Muslim Notebook Header Ads

002. Surat Al-Baqoroh Ayat 200 - 249 - Tafsir Ibnu Katsir - Muslim Notebook

Al-Baqarah, ayat 200-202

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنسِكَكُمْ فَاذْكُرُواللهَ كَذِكْرِكُمْ ءَابَآءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا ءَاتِنَا فِى الدُّنْيَا وَمَالَه فِى الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ (200) وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (201) أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (202) }
Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia," dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan perliharalah kami dari siksa neraka." Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
Allah memerintahkan banyak berzikir kepada-Nya sesudah menunaikan manasik dan merampungkannya.
***********
Firman Allah Swt.:
{كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ}
sebagaimana kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian. (Al-Baqarah: 200)
Para ulama berbeda pendapat mengenai maknanya. Menurut Ibnu Jarir, dari Ata, disebutkan bahwa yang dimaksud ialah seperti ucapan seorang anak kecil kepada ayah dan ibunya. Yakni seperti anak kecil menyebut-nyebut ayah dan ibunya. Dengan kata lain, demikian pula kalian, maka sebut-sebutlah Allah dalam zikir kalian sesudah menunaikan semua manasik.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ad-Dahhak dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas hal yang semisal.
Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Jahiliah di masa lalu melakukan wuquf dalam musim haji dan seseorang dari mereka mengatakan bahwa ayahnya dahulu suka memberi makan dan menanggung beban serta menanggung diat orang lain. Tiada yang mereka sebut-sebut selain dari perbuatan bapak-bapak mereka. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu: Maka berzikiriah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah: 200)
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa As-Saddi meriwayatkan dari Anas ibnu Malik, Abu Wail, dan Ata ibnu Abu Rabbah menurut salah satu pendapatnya, juga Sa'id ibnu Jubair; serta Ikrimah menurut salah satu riwayatnya; juga Mujahid, As-Saddi, Ata Al-Khurrasani, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, Qatadah, Muhammad ibnu Ka'b, dan Muqatil ibnu Hayyan hal yang semisal dengan riwayat di atas. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Jama'ah.
Makna yang dimaksud dari ayat ini ialah anjuran untuk banyak berzikir kepada Allah Swt. Karena itu, maka lafaz asyadda dibaca nasab sebagai tamyiz. Bentuk lengkapnya ialah seperti kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian atau bahkan lebih banyak lagi dari itu. Huruf au dalam ayat ini menunjukkan pengertian merealisasikan persamaan dalam berita. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
فَهِيَ كَالْحِجارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً
hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (Al-Baqarah: 74)
يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً
mereka (orang-orang munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. (An-Nisa: 77)
وَأَرْسَلْناهُ إِلى مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ
Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih. (As-Saffat: 147)
Dan firman Allah Swt.:
فَكانَ قابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنى
Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (An-Najm: 9)
Au di sini bukan menunjukkan makna syak (ragu), melainkan untuk merealisasikan subyek berita seperti apa adanya atau lebih banyak dari itu.
Kemudian Allah Swt. memberikan petunjuk kepada mereka untuk berdoa kepada-Nya sesudah banyak berzikir kepada-Nya, karena keadaan seperti itu sangat dekat untuk diperkenankan. Dan Allah mencela orang yang tidak mau meminta kepada-Nya kecuali hanya mengenai urusan duniawinya, sedangkan urusan akhiratnya dia kesampingkan. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ}
Maka di antara manusia ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia," dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. (Al-Baqarah: 200)
Yang dimaksud dengan khalaq ialah bagian, yakni tiada keberuntungan baginya di akhirat nanti. Di dalam kalimat ini terkandung makna celaan dan menanamkan rasa antipati terhadap perbuatan seperti itu.
Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dahulu ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Arab datang ke tempat wuquf, lalu mereka berdoa, "Ya Allah, jadikanlah tahun ini tahun yang penuh dengan hujan, tahun kesuburan, dan tahun banyak anak yang baik-baik," mereka tidak menyinggung permintaan untuk akhiratnya barang sedikit pun. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Maka di antara manusia ada yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berikanlah kami (kebaikan) di dunia," dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. (Al-Baqarah: 200)
Lain halnya dengan orang-orang yang datang sesudah mereka dari kalangan kaum mukmin. Maka doa mereka ialah seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ}
Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. (Al-Baqarah: 201)
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya berkenaan dengan mereka itu, yaitu:
{أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ}
Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (Al-Baqarah: 202)
Karena itulah Allah Swt. memuji mereka yang meminta kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat melalui firman-Nya: Dan di antara mereka ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka." (Al-Baqarah: 201)
Doa ini mencakup semua kebaikan di dunia dan memalingkan semua keburukan, karena sesungguhnya kebaikan di dunia itu mencakup semua yang didambakan dalam kehidupan dunia, seperti kesehatan, rumah yang luas, istri yang cantik, rezeki yang berlimpah, ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kendaraan yang mudah, dan sebutan yang baik serta lain-lainnya; semuanya itu tercakup di dalam ungkapan mufassirin. Semua hal yang kami sebutkan tadi termasuk ke dalam pengertian kebaikan di dunia.
Adapun mengenai kebaikan di akhirat, yang paling tinggi ialah masuk surga dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti aman dari rasa takut yang amat besar di padang mahsyar, dapat kemudahan dalam hisab, dan lain sebagainya.
Bagi orang yang menghendaki keselamatan, dituntut mengerjakan hal-hal yang membawa dirinya ke jalan keselamatan itu, misalnya menjauhi hal-hal yang diharamkan, perbuatan-perbuatan yang berdosa, serta meninggalkan hal-hal yang syubhat dan yang diharamkan. Sehubungan dengan hal ini Abul Qasim Abu Abdur Rahman pernah mengatakan, "Barang siapa yang dianugerahi hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berzikir, dan tubuh yang sabar, maka sesungguhnya dia telah dianugerahi kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta dipelihara dari siksa neraka."
Karena itulah maka banyak anjuran di dalam sunnah yang memerintahkan membaca doa ini.
فَقَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "اللَّهم ربَّنا، آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ"
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, dari Abdul Aziz, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Nabi Saw. acapkali mengucapkan doa berikut: Ya Allah, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ أَكْثَرُ دَعْوَةٍ يَدْعُو بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [يَقُولُ] : "اللَّهُمَّ ربَّنا، آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وقنا عذاب النار"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Suhaib yang menceritakan bahwa Qatadah pernah bertanya kepada Anas suatu doa yang paling banyak dibaca oleh Nabi Saw. Maka Anas r.a. menjawab bahwa Nabi Saw. acapkali membaca doa berikut, yaitu: Ya Allah,  Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.
Anas r.a. apabila hendak mengucapkan suatu doa, ia pasti membaca doa ini; atau bila dia hendak mengucapkan suatu doa, maka ia mengikutkan doa ini di dalamnya. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam ibnu Syaddad (yakni Abu Talut), bahwa ia pernah berada di rumah Anas ibnu Malik, lalu Sabit berkata kepadanya, "Sesungguhnya saudara-saudaramu menginginkan agar engkau berdoa untuk mereka." Maka Anas r.a. membaca doa berikut: Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. Lalu mereka mengobrol selama sesaat; dan ketika mereka hendak bubar dari rumah sahabat Anas, mereka berkata, "Wahai Abu Hamzah, sesungguhnya saudara-saudaramu hendak bubar, maka doakanlah kepada Allah buat mereka." Sahabat Anas menjawab, "Apakah kalian menghendaki agar aku memecah-belah semua urusan kalian? Apabila Allah memberi kalian kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta Allah memelihara diri kalian dari siksa neraka, berarti kalian telah diberi semua kebaikan."
قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ حُمَيْدٍ، [وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَكْرٍ السَّهْمِيِّ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ] (3) عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَادَ رَجُلا مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَدْ صَارَ مِثْلَ الفَرْخ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَلْ تَدْعُو اللَّهَ بِشَيْءٍ أَوْ تَسْأَلُهُ إيَّاه؟ " قَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَقُولُ: اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَاقِبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سُبْحَانَ اللَّهِ! لَا تُطِيقُهُ -أَوْ لَا تَسْتَطِيعُهُ -فَهَلَّا قُلْتَ: {رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ} ". قَالَ: فَدَعَا اللَّهَ، فَشَفَاهُ.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Sabit, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. menjenguk seorang lelaki dari kaum muslim yang keadaannya sudah sangat lemah. Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: "Pernahkah engkau mendoakan sesuatu kepada Allah atau kamu meminta sesuatu kepada-Nya?" Lelaki itu menjawab, "Ya, aku sering mengucapkan, 'Ya Allah, jika Engkau akan menyiksaku di akhirat, maka kumohon agar Engkau menyegerakannya di dunia ini bagiku." Rasulullah Saw. bersabda, "Mahasuci Allah, kamu tidak akan kuat, atau kamu tidak akan mampu. Mengapa engkau tidak katakan, 'Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka' Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu lelaki tersebut mendoa kepada Allah dengan doa itu; akhirnya Allah menyembuhkannya.
Hadis ini hanya Imam Muslim sendiri yang mengetengahkannya. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abu Addi dengan lafaz yang telah disebutkan di atas.
قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ: أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سَالِمٍ الْقَدَّاحُ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عُبَيْدٍ -مَوْلَى السَّائِبِ -عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ: أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِيمَا بَيْنُ الرُّكْنِ الْيَمَانِيِّ وَالرُّكْنِ الْأَسْوَدِ: {رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ}
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salim Al-Qaddah, dari Ibnu Juraij, dari Yahya ibnu Ubaid maula As-Saib, dari ayahnya, dari Abdullah ibnus Saib, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. mengucapkan doa berikut di antara rukun Bani Jumah dan rukun Aswad, yaitu: Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.
As-Sauri meriwayatkannya pula dari Ibnu Juraij dengan lafaz yang sama. Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula dari Abu Hurairah r.a. dan Nabi Saw. dengan makna yang semisal, tetapi di dalam sanadnya terdapat kelemahan.
قَالَ ابْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي، أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْقَاسِمِ بْنِ مُسَاوِرٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هُرْمُزَ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مَرَرْتُ عَلَى الرُّكْنِ إِلَّا رَأَيْتُ عَلَيْهِ مَلَكًا يَقُولُ: آمِينَ. فَإِذَا مَرَرْتُمْ عَلَيْهِ فَقُولُوا: {رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ}
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Musawir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, dari Abdullah ibnu Hurmuz, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali aku melewati rukun melainkan aku melihat padanya seorang malaikat yang mengucapkan amin. Karena itu, apabila kalian melewatinya, maka katakanlah, "Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka."
Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zakaria Al-Anbari, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdus Salam, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Juhair yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku telah memberikan bayaran kepada suatu kaum agar mereka mau menanggungku. Untuk itu aku berikan kepada mereka semua perongkosanku dengan syarat mereka harus menghajikan aku bersama-sama mereka, apakah hal itu sudah dianggap cukup (yakni dihajikan oleh orang lain dengan perongkosan dari orang yang bersangkutan)?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Engkau termasuk orang-orang yang disebut oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: 'Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya' (Al-Baqarah: 202)."
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. 

Al-Baqarah, ayat 203

{وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (203) }
Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian akan dikumpulkan kepada-Nya.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan hari-hari yang berbilang ialah hari-hari tasyriq (menjemur dendeng); juga dikenal dengan sebutan hari-hari yang telah diketahui, yaitu hari belasan.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. (Al-Baqarah: 203) Yang dimaksud dengan berzikir ialah bertakbir dalam hari-hari tasyriq sesudah salat lima waktu, yaitu: Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Mahabesar, Allah Mahabesar).
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَوْمُ عَرَفة وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عيدُنا أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ali, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Uqbah ibnu Amir menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hari Arafah dan hari Kurban serta hari-hari tasyriq adalah hari raya kita pemeluk agama Islam, ia adalah hari-hari makan dan minum.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا خَالِدٌ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ نُبَيشة الْهُذَلِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أيامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ".
Imam Ahmad meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Abul Malih, dari Nabisyah Al-Huzali yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hari-hari tasriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah.
Imam Muslim meriwayatkan pula hadis ini.
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan hadis Jubair ibnu Mut'im yang bunyinya mengatakan:
"عَرَفَة كُلُّهَا مَوْقِفٌ، وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ كُلُّهَا ذَبْحٌ".
Arafah seluruhnya adalah tempat wuquf, dan hari-hari tasyriq adalah hari kurban.
Telah disebutkan pula hadis Abdur Rahman ibnu Ya'mur Ad-Daili, yang bunyinya mengatakan:
"وَأَيَّامُ مِنًى ثَلَاثَةٌ، فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ، وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ".
Hari-hari Mina adalah tiga hari. Maka barang siapa yang ingin cepat berangkat dari Mina sesudah dua hari, tiada dosa bag-nya; dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَخَلَادُ بْنُ أَسْلَمَ، قَالَا حَدَّثَنَا هُشَيم، عَنْ عَمْرو بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ طُعْم وَذِكْرٍ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim dan Khallad ibnu Aslam; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Amr ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan berzikir kepada Allah.
وَحَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ أَسْلَمَ، حَدَّثَنَا رَوْح، حَدَّثَنَا صَالِحٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حُذافة يَطُوفُ فِي مِنًى: "لَا تَصُومُوا هَذِهِ الْأَيَّامَ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ، وَذِكْرِ اللَّهِ، عز وجل"
Telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Aslam, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Saleh, telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah ibnu Huzafah untuk berkeliling di Mina menyampaikan seruan berikut: Janganlah kalian melakukan puasa pada hari-hari ini, karena sesungguhnya hari-hari ini adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berzikir kepada Allah Swt.
وَحَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا هُشَيم، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ حُسَيْنٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حُذَافَةَ، فَنَادَى فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَقَالَ: "إِنَّ هَذِهِ الْأَيَّامَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ، إِلَّا مَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْم مِنْ هَدْي".
Telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Sufyan ibnu Husain, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengutus Abdullah ibnu Huzafah pada hari-hari tasyriq untuk menyerukan pengumuman berikut: Sesungguhnya hari-hari ini adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah, kecuali bagi orang yang diwajibkan puasa atas dirinya sebagai ganti dari berkurban.
Dalam riwayat ini terdapat tambahan yang baik dan memperjelas makna, tetapi mursal.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Hisyam, dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Amr ibnu Dinar, bahwa Rasulullah Saw. mengutus Bisyar ibnu Suhaim untuk menyerukan maklumat berikut pada hari-hari tasyriq, yaitu:
«إن هذه أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ»
Sesungguhnya hari-hari ini adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berzikir kepada Allah.
Hasyim meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari Ata, dari Siti Aisyah yang menceritakan: Rasulullah Saw. melarang puasa pada hari-hari tasyriq. Beliau bersabda bahwa hari-hari tasyriq itu merupakan hari-hari untuk makan dan minum serta berzikir kepada Allah.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Hakim ibnu Hakim, dari Mas'ud ibnul Hakam Az-Zurqi, dari ibunya yang menceritakan: Sesungguhnya aku benar-benar melihat Ali yang sedang mengendarai hewan bigal putih Rasulullah Saw., lalu ia berhenti diperkemahan orang-orang Ansar seraya mengatakan seruan berikut: "Hai manusia, sesungguhnya hari-hari ini bukanlah hari-hari puasa, melainkan hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah."
Miqsam meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayyamam ma'dudat atau 'hari-hari yang berbilang' adalah hari-hari tasyriq, yaitu selama empat hari, dimulai dari Hari Raya Kurban hingga tiga hari berikutnya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Ibnuz Zubair, Abu Musa, Ata, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abu Malik, Ibrahim An-Nakha'i, Yahya ibnu Abu Kasir, Al-Hasan, Qata-dah, As-Saddi, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, Ata Al-Khurrasani, dan Malik ibnu Anas serta lain-lainnya.
Ali ibnu Abu Talib r.a. mengatakan bahwa hari-hari tasyriq itu adalah tiga hari (yaitu Hari Raya Kurban dan dua hari sesudahnya). Berkurbanlah di hari mana pun yang kamu sukai (di antara ketiga hari itu). Akan tetapi, yang paling utama ialah pada hari pemulaannya.
Pendapat yang pertama lebih terkenal karena pendapat ini selaras dengan makna lahiriah yang ditunjukkan oleh firman-Nya:
{فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ}
Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya. (Al-Baqarah: 203)
Dengan demikian, makna lahiriah ayat ini menunjukkan tiga hari ditambah dengan Hari Raya Kurban sebelumnya, hingga jumlah keseluruhannya empat hari.
Hal tersebut berkaitan dengan makna firman-Nya:
{وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ}
Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. (Al-Baqarah: 203)
Yakni melakukan zikir kepada Allah sewaktu melakukan kurban. Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan bahwa pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah mazhab Imam Syafii rahimahullah, yaitu bahwa waktu untuk berkurban dimulai pada Hari Raya Kurban sampai dengan akhir hari-hari tasyriq. Berkaitan pula dengannya yaitu melakukan zikir sementara sesudah melakukan tiap-tiap salat, dan zikir yang mutlak yang dianjurkan dalam semua keadaan. Mengenai waktu berzikir ini banyak pendapat dari ulama yang mengatakannya, yang paling terkenal dan banyak diamalkan ialah dimulai dari salat Subuh hari Arafah sampai dengan salat Asar di akhir hari tasyriq, tepatnya di akhir waktu nafar yang terakhir. Sehubungan dengan waktu ini ada sebuah hadis yang membicarakannya, diriwayatkan oleh Imam Daruqutni, tetapi tidak sahih predikat marfu'-nya.
Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. melakukan takbir di dalam kemah kecilnya. Maka bertakbir pulalah semua orang yang ada di pasar karena takbirnya, hingga Mina bergetar oleh suara takbir semua orang.
Berkaitan pula dengan hal tersebut yaitu membaca takbir dan zikrullah di saat melempar jumrah setiap hari di hari-hari tasyriq. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan lain-lainnya telah disebutkan bahwa sesungguhnya tawaf di Baitullah, sa'i di antara Safa dan Marwah, dan melempar jumrah disyariatkan hanyalah untuk menegakkan zikrullah.
Setelah Allah menyebutkan perihal nafar awwal dan nafar sani, yaitu berpencarnya semua orang dari musim haji menuju ke berbagai negeri sesudah mereka melakukan ijtima'-nya. dalam manasik dan tempat-tempat wuquf, kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ}
Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian akan dikumpulkan kepada-Nya. (Al-Baqarah: 203)
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَهُوَ الَّذِي ذَرَأَكُمْ فِي الْأَرْضِ وَإِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Dan Dialah yang menciptakan serta mengembangbiakkan kalian di muka bumi ini, dan kepada-Nyalah kalian akan dihimpunkan. (Al-Muminun: 79)

Al-Baqarah, ayat 204-207

{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (204) وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ (205) وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالإثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ (206) وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ (207) }
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari muka kalian), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah," bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Akhnas ibnu Syuraiq As-Saqafi yang datang kepada Rasulullah Saw., lalu menampakkan keislamannya, sedangkan di dalam batinnya memendam kebalikannya.
Dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang-orang munafik yang membicarakan perihal Khubaib dan teman-temannya yang gugur di Ar-Raji', orang-orang munafik tersebut mencela mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya yang mencela sikap orang-orang munafik dan memuji sikap Khubaib dan teman-temannya, yaitu: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah. (Al-Baqarah: 207)
Menurut pendapat yang lain, ayat ini mengandung celaan terhadap semua orang munafik secara keseluruhan, dan mengandung pujian kepada orang-orang mukmin secara keseluruhan. Pendapat ini dikemukakan oleh Qatadah, Mujahid, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lainnya; pendapat inilah yang sahih.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Al-Lais ibnu Sa'd, dari Khalid ibnu Yazid, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari- Al-Qurazi, dari Nauf (yakni Al-Bakkali, ahli dalam membaca kitab-kitab terdahulu) yang pernah mengatakan: Sesungguhnya aku menjumpai suatu sifat dari segolongan umat ini di dalam Kitabullah yang telah diturunkan, ada suatu kaum melakukan tipu muslihat dengan agama untuk meraih keduniawian; lisan mereka lebih manis daripada madu, telapi kalbu mereka lebih pahit daripada jazam (kina); mereka menampilkan dirinya di mata orang lain dengan berpakaian bulu kambing, padahal hati mereka adalah hati serigala. Allah Swt. berfirman, "Mereka berani terhadap diri-Ku dan mencoba menipu-Ku. Aku bersumpah atas nama-Ku, Aku benar-benar akan menimpakan kepada mereka suatu fitnah yang membuat orang yang penyantun (dari kalangan mereka) menjadi kebingungan." Selanjutnya Al-Qurazi mengatakan, "Setelah kupikirkan dan kubaca di dalam Al-Qur'an, ternyata kujumpai mereka yang bersifat demikian adalah orang-orang munafik," sebagaimana tertera di dalam firman-Nya: Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. (Al-Baqarah: 204), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Ma'syar, telah menceritakan kepadaku Abu Ma'syar (yakni Nujaih) yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id Al-Maqbari melakukan muzakarah bersama Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi. Maka Sa'id mengatakan, "Sesungguhnya di dalam salah satu kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa sesungguhnya ada segolongan hamba-hamba yang lisan mereka lebih manis daripada madu, tetapi hati mereka lebih pahit daripada kina. Mereka menampilkan dirinya di mata orang-orang dengan pakaian bulu domba yang kelihatan begitu lembut, mereka menjual agama dengan duniawi. Allah berfirman, 'Kalian berani kurang ajar terhadap-Ku dan mencoba menipu-Ku. Demi keagungan-Ku, Aku benar-benar akan menimpakan kepada mereka suatu fitnah yang akan membuat orang yang penyantun dari kalangan mereka kebingungan'." Maka Muhammad ibnu Ka'b mengatakan, "Ini terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur'an)." Sa'id bertanya, "Di manakah hal ini terdapat di dalam Kitabullah!" Muhammad ibnu Ka'b menjawab bahwa hal tersebut terkandung di dalam firman-Nya: Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 204), hingga akhir ayat. Sa'id mengatakan, "Sesungguhnya aku telah mengetahui berkenaan dengan siapakah ayat ini diturunkan." Maka Muhammad ibnu Ka'b menjawab, "Sesungguhnya ayat ini memang diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki, kemudian maknanya umum sesudah itu."
Apa yang dikatakan oleh Al-Qurazi ini hasan lagi sahih.
*************
Adapun mengenai firman-Nya:
{وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ}
dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. (Al-Baqarah: 204)
Ibnu Muhaisin membacanya wayasyhadullahu dengan huruf ya yang di-fathah-kan dan lafzul jalalah yang di-dammah-kan, sehingga maknanya menjadi seperti berikut: "Dan Allah menyaksikan apa yang sesungguhnya terkandung di dalam hatinya." Dengan kata lain, sekalipun hal ini dapat menipu mata kamu, tetapi Allah mengetahui orang yang di dalam hatinya mengandung keburukan. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
إِذا جاءَكَ الْمُنافِقُونَ قالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنافِقِينَ لَكاذِبُونَ
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah." Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (Al-Munafiqun: 1)
Sedangkan menurut bacaan jumhur ulama, huruf ya dibaca dammah, dan lafzul jalalah dibaca nasab, yaitu: dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) di hatinya. (Al-Baqarah: 204) Makna yang dimaksud ialah bahwa dia menampakkan keislamannya di mata manusia, sedangkan Allah mengetahui kekufuran dan kemunafikan yang dipendam di dalam hatinya. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. (An-Nisa: 108), hingga akhir ayat.
Demikianlah menurut makna yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah apabila dia ingin menampakkan keislamannya di mata orang-orang, maka ia bersumpah dan memakai nama Allah dalam sumpahnya itu untuk mendapat kepercayaan dari mereka bahwa apa yang diucapkan lisannya bersesuaian dengan apa yang ada dalam hatinya. Pengertian inilah yang sahih, dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid Aslam dan dipilih oleh Ibnu Jarir. Pendapat ini dinisbatkan sampai kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Mujahid.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ}
padahal ia adalah penantang yang paling keras. (Al-Baqarah: 204)
Al-aladd menurut istilah bahasa artinya yang paling menyimpang (membangkang). Pengertiannya sama dengan yang terdapat di dalam firman-Nya:
الْأَعْوَجُ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْماً لُدًّا
dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang. (Maryam: 97)
Makna yang dimaksud ialah menyimpang (membangkang). Demikianlah keadaan seorang munafik dalam perdebatannya, ia selalu berdusta dan melakukan pengelabuan terhadap perkara yang hak serta menyimpang dari jalan yang benar, bahkan seorang munafik itu selalu membuat-buat kedustaan dan melampaui batas. Seperti apa yang disebutkan di dalam hadis sahih dari Rasulullah Saw. yang pernah bersabda:
«آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ»
Pertanda orang munafik itu ada tiga: Apabila berbicara, dusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila bersengketa, curang.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا قَبيصةُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ جُرَيج، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكة، عَنْ عَائِشَةَ تَرْفَعُه قَالَ: "أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الألَدُّ الخَصم"
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah dengan predikat marfu', yaitu: Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci oleh Allah ialah penantang yang paling keras.
قَالَ: وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنِي ابْنُ جُرَيْجٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيكة، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "إن أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ"
Imam Bukhari mengatakan bahwa Abdullah ibnu Yazid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang pernah bersabda: Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci oleh Allah ialah penantang yang keras.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq:
عَنْ مَعْمَر فِي قَوْلِهِ: {وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ} عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ أَبْغَضَ الرجال إلى الله الألد الخصم"
dari Ma'mar sehubungan dengan makna firman-Nya: padahal ia adalah penantang yang paling keras. (Al-Baqarah: 204) Dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya lelaki yang paling dimurkai oleh Allah ialah penantang yang paling keras.
**************
Firman Allah Swt:
{وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ}
Dan apabila ia berpaling (dari mukamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (Al-Baqarah: 205)
Dengan kata lain, ucapannya selalu menyimpang dan perbuatannya jahat. Yang pertama tadi adalah mengenai ucapannya, sedangkan yang disebutkan di dalam ayat ini mengenai perbuatannya. Yakni perkataannya dusta belaka dan keyakinannya telah rusak, perbuatannya semua buruk belaka.
Makna as-sa'yu dalam ayat ini sama dengan lafaz al-qasdu (bertujuan), sebagaimana yang disebutkan di dalam firman lainnya yang menceritakan perihal Fir'aun:
{ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى* فَحَشَرَ فَنَادَى* فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الأعْلَى* فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الآخِرَةِ وَالأولَى* إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِمَنْ يَخْشَى}
Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya), lalu berseru memanggil kaumnya (seraya) berkata, "Akulah tuhan kalian yang paling tinggi." Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia. Sesungguhnya yang demikian ilu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya). (An-Nazi'at: 22-26)
Allah Swt. telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلى ذِكْرِ اللَّهِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian mengingat Allah. (Al-Jumu'ah: 9)
Yakni segeralah kalian berangkat menuju tempat salat Jumat, karena sesungguhnya pengertian sa'yu secara konkret yakni berlari kecil menuju tempat salat merupakan perbuatan yang bertentangan dengan sunnah Nabi Saw. yang mengatakan:
"إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَلَا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْن، وَأْتُوهَا وَعَلَيْكُمُ السكينةُ وَالْوَقَارُ".
 Apabila kalian mendatangi salat, janganlah kalian mendatanginya dengan berlari-lari kecil, tetapi datangilah salat dengan langkah yang tenang dan anggun.
Orang munafik yang disebutkan dalam ayat ini (Al-Baqarah: 205) adalah orang munafik yang perbuatannya hanyalah membuat kerusakan di muka bumi dan membinasakan tanam-tanaman, termasuk ke dalam pengertian ini persawahan dan buah-buahan, juga ternak, yang keduanya merupakan makanan pokok bagi manusia.
Mujahid mengatakan, "Apabila terjadi kerusakan di muka bumi, karena Allah mencegah turunnya hujan, maka binasalah tanam-tanaman dan binatang ternak." dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (Al-Baqarah: 205) Artinya, Allah tidak menyukai orang yang bersifat suka merusak, tidak suka pula kepada orang yang melakukannya.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالإثْمِ}
Dan apabila dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. (Al-Baqarah: 206)
Apabila orang yang durhaka ini diberi nasihat agar mengubah bicara dan perbuatannya dan dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah, dan berhentilah dari cara bicara dan perbuatanmu itu, serta kembalilah ke jalan yang benar," maka ia menolak dan membangkang, timbullah rasa fanatisme dan kemarahannya yang menyebabkan dia melakukan dosa. Makna ayat ini serupa dengan makna ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ تَعْرِفُ فِي وُجُوهِ الَّذِينَ كَفَرُوا الْمُنْكَرَ يَكَادُونَ يَسْطُونَ بِالَّذِينَ يَتْلُونَ عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا قُلْ أَفَأُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكُمُ النَّارُ وَعَدَهَا اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَبِئْسَ الْمَصِيرُ}
Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah, "Apakah akan aku kabarkan kepada kalian yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?’ Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. (Al-Hajj: 72)
Karena itulah maka Allah Swt. berfirman dalam ayat ini:
{فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ}
Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. (Al-Baqarah: 206)
Yakni neraka sudah cukup sebagai pembalasannya.
************
Firman Allah Swt.:
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ}
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah. (Al-Baqarah: 207)
Setelah Allah menyebutkan sifat orang-orang munafik yang tercela itu, pada ayat berikutnya Allah menyebutkan sifat orang-orang mukmin yang terpuji. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah. (Al-Baqarah: 207)
Menurut Ibnu Abbas, Anas, Sa'id ibnul Musayyab, Abu Usman An-Nahdi, Ikrimah, dan sejumlah ulama lainnya, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Suhaib ibnu Sinan Ar-Rumi. Demikian itu terjadi ketika Suhaib telah masuk Islam di Mekah dan bermaksud untuk hijrah, lalu ia dihalang-halangi oleh orang-orang kafir Mekah karena membawa hartanya. Mereka mempersyaratkan 'jika Suhaib ingin hijrah, ia harus melepaskan semua harta bendanya, maka barulah ia diperbolehkan hijrah'. Ternyata Suhaib bersikeras hijrah, dan melepas semua harta bendanya, demi melepaskan dirinya dari cengkeraman orang-orang kafir Mekah; maka ia terpaksa menyerahkan harta bendanya kepada mereka, dan ikut hijrah bersama Nabi Saw. Lalu turunlah ayat ini, dan Umar ibnul Khattab beserta sejumlah sahabat lainnya menyambut kedatangannya di pinggiran kota Madinah, lalu mereka mengatakan kepadanya, "Alangkah beruntungnya perniagaanmu." Suhaib berkata kepada mereka, "Demikian pula kalian, aku tidak akan membiarkan Allah merugikan perniagaan kalian dan apa yang aku lakukan itu tidak ada apa-apanya." Kemudian diberitakan kepadanya bahwa Allah telah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut.
Menurut suatu riwayat, Rasulullah Saw. bersabda kepada Suhaib:
"ربِح الْبَيْعُ صُهَيْبُ، رَبِحَ الْبَيْعُ صُهَيْبُ"
Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya.
قَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بن رُسْتَة، حدثنا سليمان ابن دَاوُدَ، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضَبَعي، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ: لَمَّا أردتُ الْهِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ لِي قُرَيْشٌ: يَا صهيبُ، قَدمتَ إِلَيْنَا وَلَا مَالَ لك، وَتَخْرُجُ أَنْتَ وَمَالُكَ! وَاللَّهِ لَا يَكُونُ ذَلِكَ أَبَدًا. فَقُلْتُ لَهُمْ: أَرَأَيْتُمْ إِنْ دَفَعْتُ إِلَيْكُمْ مَالِي تُخَلُّون عَنِّي؟ قَالُوا: نَعَمْ. فدفعتُ إِلَيْهِمْ مَالِي، فخلَّوا عَنِّي، فَخَرَجْتُ حَتَّى قدمتُ الْمَدِينَةَ. فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "رَبح صهيبُ، رَبِحَ صُهَيْبٌ" مَرَّتَيْنِ
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Rustuh, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulai-man Ad-Dabbi, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Suhaib yang menceritakan: Ketika aku hendak hijrah dari Mekah kepada Nabi Saw. (di Madinah), maka orang-orang Quraisy berkata kepadaku, "Hai Suhaib, kamu datang kepada kami pada mulanya tanpa harta, sedangkan sekarang kamu hendak keluar meninggalkan kami dengan harta bendamu. Demi Allah, hal tersebut tidak boleh terjadi selamanya." Maka kukatakan kepada mereka, "Bagaimanakah menurut kalian jika aku berikan kepada kalian semua hartaku, lalu kalian membiarkan aku pergi.? Mereka menjawab, "Ya, kami setuju." Maka kuserahkan hartaku kepada mereka dan mereka membiarkan aku pergi. Lalu aku berangkat hingga sampai di Madinah. Ketika berila ini sampai kepada Nabi Saw., maka beliau bersabda, "Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya, Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya," sebanyak dua kali.
Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Ali ibnu Zaid, dari Sa'id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Suhaib berangkat berhijrah untuk bergabung dengan Nabi Saw. (di Madinah), lalu ia dikejar oleh sejumlah orang-orang Quraisy. Maka Suhaib turun dari unta kendaraannya dan mencabut anak panah yang ada pada wadah anak panahnya, lalu ia berkata, "Hai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling mahir dalam hal memanah di antara kalian semua. Demi Allah, kalian tidak akan sampai kepadaku hingga aku melemparkan semua anak panah yang ada pada wadah panahku ini, kemudian aku memukul dengan pedangku selagi masih ada senjata di tanganku. Setelah itu barulah kalian dapat berbuat sesuka hati kalian terhadap diriku. Tetapi jika kalian suka, aku akan tunjukkan kepada kalian semua harta bendaku dan budak-budakku di Mekah buat kalian semua, tetapi kalian jangan menghalang-halangi jalanku." Mereka menjawab, "Ya."  Ketika Suhaib datang ke Madinah, maka Nabi Saw. bersabda: Beruntunglah jual belinya. Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 207)
Menurut kebanyakan mufassirin, ayat ini diturunkan berkenaan dengan semua mujahid yang berjuang di jalan Allah. Seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah: 111)
Ketika Hisyam ibnu Amir maju menerjang kedua sayap barisan musuh, sebagian orang memprotes perbuatannya itu (dan mengatakan bahwa ia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan). Maka Umar ibnul Khattab dan Abu Hurairah serta selain keduanya membantah protes tersebut, lalu mereka membacakan ayat ini: Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 207)

Al-Baqarah, ayat 208-209

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (208) فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (209) }
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. Tetapi jika kalian tergelincir (dari jalan Allah) sesudah datang kepada kalian bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah bahwasanya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, hendaklah mereka berpegang kepada tali Islam dan semua syariatnya serta mengamalkan semua perintahnya dan meninggalkan semua larangannya dengan segala kemampuan yang ada pada mereka.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Tawus, Ad-Dahhak, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, dan Ibnu Zaid sehubungan dengan firman-Nya: masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya. (Al-Baqarah: 208) Yang dimaksud dengan as-silmi ialah agama Islam.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan firman-Nya: masuklah kalian ke dalam Islam. (Al-Baqarah: 208) Yang dimaksud dengan as-silmi ialah taat. Qatadah mengatakan pula bahwa yang dimaksud dengan as-silmi ialah berserah diri.
Lafaz kaffah menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Abul Aliyah, Ikrimah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, Qatadah dan Ad-Dahhak artinya seluruhnya.
Mujahid mengatakan makna ayat ialah berkaryalah kalian dengan semua amal dan semua segi kebajikan.
Ikrimah menduga bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari kalangan orang-orang Yahudi dan lain-lainnya yang masuk Islam, seperti Abdullah ibnu Salam, Asad ibnu Ubaid, dan Sa'labah serta segolongan orang-orang yang meminta izin kepada Rasulullah Saw. untuk melakukan kebaktian pada hari Sabtu dan membaca kitab Taurat di malam hari.
Maka Allah memerintahkan mereka agar mendirikan syiar-syiar Islam dan menyibukkan diri dengannya serta melupakan hal lainnya.
Mengenai keterlibatan Abdullah ibnu Salam bersama mereka, masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, karena mustahil dia meminta izin kepada Rasulullah untuk melakukan kebaktian di hari Sabtu, sedangkan dia selain memiliki iman yang sempurna; juga telah membuktikan bahwa hari Sabtu itu telah di-mansukh, dihapuskan, dan dibatalkan, kemudian diganti dengan hari-hari raya Islam.
Dari kalangan mufassirin ada orang yang menjadikan firman-Nya, "Kaffah," sebagai hal (keterangan keadaan) dari lafaz ad-dakhilin, yakni masuklah kalian semua ke dalam Islam.
Tetapi pendapat yang benar adalah pendapat yang pertama, yaitu yang mengatakan bahwa mereka diperintahkan untuk mengamalkan semua cabang iman dan syariat Islam yang banyak sekali dengan segenap kemampuan yang mereka miliki.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepadaku Al-Haisam ibnu Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Zakaria, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Aun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya. (Al-Baqarah: 208) Dengan lafaz kaffah yang dibaca nasab menurut qiraah-nya, yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang mukmin dari kalangan Ahli Kitab. Karena sesungguhnya sekalipun telah beriman kepada Allah, mereka masih tetap berpegang kepada sebagian perkara kitab Taurat dan syariat-syariat yang diturunkan di kalangan mereka. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya. (Al-Baqarah: 208) Yakni masuklah kalian ke dalam syariat Nabi Muhammad Saw. dan janganlah kalian meninggalkan sesuatu pun yang ada padanya, dan tinggalkanlah apa yang ada di dalam kitab Taurat. Kalian hanya dituntut untuk beriman kepadanya saja, dan itu sudah cukup bagi kalian.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ}
dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. (Al-Baqarah: 208)
Maksudnya, kerjakanlah semua ketaatan, dan jauhilah apa yang diperintahkan oleh setan kepada kalian. Sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّما يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 169)
إِنَّما يَدْعُوا حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحابِ السَّعِيرِ
Karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (Fathir: 6). Karena itulah maka dalam ayat ini Allah Swt. berfirman:
{إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ}
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. (Al-Baqarah: 208)
Mutarrif mengatakan bahwa di antara hamba-hamba Allah yang paling banyak menipu sesama hamba-Nya adalah setan.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ}
Tetapi jika kalian tergelincir (dari jalan Allah) sesudah datang kepada kalian bukti-bukti kebenaran. (Al-Baqarah: 209)
Yaitu bila kalian menyimpang dari jalan yang hak (benar) sesudah nyata bagi kalian bukti-bukti yang jelas, maka ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya, tiada seorang pun yang dapat lari dari siksa-Nya, tiada seorang pun yang dapat mengalahkan-Nya; Dia Mahabijaksana dalam keputusan, ralat, dan ketetapan-Nya. Karena itulah maka Abul Aliyah dan Qatadah serta Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa Dia Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya lagi Mahabijaksana dalam perkara-Nya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa Dia Mahakuasa dalam pertolongan-Nya untuk menghadapi orang yang kafir kepada-Nya, jika Dia menghendaki; lagi Dia Mahabijaksana dalam pemberian maaf dan alasan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.

Al-Baqarah, ayat 210

{هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الأمُورُ (210) }
Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan dan malaikat, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.
Allah Swt. mengancam orang-orang kafir melalui Nabi Muhammad Saw. Untuk itu Dia berfirman: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al-Baqarah: 210) Yakni pada hari kiamat nanti di saat diputuskan semua perkara seluruh umat manusia dari awal sampai akhirnya, lalu setiap orang yang beramal mendapat balasan yang setimpal dari amal perbuatannya. Jika amalnya baik, maka balasannya baik pula; jika amalnya buruk, maka balasannya buruk pula. Karena itulah dalam ayat berikutnya Allah Swt. berfirman: dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan. (Al-Baqarah: 210)
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
كَلَّا إِذا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا. وَجاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا. وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرى
Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi diguncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu, sedangkan malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. (Al-Fajr: 21-23)
Dan firman Allah Swt.:
هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آياتِ رَبِّكَ
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan (siksa) Tuhanmu, atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. (Al-An'am: 158), hingga akhir ayat.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir dalam bab ini menuturkan sebuah hadis mengenai As-sur (sangkakala) yang cukup panjang mulai dari permulaannya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. Hadis ini cukup terkenal dan diketengahkan oleh banyak pemilik kitab musnad dan lain-lainnya. Antara lain di dalamnya disebutkan seperti berikut:
Bahwa umat manusia di saat mengalami kesusahan di padang mahsyar, mereka meminta syafaat kepada Tuhannya melalui para nabi seorang demi seorang, mulai dari Nabi Adam sampai nabi-nabi yang sesudahnya. Tetapi nabi-nabi itu mengelakkan dirinya dari memohon syafaat tersebut, hingga sampailah mereka kepada Nabi Muhammad Saw. Ketika mereka datang kepadanya, maka beliau Saw. bersabda: Akulah orangnya, akulah orangnya yang dapat memohonkan syafaat. Lalu Nabi Saw. berangkat dan bersujud kepada Allah di bawah Arasy, dan beliau meminta syafaat dari sisi Allah agar Dia berkenan datang untuk memutuskan peradilan di antara semua hamba-Nya. Maka Allah memberi izin kepadanya untuk memberi syafaat. Lalu Allah datang dalam naungan awan sesudah langit dunia terbelah dan semua malaikat yang ada padanya turun; kemudian langit kedua, dan langit ketiga hingga langit ketujuh terbelah pula. Para malaikat penyangga Arasy dan malaikat Karubiyyun turun. Kemudian Allah Yang Mahaperkasa turun dalam naungan awan dan para malaikat yang terdengar gemuruh suara tasbih mereka seraya mengucapkan, "Mahasuci Allah yang mempunyai kerajaan dunia dan kerajaan langit. Mahasuci Allah yang memiliki segala keagungan dan keperkasaan. Mahasuci Allah Yang Mahahidup dan tak pernah mati. Mahasuci Allah yang mematikan semua makhluk, sedangkan Dia tidak mati. Mahasuci lagi Mahakudus Tuhan para malaikat dan roh. Mahasuci lagi Mahakudus Tuhan kami Yang Mahatinggi. Mahasuci Tuhan yang memiliki kekuasaan dan keagungan. Mahasuci Allah selama-lamanya."
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih dalam bab ini mengetengahkan banyak hadis yang di dalamnya terkandung hal-hal yang aneh. Antara lain ialah apa yang diriwayatkannya melalui hadis Al-Minhal ibnu Amr, dari Abu Ubaidah ibnu Abdullah ibnu Maisarah, dari Masruq, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
"يَجْمَعُ اللَّهُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخَرِينَ لِمِيقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُومٍ، قِيَامًا شَاخِصَةً أَبْصَارُهُمْ إِلَى السَّمَاءِ، يَنْتَظِرُونَ فَصْل الْقَضَاءِ، وَيَنْزِلُ اللَّهُ فِي ظُلَل مِنَ الْغَمَامِ مِنَ الْعَرْشِ إِلَى الْكُرْسِيِّ"
Allah menghimpunkan orang-orang yang pertama dan orang-orang yang terakhir di suatu tempat pada hari yang telah dimaklumi, semua orang mengarahkan pandangannya ke langit menunggu-nunggu keputusan peradilan. Lalu Allah turun dalam naungan awan dari Arasy sampai ke Al-Kursi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ata ibnu Miqdam, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Abdul Jalil Al-Qaisi menceritakan asar berikut dari Abdullah ibnu Amr sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan. (Al-Baqarah: 210) Di saat awan itu turun, sedangkan jarak antara awan dan penciptanya itu tujuh puluh ribu hijab (tirai). Di antara tirai itu ada cahaya kegelapan dan air, kemudian di dalam kegelapan itu air mengeluarkan suara gelegar yang dapat mengejutkan hati.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah menceritakan kepada kami, Muhammad ibnul Wazir Ad-Dimasyqi telah menceritakan kepada kami, Al-Walid telah menceritakan kepada kami, bahwa aku bertanya kepada Zahir ibnu Muhammad mengenai firman Allah Swt. berikut: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada had kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan. (Al-Baqarah: 210) Naungan awan ini tersusun dari batu-batu yaqut dan bertahtakan berbagai mutiara dan zabarjad.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan makna zulalin minal gamam. Yang dimaksud dengan awan dalam ayat ini bukan sembarang awan. Awan ini belum pernah terlihat oleh seorang pun kecuali oleh Bani Israil ketika mereka tersesat di padang pasir.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan kedatangan Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al-Baqarah: 210)
Yakni para malaikat datang dengan bernaungkan awan, sedangkan Allah Swt. datang dengan cara yang Dia kehendaki. Pengertian ini menurut salah satu qiraah lainnya disebutkan seperti berikut:
"هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ وَالْمَلَائِكَةُ فِي ظُلَل مِنَ الْغَمَامِ"
Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya Allah dan para malaikat dalam naungan awan.
Perihalnya sama dengan makna yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَيَوْمَ تَشَقَّقُ السَّماءُ بِالْغَمامِ وَنُزِّلَ الْمَلائِكَةُ تَنْزِيلًا
Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah belah mengeluarkan kabut putih dan diturunkanlah malaikat bergelombang-gelombang. (Al-Furqan: 25)

Al-Baqarah, ayat 211-212

{سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ آتَيْنَاهُمْ مِنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (211) زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (212) }
Tanyakanlah kepada Bani Israil, "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka." Dan barang siapa yang menukar nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya. Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
Allah Swt. menceritakan perihal kaum Bani Israil, sudah berapa banyak mereka melihat mukjizat yang jelas dari Nabi Musa a.s. Yang dimaksud dengan ayatin bayyinah ialah hujah yang membuktikan kebenaran Nabi Musa a.s. dalam menyampaikan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepadanya, seperti tangan Nabi Musa, tongkatnya, terbelahnya laut, batu yang ia pukul, awan yang menaungi mereka di panas yang sangat terik, dan diturunkan-Nya manna dan salwa serta lain-lainnya yang menunjukkan adanya Tuhan yang berbuat demikian dalam keadaan tak terpaksa, dan kebenaran dari orang yang menyebabkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam tersebut. Tetapi sekalipun demikian, banyak dari kalangan mereka yang berpaling dari tanda-tanda yang jelas itu, dan mereka menggantikan nikmat Allah dengan kekufuran, yakni mereka membalas iman kepada hal-hal tersebut dengan keingkaran terhadapnya. Maka Allah mengancam mereka dengan siksa-Nya yang amat keras, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
Dan barang siapa yang menukar nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya. (Al-Baqarah: 211)
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya yang menceritakan perihal orang-orang kafir Quraisy, yaitu:
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ * جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ}
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. (Ibrahim: 28-29)
Kemudian Allah menyebutkan perhiasan kehidupan duniawi yang diberikan-Nya kepada orang-orang kafir, yaitu mereka yang merasa puas dengannya dan merasa tenang bergelimang di dalamnya serta berupaya menghimpun harta benda, tetapi mereka tidak mau membelanjakannya ke jalan-jalan yang diperintahkan kepada mereka untuk mengeluarkannya, yaitu jalan-jalan yang diridai oleh Allah Swt. Bahkan mereka mencemoohkan orang-orang beriman yang berpaling dari kesenangan duniawi, yaitu mereka yang membelanjakan sebagian apa yang mereka peroleh dari harta benda itu untuk ketaatan kepada Tuhan mereka. Mereka membelanjakannya demi memperoleh rida Allah. Karena itu, mereka beroleh kedudukan paling bahagia dan bagian yang berlimpah di hari mereka kembali pada hari kiamat nanti.
Kelak di hari kiamat keadaan orang-orang mukmin tersebut berada di atas mereka, baik di tempat mereka semua dihimpun —ketika mereka dibangunkan dari kuburnya masing-masing, dalam perjalanan mereka (hisabnya)— maupun tempat kembalinya. Orang-orang yang beriman akan menetap pada kedudukan yang paling tinggi di dalam surga, sedangkan orang-orang kafir berada di bagian paling bawah dari neraka- Jahannam dengan kekal dan untuk selama-lamanya. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ}
Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Al-Baqarah: 212)
Yakni Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya dari kalangan makhluk-Nya dan memberinya pemberian yang banyak lagi berlimpah tanpa batas dan tanpa hitungan, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti yang dinyatakan di dalam sebuah hadis berikut:
"ابْنَ آدَمَ، أَنْفقْ أُنْفقْ عَلَيْكَ"
Hai anak Adam, berinfaklah, niscaya Aku akan menggantikannya kepadamu.
Nabi Saw. pernah bersabda:
"أَنْفِقْ بِلَالُ وَلَا تَخْشَ مِنْ ذِي الْعَرْشِ إِقْلَالَا"
Infakkanlah terus, hai Bilal, janganlah kamu merasa takut kekurangan dari Tuhan Yang mempunyai Arasy.
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَما أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ
Dan barang apa saja yang kalian nafkahkan (belanjakan), maka Allah akan menggantinya. (Saba': 39)
Di dalam kitab sahih disebutkan seperti berikut:
«أَنَّ مَلَكَيْنِ يَنْزِلَانِ من السماء صبيحة كل يوم فيقول أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا»
Bahwa ada dua malaikat yang turun dari langit di setiap pagi hari. Salah satunya mengatakan, "Ya Allah, berikanlah kepada orang yang berinfak penggantinya." Sedangkan yang lainnya mengatakan, "Ya Allah, timpakanlah kerusakan kepada orang yang kikir.”
Di dalam hadis sahih disebutkan:
«يَقُولُ ابْنُ آدَمَ: مَالِي مَالِي. وَهَلْ لَكَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ، وَمَا لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ، وَمَا تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ»
Anak Adam mengatakan, "Hartaku, hartaku." Tetapi tiada bagianmu dari hartamu kecuali apa yang telah kamu makan, lalu kamu lenyapkan; dan apa yang kamu pakai, lalu kamu rusakkan; apa yang kamu sedekahkan, maka kamu akan memetik hasilnya nanti, sedangkan hal-hal yang selain itu bakal lenyap dan menjadi peninggalan untuk orang lain.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan sebuah hadis, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
«الدُّنْيَا دَارُ مَنْ لَا دَارَ لَهُ، وَمَالُ مَنْ لَا مَالَ لَهُ، وَلَهَا يَجْمَعُ مَنْ لا عقل له»
Dunia adalah rumah bagi orang yang tidak mempunyai rumah, dan harta bagi orang yang tidak memiliki harta, dan untuk dunialah orang yang tak berakal menghimpunnya.

Al-Baqarah, ayat 213

{كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنزلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (213) }
Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu, melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa jarak antara Adam dan Nuh adalah sepuluh generasi, semuanya berada di atas suatu syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Lalu mereka berselisih, kemudian Allah mengutus nabi-nabi untuk membawa kabar gembira dan pemberi peringatan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh qiraah (bacaan) Abdullah, yaitu:
"كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا".
Pada mulanya manusia itu umat yang satu, lalu mereka berselisih.
Riwayat ini diketengahkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Bandar, dari Muhammad ibnu Basysyar; kemudian ia mengatakan bahwa riwayat itu sahih sanadnya, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Ja'far Ar-Razi, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b. Disebutkan bahwa Ubay ibnu Ka'b membaca ayat ini dengan qiraah berikut:
"كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّيِّنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ".
Pada mulanya manusia itu umat yang satu, lalu mereka berselisih, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Manusia itu adalah umat yang satu. (Al-Baqarah: 213) Yakni pada mulanya mereka berada dalam jalan petunjuk,  lalu mereka berselisih pendapat, maka Allah mengutus para nabi. (Al-Baqarah: 213) Nabi yang mula-mula diutus oleh Allah adalah Nabi Nuh.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, yakni sama dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas tadi.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:  Manusia itu adalah umat yang satu. (Al-Baqarah: 213) Yaitu pada mulanya adalah kafir. maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi berita gembira dan pemberi peringatan. (Al-Baqarah: 213)
Tetapi pendapat yang pertama dari Ibnu Abbas lebih sahih sanad dan maknanya, karena manusia itu pada mulanya berada pada agama Nabi Adam a.s. dan lama-kelamaan mereka menyembah berhala. Maka Allah mengutus kepada mereka Nabi Nuh a.s. Dia adalah rasul pertama yang diutus oleh Allah kepada penduduk bumi ini.
Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَأَنزلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ}
Dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. (Al-Baqarah: 213)
Yakni sesudah hujah-hujah melumpuhkan mereka. Tidak sekali-kali mereka terdorong berbuat demikian (perselisihan) kecuali perbuatan aniaya sebagian dari mereka atas sebagian yang lain. Dalam firman selanjutnya disebutkan:
{فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 213)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Sulaiman Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. (Al-Baqarah: 213), hingga akhir ayat.  Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"نَحْنُ الْآخِرُونَ الْأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، نَحْنُ أوّلُ النَّاسِ دُخُولًا الْجَنَّةَ، بيد أنهم أوتوا الكتاب من قبلنا وأوتيناه مِنْ بَعْدِهِمْ، فَهَدَانَا اللَّهُ لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ من الحق، فهذا اليوم الذي اختلفوا فيه، فَهَدَانَا لَهُ فَالنَّاسُ لَنَا فِيهِ تَبَعٌ، فَغَدًا لِلْيَهُودِ، وَبَعْدَ غَدٍ لِلنَّصَارَى".
Kami adalah umat yang terakhir, tetapi kami adalah umat yang pertama di hari kiamat. Kami adalah orang yang mula-mula masuk ke surga, hanya saja mereka diberi kitab sebelum kami dan kami diberi kitab sesudah mereka. Maka Allah memberi petunjuk kami kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan seizin-Nya. Dan hari ini (yakni hari Jumat) yang mereka perselisihkan, Allah telah memberi kami petunjuk kepadanya. Maka semua orang mengikut kepada kami tentangnya, dan besok untuk orang-orang Yahudi (hari Sabtu), kemudian sesudah besok (hari Ahad) untuk orang-orang Nasrani.
Kemudian Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, yakni melalui jalur lain.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. (Al-Baqarah: 213) Mereka berselisih pendapat mengenai hari Jumat. Akhirnya orang-orang Yahudi mengambil hari Sabtu dan orang-orang Nasrani mengambil hari Ahad, dan Allah memberi petunjuk umat Nabi Muhammad kepada hari Jumat.
Mereka pun berselisih pendapat mengenai kiblat. Orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur, sedangkan orang-orang Yahudi menghadap ke arah Baitul Maqdis, dan Allah memberi petunjuk umat Muhammad ke arah kiblat.
Juga berselisih pendapat dalam cara salat. Di antara mereka ada yang rukuk tanpa sujud, ada yang sujud tanpa rukuk, ada yang salat sambil berbicara, dan ada yang salat sambil berjalan. Maka Allah memberi petunjuk umat Muhammad kepada jalan yang benar dalam melakukan salat.
Mereka berselisih pendapat mengenai puasa. Di antara mereka ada yang puasanya hanya setengah hari, ada pula yang puasa hanya meninggalkan jenis makanan tertentu. Maka Allah memberi petunjuk umat Muhammad kepada cara puasa yang benar.
Mereka berselisih pendapat mengenai Nabi Ibrahim a.s. Orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah pemeluk agama Yahudi, sedangkan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah pengikut agama Nasrani. Allah menjadikan Nabi Ibrahim seorang yang hanif lagi muslim, maka Allah memberi petunjuk umat Muhammad ke jalan yang benar dalam hal ini.
Mereka berselisih pendapat mengenai Isa a.s. Orang-orang Yahudi mendustakannya dan mereka menuduh ibunya berbuat dosa yang besar (yakni zina). Sedangkan orang-orang Nasrani menjadikannya sebagai tuhan dan anak tuhan, padahal kenyataannya Isa diciptakan oleh Allah melalui roh ciptaan-Nya dan perintah-Nya. Maka dalam masalah ini Allah memberi petunjuk umat Muhammad kepada jalan yang benar.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. (Al-Baqarah: 213) Yakni di saat mereka berselisih pendapat, maka umat Muhammad berada pada jalan seperti apa yang dibawa oleh rasul-rasul sebelum mereka (umat terdahulu) berselisih pendapat. Umat Muhammad menegakkan keikhlasan hanya kepada Allah Swt. semata dan hanya menyembah kepada-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, mendirikan salat serta menunaikan zakat. Mereka menegakkan perkara yang semula sebelum terjadi perselisihan dan menjauhkan diri dari segala bentuk perselisihan. Mereka (umat Muhammad) menjadi saksi atas umat manusia semuanya kelak di hari kiamat; mereka menjadi saksi atas kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Hud, kaum Nabi Saleh, kaum Nabi Syu'aib, dan keluarga Fir'aun; bahwa para rasul telah menyampaikan risalah Allah kepada mereka, tetapi mereka mendustakan para rasulnya.
Menurut qiraah (bacaan) Ubay ibnu Ka'b disebutkan:
"وَلِيَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ"
Dan agar mereka menjadi saksi atas umat manusia di hari kiamat, dan Allah memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Abul Aliyah selalu mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini merupakan jalan keluar dari berbagai macam syubhat, kesesatan, dan fitnah.
Firman Allah Swt. yang mengatakan bi-iznihi artinya dengan sepengetahuan-Nya dan dengan petunjuk yang Dia berikan kepada mereka. Demikianlah menurut Ibnu Jarir.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}
Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. (Al-Baqarah: 213)
Yakni dari kalangan makhluk-Nya. 
{إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Kepada jalan yang benar. (Al-Baqarah: 213)
Hanya milik-Nyalah hikmah (kebijaksanaan) dan hujah yang kuat.
Di dalam kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis dari Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. apabila akan bangkit melakukan salat sunat malam harinya, beliau selalu mengucapkan doa berikut:
"اللَّهُمَّ، رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السموات وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اختلفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ"
Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil; Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui hal yang gaib dan hal yang nyata, Engkaulah yang memutuskan perkara di antara hamba-hamba-Mu dalam hal-hal yang mereka perselisihkan di masa silam. Berilah daku petunjuk kepada kebenaran yang diperselisihkan itu dengan kehendak-Mu. Sesungguhnya Engkau selalu memberi petunjuk orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.
Di dalam doa yang masur disebutkan seperti berikut:
اللَّهُمَّ، أَرِنَا الْحَقَّ حَقّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَوَفِّقْنَا لِاجْتِنَابِهِ، وَلَا تَجْعَلْه مُلْتَبِسًا عَلَيْنَا فَنَضِلَّ، وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Ya Allah, tunjukilah kami kepada perkara hak yang sesungguhnya dan berilah kami rezeki untuk mengikutinya. Dan perlihatkanlah kepada kami perkara yang batil seperti apa adanya, dan berilah kami rezeki untuk menjauhinya. Dan janganlah Engkau jadikan perkara yang batil itu tampak samar bagi kami karena nanti kami akan sesat, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.

Al-Baqarah, ayat 214

{أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (214) }
Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
Firman Allah Swt:
{أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ}
Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga. (Al-Baqarah: 214)
Yakni sebelum kalian mendapat cobaan, ujian, dan kesengsaraan seperti apa yang pernah dialami oleh orang-orang sebelum kalian dari kalangan umat terdahulu? Karena itulah dalam ayat selanjutnya disebutkan:
{وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ}
padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan. (Al-Baqarah: 214)
Yaitu berupa berbagai macam penyakit, kesengsaraan, musibah, dan malapetaka.
Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Murrah Al-Hamdani, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar-Rabi', As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa al-ba-sa-u artinya kemiskinan, sedangkan ad-darra-u artinya penyakit. Wa-zul zilu artinya takut oleh musuh dengan takut yang sangat. Mereka mendapat cobaan yang sangat besar, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih dari Khabbab ibnul Art yang telah menceritakan hadis berikut:
قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا؟ أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا؟ فَقَالَ: "إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانَ أَحَدُهُمْ يُوضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مفْرَق رَأْسِهِ فَيَخْلُصُ إِلَى قَدَمَيْهِ، لَا يَصْرفه ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، ويُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا بَيْنَ لَحْمِهِ وَعَظْمِهِ، لَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ". ثُمَّ قَالَ: "وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ اللَّهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ، وَلَكِنَّكُمْ قَوْمٌ تَسْتَعْجِلُونَ".
Kami berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak meminta pertolongan buat kami, mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah untuk kami?" Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian ada seseorang dari mereka yang diletakkan pada ubun-ubunnya sebuah gergaji, lalu ia, dibelah dengan gergaji itu sampai kepada kedua telapak kakinya, tetapi hal itu tidak: memalingkannya dari agamanya. Ada pula yang antara daging dan tulangnya disisir dengan sisir besi, tetapi hal tersebut tidak menggoyahkan imannya dari agamanya." Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:  Demi Allah, sesungguhnya Allah pasti akan menyempurnakan agama ini hingga seorang pengendara berjalan dari San'a ke Hadramaut tanpa merasa takut kecuali kepada Allah dan serigala yang mengancam ternak kambingnya, tetapi kalian ini adalah kaum yang tergesa-gesa.
Allah Swt. telah berfirman:
{الم* أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ* وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ}
Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-'Ankabut: 1-3)
Sesungguhnya hal seperti itu pernah dialami oleh para sahabat, yaitu cobaan  yang   sangat  besar  pada  hari  menjelang  Perang  Ahzab.
Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
إِذْ جاؤُكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زاغَتِ الْأَبْصارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَناجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا. هُنالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزالًا شَدِيداً. وَإِذْ يَقُولُ الْمُنافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا غُرُوراً
(Yaitu) ketika mereka datang kepada kalian dari atas dan dari bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian) dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kalian menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Dan di situlah diuji orang-orang mukmin dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan yang sangat. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, "Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya." (Al-Ahzab: 10-12), dan ayat-ayat selanjutnya.
Ketika Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan, "Apakah kalian mememeranginya?" Abu Sufyan menjawab, "Ya." Heraklius bertanya kembali, "Bagaimanakah keadaan perang di antara kalian?" Abu Sufyan menjawab, "Silih berganti, terkadang dia mengalami kemenangan atas kami, dan adakalanya kami mengalami kemenangan atas dia." Heraklius menjawab, "Demikianlah para rasul mendapat cobaan, tetapi pada akhirnya akibat yang terpuji berada di pihak para rasul."
*************
Firman Allah Swt.:
{مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ}
sebagaimana orang-orang yang terdahulu sebelum kalian. (Al-Baqarah: 214)
Yakni sebagaimana hukum yang telah berlaku atas mereka. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
فَأَهْلَكْنا أَشَدَّ مِنْهُمْ بَطْشاً وَمَضى مَثَلُ الْأَوَّلِينَ
Maka telah Kami binasakan orang-orang yang lebih besar kekuatannya daripada mereka itu (musyrikin Mekah) dan telah terdahulu (tersebut dalam Al-Qur'an) perumpamaan umat-umat masa dahulu. (Az-Zukhruf: 8)
***********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ}
mereka diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" (Al-Baqarah: 214)
Artinya, bilakah mereka mendapat kemenangan atas musuh-musuh mereka dan mereka berdoa di saat keadaan sempit dan susah agar pertolongan dan kemenangan disegerakan.
************
Firman Allah Swt.:
{أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ}
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. (Al-Baqarah: 214)
Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Alam Nasyrah: 5-6)
Yakni sebagaimana ada kesusahan, maka akan diturunkan pula pertolongan yang semisal dengannya. Karena itulah maka disebutkan: Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Al-Baqarah: 214)
Di dalam sebuah hadis dari Abu Ruzain disebutkan:
"عَجب رَبُّكَ مِنْ قُنُوط عِبَادِهِ، وقُرْب غَيْثِهِ فَيَنْظُرُ إِلَيْهِمْ قَنطين، فَيَظَلُّ يَضْحَكُ، يَعْلَمُ أَنَّ فَرَجَهُمْ قَرِيبٌ" الْحَدِيثَ
Tuhanmu merasa heran dengan keputusasaan hamba-hamba-Nya, padahal saat pertolongan-Nya sudah dekat. Maka Tuhan memandang mereka yang dalam keadaan putus asa itu seraya tertawa karena Dia mengetahui bahwa jalan keluar mereka sudah dekat.

Al-Baqarah, ayat 215

{يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (215) }
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, "Harta apa saja yang kalian nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang kalian buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah nafkah tatawwu' (sunat).
As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini di-nasakh oleh zakat, tetapi pendapatnya ini masih perlu dipertimbangkan.
Makna ayat: Mereka bertanya kepadamu bagaimanakah caranya mereka memberi nafkah. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka Allah menjelaskan kepada mereka hal tersebut melalui firman-Nya: Katakanlah, "Harta apa saja yang kalian nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." (Al-Baqarah: 215)
Dengan kata lain, belanjakanlah harta tersebut untuk golongan-golongan itu. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis, yaitu:
«أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَأُخْتَكَ وَأَخَاكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ»
Ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, kemudian orang yang lebih bawah (nasabnya) darimu dan yang lebih bawah lagi darimu.
Maimun ibnu Mahram pernah membacakan ayat ini, lalu berkata, "Inilah jalur-jalur nafkah, tetapi di dalamnya tidak disebutkan gendang, seruling, boneka kayu, tidak pula kain hiasan dinding."
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ}
Dan apa saja kebajikan yang kalian buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (Al-Baqarah: 215)
Yakni kebajikan apa pun yang telah kamu lakukan, sesungguhnya Allah mengetahuinya. Dan kelak Dia akan memberikan balasannya kepada kamu dengan balasan yang berlimpah, karena sesungguhnya Dia tidak akan berbuat aniaya terhadap seseorang barang sedikit pun.

Al-Baqarah, ayat 216

{كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (216) }
Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian; dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.
Allah mewajibkan jihad kepada kaum muslim demi mempertahankan agama Islam dari kejahatan musuh-musuhnya. Az-Zuhri mengatakan bahwa jihad itu wajib atas setiap orang, baik ia ahli dalam berperang ataupun tidak. Bagi orang yang tidak biasa berperang, apabila diminta bantuannya untuk keperluan jihad, maka ia harus membantu. Dan apabila dimintai pertolongannya, maka ia harus menolong. Apabila diminta untuk berangkat berjihad, maka ia harus berangkat; tetapi jika tidak diperlukan, ia boleh tinggal (tidak berjihad).
Menurut kami, di dalam sebuah hadis sahih telah disebutkan seperti berikut:
"مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِغَزْوٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً"
Barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan dia belum pernah berperang (berjihad) dan tiada pula keinginan dalam hatinya untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan mati Jahiliah.
Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam hari kemenangan atas kota Mekah:
"لَا هِجْرَةَ، وَلَكِنْ جِهَادٌ ونيَّة، إِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا"
Tidak ada hijrah sesudah kemenangan, tetapi hanya jihad dan niat; dan apabila kalian diperintahkan untuk berangkat berperang, maka berangkatlah.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ}
padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. (Al-Baqarah: 216)
Yakni terasa keras dan berat bagi kalian, dan memang kenyataan perang itu demikian, adakalanya terbunuh atau terluka selain dari masyaqat perjalanan dan menghadapi musuh. Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ}
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. (Al-Baqarah: 216)
Dikatakan demikian karena berperang itu biasanya diiringi dengan datangnya pertolongan dan kemenangan atas musuh-musuh, menguasai negeri mereka, harta benda mereka, istri-istri, dan anak-anak mereka.
{وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ}
dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. (Al-Baqarah: 216)
Hal ini bersifat umum mencakup semua perkara. Adakalanya seseorang mencintai sesuatu, sedangkan padanya tidak ada kebaikan atau suatu maslahat pun baginya. Antara lain ialah diam tidak mau berperang, yang akibatnya musuh akan menguasai negeri dan pemerintahan.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}
Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 216)
Artinya, Allah lebih mengetahui tentang akibat dari semua perkara daripada kalian, dan lebih melihat tentang hal-hal yang di dalamnya terkandung kemaslahatan dunia dan akhirat bagi kalian. Maka perkenankanlah seruan-Nya dan taatilah perintah-Nya, mudah-mudahan kalian mendapat petunjuk.

Al-Baqarah, ayat 217-218

{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (217) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (218) }
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh." Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Maqdami, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, telah menceritakan kepadaku Al-Hadrami, dari Abus Siwar, dari Jundub ibnu Abdullah yang telah menceritakan hadis berikut: Rasulullah Saw. mengirimkan utusan yang terdiri atas sejumlah orang, dan mereka mengangkat Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai pemimpin. Ketika Abu Ubaidah hendak berangkat menunaikan tugasnya, tiba-tiba ia menangis karena rindu kepada Rasulullah Saw. hingga terhentilah ia dari perjalanannya. Maka Rasulullah Saw. menggantinya dengan Abdullah ibnu Jahsy dan menulis sepucuk surat buatnya dengan instruksi ia tidak boleh membaca surat tersebut sebelum tiba di tempat tertentu. Nabi Saw. bersabda kepadanya: Jangan sekali-kali kamu memaksa seseorang dari kalangan teman-temanmu untuk berangkat bersamamu. Ketika ia membaca surat tersebut, ia mengucapkan istirja' (inna lillahi wa inna ilaihi raji'una), lalu mengatakan, "Aku tunduk dan taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya." Kemudian Abdullah ibnu Jahsy menceritakan kepada mereka dan membacakan surat Nabi Saw. itu kepada mereka. Maka ada dua orang lelaki dari kalangan mereka yang kembali, sedangkan sisanya tetap bersama Abdullah ibnu Jahsy. Kemudian mereka bersua dengan Ibnul Hadrami, lalu mereka membunuhnya, sedangkan mereka tidak mengetahui apakah bulan itu adalah bulan Rajab atau bulan Jumadi. Maka orang-orang musyrik berkata kepada orang-orang muslim, "Kalian telah melakukan pembunuhan dalam bulan Haram." Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat.
As-Saddi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat. Pada mulanya Rasulullah Saw. mengirimkan sejumlah pasukan rahasia yang terdiri atas tujuh orang, di bawah pimpinan Abdullah ibnu Jahsy Al-Asadi. Mereka semuanya adalah Ammar ibnu Yasir, Abu Huzaifah ibnu Atabah ibnu Rabi'ah, Sa'id ibnu Abu Waqqas, Atabah ibnu Gazwan As-Sulami (teman sepakta Bani Naufal), Suhail ibnu Baida, Amir ibnu Fuhairah, dan Waqid ibnu Abdullah Al-Yarbu'i (teman sepakta Umar ibnul Khattab). Nabi Saw. menulis sepucuk surat buat Ibnu Jahsy dan berpesan kepadanya agar janganlah ia membaca surat tersebut sebelum turun di Lembah Nakhlah. Ketika ia turun di Lembah Nakhlah, ia membuka surat itu dan ternyata di dalamnya terdapat perintah: "Berjalanlah terus sampai kamu turun di Lembah Nakhlah". Maka Ibnu Jahsy berkata kepada teman-temannya, "Barang siapa yang ingin mati, hendaklah ia maju terus dan berwasiatlah, karena sesungguhnya aku sendiri akan berwasiat dan maju melakukan perintah Rasulullah Saw." Ibnu Jahsy maju, dan yang tidak ikut dengannya adaiah Sa'd ibnu Abu Waqqas serta Atabah; keduanya kehilangan unta kendaraannya. Karena itulah ia tidak ikut serta, sebab mencari unta kendaraannya masing-masing. Ibnu Jahsy terus berjalan menuju ke tengah Lembah Nakhlah. Tiba-tiba ia bersua dengan Al-Hakam ibnu Kaisan dan Usman ibnu Abdullah ibnul Mugirah. Bulan Jumada telah berakhir, lalu Amr terbunuh; ia dibunuh oleh Waqid ibnu Abdullah. Perang ini merupakan perang pertama yang menghasilkan ganimah bagi sahabat Rasulullah Saw. Ketika mereka kembali ke Madinah dengan membawa dua orang tawanan perang dan harta ganimah, maka penduduk Mekah berkeinginan untuk menebus kedua tawanannya itu. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya Muhammad menduga bahwa dia taat kepada Allah, tetapi dia sendirilah orang yang mula-mula menghalalkan bulan Haram dan membunuh teman kami dalam bulan Rajab." Maka kaum muslim menjawab, "Sesungguhnya kami hanya membunuhnya dalam bulan Jumada, dan ia terbunuh pada permulaan malam Rajab dan akhir malam Jumada." Lalu kaum muslim menyarungkan pedang mereka ketika bulan Rajab masuk, dan Allah menurunkan firman-Nya mencela penduduk Mekah, yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." (Al-Baqarah: 217) Yaitu tidak halal. Apa yang telah kalian lakukan, hai kaum musyrik, lebih besar daripada melakukan pembunuhan dalam bulan Haram, karena kalian kafir kepada Allah dan menghalang-halangi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya. Mengusir ahli Masjidil Haram darinya ketika mereka mengusir Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya merupakan perbuatan yang lebih besar dosanya di sisi Allah daripada melakukan pembunuhan.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang perang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar" (Al-Baqarah: 217) Pada mulanya kaum musyrik menghalang-halangi Rasulullah Saw. (untuk sampai ke Masjidil Haram) dan menolaknya masuk, hal ini terjadi pada bulan Haram. Maka Allah memberikan kemenangan kepada Nabi-Nya pada bulan Haram, juga tahun berikutnya. Lalu orang-orang musyrik mencela Rasulullah Saw. karena melakukan perang dalam bulan Haram. Allah Swt. berfirman: tetapi menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. (Al-Baqarah: 217) Yakni daripada melakukan peperangan di dalam bulan Haram. Selanjutnya Nabi Muhammad Saw. mengirimkan suatu pasukan khusus, lalu mereka bersua dengan Amr ibnul Hadrami yang sedang dalam perjalanannya dari Taif pada akhir malam Jumada dan permulaan malam bulan Rajab. Sedangkan sahabat Nabi Saw. menduga bahwa malam itu masih termasuk bulan Jumada, padahal malam tersebut merupakan permulaan malam bulan Rajab, tetapi mereka tidak menyadarinya. Maka Amr ibnul Hadrami terbunuh oleh seseorang dari pasukan khusus tersebut dan mereka merampas semua barang bawaannya (sebagai ganimah). Lalu kaum musyrik mengirimkan utusannya, mencela Nabi Saw. yang telah melakukan demikian (dalam bulan Haram). Maka Allah Swt. berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya.'" (Al-Baqarah: 217) Yaitu mengusir ahli Masjidil Haram lebih besar dosanya daripada apa yang telah dilakukan oleh sahabat Nabi Saw., dan dosa yang lebih besar lagi daripada semuanya ialah mempersekutukan Tuhan.
Demikianlah menurut riwayat Abu Sa'id Al-Baqqal, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan pasukan rahasia yang dipimpin oleh Abdullah ibnu Jahsy dan terbunuhnya Amr ibnul Hadrami.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa firman berikut diturunkan berkenaan dengan terbunuhnya Amr ibnul Hadrami dari peristiwa yang berkaitan dengannya, yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat. Abdul Malik ibnu Hisyam (seorang perawi Sirah) meriwayatkan dari Ziyad ibnu Abdullah, dari Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar Al-Madani di dalam Kitabus Sirah-nya, bahwa Rasulullah Saw. pernah mengutus Abdullah ibnu Jahsy ibnu Rabbab Al-Asadi dalam bulan Rajab, sekembalinya beliau dari Badar pertama. Beliau pun mengutus pula bersama Ibnu Jahsy delapan orang lainnya yang semuanya dari kalangan Muhajirin tanpa ada seorang Ansar pun untuk membantunya. Nabi Saw. menulis sepucuk surat buat Ibnu Jahsy seraya berpesan bahwa janganlah Ibnu Jahsy membuka surat tersebut sebelum berjalan selama dua hari. Ibnu Jahsy berangkat seperti apa yang diperintahkan kepadanya dan tidak memaksa seorang pun di antara teman-temannya untuk ikut bersamanya. Teman-teman Abdullah ibnu Jahsy dalam misi tersebut terdiri atas kalangan Muhajirin, mereka dari Bani Abdusy Syams ibnu Abdu Manaf, yaitu Abu Huzaifah ibnu Atabah ibnu Rabi'ah ibnu Abdusy Syams ibnu Abdu Manaf; teman sepakta mereka adalah Abdullah ibnu Jahsy yang menjadi pemimpin mereka. Lalu Ukasyah ibnu Mihsan (seorang dari kalangan Bani Asad ibnu Khuzaimah, teman sepakta mereka), dan dari kalangan Bani Naufal ibnu Abdu Manaf ialah Atabah ibnu Gazwan ibnu Jabir, teman sepakta mereka. Dari kalangan Bani Zuhrah ibnu Kilab ialah Sa'd ibnu Abu Waqqas, dan dari Bani Ka'b ialah Addi ibnu Amir ibnu Rabi'ah, teman sepakta mereka. Sedangkan dari luar kalangan mereka ialah Ibnu Wail dan Waqid ibnu Abdullah ibnu Abdu Manaf ibnu Urs ibnu Sa'labah ibnu Yarbu', salah seorang dari kalangan Bani Tamim, teman sepakta mereka; juga Khalid ibnul Bukair (salah seorang dari Bani Sa'd ibnu Lais, teman sepakta mereka), sedangkan dari kalangan Banil Haris ibnu Fihr ialah Suhail ibnu Baida. Ketika Abdullah ibnu Jahsy telah berjalan selama dua hari, ia membuka surat tersebut, lalu ia membacanya. Ternyata di dalamnya berisikan kalimat berikut: Apabila kamu membaca suratku ini di tempat yang dimaksud, maka lanjutkanlah perjalananmu hingga kamu istirahat di Nakhlah yang terletak antara Mekah dan Taif untuk mengintai orang-orang Quraisy dan kamu sampaikan kepada kami berita tentang (gerak-gerik) mereka. Setelah isi surat itu dibaca oleh Abdullah ibnu Jahsy, ia berkata, "Kami tunduk dan patuh." Kemudian ia berkata kepada teman-temannya, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepadaku untuk berangkat ke Nakhlah guna mengintai orang-orang Quraisy, lalu aku sampaikan beritanya kepada beliau Saw. Sesungguhnya Nabi Saw. melarangku memaksa seseorang dari kalian untuk ikut bersamaku. Maka barang siapa yang ingin mati syahid di antara kalian dan menyukainya, hendaklah ia berangkat bersamaku. Barang siapa yang tidak suka, ia boleh kembali. Adapun saya sendiri akan terus berangkat melaksanakan perintah Rasulullah Saw." Maka Ibnu Jahsy berangkat bersama teman-temannya, tiada seorang pun di antara mereka yang tertinggal. Ibnu Jahsy menempuh jalan Pegunungan Hijaz. Ketika ia sampai di suatu tambang yang terletak di atas bukit yang dikenal dengan nama Najran, Sa'd ibnu Abu Waqqas dan Atabah ibnu Gazwan kehilangan unta cadangannya, maka keduanya tertinggal karena mencari unta tersebut. Sedangkan Abdullah ibnu Jahsy dan teman-temannya tetap melanjutkan perjalanannya hingga sampai di Nakhlah. Kemudian lewatlah kafilah orang-orang Quraisy membawa muatan berupa minyak, lauk-pauk, dan barang dagangan milik mereka. Kafilah tersebut dikawal oleh Amr ibnul Hadrami (nama aslinya ialah Abdullah ibnu Abbad, salah seorang pengawal bayaran), Usman ibnu Abdullah ibnul Mugirah dan saudaranya (yaitu Naufal ibnu Abdullah), keduanya dari Bani Makhzum; juga Al-Hakam ibnu Kaisan maula Hisyam ibnul Mugirah. Ketika mereka melihat Abdullah ibnu Jahsy dan kawan-kawannya yang sedang beristirahat di dekat tempat mereka, maka rasa takut merayap di dalam hati mereka. Selanjutnya Ukasyah ibnu Mihsan menampakkan dirinya, yang saat itu Ukasyah telah mencukur rambutnya. Ketika mereka melihatnya, mereka tidak memeranginya dan membiarkannya dalam keadaan aman, dan mereka mengatakan, "Ammar termasuk salah seorang dari kaum." Kemudian kaum (pasukan kaum muslim) bermusyawarah di antara sesama mereka mengenai langkah yang akan mereka lakukan terhadap kafilah Quraisy itu. Hal tersebut terjadi pada akhir bulan Rajab. Lalu kaum berkata, "Demi Allah, seandainya kita membiarkan mereka malam ini, niscaya mereka berada di dalam bulan Haram, dan mereka akan selamat dari tangan kalian. Tetapi jika kalian memerangi mereka, berarti kalian berperang dengan mereka dalam bulan Haram." Pasukan kaum muslim ragu-ragu dan enggan memerangi mereka, tetapi pada akhirnya mereka membulatkan tekad untuk memerangi kafilah Quraisy dan sepakat untuk membunuh orang-orang yang dapat mereka kejar dari rombongan kafilah itu serta mengambil barang yang dibawanya. Kemudian Waqid ibnu Abdullah At-Tamimi melepaskan anak panahnya ke arah Amr ibnul Hadrami dan tepat mengenainya hingga ia mati, sedangkan Usman ibnu Abdullah dan Al-Hakam ibnu Kaisan mereka tawan. Di antara rombongan kafilah yang selamat ialah Naufal ibnu Abdullah, ia melarikan diri dan tidak dapat dikejar lagi oleh pasukan kaum muslim. Selanjutnya Abdullah ibnu Jahsy dan teman-temannya kembali membawa kafilah tersebut dan dua orang tawanan, hingga datang kepada Rasulullah Saw. di Madinah.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa salah seorang keluarga Abdullah ibnu Jahsy ada yang menuturkan bahwa Abdullah berkata kepada teman-temannya, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. mempunyai bagian dari ganimah yang kita hasilkan ini sebanyak seperlimanya." Demikian itu sebelum ada perintah dari Allah yang memfardukan seperlimanya buat Rasulullah Saw. (yakni seperlima ganimah). Lalu seperlima dari ganimah dipisahkan khusus buat Rasulullah Saw., sedangkan sisanya dibagi-bagikan kepada pasukan kaum muslim yang ikut dalam misi tersebut, yaitu Abdullah ibnu Jahsy dan teman-teman-nya.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah mereka datang di hadapan Rasulullah Saw., maka bersabdalah beliau Saw., "Aku tidak memerintahkan kalian melakukan perang dalam bulan Haram." Akhirnya kafilah itu dan kedua tawanan tersebut didiamkan dan beliau tidak berani mengambil sesuatu pun darinya. Ketika Rasulullah Saw. bersabda demikian, maka semua kaum yang terlibat merasa takut dan mereka menduga bahwa dirinya akan binasa, terlebih lagi saudara-saudara mereka dari kalangan kaum muslim lainnya ikut mengecam perbuatan mereka itu. Di lain pihak orang-orang Quraisy mengatakan bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram, mengalirkan darah, dan merampas harta benda serta menahan orang-orang dalam bulan tersebut. Lalu orang yang menjawab ucapan mereka (dari kalangan kaum muslim) yang ada di Mekah mengatakan, "Sesungguhnya apa yang telah mereka lakukan itu hanya terjadi dalam bulan Sya'ban." Sedangkan pihak orang-orang Yahudi mengaitkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan bahwa Amr ibnul Hadrami dibunuh oleh Waqid ibnu Abdullah. Mereka mengemukakan ramalannya bahwa amr artinya ramai (yakni perang mulai ramai), sedangkan al-hadrami artinya perang telah tiba masanya, dan waqid artinya perang telah berkobar. Maka Allah membalikkan kenyataan tersebut menimpa diri orang-orang Yahudi, bukan orang-orang muslim. Tatkala peristiwa tersebut ramai dibicarakan oleh orang-orang, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya kepada Rasulullah Saw., yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh." (Al-Baqarah: 217) Dengan kata lain, jika kalian melakukan peperangan dalam bulan Haram, sesungguhnya mereka telah menghalang-halangi kalian dari jalan Allah karena kekufuran mereka kepada-Nya; mereka juga telah mengusir kalian dari Masjidil Haram dan menghalang-halangi kalian darinya, padahal kalian adalah penduduknya. lebih besar dosanya di sisi Allah. (Al-Baqarah: 217) Yaitu daripada kalian membunuh seseorang di antara mereka. Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh. (Al-Baqarah: 217) Yakni sebelum itu mereka telah memfitnah orang muslim dalam agamanya agar mereka mengembalikannya kepada kekufuran sesudah ia beriman. Perbuatan tersebut jauh lebih besar dosanya menurut Allah daripada membunuh. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman berikutnya: Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. (Al-Baqarah: 217) Kemudian mereka tetap melakukan hal tersebut, bahkan yang lebih kotor dan lebih besar lagi tanpa henti-hentinya dan tanpa merasa jenuh.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ketika Al-Qur'an menurunkan keterangan ini, maka legalah hati kaum muslim, dan kini mereka merasa terbebas dari apa yang selama ini mengungkung hati mereka. Akhirnya Rasulullah Saw. menerima ganimah kafilah itu berikut kedua tawanannya. Selanjutnya orang-orang Quraisy mengirimkan sejumlah harta kepada Nabi Saw. untuk menebus Usman ibnu Abdullah dan Al-Hakam ibnu Kaisan. Tetapi Rasulullah Saw. menjawab: Kami tidak mau menerima tebusan kedua orang ini dari kalian sebelum kedua sahabat kami datang (dengan selamat). Yang dimaksud dengan kedua sahabat itu adalah Sa'd ibnu Abu Waqqas dan Atabah ibnu Gazwan. Selanjutnya Nabi Saw. bersabda: Karena sesungguhnya kami merasa khawatir kalian berbuat apa-apa terhadap kedua sahabatku itu. Jika kalian membunuh keduanya, maka kami akan membunuh kedua teman kalian ini. Ternyata Sa'd dan Atabah datang dengan selamat, maka Rasulullah Saw. baru mau menerima tebusan kedua tawanan itu dari mereka. Adapun Al-Hakam ibnu Kaisan, ia masuk Islam dan berbuat baik dalam masa Islamnya. Ia berada di dekat Rasulullah Saw. hingga gugur sebagai syahid dalam Perang Bi-r Ma'unah. Sedangkan Usman ibnu Abdullah bergabung di Mekah dan mati dalam keadaan kafir di Mekah.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah Abdullah ibnu Jahsy dan kawan-kawannya merasa lega dari apa yang selama itu mengungkungnya berkat adanya keterangan dari Al-Qur'an yang baru diturunkan, maka mereka merasa kehausan akan pahala, lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan agar kami maju berperang lagi, karena kami menginginkan perolehan. pahala orang-orang yang berjihad?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 218) Akhirnya Allah Swt. memenuhi keinginan mereka dengan pemenuhan yang mernuaskan.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa hadis mengenai hal ini dari Az-Zuhri dan Yazid ibnu Rauman, dari Urwah. Yunus ibnu Bukair meriwayatkan hal yang hampir sama konteksnya dengan hadis ini, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Rauman, dari Urwah ibnuz Zubair. Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan pula hal yang semisal dari Az-Zuhri sendiri.
Syu'aib ibnu Abu Hamzah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Urwah ibnuz Zubair hal yang semisal dengan hadis ini, tetapi di dalamnya disebutkan bahwa Ibnul Hadrami merupakan korban pertama dalam perang yang terjadi antara kaum muslim dan kaum musyrik. Kemudian sejumlah orang kafir Quraisy sebagai utusan mereka, memacu kendaraannya menuju Madinah, hingga tibalah mereka di hadapan Rasulullah Saw., lalu mereka berkata, "Apakah dihalalkan melakukan peperangan dalam bulan Haram?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Haram. (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat.
Hal ini telah diteliti oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah-nya.
Kemudian Ibnu Hisyam mengatakan dari Ziyad, dari Ibnu Ishaq, bahwa salah seorang keluarga Ibnu Jahsy menceritakan bahwa harta fai' dibagi-bagikan di antara keluarganya, empat perlimanya diberikan kepada orang-orang yang terlibat dalam perang tersebut, sedangkan yang seperlimanya dikhususkan buat Allah dan Rasul-Nya. Maka ketentuan tersebut tetap berlaku seperti apa yang telah dilakukan oleh Abdullah ibnu Jahsy terhadap kafilah tersebut.
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa kafilah tersebut merupakan harta ganimah yang mula-mula didapat oleh kaum muslim, dan Amr ibnul Hadrami adalah orang yang mula-mula terbunuh oleh kaum muslim, sedangkan Usman ibnu Abdullah serta Al-Hakam ibnu Kaisan merupakan orang yang mula-mula ditawan oleh kaum muslim.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa setelah peristiwa perang yang dialami oleh Abdullah ibnu Jahsy tersebut, sahabat Abu Bakar mengucapan syair berikut.
Tetapi menurut pendapat lain, yang mengatakannya justru Abdullah ibnu Jahsy sendiri. Yaitu ketika orang-orang Quraisy mengatakan, "Sesungguhnya Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram. Maka mereka mengalirkan darah padanya, merampas harta, dan menahan orang-orang."
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa bait-bait berikut adalah mihk Abdullah ibnu Jahsy sendiri, yaitu:
تَعُدُّونَ قَتْلًا فِي الْحَرَامِ عَظِيمَةً ... وَأَعْظَمُ مِنْهُ لَوْ يَرَى الرُّشْدَ رَاشِدُ
صُدُودُكُمُ عَمَّا يَقُولُ مُحَمَّدٌ ... وَكُفْرٌ بِهِ وَاللَّهُ رَاءٍ وَشَاهِدُ
وَإِخْرَاجُكُمْ مِنْ مَسْجِدِ اللَّهِ أَهْلَهُ ... لِئَلَّا يُرَى لِلَّهِ فِي الْبَيْتِ سَاجِدُ
فَإِنَّا وَإِنْ عَيَّرْتُمُونَا بِقَتْلِهِ ... وَأَرْجَفَ بِالْإِسْلَامِ بَاغٍ وَحَاسِدُ
سَقَيْنَا مِنَ ابْنِ الْحَضْرَمِيِّ رِمَاحَنَا ... بِنَخْلَةَ لَمَّا أَوْقَدَ الْحَرْبَ وَاقِدُ
دَمًا وَابْنُ عَبْدِ اللَّهِ عُثْمَانُ بَيْنَنَا ... يُنَازِعُهُ غلّ من القدّ عائد
Kalian menganggap pembunuhan dalam bulan Haram merupakan dosa besar, padahal ada yang lebih besar lagi dosanya daripada itu sekiranya orang yang berakal mau menggunakan pikirannya. Yaitu kalian telah menghalang-halangi apa yang dikatakan oleh Muhammad dan ingkar kepadanya, Allah melihat dan menyaksikan hal itu. Dan kalian telah mengusir penduduk Masjidil Haram dari tempat tinggalnya agar tidak terlihat lagi di rumah-Nya orang yang bersujud (kepada-Nya). Dan sesungguhnya kami sekalipun kalian mencela kami karena telah membunuhnya (Ibnul Hadrami) hanyalah untuk menghajar orang yang kelewat batas dan orang yang dengki terhadap Islam. Kami telah membasahi tombak kami dengan darah Ibnul Hadrami di Nakhlah, yaitu ketika Waqid menyalakan peperangan. Dan Ibnu Abdullah yaitu Usman berada di antara kami dalam keadaan terbelenggu oleh rantai akan dikembalikan.

Al-Baqarah, ayat 219-220

{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (219) فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (220) }
mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan" Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berpikir, tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي مَيْسَرَةَ، عَنْ عُمَرَ أنَّه قَالَ: لَمَّا نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ قَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّن لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ التِي فِي الْبَقَرَةِ: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ [وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ]} فدُعي عُمَرُ فقرئتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتِ الْآيَةُ التِي فِي النِّسَاءِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى} [النِّسَاءِ: 43] ، فَكَانَ مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقَامَ الصَّلَاةَ نَادَى: أَلَّا يَقْرَبَنَّ الصَّلَاةَ سكرانُ. فدُعي عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتِ الْآيَةُ التِي فِي الْمَائِدَةِ. فَدَعِي عُمَرُ، فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَلَمَّا بَلَغَ: {فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ} [الْمَائِدَةِ: 91] ؟ قَالَ عُمَرُ: انْتَهَيْنَا، انْتَهَيْنَا.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Abu Maisarah, dari Umar yang menceritakan hadis berikut: Bahwa ketika ayat pengharaman khamr diturunkan, Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan mengenai khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Maka turunlah firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar." (Al-Baqarah: 219). Lalu Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya ayat ini. Maka ia mengatakan, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Kemudian turunlah ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, yaitu: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat, sedangkan kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43). Tersebutlah bahwa juru azan Rasulullah Saw. apabila mendirikan salat selalu menyerukan, "Orang yang mabuk tidak boleh mendekati salat!" Kemudian Umar dipanggil lagi dan dibacakan kepadanya ayat tersebut. Maka Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang lebih memuaskan lagi." Lalu turunlah ayat yang ada di dalam surat Al-Maidah. Ketika bacaan ayat sampai pada firman-Nya: maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah: 91) maka Umar berkata, "Kami telah berhenti, kami telah berhenti."
Demikianlah menurut riwayat Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Israil, dari Abu Ishaq.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih melalui jalur As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Abu Maisarah yang nama aslinya ialah Amr ibnu Syurahbil AI-Hamdani Al-Kufi, dari Umar. Amr ibnu Syurahbil tidak mempunyai hadis lain yang dari Umar selain hadis ini. Akan tetapi, menurut pendapat Abu Zar'ah disebutkan bahwa Amr ibnu Syurahbil belum pernah mendengar dari Umar.
Ali ibnul Madini mengatakan bahwa sanad hadis ini baik lagi sahih, dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, sedangkan dalam riwayat Ibnu Abu Hatim disebutkan sesudah perkataan Umar, "Kami telah berhenti," yaitu "Sesungguhnya khamr itu melenyapkan harta dan menghilangkan akal."
Hadis ini diketengahkan lagi beserta hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui jalur Abu Hurairah pada tafsir firman-Nya dalam surat Al-Maidah, yaitu:
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. (Al-Maidah: 90)
*************
Firman Allah Swt.:
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ}
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. (Al-Baqarah: 219)
Definisi khamr ialah seperti apa yang dikatakan oleh Amirul Muminin Umar ibnul Khattab, yaitu segala sesuatu yang menutupi akal (memabukkan), sebagaimana yang akan dijelaskan nanti dalam tafsir surat Al-Maidah. Demikian pula maisir, yakni judi.
************
Firman Allah Swt.:
{قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ}
Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia'" (Al-Baqarah: 219)
Adapun mengenai dosa kedua perbuatan tersebut berdasarkan peraturan agama, sedangkan manfaat keduniawiannya jika dipandang sebagai suatu manfaat. Maka manfaatnya terhadap tubuh ialah mencernakan makanan, mengeluarkan angin, dan mengumpulkan sebagian lemak serta rasa mabuk yang memusingkan, seperti apa yang dikatakan oleh Hassan ibnu Sabit dalam masa Jahiliah:
وَنَشْرَبُهَا فَتَتْرُكُنَا مُلُوكًا ... وأسْدًا لَا يُنَهْنهها اللقاءُ ...
Kami meminumnya (khamr) dan khamr membuat kami bagaikan raja-raja dan juga bagaikan harimau yang tidak kuat perang (yakni menjadi pemberani).
Termasuk manfaatnya pula memperjual-belikannya dan memanfaatkan hasilnya. Sedangkan manfaat judi ialah kemenangan yang dihasilkan oleh sebagian orang yang terlibat di dalamnya, maka dari hasil itu ia dapat membelanjakannya buat dirinya sendiri dan keluarganya.
Akan tetapi, manfaat dan maslahat tersebut tidaklah sebanding dengan mudarat dan kerusakannya yang jauh lebih besar daripada manfaatnya, karena kerusakannya berkaitan dengan akal dan agama, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا}
tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. (Al-Baqarah: 219)
Karena itu, ayat ini merupakan pendahuluan dari pengharaman khamr yang pasti. Di dalam ayat ini pengharaman tidak disebutkan dengan tegas, melainkan dengan cara sindiran. Karena itulah maka Umar ibnul Khattab r.a. ketika dibacakan ayat ini kepadanya mengatakan: Ya Allah, berikanlah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan.
Setelah itu barulah turun ayat yang mengharamkannya di dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّما يُرِيدُ الشَّيْطانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَداوَةَ وَالْبَغْضاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingati Allah dan salat; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 90-91)
Dalam tafsir surat Al-Maidah nanti, masalah ini akan diterangkan dengan keterangan yang rinci.
Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Mujahid, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, sesungguhnya ayat ini merupakan permulaan ayat yang menerangkan pengharaman khamr, yaitu firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar." (Al-Baqarah: 219) Kemudian turun pula ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, sesudah itu turun ayat yang terdapat di dalam surat Al-Maidah yang mengharamkan khamr secara tegas.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ}
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219)
Lafaz al-'afwa dapat pula dibaca al-'afwu, keduanya baik dan berdekatan pengertiannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah sampai suatu hadis kepadanya bahwa sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Sa'labah datang menghadap Rasulullah Saw., lalu keduanya bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mempunyai banyak budak dan keluarganya yang semuanya itu termasuk harta kami." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:  Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. (Al-Baqarah: 219)
Al-Hakam mengatakan dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan.” (Al-Baqarah: 219) Yakni lebihan dari nafkah yang diperlukan.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari. Ibnu Umar, Mujahid, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan, Qata-dah, Al-Qasim, Salim, Ata Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya. Disebutkan bahwa mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219) Lafaz al-'afwa di sini artinya al-fadla atau lebihan (sisa dari yang diperlukan).
Telah diriwayatkan dari Tawus bahwa makna yang dimaksud ialah segala sesuatu yang mudah.
Dari Ar-Rabi' disebutkan pula bahwa makna yang dimaksud ialah hartamu yang paling utama dan paling baik. Akan tetapi, semua pendapat merujuk kepada pengertian lebihan dari apa yang diperlukan.
Abdu ibnu Humaid mengatakan dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Hauzah ibnu Khalifah, dari Auf, dari Al-Hasan sehubungan dengan ayat berikut: Mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219) Disebutkan bahwa yang dimaksud dengan istilah al-'afwa ialah jangan sampai nafkah itu memberatkan hartamu yang akhirnya kamu tidak punya apa-apa lagi dan meminta-minta kepada orang lain.
Pengertian ini ditunjukkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنِ ابْنِ عَجْلان، عَنِ المَقْبُريّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عِنْدِي دِينَارٌ؟ قَالَ: "أَنْفِقْهُ عَلَى نَفْسِكَ". قَالَ: عِنْدِي آخَرُ؟ قَالَ: "أَنْفِقْهُ عَلَى أَهْلِكَ". قَالَ: عِنْدِي آخَرُ؟ قَالَ: "أَنْفِقْهُ عَلَى وَلَدِكَ". قَالَ: عِنْدِي آخَرُ؟ قَالَ: "فَأَنْتَ أبصَرُ".
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ibnu Ajlan, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan: Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai uang dinar.'" Nabi Saw. menjawab, "Belanjakanlah buat dirimu sendiri." Lelaki itu berkata, "Aku masih memiliki yang lainnya." Nabi Saw. bersabda, "Nafkahkanlah buat keluargamu." Lelaki itu berkata, "Aku masih mempunyai yang lainnya." Nabi Saw. bersabda, "Nafkahkanlah buat anakmu." Lelaki itu berkata, "Aku masih mempunyai yang lainnya." Nabi Saw. menjawab, "Kamu lebih mengetahui."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahih-nya.
Dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui Jabir r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada seorang lelaki:
"ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَل شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضُلَ شَيْءٌ عَنْ أَهْلِكَ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضُلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا"
Mulailah dengan dirimu sendiri, bersedekahlah untuknya; jika ada lebihannya, maka buat keluarga (istri)mu. Dan jika masih ada lebihannya lagi setelah istrimu, maka berikanlah kepada kaum kerabatmu; dan jika masih ada lebihan lagi setelah kaum kerabatmu, maka berikanlah kepada ini dan itu.
Menurut Imam Muslim pula, disebutkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"خير الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْر غِنًى، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولَ"
Sebaik-baik sedekah ialah yang diberikan setelah berkecukupan; tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima). Dan mulailah dengan orang yang berada dalam tanggunganmu.
Di dalam sebuah hadis lain disebutkan pula:
"ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ إِنْ تبذُل الفضلَ خيرٌ لَكَ، وَإِنْ تُمْسِكْهُ شَرٌّ لَكَ، وَلَا تُلام عَلَى كَفَافٍ"
Hai anakAdam, sesungguhnya jikalau kamu memberikan lebihan dari yang diperlukan adalah lebih baik bagimu dan jika kamu memegangnya, maka hal itu buruk bagimu, dan kamu tidak akan dicela karena tidak mempunyai sesuatu yang bersisa.
Akan tetapi, menurut pendapat yang lain ayat ini di-mansukh oleh ayat zakat, seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, Al-Aufi, dan Ibnu Abbas; juga yang dikatakan oleh Ata Al-Khurrasani. Menurut pendapat yang lainnya lagi, ayat ini diperjelas pengertiannya oleh ayat zakat, menurut Mujahid dan lain-lainnya. Pendapat yang terakhir ini lebih terarah (kuat).
************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ * فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ}
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah: 219-220)
Yakni sebagaimana Allah menguraikan hukum-hukum ini kepada kalian. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat lainnya kepada kalian, baik mengenai hukum-hukum, janji, maupun ancaman-Nya, supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat.
Dari Ibnu Abbas, Ali ibnu Abu Talhah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dunia dengan kefanaannya dan menyongsong akhirat dengan kekebalannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Assa'q At-Tamimi yang telah mengatakan, aku telah menyaksikan Al-Hasan dan ia membaca ayat berikut: Supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah: 219-220) Demi Allah, ayat ini bagi orang-orang yang merenungi makna yang terkandung di dalamnya, niscaya ia akan mengetahui bahwa dunia ini adalah negeri cobaan, kemudian fana; dan agar ia mengetahui bahwa akhirat itu negeri pembalasan dan negeri yang kekal abadi.
Qatadah dan Ibnu Juraij serta selain keduanya mengatakan demikian.
Abdurrazaq —dari Ma'mar, dari Qatadah— mengatakan, "Agar kalian mengutamakan negeri akhirat daripada dunia." Dan menurut suatu riwayat dari Qatadah dikatakan, "Maka utamakanlah negeri akhirat daripada dunia "
**************
Firman Allah Swt:
{وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ}
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian; dan Allah mengetahui siapa yang berbuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian." (Al-Baqarah: 220), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Ata ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
{وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ}
Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152, Al Isra: 34)
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa: 10)
Maka orang-orang yang memelihara anak yatim memisahkan makanannya dengan makanan anak yatim. Begitu pula minumannya, ia pisahkan antara milik sendiri dan milik anak yatim. Akhirnya banyak lebihan makanan yang tak sempat dimakan, maka sisa tersebut ia simpan untuk dimakan di lain waktu atau makanan itu menjadi basi. Hal tersebut terasa amat berat atas diri mereka yang mempunyai anak-anak yatim, lalu mereka menceritakan perihalnya kepada Rasulullah Saw. Maka turunlah firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian." (Al-Baqarah: 220) Akhirnya mereka berani mencampurkan makanan mereka dengan makanan anak-anak yatim mereka, begitu pula minumannya.
Demikianlah menurut riwayat Abu Daud, Nasai, Ibnu Abu Hatim, Ibnu Murdawaih, dan Al-Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui berbagai jalur dari Ata ibnus Saib dengan lafaz yang sama.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ali ibnu Abu Talhah dari Ibnu Abbas r.a.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Saddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas; juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud r.a. dengan lafaz yang semisal.
Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh seorang perawi saja mengenai asbabun nuzul ayat ini, antara lain seperti Mujahid, Ata, Asy-Sya'bi, Ibnu Abu Laila, dan Qatadah; bukan pula hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Waki' ibnul Jarrah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam (murid Ad-Dustiwa-i), dari Hammad, dari Ibrahim yang telah mengatakan bahwa Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku tidak suka bila harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaanku dipisahkan secara menyendiri, melainkan aku mencampurkan makanannya dengan makananku dan minumannya dengan minumanku."
**************
Firman Allah Swt.:
{قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ}
Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik.” (Al-Baqarah: 220)
Makna yang dimaksud ialah memisahkannya secara menyendiri.
{وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ}
Dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian. (Al-Baqarah: 220)
Artinya, bila kamu mencampurkan makananmu dengan makanan mereka, begitu pula minumanmu dengan minuman mereka, tidaklah mengapa kamu melakukannya, sebab mereka adalah saudara-saudara seagama kalian. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan:
{وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ}
Dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. (Al-Baqarah: 220)
Yakni Allah mengetahui tujuan dan niat yang sebenarnya, apakah hendak membuat kerusakan atau perbaikan.
**************
Firman-Nya:
{وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ}
Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 220)
Yaitu seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia akan mempersulit kalian dan mempersempit kalian. Tetapi ternyata Dia meluaskan kalian dan meringankan beban kalian, serta memperbolehkan kalian bergaul dan bercampur dengan mereka (anak-anak yatim) dengan cara yang lebih baik.
Allah Swt. telah berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا مالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152)
Bahkan Allah memperbolehkan bagi orang yang miskin memakan sebagian dari harta anak yatim dengan cara yang makruf, yaitu adakalanya dengan jaminan akan menggantinya bagi orang yang mudah untuk menggantinya atau secara gratis. Seperti yang akan dijelaskan keterangannya dalam tafsir surat An-Nisa nanti.

Al-Baqarah, ayat 221

{وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (221) }
Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Melalui ayat ini Allah mengharamkan atas orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah berhala. Kemudian jika makna yang dimaksud bersifat umum, berarti termasuk ke dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan wasaniyah. Akan tetapi, dikecualikan dari hal tersebut wanita Ahli Kitab oleh firman-Nya:
وَالْمُحْصَناتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسافِحِينَ
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian, bila kalian telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina. (Al-Maidah: 5)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) Bahwa Allah mengecualikan dari hal tersebut wanita Ahli Kitab.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Makhul, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya.
Menurut pendapat yang lain, bahkan yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala, dan bukan Ahli Kitab secara keseluruhan. Makna pendapat ini berdekatan dengan pendapat yang pertama tadi.
Adapun mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنِي عُبَيْدُ بْنُ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ بَهْرَام الْفَزَارِيُّ، حَدَّثَنَا شَهْر بْنُ حَوْشَب قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ: نَهَى رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَصْنَافِ النِّسَاءِ، إِلَّا مَا كَانَ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ الْمُهَاجِرَاتِ، وَحَرَّمَ كُلَّ ذَاتِ دِينٍ غَيْرِ الْإِسْلَامِ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ} [الْمَائِدَةِ: 5] . وَقَدْ نَكَحَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيد اللَّهِ يَهُودِيَّةً، وَنَكَحَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ نَصْرَانِيَّةً، فَغَضِبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ غَضَبًا شَدِيدًا، حَتَّى هَمَّ أَنْ يَسْطُوَ عَلَيْهِمَا. فَقَالَا نَحْنُ نطَلق يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، وَلَا تَغْضَبُ! فَقَالَ: لَئِنْ حَلّ طَلَاقُهُنَّ لَقَدْ حَلَّ نِكَاحُهُنَّ، وَلَكِنِّي أَنْتَزِعُهُنَّ مِنْكُمْ صَغَرَة قَمأة
yaitu telah menceritakan kepadaku Ubaid ibnu Adam ibnu Abu lyas Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepadaku Abdul Hamid ibnu Bahram Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Abbas mengatakan hadis berikut:  Rasulullah Saw. telah melarang menikahi berbagai macam wanita kecuali wanita-wanita yang mukmin dari kalangan Muhajirin dan mengharamkan pula mengawini wanita beragama selain Islam. Allah Swt. telah berfirman: Barang siapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amalannya. (Al-Maidah: 5) Talhah ibnu Abdullah pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, dan Huzaifah ibnul Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Nasrani, maka Khalifah Umar ibnul Khattab marah sekali mendengarnya hingga hampir-hampir dia menghajar keduanya. Tetapi keduanya mengatakan, "Wahai Amirul Muminin, janganlah engkau marah, kami akan menceraikannya." Khalifah Umar menjawab, "Kalau boleh ditalak, berarti halal dinikahi. Tidak, aku akan mencabut mereka dari kalian secara hina dina."
Hadis di atas berpredikat garib jiddan (aneh sekali), demikian pula asar yang dari Umar ibnul Khattab r.a.
Abu Ja'far ibnu Jarir sesudah meriwayatkan perihal adanya kesepakatan boleh menikahi wanita Ahli Kitab mengatakan bahwa sesungguhnya Khalifah Umar hanyalah tidak menyukai perkawinan seperti itu dengan maksud agar kaum muslim tidak enggan menikahi wanita-wanita muslimah, atau karena alasan lainnya. Seperti yang telah diceritakan kepada kami oleh Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu Bahram, dari Syaqiq yang menceritakan bahwa Huzaifah mengawini seorang wanita Yahudi, lalu Umar r.a. berkirim surat kepadanya yang isinya mengatakan, "Lepaskanlah dia." Lalu Huzaifah membalas suratnya, "Apakah engkau menduga bahwa kawin dengan dia haram hingga aku harus melepaskannya?" Umar mengatakan, "Aku tidak menduganya haram dikawin, melainkan aku merasa khawatir kalian enggan menikahi wanita-wanita mukmin karena mereka (wanita-wanita Ahli Kitab)." Sanad asar ini sahih.
Al-Khalal meriwayatkan hal yang semisal dari Muhammad ibnu Ismail, dari Waki', dari As-Silt.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Abdur Rahman Al-Masruq, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa'd, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Zaid ibnu Wahb yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah mengatakan: Lelaki muslim boleh mengawini wanita Nasrani, tetapi lelaki Nasrani tidak boleh mengawini wanita muslimah.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asar ini lebih sahih sanadnya daripada yang pertama tadi.
حَدَّثَنَا تَمِيمُ بْنُ الْمُنْتَصِرِ، أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ الْأَزْرَقُ عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سَوَّارٍ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نَتَزَوَّجُ نِسَاءَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا يَتَزَوَّجُونَ نِسَاءَنَا".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Tamim ibnul Muntasir, telah menceritakan kepada kami Ishaq Al-Azraqi, dari Syarik, dari Asy'as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kami boleh mengawini wanita-wanita Ahli Kitab, tetapi mereka tidak boleh mengawini wanita-wanita kami.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa hadis ini sekalipun dalam sanadnya terdapat sesuatu, tetapi semua umat sepakat akan hal tersebut. Demikianlah pendapat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Ja'far ibnu Barqan, dari Maimun ibnu Mihran, dari Ibnu Umar, bahwa ia menghukumi makruh mengawini wanita Ahli Kitab atas dasar takwil firman-Nya:  Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221)
Imam Bukhari mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah berkata, "Aku belum pernah mengetahui perbuatan syirik yang lebih besar daripada perkataan wanita Ahli Kitab, bahwa tuhannya adalah Isa."
Abu Bakar Al-Khalal Al-Hambali mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim. Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Ahmad, bahwa keduanya pernah bertanya kepada Abu Abdullah Ahmad ibnu Hambal mengenai makna firman-Nya:  Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) Bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita musyrik ialah mereka yang menyembah berhala.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ}
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)
As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Rawwahah. Dia mempunyai seorang budak wanita hitam, lalu di suatu hari ia marah kepadanya, kemudian menamparnya. Setelah itu ia merasa menyesal, lalu ia datang kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan kepadanya peristiwa yang telah dialaminya itu. Rasulullah Saw. bertanya kepadanya, "Bagaimanakah perilakunya?" Abdullah ibnu Rawwahah menjawab, "Dia puasa, salat, melakukan wudu dengan baik, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan Allah." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Abu Abdullah, kalau demikian dia adalah wanita yang beriman." Abdullah ibnu Rawwahah lalu berkata, "Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, aku benar-benar akan memerdekakannya, lalu akan aku nikahi." Abdullah ibnu Rawwahah melakukan apa yang telah dikatakannya itu. Lalu ada sejumlah kaum muslim yang mengejeknya dan mengatakan bahwa dia telah mengawini budak perempuannya.
Mereka bermaksud akan menikahkan budak-budak wanita mereka kepada orang-orang musyrik karena faktor ingin mengambil keturunan dan kedudukannya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya budak perempuan yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)
{وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ}
Sesungguhnya budak lelaki yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)
قَالَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زِيَادٍ الْإِفْرِيقِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ، فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ، وَلَا تَنْكِحُوهُنَّ عَلَى أَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَانْكِحُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ، فَلَأَمَةٌ سَوْدَاءُ خَرْماء ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ"
Abdu ibnu Humaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ziyad Al-Afriqi, dari Abdullah ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Umar, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Janganlah kamu mengawini wanita karena kecantikannya, karena barangkali kecantikannya akan menjerumuskan mereka. Dan janganlah kamu nikahi wanita karena harta bendanya, karena barangkali harta bendanya itu membuatnya kelewat batas. Tetapi nikahilah karena agamanya, sesungguhnya budak wanita hitam lagi tidak cantik tetapi beragama adalah lebih utama.
Akan tetapi, Al-Afriqi orangnya daif.
Disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
"تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا؛ فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ"
Wanita itu dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya; maka pilihlah wanita yang kuat agamanya, niscaya kamu akan beruntung.
Disebutkan pula oleh Imam Muslim, dari Jabir r.a., hal yang semisal.
Imam Muslim meriwayatkan pula melalui Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَالِحٍةُ»
Dunia itu adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia ialah (mempunyai) istri yang saleh.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا}
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita beriman) sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221)
Artinya, janganlah kalian mengawinkan wanita yang beriman dengan lelaki yang musyrik. Pengertian ayat ini sama dengan firman-Nya:
{لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ}
Mereka (wanita-wanita yang beriman) tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (Al-Mumtahanah: 10)
*************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ}
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)
Dengan kata lain, seorang lelaki mukmin —sekalipun sebagai budak yang berkulit hitam (Habsyi)— adalah lebih baik daripada orang musyrik, sekalipun ia sebagai pemimpin lagi orang yang kaya.
{أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ}
Mereka mengajak ke neraka. (Al-Baqarah: 221)
Yakni bergaul dan berjodoh dengan mereka membangkitkan cinta kepada keduniawian dan gemar mengumpulkannya serta mementingkan duniawi di atas segalanya dan melupakan perkara akhirat. Hal tersebut akibatnya akan sangat mengecewakan.
{وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ}
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Al-Baqarah: 221)
Yang dimaksud dengan bi iznihi ialah dengan syariat-Nya dan perintah serta larangan-Nya.
{وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ}
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Al-Baqarah: 221)

Al-Baqarah, ayat 222-223

{وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222) نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (223) }
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُؤَاكلوها وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِي الْبُيُوتِ، فَسَأَلَ أصحابُ النَّبِيِّ [النبيَّ] صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ} حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْآيَةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ". فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ، فَقَالُوا: مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدع مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ! فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَير وعبَّاد بْنُ بِشْرٍ فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْيَهُودَ قَالَتْ كَذَا وَكَذَا، أَفَلَا نُجَامِعُهُنَّ؟ فَتَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا، فَخَرَجَا، فَاسْتَقْبَلَتْهُمَا  هَدِيَّةٌ مِنْ لَبَنٍ إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فَأَرْسَلَ فِي آثَارِهِمَا، فَسَقَاهُمَا، فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجدْ عَلَيْهِمَا.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas, bahwa orang-orang Yahudi itu apabila ada seorang wanita dari mereka mengalami haid, maka mereka tidak mau makan bersamanya, tidak mau pula serumah dengan mereka. Ketika sahabat Nabi Saw. menanyakan masalah ini kepadanya, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. (Al-Baqarah: 222), hingga akhir ayat. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri yang sedang haid) kecuali nikah (bersetubuh). Ketika berita tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka mereka mengatakan, "Apakah yang dikehendaki oleh lelaki ini (maksudnya Nabi Saw.), tidak sekali-kali ia membiarkan suatu hal dari urusan kami, melainkan ia pasti berbeda dengan kami mengenainya." Kemudian datanglah Usaid ibnu Hudair dan Abbad ibnu Bisyr, lalu keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi mengatakan anu dan anu. Maka bolehkah kami bersetubuh dengan mereka (wanita-wanita yang sedang haid)?" Mendengar itu roman muka Rasulullah Saw. berubah hingga kami menduga bahwa beliau sangat marah terhadap Usaid dan Abbad. Setelah itu keduanya pulang, dan mereka berpapasan dengan hadiah yang akan diberikan kepada Rasulullah Saw. berupa air susu. Maka Rasulullah Saw. memanggil keduanya untuk datang menghadap. Ketika keduanya sampai di hadapan Rasulullah Saw., maka beliau memberinya minum dari air susu itu. Maka keduanya mengerti bahwa Rasulullah Saw. tidak marah terhadapnya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Hammad ibnu Zaid ibnu Salamah.
***************
Firman Allah Swt.:
{فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ}
Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. (Al-Baqarah: 222)
Yang dimaksud ialah menjauhi farjinya, karena berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan: Lakukanlah segala sesuatu (dengan mereka) kecuali nikah (bersetubuh).
Karena itulah maka banyak kalangan ulama yang berpendapat bahwa boleh menggauli istri dalam masa haidnya selain persetubuhan,
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ مِنَ الْحَائِضِ شَيْئًا، أَلْقَى عَلَى فَرْجِهَا ثَوْبًا
Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, dari Ikrimah, dari salah seorang istri Nabi Saw.: Bahwa Nabi Saw. apabila menginginkan sesuatu dari istrinya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau menutupi farjinya dengan kain.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ أَيْضًا: حَدَّثَنَا القَعْنَبِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ -يَعْنِي ابْنَ عُمَرَ بْنِ غَانِمٍ -عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ -يَعْنِي ابْنَ زِيَادٍ -عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غُرَاب: أَنَّ عمَّة لَهُ حَدَّثَتْهُ: أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ قَالَتْ: إِحْدَانَا تَحِيضُ، وَلَيْسَ لَهَا وَلِزَوْجِهَا فِرَاشٌ إِلَّا فِرَاشٌ وَاحِدٌ؟ قَالَتْ: أُخْبِرُكِ بِمَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَخَلَ فَمَضَى إِلَى مَسْجِدِهِ -قَالَ أَبُو دَاوُدَ: تَعْنِي مَسْجِدَ بَيْتِهَا -فَمَا انْصَرَفَ حَتَّى غَلَبَتْنِي عَيْنِي، وَأَوْجَعَهُ الْبَرْدُ، فَقَالَ: "ادْنِي مِنِّي". فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضٌ. فَقَالَ: "اكْشِفِي عَنْ فَخِذَيْكِ". فَكَشَفْتُ فَخِذِي، فَوَضَعَ خَدَّهُ وَصَدْرَهُ عَلَى فَخِذِي، وحنَيت عَلَيْهِ حَتَّى دَفِئَ وَنَامَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Umar ibnu Ganim), dari Abdur Rahman (yakni ibnu Jiyad), dari Imarah ibnu Garrab, bahwa salah seorang bibinya pernah menceritakan kepadanya hadis berikut: Bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah r.a., "Salah seorang dari kami mengalami haid, sedangkan dia dan suaminya tidak mempunyai ranjang kecuali hanya satu buah ranjang." Siti Aisyah mengatakan, "Aku akan menceritakan kepadamu tentang apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Pada suatu hari Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahku (menggilimya), lalu beliau keluar ke musalanya (masjid yang ada di dalam rumah Siti Aisyah). Aku tidak ke mana-mana hingga mataku terasa mengantuk, dan ternyata Nabi Saw. merasa kedinginan, lalu ia berkata, 'Mendekatlah kepadaku!' Aku menjawab, 'Aku sedang haid.' Nabi Saw. bersabda, 'Bukalah kedua pahamu.' Maka aku membuka kedua pahaku, lalu beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas kedua pahaku, dan aku mendekapnya hingga ia merasa hangat dan tidur'."

Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari catatan Abu Qilabah yang menceritakan hadis berikut: Bahwa Masruq memacu untanya menuju rumah Siti Aisyah, lalu ia berkata, "Semoga keselamatan terlimpah kepada Nabi dan keluarganya.” Maka Siti Aisyah berkata, "Selamat datang, selamat datang." Mereka memberi izin kepadanya untuk menemui Siti Aisyah. Lalu Masruq masuk dan bertanya, "Sesungguhnya aku hendak menanyakan kepadamu tentang suatu masalah, tetapi aku malu mengutarakannya." Siti Aisyah menjawab, "Sesungguhnya aku adalah ibumu dan kamu adalah anakku." Masruq berkata, "Apakah yang boleh dilakukan oleh seorang lelaki terhadap istrinya yang sedang haid?" Siti Aisyah menjawabnya, "Segala sesuatu kecuali persetubuhan."
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Humaid ibnu Mus'adah, dari Yazid ibnu Zurai', dari Uyaynah ibnu Abdurrahman ibnu Jusyan, dari Marwan Al-Asfar, dari Masruq yang mengatakan, "Aku bertanya kepada Siti Aisyah, apakah yang dihalalkan bagi seorang lelaki terhadap istrinya apabila ia sedang haid?" Siti Aisyah menjawab, "Segala sesuatu kecuali persetubuhan."
Pendapat yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, dan Ikrimah.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Abu Kuraib, dari Ibnu Abuz Zaidah, dari Hajyaj, dari Maimun ibnu Mihran, dari Sid Aisyah r.a. yang pernah mengatakan kepadanya, "(Kamu boleh melakukan segala sesuatu kepada istrimu) pada bagian di atas kain sarungnya."
Menurut kami, seorang suami boleh tidur bersama istrinya yang sedang haid, boleh pula makan bersamanya tanpa ada yang memperselisihkannya.
Siti Aisyah r.a. pernah menceritakan hadis berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنِي فَأَغْسِلُ رَأْسَهُ وَأَنَا حَائِضٌ، وَكَانَ يَتَّكِئُ فِي حِجْرِي وَأَنَا حَائِضٌ، فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ
Rasulullah Saw. pernah memerintahku agar aku mencuci kepalanya, sedangkan aku dalam keadaan berhaid. Dan beliau Saw. pernah bersandar di atas pangkuanku, sedangkan aku dalam keadaan haid, lalu Rasulullah Saw. membaca Al-Qur'an.
Di dalam kitab sahih disebutkan sebuah hadis dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan:
كُنْتُ أَتَعَرَّقُ العَرْق وَأَنَا حَائِضٌ، فَأُعْطِيهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَضَعُ فَمَهُ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي وَضَعْتُ فَمِي فِيهِ، وَأَشْرَبُ الشَّرَابَ فَأُنَاوِلُهُ، فَيَضَعُ فَمَهُ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي كُنْتُ أَشْرَبُ
Aku pernah makan daging yang ada tulangnya ketika sedang haid, lalu aku memberikannya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. meletakkan mulutnya di tempat bekas gigitanku, lalu aku minum dan memberikan bekas minumanku kepadanya, maka beliau meletakkan mulutnya di tempat bekas aku meletakkan mulutku.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ جَابِرِ بْنِ صُبْح سَمِعْتُ خِلَاسًا الهَجَري قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ: كُنْتُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيتُ فِي الشِّعَارِ الْوَاحِدِ، وَإِنِّي حَائِضٌ طَامِثٌ، فَإِنْ أَصَابَهُ مِنِّي شَيْءٌ، غَسَلَ مَكَانَهُ لَمْ يَعْدُه، وَإِنْ أَصَابَ -يَعْنِي ثَوْبَهُ -شَيْءٌ غَسَلَ مَكَانَهُ لَمْ يَعْدُه، وَصَلَّى فِيهِ
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Jabir ibnu Subhi yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Khalas Al-Hajri menceritakan hadis berikut dari Siti Aisyah r.a.: Aku dan Rasulullah Saw. sering berada dalam satu selimut, sedangkan aku dalam keadaan berhaid yang deras. Maka jika tubuhnya terkena sesuatu (darah) dariku, beliau mencucinya tanpa melampaui bagian lainnya. Dan jika bajunya terkena sesuatu dariku, maka beliau mencuci bagian yang terkena tanpa melampaui bagian lainnya dan memakainya untuk salat.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ -يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ -عَنْ أَبِي الْيَمَانِ، عَنْ أُمِّ ذَرَّةَ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّهَا قَالَتْ: كنتُ إِذَا حضْتُ نَزَلْتُ عَنِ المثَال عَلَى الْحَصِيرِ، فَلَمْ نَقْرَبْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ نَدْنُ مِنْهُ حَتَّى نَطْهُرَ
yaitu telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Jabbar, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz (yakni Ibnu Muhammad), dari Abul Yaman, dari Ummu Zurrah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Adalah aku bila sedang haid, maka aku turun dari kasur ke tikar.
Dengan kata lain, ia tidak mendekat kepada Rasulullah- begitu pula Rasulullah Saw., tidak mendekatinya hingga ia suci dari haidnya. Maka hadis ini diinterpretasikan dengan pengertian sebagai tindakan preventif dan hati-hati.
Ulama lainnya mengatakan bahwa sesungguhnya seorang istri dihalalkan bagi suaminya dalam masa haidnya hanya pada bagian selain dari anggota di bawah kain sarungnya, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain dari Maimunah bintil Haris Al-Hilaliyah yang telah menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُبَاشِرَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ أَمَرَهَا فَاتَّزَرَتْ وَهِيَ حَائِضٌ
Adalah Nabi Saw. apabila ingin menggauli salah seorang istrinya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau memerintahkan kepadanya untuk memakai kain sarung.
Demikianlah lafaz yang diketengahkan oleh Imam Bukhari. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hadis yang semisal dari Siti Aisyah r.a.
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi serta Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Al-Ala, dari Hizam ibnu Hakim, dari pamannya (yaitu Abdullah ibnu Sa'd Al-Ansari):
أَنَّهُ سَأَلَ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا يَحِل لِي مِنَ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ؟ قَالَ: "مَا فَوْقَ الْإِزَارِ"
bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Apakah yang dihalalkan olehku terhadap istriku jika ia sedang haid?" Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Bagian di atas kain sarung."
Imam Abu Daud meriwayatkan pula dari Mu'az ibnu Jabal yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang apa yang dihalalkan baginya terhadap istrinya yang sedang haid. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"مَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَالتَّعَفُّفُ عَنْ ذَلِكَ أَفْضَلُ"
Bagian di atas kain sarung, tetapi menahan diri dari hal tersebut adalah lebih utama.
Hal ini semakna dengan riwayat dari Siti Aisyah seperti yang telah disebutkan di atas, juga riwayat Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab serta Syuraih.
Hadis-hadis di atas dan lain-lainnya yang serupa merupakan hujah bagi orang-orang yang berpendapat bahwa dihalalkan bersenang-senang dengan istri yang sedang haid pada bagian di atas kain sarungnya. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat di kalangan mazhab Syafii yang dinilai rajih oleh kebanyakan ulama Irak dan lain-lainnya.
Kesimpulan pendapat mereka menyatakan bahwa daerah yang ada di sekitar farji hukumnya haram, untuk menghindari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan telah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu bersetubuh pada farjinya.
Kemudian orang yang melanggar hal tersebut, berarti dia telah berdosa dan harus meminta ampun kepada Allah serta bertobat kepada-Nya.
Akan tetapi, apakah orang yang bersangkutan harus membayar kifarat atau tidak. Maka jawabannya ada dua hal, salah satunya mengatakan harus. Pendapat ini berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan kitab-kitab sunnah dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. mengenai seseorang yang mendatangi istrinya yang sedang haid.
"يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ، أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ"
Maka dia harus menyedekahkan satu dinar atau setengah dinar.
Menurut lafaz Imam Turmuzi disebutkan seperti berikut:
«إِذَا كَانَ دَمًا أَحْمَرَ فَدِينَارٌ، وَإِنْ كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَنِصْفُ دِينَارٍ»
Apabila darah haid berupa merah, maka kifaratnya satu dinar; dan jika darah haid berupa kuning, maka kifaratnya setengah dinar.
Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. menetapkan denda satu dinar apabila menyetubuhi wanita yang sedang haid; dan jika disetubuhi darah telah berhenti darinya, sedangkan ia belum mandi, maka kifaratnya adalah setengah dinar.
Pendapat kedua —yang merupakan pendapat yang sahih— adalah qaul jadid dari mazhab Imam Syafii dan pendapat jumhur- ulama menyebutkan bahwa tidak ada kifarat dalam masalah ini, melainkan orang yang bersangkutan diharuskan beristigfar, meminta ampun kepada Allah Swt., mengingat tidak ada hadis marfu' yang sahih menurut pendapat mereka.
Dalam pembahasan yang lalu telah diriwayatkan hadis mengenai ini secara marfu'. Ada juga yang diriwayatkan secara mauquf, bahkan yang mauquf inilah yang sahih menurut kebanyakan pendapat ulama hadis.
*****************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ}
Dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. (Al-Baqarah: 222)
Ayat ini merupakan tafsir dari firman-Nya:
{فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ}
Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. (Al-Baqarah: 222)
Allah Swt. melarang mendekati mereka untuk bersetubuh selagi mereka masih dalam masa haidnya. Makna yang terkandung dari kalimat ini memberikan pengertian bahwa apabila darah haid telah berhenti, berarti boleh digauli lagi.
Imam Abu Abdullah Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab At-Ta'ah-nya sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu. (Al-Baqarah: 222), hingga akhir ayat. Bersuci menunjukkan boleh mendekatinya.
Ketika Maimunah dan Aisyah r.a. mengatakan bahwa salah seorang di antara mereka bila mengalami haid, maka ia memakai kain sarung dan masuk bersama Rasulullah Saw. di dalam selimutnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak sekali-kali beliau menghendaki demikian melainkan ingin melakukan persetubuhan.
**************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ}
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 222)
Makna ayat ini menganjurkan dan memberikan petunjuk tentang cara menggauli mereka sesudah bersuci. Bahkan Ibnu Hazm berpendapat, wajib melakukan jimak setelah tiap habis haid, karena berdasarkan firman-Nya: Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 222)
Pendapat ini tidak mempunyai sandaran, mengingat masalahnya terjadi dengan adanya perintah sesudah larangan. Sehubungan dengan masalah ini banyak pendapat di kalangan ulama Usul yang mengomentarinya. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa makna yang terkandung di dalam ayat ini menunjukkan pengertian wajib, sama halnya dengan ayat yang mutlak. Mereka berpendapat sama dengan yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dan memerlukan jawaban yang sama pula dengannya.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa makna ayat ini menunjukkan ibahah (pembolehan), dan mereka menjadikan larangan yang mendahuluinya merupakan qarinah yang memalingkan makna ayat dari pengertian wajib. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Pendapat yang kuat sesuai dengan makna yang terkandung di dalam dalil ini mengatakan bahwa permasalahannya dikembalikan kepada hukum sebelumnya, yakni kepada perintah sebelum ada larangan. Jika perintahnya menunjukkan pengertian wajib, maka hukumnya wajib. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu. (At-Taubah: 5)
Atau menunjukkan makna mubah, maka hukumnya mubah pula. Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَإِذا حَلَلْتُمْ فَاصْطادُوا
Dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka boleh berburu. (Al-Maidah: 2)
Firman Allah Swt.:
فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi. (Al-Jumu'ah: 10)
Dalil-dalil di atas memperkuat pendapat ini. Imam Gazali dan ulama lainnya meriwayatkan pendapat ini, lalu dipilih oleh sebagian para Imam Mutakhkhirin; pendapat inilah yang sahih.
Para ulama sepakat bahwa seorang wanita apabila masa haidnya telah habis, tidak halal digauli suaminya sebelum mandi dengan air atau tayamum jika bersuci dengan air tidak dapat dilakukannya karena uzur berikut dengan segala persyaratannya. Kecuali Imam Abu Hanifah; ia mengatakan bahwa jika darah haidnya baru terhenti lebih dari sepuluh hari yang merupakan batas maksimal masa haid menurutnya, maka si wanita halal bagi suaminya begitu darahnya terhenti, tidak perlu mandi terlebih dahulu.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: sebelum mereka bersuci. (Al-Baqarah: 222) Yakni suci dari darah haidnya. Apabila mereka telah suci. (Al-Baqarah: 222) Yaitu bersuci dengan air.
Demikian pula apa yang dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-LaiS ibnu Sa'd serta lain-lainnya.
**************
Firman Allah Swt.:
{مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ}
maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 222)
Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid serta ulama lainnya yang bukan hanya seorang, yang dimaksud ialah farjinya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 222) Yang dimaksud ialah farjinya dan tidak boleh melampauinya ke anggota lainnya. Maka barang siapa yang melakukan penyimpangan dalam hubungannya, berarti ia telah berbuat melampaui batas.
Ibnu Abbas, Mujahid, dan Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:  di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 222) Yakni janganlah kalian menjauhi mereka.
Di dalam ayat ini terkandung pengertian yang menunjukkan haram melakukan persetubuhan pada dubur (liang anus), seperti yang akan diterangkan kemudian.
Abu Razin, Ikrimah, Ad-Dahhak, dan bukan hanya seorang ulama saja telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:  Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 222) Maksudnya, dalam keadaan suci dan tidak berhaid. Karena itulah maka pada akhir ayat disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat. (Al-Baqarah: 222) Yaitu bertobat dari perbuatan dosa, sekalipun ia melakukan persetubuhannya berkali-kali. dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (Al-Baqarah: 222) Yakni orang-orang yang membersihkan dirinya dari kotoran dan penyakit, larangan mendatangi istri yang sedang haid atau mendatangi istri bukan pada tempat (anggota tubuh)nya yang diperkenankan untuk itu.
*****************
Firman Allah Swt.:
{نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ}
Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam. (Al-Baqarah: 223)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hars ialah peranakan (kemaluan).
Dalam firman selanjutnya disebutkan:
{فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ}
maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223)
Yakni bagaimanapun caranya menurut kehendak kalian, baik dari depan ataupun dari belakang dengan syarat yang didatanginya adalah satu lubang, yaitu lubang kemaluan, seperti yang telah ditetapkan oleh banyak hadis.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnul Munkadir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar sahabat Jabir menceritakan hadis berikut: Dahulu orang-orang Yahudi berkeyakinan bahwa jika seseorang menyetubuhi istrinya dari arah belakang, maka kelak anaknya bermata juling. Maka turunlah firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223)
Imam Muslim meriwayatkannya —begitu pula Imam Abu Daud— melalui hadis Sufyan As-Sauri dengan lafaz yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Anas, Ibnu Juraij, dan Suf-yan Ibnu Sa'id As-Sauri. Disebutkan bahwa Muhammad ibnul Munkadir pernah menceritakan kepada mereka bahwa. Abdullah ibnu Jabir pernah menceritakan kepadanya, orang-orang Yahudi sering berkata kepada kaum muslim, "Barang siapa yang mendatangi istrinya dari arah belakang, maka kelak anaknya akan bermata juling." Lalu turunlah firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam kalian, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223)
Ibnu Juraij mengatakan, sehubungan dengan hadis ini disebutkan di dalamnya bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
«مُقْبِلَةٌ وَمُدْبِرَةٌ إِذَا كَانَ ذَلِكَ فِي الْفَرْجِ»
Boleh dari depan dan boleh dari belakang jika yang didatanginya adalah farji.
Di dalam hadis Bahz ibnu Hakim ibnu Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa Mu'awiyah ibnu Haidah pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sehubungan dengan istri-istri kami, bagaimanakah cara yang diperbolehkan untuk mendatanginya dan apa sajakah cara yang dilarang?" Rasulullah Saw. bersabda:
"حَرْثُكَ، ائْتِ حَرْثَكَ أَنَّى شِئْتَ، غَيْرَ أَلَّا تضربَ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحَ، وَلَا تَهْجُرَ إِلَّا فِي الْمَبِيتِ . الْحَدِيثُ
Seperti lahan bercocok tanammu, maka datangilah lahan bercocok tanammu bagaimana saja kamu kehendaki, hanya kamu tidak boleh memukul wajah, dan jangan berkata buruk, jangan pula mengisolisasi(nya) kecuali di dalam rumah. Hingga akhir hadis.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan pemilik kitab-kitab sunnah.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Amir Ibnu Yahya, dari Abdullah ibnu Hanasy, dari Abdullah ibnu Abbas yang menceritakan: Sejumlah orang dari Himyar datang kepada Rasulullah Saw., lalu mereka bertanya kepadanya tentang banyak hal. Kemudian ada seorang lelaki berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku suka wanita, maka bagaimanakah yang harus kulakukan menurutmu?" Maka turunlah firman-Nya, "Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam kalian, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki" (Al-Baqarah: 223).
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Rasyidin, telah menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu Sauban, dari Amir ibnu Yahya Al-Magafiri, dari Hanasy, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ayat berikut, yaitu firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam kalian. (Al-Baqarah:. 223) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang dari kalangan Ansar yang datang kepada Nabi Saw. dan bertanya kepadanya. Maka Nabi Saw. menjawab:
" ائْتِهَا عَلَى كُلِّ حَالٍ إِذَا كَانَ فِي الْفَرْجِ "
Datangilah ia dengan posisi apa pun selagi yang didatangi adalah farjinya.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Abu Ja'far At-Tahawi di dalam kitabnya yang berjudul Musykilul Hadis. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Kasib, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Nafi', dari Hisyam ibnu Sa'd ibnu Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id Al-Kudri, bahwa ada seorang lelaki menyetubuhi istrinya pada liang anusnya. Maka orang-orang memprotes perbuatannya itu, lalu Allah menurunkan firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam kalian. (Al-Baqarah: 223), hingga akhir ayat.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Yunus ibnu Ya'qub; juga diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli, dari Al-Haris ibnu Syuraih, dari Abdullah ibnu Nafi' dengan lafaz yang sama.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dinyatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Abdullah ibnu Sabit yang menceritakan hadis berikut: Aku masuk menemui Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar dan kukatakan kepadanya, "Sesungguhnya aku akan bertanya kepadamu tentang suatu masalah, tetapi aku malu mengemukakannya kepadamu." Hafsah menjawab, "Hai keponakanku, jangan malu-malu. Kemukakanlah." Abdullah ibnu Sabit berkata, "Mendatangi wanita (istri) pada liang anusnya." Hafsah berkata bahwa Ummu Salamah pernah menceritakan hadis berikut: Orang-orang Ansar suka mendatangi wanita dari arah belakang (posisi tengkurap). Sedangkan orang-orang Yahudi mengatakan bahwa barang siapa yang mendatangi istrinya dari arah belakang, maka kelak anaknya bermata juling.
Ketika kaum Muhajirin datang di Madinah, mereka ada yang menikah dengan wanita Ansar, lalu mereka mendatanginya dari arah belakang, tetapi tiada seorang pun yang menaati suaminya dan mengatakan, "Jangan dulu kamu lakukan sebelum aku tanyakan kepada Rasulullah Saw. mengenai cara ini." Lalu wanita Ansar itu datang kepada Ummu Salamah dan menemuinya serta menceritakan kepadanya hal tersebut. Ummu Salamah menjawab, "Duduklah dahulu hingga Rasulullah Saw. tiba." Ketika Rasulullah Saw. datang, tiba-tiba wanita Ansar itu merasa malu mengemukakan pertanyaannya. Oleh karena itu, ia keluar. Lalu Ummu Salamahlah yang menanyakannya kepada Nabi Saw., dan Nabi Saw. bersabda, "Panggillah wanita Ansar tadi." Ummu Salamah segera memanggil wanita Ansar tadi. Setelah wanita itu datang, maka Rasulullah Saw. membacakan kepadanya ayat berikut, yaitu firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) Yang dimaksud dengan anna syi'tum ialah subyeknya satu, yaitu satu liang (liang kemaluan).
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Bandar, dari Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Abu Khaisam dengan lafaz yang sama, dan ia mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur Hammad ibnu Abu Hanifah, dari ayahnya, dari Ibnu Khaisam, dari Yusuf ibnu Mahik, dari Hafsah Ummul Muminin, bahwa ada seorang wanita datang kepadanya, lalu bertanya, "Sesungguhnya suamiku suka mendatangiku dari arah belakang dan arah depan, maka aku tidak suka dengan cara itu." Ketika hal tersebut disampaikan kepada Rasulullah Saw., beliau menjawab:
لَا بَأْسَ إِذَا كَانَ فِي صِمَامٍ وَاحِدٍ"
Tidak mengapa jika yang dimasukinya adalah satu liang (liang farjinya).
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ -يَعْنِي القَمي -عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلَكْتُ! قَالَ: "مَا الَّذِي أَهْلَكَكَ؟ " قَالَ: حَوَّلْتُ رَحْلَيِ الْبَارِحَةَ! قَالَ: فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا. قَالَ: فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ} أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ، وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ".
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub (yakni Al-Qummi), dari Ja'far, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sahabat Umar ibnul Khattab datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah binasa." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah yang menyebabkan kamu binasa?" Umar menjawab, "Tadi malam aku membalikkan pelanaku (istriku)." Rasulullah Saw. tidak menjawab sepatah kata pun. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Allah menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya, yaitu ayat berikut: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Datangilah dari depan dan dari belakang, tetapi jauhilah liang dubur dan masa haid.
Imam Turmuzi meriwayatkan dari Abdu ibnu Humaid, dari Hasan ibnu Musa Al-Asyyab dengan lafaz yang sama. Hasan mengatakan bahwa hadis ini berpredikat garib.
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki di masa Rasulullah Saw. mendatangi istrinya pada bagian belakangnya. Mereka mengatakan, "Si Fulan telah mendatangi istrinya pada bagian belakangnya." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223)
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Yahya Abul Asbag yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Muhammad (yakni Ibnu Salamah), dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Ibnu Umar —semoga Allah mengampuninya— telah menduga bahwa sesungguhnya kaum Ansar pada mulanya adalah Ahli Wasani, sedangkan golongan lainnya adalah orang-orang Yahudi yang merupakan Ahli Kitab. Orang-orang Ansar berpandangan bahwa orang-orang Yahudi mempunyai keutamaan lebih dari mereka dalam hal ilmu. Oleh sebab itu, dalam kebanyakan hal orang-orang Ansar mengikuti cara mereka. Tersebutlah bahwa termasuk perkara Ahli Kitab ialah mereka tidak mendatangi istri-istrinya melainkan hanya dengan satu posisi saja; cara yang demikian lebih rnenutupi tubuh si istri. Lalu orang-orang Ansar meniru jejak mereka dalam hal tersebut. Sedangkan kebiasaan orang-orang Quraisy dalam mendatangi istrinya memakai berbagai macam cara dan posisi yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Ansar. Mereka menikmati persetubuhannya dengan istri-istri mereka secara maksimal, baik dari arah depan, belakang, cara telentang, dan lain sebagainya. Ketika kaum Muhajirin datang ke Madinah, lalu seseorang dari mereka kawin dengan seorang wanita dari kalangan Ansar. Selanjutnya si lelaki itu melakukan terhadapnya sebagaimana ia biasa melakukannya dengan berbagai macam posisi, tetapi istrinya yang Ansar itu menolak dan mengatakan, "Sesungguhnya kebiasaan yang berlaku di kalangan kami, kami biasa d-datangi dari arah depan saja. Maka lakukanlah itu. Jika kamu tidak mau, menjauhlah dariku." Kemudian perihal keduanya tersebar. Akhirnya sampailah berita itu kepada Rasulullah Saw. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) Yakni boleh dengan cara dari 'belakang, dari depan, dan cara telentang, yang dimaksud ialah pada farjinya.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, tetapi banyak syahid yang mempersaksikan kesahihannya, yaitu hadis-hadis yang terdahulu tadi, terlebih lagi riwayat yang dikemukakan oleh Ummu Salamah yang mirip dengan hadis ini.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani melalui jalur Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh, dari Mujahid yang mengatakan bahwa ia pernah membacakan mushaf kepada Ibnu Abbas mulai dari Fatihah hingga khatam. Ia berhenti pada tiap ayat dan menanyakan maknanya kepada Ibnu Abbas, hingga sampailah pada firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) Maka Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya kaum Quraisy biasa mendatangi istri-istrinya dengan berbagai macam posisi di Mekah dan menikmati persetubuhannya secara maksimal," lalu Ibnu Abbas menuturkan hadis ini hingga selesai.
Perkataan Ibnu Abbas yang mengutarakan bahwa Ibnu Umar —semoga Allah mengampuninya— telah menduga seakan-akan ini mengisyaratkan kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Yaitu telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Nafi', bahwa Ibnu Umar apabila membaca Al-Qur'an tidak pernah berbicara sebelum merampungkannya. Maka pada suatu hari aku memohon kepadanya untuk membacakannya, lalu ia membaca surat Al-Baqarah. Dan ketika bacaannya sampai pada suatu ayat, ia berkata, "Tahukah kamu, berkaitan dengan masalah apakah ayat ini diturunkan?" Aku menjawab, "Tidak." Ibnu Umar berkata, "Ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah anu dan anu," lalu ia melanjutkan bacaannya.
Abdus Samad mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar sehubungan dengan firman-Nya: Maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagai-mana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) Ibnu Umar mengatakan, yang dimaksud ialah bila si istri didatanginya dari ... (dan seterusnya). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ditinjau dari segi ini hanya dia sendirilah yang mengetengahkannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Nafi' yang mengatakan bahwa pada suatu hari ia membaca firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) Ibnu Umar bertanya, "Tahukah kamu berkenaan dengan masalah apakah ayat ini diturunkan?" Nafi' menjawab, "Tidak." Ibnu Umar berkata, "Ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah mendatangi wanita pada liang anusnya."
Telah menceritakan kepadaku Abu Qilabah, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad ibnu Abdul Waris, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar sehubungan dengan firman-Nya: Maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagai-mana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) Ibnu Umar mengatakan, yang dimaksud ialah pada liang anusnya. Telah diriwayatkan pula melalui hadis Malik, dari Nafi', dari Ibnu Umar, tetapi tidak sahih.
Imam Nasai meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, dari Abu Bakar ibnu Abu Uwais, dari Sulaiman ibnu Bilal, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar, bahwa ada seorang lelaki mendatangi istrinya pada liang anusnya, lalu ia merasa sangat bersalah akibat perbuatannya itu. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223)
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa sekiranya hadis ini berada pada Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar, niscaya orang-orang tidak akan menilai lemah hadis Nafi'. Pendapat ini merupakan ta'lil (komentar) dari Imam Nasai terhadap hadis ini.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdullah ibnu Nafi', dari Daud ibnu Qais, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasart dari Ibnu Umar, lalu ia mengetengahkan hadis ini.
Hadis ini (yang mengatakan mendatangi istri dari belakang pada liang anusnya) dapat ditakwilkan seperti pengertian terdahulu, yaitu mendatangi istri dari belakang pada farjinya, bukan pada liang anusnya.
Pengertian ini berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ali ibnu Usman An-Nafili, dari Sa'id ibnu Isa, dari Al-Fadl ibnu Fudalah, dari Abdullah ibnu Sulaiman At-Tawil, dari Ka'b ibnu Alqamah, dari Abun Nadr yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nafi' maula Ibnu Umar, "Sesungguhnya banyak orang yang membicarakan perihalmu, bahwa kamu pernah mengatakan dari Ibnu Umar bahwa sesungguhnya Ibnu Umar pernah memfatwakan kaum wanita boleh didatangi pada liang anusnya." Nafi' berkata, "Mereka berdusta kepadaku, sekarang akan aku ceritakan kepadamu bagaimana duduk perkaranya. Sesungguhnya Ibnu Umar pada suatu hari membaca Al-Qur'an, sedangkan aku berada di sisinya, hingga bacaannya sampai pada firman-Nya: 'Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki’ (Al-Baqarah: 223). Lalu Ibnu Umar berkata, 'Hai Nafi', tahukah kamu perkara yang menyangkut ayat ini?' Nafi' menjawab, Tidak.' Ibnu Umar mengatakan, 'Sesungguhnya kami golongan orang-orang Quraisy biasa mendatangi istri-istri kami dari arah belakang. Ketika kami memasuki Madinah dan kami nikahi wanita-wanita Ansar, lalu kami menghendaki dari mereka seperti apa yang biasa kami lakukan sebelumnya, ternyata hal tersebut menyakitkan mereka. Mereka tidak menyukainya dan menganggapnya sebagai kesalahan yang besar. Kaum wanita Ansar bersikap demikian karena mereka meniru cara orang-orang Yahudi, yaitu mereka hanya didatangi dari arah sisi (dan depannya).' Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu dari arah mana saja yang kalian kehendaki’ (Al-Baqarah: 223)."
Hadis ini berpredikat sahih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih, dari At-Tabrani, dari Al-Husain ibnu Ishaq, dari Zakaria ibnu Yahya Katib Al-Umra, dari Mifdal ibnu Fudalah, dari Abdullah ibnu Ayyasy, dari Ka'b ibnu Alqamah, lalu ia mengetengahkan hadis ini.
Telah diriwayatkan kepada kami, dari ibnu Umar, hal yang berbeda dengan riwayat di atas secara terang-terangan, bahwa mendatangi wanita pada liang anusnya tidak diperbolehkan dan tidak dihalalkan, seperti yang akan dikemukakan nanti.
Sekalipun pendapat ini (mendatangi istri boleh pada liang anusnya) dinisbatkan kepada sejumlah ahli fiqih Madinah dan lain-lainnya —sebagian dari mereka menisbatkan kepada Imam Malik di dalam Kitabus Sirr-nya— tetapi kebanyakan ulama memprotes kesahihannya.
Sesungguhnya hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur periwayatan telah menyebutkan adanya larangan melakukan perbuatan itu (mendatangi istri pada liang anusnya).
قَالَ الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اسْتَحْيُوا، إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، لَا يَحِلُّ مَأْتَى النِّسَاءِ فِي حُشُوشِهِنَّ"
Al-Hasan ibnu Arafah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ayyasy, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Malulah kalian, sesungguhnya Allah tidak segan terhadap perkara yang hak; tidak halal bagi kalian mendatangi wanita pada liang anusnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ رَجُلٍ عَنْ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ في دبرها
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abd ibnu Syadad, dari Khuzaimah ibnu Sabit: Bahwa Rasulullah Saw. melarang seorang lelaki mendatangi istrinya pada liang anusnya.
Menurut jalur yang lain, Imam Ahmad mengatakan bahwa:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ ابْنِ الْهَادِ: أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ الْحَصِينِ الْوَالِبِيَّ حَدَّثه أَنَّ هَرَمِيَّ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْوَاقِفِيَّ حَدَّثَهُ: أَنَّ خُزَيْمَةَ بْنَ ثَابِتٍ الْخَطْمِيَّ حَدَّثَهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَسْتَحْيِي اللَّهُ من الحق، لا يستحي اللَّهُ مِنَ الْحَقِّ -ثَلَاثًا -لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَعْجَازِهِنَّ".
telah menceritakan kepada kami Ya'qub, bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan sebuah hadis dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Usamah ibnul Had, bahwa Ubaidillah ibnul Husain Al-Walibi pernah menceritakan sebuah hadis kepadanya; Abdullah Al-Waqifi pernah menceritakan sebuah hadis kepadanya bahwa Khuzaimah ibnu Sabit Al-Khatmi pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Malulah kalian, sesungguhnya Allah tidak segan terhadap perkara yang hak; janganlah kalian mendatangi istri kalian pada liang anusnya.
Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah menceritakan pula hadis ini melalui berbagai jalur dari Khuzaimah ibnu Sabit, tetapi di dalam sanadnya banyak terdapat perbedaan.
Hadis lainnya dikatakan oleh Abu Isa At-Turmuzi dan Imam Nasai, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Ad-Dahhak ibnu Usman, dari Makhramah ibnu Sulaiman, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ»
Allah tidak mau melihat orang lelaki yang mendatangi lelaki lain atau seorang wanita pada liang anusnya.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib.
Hal yang sama diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya dan dinilai sahih oleh Ibnu Hazm. Akan tetapi, Imam Nasai meriwayatkannya pula dari Hannad, dari Waki', dari Ad-Dahhak dengan lafaz yang sama secara mauquf.
Abdu mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada ibnu Abbas tentang mendatangi istri pada liang anusnya. Maka Ibnu Abbas menjawab, "Kamu menanyakan kepadaku tentang kekufuran." Sanad riwayat ini sahih. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Nasai melalui jalur Ibnul Mubarak, dari Ma'mar dengan lafaz yang semakna.
Abdu telah mengatakan pula dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Hakim, dari ayahnya, dari Ikrimah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu berkata, "Sesungguhnya aku telah mendatangi istriku pada liang anusnya." Kemudian lelaki itu mengatakan bahwa ia telah mendengar firman Allah Swt. yang mengatakan: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223)
Karena itu, ia menduganya sebagai hal yang dihalalkan. Maka Ibnu Abbas berkata, "Hai dungu, sesungguhnya yang dimaksud oleh firman-Nya: 'Maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki' (Al-Baqarah: 223). hanyalah sambil berdiri, sambil duduk, dari depan dan dari belakang, tetapi yang dituju adalah farjinya. Jangan sekali-kali kalian melampaui batas ke bagian lainnya   (ke liang anusnya)."
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا هُمَامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا هِيَ اللُّوطِيَّةُ الصُّغْرَى"
telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Orang yang mendatangi istrinya pada liang anusnya adalah orang yang melakukan perbuatan kecil kaum Lut.
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ: حَدَّثَنِي هُدْبَةُ، حَدَّثَنَا هُمَامٌ، قَالَ: سُئل قَتَادَةُ عَنِ الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا. فَقَالَ قَتَادَةُ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "هِيَ اللُّوطِيَّةُ الصُّغْرَى".
Abdullah ibnu Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Hadbah, telah menceritakan kepada kami Hammam, bahwa Qatadah pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang mendatangi istrinya pada liang anusnya. Maka Qatadah menjawab, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Perbuatan itu adalah lutiyah sugra (perbuatan kecil kaum Nabi Lut).
Qatadah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Uqbah ibnu Wisaj, dari Abu Darda yang mengatakan bahwa tiada yang pantas melakukan hal tersebut (mendatangi istri pada liang anusnya) melainkan hanyalah orang kafir.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Yahya ibnus Sa'id Al-Qattan, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Abu Ayyub, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As yang mengatakan hadis Nabi Saw. tadi di atas. Riwayat ini lebih sahih sanadnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid, dari Yazid ibnu Harun,dari Humaid Al-A'raj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr secara mauquf sabda Nabi Saw. yang telah disebutkan di atas.
Jalur lainnya diketengahkan oleh Ja'far Al-Faryabi:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بن زياد بن العم، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبلي، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سَبْعَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ، وَيَقُولُ: ادْخُلُوا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ: الْفَاعِلُ وَالْمَفْعُولُ بِهِ، وَالنَّاكِحُ يَدَهُ، وَنَاكِحُ الْبَهِيمَةِ، وَنَاكِحُ الْمَرْأَةِ فِي دُبُرِهَا، وَجَامِعٌ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَابْنَتِهَا، وَالزَّانِي بِحَلِيلَةِ جَارِهِ، وَالْمُؤْذِي جَارَهُ حَتَّى يَلْعَنَهُ"
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abdur Rahman ibnu Ziad ibnu An'am, dari Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ada tujuh macam orang yang Allah tidak mau memandang mereka di hari kiamat nanti dan tidak mau pula menyucikan mereka, bahkan berfirman, "Masuklah kalian ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang masuk neraka." Yaitu dua lelaki yang melakukan homoseks, lelaki yang menikahi tangannya (mastrubasi), lelaki yang menyetubuhi hewan, lelaki yang menyetubuhi istrinya pada dubur (liang anus)nya, lelaki yang mengawini antara ibu dan anak perempuannya, lelaki yang berzina dengan istri tetangganya, dan orang yang menyakiti tetangganya hingga si tetangga melaknatnya.
Akan tetapi, Ibnu Luha'iah dan gurunya berpredikat daif.
Hadis lainnya diketengahkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَاصِمٍ، عن عيسى بن حطان، عن مُسْلم بن سَلام، عَنْ عَلِيِّ بْنِ طَلْقٍ، قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم إن تُؤْتَى النِّسَاءُ فِي أَدْبَارِهِنَّ؛ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ
telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Asim, dari Isa ibnu Huttan, dari Muslim ibnu Salam, dari Ali ibnu Talq yang telah mengatakan: Bahwa Rasulullah Saw. melarang istri-istri didatangi pada liang anusnya. Sesungguhnya Allah tidak merasa malu menerangkan perkara yang hak.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Ahmad, dari Abu Mu'awiyah dan Abu Isa At-Turmuzi melalui jalur Abu Mu'awiyah pula, dari Asim Al-Ahwal dengan lafaz yang sama, hanya dalam riwayat ini terdapat tambahan. Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan.
Di antara ulama ada yang mengetengahkan hadis ini di dalam Musnad Ali ibnu Abu Talib, seperti yang ada pada kitab Musnad Imam Ahmad ibnu Hambal, tetapi yang benar adalah Ali ibnu Talq.
Hadis lainnya diketengahkan oleh Imam Ahmad:
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عن سُهَيل بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ مُخلَّد، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ".
telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari Al-Haris ibnu Makhlad, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya orang yang mendatangi istrinya pada liang anusnya, Allah tidak mau memandang kepadanya.
Imam Ahmad mengatakan pula:
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عن سُهَيل بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ مُخلَّد، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ".
telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Suhail, dari Al-Haris ibnu Makhlad, dari Abu Hurairah yang me-rafa'-kan hadis ini. Ia mengatakan: Allah tidak mau memandang kepada seorang lelaki yang menyetubuhi istrinya pada liang anusnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah melalui jalur Suhail.
Imam Ahmad mengatakan pula:
حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ مَخْلَدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا".
telah menceritakan kepada kami Waki', dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari Al-Haris ibnu Makhlad, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Terlaknatlah orang yang mendatangi istrinya pada liang anusnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui jalur Waki' dengan lafaz yang sama.
Jalur lainnya diketengahkan oleh Al-Hafiz Abu Na'im Al-Asbahani:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْقَاسِمِ بْنِ الرَّيَّانِ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ النَّسَائِيُّ، حَدَّثَنَا هَنَّادٌ، وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ -وَاللَّفْظُ لَهُ -قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَلْعُونٌ من أتى امرأة في دبرها"
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Rayyan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-Nasai, telah menceritakan kepada kami Hannad dan Muhammad ibnu Ismail, yang lafaznya menurut apa yang ada pada Nasai. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya, dari Abu Hurairah yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Terlaknatlah orang yang mendatangi wanita pada liang anusnya.
Akan tetapi, bukan demikian bunyi hadis yang ada pada Imam Nasai, dan sesungguhnya lafaz yang ini hanya diriwayatkan dari Suhail, dari Al-Haris ibnu Makhlad, seperti yang telah dikemukakan di atas.
Guru kami Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi mengatakan bahwa riwayat Ahmad ibnul Qasim ibnuz Zayyan mengenai hadis ini dengan sanad ini juga, merupakan dugaan dari Ahmad ibnul Qasim sendiri, sedangkan dia dinilai daif oleh mereka (ulama hadis).
Jalur lainnya diriwayatkan oleh Muslim ibnu Khalid Az-Zunji, dari Al-Ala ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
«مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ»
Terlaknatlah orang yang mendatangi wanita pada liang anusnya.
Akan tetapi, pribadi Muslim ibnu Khalid masih perlu dipertimbangkan.
Jalur yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab-kitab sunnah melalui hadis Hammad ibnu Salamah, dari Hakim Al-Asram, dari Abu Tamimah Al-Hujaimi, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ»
Barang siapa yang mendatangi wanita yang sedang haid atau seorang wanita pada liang anusnya, atau mendatangi juru ramal, lalu mempercayainya, berarti ia telah kafir terhadap apa (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepada Muhammad.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa Imam Bukhari menilai daif hadis ini. Perawi yang Imam Bukhari keberatan menerimanya ialah Hakim At-Turmuzi, dari Abu Tamimah, hadisnya tidak dapat dipakai.
Jalur lainnya dikatakan oleh Imam Nasai:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مِنْ كِتَابِهِ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مُحَمَّدٍ الصَّنْعَانِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ، لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ"
Telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Abdur Rahman dalam kitabnya, dari Abdul Malik ibnu Muhammad As-San'ani, dari Sa'id ibnu Abdul Aziz, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah r.a., dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Malulah kalian terhadap Allah dengan malu yang sebenar-benarnya, janganlah kalian mendatangi istri-istri kalian pada liang anusnya.
Dari jalur ini hanya diketengahkan oleh Imam Nasai sendiri. Hamzah ibnu Muhammad Al-Kannani Al-Hafiz mengatakan bahwa hadis ini munkar lagi batil, baik dari hadis Az-Zuhri, hadis Abu Salamah, juga hadis Sa'id. Jikalau memang Abdul Malik pernah mendengarnya langsung dari Sa'id, maka sesungguhnya ia baru mendengar darinya setelah Sa'id mengalami kepikunan.
Imam Turmuzi meriwayatkan pula melalui Abu Salamah, bahwa ia pernah melarang perbuatan tersebut (yakni mendatangi istri pada liang anusnya). Adapun yang dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw., tidak disebutkan adanya larangan. Demikianlah menurut Hamzah ibnu Muhammad Al-Kannani Al-Hafiz.
Memang kritik yang dikemukakan oleh Al-Kannani ini cukup baik, hanya saja Abdul Malik ibnu Muhammad As-San'ani tidak mengetahui bahwa Sa'id telah pikun. Tidak ada seorang pun yang menyebutkan demikian selain Hamzah, dari Al-Kannani yang berpredikat siqah. Tetapi Duhaim, Abu Hatim, dan Ibnu Hibban merasa keberatan terhadapnya, dan mengatakan bahwa hadisnya tidak dapat dijadikan hujah.
Jejak Hamzah Al-Kannani diikuti oleh Zaid ibnu Yahya ibnu Ubaid, dari Sa'id ibnu Abdul Aziz. Abdul Malik ibnu Muhammad As-San'ani ini meriwayatkan pula melalui dua jalur lain dari Abu Salamah, tetapi tiada yang sahih.
Jalur lainnya diriwayatkan oleh Imam Nasai, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan As-Sauri,dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa lelaki yang mendatangi istrinya pada liang anusnya adalah orang kafir.
Kemudian Imam Nasai meriwayatkannya melalui Bandar, dari Abdur Rahman dengan lafaz yang sama. Ia mengatakan, "Barang siapa yang mendatangi istrinya pada liang anusnya, maka perbuatan itu merupakan perbuatan orang kafir."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Nasai melalui jalur As-Sauri, dari Lais, dari Mujahid, dari Abu Hurairah secara mauquf. Ia meriwayatkannya melalui jalur Ali ibnu Nadimah, dari Mujahid, dari Abu Hurairah secara mauquf.
وَرَوَاهُ بَكْرُ بْنُ خُنَيْسٍ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أَتَى شَيْئًا مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فِي الْأَدْبَارِ فَقَدْ كَفَرَ"
Bakr ibnu Khunais meriwayatkan dari Lais, dari Mujahid, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa yang mendatangi lelaki dan wanita pada sesuatu dari liang anusnya, berarti ia telah kafir (ingkar terhadap nikmat Allah).
Tetapi jika dikatakan hadis ini mauquf, maka lebih sahih, mengingat Bakr ibnu Khunais dinilai daif oleh bukan hanya seorang dari kalangan para imam, sedangkan selain para imam tidak memakai hadisnya.
Hadis yang lain diketengahkan oleh Muhammad ibnu Aban Al-Balkhi:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا زَمْعَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ طَاوُسٍ، عَنْ أَبِيهِ -وَعَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ الْهَادِ قَالَا قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ"
telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepadaku Zam'ah ibnu Saleh, dari ibnu Tawus, dari ayahnya dan Amr ibnu Dinar, dari Abdullah ibnu Yazid ibnul Had; keduanya mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah tidak segan menerangkan perkara yang hak; janganlah kalian mendatangi wanita pada liang anusnya.
Imam Nasai meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Ya'qub At-Taliqani, dari Usman ibnul Yaman, dari Zam'ah ibnu Saleh, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnul Had, dari Umar yang mengatakan: Janganlah kalian mendatangi wanita pada liang anusnya.
Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Hakim, dari Zam'ah ibnu Saleh, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Abdullah ibnul Had Al-Laisi yang mengatakan bahwa Umar r.a. pernah mengatakan: Malulah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah segan dari perkara yang hak; janganlah kalian mendatangi wanita pada pantatnya (liang anusnya).
Sanad yang berpredikat mauquf sahih.
Hadis yang lain diketengahkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا غُنْدَر وَمُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَاصِمٍ الْأَحْوَلِ، عَنْ عِيسَى بن حطان، عن مسلم بن سلام، عن طَلْقِ بْنِ يَزِيدَ -أَوْ يَزِيدَ بْنِ طَلْقٍ -عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَسْتَاهِهِنَّ"
telah menceritakan kepada kami Gundar dan Mu'az ibnu Mu'az; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim Al-Ahwal, dari Isa ibnu Hattan, dari Muslim ibnu Salam, dari Talq ibnu Yazid atau Yazid ibnu Talq, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah tidak pernah segan dari perkara yang hak; janganlah kalian mendatangi wanita pada pantatnya (liang anusnya).
Hal yang sama diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja dari Syu'bah. Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Asim Al-Ahwal, dari Isa ibnu Hattan, dari Muslim ibnu Salam, dari Talq ibnu Ali, tetapi yang lebih mendekati kebenaran ialah Ali ibnu Talq, seperti yang disebutkan di muka tadi.
Hadis lainnya diketengahkan oleh Abu Bakar Al-Asram di dalam kitab sunannya:
حَدَّثَنَا أَبُو مُسْلِمٍ الحَرَميّ، حَدَّثَنَا أَخِي أُنَيْسِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ أَنَّ أَبَاهُ إِبْرَاهِيمَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَعْقَاعِ أَخْبَرَهُ، عَنْ أَبِيهِ أَبِي الْقَعْقَاعِ، عَنِ ابن مسعود، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَحَاشِ النِّسَاءِ حَرَامٌ"
telah menceritakan kepada kami Abu Muslim Al-Jurmi (saudara lelaki Unais ibnu Ibrahim), bahwa ayahnya (yaitu Ibrahim ibnu Abdur Rahman ibnul Qa'qa') telah menceritakan kepadanya, dari ayahnya (yaitu Abul Qa'qa'), dari Ibnu Mas'ud r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Perbuatan menyetubuhi wanita pada liang anusnya haram.
Ismail ibnu Ulayyah, Sufyan As-Sauri, dan Syu'bah serta lain-lainnya telah meriwayatkan dari Abu Abdullah Asy-Syaqra yang nama aslinya ialah Salamah ibnu Tamam —orang yang siqah—, dari Abul Qa'qa', dari Ibnu Mas'ud secara mauquf, dan riwayat inilah yang lebih sahih (yakni berpredikat mauquf).
Menurut jalur lainnya disebutkan oleh Ibnu Addi:
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْمُحَامِلِيُّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى الْأُمَوِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَمْزَةَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ رُفَيْعٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَعْجَازِهِنَّ"
telah menceritakan kepada. kami Abu Abdullah Al-Mahamili, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya As-Sauri, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hamzah, dari Zaid ibnu Rafi', dari Abu Ubaidah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Janganlah kalian mendatangi istri-istri kalian pada pantat mereka (liang anusnya).
Muhammad ibnu Hamzah (yang dikenal dengan Al-Jauzi) dan gurunya masih perlu dipertimbangkan. Sesungguhnya dia meriwayatkan pula melalui hadis Ubay ibnu Ka'b, Al-Barra ibnu Azib, Uqbah ibnu Amir, Abu Zar, dan lain-lainnya; tetapi masing-masing hadis masih perlu dipertimbangkan, karena tiada hadis yang sahih berasal darinya. As-Sauri meriwayatkan dari As-Silt ibnu Bahram, dari Abul Mu'tamir, dari Abu Juwairah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada sahabat Ali mengenai masalah mendatangi istri pada liang anusnya. Maka sahabat Ali r.a. menjawab, "Kamu rendah sekali, semoga Allah merendahkan dirimu. Tidakkah kamu mendengar firman Allah Swt. yang mengatakan:
أَتَأْتُونَ الْفاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِها مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعالَمِينَ
'Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian' (Al-A'raf: 80)."
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan pendapat Ibnu Mas'ud Abu Darda, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abdullah ibnu Amr yang menyatakan bahwa perbuatan itu hukumnya haram. Hal yang kuat dan tidak diragukan lagi bersumber dari Abdullah ibnu Umar r.a. yang mengatakan bahwa dia telah mengharamkannya.
Abu Muhammad (yaitu Abdur Rahman ibnu Abdullah Ad-Darimi) mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Al-Haris ibnu Ya'qub, dari Sa'id ibnu Yasar Abul Habab yang pernah menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Umar, "Bagaimanakah pendapatmu tentang budak-budak wanita, bolehkah mereka ditahmid?" Ibnu Umar bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan tahmid?" Lalu dijawab bahwa yang dimaksud ialah liang anusnya disetubuhi. Maka Ibnu Umar balik bertanya, "Apakah ada seseorang dari kaum muslim yang melakukannya?"
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dan Qutaibah, dari Al-Lais, dengan lafaz yang sama. Sanad asar ini berpredikat sahih dan merupakan nas yang jelas yang mengharamkan perbuatan tersebut. Semua asar yang bersumber dari Ibnu Umar yang mengandung interpretasi lain dapat ditolak dengan adanya keputusan nas yang tegas ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid (yakni Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Ahmad ibnu Abul Umr), telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnul Qasim, dari Malik ibnu Anas, bahwa pernah ditanyakan kepadanya, "Hai Abu Abdullah, sesungguhnya orang-orang meriwayatkan dari Salim ibnu Abdullah yang telah mengatakan, 'Si budak atau si Alaj (buruk) telah berdusta terhadap Abu Abdullah'." Maka Malik menjawab, "Aku menerima langsung dari Yazid ibnu Rauman yang telah menceritakan kepadaku dari Salim ibnu Abdullah, dari Ibnu Umar, sama seperti apa yang telah dikatakan oleh Nafi." Maka dikatakan kepadanya, "Sesungguhnya Al-Haris ibnu Ya'qub telah meriwayatkan dari Abul Habab (yakni Sa'id ibnu Yasar), bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar. Untuk itu ia mengatakan, "Wahai Abu Abdur Rahman, sesungguhnya kami telah membeli budak-budak perempuan, bolehkah kami mendatangi mereka secara tahmid? Ibnu Umar balik bertanya, 'Apakah yang dimaksud dengan tahmid itu?' Maka disebutkan kepadanya bahwa yang dimaksud ialah liang anusnya." Ibnu Umar berkata, "Husy, atau dia mengatakan apakah ada orang mukmin atau orang muslim yang melakukannya?"
Selanjutnya Malik mengatakan, "Aku bersaksi atas Rabi'ah bahwa dia telah menceritakan kepadaku, dari Abul Habab, dari Ibnu Umar hal yang semisal dengan apa yang dikatakan oleh Nafi'."
Imam Nasai meriwayatkan dari Ar-Rabi' Ibnu Sulaiman, dari Asbag ibnul Faraj Al-Faqih, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnul Qasim yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Malik, "Sesungguhnya pada waktu kami di Mesir, Lais ibnu Sa'id menceritakan hadis dari Al-Haris ibnu Ya'qub, dari Sa'id ibnu Yasar yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, 'Sesungguhnya kami telah membeli budak-budak perempuan, bolehkah kami tahmid mereka?' Ibnu Umar balik bertanya, 'Apakah tahmid itu?' Aku menjawab, 'Kami datangi mereka pada liang anusnya.' Ibnu Umar menjawab, 'Husy, atau apakah ada orang muslim yang melakukannya?' Lalu Malik berkata kepadaku, 'Aku bersaksi atas Rabi'ah, sesungguhnya dia telah menceritakan kepadaku dari Sa'id ibnu Yasar, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar (tentang masalah itu), ternyata jawabannya adalah, Tidak mengapa'."
Imam Nasai meriwayatkan pula melalui jalur Yazid ibnu Rauman, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, bahwa Ibnu Umar r.a. tidak memandang sebagai sesuatu yang dilarang bila seorang lelaki mendatangi istrinya pada liang anusnya.
Ma'mar ibnu Isa meriwayatkan dari Malik, bahwa melakukan hal tersebut (mendatangi istri pada liang anusnya) adalah haram.
Abu Bakar ibnu Ziad An-Naisaburi mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Husain, telah menceritakan kepadaku Israil ibnu Rauh, bahwa ia pernah bertanya kepada Malik ibnu Anas, "Bagaimanakah menurutmu tentang mendatangi wanita pada liang anusnya?" Malik ibnu Anas menjawab, "Kalian ini tiada lain adalah kaum Arab, tiada lain bercocok tanam itu hanyalah pada lahan yang disediakan untuknya, maka janganlah kalian melampaui batas farji." Aku berkata, "Hai Abu Abdullah, sesungguhnya mereka mengatakan bahwa engkau mengatakan demikian (yakni boleh mendatangi wanita pada liang anusnya)." Malik ibnu Anas menjawab, "Mereka berdusta terhadapku, mereka berdusta terhadapku."
Riwayat ini memang terbukti bersumber darinya (Malik ibnu Anas), dan pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal beserta semua murid mereka. Pendapat ini juga merupakan mazhab dari Sa'id ibnu Musayyab, Abu Salamah, Ikrimah, Tawus, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Urwah ibnuz Zubair, Mujahid ibnu Jabr, dan Al-Hasan serta lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf. Mereka mengingkari perbuatan tersebut dengan kecaman yang sangat keras. Di antara mereka ada yang menyebutnya sebagai perbuatan orang kafir, menurut pendapat jumhur ulama. Dalam masalah ini telah diriwayatkan pula sesuatu hal dari salah seorang ahli fiqih ulama Madinah, hingga mereka menceritakannya dari Imam Malik. Akan tetapi, kesahihannya masih perlu dipertimbangkan.
At-Tahawi mengatakan bahwa Asbag ibnul Farj meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnul Qasim yang mengatakan, "Aku belum pernah menjumpai seorang pun yang menjadi panutanku dalam agamaku merasa ragu bahwa perbuatan tersebut halal," yakni menyetubuhi istri pada liang anusnya. Kemudian ia membacakan firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam. (Al-Baqarah: 223) Setelah itu ia mengatakan, "Dalil apakah lagi yang lebih jelas dari-pada ini?" Demikianlah menurut riwayat At-Tahawi. Telah diriwayatkan pula oleh Imam Hakim, Imam Daruqutni, dan Khatibul Bagdadi, dari Imam Malik melalui berbagai jalur yang menunjukkan pengertian bahwa hal tersebut diperbolehkan. Akan tetapi, di dalam sanad-sanadnya terdapat kelemahan yang sangat. Guru kami (Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi) merincikannya di dalam suatu juz yang ia gabungkan untuk membahas masalah ini.
At-Tahawi mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, bahwa ia pernah mendengar Imam Syafii mengatakan, "Tiada suatu hadis pun dari Nabi Saw. yang berpredikat sahih menerangkan kehalalannya, tiada pula yang mengharamkannya. Akan tetapi, menurut anologi (kias)nya menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya halal." Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Bakar Al-Khatib, dari Abu Sa'id As-Sairafi, dari Abul Abbas Al-Asam yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam berkata, "Aku pernah mendengar Imam Syafii mengatakan ...," lalu ia menuturkannya.
Abu Nasr As-Sabbag mengatakan bahwa Ar-Rabi' bersumpah dengan menyebut nama Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya dia (yakni Ibnu Abdul Hakam) telah berdusta terhadap Imam Syafii dalam masalah ini, karena Imam Syafii sendiri menaskan keharamannya di dalam enam buah kitab hasil karyanya.
****************
Firman Allah Swt.:
{وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ}
Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian. (Al-Baqarah: 223)
Artinya, kerjakanlah amal-amal ketaatan dengan cara menjauhi semua hal yang dilarang kalian mengerjakannya, yaitu perkara-perkara yang diharamkan. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ}
dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. (Al-Baqarah: 223)
Maka kelak Allah akan menghisab semua amal perbuatan kalian.
{وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ}
Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 223)
Yakni orang-orang yang taat kepada Allah dalam mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Kasir, dari Abdullah ibnu Waqid, dari Ata yang mengatakan bahwa menurut dugaanku disebutkan dari Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya:  Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian. (Al-Baqarah: 223) Maksudnya ialah bila kamu mengucapkan bismillah, yakni membaca tasmiyah di kala hendak melakukan persetubuhan.
Telah disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لو أن أحدكم إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ، قَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذلك، لن يضره الشيطان أبدا» .
Seandainya seseorang dari kalian di saat hendak mendatangi istrinya mengucapkan, "Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah dari kami setan dan jauhkanlah pula dari setan apa (anak) yang Engkau rezekikan kepada kami, " maka sesungguhnya jika ditakdirkan bagi keduanya punya anak dalam hubungannya itu, niscaya setan tidak dapat menimpakan mudarat terhadap si anak selama-lamanya.

Al-Baqarah, ayat 224-225

{وَلا تَجْعَلُوا اللَّهَ عُرْضَةً لأيْمَانِكُمْ أَنْ تَبَرُّوا وَتَتَّقُوا وَتُصْلِحُوا بَيْنَ النَّاسِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (224) لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (225) }
Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam sumpah kalian sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan mengadakan islah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Allah Swt. berfirman bahwa janganlah kalian menjadikan sumpah-sumpah kalian atas nama Allah menghalang-halangi kalian untuk berbuat kebajikan dan silaturahmi, jika kalian bersumpah untuk tidak melakukannya. Perihalnya sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
وَلا يَأْتَلِ أُولُوا الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبى وَالْمَساكِينَ وَالْمُهاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang yang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah; dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? (An-Nur: 22)
Berpegang teguh pada sumpah yang demikian, pelakunya beroleh dosa. Karena itu, ia harus melepaskan sumpahnya dan membayar kifarat.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ، قَالَ: هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "نَحْنُ الْآخِرُونَ السَّابِقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"،
telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa kaiimat berikut merupakan hadis yang diceritakan kepada kami oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi Saw., yaitu bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:  Kami (umat Muhammad) adalah orang-orang yang terakhir (adanya), tetapi orang-orang yang paling dahulu (masuk surga) di hari kiamat.
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَاللَّهِ لَأَنْ يلجَّ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ فِي أَهْلِهِ آثمُ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ أَنْ يُعطي كَفَّارَتَهُ الَّتِي افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْهِ".
Rasulullah Saw. bersabda pula: Demi Allah, sesungguhnya seseorang dari kalian berpegang teguh pada sumpahnya terhadap keluarganya menjadi orang yang berdosa menurut Allah daripada dia membayar kifarat yang telah diwajibkan oleh Allah atas sumpahnya itu.
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari Muhammad ibnu Rafi', dari Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Rafi'.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ، هُوَ ابْنُ سَلَّامٍ، عَنْ يَحْيَى، وَهُوَ ابْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنِ اسْتَلَجَّ فِي أَهْلِهِ بِيَمِينٍ، فَهُوَ أَعْظَمُ إِثْمًا، لَيْسَ تُغْنِي الْكُفَّارَةُ".
telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah (yaitu Ibnu Salam), dari Yahya (yaitu ibnu Abu Kasir), dari Ikrimah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang bersitegang terhadap keluarganya dengan sumpahnya, maka perbuatan itu dosanya amat besar, kifarat tidak cukup untuk menutupinya.
Menurut riwayat yang lain, hendaklah ia melanggar sumpahnya, lalu membayar kifarat.
Ali ibnu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam sumpah kalian sebagai penghalang. (Al-Baqarah: 224) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna ayat ialah 'janganlah kamu jadikan sumpahmu menghalang-halangi dirimu untuk berbuat kebaikan, tetapi bayarlah kifarat sumpahmu itu dan berbuatlah kebaikan'.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Masruq, Asy-Sya'bi, Ibrahim, An-Nakha'i, Mujahid, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ata, lkrimah, Makhul, Az-Zuhri, Al-Hasan, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ad-Dahhak, Ata Al-Kurrasani, dan As-Saddi rahimahumullah.
Pendapat mereka diperkuat oleh sebuah hadis di dalam kitab Sahihain:
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنِّي وَاللَّهِ -إِنْ شَاءَ اللَّهُ -لَا أَحْلِفُ عَلَى يَمِينٍ فَأَرَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَتَيْتُ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَتَحَلَّلْتُهَا"
dari Abu Musa Al-Asy'ari r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya aku, demi Allah, insya Allah, tidak sekali-kali mengucapkan sumpah, kemudian aku memandang bahwa hal lain lebih baik darinya, melainkan aku akan melakukan hal yang lebih baik itu dan aku ber-tahallul dari sumpahku (dengan membayar kifarat).
Telah disebutkan pula di dalam kitab Sahihain bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Abdur Rahman ibnu Samurah:
"يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا، وَإِنَّ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ خَيْرًا مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ".
Hai Abdur Rahman ibnu Samurah, janganlah kamu meminta imarah (jabatan), karena sesungguhnya jika kamu aku beri imarah tanpa ada permintaan dari pihakmu, niscaya aku akan membantunya. Dan jika kamu diberi karena meminta, maka imarah itu sepenuhnya atas tanggung jawabmu sendiri. Dan apabila kamu mengucapkan suatu sumpah, lalu kamu melihat hal yang lain lebih baik daripada sumpahmu itu, maka kerjakanlah hal yang lebih baik darinya dan bayarlah kifarat sumpahmu.
Imam Muslim meriwayatkan melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ، وَلْيَفْعَلِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ".
Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah, lalu ia melihat hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya, maka hendaklah ia membayar kifarat sumpahnya dan melakukan hal yang lebih baik itu.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا خَلِيفَةُ بْنُ خَيَّاطٍ، حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Khalifah ibnu Khayyat, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah, lalu ia memandang hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya, maka meninggalkan sumpahnya itu merupakan kifaratnya.
Imam Abu Daud meriwayatkan melalui jalur Abu Ubaidillah ibnul Akhnas, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا نَذْرَ وَلَا يَمِينَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ، وَلَا فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا فِي قَطِيعَةِ رَحِمٍ، وَمَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَدَعْهَا، وَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ، فَإِنَّ تَرْكَهَا كَفَّارَتُهَا".
Tiada nazar dan tiada sumpah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam (orang yang bersangkutan), tidak pula dalam maksiat kepada Allah, dan tidak pula dalam memutuskan silaturahmi. Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah, lalu ia memandang hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya, maka hendaklah ia meninggalkan sumpahnya dan hendaklah ia melakukan hal yang lebih baik, karena sesungguhnya meninggalkan sumpah merupakan kifaratnya.
Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa hadis-hadis yang dari Nabi Saw. semuanya mengatakan:
" فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ"
Maka hendaklah ia membayar kifarat sumpahnya.
Riwayat inilah yang sahih.
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدٍ الْكِنْدِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِر، عَنْ حَارِثَةَ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ حَلَفَ عَلَى قَطِيعَةِ رَحِمٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ، فَبِرُّهُ أَنْ يَحْنَثَ فِيهَا وَيَرْجِعَ عَنْ يَمِينِهِ".

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sa'id Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Misar, dari Harisah ibnu Muhammad, dari Umrah, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah untuk memutuskan silaturahmi dan berbuat maksiat, maka untuk menunaikan sumpahnya itu ialah hendaknya ia melanggarnya dan mencabut kembali sumpahnya.
Hadis ini daif, mengingat Harisah adalah Ibnu Abur Rijal yang dikenal dengan sebutan Muhammad ibnu Abdur Rahman; dia (Harisah) hadisnya tidak dapat dipakai lagi dinilai lemah oleh semuanya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Musayyab, Masruq serta Asy-Sya'bi, bahwa mereka mengatakan: Tidak ada sumpah dalam maksiat, dan tidak ada kifarat atasnya.
**************
Firman Allah Swt.:
{لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ}
Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225)
Yakni Allah tidak akan menghukum kalian dan tidak pula mewajibkan suatu sanksi pun atas diri kalian karena sumpah yang tidak dimaksud untuk bersumpah. Yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah kalimat yang biasa dikeluarkan oleh orang yang bersangkutan dengan nada yang tidak berat dan tidak pula dikukuhkan.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِي حَلِفِهِ: وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى، فَلْيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ"
Barang siapa yang bersumpah, lalu mengatakan dalam sumpah-nya, "Demi Lata dan Uzza," maka hendaklah ia mengucapkan pula, "Tidak ada Tuhan selain Allah."
Hal ini dikatakan oleh Nabi Saw. kepada orang-orang Jahiliah yang baru masuk Islam, sedangkan lisan mereka masih terikat dengan kebiasaannya di masa lalu, yaitu bersumpah menyebut nama Lata tanpa sengaja.   Untuk  itu  mereka  diperintahkan  mengucapkan   kalimah ikhlas, mengingat mereka mengucapkannya tanpa sengaja, dan kalimat terakhir (kalimat tauhid) berfungsi meralat kalimat yang pertama. Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan:
{وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ }
tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. (Al-Baqarah: 225)
Di dalam ayat yang lain disebutkan:
بِما عَقَّدْتُمُ الْأَيْمانَ
disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja. (Al-Maidah: 89)
Imam Abu Daud di dalam Bab "Sumpah yang Tidak Disengaja" mengatakan:
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ الشَّامِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ -يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ -حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ -يَعْنِي الصَّائِغَ -عَنْ عَطَاءٍ: فِي اللَّغْوِ فِي الْيَمِينِ، قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "هُوَ كَلَامُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ: كَلَّا وَاللَّهِ وَبَلَى وَاللَّهِ".
telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Mas'adah Asy-Syami, telah menceritakan kepada kami Hayyan (yakni Ibnu Ibrahim), telah menceritakan kepada kami Ibrahim (yakni As-Saig), dari Ata mengenai sumpah yang tidak disengaja; Siti Aisyah pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sumpah yang tidak disengaja ialah perkataan seorang lelaki di dalam rumahnya, "Tidak demikian, demi Allah; dan memang benar, demi Allah."
Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnul Furat, dari Ibrahim As-Saig, dari Ata, dari Siti Aisyah secara mauquf.
Az-Zuhri, Abdul Malik, dan Malik ibnu Magul meriwayatkannya pula, semuanya melalui jalur Ata, dari Siti Aisyah secara mauquf.
Menurut kami, memang demikian telah diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, Ibnu Abu Laila, dari Ata, dari Siti Aisyah secara mauquf.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hannad, dari Waki', Abdah dan Abu Mu'awiyah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Yang dimaksud adalah seperti 'Tidak, demi Allah. Memarig benar, demi Allah'.
Kemudian Ibnu Juraij meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Humaid, dari Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ibnu Ishaq, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata, dari Siti Aisyah, dan perkataan Abdurrazzaq, yaitu Ma'mar telah menceritakan kepada kami dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang tergesa-gesa dalam suatu perkara. Maka Abdurrazzaq mengatakan demikian, 'Tidak, demi Allah' dan 'Memang benar, demi Allah' dan 'Tidak demikian, demi Allah', mereka adalah kaum yang tergesa-gesa dalam suatu perkara, tidak ada kesengajaan dalam hati mereka.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun Ibnu Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Siti Aisyah mengatakan, yang dimaksud adalah seperti perkataan seorang lelaki, Tidak, demi Allah', 'Memang benar demi Allah'.
Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh (juru tulis Al-Lais), telah menceritakan kepadaku ibnu Luhai'ah, dari Abul Aswad, dari Urwah yang menceritakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya sumpah yang tidak disengaja itu hanya terjadi pada senda gurau dan berseloroh, yaitu seperti perkataan seorang lelaki, Tidak, demi Allah,', dan 'Ya, demi Allah.' Maka hal seperti itu tidak ada kifaratnya. Sesungguhnya yang ada kifaratnya ialah sumpah yang timbul dari niat hati orang yang bersangkutan untuk melakukannya atau tidak melakukannya."
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dalam salah satu pendapatnya, Asy-Sya'bi dan Ikrimah dalam salah satu pendapatnya, serta Urwah ibnuz Zubair, Abu Saleh, dan Ad-Dahhak dalam salah satu pendapatnya; juga Abu Qilabah dan Az-Zuhri.
Pendapat yang kedua menyebutkan, telah dibacakan kepada Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku orang yang siqah, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa ia mengemukakan takwilnya sehu-bungan dengan makna firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Menurutnya makna yang dimaksud ialah jika seseorang di antara kalian mengemukakan sumpahnya atas sesuatu hal, sedangkan dia tidak bermaksud, melainkan hanya kebenaran belaka, tetapi kenyataannya berbeda dengan apa yang disumpahkannya.
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas dalam salah satu pendapatnya, Sulaiman ibnu Yasar, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid pada salah satu pendapatnya, Ibrahim An-Nakha'i dalam salah satu pendapatnya, Al-Hasan, Zararah ibnu Aufa, Abu Malik, Ata Al-Khurrasani, Bakr ibnu Abdullah, salah satu pendapat Ikrimah, Habib ibnu Abu Sabit, As-Saddi, Makhul, Muqatil, Tawus, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Yahya ibnu Sa'id, dan Rabi'ah.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الْحَرَشِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَيْمُونٍ المرالي، حَدَّثَنَا عَوْفٌ الْأَعْرَابِيُّ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ، قَالَ: مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْمٍ يَنْتَضِلُونَ -يَعْنِي: يَرْمُونَ -وَمَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَرَمَى رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَقَالَ: أَصَبْتُ وَاللَّهِ وَأَخْطَأْتُ وَاللَّهِ. فَقَالَ الَّذِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَنِثَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "كَلَّا أَيْمَانُ الرُّمَاةِ لَغْوٌ لَا كَفَّارَةَ فِيهَا وَلَا عُقُوبَةَ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musa Al-Jarasyi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Maimun Al-Muradi, telah menceritakan kepada kami Auf Al-A'rabi, dari Al-Hasan ibnu Abul Hasan yang menceritakan: Rasulullah Saw. bersua dengan suatu kaum yang sedang berlomba memanah, ketika itu Rasulullah Saw. ditemani oleh salah seorang sahabatnya. Maka berdirilah salah seorang lelaki dari kalangan kaum, lalu ia berkata, "Panahku mengenai sasaran, demi Allah; dan panah yang lainnya melenceng dari sasaran, demi Allah." Maka berkatalah orang yang menemani Nabi Saw. kepada Nabi Saw., "Wahai Rasulullah, lelaki itu telah melanggar sumpahnya." Rasulullah Saw. menjawab, "Tidaklah demikian, sumpah yang diucapkan oleh orang-orang yang memanah merupakan sumpah yang tidak disengaja, tidak ada kifarat padanya, tidak ada pula hukuman."
Hadis ini berpredikat mursal lagi hasan dari Al-Hasan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Siti Aisyah dua pendapat kesemuanya.
Telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Jabir, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah ucapan seseorang, "Tidak, demi Allah; dan memang benar, demi Allah," dia menduga bahwa apa yang dikatakannya itu benar, tetapi kenyataannya berbeda.
Pendapat-pendapat yang lain disebutkan oleh Abdur Razzaq, dari Hasyim, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang bersumpah atas sesuatu, kemudian ia lupa kepada sumpahnya.
Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa sumpah tersebut adalah seperti ucapan seorang lelaki, "Semoga Allah membutakan penglihatan-ku jika aku tidak melakukan anu dan anu," atau "Semoga Allah melenyapkan hartaku jika aku tidak datang kepadamu besok, yakni hartaku yang ini."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Musaddad ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Khalid, telah menceritakan kepada kami Ata, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah yang tidak disengaja ialah sumpah yang kamu ucapkan, sedangkan kamu dalam keadaan emosi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Jamahir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, telah menceritakan kepadaku Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah yang tidak disengaja ialah bila kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah bagimu, yang demikian itu tidak ada kifaratnya bagimu jika kamu melanggarnya. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair.
Imam Abu Daud mengatakan di dalam Bab "Sumpah dalam Keadaan Emosi":
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمِنْهَالِ، أَنْبَأَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، حَدَّثَنَا حَبِيبٌ الْمُعَلِّمُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ: أَنَّ أَخَوَيْنِ مِنَ الْأَنْصَارِ كَانَ بَيْنَهُمَا مِيرَاثٌ، فَسَأَلَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ الْقِسْمَةَ فَقَالَ: إِنْ عُدْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الْقِسْمَةِ، فَكُلُّ مَالِي فِي رِتَاجِ الْكَعْبَةِ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: إِنَّ الْكَعْبَةَ غَنِيَّةٌ عَنْ مَالِكَ، كَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَكَلِّمْ أَخَاكَ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يَمِينَ عَلَيْكَ، وَلَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَا فِي قَطِيعَةِ الرَّحِمِ، وَلَا فِيمَا لَا تَمْلِكُ".
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan   kepada   kami   Habib   Al-Mu'allim,   dari   Amr   ibnu Syu'aib, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa ada dua orang bersaudara dari kalangan Ansar, keduanya mempunyai bagian warisan. Lalu salah seorang meminta bagian dirinya kepada saudaranya, kemudian saudaranya berkata, "Jika kamu kembali meminta bagian kepadaku, maka semua hartaku disedekahkan untuk Ka'bah." Maka Khalifah Umar r.a. berkata, "Sesungguhnya Ka'bah tidak memerlukan hartamu. Maka bayarlah kifarat sumpahmu itu dan berbicaralah dengan saudaramu. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Tiada sumpah atas dirimu dan tiada pula nazar dalam maksiat terhadap Allah Swt., tiada pula dalam memutuskan silaturahmi, serta tiada pula dalam apa yang tidak kamu miliki'."
**************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ}
tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. (Al-Baqarah: 225)
Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid serta lainnya yang bukan hanya seorang, yang dimaksud ialah bila seseorang bersumpah atas sesuatu, sedangkan ia mengetahui bahwa dirinya berdusta dalam sumpahnya itu.
Mujahid dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna ayat ini sama dengan firman-Nya:
{وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأيْمَانَ}
tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah yang kalian sengaja. (Al-Maidah: 89), hingga akhir ayat.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ}
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Baqarah: 225)

Al-Baqarah, ayat 226-227

{لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (226) وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (227) }
Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber-'azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ila ialah sumpah seorang suami terhadap istrinya bahwa dia tidak akan menggaulinya selama suatu masa. Hal ini adakalanya berjangka waktu kurang dari empat bulan atau lebih. Jika jangka waktunya kurang dari empat bulan, maka pihak suami harus menunggu habisnya masa yang disumpahkannya, setelah itu baru boleh menyetubuhi kembali istrinya; dan pihak istri harus bersabar, pihaknya tidak boleh meminta dijimak dalam masa tersebut. Hal ini telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ آلَى مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا، فَنَزَلَ لِتِسْعٍ وَعِشْرِينَ، وَقَالَ: "الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ"
Bahwa Rasulullah Saw. pernah meng-ila istri-istrinya selama satu bulan. Maka beliau baru turun setelah dua puluh sembilan hari, lalu bersabda, "Bulan ini bilangannya dua puluh sembilan hari.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal melalui Umar ibnul Khattab r.a.
Jika masa ila lebih dari empat bulan, maka pihak istri boleh meminta kepada pihak suami agar menggaulinya setelah habis masa empat bulan. Setelah habis masa empat bulan, pihak suami hanya ada salah satu pilihan: Adakalanya menyetubuhi istrinya dan adakalanya menceraikan istrinya, pihak hakim boleh menekan pihak suami untuk melakukan hal tersebut. Demikian itu agar pihak istri tidak mendapat mudarat karenanya. Oleh sebab itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:
{لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ}
Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya. (Al-Baqarah: 226)
Yakni bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya. Di dalam ayat ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa ila hanya kliusus bagi istri, tidak berlaku bagi budak perempuan. Seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama.
{تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ}
diberi tangguh empat bulan (lamanya). (Al-Baqarah: 226)
Pihak suami menunggu selama empat bulan sejak ia mengucapkan sumpahnya, kemudian dihentikan, lalu dituntut untuk menyetubuhi istrinya atau menceraikannya. Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan:
{فَإِنْ فَاءُوا}
Kemudian jika mereka kembali (kepada istri-istrinya). (Al-Baqarah: 226)
Yaitu hubungan mereka berdua kembali seperti semula sebagai suami istri secara utuh. Kalimat ini merupakan kata sindiran yang menunjukkan pengertian bersetubuh. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Masruq, Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, dan ulama lainnya yang bukan hanya seorang, di antaranya ialah Ibnu Jarir.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 226)
Artinya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang atas semua kelalaian yang dilakukan terhadap hak para istri disebabkan sumpah ila.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 226)
Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menjadi pegangan salah satu di antara dua pendapat yang ada di kalangan ulama, yaitu qaul qadim dari Imam Syafii.
Bahwa orang yang bersumpah ila apabila kembali kepada istrinya sesudah empat bulan, tidak ada kifarat atas dirinya. Hal ini diperkuat oleh hadis yang terdahulu mengenai ayat ini, diriwayatkan dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا"
Barang siapa yang bersumpah atas sesuatu, lalu ia melihat bahwa selainnya lebih baik daripadanya, maka kifaratnya ialah meninggalkan sumpahnya itu.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi.
Akan tetapi, pendapat jumhur ulama sama dengan qaul jadid Imam Syafii yang mengatakan bahwa si suami dikenakan kifarat, mengingat keutamaan makna wajib membayar kifarat bagi setiap orang yang bersumpah, lalu melanggar sumpahnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis-hadis terdahulu yang semuanya sahih.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ}
Dan jika mereka bertetap hati untuk talak. (Al-Baqarah: 227)
Di dalam kalimat ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa talak tidak jatuh hanya dengan lewatnya masa empat bulan. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama mutaakhkhirin. Sedangkan menurut pendapat ulama lainnya, talak satu jatuh setelah lewat masa empat bulan. Pendapat ini didukung oleh riwayat yang sanad-sanadnya berpredikat sahih, dari Umar, Usman, Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ibnu Sirin, Masruq, Al-Qasim, Salim, Al-Hasan, Abu Sala-mah, Qatadah, Syauraih Al-Qadi, Qubaisah ibnu Zuaib, Ata, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Sulaiman ibnu Tarkhan At-Taimi, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi.
Kemudian dikatakan bahwa si istri tertalak dengan lewatnya masa ila empat bulan dengan status talak raj'i. Demikianlah menurut Sa'id ibnul Musayyab, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam, Makhul, Rabi'ah, Az-Zuhri, dan Marwan ibnul Hakam.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, si istri tertalak bain. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Usman, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit; serta dipegang oleh Ata, Jabir ibnu Zaid, Masruq, Ikrimah, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Hanafiyyah, Ibrahim, Qubaisah ibnu Zuaib, Abu Hanifah, As-Sauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh.
Semua pendapat yang mengatakan bahwa si istri tertalak dengan lewatnya masa empat bulan mewajibkan adanya idah atas pihak istri. Kecuali apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abusy Sya'sa yang mengatakan bahwa si istri telah mengalami haid tiga kali, maka tidak ada idah atas dirinya. Pendapat inilah yang dikemukakan oleh Imam Syafii.
Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh jumhur ulama mutaakhkhirin mengatakan bahwa pihak suami dihentikan, lalu ia dituntut untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya, dan tiada suatu talak pun yang jatuh atas diri si istri hanya karena lewatnya masa empat bulan.
Imam Malik meriwayatkan dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan, "Apabila seorang lelaki meng-ila istrinya, maka talaknya tidak ada yang jatuh, sekalipun telah berlalu masa empat bulan; melainkan pihak suami dihentikan, lalu dituntut untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya." Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Yasar yang mengatakan, "Aku telah menjumpai belasan orang sahabat Nabi Saw., semua berpendapat bahwa lelaki yang bersumpah ila dihentikan." Pengertian belasan menurut Imam Syafii paling sedikit terdiri atas tiga belas orang.
Imam Syafii meriwayatkan sebuah asar melalui Ali r.a., bahwa ia menghentikan suami yang bersumpah ila. Kemudian mengatakan bahwa memang demikianlah menurut pendapat kami, pendapat ini sesuai dengan apa yang telah kami riwayatkan melalui Umar, Ibnu Umar, Siti Aisyah, Usman, Zaid ibnu Sabit dan belasan orang sahabat Nabi lainnya. Demikianlah pendapat Imam Syafii rahimahullah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayub, dari Ubaidillah ibnu Umar, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada dua belas lelaki sahabat tentang masalah seorang lelaki yang mengucapkan sumpah ila terhadap istrinya. Mereka mengatakan bahwa si suami tidak dikenakan apa pun sebelum lewat masa empat bulan, setelah itu si suami dihentikan dan dipaksa memilih salah satu di antara dua alternatif: Adakalanya kembali kepada istrinya (menyetubuhinya) atau menceraikannya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni melalui Suhail.
Menurut kami, pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Aisyah Ummul Muminin, Ibnu Umar, dan ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Umar ibnu Abdul Aziz, Mujahid, Tawus, Muhammad ibnu Ka'b, dan Al-Qasim.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal serta murid-murid mereka semuanya, rahimahullah.
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir, juga yang dikatakan oleh Al-Lais, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Saur, dan Daud. Mereka semua berpendapat bahwa jika pihak suami tidak mau kembali kepada istrinya, maka pihak suami harus menalak istrinya. Jika pihak suami tidak mau menalak istrinya, maka pihak hakimlah yang menjatuhkan talaknya. Kemudian talak yang dijatuhkan ber-sifat raj’i, si suami boleh merujuknya selagi dalam masa idahnya.
Tetapi Imam Malik berpendapat menyendiri. Ia mengatakan, tidak boleh pihak suami merujuknya sebelum ia menyetubuhi istrinya dalam idahnya. Pendapat ini aneh sekali.
Para ahli fiqih dan lain-lainnya sehubungan dengan masalah menangguhkan seorang suami yang bersumpah ila selama empat bulan telah menyebutkan sebuah asar yang diriwayatkan oleh Imam Malik ibnu Anas di dalam kitab Muwatta-nya, dari Abdullah ibnu Dinar yang menceritakan bahwa di suatu malam Khalifah Umar ibnul Khattab keluar, lalu ia mendengar seorang wanita mengucapkan syair berikut:
Malam ini terasa amat panjang dan lambungnya kelihatan sudah menghitam, sedangkan aku tidak dapat tidur karena tiada kekasih yang biasa bermain denganku. Maka demi Allah, seandainya aku tidak mempunyai perasaan bahwa Allah selalu mengawasiku, niscaya lambungnya akan bergerak dari tempat tidur ini.
Kemudian Umar bertanya kepada anak perempuannya (yaitu Siti Hafsah r.a.), "Berapa lamakah seorang wanita bertahan ditinggal suaminya?" Siti Hafsah menjawab, "Enam atau empat bulan." Maka Umar berkata, "Aku tidak akan menugaskan seorang pun dari pasukan kaum muslim lebih dari masa tersebut."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari As-Saib ibnu Jubair maula ibnu Abbas yang telah menjumpai masa sahabat Nabi Saw. (yakni tabi'in) mengatakan bahwa ia masih tetap teringat kepada hadis Umar. Disebutkan bahwa di suatu malam Khalifah Umar mengelilingi kota Madinah, dia sering melakukan hal tersebut; tiba-tiba ia melewati rumah seorang wanita Arab, sedangkan pintu rumah wanita itu tertutup, lalu terdengar wanita itu mendendangkan syair berikut:
Malam ini terasa amat panjang dan lambung tempat tidurnya Sudah lapuk, sedangkan aku sendiri tidak dapat tidur karena tiada kekasih yang aku biasa bermain dengannya. Aku bermain dengannya tahap demi tahap, seakan-akan bulan menampakkan alisnya di malam yang pekat, Dia membuat senang orang yang bermain di dekatnya, dalam kelembutan perutnya yang agak besar itu aku mendekatinya. Demi Allah, seandainya tidak ada Allah dan memang kenyataannya tiada sesuatu pun selain Allah, niscaya lambungnya pasti direbahkannya di atas tempat tidur ini. Akan tetapi, aku takut kepada malaikat pengawas yang ditugaskan menjaga diri kami, sepanjang masa dia selalu mencatat semuanya karena taat kepada perintah Tuhanku, sedangkan rasa malu menghalang-halangi diriku dan demi menghormat suamiku agar diriku jangan tercemar.
Kemudian perawi melanjutkan asar ini seperti yang disebutkan di atas atau semisal dengannya. Asar ini diriwayatkan pula melalui berbagai jalur, dan merupakan salah satu as'ar yang terkenal.

Al-Baqarah, ayat 228

{وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228) }
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai suatu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Allah memerintahkan kepada wanita-wanita yang diceraikan dan telah dicampuri, sedangkan mereka mempunyai masa quru', hendaklah mereka menunggu selama tiga kali quru'. Yakni salah seorang dari mereka yang dicerai oleh suaminya melakukan idahnya selama tiga kali quru', kemudian kawin jika menghendaki.
Para imam yang empat orang mengecualikan keumuman makna ayat ini, yaitu berkenaan dengan budak wanita apabila diceraikan. Maka sesungguhnya dia melakukan idahnya hanya selama dua kali quru', mengingat segala sesuatunya adalah separo dari wanita yang merdeka; sedangkan quru' tidak dapat dipecahkan, maka digenapkanlah baginya dua kali quru'. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muzahir ibnu Aslam Al-Makhzumi Al-Madani, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«طَلَاقُ الْأَمَةِ تَطْلِيقَتَانِ، وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ»
Bilangan talak budak perempuan adalah dua kali talak, dan idahnya adalah dua kali haid.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah, tetapi Muzahir ini berpredikat daif sama sekali. Al-Hafiz Ad-Daruqutni mengatakan, begitu pula yang lainnya, bahwa yang benar ialah hadis ini merupakan ucapan Al-Qasim ibnu Muhammad sendiri. Tetapi Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Atiyyah Al-Aufi, dari Ibnu Umar secara marfu. Imam Daruqutni mengatakan bahwa yang benar apa yang diriwayatkan oleh Salim dan Nafi', dari Ibnu Umar adalah perkataan Ibnu Umar sendiri (yakni mauquf, bukan marfu'). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Umar ibnul Khattab.
Para ulama mengatakan, belum pernah diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat mengenai masalah ini. Sebagian ulama Salaf mengatakan, bahkan idah budak perempuan itu sama dengan wanita merdeka, mengingat keumuman makna ayat di atas (Al-Baqarah: 228). Mengingat masalah ini merupakan hal yang bersifat pembawaan, maka tidak ada perbedaan antara wanita yang merdeka dan budak wanita. Pendapat ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr dari Muhammad ibnu Sirin dan sebagian penganut mazhab Zahiri, tetapi Abu Umar menilainya daif.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail (yakni Ibnu Ayyasy), dari Amr ibnu Muhajir, dari ayahnya, bahwa Asma (anak perempuan Yazid ibnus Sakan Al-Ansariyah) telah menceritakan hadis berikut: Ia pernah diceraikan di masa Rasulullah Saw., sedangkan saat itu masih belum ada idah bagi wanita yang diceraikan. Maka Allah menurunkan firman-Nya-ketika Asma ditalak, yakni firman yang menerangkan tentang idah wanita yang diceraikan. Dengan demikian, Asma merupakan wanita pertama yang diturunkan berkenaan dengannya masalah idah wanita yang diceraikan. Yang dimaksud adalah firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (Al-Baqarah: 228)
Hadis ini garib bila ditinjau dari segi (jalur) ini.
Ulama Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda pendapat tentang makna yang dimaksud dari istilah quru'. Apakah makna yang sebenarnya? Ada dua pendapat mengenainya, yaitu:
Pendapat pertama. Yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci.
Imam Malik mengatakan di dalam kitab Muwatta'-nya, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pindah ketika memasuki darah haid-nya yang ketiga kali (yakni pindah ke rumah suaminya). Ketika hal tersebut diceritakan kepada Umrah binti Abdur Rahman, ia mengatakan bahwa Urwah benar dalam kisahnya. Akan tetapi, ada sejumlah ulama yang membantah; mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya: tiga kali quru'. (Al-Baqarah: 228) Maka Aisyah berkata, "Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian apa yang dimaksud dengan quru" Sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci."
Imam Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab, bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Aku belum pernah menjumpai seorang pun dari kalangan ahli fiqih kami melainkan ia mengatakan hal yang sama (yakni quru' adalah masa suci)." Yang dimaksud ialah sama dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah.
Imam Malik meriwayatkan pula dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, bahwa ia pernah mengatakan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya, lalu si istri memasuki masa haidnya yang ketiga, berarti dia telah terlepas dari suaminya dan suaminya terlepas darinya." Selanjutnya Imam Malik mengatakan, "Memang demikianlah yang berlaku di kalangan kami."
Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Zaid ibnu Sabit, Salim, Al-Qasim, Urwah, Sulaiman ibnu Yasar, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman, Aban ibnu Usman, Ata ibnu Abu Rabah, Qatadah, dan Az-Zuhri serta tujuh orang ahli fiqih lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, serta Daud dan Abu Saur. Pendapat ini sama dengan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Mereka mengatakan demikian berdalilkan firman-Nya:
{فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ}
Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (At-Talaq: 1)
Yakni di masa sucinya. Juga karena mengingat masa suci waktu si suami menjatuhkan talak padanya terhitung, maka hal ini menunjukkan bahwa masa suci merupakan salah satu quru' yang tiga yang d-perintahkan bagi si istri untuk menjalaninya. Karena itulah mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang ada dalam idahnya, masa idahnya habis dan terpisah dari suaminya bila ia memasuki masa haidnya yang ketiga.
Batas minimal masa yang di jalani oleh seorang istri hingga masa idahnya habis ialah tiga puluh dua hari dan dua lahzah. Abu Ubaidah dan lain-lainnya mengatakan demikian dengan berpegang kepada perkataan seorang penyair, yaitu Al-A'sya:
فَفِي كُلِّ عَامٍ أَنْتَ جَاشِمُ غَزْوَةٍ ... تَشُدُّ لأقصاها عزيم عزائكا
مورثة مالا وفي الذكر رِفْعَةٌ ... لَمَّا ضَاعَ فِيهَا مِنْ قُرُوءِ نِسَائِكَا
Setiap tahun kamu selalu menggeluti perang, sekalipun jauh, tekad dan semangatmu tetap menyala, banyak harta benda (ganimah) yang kamu peroleh, dan kamu dari keturunan yang terhormat, sekalipun tersia-siakan di dalamnya masa suci istri-istrimu.
Penyair memuji seorang Amir Arab yang lebih senang memilih berperang daripada tinggal di rumah, hingga terlewatkanlah masa-masa suci istri-istrinya; ia tidak menyetubuhi mereka di masa-masa tersebut.
Pendapat kedua. Yang dimaksud dengan quru' ialah masa haid.
Karena itu, menurut pendapat ini seorang istri masih belum habis masa idahnya sebelum bersuci dari haid yang ketiga kalinya. Ulama lainnya menambahkan harus mandi terlebih dahulu dari haidnya.
Batas minimal waktu yang di jalani oleh seorang wanita hingga sampai habis masa idahnya adalah tiga puluh tiga hari dan satu lahzah.
As-Sauri meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, dari Alqamah yang menceritakan, "Kami pernah berada di hadapan Khalifah Umar ibnu Khattab r.a. Lalu datang kepadanya seorang wanita dan berkata kepadanya, 'Sesungguhnya suamiku telah menceraikan aku selama sekali atau dua kali haid. Lalu ia datang kepadaku, sedangkan aku telah melepaskan bajuku dan pintuku telah kututup.' Maka Umar berkata kepada Abdullah ibnu Mas'ud, 'Menurut pendapatku, dia telah menjadi istrinya, hanya salat masih belum dihalalkan baginya.' Ibnu Mas'ud berkata, 'Aku pun berpendapat demikian'."
Demikian pula hal yang diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Ubadah ibnus Samit, Anas ibnu Malik, Ibnu Mas'ud, Mu'az, Ubay ibnu Ka'b, Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab, Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim, Mujahid, Ata, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Asy-Sya'bi, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, Makhul, Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani. Mereka semua mengatakan bahwa quru' artinya haid.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal yang paling sahih di antara kedua riwayatnya. Al-Asram meriwayatkan darinya, bahwa ia (Imam Ahmad) pernah mengatakan, "Para pembesar sahabat Rasulullah Saw. mengatakan bahwa quru' artinya haid."
Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab As-Sauri, Al-Auza'i, ibnu Abu Laila, Ibnu Syabramah, Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Hay, Abu Ubaid, dan Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui jalur Al-Munzir ibnul Mugirah, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda kepadanya:
«دَعِي الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ»
Tinggalkanlah salat dalam hari-hari quru'-mu (haidmu).
Seandainya disebutkan dengan jelas bahwa quru' artinya haid, maka hal ini lebih sahih, tetapi Al-Munzir (salah seorang perawinya) disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim sebagai perawi yang majhul (tak dikenal) lagi tidak masyhur. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam kitab As-Siqat.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal quru' di dalam percakapan orang-orang Arab menunjukkan pengertian waktu bagi kedatangan suatu hal yang telah menjadi kebiasaan kedatangannya, lagi dalam waktu yang telah dimaklumi, juga kepada kepergian sesuatu hal yang biasa kepergiannya dalam waktu yang telah dimaklumi. Ungkapan ini menunjukkan pengertian yang bersekutu antara haid dan suci. Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian ulama Usul.
Menurut Al-Asmu'i, quru' artinya waktu. Abu Amr ibnul Ala mengatakan bahwa orang-orang Arab menamakan haid dengan sebutan quru', begitu pula masa suci. Dengan kata lain, haid dan suci dinamakan quru'.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama bahasa dan ahli fiqih, bahwa yang dimaksud dengan quru' ialah haid dan suci; dan sesungguhnya mereka hanya berselisih pendapat tentang makna yang dimaksud dari ayat ini, yaitu terdiri atas dua pendapat.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ}
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya. (Al-Baqarah: 228)
Yakni kandungan atau masa haidnya. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. (Al-Baqarah: 228)
Ayat ini mengandung makna ancaman yang ditujukan kepada mereka jika mereka menentang perkara yang hak. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatunya dalam masalah ini dikembalikan kepada pihak wanita, karena hal ini tidak dapat diketahui kecuali dari pihak mereka sendiri; dan sulit untuk menegakkan bayyinah (bukti) pada kebanyakannya untuk membuktikan hal tersebut. Karena itu, segala sesuatu di-kembalikan kepada mereka. Lalu mereka diancam oleh ayat ini agar jangan sekali-kali mereka memberitahukan kecuali hanya kebenaran belaka, mengingat adakalanya pihak wanita mau mempercepat masa idahnya atau berkeinginan memperpanjang masa idahnya karena ada maksud-maksud tertentu. Karena itulah seorang istri diperintahkan agar menceritakan hal yang sebenarnya dalam hal ini tanpa menambah-nambahi atau mengurangi.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا}
Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah.(Al-Baqarah: 228)
Maksudnya, suami yang menceraikannya lebih berhak untuk merujukinya selagi ia masih berada dalam idahnya, jika tujuan rujuk itu adalah untuk perdamaian dan kebaikan. Hal ini berlaku bagi wanita-wanita yang ditalak raj'i. Adapun bagi wanita-wanita yang diceraikan secara bain, maka di saat turunnya ayat ini belum ada yang namanya talak bain. Talak bain baru ada setelah dibatasi sampai tiga kali.
Adapun di saat ayat ini diturunkan, maka seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya sebanyak seratus kali. Ketika mereka dibatasi oleh ayat sesudahnya hanya tiga kali talak, maka baru muncul di kalangan orang-orang ada wanita yang ditalak bain dan yang bukan talak bain (talak raj'i).
Apabila Anda renungkan masalah ini, maka tampak jelas bagi Anda kelemahan metode yang ditempuh oleh sebagian ulama Usul, yaitu mereka yang menyimpulkan dalil dari ayat ini tentang masalah kembalinya damir yang ada padanya. Dengan kata lain, apakah damir tersebut men-takhsis pengertian lafaz umum yang sebelumnya ataukah tidak? Karena sesungguhnya tamsil yang ada pada ayat ini bersifat tidak mutlak seperti apa yang mereka sebutkan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ}
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228)
Yakni para wanita mempunyai hak atas suami mereka seimbang dengan hak yang ada pada para lelaki atas diri mereka. Karena itu, hendaklah masing-masing pihak dari keduanya menunaikan apa yang wajib ia tunaikan kepada pihak lain dengan cara yang makruf.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haji wada'nya:
"فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أخذتموهُنّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشَكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسَوْتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ".
Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan kalian halalkan farji mereka dengan kalimat Allah. Maka bagi kalian atas mereka hendaknya mereka tidak mengizinkan seorang lelaki yang kalian benci menginjak permadani (rumah) kalian. Dan jika mereka mengizinkan hal tersebut, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan bagi mereka pangan dan sandangnya secara makruf.
Di dalam hadis Bahz ibnu Hakim, dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, apakah hak istri seseorang di antara kami?" Rasulullah Saw. menjawab:
"أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طعمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِبَ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّح، وَلَا تَهْجُرَ إِلَّا فِي الْبَيْتِ"
Hendaknya kamu memberi makan dia jika kamu makan, memberi pakaian kepadanya jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah, jangan pula berkata-kata buruk serta jangan pula mengisolasinya kecuali di dalam lingkungan rumah.
Waki' meriwayatkan dari Basyir ibnu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya aku benar-benar suka berhias diri untuk istri, sebagaimana si istri suka berhias untukku." Ibnu Abbas mengatakan demikian karena Allah Swt. telah berfirman: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228)
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ}
Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. (Al-Baqarah: 228)
Yakni keutamaan dalam hal pembawaan, akhlak, kedudukan, taat pada perintah, berinfak, mengerjakan semua kepentingan, dan keutamaan di dunia serta akhirat. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
الرِّجالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّساءِ بِما فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلى بَعْضٍ وَبِما أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ}
Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 228)
Yakni Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya terhadap orang yang durhaka kepada-Nya dan menentang perintah-Nya, lagi Mahabijaksana dalam perintah, syariat, dan takdir-Nya.

Al-Baqarah, ayat 229-230

{الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (229) فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (230) }
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Ayat yang mulia ini mengangkat nasib kaum wanita dari apa yang berlaku pada masa permulaan Islam. Yaitu seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia menceraikannya sebanyak seratus kali talak, selagi si istri masih dalam masa idahnya.
Mengingat hal tersebut merugikan pihak wanita, maka Allah membatasinya hanya sampai tiga kali talak, dan memperbolehkan rujuk pada talak pertama dan kedua, memisahkannya secara keseluruhan pada talak yang ketiga kalinya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ}
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229)
Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnan-nya mengatakan, yaitu dalam Bab "Nasakh Rujuk Sesudah Talak Tiga Kali", telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid ibnun Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya. (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat. Demikian itu bila ada seorang lelaki menalak istrinya, maka dialah yang lebih berhak merujukinya, sekalipun dia telah menceraikannya sebanyak tiga kali. Maka ketentuan tersebut di-mansukh oleh firman-Nya:Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Zakaria ibnu Yahya, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Ali ibnul Husain dengan lafaz yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Aku tidak akan menceraikanmu selama-lamanya, dan tidak akan pula memberimu tempat selama-lamanya." Si istri bertanya, "Bagaimana caranya bisa demikian?" Lelaki (si suami) menjawab, "Aku akan menceraikanmu; dan apabila masa idahmu akan habis, maka aku merujukmu kembali." Lalu si istri datang kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan kepadanya hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah 229)
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya melalui jalur Jarir ibnu Abdul Hamid dan Ibnu Idris.
Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya, dari Ja'far ibnu Aun. Semuanya meriwayatkan hadis ini dari Hisyam, dari ayahnya yang menceritakan: Pada mulanya seorang suami lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya menurut apa yang dikehendakinya, selagi si istri masih berada dalam masa idahnya. Dan ada seorang lelaki dari kalangan Ansar marah kepada istrinya, lalu ia mengatakan, "Demi Allah, aku tidak akan menaungimu dan tidak pula akan menceraikanmu." Si istri bertanya, "Bagaimana bisa demikian?" Si suami menjawab, "Aku akan menceraikanmu; dan apabila telah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali. Kemudian aku ceraikan kamu lagi; dan apabila sudah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali." Kemudian si istri menceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali" (Al-Baqarah: 229). Ayah Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu orang-orang tidak berani lagi mempermainkan talak, baik mereka yang suka menjatuhkannya maupun yang belum pernah.
Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui jalur Muhammad ibnu Sulaiman, dari Ya'la ibnu Syabib maula Az-Zubair, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, lalu ia menceritakan ha-dis ini seperti yang disebutkan di atas, yakni semisal dengannya.
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Ya'la ibnu Syabib dengan lafaz yang sama.
Kemudian Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui Abu Kuraib, dari Ibnu Idris, dari Hisyam, dari ayahnya secara mursal, dan mengatakan bahwa sanad hadis ini paling sahih.
Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Ya'qub ibnu Humaid ibnu Kasib, dari Ya'la ibnu Syabib dengan lafaz yang sama, dan mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Pada mulanya talak tidak mempunyai batas; seorang lelaki dapat menceraikan istrinya, lalu merujukinya kembali selagi si istri belum habis masa idahnya. Dan tersebutlah terjadi antara seorang lelaki Ansar dengan istrinya suatu hal yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang (yakni menceraikan istrinya dengan seenaknya). Si lelaki berkata, "Demi Allah, aku benar-benar akan membuat dirimu bukan sebagai janda, bukan pula sebagai wanita yang bersuami." Lalu si lelaki menalaknya; dan bila masa idah istrinya hampir habis, maka ia merujukinya kembali; dia melakukan hal tersebut berkali-kali. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik" (Al-Baqarah: 229). Maka talak dihentikan sampai batas tiga kali, tiada rujuk lagi sesudah talak tiga, sebelum si istri kawin dengan suami yang baru.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah secara mursal. As-Saddi, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir menuturkan pula demikian, dan Ibnu Jarir memilih bahwa hadis ini merupakan tafsir dari ayat ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ}
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229)
Yakni apabila engkau menceraikan istrimu sebanyak sekali talak atau dua kali talak, maka engkau boleh memilih selagi istrimu masih dalam idahnya antara mengembalikan dia kepadamu dengan niat memperbaiki dia dan berbuat baik kepadanya; atau kamu biarkan dia menghabiskan masa idahnya, lalu berpisah darimu dan kamu lepaskan ikatannya darimu dengan cara yang baik; tetapi janganlah kamu berbuat aniaya terhadap haknya barang sedikit pun, jangan pula kamu membuat dia mudarat.
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dua kali talak, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut, yakni dalam talak yang ketiga. Adakalanya dia merujukinya dengan cara yang makruf dan mempergaulinya dengan cara yang baik, atau menceraikannya dengan cara yang baik. Dan janganlah ia menganiaya haknya barang sedikit pun."
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قِرَاءَةً، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ سُمَيْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا رَزِين يَقُولُ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} أَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan; telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraah (bacaan), telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Sufyan As-Sauri, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Sami' yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Razin menceritakan hadis berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang makna firman-Nya, 'Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik" (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang ketiganya? Nabi Saw. menjawab, "Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik."
Abdu ibnu Humaid meriwayatkan pula hadis ini di dalam kitab tafsirnya yang lafaznya berbunyi seperti berikut:
أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ سَمِيعٍ، أَنَّ أَبَا رَزِينٍ الْأَسَدِيَّ يَقُولُ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ: " الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ "، فَأَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ الثَّالِثَةُ".
Telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Hakim, dan Sufyan, dari Ismail ibnu Sami', bahwa Abu Razin Al-Asadi pernah menceritakan hadis berikut: Seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu mengenai firman Allah Swt., 'Talak (yang boleh dirujuki) dua kali’ (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang ketiganya?" Nabi Saw. menjawab, "Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik adalah talak yang ketiganya.''''
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Khalid ibnu Abdullah, dari Ismail ibnu Zakaria dan Abu Mu'awiyah, dari Ismail ibnu Sami', dari Abu Razin dengan lafaz yang sama.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur Qais ibnur Rabi', dari Ismail ibnu Sami', dari Abu Razin dengan lafaz yang sama secara mursal.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui jalur Abdul Wahid ibnu Ziyad, dari Ismail ibnu Sami', dari Anas ibnu Malik, dari Nabi Saw., lalu ia menceritakan hadis tersebut.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan;
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحِيمِ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ جَرِيرِ بْنِ جَبَلَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَائِشَةَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ذَكَرَ اللَّهُ الطَّلَاقَ مَرَّتَيْنِ، فَأَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "إِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ".
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Jarir ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aisyah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik yang telah menceritakan: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, Allah menuturkan masalah talak dua kali, maka manakah talak yang ketiganya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Rujuk lagi dengan cara yang makruf atau melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik.”
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا}
Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka. (Al-Baqarah: 229)
Artinya, tidak dihalalkan bagi kalian mengganggu dan mempersulit mereka dengan maksud agar mereka membayar tebusannya kepada kalian sebagai ganti maskawin yang telah kalian berikan kepada mereka, baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Hal ini diungkapkan pula oleh Allah dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (An-Nisa: 19)
Jika pihak istri memberikan sesuatu kepada pihak suami dengan suka hati, maka diterangkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4)
Jika suami dan istri bertengkar karena pihak istri tidak dapat menunaikan hak-hak suaminya dan membuat pihak suami marah kepadanya —begitu pula sebaliknya, pihak suami tidak dapat mempergaulinya—, maka pihak istri boleh menebus dirinya dari pihak suami dengan mengembalikan kepada pihak suami apa yang pernah ia terima darinya. Tidak ada dosa atas diri istri dalam pengembalian itu, tidak ada dosa pula bagi pihak suami menerimanya dari pihak istri. Karena itulah Allah Swt. berfirman: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.
Jika pihak wanita tidak mempunyai halangan (uzur), kemudian ia meminta agar dirinya dilepaskan dengan imbalan tebusan darinya, menurut Ibnu Jarir dalam salah satu riwayatnya disebutkan:
حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ -وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ -قَالَا جَمِيعًا: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلابة، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنْ ثَوْبَانَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقَهَا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ".
telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab. Telah menceritakan pula kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. Keduanya (Abdul Wahhab dan Ibnu Ulayyah) mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari orang yang menceritakannya, dari Sauban, dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya untuk diceraikan tanpa ada alasan yang membenarkan, maka haram baginya bau surga.
Demikian pula menurut riwayat Imam Turmuzi, dari Bandar, dari Abdul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan. Imam Turmuzi mengatakan, telah diriwayatkan pula dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma, dari Sauban. Sebagian ahli hadis ada yang meriwayatkannya dari Ayyub dengan sanad ini, tetapi tidak marfu'.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ -قَالَ: وَذَكَرَ أَبَا أَسْمَاءَ وَذَكَرَ ثَوْبَانَ -قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qilabah yang mengatakan bahwa ia pernah menceritakan, Abu Asma dan juga Sauban pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Wanita mana pun yang meminta untuk diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram baginya bau surga.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, Imam ibnu Jarir melalui hadis Hammad ibnu Zaid dengan lafaz yang sama.
Jalur periwayatan yang lain diketengahkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ، عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ، حَرّم اللَّهُ عَلَيْهَا رَائِحَةَ الْجَنَّةِ".

telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Lais ibnu Abu Idris, juga Sauban (pelayan Rasul Saw.), bahwa Nabi Saw. Pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya agar diceraikan tanpa alasan yang dibenarkan, maka Allah mengharamkan atasnya bau surga.
Nabi Saw. bersabda pula:
"الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ".
Wanita-wanita yang meminta khulu' (diceraikan oleh suaminya) adalah wanita-wanita munafik.
Kemudian Ibnu Jarir dan Imam Turmuzi meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Muzahim ibnu Daud ibnu Ulayyah, dari ayahnya, dari Lais (yaitu Ibnu Abu Sulaim), dari Abul Khattab, dari Abu Zar'ah, dari Abu Idris, dari Sauban, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

«الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ»
Wanita-wanita yang meminta khulu' adalah wanita-wanita munafik.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib bila ditinjau dari segi ini, sanadnya pun tidak kuat.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ بِشْرٍ، حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سَوَّارٍ، عَنِ الْحَسَنِ عَنْ ثَابِتِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الْمُخْتَلِعَاتِ الْمُنْتَزِعَاتِ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ"
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi', dari Asy'as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Sabit ibnu Yazid, dari Uqbah ibnu Amir, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya wanita-wanita yang minta diceraikan lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik.
Hadis ini berpredikat garib lagi daif bila ditinjau dari segi ini.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ".
telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Wanita-wanita yang minta dicerai oleh suaminya lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بِشْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ يَحْيَى بْنِ ثَوْبان، عَنْ عَمِّهِ عمارةَ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تسألُ امْرَأَةٌ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ كُنْهِه فَتَجِدَ رِيحَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لُيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا".
telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Khalaf Abu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ja'far ibnu Yahya ibnu Sauban, dari pamannya Imarah ibnu Sauban, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Janganlah seorang wanita meminta talak kepada suaminya yang bukan karena alasan semestinya, niscaya ia akan dapat mencium baunya surga; dan sesungguhnya bau surga itu benar-benar dapat dirasakan sejauh perjalanan empat puluh tahun.
Kemudian sejumlah banyak ulama dari kalangan ulama Salaf dan para Imam ulama Khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu' kecuali jika pertengkaran dan perpecahan terjadi dari pihak istri. Maka dalam keadaan seperti itu barulah pihak suami diperbolehkan menerima tebusan dari pihak istri untuk membebaskan dia dari ikatan perkawinan. Mereka mengatakan demikian berdalilkan kepada firman-Nya:
{وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا [إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ] }
Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 229)
Mereka mengatakan bahwa masalah khulu' hanya disyariatkan bila kondisinya seperti yang disebutkan ayat ini. Karena itu, masalah khulu' tidak berlaku pada kondisi lainnya, kecuali jika ada dalilnya. Sedangkan pada asalnya selain kasus ini tidak ada.
Di antara orang yang berpendapat seperti ini ialah Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, Ata, Al-Hasan, dan jumhur ulama. Hingga Imam Malik dan Al-A'uzai mengatakan, "Seandainya seorang suami mengambil sesuatu dari istrinya, sedangkan hal itu memudaratkan pihak istri, maka penebusan itu harus dikembalikan kepadanya dan jatuhlah talaknya sebagai talak raj'i." Imam Malik mengatakan, "Demikianlah yang aku jumpai di kalangan ulama, mereka berpendapat demikian."
Imam Syafii mengatakan bahwa pihak istri diperbolehkan melakukan khulu' dalam kondisi percekcokan; sedangkan dalam keadaan tidak ada percekcokan lebih diperbolehkan lagi, berdasarkan analogi yang lebih utama. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh semua muridnya.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan di dalam kitab Istizkar-nya dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani yang mengatakan bahwa khulu' itu di-mansukh oleh firman-Nya:
وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً
sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun. (An-Nisa: 20)
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, tetapi pendapat ini lemah dan tidak dapat dipakai. Karena sesungguhnya Ibnu Jarir sendiri menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Sabit ibnu Qais ibnu Syammas dan istrinya, yaitu Habibah binti Abdullah ibnu Abu Salul. Sekarang marilah kita tuturkan jalur-jalur hadisnya dan aneka ragam lafaznya.
قَالَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي مُوَطَّئِهِ: عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرة بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ زَرَارَةَ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ عَنْ حَبِيبَةَ بِنْتِ سَهْلٍ الْأَنْصَارِيَّةِ، أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ عِنْدَ بَابِهِ فِي الغَلَس، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ هَذِهِ؟ " قَالَتْ: أَنَا حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ. فَقَالَ: "مَا شَأْنُكِ؟ " فَقَالَتْ: لَا أَنَا وَلَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ -لِزَوْجِهَا -فَلَمَّا جَاءَ زَوْجُهَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هذه حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ قَدْ ذَكَرَتْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَذْكُرَ". فَقَالَتْ حَبِيبَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كُلُّ مَا أَعْطَانِي عِنْدِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذْ مِنْهَا". فَأَخَذَ مِنْهَا وَجَلَسَتْ فِي أَهْلِهَا.
Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya mengatakan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Amrah binti Abdur Rahman ibnu Sa'id ibnu Zararah, bahwa ia telah menceritakan kepadanya apa yang ia terima dari Habibah binti Sahl Al-Ansari, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas. Ketika Rasulullah Saw. keluar menunaikan salat Subuh, beliau menjumpai Habibah binti Sahl berada di depan pintu rumahnya dalam cuaca pagi yang masih gelap. Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Siapakah wanita ini?" Ia menjawab, "Aku Habibah binti Sahl." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah keperluanmu?" Ia menjawab, "Aku tidak ada kaitan lagi dengan Sabit ibnu Qais," maksudnya suaminya. Ketika suaminya (yakni Sabit ibnu Qais) datang, maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, "Perempuan ini adalah Habibah binti Sahl, ia menceritakan semua apa yang dikehendaki oleh Allah mengenai dirinya." Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, semua apa yang pernah ia berikan masih utuh ada padaku." Maka Rasulullah Saw. bersabda (kepada Sabit ibnu Qais), "Ambillah kembali darinya." Kemudian Sabit mengambil kembali pemberian itu dari Habibah, lalu Habibah tinggal di rumah keluarganya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Malik berikut sanadnya. Imam Abu Daud meriwayatkannya pula dari Al-Qa'nabi, dari Malik, sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Maslamah, dari Ibnul Qasim, dari Imam Malik.
Hadis lain diriwayatkan dari Siti Aisyah.
Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Jarir mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو السَّدُوسِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ -بْنِ أَبِي بَكْرٍ -عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ نُغضها فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ إِلَيْهِ، فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَابِتًا فَقَالَ: "خُذْ بَعْضَ مَالِهَا وَفَارِقْهَا". قَالَ: وَيَصْلُحُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: فَإِنِّي أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ، فَهُمَا بِيَدِهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذْهُمَا وَفَارِقْهَا". فَفَعَلَ.
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Amr As-Sadusi, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah, bahwa Habibah binti Sahl adalah istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, lalu Sabit memukulnya hingga salah satu anggota tubuhnya ada yang patah. Kemudian Habibah datang kepada Rasulullah Saw. sesudah salat Subuh, dan mengadu kepadanya. Maka Rasulullah Saw. memanggil Sabit dan bersabda, "Ambillah sebagian hartanya dan ceraikanlah dia!" Sabit bertanya, "Apakah hal tersebut dianggap baik, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya." Sabit berkata, "Sesungguhnya aku menyedekahkan kepadanya dua buah kebun kurma yang sekarang masih berada di tangannya." Maka Nabi Saw. bersabda, "Ambillah kedua kebun itu darinya, kemudian ceraikanlah dia." Lalu Sabit melakukan hal tersebut.
Demikianlah menurut lafaz Ibnu Jarir. Abu Amr As-Sadusi adalah Sa'id ibnu Salamah ibnu Abul Husam.
Hadis lainnya bersumber dari sahabat Ibnu Abbas.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ جَمِيلٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدٌ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً".
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Jamil, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan hadis berikut: Bahwa istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya dalam masalah akhlak, tidak pula dalam masalah agama, melainkan aku tidak suka kemunafikan sesudah masuk Islam." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun (kurma)nya?" Ia menjawab, "Ya." Rasulullah Saw. bersabda, "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah dia sekali talak."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai dari Azar ibnu Jamil berikut sanadnya. Imam Bukhari meriwayatkannya pula dari Ishaq Al-Wasiti, dari Khalid (yaitu Abdullah At-Tahawi), dari Khalid (yaitu Ibnu Mahran Al-Hazza), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal.
Demikian pula Imam Bukhari meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sedangkan pada sebagiannya disebutkan bahwa istri Sabit ibnu Qais mengatakan:
لَا أُطِيقُهُ
Aku tidak tahan dengannya -  yakni benci.
Hadis ini bila ditinjau dari segi ini hanya Imam Bukhari sendiri yang memilikinya.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Ikrimah, bahwa Jamilah r.a. —demikianlah menurutnya—, tetapi yang masyhur nama pelaku wanitanya adalah Habibah, seperti yang disebut sebelumnya.
Akan tetapi, Imam Abu Abdullah ibnu Buttah mengatakan:  telah menceritakan kepadaku Abu Yusuf (yakni Ya'qub ibnu Yusuf At-Tabbakh), telah menceritakan kepada kami Abul Qasim (yaitu Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Bagawi), telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepadaku Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut:
أَنَّ جَمِيلَةَ بِنْتَ سَلُولَ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ، وَلَكِنَّنِي أَكْرَهُ الْكُفْرَ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، لَا أُطِيقُهُ بُغْضًا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيقَتَهُ وَلَا يَزْدَادَ.
Bahwa Jamilah binti Salul datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Demi Allah, bukan karena aku mencela Sabit ibnu Qais dalam masalah agama dan akhlak, tetapi aku benci kepada kemunafikan sesudah Islam; aku tidak tahan dengannya karena benci." Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?" Jamilah menjawab, "Ya" Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada Sabit Ibnu Qais untuk mengambil kembali pokoknya dan tidak boleh lebih.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Marwan, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la hal yang semisal. Demikian pula menurut riwayat Ibnu Majah, dari Azar ibnu Marwan berikut sanadnya dengan lafaz yang sama, sanad hadis ini baik lagi benar.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ جَمِيلَةَ بِنْتِ أُبَيِّ ابْنِ سَلُولَ: أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، فَنَشَزَتْ عَلَيْهِ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "يَا جَمِيلَةُ، مَا كَرِهْتِ مِنْ ثَابِتٍ؟ " قَالَتْ: وَاللَّهِ مَا كَرِهْتُ مِنْهُ دِينًا وَلَا خُلُقًا، إِلَّا أَنِّي كَرِهْتُ دَمَامَتَهُ! فَقَالَ لَهَا: "أَتَرُدِّينَ الْحَدِيقَةَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتِ الْحَدِيقَةَ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Sabit, dari Abdullah ibnu Rabah, dari Jamilah binti Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu membangkang kepada suaminya. Maka Nabi Saw. memanggilnya, kemudian bersabda kepadanya: "Hai Jamilah, mengapa engkau tidak suka kepada Sabit?'" Jamilah menjawab, "Demi Allah, bukannya aku tidak senang kepadanya dalam masalah agama, tidak pula dalam masalah akhlak, melainkan aku tidak suka kepada penampilannya yang buruk." Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun itu?" Jamilah menjawab, "Ya." Maka Jamilah mengembalikan kebun itu, dan Nabi Saw. menceraikan di antara keduanya.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى فُضَيْلٍ، عَنْ أَبِي جَرِيرٍ أَنَّهُ سَأَلَ عِكْرِمَةَ: هَلْ كَانَ لِلْخُلْعِ أَصْلٌ؟ قَالَ: كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ: إِنَّ أَوَّلَ خُلْعٍ كَانَ فِي الْإِسْلَامِ فِي أُخْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ، أَنَّهَا أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا يَجْمَعُ رَأْسِي وَرَأْسَهُ شَيْءٌ أَبَدًا، إِنِّي رفعتُ جَانِبَ الْخِبَاءِ، فَرَأَيْتُهُ أَقْبَلَ فِي عِدَّةٍ، فَإِذَا هُوَ أَشُدُّهُمْ سَوَادًا، وَأَقْصَرُهُمْ قَامَةً وَأَقْبَحُهُمْ وَجْهًا. قَالَ زَوْجُهَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي قَدْ أَعْطَيْتُهَا أَفْضَلَ مَالِي، حَدِيقَةً لِي، فَإِنْ رَدَّتْ عليَّ حَدِيقَتِي؟ قَالَ: "مَا تَقُولِينَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، وَإِنْ شَاءَ زِدْتُهُ. قَالَ: فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا.
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah belajar kepada Fudail yang menerima hadis berikut dari Abu Jarir, bahwa Abu Jarir pernah bertanya kepada Ikrimah, "Apakah masalah khulu' mempunyai dalil asal?" Ikrimah menjawab bahwa Ibnu Abbas pernah menceritakan, mula-mula peristiwa khulu' dalam Islam terjadi pada saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay. Disebutkan bahwa pada mulanya saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, semoga aku dan dia tidak dipertemukan untuk selama-lamanya. Sesungguhnya aku mengintip di balik tendaku, lalu aku lihat dia datang dengan segala perangkatnya. Ternyata dia adalah lelaki berkulit hitam, tubuhnya sangat pendek, dan mukanya sangat jelek." Maka suaminya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah memberikan kepadanya harta milikku yang paling berharga, yaitu kebunku. Bagaimanakah kalau dia mengembalikan kebun itu kepadaku?" Rasulullah Saw. bertanya kepada istrinya, "Bagaimanakah pendapatmu?" Si istri menjawab, "Ya. Dan jika dia menghendaki, aku beri tambahannya." Maka Nabi Saw. memisahkan (menceraikan) keduanya.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، عَنْ حَجَّاجٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ: كَانَتْ حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَكَانَ رَجُلًا دَمِيمًا، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَاللَّهِ لَوْلَا مَخَافَةُ اللَّهِ إِذَا دَخَلَ عليَّ بَصَقْتُ فِي وَجْهِهِ! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتْ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ. قَالَ فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan: Habibah binti Sahl pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, sedangkan Sabit adalah orang yang buruk rupanya. Lalu Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, sekiranya aku tidak takut kepada Allah, bila ia masuk ke kamarku, niscaya aku ludahi wajahnya." Rasulullah Saw. bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepada dia?" Habibah menjawab, "Ya." Lalu Habibah mengembalikan kepada Sabit kebun (yang pernah ia berikan kepada)nya. Kemudian Rasulullah Saw. memisahkan keduanya.
Para imam berbeda pendapat mengenai masalah bila pihak lelaki meminta tebusan yang jumlahnya lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada pihak si istri.
Menurut jumhur ulama, hal tersebut diperbolehkan karena mengingat keumuman makna firman-Nya: maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Kasir maula Ibnu Samurah, bahwa dihadapkan kepada Khalifah Umar seorang wanita yang membangkang terhadap suaminya. Maka Khalifah Umar memerintahkan agar wanita tersebut disekap di dalam sebuah aimah yang banyak sampahnya. Setelah itu si wanita tersebut dipanggil dan ditanya, "Bagairnanakah perasaanmu?" Si wanita menjawab, "Aku belum pernah merasa ketenangan sejak aku dinikahi olehnya kecuali malam tadi sewaktu engkau menyekapku." Maka Khalifah Umar berkata kepada suaminya, "Ceraikanlah dia, sekalipun dengan tebusan anting-anting-nya."
Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Ayyub, dari Kasir maula Samurah dengan lafaz yang semisal. Tetapi di dalam riwayat ini disebutkan bahwa Khalifah Umar menyekap wanita itu di dalam rumah tersebut selama tiga hari.
Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, bahwa ada seorang wanita datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu wanita itu mengadu perihal dengan suaminya. Maka Khalifah Umar menyekapnya di dalam rumah yang penuh dengan sampah. Pada keesokan harinya Khalifah Umar berkata kepadanya, "Bagaimanakah keadaan tempatmu ini?" Wanita itu menjawab, "Sejak aku dinikahi olehnya, aku belum pernah merasakan malam hari yang menyenangkan seperti malam ini." Maka Khalifah Umar berkata (kepada suaminya), "Ambillah, sekalipun kondenya (lalu ceraikanlah dia)."
Imam Bukhari mengatakan bahwa Usman memperbolehkan khulu' dengan tebusan yang lebih kecil daripada konde.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail, bahwa Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra pernah menceritakan asar berikut. Ia pernah mempunyai seorang suami yang tidak baik kepadanya bila ada di rumah; dan apabila bepergian, maka si suami menelantarkannya.
Ar-Rabi' binti Mu'awwaz melanjutkan kisahnya, bahwa pada suatu hari ia terlanjur mengatakan kalimat, "Aku meminta khulu' kepadamu dengan tebusan semua yang aku miliki." Si suami menjawab, "Ya." Maka Ar-Rabi' melakukan hal itu.
Ar-Rabi' melanjutkan kisahnya, bahwa pamannya (yaitu Mu'az ibnu Afra) memperkarakan hal itu kepada Khalifah Usman ibnu Affan. Maka Khalifah Usman memperbolehkan khulu' itu dan memerintahkan kepada suaminya untuk mengambil konde kepalanya dan yang lebih kecil daripada itu, atau segala sesuatu yang nilainya lebih kecil daripada konde.
Makna yang dimaksud dari asar ini ialah bahwa pihak suami diperbolehkan mengambil dari istrinya yang meminta khulu' seperti itu segala sesuatu yang menjadi miliknya, baik yang bernilai besar ataupun kecil, dan tiada menyisakan untuk si istri kecuali tusuk konde kepalanya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Qubaisah ibnu Zuaib, Al-Hasan ibnu Saleh, dan Usman Al-Batti.
Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, Al-Lais, Imam Syafii, dan Abu Saur serta dipilih oleh Ibnu Jarir.
Murid-murid Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan menarik dari pihak istri apa yang pernah diberikan kepadanya, dan tidak boleh lebih dari itu. Jika pihak suami menuntut tambahannya, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan.
Jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak suami, maka tidak boleh pihak suami mengambil sesuatu pun dari pihak istrinya. Jika pihak suami ingin mengambilnya kembali, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan.
Imam Ahmad, Abu Ubaid, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh mengambil lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada istrinya yang meminta khulu'. Hal ini dikatakan oleh Sa'id ibnu Musayyab, Ata, Amr ibnu Syu'aib, Az-Zuhri, Tawus, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ma'mar dan Al-Hakam mengatakan bahwa sahabat Ali pernah mengatakan, "Seorang suami tidak boleh mengambil dari wanita yang meminta khulu' lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan ke-padanya."
Al-Auza'i mengatakan bahwa para kadi tidak membolehkan seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu' lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.
Menurut kami, dalil dari pendapat ini adalah hadis yang telah kami sebutkan di atas yang diriwayatkan oleh Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dalam kisah Sabit ibnu Qais. Yaitu Rasulullah Saw. memerintahkan kepada Sabit agar mengambil dari istrinya kebun itu (yang pernah ia berikan kepadanya) dan tidak boleh lebih dari itu.
Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid yang menceritakan, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, dari Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari Ata, bahwa Nabi Saw. tidak suka bila seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu' hal yang lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.
Mereka menakwilkan makna ayat berikut: Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Yakni berupa apa yang pernah diberikan pihak suami kepadanya, mengingat dalam ayat sebelumnya disebutkan: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Yaitu mengembalikan kembali pemberian tersebut.
Takwil yang sama dikemukakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas melalui qiraahnya yang mengatakan, "Tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya dengan mengembalikan pemberian tersebut." Demikianlah menurut riwayat Ibnu jarir. Karena itulah maka sesudahnya disebutkan: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (Al-Baqarah: 229)
Imam Syafii mengatakan bahwa teman-teman kami berselisih pendapat dalam masalah khulu'. Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, sesudah itu pihak istri meminta khulu' darinya. Maka pihak suami boleh mengawininya jika suka, mengingat Allah Swt. telah berfirman: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) sampai dengan firman-Nya: bila keduanya (bekas suami pertama dan istri) kawin kembali. (Al-Baqarah: 230)
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperbolehkan melalui imbalan harta bukan talak namanya.
Sedangkan selain Imam Syafii meriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Abu Waqqas pernah bertanya kepadanya mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, kemudian pihak istri minta khulu' darinya. Pertanyaannya, "Bolehkah suami tersebut mengawininya kembali?" Ibnu Abbas menjawab, "Ya, boleh. Khulu' bukanlah talak. Allah menyebutkan masalah talak pada permulaan ayat dan akhirnya, sedangkan masalah khulu' disebutkan-Nya di antara keduanya. Maka khulu' bukan merupakan sesuatu yang dianggap (sebagai talak)." Kemudian Ibnu Abbas r.a. membacakan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229); Firman-Nya:  Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230)
Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas r.a. yang kesimpulannya menyatakan bahwa khulu' bukanlah talak, melainkan fasakh nikah.
Hal yang sama dikatakan pula oleh suatu riwayat dari Usman ibnu Affan r.a. dan Ibnu Umar. Juga merupakan pendapat yang dikatakan oleh Tawus dan Ikrimah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Saur, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dalam qaul qadimnya, dan sesuai dengan makna lahiriah ayat yang bersangkutan.
Pendapat yang kedua mengenai masalah khulu' mengatakan bahwa khulu' adalah talak bain, kecuali jika lelaki yang bersangkutan berniat lebih dari itu.
Imam Malik meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Jahman maula Bani Aslam, dari Ummu Bakr Al-Aslamiyyah, bahwa ia pernah meminta khulu' dari suaminya yang bernama Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid. Lalu keduanya datang menghadap Usman ibnu Affan, mengadukan perkara tersebut. Maka Khalifah Usman mengatakan, "Talak satu. Kecuali jika kamu menyebutkan bilangannya, maka talak yang jatuh menurut apa yang kamu sebutkan."
Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengenal perawi yang bernama Jahman tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, ia mengatakan bahwa asar ini daif.
Hal yang sama diriwayatkan pula melalui Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, dan ibnu Umar. Dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Ata, Syuraih, Asy-Sya'bi, Ibrahim, dan Jabir ibnu Zaid. Juga dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, dan teman-temannya; serta As-Sauri, Al-Auza'i, Abu Usman Al-Batti, dan Imam Syafii dalam qaul jadid-nya.
Hanya mazhab Hanafi mengatakan, "Manakala Mukhali' berniat dengan khulu'-nya itu menjatuhkan sekali talak atau dua kali atau memutlakkannya, maka yang terjadi adalah talak satu bainah. Jika pihak suami berniat menjatuhkan tiga talak, maka yang jatuh adalah tiga talak."
Imam Syafii mempunyai pendapat lain dalam masalah khulu', yaitu manakala khulu' terjadi bukan dengan lafaz talak dan lagi tidak ada bayyinah (bukti/saksi), maka hal tersebut bukan dinamakan sebagai suatu masalah sama sekali.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq ibnu Rahawaih dalam salah satu riwayat darinya yang terkenal mengatakan, wanita yang meminta khulu' mempunyai idah sama dengan idah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru' jika ia termasuk wanita yang berhaid.
Hal ini telah diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Sulaiman ibnu Yasar dan Urwah, Salim, Abu Salamah, Umar ibnu Abdul Aziz, Ibnu Syihab, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Abu Iyad, Khal-las Ibnu Umar, Qatadah, Sufyan, As-Sauri, Al-Auza'i, Al-Lais ibnu Sa'd, dan Abul Ubaid.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. Kesimpulan pendapat mereka dalam masalah ini menyatakan bahwa khulu' adalah talak. Karena itu, wanita yang meminta khulu' dikategorikan sebagaimana wanita-wanita lainnya yang diceraikan.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang meminta khulu' dari suaminya melakukan idahnya hanya dengan sekali haid untuk membersihkan rahimnya.
Ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Ar-Rabi' meminta khulu' kepada suaminya, lalu paman Ar-Rabi' datang kepada Khalifah Usman r.a. (mengadukan hal tersebut). Lalu Usman r.a. berkata, "Hendaklah ia melakukan idah selama sekali haid."
Ibnu Abu Syaibah mengatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan, "Hendaklah wanita yang khulu' melakukan idahnya selama tiga kali haid." Hingga Khalifah Usman sendiri mengatakan hal yang sama, dan Ibnu Umar selalu memfatwakan demikian dan mengatakan, "Usman adalah orang yang paling terpilih dan paling alim di antara kami."
Telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa idah wanita yang meminta khulu' kepada suaminya adalah sekali haid.
Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dari Lais, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mukhtali'ah (wanita yang meminta khulu') idahnya adalah sekali haid.
Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Aban ibnu Usman beserta semua orang yang telah disebutkan di atas dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa khulu' adalah fasakh. Mereka mengatakan demikian berdalilkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi; masing-masing dari keduanya mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ الْبَغْدَادِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Bahwa istri Sabit ibnu Qais meminta khulu' dari suaminya di masa Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar melakukan idah sekali haid.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi garib. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah secara mursal.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Turmuzi:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى، عَنْ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ: أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ - أَوْ أُمِرَتْ -أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ.
telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, dari Sufyan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman (yaitu maula keluarga Talhah), dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa ia pernah meminta khulu' di masa Rasulullah Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya —atau dia diperintahkan— untuk melakukan idah sekali haid.
Imam Turmuzi mengatakan, yang sahih adalah disebutkan bahwa ia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَلَمَةَ النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنِي عبادة بن الوليد بن عبادة بن الصامت، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَ: قُلْتُ لَهَا: حَدِّثِينِي حَدِيثَكِ. قَالَتِ: اخْتَلَعْتُ مِنْ زَوْجِي، ثُمَّ جِئْتُ عُثْمَانَ، فَسَأَلْتُ: مَاذَا عَلَيَّ مِنَ الْعِدَّةِ؟ قَالَ: لَا عِدَّةَ عَلَيْكِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَدِيثَ عَهْدٍ بِكِ فَتَمْكُثِينَ عِنْدَهُ حَتَّى تَحِيضِي حَيْضَةً. قَالَتْ: وَإِنَّمَا تَبِعَ فِي ذَلِكَ قَضَاءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرْيَمَ الْمُغَالِيَةِ، وَكَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، فَاخْتَلَعَتْ مِنْهُ.
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Salamah An-Naisaburi, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Ubadah ibnu Walid ibnu Ubadah ibnus Samit, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa Ubadah pernah berkata kepada Ar-Rabi', "Ceritakanlah kepadaku kisah tentang dirimu." Ar-Rabi' menjawab, "Aku pernah meminta khulu' dari suamiku. Kemudian aku datang kepada Khalifah Us'man dan menanyakan kepadanya berapa lama idah yang harus aku jalani. Maka Khalifah Usman menjawab, 'Tiada idah atas dirimu, kecuali jika suamimu baru saja menggaulimu, maka kamu tinggal padanya selama sekali haid'." selanjutnya Ar-Rabi' mengatakan bahwa sesungguhnya dia dalam masalah ini hanyalah mengikut kepada peradilan yang telah diputuskan oleh Rasulullah Saw. terhadap Maryam Al-Mugaliyah. Maryam pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu ia meminta khulu' darinya.
Ibnu Luhai'ah menceritakan dari Abul Aswad, dari Abu Salamah dan Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. memerintahkan kepada istri Sabit ibnu Qais ketika meminta khulu' dari suaminya agar melakukan idah sekali haid.
Lelaki yang meng-khulu' istrinya tidak boleh merujuki istrinya yang meminta khulu' dalam idahnya tanpa seizin dari pihak si istri. Demikianlah menurut para imam yang empat dan jumhur ulama, karena si istri telah memiliki dirinya sendiri berkat tebusan yang telah ia berikan kepada pihak suami.
Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Aufa, Mahan Al-Hanafi, dan Sa'id ibnul Musayyab serta Az-Zuhri, bahwa mereka mengatakan, "Jika pihak suami mengembalikan lagi tebusan tersebut kepada pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan merujuki istrinya selagi dalam idahnya tanpa perlu ada kerelaan dari pihak si istri." Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Saur rahimahullah.
Sufyan As-Sauri mengatakan, "Jika khulu' terjadi bukan dengan memakai lafaz talak, maka hal ini namanya perpisahan, dan tidak ada jalan lagi bagi pihak suami untuk merujukinya. Jika pihak suami menyebutnya dengan memakai kalimat talak, maka dialah yang lebih berhak merujuki istrinya selagi masih berada dalam idahnya." Pendapat inilah yang dikatakan oleh Daud ibnu Ali Az-Zahiri.
Semua ulama sepakat bahwa lelaki yang meng-khulu' istrinya berhak mengawini istrinya selagi masih dalam idah.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barra telah meriwayatkan dari sejumlah ulama, bahwa suami tidak boleh merujuki istrinya yang telah di-khulu', sebagaimana tidak boleh pula bagi lelaki lain yang ingin mengawininya. Pendapat ini syaz (menyendiri) lagi tidak dapat diterima.
Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lainnya kepada mukhtali'ah di masa idahnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan ulama.
Pendapat pertama: mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh melakukan demikian, karena pihak istri telah memiliki dirinya sendiri dan terpisah dari dia. Hal inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Abu Saur.
Pendapat kedua. Imam Malik mengatakan, "Jika talak diikutkan dengan khulu' tanpa ada tenggang waktu di antara keduanya, maka talaknya sah. Tetapi jika si suami diam sebentar di antara keduanya (lafaz khulu' dan lafaz talak), maka talaknya tidak jatuh." Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat ini mirip dengan apa yang diriwayatkan dari sahabat Usman r.a.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa talak jatuh atas diri si istri yang meminta khulu' dalam keadaan apa pun selagi si istri masih berada dalam idahnya. Pendapat ini merupakan pegangan Abu Hanifah dan semua teman-temannya serta As-Sauri dan Al-Auza'i.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih, Tawus, Ibrahim, Az-Zuhri, Al-Hakim, Al-Hakam, dan Hammad ibnu Abu Sulaiman. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Abu Darda. Ibnu Abdul Bar mengatakan, hal tersebut masih belum terbukti bersumberkan dari keduanya (Ibnu Mas'ud dan Abu Darda).
*******************
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)
Yakni syariat-syariat yang telah ditetapkan-Nya bagi kalian merupakan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya. Seperti yang dijelaskan di dalam hadis sahih yang mengatakan:
"إِنِ اللَّهَ حَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَفَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَرَّمَ مَحَارِمَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ، فَلَا تَسْأَلُوا عَنْهَا".
Sesungguhnya Allah telah menggariskan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia telah menetapkan fardu-fardu-Nya, maka janganlah kalian melalaikannya; dan Dia telah mengharamkan hal-hal yang haram, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia membiarkan banyak hal karena kasihan kepada kalian tanpa melupakannya, maka janganlah kalian menanyakan tentangnya.
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa menggabungkan tiga kali talak dalam satu kalimat hukumnya haram. Seperti yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Karena sesungguhnya hal yang diberlakukan di kalangan mereka, talak itu dijatuhkan hanya sekali talak, karena berdasarkan kepada firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) Kemudian Allah Swt. berfirman: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggar-nya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)
Hal ini diperkuat oleh mereka dengan sebuah hadis dari Mahmud ibnu Labid yang diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunan-nya. Disebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ مَخْرَمَةَ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانَ، ثُمَّ قَالَ: "أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟! " حَتَّى قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا أَقْتُلُهُ؟
telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Makhramah ibnu Bukair, dari ayahnya, dari Mahmud ibnu Labid yang menceritakan: Diceritakan kepada Rasulullah Saw. tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya tiga kali talak sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan emosi dan bersabda, "Apakah Kitabullah dipermainkan, sedangkan aku masih ada di antara kalian? Hingga ada seorang lelaki yang bangkit dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya!"
Akan tetapi, di dalam sanad hadis ini terdapat inqita'.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ}
Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230)
Yaitu apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dalam talak yang ketiga, sesudah dua talak yang mendahuluinya jauh sebelum itu, maka si istri tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki yang lain, yakni hingga suaminya yang baru menyetubuhinya dalam perkawinan yang benar. Seandainya si istri disetubuhi oleh lelaki yang lain bukan dalam nikah, sekalipun si istri adalah milkul yamin (budak perempuan), maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama, karena bukan suami. Demikian pula seandainya kawin dengan suami yang baru, tetapi belum disetubuhi oleh suami yang baru, maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama.
Telah terkenal di kalangan kebanyakan ulama fiqih, bahwa Sa'id ibnul Musayyab pernah mengatakan, "Maksud yang dituju telah berhasil untuk men-tahlil-kan (menghalalkan) si istri bagi suaminya yang pertama hanya dengan melakukan akad nikah dengan lelaki yang lain." Akan tetapi, kesahihan pendapat ini dari dia masih perlu dipertimbangkan, sekalipun Asy-Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar telah meriwayatkannya dari dia di dalam kitab Al-Istiikar-nya.
Dikatakan demikian karena Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan:
حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنَ مَرْثَدٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ رَزِينٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا الْبَتَّةَ، فَيَتَزَوَّجُهَا زَوْجٌ آخَرُ فَيُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَرْجِعُ إِلَى الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا".
telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Salim ibnu Razin, dari Salim ibnu Abdullah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. tentang seorang lelaki yang menikahi seorang wanita, lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya dengan talak tiga kali. Kemudian wanita itu dikawin oleh lelaki lain dan langsung diceraikan sebelum disetubuhinya. Hal ini ditanyakan kepada Nabi Saw., "Bolehkah si wanita tersebut kembali kepada suaminya yang pertama?" Nabi Saw. menjawab: Tidak boleh, sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya dan si suami yang baru mencicipi pula madu kecilnya.
Hal yang sama disebutkan pula di dalam riwayat Ibnu Jarir.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Untuk itu dia mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ رَزِينٍ يُحَدِّثُ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، يَعْنِي: ابْنَ عُمَرَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي الرَّجُلِ تَكُونُ لَهُ الْمَرْأَةُ فَيُطَلِّقُهَا، ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَتَرْجِعُ إِلَى زَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "حتى يَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ".
telah menceritakan kepada karai Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Salim ibnu Razin menceritakan hadis berikut dari Salim ibnu Abdullah (yakni Ibnu Umar), dari Sa'ib ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu istrinya itu ditalaknya. Kemudian si istri dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhinya, lalu si istri kembali kepada suaminya yang pertama. Maka Nabi Saw. bersabda:  (Tidak boleh) sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya.
Demikian pula menurut riwayat Imam Nasai, dari Amr ibnu Ali Al-Fallas dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnu Basysyar Bandar; keduanya menceritakan hadis ini dari Muhammad Ibnu Ja'far Gundar, dari Syu'bah dengan lafaz yang sama.
Apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnul Musayyab dari Ibnu Umar secara marfu' bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab sendiri, seperti yang disebutkan di atas tadi. Maka mustahil bila dia menentang riwayatnya sendiri yang ada sandarannya dengan riwayat yang tidak ada sandarannya.
Imam Ahmad meriwayatkan pula —begitu pula Imam Nasai dan Imam Ibnu Jarir— hadis ini melalui jalur Sufyan As-Sauri:
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، عَنْ رَزِينِ بْنِ سُلَيْمَانَ الْأَحْمَرِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا فَيَتَزَوَّجُهَا آخَرُ، فَيُغْلِقُ الْبَابَ وَيُرْخِي السِّتْرَ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: هَلْ تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ".
dari Alqamah ibnu Marsad, dari Razin ibnu Sulaiman Al-Ahmari, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Nabi Saw. pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menceraikan istrinya sebanyak tiga kali talak, lalu si istri dikawini oleh lelaki lain, dan suaminya yang baru itu menutup pintu rumahnya serta menurunkan kain kelambunya. Setelah itu dia menceraikannya sebelum menggaulinya. Maka apakah si istri halal bagi suaminya yang pertama? Nabi Saw. menjawab, "Tidak, sebelum si wanita itu mencicipi madu kecil (suami baru)nya."
Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad dan menurut suatu riwayat dari Ahmad, yakni Sulaiman ibnu Razin.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَزِيدَ الْهَنَائِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ فَطَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ رَجُلًا فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا حَتَّى يَكُونَ الْآخَرُ قَدْ ذَاقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا وَذَاقَتْ مِنْ عُسَيْلَتِهِ".
telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yazid Al-Hana'i, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu ia menceraikannya dengan tiga kali talak. Sesudah itu bekas istri kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi suaminya yang baru ini menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Apakah wanita tersebut boleh dikawini lagi oleh suaminya yang pertama? Maka Rasulullah Saw. menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu mencicipi madu kecilnya dan dia mencicipi pula madu kecil suaminya yang baru.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad ibnu Ibrahim Al-Anmati, dari Hisyam ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, lalu ia menceritakan hadis ini.
Menurut kami, Muhammad ibnu Dinar ibnu Sandal yang dikenal dengan sebutan Abu Bakar Al-Azdi, lalu At-Ta-i, lalu Al-Basri, yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Abul Furat, para ahli hadis berselisih pendapat mengenai dirinya. Di antara mereka ada yang menilainya lemah, ada pula yang menilainya kuat dan hadisnya dapat diterima serta dinilai baik. Akan tetapi, Imam Abu Daud menyebutkan bahwa dia mengalami masa pikun sebelum meninggal dunia.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي الْحَارِثِ الْغِفَارِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَرْأَةِ يُطَلِّقُهَا زَوْجُهَا ثَلَاثًا فَتَتَزَوَّجُ زَوْجًا غَيْرَهُ، فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَيُرِيدُ الْأَوَّلُ أَنْ يُرَاجِعَهَا، قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا".
telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Adam ibnu Abu Ayas Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abul Haris Al-Gifari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan wanita yang diceraikan tiga kali talak oleh suaminya, lalu wanita itu dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhi, kemudian suaminya yang pertama hendak menikahinya kembali: Tidak boleh, sebelum suami barunya merasakan madu kecilnya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur lain dari Syaiban (yaitu Ibnu Abdur Rahman) dengan lafaz yang sama. Abu Haris orangnya tidak terkenal.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا ابْنُ مُثَنَّى، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَجُلًا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ فَقَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا كَمَا ذَاقَ الْأَوَّلُ".
telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa ada seorang lelaki menceraikan istrinya dengan tiga kali talak. Kemudian si istri kawin lagi dengan lelaki lain yang juga menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Lalu Rasulullah Saw. ditanya, "Apakah si wanita itu halal bagi suaminya yang pertama?" Maka Rasulullah Saw. bersabda: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan madu kecilnya sebagaimana suaminya yang pertama telah merasakannya.
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim serta Imam Nasai melalui banyak jalur dari Ubaidillah ibnu Umar Al-Umari, dari Al-Qasim ibnu Abu Bukair, dari bibinya, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama.
Jalur yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْهَبَّارِيُّ، وَسُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ، وَأَبُو هِشَامٍ الرِّفَاعِيُّ قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَتْ رَجُلًا غَيْرَهُ، فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ حَتَّى يَذُوقَ الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا وَتَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ".
telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Hubari dan Sufyan ibnu Waki' serta Abu Hisyam Ar-Rifa'i. Semuanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya, lalu si istri kawin lagi dengan lelaki yang lain, kemudian suami yang baru ini memasukinya, setelah itu menceraikannya, padahal ia belum menyetubuhinya. Apakah si wanita tersebut halal bagi suaminya yang pertama? Rasulullah Saw. bersabda: Wanita itu tidak halal bagi suaminya yang pertama sebelum suaminya yang baru merasakan kemanisannya dan dia pun merasakan kemanisan suaminya yang baru itu.
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Musaddad dan Imam Nasai, dari Abu Kuraib; keduanya dari Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazim yang tuna netra) dengan lafaz yang sama.
Jalur lain disebutkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ يَتَزَوَّجُهَا الرَّجُلُ فَيُطَلِّقُهَا، فَتَتَزَوَّجُ رَجُلًا فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا".
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai seorang wanita yang dikawini oleh seorang lelaki, lalu diceraikannya. Setelah itu si wanita tersebut kawin lagi dengan lelaki yang lain, dan suaminya yang baru ini pun menceraikannya pula sebelum menggaulinya, maka apakah wanita tersebut halal dikawin lagi oleh suaminya yang pertama? Nabi Saw. menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan kemanisannya.
Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Fudail, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, semuanya dari Hisyam dengan sanad ini.
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazm), dari Hisyam dengan lafaz yang sama. Imam Muslim menyendiri dalam dua jalur lainnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Abdullah ibnu Mubarak, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah secara marfu' dengan lafaz yang sama atau yang semisal dengannya. Riwayat ini sanadnya berpredikat jayyid (baik).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari istri ayahnya (yaitu Aminah Ummu Muhammad), dari Aisyah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Konteks hadis di atas merupakan kependekan dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ هِشَامٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيَّ تَزَوَّجَ امْرَأَةً ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَتَزَوَّجَتْ آخَرَ فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّهُ لَا يَأْتِيهَا، وَأَنَّهُ لَيْسَ مَعَهُ إِلَّا مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَقَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ ".
Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Hisyam ibnu Urwah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Siti Aisyah secara marfu', dari Nabi Saw. Telah menceritakan pula kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a., bahwa Rifa'ah Al-Qurazi kawin dengan seorang wanita, lalu ia menceraikannya. Kemudian si wanita itu datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan kepadanya bahwa dia (suami yang baru) belum menggauli dirinya, dan bahwa apa yang dimilikinya tiada lain mirip dengan ujung kain baju (yakni tidak dapat ereksi). Maka Nabi Saw. bersabda: Tidak boleh, sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.
Imam Bukhari dalam jalur sanad ini menyendiri dalam periwayatannya.
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: دَخَلَتِ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ -وَأَنَا وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -فَقَالَتْ: إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِي الْبَتَّةَ، وَإِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ تَزَوَّجَنِي، وَإِنَّمَا عِنْدُهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ، وَأَخَذَتْ هُدْبَةً مِنْ جِلْبَابِهَا، وَخَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ بِالْبَابِ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ، أَلَا تَنْهَى هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ! فَمَا زَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى التَّبَسُّمِ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كَأَنَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ، لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ".
telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Istri Rifa'ah Al-Qurazi masuk menemui Nabi Saw. Ketika itu aku dan Abu Bakar sedang bersamanya. Lalu istri Rifa'ah berkata, "Sesungguhnya Rifa'ah telah menceraikanku habis-habisan, dan sesungguhnya Abdur Rahman ibnuz Zubair menikahiku, tetapi apa yang ada padanya hanyalah seperti ujung kain baju," seraya memegang ujung kain jilbabnya. Ketika itu Khalid ibnu Sa'id ibnul As berada di dekat pintu rumah Nabi Saw. karena belum mendapat izin untuk masuk. Maka ia berkata, "Wahai Abu Bakar, mengapa engkau tidak menghentikan wanita yang berbicara blakblakan ini di depan Rasulullah Saw.?" Tiada yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. kecuali hanya tersenyum, lalu bersabda, "Seakan-akan kamu ingin kembali kepada Rifa'ah. Tidak boleh, sebelum kamu merasakan kemanisannya dan dia merasakan pula kemanisanmu."
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Abdullah ibnul Mubarak dan Imam Muslim melalui hadis Abdur Razzaq, serta Imam Nasai melalui hadis Yazid ibnu Zurai'. Ketiga-tiganya meriwayatkan hadis ini dari Ma'mar dengan lafaz yang sama.
Menurut hadis Abdur Razzaq yang ada pada Imam Muslim disebutkan:
أن رِفَاعَةَ طَلَّقَهَا آخِرَ ثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ.
Bahwa Rifa'ah menceraikannya dengan tiga kali talak.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam Abu Daud melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah dan Imam Bukhari melalui jalur Uqail, serta Imam Muslim melalui jalur Yunus ibnu Yazid. Yang ada pada riwayat Imam Muslim disebutkan talak terakhir, yaitu yang ketiga. Imam Nasai meriwayatkannya melalui jalur Ayyub ibnu Musa, dan Saleh ibnu Abul Akhdar; semuanya dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama.
Imam Malik meriwayatkan:
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الزُّبَيْرِ: أَنَّ رِفَاعَةَ بْنَ سِمْوَالٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ تَمِيمَةَ بِنْتَ وَهْبٍ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا، فَنَكَحَتْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ، فَاعْتَرَضَ عَنْهَا فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَمَسَّهَا، فَفَارَقَهَا، فَأَرَادَ رِفَاعَةُ أَنْ يَنْكِحَهَا، وَهُوَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ الَّذِي كَانَ طَلَّقَهَا، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَهَاهُ عَنْ تَزْوِيجِهَا، وَقَالَ: "لَا تَحِلُّ لَكَ حَتَّى تَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ"
dari Al-Miswar ibnu Rifa'ah Al-Qurazi, dari Az-Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, bahwa Rifa'ah ibnu Samuel menceraikan istrinya yang bernama Tamimah binti Wahb di masa Rasulullah Saw. dengan tiga kali talak. Lalu Tamimah kawin lagi dengan Abdur Rahman ibnu Zubair. Akan tetapi, Tamimah berpaling darinya dan ia tidak mampu menyentuhnya. Maka Abdur Rahman ibnuz Zubair menceraikannya. Ketika Rifa'ah ibnu Samuel (yaitu suami pertama yang telah menceraikannya) hendak mengawininya kembali, maka hal tersebut diceritakan kepada Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw. melarang Rifa'ah mengawininya seraya bersabda: Dia tidak halal bagimu sebelum dia merasakan kemanisan (suami baru) nya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Malik di dalam kitab Muwatta', dari Imam Malik. Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat inqita'.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman dan Abdullah ibnu Wahb, dari Malik, dari Rifa'ah, dari Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, dari ayahnya yang me-rafa-kan hadis ini.
Tujuan utama perkawinan baru dengan lelaki lain ialah hendaknya perkawinan tersebut didasari rasa cinta yang sesungguhnya kepada wanita yang bersangkutan dan akan membina rumah tangga yang lestari dengannya sebagaimana yang telah disyariatkan dalam ketentuan perkawinan.
Imam Malik mensyaratkan selain ini, hendaknya suami yang baru menyetubuhinya dalam keadaan yang diperbolehkan. Untuk itu seandainya suami yang baru menyetubuhinya di masa ia sedang ihrarn atau sedang berpuasa atau sedang i'tikaf atau sedang haid atau sedang nifas, atau pihak suami barunya sedang puasa atau sedang ihrarn atau sedang melakukan i'tikaf, maka si istri masih belum diperbolehkan untuk dikawini oleh suami pertamanya.
Demikian pula jika suami barunya itu adalah seorang kafir zimmi yang tidak halal bagi seorang muslim menikahinya, karena nikah dengan orang kafir hukumnya batil menurut mazhab Maliki.
Menurut Al-Hasan Al-Basri melalui riwayat yang dikemukakan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Al-Hasan, disyaratkan hendaknya suaminya yang baru itu mengeluarkan air mani dalam persetubuhannya. Seakan-akan pendapat ini berpegang kepada makna yang terkandung di dalam sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan: Sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.
Berdasarkan pengertian  ini,  maka pihak  wanita  diharuskan pula mengalami inzal (ejakulasi).
Akan tetapi, makna yang dimaksud dengan istilah 'usailah bukanlah air mani, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai melalui Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَلَا إِنَّ الْعُسَيْلَةَ الْجِمَاعُ"
Ingatlah, sesungguhnya 'usailah adalah jimak (persetubuhan).
Jika suami yang baru hanya bertujuan untuk menghalalkan si wanita untuk dikawin lagi oleh suami pertamanya, hal ini disebutkan dengan istilah 'penghapus talak' yang dikecam dan dilaknat oleh banyak hadis. Untuk itu apabila suami yang baru mengutarakan maksud yang sebenarnya (yakni hanya sebagai penghapus talak) secara terang-terangan dalam akad nikahnya, maka nikahnya batal menurut kesepakatan jumhur para imam.
*******************
Hadis-hadis tentang muhallil
  1. Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a.
    Imam Ahmad mengatakan:
    حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْن، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي قَيْسٍ، عَنِ الْهُذَيْلِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ، وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ.
    telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Qais, dari Al-Huzail, dari Abdullah yang telah menceritakan: Rasulullah Saw. telah melaknat wanita yang menato dan yang ditato, wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta disambung (dengan rambut lain), dan muhallil serta muhallal lah, dan pemakan riba serta orang yang menjadi wakilnya.
    Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula, begitu juga Imam Turmuzi dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Sufyan (yakni As-Sauri), dari Abu Qais yang nama aslinya Abdur Rahman ibnu Sarwan Al-Audi, dari Huzail ibnu Syurahbil Al-Audi, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang sama.
    Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi sahih. Imam Turmuzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang diamalkan di kalangan ahlul 'ilmi dari kalangan sahabat yang antara lain ialah Usman, Umar, dan Ibnu Umar. Pendapat ini pula yang dipakai oleh ulama fiqih dari kalangan tabi'in. Hal ini diriwayatkan pula dari Ali, Ibnu Mas'ud, dan Ibnu Abbas.
    Jalur lain melalui Ibnu Mas'ud.
    Imam Ahmad mengatakan:
    حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ عَدِيٍّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ أَبِي الْوَاصِلِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ".
    telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Abdul Karim, dari Abul Wasil, dari Ibnu Mas'ud, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Allah melaknat muhallil dan muhallal lah.
    Jalur yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai melalui hadis Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Al-Harts Al-A'war, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa pemakan riba, wakilnya, dan kedua saksinya serta juru tulisnya jika mereka mengetahui transaksi riba; wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung rambutnya; penggelap zakat dan memungut zakat yang melampaui batas; orang yang murtad dari kalangan bangsa Arab sesudah hijrahnya; dan muhallil serta muhallal lah; semuanya dilaknat oleh lisan Muhammad Saw. di hari kiamat.
  2. Hadis yang diriwayatkan melalui sahabat Ali r.a.
    Imam Ahmad mengatakan:
    حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ جَابِرٍ [وَهُوَ ابْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ] عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ للحُسْن، وَمَانِعَ الصَّدَقَةِ، وَالْمُحَلِّلَ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُ، وَكَانَ يَنْهَى عَنِ النَّوْحِ.
    telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali r.a. yang mengatakan: Rasulullah Saw. telah melaknat pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya, dan juru tulisnya; dan wanita yang menato serta wanita yang minta ditato untuk kecantikan; orang yang tidak mau membayar zakat; dan muhallil serta muhallal lah; dan beliau Saw. melarang pula menangisi mayat (dengan tangisan Jahiliah).
    Hal yang sama diriwayatkan pula dari Gundar, dari Syu'bah, dari Jabir (yaitu Ibnu Yazid Al-Ju'fi), dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali dengan lafaz yang sama.
    Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad melalui hadis Ismail ibnu Abu Khalid, Husain ibnu Abdur Rahman, Mujalid ibnu Sa'id, dan Ibnu Aun, dari Amir Asy-Sya'bi dengan lafaz yang sama.
    Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui hadis Asy-Sya'bi dengan lafaz yang sama.
    Kemudian Imam Ahmad mengatakan:
    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاحِبَ الرِّبَا، وَآكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَهُ، وَالْمُحَلِّلَ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُ
    telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan: Rasulullah Saw. telah melaknat tukang riba, pemakannya, juru tulisnya, kedua saksinya, muhallil, dan muhallal lah.
  3. Hadis yang diriwayatkan dari Jabir r.a.
    Imam Turmuzi mengatakan:
    حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، أَخْبَرَنَا أَشْعَثُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زُبَيْدٍ الْيَامِيُّ، حَدَّثَنَا مَجَالِدٌ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَعَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ
    telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asy'as" ibnu Abdur Rahman ibnu Yazid Al-Ayyami, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir ibnu Abdullah dan dari Al-Haris, dari Ali r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah telah melaknat muhallil dan muhallal lah (lelaki penghapus talak dan yang memintanya).
    Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, sanad hadis ini kurang kuat, karena Mujalid dinilai daif bukan hanya oleh seorang saja, antara lain ialah Imam Ahmad ibnu Hambal.
    Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Numair, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Ali r.a. Imam Turmuzi mengatakan, sanad ini merupakan dugaan dari Ibnu Numair; hadis pertama tadi lebih sahih.
  4. Hadis yang diriwayatkan dari Uqbah ibnu Amir r.a.
    Abu Abdullah (yaitu Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah) mengatakan:
    حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ بْنِ صَالِحٍ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، سَمِعْتُ اللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ يَقُولُ: قَالَ أَبُو مُصْعَبٍ مِشْرَحٌ هُوَ: ابْنُ عَاهَانَ، قَالَ عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ " قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "هُوَ المحلِّل، لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ".
    telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Masri, telah menceritakan kepada kami ayahku, bahwa ia pernah mendengar Al-Lais ibnu Sa'd mengatakan bahwa Abul Mus’ab (yaitu Musarrih yang dikenal dengan panggilan Ibnu Ahan) pernah menceritakan bahwa Uqbah ibnu Amir r.a. pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: "Maukah kalian aku ceritakan tentang pejantan sewaan?" Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Dia adalah muhallil (lelaki penghapus talak). Allah melaknat muhallil dan muhallal lah."
    Hadis ini hanya ada pada Imam Ibnu Majah sendiri.
    Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Ya'qub Al-Jauzjani, dari Usman ibnu Saleh, dari Al-Lais dengan lafaz yang sama. Kemudian ia mengatakan bahwa mereka menilai Usman dalam hadis ini munkar dengan penilaian munkar yang berat.
    Menurut kami, Usman yang disebut dalam sanad hadis ini adalah salah seorang perawi siqah; Imam Bukhari meriwayatkan hadis darinya di dalam kitab sahihnya, kemudian jejaknya itu diikuti oleh yang lain. Maka hadis ini diriwayatkan pula oleh Ja'far Al-Giryani, dari Al-Abbas yang dikenal dengan nama Ibnu Fariq, dari Abu Saleh (yaitu Abdullah ibnu Saleh), dari Al-Lais dengan lafaz yang sama. Karena itu, maka Usman terbebas dari tuduhan yang dilancarkan kepada dirinya.
  5. Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.
    Imam Ibnu Majah mengatakan:
    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، عَنْ زَمْعَةَ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ وَهْرَامَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
    telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Zam'ah ibnu Saleh, dari Salamah ibnu Wahran, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Rasulullah Saw. telah melaknat muhallil dan muhallal lahu.
    Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Al-Hafiz juru khotbah kota Damaskus, yaitu Abu Ishaq (yakni Ibrahim ibnu Ya'qub Al-Jauzjani As-Sa'di):
    حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَبِيبَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِكَاحِ الْمُحَلِّلِ قَالَ: "لَا إِلَّا نِكَاحَ رَغْبَةٍ، لَا نِكَاحَ دُلْسَة وَلَا اسْتِهْزَاءٍ بِكِتَابِ اللَّهِ، ثُمَّ يَذُوقُ عُسَيْلَتَهَا".
    telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ismail ibnu Abu Hanifah dari Daud Ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan: Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai nikah yang dilakukan oleh muhallil, maka beliau bersabda, "Tidak sah, kecuali nikah karena kehendak sendiri (senang), bukan nikah palsu, bukan pula memperolok-olokkan Kitabullah, kemudian dia merasakan kemanisannya."
    Kedua sanad ini bertambah kuat dengan adanya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Musa ibnu Abul Furat, dari Amr ibnu Dinar, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal. Dengan demikian, maka bertambah kuatlah dengan adanya hadis mursal ini, satu sama lainnya saling memperkuat.
  6. Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.
    Imam Ahmad mengatakan:
    حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، هُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ، الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.

    telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Ja'far), dari Usman ibnu Muhammad Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan: Rasulullah Saw. telah melaknat muhallil dan muhallal lah.
    Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Al-Jauzjani Al-Baihaqi melalui jalur Abdullah ibnu Ja'far Al-Qurasyi. Imam Ahmad menilainya siqah, begitu pula Ali ibnul Madini dan Yahya ibnu Mu'in serta lain-lainnya.
    Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya dari Usman ibnu Muhammad Al-Akhnasi yang dinilai siqah oleh Ibnu Mu'in, dari Sa'id Al-Maqbari. Hadis ini termasuk hadis yang dinilai muttafaq 'alaih (disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim).
  7. Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.
    Imam Hakim mengatakan di dalam kitab Mustadrak-nya:  telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Al-Asam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Yaman (yaitu Muhammad ibnu Mutarrif Al-Madani), dari Umar ibnu Nafi', dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Umar, lalu lelaki itu menanyakan kepadanya tentang masalah seorang lelaki yang menalak istrinya tiga kali. Lalu wanita itu dikawini oleh saudaranya tanpa ada persetujuan dari pihak suaminya yang pertama tadi. Maka apakah wanita tersebut halal dikawini lagi oleh suaminya yang pertama (setelah diceraikan oleh suami barunya yang merupakan saudara lelaki dari suami pertamanya)? Maka Ibnu Umar menjawab, "Tidak boleh, kecuali nikah karena senang. Kami dahulu menganggap perkawinan seperti itu termasuk sifah (zina), yakni di masa Rasulullah Saw."
    Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini berpredikat sahih, tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya.
    Hadis ini diriwayatkan pula oleh As-Sauri, dari Abdullah ibnu Nafi', dari ayahnya, dari Ibnu Umar dengan lafaz yang sama. Ungkapan ini memberikan pengertian bahwa hadis ini berpredikat marfu'.
    Demikian pula menurut apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, Al-Jauzjani, Harb Al-Kirmani, dan Abu Bakar ibnul Asram melalui hadis Al-A'masy, dari Al-Musayyab ibnu Rafi', dari Qubaisah ibnu Jabir, dari Umar r.a. yang mengatakan: Tidak sekali-kali dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal lah, melainkan aku pasti merajam keduanya.
    Imam Baihaqi meriwayatkan melalui hadis Ibnu Luhai'ah, dari Bukair ibnul Asyaj, dari Sulaiman ibnu Yasar, bahwa Khalifah Usman ibnu Affan pernah menangani kasus seorang lelaki yang kawin dengan seorang wanita untuk tujuan menghapus talaknya agar si wanita halal dikawini oleh suami pertamanya. Maka Khalifah Usman ibnu Affan memisahkan keduanya.
    Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ali dan Ibnu Abbas serta sahabat lainnya yang bukan hanya seorang, semoga Allah melimpah-kan rida-Nya kepada mereka.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ طَلَّقَهَا}
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya. (Al-Baqarah: 230)
Yakni suami yang baru sesudah menggaulinya.
{فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا}
maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali. (Al-Baqarah: 230)
Yaitu dia dan bekas suami yang pertama.
{إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ}
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230)
Maksudnya, kembali membangun rumah tangga secara makruf. Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah jika keduanya menduga bahwa perkawinan mereka kali ini bukanlah palsu.
{وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ}
Itulah hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230)
Yakni syariat-syariat dan ketentuan-ketentuan hukum-Nya.
{يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ}
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Al-Baqarah: 230)
Para Imam rahimahumullah berselisih pendapat dalam masalah bila seorang lelaki menceraikan istrinya dengan sekali atau dua kali talak, lalu si lelaki membiarkannya hingga masa idahnya habis. Kemudian si wanita itu kawin dengan lelaki lain dan bersetubuh dengannya, setelah itu ia dicerai kembali hingga habis masa idahnya. Selanjutnya ia dikawini oleh suami pertamanya, maka apakah kembali lagi kepadanya apa yang tersisa dari tiga talaknya, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal? Hal ini juga merupakan pendapat segolongan sahabat. Ataukah suami yang kedua dianggap telah menghapuskan semua talak yang terjadi sebelumnya? Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan kembali lagi dikawini oleh suami pertama, maka kembali pula kepadanya talak tiga secara utuh, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah dan semua temannya. Alasan mereka mengatakan, apabila suami yang kedua dapat menghapuskan tiga talak, terlebih lagi bila talak yang dihapuskan itu kurang dari tiga.

Al-Baqarah, ayat 231

{وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (231) }
Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kalian rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kalian menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah pada kalian, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kalian, yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepada kalian dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Melalui ayat ini Allah memerintahkan kepada kaum lelaki apabila seseorang dari mereka menceraikan istrinya, sedangkan ia berhak merujukinya, hendaklah ia memperlakukannya dengan baik. Apabila idahnya hampir habis dan yang tinggal hanya sisa waktu yang memungkinkan bagi dia untuk merujukinya, maka adakalanya memegangnya (yakni merujukinya kembali ke dalam ikatan nikah) dengan cara yang makruf. Hendaklah ia memakai saksi dalam rujuknya itu serta berniat mempergaulinya dengan cara yang makruf. Atau adakalanya ia melepaskannya, yakni membiarkannya hingga habis masa idahnya serta mengeluarkannya dari rumah dengan cara yang lebih baik, tanpa percekeokan dan tanpa pertengkaran, tanpa saling mencaci.
Allah Swt. berfirman:
{وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا}
Janganlah kalian rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kalian menganiaya mereka. (Al-Baqarah: 231)
Ibnu Abbas, Mujahid, Masruq, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan, "Dahulu ada seorang lelaki yang menceraikan istrinya; apabila masa idahnya hampir habis, maka si lelaki itu merujukinya untuk menimpakan kemudaratan agar si istri tidak terlepas dari tangannya. Setelah itu ia menceraikannya lagi dan si istri melakukan masa idahnya. Maka apabila masa idahnya hampir habis, si suami merujukinya kembali, lalu menceraikannya lagi agar masa idahnya bertambah panjang. Maka Allah Swt. melarang mereka berbuat demikian, dan mengancam pelakunya melalui firman-Nya:
{وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ}
'Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri' (Al-Baqarah 231).
karena telah melanggar perintah Allah Swt."
********************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا}
Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al-Baqarah: 231)
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Jarir mengatakan:
أَخْبَرَنَا أَبُو كُرَيْب، أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، عَنْ عَبْدِ السَّلَامِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي الْعَلَاءِ الْأَوْدِيِّ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي مُوسَى: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَضِبَ عَلَى الْأَشْعَرِيِّينَ، فَأَتَاهُ أَبُو مُوسَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَغَضِبْتَ عَلَى الْأَشْعَرِيِّينَ؟! فَقَالَ: يَقُولُ أَحَدُكُمْ: قَدْ طَلَّقْتُ، قَدْ رَاجَعْتُ، لَيْسَ هَذَا طَلَاقُ الْمُسْلِمِينَ، طَلِّقُوا الْمَرْأَةَ فِي قُبُل عِدَّتِهَا"
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, dari Abdus Salam ibnu Harb, dari Yazid ibnu Abdur Rahman, dari Abul Ala Al-Audi, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Abu Musa, bahwa Rasulullah Saw. marah terhadap orang-orang Asy-'ariyyin. Lalu Abu Musa datang kepadanya dan berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau marah kepada orang-orang Asy-'ariyyin?" Maka Nabi Saw. menjawab: Seseorang di antara kalian mengatakan, "Aku telah menceraikan dan aku telah merujuknya kembali" hal ini bukanlah talak orang-orang muslim. Mereka menalak istrinya sebelum masa idahnya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur yang lain dari Abu Khalid Ad-Dallal (yaitu Yazid ibnu Abdur Rahman), tetapi keadaan dirinya masih perlu dipertimbangkan.
Masruq mengatakan, yang dimaksud oleh hadis ini ialah lelaki yang menceraikan istrinya bukan dalam keadaan yang sewajarnya, tujuannya ialah menimpakan mudarat kepada istrinya melalui talak dan rujuk, dengan maksud agar masa idahnya panjang.
Al-Hasan, Qatadah, Ata Al-Khurrasani, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa yang dimaksud ialah seorang lelaki yang menalak istrinya seraya mengatakan, "Aku hanya bermain-main." Atau dia memerdekakan atau nikah, lalu mengatakan, "Aku hanya main-main." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al-Baqarah: 231) Maka Allah Swt. memastikan hal tersebut (yakni talak, merdeka, dan nikahnya dihukumi sah).
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad As-Sairafi, telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Muhammad As-Simsar, dari Ismail ibnu Yahya, dari Sufyan, dari Lais, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki menalak istrinya dengan maksud bermain-main yang pada kenyataannya dia tidak bermaksud menalak istrinya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al-Baqarah: 231) Maka Rasulullah Saw. memastikan talaknya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Al-Mubarak ibnu Fudalah, dari Al-Hasan (yaitu Al-Basri) yang menceritakan bahwa dahulu ada seorang lelaki menalak istrinya, lalu mengatakan, "Aku hanya bermain-main." Ia memerdekakan, lalu mengatakan, "Aku hanya bermain-main." Dan ia nikah, lalu mengatakan, "Aku hanya bermain-main." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al-Baqarah: 231) Rasulullah Saw. bersabda:
"مَنْ طَلَّقَ أَوْ أَعْتَقَ أَوْ نَكَحَ أَوْ أَنْكَحَ، جَادًّا أَوْ لَاعِبًا، فَقَدْ جَازَ عَلَيْهِ".
Barang siapa yang menjatuhkan talak atau memerdekakan atau nikah atau menikahkan dengan sungguhan dan main-main, maka apa yang dikatakannya adalah sah atas dirinya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari jalur Az-Zuhri, dari Sulaiman ibnu Arqam, dari Al-Hasan dengan lafaz yang semisal. Hadis ini berpredikat mursal. Akan tetapi, Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Amr ibnu Ubaid, dari Al-Hasan, dari Abu Darda secara mauquf sampai kepada Abu Darda.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Hasan ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Abu Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Ismail ibnu Salamah, dari Al-Hasan, dari Ubadah ibnus Samit sehubungan dengan firman-Nya: Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al-Baqarah: 231) Bahwa dahulu di masa Nabi Saw. ada seorang lelaki mengatakan, "Aku kawinkan kamu dengan anak perempuanku," lalu ia berkata, "Aku hanya bermain-main." Ia mengatakan (kepada budaknya), "Aku merdekakan kamu," lalu ia berkata, "Aku hanya bermain-main." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al-Baqarah: 231); Karena itu, Rasulullah Saw. bersabda:
«ثَلَاثٌ مَنْ قَالَهُنَّ لَاعِبًا أَوْ غَيْرَ لَاعِبٍ، فَهُنَّ جَائِزَاتٌ عَلَيْهِ: الطَّلَاقُ وَالْعِتَاقُ وَالنِّكَاحُ»
Ada tiga perkara, barang siapa yang mengatakannya baik secara main-main atau sungguhan, maka semuanya jadi sungguhan atas dirinya, yaitu talak, memerdekakan, (dan) nikah.
Hal yang terkenal mengenai hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah melalui jalur Abdur Rahman ibnu Habib ibnu Adrak, dari Ata, dari Ibnu Mahik, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جَدٌّ، وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ»
Ada tiga perkara yang sungguhan dan main-mainnya dianggap sungguhan, yakni nikah, talak, dan rujuk.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ}
dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 231)
Yakni karena Dia telah mengutus seorang rasul yang membawa hidayah dan keterangan-keterangan kepada kalian.
{وَمَا أَنزلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ}
dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kalian, yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah. (Al-Baqarah: 231)
Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah Al-Qur'an, dan yang dimaksud dengan Al-Hikmah ialah sunnah.
{يَعِظُكُمْ بِهِ}
Allah memberi pengajaran kepada kalian dengan apa yang diturunkan-Nya itu. (Al-Baqarah: 231)
Yakni Dia memerintahkan kepada kalian, melarang kalian, serta memperingatkan kalian agar jangan melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan.
{وَاتَّقُوا اللَّهَ}
Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah: 231)
Yaitu dalam semua amal perbuatan yang kalian kerjakan dan hal-hal yang kalian tinggalkan.
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
serta ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah: 231)
Artinya, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya dari semua urusan kalian, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan; dan kelak Dia akan memberikan balasannya kepada kalian atas perbuatan tersebut.

Al-Baqarah, ayat 232

{وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (232) }
 Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu habis idahnya, maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bekas suaminya, apabila telah terdapat ketetapan di antara mereka dengan cara yang makruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagi kalian dan lebih suci. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang menalak istrinya dengan sekali atau dua kali talak, lalu si istri menyelesaikan masa idahnya. Kemudian pihak lelaki berminat untuk mengawininya dan merujukinya kembali, dan pihak wanita menyetujuinya. Akan tetapi, para wali pihak wanita mencegah hal tersebut. Maka Allah melarang mereka mencegahnya untuk kembali kepada suaminya itu.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Masruq, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan Ad-Dahhak, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah tersebut.
Pendapat yang mereka katakan memang tampak jelas dari makna lahiriah ayat, dan di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa seorang wanita tidak mempunyai hak untuk mengawinkan dirinya sendiri. Dalam suatu pernikahan diharuskan adanya seorang wali, seperti apa yang dikatakan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Jarir dalam mengulas makna ayat ini. Juga seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis yang mengatakan:
«لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا»
Seorang wanita tidak dapat mengawinkan wanita lainnya, dan seorang wanita tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya wanita pezina ialah orang yang mengawinkan dirinya sendiri.
Di dalam asar yang lain disebutkan seperti berikut:
«لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ»
Tiada nikah kecuali dengan seorang wali mursyid dan dua orang saksi laki-laki yang adil.
Sehubungan dengan masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang tercatat di dalam kitab-kitab yang khusus membahas mengenainya, yaitu kitab-kitab fiqih. Sesungguhnya kami telah menetapkan masalah ini di dalam Kitabul Ahkam.
Menurut pendapat yang lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ma'qal ibnu Yasar Al-Muzani dan saudara perempuannya. Maka Imam Bukhari mengatakan di dalam kitab Sahih-nya ketika menafsirkan ayat ini, bahwa Ubaidillah ibnu Sa'id telah menceritakan kepada kami, Abu Amir Al-Aqdi telah menceritakan kepada kami, Ibad ibnu Rasyid telah menceritakan kepada kami, Al-Hasan telah menceritakan kepada kami; dia mengatakan bahwa Ma'qal ibnu Yasar telah menceritakan kepadanya, "Aku pernah mempunyai saudara perempuan yang dilamar melaluiku."
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, dari Yunus, dari Al-Hasan, telah menceritakan kepadaku Ma'qal ibnu Yasar dan telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Al-Hasan, bahwa saudara perempuan Ma'qal ibnu Yasar ditalak oleh suaminya. Lalu suaminya membiarkannya hingga habislah masa idah istrinya itu. Setelah itu ia datang lagi melamarnya, maka Ma'qal menolaknya. Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bekas suaminya. (Al-Baqarah: 232)
Demikian pula menurut riwayat Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah, Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Murdawaih melalui berbagai jalur, dari Al-Hasan, dari Ma'qal ibnu Yasar dengan lafaz yang sama.
Hadis ini dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, lafaznya berbunyi seperti berikut: Disebutkan dari Ma'qal ibnu Yasar bahwa ia rnengawinkan saudara perempuannya dengan seorang lelaki dari kalangan kaum muslim di masa Rasulullah Saw. Saudara perempuannya itu selama beberapa masa menjadi istri lelaki tersebut, kemudian lelaki itu menceraikannya dan membiarkan dia menjalani idahnya sampai habis. Sesudah itu ternyata lelaki itu masih tetap mencintainya, begitu pula sebaliknya. Kemudian lelaki itu melamarnya bersamaan dengan para pelamar lainnya. Maka Ma'qal ibnu Yasar berkata, "Hai si dungu anak si dungu, aku menghormatimu dengan mengawinkan dia kepadamu, tetapi kamu menalaknya. Demi Allah, kamu tidak boleh rujuk dengan dia kembali untuk selamanya, aku sudah kapok denganmu." Ma'qal ibnu Yasar melanjutkan kisahnya, bahwa ternyata keinginan keduanya itu didengar oleh Allah Swt. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati akhir idahnya. (Al-Baqarah: 231) sampai dengan firman-Nya: sedangkan kalian tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 232); Ketika Ma'qal ibnu Yasar mendengar ayat ini, maka ia mengatakan, "Aku tunduk dan patuh kepada Tuhanku," lalu ia memanggil bekas suami adik perempuannya dan mengatakan kepadanya, "Aku nikahkan kamu, dan aku hormati kamu."
Menurut riwayat Ibnu Murdawaih ditambahkan bahwa Ma'qal ibnu Yasar mengatakan pula, "Dan aku bayar kifarat sumpahku."
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Juraij, bahwa perempuan tersebut bernama Jamil binti Yasar; dia adalah istri Abul Badah.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Subai'i yang telah menceritakan bahwa perempuan tersebut bernama Fatimah binti Yasar.
Hal yang sama dikatakan pula oleh ulama lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf. Semuanya mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ma'qal ibnu Yasar dan saudara perempuannya.
As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Jabir ibnu Abdullah dan anak perempuan pamannya (sepupunya). Akan tetapi, pendapat yang benar adalah yang pertama (yaitu Ma'qal ibnu Yasar dan saudara perempuannya).
*******************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian kepada Allah dan hari kemudian. (Al-Baqarah: 232)
Larangan ini yang kalian dilarang melakukannya, yaitu para wali mencegah wanita mereka untuk kawin dengan bekas suaminya masing-masing bila mereka sama-sama rela di antara sesamanya dengan cara yang makruf, merupakan nasihat dan perintah serta hal yang perlu ditanggapi.
{مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
kepada orang-orang di antara kalian yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. (Al-Baqarah: 232)
Yakni kepada orang-orang yang beriman kepada syariat (hukum) Allah dan takut kepada ancaman serta azab-Nya di akhirat serta pembalasan yang akan terjadi padanya.
{ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ}
Itu lebih baik bagi kalian dan lebih suci. (Al-Baqarah: 232)
Yaitu bila kalian (para wali) mengikuti syariat Allah dalam masalah mengembalikan wanita kalian kepada suaminya masing-masing, dan meninggalkan sikap fanatismenya, maka hal ini lebih baik bagi kalian dan lebih suci untuk hati kalian.
{وَاللَّهُ يَعْلَمُ}
Allah mengetahui. (Al-Baqarah: 232)
Yakni tentang maslahat-maslahat yang terkandung di dalam apa yang Dia perintahkan dan apa yang Dia larang.
{وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}
sedangkan kalian tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 232)
Maksudnya, kalian tidak mengetahui kebaikan dari apa yang kalian lakukan dan apa yang tidak kalian lakukan.

Al-Baqarah, ayat 233

{وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233) }
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.
Hal ini merupakan petunjuk dari Allah Swt. kepada para ibu, menganjurkan agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan yang sempurna, yaitu selama dua tahun penuh. Sesudah itu penyusuan tidak berpengaruh lagi terhadap kemahraman. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ}
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (Al-Baqarah: 233)
Kebanyakan para imam berpendapat bahwa masa penyusuan tidak dapat menjadikan mahram kecuali bila si bayi yang disusui berusia di bawah dua tahun. Untuk itu seandainya ada anak yang menyusu kepada seorang wanita, sedangkan usianya di atas dua tahun, maka penyusuan itu tidak menjadikan mahram baginya.
Di dalam bab hadis yang mengatakan bahwa penyusuan tidak menjadikan mahram pada diri seorang anak kecuali bila usianya di bawah dua tahun, Imam Turmuzi mengatakan:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرِّضَاعِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ، وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ".
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari Fatimah bintil Munzir, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Persusuan tidak menjadikan mahram kecuali susuan yang dilakukan langsung pada tetek lagi mengenyangkan perut dan terjadi sebelum masa penyapihan.
Hadis ini hasan sahih. Hal inilah yang diamalkan di kalangan kebanyakan ahlul ilmi dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. dan lain-lainnya. Yaitu bahwa penyusuan tidak menjadi mahram kecuali bila dilakukan dalam usia di bawah dua tahun, sedangkan penyusuan yang dilakukan sesudah usia genap dua tahun, hal ini tidak menjadikan mahram sama sekali. Fatimah bintil Munzir ibnuz Zubair ibnul Awwam adalah istri Hisyam ibnu Urwah.
Menurut kami, hanya Imam Turmuzi sendiri yang mengetengahkan riwayat hadis ini, sedangkan para rawinya bersyaratkan Sahihain. Makna sabda Nabi Saw. yang mengatakan, "Illa ma kana fis sadyi,'" ialah kecuali susuan yang dilakukan pada tetek sebelum usia dua tahun. Seperti yang terdapat di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Waki' dan Gundar, dari Syu'bah, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa ketika Ibrahim ibnu Nabi Saw. meninggal dunia, Nabi Saw. bersabda:
"إن لَهُ مُرْضِعًا فِي الْجَنَّةِ"
sesungguhnya dia mempunyai orang yang menyusukannya di dalam surga.
Hal yang sama diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Syu'bah. Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda demikian tiada lain karena putra beliau yang bernama Ibrahim a.s. wafat dalam usia dua puluh dua bulan. Karena itulah beliau Saw. bersabda: sesungguhnya dia mempunyai orang yang menyusukannya di dalam surga.
Yakni yang akan menggenapkan masa persusuannya. Pengertian ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni melalui jalur Al-Haisam ibnu Jamil, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لا يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ"
Tiada yang menjadikan mahram karena persusuan kecuali yang dilakukan sebelum usia dua tahun.
Kemudian Imam Daruqutni mengatakan, tiada yang menyandarkannya kepada Ibnu Uyaynah selain Al-Haisam ibnu Jamil, tetapi Al-Haisam orangnya siqah lagi hafiz (hafal hadis).
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta', dari Saur ibnu Yazid, dari Ibnu Abbas secara marfu'. Imam Darawardi meriwayatkannya pula dari Saur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, yang di dalam riwayatnya ditambahkan seperti berikut:
«وَمَا كَانَ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ»
Dan persusuan yang terjadi sesudah usia dua tahun tidak mempunyai pengaruh apa pun.
Riwayat ini lebih sahih.
Abu Daud At-Tayalisi meriwayatkan melalui Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا رَضَاعَ بَعْدَ فِصَالٍ، وَلَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ»
Tiada penyusuan lagi sesudah masa penyapihan, dan tiada status yatim sesudah usia balig.
Penunjukan makna yang diketengahkan oleh hadis ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَفِصالُهُ فِي عامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي
dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku. (Luqman: 14)
وَحَمْلُهُ وَفِصالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (Al-Ahqaf: 15)
Pendapat yang mengatakan bahwa persusuan sesudah usia dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa'id ib-nul Musayyab, dan Ata serta jumhur ulama. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Syafii, Imam Ahmad, Ishaq, AS-Sauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik dalam salah satu riwayatnya.
Menurut riwayat yang lain dari Imam Malik juga disebutkan bahwa masa persusuan itu adalah dua tahun dua bulan, dan menurut riwayat yang lainnya lagi yaitu dua tahun tiga bulan.
Imam Abu Hanifah mengatakan, masa penyusuan adalah dua setengah tahun. Zufar ibnul Huzail mengatakan bahwa selagi si anak masih mau tetap menyusu, maka batas maksimalnya adalah tiga tahun; pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Al-Auza'i.
Imam Malik mengatakan, "Seandainya seorang anak telah disapih dari penyusuan sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita menyusukannya setelah disapih, maka penyusuan kali ini tidak menjadikan mahram, karena persusuan saat itu disamakan kedudukannya dengan makanan." Pendapat ini pun merupakan suatu riwayat lain dari Al-Auza'i.
Telah diriwayatkan dari Umar r.a. dan Ali r.a., bahwa keduanya pernah mengatakan, "Tiada persusuan sesudah penyapihan." Maka kalimat ini diinterpretasikan bahwa keduanya bermaksud usia dua tahun, sama halnya dengan pendapat jumhur ulama, yakni baik telah disapih ataupun belum. Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa keduanya bermaksud kenyataannya. Dengan demikian, berarti sama dengan apa yang dikatakan oleh Imam Malik.
Telah diriwayatkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a.; ia berpendapat bahwa penyusuan anak yang sudah besar mempunyai pengaruh pula dalam kemahraman. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ata ibnu Abu Rabah dan Al-Lais ibnu Sa'd. Tersebutlah bahwa Siti Aisyah r.a. selalu memerintahkan kepada orang yang ia pilih boleh masuk ke dalam rumahnya untuk menemui wanita-wanita yang ada di dalam asuhannya, untuk menyusu kepadanya terlebih dahulu. Siti Aisyah r.a. berpendapat demikian karena berdasarkan kepada hadis yang mengisahkan masalah Salim maula Abu Huzaifah. Nabi Saw. memerintahkan kepada istri Abu Huzaifah untuk menyusukan Salim, sedangkan Salim ketika itu sudah besar. Setelah itu Salim bebas menemui istri Abu Huzaifah berkat penyusuan tersebut. Akan tetapi istri-istri Nabi Saw. yang lainnya (selain Siti Aisyah r.a.) tidak mau melakukan hal tersebut, mereka berpendapat bahwa peristiwa Salim tersebut termasuk hal yang khusus. Pendapat inilah yang dianut oleh jumhur ulama.
Hujah yang dipegang oleh jumhur ulama —mereka terdiri atas para imam yang empat orang, ulama ahli fiqih yang tujuh orang, para sesepuh sahabat, dan istri-istri Nabi Saw. selain Siti Aisyah r.a.— ialah sebuah hadis yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"انظرْنَ مِنْ إِخْوَانِكُنَّ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ"
Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) siapakah saudara-saudara kalian, karena sesungguhnya persusuan itu hanyalah karena kelaparan.
Mengenai masalah persusuan dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah anak yang sudah besar menyusu, akan dibahas dalam tafsir firman-Nya:
وَأُمَّهاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian. (An-Nisa: 23)
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ}
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (Al-Baqarah: 233)
Yakni diwajibkan atas orang tua si anak memberi nafkah dan sandang ibu anaknya dengan cara yang makruf, yakni menurut tradisi yang berlaku bagi semisal mereka di negeri yang bersangkutan tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu minim. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan pihak suami dalam hal kemampuan ekonominya, karena ada yang kaya, ada yang pertengahan, ada pula yang miskin. Seperti yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (At-Talaq: 7)
Ad-Dahhak mengatakan, "Apabila seseorang menceraikan istrinya, sedangkan ia telah punya anak dari istrinya itu yang masih dalam masa penyusuan, maka ia wajib memberi nafkah dan sandang kepada istrinya yang telah diceraikan itu dengan cara yang makruf (selama bekas istrinya itu masih menyusukan anaknya)."
*******************
Firman Allah Swt.:
{لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا}
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya. (Al-Baqarah: 233)
Yakni misalnya pihak si ibu menyerahkan bayi itu kepada pihak ayah si bayi untuk menimpakan kemudaratan terhadap pihak ayah si bayi karena diharuskan memeliharanya. Pihak ibu tidak boleh menyerahkan si bayi yang telah dilahirkannya (kepada suaminya) sebelum menyusukannya yang pada kebanyakan si bayi tidak dapat hidup melainkan dengan susu ibunya. Setelah masa penyusuan telah habis, maka pihak ibu si bayi baru diperbolehkan menyerahkan bayinya itu kepada ayah si bayi jika pihak ibu berkenan. Sekalipun demikian, jika hal tersebut mengakibatkan pihak ayah si bayi menderita kesengsaraan karena harus memelihara bayinya, maka pihak ibu tidak boleh menyerahkan bayinya itu kepada ayah si bayi. Sebagaimana tidak dihalalkan bagi pihak ayah si bayi merampas bayi dari tangan ibunya hanya semata-mata untuk menimpakan kesengsaraan kepada pihak ibu si bayi. Karena itu, maka Allah Swt. berfirman:
{وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ}
dan (janganlah menderita kesengsaraan) seorang ayah karena anaknya. (Al-Baqarah: 233)
Yaitu misalnya ayah si anak (bayi) ingin merampas anak dari tangan ibunya dengan tujuan menyengsarakan ibunya.
Demikianlah menurut penafsiran Mujahid, Qatadah, Ad-Dahhak, Az-Zuhri,As-Saddi, As-Sauri, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ}
dan waris pun berkewajiban demikian. (Al-Baqarah: 233)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud ialah tidak boleh menimpakan mudarat kepada ahli waris (kaum kerabat) pihak ayah si bayi. Demikianlah pendapat Mujahid, Asy-Sya'bi, dan Ad-Dahhak.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah 'kepada ahli waris diwajibkan hal yang. sama dengan apa yang diwajibkan atas ayah si bayi, yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi, memenuhi semua hak-haknya, dan tidak menimpakan mudarat kepadanya'. Penakwilan yang terakhir ini menurut jumhur ulama. Hal ini telah dibahas secara rinci oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Hambali yang mengatakan bahwa kaum kerabat wajib memberi nafkah sebagian di antara mereka kepada sebagian lainnya. Pendapat ini bersumber dari riwayat yang diceritakan oleh Umar ibnul Khattab r.a. dan kebanyakan ulama Salaf. Kemudian hal ini diperkuat dengan adanya hadis Al-Hasan, dari Samurah secara marfu', yaitu:
مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ عُتِق عَلَيْهِ
Barang siapa yang memiliki orang yang masih kerabat lagi mahram dengannya, maka ia harus memerdekakannya.
Telah disebutkan bahwa persusuan atau rada'ah sesudah usia dua tahun adakalanya menimpakan kesengsaraan terhadap pihak anak, barangkali pada tubuhnya atau akalnya. Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia pernah melihat seorang ibu yang menyusukan anaknya sesudah si anak berusia dua tahun, maka ia berkata kepada si ibu tersebut, "Janganlah kau susui dia!"
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا}
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. (Al-Baqarah: 233)
Dengan kata lain, apabila pihak ayah dan ibu si bayi sepakat untuk menyapih anaknya sebelum si anak berusia dua tahun, dan keduanya memandang bahwa keputusan inilah yang mengandung maslahat bagi diri si bayi, serta keduanya bennusyawarah terlebih dahulu untuk itu dan membuahkan kesepakatan, maka tidak ada dosa atas keduanya untuk melakukan hal tersebut.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa bila salah satu pihak saja yang melakukan hal ini dinilai kurang cukup, dan tidak boleh bagi salah satu pihak dari keduanya memaksakan kehendaknya dalam hal ini tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh As-Sauri dan lain-lainnya. Pendapat ini mengandung sikap preventif bagi si bayi demi kemaslahatannya; dan hal ini merupakan rahmat dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, mengingat Dia telah menetapkan keharusan bagi kedua orang tua untuk memelihara anak mereka berdua, dan memberikan bimbingan kepada apa yang menjadi maslahat bagi kedua orang tua, juga maslahat si anak. Seperti yang diungkapkan di dalam surat At-Talaq melalui firman-Nya:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرى
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) kalian untuk kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan bermusyawarahlah di antara kalian (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kalian menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (At-Talaq: 6)
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ}
Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran menurut yang patut. (Al-Baqarah: 233)
Apabila ibu dan ayah si bayi sepakat bahwa masalah persusuan si bayi diserahkan kepada pihak ayah, adakalanya karena pihak ibu si bayi berhalangan menyusukannya atau adakalanya halangan dari pihak bayinya, maka tidak ada dosa bagi keduanya dalam masalah penyerahan bayi mereka. Bukan merupakan suatu keharusan bagi pihak ayah untuk menerima penyerahan itu bilamana ia telah menyerahkan kepada pihak ibu upah penyusuan si bayi dengan cara yang lebih baik, lalu si bayi disusukan wanita lain dengan upah tersebut. Pengertian ini sudah tidak asing lagi. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh ulama yang bukan hanya satu orang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ}
Bertakwalah kalian kepada Allah. (Al-Baqarah: 233)
Yakni dalam semua keadaan kalian.
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 233)
Artinya, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya dari sepak terjang dan semua ucapan kalian.

Al-Baqarah, ayat 234

{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (234) }
Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kalian perbuat.
Hal ini merupakan perintah dari Allah yang ditujukan kepada wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suami mereka, yaitu mereka harus melakukan idahnya selama empat bulan sepuluh hari. Hukum ini mengenai pula pada istri-istri yang telah digauli oleh suaminya, juga istri-istri yang belum sempat digauli suaminya. Demikianlah menurut kesepakatan para ulama. Dalil yang dijadikan sandaran bagi wanita yang masih belum digauli ialah makna umum yang terkandung di dalam ayat ini. Hadis berikut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunnah dan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, yaitu: Bahwa Ibnu Mas'ud pernah ditanya mengenai masalah seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu meninggal dunia sebelum sempat menggaulinya dan belum pula memastikan jumlah maskawinnya kepada istrinya itu. Lalu mereka (yang bertanya) itu bolak-balik kepada Ibnu Mas'ud berkali-kali menanyakan masalah ini. Pada akhirnya Ibnu Mas'ud berkata, "Aku akan memutuskan masalah ini dengan rayu (pendapat)ku sendiri. Jika jawaban ini benar, maka dari Allah; dan jika keliru, maka dariku dan dari setan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari jawaban ini. Si wanita mendapat maskawinnya dengan penuh —menurut riwayat yang lain disebutkan mendapat mahar misilnya— tanpa ada pengurangan dan penggelapan, dan diwajibkan atas diri si wanita melakukan idahnya, serta ia dapat mewaris (dari peninggalan suaminya)." Lalu berdirilah Ma'qal ibnu Yasar Al-Asyja'i dan mengatakan, "Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. memutuskan hal yang sama terhadap Buru' binti Wasyiq." Mendengar hal itu hati Abdullah ibnu Mas'ud sangat gembira.
Menurut riwayat yang lain disebutkan seperti berikut: Maka berdirilah orang-orang lelaki dari Bani Asyja', lalu mereka mengatakan, "Kami menyaksikan bahwa Rasulullah Saw. pernah memutuskan hal yang sama terhadap Buru' binti Wasyiq."
Tiada yang dikecualikan dari masa idah tersebut kecuali wanita yang ditinggal mati suaminya, sedangkan ia dalam keadaan mengandung. Maka sesungguhnya idah yang harus dilakukannya ialah sampai ia melahirkan bayinya, sekalipun sesudah kematian suaminya selang waktu yang sebentar ia melahirkan bayinya. Dikatakan demikian karena mengingat keumuman makna firman-Nya yang mengatakan:
{وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ}
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (At-Talaq: 4)
Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas berpendapat, "Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya diharuskan melakukan masa idahnya selama masa yang paling panjang di antara kedua masa tersebut, yaitu antara masa melahirkan, atau empat bulan sepuluh hari." Pendapatnya ini merupakan kesimpulan gabungan dari kedua ayat di atas. Pendapat ini merupakan kesimpulan yang baik dan berdasarkan penalaran yang kuat seandainya tidak ada apa yang telah ditetapkan oleh sunnah dalam hadis yang menceritakan kasus Subai'ah Al-Aslamiyyah. Hadis ini diketengahkah di dalam kitab Sahihain melalui berbagai jalur periwayatan.
Disebutkan bahwa suami Subai'ah (yaitu Sa'd ibnu Khaulah) meninggal dunia, sedangkan Subai'ah dalam keadaan hamil darinya. Tidak lama kemudian setelah kematian suaminya, Subai'ah melahirkan bayinya. Menurut riwayat yang lain, Subai'ah melahirkan bayinya selang beberapa malam sesudah kematian suaminya. Setelah Subai'ah bersih dari nifasnya, ia menghias diri untuk para pelamar. Maka masuklah Abus Sanabil ibnu Ba'kak menemuinya, dan langsung berkata kepadanya, "Mengapa engkau kulihat menghiasi dirimu, barangkali kamu mengharapkan kawin? Demi Allah, kamu tidak boleh kawin sebelum kamu melewati masa empat bulan sepuluh hari." Subai'ah mengatakan, "Setelah Abus Sanabil berkata demikian kepadaku, maka kupakai pakaianku pada petang harinya, lalu aku datang kepada Rasulullah Saw. dan menanyakan kepadanya masalah tersebut. Maka beliau Saw. memberikan jawabannya kepadaku, bahwa diriku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan bayiku, dan beliau Saw. memerintahkan kepadaku untuk kawin jika aku suka."
Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, sesungguhnya menurut suatu riwayat disebutkan bahwa Ibnu Abbas meralat pendapatnya, lalu merujuk kepada hadis Subai'ah. Dikatakan demikian karena Ibnu Abbas sendiri membantah pendapat tersebut dengan berdalilkan hadis Subai'ah.
Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal ini dibenarkan dengan adanya suatu riwayat darinya yang mengatakan bahwa semua temannya menekuni hadis Subai'ah, sama halnya dengan pendapat semua ahlul ilmi.
Dikecualikan dari makna ayat ini bilamana si istri adalah seorang budak wanita, karena sesungguhnya idah seorang budak wanita adalah separo dari idah wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama. Dikatakan demikian karena hukuman had yang di jalani oleh budak wanita adalah separo dari hukuman had yang di jalani oleh seorang wanita merdeka. Maka demikian pula dalam masalah idah, yaitu separo dari idah wanita merdeka.
Tetapi di kalangan ulama —seperti Muhammad ibnu Sirin dan sebagian kalangan mazhab Zahiri— dikatakan bahwa dalam masalah idah ini sama saja antara wanita merdeka dan budak wanita, mengingat keumuman makna ayat ini. Juga karena masalah idah merupakan masalah yang menyangkut pembawaan yang tidak mengenal adanya perbedaan antara seorang wanita dengan wanita lainnya.
Sa'id ibnul Musayyab dan Abul Aliyah serta selain keduanya mengatakan bahwa hikmah penentuan idah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, karena barangkali rahimnya telah terisi oleh kandungan. Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan menunggu dalam idahnya selama masa itu, bila ternyata kandungannya telah terisikan, niscaya akan tampak.
Di dalam hadis Ibnu Mas'ud yang ada pada kitab sahihain dan kitab lainnya disebutkan seperti berikut:
«إِنَّ خَلْقَ أَحَدِكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُبْعَثُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ»
Sesungguhnya penciptaan seseorang di antara kalian dihimpun di dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah, lalu menjadi ‘alaqah dalam masa yang sama (empat puluh hari), kemudian beralih menjadi segumpal daging dalam masa yang sama, kemudian diutus kepadanya malaikat, lalu malaikat itu meniupkan roh ke dalam tubuhnya.
Ketiga empat puluh hari ini sama bilangannya dengan empat bulan, adapun sepuluh hari yang sesudahnya merupakan masa cadangan karena adakalanya bilangan sebagian bulan itu ada yang kurang genap. Sesudah peniupan roh ke dalam janin, maka janin mulai bergerak menunjukkan tanda kehidupan.
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah yang pernah bertanya kepada Sa'id ibnul Musayyab, "Untuk apakah yang sepuluh hari itu?" Sa'id ibnul Musayyab menjawab, "Di masa itu dilakukan tiupan roh ke dalam tubuh janin."
Ar-Rabi' ibnu Anas pernah mengatakan, "Aku pernah bertanya kepada Abul Aliyah, 'Mengapa sepuluh hari ini ditambahkan kepada empat bulan?' Abul Aliyah menjawab, 'Karena digunakan untuk peniupan roh ke dalam tubuh janin'." Kedua asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Berangkat dari asar ini Imam Ahmad berpendapat di dalam suatu riwayat yang bersumber darinya, bahwa idah seorang ummul walad (budak perempuan yang mempunyai anak dari hasil tuannya) sama dengan idah wanita merdeka dalam masalah ini, karena ia telah berubah status menjadi firasy (hamparan atau pendamping suaminya), sama halnya dengan wanita merdeka. Juga karena berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: dari Yazid ibnu Harun, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Raja ibnu Haywah, dari Qubaisah ibnu Zuaib, dari Amr ibnul As yang mengatakan: Janganlah kalian mengaburkan sunnah Nabi kita kepada kita; idah ummul walad apabila ditinggal mati oleh tuannya ialah empat bulan sepuluh hari.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, dari Qutaibah, dari Gundar, dari Ibnul Musanna ibnu Abdul A'la, sedangkan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya dari Ali ibnu Muhammad, dari Ar-Rabi'; ketiga-tiganya menerima hadis ini dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Matar Al-Wariq, dari Raja ibnu Haywah, dari Qubaisah, dari Amr ibnul As yang menceritakan hadis ini.
Sesungguhnya menurut suatu riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad, disebutkan bahwa ia mengingkari hadis ini.
Menurut suatu pendapat, Qubaisah belum pernah mendengar dari Amr. Akan tetapi, ada segolongan ulama Salaf yang berpegang kepada hadis ini, di antaranya ialah Sa'id ibnul Musayyab, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Abu Iyad, Az-Zuhri, dan Umar ibnu Abdul Aziz. Hal ini pula yang dianjurkan oleh Yazid ibnu Abdul Malik ibnu Marwan ketika ia menjabat sebagai Amirul Muminin. Hal ini pula yang dikatakan oleh Al-Auza'i, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Imam Ahmad ibnu Hambal dalam salah satu riwayat darinya.
Sedangkan Tawus dan Qatadah mengatakan bahwa idah ummul walad apabila ditinggal mati oleh tuannya adalah setengah dari idah wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta As-Sauri dan Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Huyay mengatakan bahwa ummul walad melakukan idahnya dengan tiga kali haid. Pendapat ini berasal dari Ali r.a., Ibnu Mas'ud, Ata, dan Ibrahim An-Nakha'i.
Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad menurut riwayat yang terkenal darinya mengatakan bahwa idahnya adalah sekali haid. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Makhul, Al-Lais, Abu Ubaid, dan Abu Saur serta jumhur ulama.
Al-Lais mengatakan, "Seandainya suami ummul walad meninggal dunia, sedangkan dia dalam keadaan berhaid, maka haidnya itu sudah cukup untuk idahnya."
Imam Malik mengatakan, "Seandainya ummul walad dari kalangan wanita yang tidak berhaid, maka idahnya adalah tiga bulan."
Imam Syafii dan jumhur ulama mengatakan, "Hal yang paling aku sukai ialah bila ummul walad menjalani idahnya selama satu bulan tiga hari."
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}
Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kalian perbuat. (Al-Baqarah: 234)
Dari makna ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa wajib hukumnya ihdad (berbelasungkawa) bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya selama ia menjalani masa idahnya, karena ada sebuah hadis di dalam kitab Sahihain yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy Ummul Muminin, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِالْلَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا»
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad (belasungkawa)nya atas mayat lebih dari tiga hari; kecuali bila yang meninggal adalah suaminya, maka selama empat bulan sepuluh hari.
Di dalam kitab Sahihain pula disebutkan sebuah hadis dari Ummu Salamah r.a.:
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنَتِي تُوَفِّي عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنُهَا أَفَنَكْحُلُهَا؟ فَقَالَ «لَا» كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ- لَا- مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّمَا هِيَ أربعة أشهر وعشر، وقد كانت إحداكم فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَمْكُثُ سَنَةً»
Bahwa ada seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan matanya mengalami gangguan penyakit, bolehkah kami mencelakinya (mengobatinya dengan celak mata)?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak," semua pertanyaan beliau jawab dengan tidak sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau Saw. bersabda, "Sesungguhnya idah yang harus di jalaninya adalah empat bulan sepuluh hari. Sesungguhnya seseorang di antara kalian di masa Jahiliah menjalani idahnya selama satu tahun."
Zainab binti Ummu Salamah mengatakan bahwa dahulu bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya (yakni di masa Jahiliah), maka wanita itu memasuki sebuah namah gubuk, lalu memakai pakaiannya yang paling buruk; tiada wewangian dan tiada lainnya yang ia pakai selama satu tahun. Setelah lewat satu tahun ia keluar dari gubuk itu dan diberi kotoran unta, lalu ia melempar kotoran itu. Kemudian diberikan kepadanya seekor hewan, yaitu keledai atau kambing atau burung, lalu ia mengusapkan tubuhnya ke hewan tersebut. Maka jarang sekali hewan yang diusapnya dapat bertahan hidup melainkan kebanyakan mati (karena baunya yang sangat busuk).
Dari kesimpulan makna ayat ini banyak ulama berpendapat bahwa ayat ini me-nasakh ayat sesudahnya, yaitu firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ}
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah. (Al-Baqarah: 240), hingga akhir ayat.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan, sebagaimana yang akan diterangkan kemudian dalam pembahasannya.
Yang dimaksud dengan istilah ihdad ialah meninggalkan perhiasan berupa wewangian dan tidak memakai pakaian yang mendorongnya untuk bergairah kawin lagi, seperti pakaian dan perhiasan serta lain-lainnya. Hal ini hukumnya wajib bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, tanpa ada yang memperselisihkannya. Tetapi sebaliknya, hal ini tidak wajib bagi wanita yang berada dalam idah talak raji'.
Akan tetapi, apakah ber-ihdad hukumnya wajib bagi wanita yang ditalak ba-in? Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat.
Ber-ihdad hukumnya wajib bagi semua istri yang ditinggal oleh suami-suami mereka, baik yang masih kecil, wanita yang tidak ber-haid, wanita merdeka, maupun budak wanita yang muslimah dan yang kafir, mengingat keumuman makna ayat.
As-Sauri dan Imam Abu Hanifah beserta semua temannya mengatakan tidak ada ihdad atas wanita kafir. Hal yang sama dikatakan pula oleh Asyhab dan Ibnu Nafi' dari kalangan teman-teman Imam Malik. Hujah yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah sabda Nabi Saw. yang mengatakan: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad atas meninggalnya seseorang lebih dari tiga hari; kecuali bila ditinggal mati suaminya, maka empat bulan sepuluh hari. Mereka mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah ta'abbud.
Imam Abu Hanifah dan teman-temannya serta As-Sauri memasukkan ke dalam pengertian ini istri yang masih kecil yang belum terkena taklif. Imam Abu Hanifah serta teman-temannya memasukkan ke dalam pengertian ini budak wanita muslimah yang tidak memiliki kemerdekaan (mengingat masalah idah adalah masalah ta'abbud). Pembahasan mengenai masalah ini secara rinci terdapat di dalam kitab-kitab yang membahas masalah hukurn dan cabang-cabangnya.
********************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ}
Kemudian apabila telah habis idahnya. (Al-Baqarah: 234)
Yakni masa idahnya telah habis, menurut Ad-Dahhak dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
{فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ}
maka tidak ada dosa bagi kalian. (Al-Baqarah: 234)
Yaitu bagi para walinya, menurut Az-Zuhri.
{فِيمَا فَعَلْنَ}
membiarkan mereka berbuat. (Al-Baqarah: 234)
Maksudnya, membiarkan wanita-wanita yang telah menghabiskan masa idahnya. Al-Wunni meriwayatkan dari Ibnu Abbas, apabila seorang istri diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, bila ia telah menghabiskan masa idahnya, maka tidak dosa atas dirinya untuk menghias diri dan mempercantik diri serta menawarkan diri untuk dikawini. Pengertian ini sudah dimaklumi. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. (Al-Baqarah: 234) Makna yang dimaksud ialah untuk nikah yang halal lagi baik.
Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Al-Hasan, Az-Zuhri, dan As-Saddi.

Al-Baqarah, ayat 235

{وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (235) }
Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kalian menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hati kalian. Allah mengetahui bahwa kalian akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkara yang makruf. Janganlah kalian ber-'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kalian; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Firman Allah Swt.:
{وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ}
Dan tidak ada dosa bagi kalian. (Al-Baqarah: 235)
Yakni untuk melamar wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suami mereka dalam idahnya secara sindiran (tidak terang-terangan).
As-Sauri, Syu'bah,dan Ibnu Jarir serta lain-lainnya meriwayatkan dari Mansur, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran. (Al-Baqarah: 235) Yang dimaksud dengan istilah ta'rid atau sindiran ialah bila seorang lelaki mengatakan, "Sesungguhnya aku ingin kawin, dan sesungguhnya aku ingin mengawini seorang wanita yang anu dan anu sifatnya," dengan kata-kata yang telah dikenal. Menurut suatu riwayat, contoh kata-kata sindiran lamaran ialah seperti, "Aku ingin bila Allah memberiku rezeki (mengawinkan aku) dengan seorang wanita," atau kalimat yang bermakna; yang penting tidak boleh menyebutkan pinangan secara tegas kepadanya. Menurut riwayat yang lain ialah, "Sesungguhnya aku tidak ingin kawin dengan seorang wanita selainmu, insya Allah." Atau "Sesungguhnya aku berharap dapat menemukan seorang wanita yang saleh." Akan tetapi, seseorang tidak boleh menegaskan lamarannya kepada dia selagi dia masih dalam idahnya.
Imam Bukhari meriwayatkan secara ta'liq. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepadanya Talq ibnu Ganam, dari Zaidah, dari Mansur, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran. (Al-Baqarah: 235) Yang dimaksud dengan sindiran ialah bila seseorang lelaki mengatakan, "Sesungguhnya aku ingin kawin. Sesungguhnya wanita benar-benar merupakan hajatku. Aku berharap semoga dimudahkan untuk mendapat wanita yang saleh."
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Yazid ibnu Qasit, Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Qasim ibnu Muhammad serta sejumlah ulama Salaf dan para imam sehubungan dengan masalah ta'rid atau sindiran ini. Mereka mengatakan, boleh melakukan pinangan secara sindiran kepada wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.
Hal yang sama berlaku pula terhadap wanita yang ditalak bain, yakni boleh melamarnya dengan kata-kata sindiran, seperti yang telah dikatakan oleh Nabi Saw. kepada Fatimah binti Qais ketika diceraikan oleh suaminya Abu Amr ibnu Hafs dalam talak yang ketiga. Nabi Saw. terlebih dahulu memerintahkan Fatimah binti Qais untuk melakukan idahnya di dalam rumah Ibnu Ummi Maktum, lalu bersabda kepadanya:
"فَإِذَا حَلَلْت فَآذِنِينِي". فَلَمَّا حلَّتْ خَطَبَ عَلَيْهَا أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ مَوْلَاهُ، فزَوّجها إِيَّاهُ
Apabila kamu telah halal (boleh nikah), maka beri tahulah aku. Ketika masa idah Fatimah binti Qais telah habis, maka ia dilamar oleh Usamah ibnu Zaid (pelayan Nabi Saw.), lalu Nabi Saw. mengawinkan Fatimah binti Qais dengan Usamah.
Wanita yang diceraikan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, bahwa tidak boleh bagi selain suaminya melakukan lamaran secara terang-terangan, tidak boleh pula secara sindiran.
********************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ}
atau kalian menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hati kalian. (Al-Baqarah: 235)
Yakni kalian memendam keinginan untuk melamar mereka menjadi istri kalian. Perihalnya sama dengan makna firman-Nya:
وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَما يُعْلِنُونَ
Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. (Al-Qashash: 69)
وَأَنَا أَعْلَمُ بِما أَخْفَيْتُمْ وَما أَعْلَنْتُمْ
Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan. (Al-Mumtahanah: 1)
Karena itulah maka Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:           
{عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ}
Allah mengetahui bahwa kalian akan menyebut-nyebut mereka. (Al-Baqarah: 235)
Yakni di dalam hati kalian. Maka Allah menghapus dosa dari kalian karena hal tersebut. Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا}
tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia. (Al-Baqarah: 235)
Menurut Abu Mijlaz, Abu Sya'sa Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar-Rabi ibnu Anas, Sulai-man At-Taimi, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi, makna yang dimaksud ialah zina. Dan ini adalah makna riwayat Al-Aufa dari Ibnu Abbas, dan Ibnu Jarir telah memilihnya;
Ali ibnu Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia. (Al-Baqarah: 235) Yakni janganlah kamu katakan kepadanya, "Sesungguhnya aku cinta kepadamu. Berjanjilah kamu bahwa kamu tidak akan kawin dengan lelaki selainku," atau kalimat-kalimat lain yang semisal.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Ikrimah, Abud Duha, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Mujahid, dan As-Sauri, yaitu bila si lelaki mengambil janji darinya agar dia tidak kawin dengan orang lain selain dirinya.
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa yang dimaksud dengan janji rahasia ialah ucapan seorang lelaki kepada wanita yang bersangkutan, "Janganlah engkau biarkan dirimu terlepas dariku, karena sesungguhnya aku akan mengawinimu."
Qatadah mengatakan, yang dimaksud ialah bila seorang lelaki mengambil janji dari seorang wanita yang masih berada dalam idah-nya, yang isinya mengatakan, "Janganlah kamu kawin dengan selainku nanti."
Maka Allah melarang hal tersebut dan melakukannya, tetapi dia menghalalkan lamaran dan ucapan secara makruf.
Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia. (Al-Baqarah: 235) Yakni bila si lelaki mengawininya secara rahasia, sedangkan dia masih berada dalam idah. Lalu sesudah si wanita halal untuk kawin, barulah si lelaki itu mengumumkannya.
Akan tetapi, barangkali makna ayat tersebut lebih menyeluruh daripada semuanya itu. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya:
{إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا}
kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. (Al-Baqarah: 235)
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, As-Saddi, As-Sauri, dan Ibnu Zaid, makna yang dimaksud ialah apa yang sebelumnya diperbolehkan, yaitu melakukan lamaran secara sindiran, seperti ucapan, "Sesungguhnya aku berhasrat kepadamu," atau kalimat-kalimat lain yang semisal.
Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubaidah tentang makna firman-Nya: kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. (Al-Baqarah: 235) Yaitu bila si lelaki berkata kepada wali si wanita, "Janganlah engkau mendahulukan orang lain daripada aku untuk memperolehnya," yakni aku mau mengawininya, beri tahukanlah aku lebih dahulu. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ}
Dan janganlah kalian ber-'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis idahnya. (Al-Baqarah: 235)
Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah idah, yakni janganlah kalian melakukan akad nikah dengannya sebelum masa idahnya habis.
Ibnu Abbas, Mujahid, Asy-Sya'bi, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Abu Malik, Zaid ibnu Aslam, Muqatil ibnu Hayyan, Az-Zuhri, Ata Al-Khurrasani, As-Saddi, As-Sauri, dan Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum habis masa idahnya. (Al-Baqarah: 235) Yakni janganlah kalian melakukan akad nikah sebelum idahnya habis.
Para ulama sepakat bahwa tidak sah melakukan akad nikah dalam masa idah. Tetapi mereka berselisih pendapat mengenai masalah seorang lelaki yang mengawini seorang wanita dalam idahnya, lalu si lelaki menggaulinya, kemudian keduanya dipisahkan. Maka apakah wanita tersebut haram bagi lelaki yang bersangkutan untuk selama-lamanya? Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa si wanita tidak haram baginya, melainkan pihak lelaki boleh melamarnya kembali bila idah si wanita telah habis.
Imam Malik berpendapat bahwa si wanita haram bagi pihak lelaki untuk selama-lamanya. Ia mengatakan demikian berdalilkan sebuah asar yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab dan Sulaiman ibnu Yasar yang menceritakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah mengatakan, 'Wanita mana pun yang melakukan perkawinan di dalam idahnya, jika suami yang kawin dengannya belum menggaulinya, maka keduanya dipisahkan, lalu si wanita melakukan sisa idah dari suaminya pertama, sedangkan si lelaki dianggap sebagai salah seorang pelamarnya. Akan tetapi, jika suaminya yang baru ini telah menggaulinya, maka keduanya dipisahkan, lalu si wanita menjalani sisa idah dari suami pertamanya, setelah itu ia harus melakukan idah lagi dari suaminya yang kedua. Setelah selesai, maka si wanita haram bagi lelaki tersebut untuk selama-lamanya."
Mereka mengatakan, diputuskan demikian mengingat ketika si suami mempercepat masa tangguh yang telah ditetapkan oleh Allah, maka ia dihukum dengan hal yang kebalikan dari niatnya, untuk itu si wanita diharamkan atas dirinya untuk selama-lamanya. Perihalnya sama dengan seorang pembunuh yang diharamkan dari hak mewaris (harta peninggalan si terbunuh).
Imam Syafii meriwayatkan asar ini dari Imam Malik. Imam Baihaqi mengatakan bahwa kemudian Imam Syafii di dalam qaul jadid-nya merevisi pendapat yang telah ia katakan dalam qaul qadim-nya.. Karena ada pendapat yang mengatakan bahwa si wanita halal bagi lelaki tersebut. Menurut hemat saya, kemudian asar ini hanya sampai pada Ibnu Umar. As-Sauri telah meriwayatkan dari Asy'as, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq, bahwa Khalifah Umar r.a. menarik kembali keputusannya itu, lalu menjadikan bagi pihak wanita maskawinnya, kemudian menjadikan keduanya dapat bersatu lagi.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ}
Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kalian; maka takutlah kepada-Nya. (Al-Baqarah: 235)
Allah memperingatkan mereka tentang apa yang ada di dalam hati mereka menyangkut masalah wanita, dan memberikan bimbingan kepada mereka agar menyembunyikan niat yang baik dan menjauhi keburukan. Kemudian Allah tidak membuat mereka berputus asa dari rahmat-Nya dan ampunan-Nya, untuk itulah maka Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ}
Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Baqarah: 235)

Al-Baqarah, ayat 236

{لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (236) }
Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Allah Swt. memperbolehkan menalak istri sesudah melakukan akad nikah dengannya dan sebelum menggaulinya.
Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan, yang dimaksud dengan istilah al-massu ialah nikah. Bahkan boleh menceraikannya sebelum menggaulinya, dan sebelum menetapkan besarnya maskawin jika dia menyerahkan hal tersebut, sekalipun dalam perceraian itu menyakitkan hatinya. Karena itulah Allah Swt. memerintahkan kepada pihak suami agar memberinya mut'ah, yaitu pemberian untuk menghibur hatinya. Pemberian mut'ah tersebut disesuaikan dengan keadaan kemampuan ekonomi pihak suami; bagi yang kaya disesuaikan dengan kekayaannya, dan bagi yang tidak mampu disesuaikan dengan kemampuannya.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ismail ibnu Umayyah, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mut'ah talak yang jumlahnya paling besar ialah berupa seorang pelayan (budak), sedangkan yang lebih rendah dari itu berupa uang perak, dan yang lebih rendah lagi dari semuanya adalah berupa pakaian.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yaitu apabila si lelaki yang bersangkutan dari kalangan orang yang mampu, hendaklah ia memberinya mut'ah berupa seorang pelayan atau yang seimbang dengannya. Jika dia orang yang tidak mampu, hendaklah dia memberi mut'ah dengan tiga setel pakaian.
Asy-Sya'bi mengatakan bahwa mut'ah yang pertengahan ialah berupa baju kurung, kerudung, milhafah, dan jilbab. Ia mengatakan bahwa dahulu Syuraih memberikan mut'ah-nya sejumlah lima ratus (dirham).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub ibnu Sirin yang mengatakan bahwa ia pernah memberi mut'ah berupa seorang pelayan, atau nafkah atau pakaian. Ia mengatakan, Al-Hasan ibnu Ali pernah memberi mut'ah-nya sejumlah sepuluh ribu (dirham). Menurut suatu riwayat, wanita yang diceraikannya mengatakan, "Harta yang sedikit dari kekasih yang menceraikannya."
Imam Abu Hanifah berpendapat, apabila suami istri bersengketa mengenai jumlah mut'ah, maka hal yang diwajibkan atas pihak suami bagi pihak istri adalah separo mahar misil-nya.
Imam Syafii di dalam qaul jadid-nya mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh dipaksa membayar jumlah tertentu dari mut'ah, kecuali bila mut'ah yang dibayarnya itu jauh di bawah standar yang dinamakan mut'ah. Imam Syafii mengatakan, hal yang paling ia sukai dalam jumlah minimal mut'ah ialah pakaian yang cukup untuk dikenakan si wanita dalam salatnya.
Di dalam qaul qadim-nya Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengetahui kadar tertentu dalam masalah mut'ah kecuali ia menganggap baik berupa uang yang jumlahnya tiga puluh dirham, seperti apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.
Para ulama berselisih pendapat pula mengenai mut'ah ini, apakah mut'ah diwajibkan bagi setiap wanita yang ditalak, atau mut'ah itu hanya wajib diberikan kepada istri yang diceraikan sebelum digauli lagi belum ditentukan jumlah maskawinnya? Di kalangan ulama banyak pendapat yang menanggapinya.
Pendapat pertama mengatakan bahwa mut'ah wajib diberikan kepada setiap wanita yang diceraikan, mengingat keumuman makna firman-Nya:
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)
Juga karena firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْواجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَياةَ الدُّنْيا وَزِينَتَها فَتَعالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَراحاً جَمِيلًا
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepada kalian mut'ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik.” (Al-Ahzab: 28)
Sedangkan mereka telah menerima maskawinnya yang telah disebutkan, dan mereka pun telah digauli. Hal ini merupakan pendapat Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Al-Hasan Al-Basri, dan pendapat ini merupakan salah satu dari pendapat Imam Syafii. Akan tetapi, dari kalangan mereka ada yang memilih pendapat dalam qaul jadid merupakan pendapat yang benar.
Pendapat kedua mengatakan bahwa mut'ah wajib diberikan kepada seorang wanita apabila diceraikan sebelum digauli, sekalipun maskawinnya telah ditentukan, karena firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِناتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَما لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَها فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَراحاً جَمِيلً
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (Al-Ahzab: 49)
Syu'bah dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh oleh ayat yang ada di dalam surat Al-Baqarah (ayat 236).
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Sahih-nya dari Sahl ibnu Sa'd dan Abu Usaid, bahwa keduanya pernah menceritakan hadis berikut:
تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أميمة بنت شرحبيل، فَلَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَيْهِ، بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا، فَكَأَنَّهَا كَرِهَتْ ذَلِكَ، فَأَمَرَ أَبَا أَسِيدٍ أَنْ يُجَهِّزَهَا وَيَكْسُوَهَا ثَوْبَيْنِ رازِقِيَّين.
Rasulullah Saw. pernah mengawini Umaimah binti Syurahbil, ketika Umaimah dimasukkan ke dalam rumah Nabi Saw. dan Nabi Saw. mengulurkan tangannya kepada Umaimah, maka seakan-akan Umaimah tidak suka dengan perkawinan ini. Lalu Nabi Saw. memerintahkan kepada Abu Usaid agar memberinya perlengkapan dan pakaian, yaitu berupa dua setel pakaian berwarna biru (sebagai mut'ah-nya).
Pendapat ketiga mengatakan bahwa mut'ah hanya diberikan kepada wanita yang diceraikan dalam keadaan belum digauli dan belum ditentukan maharnya. Untuk itu apabila si suami pernah menggaulinya, maka suami diwajibkan membayar mahar misil-nya, bilamana si istri menyerahkan masalah tersebut. Jika pihak suami telah menentukan jumlah maskawinnya, lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya, maka wajib diberikan kepadanya separo dari maskawin yang telah ditentukan itu. Apabila si suami telah menggaulinya (serta telah menentukan mahamya), maka seluruh mahar harus diberikan kepada si istri sebagai ganti dari mut'ah.
Sesungguhnya wanita yang berhak menerima mut'ah hanyalah wanita yang belum ditentukan maskawinnya, juga belum digauli oleh suaminya. Pengertian inilah yang ditunjukkan oleh ayat di atas, yaitu yang mewajibkan pemberian mut'ah kepadanya atas tanggungan pihak suami yang menceraikannya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Umar dan Mujahid.
Tetapi di kalangan ulama ada yang menyunatkan pemberian mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan selain wanita mufawwidah (yang memasrahkan jumlah maskawinnya), lalu ia diceraikan sebelum digauli. Hal ini jelas tidak diingkari, dan berdasarkan pengertian ini pula ditakwilkan ayat takhyir yang ada di dalam surat Al-Ahzab. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)
Tetapi di antara ulama ada yang mengatakan bahwa pemberian mut'ah disunatkan secara mutlak. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr (yakni Ibnu Abu Qais), dari Abu Ishaq, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa mereka menanyakan kepadanya tentang mut'ah, apakah ada batasannya? Maka ia membacakan firman-Nya: Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula). (Al-Baqarah: 236)
Asy-Sya'bi mengatakan bahwa ia belum pernah melihat seseorang yang melakukan batasan dalam mut'ah. Demi Allah, seandainya mut'ah adalah hal yang wajib, niscaya para kadi menetapkan batasan untuknya.

Al-Baqarah, ayat 237

{وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (237) }
Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian tentukan itu, kecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kalian itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kalian kerjakan.
Ayat ini termasuk dalil yang menunjukkan kekhususan mut'ah (pemberian) yang ditunjukkan oleh ayat sebelumnya, mengingat di dalam ayat ini yang diwajibkan hanyalah separo dari mahar yang telah ditentukan, bilamana seorang suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya. Karena sesungguhnya seandainya ada kewajiban lain menyangkut masalah mut'ah ini, niscaya akan dijelaskan oleh Allah Swt., terlebih lagi ayat ini mengiringi ayat sebelumnya yang kedudukannya men-takhsis masalah mut'ah yang ada padanya.
Membayar separo maskawin dalam kondisi demikian merupakan hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, tiada seorang pun yang berbeda pendapat dalam masalah ini. Untuk itu manakala seorang lelaki telah menentukan jumlah maskawin kepada wanita yang dinikahinya, kemudian si lelaki menceraikannya sebelum menggaulinya, maka si lelaki diwajibkan membayar separo maskawin yang telah ditentukannya itu.
Tetapi menurut ketiga orang imam (selain Imam Syafii, pent.), pihak suami tetap diwajibkan membayar mahar secara penuh jika ia ber-khalwat dengannya, sekalipun tidak menyetubuhinya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii di dalam qaul qadim-nya. Hal ini pulalah yang dijadikan pegangan dalam keputusan oleh para Khalifah Ar-Rasyidun. Akan tetapi, Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki ber-khalwat dengannya tanpa menyetubuhinya, setelah itu si lelaki menceraikannya, "Tiada yang berhak diperoleh istrinya selain separo maskawin." Ibnu Abbas mengatakan demikian karena berdasarkan firman-Nya yang mengatakan: Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian tentukan itu. (Al-Baqarah: 237)
Imam Syafii mengatakan, "Pendapat inilah yang saya pegang karena memang demikian makna lahiriah dari ayat yang bersangkutan."
Imam Baihaqi berkata: Lais ibnu Abu Sulaim —sekalipun predikatnya tidak dapat dijadikan hujah— telah mengatakan bahwa sesungguhnya kami telah meriwayatkannya melalui Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, bahwa hal ini merupakan perkataan Ibnu Abbas sendiri.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِلا أَنْ يَعْفُونَ}
kecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237)
Yakni mereka memaafkan suaminya dan membebaskannya dari tanggungan yang harus dibayarnya kepada mereka, maka tiada suatu pun yang harus dibayar oleh si suami.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: kecuali jika istri-istri kalian ilu memaafkan. (Al-Baqarah: 237) Bahwa makna yang dimaksud ialah 'kecuali jika si janda yang bersangkutan memaafkan dan merelakan haknya'.
Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan dari Syuraih, Sa'id ibnul Musayyab, Ikrimah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Nafi', Qatadah, Jabir ibnu Zaid, Ata Al-Khurrasani, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Muqatil ibnu Hayyan, Ibnu Sirin, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi hal yang semisal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, lain halnya dengan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, ia berpendapat berbeda. Ia mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: terkecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237) Yang dimaksud ialah para suami.
Akan tetapi, pendapat ini bersifat syaz (menyendiri) dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ}
atau  orang yang  memegang  ikatan nikah  memaafkan.  (Al-Baqarah: 237)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diceritakan dari Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
"وَلِيُّ عُقْدَةِ النِّكَاحِ الزَّوْجُ".
Orang yang menguasai ikatan nikah adalah suami.
Demikian pula menurut sanad yang diketengahkan oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Abdullah ibnu Luhai'ah dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir telah menyandarkannya pula dari Ibnu Luhai'ah, dari Amr ibnu Syu'aib, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda demikian. Lalu Ibnu Jarir mengetengahkan hadis ini, tetapi ia tidak menyebutkan dari ayah Amr, dari kakeknya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Jabir (yakni Ibnu Abu Hazim), dari Isa (yakni Ibnu Asim) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syuraih mengatakan, "Ali ibnu Abu Talib pernah bertanya kepadaku tentang makna orang yang memegang ikatan nikah. Maka aku menjawabnya, bahwa dia adalah wali si pengantin wanita. Maka Ali mengatakan, 'Bukan, bahkan dia adalah suami'."
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa di dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas, Jubair ibnu Mut'im, Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih di dalam salah satu pendapatnya, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Asy-Sya'bi. Ikrimah, Nafi', Muhammad ibnu Sirin, Ad-Dahhak, Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi, Jabir ibnu Zaid, Abul Mijlaz, Ar-Rabi' ibnu Anas, has ibnu Mu'awiyah, Makhul, dan Muqatil ibnu Hayyan, disebutkan bahwa dia (orang yang di tangannya ikatan nikah) adalah suami.
Menurut kami, pendapat ini pula yang dikatakan oleh Imam Syafii dalam salah satu qaul jadid-nya, mazhab Imam Abu Hanifah dan semua temannya, As-Sauri, Ibnu Syabramah, dan Al-Auza'i. Ibnu Jarir memilih pendapat ini.
Alasan pendapat ini yang mengatakan bahwa orang yang di tangannya terpegang ikatan nikah secara hakiki adalah suami, karena sesungguhnya hanya di tangan suamilah terpegang ikatan nikah, kepastian, pembatalan, dan pengrusakannya. Perihalnya sama saja, ia tidak boleh memberikan sesuatu pun dari harta anak yang berada dalam perwaliannya kepada orang lain, begitu pula dalam masalah mas-kawin ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa pendapat yang kedua mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna orang yang di tangannya terdapat ikatan nikah. Ibnu Abbas mengatakan, dia adalah ayahnya atau saudara laki-lakinya atau orang yang si wanita tidak boleh kawin melainkan dengan seizinnya.
Telah diriwayatkan dari Alqamah, Al-Hasan, Ata, Tawus, Az-Zuhri, Rabi'ah, Zaid ibnu Aslam, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah di dalam salah satu pendapatnya dan Muhammad ibnu Sirin menurut salah satu pendapatnya, bahwa dia adalah wali.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik dan pendapat Imam Syafii dalam qaul qadim-nya. Alasannya ialah karena walilah yang mengizinkan mempelai lelaki boleh mengawininya, maka pihak walilah yang berkuasa menentukannya; berbeda halnya dengan harta lain milik si mempelai wanita (maka pihak wali tidak berhak ber-tasarruf padanya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnur Rabi' Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Allah telah mengizinkan untuk memberi maaf, bahkan menganjurkannya. Karena itu, wanita yang memaafkan, tindakannya itu diperbolehkan. Apabila ternyata dia kikir dan tidak mau memaafkan, maka pihak walinyalah yang boleh memaafkan. Hal ini jelas menunjukkan keabsahan tindakan pemaafan si wali, sekalipun pihak mempelai wanita bersikap keras.
Riwayat ini diketengahkan melalui Syuraih, tetapi sikapnya itu diprotes oleh Asy-Sya'bi. Akhirnya Syuraih mencabut kembali pendapatnya dan cenderung mengatakan bahwa dia adalah suami, dan tersebutlah bahwa Asy-Sya'bi melakukan mubahalah terhadapnya (Syuraih) untuk memperkuat pendapatnya ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}
dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Baqarah: 237)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian kalangan mufassirin mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum lelaki dan kaum wanita.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Juraij menceritakan asar berikut dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Baqarah: 237) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang paling dekat kepada takwa di antara kedua belah pihak (suami istri) adalah orang yang memaafkan. Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Asy-Sya'bi dan lain-lainnya.
Mujahid, An-Nakha'i, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Sauri mengatakan bahwa hal yang utama dalam masalah ini ialah hendaknya pihak wanita memaafkan separo mas kawinnya, atau pihak lelaki melengkapkan maskawin secara penuh buat pihak wanita. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: Dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian. (Al-Baqarah: 237) Yang dimaksud dengan al-fadl ialah kebajikan, menurut Sa'id.
Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan Abu Wail mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-fadl ialah hal yang bajik, yakni janganlah kamu melupakan kebajikan, melainkan amalkanlah di antara sesama kalian.
Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan:
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إسحاق، حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ليأتينَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ عَضُوض، يَعَضّ الْمُؤْمِنُ عَلَى مَا فِي يَدَيْهِ وَيَنْسَى الْفَضْلَ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ} شِرَارٌ يُبَايِعُونَ كُلَّ مُضْطَرٍّ، وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَر، فَإِنْ كَانَ عِنْدَكَ خَيْرٌ فعُدْ بِهِ عَلَى أَخِيكَ، وَلَا تَزِدْهُ هَلَاكًا إِلَى هَلَاكِهِ، فَإِنَّ الْمُسْلِمَ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحْزُنه وَلَا يَحْرِمُهُ"
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Walid Ar-Rassafi, dari Abdullah ibnu Ubaid, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya benar-benar akan datang atas manusia suatu zaman yang kikir akan kebajikan, seorang mukmin menggigit (kikir) apa yang ada pada kedua tangannya (harta bendanya) dan melupakan kebajikan. Padahal Allah Swt. telah berfirman, "Janganlah kalian melupakan keutamaan (kebajikan) di antara kalian" (Al-Baqarah: 237). Mereka adalah orang-orang yang jahat, mereka melakukan jual beli dengan semua orang yang terpaksa.  Rasulullah Saw. sendiri melarang melakukan jual beli terpaksa dan jual beli yang mengandung unsur tipuan. Sebagai jalan keluarnya ialah apabila kamu memiliki kebaikan, maka ulurkanlah tanganmu untuk menolong saudaramu. Janganlah kamu menambahkan kepadanya kebinasaan di atas kebinasaan yang dideritanya, karena sesungguhnya seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain; ia tidak boleh membuatnya susah, tidak boleh pula membuatnya sengsara.
Sufyan meriwayatkan dari Abu Harun yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Aun ibnu Abdullah berada di dalam majelis Al-Qurazi, dan Aun berbicara kepada kami, sedangkan janggutnya basah karena air matanya. Ia berkata, "Aku pernah bergaul dengan orang-orang kaya dan ternyata diriku adalah orang yang paling banyak mengalami kesusahan ketika aku melihat mereka berpakaian yang baik-baik dan penuh dengan bebauan yang wangi serta menaiki kendaraan yang paling baik. Tetapi ketika aku bergaul dengan kaum fakir miskin, maka hatiku menjadi tenang bersama mereka."
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ}
dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian. (Al-Baqarah: 237)
Apabila seseorang kedatangan orang yang meminta-minta, sedangkan ia tidak memiliki sesuatu pun yang akan diberikan kepadanya, maka hendaklah ia berdoa untuknya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 237)
Yakni tiada sesuatu pun dari urusan kalian dan sepak terjang kalian yang samar bagi Allah Swt. Kelak Dia akan membalas semua orang sesuai dengan amal perbuatan yang telah dikerjakannya.

Al-Baqarah, ayat 238-239

{حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238) فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239) }
Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah (salatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui.
Allah memerintahkan agar semua salat dipelihara dalam waktunya masing-masing, dan memelihara batasannya serta menunaikannya di dalam waktunya masing-masing. Seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan:
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أفضل؟ قال: «الصلاة في وَقْتِهَا» . قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ» . قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ «بِرُّ الْوَالِدَيْنِ» ، قَالَ: حَدَّثَنِي بِهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم ولو استزدته لزادني.
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Amal apakah yang paling utama?" Ia menjawab, "Mengerjakan salat pada waktunya." Aku berkata lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." Aku bertanya lagi, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua." Ibnu Mas'ud mengatakan, "Semua itu diceritakan oleh Rasulullah Saw. kepadaku. Seandainya aku meminta keterangan yang lebih lanjut, niscaya beliau akan menambahkannya."
Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ غَنَّامٍ، عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ أَبِيهِ الدُّنْيَا، عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ فَرْوَة -وَكَانَتْ مِمَّنْ بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَذَكَرَ الْأَعْمَالَ، فَقَالَ: "إِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تعجيلُ الصَّلَاةِ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا".
telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Abdullah ibnu Umar ibnu Hafs ibnu Asim, dari Al-Qasim ibnu Ganam, dari neneknya (yakni ibu ayahnya yang bernama Ad-Dunia), dari neneknya (yaitu Ummu Farwah). Ummu Farwah termasuk salah seorang sahabat wanita yang ikut ber-baiat kepada Rasulullah Saw. Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. menyebut tentang berbagai amal perbuatan. Beliau Saw. bersabda: Sesungguhnya amal perbuatan yang paling disukai Allah ialah menyegerakan salat pada awal waktunya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi, dan ia mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadis ini melainkan hanya melalui jalur Al-Umari, sedangkan dia orangnya dinilai tidak kuat oleh kalangan ahli hadis."
Allah Swt. menyebutkan sccara khusus di antara semua salat, yaitu salat wusta, dengan sebutan yang lebih kuat kedudukannya. Ulama Salaf dan Khalaf berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dari salat wusta ini, salat apakah ia?
Menurut suatu pendapat, salat wusta itu adalah salat Subuh, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya melalui Ali dan Ibnu Abbas.
Hasyim, Ibnu Ulayyah, Gundar, Ibnu Abu Add:, Abdul Wahhab, dan Syarik serta lain-lainnya telah meriwayatkan dari Auf Al-A'rabi, dari Abu Raja Al-Utaridi yang mengatakan bahwa ia pernah salat Subuh bermakmum kepada Ibnu Abbas, lalu Ibnu Abbas membaca doa qunut seraya mengangkat kedua tangannya. Kemudian ia berkata, "Inilah salat wusta yang diperintahkan kepada kita agar kita berdiri di dalamnya seraya membaca doa qunut." Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan dia telah meriwayatkannya pula melalui Auf, dari Khallas ibnu Amr, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basvsyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Abul Minhal, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia salat di masjid Basrah, yaitu salat Subuh, lalu ia melakukan doa qunut sebelum rukuk. Sesudah itu ia berkata, "Inilah salat wusta yang disebutkan oleh Allah di dalam Kitab (Al-Qur'an)-Nya," lalu ia membacakan firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238)
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah yang mengatakan, "Aku pernah salat di belakang Abdullah ibnu Qais di Basrah, yaitu salat Subuh. Lalu aku bertanya kepada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. yang berada di sebelahku, 'Apakah salat wusta itu?' Ia menjawab, 'Salat wusta adalah salat sekarang ini (yaitu Subuh)'."
Diriwayatkan melalui jalur lain, dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, bahwa ia pernah salat bersama sahabat Rasulullah Saw., yaitu salat Subuh. Ketika mereka selesai dari salatnya, maka aku bertanya kepada mereka, "Manakah yang dimaksud dengan salat wusta itu?" Mereka menjawab, "Salat yang baru saja kamu kerjakan."
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Asmah, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan: Salat wusta adalah salat Subuh.
Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui Ibnu Umar, Abu Umamah, Anas, Abul Aliyah, Ubaid ibnu Umair, Ata, Mujahid, Jabir ibnu Zaid, Ikrimah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had. Hal inilah yang dinaskan oleh Imam Syafii rahimahullah seraya berdalilkan firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan membaca doa qunut. (Al-Baqarah: 238) Doa qunut menurut Imam Syafii di dalam salat Subuh.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa salat ini dinamakan wusta karena mengingat tidak dapat diqasar dan terletak di antara dua salat ruba'iyyah yang dapat diqasar. Menurut pendapat lain, salat wusta adalah salat Magrib, karena letak waktunya di antara dua salat jahriyyah di malam hari dan dua salat siang yang sirri (perlahan bacaannya).
Menurut pendapat yang lain, salat wusta adalah salat Lohor. Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab musnadnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi'b, dari Az-Zabarqan (yakni Ibnu Amr), dari Zahrah (yakni Ibnu Ma'bad) yang menceritakan, "Ketika kami sedang berada di dalam majelis sahabat Zaid ibnu Sabit, mereka (jamaah yang hadir) mengirimkan utusan kepada sahabat Usamah untuk menanyakan kepadanya tentang salat wusta. Maka ia berkata: 'Salat wusta adalah salat Lohor, dahulu Rasulullah Saw. selalu mengerjakannya di waktu hajir (panas matahari terik sekali)'."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Hakim, bahwa ia pernah mendengar Az-Zabarqan menceritakan hadis berikut dari Urwah ibnuz Zubair, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan: Rasulullah Saw. melakukan salat Lohor di waktu hajir (panas matahari sangat terik), tiada suatu salat pun yang dirasakan amat berat oleh sahabat-sahabat Rasul Saw. selain dari salat Lohor. Maka turunlah firman-Nya, "Peliharalah semua salat-(mu), dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk" (Al-Baqarah: 238). Beliau mengatakan:
"إِنَّ قَبْلَهَا صَلَاتَيْنِ وَبَعْدَهَا صَلَاتَيْنِ"
bahwa sebelum salat Lohor terdapat dua salat lain, dan sesudahnya terdapat pula dua salat lainnya.
Imam Abu Daud meriwayatkannya pula di dalam kitab sunannya melalui hadis Syu'bah dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Da’b, dari Az-Zabarqan, bahwa segolongan orang-orang Quraisy dijumpai oleh Zaid ibnu Sabit ketika mereka sedang berkumpul. Lalu mereka mengutus dua orang budak kepada Zaid ibnu Sabit untuk menanyakan kepadanya tentang apa yang dimaksud dengan salat wusta. Maka Zaid ibnu Sabit menjawab, bahwa salat wusta adalah salat Asar. Mereka kurang puas, lalu berdirilah dua orang lelaki dari kalangan mereka. Kemudian keduanya menanyakan hal tersebut kepada Zaid, maka Zaid ibnu Sabit menjawab bahwa salat wusta itu adalah salat Lohor. Kemudian keduanya berangkat menuju sahabat Usamah ibnu Zaid, lalu keduanya menanyakan hal tersebut kepadanya, dan ia menjawab bahwa salat wusta adalah salat Lohor. Sesungguhnya Nabi Saw. selalu mengerjakan salat Lohornya di waktu hajir, maka orang-orang yang bermakmum di belakangnya hanya terdiri atas satu atau dua saf saja, karena saat itu orang-orang sedang dalam istirahat siang harinya dan di antara mereka ada yang sibuk dengan urusan dagangnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Peliharalah semua salal(mu) dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238); Maka Rasulullah Saw. bersabda:
«لَيَنْتَهِيَنَّ رِجَالٌ أَوْ لَأُحَرِّقَنَّ بُيُوتَهُمْ»
Hendaklah kaum lelaki benar-benar berhenti (dari meninggalkan salat jamaah Lohor) atau aku benar-benar akan membakar rumah mereka.
Az-Zabarqan adalah Ibnu Amr ibnu Umayyah Ad-Dimri, ia belum pernah menjumpai masa seorang sahabat pun.
Hal yang benar ialah apa yang telah disebutkan sebelum ini, yaitu riwayatnya yang dari Zuhrah ibnu Ma'bad dan Urwah ibnuz Zubair.
Syu'bah, Hammam meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, "Salat wusta adalah salat Lohor."
Abu Daud At-Tayalisi dan lain-lainnya meriwayatkan dari Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Umar (salah seorang anak Umar ibnul Khattab r.a.) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abdur Rahman ibnu Aban ibnu Usman menceritakan asar berikut dari ayahnya, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, "Salat wusta adalah salat Lohor."
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zai-dah, dari Abdus Samad, dari Syu'bah, dari Umar ibnu Sulaiman, dari Zaid ibnu Sabit di dalam hadis marfu'-nya yang mengatakan: Salat wusta adalah salat Lohor.
Di antara orang-orang yang meriwayatkan darinya (Zaid ibnu Sabit), bahwa salat wusta itu adalah salat Lohor ialah Ibnu Umar, Abu Sa'id, dan Siti Aisyah, sekalipun masih diperselisihkan keabsahannya dari mereka. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair dan Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had, serta salah satu riwayat dari Imam Abu Hanifah.
Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu adalah salat Asar. Imam Turmuzi dan Imam Bagawi mengatakan bahwa hal inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya.
Al-Qadi Al-Mawardi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur ulama dari kalangan tabi'in.
Al-Hafiz Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ahli asar. Abu Muhammad ibnu Atiyyah di dalam tafsirnya mengatakan, hal inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama.
Al-Hafiz Abu Muhammad Abdul Mumin ibnu Khalaf Ad-Dimyati di dalam kitabnya yang berjudul Kasyful Gita fi Tabyini Salatil Wusta (Menyingkap Tabir Rahasia Salat Wusta) mengatakan, telah di-naskan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Asar. Ia meriwayatkannya dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abu Ayyub, Abdullah ibnu Amr, Samurah ibnu Jundub, Abu Hurairah, Abu Sa'id, Hafsah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Siti Aisyah, menurut pendapat yang sahih dari mereka.
Ubaidah, Ibrahim An-Nakha'i, Razin, Zur ibnu Hubaisy, Sa'id ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Al-Kalbi, Muqatil, Ubaid ibnu Maryam dan lain-lainnya mengatakan bahwa pendapat inilah yang dianut oleh mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal.
Al-Qadi Al-Mawardi dan Imam Syafii mengatakan bahwa Ibnul Munzir pernah mengatakan, "Pendapat inilah yang sahih dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad, dipilih oleh Ibnu Habib Al-Maliki."
Dalil yang memperkuat pendapat ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Muslim, dari Syittir ibnu Syakl, dari Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam Perang Ahzab:
"شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى، صَلَاةِ الْعَصْرِ، مَلَأَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَبُيُوتَهُمْ نَارًا". ثُمَّ صَلَّاهَا بَيْنَ الْعِشَاءَيْنِ: الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
Mereka menyibukkan kami dari salat wusta, yaitu salat Asar. Semoga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan api. Kemudian Rasulullah Saw. mengerjakannya di antara salat Magrib dan Isya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Abu Mu'awiyah dan Muhammad ibnu Hazm yang tuna netra, sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya dari jalur Isa ibnu Yunus. Keduanya meriwayatkan hadis ini dari Al-A'masy, dari Muslim ibnu Sabih, dari Abud Duha, dari Syittir ibnu Syakl ibnu Humaid, dari Ali ibnu Abu Talib, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui jalur Syu'bah, dari Al-Hakam ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnul Jazzar, dari Ali ibnu Abu Talib.
Syaikhain, Abu Daud, Turmuzi, dan Imam Nasai serta bukan hanya seorang dari kalangan pemilik kitab musnad, sunah, dan sahih telah mengetengahkannya melalui berbagai jalur yang amat panjang bila dikemukakan, melalui Ubaidah As-Salmani, dari Ali dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui jalur Al-Hasan Al-Basri, dari Ali dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan, "Belum pernah dikenal bahwa Al-Hasan Al-Basri pernah mendengar dari Ali."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Asim, dari Zur yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ubaidah, "Tanyakanlah kepada sahabat Ali tentang makna salat wusta." Lalu Ubaidah menanyakan hal ini kepadanya. Maka Ali menjawab, "Dahulu kami menganggapnya salat fajar yakni salat Subuh, hingga aku mendengar dari Rasulullah Saw. yar.g telah bersabda dalam Perang Ahzab:
"شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى صَلَاةِ الْعَصْرِ، مَلَأَ اللَّهُ قُبُورَهُمْ وَأَجْوَافَهُمْ -أَوْ بُيُوتَهُمْ -نَارًا"
'Mereka menyibukkan kami dari salat wusta, yaitu salat Asar. Semoga Allah memenuhi kubur mereka dan perut mereka atau rumah mereka dengan api'."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Bandar, dari Ibnu Mahdi dengan lafaz yang sama.
Hadis mengenai Perang Ahzab dan kaum musyrik yang membuat Rasulullah Saw. dan para sahabatnya sibuk hingga tidak dapat mengerjakan salat Asar pada hari itu diriwayatkan oleh banyak perawi dari para sahabat yang bila disebutkan akan panjang sekali. Hal yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah menerangkan tentang pendapat orang yang mengatakan bahwa salat wusta itu adalah salat Asar dengan berdalilkan hadis ini.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Ibnu Mas'ud dan Al-Barra ibnu Azib r.a.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"صَلَاةُ الْوُسْطَى: صَلَاةُ الْعَصْرِ"
Salat wusta adalah salat Asar.
Telah menceritakan kepada kami Bahz dan Affan; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al-Baqarah: 238) Lalu beliau Saw. menyebutkan keterangannya kepada kami sebagai salat Asar.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far dan Rauh; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah ibnu Jundub, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda sehubungan dengan salat wusta: Ia adalah salat Asar,
Ibnu Ja'far mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda demikian karena ditanya mengenai maksud salat wusta.
Imam Turmuzi meriwayatkan pula hadis ini melalui hadis Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih. Imam Turmuzi pernah mendengar hadis lainnya (mengenai masalah yang sama) dari Sa'id ibnu Abu Arubah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mani', telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, dari At-Taimi, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.
Jalur yang lain —dan bahkan hadis yang lain— diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, bahwa Al-Musanna telah menceritakan kepadanya, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad Al-Jarasyi Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang pernah mengatakan, telah menceritakan kepadanya Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepadanya Khalid ibnu Dihqan, dari Khalid ibnu Sailan, dari Kahil ibnu Harmalah yang pernah menceritakan bahwa Abu Hurairah pernah ditanya mengenai makna salat wusta. Maka ia menjawab, "Kami pernah berselisih pendapat mengenainya sebagaimana kalian berbeda pendapat mengenainya. Saat itu kami berada di halaman rumah Rasulullah Saw. dan di kalangan kami terdapat seorang lelaki yang saleh, yaitu Abu Hasyim ibnu Atabah ibnu Rabi'ah ibnu Abdu Syams. Ia berkata, 'Akulah yang akan memberitahukannya kepada kalian.' Lalu ia meminta izin untuk menemui Rasulullah Saw. Setelah diberi izin, ia masuk menemuinya. Kemudian ia keluar menemui kami, lalu berkata, 'Beliau telah bersabda kepada kami bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Asar'." Ditinjau dari segi sanad ini predikat hadis garib jiddan.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam, dari Muslim maula Abu Jubair, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Yazid Ad-Dimasyqi yang menceritakan asar berikut: Ketika aku sedang duduk di majelis Abdul Aziz ibnu Marwan, maka Abdul Aziz ibnu Marwan berkata, "Hai Fulan, berangkatlah kepada si anu dan tanyakanlah 'apa saja yang pernah ia dengar dari Rasulullah Saw. tentang salat wusta'." Maka seorang lelaki dari hadirin yang ada di majelis berkata, "Abu Bakar dan Umar pernah mengutusku, ketika itu aku masih kecil untuk menanyakan kepada beliau Saw. tentang salat wusta. Maka beliau Saw. memegang jari kecilku, lalu bersabda, 'Ini adalah salat Subuh,' lalu memegang jari sesudahnya dan bersabda, 'Ini salat Lohor.' Lalu memegang jari jempolku dan bersabda, 'Ini salat Magrib,' lalu beliau memegang jari sesudahnya (yakni jari telunjukku) dan bersabda, 'Ini salat Isya.' Kemudian beliau Saw. bersabda, 'Jarimu yang manakah yang belum terpegang?' Aku menjawab, 'Jari tengah.' Dan beliau saw. bersabda, 'Salat apakah yang belum disebutkan?' Aku menjawab, 'Salat Asar.' Maka beliau bersabda, 'Salat wusta adalah salat Asar'."
Akan tetapi, hadis ini pun berpredikat garib (aneh).
Hadis lainnya, Imam Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Auf At-Ta-i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Abu Damdam ibnu Zar'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.
Sanad hadis ini tidak mengandung cela.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Abu Hatim ibnu Hibban yang mengatakan di dalam kitab sahihnya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya ibnu Zuhair, telah menceritakan kepada kami Al-Jarrah ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Hammam ibnu Mauriq Al-Ajali, dari Abul Ahwas, dari Abdullah yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.
Dan sesungguhnya Imam Turmuzi meriwayatkan melalui hadis Muhammad ibnu Talhah ibnu Musarrif, dari Zubaid Al-Yami, dari Mur-rah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya melalui jalur Muhammad ibnu Talhah yang lafaznya seperti berikut: Mereka telah menyibukkan kita dari salat wusta, yaitu salat Asar.
Semua dalil dalam masalah ini tidak mengandung suatu takwil pun (karena sudah jelas), dan hal ini diperkuat dengan adanya perintah yang menganjurkan untuk memelihara salat wusta. Dalil lainnya ialah sabda Nabi Saw. di dalam sebuah hadis sahih melalui riwayat Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«مَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وَتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ»
Barang siapa yang meninggalkan salat Asarnya, maka seakan-akan ia seperti orang yang kehilangan keluarga dan harta bendanya.
Di dalam kitab sahih pula dari hadis Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Qilabah, dari Abu Kasir, dari Abul Mujahir, dari Buraidah ibnul Hasib, dari Nabi Saw., disebutkan seperti berikut, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
«بَكِّرُوا بِالصَّلَاةِ فِي يَوْمِ الْغَيْمِ، فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ، فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ»
Bersegeralah dalam melakukan salat (yakni di awal waktunya) pada hari yang berawan; karena sesungguhnya barang siapa yang meninggalkan salat Asar, niscaya amal perbuatannya dihapuskan.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هُبَيْرَةَ، عَنْ أَبِي تَمِيمٍ، عَنْ أَبِي بَصْرَةَ الْغِفَارِيِّ قَالَ: صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَادٍ مِنْ أَوْدِيَتِهِمْ، يُقَالُ لَهُ: المخَمَّص صَلَاةَ الْعَصْرِ، فَقَالَ: "إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ صَلَاةَ الْعَصْرِ عُرِضَت عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ فَضَيَّعُوهَا، أَلَا وَمَنْ صَلَّاهَا ضُعِّف لَهُ أَجْرُهُ مَرَّتَيْنِ، أَلَا وَلَا صَلَاةَ بَعْدَهَا حَتَّى تَرَوُا الشَّاهِدَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abdullah ibnu Hubairah, dari Abu Tamim, dari Abu Nadrah Al-Gifari yang menceritakan hadis berikut:  Kami salat dengan Rasulullah Saw. di sebuah lembah milik mereka yang dikenal dengan nama Al-Hamis, yaitu salat Asar. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya salat ini pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, lalu mereka menyia-nyiakannya. Ingatlah, barang siapa yang mengerjakannya, maka dilipatgandakan pahalanya menjadi dua kali lipat. Ingatlah, tiada salat (sunat) sesudahnya sebelum kalian melihat asy-syahid (matahari tenggelam dan malam hari mulai gelap).
Kemudian Imam Ahmad mengatakan bahwa dia meriwayatkannya pula dari Yahya ibnu Ishaq, dari Al-Lais, dari Jubair ibnu Na'im, dari Abdullah ibnu Hubairah dengan lafaz yang sama.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dan Imam Nasai secara bersamaan, dari Qutaibah, dari Al-Lais.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Habib; keduanya menerima hadis ini dari Jubair ibnu Na'im Al-Hadrami, dari Abdullah ibnu Hubairah As-Siba-i dengan lafaz yang sama.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad adalah seperti berikut:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنِي مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ أَبِي يُونُسَ مَوْلَى عَائِشَةَ قَالَ: أَمَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنْ أَكْتُبَ لَهَا مُصْحَفًا، قَالَتْ: إِذَا بَلَغْتَ هَذِهِ الْآيَةَ: {حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى} فَآذِنِّي. فَلَمَّا بَلَغْتُهَا آذَنْتُهَا، فَأَمْلَتْ عَلَيَّ: "حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَصَلَاةِ الْعَصْرِ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ" قَالَتْ: سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepadaku Malik, dari Zaid ibnu Aslam, dari Al-Qa'qa ibnu Hakim, dari Abu Yunus maula Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Siti Aisyah pernah memerintahkan kepadaku agar menuliskan buatnya sebuah mushaf. Ia berkata, "Apabila tulisanmu sampai pada ayat berikut, yaitu firman-Nya, 'Peliharalah semua salat kalian dan (peliharalah) salat wusta' (Al-Baqarah: 238), maka beri tahukanlah aku." Ketika tulisanku sampai pada ayat ini, maka kuberi tahu dia. Lalu ia mengimlakan kepadaku yang bunyinya menjadi seperti berikut, "Peliharalah semua salat kalian dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk." Lalu Siti Aisyah-berkata bahwa ia mendengarnya dari Rasulullah Saw.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Yahya ibnu Yahya, dari Malik dengan lafaz yang sama.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كَانَ فِي مُصْحَفِ عَائِشَةَ: "حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَهِيَ صَلَاةُ الْعَصْرِ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan ke-pada kami Hammad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa di dalam mushaf Siti Aisyah disebutkan seperti berikut: Peliharalah semua salat (kalian) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar.
Hal yang sama diriwayatkan pula melalui jalur Al-Hasan Al-Basri, seperti berikut: Bahwa Rasulullah Saw. membacanya seperti itu (yakni memakai tafsirnya).
Imam Malik meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, dari Amr ibnu Rafi' yang mengatakan, "Dahulu aku pernah menuliskan sebuah mushaf untuk Siti Hafsah, istri Nabi SAW. Lalu ia berkata, 'Apabila tulisanmu sampai kepada firman-Nya: Peliharalah semua salat{mu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al-Baqarah: 238) maka beri tahukanlah aku.' Ketika tulisanku sampai kepadanya, aku beri tahu dia, dan ia mengirimkan kepadaku ayat tersebut yang bunyinya seperti berikut: 'Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk'."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar. Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Ja'far (yaitu Muhammad ibnu Ali dan Nafi' maula Ibnu Umar), bahwa Amr ibnu Rafi' menceritakan hadis ini dengan lafaz yang semisal. Akan tetapi, di dalam riwayat ini ditambahkan bahwa Siti Hafsah berkata, "Seperti yang aku hafalkan dari Nabi Saw."
Jalur lain dari Hafsah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Abdullah ibnu Yazid Al-Azdi, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Siti Hafsah memerintahkan seseorang untuk menuliskan sebuah mushaf buatnya, lalu ia berpesan, "Jika kamu sampai pada ayat berikut, yaitu firman-Nya: 'Peliharalah semua salat{mu) dan (peliharalah) salat wusta' (Al-Baqarah: 238). maka beri tahukanlah aku." Ketika si penulis sampai pada ayat tersebut, ia memberitahukannya kepada Siti Hafsah. Lalu Siti Hafsah memerintahkan kepadanya agar mencatat apa yang diucapkannya, yaitu: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Nafi', bahwa Siti Hafsah pernah memerintahkan kepada salah seorang maula (pelayan)nya untuk menuliskan sebuah mushaf untuknya. Ia berpesan kepada maulanya, "Apabila tulisanmu sampai kepada ayat ini, yaitu firman-Nya: 'Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta' (Al-Baqarah: 238). janganlah kamu tulis, karena aku yang akan mengimlakannya kepadamu seperti apa yang pernah kudengar Rasulullah Saw. membacakannya." Setelah Nafi' sampai kepada ayat ini, maka Hafsah memerintahkan kepadanya untuk menulisnya seperti berikut:
«حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَصَلَاةِ الْعَصْرِ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ»
Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
Nafi' mengatakan bahwa ia membaca mushaf tersebut, dan ternyata ia menjumpai adanya huruf wawu.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas dan Ubaid ibnu Umair, bahwa keduanya membaca ayat ini dengan bacaan tersebut (yakni memakai wasalatil asri).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, dari Amr ibnu Rafi' maula Urnar yang menceritakan bahwa di dalam mushaf Siti Hafsah terdapat: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
Menurut analisis dari orang-orang yang menentang pendapat ini, lafaz salatil 'asri di-'ataf-kan kepada salatil wusta dengan memakai wawu 'ataf. Hal ini menunjukkan makna mugayarah (perbedaaan antara ma'tuf dan ma'tuf 'alaih). Maka demikian itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah selain salat Asar.
Akan tetapi, sanggahan tersebut dapat dibantah dengan berbagai alasan, antara lain ialah 'jika hal ini diriwayatkan dengan anggapan bahwa ia merupakan kalimat berita, maka hadis Ali lebih sahih dan lebih jelas darinya'. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa wawu yang ada merupakan huruf zaidah (tambahan), seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَكَذلِكَ نُفَصِّلُ الْآياتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur'an, supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa. (Al-An'am: 55)
وَكَذلِكَ نُرِي إِبْراهِيمَ مَلَكُوتَ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin. (Al-An'am: 75)
Atau huruf wawu pada ayat untuk tujuan 'ataf sifat kepada sifat yang lain, bukan zat kepada zat. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَلكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخاتَمَ النَّبِيِّينَ
tetapi dia adalah Rasulullah dan penulup nabi-nabi. (Al-Ahzab: 40)
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدى وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعى
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan. (Al-A'la: 1-4)
Ayat-ayat lainnya yang serupa cukup banyak. Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan:
إِلَى الْمَلِكِ الْقَرْمِ وَابْنِ الْهُمَامِ ... وَلَيْثِ الْكَتِيبَةِ فِي الْمُزْدَحَمِ ...
Kepada raja yang agung yaitu anak orang yang berkuasa, harimau dalam barisan perang bila perang berkobar.
 Abu Daud Al-Iyadi mengatakan dalam salah satu bait syairnya:
سَلَّطَ الْمَوْتَ وَالْمَنُونَ عَلَيْهِمْ ... فَلَهُمْ فِي صَدَى الْمَقَابِرِ هَامُ
Semoga maut dan ajal menguasai mereka, maka tempat mereka hanyalah kuburan.
Al-maut yang juga berarti al-manun; keduanya mempunyai makna yang sama, yaitu maut. Addi ibnu Zaid Al-Ibadi mengatakan:
فَقَدَّمْتُ الْأَدِيمَ لِرَاهِشِيهِ ... فَأَلْفَى قَوْلَهَا كَذِبًا وَمَيْنَا
Ia memotong kulit itu untuk kedua sisi pelananya, maka ia menjumpai ucapannya hanya dusta dan main-main.
Al-main dan al-kazib artinya sama, yakni dusta. Imam Sibawaih —Syekh ilmu Nahwu— menaskan bahwa seseorang diperbolehkan mengatakan, "Aku bersua dengan saudaramu yang juga temanmu." Dengan demikian, berarti pengertian teman adalah saudara juga, yakni keduanya adalah orang yang sama.
Jika diriwayatkan bacaan wasalatil 'asri adalah Al-Qur'an, maka riwayat mengenainya tidak mutawatir dan hanya dibuktikan melalui hadis ahad yang tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan Al-Qur'an. Karena itulah maka bacaan tersebut tidak ditetapkan oleh Amirul Muminin Usman ibnu Affan di dalam mushafnya. Tiada seorang ahli qurra pun yang membacanya dari kalangan mereka yang qiraahnya dapat dijadikan sebagai hujah, baik dari kalangan qurra sab'ah maupun dari lainnya.
Kemudian ada suatu riwayat yang menunjukkan bahwa qiraah tersebut di-mansukh, yang dimaksud ialah qiraah yang terdapat di dalam hadis di atas (yakni lafaz wa salatil 'asri).
Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Rahawaih, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari Fudail ibnu Marzuq. dari Syaqiq ibnu Uqbah, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan bahwa pada mulanya diturunkan ayat berikut: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat Asar. Maka kami membacakannya kepada Rasulullah Saw. selama apa yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian Allah Swt. menasakhnya dengan menurunkan firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al-Baqarah: 238) Lalu ada seorang lelaki yang dikenal dengan nama Zahir yang saat itu ada bersama Syaqiq. Ia bertanya, "Apakah salat wusta itu adalah salat Asar?" Syaqiq menjawab, "Sesungguhnya aku telah menceritakan kepadamu bagaimana pada mulanya ayat ini diturunkan dan bagaimana pada akhirnya Allah Swt. menasakhnya."
Imam Muslim mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Al-Asyja'i, dari As-Sauri, dari Al-Aswad, dari Syaqiq.
Menurut kami, Syaqiq ini tidak pernah hadisnya diriwayatkan oleh Imam Muslim kecuali hanya hadis yang satu ini.
Berdasarkan hal ini berarti tilawah. ini —yakni tilawah yang terakhir— menasakh lafaz yang ada di dalam riwayat Siti Aisyah dan Siti Hafsah, juga maknanya, sekalipun huruf wawu yang ada menunjukkan makna mugayarah. Jika bukan menunjukkan makna mugayarah, berarti yang di-mansukh hanyalah lafazhya saja.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Magrib. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu Abbas, tetapi di dalam sanadnya masih perlu dipertimbangkan kesahihannya. Karena sesungguhnya Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari ayahnya, dari Abul Jamahir, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari pamannya, dari Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa salat wusta adalah salat Magrib, dan pendapat ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Qubaisah ibnu Zuaib. Qatadah meriwayatkan demikian, menurut riwayat yang bersumber darinya, sekalipun ada perbedaan pendapat.
Sebagian dari mereka yang berpendapat demikian mengemukakan alasannya bahwa salat Magrib dinamakan salat wusta karena bilangan rakaatnya pertengahan antara salat ruba'iyyah dan salat Sunaiyyah, atau karena bilangan rakaatnya ganjil di antara salat-salat fardu lainnya, juga karena hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaannya.
Menurut pendapat lain, salat wusta adalah salat Isya. Pendapat ini dipilih oleh Ali ibnu Ahmad Al-Wahidi di dalam kitab tafsirnya yang terkenal itu.
Menurut pendapat yang lainnya, salat wusta adalah salah satu dari salat fardu yang lima waktu tanpa ada penentuan, dan sesungguhnya salat wusta ini disamarkan di antara salat lima waktu; perihalnya sama dengan lailatul qadar yang disamarkan dalam tahun, bulan, dan bilangan puluhannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih Al-Qadi, dan Nafi' maula Ibnu Umar serta Ar-Rabi' ibnu Khaisam. Pendapat ini dinukil pula dari Zaid ibnu Sabit, lalu dipilih oleh Imamul Haramain —yaitu Al-Juwaini— di dalam kitab nihayahnya.
Menurut pendapat lain, salat wusta itu adalah semua salat lima waktu. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu Umar. Akan tetapi, kesahihan dari riwayat ini pun masih perlu dipertimbangkan. Yang mengherankan, pendapat ini dipilih oleh Syekh Abu Amr ibnu Abdul Bar An-Numairi, seorang imam di negeri seberang laut. Sesungguhnya hal ini merupakan salah satu dosa besar, mengingat ia memilihnya, padahal ia memiliki wawasan luas lagi hafal semuanya, selagi ia tidak dapat menegakkan hujah yang memperkuat pendapatnya, baik dari Al-Qur'an atau sunnah atau asar.
Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu adalah salat Isya dan salat Subuh. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah salat berjamaah. Pendapat lain mengatakan salat Jumat, ada yang berpendapat salat Khauf, yang lain mengatakan salat Idul Fitri, dan yang lainnya lagi mengatakan salat Idul Adha. Menurut pendapat yang lain yaitu salat witir, ada pula yang mengatakannya salat duha. Sementara ulama lainnya hanya bersikap abstain, mengingat menurut mereka dalilnya bersimpang siur dan tidak jelas mana yang lebih kuat di antaranya. Sedangkan ijma' belum pernah ada kesepakatan mengenainya dalam satu pendapat, bahkan perbedaan pendapat masih tetap ada sejak zaman sahabat hingga masa sekarang.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Basysyar dan Ibnu Musanna; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Qatadah menceritakan asar berikut dari Sa'id ibnul Musayyab yang pernah bercerita bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. berselisih pendapat tentang salat wusta seperti ini, lalu ia merangkumkan jari jemari kedua tangannya menjadi satu.
Semua pendapat mengenai salat wusta ini dinilai lemah bila dibandingkan dengan pendapat sebelumnya. Sesungguhnya pokok pangkal perselisihan ini terpusat pada salat Subuh dan salat Asar. Sunnah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta ialah salat Asar, maka hal ini dapat dijadikan pegangan.
قَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَاتِمٍ الرَّازِيُّ فِي كِتَابِ "فَضَائِلِ الشَّافِعِيِّ" رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا أَبِي، سَمِعْتُ حَرْمَلَةَ بْنَ يَحْيَى التُّجِيبِيَّ يَقُولُ: قَالَ الشَّافِعِيُّ: كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافَ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ، فَحَدِيثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَى، وَلَا تُقَلِّدُونِي.
Imam Abu Muhammad (yaitu Abdur Rahman ibnu Abu Hatim Ar-Razi) telah mengatakan di dalam kitab Fadhail Asy-Syafii, telah menceritakan kepada kami ayahku yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Harmalah ibnu Yahya Al-Lakhami mengatakan bahwa Imam Syafii pernah berkata, "Semua pendapatku, lalu ada hadis Nabi Saw. yang sahih berbeda dengan pendapatku, maka hadis Nabi adalah lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian mengikutiku."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ar-Rabi', Az-Za'farani, dan Ahmad ibnu Hambal, dari Imam Syafii.
Musa Abul Walid ibnu Abul Jarud meriwayatkan dari Imam Syafii yang mengatakan,
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ وَقُلْتُ قَوْلًا فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْ قَوْلِي وَقَائِلٌ بِذَلِكَ.
"Apabila ada hadis sahih, sedangkan aku mempunyai pendapat lain, maka aku mencabut kembali pendapatku dan merujuk kepada hadis sahih tersebut."
Demikianlah keutamaan dan ketulusan yang dimiliki oleh Imam Syafii. Jejaknya itu ternyata diikuti pula oleh saudara-saudaranya dari kalangan para imam rahimahumullah.
Berangkat dari pengertian tersebut, maka Al-Qadi Al-Mawardi memutuskan bahwa mazhab Imam Syafii mengatakan bahwa salat wusta adalah salat Asar, sekalipun dalam qaul jadid-nya Imam Syafii menaskan bahwa salat wusta adalah salat Subuh, mengingat hadis-hadis yang sahih menyatakan bahwa salat wusta adalah salat Asar.
Pendapatnya ini ternyata didukung oleh sejumlah ahli hadis dari kalangan mazhab Imam Syafii sendiri.
Akan tetapi, dari kalangan ahli fiqih mazhab Syafii ada yang menolak bahwa salat wusta sebagai salat Asar, dan mereka bersikeras bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Subuh saja.
Al-Mawardi mengatakan bahwa di antara mereka ada yang meriwayatkan masalah ini dua pendapat. Untuk lebih jelasnya, rincian mengenai masalah ini antara sanggahan dan bantahan terdapat di dalam kitab lain yang telah kami tulis khusus untuk masalah tersebut.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ}
Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238)
Yakni khusyuk, rendah diri, dan tenang berada di hadapan-Nya. Perintah ini mengharuskan tidak boleh berbicara dalam salat, karena berbicara dalam salat bertentangan dengan hal tersebut. Karena itulah Rasulullah Saw. tidak menjawab salam yang diucapkan oleh Ibnu Mas'ud kepadanya ketika beliau sedang salat. Setelah beliau Saw. selesai dari salatnya, barulah beliau bersabda:
«إِنَّ فِي الصَّلَاةِ لَشُغْلًا»
Sesungguhnya di dalam salat benar-benar ada kesibukan.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda kepada Mu'awiyah ibnu Hakam As-Sulami ketika berbicara dalam salatnya:
«إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هِيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَذِكْرُ اللَّهِ»
Sesungguhnya salat ini tidak layak dilakukan padanya sesuatu pun dari pembicaraan manusia, melainkan salat itu adalah tasbih, takbir, dan zikrullah.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ismail, telah menceritakan kepadaku Al-Haris ibnu Syubail, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Zaid ibnu Arqam yang menceritakan bahwa di zaman Nabi Saw. seorang lelaki biasa berbicara dengan temannya untuk suatu keperluan di dalam salat, hingga turunlah firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238) Kemudian kami diperintahkan agar diam. Hadis ini diriwayatkan oleh Jamaah selain Ibnu Majah melalui berbagai jalur, dari Ismail.
Akan tetapi, hadis ini dianggap sebagai suatu hal yang musykil oleh sebagian ulama, karena telah terbukti di kalangan mereka bahwa pengharaman berbicara dalam salat terjadi di Mekah sebelum hijrah ke Madinah, tetapi sesudah hijrah ke negeri Habsyah. Seperti yang ditunjukkan oleh makna yang terkandung di dalam hadis Ibnu Mas'ud yang terdapat di dalam kitab sahih.
Disebutkan, "Kami dahulu biasa mengucapkan salam kepada Nabi Saw. sebelum kami hijrah ke negeri Habsyah, sedangkan beliau dalam salatnya. Maka beliau Saw. selalu menjawab salam kami." Ibnu Mas'ud melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia tiba (dari Habsyah), lalu ia mengucapkan salam kepadanya, tetapi ternyata beliau tidak menjawab salamnya. Maka hati Ibnu Mas'ud dipenuhi oleh berbagai macam perasaan yang mengkhawatirkan. Tetapi setelah beliau Saw. bersalam, beliau bersabda:
وَعَلَيْكَ السَّلَامُ، أَيُّهَا الْمُسَلِّمُ، وَرَحْمَةُ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ فَإِذَا كُنْتُمْ فِي الصَّلَاةِ فَاقْنُتُوا وَلَا تَكَلَّمُوا"
Sesungguhnya aku tidak menjawab kamu tiada lain karena aku sedang dalam salat, dan sesungguhnya Allah memperbarui perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya; dan sesungguhnya di antara perintah yang diperbarui-Nya ialah janganlah kalian berbicara di dalam salat.
Sesungguhnya sahabat Ibnu Mas'ud termasuk salah seorang yang masuk Islam paling dahulu, ia ikut hijrah ke negeri Habsyah dan datang kembali dari Habsyah ke Mekah bersama orang-orang yang datang, lalu ia hijrah ke Madinah. Ayat ini, yaitu firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238) adalah Madiniyah, tanpa ada yang memperselisihkannya. Maka ada orang-orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya Zaid ibnu Arqan bermaksud dengan ucapannya yang mengatakan bahwa 'seorang lelaki berbicara kepada saudaranya tentang keperluannya di dalam salat' hanyalah menceritakan tentang jenis pembicaraan. Ia mengambil kesimpulan dalil dari ayat ini untuk mengharamkan hal tersebut sesuai dengan apa yang dipahaminya dari ayat ini.
Ulama lainnya berpendapat, sesungguhnya ia bermaksud bahwa hal tersebut (berbicara dalam salat) telah terjadi pula sesudah hijrah ke Madinah. Dengan demikian, berarti hal tersebut telah diperbolehkan sebanyak dua kali dan diharamkan sebanyak dua kali pula, seperti pendapat yang dipilih oleh segolongan orang dari kalangan teman-teman kami dan lain-lainnya. Akan tetapi, pendapat pertama lebih kuat.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ يَحْيَى، عَنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: كُنَّا يُسَلِّمُ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الصَّلَاةِ، فَمَرَرْتُ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ، فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهُ نَزَلَ فيَّ شَيْءٌ، فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ: "وَعَلَيْكَ السَّلَامُ، أَيُّهَا الْمُسَلِّمُ، وَرَحْمَةُ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ فَإِذَا كُنْتُمْ فِي الصَّلَاةِ فَاقْنُتُوا وَلَا تَكَلَّمُوا"
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Yahya, dari Al-Musayyab, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan hadis berikut: Kami biasa mengucapkan salam antara sebagian kami kepada sebagian yang lain di dalam salat. Lalu aku bersua dengan Rasulullah Saw., dan aku mengucapkan salam kepadanya, ternyata beliau tidak menjawab salamku, hingga timbullah dugaan dalam diriku bahwa telah turun sesuatu mengenai diriku. Setelah Nabi Saw. Menyelesaikan salatnya, beliau bersabda, "Wa'alaikas salam warahmatulldhi, hai orang muslim. Sesungguhnya Allah Swt. memperbarui perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Maka apabila kalian berada di dalam salat, bersikap khusyuklah kalian dan janganlah kalian berbicara.”
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ}
Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. (Al-Baqarah: 239)
Sesudah Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar memelihara semua salat dan menegakkan batasan-batasannya serta mempertegas perintah ini dengan ungkapan yang mengukuhkan, lalu Allah Swt. menyebutkan suatu keadaan yang biasanya menyibukkan seseorang dari mengerjakan salat dengan cara yang sempurna, yaitu keadaan perang dan kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا}
Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239)
Yakni salatlah kalian dalam keadaan bagaimanapun, baik kalian sedang berjalan ataupun berkendaraan. Dengan kata lain, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak. Demikianlah seperti yang diriwaya-kan oleh Imam Malik dari Nafi', bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai salat khauf, maka ia menggambarkannya, lalu berkata, "Dan jika keadaan takut lebih mencekam dari keadaan lainnya, maka mereka salat sambil berjalan kaki atau berkendaraan, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak menghadap kepadanya."
Selanjutnya Nafi' mengatakan, ia merasa yakin bahwa tidak sekali-kali Ibnu Umar menyebutkan demikian melainkan hanya dari Nabi Saw. semata-mata. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari pula, sedangkan apa yang disebutkan menurut lafaz Imam Muslim.
Imam Bukhari meriwayatkan pula dari jalur yang lain, yaitu dari Ibnu Juraij, dari Musa ibnii Uqbah, dari Nafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. hal yang semisal atau mirip dengannya.
Imam Muslim meriwayatkan pula dari Ibnu Umar yang telah mengatakan: Apabila rasa takut (bahaya) lebih mencekam dari itu, maka salatlah kamu —baik sedang berkendaraan ataupun berdiri— dengan memakai isyarat yang sesungguhnya.
Di dalam hadis Abdullah ibnu Unais Al-Juhani disebutkan bahwa tatkala Nabi Saw. mengutusnya untuk membunuh Khalid ibnu Sufyan Al-Huzali, ketika itu Khalid berada di arah Arafah atau Arafat. Setelah Abdullah ibnu Unais berhadapan dengannya, maka tibalah waktu salat Asar. Abdullah ibnu Unais melanjutkan kisahnya, ""Maka aku merasa khawatir bila kesempatan ini digunakan oleh musuh, lalu aku salat dengan memakai isyarat," hingga akhir hadis yang cukup panjang. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud dengan sanad yang jayyid (baik).
Salat dengan cara demikian merupakan salah satu rukhsah (keringanan) dari Allah buat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, maka terlepaslah dari mereka belenggu dan beban yang memberatkan mereka.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula melalui jalur Syahib, dari Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu 'hendaklah orang yang berkendaraan salat di atas kendaraannya dan orang yang berjalan kaki salat sambil berjalan kaki'.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Al-Hasan, Mujahid, Makhul, As-Saddi, Al-Hakam, Malik, Al-Auza'i, As-Sauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh. Di dalam riwayat ini ditambahkan, hendaklah ia salat dengan cara memakai isyarat dengan kepalanya ke arah mana pun kendaraannya menghadap.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Gassan, telah menceritakan kepada kami Daud (yakni Ibnu Ulayyah), dari Mutarrif, dari Atiyyah, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan, "Apabila pedang saling beradu, hendaklah seseorang salat dengan isyarat kepalanya menghadap ke arah mana pun menurut mukanya menghadap." Yang demikian itu adalah makna firman-Nya: sambil berjalan kaki atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239)
Telah diriwayatkan hal yang sama dari Al-Hasan, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Atiyyah, Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah.
Imam Ahmad berpendapat menurut nas yang telah ditetapkannya, bahwa salat khauf dalam kondisi tertentu adakalanya dikerjakan hanya dengan satu rakaat, yaitu di saat kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran yang sengit. Berdasarkan pengertian inilah diinterpretasikan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, dan Ibnu Jarir melalui hadis Abu Uwanah Al-Waddah, dari Abdullah Al-Yasykuri —Imam Muslim, Imam Nasai, dan Ayyub ibnu Aiz menambahkan— bahwa keduanya meriwayatkan hadis ini dari Bukair ibnul Akhnas Al-Kufi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Allah telah memfardukan salat atas kalian melalui lisan Nabi kalian sebanyak empat rakaat bila kalian berada di tempat tinggal dan dua rakaat bila kalian sedang bepergian, dan dalam keadaan khauf satu rakaat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi,dari Syu'bah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah tentang salat di .saat pedang sedang beradu. Maka mereka menjawab, "Satu rakaat saja."
Hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sauri dari mereka.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepada kami Yazid Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa salat khauf adalah satu rakaat.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Jarir.
Imam Bukhari di dalam Bab "Salat di Saat Mengepung Benteng Musuh dan Bersua dengan Musuh" dan Al-Auza'i mengatakan, "Apabila kemenangan telah di ambang pintu, sedangkan mereka tidak mampu mengerjakan salat, hendaklah mereka salat dengan isyarat, yakni masing-masing dari pasukan salat untuk dirinya sendiri. Jika mereka tidak juga mampu mengerjakan salat dengan isyarat, hendaklah mereka mengakhirkan salat hingga perang berhenti dan aman dari serangan musuh, barulah mereka mengerjakan salat sebanyak dua rakaat saja. Apabila situasi tidak mengizinkan mereka salat dua rakaat, maka salat cukup dilakukan hanya dengan satu rakaat dan dua kali sujud. Jika mereka tidak mampu mengerjakannya, karena takbir saja tidak cukup untuk mereka, maka hendaklah mereka akhirkan salatnya hingga situasi aman."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Makhul.
Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ia ikut dalam serangan menjebolkan Benteng Tustur. Serangan ini dilakukan di saat fajar mulai terang, lalu berkobarlah pertempuran sengit, hingga mereka tidak mampu mengerjakan salat (Subuhnya). Kami tidak salat kecuali setelah matahari meninggi, lalu kami salat bersama Abu Musa dan kami peroleh kemenangan. Anas mengatakan, "Salat tersebut bagiku lebih baik daripada dunia dan seisinya." Demikianlah menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari.
Kemudian Ibnu Jarir memperkuat pendapatnya itu dengan dalil hadis yang menceritakan Nabi Saw. mengakhirkan salat Asar pada hari Perang Khandaq karena uzur sedang menjalani perang, dan beliau baru melaksanakan salatnya itu setelah matahari tenggelam. Ketika Nabi Saw. mempersiapkan mereka untuk menyerang Bani Quraizah, maka beliau berpesan kepada sahabat-sahabatnya:
"لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ"
Jangan sekali-kali seseorang dari kalian salat Asar melainkan nanti di tempat Bani Quraizah.
Akan tetapi, sebagian orang ada yang menjumpai waktu salat di tengah jalan, lalu mereka mengerjakannya, dan mereka mengatakan, "Tidak sekali-kali Rasulullah Saw. memerintahkan demikian kepada kami melainkan beliau menghendaki agar kami tiba dengan cepat." Di antara mereka ada yang menjumpai waktu salat, tetapi mereka tidak mengerjakannya hingga matahari tenggelam di tempat Bani Quraizah (karena patuh kepada makna lahiriah perintah Rasul Saw.). Tetapi Nabi Saw. tidak mencela salah satu pihak pun di antara dua kelompok sahabatnya itu. Hal inilah yang menjadi dasar pegangan pilihan Imam Bukhari terhadap pendapat ini, sedangkan jumhur ulama berpendapat sebaliknya. Mereka mengemukakan alasannya bahwa salat khauf menurut gambaran yang disebutkan di dalam surat An-Nisa dan diterangkan oleh banyak hadis masih belum disyariatkan di waktu Perang Khandaq. Sesungguhnya salat khauf itu hanyalah disyariatkan setelah masa itu, hal ini secara jelas disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id dan lain-lainnya.
Adapun Makhul, Al-Auza'i, dan Imam Bukhari menjawab bantahan itu, bila salat khauf memang disyariatkan sesudah Perang Khandaq, kenyataan ini tidaklah bertentangan dengan hal tersebut, mengingat hal ini merupakan keadaan yang jarang terjadi lagi bersifat khusus. Oleh karena itu, sehubungan dengan masalah ini diperbolehkan hal seperti apa yang kami katakan. Sebagai dalilnya ialah perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat di masa pemerintahan Khalifah Umar, yaitu dalam penaklukan kota Tustur yang terkenal itu, dan tiada seorang ulama pun yang membantahnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ}
Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah. (Al-Baqarah: 239)
Artinya, dirikanlah salat kalian seperti yang diperintahkan kepada kalian. Untuk itu sempurnakanlah rukuk, sujud, qiyam, duduk, khusyuk, dan bangunnya.
{كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ}
sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. (Al-Baqarah: 239)
Yakni sebagaimana Dia telah melimpahkan nikmat dan memberi petunjuk iman serta mengajarkan kepada kalian hal-hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Maka kalian harus membalas-Nya dengan bersyukur dan berzikir menyebut-Nya. Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang juga setelah menyebut masalah salat khauf, yaitu firman-Nya:
فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتاباً مَوْقُوتاً
Kemudian apabila kalian telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 103)
Hadis-hadis yang menerangkan perihal salat khauf dan cara-caranya akan diketengahkan nanti dalam tafsir surat An-Nisa yaitu pada firman-Nya:
وَإِذا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An-Nisa: 102)

Al-Baqarah, ayat 240-242

{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (240) وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (241) كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (242) }
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kalian memahaminya.
Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat sebelumnya, yaitu firman-Nya:
{يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا}
menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umayyah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zura'i, dari Habib, dari Ibnu Abu Mulaikah yang menceritakan bahwa Ibnuz Zubair pernah mengatakan bahwa ia pernah mengatakan kepada Usman ibnu Affan mengenai firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri. (Al-Baqarah: 240) Bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat lainnya, maka mengapa engkau tetap menulisnya atau mengapa tidak engkau tinggalkan? Khalifah Usman ibnu Affan menjawab, "Hai anak saudaraku, aku tidak akan mengubah barang sedikit pun bagian dari Al-Qur'an ini dari tempatnya."
Kemusykilan yang diutarakan oleh Ibnuz Zubair kepada Usman ibnu Aftan ialah bilamana hukum ayat telah di-mansukh dengan ayat yang menyatakan beridah empat bulan sepuluh hari, maka hikmah apakah yang terkandung dalam penetapan rasamnya, padahal hukum-nya telah dihapuskan. Sedangkan keberadaan rasamnya sesudah hukumnya telah di-mansukh memberikan pengertian bahwa hukum ayat yang bersangkutan masih tetap ada? Maka Amirul Muminin menjawabnya, bahwa hal ini merupakan perkara yang bersifat tauqifi. Aku menjumpainya ditetapkan dalam mushaf sesudah itu (penasikhan), maka aku pun menetapkannya pula seperti apa yang aku jumpai.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 240) Pada mulanya istri yang ditinggal mati suaminya berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal selama satu tahun penuh, kemudian ayat ini di-mansukh oleh ayat mawaris (waris-mewaris) yang di dalamnya dicantumkan bahwa si istri beroleh seperempat atau seperdelapan dari harta peninggalan suaminya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ibrahim, Ata, Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, Mu-qatil ibnu Hayyan, Ata Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh.
Telah diriwayatkan melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu apabila seorang lelaki meninggal dunia dan meninggalkan istrinya, maka si istri melakukan idahnya selama satu tahun di rumah si suami dan menerima nafkah dari harta suaminya. Sesudah itu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234) Demikianlah idah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya; kecuali jika ia dalam keadaan hamil, maka idahnya sampai batas ia melahirkan kandungannya. Allah Swt. telah berfirman pula:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan. (An-Nisa: 12) Maka melalui ayat ini dijelaskan hak waris istri dan ditinggalkanlah wasiat dan nafkah yang telah disebutkan oleh ayat di atas (Al-Baqarah: 240).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ad-Dahhsk, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh firman-Nya: selama empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh ayat yang ada di dalam surat Al-Ahzab, yaitu firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ}
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman. (Al-Ahzab: 49), hingga akhir ayat.
Menurut kami, telah diriwayatkan pula dari Muqatil dan Qatadah bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh ayat miras (pembagian waris –ed).
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri. (Al-Baqarah: 240) Mujahid mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita yang menunggu masa idahnya di rumah keluarga suaminya, sebagai suatu kewajiban. Kemudian Allah Swt. menurunkan firman-Nya:  Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 240) Allah menjadikan kelengkapan satu tahun —yaitu tujuh bulan dua puluh hari— sebagai wasiat (dari pihak suami). Untuk itu jika pihak istri setuju dengan wasiat tersebut, ia boleh tinggal selama satu tahun (di rumah mendiang suaminya); jika ia suka keluar, maka ia boleh keluar. Pengertian inilah yang tersitirkan dari firman-Nya: dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal). (Al-Baqarah: 240) Pada garis besarnya idah tetap diwajibkan seperti apa adanya.
Imam Bukhari menduga bahwa hal ini diriwayatkan dari Mujahid.
Ata mengatakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat di atas me-mansukh pengertian harus beridah di rumah keluarganya. Untuk itu si istri boleh beridah di mana pun menurut apa yang dikehendakinya. Pengertian inilah yang tersitir dari firman-Nya: dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 240)
Ata mengatakan, jika si istri suka, ia boleh beridah di rumah suaminya dan tinggal sesuai dengan hak wasiat yang diperolehnya; jika ia suka, boleh keluar (untuk melakukan idahnya di rumahnya sendiri), karena Allah Swt. telah berfirman: maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 240)
Ata mengatakan lagi bahwa sesudah itu turunlah ayat miras (waris-mewaris), maka di-mansukh-lah ayat memberi tempat tinggal. Untuk itu si istri boleh beridah di mana pun yang disukainya, tetapi tidak berhak mendapat tempat tinggal lagi.
Kemudian Imam Bukhari menyandarkan kepada Ibnu Abbas suatu riwayat yang sama dengan pendapat yang disandarkan kepada Mujahid dan Ata yang mengatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan wajib beridah selama satu tahun. Pendapat ini sama dengan apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, dan sama sekali tidak di-mansukh oleh ayat yang menyatakan beridah selama empat bulan sepuluh hari. Melainkan ayat ini menunjukkan bahwa hal tersebut menyangkut masalah anjuran berwasiat buat para istri yang akan ditinggal mati oleh suami-suaminya, yaitu memberikan kesempatan kepada mereka untuk tinggal di rumah suami-suami mereka sesudah suami-suami mereka meninggal dunia selama satu tahun, jika mereka mau menerimanya. Karena itulah maka disebutkan di dalam firman-Nya: hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya. (Al-Baqarah: 240) Yakni Allah mensyariatkan kepada kalian untuk membuat wasiat buat mereka.
Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam firman lainnya, yaitu:
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ}
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 11), hingga akhir ayat.
Dan Firman-Nya:
{وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ}
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah. (An-Nisa: 12)
Menurut pendapat yang lain, lafaz wasiyyatan di-nasab-kan karena mengandung pengertian, "Maka hendaklah kalian berwasiat buat mereka dengan sebenar-benarnya." Sedangkan yang lainnya membacanya rafa' (wasiyyatun) dengan pengertian, "Telah ditetapkan atas kalian berwasiat," pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Tiada yang melarang mereka (para istri) untuk melakukan hal tersebut, karena ada firman-Nya yang mengatakan:
{غَيْرَ إِخْرَاجٍ}
dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 240)
Jika ia telah menyelesaikan masa idahnya yang empat bulan sepuluh hari, atau telah melahirkan kandungannya, lalu ia memilih keluar dari rumah mendiang suaminya serta pindah darinya, maka ia tidak dilarang untuk melakukannya, karena firman Allah Swt.:
{فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ}
Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 240)
Pendapat ini cukup terarah dan sesuai dengan makna ayat secara lahiriahnya. Pendapat ini ternyata dipilih oleh sejumlah ulama, antara lain Imam Abul Abbas ibnu Taimiyah. Tetapi ulama lainnya membantah pendapat tersebut, di antaranya adalah Abu Umar ibnu Abdul Barr.
Pendapat Ata dan para pengikutnya yang menyatakan bahwa hal tersebut di-mansukh oleh ayat miras, jika mereka bermaksud tidak lebih dari empat bulan sepuluh hari, maka hal ini bukan merupakan suatu masalah. Akan tetapi, jika mereka bermaksud bahwa memberi tempat tinggal selama empat bulan sepuluh hari bukan merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada peninggalan mayat, maka hal inilah yang menjadi topik perbedaan pendapat di kalangan para imam. Imam Syafii sehubungan dengan masalah ini mempunyai dua pendapat.
Mereka yang berpendapat wajib memberi tempat tinggal di rumah suami berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya dari Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah, dari bibinya (yaitu Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah). Disebutkan bahwa Fari'ah binti Malik ibnu Sinan (yaitu saudara perempuan Abu Sa'id Al-Khudri r.a.) pernah menceritakan kepadanya (Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah) bahwa ia pernah datang menghadap Rasulullah Saw. untuk meminta izin agar diperkenankan kembali ke rumah keluarganya di kalangan orang-orang Bani Khudrah. Karena sesungguhnya suaminya telah berangkat untuk mencari budak-budaknya yang minggat (melarikan diri). Tetapi ketika ia sampai di Tarful Qadum, ia dapat menyusul mereka, hanya saja mereka membunuhnya. Fari'ah melanjutkan kisahnya, "Aku meminta kepada Rasulullah Saw. untuk kembali ke rumah keluargaku, karena sesungguhnya suamiku tidak meninggalkan diriku di dalam rumahnya sendiri, tiada pula nafkah buatku. Maka Rasulullah Saw. hanya menjawab, 'Ya.' Lalu aku pergi. Tetapi ketika aku sampai di Hujrah, Rasulullah Saw. memanggilku, atau memerintahkan seseorang untuk memanggilku. Setelah aku datang, beliau Saw. bertanya, 'Apa yang tadi kamu katakan?' Maka aku mengulangi lagi kepadanya kisah mengenai nasib yang menimpa suamiku, lalu beliau Saw. bersabda:
«امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ»
'Diamlah di dalam rumahmu hingga masa idahmu habis.' Maka aku melakukan idah di dalam rumah suamiku selama empat bulan sepuluh hari. Ketika Khalifah Usman ibnu Affan mengutus seseorang untuk menanyakan kasus yang sama, maka aku ceritakan hal itu kepadanya, dan ia mengikutinya serta memutuskan perkara dengan keputusan yang sama."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui hadis Malik dengan lafaz yang sama.
Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui jalur Sa'd ibnu Ishaq dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
*******************
Firman Allah Swt:
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 241)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika firman-Nya diturunkan, yaitu: Mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236) Maka seorang lelaki berkata, "Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, niscaya aku akan melakukannya. Jika aku suka tidak melakukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya." Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa wajib diberikan mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik ia wanita yang memasrahkan jumlah maskawinnya atau telah mendapat ketentuan jumlah maharnya ataupun diceraikan sebelum digauli atau telah digauli. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan menurut pendapat orang-orang yang tidak mewajibkan mut'ah secara mutlak, pengertian umum ayat ini di-takhsis oleh firman lainnya, yaitu:
{لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ}
Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236)
Golongan yang pertama membantah pendapat ini, bahwa ayat di atas termasuk ke dalam pengertian menuturkan sebagian dari rincian yang umum. Karena itu, tidak ada takhsis menurut pendapat yang terkenal lagi banyak pendukungnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ}
Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya). (Al-Baqarah: 242)
Yakni mengenai halal dan haram-Nya serta fardu dan batasan-batasan-Nya dalam semua yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan semua yang dilarang-Nya kepada kalian. Dia menerangkan dan menjelaskannya serta menafsirkannya. Dia tidak akan membiarkan hal yang bermakna global kepada kalian di saat kalian memerlukannya.
{لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ}
supaya kalian memahaminya. (Al-Baqarah: 242)
Maksudnya, agar kalian memahami dan memikirkannya.

Al-Baqarah, ayat 243-245

{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ (243) وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (244) مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245) }
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka, "Matilah kalian," kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jumlah mereka adalah empat ribu orang, dan diriwayatkan pula darinya bahwa jumlah mereka adalah delapan ribu orang. Abu Saleh mengatakan, jumlah mereka adalah sembilan ribu orang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa jumlah mereka adalah empat puluh ribu orang.
Wahb ibnu Munabbih dan Abu Malik mengatakan, mereka terdiri atas tiga puluh ribu orang lebih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka adalah penduduk sebuah kota yang dikenal dengan nama jawurdan. Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi dan Abu Saleh, tetapi ditambahkan bahwa mereka dari arah Wasit.
Sa'id ibnu Abdul Aziz mengatakan bahwa mereka adalah penduduk negeri Azri'at Sedangkan menurut Ibnu Juraij, dari Ata, hal ini hanyalah semata-mata misal (perumpamaan) saja.
Ali ibnu Asim mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Zawurdan yang jauhnya satu farsakh dari arah Wasit.
Waki' Ibnul Jarrah di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Maisarah ibnu Habib An-Nahdi, dari Al-Minhal ibnu Amr Al-Asadi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan deagan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati. (Al-Baqarah: 243) Ibnu Abbas mengatakan bahwa jumlah mereka ada empat ribu orang; mereka keluar meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari penyakit ta'un yang sedang melanda negeri mereka. Mereka berkata, "Kita akan mendatangi suatu tempat yang tiada kematian padanya." Ketika mereka sampai di tempat anu dan anu, maka Allah berfirman kepada mereka: Matilah kalian! (Al-Baqarah: 243) Maka mereka semuanya mati. Kemudian lewatlah kepada mereka seorang nabi, lalu nabi itu berdoa kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali, maka Allah menghidupkan mereka. Yang demikian itu dinyatakan di dalam firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati. (Al-Baqarah: 243), hingga akhir ayat.
Bukan hanya seorang saja dari kalangan ulama Salaf menyebutkan bahwa mereka adalah suatu kaum penduduk sebuah negeri di zaman salah seorang nabi Bani Israil. Mereka bertempat tinggal di kemah-kemahnya di tanah kampung halaman mereka. Akan tetapi, datanglah wabah penyakit yang membinasakan, menimpa mereka. Akhirnya mereka keluar menghindari maut ke daerah-daerah pedalaman.
Mereka bertempat di sebuah lembah yang luas, dan jumlah mereka yang banyak itu memenuhi lembah tersebut. Maka Allah mengirimkan dua malaikat kepada mereka; salah satunya dari bawah lembah, sedangkan yang lainnya datang dari atasnya. Kedua malaikat itu memekik sekali pekik di antara mereka, akhirnya matilah mereka semuanya seperti halnya seseorang mati. Kemudian mereka dikumpulkan di kandang-kandang ternak, lalu di sekitar mereka dibangun tembok-tembok (yang mengelilingi) mereka. Mereka semuanya binasa dan tercabik-cabik serta berantakan.
Setelah lewat masa satu tahun, lewatlah kepada mereka seorang nabi dari kalangan nabi-nabi Bani Israil yang dikenal dengan sebutan Hizqil. Lalu Nabi Hizqil meminta kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali di hadapannya, dan Allah memperkenankan permintaan tersebut. Allah memerintahkan kepadanya agar mengucapkan, "Hai tulang belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu agar berkumpul kembali!" Maka tergabunglah tulang-belulang tiap jasad sebagian yang lain menyatu dengan yang lainnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada nabi tersebut untuk mengucapkan, "Hai tulang-belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk memakai daging, urat, dan kulitmu!" Maka terjadilah hal tersebut, sedangkan nabi menyaksikannya. Kemudian Allah Swt. memerintahkan kepada nabi untuk mengatakan.”Hai para arwah, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu agar setiap roh kembali kepada jasad yang pernah dimasukinya!" Maka mereka bangkit hidup kembali seraya berpandangan; Allah telah menghidupkan mereka dari tidurnya yang cukup panjang itu, sedangkan mereka mengucapkan kalimat berikut: Mahasuci Engkau, tidak ada Tuhan selain Engkau.
Dihidupkan-Nya kembali mereka merupakan pelajaran dan bukti yang akurat yang menunjukkan bahwa kelak di hari kiamat jasad akan dibangkitkan hidup kembali. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ}
Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia. (Al-Baqarah: 243)
Yakni melalui ayat-ayat (tanda-tanda) yang jelas yang diperlihatkan kepada mereka, hujah-hujah yang kuat, dan dalil-dalil yang akurat.
{وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ}
Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak bersyukur. (Al-Baqarah: 243)
Yaitu mereka tidak menunaikan syukurnya atas limpahan nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dalam urusan agama dan keduniawian mereka.
Di dalam kisah ini terkandung pelajaran dan dalil yang menunjukkan bahwa tiada gunanya kewaspadaan dalam menghadapi takdir, dan tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali hanya kepada Dia. Karena sesungguhnya mereka keluar untuk tujuan melarikan diri dari wabah penyakit mematikan yang melanda mereka agar hidup mereka panjang. Akan tetapi, pada akhirnya nasib yang menimpa mereka adalah kebalikan dari apa yang mereka dambakan, dan datanglah maut dengan ccpat sekaligus membinasakan mereka semuanya.
Termasuk ke dalam pengertian ini ialah sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى أَخْبَرَنَا مَالِكٌ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ كِلَاهُمَا عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زيد [ابن أَسْلَمَ] بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عباس: أن عمر بن الْخَطَّابِ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ حَتَّى إِذَا كَانَ بِسَرْغٍ لَقِيَهُ أُمَرَاءُ الْأَجْنَادِ: أَبُو عُبَيْدَةُ بْنُ الْجَرَّاحِ وَأَصْحَابُهُ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ فَجَاءَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَكَانَ مُتَغَيِّبًا لِبَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ: إِنَّ عِنْدِي مِنْ هَذَا عِلْمًا، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِذَا كَانَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ فِيهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ، وَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ" فَحَمِدَ اللَّهَ عُمَرُ ثُمَّ انْصَرَفَ.
telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Malik dan Abdur Razzaq, telah meneeritakan kepada kami Ma'mar; keduanya meriwayatkan hadis berikut dari Az-Zuhri, dari Abdul Hamid ibnu Abdur Rahman ibnu Zaid ibnul Khattab, dari Abdullah ibnul Haris ibnu Naufal, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab berangkat menuju negeri Syam. Ketika ia sampai di Sarg, para pemimpin pasukan yang terdiri atas Abu Ubaidah ibnul Jarrah dan teman-temannya datang menjumpainya. Lalu mereka memberitahukan kepadanya bahwa wabah penyakit yang mematikan sedang melanda negeri Syam. Maka Khalifah Umar ibnul Khattab menuturkan hadis mengenai hal ini. Abdur Rahman ibnu Auf —yang tadinya tidak ada di tempat karena mempunyai suatu keperluan— datang, lalu ia berkata memberikan kesaksiannya, bahwa sesungguhnya ia mempunyai suatu pengetahuan tentang masalah ini. Ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Apabila wabah berada di suatu tempat, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar untuk menghindarinya. Dan apabila kalian mendengar suatu wabah sedang melanda suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Akhirnya Khalifah Umar mengucapkan hamdalah (memuji kepada Allah atas kesaksian tersebut), lalu ia kembali.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz sama, sebagiannya melalui jalur yang lain.
Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ وَيَزِيدُ العمِّي قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ أَخْبَرَ عُمَرَ، وَهُوَ فِي الشَّامِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَّ هَذَا السَّقَمَ عُذِّبَ بِهِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ فِيهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ" قَالَ: فَرَجَعَ عُمَرُ مِنَ الشَّامِ.
telah meneeritakan kepada kami Hajjaj dan Yazid Al-Ama; keduanya mengatakan, telah meneeritakan kepada kami Ibnu Abu Zu'aib, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah meneeritakan kepada Khalifah Umar hadis berikut dari Nabi Saw. ketika Umar berada di negeri Syam, yaitu: Sesungguhnya wabah ini pernah menimpa umat-umat sebelum kalian sebagai azab. Karena itu, apabila kalian mendengar wabah ini berada di suatu daerah, maka janganlah kalian memasukinya. Dan apabila ia berada di suatu daerah, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya karena menghindarinya. Maka Umar (dan pasukannya) kembali lagi (ke Madinah) dari Syam.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahihain melalui hadis Malik, dari Az-Zuhri dengan lafaz yang semisal.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}
Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 244)
Yakni sebagaimana sikap waspada tiada gunanya dalam menghadapi takdir, demikian pula melarikan diri dari jihad karena menghindarinya tidak dapat memperpendek atau memperpanjang ajal, melainkan ajal itu telah dipastikan serta rezeki telah ditetapkan takaran dan bagiannya masing-masing, tiada yang diberi tambahan, tiada pula yang dikurangi, semuanya tepat seperti apa yang dikehendaki-Nya. Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
{الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh." Katakanlah, "Tolaklah kematian itu dari diri kalian, jika kalian orang-orang yang benar." (Ali Imran: 168)
{وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا * أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ}
Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban perang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah, "Kesenangan di dunia itu hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dianiaya sedikit pun. Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (An-Nisa: 77-78)
Telah diriwayatkan kepada kami dari panglima pasukan kaum muslim yang dijuluki 'Pedang Allah', yaitu Khalid ibnul Walid r.a., bahwa ia mengatakan ketika sedang menjelang ajalnya, "Sesungguhnya aku telah mengikuti perang anu dan anu, dan tiada suatu anggota tubuhku yang selamat melainkan padanya terdapat bekas tusukan pedang, panah, dan pukulan pedang. Tetapi aku kini mati di atas tempat tidurku, seperti unta mati (di kandangnya). Semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur," maksudnya dia merasa sedih dan sakit karena dirinya tidak mati dalam peperangan, dan ia merasa kecewa atas hal tersebut, mengingat dirinya mati di atas kasur.
*******************
Firman Allah Swt.:
{مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً}
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)
Allah Swt. menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya agar menafkahkan hartanya di jalan Allah. Allah Swt. mengulang-ulang ayat ini di dalam Al-Qur'an bukan hanya pada satu tempat saja. Di dalam hadis yang berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman:
"مَنْ يُقْرِضُ غَيْرَ عَدِيمٍ وَلَا ظَلُومٍ"
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Tuhan yang tidak miskin dan tidak pula berbuat aniaya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ عَنْ حُمَيْدٍ الْأَعْرَجِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قال: لَمَّا نَزَلَتْ: {مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ} قَالَ أَبُو الدَّحْدَاحِ الْأَنْصَارِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُرِيدُ مِنَّا الْقَرْضَ؟ قَالَ: "نَعَمْ يَا أَبَا الدَّحْدَاحِ" قَالَ: أَرِنِي يَدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: فَنَاوَلَهُ يَدَهُ قَالَ: فَإِنِّي قَدْ أَقْرَضْتُ رَبِّي حَائِطِي. قَالَ: وَحَائِطٌ لَهُ فِيهِ سِتُّمِائَةِ نَخْلَةٍ وَأُمُّ الدَّحْدَاحِ فِيهِ وَعِيَالُهَا. قَالَ: فَجَاءَ أَبُو الدَّحْدَاحِ فَنَادَاهَا: يَا أُمَّ الدَّحْدَاحِ. قَالَتْ: لَبَّيْكَ قَالَ: اخْرُجِي فَقَدْ أَقْرَضْتُهُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ.
telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Khalifah, dari Humaid Al-A'raj, dari Abdullah ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (membelanjakan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya. (Al-Baqarah: 245) Maka Abud Dahdah Al-Ansari berkata, "Wahai Rasulullah, apakah memang Allah menginginkan pinjaman dari kami?" Nabi Saw. menjawab, "Benar, Abud Dahdah." Abud Dahdah berkata, "Wahai Rasulullah, ulurkanlah tanganmu." Maka Rasulullah Saw. mengulurkan tangannya kepada Abud Dahdah. Lalu Abud Dahdah berkata, "Sesungguhnya aku meminjamkan kepada Tuhanku kebun milikku." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa di dalam kebun milik Abud Dahdah terdapat enam ratus pohon kurma, sedangkan istri dan anak-anaknya tinggal di dalam kebun itu. Maka Abud Dahdah datang ke kebunnya dan memanggil istrinya, "Hai Ummu Dahdah." Ummu Dahdah menjawab, "Labbaik." Abud Dahdah berkata, "Keluarlah kamu, sesungguhnya aku telah meminjamkan kebun ini kepada Tuhanku."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a. secara marfu' dengan lafaz yang semisal.
Yang dimaksud dengan firman-Nya:
{قَرْضًا حَسَنًا}
pinjaman yang baik. (Al-Baqarah: 245)
Menurut apa yang diriwayatkan dari Umar dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf ialah berinfak untuk jalan Allah. Menurut pendapat lain, yang dimaksud ialah memberi nafkah kepada anak-anak. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah membaca tasbih dan taqdis.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً}
maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)
Sama halnya dengan makna yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضاعِفُ لِمَنْ يَشاءُ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat.
Tafsir ayat ini akan dikemukakan nanti pada tempatnya.
Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا مُبَارَكُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ الْحَسَنَةَ تُضَاعَفُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ. فَقَالَ: وَمَا أَعْجَبَكَ مِنْ ذَلِكَ؟ لَقَدْ سَمِعْتُهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ"
telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, dari Ali ibnu Za'id, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Aku datang kepada sahabat Abu Hurairah r.a., dan kukatakan kepadanya, 'Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan, sesungguhnya amal kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah r.a. berkata, 'Apakah yang membuatmu heran dari hal ini? Sesungguhnya aku mendengarnya sendiri dari Nabi Saw.' Nabi Saw. telah bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan kebaikan sebanyak dua juta kali lipat pahala kebaikan'."
Hadis ini berpredikat garib karena Ali ibnu Zaid ibnu Jad'ah banyak memiliki hadis-hadis yang munkar.
Akan tetapi, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Abu Hatim dari jalur lain. Ia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَبُو خَلَّادٍ سُلَيْمَانُ بْنُ خَلَّادٍ الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُقْبَةَ الرُّبَاعِيُّ عَنْ زِيَادٍ الْجَصَّاصِ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ مِنِّي فَقَدِمَ قَبْلِي حَاجًّا قَالَ: وَقَدِمْتُ بَعْدَهُ فَإِذَا أَهْلُ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ: إِنِ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ" فَقُلْتُ: وَيَحْكُمُ، وَاللَّهِ مَا كَانَ أَحَدٌ أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ مِنِّي، فَمَا سَمِعْتُ هَذَا الْحَدِيثَ. قَالَ: فَتَحَمَّلْتُ أُرِيدُ أَنَّ أَلْحَقَهُ فَوَجَدْتُهُ قَدِ انْطَلَقَ حَاجًّا فَانْطَلَقْتُ إِلَى الْحَجِّ أَنْ أَلْقَاهُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ، فَلَقِيتُهُ لِهَذَا فَقُلْتُ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا حَدِيثٌ سَمِعْتُ أَهْلَ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْكَ؟ قَالَ: مَا هُوَ؟ قُلْتُ: زَعَمُوا أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الحسنة ألف ألف حَسَنَةٍ. قَالَ: يَا أَبَا عُثْمَانَ وَمَا تَعْجَبُ مِنْ ذَا وَاللَّهُ يَقُولُ: {مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً} وَيَقُولُ: {فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ} [التَّوْبَةِ:38] وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ"
telah menceritakan kepada kami Abu Khallad (yaitu Sulaiman ibnu Khallad Al-Muaddib), telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Uqbah Ar-Rufa'i, dari Ziad Al-Jahssas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan bahwa "Tiada seorang pun yang lebih banyak duduk di majelis Abu Hurairah selain dari aku sendiri. Abu Hurairah datang berhaji sebelumku, sedangkan aku datang sesudahnya. Tiba-tiba penduduk Basrah meriwayatkan asar darinya, bahwa ia pernah mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kali lipat pahala kebaikan.'' Maka aku berkata, 'Celakalah kalian. Demi Allah, tiada seorang pun yang lebih banyak berada di majelis Abu Hurairah selain dari aku, tetapi aku belum pernah mendengar hadis ini.' Maka aku berangkat dengan maksud untuk menyusulnya, tetapi kujumpai dia telah berangkat berhaji. Maka aku berangkat pula menunaikan ibadah haji untuk menjumpainya dan menanyakan hadis ini. Lalu aku menjumpainya untuk tujuan ini dan kukatakan kepadanya, 'Wahai Abu Hurairah, hadis apakah yang pernah kudengar dari penduduk Basrah, mereka mengatakannya bersumber dari kamu?' Abu Hurairah bertanya, 'Hadis apakah itu?' Aku menjawab, 'Mereka menduga engkau pernah mengatakan: Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah menjawab, 'Wahai Abu Usman, apakah yang engkau herankan dari masalah ini, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) Allah Swt. telah berfirman pula: padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (At-Taubah: 38) Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:  Sesungguhnya Allah melipat gandakan pahala suatu kebaikan menjadi dua juta kebaikan'."
Semakna dengan hadis ini adalah hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan lain-lainnya melalui jalur Amr ibnu Dinar, dari Salim, dari Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ دَخَلَ سُوقًا مِنَ الْأَسْوَاقِ فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفَ سَيِّئَةٍ"
Barang siapa yang memasuki sebuah pasar, lalu ia mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu," maka Allah mencatatkan baginya sejuta kebaikan dan menghapuskan darinya sejuta keburukan (dosa).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Bassam, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Muaddib, dari Isa ibnul Musayyab, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika diturunkannya firman Allah Swt.: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah Saw. berdoa, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) Nabi Saw. berdoa lagi, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (Az-Zumar: 10)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ka'b Al-Ahbar, bahwa Ka'b Al-Ahbar pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata bahwa sesungguhnya ia pernah mendengar seseorang mengatakan, "Barang siapa yang membaca qul huwallahu ahad sekali, maka Allah akan membangun untuknya sepuluh juta gedung dari mutiara dan yaqut di surga." Apakah aku harus mempercayai ucapannya itu? Ka'b Al-Ahbar menjawab, "Ya, apakah engkau heran terhadap hal tersebut?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Bahkan dilipatgandakan menjadi dua puluh atau tiga puluh juta, dan bahkan lebih dari itu, tiada yang dapat menghitungnya selain dari Allah sendiri." Selanjutnya Ka'b membacakan firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)
Istilah ka'sir atau banyak dari Allah berarti tidak terhitung jumlahnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ}
Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki. (Al-Baqarah: 245)
Dengan kata lain, belanjakanlah harta kalian dan janganlah kalian pedulikan lagi dalam melakukannya, karena Allah Maha Pemberi rezeki; Dia menyempitkan rezeki terhadap siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan Dia melapangkannya terhadap yang lainnya di antara mereka; hal tersebut mengandung hikmah yang sangat bijak dari Allah.
{وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ}
dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan. (Al-Baqarah: 245)
Yakni di hari kiamat nanti.

Al-Baqarah, ayat 246 

{أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلا تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَا لَنَا أَلا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلا قَلِيلا مِنْهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ (246) }
Apakah kalian tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, "Angkatlah untuk karni seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah." Nabi mereka menjawab, "Mungkin sekali jika kalian nanti diwajibkan berperang, kalian tidak akan berperang." Mereka menjawab, "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.
Menurut Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah, nama nabi tersebut adalah Yusya' ibnu Nun. Ibnu Jarir mengatakan bahwa nabi tersebut bernama Yusya' ibnu Ifrayim ibnu Yusuf ibnu Ya'qub. Akan tetapi, pendapat ini jauh dari kebenaran, mengingat Yusya' baru ada jauh setelah masa Nabi Musa. Sedangkan hal yang dikisahkan di dalam ayat ini terjadi di masa Nabi Daud a.s., seperti yang dijelaskan di dalam kisah mengenainya. Jarak antara masa Nabi Daud dengan Nabi Musa kurang lebih seribu tahun, yakni lebih dahulu Nabi Musa a.s.
As-Saddi mengatakan bahwa nabi tersebut bernama Syam'un. Sedangkan menurut Mujahid adalah Syamuel a.s. Hal yang sama dikatakan pula oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Wahb ibnu Munabbih, bahwa dia adalah Syamuel ibnu Bali ibnu Alqamah ibnu Turkham ibnu Yahd ibnu Bahrad ibnu Alqamah ibnu Majib ibnu Amrisa ibnu Azria ibnu Safiyyah ibnu Alqamah ibnu Abu Yasyif ibnu Qarun ibnu Yashur ibnu Qahis ibnu Lewi ibnu Ya'qub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim a.s.
Wahb ibnu Munabbih dan lain-lainnya mengatakan, pada mulanya kaum Bani Israil sesudah Nabi Musa a.s. berada dalam jalan yang lurus selama satu kurun waktu. Kemudian mereka membuat-buat hal yang baru dan sebagian di antara mereka ada yang menyembah berhala-berhala. Di antara mereka masih ada nabi-nabi yang memerintahkan kepada mereka untuk berbuat kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran, serta meluruskan mereka sesuai dengan ajaran kitab Taurat. Hingga akhimya mereka melakukan apa yang mereka sukai, lalu Allah menguasakan mereka atas musuh-musuh mereka, dan akhimya banyak di antara mereka yang terbunuh dalam jumlah yang sangat besar, banyak yang ditawan oleh musuh-musuh mereka, serta negeri mereka banyak yang diambil dan dijajah oleh musuh-musuh mereka. Pada mulanya tiada seorang raja pun yang memerangi mereka melainkan mereka dapat mengalahkannya. Hal tersebut berkat kitab Taurat dan tabut (peti) yang telah ada sejak masa lalu; keduanya diwariskan secara turun-temurun dari para pendahulu mereka sampai kepada Nabi Musa a.s. Tetapi tatkala mereka tenggelam di dalam kesesatannya, maka kedua barang tersebut dapat dirampas dari tangan mereka oleh salah seorang raja di suatu peperangan. Raja tersebut dapat merebut kitab Taurat dan tabut dari tangan mereka, dan tiada yang hafal akan kitab Taurat di kalangan mereka kecuali hanya beberapa gelintir orang saja. Kenabian terputus dari keturunan mereka, tiada yang tertinggal dari kalangan keturunan Lewi yang biasanya menurunkan para nabi selain seorang wanita hamil dari suaminya yang telah terbunuh. Maka kaum Bani Israil mengambil wanita tersebut dan mengarantinakannya di dalam sebuah rumah dengan harapan semoga Allah memberinya rezeki seorang anak yang kelak akan menjadi seorang nabi bagi mereka. Sedangkan si wanita tersebut terus-menerus berdoa kepada Allah Swt. agar diberi seorang anak lelaki. Allah Swt. memperkenankan doa wanita itu dan lahirlah darinya seorang bayi lelaki yang kemudian diberi nama Samuel, yang artinya Allah memperkenankan doaku. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa bayi itu diberi nama Syam'un (Samson) yang artinya sama. Anak tersebut tumbuh dewasa di kalangan kaumnya (Bani Israil) dan Allah menganugerahinya dengan pertumbuhah yang baik. Ketika usianya sampai pada usia kenabian, maka Allah mewahyukan kepadanya yang isinya memerintahkan kepadanya agar mengajak dan menyeru kaumnya untuk menauhidkan Allah Swt. Lalu ia menyeru kaum Bani Israil, dan mereka meminta kepadanya agar ia mengangkat seorang raja buat mereka yang akan memimpin mereka dalam memerangi musuh-musuh mereka, karena raja mereka telah binasa. Maka si Nabi berkata kepada mereka, "Apakah kalian benar-benar jika Allah mengangkat seorang raja untuk kalian, bahwa kalian akan berperang dan menunaikan tugas yang dibebankan kepada kalian, yaitu berperang bersamanya?" Mereka menjawab, yang jawabannya disitir oleh firman-Nya: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" (Al-Baqarah: 246) Yakni negeri kami telah dirampas dari tangan kami, dan banyak anak-anak kami yang ditawan. Allah Swt. berfirman: Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 246) Yaitu mereka tidak memenuhi apa yang telah mereka janjikan, bahkan kebanyakan dari mereka membangkang, tidak mau berjihad; dan Allah Maha Mengetahui mereka.

Al-Baqarah, ayat 247

{وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (247) }
Nabi mereka mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi raja kalian." Mereka menjawab, "Bagaimana Talut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa" Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
Ketika mereka meminta kepada nabi mereka agar diangkat seorang raja buat mereka, maka Allah menentukan Talut untuk menjadi raja mereka. Talut adalah seorang lelaki dari kalangan prajurit mereka, bukan berasal dari keluarga raja mereka; karena raja mereka berasal dari keturunan Yahuza, sedang Talut bukan dari keturunannya. Karena itulah disebut oleh firman-Nya, bahwa mereka mengatakan:
{أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا}
Bagaimana Talut memerintah kami. (Al-Baqarah: 247)
Dengan kata lain, mana mungkin Talut menjadi raja kami.
{وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ}
padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak? (Al-Baqarah: 247)
Yakni selain dari itu Talut adalah orang yang miskin lagi tidak berharta yang dapat membantunya untuk menjadi seorang raja. Sebagian ulama mengatakan bahwa Talut adalah seorang pengangkut air. Menurut pendapat yang lain, Talut adalah penyamak kulit.
Ungkapan ini merupakan sanggahan mereka terhadap nabi mereka dan sekaligus sebagai suatu protes, padahal yang lebih utama bagi mereka hendaknya mereka taat dan mengucapkan kata-kata yang baik. Selanjutnya nabi mereka memberikan jawabannya yang disitir oleh firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ}
Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian. (Al-Baqarah: 247)
Yaitu Allah-lah yang memilihnya menjadi raja kalian melalui nabi kalian. Allah lebih mengetahui tentang Talut daripada kalian. Dengan kata lain, bukan aku yang menentukan Talut menjadi raja atas kemauanku sendiri, melainkan Allah-lah yang memerintahkan kepadaku agar memilihnya di saat kalian meminta hal tersebut kepadaku.
{وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ}
dan (Allah) menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. (Al-Baqarah: 247)
Selain dari itu Talut lebih berilmu daripada kalian, lebih cerdik, lebih banyak akalnya daripada kalian, dan lebih kuat, lebih teguh dalam peperangan serta lebih berpengalaman mengenainya. Singkatnya, Talut lebih sempurna ilmunya dan lebih kuat tubuhnya daripada kalian. Dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang raja hendaknya memiliki ilmu, bentuk, cakap, kuat, serta perkasa tubuh dan jiwanya. Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ}
Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Al-Baqarah: 247)
Artinya, Dialah yang berkuasa yang melakukan semua apa yang dikehendaki-Nya dan Dia tidak diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah diperbuat-Nya, sedangkan mereka diharuskan mempertanggungjawabkannya. Hal ini berkat ilmu dan kebijaksanaan-Nya serta belas kasihan-Nya kepada makhluk-Nya. Untuk itu dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}
Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 247)
Yakni Dia Mahaluas karunia-Nya, Dia mengkhususkan rahmat-Nya buat siapa yang dikehendaki-Nya, lagi Maha Mengetahui siapa yang berhak menjadi raja dan siapa yang tidak berhak.

Al-Baqarah, ayat 248

{وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (248) }
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja ialah kembalinya tabut kepada kalian, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhan kalian dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, tabut itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagi kalian, jika kalian orang yang beriman.
Nabi mereka berkata kepada mereka bahwa sesungguhnya alamat keberkatan Raja Talut kepada kalian ialah dengan dikembalikannya tabut kepada kalian oleh Allah, yang sebelumnya telah direbut dari tangan kalian.
{فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ}
di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 248)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan sakinah ialah ketenangan dan keagungan.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa yang dimaksud dengan sakinah adalah ketenangan. Menurut Ar-Rabi', sakinah artinya rahmat.
Hal yang sama dikatakan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.
Ibnu Juraij meriwayatkan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata tentang makna firman-Nya: di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 248) Menurutnya ialah semua ayat Allah yang kalian kenal dan kalian merasa tenang dengannya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan Al-Basri.
Menurut suatu pendapat, sakinah adalah sebuah piala (gelas besar) dari emas yang dipakai untuk mencuci hati para nabi. Piala itu diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s., maka piala tersebut dipakai untuk tempat menaruh lembaran-lembaran (kitab Taurat). Hal yang sama telah diriwayatkan oleh As-Saddi, dari Abu Malik, dari Ibnu Abbas.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Salamah ibnu Kahil, dari Abul Ahwas, dari Ali yang mengatakan bahwa sakinah mempunyai wajah seperti wajah manusia, kemudian merupakan angin yang wangi baunya lagi cepat tiupannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dan Hammad ibnu Salamah serta Abul Ahwas; semuanya dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah, dari Ali yang mengatakan bahwa sakinah adalah angin kencang yang mempunyai dua kepala. Menurut Mujahid, sakinah mempunyai sepasang sayap dan ekor.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Wahb ibnu Munabbih, bahwa sakinah adalah kepala kucing yang telah mati; apabila mengeluarkan suara di dalam tabut (peti)nya, mereka yakin bahwa kemenangan akan mereka peroleh.
Abdur Razzaq mengatakan, Bakkar ibnu Abdullah pernah berc-rita kepadanya bahwa ia pernah mendengar Wahb ibnu Munabbih mengatakan, "Sakinah adalah roh dari Allah (ciptaan-Nya). Apabila mereka (kaum Bani Israil) berselisih pendapat dalam sesuatu hal, maka roh tersebut berkata kepada mereka menjelaskan apa yang mereka kehendaki."
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ}
dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun. (Al-Baqarah: 248)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Musanna, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini. Yang dimaksud dengan peninggalan tersebut adalah tongkat Nabi Musa dan lembaran-lembaran lauh (Taurat). Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ikrimah. Ikrimah menambahkan bahwa selain dari itu ada kitab Taurat.
Abu Saleh mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan sisa dari peninggalan keluarga Musa. (Al-Baqarah: 248) Yakni tongkat Nabi Musa dan tongkat Nabi Harun serta dua lembar lauh kitab Taurat serta manna.
Atiyyah ibnu Sa'id mengatakan bahwa isinya adalah tongkat Musa dan Harun, baju Musa dan Harun, serta lembaran-lembaran lauh.
Abdur Razzaq mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada As-Sauri tentang makna firman-Nya: dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun. (Al-Baqarah: 248) Maka As-Sauri mengatakan bahwa di antara mereka ada yang mengatakan bahwa peninggalan tersebut berupa adonan manna, lembaran lauh. Ada pula yang mengatakan bahwa peninggalan tersebut adalah tongkat dan sepasang terompah.
*******************
Firman Allah Swt.:
{تَحْمِلُهُ الْمَلائِكَةُ}
tabut itu dibawa oleh malaikat. (Al-Baqarah: 248)
Ibnu Juraij mengatakan, Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa malaikat datang seraya memikul tabut di antara langit dan bumi, hingga tabut itu diturunkan di hadapan Talut, sedangkan orang-orang menyaksikan peristiwa tersebut.
As-Saddi mengatakan bahwa pada pagi harinya tabut telah berada di tempat Talut, maka mereka beriman kepada kenabian Syam'un dan taat kepada Talut.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari As-Sauri, dari salah seorang di antara guru-gurunya, bahwa para malaikat datang membawa tabut itu yang dinaikkan di atas sebuah kereta yang ditarik oleh seekor lembu betina. Menurut pendapat yang lain, ditarik oleh dua ekor lembu betina.
Sedangkan yang lainnya menyebutkan bahwa tabut tersebut berada di Ariha; dan orang-orang musyrik ketika mengambilnya, mereka meletakkannya di tempat peribadatan mereka, yaitu di bawah berhala mereka yang paling besar. Akan tetapi, pada keesokan harinya tabut itu telah berada di atas kepala berhala mereka. Maka mereka menurunkannya dan meletakkannya kembali di bawah berhala itu, tetapi ternyata pada keesokan harinya terjadi hal yang sama. Maka mereka memakunya di bawah berhala mereka, tetapi yang terjadi ialah tiang-tiang penyangga berhala mereka runtuh dan ambruk jauh dari tempatnya.
Akhirnya mereka mengetahui bahwa hal tersebut terjadi karena perintah Allah yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Maka mereka mengeluarkan tabut itu dari negeri mereka dan meletakkannya di salah satu kampung, tetapi ternyata penduduk kampung itu terkena wabah penyakit pada leher mereka. Kemudian salah seorang wanita tawanan dari kalangan kaum Bani Israil menganjurkan kepada mereka agar mengembalikan tabut itu kepada kaum Bani Israil agar mereka terhindar dari penyakit itu.
Maka mereka memuatkan tabut itu di atas sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor lembu betina, lalu kedua lembu itu berjalan membawanya; tiada seorang pun yang mendekatinya melainkan pasti mati. Ketika kedua ekor lembu betina itu telah berada di dekat negeri kaum Bani Israil, kendali kedua ekor lembu itu patah dan keduanya kembali. Lalu datanglah kaum Bani Israil mengambilnya.
Menurut suatu pendapat, yang menerimanya adalah Nabi Daud a.s.; dan ketika Nabi Daud mendekati kedua lembu itu, ia merasa malu karena gembiranya dengan kedatangan tabut itu. Menurut pendapat yang lain, yang menerimanya adalah dua orang pemuda dari kalangan mereka.
Menurut pendapat yang lainnya, tabut itu berada di sebuah kampung di negeri Palestina yang dikenal dengan nama Azduh.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لَكُمْ}
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagi kalian. (Al-Baqarah: 248)
Yakni tanda yang membenarkan diriku terhadap apa yang aku sampaikan kepada kalian, yakni kenabianku; juga membenarkan apa yang aku perintahkan kepada kalian agar taat kepada Talut.
{إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
jika kalian orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 248)
Maksudnya, beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Al-Baqarah, ayat 249

{فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلا قَلِيلا مِنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (249) }
Maka tatkala Talut keluar membawa tentaranya, ia berkata, "Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kalian meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tidak meminumnya, kecuali mencedok secedok tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Talut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
Melalui ayat ini Allah menceritakan perihal Talut —Raja kaum Bani Israil— ketika keluar bersama bala tentaranya dan orang-orang yang taat kepadanya dari kalangan kaum Bani Israil. Menurut apa yang dikatakan oleh As-Saddi, jumlah mereka ada delapan puluh ribu orang tentara. Talut berkata kepada mereka yang disitir oleh firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُم [بِنَهَر] }
Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan suatu sungai, (Al-Baqarah: 249)
Yakni Allah akan menguji kesetiaan kalian dengan sebuah sungai. Menurut Ibnu Abbas, sungai tersebut terletak di antara negeri Yordania dan negeri Palestina, yaitu sebuah sungai yang dikenal dengan nama Syari'ah.
{فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي}
Maka siapa di antara kalian meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. (Al-Baqarah: 249)
Artinya, janganlah ia menemaniku sejak hari ini menuju ke arah ini.
{وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ}
Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali mencedok secedok tangan, maka ia adalah pengikutku. (Al-Baqarah: 249)
Yakni tidak mengapa baginya.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
{فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلا قَلِيلا مِنْهُمْ}
Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. (Al-Baqarah: 249)
Ibnu Juraij mengatakan, "Menurut Ibnu Abbas, barang siapa yang mencedok air dari sungai itu dengan secedok tangannya, maka ia akan kenyang; dan barang siapa yang meminumnya, maka ia tidak kenyang dan tetap dahaga."
Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi, dari Abu Malik,dari Ibnu Abbas; dikatakan pula oleh Qatadah dan Ibnu Syauzab.
As-Saddi mengatakan bahwa jumlah pasukan Talut terdiri atas delapan puluh ribu orang tentara. Yang meminum air sungai itu adalah tujuh puluh enam ribu orang, sehingga yang tersisa hanyalah empat ribu orang.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Israil dan Sufyan As-Sauri serta Mis'ar ibnu Kidam, dari Abu Ishaq As-Subai'i, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa kami menceritakan sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. yang ikut dalam Perang Badar adalah tiga ratus lebih belasan orang, sesuai dengan jumlah sahabat Talut yang ikut bersamanya menyeberangi sungai. Tiada yang menyeberangi sungai itu bersama Talut melainkan hanya orang yang mukmin.
Imam Bukhari telah meriwayatkan hal yang semisal dari Abdullah ibnu Raja, dari Israil ibnu Yunus, dari Abu Ishaq, dari kakeknya, dari Al-Barra.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ}
Maka tatkala Talut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." (Al-Baqarah: 249)
Yakni mereka mengundurkan dirinya, tidak mau menghadapi musuh karena jumlah musuh itu jauh lebih banyak. Maka para ulama dan orang-orang yang ahli perang membangkitkan semangat mereka, bahwa janji Allah itu benar, dan sesungguhnya kemenangan itu dari sisi Allah, bukan karena banyaknya bilangan, bukan pula karena perlengkapan senjata. Karena itulah disebutkan di dalam firman selanjutnya:
{كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ}
Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 249)

No comments

Tafsir Jalalain

Tafsir Ibnu Katsir

Back to top