَأَجِبْهُ أَنْتَ. قَالَ: أَمَا إِذْ
نَشَدْتَنَا بِمَا نَشَدْتَنَا بِهِ فَإِنَّا نَعْلَمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ،
قَالَ: قُلْتُ: وَيَحْكُمُ فأنَّي هَلَكْتُمْ؟! قَالُوا إِنَّا لَمْ نَهْلَكْ
[قَالَ]: قُلْتُ: كَيْفَ ذَلِكَ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ
[ثُمَّ] وَلَا تَتْبَعُونَهُ وَلَا تُصَدِّقُونَهُ؟ قَالُوا: إِنَّ لَنَا عَدُوًّا
مِنَ الْمَلَائِكَةِ وسِلْمًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ، وَإِنَّهُ قُرِنَ بِنُبُوَّتِهِ
عَدُوُّنَا مِنَ الْمَلَائِكَةِ. قَالَ: قُلْتُ: وَمَنْ عَدُوُّكُمْ وَمَنْ
سِلْمُكُمْ؟ قَالُوا: عَدُوُّنَا جِبْرِيلُ، وَسِلْمُنَا مِيكَائِيلُ. قَالَ:
قُلْتُ: وَفِيمَ عَادَيْتُمْ جِبْرِيلَ، وَفِيمَ سَالَمْتُمْ مِيكَائِيلَ؟ قَالُوا:
إِنَّ جِبْرِيلَ مَلَك الْفَظَاظَةِ وَالْغِلْظَةِ وَالْإِعْسَارِ وَالتَّشْدِيدِ
وَالْعَذَابِ وَنَحْوِ هَذَا، وَإِنَّ مِيكَائِيلَ مَلَكُ الرَّأْفَةِ والرحمة
والتخفيف ونحو هذا. قَالَ:
قُلْتُ: وَمَا مَنْزِلَتُهُمَا مِنْ رَبِّهِمَا عَزَّ وَجَلَّ؟ قَالُوا:
أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخُرُ عَنْ يَسَارِهِ. قَالَ: قُلْتُ: فَوَ
[اللَّهِ] الذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، إِنَّهُمَا وَالذِي بَيْنَهُمَا لَعَدُوٌّ
لِمَنْ عَادَاهُمَا وَسِلْمٌ لِمَنْ سَالَمَهُمَا وَمَا يَنْبَغِي لِجِبْرِيلَ أَنْ
يُسَالِمَ عَدُوَّ مِيكَائِيلَ وَمَا يَنْبَغِي لِمِيكَائِيلَ أَنْ يُسَالِمَ
عَدُوَّ جِبْرِيلَ. ثُمَّ قُمْتُ فَاتَّبَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَحِقْتُهُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنْ خَوْخة لِبَنِي فُلَانٍ، فَقَالَ: يَا
ابْنَ الْخَطَّابِ، أَلَا أُقْرِئَكَ آيَاتٍ نَزَلْنَ قَبْلُ؟ " فَقَرَأَ عَلِيَّ:
{مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ
اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ} حَتَّى قَرَأَ هَذِهِ الْآيَاتِ. قَالَ:
قُلْتُ: بِأَبِي وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَالذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ
جِئْتُ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُخْبِرَكَ، فَأَسْمَعُ اللَّطِيفَ الْخَبِيرَ قَدْ
سَبَقَنِي إِلَيْكَ بِالْخَبَرِ
Telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan
kepadaku Rab'i ibnu Ulayyah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya'bi yang
menceritakan hadis berikut: Umar turun istirahat di Rauha, ia melihat banyak
kaum lelaki berebutan menuju bebatuan yang akan mereka pakai untuk tempat salat.
Ia berkata, "Apakah gerangan yang mereka lakukan itu?" Mereka berkata, "Mereka
menduga bahwa Rasulullah Saw. pernah melakukan salat di tempat tersebut." Maka
Umar ibnul Khattab mengingkari (memprotes)nya dan mengatakan, "Kapan saja
Rasulullah Saw. menjumpai waktu salat di lembah mana pun, beliau salat di tempat
itu, kemudian berangkat meninggalkannya." Kemudian Umar menceritakan sebuah
hadis kepada mereka (kaum muslim), "Dahulu aku sering menyaksikan orang-orang
Yahudi di hari kebaktian mereka, aku merasa kagum terhadap kitab Taurat karena
ia membenarkan Al-Qur'an. Aku kagum pula terhadap Al-Qur'an yang juga
membenarkan Taurat. Ketika di suatu hari aku berada di antara mereka, mereka
berkata, 'Hai Ibnul Khattab, tiada seorang. pun di antara teman-temanmu yang
paling aku senangi selain engkau sendiri.' Aku bertanya, 'Mengapa demikian?'
Mereka menjawab, 'Karena engkau sering berkumpul dengan kami dan selalu datang
kepada kami.' Aku menjawab, 'Aku selalu datang kepada kalian karena aku merasa
kagum kepada Al-Qur'an, bagaimana ia membenarkan kitab Taurat; kagum pula kepada
Taurat, bagaimana ia membenarkan Al-Qur'an.' Mereka berkata, (yang saat itu
Rasulullah Saw. sedang lewat), 'Hai Ibnul Khattab, itulah sahabatmu, maka
bergabunglah dengannya'." Perawi melanjutkan kisahnya, "Maka aku berkata kepada
mereka saat itu juga, 'Aku meminta kepada kalian demi nama Allah Yang tiada
Tuhan selain Dia, dan demi apa yang kalian pelihara dari hak-nya serta demi apa
yang dititipkan kepada kalian dari kitabnya, apakah kalian mengetahui bahwa dia
adalah utusan Allah?'." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa mereka diam, tidak
menjawab. Lalu salah seorang yang paling alim dari kalangan mereka —yang juga
sebagai pembesar mereka— mengatakan, "Sesungguhnya hal itu terasa berat bagi
kalian, tetapi kalian harus menjawabnya." Ternyata mereka balik bertanya,
"Engkau adalah orang yang paling alim dan paling terhormat di kalangan kami,
jawablah olehmu sendiri." Ia berkata, "Apabila kalian meminta kepadaku seperti
apa yang kalian minta, maka sesungguhnya aku mengetahui bahwa beliau adalah
utusan Allah." Aku (Umar) berkata, "Celakalah kalian, kalau demikian kalian
binasa." Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami masih belum binasa." Aku (Umar)
berkata, "Mengapa bisa terjadi, kalian mengetahui bahwa dia adalah utusan Allah,
sedangkan kalian tidak mau mengikutinya, tidak pula percaya kepadanya?" Mereka
menjawab, "Sesungguhnya kami mempunyai musuh dari kalangan para malaikat, juga
mempunyai teman dari kalangan mereka. Sesungguhnya dia ditemani dalam
kenabiannya oleh musuh kami dari kalangan para malaikat." Aku bertanya,
"Siapakah musuh dan teman kalian itu?" Mereka menjawab, "Musuh kami adalah
Jibril, dan teman kami adalah Mikail." Mereka mengatakan, "Sesungguhnya Jibril
adalah malaikat yang bengis, kasar, sulit, keras, dan tukang menyiksa atau hal
yang semisal dengan itu. Sesungguhnya Mikail adalah malaikat rahmat, lembut lagi
ringan atau hal yang semacam itu." Aku bertanya, "Apakah kedudukan keduanya di
sisi Rabbnya?" Mereka menjawab, "Salah seorang darinya berada di sebelah
kanan-Nya dan yang lainnya berada di sebelah kiri-Nya." Maka aku berkata, "Demi
Tuhan yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya keduanya dan Tuhan yang mereka
berdua berada di kedua sisi-Nya benar-benar memusuhi orang-orang yang memusuhi
keduanya dan berdamai dengan orang-orang yang damai dengan keduanya. Tidak layak
bagi Malaikat Jibril berdamai dengan musuh Malaikat Mikail, dan tidak layak pula
bagi Mikail berdamai dengan musuh Malaikat Jibril." Kemudian aku bangkit dan
mengikuti Nabi Saw. hingga aku dapat menyusulnya. Pada saat itu beliau baru
keluar dari rumah kecil Bani Fulan, lalu beliau Saw. bersabda, "Hai Ibnul
Khattab, maukah aku bacakan kepadamu beberapa ayat yang baru saja diturunkan
kepadaku?" Kemudian beliau membacakan ayat-ayat berikut kepadaku, yaitu:
Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril telah menurunkannya
(Al-Qur'an) ke dalam hati kalian dengan seizin Allah. (Al-Baqarah: 97)
Beliau Saw. membaca pula beberapa ayat sesudahnya. Aku berkata, "Ayah dan ibuku
kujadikan sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Tuhan Yang telah mengutusmu
dengan hak, sesungguhnya aku sendiri datang untuk menceritakan hal itu kepadamu,
tetapi aku mendengar bahwa Tuhan Yang Mahalembut lagi Mahaperiksa telah
mendahuluiku kepadamu dengan membawa kebaikan."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Mujalid, telah
menceritakan kepada kami Amir yang menceritakan bahwa sahabat Umar berangkat
menuju kepada orang-orang Yahudi, lalu berkata, "Aku meminta kepada kalian
dengan nama Tuhan Yang menurunkan kitab Taurat kepada Musa. Apakah kalian
menemukan Muhammad di dalam kitab-kitab kalian?" Mereka menjawab, "Ya." Umar
bertanya, "Apakah gerangan yang menghalang-halangi kalian untuk mengikutnya?"
Mereka menjawab, "Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali mengutus seorang rasul
melainkan menjadikan baginya teman dari kalangan para malaikat. Sesungguhnya
Jibril adalah teman Muhammad, dialah yang selalu datang kepadanya. Tetapi dia
adalah malaikat yang menjadi musuh kami, sedangkan Malaikat Mikail adalah teman
kami. Seandainya Mikail yang selalu datang kepadanya, niscaya kami masuk Islam."
Umar r.a. berkata, "Sesungguhnya aku bertanya kepada kalian dengan nama Allah
yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa, apakah kedudukan keduanya di
sisi Allah Swt.?" Mereka menjawab, "Jibril berada di sebelah kanan-Nya dan
Mikail berada di sebelah kiri-Nya." Umar berkata, "Sesungguhnya aku bersaksi
bahwa keduanya tidak akan turun (ke bumi) kecuali dengan seizin Allah, dan
Mikail tidak akan berdamai dengan musuh Jibril, Jibril tidak akan berdamai
dengan musuh Mikail." Ketika Umar berada bersama mereka (orang-orang Yahudi),
tiba-tiba lewatlah Nabi Saw., lalu mereka berkata, "Inilah temanmu, hai Ibnul
Khattab." Maka Umar bangkit menuju ke arahnya dan datang menghadap kepadanya,
sedangkan saat itu Allah Swt. telah menurunkan firman-Nya: Barang siapa yang
menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail,
maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 98)
Kedua sanad riwayat ini menunjukkan bahwa Asy-Sya'bi menceritakannya dari
Umar r.a., tetapi di dalamnya terdapat inqita' (rentetan sanad yang
terputus) antara Asy-Sya'bi dan Umar r.a. karena Asy-Sya'bi tidak menjumpai
zaman sahabat Umar r.a.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Basyir, telah
menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', dari Sa'id, dari Qatadah yang
menceritakan, telah diceritakan kepada kami bahwa di suatu hari Umar ibnul
Khattab pernah berangkat menuju tempat orang-orang Yahudi. Ketika ia sampai di
kalangan mereka, mereka menyambutnya dengan sambutan yang hangat. Maka Umar r.a.
berkata kepada mereka, "Ingatlah, demi Allah, tidak sekali-kali aku datang
kepada kalian karena terdorong suka kepada kalian, tidak pula karena berharap
kepada kalian, tetapi aku datang kepada kalian untuk mendengar langsung dari
kalian." Lalu Umar bertanya kepada mereka, dan mereka bertanya kepadanya,
"Siapakah teman kalian (dari kalangan malaikat)?" Umar menjawab, "Jibril."
Mereka berkata, "Dia adalah musuh kami dari kalangan penduduk langit, dialah
yang memperlihatkan kepada Muhammad rahasia kami. Apabila ia datang, maka yang
didatangkannya adalah peperangan dan kelaparan. Tetapi teman kami adalah Mikail;
apabila dia datang, yang didatangkannya adalah kesuburan dan kedamaian." Umar
berkata kepada mereka, "Mengapa kalian mengakui Jibril, tetapi mengingkari
Muhammad Saw.?" Sejak saat itu Umar pergi meninggalkan mereka dan menuju ke arah
Nabi Saw. untuk menceritakan kepada beliau apa yang telah diceritakan oleh
mereka. Tetapi ternyata ia menjumpai beliau dalam keadaan telah menerima wahyu
ayat-ayat berikut: Katakanlah, "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka
Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin
Allah. (Al-Baqarah: 97), hingga beberapa ayat sesudahnya.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadanya Al-Musan-na, telah
menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, telah
menceritakan kepada kami Qatadah, telah sampai kepada kami bahwa di suatu hari
sahabat Umar datang me-nemui orang-orang Yahudi. Kemudian Ibnu Jarir
mengetengahkan hadis yang semisal dengan hadis di atas hingga selesai.
Di dalam riwayat ini terdapat nama Adam, dia berpredikat munqati pula.
Hadis ini diriwayatkan juga oleh Asbat, dari As-Saddi, dari Umar dengan mak-na
yang sama atau yang semisal dengannya, tetapi riwayat ini pun berpredikat
munqati.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman (yakni Ad-Dustuli), telah
menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Abdur
Rahman ibnu Abu Laila, bahwa seorang Yahudi menemui sahabat Umar ibnul Khattab,
lalu orang Yahudi itu berkata, "Sesungguhnya Jibril yang disebut oleh teman
kalian (Nabi Muhammad Saw.) adalah musuh kami." Maka sahabat Umar r.a.
membacakan firman-Nya: Barang siapa yang menjadi musuh Allah,
malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail, maka sesungguhnya
Allah adalah musuh orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 98)
Dengan kata lain, ayat ini diturunkan bertepatan dengan perkataan yang
dikatakan oleh lisan sahabat Umar r.a. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu
ibnu Humaid, dari Abun Nadr Hasyim ibnul Qasim, dari Abu Ja'far (yakni
Ar-Razi).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepadaku Hasyim, telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Abdur
Rahman, dari Ibnu Abu Laila sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Barang siapa
yang menjadi musuh Jibril..., hingga akhir, ayat (Al-Baqarah: 97).
Dijelaskan bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada kaum muslim, "Seandainya
malaikat yang turun kepada kalian adalah Mikail, niscaya kami akan mengikuti
kalian. Karena sesungguhnya Malaikat Mikail itu selalu turun membawa rahmat dan
hujan, dan sesungguhnya Jibril selalu turun membawa azab dan pembalasan.
Sesungguhnya dia adalah musuh kami." Ibnu Jarir mengatakan lalu turunlah ayat
ini.
Telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim,
telah menceritakan kepada kami Abdul Malik, dari Ata hal yang semisal.
Abdur Razzaq menceritakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari
Qatadah, sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Katakanlah, "Barang siapa yang
menjadi musuh Jibril..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 97). Bahwa
orang-orang Yahudi pernah mengatakan, "Sesungguhnya Jabrail adalah musuh kami,
karena sesungguhnya dia turun hanya dengan membawa kekerasan dan kelaparan. Dan
sesungguhnya Mikail selalu turun membawa kemakmuran, kesehatan, dan kesuburan.
Jabrail adalah musuh kami." Lalu Allah Swt. berfirman menurunkan ayat ini.
*************
Mengenai tafsir firman-Nya:
{قُلْ
مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ
اللَّهِ}
Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah
menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hati kalian dengan seizin Allah.
(Al-Baqarah: 97)
Artinya, barang siapa yang memusuhi Malaikat Jabrail, ketahuilah bahwa dia
adalah Ruh (malaikat) Al-Amin (yang dipercaya oleh Allah Swt.). Dialah yang
membawa turun Al-Qur'an yang bijaksana ke dalam hatimu dari Allah dengan
seizin-Nya. Dia adalah utusan Allah dari kalangan para malaikat; dan barang
siapa yang memusuhi utusan, berarti dia memusuhi semua utusan. Sama halnya orang
yang beriman kepada seorang rasul, sesungguhnya ia pasti beriman kepada semua
rasul, sebagaimana orang yang kafir kepada seorang rasul, berarti dia kafir
kepada semua rasul. Sama halnya dengan makna yang terkandung di dalam firman
lainnya, yaitu:
{إِنَّ
الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ
اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ
وَيُرِيدُونَ}
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan
bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan,
"Kami beriman kepada yang sebagian (dari rasul-rasul itu), dan kami kafir
terhadap sebagian (yang lain)." (An-Nisa: 150), hingga kedua ayat
berikutnya.
Di dalamnya diputuskan terhadap mereka sebagai orang-orang kafir yang
sesungguhnya, jika mereka beriman kepada sebagian para rasul dan kafir kepada
sebagian yang lainnya. Demikian pula perihal orang yang memusuhi Malaikat
Jibril, sesungguhnya orang tersebut adalah musuh Allah. Dikatakan demikian
karena sesungguhnya tidak sekali-kali Malaikat Jibril turun dengan membawa
perintah dari dirinya sen-diri, melainkan dia turun dengan membawa perintah
Tuhannya, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
{وَمَا
نَتَنزلُ إِلا بِأَمْرِ رَبِّكَ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا
بَيْنَ ذَلِكَ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا}
Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhan-mu.
(Maryam: 64)
وَإِنَّهُ
لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ* نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ* عَلَى قَلْبِكَ
لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ}
Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam, dan dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan. (Asy-Syu'ara: 192-194)
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya melalui Abu Hurairah r.a.
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ
عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ بَارَزَنِي بِالْحَرْبِ"
Barang siapa yang memusuhi kekasihku, berarti dia menantangku
terang-terangan untuk berperang.
Karena itu, Allah murka terhadap setiap orang yang memusuhi Malaikat Jibril.
****************
Allah Swt. berfirman:
{مَنْ
كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ}
Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah
menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan
kitab-kitab sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi
orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 97)
Ma baina yadaihi, yakni kitab-kitab sebelumnya.
Hudan, petunjuk bagi hati mereka.
Busyra, berita gembira bagi mereka bahwa mereka akan dimasukkan ke
dalam surga. Dan Al-Qur'an itu tiada lain hanyalah bagi orang-orang mukmin,
seperti yang disebutkan oleh firman lainnya, yaitu:
{قُلْ
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي
آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ
بَعِيدٍ}
Katakanlah, "Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang
yang beriman"..., hingga akhir ayat, (Fushshilat: 44).
{وَنُنزلُ
مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ
الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا}
Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman. (Al-Isra: 82)
**************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{مَنْ
كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ
اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ}
Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya,
rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh
orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 98)
Melalui ayat ini Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang memusuhi-Ku, para
malaikat-Ku, dan rasul-rasul-Ku," yang termasuk ke dalam pengertiannya semua
utusan —baik dari kalangan malaikat ataupun manusia— seperti makna yang
terkandung di dalam firman-Nya:
{اللَّهُ
يَصْطَفِي مِنَ الْمَلائِكَةِ رُسُلا وَمِنَ النَّاسِ}
Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia.
(Al-Hajj: 75)
Barang siapa yang memusuhi Jibril dan Mikail", kalimat ini termasuk ke dalam
Bab "Ataf Khusus kepada Umum", karena sesungguhnya keduanya adalah malaikat yang
termasuk ke dalam pengertian umum semua rasul (utusan). Kemudian keduanya
disebutkan lagi secara khusus karena konteks pembicaraan berkaitan dengan
membela Jibril yang merupakan duta di antara Allah dan nabi-nabi-Nya. Penyebutan
Jibril dibarengi dengan penyebutan Mikail, karena orang-orang Yahudi menduga
bahwa Jibril adalah musuh mereka, sedangkan Mikail kekasih mereka; maka Allah
mempermaklumatkan kepada mereka bahwa barang siapa yang menjadi musuh salah satu
dari kedua malaikat tersebut, berarti menjadi musuh pula bagi yang lain, juga
menjadi musuh Allah. Karena sesungguhnya Malaikat Mikail pun adakalanya turun
kepada nabi-nabi Allah di suatu waktu, sebagaimana dia pun pernah menemani
Rasulullah Saw. pada permulaannya, tetapi Jibril lebih banyak menemaninya karena
hal ini merupakan tugasnya. Malaikat Mikail tugas utamanya ialah mengatur
tetumbuhan dan hujan, Malaikat Jibril menurunkan wahyu, sedangkan malaikat
Mikail menurunkan rezeki, sebagaimana Israfil ditugaskan untuk meniup sangkakala
pada hari berbangkit kelak di hari kiamat.
Karena itu, di dalam hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. apabila
salat di malam hari acapkali membaca doa berikut:
"اللَّهُمَّ
رب جبريل وإسرافيل وميكائيل ، فاطر السموات وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اختُلِف فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ
تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ"
Ya Allah, Tuhan Malaikat Jibril, Malaikat Mikail, dan Malaikat Israfil,
Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui hal yang gaib dan yang nyata,
Engkaulah Yang memutuskan hukum di antara hamba-hamba-Mu dalam semua perkara
yang diperselisihkan di antara mereka. Berilah daku petunjuk kepada perkara yang
hak, guna menyelesaikan hal yang diperselisihkan dengan seizin-Mu. Sesungguhnya
Engkau memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang
lurus.
Dalam riwayat pertama di atas telah disebutkan riwayat yang diketengahkan
oleh Imam Bukhari, diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Ikrimah dan
lain-Lainnya, bahwa jabra, mik, dan isra artinya sama dengan abdun
(hamba), sedangkan lil artinya Allah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari
Al-A'masy, dari Ismail ibnu Abu Raja', dari Umair maula (bekas budak) Ibnu
Abbas, bahwa sesungguhnya kata Jabrail itu dalam bahasa Arabnya sama dengan kata
Abdullah (hamba Allah) dan Abdur Rahman (hamba Tuhan Yang Maha Pemurah). Menurut
pendapat lain, jabra artinya hamba, sedangkan il artinya Allah.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Ali ibnul Husain yang
pernah mengatakan, "Tahukah kalian apakah persamaan nama Jabrail pada nama
kalian?" Kami menjawab, "Tidak tahu." Ali ibnul Husain menjawab, "Ialah Abdullah
(hamba Allah), setiap nama yang diakhiri dengan kata il terjemahannya
berarti Allah Swt." Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hal yang semisal dari Ikrimah,
Mujahid, Ad-Dahhak, dan Yahya ibnu Ya'mur. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan,
ayahku menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abul
Hawari, telah menceritakan kepadaku Abdul Aziz ibnu Umair yang mengatakan bahwa
nama Jabrail di kalangan para malaikat artinya pelayan Allah. Ibnu Abu Hatim
mengatakan bahwa ia pernah menceritakan hadis ini kepada Abu Sulaiman Ad-Darani,
maka Abu Sulaiman mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengatakan, "Sesungguhnya
hadis ini lebih aku sukai daripada segala sesuatu," yang hal itu ia catat pada
buku yang ada di tangannya.
Sehubungan dengan lafaz Jabrail dan Mikail ini terdapat beberapa dialek
mengenainya yang hanya disebut di dalam kitab bahasa dan qiraat, dan kami
membahasnya hanya sebatas apa yang dapat menunaikan makna yang dimaksud, atau
yang dapat dijadikan sebagai pegangan. Hanya kepada Allah-lah kami percaya, dan
Dia adalah Yang dimintai pertolongan-Nya.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ
اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ}
Maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (Al-Baqarah:
98)
Di dalam ungkapan ayat ini terkandung meletakkan isim lahir di tempat isim
damir, mengingat tidak dikatakan fainnahu 'aduwwul lil kafirin, melainkan
dikatakan fainnallaha 'aduwwul lil kafirin. Perihalnya sama dengan apa
yang terdapat di dalam perkataan seorang penyair:
لَا
أَرَى الموتَ يَسْبِقُ الموتَ شَيْءٌ ... نَغَّص
الموتُ
ذَا الْغِنَى وَالْفَقِيرَا ...
Aku yakin bahwa tiada sesuatu pun yang
dapat mendahului mati (ajal), maut selalu mendahului orang yang kaya, juga orang
yang miskin (tanpa pandang bulu).
Penyair lainnya mengatakan:
ليتَ
الغرابَ غَدَاةَ ينعَبُ دَائِبًا ... كَانَ
الغرابُ مقطَّع الْأَوْدَاجِ
Aduhai, seandainya burung gagak
seperti biasanya di pagi hari selalu bergoak, tetapi seakan-akan kini
burung-burung gagak itu sudah putus urat lehemya.
Sesungguhnya lafaz Allah di-izhar-kan (ditampakkan) dalam kedudukan
ini tiada lain untuk menyatakan dan menonjolkan makna tersebut, sebagai
pemberitahuan terhadap mereka bahwa barang siapa yang memusuhi kekasih Allah,
berarti dia memusuhi Allah. Barang siapa yang memusuhi Allah, berarti Allah
adalah musuhnya; dan barang siapa yang menjadi musuh Allah, berarti merugilah
dia di dunia dan akhiratnya, seperti yang disebutkan oleh hadis yang lalu,
yaitu:
"مَنْ
عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ بَارَزَنِي بِالْحَرْبِ"
Barang siapa yang memusuhi kekasihku, berarti aku telah mempermaklumatkan
perang terhadapnya.
Di dalam hadis lain disebutkan:
"إِنِّي
لِأَثْأَرُ لِأَوْلِيَائِي كَمَا يَثْأَرُ اللَّيْثُ الْحَرِبُ"
Sesungguhnya aku benar-benar akan mengadakan pembalasan demi membela
kekasih-kekasihku, sebagaimana singa (seorang pemberani) menuntut balas dalam
peperangan.
Di dalam hadis sahih dinyatakan:
"وَمَن
كنتُ خَصْمَه خَصَمْتُه".
Barang siapa menjadi musuhku, niscaya aku akan memusuhinya.
Al-Baqarah, ayat 99-103
{وَلَقَدْ
أَنزلْنَا إِلَيْكَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَمَا يَكْفُرُ بِهَا إِلا الْفَاسِقُونَ
(99) أَوَكُلَّمَا عَاهَدُوا عَهْدًا نَبَذَهُ فَرِيقٌ مِنْهُمْ بَلْ أَكْثَرُهُمْ
لَا يُؤْمِنُونَ (100) وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ
لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ
وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (101) وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو
الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ
الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ عَلَى
الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ
حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا
مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ
مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا
يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ
خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (102)
وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ
كَانُوا يَعْلَمُونَ (103) }
Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan
kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan
orang-orang yang fasik. Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan
setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya. Bahkan
sebagian besar dari mereka tidak beriman. Dan setelah datang kepada mereka
seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka,
sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke
belakangnya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang
kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut; sedangkan
keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan,
"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir"
Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka
dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli
sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan
izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan
tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang
siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya
keuntungan di akhirat; dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan
sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa,
(niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah
adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.
Imam Abu Ja'far mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat-yang jelas..., hingga
akhir ayat, (Al-Baqarah: 99). Yakni sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu
—Muhammad— alamat-alamat yang jelas yang menunjukkan akan kenabianmu.
Tanda-tanda tersebut adalah terkandung di dalam Kitabullah (Al-Qur'an)
menyangkut rahasia ilmu-ilmu Yahudi dan rahasia-rahasia berita mereka yang
disimpan rapi oleh mereka. Juga mengandung berita kakek moyang mereka, berita
tentang apa yang terkandung di dalam kitab-kitab mereka yang hanya diketahui
oleh para rahib dan ulama mereka saja, dan hal-hal yang telah diubah oleh para
pendahulu dan generasi penerus mereka yang berani mengubah hukum-hukum yang ada
di dalam kitab Tauratnya. Maka Allah Swt. memperlihatkan hal tersebut kepada
Nabi-Nya, yakni Nabi Muhammad Saw. melalui kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan
kepadanya.
Maka sesungguhnya hal tersebut seharusnya merupakan tanda-tanda yang jelas
bagi orang yang menyadari keadaan dirinya dan tidak membiarkan dirinya termakan
oleh rasa dengki dan kesombongan yang membinasakannya. Mengingat setiap orang
yang memiliki fitrah yang sehat niscaya membenarkan semisal apa yang didatangkan
oleh Nabi Muhammad Saw., yaitu berupa ayat-ayat yang jelas. Bukti-bukti tersebut
mempunyai ciri khas dihasilkan oleh beliau Saw. tanpa melalui proses belajar
yang dituntutnya dari seorang manusia; tidak pula mengambil sesuatu dari
manusia, seperti yang disebutkan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan
dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
ayat-ayat yang jelas. (Al-Baqarah: 99)
Allah Swt. berfirman bahwa engkau membacakannya (Al-Qur'an) kepada mereka dan
memberitahukannya kepada mereka di setiap pagi dan petang di antara keduanya,
sedangkan di kalangan mereka engkau diketahui sebagai orang yang ummi (buta
huruf), tetapi engkau memberitahukan kepada mereka semua hal yang ada di
kalangan mereka sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Allah Swt. berfirman
kepada mereka yang di dalamnya terkandung pelajaran dan penjelasan, tetapi
sekaligus menjadi hujah terhadap mereka, seandainya mereka mengetahui.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu
Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa Ibnu Suria Al-Qatwaini berkata kepada Rasulullah Saw., "Hai
Muhammad, engkau tidak mendatangkan kepada kami sesuatu yang kami kenal, dan
Allah tidak menurunkan kepadamu suatu ayat pun yang jelas yang menyebabkan kami
mengikutimu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya,
melainkan orang-orang yang fasik. (Al-Baqarah: 99)
Malik ibnu Saif (seorang Yahudi) mengatakan ketika Rasulullah Saw. telah
menjadi utusan Allah dan memperingatkan kepada mereka perjanjian yang diambil
oleh Allah atas diri mereka dan apa yang dijanji-kan Allah Swt. kepada mereka
sehubungan dengan perkara Nabi Muhammad Saw., "Allah tidak menjanjikan kepada
kami tentang Muhammad, dan Dia tidak mengambil janji apa pun atas diri kami."
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Patutkah (mereka ingkar kepada
ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka
melemparkannya (Al-Baqarah: 100)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Bahkan
sebagian besar dari mereka tidak beriman. (Al-Baqarah: 100) Memang benar,
tiada suatu perjanjian pun di muka bumi ini yang mereka lakukan melainkan mereka
pasti melanggar dan merusaknya. Mereka mengadakan perjanjian di hari ini, dan
besoknya mereka pasti merusaknya.
Menurut As-Saddi, makna la yu-minuna ialah 'mereka tidak beriman
dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.'.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Nabaza fariqum
minhum" bahwa perjanjian itu dirusak oleh segolongan orang dari kalangan
mereka.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal makna an-nabaz ialah membuang dan
melemparkan. Karena itu anak yang hilang disebut manbuz, yakni diambil
dari kata an-nabaz ini, dan disebut pula nabiz bagi buah kurma
serta buah anggur yang dimasukkan (dilemparkan) ke dalam air.
Sehubungan dengan pengertian ini Abul Aswad Ad-Du-ali mengatakan dalam
syairnya:
نَظَرْتُ
إِلَى عُنْوَانِهِ فَنَبَذْتُهُ ... كَنَبْذِكَ
نَعْلًا أَخْلَقَتْ مِنْ نِعَالِكَا
Ketika aku melihat alamat (tempat
tinggal)nya, maka aku langsung membuang (melemparkan)nya (jauh-jauh) sebagaimana
engkau lemparkan salah satu dari terompahmu yang sudah rusak.
Kaum yang disebut dalam ayat ini dicela oleh Allah Swt. karena mereka merusak
perjanjian mereka dengan Allah yang telah disebut sebelumnya, yaitu mereka
bersedia memegangnya dan mengamalkan-nya sesuai dengan apa yang sebenarnya.
Lebih ironisnya lagi mereka mengiringi hal tersebut dengan kedustaan terhadap
Rasul Saw. yang diutus kepada mereka, juga kepada seluruh umat manusia, padahal
perihal Rasul tersebut telah termaktub di dalam kitab mereka sifat-si-fat dan
ciri-ciri khasnya serta berita-beritanya; dan mereka diperintah-kan di dalamnya
agar mengikuti Rasul itu, mendukung, dan menolongnya. Sebagaimana yang
disebutkan di dalam firman-Nya:
الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً
عِنْدَهُمْ فِي التَّوْراةِ وَالْإِنْجِيلِ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka...,
hingga akhir ayat, (Al-A'raf: 157).
Sedangkan dalam surat ini disebutkan: Dan setelah datang kepada mereka
seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada
mereka..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 101).
Yakni segolongan dari kalangan mereka melemparkan kitab yang ada di tangan
mereka yang di dalamnya terkandung berita gembira kedatangan Nabi Muhammad Saw.
Di dalam ayat ini disebutkan wara-a zuhurihim, di belakang punggung
mereka, yakni mereka meninggalkannya seakan-akan mereka tidak mengetahui apa
isinya. Sebagai gantinya mereka memusatkan perhatiannya untuk mempelajari sihir
serta menjadi pengikutnya. Karena itu, mereka bermaksud mencelakakan Rasulullah
Saw. Lalu mereka menyihirnya melalui sisir, buntelan secarik kain, dan ketandan
kering pohon kurma yang disimpan di bawah batu di pinggir sumur Arwan. Orang
yang melakukan hal ini dari kalangan mereka adalah seorang lelaki yang dikenal
dengan nama Labid ibnul A'sam, semoga laknat Allah menimpa dirinya, dan semoga
Allah memburukkannya. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Rasulullah
Saw. dan menyembuhkannya serta menyelamatkannya dari sihir tersebut, seperti
yang dinyatakan di dalam kitab Sahihain secara panjang lebar dari Siti Aisyah
r.a. Ummul Mu’minin, yang hadisnya akan diketengahkan kemudian.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan setelah
datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang
ada pada mereka. (Al-Baqarah: 101) Ketika Nabi Muhammad Saw. datang kepada
mereka, mereka menentangnya dengan kitab Taurat dan mendebatnya, tetapi pada
akhirnya kitab Taurat sepaham dengan Al-Qur'an. Lalu mereka meninggalkan kitab
Taurat dan mengambil kitab Asif serta sihir Harut dan Marut, karena tidak
setuju dengan Al-Qur'an. Karena itu, pada akhir ayat disebutkan: seolah-olah
mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Seolah-olah mereka
tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101) Sesungguhnya kaum yang bersangkutan
adalah orang-orang yang mengetahui (bahwa Al-Qur'an itu adalah kitab Allah),
tetapi mereka menjauhi pengetahuan mereka dan menyembunyikannya serta
mengingkarinya.
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh
setan. (Al-Baqarah: 102) Tersebutlah bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman
terlepas dari tangannya, maka murtadlah segolongan jin dan manusia; mereka
mengikuti hawa nafsu mereka. Setelah mengembalikan kerajaan kepada Sulaiman,
maka orang-orang pun berjalan sesuai dengan hukum agama seperti semula.
Sesungguhnya Sulaiman dapat menemukan kitab-kitab mereka, lalu menguburnya di
bawah singgasananya; tidak lama kemudian Nabi Sulaiman a.s. meninggai dunia.
Akan tetapi, manusia dan jin dapat menemukan kitab-kitab tersebut setelah Nabi
Sulaiman wafat. Lalu mereka berkata, "Kitab inilah yang diturunkan oleh Allah
kepada Sulaiman, tetapi Sulaiman menyembunyikannya." Maka mereka mengambil kitab
tersebut dan menjadikannya sebagai agama. Lalu turunlah firman Allah Swt.:
Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang
membenarkan kitab yang ada pada mereka. (Al-Baqarah: 101), hingga akhir
ayat. Maka mereka mengikuti kemauan hawa nafsu mereka yang dibacakan oleh
setan-setan, yaitu alat-alat musik dan permainan serta segala sesuatu yang
melalaikan berzikir kepada Allah Swt.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Al-A'masy, dari
Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Asif
adalah juru tulis Nabi Sulaiman. Dia adalah orang yang mengetahui Ismul A'zam,
dan mencatat segala sesuatu atas izin Nabi Sulaiman, lalu Nabi Sulaiman mengubur
catatan tersebut di bawah singgasananya. Ketika Nabi Sulaiman wafat, catatan
tersebut dikeluarkan oleh setan-setan, lalu mereka menyisipkan catatan mengenai
sihir dan kekufuran di antara tiap dua barisnya. Mereka mengatakan, inilah yang
dahulu diamalkan oleh Sulaiman. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah
ada keterangan dari setan, maka orang-orang yang tidak mengerti mengafirkan
Sulaiman dan mencacimakinya, tetapi para ulama dari kalangan mereka hanya diam.
Orang-orang yang bodoh dari kalangan mereka terus-menerus mencaci maki Nabi
Sulaiman, hingga Allah Swt. menurunkan ayat berikut kepada Nabi Muhammad Saw.,
yaitu: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa
kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir),
padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah
yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Abus Sa'ib Salimah ibnu Junadah As-Sawa-i
menceritakan, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari
Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan riwayat
berikut: Tersebutlah bahwa Nabi Sulaiman apabila hendak memasuki kamar mandi
atau menggauli salah seorang istrinya, terlebih dahulu ia menyerahkan cincinnya
kepada pembantu pribadinya, yaitu seorang wanita. Ketika Allah hendak menguji
Nabi Sulaiman a.s. dengan ujian yang dikehendaki-Nya, maka di suatu hari
Sulaiman menyerahkan cincinnya kepada pembantunya. Lalu datanglah setan dalam
rupa Sulaiman dan berkata kepada pembantu Sulaiman, "Serahkanlah cincinku." Si
pembantu menyerahkan cincin itu kepadanya, dan ia segera memakainya. Ketika
setan memakainya, maka tunduklah semua setan, jin, dan manusia kepadanya. Ibnu
Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Sulaiman datang kepada pembantunya itu
dan berkata kepadanya, "Berikanlah cincinku kepadaku." Si pembantu berkata,
"Engkau dusta, engkau bukan Sulaiman." Maka sejak saat itu Nabi Sulaiman
mengetahui bahwa hal ini merupakan cobaan yang ditimpakan kepada dirinya. Ibnu
Abbas berkata bahwa di hari-hari (kekuasaannya itu) setan-setan menulis berbagai
macam kitab yang di dalamnya terkandung sihir dan kekufuran, lalu mereka
menguburnya di bawah singgasana Raja Sulaiman. (Setelah Sulaiman wafat) mereka
mengeluarkan kitab-kitab itu dan membacakannya di hadapan semua orang, lalu
mereka berkata, "Sesungguhnya dahulu Sulaiman dapat berkuasa atas manusia
melalui kitab-kitab ini." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu
semua orang berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Sulaiman dan
mengafirkannya. Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Saw., maka
diturunkan-Nyalah ayat berikut, yakni firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak
kafir (tidak melakukan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir
(mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah
menceritakan kepada kami Jarir, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Imran (yaitu
Al-Haris) yang menceritakan: Ketika kami berada di rumah Ibnu Abbas r.a.,
tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya, "Dari
manakah kamu?" Lelaki itu menjawab, "Dari negeri Irak. Ibnu Abbas bertanya,
"Dari bagian mana?" Lelaki menjawab, "Kufah." Ibnu Abbas bertanya, "Bagaimanakah
beritanya?" Lelaki menjawab, "Ketika aku meninggalkan mereka, mereka sedang
hangat membicarakan bahwa Ali r.a. berangkat menuju ke arah mereka (untuk
memerangi mereka)." Maka Ibnu Abbas merasa kaget dan mengatakan, "Tidak pantas
kamu katakan demikian, hanya orang yang tak berayah yang mengatakan demikian.
Seandainya kami percaya (dengan apa yang diberitakannya itu), pasti kami tidak
mau menikahi wanita-wanitanya, tidak pula membagikan harta warisannya. Ingatlah,
sesungguhnya aku akan menceritakan kepada kalian tentang jawaban yang
sebenarnya. Bahwa dahulu setan-setan mencuri-curi pendengaran di langit, lalu
seseorang dari mereka datang membawa kalimat hak yang telah didengarnya; tetapi
bila hendak ia sampaikan, maka ia mencampurinya dengan tujuh puluh (banyak)
kedustaan."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa kalimat-kalimat tersebut sempat
memperoleh perhatian banyak orang hingga meresap ke dalam hati mereka. Maka
Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi Sulaiman a.s., lalu Nabi Sulaiman
mengubur (catatan-catatan itu) di bawah kursi singgasananya. Tetapi setelah Nabi
Sulaiman wafat, setan jalanan bangkit, lalu berkata, "Maukah kalian aku
tunjukkan kepada kalian simpanan terlarang yang tiada simpanan seperti simpanan
itu? Ia berada di bawah kursi singgasananya." Lalu mereka mengeluarkannya, dan
setan itu berkata, "Ini ilmu sihir." Maka orang-orang menggandakan
catatan-catatan tersebut dari generasi ke generasi yang lain, hingga sisanya
adalah yang sekarang hangat dibicarakan oleh penduduk Irak. Lalu Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh
setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman
itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir),
hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir)..., hingga akhir
ayat, (Al-Baqarah: 102).
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abu Zakaria
Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus Salam, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Jarir
dengan lafaz yang sama.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan mereka
mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
(Al-Baqarah: 102) Yang dimaksud dengan Mulki Sulaiman ialah di masa
kerajaan Nabi Sulaiman. Tersebutlah bahwa setan-setan sering naik ke langit,
lalu sampai pada suatu kedudukan yang darinya mereka dapat mencuri pendengaran.
Lalu mereka mencuri sebagian dari perkataan para malaikat tentang apa yang bakal
terjadi di bumi menyangkut perkara kematian, atau hal yang gaib atau suatu
kejadian. Kemudian setan-setan itu menyampaikan hal tersebut kepada
tukang-tukang tenung, lalu tukang-tukang tenung (juru ramal) menceritakan kepada
manusia hal tersebut, dan ternyata kejadiannya mereka jumpai seperti apa yang
dikatakan oleh para tukang tenung itu.
Setelah para juru ramal percaya kepada setan-setan tersebut, maka setan-setan
itu mulai berdusta kepada mereka dan memasukkan hal-hal yang lain ke dalam
berita yang dibawanya; mereka menambah tujuh puluh kalimat pada setiap
kalimatnya. Lalu orang-orang mencatat omongan itu ke dalam buku-buku hingga
tersiarlah di kalangan Bani Israil bahwa jin mengetahui hal yang gaib.
Kemudian Nabi Sulaiman mengirimkan utusannya kepada semua orang untuk menyita
buku-buku itu. Setelah terkumpul, semua buku dimasukkan ke dalam peti, lalu peti
itu dikuburnya di bawah kursi singgasananya. Tiada suatu setan pun yang berani
mendekat ke kursi tersebut melainkan ia pasti terbakar. Nabi Sulaiman berkata,
"Tidak sekali-kali aku mendengar seseorang mengatakan bahwa setan-setan itu
mengetahui hal yang gaib melainkan aku pasti menebas batang lehemya (sebagai
hukumannya)."
Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia dan semua ulama yang mengetahui perihal
Nabi Sulaiman telah tiada, lalu mereka diganti oleh generasi sesudahnya, maka
datanglah setan dalam bentuk seorang manusia. Setan itu mendatangi segolongan
kaum Bani Israil dan berkata kepada mereka, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada
suatu perbendaharaan yang tidak akan habis kalian makan untuk selama-lamanya?"
Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau." Setan berkata, "Galilah tanah di bawah
kursi singgasananya."
Setan pergi bersama mereka dan memperlihatkan tempat tersebut kepada mereka,
sedangkan dia sendiri berdiri di salah satu tempat yang agak jauh dari tempat
tersebut. Mereka berkata, "Mendekatlah kamu ke sini." Setan menjawab, "Tidak,
aku hanya di sini saja dekat dengan kalian. Tetapi jika kalian tidak
menemukannya, kalian boleh membunuhku."
Mereka menggali tempat tersebut dan akhirnya mereka menjumpai kitab-kitab
itu. Ketika mereka mengeluarkannya, setan berkata kepada mereka.”Sesungguhnya
Sulaiman dapat menguasai dan mengatur manusia, setan-setan, dan burung-burung
hanyalah melalui ilmu sihir ini." Setelah itu setan tersebut terbang dan pergi.
Maka mulai tersiarlah di kalangan manusia bahwa Sulaiman adalah ahli sihir, dan
orang-orang Bani Israil mengambil kitab-kitab itu. Ketika Nabi Muhammad Saw.
diutus oleh Allah, mereka mendebatnya dengan kitab-kitab tersebut, seperti yang
dijelaskan oleh firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan
sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).
(Al-Baqarah: 102)
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, sesungguhnya orang-orang Yahudi pernah
bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. di suatu masa mengenai hal-hal yang
terkandung di dalam kitab Taurat, Tiada suatu pertanyaan pun darinya yang mereka
ajukan melainkan Allah Swt. menurunkan wahyu kepada beliau apa yang dijadikan
senjata oleh beliau untuk membantah mereka. Setelah mereka melihat jawaban
tersebut, mereka berkata, "Orang ini lebih mengetahui daripada kami tentang apa
yang diturunkan oleh Allah kepada kami."
Sesungguhnya mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang ilmu sihir serta
mendebatnya dengan ilmu tersebut. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan
mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman
(dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman
tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir
(mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia. (Al-Baqarah:
102)
Sesungguhnya setan-setan itu dengan sengaja membuat suatu kitab, lalu mereka
mencatat ke dalamnya tentang sihir dan tenung serta hal-hal yang dikehendaki
oleh Allah Swt. dari hal tersebut. Lalu mereka menguburnya di bawah kursi
singgasana Nabi Sulaiman, sedangkan Nabi Sulaiman sendiri tidak mengetahui hal
yang gaib.
Setelah Nabi Sulaiman wafat, lalu mereka (atas petunjuk setan) mengeluarkan
buku sihir itu dan memperdaya manusia dengan kitab itu. Mereka mengatakan,
"Kitab inilah yang dahulu disembunyikan oleh Sulaiman, ia menggunakannya untuk
melampiaskan dengkinya terhadap manusia."
Maka Nabi Saw. menceritakan kisah yang sesungguhnya, dan mereka (orang-orang
Yahudi itu) kembali ke tempat tinggalnya dari sisi beliau Saw. dalam keadaan tak
berdaya karena hujah mereka dipatahkan oleh wahyu Allah Swt.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka
mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
(Al-Baqarah: 102); Dahulu setan-setan sering mencuri-curi pendengaran dari
wahyu, maka tidak sekali-kali mereka mendengar suatu kalimat pun dari wahyu itu
melainkan mereka menambahkan kepadanya dua ratus kali lipat hal yang semisal
dari diri mereka sendiri. Kemudian Nabi Sulaiman a.s. mengirimkan utusannya
untuk mencatat hal tersebut. Setelah Nabi Sulaiman wafat, maka setan-setan
menemukan catatan itu (yaitu ilmu sihir), lalu mereka mengajarkannya kepada
manusia.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, dahulu Nabi Sulaiman merampas semua ilmu sihir
yang ada di tangan setan, kemudian ia kubur ilmu tersebut di bawah kursi
singgasananya, yakni di dalam gudangnya, hingga setan-setan tidak dapat
mencapainya.
Kemudian setan mendekati manusia dan berkata kepada mereka, "Tahukah kalian
ilmu apakah yang dipakai oleh Sulaiman untuk menundukkan setan-setan dan angin
serta lain-lainnya?" Mereka menyetujui pendapat setan, lalu setan berkata kepada
mereka, "Sesungguhnya kitab itu ada di dalam gudang rumahnya, tepatnya di bawah
kursi singgasananya." Setan membujuk manusia untuk mengeluarkannya, lalu
mengamalkannya.
Orang-orang Hijaz mengatakan bahwa dahulu Sulaiman mengerjakan ilmu sihir
tersebut. Maka Allah Swt. menurunkan kepada Nabi-Nya wahyu yang membersihkan
nama Nabi Sulaiman a.s. dari sihir tersebut. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang
kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan bahwa setelah setan-setan
mengetahui kewafatan Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud a.s., maka dengan sengaja
mereka menulis berbagai macam ilmu sihir. Di dalamnya dicatatkan bahwa barang
siapa yang ingin mencapai anu dan anu, hendaklah ia melakukan ini dan itu.
Setelah semuanya terhimpun, lalu mereka mencatatkannya ke dalam sebuah buku,
lalu mereka cap dengan memakai cap seperti cap Nabi Sulaiman. Mereka mencatat
judulnya dengan kalimat sebagai berikut: "Inilah semua yang dicatat oleh Asif
ibnu Barkhia, teman dekat Nabi Sulaiman ibnu Daud; di dalamnya terkandung
perbendaharaan berbagai ilmu yang langka". Kemudian mereka mengubur buku
tersebut di bawah kursi singgasana bekas Nabi Sulaiman.
Tidak lama kemudian buku tersebut digali oleh sisa-sisa Bani Israil. Setelah
menemukannya, mereka berkata, "Demi Allah, kerajaan Sulaiman hanyalah tegak
melalui ilmu ini." Lalu mereka menyebarkan ilmu sihir di kalangan manusia,
mempelajarinya, juga mengajarkannya. Maka tiada sesuatu pun dari ilmu sihir itu
dimiliki oleh seseorang melainkan orang-orang Yahudi jauh lebih banyak darinya.
Semoga laknat Allah menimpa mereka.
Ketika Rasulullah Saw. menyebutkan di antara wahyu yang diturunkan kepadanya
dari Allah Swt. mengenai diri Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud dan menyebutnya
sebagai salah seorang dari kalangan rasul-rasul Allah, maka orang-orang Yahudi
yang ada di Madinah mengatakan, "Tidakkah kalian heran dengan apa yang dikatakan
oleh Muhammad ini. Dia menduga bahwa Sulaiman ibnu Daud adalah seorang nabi.
Demi Allah, tiada lain Sulaiman itu hanyalah seorang ahli sihir." Maka
sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka
mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak
kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir
(mengerjakan sihir), (Al-Baqarah: 102) hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah
menceritakan kepada kami Husain Al-Hajjaj, dari Abu Bakar, dari Syahr ibnu
Hausyab yang menceritakan bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman dirampas dari
tangannya, maka selama Nabi Sulaiman absen setan-setan mencatat ilmu sihir.
Setan-setan tersebut mencatat bahwa barang siapa yang ingin mendapatkan anu dan
anu, hendaklah ia menghadap ke arah matahari dan mengucapkan mantera ini dan
itu. Barang siapa yang hendak melakukan anu dan anu, hendaklah ia membelakangi
matahari dan mengucapkan mantera ini dan itu. Setan-setan itu mencatat semuanya
dan menamakan catatannya itu dengan suatu judul, yaitu "Inilah yang telah
dicatat oleh Asif ibnu Barkhia buat Raja Sulaiman ibnu Daud, mengandung
perbendaharaan-perbendaharaan rahasia ilmu yang terpendam".
Ketika Nabi Sulaiman mengetahui kitab catatan itu, maka ia menguburnya di
bawah kursi singgasananya. Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia, iblis berdiri,
lalu berkhotbah dengan mengatakan, "Hai manusia, sesungguhnya Sulaiman itu
bukanlah seorang nabi, melainkan seorang penyihir. Maka carilah ilmu sihirnya
itu di antara barang-barang miliknya dan rumah-rumahnya." Kemudian iblis
menunjukkan' kepada mereka tempat Nabi Sulaiman mengubur kitab tersebut.
Maka mereka berkata, "Demi Allah, sesungguhnya Sulaiman adalah seorang
penyihir. Inilah sihirnya. Dengan sihir ini kita diperbudak, dan dengan sihir
ini kita dikalahkan." Orang-orang yang beriman mengatakan, "Tidak, bahkan dia
adalah seorang nabi lagi mukmin."
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. dan beliau Saw. menceritakan perihal
Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, maka orang-orang Yahudi mengatakan, "Lihatlah oleh
kalian Muhammad ini, dia mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil. Dia
menyebut Sulaiman bersama para nabi, padahal sesungguhnya Sulaiman hanyalah
tukang sihir yang dapat menaiki angin." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir)..., hingga akhir ayat,
(Al-Baqarah: 102).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul
A’la As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imran ibnu Jarir mengatakan dari Abul
Mijlaz, bahwa Nabi Sulaiman mengikat tiap-tiap ekor kuda dengan sebuah janji.
Untuk itu apabila seorang lelaki memperolehnya (dalam perang), lalu Nabi
Sulaiman memintanya, maka ia harus menyerahkannya. Maka orang-orang menambah
sajak dan sihir, lalu mereka berkata, "Inilah yang diamalkan oleh Sulaiman ibnu
Daud." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).
Mereka menga-jarkan sihir kepada manusia. (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hatim,
telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami
Adam, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, dari Ziad maula Mus'ab, dari
Al-Hasan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang
dibacakan oleh setan-setan. (Al-Baqarah: 102) Bahwa sepertiganya berisikan
syair, sepertiganya lagi berisikan sihir, sedangkan sepertiga yang terakhir
berisikan ramalan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar
Al-Wasiti, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu
Mansur, dari Al-Hasan sehu-bungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka
mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
(Al-Baqarah: 102) Artinya, orang-orang Yahudi mengikuti apa yang dibacakan oleh
setan-setan itu di masa kerajaan Nabi Sulaiman. Sebelum itu ilmu sihir memang
telah ada di muka bumi ini, tetapi baru diikuti hanya pada masa kerajaan Nabi
Sulaiman.
Demikianlah sekilas dari pendapat para imam terdahulu sehubungan dengan makna
ayat ini. Tetapi pada garis besarnya tidak samar lagi kesemuanya dapat
digabungkan menjadi suatu kesimpulan, dan pada hakikatnya di antara
pendapat-pendapat tersebut tidak ada pertentangan, menurut pandangan orang-orang
yang mempunyai pemahaman yang mendalam.
*************
Firman Allah Swt.:
وَاتَّبَعُوا
مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa
kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102)
Yang dimaksud dengan mereka ialah orang-orang Yahudi yang telah diberi
Al-kitab (Taurat). Hal ini terjadi setelah mereka berpaling dari ajaran
Kitabullah (Taurat) yang ada di tangan mereka dan setelah mereka menentang
Rasulullah Saw. Sesudah kesemuanya itu mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh
setan-setan. Yang dimaksud dengan bacaan setan ialah riwayat, berita, dan kisah
yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
Dalam ungkapan ini fi'il tatlu ber-muta'addi dengan huruf 'ala
karena di dalamnya terkandung pengertian membaca secara dusta.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa huruf 'ala dalam ayat ini mengandung makna
sama dengan huruf fi, yakni tatlu fi mulki Sulaiman, artinya: Yang
dibacakan oleh setan-setan dalam kerajaan Sulaiman. Ibnu Jarir menukil pendapat
ini dari Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq.
Menurut kami, makna tadammun (yang mengandung pengertian membaca dan
berdusta) adalah lebih baik dan lebih utama.
Mengenai pendapat Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa dahulu sebelum masa
Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud sihir itu telah ada, pendapat ini memang benar dan
tidak diragukan lagi. Mengingat tukang-tukang sihir banyak didapat di masa Nabi
Musa a.s., sedangkan zaman Sulaiman ibnu Daud sesudah itu, seperti yang
dijelaskan oleh firman-Nya:
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسى
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi
Musa..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 246).
Kemudian dalam kisah selanjutnya disebutkan melalui firman-Nya:
وَقَتَلَ
داوُدُ جالُوتَ وَآتاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ
Dan (dalam peperangan ini) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan
kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah. (Al-Baqarah: 251)
Kaum Nabi Saleh —yang ada sebelum Nabi Ibrahim a.s.— berkata kepada Nabi
mereka (yaitu Nabi Saleh), seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
إِنَّمَا
أَنْتَ مِنَ الْمُسَحَّرِينَ
Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang terkena
sihir. (Asy-Syu'ara: 153)
Menurut pendapat yang masyhur, lafaz mas-hur artinya orang yang
terkena sihir.
****************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا
أُنزلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ
أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ}
dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut
dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun
sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu,
janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang
dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
istrinya. (Al-Baqarah: 102)
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan takwil ayat ini. Sebagian dari
mereka mengatakan bahwa huruf ma adalah nafiyah, yakni huruf ma
yang terdapat di dalam firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini."
Al-Qurtubi mengatakan bahwa ma adalah nafiyah, ia di-'ataf-kan
kepada firman-Nya, "Wa ma kafara Sulaimanu." Selanjutnya dalam ayat
berikut disebutkan:
{وَلَكِنَّ
الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ} أَيِ:
السِّحْرُ {عَلَى الْمَلَكَيْنِ}
hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua
malaikat. (Al-Baqarah: 102)
Karena dahulu orang-orang Yahudi menduga bahwa ilmu sihir tersebut diturunkan
oleh Malaikat Jibril dan Mikail. Maka Allah Swt. membantah kedustaan mereka itu
melalui firman-Nya:
{هَارُوتَ
وَمَارُوتَ}
yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)
Kedudukan kedua lafaz ini menjadi badal dari lafaz syayatin.
Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan, hal seperti ini dinilai sah, mengingat
adakalanya jamak itu disebut dengan lafaz yang menunjukkan pengertian dua,
seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِنْ
كانَ لَهُ إِخْوَةٌ
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa orang saudara. (An-Nisa:
11)
Atau karena keduanya mempunyai banyak pengikut, atau keduanya diprioritaskan
dalam sebutan di antara mereka karena keduanya sangat jahat. Bentuk kalimat
secara lengkap menurut Al-Qurtubi ialah seperti berikut: "Mereka mengajarkan
sihir kepada manusia di Babil, yakni Harut dan Marut." Kemudian Al-Qurtubi
mengatakan, "Takwil inilah yang menurut pendapatku merupakan takwil yang paling
utama dan paling sahih pada ayat ini, sedangkan yang lainnya tidak perlu
diperhatikan lagi."
Ibnu Jarir meriwayatkan berikut sanadnya melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu
Abbas, sehubungan dengan tafsir firman-Nya: dan apa yang diturunkan kepada
dua malaikat di negeri Babil. (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat. Ibnu
Abbas mengatakan bahwa Allah Swt. tidak menurunkan sihir.
Menurut riwayat lain berikut sanadnya Ibnu Jarir mengemukakan pula melalui
Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa Allah Swt.
menurunkan ilmu sihir kepada keduanya.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil ayat ini seperti berikut: "Dan
mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman, yaitu berupa ilmu sihir, padahal Sulaiman tidak mengerjakan sihir dan
Allah pun tidak pernah menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya
setan-setanlah yang kafir. Mereka mengajarkan ilmu sihir pada manusia di Babil,
yakni Harut dan Marut."
Dengan demikian, berarti lafaz bibabila haruta wa maruta termasuk
lafaz yang diakhirkan, tetapi maknanya didahulukan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa seandainya ada seseorang bertanya, "Apakah alasan
yang membolehkan taqdim (pendahuluan) tersebut?" Sebagai jawabannya ialah
dikemukakan bahwa takwil ayat seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang
dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yakni berupa ilmu sihir,
padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), tidak pula Allah
menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setanlah yang kafir.
Mereka mengajarkan ilmu sihir kepada manusia di Babil, yaitu Harut dan Marut."
Lafaz malakaini dimaksudkan adalah Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail,
karena para ahli sihir orang-orang Yahudi menurut berita yang tersiar di
kalangan mereka menduga bahwa Allah Swt. telah menurunkan ilmu sihir melalui
lisan Jibril dan Mikail yang disampaikan kepada Sulaiman ibnu Daud. Maka Allah
mendustakan tuduhan yang mereka lancarkan itu, dan memberitahukan kepada
Nabi-Nya (Nabi Muhammad Saw.) bahwa Jibril dan Mikail sama sekali tidak pernah
menurunkan ilmu sihir. Dan Allah Swt. membersihkan diri Nabi Sulaiman a.s. dari
tuduhan mempraktikkan sihir yang mereka lancarkan itu. Sekaligus Allah
memberitahukan kepada mereka (orang-orang Yahudi) bahwa sihir itu merupakan
perbuatan setan-setan. Setan-setanlah yang mengajarkannya kepada manusia di
Babil. Orang-orang yang mengajarkan sihir kepada mereka adalah dua orang lelaki,
salah seorangnya bernama Harut, sedangkan yang lain adalah Marut.
Berdasarkan takwil ini berarti Harut dan Marut adalah nama manusia, sekaligus
sebagai bantahan terhadap apa yang mereka tuduhkan terhadap kedua malaikat
(Jibril dan Mikail). Demikianlah nukilan dari Ibnu Jarir secara harfiah.
Sesungguhnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ia pernah menceritakan riwayat
berikut dari Ubaidillah ibnu Musa yang mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Fudail ibnu Marzuq, dari Atiyyah sehubungan dengan tafsir firman-Nya,
"Wa ma unzila 'alal malakaini," bahwa Allah sama sekali tidak menurunkan
ilmu sihir kepada Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Al-Fadl ibnu
Syazan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan
kepada kami Ya’la (yakni Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Bakr (yakni
Ibnu Mus'ab), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, bahwa
Abdur Rahman ibnu Abza selalu membaca ayat berikut dengan bacaan: Wa ma
unzila 'alal malakaini Dawuda wa Sulaimana.
Abul Aliyah mengatakan bahwa Allah tidak menurunkan ilmu sihir kepada
keduanya (Daud dan Sulaiman). Keduanya mengajarkan kepada iman dan
memperingatkan terhadap kekufuran, sedangkan sihir termasuk perbuatan kafir.
Keduanya selalu melarang perbuatan kufur dengan larangan yang sangat keras.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Kemudian Ibnu Jarir melanjutkan kata-katanya sehubungan dengan bantahannya
terhadap pendapat Al-Qurtubi tadi, bahwa huruf ma dalam ayat ini bermakna
al-lazi; lalu ia membahasnya dengan pembahasan yang panjang lebar.
Ia menduga bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat yang diturunkan ke bumi
oleh Allah Swt. Allah mengizinkan keduanya untuk mengajarkan ilmu sihir sebagai
cobaan buat hamba-hamba-Nya, sekaligus sebagai ujian, sesudah Allah menjelaskan
kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan rasul-rasul-Nya bahwa melakukan sihir itu
merupakan perbuatan terlarang.
Ibnu Jarir menduga pula bahwa Harut dan Marut dalam mengajarkan ilmu sihir
tersebut dianggap sebagai malaikat yang taat, mengingat keduanya dalam rangka
melaksanakan perintah Allah. Pendapat yang ditempuh oleh Ibnu Jarir ini sangat
garib.
Tetapi ada pendapat yang lebih garib lagi dari itu, yaitu pendapat orang yang
mengatakan bahwa Harut dan Marut adalah dua kabilah dari kalangan makhluk jin,
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan berikut sanadnya melalui Ad-Dahhak ibnu Muzahim,
bahwa ia pernah membacakan wama unzila 'alal malakaini, lalu ia
mengatakan bahwa keduanya adalah dua orang kafir dari kalangan penduduk negeri
Babil. Alasan yang dipegang oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah
bahwa al-inzal di sini bermakna menciptakan, bukan menurunkan; seperti
pengertian yang terkandung di dalarn firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
وَأَنْزَلَ
لَكُمْ مِنَ الْأَنْعامِ ثَمانِيَةَ أَزْواجٍ
Dia ciptakan bagi kalian delapan ekor yang berpasangan dari binatang
ternak. (Az-Zumar: 6)
وَأَنْزَلْنَا
الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ
Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat.
(Al-Hadid: 25)
وَيُنَزِّلُ
لَكُمْ مِنَ السَّماءِ رِزْقاً
Dan Dia menciptakan untuk kalian rezeki dari langit. (Al-Mu’min:
13)
Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:
«مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً»
Tidak sekali-kali Allah menciptakan penyakit melainkan Dia menciptakan
pula obat penawarnya.
Sebagaimana dikatakan dalam suatu pepatah, "Allah menciptakan kebaikan dan
keburukan."
Al-Qurtubi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, Ibnu Abza, dan Al-Hasan Al-Basri,
bahwa mereka membaca ayat ini seperti berikut: Wama unzila 'alal
malikaini, dengan huruf lam yang di-kasrah-kan. Ibnu Abza mengatakan,
yang dimaksud dengan al-malikaini adalah Daud dan Sulaiman. Imam Qurtubi
mengatakan bahwa dengan bacaan ini berarti huruf ma adalah nafiyah.
Ulama lainnya berpendapat mewaqafkan pada firman-Nya, "Yu'allimunan nasas
sihra," sedangkan huruf ma adalah nafiyah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yunus, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Yahya ibnu
Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad ketika ditanya mengenai takwil firman-Nya
oleh seorang lelaki, yaitu: Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa
yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut.
(Al-Baqarah: 102) Bahwa keduanya adalah dua orang lelaki, mereka mengajarkan
kepada manusia apa yang diturunkan kepada keduanya. Menurut yang lainnya,
keduanya mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diturunkan kepada keduanya.
Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, "Aku tidak pedulikan lagi mana yang dimaksud
di antara keduanya."
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Yunus, dari Anas ibnu Iyad, dari
sebagian teman-temannya, bahwa Al-Qasim ibnu Muhammad sehubungan dengan kisah
ini mengatakan, "Aku tidak mempedulikan mana yang dimaksud di antaranya, pada
prinsipnya aku tetap beriman kepadanya."
Kebanyakan ulama Salaf berpendapat bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat
dari langit, dan bahwa keduanya diturunkan ke bumi, kemudian terjadilah apa yang
dialami oleh keduanya. Kisah keduanya itu disebutkan di dalam hadis marfu'' yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya, seperti yang akan kami
kemukakan nanti, insya Allah.
Berdasarkan pengertian ini, berarti dari penggabungan antara pendapat ini
dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa para malaikat itu terpelihara dari
kesalahan dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang dialami oleh kedua malaikat ini
sejak zaman azali telah diketahui oleh ilmu Allah. Dengan demikian, berarti
peristiwa ini merupakan kekhususan bagi keduanya; maka tidak ada pertentangan
pada kedua dalilnya, seperti juga yang telah diketahui oleh ilmu Allah mengenai
perkara iblis dalam keterangan terdahulu. Tidak bertentangan pula dengan
pendapat yang mengatakan bahwa pada awalnya iblis merupakan segolongan dari
malaikat, sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ
أَبَى}
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah
kalian kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan.
(Al-Baqarah: 34)
dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan makna tersebut. Tetapi perlu diingat
bahwa apa yang dilakukan oleh Harut dan Marut —bila ditinjau dari kisah
keduanya— jauh lebih ringan daripada apa yang dialami oleh iblis yang dilaknat
Allah. Hal ini diriwayatkan oleh Al-Qurtubi, dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas,
Ibnu Umar, Ka'b Al-Ahbar, As-Saddi, dan Al-Kalbi.
Hadis yang menceritakan Harut
dan Marut
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ، فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ [أَبِي] بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُوسَى
بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ سَمِعَ
نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ آدَمَ
-عَلَيْهِ السَّلَامُ-لَمَّا أَهْبَطَهُ اللَّهُ إِلَى الْأَرْضِ قَالَتِ
الْمَلَائِكَةُ: أَيْ رَبِّ {أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ
مَا لَا تَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 30] ، قَالُوا: رَبَّنَا، نَحْنُ أَطْوَعُ لَكَ
مِنْ بَنِي آدَمَ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْمَلَائِكَةِ: هَلُموا مَلَكَيْنِ
مِنَ الْمَلَائِكَةِ حَتَّى نُهْبِطَهُمَا إِلَى الْأَرْضِ، فَنَنْظُرَ كَيْفَ
يَعْمَلَانِ؟ قَالُوا: برَبِّنا، هاروتَ وماروتَ. فَأُهْبِطَا إِلَى الْأَرْضِ
ومثُلت لَهُمَا الزُّهَرة امْرَأَةً مِنْ أَحْسَنِ الْبَشَرِ، فَجَاءَتْهُمَا،
فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَتَكَلَّمَا بِهَذِهِ
الْكَلِمَةِ مِنَ الْإِشْرَاكِ. فَقَالَا وَاللَّهِ لَا نُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا
أَبَدًا. فَذَهَبَتْ عَنْهُمَا ثُمَّ رَجَعَتْ بِصَبِيٍّ تَحْمِلُهُ، فَسَأَلَاهَا
نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَقْتُلَا هَذَا الصَّبِيَّ. فَقَالَا
لَا وَاللَّهِ لَا نَقْتُلُهُ أَبَدًا. ثُمَّ ذَهَبَتْ فَرَجَعَتْ بقَدَح خَمْر
تَحْمِلُهُ، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَشْرَبَا
هَذَا الْخَمْرَ. فَشَرِبَا فَسَكِرَا، فَوَقْعَا عَلَيْهَا، وَقَتَلَا الصَّبِيَّ.
فَلَمَّا أَفَاقَا قَالَتِ الْمَرْأَةُ: وَاللَّهِ مَا تَرَكْتُمَا شَيْئًا
أَبَيْتُمَاهُ عَلِيَّ إِلَّا قَدْ فَعَلْتُمَاهُ حِينَ سَكِرْتُمَا. فخيرَا بَيْنَ
عَذَابِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ، فَاخْتَارَا عَذَابَ
الدُّنْيَا".
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami
Zuhair ibnu Muhammad, dari Musa ibnu Jubair, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar
r.a., bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya Adam a.s.
ketika diturunkan oleh Allah ke bumi, para malaikat berkata, "Wahai Tuhan,
mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman,
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Mereka bermaksud,
"Wahai Tuhan kami, kami lebih taat kepada-Mu daripada Bani Adam." Allah
berfirman kepada para malaikat, "Datangkanlah dua malaikat oleh kalian untuk
Kami turunkan ke bumi, lalu Kami lihat apa yang akan dikerjakan oleh keduanya."
Mereka berkata, "Wahai Tuhan kami, Harut dan Marut." Kemudian keduanya
diturunkan ke bumi, dan diciptakan bagi keduanya Zahrah, yaitu seorang wanita
yang paling cantik di masanya. Lalu Zahrah datang kepada keduanya, maka keduanya
meminta agar Zahrah menyerahkan diri kepadanya. Zahrah menjawab, "Tidak, demi
Allah, sebelum kamu berdua mengucapkan kalimat-kalimat ini (yang mengandung
makna kemusyrikan)." Kedua malaikat itu menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak
mau menyekutukan Allah dengan sesuatu pun untuk selama-lamanya." Zahrah pergi
dari keduanya, lalu kembali lagi dengan membawa seorang bayi laki-laki yang
digendongnya. Kedua malaikat itu meminta Zahrah agar menyerahkan diri kepada
keduanya, maka Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua membunuh
bayi kecil ini." Keduanya menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak akan
membunuhnya selama-lamanya." Zahrah pergi meninggalkan keduanya, lalu kembali
lagi dengan membawa sebuah wadah yang berisikan khamr. Ketika keduanya meminta
agar ia menyerahkan diri kepada keduanya, maka ia menjawab, "Tidak, demi Allah,
sebelum kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya meminum khamr itu hingga mabuk,
dan akhirnya keduanya menggauli Zahrah, lalu membunuh anak kecil itu." Ketika
keduanya sadar, si wanita itu (yakni Zahrah) berkata kepada keduanya, "Demi
Allah, tiada sesuatu pun" yang pada mulanya kamu berdua menolak kepadaku tidak
mau melakukannya, melainkan sekarang .kamu telah melakukannya di saat kamu
berdua mabuk." Akhirnya kedua malaikat itu disuruh memilih antara azab di dunia
dan azab di akhirat, maka keduanya memilih azab di dunia.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab
sahihnya melalui Al-Hasan, dari Sufyan, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari
Yahya ibnu Bukair. Hadis ini berpredikat garib ditinjau dari sanad ini; semua
perawinya berpredikat siqah, semuanya dari kalangan para perawi kitab Sahihain,
kecuali Musa ibnu Jubair. Dia adalah seorang dari Ansar, dari kabilah As-Sulami;
maula mereka adalah Al-Madini Al-Hazza.
Musa ibnu Jubair ini meriwayatkan hadisnya dari Ibnu Abbas, Abu Umamah ibnu
Sahl ibnu Hanif, Nafi', dan Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik. Orang-orang yang
telah mengambil hadis darinya ialah anak lelakinya sendiri (yaitu Abdus Salam),
Bakr ibnu Mudar, Zuhair ibnu Muhammad, Sa'id ibnu Salamah, Abdullah ibnu
Luhai'ah, Amr ibnul Haris, dan Yahya ibnu Ayyub. Orang-orang yang meriwayatkan
hadisnya ialah Abu Daud dan Ibnu Majah. Ibnu Abu Hatim di dalam kitab
Al-Jarhu wat Ta'dil menyebutkannya, tetapi dia tidak sedikit pun
menceritakan perihal pribadinya, baik yang menyangkut hadis ini atau pun yang
lainnya. Pada kesimpulannya dia adalah perawi yang keadaannya tidak diketahui.
Sesungguhnya dia menyendiri dengan hadis ini, dari Nafi' maula Ibnu Umar r.a.,
dari Nabi Saw. Tetapi menurut Ibnu Murdawaih, ada seorang mutabi’ yang
meriwayatkan hadis ini melalui Nafi' dari jalur lain, yaitu: Telah menceritakan
kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ali
ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Raja', telah
menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Musa
ibnu Sarjis, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw.
bersabda mengatakan hadis ini. Lalu ia menyebut hadis ini secara panjang
lebar.
Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Al-Qasim, telah menceritakan kepada Al-Husain (yakni Sunaid ibnu Daud, penulis
kitab tafsir), telah menceritakan kepada kami Al-Faraj ibnu Fudalah, dari
Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Nafi' menceritakan bahwa ia pernah bepergian
bersama Ibnu Umar. Ketika malam hari sampai pada penghujung waktunya, Ibnu Umar
berkata, "Hai Nafi', lihatlah apakah bintang merah telah terbit?" Aku menjawab,
"Belum," sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian aku katakan, "Ia telah terbit."
Ibnu Umar menjawab, "Tiada selamat terbit dan tiada selamat datang baginya." Aku
berkata, "Subhanallah (Mahasuci Allah), bintang itu diciptakan dalam
keadaan tunduk dan taat (kepada perintah Allah)." Ia menjawab bahwa tidak
sekali-kali ia mengatakan demikian melainkan setelah ia mendengar Rasulullah
Saw. bersabda kepadanya menceritakan kisah berikut, yaitu:
«إِنَّ
الْمَلَائِكَةَ قَالَتْ يَا رَبِّ كَيْفَ صَبْرُكَ عَلَى بَنِي آدَمَ فِي
الْخَطَايَا وَالذُّنُوبِ؟ قَالَ: إِنِّي ابْتَلَيْتُهُمْ وَعَافِيَتُكُمْ،
قَالُوا: لَوْ كُنَّا مَكَانَهُمْ مَا عَصَيْنَاكَ، قَالَ: فَاخْتَارُوا مَلَكَيْنِ
مِنْكُمْ، قَالَ: فَلَمْ يَأْلُوا جُهْدًا أَنْ يَخْتَارُوا فَاخْتَارُوا هَارُوتَ
وَمَارُوتَ»
Sesungguhnya para malaikat pernah berkata, "Wahai Tuhan, bagaimanakah
Engkau sabar terhadap Bani Adam yang gemar melakukan kesalahan-kesalahan dan
dosa-dosa itu?" Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan kepada
mereka, sedangkan kalian Kubebaskan dari cobaan." Mereka berkata, "Seandainya
kami menggantikan mereka, niscaya kami tidak akan durhaka kepada-Mu." Allah Swt.
berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat dari kalangan kalian.” Maka mereka
mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan pilihan, akhirnya mereka memilih
Harut dan Marut.
Riwayat ini pun sangat garib, dan yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal
ini ialah yang bersumber dari riwayat Abdullah ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar,
bukan dari Nabi Saw. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq di dalam kitab
tafsirnya, dari As-Sauri, dari Musa ibnu Uqbah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari
Ka'b Al-Ahbar yang menceritakan riwayat berikut:
Para malaikat membicarakan tentang amal perbuatan anak-anak Adam dan
dosa-dosa yang dilakukan mereka. Maka dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah
dua malaikat dari kalangan kalian.” Lalu mereka memilih Harut dan Marut, dan
Allah Swt. berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku akan mengirimkan para
rasul kepada Bani Adam, tetapi antara Aku dan kamu berdua tidak ada rasul.
Turunlah kamu berdua (ke bumi); janganlah kamu sekutukan Aku dengan sesuatu pun,
jangan berzina, dan jangan minum khamr." Ka'b melanjutkan kisahnya, "Demi Allah,
tidak sekali-kali keduanya mengalami sore hari pada hari mereka diturunkan ke
bumi, melainkan keduanya telah rampung mengerjakan semua hal yang keduanya
dilarang melakukannya."
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui dua jalur periwayatan dari
Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari
Ahmad ibnu Isham, dari Muammal, dari Sufyan As-Sauri dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah
menceritakan kepada kami Al-MA’la (yaitu Ibnu Asad), telah menceritakan kepada
kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar, dari Musa ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku
Salim, bahwa ia pernah mendengar Abdullah menceritakan riwayat berikut dari Ka'b
ibnul Ahbar, lalu ia mengetengahkannya.
Riwayat terakhir ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya (sandarannya) sampai
kepada Abdullah ibnu Umar daripada kedua sanad sebelumnya. Salim lebih kuat
predikatnya bila dinisbatkan kepada ayahnya sendiri ketimbang kepada maulanya,
Nafi'. Hadis ini merujuk dan berpangkal kepada nukilan Ka'b Al-Ahbar yang ia
ambil dari kitab-kitab Bani Israil.
Asar yang menceritakan Harut,
Marut dan Zahrah
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah
menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari
Khalid Al-Hazza, dari Umair ibnu Sa'id yang menceritakan bahwa ia pernah
mendengar Ali r.a. menceritakan asar berikut:
Zahrah adalah seorang wanita cantik dari kalangan penduduk negeri Persia.
Sesungguhnya ia pernah mengadukan suatu perkara kep-da dua malaikat, yaitu Harut
dan Marut. Akan tetapi, Harut dan Marut merayunya agar mau menyerahkan diri
kepada keduanya. Ia menolak ajakan tersebut, kecuali bila keduanya mengajarkan
kepadanya suatu mantera yang bila dibacakan oleh seseorang, maka ia dapat
terbang naik ke langit. Lalu keduanya mengajarkan mantera itu kepadanya, dan ia
segera merapalkannya. Maka naiklah ia ke langit, tetapi setelah itu ia dikutuk
(oleh Allah Swt.) menjadi sebuah bintang (yaitu bintang Zahrah atau Venus).
Sanad riwayat ini semua perawinya berpredikat siqah, tetapi dinilai sangat
garib (aneh).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu
Syazan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan
kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari
Abu Khalid, dari Umair ibnu Sa'id, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa keduanya
adalah malaikat dari langit. Yang dimaksud ialah takwil yang terkandung di dalam
firman-Nya: dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat. (Al-Baqarah:
102)
Asar ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam
kitab tafsirnya berikut sanadnya melalui Mugis, dari maulanya (yaitu Ja'far ibnu
Muhammad), dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali secara marfu'. Hal ini pun
tidak dapat menguatkan sanad hanya dari segi ini.
Kemudian Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui dua jalur yang
lain, dari Jabir, dari Abut Tufail, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَعَنَ
اللَّهُ الزُّهَرَةَ فَإِنَّهَا هِيَ التِي فَتَنَتِ الْمَلَكَيْنِ هَارُوتَ
وَمَارُوتَ»
Semoga Allah melaknat Zahrah, karena sesungguhnya dialah yang memfitnah
dua malaikat, yaitu Harut dan Marut.
Hadis ini pun tidak sahih, bahkan berpredikat munkar sekali.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada
kami Hammad, dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud dan
Ibnu Abbas, bahwa keduanya pernah menceritakan asar berikut:
Ketika Bani Adam bertambah banyak jumlahnya dan mereka sering melakukan
maksiat, maka para malaikat, bumi, dan gunung-gunung mendoakan kebinasaan bagi
mereka, "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau tangguhkan mereka." Maka Allah Swt.
berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya telah Aku lenyapkan dari hati
kalian nafsu berahi dan setan, sedangkan di dalam hati mereka Aku jadikan nafsu
berahi dan setan. Seandainya kalian menduduki tempat mereka, niscaya kalian pun
akan melakukan hal yang sama." Maka dalam hati para malaikat terdetik kata-kata
yang mengatakan, "Seandainya mereka dicoba, niscaya mereka akan berteguh hati."
Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan
malaikat yang paling utama dari kalian." Lalu mereka memilih Harut dan Marut,
kemudian keduanya diturunkan ke bumi.
Lalu Zahrah diturunkan dalam rupa seorang wanita cantik dari kalangan
penduduk negeri Persia yang dikenal oleh mereka dengan sebutan Baizakhat.
Akhirnya kedua malaikat itu terjerumus ke dalam perbuatan yang berdosa. Pada
mulanya malaikat selalu memohonkan ampunan buat orang-orang yang beriman saja
(seraya mengucapkan): Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi
segala sesuatu..., hingga akhir ayat, (Al-Mu’min: 7).
Akan tetapi, setelah kedua malaikat tersebut terjerumus ke dalam perbuatan
dosa, maka mereka memohonkan arnpun buat semua orang yang berada di muka bumi
(seraya mengucapkan): Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Asy-Syura: 5)
Lalu keduanya disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat, maka
keduanya memilih azab di dunia.
Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far Ar-Ruqi, telah menceritakan kepada
kami Abdullah (yakni Ibnu Amr), dari Zaid ibnu Abu Anisah, dari Al-Minhal ibnu
Amr dan Yunus ibnu Khabbab, dari Mujahid yang menceritakan asar berikut:
Aku turun istirahat di rumah Abdullah ibnu Amr dalam suatu perjalananku.
Ketika datang suatu malam, ia berkata kepada pelayannya, "Lihatlah apakah
bintang Hamra terbit? Tiada selamat datang dan tiada selamat terbit buatnya, dan
semoga Allah tidak menghidupkannya lagi; dia adalah teman wanita dari dua
malaikat."
Ibnu Umar melanjutkan kisahnya bahwa pada mulanya para malaikat berkata,
"Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau biarkan saja orang-orang durhaka dari kalangan
Bani Adam itu? Mereka gemar mengalirkan darah secara haram, mengerjakan hal-hal
yang diharamkan oleh-Mu, dan membuat kerusakan di muka bumi." Allah Swt.
berfirman, "Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan terhadap mereka. Barangkali jika
Aku timpakan kepada kalian cobaan yang sama seperti cobaan yang Kutimpakan
kepada mereka, maka kalian pun akan mengerjakan seperti apa yang dilakukan
mereka itu." Mereka menjawab, "Tidak mungkin."
Allah Swt. berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat yang terkemuka dari
kalian." Maka mereka memilih Harut dan Marut. Allah Swt. berfirman kepada
keduanya, "Sesungguhnya Aku akan menurunkan kamu berdua ke bumi dan mengadakan
perjanjian dengan kamu, bahwa kamu tidak boleh musyrik, tidak boleh berzina, dan
tidak boleh khianat." Kedua malaikat itu diturunkan ke bumi dan Allah memberinya
nafsu syahwat, lalu Allah pun menurunkan Zahrah bersama keduanya dalam rupa
seorang wanita yang paling cantik.
Zahrah menampilkan diri kepada keduanya, maka keduanya merayu Zahrah agar
menyerahkan diri kepada keduanya. Tetapi Zahrah berkata, "Sesungguhnya aku
adalah.pemeluk suatu agama yang melarang seseorang mendatangiku kecuali jika
orang itu seagama denganku," Keduanya bertanya, "Apakah agamamu?" Zahrah
menjawab, "Majusi." Keduanya berkata, "Agama musyrik. Ini adalah agama yang sama
sekali tidak kami akui." Maka Zahrah pergi meninggalkan keduanya selama masa
yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Kemudian Zahrah menampakkan diri lagi kepada keduanya, lalu keduanya
merayunya agar menyerahkan diri kepada keduanya, tetapi Zahrah menjawab, "Aku
mau menuruti kehendakmu berdua, hanya saja aku mempunyai suami dan aku tidak
suka bila suamiku nanti mengetahui perbuatanku yang akibatnya rahasiaku akan
terbongkar. Akan tetapi, jika kamu berdua berjanji kepadaku mau masuk agamaku
dan mengajarkan kepadaku cara naik ke langit, niscaya aku akan memenuhi
kemauanmu."
Keduanya memasuki agama wanita itu dan mendatanginya seperti apa yang
dikehendaki oleh keduanya. Setelah itu keduanya membawa Zahrah naik ke langit.
Tetapi setelah mereka sampai di langit, wanita itu diculik dari tangan keduanya,
dan sayap keduanya dipotong hingga akhirnya keduanya terjatuh ke bumi dalam
keadaan takut, menyesal, dan menangisi perbuatannya.
Pada masa itu di bumi terdapat seorang nabi yang selalu memanjatkan doa di
antara dua Jumat; apabila datang hari Jumat berikutnya, maka doanya
diperkenankan. Keduanya berkata "Sebaiknya kita datang kepada si Fulan (nabi
tersebut), lalu kita meminta kepadanya agar sudi memohonkan tobat buat kita."
Keduanya datang kepada nabi itu, lalu si nabi berkata, "Semoga Allah mengasihani
kamu berdua, mana mungkin penduduk bumi memohonkan tobat buat penduduk langit?"
Keduanya berkata, "Sesungguhnya kami telah tertimpa cobaan." Nabi berkata,
"Kalau demikian, datanglah kamu berdua pada hari Jumat." Pada hari Jumat
keduanya datang kepada nabi itu, dan nabi berkata, "Aku masih belum dikabulkan
barang sedikit pun buat kamu berdua. Sebaiknya kamu datang lagi kepadaku pada
hari Jumat berikutnya." Maka keduanya datang kepadanya pada Jumat
berikutnya.
Nabi itu berkata, "Kamu berdua harus memilih, karena sesungguhnya kamu
disuruh memilih salah satu di antara dua alternatif. Kamu boleh memilih selamat
di dunia dan azab di akhirat. Atau jika kamu suka, boleh memilih azab di dunia,
sedangkan di akhirat urusan kamu berdua berada di tangan kekuasaan Allah."
Salah satu dari keduanya berkata, "Sesungguhnya masa yang dilalui oleh dunia
baru sebentar." Yang lain mengatakan, "Celakalah kamu, sesungguhnya aku pada
mulanya mau menuruti kemauanmu, sekarang kamu harus mau menuruti kemauanku.
Sesungguhnya azab yang fana (azab di dunia) tidaklah seperti azab yang kekal
(azab di akhirat)." Malaikat pertama berkata, "Sesungguhnya kita di hari kiamat
nanti berada dalam tangan kekuasaan Allah, maka aku merasa ta-kut bila Dia
mengazab kita nantinya." Malaikat yang kedua menjawab, "Tidak, sesungguhnya aku
berharap Allah pasti mengetahui bahwa kita telah memilih azab di dunia karena
takut azab akhirat, semoga saja Dia tidak menggabungkan keduanya pada kita."
Keduanya sepakat memilih azab di dunia, maka keduanya dijungkirkan dalam
keadaan terikat oleh rantai besi ke dalam sebuah lubang yang bagian atas dan
bagian bawahnya dipenuhi dengan api.
Sanad riwayat ini berpredikat jayyid (baik) sampai kepada Abdullah ibnu Umar.
Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan predikat marfu' pada riwayat Ibnu
Jarir melalui hadis Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Akan tetapi, sanad riwayat
ini lebih kuat dan lebih sahih. Kemudian perlu diketahui bahwa riwayat Ibnu Umar
bersumber dari Ka'b, seperti yang diterangkan dahulu pada riwayat Salim, dari
ayahnya.
Bagian hadis yang mengatakan bahwa sesungguhnya Zahrah d-turunkan dalam rupa
seorang wanita yang cantik —demikianlah menurut riwayat dari Ali— di dalamnya
terkandung hal yang sangat aneh.
Asar paling dekat kepada kebenaran sehubungan dengan masalah ini ialah apa
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu
Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Abu
Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad,
dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan kisah berikut:
Ketika manusia sesudah masa Nabi Adam a.s. terjerumus ke dalam
perbuatan-perbuatan maksiat dan kufur kepada Allah, maka para malaikat yang ada
di langit berkata, "Wahai Tuhan, makhluk yang telah Engkau ciptakan hanya untuk
beribadah dan taat kepada-Mu kini telah terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan
yang membinasakan. Mereka mengerjakan kekufuran, membunuh jiwa, memakan harta
haram, zina, mencuri, dan minum khamr." Lalu para malaikat mengutuk perbuatan
mereka dan tidak memaafkan mereka. Ketika dikatakan kepada para malaikat bahwa
mereka dalam keadaan tidak sadar, maka para malaikat tetap pada sikapnya.
Dikatakan kepada mereka (para malaikat), "Pilihlah oleh kalian dua malaikat
yang paling utama di antara kalian, Aku akan membebankan perintah dan larangan
kepadanya." Lalu mereka memilih Harut dan Marut, keduanya diturunkan ke bumi,
dan dibekalkan kepada keduanya berbagai macam hawa nafsu seperti Bani Adam
(manusia). Allah memerintahkan kepada keduanya agar menyembah-Nya dan jangan
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Allah melarangnya membunuh jiwa yang
diharamkan dan memakan harta yang haram, serta melarangnya berzina, mencuri, dan
minum khamr.
Keduanya tinggal di bumi seraya memutuskan hukum di antara manusia secara hak
selama beberapa waktu. Hal ini terjadi di masa Nabi Idris a.s.
Di zaman itu terdapat seorang wanita yang kecantikannya di antara
wanita-wanita lainnya sama dengan kecantikan bintang Zahrah (Venus) di antara
bintang-bintang lainnya. Kedua malaikat itu sering datang kepadanya, dan
akhirnya keduanya menuruti apa yang dikatakan oleh wanita itu. Keduanya
menginginkan diri wanita itu, tetapi si wanita menolak kecuali jika keduanya
menuruti apa yang dikatakannya dan memasuki agamanya. Keduanya bertanya kepada
si wanita tentang agama yang dipeluknya, lalu si wanita mengeluarkan sebuah
berhala untuk keduanya dan berkata, "Sembahlah ini!" Kedua malaikat menjawab,
"Kami tidak perlu menyembah berhala ini." Lalu keduanya pergi dan tidak datang
lagi selama masa yang dikehendaki oleh Allah.
Keduanya datang lagi kepada wanita itu dan menginginkan diri wanita tersebut,
sedangkan si wanita melakukan hal yang sama, lalu keduanya pergi
meninggalkannya. Akan tetapi, setelah itu keduanya datang lagi dan menginginkan
diri si wanita itu.
Ketika si wanita melihat bahwa keduanya tetap menolak —tidak mau menyembah
berhala— maka berkatalah ia, "Pilihlah olehmu salah satu di antara ketiga
perkara ini, yaitu apakah kamu berdua menyembah berhala ini, atau kamu berdua
membunuh jiwa ini, atau kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya mengatakan,
"Semuanya tidak pantas dilakukan, tetapi yang ringan dari kesemuanya ialah
meminum khamr." Maka keduanya meminum khamr itu hingga mabuk. Akhirnya mereka
berdua menggauli wanita itu; dan karena rasa takut perbuatan keduanya akan
diceritakan kepada orang lain, maka keduanya membunuh orang tersebut.
Ketika rasa mabuk telah lenyap dari keduanya dan keduanya menyadari perbuatan
dosa yang telah dilakukannya, maka keduanya bermaksud naik ke langit; tetapi
tidak bisa, seakan-akan keduanya dihalangi hingga tidak dapat terbang.
Tersingkaplah penutup antara keduanya dan semua malaikat penduduk langit. Maka
para malaikat melihat apa yang telah dilakukan oleh keduanya hingga mereka semua
merasa sangat heran. Akhirnya mereka mengetahui bahwa orang yang dalam keadaan
tidak sadar, rasa takutnya berkurang. Sejak itu para malaikat memohonkan ampun
buat penduduk bumi.
Sehubungan dengan kisah tersebut diturunkanlah ayat berikut, yaitu
firman-Nya: Dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-Nya dan
memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. (Asy-Syura: 5)
Lalu dikatakan kepada keduanya, "Pilihlah oleh kamu berdua azab dunia atau
azab akhirat." Keduanya berkata, "Adapun azab dunia, sesungguhnya ia ada masa
akhirnya dan berhenti, sedangkan azab akhirat tidak ada putus-putusnya."
Keduanya memilih azab di dunia, lalu keduanya diazab di negeri Babil.
Asar ini diriwayatkan pula secara panjang lebar oleh Imam Hakim di dalam
kitab Mustadrak-nya melalui Abu Zakaria Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus
Salam, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Hakkam ibnu Salam Ar-Razi (dia seorang
yang siqah), dari Abu Ja'far Ar-Razi dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Hakim
mengatakan bahwa asar ini sahih sanadnya, hanya keduanya (Imam Bukhari dan Imam
Muslim) tidak mengetengahkannya. Asar ini merupakan riwayat yang lebih dekat
kepada kebenaran dalam masalah Zahrah ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul
Fadl Al-Hazza'i, telah menceritakan kepada kami Yazid (yakni Al-Farisi), dari
Ibnu Abbas yang menceritakan asar berikut:
Bahwa penduduk langit dunia memandang kepada penduduk bumi, maka penduduk
langit (para malaikat) melihat mereka sering mengerjakan
kemaksiatan-kemaksiatan. Lalu para malaikat berkata, "Wahai Tuhan kami, penduduk
bumi gemar mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat." Allah Swt. berfirman,
"Kalian selalu bersama-Ku, sedangkan mereka dalam keadaan tidak dapat melihat
Aku." Lalu dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dari kalian tiga malaikat,"
maka mereka memilih tiga malaikat dari kalangan mereka untuk turun ke bumi
dengan syarat hendaknya mereka memutuskan perkara-perkara di antara manusia
penduduk bumi. Allah menjadikan dalam diri mereka syahwat seperti yang ada pada
manusia. Mereka diperintahkan agar jangan minum khamr, jangan membunuh jiwa,
jangan berzina, dan jangan sujud kepada berhala. Akan tetapi, salah satu dari
ketiga malaikat itu mengundurkan diri, hingga akhirnya hanya tinggal dua
malaikat saja yang diturunkan ke bumi.
Keduanya kedatangan seorang wanita yang paling cantik di masanya, namanya
Manahiyah. Keduanya sama-sama jatuh cinta kepada wanita itu. Kemudian keduanya
mendatangi rumah wanita tersebut, lalu berkumpul di dalam rumahnya, dan akhirnya
keduanya menginginkan wanita itu. Maka wanita itu berkata kepada keduanya, "Aku
tidak mau melayani kalian sebelum kalian minum khamrku, membunuh anak
tetanggaku, dan sujud kepada berhalaku."
Keduanya berkata, "Kami tidak akan sujud." Kemudian keduanya minum khamr.
Akhirnya keduanya melakukan pembunuhan dan sujud kepada berhala itu. Maka semua
penduduk langit (para malaikat) melihat perbuatan keduanya itu.
Selanjutnya si wanita itu berkata kepada keduanya, "Ceritakanlah kepadaku
mantera-mantera yang bila kalian baca, maka kalian dapat terbang." Keduanya
menceritakan mantera-mantera tersebut kepadanya, akhirnya ia terbang. Setelah ia
terbang, maka ia dikutuk menjadi bara api, yaitu menjadi bintang Zahrah (Venus).
Sedangkan kepada kedua malaikat tersebut diutus Nabi Sulaiman ibnu Daud, lalu
Nabi Sulaiman menceritakan kepadanya apa yang diperintahkan oleh Allah
kepadanya; keduanya disuruh memilih antara siksa di dunia atau siksa di akhirat
Ternyata keduanya memilih siksa di dunia, maka keduanya digantungkan di antara
langit dan bumi.
Di dalam konteks riwayat ini terdapat banyak tambahan. keanehan, dan hal-hal
yang tidak masuk akal.
Abdur Razzaq mengatakan, Ma'mar pernah menceritakan bahwa Qatadah dan
Az-Zuhri pernah menceritakan kisah berikut dari Ubaidillah bin Abdullah
sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan apa yang diturunkan kepada dua
malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)
Keduanya adalah dari kalangan para malaikat, mereka diturunkan ke bumi untuk
memutuskan hukum di antara manusia. Demikian itu karena pada mulanya para
malaikat memperolok-olokkan para hakim dari kalangan Bani Adam. (Setelah
keduanya menjadi hakim di antara manusia), maka datanglah seorang wanita kepada
keduanya untuk meminta peradilan, tetapi keduanya berbuat zalim terhadapnya.
Setelah itu keduanya pergi naik ke langit, tetapi ternyata keduanya tidak dapat
terbang lagi, seakan-akan ada penghalangnya. Kemudian keduanya disuruh memilih
antara azab di dunia atau azab di akhirat. Maka keduanya memilih azab di
dunia.
Ma'mar mengatakan bahwa Qatadah berkata, "Kedua malaikat tersebut mengajarkan
ilmu sihir kepada manusia, maka disyaratkan bagi keduanya tidak boleh
mengajarkan ilmu sihir kepada seseorang sebelum keduanya mengatakan kepada orang
tersebut, 'Sesungguhnya kami hanyalah cobaan, maka janganlah kamu berbuat
kekufuran'."
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi yang mengatakan bahwa pada awalnya perkara
yang dialami oleh Harut dan Marut adalah, keduanya mencela penduduk bumi karena
keputusan-keputusan hukum yang mereka laksanakan. Dikatakan kepada keduanya,
"Sesungguhnya Aku memberikan sepuluh macam syahwat kepada Bani Adam. Karena
syahwat itulah mereka berbuat durhaka kepada-Ku." Harut dan Marut berkata,
"Wahai Tuhan kami, seandainya Engkau memberikan kepada kami nafsu-nafsu syahwat
tersebut, lalu kami turun ke bumi, niscaya kami akan menghukumi mereka dengan
cara yang adil." Maka Allah berfirman kepada keduanya, "Sekarang turunlah kamu
berdua ke bumi, sesungguhnya Aku telah memberimu kesepuluh nafsu syahwat
tersebut, dan putuskanlah hukum di antara manusia!"
Keduanya turun di negeri Babil, yaitu di Dainawan. Lalu keduanya menjalankan
hukum peradilan, dan apabila sore hari keduanya kembali naik ke langit. Apabila
pagi hari, keduanya turun untuk melaksanakan tugasnya. Keduanya terus dalam
keadaan demikian selama beberapa masa, hingga datanglah kepada keduanya seorang
wanita yang mengadukan masalah suaminya. Keduanya tertarik oleh kecantikan
wanita itu, nama wanita tersebut menurut bahasa Arab adalah Zahrah, menurut
bahasa Nabat Baidakhat, sedangkan menurut bahasa Persia disebut Anahid.
Salah seorang dari kedua malaikat berkata kepada yang lainnya, "Sesungguhnya
wanita ini benar-benar memikat hatiku." Malaikat yang lain berkata,
"Sesungguhnya aku pun bermaksud mengatakan hal yang sama kepadamu, tetapi aku
merasa malu." Maka malaikat pertama berkata, "Bagaimanakah pendapatmu jika aku
kemukakan kepadanya kemauan kita terhadap dirinya?" Malaikat yang kedua
menjawab, "Setuju." Malaikat pertama bertanya, "Akan tetapi, bagaimana dengan
azab Allah?" Malaikat yang kedua menjawab, "Sesungguhnya kita berharap akan
rahmat (ampunan) Allah."
Ketika wanita itu datang kepada keduanya mengadukan perkara suaminya, maka
dikemukakan kepada si wanita tersebut maksud dan keinginan keduanya terhadap
diri si wanita itu. Tetapi wanita itu menjawab, "Tidak, sebelum kamu berdua
memutuskan perkara suamiku untuk kemenangan diriku." Lalu keduanya memutuskan
perkara untuk kemenangan si wanita atas suaminya, kemudian wanita itu
menjanjikan kepada kedua malaikat tersebut bahwa dirinya akan datang menemui
keduanya di suatu tempat yang sepi di antara tempat-tempat yang tak
berpenghuni.
Lalu keduanya datang ke tempat tersebut memenuhi janji wanita itu. Tetapi
ketika keduanya hendak melampiaskan keinginannya, si wanita berkata, "Aku tidak
akan memenuhi keinginanmu sebelum kamu berdua menceritakan kepadaku mantera yang
menyebabkan kamu berdua dapat terbang naik ke langit, juga mantera yang
menyebabkan kamu dapat turun darinya." Lalu keduanya menceritakan mantera
tersebut kepada si wanita. Wanita itu membacanya, lalu ia dapat terbang ke
langit. Akan tetapi, Allah membuatnya lupa kepada mantera yang menyebabkan dia
dapat turun. Maka ia tetap berada di tempatnya, dan Allah mengutuknya menjadi
bintang.
Tersebutlah bahwa apabila Abdullah ibnu Umar melihat bintang tersebut, dia
melaknatnya dan mengatakan, "Bintang inilah yang telah memfitnah Harut dan
Marut."
Sedangkan yang dialami oleh kedua malaikat tersebut adalah: Ketika sore hari
keduanya hendak naik ke langit, tetapi ternyata keduanya tidak mampu
melakukannya, hingga keduanya merasakan bahwa dirinya pasti binasa. Maka
keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Keduanya
memilih azab di dunia, lalu keduanya digantung di negeri Babil; dan sejak itu
keduanya menceritakan kepada orang-orang tentang perkataan yang telah diucapkan
oleh si wanita tersebut, yakni ilmu sihir.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, bahwa perihal yang dialami oleh
Harut dan Marut pada mulanya ialah karena para malaikat merasa heran dengan
perbuatan zalim yang dilakukan oleh Bani Adam, padahal rasul-rasul dan
kitab-kitab serta keterangan-keterangan (mukjizat-mukjizat) telah didatangkan
kepada mereka. Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dari kalian dua
malaikat, Aku akan menurunkan keduanya guna memutuskan peradilan di muka bumi."
Lalu mereka mengadakan pilihan di antara sesama mereka, ternyata Harut dan Marut
tidak menolak.
Ketika menurunkan keduanya ke bumi, Allah berfirman kepada keduanya, "Kalian
berdua merasa heran terhadap Bani Adam atas kezaliman dan kedurhakaan mereka,
padahal mereka telah didatangi oleh para rasul dan kitab-kitab dari suatu masa
ke masa yang lain. Sesungguhnya kini antara Aku dan kamu berdua tidak ada
seorang rasul pun. Maka lakukanlah demikian dan demikian, dan serukanlah
demikian dan demikian." Allah memberikan kepadanya beberapa perintah dan
beberapa larangan, dan keduanya turun dengan membawa misi tersebut.
Tiada seorang pun yang lebih taat kepada Allah daripada keduanya, keduanya
memutuskan hukum (di antara manusia) dengan keputusan yang adil. Keduanya
melakukan tugas peradilannya di siang hari di antara Bani Adam; dan apabila
petang hari, "keduanya naik ke Langit dan bergabung bersama malaikat lainnya.
Keduanya turun kembali ke bumi pada pagi harinya, lalu memutuskan peradilan
dengan cara yang adil.
Hal tersebut berlangsung pada keduanya hingga diturunkan kepada keduanya
Zahrah dalam rupa seorang wanita yang paling cantik. Ia datang mengadukan
perkara suaminya, lalu keduanya memutuskan peradilan untuk kekalahan pihak si
wanita tersebut. Ketika wanita itu bangkit hendak pergi, maka masing-masing dari
kedua malaikat tersebut merasakan sesuatu pada dirinya terhadap diri si wanita
itu. Maka salah seorang berkata kepada temannya, "Apakah engkau merasakan hal
yang sama seperti yang aku rasakan sekarang?" Temannya menjawab, "Ya." Maka
keduanya mengirimkan utusan kepada si wanita untuk menyampaikan pesan keduanya,
bahwa hendaknya si wanita tersebut datang lagi dan keduanya akan memutuskan
peradilan untuk kemenangannya.
Ketika wanita itu kembali kepada keduanya, mereka mengutarakan hasratnya
kepada wanita itu dan memutuskan peradilan untuk kemenangan si wanita. Maka
keduanya mendatanginya dan membuka aurat keduanya. Sesungguhnya aurat keduanya
ada pada napas keduanya, dan syahwat keduanya serta kelezatannya terhadap wanita
tidak sama dengan yang ada pada Bani Adam. Setelah keduanya sampai pada tahap
tersebut dan menghalalkan perbuatan yang haram serta terjerat ke dalam fitnah
wanita tersebut, maka wanita itu —yakni Zahrah— terbang dan kembali ke tempatnya
semula.
Pada sore harinya ketika keduanya hendak naik, tiba-tiba keduanya dilarang
untuk naik, dan kedua sayapnya tidak mau lagi membawanya terbang. Lalu keduanya
meminta tolong kepada seorang lelaki dari kalangan Bani Adam. Keduanya datang
kepadanya dan mengatakan, "Berdoalah kepada Tuhanmu buat kami." Si lelaki (nabi)
menjawab, "Mana mungkin penduduk bumi memohon syafaat buat penduduk langit?'"
Keduanya berkata, "Kami pernah mendengar beritamu yang disebutkan oleh Tuhanmu
dengan sebutan yang baik di langit."
Kemudian si lelaki itu menjanjikan kepadanya suatu janji di suatu hari yang
pada hari itu dia mendoakan buat keduanya. Si lelaki itu berdoa untuk keduanya
dan diperkenankan baginya, maka keduanya disuruh memilih antara azab di dunia
atau azab di akhirat. Masing-masing memandang kepada temannya dan berkata,
"Tahukah kamu bahwa gelombang-gelombang azab Allah di akhirat demikian dan
demikian dalam keadaan kekal dan abadi, sedangkan azab di dunia yang seperti itu
hanya sembilan kali." Keduanya diperintahkan agar tinggal di Babil, lalu di
tempat itulah keduanya diazab. Diduga bahwa keduanya digantung dengan rantai
besi dalam keadaan terbalik, sedangkan kedua sayapnya digerak-gerakkannya.
Sehubungan dengan kisah Harut dan Marut ini sejumlah tabi'in telah
mengetengahkan riwayatnya, misalnya Mujahid, As-Saddi, Al-Hasan Al-Basri,
Qatadah, -Abul Aliyah, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, dan
lain-lainnya. Ulama ahli tafsir dari kalangan Mufassirin terdahulu dan yang
kemudian mengetengahkannya pula, tetapi pada kesimpulannya semuanya itu merujuk
kepada kisah-kisah dari Bani Israil dalam semua rinciannya, mengingat tiada
suatu hadis yang marfu' lagi sahih mengenainya yang muttasil (berhubungan)
kepada Nabi Saw. yang tidak pernah berbicara dari dirinya sendiri melainkan dari
wahyu yang diturunkan kepadanya.
Sedangkan pengertian lahiriah dari konteks yang disajikan oleh Al-Qur'an
adalah garis besar dari kisah tersebut tanpa rincian dan tanpa pembahasan
panjang lebar. Maka kewajiban kita hanya beriman dengan semua yang disebut oleh
Al-Qur'an menurut apa yang dikehendaki oleh Allah Swt., karena hanya Dialah Yang
Maha Mengetahui hal yang sebenarnya.
Akan tetapi, sehubungan dengan kisah ini terdapat sebuah asar yang garib
dengan rangkaian kisah yang aneh, sengaja kami mengetengahkannya dalam
pembahasan ini untuk dijadikan sebagai peringatan. Imam Abu Ja'far ibnu Jarir
rahimahullah menceritakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu
Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Abuz Zanad, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. (istri Nabi Saw.) yang menceritakan asar
berikut:
Pernah ada seorang wanita dari Daumatul Jandal datang kepadaku ingin bersua
dengan Rasulullah Saw. Hal itu terjadi dalam waktu yang tidak begitu lama
setelah Rasulullah Saw. wafat. Dia bermaksud bertanya kepada Rasulullah Saw.
tentang beberapa hal yang telah memasuki dirinya, berupa ilmu sihir; tetapi dia
tidak mengamalkannya. Maka Siti Aisyah berkata kepada Urwah, "Hai keponakanku."
Kulihat wanita itu menangis ketika dia mengetahui bahwa Rasulullah Saw. telah
wafat, yang mana keberadaan Rasulullah Saw. merupakan harapan bagi
kesembuhannya. Dia terus menangis hingga aku benar-benar merasa kasihan
kepadanya. Wanita itu berkata, "Sesungguhnya aku merasa khawatir bila aku
menjadi orang yang binasa. Pada mulanya aku mempunyai suami, lalu suamiku pergi
meninggalkanku. Kemudian datanglah seorang nenek-nenek memasuki rumahku, maka
aku mengadukan penderitaanku kepadanya. Nenek itu berkata, 'Jika kamu mau
melakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka aku dapat membuat suamimu datang
kepadamu.'
Ketika hari telah malam, nenek tersebut datang kepadaku membawa dua ekor
anjing hitam yang besar. Dia menaiki salah satunya, sedangkan aku menaiki yang
lainnya. Herannya dalam waktu yang sebentar kami telah berada di negeri Babil,
dan tiba-tiba kami bersua dengan dua orang lelaki yang kedua kakinya dalam
keadaan tergantung ke atas. Lalu keduanya berkata, 'Apakah gerangan yang
mendorongmu datang kemari?' Aku menjawab, 'Kami datang untuk belajar ilmu
sihir.' Keduanya berkata, 'Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu. Sebab itu,
janganlah kamu kafir, maka kembalilah kamu.' Aku menolak dan berkata, 'Tidak.'
Keduanya berkata, 'Kalau demikian, pergilah kamu ke tempat pemanggangan roti
itu, lalu kencingilah.'
Aku berangkat (menuju ke tempat pemanggangan roti itu), tetapi aku merasa
takut dan tidak jadi melakukannya, lalu aku kembali kepada keduanya. Keduanya
berkata, 'Apakah engkau telah melakukannya?' Aku menjawab (dengan pura-pura),
'Ya.' Keduanya bertanya, 'Apakah engkau melihat sesuatu?' Aku menjawab, 'Aku
tidak melihat sesuatu pun." Keduanya berkata, 'Kamu masih belum melakukannya,
sekarang kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu kufur.'
Aku merasa ragu dan bimbang. Akhirnya aku menolak, tidak mau kembali. Maka
keduanya berkata, 'Pergilah kamu ke pemanggangan roti itu dan kencingilah.' Aku
pergi ke pemanggangan roti itu, tetapi bulu kudukku berdiri dan aku merasa
takut. Maka aku kembali lagi kepada keduanya, dan aku katakan bahwa aku telah
melakukannya. Keduanya bertanya, 'Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab, 'Aku
tidak melihat sesuatu pun.' Keduanya menjawab, 'Kamu dusta, kamu masih belum
melakukannya. Sekarang kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu berbuat kufur,
karena sesungguhnya kamu sedang berada di puncak urusanmu.'
Aku merasa bimbang, dan akhirnya aku menolak, tidak mau kembali. Lalu
keduanya berkata, 'Pergilah kamu ke pemanggangan roti itu dan kencingilah.' Maka
aku pergi ke tempat pemanggangan roti tersebut, lalu aku kencing di situ. Aku
melihat seekor kuda yang memakai tutup kepala dari besi keluar dari diriku, dan
kuda itu terbang ke langit hingga tak tampak lagi olehku.
Kemudian aku datang kepada keduanya, dan kukatakan bahwa aku telah melakukan
perintahnya. Maka keduanya bertanya, 'Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab,
'Aku melihat seekor kuda yang kepalanya ditutupi keluar dari diriku, lalu
terbang ke langit hingga aku tidak melihatnya lagi.' Keduanya menjawab, 'Kamu
benar, kuda tersebut ibarat imanmu yang keluar dari dirimu. Sekarang pergilah
kamu.'
Lalu aku berkata kepada nenek-nenek yang menemaniku itu, 'Demi Allah, aku
tidak mengetahui sesuatu pun dan keduanya tidak mengajarkan sesuatu pun
kepadaku.' Nenek itu berkata, 'Tidak. Bahkan apa yang kamu inginkan niscaya akan
terjadi. Sekarang ambillah bibit gandum ini, lalu semaikanlah!' Lalu aku menanam
bibit gandum itu dan kukatakan, 'Tumbuhlah!' Maka tumbuhlah ia menjadi pohon
gandum yang sudah masak. Aku berkata lagi, 'Panenlah kamu!' Maka tanaman gandum
itu panen dengan sendirinya. Kemudian kukatakan, 'Pisahkanlah biji-bijianmu!'
Maka biji-bijinya memisah dengan sendirinya. Kemudian kukatakan kepadanya,
'Keringlah kamu!' Maka keringlah ia dengan sendirinya. Kukatakan kepadanya,
'Jadilah kamu tepung!' Maka ia menjadi tepung dengan sendirinya. Lalu kukatakan
pula, 'Jadi rotilah kamu!' Maka ia menjadi roti. Ketika aku melihat bahwa tidak
sekali-kali diriku menginginkan sesuatu melainkan pasti terjadi, maka aku merasa
menyesal dan kecewa."
Wanita itu berkata, "Demi Allah, wahai Ummul Mu’minin, aku belum melakukan
sesuatu pun dan aku tidak akan mengerjakannya selama-lamanya."
Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ar-Rabi' ibnu Salman
dengan lafaz yang sama secara panjang lebar seperti asar yang baru diuraikan
tadi. Tetapi di dalam riwayatnya kali ini sesudah ucapan wanita itu, "Aku tidak
akan mengerjakannya untuk selama-lamanya," ditambahkan hal seperti berikut:
Maka aku (Siti Aisyah) bertanya kepada para sahabat Rasulullah Saw. yang saat
itu mereka baru ditinggalkan oleh Rasulullah Saw., dan jumlah mereka cukup
banyak. Tetapi ternyata mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka katakan
terhadap wanita tersebut, semuanya merasa takut dan khawatir menyampaikan fatwa
kepadanya dengan fatwa yang belum diketahui mereka. Hanya saja Ibnu Abbas atau
salah seorang sahabat yang ada di tempat tersebut mengatakan, "Seandainya kedua
ibu bapakmu masih hidup atau salah seorang darinya masih hidup."
Hisyam mengatakan, "Seandainya wanita itu datang kepada kami, niscaya kami
akan memberikan fatwa kepadanya dengan jaminan." Ibnu Abuz Zanad mengatakan
bahwa Hisyam berkata, "Sesungguhnya mereka (para sahabat) adalah orang-orang
ahli wara' dan takut kepada Allah." Kemudian Hisyam mengatakan, "Seandainya
datang kepada kami wanita yang semisal dengannya hari ini, niscaya dia akan
menjumpai kebodohanku yang mengategorikan diriku ke dalam orang-orang yang bodoh
lagi memaksakan diri tanpa ilmu." Sanad asar ini berpredikat jayyid sampai
kepada Siti Aisyah r.a.
Asar ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa ilmu sihir itu
mempunyai kemampuan untuk membalikkan benda-benda dari keadaan yang sebenarnya,
karena wanita tersebut menyemaikan benih, lalu tanamannya menjadi masak dengan
seketika. Sedangkan menurut yang lainnya, ilmu sihir tidak mempunyai kemampuan
untuk itu selain hanya sekadar membalikkan kenyataan melalui imajinasi,
sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
سَحَرُوا
أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجاؤُ بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
Mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta
mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al-A'raf: 116)
يُخَيَّلُ
إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّها تَسْعى
Terbayang di mata Musa karena pengaruh sihir mereka seakan-akan tali-tali
dan tongkat-tongkat itu merayap cepat. (Thaha: 66)
Asar ini menurut As-Saddi dan lain-lainnya merupakan dalil yang menunjukkan
bahwa Babil yang disebut di dalam Al-Qur'an adalah Babil yang ada di negeri
Irak, bukan yang ada di Dainawan.
Asar lain yang memperkuat pendapat bahwa yang dimaksud adalah Babil negeri
Irak ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hatim. Disebut bahwa telah menceritakan
kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh,
telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah
dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari,
bahwa Ali r.a. pernah lewat di negeri Babil dalam suatu perjalanannya. Kemudian
datang kepadanya juru azan yang akan mengumandangkan azan salat Asar, tetapi Ali
diam saja. Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan
tadi untuk mengumandangkan azannya, lalu didirikanlah salat Asar. Setelah
selesai dari salatnya, ia berkata:
إِنَّ
حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ
الْمَقْبَرَةِ وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِبَابِلَ فَإِنَّهَا
ملعونة
Sesungguhnya kekasihku (Nabi Muhammad Saw.) telah melarangku melakukan salat
di kuburan dan melarangku pula melakukan salat di Babil, karena sesungguhnya
kota Babil itu adalah kota yang terkutuk.
قَالَ
أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ،
حَدَّثَنِي ابْنُ لَهِيعة وَيَحْيَى بْنُ أَزْهَرَ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ سَعْدٍ
الْمُرَادِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ الْغِفَارِيِّ: أَنَّ عَلِيًّا مَرَّ بِبَابِلَ،
وَهُوَ يَسِيرُ، فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُهُ بِصَلَاةِ الْعَصْرِ، فَلَمَّا
بَرَزَ مِنْهَا أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَقَامَ الصَّلَاةَ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ:
إِنَّ حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ فِي
الْمَقْبَرَةِ، وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ بَابِلَ، فَإِنَّهَا
مَلْعُونَةٌ.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu
Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari, bahwa Khalifah Ali r.a. pernah
melewati kota Babil dalam suatu perjalanannya. Maka datanglah kepadanya juru
azan yang memberitahukan bahwa waktu asar telah masuk. Ketika ia telah keluar
dari kota Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan untuk mengiqamahkan
salat. Setelah selesai dari salatnya ia mengatakan: Sesungguhnya kekasihku
(Rasulullah Saw.) telah melarangku melakukan salat di kuburan, dan beliau telah
melarangku pula melakukan salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu
adalah kota yang terkutuk.
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ
أَزْهَرَ وَابْنُ لَهِيعَةَ، عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ
الْغِفَارِيِّ، عَنْ عَلِيٍّ، بِمَعْنَى حَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ، قَالَ:
فَلَمَّا "خَرَجَ" مَكَانَ "بَرَزَ"
Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu
Azar dan Ibnu Luhai'ah, dari Hajjaj ibnu Syaddad, dari Abu Saleh Al-Gifari, dari
sahabat Ali. Hadis yang diketengahkannya kali ini semakna dengan hadis Sulaiman
ibnu Daud. Disebutkan di dalamnya, "Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia
menampakkan dirinya (menyerukan kepada kaum)."
Hadis ini berpredikat hasan menurut Imam Abu Daud, karena ia meriwayatkannya
dan tidak memberinya penilaian; berarti ia setuju.
Di dalam asar ini terkandung hukum fiqih yang menyimpulkan bahwa makruh
melakukan salat di negeri Babil, sebagaimana makruh pula melakukannya di negeri
kaum Samud; karena ada larangan dari Rasulullah Saw. yang memerintahkan tidak
boleh memasuki negeri kaum Samud kecuali bila mereka sambil menangis (ketika
memasukinya).
Menurut ahli ilmu geografi, Babil adalah salah satu daerah bawahan negeri
Irak. Jarak antara Babil sampai kepada laut yang ada di sebelah baratnya —yang
dikenal dengan nama Auqiyanius— diperkirakan tujuh puluh derajat garis
lintangnya, sedangkan garis bujurnya diperkirakan tiga puluh dua derajat.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا
يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا
تَكْفُرْ}
sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum
mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu
kafir." (Al-Baqarah: 102)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu
Abbad, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa apabila ada seseorang yang datang
kepada keduanya (Harut dan Marut) dengan maksud mau belajar ilmu sihir, maka
keduanya melarangnya dengan larangan yang keras dan mengatakan kepadanya,
"Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir."
Demikian itu karena keduanya mengetahui kebaikan, keburukan, kekufur-an, dan
iman. Keduanya mengetahui bahwa ilmu sihir merupakan suatu kekufuran.
Apabila orang yang datang itu membandel, tidak mau mengikuti nasihat
keduanya, maka keduanya memerintahkan kepadanya agar mendatangi tempat anu dan
tempat anu. Apabila orang tersebut mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh
keduanya, maka ia akan bersua dengan setan, lalu setan akan mengajarinya ilmu
sihir; apabila ia telah mempelajarinya, maka keluarlah nur (iman) dari dirinya,
lalu ia memandang ke arah nur yang terang di langit itu dan mengatakan, "Aduhai,
aku sangat menyesal. Celakalah diriku ini, apa yang harus kuperbuat."
Dari Al-Hasan Al-Basri, disebutkan bahwa ia mengatakan dalam tafsir ayat ini,
"Memang benar, kedua malaikat itu menurunkan ilmu sihir untuk mengajarkannya
kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah mendapat cobaan ini. Maka Allah
mengambil janji dari keduanya, bahwa janganlah keduanya mengajarkannya kepada
seorang pun sebelum keduanya mengatakan, 'Sesungguhnya kami adalah cobaan
bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir'." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu
Hatim.
Qatadah mengatakan bahwa Allah Swt. telah mengambil janji dari keduanya,
bahwa keduanya tidak boleh mengajarkan kepada seorang pun sebelum keduanya
mengatakan kepada orang tersebut, "Sesungguhnya kami hanyalah cobaan," yakni
sedang mengalami cobaan, "Karena itu, janganlah kamu kafir."
As-Saddi mengatakan, apabila ada seorang manusia datang kepada keduanya
dengan maksud belajar ilmu sihir, terlebih dahulu keduanya menasihatinya dan
mengatakan kepadanya, "Janganlah kamu kafir, sesungguhnya kami adalah cobaan
bagimu." Apabila orang tersebut membandel, maka keduanya mengatakan kepadanya,
"Datanglah kamu ke tempat abu anu, lalu kencinglah padanya." Apabila orang
tersebut kencing padanya, maka keluarlah nur dari dirinya, lalu terbang ke
langit hingga tak tampak lagi. Nur tersebut merupakan iman, dan datanglah
sesuatu merupakan asap, lalu asap itu memasuki telinganya dan semua lubang yang
ada pada tubuhnya; hal tersebut merupakan murka Allah. Apabila orang tersebut
menceritakan apa yang telah dialaminya kepada keduanya, barulah keduanya
mengajarkan ilmu sihir. Hal yang demikian itulah yang disebutkan di dalam
firman-Nya: sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun
sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Karena itu,
janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, sehubungan dengan takwil
ayat ini, "Tiada seorang pun yang berani mengerjakan sihir melainkan hanya orang
kafir." Arti Fitnah ialah ujian dan cobaan, seperti yang dikatakan oleh seorang
penyair:
وَقَدْ فُتِنَ النَّاسُ فِي دِينِهِمْ ...
وَخَلَّى ابْنُ عَفَّانَ شَرًّا طَوِيلَا
Dan sesungguhnya manusia itu mengalami
cobaan dalam agama mereka, dan Ibnu Affan telah mengakibatkan keburukan yang
panjang (akibatnya).
Demikian pula pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt. ketika
menceritakan kisah Nabi Musa a.s. Allah berfirman:
إِنْ
هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ
Itu hanyalah cobaan dari Engkau. (Al-A'raf: 155)
Maksudnya, ujian dan cobaan dari Engkau. Dalam firman selanjutnya disebutkan:
تُضِلُّ
بِها مَنْ تَشاءُ وَتَهْدِي مَنْ تَشاءُ
Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau
beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. (Al-A'raf: 155)
Sebagian ulama menyimpulkan dalil ayat ini (yakni Al-Baqarah: 102), bahwa
kafirlah orang yang belajar ilmu sihir. Ia memperkuat dalilnya ini dengan sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ
إِبْرَاهِيمَ، عن هُمَامٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ
سَاحِرًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari
Hammam, dari Abdullah yang mengatakan: Barang siapa yang mendatangi tukang
tenung (dukun) atau tukang sihir, lalu ia percaya kepada apa yang dikatakannya,
maka sesungguhnya dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad
Saw.
Sanad riwayat ini sahih dan mempunyai syawahid lain yang memperkuatnya.
***********
Firman Allah Swt:
{فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ}
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu
mereka dapat menceraikan antara seseorang (suami) dengan istrinya.
(Al-Baqarah: 102)
Yakni orang-orang belajar sejenis ilmu sihir dari Harut dan Marut, yang
kegunaannya dapat menimbulkan berbagai macam perbuatan tereela; hingga
sesungguhnya ilmu sihir ini benar-benar dapat memisahkan sepasang suami istri,
sekalipun pada awalnya keduanya sangat harmonis dan rukun. Hal seperti ini
merupakan perbuatan setan, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam
kitab sahihnya:
مِنْ
حَدِيثِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ طَلْحَةَ بْنِ نَافِعٍ، عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "إِنِ الشَّيْطَانَ
لَيَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فِي النَّاسِ،
فَأَقْرَبُهُمْ عِنْدَهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ عِنْدَهُ فِتْنَةً، يَجِيءُ
أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا زِلْتُ بِفُلَانٍ حَتَّى تَرَكْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ
كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ إِبْلِيسُ: لَا وَاللَّهِ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا.
وَيَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ أَهْلِهِ قَالَ: فَيُقَرِّبُهُ وَيُدْنِيهِ وَيَلْتَزِمُهُ، وَيَقُولُ:
نِعْم أَنْتَ
melalui hadis Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Talhah ibnu Nafi’, dari Jabir
ibnu Abdullah r.a., dari Nabi Saw. Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya
iblis itu meletakkan singgasananya di atas air, lalu mengirimkan bala tentaranya
kepada umat manusia; maka setan yang paling besar fitnahnya terhadap umat
manusia akan memperoleh kedudukan yang terdekat di sisi iblis. Salah satu
dari mereka datang, lalu mengatakan, "Aku terus-menerus menggoda si Fulan,
hingga ketika aku tinggalkan dia telah mengerjakan anu dan anu." Iblis menjawab,
"Tidak, demi Allah, kamu masih belum melakukan sesuatu (yakni belum berhasil)."
Lalu datang lagi yang lainnya dan mengatakan, "Aku tidak beranjak darinya
sebelum aku dapat memisahkan antara dia dan istrinya." Maka iblis memberinya
kedudukan yang tinggi dan dekat dengannya serta selalu bersamanya seraya
berkata, "Kamu benar."
Penyebab yang memisahkan sepasang suami istri ialah imajinasi yang disusupkan
oleh setan kepada salah seorang dari suami atau istri hingga ia memandang teman
hidupnya itu seakan-akan buruk penampilan atau buruk pekertinya atau lain
sebagainya, atau seakan-akan ruwet, atau marah bila memandangnya, atau lain
sebagainya yang menyebabkan terjadinya perpisahan.
Lafaz al-mar-u dalam ayat ini berarti suami, sedangkan bentuk
ta-nis-nya adalah imra-atun (istri). Kedua lafaz ini dapat diungkapkan
dalam bentuk tasniyah, tetapi tidak dapat diungkapkan dalam bentuk
jamak.
**********
Firman Allah Swt:
{وَمَا
هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ}
Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada
seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baqarah: 102)
Menurut Sufyan As-Sauri, makna bi-iznillah ialah dengan keputusan
Allah. Sedangkan menurut Muhammad ibnu Ishaq artinya "kecuali bila Allah
membiarkan antara si tukang sihir dengan apa yang dikehendakinya."
Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan takwil ayat ini mengatakan, "Memang
benar. Siapa yang dikehendaki oleh Allah dapat dipengaruhi oleh sihir itu,
niscaya ilmu sihir dapat mencelakakannya. Barang siapa yang tidak dikehendaki
oleh Allah, maka ilmu sihir tidak akan dapat mencelakakannya." Para ahli sihir
tidak dapat menimpakan mudarat (kecelakaan) kepada seorang pun kecuali dengan
izin Allah, seperti yang telah dijelaskan di dalam ayat ini. Akan tetapi,
menurut suatu riwayat yang juga dari Al-Hasan Al-Basri, sihir tidak dapat
meniupkan mudarat kecuali terhadap orang yang mengerjakan ilmu sihir.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَيَتَعَلَّمُونَ
مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ}
Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. (Al-Baqarah: 102)
Yakni memberikan mudarat pada agama mereka dan tidak memberi manfaat yang
sebanding dengan mudaratnya.
{وَلَقَدْ
عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ}
Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang
menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di
akhirat. (Al-Baqarah: 102)
Yaitu sesungguhnya orang-orang Yahudi yang berpaling dari mengikuti Rasul
Saw. dan menggantikannya dengan mengikuti ilmu sihir, mereka telah mengetahui
bahwa di akhirat kelak dia tidak memperoleh keuntungan. Menurut Ibnu Abbas,
Mujahid, dan As-Saddi, makna khalaq ialah bagian.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa takwil ayat ini
ialah: "Tiadalah baginya di akhirat nanti suatu perhatian pun dari Allah Swt."
Menurut Al-Hasan, kata Abdur Razzaq artinya tiadalah baginya agama.
Sa'd meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa
sesungguhnya ahli kitab itu telah mengetahui (meyakini) janji Allah yang telah
ditetapkan atas diri mereka, bahwa seorang penyihir itu tiadalah baginya
keuntungan di akhirat.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَلَبِئْسَ
مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ* وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا
وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا
يَعْلَمُونَ}
Dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau
mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya
mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah
lebih baik, kalau mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 102-103)
Allah Swt. berfirman bahwa seburuk-buruk pertukaran adalah sihir yang mereka
beli sebagai ganti dari iman dan mengikuti Rasul Saw., kalau saja mereka
mempunyai ilmu dari apa yang diperingatkan kepada mereka. Seandainya mereka
beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya pahala di sisi Allah lebih baik bagi
mereka. Dengan kata lain, sesungguhnya kalau mereka beriman kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, niscaya pahala Allah
atas hal tersebut lebih baik bagi mereka daripada apa yang mereka pi-ihkan buat
diri mereka dan apa yang mereka sukai itu. Makna ayat ini sama dengan apa yang
dinyatakan di dalam firman-Nya:
وَقالَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ
وَعَمِلَ صالِحاً وَلا يُلَقَّاها إِلَّا الصَّابِرُونَ
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, "Kecelakaan yang besarlah
bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan
beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang
sabar." (Al-Qashash: 80)
***********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلَوْ
أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا}
Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa.
(Al-Baqarah: 103)
dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat bahwa mengerjakan sihir
hukumnya kafir, seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad ibnu Hambal
dan segolongan ulama Salaf.
Sedangkan menurut pendapat yang lain tidak kafir, tetapi ia hanya dikenai
hukuman had, yaitu dengan dipancung lehernya. Hal ini berdasarkan apa yang
diriwayatkan oleh Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Keduanya mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Sufyan (yaitu Ibnu Uyaynah), dari Amr ibnu Dinar,
bahwa ia pernah mendengar Bujalah ibnu Abdah menceritakan asar berikut, bahwa
Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. pernah menulis surat yang di dalamnya
disebutkan, "Bunuhlah oleh kalian setiap tukang sihir laki-laki dan perempuan."
Bujalah melanjutkan kisahnya, "Maka kami pernah membunuh tiga orang wanita
penyihir."
Asar ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya. Di
dalam asar yang sahih disebut pula bahwa Siti Hafsah Ummul Mu’minin pernah
disihir oleh seorang budak perempuannya, maka Siti Hafsah memerintahkan agar
budak tersebut dihukum mati; lalu si budak perempuan itu pun dihukum mati.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, di dalam asar sahih dari ketiga orang
sahabat Nabi Saw. disebutkan bahwa penyihir dihukum mati.
Imam Turmuzi meriwayatkan melalui hadis Ismail ibnu Muslim, dari Al-Hasan,
dari Jundub Al-Azdi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«حَدُّ
السَّاحِرِ ضَرْبُهُ بِالسَّيْفِ»
Hukuman had bagi penyihir ialah dipukul dengan pedang (dihukum
mati).
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa kami tidak mengenal hadis ini secara
marfu’ kecuali hanya dari segi ini. Ismail ibnu Muslim orangnya da'if dalam
periwayatan hadis. Adapun yang sahih ialah yang dari Al-Hasan ibnu Jundub secara
mauquf.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Tabrani melalui segi
lain, dari Al-Hasan, dari Jundub secara marfu’
Telah diriwayatkan melalui berbagai jalur bahwa Al-Walid ibnu Uqbah pernah
mempunyai seorang tukang sihir untuk memainkan ilmu sihir di hadapannya.
Permainan sihir yang ditampilkannya itu ialah dia menebas batang leher
seseorang, kemudian si penyihir itu membawa kepalanya seraya berteriak-teriak,
setelah itu ia mengembalikan lagi kepada si lelaki yang dipancungnya itu. Maka
orang-orang berkata, "Mahasuci Allah Yang Menghidupkan kembali orang-orang yang
mati!"
Kejadian tersebut dilihat oleh seorang lelaki saleh dari kalangan kaum
Muhajirin. Pada keesokan harinya ia datang dengan menyandang pedangnya,
sedangkan si penyihir itu seperti biasa memainkan permainannya. Lalu lelaki
Muhajirin itu mencabut pedangnya dan langsung dipukulkan ke leher si penyihir
tersebut, kemudian berkata, "Sekiranya dia benar, niscaya dia dapat menghidupkan
dirinya sendiri." Lalu ia membacakan firman-Nya:
أَفَتَأْتُونَ
السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ
maka apakah kalian menerima sihir itu, padahal kalian menyaksikannya?
(Al-Anbiya: 3)
Maka Al-Walid murka karena lelaki Muhajirin tersebut tidak meminta izin lebih
dahulu kepadanya dalam tindakannya itu. Lalu Al-Walid memenjarakannya, kemudian
melepaskannya.
Imam Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah
ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq, dari
Harisah yang menceritakan asar berikut: Pernah di hadapan seorang Amir ada
seseorang yang memainkan ilmu sihirnya, lalu datanglah Jundub seraya membawa
pedangnya, maka Jundub membunuh lelaki penyihir itu, lalu ia berkata, "Menurutku
dia adalah tukang sihir."
Imam Syafii rahimahullah menginterpretasikan kisah sihir yang terjadi di masa
Khalifah Umar dan yang dialami oleh Siti Hafsah sebagai perbuatan musyrik.
Fasal
Abu Abdullah Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan apa yang
dikatakan oleh golongan Mu'tazilah, bahwa mereka mengingkari keberadaan sihir.
Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Barangkali mereka mengafirkan orang yang
meyakini keberadaan sihir itu."
Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, "Adapun menurut ahli sunnah, sesungguhnya
mereka berpendapat bahwa bisa saja seorang ahli sihir dapat terbang di udara,
atau mengubah rupa manusia menjadi keledai dan rupa keledai menjadi manusia.
Hanya saja mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Allah menciptakan hal-hal
tersebut di saat seorang penyihir membacakan mantera-mantera dan jampi-jampi
tertentu. Adapun bila dikatakan bahwa hal yang mempengaruhi kejadian-kejadian
tersebut karena pengaruh falak dan bintang-bintang, maka hal tersebut tidak
mungkin; berbeda halnya dengan pendapat ahli filsafat dan ahli peramal serta
para pemeluk agama Sabi'ah."
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengemukakan dalil yang menyatakan bahwa
terjadinya sihir itu adalah karena ciptaan Allah Swt, yaitu firman Allah Swt.
yang mengatakan: Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan
sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baqarah: 102)
Sedangkan dalil dari hadis antara lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
pernah disihir, dan bahwa sihir sempat mempengaruhinya. Juga kisah Siti Aisyah
r.a. bersama seorang wanita yang datang kepadanya mengakui bahwa dirinya pernah
belajar sihir. Banyak lagi kisah lainnya yang ia kemukakan dalam bab ini.
Setelah itu Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan hal berikut:
Ilmu sihir bukan merupakan hal yang buruk, bukan pula hal yang dilarang.
Ulama ahli tahqiq sepakat menyatakan hal tersebut, mengingat ilmu itu ditinjau
dari eksistensinya merupakan hal yang mulia, juga karena pengertian umum yang
terkandung di dalam firman-Nya:
قُلْ
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)
Karena ilmu sihir itu kalau tidak diketahui, niscaya tidak mungkin dapat
dibedakan antara sihir dan mukjizat. Sedangkan ilmu yang me-untun untuk
mengetahui sesuatu sebagai mukjizat adalah wajib, dan sesuatu yang menjadi
sandaran bagi hal yang wajib hukumnya wajib pula. Maka dari hal ini tersimpul
bahwa mengetahui ilmu sihir hukumnya wajib, sedangkan sesuatu yang wajib itu
tidak mungkin dapat dikatakan sebagai hal yang haram atau buruk. Demikianlah
konteks dari pendapat Abu Abdullah Ar-Razi dalam masalah ini.
Pendapat ini masih perlu dipertimbangkan dari berbagai segi, antara lain ia
mengatakan bahwa mengetahui ilmu sihir bukan merupakan hal yang buruk. Jikalau
yang dimaksud dengan kalimat ini ialah tidak buruk menurut rasio, maka
orang-orang yang menentang pendapat ini dari kalangan golongan Mu'tazilah sudah
pasti sangat tidak setuju dengan pendapat ini. Jika yang dimaksud ialah tidak
buruk menurut penilaian syara' (agama), berarti di dalam ayat ini terkandung
pengertian yang mempropagandakan belajar ilmu sihir. Sedangkan di dalam kitab
sahih disebutkan oleh salah satu hadisnya:
«مَنْ
أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى
مُحَمَّدٍ»
Barang siapa yang datang kepada tukang ramal atau tukang tenung, maka
sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) kepada kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan
kepada Muhammad.
Di dalam kitab-kitab Sunan disebutkan sebuah hadis yang mengatakan:
«مَنْ
عَقَدَ عُقْدَةً وَنَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ»
Barang siapa membuat suatu buhul, lalu ia meniupkan napasnya pada buhul
itu, maka sesungguhnya dia telah mengerjakan sihir.
Dalam menanggapi perkataan Abu Abdullah Ar-Razi yang menyatakan, "Tiada
larangan, para ulama ahli tahqiq sepakat atas hal ini," timbul suatu pertanyaan
'mengapa ilmu sihir itu tidak dilarang, padahal ayat dan hadis yang telah kita
kemukakan mengecamnya?'. Kesepakatan ulama ahli tahqiq —seperti yang
dikatakannya— menuntut adanya bukti berupa nas dalam masalah ini dari beberapa
orang ulama atau dari kebanyakan mereka, lalu manakah nas-nas mereka yang
menunjukkan adanya kesepakatan tersebut?
Mengenai pendapat Abu Abdullah Ar-Razi yang memasukkan ilmu sihir ke dalam
pengertian umum firman Allah Swt. yang mengatakan: Katakanlah, "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui"
(Az-Zumar: 9)
Hal ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, mengingat ayat ini hanyalah
menunjukkan makna memuji orang-orang yang alim dalam ilmu syariat Lalu mengapa
dia sampai berani mengatakan bahwa ilmu sihir adalah bagian dari syariat, dan
bahkan ia mengangkat ilmu sihir kepada kategori ilmu yang wajib dipelajari,
dengan alasan untuk mengetahui mukjizat tidak dapat dilakukan melainkan dengan
mengetahui ilmu sihir. Alasan ini sangat lemah, bahkan dapat dikatakan batil.
Dikatakan demikian karena mukjizat yang paling agung dari Rasul kita ialah
Al-Qur'anul 'Azim yang tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun
dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha
Terpuji.
Kemudian perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya untuk mengetahui sesuatu
sebagai mukjizat, pada prinsipnya tidak bergantung kepada pengetahuan ilmu
sihir. Sebagai bukti yang akurat ialah para sahabat, para tabi'in, dan para imam
kaum muslim serta kalangan awam; mereka mengetahui hal yang mukjizat, mereka pun
dapat membedakan antara mukjizat dan sihir, sekalipun mereka tidak mempunyai
pengetahuan tentang ilmu sihir. Dengan kata lain, mereka tidak pernah
mempelajarinya, tidak pula mengerjakannya.
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi menyebutkan bahwa ilmu sihir itu ada delapan
macam:
-
Sihir orang-orang pendusta dan kaum Kasydani (yaitu mereka yang menyembah
tujuh bintang yang beredar). Mereka mempunyai keyakinan bahwa bintang-bintang
tersebutlah yang mengatur alam ini, dan bintang-bintang itulah yang mendatangkan
kebaikan dan kejahatan. Mereka adalah kaum yang diutus kepada mereka Nabi
Ibrahim a.s. Khalilullah (kekasih Allah) a.s. untuk membatalkan pendapat mereka
dan mematahkan hujah mereka. Sehubungan dengan masalah ini telah diadakan suatu
penelitian yang membuahkan karya tulis —seperti kitab Sirrul Maktum fi
Mukhatabatisy Syamsi wan Nujum— yang dinisbatkan kepada apa yang dialami
oleh Nabi Ibrahim a.s. pada permulaan perkaranya, sebagaimana yang disebutkan
oleh Ibnu Khalkan dan lain-lainnya. Menurut suatu pendapat, Ibnu Khalkan telah
bertobat atas karya tulisnya itu. Menurut pendapat yang lainnya lagi,
sesungguhnya Ibnu Khalkan menulis hal tersebut dengan maksud menonjolkan
keutamaannya, bukan bermaksud meyakininya. Memang tanggapan inilah yang
disangkakan kepadanya, hanya dia menyebutkan dalam kitabnya itu cara mereka
berdialog dengan masing-masing dari ketujuh bintang tersebut; disebutkan pula
cara-cara yang mereka lakukan serta upacara ritual yang diada-adakan mereka
terhadap bintang-bintang tersebut.
-
Sihir yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilusi dan jiwa yang kuat.
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengetengahkan alasan yang membuktikan ilusi
mempunyai pengaruh, bahwa seorang manusia dapat saja berjalan di atas jembatan
yang diletakkan di atas permukaan tanah, sedangkan ia tidak dapat berjalan di
atasnya bila jembatan diletakkan memanjang di atas sungai atau lainnya. Abu
Abdullah Ar-Razi mengatakan, para tabib sepakat melarang orang yang mimisan
memandang kepada sesuatu yang berwarna merah, dan orang yang berpenyakit ayan
dilarang memandang kepada sesuatu yang sangat menyilaukan atau sesuatu yang
berputar. Hal tersebut tiada lain karena jiwa manusia diciptakan tunduk kepada
ilusi-ilusinya. Ia melanjutkan perkataannya, bahwa para cendekiawan sepakat
bahwa penyakit 'ain merupakan perkara yang hak (nyata). Sebagai dalilnya
dapat diketengahkan sebuah hadis sahih yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda: Penyakit 'ain itu hal yang hak. Sekiranya ada sesuatu yang
dapat mendahului takdir, niscaya penyakit 'ain dapat mendahuluinya. (Shahih: Muslim 2188)
Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Apabila Anda mengetahui hal ini, maka
kami katakan bahwa jiwa yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut
adakalanya kuat sekali. Untuk itu dalam merealisasikan perbuatan-perbuatan itu
ia tidak memerlukan bantuan sarana atau alat bantu lainnya. Adakalanya jiwa itu
lemah, maka untuk merealisasikannya ia memerlukan sarana-sarana tersebut."
Hakikat hal tersebut ialah bahwa jiwa manusia apabila lebih tinggi daripada
tubuh kasarnya, maka ia sangat cenderung kepada alarn samawi; hingga jadilah ia
seakan-akan roh samawi, dan ia mempunyai kekuatan yang menakjubkan untuk
mempengaruhi semua unsur dari alam kasar ini. Tetapi apabila jiwa seseorang
lemah dan cenderung bergantung kepada tubuh kasamya, maka saat itu ia tidak
mempunyai pengaruh sama sekali kecuali hanya dalam tubuh kasar-nya saja.
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi memberikan petunjuk untuk mengobati penyakit 'ain
ini dengan cara mengurangi makan, menjauh dari manusia, dan membebaskan diri
dari riya (pamer). Menurut kami, apa yang diisyaratkan oleh Abu Abdullah ini
termasuk ke dalam pengertian indera yang keenam atau lasarruf bil hal.
Hal ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu adakalanya termasuk dari jenis yang
benar lagi diakui oleh syariat. Pemiliknya menggunakannya untuk hal-hal yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi hal-hal yang dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya. Indera jenis ini merupakan anugerah dari Allah Swt. dan
merupakan karamah bagi orang-orang saleh dari kalangan umat ini. Jenis ini sama
sekali bukan dinamakan sihir menurut penilaian syara'. Adakalanya keadaan yang
dialami oleh pemiliknya batil serta pemiliknya tidak mengerjakan hal-hal yang
diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, dan ia tidak menggunakan bakatnya itu
untuk keperluan tersebut. Jenis inilah yang dialami oleh orang-orang celaka,
yaitu mereka yang menyimpang dari syariat, serta keadaan yang dialaminya itu
tidak menunjukkan bahwa mereka menerimanya sebagai anugerah dari Allah dan tidak
menunjukkan pula bahwa Allah mencintai mereka. Perihalnya sama dengan apa yang
dimiliki oleh Dajjal; dia mempunyai banyak hal yang bertentangan dengan hukum
alam, seperti yang dijelaskan oleh banyak hadis. Akan tetapi, sekalipun demikian
hal tersebut tercela menurut penilaian syara'; semoga laknat Allah tetap atas
dirinya. Demikian pula keadaan orang-orang yang menyerupai Dajjal dari kalangan
mereka yang dianugerahi bakat ini, tetapi bertentangan dengan syariat yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Pembahasan mengenai masalah ini memerlukan
keterangan yang panjang, dan kitab ini bukan tempat untuk membahasnya.
-
Termasuk ke dalam kategori sihir ialah meminta bantuan kepada arwah yang ada
di bumi, yakni makhluk jin. Berbeda dengan pendapat para ahli filsafat dan
golongan Mu'tazilah; mereka berpendapat bahwa jin itu terbagi menjadi dua
bagian, yaitu jin yang mukmin dan jin kafir (yakni setan). Abu Abdullah Ar-Razi
mengatakan, menghubungi arwah jenis ini lebih mudah ketimbang menghubungi arwah
samawi, mengingat adanya kesamaan dan hubungan yang berdekatan di antara
keduanya. Kemudian orang-orang yang ahli dalam bidang ini dan banyak melakukan
percobaan telah menyaksikan bahwa berhubungan dengan arwah ardiyyah dapat
dilakukan hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang mudah lagi tidak
banyak, seperti membaca mantera, dupa, dan jampi-jampi. Jenis ini dinamakan
'azaim atau menundukkan makhluk jin.
-
Termasuk ke dalam ilmu sihir ialah tipuan melalui ilusi, membalikkan
pandangan mata, serta sulap. Dasar jenis ini ialah bahwa mata itu adakalanya
keliru dan sibuk dengan sesuatu yang tertentu sehingga melupakan yang lainnya.
Tidakkah Anda melihat bahwa seorang pesulap yang cerdik kelihatan oleh kita
sedang melakukan sesuatu yang menakjubkan penglihatan orang-orang yang
menontonnya hingga semua pandangan mata mereka tertuju kepadanya. Tetapi bila
semua perhatian mereka tertuju kepada sesuatu yang dilakukannya itu, maka si
pesulap melakukan hal yang lain secepat kilat, hingga yang tampak di mata mereka
adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka tunggu-tunggu, dan akhirnya
mereka merasa takjub sekali dengan perbuatan si pesulap itu. Sekiranya si
pesulap itu diam dan tidak mengatakan hal-hal yang memalingkan perhatian para
penontonnya kepada lawan dari perbuatan yang hendak dilakukannya itu, serta jiwa
dan ilusi para penontonnya tidak memperhatikan apa yang hendak diperbuatnya,
niscaya penonton akan mengerti semua perbuatan yang dilakukannya. Abu Abdullah
Ar-Razi mengatakan, setiap kali keadaan mendukung pengurangan pandangan mata
secara baik, maka hasil sulap makin bertambah baik. Misalnya si pesulap duduk di
tempat yang terang sekali atau di tempat yang gelap, maka pandangan mata
penonton kurang prima terhadap dirinya bila keadaannya demikian. Menurut kami,
sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa sesungguhnya sihir yang dilakukan di
hadapan Raja Fir'aun tiada lain termasuk ke dalam Bab "Sulap". Karena itu, Allah
Swt. berfirman di dalam Kitab-Nya: Maka tatkala mereka melemparkan, mereka
menyulap mata orang dan menjadikan banyak orang itu takut, serta mereka
mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al-A'raf: 116) Dan firman
Allah Swt.: terbayang di mata Musa karena pengaruh dari sihir mereka
se-akan-akan tali dan tongkat itu merayap cepat. (Thaha: 66) Sebagian
kalangan ahli tafsir mengatakan bahwa tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut
pada hakikatnya tidak merayap.
-
Termasuk perbuatan sihir ialah reaksi-reaksi ajaib yang timbul dari
penyusunan berbagai alat yang disusun menurut bentuk handasah, misalnya
berbentuk seperti seorang yang menunggang kuda, sedangkan tangannya memegang
sebuah genderang; apabila lewat suatu saat dari siang hari (satu jam), maka
genderang itu dipukulnya tanpa ada seorang pun yang menyentuhnya. Termasuk ke
dalam kategori jenis ini ialah patung-patung yang dibuat oleh bangsa Romawi dan
bangsa India hingga orang yang melihatnya tidak dapat membedakan antara patung
dan manusia yang sungguhannya, hingga mereka mampu membuatnya dalam rupa sedang
tertawa dan sedang menangis. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan bahwa
segi-segi ini termasuk kelembutan dari hal-hal yang bersandar kepada ilusi. Ia
mengatakan pula bahwa sihir yang dilakukan oleh tukang sihir Raja Fir'aun
termasuk ke dalam kategori jenis ini. Dari pendapat yang dikatakan oleh sebagian
ahli tafsir sehubungan dengan sihir yang disajikan oleh tukang-tukang sihir Raja
Fir'aun, kami simpulkan bahwa sesungguhnya mereka terlebih dahulu mempersiapkan
tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut, sebelumnya mereka isi terlebih dahulu
dengan air raksa. Karena itu, setelah semuanya dilepaskan, maka benda-benda itu
meliuk-liuk bergerak karena pengaruh dari air raksa tersebut. Maka terbayang di
mata para penontonnya seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut
berjalan cepat dengan sendirinya. Ar-Razi mengatakan, termasuk ke dalam bab ini
ialah bangunan jam pasir (tabling kaca untuk mengukur waktu, berdasarkan aliran
suatu bahan berupa pasir dan sebagainya pada zaman dahulu. red.), demikian pula
ilmu menarik barang yang berat dengan alat yang ringan. Menurut kami, pada
hakikatnya jenis ini tidak pantas dikategorikan sebagai sihir, mengingat
kejadiannya dapat diketahui melalui penyebab-penyebab yang telah dimaklumi dan
pasti. Untuk itu barang siapa yang memahaminya, niscaya ia dapat melakukannya.
Menurut kami, termasuk ke dalam bab ini (yang penyebabnya jelas) ialah tipu
muslihat yang dilakukan oleh orang-orang khusus Nasrani terhadap kalangan awam
mereka, melalui cahaya api yang diper-lihatkan kepada kalangan awam, seperti
kasus yang terjadi di suatu gereja milik mereka di kota Baitul Maqdis. Mereka
melakukan tipu muslihat melalui hal tersebut dengan cara memasukkan api secara
sembunyi-sembunyi ke dalam gereja, lalu lentera besar gereja tersebut dinyalakan
melalui cara yang lembut (samar) hingga memperdaya kalangan orang-orang awam
mereka. Adapun bagi kalangan khusus mereka, hal tersebut sudah diketahuinya,
tetapi mereka mencari-cari alasan untuk menyembunyikan rahasia itu, bahwa hal
tersebut dapat dijadikan sarana untuk mempersatukan teman-teman seagama mereka,
maka mereka memandang perbuatan tersebut sebagai hal yang diperbolehkan.
Perihalnya sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang tolol lagi bodoh dari
kalangan aliran Karamiyah, yaitu mereka yang memperbolehkan membuat hadis dalam
masalah targib dan tarhib. Mereka itu termasuk ke dalam golongan orang-orang
yang diancam oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya: Barang siapa yang berdusta
dengan sengaja mengatasnamakan diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap mengambil
tempat du-duknya di neraka. Sabda Rasulullah Saw. lainnya yang
mengatakan: Ceritakanlah hadis dariku, tetapi janganlah kalian berdusta
terhadap diriku, karena sesungguhnya orang yang berdusta terhadapku pasti masuk
neraka. Kemudian dalam bab ini ia
menyebut sebuah kisah dari salah seorang rahib (pendeta). Bahwa pada suatu hari
ia mendengar suara seekor burung yang mengeluarkan suara sedang sedih, dan lemah
gerakannya. Apabila suara itu terdengar oleh burung lainnya, burung-burung lain
merasa kasihan kepadanya. Kemudian mereka pergi dan datang lagi dengan membawa
buah zaitun, lalu mereka lemparkan zaitun itu ke sarang burung yang sedang sedih
tersebut agar dimakannya. Lalu rahib ini sengaja membuat sebuah boneka yang
bentuknya mirip dengan burung yang sedang menderita itu, kemudian ia menjadikan
boneka burungnya itu berlubang pada bagian dalamnya; apabila ada angin yang
memasuki rongga tersebut, akan keluarlah darinya suara seperti suara burung yang
sedang menderita itu. Kemudian ia tinggal di dalam gereja yang dibangunnya yang
ia duga berada di atas kuburan salah seorang yang saleh dari kalangan mereka.
Lalu ia menggantungkan boneka burungnya itu di salah satu tempat dari gerejanya.
Apabila musim buah zaitun tiba, ia membuka sebuah jendela yang berhadapan dengan
arah burung buatannya itu, hingga masuklah angin dan meniup boneka burungnya dan
keluarlah suara darinya. Suaranya itu terdengar oleh burung-burung lain yang
rupanya sejenis dengan boneka burung itu, lalu mereka berdatangan dengan membawa
buah zaitun yang banyak jumlahnya. Orang-orang Nasrani tidak melihat hal yang
lain kecuali adanya buah zaitun tersebut di dalam gerejanya, tanpa mereka
ketahui sebab-musababnya; hingga mereka teperdaya, dan mereka menduga bahwa hal
tersebut termasuk keramat dari pemilik kuburan yang ada di dalam gereja itu.
Semoga laknat Allah menimpa mereka berturut-turut hingga hari kiamat nanti.
-
Termasuk ke dalam perbuatan sihir ialah menggunakan sarana bantuan berupa
obat-obatan, yakni dalam berbagai macam makanan dan minyak-minyakan. Abu
Abdullah Ar-Razi mengatakan, perlu diketahui bahwa sesungguhnya tiada jalan
untuk mengingkari bahan-bahan yang khusus, mengingat pengaruh magnetis memang
dapat disak-sikan. Menurut kami, termasuk ke dalam kategori ini apa yang banyak
dilakukan oleh orang-orang yang menamakan dirinya fakir. Dia menipu kalangan
awam dari manusia dengan memakai sarana bahan-bahan khusus ini, lalu mengaku
bahwa hal ini terjadi karena akibat pengaruh dari seringnya dia bergaul dengan
api dan memegang ular beracun serta lain-lainnya yang termasuk ke dalam bagian
ini.
-
Termasuk ke dalam sihir ialah mempengaruhi hati orang lain. Misalnya seorang
penyihir mengakui bahwa dirinya mengetahui Ismul A'zam. Bahwa jin taat serta
tunduk kepadanya dalam berbagai hal; apabila propagandanya itu secara kebetulan
didengar oleh orang yang lemah akalnya dan tidak dewasa, niscaya ia menduga
bahwa si penyihir itu benar, lalu hatinya bergantung kepadanya, dan terjadilah
di dalam hatinya suatu perasaan takut dan khawatir terhadap si penyihir itu.
Apabila telah terjadi rasa takut dalam hatinya, lemahlah kekuatan inderanya,
maka pada saat itu si penyihir dapat menguasainya dan dapat melakukan apa yang
dikehendakinya. Menurut kami, jenis ini dikatakan tanbulah (hipnotis).
Sesungguhnya jenis ini hanya dapat mengenai kalangan orang-orang yang lemah
akalnya. Di dalam ilmu firasah terdapat pengetahuan yang menuntun untuk
mengetahui orang yang berakal kuat dan orang yang berakal lemah. Apabila orang
yang bersangkutan berakal cerdas dan menguasai ilmu firasah, maka dia akan
mengetahui siapa di antara mereka yang taat kepadanya dan siapa yang tidak mau
taat.
- Termasuk ke dalam kategori sihir ialah melakukan namunah dan adu domba dengan menggunakan cara yang mudah lagi lembut, tidak kelihatan. Jenis ini telah terkenal di kalangan orang banyak. Menurut kami, namunah itu terbagi menjadi dua bagian; adakalanya untuk tujuan mengadu domba di antara orang-orang lain dan memecah belah hati kaum mukmin. Jenis ini jelas haram menurut kesepakatan semuanya. Jika namunah yang dilakukan untuk tujuan mendamaikan masalah di antara orang-orang lain dan untuk menyatukan serta merukunkan suara kaum muslim, seperti yang disebutkan oleh hadis berikut: Bukanlah pendusta orang yang melakukan namunah untuk kebaikan. Atau dengan tujuan untuk menghina dan memecah-belah di antara persatuan orang-orang kafir, maka hal ini merupakan perkara yang dianjurkan, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis berikut: Perang itu tipu muslihat. Juga seperti apa yang dilakukan oleh Nu'aim ibnu Mas'ud ketika ia memecah-belah persatuan golongan-golongan yang bersekutu dengan Bani Quraizah. Nu'aim datang kepada salah satu pihak dari kedua golongan itu, lalu ia menceritakan kepada mereka apa yang dikatakan oleh golongan lainnya tentang diri mereka. Kemudian ia menyampaikan kepada golongan lainnya kata-kata yang lain dari golongan yang pertama, lalu ia adu dombakan di antara kedua golongan tersebut hingga mereka saling mencurigai dan pecahlah persatuan mereka. Sesungguhnya orang yang dapat melakukan hal seperti ini hanyalah orang-orang yang mempunyai kecerdasan dan pandangan yang tajam. Akhirnya hanya kepada Allah-lah kami memohon pertolongan.
Selanjutnya Ar-Razi berkata, demikianlah pembagian sihir dan penjelasan serta
tingkatannya secara global.
Menurut kami, sesungguhnya telah dimasukkan ke dalam kategori sihir banyak
hal yang telah disebut di atas, tiada lain karena hal-hal tersebut sulit untuk
diketahui penyebabnya dan sangat halus. Mengingat definisi sihir menurut istilah
bahasa artinya sesuatu yang lembut dan samar penyebabnya. Untuk itu, di dalam
sebuah hadis di sebutkan:
«إِنَّ
مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا»
Sesungguhnya di antara ilmu bayan (paramasastra) itu benar-benar
mengandung (pengaruh seperti pengaruh) sihir.
Dinamakan sahur karena dilakukan pada penghujung malam hari di saat cuaca
masih gelap tak kelihatan. Sahar berarti ri-ah (paru-paru) yang merupakan
pusat pernapasan. Dinamakan demikian karena tempatnya tersembunyi dan
jaringannya lembut menyebar ke seluruh bagian tubuh dan semua syaraf. Seperti
yang dikatakan oleh Abu Jahal kepada Utbah pada hari Perang Badar, "Intafakha
saharuhu,'"' yakni paru-parunya mengembang karena dicekam oleh rasa takut
yang sangat. Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan:
تُوُفِّيَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سحري
ونحري
Rasulullah Saw. wafat di antara dada (sebelah kanan)ku dan pangkal
tenggorokanku.
Allah Swt. berfirman:
{سَحَرُوا
أَعْيُنَ النَّاسِ}
Mereka menyulap mata orang-orang. (Al-A'raf: 116)
Artinya, mereka menyembunyikan apa yang mereka lakukan dari mata orang-orang
banyak.
Abu Abdullah Al-Qurtubi mengatakan, "Menurut kalangan kami, sihir itu
merupakan perkara yang nyata." Ia mempunyai kenyataan karena Allah menciptakan
untuknya apa yang dikehendaki oleh si penyihir (sebagai istidraj, pent.).
Lain halnya dengan pendapat golongan Mu'tazilah dan Abu Ishaq Al-Isfirayini,
dari kalangan mazhab Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya sihir itu
adalah pengelabuan dan ilusi semata. Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam
kategori sihir ialah sesuatu yang dilakukan dengan tangan yang cepat seperti
permainan sulap. Ibnu Faris mengatakan bahwa pendapat ini bukan diutarakan oleh
penduduk pedalaman (orang kampung).
Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam sihir ialah bacaan yang dihafal dan
melakukan ruqyah dengan menyebut asma Allah Swt. Adakalanya sihir itu merupakan
perjanjian dengan setan-setan, maka kejadiannya akan menimbulkan berbagai macam
penyakit dan kerusakan serta lain-lainnya yang berbahaya.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa sabda Rasul Saw. yang mengatakan: Sesungguhnya
di antara ilmu bayan (paramasastra) itu benar-benar mengandung (pengaruh seperti
pengaruh) sihir. Kalimat ini dapat diinterpretasikan sebagai pujian, menurut
apa yang dikatakan oleh segolongan ulama. Dapat pula diinterpretasikan sebagai
celaan terhadap ilmu balagah. Selanjutnya Al-Qurtubi memberikan komentarnya
bahwa pendapat yang terakhir inilah yang lebih sahih, mengingat dapat saja
balagah dijadikan sebagai sarana untuk membenarkan hal yang batil, sehingga
pendengarnya terpesona oleh kata-katanya dan menduganya berada di pihak yang
benar, seperti yang disebutkan oleh sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«فَلَعَلَّ
بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي
له»
Barangkali sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengutarakan alasannya
daripada sebagian yang lain. Karena itu, lalu aku memutuskan peradilan untuk
kemenangannya. Hingga akhir hadis.
Fasal
Al-Wazir Abul Muzaffar (yaitu Yahya ibnu Muhammad ibnu Hubairah) dalam
kitabnya yang berjudul Al-Isyraf 'Ala Maza Hibil Asyraf mengetengahkan
sebuah bab yang membahas masalah sihir. Ia mengatakan bahwa mereka telah sepakat
bahwa sihir itu mempunyai kenyataan, kecuali Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah
berpendapat bahwa sihir tidak ada kenyataannya.
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang belajar sihir dan
menggunakannya. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa
pelakunya menjadi kafir.
Dari kalangan murid-murid Imam Abu Hanifah ada yang mengatakan bahwa
sesungguhnya kalau seseorang belajar ilmu sihir hanya untuk pertahanan diri atau
untuk menghindarinya, hukumnya tidak kafir. Barang siapa yang mempelajarinya
dengan keyakinan bahwa sihir diperbolehkan atau sihir bermanfaat bagi dirinya,
maka ia kafir. Demikian pula orang yang meyakini bahwa setan dapat melakukan apa
saja yang dikehendakinya, maka dia kafir.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Apabila seseorang belajar ilmu sihir
(dan telah menguasainya), maka kami akan katakan kepadanya terlebih dahulu,
'Peragakanlah sihirmu itu kepada kami.' Jika ia memperagakan jenis sihir yang
memastikannya kafir, misalnya dia berkeyakinan seperti apa yang diyakini oleh
penduduk Babil —yakni mendekatkan diri kepada/tujuh bintang, dan bahwa ketujuh
bintang tersebut dapat memberikan apa yang dimintakan kepadanya— maka dia kafir.
Apabila sihir yang diperagakannya itu tidak menyebabkan dia kafir (maka ia tidak
kafir); tetapi jika dia meyakini bahwa belajar sihir itu boleh, maka hukumnya
kafir."
Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah seorang penyihir dibunuh hanya
semata-mata karena ia memperlihatkan sihirnya dan menggunakannya?"
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad dibunuh, dan menurut Imam Syafii serta Imam
Abu Hanifah tidak. Tetapi jika sihirnya itu telah membunuh seseorang manusia,
maka ia dibunuh menurut Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa si penyihir tidak dibunuh kecuali jika ia
melakukan perbuatannya itu (membunuh orang lain dengan ilmu sihirnya) secara
berulang-ulang, atau dia mengakui sendiri telah melakukannya terhadap seseorang
tertentu. Apabila ilmu sihir seseorang digunakan untuk membunuh, maka ia dihukum
mati sebagai hukuman had-nya menurut pendapat mereka, kecuali Imam Syafii. Imam
Syafii berpendapat bahwa bila keadaannya memang demikian, maka ia dihukum mati
sebagai qisas.
Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah dapat diterima tobat tukang sihir bila
ia bertobat darinya?" Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta Imam Ahmad menurut
pendapat yang terkenal di kalangan mereka mengatakan bahwa tobatnya tidak
diterima. Akan tetapi, Imam Syafii dan Imam Ahmad menurut riwayat yang lain
mengatakan dapat diterima tobatnya.
Tukang sihir dari kalangan ahli kitab menurut Imam Abu Hanifah dihukum mati,
sebagaimana tukang sihir muslim pun dihukum mati.
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii mengatakan tidak dihukum mati; karena
menimbang kisah Labid ibnul A'sam. Mereka berselisih pendapat mengenai wanita
muslimah tukang sihir; menurut Imam Abu Hanifah, ia tidak dibunuh melainkan
hanya dihukum penjara. Sedangkan menurut ketiga imam lainnya, hukumnya sama
dengan hukum seorang laki-laki penyihir.
Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar
Al-Marwazi, bahwa Umar ibnu Harun pernah memba-ca (belajar) dari Abu Abdullah
(yakni Imam Ahmad ibnu Hambal) bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus, dari
Az-Zuhri yang mengatakan, "Penyihir dari kalangan kaum muslim dihukum mati,
sedangkan penyihir dari kalangan kaum musyrik tidak dihukum mati; karena
Rasulullah Saw. pernah disihir oleh seorang wanita Yahudi, ternyata beliau tidak
membunuhnya."
Imam Qurtubi menukil dari Imam Malik rahimahullah yang mengatakan bahwa
tukang sihir dari kalangan kafir zimmi dihukum mati jika sihirnya itu ia gunakan
untuk membunuh.
Ibnu Khuwaiz Mandad meriwayatkan dua buah riwayat dari Imam Malik sehubungan
dengan kafir zimmi bila mempraktikkan sihir. Salah satunya mengatakan bahwa ia
diminta bertobat terlebih dahulu. Jika ia masuk Islam, tidak dihukum; tetapi
jika tidak mau masuk Islam, maka ia dihukum mati. Pendapat kedua mengatakan
bahwa dia tetap dihukum mati, sekalipun masuk Islam.
Seorang penyihir itu apabila ilmu sihirnya mengandung kekufuran, maka ia
dihukumi kafir menurut keempat orang imam dan imam-imam lainnya, karena
berdasarkan kepada firman-Nya: sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu)
kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu).
Sebab itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102)
Tetapi Imam Malik mengatakan, "Jika kekufuran tampak pada dirinya, maka
tobatnya tidak diterima, karena kedudukannya sama dengan kafir zindiq. Jika dia
bertobat sebelum menampakkan kekufurannya, lalu ia datang kepada kami seraya
bertobat, maka kami menerimanya. Jika sihirnya itu ia gunakan untuk membunuh
orang, maka ia dibunuh (dihukum mati)."
Imam Syafii mengatakan, "Kalau si penyihir mengatakan, 'Aku tidak sengaja
membunuh,' maka ia dihukumi sebagai orang yang keliru dan diharuskan membayar
diat."
Masalah
Ada suatu pertanyaan, "Apakah penyihir boleh diminta untuk melepaskan
(mengobati) sihirnya?" Sa'id ibnul Musayyab r.a. memperbolehkannya menurut apa
yang dinukil oleh Imam Bukhari. Amir Asy-Sya'bi mengatakan, tidak mengapa
menggunakan nusyrah (pengobatan dengan memakai jampi). Akan tetapi,
Al-Hasan Al-Basri memakruhkannya.
Di dalam hadis sahih dari Siti Aisyah r.a. disebutkan bahwa ia pernah
berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak berobat dengan cara nusyrah?
Maka beliau Saw. menjawab:
«أَمَّا
اللَّهُ فَقَدْ شَفَانِي وَخَشِيتُ أَنْ أَفْتَحَ عَلَى النَّاسِ
شَرًّا»
Adapun Allah, sesungguhnya Dia telah menyembuhkan diriku, dan aku merasa
khawatir (bila memakai nusyrah) nanti aku membuka pintu kejahatan kepada
manusia.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Wahb yang mengatakan, "Hendaknya diambil tujuh
helai daun sidr, terus ditumbuk di antara dua buah batu, lalu diperas dengan
memakai air seraya dibacakan ayat Al-Kursi padanya. Kemudian airnya diminumkan
kepada orang yang terkena sihir sebanyak tiga tegukan, sedangkan sisanya
dimandikan untuknya. Sesungguhnya cara ini dapat melenyapkan sihir yang
mengenainya, dan cara ini amat baik buat lelaki yang mengobati istrinya."
Menurut kami, pengobatan yang paling bermanfaat untuk melenyapkan pengaruh
sihir ialah membacakan apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya
untuk menghilangkan hal tersebut, yaitu membaca surat Mu'awwizatain.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
«لَمْ
يَتَعَوَّذِ المتعوذ بِمِثْلِهِمَا»
Tiada suatu ta'awwuz pun yang digunakan oleh seseorang sebanding dengan
keduanya.
Demikian pula membaca ayat Kursi, karena sesungguhnya ayat Kursi itu dapat
digunakan untuk mengusir setan.
No comments