002. Surat Al-Baqoroh Ayat 151 - 199 - Tafsir Ibnu Katsir - Muslim Notebook
Al-Baqarah, ayat 151-152
{كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ
وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا
تَعْلَمُونَ (151) فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ
(152) }
Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian
Rasul di antara kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan
menyucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian Al-Kitab dan hikmah, serta
mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat
(pula) kepada kalian; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian
mengingkari (nikmat-Ku).
Allah Swt. mengingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin akan nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, yaitu diutus-Nya seorang Rasul —yakni Nabi Muhammad Saw.— untuk membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah yang jelas; menyucikan serta membersihkan mereka dari akhlak-akhlak yang rendah, jiwa-jiwa yang kotor, dan perbuatan-perbuatan Jahiliah; mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, mengajarkan kepada mereka Al-Qur'an dan sunnah, serta mengajarkan kepada mereka banyak hal yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Di zaman Jahiliah mereka hidup dalam kebodohan yang menyesatkan. Akhirnya berkat barakah risalah Nabi Saw. dan misi yang diembannya, mereka menjadi orang-orang yang dikasihi oleh Allah, berwatak sebagai ulama, dan menjadi orang-orang yang berilmu paling mendalam, memiliki hati yang suci, paling sedikit bebannya, dan paling jujur ungkapannya.
Allah Swt. berfirman:
لَقَدْ
مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ
أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka. (Ali Imran: 164), hingga akhir ayat.
Allah Swt. mencela orang yang tidak menghargai nikmat ini. Untuk itu Allah
Swt. berfirman:
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ
دارَ الْبَوارِ
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? (Ibrahim: 28)
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan nikmat ini ialah nikmat yang berupa diutus-Nya Nabi Muhammad Saw. kepada mereka. Karena itulah maka Allah menyerukan kepada orang-orang mukmin agar mengakui nikmat ini dan membalasnya dengan banyak berzikir menyebut asma-Nya dan bersyukur kepada-Nya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku. (Al-Baqarah: 152)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di antara kalian. (Al-Baqarah: 151) Yakni sebagaimana Aku telah melimpahkan nikmat kepada kalian, maka ingatlah kalian kepada-Ku.
Abdullah ibnu Wahb meriwayatkan dari Hisyam ibnu Sa'id, dari Zaid ibnu Aslam, bahwa Nabi Musa pernah berkata, "Wahai Tuhan-ku, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu?" Tuhan berfirman kepadanya, "Ingatlah Aku dan jangan kamu lupakan Aku. Maka apabila kamu ingat kepada-Ku, berarti kamu telah bersyukur kepada-Ku. Apabila kamu lupa kepada-Ku, berarti kamu ingkar kepada-Ku."
Al-Hasan Al-Basri, Abul Aliyah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan
bahwa Allah Swt. selalu mengingat orang yang ingat kepada-Nya, memberikan
tambahan nikmat kepada orang yang bersyukur kepada-Nya, dan mengazab orang yang
ingkar terhadap-Nya.
Salah seorang ulama Salaf mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya:
اتَّقُوا
اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ
Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya. (Ali Imran: 102)
Bahwa makna yang dimaksud ialah hendaknya kita taat kepada-Nya dan tidak durhaka terhadap-Nya, selalu ingat kepada-Nya dan tidak melupakan-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak ingkar terhadap-Nya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah
menceritakan kepada kami Imarah As-Saidalani, telah menceritakan kepada kami
Makhul Al-Azdi yang mengatakan asar berikut, bahwa ia pernah bertanya kepada
Ibnu Umar, "Bagaimanakah menurutmu tentang orang yang membunuh jiwa, peminum
khamr, pencuri, dan pezina yang selalu ingat kepada Allah, sedangkan Allah Swt.
telah berfirman: 'Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat
(pula) kepada kalian ' (Al-Baqarah: 152)?" Ibnu Umar menjawab, "Apabila
Allah mengingat orang ini, maka Dia mengingatnya melalui laknat-Nya hingga dia
diam."
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian. (Al-Baqarah: 152) Makna yang dimaksud ialah: "Ingatlah kalian kepada-Ku dalam semua apa yang telah Kufardukan atas kalian, maka niscaya Aku akan mengingat kalian dalam semua apa yang Aku wajibkan bagi kalian atas diri-Ku".
Menurut Sa'id ibnu Jubair artinya: "Ingatlah kalian kepada-Ku dengan taat kepada-Ku, niscaya Aku selalu ingat kepada kalian dengan magfirah (ampunan)-Ku". Menurut riwayat yang lain disebutkan "dengan rahmat-Ku".
Dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian. (Al-Baqarah: 152) Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah 'ingat Allah kepada kalian jauh lebih banyak daripada ingat kalian kepada-Nya'.
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
"يَقُولُ
اللَّهُ تَعَالَى: مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ
ذَكَرَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ خَيْرٍ مِنْهُ".
Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang ingat kepada-Ku di dalam dirinya, niscaya Aku ingat (pula) kepadanya di dalam diri-Ku; dan barang siapa yang ingat kepada-Ku di dalam suatu golongan, niscaya Aku ingat (pula) kepadanya di dalam golongan yang lebih baik daripada golongannya."
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ
قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنْ ذَكَرْتَنِي فِي
نَفْسِكَ ذَكَرْتُكَ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرْتَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُكَ، فِي
مَلَأٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ -أَوْ قَالَ: [فِي] مَلَأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ -وَإِنْ
دَنَوْتَ مِنِّي شِبْرًا دَنَوْتُ مِنْكَ ذِرَاعًا، وَإِنْ دَنَوْتَ مِنِّي
ذِرَاعًا دَنَوْتُ مِنْكَ بَاعًا، وَإِنْ أَتَيْتَنِي تَمْشِي أَتَيْتُكَ
أُهَرْوِلُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Hai anak Adam, jika kamu ingat kepada-Ku di dalam dirimu, niscaya Aku ingat pula kepadamu di dalam diri-Ku. Dan jika kamu mengingat-Ku di dalam suatu golongan, niscaya Aku ingat pula kepadamu di dalam golongan dari kalangan para malaikat -atau beliau Saw. bersabda, 'Di dalam golongan yang lebih baik dari golonganmu'-. Dan jika kamu mendekat kepada-Ku satu jengkal, niscaya Aku mendekat kepadamu satu hasta. Dan jika kamu mendekat kepada-Ku satu hasta, niscaya Aku mendekat kepadamu satu depa. Dan jika kamu datang kepada-Ku jalan kaki, niscaya Aku datang kepadamu dengan berlari kecil.
Sanad hadis ini sahih, diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Qatadah yang di dalamnya disebutkan bahwa Qatadah mengatakan, "Makna yang dimaksud dari keseluruhannya ialah rahmat Allah lebih dekat kepadanya."
************
Firman Allah Swt.:
{وَاشْكُرُوا
لِي وَلا تَكْفُرُونِ}
Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku. (Al-Baqarah: 152)
Allah Swt. memerintahkan bersyukur dan menjanjikan pahala bersyukur berupa tambahan kebaikan dari-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ
عَذابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat)-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim: 7)
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْفُضَيْلِ
بْنِ فَضَالَةَ -رَجُلٍ مِنْ قَيْسٍ- حَدَّثَنَا
أَبُو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيُّ، قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ
وَعَلَيْهِ مطْرف مِنْ خَزٍّ لَمْ نَرَهُ عَلَيْهِ قَبْلَ ذَلِكَ وَلَا بَعْدَهُ،
فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ
أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ نِعْمَةً فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ
نِعْمَتِهِ عَلَى خَلْقِهِ". وَقَالَ رَوْحٌ مَرَّةً: "عَلَى
عَبْدِهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Fudail ibnu Fudalah (seorang lelaki dari kalangan Bani Qais), telah menceritakan kepada kami Abu Raja Al-Ataridi yang mengatakan bahwa Imran Ibnu Husain keluar menemui kami memakai jubah kain sutra campuran yang belum pernah kami lihat dia memakainya, baik sebelum itu ataupun sesudahnya. Lalu ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa dianugerahi suatu nikmat oleh Allah, maka sesungguhnya Allah menyukai bila melihat penampilan dari nikmat yang telah Dia berikan kepada makhluk-Nya. Dan adakalanya Rauh mengatakan 'kepada hamba-Nya".
Al-Baqarah, ayat 153-154
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ
مَعَ الصَّابِرِينَ (153) وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ (154) }
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah
sabar dan salat sebagai penolong kalian, sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar. Dan janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di
jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup,
tetapi kalian tidak menyadarinya.
Setelah Allah Swt. menerangkan perintah untuk bersyukur kepada-Nya, maka melalui ayat ini Dia menjelaskan perihal sabar dan hikmah yang terkandung di dalam masalah menjadikan sabar dan salat sebagai penolong serta pembimbing. Karena sesungguhnya seorang hamba itu adakalanya berada dalam kenikmatan, lalu ia mensyukurinya; atau berada dalam cobaan, lalu ia bersabar menanggungnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh sebuah hadis yang mengatakan:
"عَجَبًا
لِلْمُؤْمِنِ. لَا يَقْضِي اللَّهُ لَهُ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ: إِنْ
أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ، فَشَكَرَ، كَانَ خَيْرًا لَهُ؛ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ
فَصَبَرَ كَانَ خَيْرًا لَهُ".
Mengagumkan perihal orang mukmin itu. Tidak sekali-kali Allah menetapkan suatu ketetapan baginya, melainkan hal itu baik belaka baginya. Jika dia mendapat kesenangan, maka bersyukurlah dia yang hal ini adalah lebih baik baginya; dan jika tertimpa kesengsaraan, maka bersabarlah dia yang hal ini adalah lebih baik baginya.
Allah Swt. menjelaskan bahwa sarana yang paling baik untuk menanggung segala macam cobaan ialah dengan sikap sabar dan banyak salat, seperti yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّها لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى
الْخاشِعِينَ
Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Al-Baqarah: 45)
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَه أَمْرٌ
صَلَّى
Rasulullah Saw. apabila mendapat suatu cobaan, maka beliau mengerjakan salat.
Sabar itu ada dua macam, yaitu sabar dalam meninggalkan hal-hal yang
diharamkan dan dosa-dosa, serta sabar dalam mengerjakan ketaatan dan amal-amal
taqarrub. Jenis yang kedua inilah yang lebih utama, mengingat ia adalah tujuan
utama. Adapun jenis sabar lainnya yaitu sabar dalam menanggung berbagai macam
musibah dan cobaan, jenis ini pun hukumnya wajib; perihalnya sama dengan
istigfar (memohon ampun) dari segala macam cela.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa sabar itu ada dua macam,
yaitu: Sabar karena Allah dalam mengerjakan hal-hal yang disukai oleh Allah,
sekalipun berat terasa oleh jiwa dan raga; dan sabar karena Allah dalam
meninggalkan hal-hal yang dibenci oleh-Nya, sekalipun bertentangan dengan
kehendak hawa nafsu sendiri. Barang siapa yang demikian keadaannya, maka dia
termasuk orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang beroleh keselamatan. Insya
Allah.
Ali ibnul Husain Zainul Abidin mengatakan, apabila Allah menghimpun semua
manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, maka terdengarlah suara seruan,
"Di manakah orang-orang sabar? Hendaklah mereka masuk ke surga sebelum ada hisab
(tanpa hisab)!" Maka bangkitlah segolongan manusia, lalu mereka bersua dengan
para malaikat yang bertanya kepada mereka, "Hendak ke manakah kalian, hai anak
Adam?" Mereka menjawab, "Ke surga." Para malaikat bertanya, "Sebelum ada hisab?"
Mereka menjawab, "Ya." Para malaikat bertanya, "Siapakah kalian?" Mereka
menjawab, "Kami adalah orang-orang yang sabar." Para malaikat bertanya, "Apakah
sabar kalian?" Mereka menjawab, "Kami sabar dalam mengerjakan taat kepada Allah
dan sabar dalam meninggalkan maksiat terhadap Allah, hingga Allah mewafatkan
kami." Para malaikat berkata, "Kalian memang seperti apa yang kalian katakan,
sekarang masuklah kalian semua ke dalam surga, maka sebaik-baik pahala
orang-orang yang beramal adalah kalian."
Menurut kami, hal ini dapat dibuktikan dengan nas firman Allah Swt. yang
mengatakan:
إِنَّما
يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab (batas). (Az-Zumar: 10)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa sabar itu merupakan pengakuan seorang
hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya, dan ia jalani hal ini dengan penuh
ketabahan karena mengharapkan pahala yang ada di sisi-Nya. Adakalanya seorang
lelaki itu berkeluh kesah, tetapi dia tabah dan tiada yang kelihatan dari
dirinya melainkan hanya kesabaran semata.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ
أَحْيَاءٌ}
Dan janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu. hidup. (Al-Baqarah: 154)
Melalui ayat ini Allah Swt. memberitahukan bahwa orang-orang yang mati syahid
di alam barzakhnya dalam keadaan hidup, mereka diberi rezeki oleh Allah; seperti
yang disebutkan di dalam hadis sahih Muslim,
"إِنَّ
أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي حَوَاصِلِ طَيْرٍ خُضْرٍ تَسْرَحُ فِي الْجَنَّةِ
حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مُعَلَّقة تَحْتَ الْعَرْشِ،
فاطَّلع عَلَيْهِمْ رَبُّكَ اطِّلاعَة، فَقَالَ:
مَاذَا تَبْغُونَ؟ فَقَالُوا: يَا رَبَّنَا، وَأَيُّ شَيْءٍ نَبْغِي، وَقَدْ
أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ؟ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِمْ
بِمِثْلِ هَذَا، فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَا يُتْرَكُون مِنْ أَنْ يَسْأَلُوا،
قَالُوا: نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّنَا إِلَى الدَّارِ الدُّنْيَا، فَنُقَاتِلَ فِي
سَبِيلِكَ، حَتَّى نُقْتَلَ فِيكَ مَرَّةً أُخْرَى؛ لِمَا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ
الشَّهَادَةِ -فَيَقُولُ الرَّبُّ جَلَّ جَلَالُهُ: إِنِّي كتبتُ أنَّهم إِلَيْهَا
لَا يَرْجِعُونَ"
bahwa arwah para syuhada itu berada di dalam perut burung-burung hijau yang terbang di dalam surga ke mana saja yang mereka kehendaki. Kemudian burung-burung itu hinggap di lentera-lentera yang bergantung di bawah 'Arasy. Kemudian Tuhanmu menjenguk mereka, dalam sekali jengukan-Nya Dia berfirman, "Apakah yang kalian inginkan?" Mereka menjawab, "Wahai Tuhan kami, apa lagi yang kami inginkan, sedangkan Engkau telah memberi kami segala sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun di antara makhluk-Mu?" Kemudian Allah mengulangi hal itu terhadap mereka. Manakala mereka didesak terus dan tidak ada jalan lain kecuali mengemukakan permintaannya, akhirnya mereka berkata, "Kami menginginkan agar Engkau mengembalikan kami ke dalam kehidupan di dunia, lalu kami akan berperang lagi di jalan-Mu hingga kami gugur lagi karena membela Engkau," mengingat mereka telah merasakan pahala dari mati syahid yang tak terperikan itu. Maka Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku telah memastikan bahwa mereka tidak dapat kembali lagi ke dunia (sesudah mereka mati)."
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
عَنِ
الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ، عَنِ الْإِمَامِ مَالِكٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نَسَمَةُ الْمُؤْمِنِ طَائِرٌ
تَعْلَقُ فِي شَجَرِ الْجَنَّةِ، حَتَّى يُرْجِعَهُ اللَّهُ إِلَى جَسَدِهِ يَوْمَ
يَبْعَثُهُ"
dari Imam Syafii, dari Imam Malik, dari Az-Zuhri, dari Abdur Rahman ibnu Ka'b ib'nu Malik, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Roh orang mukmin itu merupakan burung yang hinggap di pepohonan surga, hingga Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari dia dibangkitkan.
Di dalam hadis ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa hal tersebut
menyangkut semua orang mukmin lainnya, hanya saja arwah para syuhada secara
khusus disebutkan di dalam Al-Qur'an sebagai penghormatan buat mereka dan
memuliakan serta mengagungkan derajat mereka.
Al-Baqarah, ayat 155-157
{وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ
مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ
عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
(157) }
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia pasti menimpakan cobaan kepada hamba-hamba-Nya, yakni melatih dan menguji mereka. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا
أَخْبارَكُمْ
Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui (supaya nyata) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwal kalian. (Muhammad: 31)
Adakalanya Allah Swt. mengujinya dengan kesenangan dan adakalanya mengujinya
dengan kesengsaraan berupa rasa takut dan rasa lapar, seperti yang disebutkan di
dalam firman-Nya:
فَأَذاقَهَا
اللَّهُ لِباسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ
Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan. (An-Nahl: 112)
Di dalam surat ini Allah Swt. berfirman:
{بِشَيْءٍ
مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ}
dengan sedikit ketakutan dan kelaparan. (Al-Baqarah: 155)
Yang dimaksud dengan sesuatu ialah sedikit.
Sedangkan firman-Nya:
{وَنَقْصٍ
مِنَ الأمْوَالِ}
dan kekurangan harta. (Al-Baqarah: 155)
Yakni lenyapnya sebagian harta.
{وَالأنْفُسِ}
dan kekurangan jiwa. (Al-Baqarah: 155)
Yaitu dengan meninggalnya teman-teman, kaum kerabat, dan kekasih-kekasih.
{وَالثَّمَرَاتِ}
dan kekurangan buah-buahan. (Al-Baqarah: 155)
Yakni kebun dan lahan pertanian tanamannya tidak menghasilkan buahnya
sebagaimana kebiasaannya (menurun produksinya). Sebagian ulama Salaf mengatakan
bahwa sebagian pohon kurma sering tidak berbuah; hal ini dan yang semisal
dengannya merupakan suatu cobaan yang ditimpakan oleh Allah Swt. kepada
hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang sabar, maka ia mendapat pahala; dan barang
siapa tidak sabar, maka azab-Nya akan menimpanya. Karena itulah, maka di
penghujung ayat ini disebutkan:
{وَبَشِّرِ
الصَّابِرِينَ}
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 155)
Salah seorang Mufassirin meriwayatkan bahwa makna yarg dimaksud dengan
al-khauf ialah takut kepada Allah, al-ju'u ialah puasa bulan
Ramadan, naqsul amwal ialah zakat harta benda, al-anfus ialah
berbagai macam sakit, dan samarat ialah anak-anak. Akan tetapi, pendapat
ini masih perlu dipertimbangkan.
Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang yang sabar yang mendapat pahala
dari Allah ialah mereka yang disebutkan di dalam firman berikut:
{الَّذِينَ
إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ}
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. (Al-Baqarah: 156)
Yakni mereka menghibur dirinya dengan mengucapkan kalimat tersebut manakala
mereka tertimpa musibah, dan mereka yakin bahwa diri mereka adalah milik Allah.
Dia memberlakukan terhadap hamba-hamba-Nya menurut apa yang Dia kehendaki.
Mereka meyakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala di sisi-Nya seberat
biji sawi pun kelak di hari kiamat. Maka ucapan ini menanamkan di dalam hati
mereka suatu pengakuan yang menyatakan bahwa diri mereka adalah hamba-hamba-Nya
dan mereka pasti akan kembali kepada-Nya di hari akhirat nanti. Karena itulah
maka Allah Swt. memberita-hukan tentang pahala yang akan diberikan-Nya kepada
mereka sebagai imbalan dari hal tersebut melalui firman-Nya:
{أُولَئِكَ
عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ}
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157)
Maksudnya, mendapat pujian dari Allah Swt. Sedangkan menurut Sa'id ibnu
Jubair, yang dimaksud ialah aman dari siksa Allah.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُهْتَدُونَ}
Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157)
Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan bahwa sebaik-baik
kedua jenis pahala ialah yang disebutkan di dalam firman-Nya: Mereka itulah
yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya.
(Al-Baqarah: 157) Kedua jenis pahala tersebut adalah berkah dan rahmat yang
sempurna. Dan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157) adalah pahala
tambahannya, yang ditambahkan kepada salah satu dari kedua sisi timbangan hingga
beratnya bertambah. Demikian pula keadaan mereka; mereka diberi pahala yang
setimpal berikut tambahannya.
Sehubungan dengan pahala membaca istirja' di saat tertimpa musibah,
banyak hadis-hadis yang menerangkannya. Yang dimaksud dengan istirja'
ialah ucapan Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kita adalah
milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kita semua dikembalikan).
Antara lain ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang mengatakan:
حَدَّثَنَا
يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ -يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ -عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرو، عَنِ
الْمُطَّلِبِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَتَانِي أَبُو سَلَمَةَ يَوْمًا مِنْ
عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَقَدْ
سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا سُررْتُ
بِهِ. قَالَ: "لَا يُصِيبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ
عِنْدَ مُصِيبَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أجُرني فِي مُصِيبَتِي واخلُف لِي
خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا فُعِل ذَلِكَ بِهِ". قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَحَفِظْتُ
ذَلِكَ مِنْهُ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ اسْتَرْجَعْتُ وَقُلْتُ:
اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخَلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهُ، ثُمَّ رَجَعْتُ
إِلَى نَفْسِي. فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ لِي خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ؟ فَلَمَّا
انْقَضَتْ عدَّتي اسْتَأْذَنَ عَلِيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -وَأَنَا أَدْبُغُ إِهَابًا لِي -فَغَسَلْتُ يَدِي مِنَ القَرَظ
وَأَذِنْتُ لَهُ، فَوَضَعْتُ لَهُ وِسَادَةَ أَدَمٍ حَشْوُها لِيفٌ، فَقَعَدَ
عَلَيْهَا، فَخَطَبَنِي إِلَى نَفْسِي، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ مَقَالَتِهِ قُلْتُ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا بِي أَلَّا يَكُونَ بِكَ الرَّغْبَةُ، وَلَكِنِّي
امْرَأَةٌ، فِيَّ غَيْرة شَدِيدَةٌ، فَأَخَافَ أَنْ تَرَى مِنِّي شَيْئًا
يُعَذِّبُنِي اللَّهُ بِهِ، وَأَنَا امْرَأَةٌ قَدْ دخلتُ فِي السِّنِّ، وَأَنَا
ذَاتُ عِيَالٍ، فَقَالَ: "أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذهبها
اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ عَنْكِ. وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّن فَقَدْ
أَصَابَنِي مثلُ الذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ
فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي". قَالَتْ: فَقَدْ سلَّمْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَتَزَوَّجَهَا رسول الله صلى الله عليه وسلم،
فقالت أُمُّ سَلَمَةَ بَعْدُ: أَبْدَلَنِي اللَّهُ بِأَبِي سَلَمَةَ خَيْرًا
مِنْهُ، رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'd), dari Yazid ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnul Had, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa pada suatu hari Abu Salamah datang kepadanya sepulang dari Rasulullah Saw. Lalu Abu Salamah berkata, "Aku telah mendengar langsung dari Rasulullah Saw. suatu ucapan yang membuat hatiku gembira karenanya." Beliau Saw. telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia membaca istirja' ketika musibah menimpanya, kemudian mengucapkan, "Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah buatku yang lebih baik daripadanya," melainkan diberlakukan kepadanya apa yang dimintanya itu. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku hafal doa tersebut darinya. Ketika Abu Salamah meninggal dunia, maka aku ber-istirja'' dan kuucapkan pula, 'Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan berilah daku ganti yang lebih baik daripada dia.' Kemudian aku berkata kepada diriku sendiri, 'Dari manakah aku mendapatkan suami yang lebih baik daripada Abu Salamah?' Tatkala masa idahku habis, Rasulullah Saw. meminta izin untuk menemuiku; ketika itu aku sedang menyamak selembar kulit milikku. Maka aku mencuci kedua tanganku dari cairan qaraz (bahan penyamak), dan aku izinkan beliau Saw. masuk, lalu aku letakkan sebuah bantal kulit yang berisikan sabut, kemudian Rasulullah Saw. duduk di atasnya dan mulailah beliau Saw. melamarku. Setelah Rasulullah Saw. selesai dari ucapannya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak menyangka kalau engkau mempunyai hasrat kepada diriku, sedangkan diriku ini adalah seorang wanita yang sangat pencemburu, maka aku merasa khawatir bila kelak engkau akan melihat dari diriku sesuatu hal yang menyebabkan Allah akan mengazabku karenanya. Aku juga seorang wanita yang sudah berumur serta mempunyai banyak tanggungan anak-anak.' Maka Rasulullah Saw. bersabda, 'Adapun mengenai cemburu yang kamu sebutkan, mudah-mudahan Allah Swt. akan melenyapkannya dari dirimu. Dan mengenai usia yang telah kamu sebutkan, sesungguhnya aku pun mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami (berusia lanjut). Dan mengenai anak-anak yang kamu sebutkan tadi, sesungguhnya anak-anak tanggunganmu itu nanti akan menjadi tanggunganku pula'." Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku memasrahkan diriku kepada Rasulullah Saw." Kemudian Rasulullah Saw. mengawininya. Sesudah itu Ummu Salamah mengatakan, "Allah Swt. telah menggantikan Abu Salamah dengan orang yang lebih baik daripada dirinya, yaitu Rasulullah Saw."
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ummu Salamah. Ia mengatakan bahwa
ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"مَا
مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ: {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ} اللَّهُمَّ أجُرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها، إلا آجَرَهُ اللَّهُ
مِنْ مُصِيبَتِهِ، وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا" قَالَتْ: فَلَمَّا تُوُفي
أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِي خَيْرًا مِنْهُ: رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Tidak sekali-kali seorang hamba tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepada-Nyalah dikembalikan). Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah kepadaku yang lebih baik daripadanya," melainkan Allah akan memberinya pahala dalam musibahnya itu dan menggantikan kepadanya apa yang lebih baik daripadanya. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku mengucapkan doa seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. itu. Maka Allah memberikan gantinya kepadaku dengan yang lebih baik daripada Abu Salamah, yaitu Rasulullah Saw. sendiri."
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، وعَبَّاد بْنُ عَبَّادٍ قَالَا
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي هِشَامٍ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ
أُمِّهِ، عَنْ فَاطِمَةَ ابْنَةِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا الْحُسَيْنِ بْنِ
عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ
مُسْلِمٍ وَلَا مُسَلَمَةَ يُصَابُ بِمُصِيبَةٍ فَيَذْكُرُهَا وَإِنْ طَالَ
عَهْدُهَا -وَقَالَ عَبَّادٌ: قَدُمَ عَهْدُهَا -فَيُحْدِثُ لِذَلِكَ
اسْتِرْجَاعًا، إِلَّا جَدَّدَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ ذَلِكَ فَأَعْطَاهُ مِثْلَ
أَجْرِهَا يَوْمَ أُصِيبَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid dan Abbad ibnu Abbad. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami ibnu Abu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki atau perempuan muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia mengingatnya, sekalipun waktunya telah berlalu —Abbad mengatakan, "Sekalipun waktunya telah silam"—, kemudian ingatannya itu menggerakkannya untuk membaca istirja', melainkan Allah memperbarui untuknya saat itu dan memberikan kepadanya pahala yang semisal dengan pahala ketika di hari ia tertimpa musibah.
Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah di dalam kitab sunannya,
dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Waki', dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya,
dari Fatimah bintil Husain, dari ayah-nya. Ismail ibnu Ulayyah dan Yazid ibnu
Harun telah meriwayatkan pula hadis yang sama, dari Hisyam ibnu Ziad, dari
ibunya, dari Fatimah, dari ayahnya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ السَّالَحِينِيُّ،
أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ قَالَ: دفنتُ ابْنًا لِي،
فَإِنِّي لَفِي الْقَبْرِ إِذْ أَخَذَ بِيَدِي أَبُو طَلْحَةَ -يَعْنِي
الْخَوْلَانِيُّ -فَأَخْرَجَنِي، وَقَالَ لِي: أَلَا أُبَشِّرُكَ؟ قُلْتُ: بَلَى.
قَالَ: حَدَّثَنِي الضَّحَّاكُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عرْزَب، عَنْ أَبِي
مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ
اللَّهُ :يَا مَلَكَ الْمَوْتِ، قبضتَ وَلَدَ عَبْدِي؟ قَبَضْتَ قُرَّة عَيْنِهِ
وَثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ: فَمَا قَالَ؟ قَالَ: حَمِدَك
وَاسْتَرْجَعَ، قَالَ: ابْنُو لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ، وسمُّوه بيتَ
الْحَمْدِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq As-Sailahini, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Samalah, dari Abu Sinan yang menceritakan, "Aku baru menguburkan salah seorang anakku yang meninggal dunia. Ketika aku masih berada di pekuburan, tiba-tiba tanganku dipegang oleh Abu Talhah Al-Aulani, lalu ia mengeluarkan aku dari pekuburan itu dan berkata kepadaku, 'Maukah engkau aku sampaikan berita gembira kepadamu?' Aku menjawab, 'Tentu saja mau'." Abu Talhah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Ad-Dahhak ibnu Abdur Rahman ibnu Auzab, dari Abu Musa yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah berfirman, "Hai malaikat maut, engkau telah mencabut anak hamba-Ku, engkau telah mencabut nyawa penyejuk mata dan buah hatinya!" Malaikat maut menjawab, "Ya." Allah Swt. bertanya, "Lalu apa yang dikatakannya?" Malaikat maut menjawab, "Dia memuji dan ber-istirja' kepada-Mu." Allah Swt. berfirman, "Bangunkanlah buatnya sebuah gedung di dalam surga dan namailah gedung itu dengan sebutan Baitul Hamdi (rumah pujian)."
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ali ibnu Ishaq, dari Abdullah
ibnul Mubarak, lalu ia mengetengahkannya. Hal yang sama telah diriwayatkan pula
oleh Imam Turmuzi, dari Suwaid ibnu Nasr, dari Ibnul Mubarrak. Imam Turmuzi
mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Nama asli Abu Sinan ialah Isa
ibnu Sinan.
Al-Baqarah, ayat 158
{إِنَّ
الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ
اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ (158) }
Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Bailullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْهَاشِمِيُّ،
أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ: أَرَأَيْتِ قَوْلَ الله تَعَالَى: {إِنَّ الصَّفَا
وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا
جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا} قُلْتُ: فَوَاللَّهِ مَا عَلَى أَحَدٍ
جُنَاحٌ أَنْ لَا يطَّوف بِهِمَا؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: بِئْسَمَا قُلْتَ يَا ابْنَ
أُخْتِي إِنَّهَا لَوْ كَانَتْ عَلَى مَا أوّلتَها عليه كانت: فلا جناح
عليه أَلَّا
يَطَّوَفَ بِهِمَا، وَلَكِنَّهَا إِنَّمَا أُنْزِلَتْ أَنَّ الْأَنْصَارَ كَانُوا
قَبْلَ أَنْ يُسْلِمُوا كَانُوا يُهِلّون لِمَنَاةَ الطَّاغِيَةِ، التِي كَانُوا
يَعْبُدُونَهَا عِنْدَ المُشلَّل. وَكَانَ مَنْ أهلَّ لَهَا يَتَحَرَّجُ أَنْ
يطوَّف بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَسَأَلُوا عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا
نَتَحَرَّجُ أَنْ نطَّوف بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَأَنْزَلَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ}
إِلَى قَوْلِهِ: {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا} قَالَتْ
عَائِشَةُ: ثُمَّ قَدْ سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الطَّوَافَ بِهِمَا، فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَدع الطَّوَافَ
بِهِمَا.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Sa'd, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah. Urwah menceritakan bahwa Siti Aisyah pernah berkata kepadanya, bagaimanakah pendapatmu mengenai makna firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. (Al-Baqarah: 158) Aku menjawab, "Demi Allah, tidak ada dosa bagi seseorang bila dia tidak melakukan tawaf di antara keduanya." Siti Aisyah berkata, "Alangkah buruknya apa yang kamu katakan itu, hai anak saudara perempuanku. Sesungguhnya bila makna ayat ini seperti apa yang engkau takwilkan, maka maknanya menjadi 'Tidak ada dosa bagi seseorang bila tidak tawaf di antara keduanya'. Akan tetapi, ayat ini diturunkan hanyalah karena orang-orang Ansar di masa lalu sebelum mereka masuk Islam, mereka selalu ber-ihlal untuk berhala Manat sesembahan mereka yang ada di Musyallal (tempat yang terletak di antara Safa dan Marwah), dan orang-orang yang pernah melakukan ihlal untuk berhala Manat merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah. Lalu mereka menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah karena masa Jahiliah kami. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya '(Al-Baqarah: 158). Siti Aisyah r.a. berkata, "Kemudian Rasulullah Saw. menetapkan (mewajibkan) sa'i antara keduanya, maka tiada alasan bagi seseorang untuk tidak melakukan sa'i di antara keduanya."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab
Sahihain.
Di dalam sebuah riwayat dari Az-Zuhri disebutkan, ia mengatakan bahwa ia
menceritakan hadis ini kepada Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu
Hisyam. Maka Abu Bakar ibnu Abdur Rahman menjawab, "Sesungguhnya pengetahuan
mengenai ini belum pernah kudengar, dan sesungguhnya aku pernah mendengar dari
banyak lelaki dari kalangan ahlul 'ilmi. Mereka mengatakan, 'Sesungguhnya
orang-orang —kecuali yang disebutkan oleh Siti Aisyah— mengatakan bahwa tawaf di
antara kedua batu ini (Safa dan Marwah) termasuk perbuatan Jahiliah.'
Orang-orang lain dari kalangan Ansar mengatakan, 'Sesungguhnya kami hanya
diperintahkan melakukan tawaf di Baitullah dan tidak diperintahkan untuk tawaf
antara Safa dan Marwah.' Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 'Sesungguhnya
Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah ' (Al-Baqarah: 158). Abu
Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Barangkali ayat ini diturunkan berkenaan
dengan mereka (sebagian ahlul ilmi) dan mereka (kalangan orang-orang Ansar) yang
lainnya."
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadis Malik, dari Hisyam ibnu Urwah,
dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang lafaznya semisal dengan hadis di atas.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ سُليمان قَالَ:
سَأَلْتُ أَنَسًا عَنِ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَ: كُنَّا نَرَى ذَلِكَ مِنْ
أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ الْإِسْلَامُ أَمْسَكْنَا عَنْهُمَا،
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ
اللَّهِ}
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Asim ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah, bertanya kepada Anas r.a. tentang masalah Safa dan Marwah. Maka Anas r.a. menjawab, "Pada mulanya kami menganggap termasuk perkara Jahiliah. Ketika Islam datang, maka kami berhenti melakukan tawaf di antara keduanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah bagian dari syiar Allah.' (Al-Baqarah: 158)
Imam Qurtubi menyebutkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas r.a. yang
mengatakan bahwa setan-setan menyebar di antara Safa dan Marwah di sepanjang
malam, di antara keduanya banyak terdapat berhala-berhala. Ketika Islam datang,
mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang melakukan sa'i di antara
keduanya, maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 158).
Asy-Sya'bi mengatakan, "Dahulu berhala Isaf berada di atas Safa, dan
berhala Nailah berada di atas Marwah; mereka selalu mengusap keduanya.
Akhirnya mereka merasa berdosa sesudah masuk Islam untuk melakukan tawaf di
antara keduanya. Maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 158).
Menurut kami, Muhammad ibnu Ishaq menyebutkan di dalam kitab Sirah-nya
bahwa berhala Isaf dan Nailah pada mulanya adalah dua orang
manusia (laki-laki dan perempuan), lalu keduanya berzina di dalam Ka'bah, maka
keduanya dikutuk menjadi batu. Kemudian orang-orang Quraisy memancangkan
keduanya di dekat Ka'bah untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi orang lain.
Ketika masa berlalu cukup lama, keduanya disembah, kemudian letaknya dipindahkan
ke Safa dan Marwah, lalu keduanya dipancangkan di tempat tersebut. Setiap orang
yang melakukan tawaf (sa'i) di antara Safa dan Marwah selalu mengusap keduanya.
Karena itu, Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu kasidahnya yang
terkenal:
وَحَيْثُ
يُنِيخُ الْأَشْعَرُونَ رِكَابَهُمْ ...
بِمَفْضَى السِّيُولُ مِنْ إِسَافِ وَنَائِلِ ...
Di tempat orang-orang yang ziarah menambatkan unta-unta kendaraan mereka, mereka benar-benar bagaikan air bah turun dari Isaf dan Nailah.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Jabir yang cukup panjang, bahwa ketika Rasulullah Saw. selesai dari tawafnya di Baitullah, maka beliau kembali ke rukun, lalu mengusapnya, kemudian keluar dari pintu Safa seraya membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. (Al-Baqarah: 158)
Kemudian beliau Saw. bersabda:
"أَبْدَأُ
بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"
Aku memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah (yakni dari Safa ke Marwah).
Di dalam riwayat Imam Nasai disebutkan:
"ابدؤوا
بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"
Mulailah oleh kalian dengan apa yang dimulai oleh Allah!
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا شُرَيْحٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
الْمُؤَمَّلِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ،
عَنْ حَبِيبة بِنْتِ أَبِي تَجْرَاةَ قَالَتْ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوفُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَالنَّاسُ
بَيْنَ يَدَيْهِ، وَهُوَ وَرَاءَهُمْ، وَهُوَ يَسْعَى حَتَّى أَرَى رُكْبَتَيْهِ
مِنْ شِدَّةِ السَّعْيِ يَدُورُ بِهِ إِزَارُهُ، وَهُوَ يَقُولُ: "اسعَوا، فَإِنَّ
اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abdullah Muammal, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Safiyyah binti Syaibah, dari Habibah binti Abu Tajrah yang menceritakan: Aku melihat Rasulullah Saw. sa'i antara Safa dan Marwah, sedangkan orang-orang berada di bagian depannya dan beliau di belakang mereka seraya bersa'i, hingga aku melihat kedua lutut-nya, karena sa'inya yang kencang hingga kain sarungnya berputar seraya mengatakan, "Bersa'ilah kalian, karena sesungguhnya Allah telah memfardukan sa'i atas kalian."
ثُمَّ
رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ
وَاصِلٍ -مَوْلَى أَبِي عُيَينة -عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ (4) عَنْ صَفِيَّةَ
بِنْتِ شَيْبَةَ، أَنَّ امْرَأَةً أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا سَمِعَتِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ يَقُولُ: "كُتِبَ
عَلَيْكُمُ السَّعْيُ، فَاسْعَوْا"
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Abdur Razzaq yang mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Wasil maula Abu Uyaynah, dari Musa
ibnu Ubaidah, dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa ada seorang wanita menceritakan
kepadanya; dia pernah mendengar Nabi Saw. di antara Safa dan Marwah menyerukan:
Telah difardukan atas kalian sa'i. Karena ilu, bersa'ilah kalian!
Hadis ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa sa'i antara Safa
dan Marwah merupakan salah satu dari rukun ibadah haji, seperti yang dikatakan
oleh mazhab Syafii dan para pengikutnya, dan menurut salah satu riwayat dari
Imam Ahmad yang merupakan pendapat yang terkenal dari Imam Malik.
Menurut suatu pendapat, sa'i bukan rukun haji, tetapi hukumnya wajib. Karena
itu, barang siapa yang meninggalkannya —baik dengan sengaja atau lupa— ia dapat
menggantinya dengan menyembelih kurban. Pendapat ini merupakan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad dan dijadikan pegangan oleh segolongan ulama.
Menurut pendapat yang lain, sa'i hukumnya sunat. Hal ini dikatakan oleh Imam
Abu Hanifah, As'-Sauri, Asy-Sya'bi, dan Ibnu Sirin yang bersumberkan dari
riwayat Anas, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas; juga diriwayatkan oleh Imam Malik di
dalam kitab Al-Utabiyyah. Menurut Imam Qurtubi, alasan mereka mengatakannya
sunat berdasarkan firman-Nya: Dan barang siapa yang mengerjakan suatu
kebajikan dengan kerelaan hati. (Al-Baqarah: 158)
Akan tetapi, pendapat yang pertama lebih kuat karena Rasulullah Saw.
melakukan sa'i antara keduanya seraya mengucapkan:
"لِتَأْخُذُوا
عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ"
Hendaklah kalian mengambil dariku manasik-manasik kalian.
Semua yang dilakukan oleh Nabi Saw. dalam hajinya itu hukumnya wajib dan
harus dikerjakan dalam ibadah haji, kecuali hal-hal yang dikecualikan
berdasarkan dalil.
Dalam keterangan terdahulu telah disebutkan sabda Nabi Saw. yang
mengatakan:
«اسْعَوْا
فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ»
Bersa'ilah kalian! Karena sesungguhnya Allah telah memfardukan sa'i atas
kalian.
Allah Swt. telah menjelaskan bahwa sa'i antara Safa dan Marwah termasuk salah
satu syiar Allah, yakni salah satu syiar yang disyariatkan oleh Allah Swt.
kepada Nabi Ibrahim a.s. dalam manasik haji. Telah dijelaskan pula dalam hadis
Ibnu Abbas bahwa asal mula hal tersebut diambil dari tawaf Siti Hajar, ia pulang
pergi antara Safa dan Marwah dalam rangka mencari air untuk putranya ketika
persediaan air dan bekal mereka habis setelah mereka ditinggalkan oleh Nabi
Ibrahim a.s. di tempat tersebut. Sedangkan di tempat itu tidak ada seorang
manusia pun selain mereka berdua.
Ketika Siti Hajar merasa khawatir terhadap kelangsungan hidup putranya di
tempat itu karena perbekalannya telah habis, maka Siti Hajar meminta pertolongan
kepada Allah Swt. Ia mondar-mandir antara Safa dan Marwah seraya merendahkan
diri, penuh dengan rasa takut kepada Allah dan sangat mengharapkan
pertolongan-Nya, hingga Allah membebaskannya dari kesusahannya itu, dan mengusir
rasa keterasingannya, melenyapkan kesengsaraannya, serta menganugerahkan
kepadanya zamzam yang airnya merupakan makanan yang mengenyangkan dan obat
penawar bagi segala penyakit.
Karena itu, orang yang melakukan sa'i di antara Safa dan Marwah hendaknya
melakukannya dengan hati yang penuh harap kepada Allah, rendah diri dan memohon
petunjuk serta perbaikan keadaannya, dan mengharapkan ampunan-Nya. Hendaknya dia
berlindung kepada Allah Swt. agar dibebaskan dari semua kekurangan dan aib yang
ada pada dirinya, dan memohon hidayah-Nya akan jalan yang lurus. Hendaknya dia
memohon kepada Allah agar hatinya ditetapkan pada hidayah itu (Islam) hingga
akhir hayatnya. Hendaknya ia memohon kepada Allah agar Dia mengalihkan keadaan
dirinya yang penuh dengan dosa dan kedurhakaan kepada keadaan yang sempurna,
ampunan, keteguhan hati dalam menempuh jalan yang lurus, seperti apa yang
dialami oleh Siti Hajar a.s.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
تَطَوَّعَ خَيْرًا}
Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan
hati. (Al-Baqarah: 158)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah melakukan sa'i lebih dari
yang telah diwajibkan, misalnya delapan kali putaran atau sembilan kali
putaran.
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah melakukan sa'i di antara
Safa dan Marwah dalam haji tatawwu' (sunat) dan 'umrah tatawwu'.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, makna yang dimaksud ialah melakukan
tambahan kebaikan dalam semua jenis ibadah. Semuanya diriwayatkan oleh Ar-Razi,
dan pendapat yang ketiga dikaitkan dengan Al-Hasan Al-Basri.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ
اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ}
Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.
(Al-Baqarah: 158)
Yakni Allah memberi pahala kepada amal yang sedikit dan amal yang banyak
tanpa pandang bulu, lagi Maha Mengetahui kadar pahala yang diberikan-Nya; maka
tiada seorang pun dirugikan dalam menerima pahala dari-Nya. Seperti yang
disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
ولا
يَظْلِمُ مِثْقالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضاعِفْها وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ
أَجْراً عَظِيماً
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang, walaupun sebesar zarrah;
dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (An-Nisa: 40)
Al-Baqarah, ayat 159-162
{إِنَّ
الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ
مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ
وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ (159) إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا
فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (160) إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ
اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (161) خَالِدِينَ فِيهَا لَا
يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلا هُمْ يُنْظَرُونَ (162) }
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan
apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan
petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu
dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati,
kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan
(kebenaran); maka terhadap mereka itulah Aku menerima tobat-nya dan Akulah Yang
Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam
keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia
seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari
mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.
Ancaman yang keras buat orang yang menyembunyikan apa yang telah disampaikan
oleh rasul-rasul berupa keterangan-keterangan yang jelas yang bertujuan benar
serta petunjuk yang bermanfaat bagi had manusia, sesudah dijelaskan oleh Allah
Swt. kepada hamba-hamba-Nya melalui kitab-kitab yang diturunkan kepada
rasul-rasul-Nya.
Abul Aliyah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang
Ahli Kitab. Mereka menyembunyikan sifat Nabi Muhammad Saw. Kemudian Allah Swt.
memberitahukan bahwa segala sesuatu melaknat perbuatan mereka itu; sebagaimana
halnya orang yang alim, segala sesuatu memohonkan ampun baginya, hingga
ikan-ikan yang ada di air dan burung-burung yang ada di udara. Sikap mereka
(Ahli Kitab) bertentangan dengan sikap ulama. Karena itu, mereka dilaknat oleh
Allah, dan segala sesuatu ikut melaknat mereka.
Telah disebutkan di dalam hadis musnad melalui berbagai jalur yang satu sama
lainnya saling memperkuat predikat hadis, dari Abu Hurairah dan lain-lainnya
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ
سُئِل عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ، أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ
نَارٍ"
Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya,
niscaya dia akan disumbat kelak di hari kiamat dengan tali kendali dari api
neraka.
Di dalam kitab sahih dari Abu Hurairah disebutkan bahwa ia pernah mengatakan,
"Seandainya tidak ada suatu ayat dalam Kilabullah, niscaya aku tidak akan
menceritakan apa pun kepada orang lain." Yang dimaksud ialah firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan
berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk. (Al-Baqarah: 159),
hingga akhir ayat.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنَا عَمَّارُ
بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ لَيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ، عَنِ
الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ زَاذَانَ أَبِي عُمَر عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ
عَازِبٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
جِنَازَةٍ، فَقَالَ: "إِنَّ الْكَافِرَ يُضْرَبُ ضَرْبَةً بَيْنَ عَيْنَيْهِ،
فَيَسْمَعُ كُلُّ دَابَّةٍ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ، فَتَلْعَنُهُ كُلُّ دَابَّةٍ
سَمِعَتْ صَوْتَهُ، فَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ
اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ} يَعْنِي: دَوَابُّ الْأَرْضِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Arafah, telah menceritakan kepada kami Ammar ibnu Muhammad, dari Lais ibnu Abu
Sulaim, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Zazan Abu Umar, dari Al-Barra ibnu Azib
yang menceritakan: Bahwa kami pernah bersama Nabi Saw. menghadiri suatu jenazah,
maka beliau Saw. bersabda, "Sesungguhnya orang kafir akan dipukul sekali
pukul di antara kedua matanya; semua makhluk hidup mendengar (jeritan)nya selain
manusia dan jin, maka semua hewan yang mendengar suaranya melaknatnya.
Yang demikian itu adalah firman Allah Swt., 'Mereka itu dilaknati Allah
dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati!'
(Al-Baqarah: 159), yakni semua hewan bumi."
Ibnu Majah meriwayatkan pula hadis ini dari Muhammad ibnus Sabah, dari Amir
ibnu Muhammad dengan lafaz yang sama. Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa semua
hewan, jin, dan manusia turut melaknatinya.
Mujahid mengatakan bahwa apabila bumi kekeringan (paceklik), maka semua hewan
mengatakan, "Ini akibat orang-orang yang durhaka dari Bani Adam, semoga Allah
melaknat orang-orang durhaka dari Bani Adam."
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan
takwil firman-Nya: Dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat
melaknati. (Al-Baqarah: 159) Yakni mereka dilaknati oleh para malaikat dan
orang-orang mukmin.
Telah disebutkan di dalam sebuah hadis bahwa orang yang alim itu dimintakan
ampunan baginya oleh segala sesuatu sehingga ikan-ikan yang ada di laut
memintakan ampunan buatnya.
Di dalam ayat ini (Al-Baqarah ayat 159) disebutkan bahwa orang yang
menyembunyikan ilmu akan dilaknat oleh Allah, para malaikat, seluruh manusia,
dan semua makhluk yang dapat melaknati. Mereka adalah semua makhluk yang dapat
berbicara dan yang tidak dapat bicara, baik dengan lisan ataupun dengan
perbuatan, jika makhluk itu termasuk yang berakal pada hari kiamat.
Kemudian Allah Swt. mengecualikan dari mereka orang-orang yang bertobat
kepada-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِلا
الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا}
Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan
menerangkan (kebenaran). (Al-Baqarah: 160)
Yaitu mereka kembali sadar dari apa yang sebelumnya mereka lakukan dan mau
memperbaiki amal perbuatannya serta menjelaskan kepada orang-orang semua apa
yang sebelumnya mereka sembunyikan.
{فَأُولَئِكَ
أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}
Maka terhadap mereka itulah Aku menerima tobatnya dan Aku-lah Yang Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 160)
Di dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa orang yang menyeru kepada
kekufuran atau bid'ah, apabila ia bertobat kepada Allah, niscaya Allah menerima
tobatnya. Sesungguhnya telah disebutkan bahwa umat-umat terdahulu yang melakukan
perbuatan seperti itu, tobat mereka tidak diterima, karena sesungguhnya hal ini
merupakan kekhususan bagi syariat Nabi pembawa tobat, yaitu Nabi pembawa rahmat;
semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepadanya.
Kemudian Allah Swt. menceritakan keadaan orang yang kafir dan tetap pada
kekafirannya hingga ia mati, melalui firman-Nya:
{عَلَيْهِمْ
لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ * خَالِدِينَ
فِيهَا}
Mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya.
Mereka kekal di dalam laknat itu. (Al-Baqarah: 161-162)
Maksudnya, laknat terus mengikuti mereka sampai hari kiamat, kemudian laknat
membarenginya di dalam neraka Jahannam yang tidak diringankan siksa dari mereka
di dalamnya. Dengan kata lain, siksaan yang menimpa mereka tidak dikurangi,
tidak pula mereka diberi tangguh; yakni tidak ada perubahan barang sesaat pun,
tidak pula ada henti-hentinya, bahkan siksaan terus-menerus berlangsung terhadap
dirinya. Semoga Allah melindungi kita dari siksaan tersebut.
Abul Aliyah dan Qatadah mengatakan, sesungguhnya orang kafir itu akan
dihentikan di hari kiamat, lalu Allah melaknatnya, kemudian para malaikat
melaknatnya pula, setelah itu manusia seluruhnya melaknatnya.
Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah boleh
melaknat orang-orang kafir. Sesungguhnya dahulu Khalifah Umar ibnul Khattab r.a.
serta para imam sesudahnya melak-nati orang-orang kafir dalam doa qunut mereka
dan doa lainnya.
Mengenai orang kafir tertentu, ada segolongan ulama yang berpendapat tidak
boleh melaknatinya, dengan alasan bahwa kita belum mengetahui khatimah apakah
yang dikehendaki oleh Allah buatnya. Sebagian di antara ulama memperbolehkan
demikian dengan berdalilkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang kafir dan
mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para
malaikat, dan manusia seluruhnya. (Al-Baqarah: 161)
Segolongan ulama lainnya berpendapat, bahkan boleh melaknati orang kafir yang
tertentu. Pendapat ini dipilih oleh Al-Faqih Abu Bakar ibnul Arabi Al-Maliki,
tetapi dalil yang dijadikan pegangannya adalah sebuah hadis yang di dalamnya
mengandung ke-daif-an. Sedangkan selain Abu Bakar ibnul Arabi berdalilkan sabda
Rasulullah Saw. dalam kisah seorang lelaki pemabuk yang dihadapkan kepadanya,
lalu beliau menjatuhkan hukuman hati terhadapnya. Kemudian ada seorang lelaki
(lain) yang mengatakan, "Semoga Allah melaknatinya, alangkah besar dosa yang
dilakukannya." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"لَا
تَلْعَنْهُ فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ"
Janganlah engkau melaknatinya, karena sesungguhnya dia mencintai Allah dan
Rasul-Nya.
Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak mencintai Allah dan
Rasul-Nya boleh dilaknati.
Al-Baqarah, ayat 163
{وَإِلَهُكُمْ
إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ (163)
}
Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa:
tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.
Melalui ayat ini Allah Swt. menceritakan bahwa diri-Nya adalah Tuhan Yang
Maha Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, tiada yang sama dengan-Nya. Dia adalah
Allah Yang Maha Esa yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, yang tiada Tuhan
yang wajib disembah kecuali hanya Dia, dan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Tafsir kedua asma ini telah dikemukakan dalam
permulaaan tafsir surat Al-Fatihah.
Di dalam sebuah hadis:
عَنْ
شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يزيد بْنِ السَّكَنِ، عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "اسْمُ اللَّهِ
الْأَعْظَمُ فِي هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ: {وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ
إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ} وَ {الم * اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ
الْحَيُّ الْقَيُّومُ}
dari Syahr ibnu Hausyab, dari Asma binti Yazid ibnus Sakan, dari Rasulullah
Saw., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Nama Allah Yang
Mahaagung terdapat di dalam dua ayat berikut," yakni firman-Nya: Dan
Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 163). Alif Lam Mim. Allah,
tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi senantiasa berdiri
sendiri. (Ali Imran: 1-2)
Kemudian Allah Swt. menyebutkan sifat-Nya Yang Maha Esa melalui penciptaan
langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya semua makhluk yang
diciptakan dan diadakan-Nya, yang semuanya menunjukkan akan keesaan-Nya. Untuk
itu Allah Swt. berfirman:
Al-Baqarah, ayat 164
{إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزلَ
اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا
وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ
الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164)
}
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa
apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa
air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan
kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi yang
kita lihat sekarang ketinggiannya, keindahannya, keluasannya, bintang-bintangnya
yang beredar, yang tetap, serta perputaran falak (kosmik)nya; dan bumi ini yang
dengan kepadatannya, lembah-lembahnya, gunung-gunungnya, lautannya, padang
saharanya, hutan belantaranya, dan keramaiannya serta segala sesuatu yang ada
padanya berupa berbagai macam manfaat; pergantian malam dan siang hari; datang,
lalu pergi, kemudian digantikan dengan yang lainnya secara silih berganti tanpa
ada keterlambatan barang sedikit pun, seperti yang disebutkan oleh
firman-Nya:
{لَا
الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ
النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ}
Tidaklah mungkin matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat
mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yasin:
40)
Adakalanya yang ini panjang dan yang itu pendek, dan adakalanya yang ini
mengambil sebagian waktu dari yang itu. Demikianlah set-rusnya secara
bergantian, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{يُولِجُ
اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ}
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam
malam. (Al Hajj: 61, Luqman: 29, Fathir: 13, Al-Hadid: 6)
Dengan kata lain, menambahkan yang ini dari yang itu dan menambahkan yang itu
dari yang ini.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَالْفُلْكِ
الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ}
Bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia.
(Al-Baqarah: 164)
Yakni Allah menundukkan laut agar dapat membawa berlayar perahu-perahu dari
satu pantai ke pantai yang lain untuk keperluan penghidupan manusia dan dapat
dimanfaatkan oleh para penduduk yang berada di kawasan tersebut, sebagai jalur
transportasi untuk mengangkut keperluan-keperluan dari suatu pantai ke pantai
yang lainnya secara timbal balik.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا
أَنزلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الأَرْضَ بَعْدَ
مَوْتِهَا}
dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu
Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya. (Al-Baqarah: 164)
Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
وَآيَةٌ
لَهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْناها وَأَخْرَجْنا مِنْها حَبًّا فَمِنْهُ
يَأْكُلُونَ- إلى قوله- وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang
mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka
darinya mereka makan —sampai dengan firman-Nya, "Maupun dari apa yang
tidak mereka ketahui"— (Yasin: 33-36).
*********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَبَثَّ
فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ}
dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. (Al-Baqarah: 164)
dengan berbagai macam bentuk, warna, kegunaan, kecil, dan besar-nya. Dia Maha
Mengetahui semuanya itu dan Dia memberinya rezeki, tiada sesuatu pun yang samar
bagi-Nya dari hal itu, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
وَما
مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُها وَيَعْلَمُ
مُسْتَقَرَّها وَمُسْتَوْدَعَها كُلٌّ فِي كِتابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).
(Hud: 6)
***********
Firman Allah Swt.:
{وَتَصْرِيفِ
الرِّيَاحِ}
dan pengisaran angin. (Al-Baqarah: 164)
Yakni adakalanya datang membawa rahmat, dan adakalanya datang membawa
bencana. Adakalanya angin datang membawa tanda yang menggembirakan, yaitu awan
yang mengandung hujan; adakalanya angin menggiringnya dan menghimpunkannya; dan
adakalanya mencerai-beraikannya, lalu mengusirnya. Kemudian adakalanya ia datang
dari arah selatan yang dikenal dengan angin syamiyah, adakalanya datang
dari arah negeri Yaman, dan adakalanya bertiup dari arah timur yang menerpa
bagian muka Ka'bah, kemudian adakalanya ia bertiup dari arah barat yang menerpa
dari arah bagian belakang Ka'bah. Memang ada sebagian orang yang menulis tentang
angin, hujan, dan bintang-bintang ke dalam banyak karya tulis, yang
pembahasannya memerlukan keterangan yang panjang bila dikemukakan di sini.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَالسَّحَابِ
الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ}
dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. (Al-Baqarah:
164)
Yakni bergerak antara langit dan bumi, ditundukkan menuju tempat-tempat yang
dikehendaki oleh Allah dan dipalingkan menurut apa yang dikehendaki-Nya.
***********
Firman Allah Swt.:
{لآيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ}
sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan. (Al-Baqarah: 164)
Yakni dalam kesemuanya itu benar-benar terdapat tanda-tanda yang jelas
menunjukkan keesaan Allah Swt. dan kebesaran kekuasaan-Nya. Seperti yang
disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ
لأولِي الألْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا
خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ}
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali Imran:
190-191)
وَقَالَ
الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويه: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الدَّشْتَكِيّ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي الْمُغِيرَةِ،
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: أَتَتْ قُرَيْشٌ
مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا مُحَمَّدُ إِنَّمَا
نُرِيدُ أَنْ تَدْعُوَ رَبَّكَ أَنْ يَجْعَلَ لَنَا الصَّفَا ذَهَبًا، فَنَشْتَرِيَ
بِهِ الْخَيْلَ وَالسِّلَاحَ، فَنُؤْمِنَ بِكَ وَنُقَاتِلَ مَعَكَ. قَالَ:
"أَوْثِقُوا لِي لئِنْ دعوتُ رَبِّي فجعلَ لَكُمُ الصَّفَا ذَهَبًا لتُؤْمنُنّ بِي"
فَأَوْثَقُوا لَهُ، فَدَعَا رَبَّهُ، فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: إِنَّ رَبَّكَ
قَدْ أَعْطَاهُمُ الصَّفَا ذَهَبًا عَلَى أَنَّهُمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِكَ
عَذَّبَهُمْ عَذَابًا لَمْ يُعَذِّبْهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ. قَالَ
مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "رَبِّ لَا بَلْ دَعْنِي وَقَوْمِي
فَلَأَدْعُهُمْ يَوْمًا بِيَوْمٍ". فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ: {إِنَّ فِي
خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ
الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ} الآية.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Sa'id
Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakek, dari Asy'as ibnu
Ishaq, dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
yang menceritakan hadis berikut: Orang-orang Quraisy datang kepada Nabi Saw.,
lalu mereka berkata, "Hai Muhammad, sesungguhnya kami menginginkan kamu
mendoakan kepada Tuhanmu agar Dia menjadikan Bukit Safa ini emas buat kami.
Untuk itu maka kami akan membeli kuda dan senjata dengannya, dan kami akan
beriman kepadamu serta berperang bersamamu." Nabi Saw. menjawab, "Berjanjilah
kalian kepadaku, bahwa sekiranya aku berdoa kepada Tuhanku, kemudian Dia
menjadikan bagi kalian Bukit Safa emas, kalian benar-benar akan beriman
kepadaku." Maka mereka mengadakan perjanjian dengan Nabi Saw. untuk hal
tersebut. Lalu Nabi Saw. berdoa kepada Tuhannya, dan datanglah Malaikat Jibril
kepadanya, lalu berkata, "Sesungguhnya Tuhanmu sanggup menjadikan Bukit Safa
emas buat mereka, dengan syarat jika mereka tidak juga beriman kepadamu, maka
Allah mengazab mereka dengan siksaan yang belum pernah Dia timpakan kepada
seorang pun di antara makhluk-Nya.” Nabi Muhammad Saw. berkata, "Wahai
Tuhanku, tidak, lebih baik biarkanlah aku dan kaumku. Aku akan tetap menyeru
mereka dari hari ke hari.” Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya,
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia.”
(Al-Baqarah: 164), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula dari jalur lain melalui Ja'far ibnu Abul
Mugirah dengan lafaz yang sama. Ia menambahkan di akhirnya:
وَكَيْفَ
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الصَّفَا وَهُمْ يَرَوْنَ مِنَ الْآيَاتِ مَا هُوَ أَعْظَمُ
مِنَ الصَّفَا.
(Malaikat Jibril berkata), "Mengapa mereka meminta kepadamu Bukit Safa (agar
dijadikan emas), padahal mereka melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang lebih
besar daripada Bukit Safa itu?"
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl,
dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata yang menceritakan bahwa diturunkan ayat berikut
kepada Nabi Saw. ketika di Madinah, yaitu firman-Nya: Dan Tuhan kalian adalah
Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. (Al-Baqarah: 163) Maka orang-orang kafir Quraisy di Mekah
berkata, "Bagaimanakah dapat memenuhi manusia semuanya hanya dengan satu Tuhan?"
Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia —sampai dengan firman-Nya— sungguh
(terdapat) tanda-tanda (kebesaran dan keesaan Allah) bagi kaum yang
memikirkan. (Al-Baqarah: 164)
Dengan demikian, maka mereka mengetahui bahwa Tuhan adalah Yang Maha Esa, dan
Dia adalah Tuhan segala sesuatu serta Yang Menciptakan segala sesuatu.
Waki' ibnul Jarrah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari
ayahnya, dari Abud Duha, bahwa ketika firman-Nya berikut diturunkan: Dan
Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. (Al-Baqarah: 163), hingga akhir
ayat. Maka orang-orang musyrik berkata, "Sekiranya demikian, hendaklah dia (Nabi
Saw.) mendatangkan kepada kami suatu tanda (bukti)." Lalu Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang —sampai dengan firman-Nya— kaum yang memikirkan.
(Al-Baqarah: 164)
Adam ibnu Iyas meriwayatkan pula dari Abu Ja'far (yakni Ar-Razi), dari Sa'id
ibnu Masruq (orang tua Sufyan), dari Abud Duha dengan lafaz yang sama.
Al-Baqarah, ayat 165-167
{وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ
اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ
ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ (165) إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ
الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأسْبَابُ (166)
وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ
كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ
عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ (167) }
Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal). (Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala
hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang
mengikuti, "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas
diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan
sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.
Allah menyebutkan keadaan kaum musyrik dalam kehidupan di dunia dan apa yang
bakal mereka peroleh di negeri akhirat, disebabkan mereka menjadikan
tandingan-tandingan dan saingan-saingan serta sekutu-sekutu yang mereka sembah
bersama Allah, dan mereka mencintai tandingan-tandingan itu sebagaimana mereka
mencintai Allah. Padahal kenyataannya Allah adalah Tuhan yang tiada yang wajib
disembah selain Dia. Tiada lawan, tiada tandingan, dan tiada sekutu
bagi-Nya.
Di dalam hadis Sahihain disebutkan dari Abdullah ibnu Mas'ud yang
menceritakan hadis berikut:
قُلْتُ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ
نِدًّا وَهُوَ خلَقَك"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?" Rasulullah
Saw. menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dialah
yang menciptakan kamu."
***********
Firman Allah Swt.:
{وَالَّذِينَ
آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ}
Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.
(Al-Baqarah: 165)
Demikian itu karena mereka cinta kepada Allah, makrifat kepada-Nya,
mengagungkan-Nya, serta mengesakan-Nya; dan mereka sama sekali tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melainkan hanya menyembah-Nya semata dan
bertawakal kepada-Nya serta kembali kepada-Nya dalam semua urusan mereka.
Kemudian Allah Swt. mengancam orang-orang yang mempersekutukan diri-Nya, yang
berbuat aniaya terhadap diri mereka sendiri. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَلَوْ
يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ
جَمِيعًا}
Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika
mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah
semuanya. (Al-Baqarah: 165)
Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa makna ayat ini ialah, "Seandainya mereka
melihat dengan mata kepala mereka sendiri siksaan tersebut, niscaya mereka
mengetahui saat itu bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya."Dengan kata
lain, hanya Dia sematalah yang berhak menghukumi, tiada sekutu baginya; dan
bahwa segala sesuatu itu berada di bawah keperkasaan-Nya, kekuatan-Nya, dan
kekuasaan-Nya. dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya. (Al-Baqarah:
165)
Seperti yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
{فَيَوْمَئِذٍ
لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ * وَلا يُوثِقُ وَثَاقَهُ
أَحَدٌ}
Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya dan
tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya. (Al-Fajr: 25-26)
Allah berfirman, "Seandainya mereka mengetahui apa yang bakal mereka alami di
akhirat nanti dan mengetahui apa yang bakal menimpa mereka, yaitu siksaan yang
mengerikan lagi sangat besar karena perbuatan syirik dan keingkaran mereka,
niscaya mereka akan bertobat dari kesesatannya."
Kemudian Allah Swt. memberitahukan perihal protes berhala-berhala sesembahan
mereka terhadap diri mereka dan orang-orang yang diikuti berlepas diri dari
perbuatan yang dilakukan oleh para pengikutnya. Untuk itu Allah Swt.
berfirman:
{إِذْ
تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا}
(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas diri dari orang-orang
yang mengikutinya. (Al-Baqarah: 166)
Yakni para malaikat yang mereka jadikan sebagai sesembahan mereka ketika di
dunia berlepas diri dari perbuatan mereka, dan para malaikat mengatakan seperti
yang disebutkan oleh firman-Nya:
{تَبَرَّأْنَا
إِلَيْكَ مَا كَانُوا إِيَّانَا يَعْبُدُونَ}
Kami menyatakan berlepas diri (dari mereka) kepada Engkau, mereka
sekali-kali tidak menyembah kami. (Al-Qashash: 63)
Mereka mengatakan pula seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
سُبْحانَكَ
أَنْتَ وَلِيُّنا مِنْ دُونِهِمْ بَلْ كانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُمْ
بِهِمْ مُؤْمِنُونَ
Malaikat-malaikat itu menjawab, "Mahasuci Engkau, Engkaulah pelindung
kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman
kepada jin itu." (Saba': 41)
Jin pun berlepas diri dari perbuatan mereka serta memprotes penyembahan
orang-orang musyrik terhadap diri mereka, seperti yang disebutkan di dalam
firman-Nya:
وَمَنْ
أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلى
يَوْمِ الْقِيامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعائِهِمْ غافِلُونَ. وَإِذا حُشِرَ النَّاسُ
كانُوا لَهُمْ أَعْداءً وَكانُوا بِعِبادَتِهِمْ كافِرِينَ
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah
sembahan-sembdhan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai
hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila mereka
dihimpunkan (pada hari kiamat), niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh
mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka. (Al-Ahqaf: 5-6)
وَاتَّخَذُوا
مِنْ دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لِيَكُونُوا لَهُمْ عِزًّا. كَلَّا سَيَكْفُرُونَ
بِعِبادَتِهِمْ وَيَكُونُونَ عَلَيْهِمْ ضِدًّا
Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar
sembahan-sembahan itu menjadi pelindung mereka, sekali-kali tidak. Kelak mereka
(sembahan-sembahan) itu akan mengingkari penyembahan (pengikut-pengikutnya)
terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi musuh bagi
mereka. (Maryam: 81-82)
Nabi Ibrahim Al-Khalil pernah berkata kepada kaumnya yang disitir oleh
firman-Nya:
إِنَّمَا
اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثاناً مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَياةِ
الدُّنْيا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ
بَعْضُكُمْ بَعْضاً وَمَأْواكُمُ النَّارُ وَما لَكُمْ مِنْ
ناصِرِينَ
Sesungguhnya berhala-berhala yang kalian sembah selain Allah adalah untuk
menciptakan perasaan kasih sayang di antara kalian dalam kehidupan dunia ini,
kemudian di hari kiamat sebagian kalian mengingkari sebagian (yang lain) dan
sebagian kalian melaknati sebagian (yang lain); dan tempat kembali kalian ialah
neraka, dan sekali-kali tak ada bagi kalian para penolong pun. (Al-'Ankabut
25)
Dan Allah Swt. telah berfirman:
{وَلَوْ
تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ مَوْقُوفُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ يَرْجِعُ بَعْضُهُمْ إِلَى
بَعْضٍ الْقَوْلَ يَقُولُ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لَوْلا
أَنْتُمْ لَكُنَّا مُؤْمِنِينَ * قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لِلَّذِينَ
اسْتُضْعِفُوا أَنَحْنُ صَدَدْنَاكُمْ عَنِ الْهُدَى بَعْدَ إِذْ جَاءَكُمْ بَلْ
كُنْتُمْ مُجْرِمِينَ * وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا
بَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَنْ نَكْفُرَ بِاللَّهِ
وَنَجْعَلَ لَهُ أَنْدَادًا وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ
وَجَعَلْنَا الأغْلالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ يُجْزَوْنَ إِلا مَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang zalim itu
dihadapkan kepada Tuhannya, sebagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada
sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang
yang menyombongkan diri, "Kalau tidaklah karena kalian, tentulah kami menjadi
orang-orang yang beriman." Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada
orang-orang yang dianggap lemah, "Kamikah yang telah menghalangi kalian dari
petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepada kalian? (Tidak), sebenarnya kalian
sendirilah orang-orang yang berdosa." Dan orang-orang yang dianggap lemah
berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, "(Tidak), sebenarnya tipu
daya (kalian) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kalian
menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menja-dikan sekutu-sekutu
bagi-Nya." Kedua belah pihak menyatakan penyesalan talkala mereka melihat azab.
Dan Kami pasang belenggu-belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak
dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Saba': 31-33)
وَقالَ
الشَّيْطانُ لَمَّا قُضِيَ الْأَمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ
وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَما كانَ لِي عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطانٍ إِلَّا
أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي فَلا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ
مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَما أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِما
أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذابٌ
أَلِيمٌ
Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan,
"Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar; dan aku
pun telah menjanjikan kepada kalian, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak
ada kekuasaan bagiku terhadap kalian melainkan (sekadar) aku menyeru kalian,
lalu kalian mematuhi seruanku. Oleh sebab itu, janganlah kalian mencerca aku,
tetapi cercalah diri kalian sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolong
kalian, dan kalian pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku
tidak membenarkan perbuatan kalian mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak
dahulu." Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang
pedih. (Ibrahim: 22)
*************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَرَأَوُا
الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأسْبَابُ}
dan mereka melihat siksa dan (ketika) segala hubungan antara mereka
terputus sama sekali. (Al-Baqarah: 166)
Yakni mereka melihat azab Allah dan terputuslah semua jalan untuk selamat,
serta mereka tidak menjumpai suatu jalan keluar pun yang dapat menghindarkan dan
memalingkan mereka dari neraka.
Ata meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan maksud firman-Nya: Dan
(ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (Al-Baqarah:
166) Yang dimaksud dengan asbab ialah hubungan intim dan kasih sayang.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid di dalam riwayat yang diketengahkan
oleh Ibnu Abu Nujaih.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَقَالَ
الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا
تَبَرَّءُوا مِنَّا}
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, "Seandainya kami dapat kembali
(ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka
berlepas diri dari kami." (Al-Baqarah: 167)
Yakni seandainya kami dapat kembali lagi ke kehidupan di dunia, pastilah kami
akan berlepas diri dari mereka dan tidak akan menyembah mereka dan kami tidak
akan menoleh mereka barang sedikit pun, melainkan kami akan mengesakan Allah
dengan menyembah-Nya semata. Akan tetapi, sebenamya mereka berdusta dalam
pengakuannya itu; dan bahkan seandainya mereka dikembalikan lagi ke dunia,
niscaya mereka akan kembali melakukan hal-hal yang dilarang mereka melakukannya,
karena sesungguhnya mereka itu benar-benar berdusta, seperti yang diberitakan
oleh Allah Swt. tentang kedustaan mereka dalam hal ini. Karena itulah dalam
firman selanjutnya disebutkan:
{كَذَلِكَ
يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ}
Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi
sesalan bagi mereka. (Al-Baqarah: 167)
Yakni amalan mereka lenyap dan hilang, Sebagaimana yang diungkapkan Allah
dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
وَقَدِمْنا
إِلى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْناهُ هَباءً مَنْثُوراً
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal
itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (Al-Furqan: 23)
مَثَلُ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمالُهُمْ كَرَمادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ
فِي يَوْمٍ عاصِفٍ
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah
seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin
kencang. (Ibrahim: 18), hingga akhir ayat.
وَالَّذِينَ
كَفَرُوا أَعْمالُهُمْ كَسَرابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ
ماءً
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga. (An-Nur:
39), hingga akhir ayat.
Karena itulah maka dalam akhir ayat disebutkan:
{وَمَا
هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ}
Dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (Al-Baqarah:
167)
Al-Baqarah, ayat 168-169
{يَا
أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (168) إِنَّمَا
يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا
تَعْلَمُونَ (169) }
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti
langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata
bagi kalian. Sesungguhnya setan itu hanya
menyuruh kalian berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang
tidak kalian ketahui.
Setelah Allah Swt. menjelaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia dan bahwa
hanya Dialah yang menciptakan segalanya, maka Allah Swt. menjelaskan bahwa
Dialah yang memberi rezeki semua makhluk-Nya. Untuk itu Allah Swt. menyebutkan
sebagai pemberi karunia kepada mereka, bahwa Dia memperbolehkan mereka makan
dari semua apa yang ada di bumi, yaitu yang dihalalkan bagi mereka lagi baik dan
tidak membahayakan tubuh serta akal mereka, sebagai karunia dari Allah Swt.
Allah melarang mereka mengikuti langkah-langkah setan, yakni jalan-jalan dan
sepak terjang yang digunakan untuk menyesatkan para pengikutnya, seperti
mengharamkan bahirah (hewan unta bahirah), saibah (hewan unta
saibah), wasilah (hewan unta wasilah), dan lain sebagainya yang dihiaskan
oleh setan terhadap mereka dalam masa Jahiliah. Sebagaimana yang disebutkan di
dalam hadis Iyad ibnu Hammad yang terdapat di dalam kitab Sahih Muslim, dari
Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يَقُولُ
اللَّهُ تَعَالَى: إِنَّ كُلَّ مَا أمنحُه عِبَادِي فَهُوَ لَهُمْ حَلَالٌ"
وَفِيهِ: "وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفاء فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ
فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ، وحَرَّمتْ عَلَيْهِمْ مَا أحللتُ لَهُمْ"
Allah berfirman, "Sesungguhnya semua harta yang telah Kuberikan kepada
hamba-hamba-Ku adalah halal bagi mereka." Selanjutnya disebutkan, "Dan
sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan cenderung kepada agama
yang hak, maka datanglah setan kepada mereka, lalu setan menyesatkan mereka dari
agamanya dan mengharamkan atas mereka apa-apa yang telah Kuhalalkan bagi
mereka."
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ شَيْبَةَ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا
الْحُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الِاحْتِيَاطِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ
اللَّهِ الْجُوزَجَانِيُّ -رَفِيقُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَدْهَمَ -حَدَّثَنَا ابْنُ
جُرَيج، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُليت هَذِهِ الْآيَةُ عِنْدَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا
مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلالا طَيِّبًا} فَقَامَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ،
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مُسْتَجَابَ
الدَّعْوَةِ، فَقَالَ. "يَا سَعْدُ، أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ
الدَّعْوَةِ، وَالذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الرَّجُلَ ليَقْذفُ
اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفه مَا يُتَقبَّل مِنْهُ أَرْبَعِينَ يَوْمًا،
وَأَيُّمَا عَبْدٍ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْت وَالرِّبَا فَالنَّارُ أَوْلَى
بِهِ"
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa ibnu
Syaibah Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Abdur Rahman
Al-Ihtiyati, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Jauzajani (teman
karib Ibrahim ibnu Adam), telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ata,
dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Aku membacakan ayat ini di
hadapan Nabi Saw., "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi" (Al-Baqarah: 168). Maka berdirilah Sa'd ibnu Abu
Waqqas, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sudilah kiranya engkau doakan kepada
Allah semoga Dia menjadikan diriku orang yang diperkenankan doanya." Maka
Rasulullah Saw. menjawab, "Hai Sa'd, makanlah yang halal, niscaya doamu
diperkenankan. Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ini berada di dalam genggaman
kekuasaan-Nya, sesungguhnya seorang lelaki yang memasukkan sesuap makanan haram
ke dalam perutnya benar-benar tidak diperkenankan doa darinya selama empat puluh
hari. Dan barang siapa di antara hamba Allah dagingnya tumbuh dari makanan yang
haram dan hasil riba, maka neraka adalah lebih layak baginya."
**************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّهُ
لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ}
Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.
(Al-Baqarah: 168)
Di dalam ayat ini terkandung makna yang menanamkan antipati terhadap setan
dan sikap waspada terhadapnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat lain,
yaitu firman-Nya:
إِنَّ
الشَّيْطانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّما يَدْعُوا حِزْبَهُ
لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحابِ السَّعِيرِ
Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kalian. Maka anggaplah ia musuh
(kalian), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya
mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (Fathir: 6)
أَفَتَتَّخِذُونَهُ
وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ
لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا
Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin
selain dari-Ku, sedangkan mereka adalah musuh kalian? Amat buruklah iblis itu
sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. (Al-Kahfi: 50)
Qatadah dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: dan
janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. (Al-Baqarah: 168) Setiap
perbuatan durhaka kepada Allah, maka perbuatan itu langkah (jalan) setan.
Ikrimah mengatakan, yang dimaksud dengan langkah-langkah setan ialah
bisikan-bisikannya.
Mujahid mengatakan bahwa langkah-langkah setan ialah dosa-dosanya atau
kesalahan-kesalahannya.
Menurut Abu Mijlaz, yang dimaksud dengan langkah-langkah setan ialah bernazar
dalam maksiat. Asy-Sya'bi mengatakan, "Ada seorang lelaki bernazar akan
menyembelih anak laki-lakinya, lalu Masruq memberikan fatwa kepadanya agar dia
menyembelih seekor domba sebagai penggantinya dan ia mengatakan bahwa hal
seperti itu termasuk langkah-langkah setan."
Abud Duha meriwayatkan sebuah asar dari Masruq, bahwa disuguhkan kepada
Abdullah ibnu Mas'ud bubur susu dan garam, lalu ia makan, tetapi ternyata ada
seorang lelaki dari kaum yang hadir menjauhkan dirinya. Maka Ibnu Mas'ud
berkata, "Berikanlah bagian kepada teman kalian itu." Lelaki itu menjawab, "Aku
tidak menginginkannya." Ibnu Mas'ud bertanya, "Apakah kamu sedang puasa?" Lelaki
itu menjawab, "Tidak." Ibnu Mas'ud bertanya, "Lalu mengapa kamu tidak mau makan
bersama?" Lelaki itu menjawab, "Aku telah mengharamkan diriku makan bubur susu
untuk selama-lamanya." Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Ini adalah termasuk
langkah-langkah setan, makanlah dan bayarlah kifarat untuk sumpahmu itu!"
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Dan Ibnu Abu Hatim mengatakan
pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami
Hassan ibnu Abdullah Al-Masri, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Rafi' yang
menceritakan, "Pada suatu hari ibuku marah-marah kepada istriku, lalu ibuku
berkata bahwa istriku adalah wanita Yahudi, dan di lain kali ia mengatakan bahwa
istriku adalah wanita Nasrani. Dia mengatakan pula bahwa semua budak miliknya
akan dimerdekakan jika aku tidak menceraikan istriku. Maka aku datang kepada
Abdullah ibnu Umar meminta fatwa kepadanya, dan ia mengatakan, 'Ini merupakan
salah satu dari langkah-langkah setan'."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Zainab binti Ummu Salamah yang saat itu
merupakan wanita paling alim dalam masalah fiqih di kota Madinah. Aku datang
kepada Asim dan Ibnu Umar, keduanya mengatakan hal yang semisal.
Abdu ibnu Humaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, dari
Syarik, dari Abdul Karim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
sumpah atau nazar apa pun yang di-lakukan dalam keadaan emosi merupakan salah
satu dari langkah-langkah setan, dan kifaratnya sama dengan kifarat sumpah.
************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّمَا
يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا
تَعْلَمُونَ}
Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat dan keji, dan
mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah:
169)
Yakni sesungguhnya setan musuh kalian hanya memerintahkan kalian kepada
perbuatan-perbuatan yang jahat dan perbuatan-perbuatan yang berdosa besar,
seperti zina dan lain-lainnya; dan yang paling parah di antaranya ialah
mengatakan terhadap Allah hal-hal yang tanpa didasari pengetahuan, dan termasuk
ke dalam golongan terakhir ini setiap orang kafir, juga setiap pembuat
bid'ah.
Al-Baqarah, ayat 170-171
{وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا
أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا
وَلا يَهْتَدُونَ (170) وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ
بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا
يَعْقِلُونَ (171) }
Dan apabila dikatakan kepada mereka,
"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab, "(Tidak), tetapi
kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami." "Apakah (mereka akan mengikuti juga)
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak
mendapat petunjuk?" Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir
adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain
panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu)
mereka tidak mengerti.
Allah Swt. berfirman, "Apabila dikatakan kepada orang-orang kafir yang
musyrik itu, 'Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dan
tinggalkanlah kesesatan dan kebodohan yang kalian lakukan itu!' Mereka menjawab
pertanyaan tersebut, 'Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati
dari nenek moyang kami'," yakni menyembah berhala dan tandingan-tandingan Allah.
Maka Allah membantah mereka melalui firman-Nya: Apakah (mereka mengikuti
juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak
mendapat petunjuk? (Al-Baqarah: 170) Artinya, apakah mereka tetap akan
mengikuti jejak nenek moyang-nya, sekalipun nenek moyang mereka tidak mengerti
apa pun dan tidak pula mendapat hidayah?
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau
Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
segolongan orang-orang Yahudi yang diajak oleh Rasulullah Saw. untuk memeluk
Islam, lalu mereka menjawab bahwa mereka hanya mau pengikuti apa yang mereka
dapati nenek moyang mereka melakukannya. Lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini.
Allah membuat suatu perumpamaan perihal mereka, seperti yang disebutkan di dalam
firman-Nya:
لِلَّذِينَ
لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ
Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat
yang buruk. (An-Nahl: 60)
**********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَمَثَلُ
الَّذِينَ كَفَرُوا}
Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir. (Al-Baqarah:
171), hingga akhir ayat.
Yakni menyeru mereka yang tenggelam di dalam kesesatan, kezaliman, dan
kebodohannya sama dengan menyeru hewan gembalaan yang tidak memahami apa yang
diserukan kepada mereka. Bahkan apabila diserukan kepada mereka suatu seruan
oleh penggembalanya untuk membimbingnya, maka mereka tidak memahami apa yang
dikatakannya selain hanya suaranya saja yang didengar, tanpa memahami
maksudnya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah,
Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ata, Al-Khur-rasani, dan Ar-Rabi' ibnu
Anas.
Menurut suatu pendapat, hal ini merupakan suatu perumpamaan yang dibuatkan
terhadap mereka sehubungan seruan mereka kepada berhala-berhala sesembahan
mereka yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak memahami apa pun. Pendapat
ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Tetapi pendapat pertama adalah pendapat yang lebih
utama, mengingat berhala-berhala itu memang tidak mendengar apa pun, tidak
memahami dan tidak melihatnya, tidak bergerak dan tidak hidup.
*********
Firman Allah Swt.:
{صُمٌّ
بُكْمٌ عُمْيٌ}
Mereka tuli, bisu, dan buta. (Al-Baqarah: 171)
Yakni tuli tidak dapat mendengar perkara yang baik, bisu tidak mau
mengutarakannya, dan buta tidak dapat melihat jalan yang hak.
{فَهُمْ
لَا يَعْقِلُونَ}
Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (Al-Baqarah: 171)
Yakni mereka sama sekali tidak dapat memahami apa pun dan tidak dapat
mengerti. Perihal mereka sama dengan apa yang disebutkan oleh ayat lain, yaitu
firman-Nya:
{وَالَّذِينَ
كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ مَنْ يَشَأِ اللَّهُ
يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, bisu, dan
berada dalam gelap gulita. Barang siapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya),
niscaya disesatkan-Nya. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah (untuk
diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang
lurus. (Al-An'am: 39)
Al-Baqarah, ayat 172-173
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا
لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172) إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (173) }
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di
antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah
kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya saja kalian menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya),
sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Allah Swt. berfirman memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk
memakan dari rezeki yang baik yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan
hendaknya mereka bersyukur kepada Allah Swt. atas hal tersebut, jika mereka
benar-benar mengaku sebagai hamba-hamba-Nya.
Makan dari rezeki yang halal merupakan penyebab bagi terkabulnya doa dan
ibadah, sedangkan makan dari rezeki yang haram dapat menghambat terkabulnya doa
dan ibadah. Seperti yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad:
حَدَّثَنَا
أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الفُضَيل بْنُ مَرْزُوقٍ، عَنْ عدَيِّ بْنِ ثَابِتٍ،
عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هريرة قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّهَا النَّاسُ،
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيَّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ
الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} [الْمُؤْمِنُونَ: 51] وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يطيلُ
السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يمدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا
رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وغُذي
بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ".
telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami
Al-Fudail ibnu Marzuq, dari Addi ibnu Sabit, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah
r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hai manusia,
sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik. Dan
sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sama dengan apa
yang diperintahkan-Nya kepada para rasul, maka Allah berfirman, "Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang
saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan"
(Al-Muminun: 51). Dan Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian"
(Al-Baqarah: 172). Kemudian Nabi Saw. menyebutkan perihal seorang lelaki yang
lama dalam perjalanannya dengan rambut yang awut-awutan penuh debu, lalu ia
menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, "Wahai Tuhanku, wahai
Tuhanku." Sedangkan makanannya dari yang haram, minumnya dari yang haram,
pakaiannya dari yang haram, dan disuapi dari yang haram, mana mungkin doanya
dikabulkan dengan cara demikian?
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dan
Imam Turmuzi melalui hadis Fudail ibnu Marzuq.
Setelah Allah menganugerahkan kepada mereka rezeki-Nya dan memberi mereka
petunjuk agar makan dari rezeki yang halal, berikutnya Allah menyebutkan bahwa
Dia tidak mengharamkan kepada mereka dari hal tersebut kecuali bangkai. Yang
dimaksud dengan bangkai ialah hewan yang menemui ajalnya tanpa melalui proses
penyembelihan, baik karena tercekik atau tertusuk, jatuh dari ketinggian atau
tertanduk hewan lain, atau dimangsa oleh binatang buas. Akan tetapi, jumhur
ulama mengecualikan masalah ini ialah bangkai ikan, karena berdasarkan
firman-Nya:
أُحِلَّ
لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعامُهُ
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal)
dari laut. (Al-Maidah: 96)
Hal ini akan diterangkan nanti pada tempatnya, insya Allah. Juga berdasarkan
hadis ikan anbar dalam kitab Sahih, kitab Musnad, kitab Muwatta’ dan kitab-kitab
Sunan, yaitu sabda Rasul Saw. mengenai laut:
«هُوَ
الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ»
Laut itu airnya menyucikan lagi bangkainya halal.
Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah serta Imam Daruqutni telah
meriwayatkan melalui hadis Ibnu Umar secara marfu yang mengatakan:
«أُحِلَّ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ السَّمَكُ وَالْجَرَادُ وَالْكَبِدُ
وَالطِّحَالُ»
Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, yaitu ikan dan
belalang, serta hati dan limpa.
Pembahasan secara detail mengenai masalah ini nanti akan
diterangkan di dalam tafsir surat Al-Maidah.
Air susu bangkai dan telur bangkai yang masih bersatu dengannya hukumnya
najis —menurut Imam Syafii dan lain-lainnya— karena masih merupakan bagian dari
bangkai tersebut.
Imam Malik menurut salah satu riwayat mengatakan bahwa air susu dan telur
tersebut suci, hanya saja menjadi najis karena faktor mujawairah. Demikian pula
halnya keju yang terbuat dari air susu bangkai, masih diperselisihkan; tetapi
menurut pendapat yang terkenal di kalangan mereka, hukumnya najis. Mereka
mengemukakan dalil untuk alasan mereka, bahwa para sahabat pernah memakan keju
orang-orang Majusi.
Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya sehubungan dengan masalah ini
mengatakan, "Bahan keju tersebut sedikit, sedangkan campurannya yang terdiri
atas air susu banyak. Karena itu, najis yang sedikit dimaafkan bila bercampur
dengan cairan (suci) yang banyak."
وَقَدْ
رَوَى ابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ سَيْفِ بْنِ هَارُونَ، عَنْ سُلَيْمَانَ
التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ سَلْمَانَ سُئِلَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّمْنِ وَالْجُبْنِ
وَالْفِرَاءِ، فَقَالَ: "الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ،
وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ
مِمَّا عَفَا عَنْهُ"
Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Saif ibnu Harun, dari Sulaiman
At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman r.a. yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai samin, keju, dan bulu. Maka beliau Saw.
bersabda: Halal ialah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab-Nya,
dan haram ialah apa-apa yang diharamkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya, sedangkan
apa yang tidak diterangkan padanya termasuk sesuatu yang dimaafkan.
Diharamkan pula atas mereka daging babi, baik yang disembelih ataupun mati
dengan sendirinya. Termasuk ke dalam pengertian daging babi ialah lemaknya,
adakalanya karena faktor prioritas atau karena pengertian daging mencakup
lemaknya juga, atau melalui jalur kias (analogi) menurut suatu pendapat.
Diharamkan pula hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang
ketika disembelih disebut nama selain Allah, misalnya menyebut nama
berhala-berhala, tandingan-tandingan, dan azlam serta lain sebagainya yang
serupa, yang biasa disebutkan oleh orang-orang Jahiliah bila mereka menyembelih
hewannya.
Imam Qurtubi menyebutkan suatu riwayat dari Ibnu Atiyyah, yang Ibnu Atiyyah
pernah menukil dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang
wanita yang mengadakan pesta perkawinan buat bonekanya, lalu wanita itu
menyembelih seekor unta untuk pesta tersebut. Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan
bahwa daging unta tersebut tidak boleh dimakan karena disembelih untuk
berhala.
Imam Qurtubi mengetengahkan pula sebuah as'ar dari Siti Aisyah r.a., bahwa
Siti Aisyah pernah ditanya mengenai hewan yang disembelih oleh orang-orang 'ajam
(selain bangsa Arab) untuk hari perayaan mereka, lalu mereka menghadiahkan
sebagiannya kepada kaum muslim. Maka Siti Aisyah r.a. menjawab, "Hewan yang
disembelih untuk merayakan hari tersebut tidak boleh kalian makan, dan kalian
hanya boleh makan buah-buahannya."
Selanjutnya Allah Swt. memperbolehkan makan semua yang disebutkan tadi dalam
keadaan darurat dan sangat diperlukan bila makanan yang lainnya tidak didapati.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا
إِثْمَ عَلَيْهِ}
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia
tidak maksiat dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
(Al-Baqarah: 173)
Yakni bukan dalam keadaan maksiat, bukan pula dalam keadaan melampaui batas;
tidak ada dosa baginya makan apa yang telah disebutkan.
{إِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah:
173)
Mujahid mengatakan, "Barang siapa yang tidak maksiat dan tidak pula melampaui
batas, yakni bukan dalam keadaan sebagai pembegal jalan (rampok), atau
memberontak terhadap imam (penguasa), atau bepergian untuk tujuan maksiat
terhadap Allah, diperbolehkan baginya memakannya. Tetapi barang siapa yang
bepergian karena memberontak atau melampaui batas atau berbuat maksiat kepada
Allah, tidak ada rukhsah (dispensasi) baginya, sekalipun ia dalam keadaan
darurat." Hal yang sama dikatakan pula menurut suatu riwayat yang bersumber dari
Sa'id ibnu Jubair.
Sa'id di dalam riwayat yang lain dan Muqatil mengatakan, yang dimaksud dengan
gaira bagin ialah tidak menghalalkannya.
As-Saddi mengatakan bahwa gaira bagin artinya bukan karena
memperturutkan selera ingin memakannya.
Adam ibnu Abi Iyas mengatakan, telah menceritakan kepada kami Damrah, dari
Usman ibnu Ata (yakni Al-Khurrasani), dari ayahnya yang mengatakan bahwa
seseorang tidak boleh memanggang sebagian dari bangkai itu untuk membuatnya
berselera memakannya, tidak boleh pula memasaknya serta tidak boleh memakannya
kecuali hanya sedikit, tetapi ia boleh membawanya sampai ia dapat menemukan
makanan yang halal. Apabila ia telah menemukan makanan yang halal, ia harus
membuangnya. Demikianlah yang dimaksud oleh firman-Nya, "Wala 'adin,"
yakni tidak boleh melampaui batas dalam memakannya bila telah menemukan yang
halal.
Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa makna wala 'adin ialah tidak boleh
sekenyangnya. Sedangkan As-Saddi menafsirkannya dengan makna al-'udwan,
yakni melampaui batas.
Disebutkan pula dari Ibnu Abbas bahwa gaira bagin yakni tidak
menginginkan bangkai tersebut, wala 'adin artinya dan tidak melampaui
batas dalam memakannya.
Qatadah mengatakan bahwa gaira bagin artinya tidak menginginkan
bangkai tersebut, yakni 'ketika keadaan memaksanya untuk memakan bangkai, ia
memakannya tidak melampaui batas garis-garis yang dihalalkan sampai kepada batas
yang diharamkan, padahal ia mempunyai jalan keluar dari itu'.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya:
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya). (Al-Baqarah:
173) Yakni dipaksa untuk memakannya tanpa ada kemauan dari dirinya sendiri.
Apabila orang yang dalam keadaan terpaksa (darurat) menemukan suatu bangkai
dan makanan milik orang lain, sekiranya tidak ada hukum potong tangan dalam
mengambilnya dan tidak pula hukuman lainnya (ta'zir), maka tidak dihalalkan
baginya memakan bangkai, melainkan ia boleh memakan makanan milik orang lain
itu. Semua ulama sepakat, tanpa ada yang memperselisihkannya.
Selanjutnya disebutkan, apabila dia memakannya dalam keadaan demikian, lalu
apakah dia harus menggantinya atau tidak? Sebagai jawabannya ada dua pendapat,
yang keduanya merupakan dua riwayat dari Imam Malik.
Selanjutnya diketengahkan sebuah hadis dari Sunan Ibnu Majah:
مِنْ
حَدِيثِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي إِيَاسٍ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي وَحْشِيَّةَ: سَمِعْتُ
عَبَّادَ بْنَ الْعَنْزِيِّ قَالَ: أَصَابَتْنَا عَامًا مَخْمَصَةٌ، فَأَتَيْتُ
الْمَدِينَةَ. فَأَتَيْتُ حَائِطًا، فَأَخَذْتُ سُنْبُلًا فَفَرَكْتُهُ
وَأَكَلْتُهُ، وَجَعَلْتُ مِنْهُ فِي كِسَائِي، فَجَاءَ صَاحِبُ الْحَائِطِ
فَضَرَبَنِي وَأَخَذَ ثَوْبِي، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ لِلرَّجُلِ: "مَا أَطْعَمْتَهُ إِذْ كَانَ
جَائِعًا أَوْ سَاعِيًا، وَلَا عَلَّمْتَهُ إِذْ كَانَ
جَاهِلَا" فَأَمَرَهُ
فَرَدَّ إِلَيْهِ ثَوْبَهُ، وَأَمَرَ لَهُ بِوَسْقٍ مِنْ طَعَامٍ أَوْ نِصْفِ
وَسْقٍ
melalui hadis Syu'bah, dari Abu Iyas, dari Ja'far ibnu Abu Wahsyiyyah yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syurahbil Al-Anazi menceritakan hadis
berikut, "Ketika tahun paceklik menimpa kami, aku datang ke Madinah, lalu aku
memasuki sebuah kebun dan mengambil setangkai buah kurma. Aku memakannya, dan
selebihnya aku masukkan ke dalam kantong bajuku. Ternyata pemilik kebun itu
datang, maka dia memukuliku dan merampas bajuku. Lalu aku datang kepada
Rasulullah Saw. dan kuceritakan kepadanya hal tersebut Maka beliau Saw. bersabda
kepada pemilik kebun: 'Kamu tidak memberinya makan ketika dia sedang
kelaparan dan dalam keadaan tidak bermata pencaharian, dan kamu tidak
mengajarnya sewaktu dia tidak mengerti (bodoh).' Lalu Nabi Saw.
memerintahkan kepadanya agar mengembalikan pakaian lelaki itu, dan Nabi Saw.
memerintahkan pula agar diberikan kepada si pemilik kebun satu wasaq atau
setengah wasaq makanan (sebagai gantinya)."
Sanad hadis ini sahih, kuat lagi jayyid dan mempunyai banyak syawahid lainnya
yang memperkuatnya. Termasuk ke dalam bab ini hadis lain yang diriwayatkan
melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah
Saw. pernah ditanya mengenai buah-buahan yang bergantung pada pohonnya. Maka
beliau Saw. menjawab:
"مَنْ
أَصَابَ مِنْهُ مِنْ ذِي حَاجَةٍ بِفِيهِ غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلَا شَيْءَ
عَلَيْهِ"
Barang siapa yang mengambil sebagian darinya cukup untuk makannya sendiri,
sedangkan dia dalam keadaan miskin serta tidak mengambil bekal darinya, tidak
ada dosa baginya, hingga akhir hadis.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka
tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Al-Baqarah: 173) Yakni tidak ada dosa baginya karena memakan
makanan itu, sebab dia dalam keadaan terpaksa. Telah sampai kepada kami suatu
riwayat —hanya Allah Yang Mengetahui— bahwa makanan tersebut tidak boleh lebih
dari tiga suap.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna ayat adalah sebagai berikut: "Allah Maha
Pengampun terhadap apa yang telah dimakannya dari barang yang haram, lagi Maha
Penyayang karena Dia telah menghalalkan baginya barang yang haram dalam keadaan
terpaksa."
Waki' mengatakan bahwa Al-A'masy menceritakan kepada kami, dari Abud-Duha,
dari Masruq yang mengatakan, "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, lalu dia
tidak mau makan dan minum, kemudian berakibat kepada kematiannya, maka dia masuk
neraka." Pendapat ini menunjukkan bahwa memakan bangkai bagi orang yang dalam
keadaan terpaksa merupakan azimah (keharusan), bukan rukhsah (dispensasi).
Abul Hasan At-Tabari yang dikenal dengan nama Kayalharasi (sahabat karib Imam
Gazali) di dalam kitab Al-Istigal-nya. mengatakan, "Menurut
pendapat yang sahih di kalangan kami, masalah ini sama halnya dengan berbuka
puasa bagi orang yang sakit dan karena penyebab lainnya yang membolehkannya
berbuka puasa."
Al-Baqarah, ayat 174-176
{إِنَّ
الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ
ثَمَنًا قَلِيلا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلا النَّارَ وَلا
يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ (174) أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ
بِالْمَغْفِرَةِ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ (175) ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ
نزلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي
شِقَاقٍ بَعِيدٍ (176)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan
apa yang telah diturunkan Allah —yaitu Al-Kitab— dan menjualnya dengan harga
yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam
perutnya melainkan api dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari
kiamat dan tidak menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.
Mereka itulah orang-orang yang membeli
kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya
mereka menentang api neraka! Yang demikian itu adalah karena Allah telah
menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang
berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang
jauh (dari kebenaran).
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ
الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا
أَنزلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ}
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan
Allah, yaitu Al-Kitab. (Al-Baqarah: 174)
Yakni orang-orang Yahudi yang menyembunyikan sifat-sifat (ciri-ciri) Nabi
Muhammad Saw. dalam kitab-kitab yang ada di tangan mereka, yang isinya antara
lain mempersaksikan kerasulan dan kenabiannya. Lalu mereka dengan sengaja
menyembunyikan hal tersebut agar kepemimpinan mereka tidak lenyap, dan agar
tidak lenyap pula hadiah-hadiah dan upeti-upeti yang biasa diberikan oleh
orang-orang Arab kepada mereka sebagai ungkapan rasa hormat orang-orang Arab
kepada kakek moyang mereka. Maka mereka —semoga laknat Allah tetap menimpa
mereka— merasa khawatir jika hal tersebut ditampakkan kepada orang-orang,
sehingga orang-orang akan mengikutinya dan meninggalkan mereka.
Karena itulah mereka menyembunyikan berita tersebut demi mempertahankan apa
yang biasa mereka hasilkan dari cara mereka itu, yaitu harta duniawi yang
sedikit; mereka rela menjual akidah mereka dengan hal tersebut. Dengan demikian,
berarti mereka menukar hidayah perkara yang hak, membenarkan Rasul dan iman
kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Allah; dengan harta duniawi yang
sedikit itu akhirnya kelak mereka akan kecewa dan merugi dalam kehidupan dunia
dan akhiratnya.
Kerugian mereka di dunia ialah karena sesungguhnya Allah menampakkan kepada
hamba-hamba-Nya kebenaran Rasul-Nya melalui apa yang ditegakkannya dan Allah
membekalinya dengan ayat-ayat yang jelas dan bukti-bukti yang mematahkan hujah
mereka. Pada akhirnya orang-orang yang mereka khawatirkan akan mengikutinya kini
benar-benar mengikutinya, dan jadilah orang-orang tersebut pembantu Rasul-Nya
dalam memerangi mereka. Akhirnya mereka kembali dengan mendapat kemurkaan di
atas kemurkaan. Allah mencela perbuatan mereka (Ahli Kitab) bukan hanya pada
satu tempat dari Al-Qur'an-Nya, yang antara lain ialah ayat yang mulia ini,
yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
diturunkan Allah —yaitu Al-Kitab— dan menjualnya dengan harga yang sedikit,
mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan
api. (Al-Baqarah: 174) Yakni menukarnya dengan harta duniawi. Maka
sesungguhnya apa yang mereka makan dari hasilnya itu hanyalah api belaka,
sebagai balasan dari penyembunyian mereka terhadap perkara yang hak. Api itu
kelak di hari kiamat berkobar-kobar di dalam perut mereka. Sama halnya dengan
gambaran yang disebutkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa: 10)
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
«الَّذِي
يَأْكُلُ أَوْ يَشْرَبُ فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ
فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ»
Sesungguhnya orang yang makan atau minum dengan memakai wadah dari emas
dan perak tiada lain hanyalah menegukkan (menelankan) ke dalam perutnya api
neraka Jahannam.
************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ}
dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak
menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (Al-Baqarah:
174)
Dikatakan demikian karena Allah Swt. murka terhadap mereka, mengingat mereka
menyembunyikan perkara hak yang mereka ketahui. Untuk itu mereka berhak mendapat
murka Allah, dan Allah tidak mau melihat mereka.
Wala yuzakkihim, Allah tidak mau menyebut dan memuji nama mereka,
bahkan Allah mengazab mereka dengan siksa yang amat pedih.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih dalam bab ini meriwayatkan melalui hadis
Al-A'masy, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
"ثَلَاثَةٌ
لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ
[وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ] شَيْخٌ زَانٍ، وَمَلِكٌ كَذَّابٌ، وَعَائِلٌ
مُسْتَكْبِرٌ"
Ada tiga macam orang, Allah tidak akan berbicara kepada mereka dan tidak
akan melihat mereka, serta tidak akan menyucikan mereka, dan bagi mereka siksa
yang amat pedih, yaitu: Orang tua yang berbuat zina, raja (penguasa) yang
pendusta, dan orang miskin yang takabur.
***************
Kemudian Allah Swt berfirman menceritakan perihal mereka:
{أُولَئِكَ
الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى}
Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.
(Al-Baqarah: 175)
Yaitu mereka menukar petunjuk dengan kesesatan. Yang dimaksud dengan petunjuk
ialah menyiarkan berita yang terdapat di dalam kitab-kitab mereka menyangkut
sifat-sifat Rasulullah Saw. perihal kerasulannya dan berita gembira
kedatangannya, perintah mengikutinya dan percaya kepadanya; hal ini disebutkan
di dalam kitab-kitab nabi-nabi terdahulu. Yang dimaksud dengan kesesatan ialah
mendustakan Nabi Saw., mengingkarinya, dan menyembunyikan sifat-sifatnya yang
ada dalam kitab-kitab mereka.
{وَالْعَذَابَ
بِالْمَغْفِرَةِ}
dan siksa dengan ampunan. (Al-Baqarah: 175)
Maksudnya, mereka menukar magfirah Allah dengan siksa-Nya, yakni
penyebab-penyebab magfirah mereka tukar dengan penyebab-penyebab siksa.
*********
Firman Allah Swt.:
{فَمَا
أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ}
Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka. (Al-Baqarah:
175)
Allah menceritakan bahwa mereka berada di dalam siksa yang keras lagi besar
dan mengerikan, hingga membuat orang yang melihat mereka merasa takjub dengan
keberanian mereka dalam menanggung siksa tersebut, padahal kerasnya siksaan yang
mereka alami tak terperikan dan semuanya berlindung kepada Allah dari siksa
seperti itu.
Menurut pendapat yang lain sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka
alangkah sabarnya mereka menentang api neraka. (Al-Baqarah: 175) Disebutkan
bahwa makna yang dimaksud ialah alangkah beraninya mereka kekal dalam
mengerjakan kemaksiatan, padahal kemaksiatan itu menjerumuskan mereka ke dalam
neraka.
*********
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ
بِأَنَّ اللَّهَ نزلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ}
Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan
membawa kebenaran. (Al-Baqarah: 176)
Yakni sesungguhnya mereka berhak mendapat siksa yang keras ini, tiada lain
karena Allah Swt. telah menurunkan kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw. —juga
kepada nabi-nabi sebelumnya— kitab-kitab-Nya yang membuktikan perkara hak dan
menyalahkan perkara yang batil. Sedangkan mereka menjadikan ayat-ayat Allah
sebagai olok-olokannya. Kitab mereka (Ahli Kitab) memerintahkan kepada mereka
untuk menyampaikan ilmu dan menyebarkannya, tetapi mereka menentangnya dan
mendustakannya. Hal yang sama dialami pula oleh penutup para rasul, yaitu Nabi
Muhammad Saw. Beliau menyeru mereka (Ahli Kitab) kepada Allah Swt.,
memerintahkan perkara yang makruf, serta melarang mereka melakukan perbuatan
yang mungkar; tetapi mereka mendustakannya, menentangnya, mengingkari, dan
menyembunyikan ciri-cirinya. Perbuatan mereka sama dengan memperolok-olokkan
ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada rasul-rasul-Nya. Oleh sebab itu, mereka
berhak mendapat azab dan balasan yang setimpal. Karena itulah Allah Swt.
berfirman:
{ذَلِكَ
بِأَنَّ اللهَ نزلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي
الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ}
Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan
membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang
(kebenaran) Al-Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari
kebenaran). (Al-Baqarah: 176)
Al-Baqarah, ayat 177
{لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ
الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ
وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ
الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ
الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (177) }
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan
orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa
Ayat yang mulia ini mengandung kalimat-kalimat yang agung, kaidah-kaidah yang
luas, dan akidah yang lurus. Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim:
حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا عُبيد بْنُ هِشَامٍ الْحَلَبِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ
بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَامِرِ بْنِ شُفَي، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ،
عَنْ أَبِي ذَرٍّ: أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَا الْإِيمَانُ؟ فَتَلَا عَلَيْهِ: {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ. قَالَ: ثُمَّ سَأَلَهُ أَيْضًا، فَتَلَاهَا
عَلَيْهِ ثُمَّ سَأَلَهُ. فَقَالَ: "إِذَا عَمِلْتَ حَسَنَةً أَحَبَّهَا قَلْبُكَ،
وَإِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً أَبْغَضَهَا قَلْبُكَ"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaid
ibnu Hisyam Al-Halbi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari
Amir ibnu Syafi, dari Abdul Karim, dari Mujahid, dari Abu Zar r.a., telah
menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang iman,
"Apakah yang dinamakan iman itu?" Maka Rasulullah Saw. membacakan kepadanya
firman Allah Swt.: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Mujahid melanjutkan
kisahnya, bahwa setelah itu Abu Zar kembali bertanya, dan Rasulullah Saw.
membacakan lagi ayat ini kepadanya. Kemudian Abu Zar bertanya lagi, maka Rasul
Saw. menjawab: Apabila kamu hendak mengerjakan suatu kebaikan, maka buatlah
hatimu cinta kepadanya; dan apabila kamu hendak melakukan suatu keburukan, maka
buatlah hatimu benci kepadanya.
Akan tetapi, hadis ini berpredikat munqati (terputus mata rantai
sanadnya), mengingat Mujahid sebenarnya belum pernah bersua dengan sahabat Abu
Zar, karena Abu Zar telah meninggal dunia di masa sebelumnya.
قَالَ
الْمَسْعُودِيُّ: حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى أَبِي ذَرٍّ، فَقَالَ: مَا الْإِيمَانُ؟ فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ
الْآيَةَ: {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ} حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا.
فَقَالَ الرَّجُلُ: لَيْسَ عَنِ الْبَرِّ سألتُكَ. فَقَالَ أَبُو ذَرٍّ: جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَمَّا
سَأَلْتَنِي عَنْهُ، فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَ، فَأَبَى أن يرضى كما أبيت
[أنت] أن تَرْضَى فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
-وَأَشَارَ بِيَدِهِ -: "الْمُؤْمِنُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً سَرته وَرَجَا
ثَوَابَهَا، وَإِذَا عَمِلَ سَيِّئَةً أَحْزَنَتْهُ وَخَافَ
عِقَابَهَا"
Al-Mas'udi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim Abdur Rahman,
bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat Abu Zar, lalu lelaki itu
bertanya, "Apakah iman itu?" Kemudian Abu Zar membacakan kepadanya ayat berikut:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Kemudian lelaki itu
berkata, "Yang kutanyakan kepadamu bukanlah masalah kebajikan." Maka Abu Zar
r.a. menceritakan kepadanya bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah
Saw., lalu menanyakan kepadanya seperti pertanyaan yang baru kamu ajukan
kepadaku, maka beliau Saw. membacakan ayat ini kepadanya. Akan tetapi, lelaki
itu masih kurang puas sebagaimana kamu kurang puas. Maka akhirnya Rasulullah
Saw. bersabda kepadanya dan mengisyaratkan dengan tangannya: Orang mukmin itu
apabila melakukan suatu kebaikan, ia merasa gembira dan mengharapkan pahalanya;
dan apabila dia mengerjakan suatu keburukan (dosa), maka hatinya sedih dan takut
akan siksaannya.
Hadis riwayat Ibnu Murdawaih, dan hadis ini berpredikat munqati'
pula.
Pembahasan mengenai tafsir ayat ini ialah: Sesungguhnya Allah Swt. setelah
memerintahkan kepada orang-orang mukmin pada mulanya untuk menghadap ke arah
Baitul Maqdis, lalu Allah memalingkan mereka ke arah Ka'bah, maka hal tersebut
terasa berat oleh segolongan orang-orang dari kalangan Ahli Kitab dan sebagian
kaum muslim. Maka Allah Swt. menurunkan penjelasan hikmah yang terkandung di
dalam hal tersebut. Yang intinya berisikan bahwa tujuan utama dari hal tersebut
tiada lain adalah taat kepada Allah dan mengerjakan perintah-perintah-Nya dengan
patuh, serta menghadap ke arah mana yang dikehendaki-Nya dan mengikuti apa yang
telah disyariatkan-Nya.
Demikianlah makna kebajikan, takwa, dan iman yang sempurna; dan kebajikan
serta ketaatan itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepatuhan menghadap ke
arah timur atau barat, jika bukan karena perintah Allah dan syariatnya. Karena
itulah maka Allah Swt. berfirman:
{لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ
الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada
Allah, hari kemudian. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat.
Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam masalah kurban dan menyembelih
hadyu, yaitu firman-Nya:
{لَنْ
يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى
مِنْكُمْ}
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat mencapainya.
(Al-Hajj: 37)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa
kebajikan itu bukanlah kalian melakukan salat tetapi tidak beramal. Hal ini
diturunkan ketika Nabi Saw. hijrah dari Mekah ke Madinah, dan diturunkan
hukum-hukum fardu dan hukum-hukum had, maka Allah memerintahkan mereka untuk
mengerjakan fardu-fardu dan mengamalkannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan
pula dari Ad-Dahhak serta Muqatil.
Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, dan
orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatii
kebajikan. (Al-Baqarah: 177) Apa yang dibahas oleh ayat ini adalah iman dan
hakikatnya, yaitu pengalamannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari
Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Mujahid mengatakan, "Kebajikan yang sesungguhnya ialah ketaatan kepada
Allah Swt. yang telah meresap ke dalam hati."
Ad-Dahhak mengatakan bahwa kebajikan dan ketakwaan itu ialah bila kalian
menunaikan fardu-fardu sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.
As-Sauri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang beriman kepada
Allah. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Semua yang disebutkan oleh ayat
ini merupakan aneka ragam kebajikan.
Memang benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Sauri ini, karena sesungguhnya
orang yang memiliki sifat seperti yang disebutkan oleh ayat ini berarti dia
telah memasukkan dirinya ke dalam ikatan Islam secara keseluruhan dan
mengamalkan semua kebaikan secara menyeluruh; yaitu iman kepada Allah dan tidak
ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, juga beriman kepada para malaikat yang
merupakan duta-duta antara Allah dan rasul-rasul-Nya.
Wal kitabi, merupakan isim jinis yang pengertiannya mencakup semua
kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri dengan yang
paling mulia di antara semuanya, yaitu kitab Al-Qur'an yang isinya mencakup
semua kitab sebelumnya, berakhir padanya semua kebaikan, serta mengandung semua
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan diturunkan-Nya Al-Qur'an, maka
di-na-sakh-lah semua kitab sebelumnya, di dalamnya terdapat anjuran beriman
kepada semua nabi Allah dari permulaan hingga yang paling akhir, yaitu Nabi
Muhammad Saw.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَآتَى
الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ}
dan memberikan harta yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177)
Yakni mengeluarkannya, sedangkan dia mencintainya dan berhasrat kepadanya.
Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnu Jubair, dan lain-lainnya
dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, seperti yang disebutkan di dalam hadis
sahihain dari hadis Abu Hurairah secara marfu', yaitu:
"أَفْضَلُ
الصَّدَقَةِ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى،
وَتَخْشَى الْفَقْرَ".
Sedekah yang paling ulama ialah bila kamu mengeluarkannya, sedangkan kamu
dalam keadaan sehat lagi pelit bercita-cita ingin kaya dan takut jatuh
miskin.
وَقَدْ
رَوَى الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ، مِنْ حَدِيثِ شُعْبَةَ وَالثَّوْرِيِّ، عَنْ
مَنْصُورٍ، عَنْ زُبَيد، عَنْ مُرَّة، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ} أَنْ
تُعْطِيَهُ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى
الْفَقْرَ".
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Syu'bah
dan As-Sauri, dari Mansur, dari Zubair, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud r.a. yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan makna
firman-Nya: "Dan memberikan harta yang dicintainya" (Al-Baqarah: 177),
yaitu hendaknya kamu memberikannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi
pelit, mengharapkan kecukupan dan takut jatuh miskin.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain
(Bukhari dan Muslim), sedangkan keduanya tidak mengetengahkannya.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Waki', dari Al-A'masy, dan
Sufyan, dari Zubaid, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud secara mauquf dan lebih
sahih.
Allah Swt. telah berfirman:
وَيُطْعِمُونَ
الطَّعامَ عَلى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً. إِنَّما نُطْعِمُكُمْ
لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزاءً وَلا شُكُوراً
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak
yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian
hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari
kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Al-Insan: 8-9)
لَنْ
تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92)
وَيُؤْثِرُونَ
عَلى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كانَ بِهِمْ خَصاصَةٌ
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka dalam kesusahan. (Al-Hasyr: 9)
Apa yang telah disebutkan oleh ketiga ayat di atas merupakan jenis lain dari
cara bersedekah yang lebih tinggi kedudukannya daripada yang disebutkan oleh
ayat ini (Al-Baqarah: 177). Demikian itu karena mereka lebih mengutamakan diri
orang lain daripada diri mereka sendiri, padahal mereka sangat memerlukannya,
tetapi mereka tetap memberikannya dan memberi makan orang-orang lain dari harta
yang mereka sendiri mencintai dan memerlukannya.
Yang dimaksud dengan Zawil Qurba dalam ayat ini ialah kaum kerabat
lelaki yang bersangkutan, mereka adalah orang-orang yang lebih utama untuk
diberi sedekah. Seperti yang telah ditetapkan di dalam hadis sahih, yaitu:
«الصَّدَقَةُ
عَلَى الْمَسَاكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ
وَصِلَةٌ، فَهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِكَ وَبِبِرِّكَ وَإِعْطَائِكَ»
Sedekah kepada orang-orang miskin adalah suatu sedekah, dan sedekah kepada
kerabat merupakan dua amal, yaitu sedekah dan silaturahmi. Karena kaum kerabat
adalah orang-orang yang lebih utama bagimu untuk mendapatkan kebajikan dan
pemberianmu.
Allah Swt. telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada kaum kerabat, hal
ini diutarakan-Nya bukan hanya pada satu tempat dari kitab-Nya.
Wal yatama, yang dimaksud dengan anak-anak yatim ialah mereka yang
tidak mempunyai penghasilan, sedangkan ayah-ayah mereka telah tiada, mereka
dalam keadaan lemah, masih kecil, dan berusia di bawah usia balig serta belum
mampu mencari mata pencaharian. Sehubungan dengan masalah ini Abdur Razzaq
mengatakan:
أَنْبَأَنَا
مَعْمَر، عَنْ جُوَيْبِرٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ، عَنِ النَّزَّالِ بْنِ سَبْرَةَ، عَنْ
عَلِيٍّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا
يُتْم بَعْدَ حُلُم".
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Juwaibir, dari Ad-Dahhak, dari
An-Nizal ibnu Sabrah, dari sahabat Ali, dari Rasulullah Saw. yang telah
bersabda: Tiada yatim lagi sesudah usia balig.
Wal masakin, mereka adalah orang-orang yang tidak dapat menemukan apa
yang mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Untuk itu mereka
diberi apa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Di dalam kitab
Sahihain disebutkan sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَيْسَ
الْمِسْكِينُ بهذا الطوَّاف الذي تَرده التمرة وَالتَّمْرَتَانِ وَاللُّقْمَةُ
وَاللُّقْمَتَانِ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا
يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدق عَلَيْهِ.
Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling (meminta-minta) yang
pergi setelah diberi sebutir atau dua butir kurma, dan sesuap atau dua suap
makanan, tetapi orang miskin yang sesungguhnya ialah orang yang tidak
mendapatkan apa yang mencukupinya, dan pula keadaan dirinya tidak diketahui
(sebagai orang miskin) hingga mudah diberi sedekah.
Yang dimaksud dengan ibnu sabil ialah orang musafir jauh yang
kehabisan bekalnya, untuk itu dia harus diberi bekal yang dapat memulangkannya
ke tempat tinggalnya. Demikian pula halnya orang yang akan mengadakan perjalanan
untuk tujuan ketaatan, ia boleh diberi bekal yang mencukupinya buat pulang
pergi.
Termasuk ke dalam pengertian ibnu sabil ialah tamu, seperti yang dikatakan
oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Ibnu Sabil ialah
tamu yang menginap di kalangan orang-orang muslim. Hal yang sama dikatakan
pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Ja'far Al-Baqir, Al-Hasan, Qatadah,
Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Wassailina, mereka adalah orang-orang yang merelakan dirinya
meminta-minta, maka mereka diberi dari sebagian harta zakat dan sedekah. Seperti
yang disebutkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا
وَكِيع وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ
مُحَمَّدٍ، عَنْ يَعْلَى بْنِ أَبِي يَحْيَى، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْحُسَيْنِ،
عَنْ أَبِيهَا -قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ -قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ
جَاءَ عَلَى فَرَسٍ".
bahwa telah menceritakan kepada kami Waki' dan Abdur Rahman; keduanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus'ab ibnu Muhammad,
dari Ya'la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya (yakni
Husain ibnu Ali), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang
meminta-minta mempunyai hak (untuk diberi), sekalipun dia datang dengan
berkendaraan kuda. (Riwayat Imam Abu Daud)
Ar-Riqab, mereka adalah budak-budak mukatab yang tidak menemukan apa
yang mereka jadikan untuk melunasi transaksi kitabahnya.
Pembahasan mengenai golongan tersebut nanti akan diterangkan di dalam ayat
sedekah (zakat), bagian dari surat Al-Bara’ah (surat Taubah).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepadaku
Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Fatimah
binti Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,
"Apakah pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat?" Maka beliau
membacakan ayat berikut kepadanya, yaitu firman-Nya: dan memberikan harta
yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177)
وَرَوَاهُ
ابْنُ مَرْدُويه مِنْ حَدِيثِ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ، وَيَحْيَى بْنِ عَبْدِ
الْحَمِيدِ، كِلَاهُمَا، عن شريك، عَنْ
أَبِي حَمْزَةَ عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، قَالَتْ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى
الزَّكَاةِ" ثُمَّ تَلَا {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَفِي الرِّقَابِ}
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui hadis Adam ibnu Abu Iyas dan Yahya
ibnu Abdul Hamid, keduanya menerima hadis berikut dari Syarik, dari Abu Hamzah,
dari Asy-Sya'bi, dari Fatimah binti Qais yang telah menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Di dalam harta benda terdapat kewajiban
selain zakat." Kemudian beliau membacakan firman-Nya, "Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan —sampai
dengan firman-Nya—dan (memerdekakan) hamba sahaya" (Al-Baqarah: 177).
Hadis diketengahkan oleh Ibnu Majah dan Imam Turmuzi, tetapi Abu Hamzah
(yakni Maimun Al-A'war, salah seorang perawinya) dinilai daif. Hadis ini
diriwayatkan pula oleh Sayyar dan Ismail ibnu Salim, dari Asy-Sya'bi.
Firman Allah Swt., "Wa-aqamas salata," artinya 'dan merampungkan semua
pekerjaan salat pada waktunya masing-masing', yakni menyempurnakan
rukuk-rukuknya, sujud-sujudnya, dan tumaninah serta khusyuknya sesuai dengan
perintah syariat yang diridai.
Firman Allah Swt., "Wa-ataz zakata," artinya 'dan menunaikan zakat',
tetapi dapat pula diinterpretasikan dengan pengertian membersihkan jiwa dan
membebaskannya dari akhlak-akhlak yang rendah lagi kotor, seperti pengertian
yang terkandung di dalam firman-Nya:
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها. وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 9-10)
Ucapan Musa a.s. kepada Fir'aun yang disitir oleh firman-Nya:
هَلْ
لَكَ إِلى أَنْ تَزَكَّى وَأَهْدِيَكَ إِلى رَبِّكَ فَتَخْشى
Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu
akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya?" (An-Nazi'at:
18-19)
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَوَيْلٌ
لِلْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكاةَ
Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya),
(yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat. (Fushshilat: 6-7)
Dapat pula diartikan zakat harta benda, seperti yang dikatakan oleh Sa'id
ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan. Dengan demikian, berarti hal yang telah
disebutkan sebelumnya —yaitu memberikan sebagian harta kepada golongan-golongan
yang telah disebutkan— hanyalah dianggap sebagai amal tatawwu' (sunat),
kebajikan, dan silaturahmi. Sebagai dalilnya ialah hadis Fatimah binti Qais yang
telah disebutkan di atas, yaitu yang menyatakan bahwa pada harta benda terdapat
kewajiban selain zakat.
******
Firman Allah Swt.:
{وَالْمُوفُونَ
بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا}
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji.
(Al-Baqarah: 177)
Ayat ini semakna dengan firman Allah Swt.:
{الَّذِينَ
يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ}
(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak
perjanjian. (Ar-Ra'd: 20)
Kebalikan dari sifat ini adalah sifat munafik. Seperti yang disebutkan di
dalam hadis sahih, yaitu:
"آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ".
Pertanda munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila
berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, berkhianat.
Di dalam hadis lainnya disebutkan seperti berikut:
:"إِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ"
Apabila berbicara, berdusta; apabila berjanji, merusak (janjinya); dan
apabila bersengketa, berbuat curang.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَالصَّابِرِينَ
فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ}
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam
peperangan. (Al-Baqarah: 177)
Yang dimaksud dengan ba-sa ialah dalam keadaan miskin dan fakir,
sedangkan yang dimaksud dengan darra ialah dalam keadaan sakit dan
kesusahan. Yang dimaksud dengan hinal ba-su ialah ketika peperangan
sedang berkecamuk. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abul
Aliyah, Murrah Al-Hamdani, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah,
Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Abu Malik, Ad-Dahhak, dan
lain-lainnya.
Sesungguhnya lafaz sabirina di-nasab-kan karena mengandung pujian
terhadap sikap sabar dan sekaligus sebagai anjuran untuk bersikap sabar dalam
situasi seperti itu, mengingat situasinya sangat keras lagi sulit.
******
Firman Allah Swt.:
{أُولَئِكَ
الَّذِينَ صَدَقُوا}
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). (Al-Baqarah: 177)
Maksudnya, mereka yang memiliki sifat-sifat ini adalah orang-orang yang benar
imannya, karena mereka merealisasikan iman hati dengan ucapan dan amal
perbuatan; maka mereka itulah orang-orang yang benar. Mereka itulah orang-orang
yang bertakwa, karena mereka memelihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan
mengerjakan semua amal ketaatan.
Al-Baqarah, ayat 178-179
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ
بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ
أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ
تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ
أَلِيمٌ (178) وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ (179) }
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam
qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang
berakal, supaya kalian bertakwa.
Allah Swt. berfirman, "Telah diharuskan atas kalian berbuat adil dalam hukum
qisas, hai orang-orang mukmin; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan
budak, dan wanita dengan wanita; janganlah kalian melampaui batas dan jangan
pula kalian berbuat aniaya, sebagaimana orang-orang sebelum kalian berbuat
kelewat batas karena mereka mengubah hukum Allah yang berkaitan dengan qisas."
Penyebabnya ialah Bani Quraizz dan Bani Nadir. Di masa Jahiliah Bani Nadir
berperang melawan Bani Quraizz dan dapat mengalahkan mereka. Tersebutlah bahwa
apabila seorang dari Bani Nadir membunuh seorang dari Bani Quraizz, maka si
pembunuh tidak dikenakan hukum balasan, melainkan hanya membayar tebusan berupa
seratus wasaq kurma. Tetapi apabila seorang Quraizz membunuh seorang Nadir, maka
tebusannya dua kali lipat, yaitu dua ratus wasaq kurma; jika tidak, ia akan
dikenakan hukuman qisas (dibunuh lagi). Maka Allah memerintahkan agar keadilan
ditegakkan dalam hukum qisas, tidak boleh mengikuti jalan orang-orang yang
merusak lagi menyimpang dan menentang hukum-hukum Allah di kalangan mereka
karena ingkar dan melampaui batas. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ
وَالأنْثَى بِالأنْثَى}
Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. (Al-Baqarah: 178)
Mengenai asbabun nuzul ayat ini, menurut riwayat Imam Abu Muhammad ibnu Abu
Hatim disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku
Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id
ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.
(Al-Baqarah: 178) Yakni jika kasus pembunuhan terjadi dengan sengaja, maka
ketentuan hukumnya ialah orang merdeka dengan orang merdeka. Demikian itu karena
ada dua kabilah dari kalangan orang-orang Arab saling berperang di zaman
Jahiliah yang mendekati zaman Islam dalam jangka waktu yang tidak begitu lama.
Dahulu di antara mereka terjadi pembunuhan dan pelukaan, yang terbunuh termasuk
budak-budak dan kaum wanita. Maka sebagian dari mereka belum sempat menuntut
sebagian yang lain hingga mereka masuk Islam semuanya. Salah satu dari kedua
belah pihak mempunyai keunggulan atas pihak lain yang menjadi lawannya dalam hal
persenjataan dan harta benda (perbekalan). Mereka bersumpah bahwa mereka tidak
rela sebelum orang merdeka dari kalangan musuhnya dibunuh karena membunuh budak
dari kalangan mereka, dan seorang lelaki dari kalangan musuh dibunuh karena
membunuh seorang wanita dari kalangan mereka. Berkenaan dengan mereka itu
turunlah firman-Nya: Orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak,
dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178) Sebagian dari kandungan ayat ini
ada yang di-mansukh dengan ayat yang menyatakan, "Jiwa dengan jiwa."
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: wanita (dihukum mati) karena (membunuh) wanita. (Al-Baqarah:
178) Demikian itu membuat mereka tidak menghukum mati lelaki karena membunuh
wanita. Mereka hanya membunuh lelaki karena membunuh lelaki lainnya, dan wanita
dibunuh karena membunuh wanita lainnya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata. (Al-Maidah: 45)
Dengan demikian, orang-orang yang merdeka dijadikan sama dalam hukum qisas
dalam kasus pembunuhan yang terjadi di antara sesama mereka dengan sengaja; kaum
lelaki dan kaum wanitanya dalam kasus jiwa dan pelukaan diberlakukan sama, tanpa
membedakan jenis kelamin. Budak-budak dijadikan sama di antara sesama mereka
dalam kasus pembunuhan yang disengaja, demikian pula dalam kasus pelukaan di
antara kaum lelaki dan kaum wanitanya.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abu Malik, bahwa ayat ini di-mansukh
oleh firman-Nya: jiwa (dibalas) dengan jiwa. (Al-Maidah: 45)
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang merdeka dihukum mati karena membunuh
budak, berdasarkan keumuman makna ayat surat Al-Maidah (ayat 45). Pendapat ini
diikuti oleh As-Sauri, Ibnu Abu Laila, dan Daud. Pendapat inilah yang
diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i,
Qatadah, dan Al-Hakam.
Imam Bukhari, Ali ibnul Madini, Ibrahim An-Nakha'i, dan As-Sauri menurut
salah satu riwayat darinya mengatakan bahwa seorang tuan pemilik budak dihukum
mati karena membunuh budaknya, karena keumuman makna hadis Al-Hasan dari Samurah
yang mengatakan:
"مَنْ
قَتَلَ عَبْدَهُ قَتَلْنَاهُ، وَمَنْ جَذَعَهُ جَذَعْنَاهُ، وَمَنْ خَصَاهُ
خَصَيْنَاهُ"
Barang siapa yang membunuh budaknya, maka kami bunuh pula dia; dan barang
siapa yang memotong hidung budaknya, maka kami potong pula hidungnya; dan barang
siapa yang mengebiri budaknya, maka kami kebiri pula ia.
Akan tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat dengan mereka. Jumhur ulama
mengatakan bahwa orang merdeka tidak dihukum mati karena membunuh budak, karena
budak kedudukannya sama dengan barang dagangan; sekiranya seorang budak dibunuh
secara keliru (tidak sengaja), maka tidak wajib diat dalam kasusnya, melainkan
yang wajib hanyalah membayar harga budak tersebut. Demikian pula halnya dalam
kasus pemotongan anggota tubuh, tidak ada hukum balasan; terlebih lagi terhadap
jiwa, tidak ada hukuman qisas bagi orang merdeka yang melakukannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang muslim tidak dihukum mati karena
membunuh orang kafir, berdasarkan sebuah hadis sahih yang diketengahkan oleh
Imam Bukhari melalui sahabat Ali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"لَا
يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ"
Orang muslim tidak dihukum mati karena (membunuh) orang kafir.
Tidak ada suatu hadis atau asar sahih pun yang bertentangan dengan makna
hadis ini.
Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang muslim tetap dihukum
mati karena membunuh orang kafir, karena keumuman surat Al-Maidah ayat 45.
Al-Hasan dan Ata mengatakan bahwa seorang lelaki tidak dihukum mati karena
membunuh seorang wanita, berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 178. Berbeda dengan
jumhur ulama, mereka berpendapat sebaliknya karena berdasarkan surat Al-Maidah
ayat 45. Juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"الْمُسْلِمُونَ
تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ"
Orang-orang muslim itu, darah mereka sebanding (satu sama
lainnya).
Al-Lais mengatakan, sekiranya seorang suami membunuh istrinya, maka si suami
tidak dikenai hukuman mati hanya karena membunuh istrinya.
Mazhab keempat Imam dan jumhur ulama mengatakan bahwa sejumlah orang-orang
terkena hukuman mati semuanya karena membunuh satu orang. Khalifah Umar r.a.
pernah berkata dalam kasus seorang pelayan yang dibunuh oleh tujuh orang,
"Seandainya semua penduduk San'a ikut mengeroyoknya, niscaya aku hukum mati
mereka semuanya." Ternyata di masanya itu tidak ada seorang sahabat pun yang
menentang pendapatnya; yang demikian itu sama kedudukannya dengan ijma'
(kesepakatan).
Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad sebuah riwayat yang menyatakan bahwa suatu
jamaah tidak dibunuh karena hanya membunuh satu orang, dan tidaklah suatu jiwa
itu dihukum mati kecuali karena membunuh satu jiwa lainnya. Pendapat ini
diriwayatkan oleh Ibnul Munzir, dari Mu'az dan Ibnuz Zubair, Abdul Malik ibnu
Marwan, Az-Zuhri, Ibnu Sirin, dan Habib ibnu Abu Sabit. Kemudian Ibnul Munzir
mengatakan bahwa sanad riwayat ini lebih sahih, dan tidak ada hujah bagi orang
yang membolehkan menghukum mati suatu jamaah karena hanya membunuh satu orang.
Sesungguhnya terbukti adanya suatu riwayat dari Ibnuz Zubair yang menentang
pendapat pertama tadi. Untuk itu apabila para sahabat berbeda pendapat, maka
jalan keluarnya ialah mempertirnbangkannya.
************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ
بِإِحْسَانٍ}
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
(Al-Baqarah: 178)
Mujahid mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya.
(Al-Baqarah: 178) Yakni konsekuensi memberi maaf dalam kasus pembunuhan secara
sengaja ialah menerima pembayaran diat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abul Aliyah, Abusy Sya'sa, Mujahid,
Sa'id ibnu Jubair, Ata, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya.
(Al-Baqarah: 178) Bahwa barang siapa yang diberi suatu pemaafan dari saudaranya,
yakni saudaranya memilih mengambil diat sesudah berhak menuntut darah, yang
demikian itulah yang dimaksud dengan pemaafan. Selanjutnya disebutkan:
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. (Al-Baqarah:
178) Dengan kata lain, pihak si penuntut hendaklah mengikuti cara yang baik bila
ia menerima diat, yakni jangan mempersulit dan mengada-ada. dan hendaklah
(yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang
baik (pula). (Al-Baqarah: 178) Yakni hendaklah si pembunuh membayar diat-nya
tanpa membahayakan dirinya, juga tidak boleh menolak.
Telah diriwayatkan oleh Imam Hakim melalui hadis Sufyan, dari Amr, dari
Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah hendaklah orang yang
diberi maaf menunaikan apa yang diminta pihak si terbunuh dengan cara yang baik.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Jabir ibnu
Zaid, Al-Hasan, Qatadah, Ata Al-Khurra-sani, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan
Muqatil ibnu Hayyan.
Imam Malik mengatakan di dalam riwayat Ibnul Qasim darinya, yang merupakan
pendapat yang terkenal di kalangan mazhabnya. Begitu pula Imam Abu Hanifah dan
murid-muridnya, juga Imam Syafii dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya,
bahwa pihak wali darah tidak mempunyai hak memberi maaf dengan imbalan diat,
kecuali dengan kerelaan dari pihak si pembunuh. Sedangkan ulama lainnya
berpendapat, pihak wali darah boleh memaafkan dengan imbalan diat, sekalipun
pihak si pembunuh tidak rela.
Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa bagi kaum wanita tidak ada hak untuk
memberi maaf. Mereka yang mengatakan demikian antara lain Al-Hasan, Qatadah,
Az-Zuhri, Ibnu Syabramah, Al-Lais, dan Al-Auza'i; tetapi ulama Salaf lainnya
berpendapat berbeda.
*************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ
تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ}
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan
rahmat. (Al-Baqarah: 178)
Yakni sesungguhnya Allah mensyariatkan kepada kalian pembayaran diat dalam
kasus pembunuhan sengaja tidak lain hanyalah suatu keringanan dari Allah buat
kalian dan merupakan suatu rahmat bagi kalian, yang membebaskan kalian dari apa
yang berlaku di kalangan umat-umat terdahulu sebelum kalian, yaitu hukuman mati
atau memaafkan secara cuma-cuma.
Seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami
Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan bahwa diwajibkan atas kaum Bani Israil hukuman qisas
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh tanpa ada pemaafan di kalangan mereka.
Maka Allah berfirman kepada umat ini (umat Nabi Muhammad Saw.): Diwajibkan
atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. Maka barang
siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178)
Pemaafan itu ialah menerima diat dalam kasus pembunuhan sengaja. Yang demikian
itu merupakan keringanan ketimbang apa yang diwajibkan atas kaum Bani Israil dan
umat-umat sebelum kalian. hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178)
Takwil ini telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja, melalui Amr.
Diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui Amr ibnu Dinar;
hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Jamaah melalui Mujahid, dari Ibnu
Abbas.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 178) Semoga Allah
merahmati umat ini, Allah telah memperkenankan bagi mereka makan hasil diat yang
belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumnya. Tersebutlah bahwa hukum
yang berlaku di kalangan ahli Taurat hanyalah qisas dan pemaafan tanpa diat.
Sedangkan dalam syariat ahli Injil, hanya maaf belaka yang dianjurkan kepada
mereka. Maka Allah menjadikan bagi umat ini hukum qisas dan pemaafan serta diat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Muqatil ibnu Hayyan,
dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنِ
اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang
sangat pedih. (Al-Baqarah: 178)
Dengan kata lain, barang siapa yang membunuh sesudah mengambil diat dari si
terbunuh atau sesudah ia setuju dengan diat, maka baginya siksa Allah yang
sangat pedih lagi menyakitkan dan sangat keras.
Demikianlah takwil ayat menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan
Muqatil ibnu Hayyan.
Kesimpulan dari semuanya itu, yang dimaksud dengan orang yang melampaui batas
ialah orang yang membunuh si pembunuh sesudah mengambil diat darinya.
قَالَ
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ
أَبِي الْعَوْجَاءِ، عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيِّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ
أُصِيبَ بِقَتْلٍ أَوْ خَبْل فَإِنَّهُ يَخْتَارُ إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ
يَقْتَصَّ، وَإِمَّا أَنْ يَعْفُوَ، وَإِمَّا أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ؛ فَإِنْ
أَرَادَ الرَّابِعَةَ فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ. وَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ
فَلَهُ نَارُ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا"
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Al-Haris ibnu Fudail, dari Sufyan ibnu
Abul Auja, dari Abu Syuraih Al-Khuza'i, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
Barang siapa yang tertimpa musibah pembunuhan atau pelukaan, maka
sesungguhnya dia memilih salah satu di antara tiga perkara, yaitu: Adakalanya
meng-qisas (pelakunya), adakalanya memaafnya, dan adakalanya mengambil diat.
Dan jika dia menghendaki yang keempat, maka belenggulah kedua tangannya
(lakukanlah qisas terhadapnya). Dan barang siapa yang melampaui batas sesudah
itu, maka baginya neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. (Riwayat Imam
Ahmad)
Sa'id ibnu Abu Urubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"لا
أُعَافِي رَجُلًا قَتَلَ بَعْدَ أَخْذِ الدِّيَةِ -يَعْنِي: لَا أَقْبَلُ مِنْهُ
الدِّيَةَ -بَلْ أَقْتُلُهُ"
Aku tidak akan memaafkan seorang lelaki yang membunuh (si pembunuh)
sesudah dia mengambil diat (darinya).
Dengan kata lain, aku tidak mau menerima diat darinya melainkan kujalankan
hukum qisas terhadapnya, tanpa ampun.
************
Firman Allah Swt.:
{وَلَكُمْ
فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ}
Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian.
(Al-Baqarah: 179)
Allah Swt. berfirman bahwa di dalam pen-tasyri'-an hukum qisas bagi
kalian, yakni membunuh si pembunuh, terkandung hikmah yang besar, yaitu jaminan
kelangsungan hidup dan terpeliharanya nyawa. Sesungguhnya seseorang itu apabila
mengetahui (jika dia membunuh seseorang, maka ia akan dikenai hukuman mati),
niscaya dia akan mencegah dirinya dari melakukan niatnya itu. Di dalam peraturan
ini terkandung jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia.
Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa hukum mati itu lebih
meniadakan pembunuhan. Maka pengertian ini diungkapkan oleh Al-Qur'an dengan
ungkapan yang lebih fasih, lebih mengena, dan lebih ringkas, yaitu melalui
firman-Nya: Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi
kalian. (Al-Baqarah: 179)
Abul Aliyah mengatakan, Allah menjadikan hukum qisas sebagai jaminan
kelangsungan hidup bagi kalian; karena berapa banyak orang dari kaum laki-laki
yang hendak melakukan pembunuhan, tetapi niatnya itu dia urungkan karena takut
akan terkena hukum qisas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu
Jubair, Abu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu
Hayyan.
************
Firman Allah Swt.:
{يَا
أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. (Al-Baqarah:
179)
Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang berakal, mempunyai pengertian dan
pemahaman (ditetapkan-Nya demikian itu) supaya kalian sadar dan menghentikan
hal-hal yang diharamkan Allah dan semua perbuatan dosa." Takwa merupakan isim
yang pengertiannya mencakup semua perbuatan taat dan menghentikan hal-hal yang
mungkar.
Al-Baqarah, ayat 180-182
{كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ
يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (181) فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ
جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (182) }
Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di
antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa, Maka barang siapa yang
mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah
bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat
itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka,
maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat yang mulia ini mengandung perintah berwasiat buat kedua orang tua dan
kaum kerabat. Pada mulanya hal ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang paling
sahih di antara dua pendapat, yakni sebelum turunnya ayat mawaris (pembagian
waris). Setelah ayat faraid (pembagian waris) diturunkan, maka ayat ini
di-mansukh olehnya.
Dengan demikian, sejak diturunkan ayat faraid, maka bagian-bagian waris yang
telah ditentukan merupakan hukum fardu dari Allah yang harus dilaksanakan oleh
orang-orang yang bersangkutan dengan tegas tanpa melalui proses wasiat lagi.
Hukum-hukum bagian waris ini tidak mengandung pengertian pemberian dari pihak
orang yang berwasiat.
Karena itu, telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan di dalam
kitab-kitab sunnah dan kitab lainnya, melalui Amr ibnu Kharijah yang
menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw, berkhotbah, yang antara
lain mengatakan:
"إِنِ
اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ"
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak atas
bagiannya (masing-masing), maka tidak ada lagi wasiat bagi ahli waris.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim
ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan
bahwa sahabat Ibnu Abbas duduk di suatu majelis, lalu ia membaca surat
Al-Baqarah sampai pada firman-Nya: Jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya. (Al-Baqarah: 180) Lalu ia
mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Hasyim, dari
Yunus dengan lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkannya pula di dalam kitab
Mustadrak-nya, dan mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat keduanya (yakni
Bukhari dan Muslim).
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil
firman-Nya: berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya.
(Al-Baqarah: 180) Pada mulanya tidak ada yang berhak mewaris selain dari ibu
bapak, kecuali melalui proses wasiat bagi kaum kerabat. Maka Allah menurunkan
ayat mira's (pembagian waris) dan menjelaskan padanya bagian waris dari
ibu bapak, serta menetapkan wasiat buat kaum kerabat dalam sepertiga dari harta
peninggalan si mayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: berwasiat buat ibu bapak dan kaum
kerabatnya. (Al-Baqarah: 180)
Ayat ini dimansukh oleh firman-Nya:
لِلرِّجالِ
نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا
تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً
مَفْرُوضاً
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan. (An-Nisa: 7)
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu
Musa, Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad
ibnu Sirin, Ikrimah, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, As-Saddi,
Muqatil ibnu Hayyan, Tawus Ibrahim An-Nakha'i, Syuraih, Ad-Dahhak, dan Az-Zuhri,
bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 180) telah dimansukh; yang me-mansukh-nya adalah
ayatul miras (ayat yang menerangkan bagian-bagian tertentu dalam
pewarisan).
Akan tetapi, yang mengherankan adalah pendapat yang dikatakan oleh Abu
Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi. Dia mengatakan di dalam kitab Tafsirul
Kabir-nya, meriwayatkan pendapat Abu Muslim Al-Asfahani, bahwa ayat ini tidak
di-mansukh, dan sesungguhnya ia hanya ditafsirkan oleh ayatul mawaris. Hal ini
berarti makna yang dimaksud ialah diwajibkan atas kalian apa yang telah
disyariatkan Allah kepada kalian tentang pembagian pusaka untuk ibu bapak dan
kaum kerabat, yakni bagian dari firman-Nya:
{يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ}
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak
kalian. (An-Nisa: 11)
Selanjutnya Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi mengatakan, hal ini
merupakan pendapat kebanyakan ahli tafsir dan ahli fiqih yang dianggap. Ia
mengatakan pula bahwa di antara mereka ada yang mengatakan, sesungguhnya surat
Al-Baqarah ayat 180 ini di-mansukh berkenaan dengan orang-orang yang mempunyai
hak waris, dan tetap hukumnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai hak waris.
Pendapat ini merupakan mazhab Ibnu Abbas, Al-Hasan, Masruq, Thawus, Ad-Dahhak,
Muslim ibnu Yasar, dan Al-Ala ibnu Ziad.
Menurut kami, pendapat ini dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Ar-Rabi'
ibnu Anas, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan; tetapi pendapat mereka ini menurut
peristilahan di kalangan kami ulama mutaakhkhirin bukan dinamakan nasakh,
karena ayatul mawaris hanyalah menghapus sebagian hukum yang ditunjukkan oleh
keumuman makna ayat wasiat. Mengingat istilah kaum kerabat mencakup orang-orang
yang mempunyai hak waris dan orang-orang yang tidak mempunyai hak waris, maka
dihapuslah hukum yang menyangkut orang-orang yang berhak mewaris karena telah
ada bagian tertentu baginya, sedangkan untuk yang lainnya yang tidak mempunyai
bagian tertentu masih tetap berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh ayat pertama
(Al-Baqarah ayat 180). Pengertian ini hanyalah berdasarkan interpretasi pendapat
sebagian dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa wasiat itu pada permulaan
Islam hanyalah sunat, hingga ia di-mansukh.
Menurut orang yang berpendapat bahwa hukum wasiat itu pada mulanya adalah
wajib, seperti yang ditunjukkan oleh makna lahiriah konteks ayat, maka sudah
dapat ditentukan bahwa ia di-mansukh oleh ayat miras. Seperti yang
dikatakan oleh kebanyakan Mufassirin dan para ahli fiqih terkemuka. Mereka
mengatakan, sesungguhnya hukum wajib berwasiat buat kedua orang tua dan kaum
kerabat yang mewaris dimansukh oleh ayat miras menurut ijma', dan bahkan
dilarang karena dalil hadis yang telah lalu, yaitu sabda Nabi Saw.:
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak (mewaris)
bagiannya masing-masing. Maka tidak ada wasiat (lagi) bagi orang yang
mewaris.
Ayat mengenai pembagian waris merupakan hukum menyendiri dan kewajiban dari
sisi Allah buat orang-orang yang memiliki bagian tertentu dan asabah.
Ayat ini menghapuskan hukum yang mewajibkan wasiat secara keseluruhan.
Dengan demikian, yang tertinggal adalah kaum kerabat yang tidak mempunyai
bagian tertentu. Untuk mereka disunatkan berwasiat yang diambil dari sepertiga
harta peninggalan, demi menghargai ayat wasiat dan keumuman maknanya; juga
karena apa yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Umar r.a.,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ
لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ". قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا
مَرَّتْ عَلَيّ لَيْلَةً مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ إِلَّا وَعِنْدِي وَصِيَّتِي
Tiadalah kewajiban seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang akan ia
wasiatkan, lalu ia lewatkan waktu selama dua malam, melainkan wasiatnya itu
harus sudah tertulis di sisinya. Selanjutnya Ibnu Umar r.a. mengatakan,
"Tidak sekali-kali lewat bagiku satu malam sejak aku mendengar hadis ini dari
Rasulullah Saw. kecuali wasiatku telah kupersiapkan di sisiku."
Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi Saw. yang menganjurkan berbuat baik
kepada kaum kerabat dan menyantuni mereka sangat banyak.
قَالَ
عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ
مُبَارَكِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ نَافِعٍ قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ
آدَمَ، ثِنْتَانِ لَمْ يَكُنْ لَكَ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا: جَعَلْتُ لَكَ نَصِيبًا
فِي مَالِكَ حِينَ أَخَذْتُ بِكَظْمِكَ؛ لِأُطَهِّرَكَ بِهِ وَأُزَكِّيَكَ،
وَصَلَاةُ عِبَادِي عَلَيْكَ بَعْدَ انْقِضَاءِ أَجَلِكَ".
Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan
kepada kami Abdullah, dari Mubarak ibnu Hassan, dari Nafi' yang menceritakan,
Abdullah pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt.
berfirman, "Hai anak Adam, ada dua perkara yang tiada satu pun di antaranya
merupakan milikmu: Aku jadikan buatmu suatu bagian pada harta milikmu di saat
Aku menimpakan sakit kepadamu untuk membersihkan dan menyucikan dirimu
melaluinya, dan salat hamba-hamba-Ku untukmu sesudah kamu menunaikan ajalmu
(mati)."
**************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ
تَرَكَ خَيْرًا}
jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180)
Yang dimaksud dengan khairan atau kebaikan ialah harta benda. Demikianlah
menurut pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah,
Atiyyah Al-Aufi, Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan,
Qatadah, dan lain-lainnya.
Kemudian sebagian di antara mereka mengatakan bahwa wasiat itu disyariatkan
tanpa memandang apakah harta peninggalan berjumlah banyak ataupun sedikit,
perihalnya sama dengan yang untuk ahli waris.
Di antara mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wasiat itu diwajibkan hanya
bila orang yang bersangkutan meninggalkan harta yang berjumlah banyak. Kemudian
mereka berselisih pendapat mengenai kadar yang termasuk jumlah banyak ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hisyam
ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Ali r.a.
bahwa sesungguhnya seorang lelaki dari kabilah Quraisy telah meninggal dunia dan
meninggalkan harta sebanyak tiga ratus atau empat ratus dinar, tetapi ia tidak
berwasiat. Maka Ali r.a. menjawab bahwa jumlah tersebut masih belum banyak,
karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: jika ia meninggalkan harta
yang banyak. (Al-Baqarah: 180)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu
Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman),
dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa Ali r.a. masuk ke dalam rumah
seorang lelaki dari kalangan kaumnya (Quraisy) untuk menjenguknya. Maka lelaki
itu berkata kepadanya, "Apakah aku harus berwasiat?" Ali r.a. menjawab:
"Sesungguhnya Allah Swt. hanya mengatakan dalam firman-Nya, ‘Jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat' (Al-Baqarah: 180) Dan
sesungguhnya harta yang kamu tinggalkan hanyalah berjumlah sedikit, maka
biarkanlah untuk anakmu.”
Imam Hakim bin Iban mengatakan: pernah menceritakan kepadaku sebuah asar dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Jika ia
meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180) Maka Ibnu Abbas berkata,
"Barang siapa yang tidak meninggalkan sejumlah enam puluh dinar, berarti dia
tidak meninggalkan kebaikan (harta yang banyak)."
Imam Hakim mengatakan bahwa Tawus pernah mengatakan, "Masih belum dikatakan
meninggalkan harta yang banyak seseorang yang tidak meninggalkan harta sejumlah
delapan puluh dinar."
Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan harta yang banyak ialah sejumlah
seribu dinar hingga lebih.
Yang dimaksud dengan bil ma'ruf ialah dengan cara yang baik dan lemah
lembut.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu
Basysyar, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu
Mansur, dari Al-Hasan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Diwajibkan atas
kalian apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut.
(Al-Baqarah: 180) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Sebaik-baik wasiat, yang
merupakan perkara yang hak atas setiap orang muslim, ialah hendaknya ia
berwasiat dengan cara yang makruf (bukan mungkar) apabila kedatangan tanda-tanda
maut." Yang dimaksud dengan cara yang makruf ialah hendaknya dia berwasiat untuk
kaum kerabatnya suatu wasiat yang tidak menghabiskan bagian ahli warisnya, yakni
tidak berlebih-lebihan dan tidak pula terlalu pelit. Seperti yang disebutkan di
dalam hadis Sahihain, yaitu:
أَنَّ
سَعْدًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي مَالًا وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا
ابْنَةٌ لِي، أَفَأُوصِي بثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: "لَا" قَالَ: فبالشَّطْر؟ قَالَ:
"لَا" قَالَ: فَالثُّلُثُ ؟
قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ؛ إِنَّكَ أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن
تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ".
Bahwa Sa'd bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta
yang banyak, sedangkan aku tidak mempunyai ahli waris selain anak perempuanku,
maka bolehkah aku berwasiat dengan dua pertiga hartaku?" Rasul Saw. menjawab,
"Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan separonya?" Rasul Saw.
menjawab, "Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan sepertiga?" Rasul
Saw. menjawab, "Sepertiga, ya sepertiga cukup banyak. Sesungguhnya kamu jika
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, jauh lebih baik daripada
kamu tinggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang
lain."
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah
mengatakan:
لَوْ
أَنَّ النَّاسَ غَضوا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ
كَثِيرٌ"
Seandainya orang-orang mengurangi sepertiga hingga seperempatnya (niscaya
baik bagi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, "Sepertiga.
Sepertiga itu cukup banyak."
رَوَى
الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، عَنْ ذَيَّالِ
بْنِ عُبَيْدِ بْنِ حَنْظَلَةَ، سَمِعْتُ حَنْظَلَةَ بْنَ حِذْيَمِ بْنِ حَنِيفَةَ:
أَنَّ جِدَّهُ حَنِيفَةَ أَوْصَى لِيَتِيمٍ فِي حِجْرِهِ بِمِائَةٍ مِنَ الْإِبِلِ،
فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى بَنِيهِ، فَارْتَفَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ حَنِيفَةُ: إِنِّي أَوْصَيْتُ لِيَتِيمٍ لِي بِمِائَةٍ
مِنَ الْإِبِلِ، كُنَّا نُسَمِّيهَا الْمُطَيَّبَةَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، "لَا لَا لَا. الصَّدَقَةُ: خَمْسٌ، وَإِلَّا فعَشْر،
وَإِلَّا فَخَمْسَ عَشْرَةَ، وَإِلَّا فَعِشْرُونَ، وَإِلَّا فَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ،
وَإِلَّا فَثَلَاثُونَ، وَإِلَّا فَخَمْسٌ وَثَلَاثُونَ، فَإِنْ أَكْثَرْتَ
فَأَرْبَعُونَ". وَذَكَرَ
الْحَدِيثَ بِطُولِهِ
Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id maula Bani Hasyim, dari Ziad ibnu Atabah
ibnu Hanzalah bahwa ia pernah mendengar Hanzalah ibnu Juzaim ibnu Hanifah
menceritakan bahwa kakeknya yang bernama Hanifah pernah berwasiat seratus ekor
unta untuk seorang anak yatim yang berada dalam pemeliharaannya. Hal tersebut
dirasakan amat berat bagi anak-anaknya, lalu mereka melaporkan hal tersebut
kepada Rasulullah Saw. Hanifah berkata, "Sesungguhnya aku mewasiatkan buat anak
yatimku ini sebanyak seratus ekor unta. Unta-unta itu kami namakan Matiyyah."
Maka Nabi Saw. menjawab: Tidak, tidak, tidak, sedekah (zakat) saja hanya
seperlimanya. Jika tidak, maka sepuluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka lima
belas ekor unta saja; dan jika tidak, maka dua puluh ekor unta saja; dan jika
tidak, maka dua puluh lima ekor unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh ekor
unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh lima ekor unta saja. Akan tetapi,
jika ternak unta berjumlah banyak, boleh empat puluh ekor unta. Lalu hadis
ini dikemukakannya hingga selesai.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ
يُبَدِّلُونَهُ}
Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka
sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. (Al-Baqarah:
181)
Yakni barang siapa yang mengubah wasiat dan menyelewengkannya hingga
menyimpang dari ketentuannya, baik dengan melebihkannya atau menguranginya, dan
termasuk ke dalam pengertian ini ialah orang yang menyembunyikan wasiat secara
lebih prioritasnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang
mengubahnya.
Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan, "Pahala mayat tetap ada di sisi
Allah, sedangkan dosa mengubah wasiat ditanggung oleh orang-orang yang
mengubahnya."
{إِنَّ
اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah:
181)
Yakni Allah melihat apa yang diwasiatkan oleh si mayat, dan Dia Maha
Mengetahui hal tersebut dan apa yang diubah oleh orang-orang yang menerima
wasiat.
**************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا}
(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu
berlaku berat sebelah atau berbuat dosa. (Al-Baqarah: 182)
Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi
mengatakan bahwa al-janaf ialah keliru, tetapi yang ini pengertiannya
mencakup segala macam kekeliruan. Misalnya mereka menambahkan bagian salah
seorang ahli waris dengan memakai suatu perantara atau suatu cara. Umpamanya
bila ia mewasiatkan untuk menjual sesuatu kepada si Fulan dengan harga yang
sangat murah, atau mewasiatkan sesuatu kepada cucu lelakinya yang lahir dari
anak perempuan dengan tujuan untuk menambah bagian si anak perempuan, atau
dengan cara lainnya. Hal ini dia lakukan baik secara tidak sengaja —karena
terdorong oleh emosi dan kekuatan kasih sayangnya tanpa berpikir terlebih
dahulu— ataupun ia lakukan dengan sengaja tanpa memikirkan dosanya, maka dalam
keadaan seperti ini si penerima harus memperbaiki permasalahannya dan bersikap
adil dalam menangani wasiat yang diterimanya itu sesuai dengan ketentuan hukum
syara'. Dan hendaknya merevisi apa yang diwasiatkan oleh si mayat dengan
meluruskannya kepada apa yang lebih dekat kepada hukum yang benar dan maksud
yang dituju oleh si mayat. Singkatnya, menggabungkan tujuan si pemberi wasiat
dengan hukum syar'i. Perbaikan dan penyesuaian ini sama sekali bukan termasuk ke
dalam pengertian mengubah wasiat. Karena itulah maka ia di-'ataf"-kan
(dikaitkan) dengan kalimat sebelumnya yang menunjukkan pengertian dilarang,
untuk diketahui bahwa cara ini sama sekali berbeda dengan cara pertama tadi.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ بْنِ مَزيد،
قِرَاءَةً، أَخْبَرَنِي أَبِي، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ الزُّهْرِيُّ:
حَدَّثَنِي عُرْوَةُ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: أَنَّهُ قَالَ: "يُرَدّ مِنْ صَدقة الْحَائِفِ فِي حَيَاتِهِ مَا
يُرَدُّ مِنْ وَصِيَّةِ الْمُجْنِفِ عِنْدَ مَوْتِهِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul
Walid ibnu Mazid secara qiraah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari
Al-Auza'i, bahwa Az-Zuhri pernah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah,
dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dikembalikan sebagian
dari sedekah orang yang aniaya selagi ia masih hidup, sebagaimana dikembalikan
sebagian wasiat orang yang berat sebelah setelah ia meninggal dunia.
Diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Abbas ibnul
Walid dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Al-Walid ibnu
Mazid melakukan kekeliruan padanya, perkataan ini hanyalah dari Urwah saja.
Al-Walid ibnu Muslim meriwayatkannya pula dari Al-Auza'i, dan dalam sanadnya ini
ia tidak sampai kepada Urwah.
قَالَ
ابْنُ مَرْدويه أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ،
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ،
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيِ هِنْدٍ، عَنْ
عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "الْحَيْفُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ"
Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yusuf, telah
menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Umar
ibnul Mugirah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari
Nabi Saw. yang bersabda: Berat sebelah dalam wasiat merupakan dosa
besar.
Mengenai status rafa" hadis ini masih perlu dipertimbangkan.
Hadis yang paling baik mengenai bab ini ialah apa yang dikatakan oleh Abdur
Razzaq:
حَدَّثَنَا
مَعْمَر، عَنْ أشعثَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ شَهْر بْنِ حَوْشَب، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"إِنَّ الرَّجُلَ ليعملُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْخَيْرِ سبعينَ سنة، فإذا أوصى حاف في
وصيته فَيُخْتَمُ لَهُ بِشَرِّ عَمَلِهِ، فَيَدْخُلُ النَّارَ، وَإِنَّ الرجل ليعمل
بعَمَل أهل الشر سبعينَ سنة، فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ
عَمَلِهِ، فيدخل الجنة"
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Asy'as ibnu Abdullah, dari Syahr
ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu
amalan ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun; tetapi apabila ia berwasiat, lalu
ia berat sebelah dalam wasiatnya itu, maka dia akan diakhiri dengan keburukan
amalnya, lalu dimasukkan ke dalam neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki
benar-benar mengamalkan suatu amalan ahli keburukan selama tujuh puluh tahun,
tetapi ternyata berlaku adil dalam wasiatnya, maka dia akan diakhiri dengan
kebaikan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam surga.
Selanjutnya Abu Hurairah r.a. mengatakan, "Bacalah oleh kalian bila kalian
suka," yaitu firman-Nya: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian
melanggarnya. (Al-Baqarah: 229)
Al-Baqarah, ayat 183-184
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ
خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ (184) }
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara
kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian
mengetahui.
Melalui ayat ini Allah Swt. ber-khitab kepada orang-orang mukmin dari
kalangan umat ini dan memerintahkan kepada mereka berpuasa, yaitu menahan diri
dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt.
Karena di dalam berpuasa terkandung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya
serta membebaskannya dari endapan-endapan yang buruk (bagi kesehatan tubuh) dan
akhlak-akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, sebagaimana puasa diwajibkan atas mereka, sesungguhnya
Allah pun telah mewajibkannya atas umat-umat sebelum mereka. Dengan demikian,
berarti mereka mempunyai teladan dalam berpuasa, dan hal ini memberikan semangat
kepada mereka dalam menunaikan kewajiban ini, yaitu dengan penunaian yang lebih
sempurna dari apa yang telah ditunaikan oleh orang-orang sebelum mereka. Seperti
yang disebutkan oleh firman-Nya:
لِكُلٍّ
جَعَلْنا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهاجاً وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً
واحِدَةً وَلكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتاكُمْ فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْراتِ
Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat
(saja); tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (Al-Maidah: 48), hingga akhir
ayat.
Karena itulah maka dalam ayat ini disebutkan:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.
(Al-Baqarah: 183)
Dikatakan demikian karena puasa mengandung hikmah menyucikan tubuh dan
mempersempit jalan-jalan setan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain,
yaitu:
"يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ"
Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu memberi nafkah, maka
kawinlah; dan barang siapa yang tidak mampu (memberi nafkah), hendaklah ia
berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya.
Kemudian Allah Swt. menjelaskan batas hari-hari yang dilakukan padanya puasa,
hal itu dilakukan bukan setiap hari agar tidak berat dikerjakan yang akibatnya
nanti tubuh menjadi lemah dalam menunaikannya, melainkan hanya dalam beberapa
hari tertentu. Memang demikianlah cara ibadah puasa pada permulaan Islam, yaitu
mereka melakukan puasa tiga hari setiap bulan. Kemudian hal ini di-mansukh oleh
perintah puasa bulan Ramadan sepenuhnya, seperti yang akan dijelaskan
kemudian.
Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa ibadah puasa pada permulaan Islam
dilakukan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum
kita, yaitu setiap bulannya tiga hari. Riwayat ini dari Mu'az, Ibnu Mas'ud, Ibnu
Abbas, Ata, Qatadah, dan Ad-Dahhak Ibnu Muzahim. Puasa demikian masih terus
berlangsung sejak zaman Nabi Nuh a.s. sampai Allah me-nasakh-nya. dengan puasa
bulan Ramadan.
Abbad ibnu Mansur meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa,
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. (Al-Baqarah: 183-184) Maka
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Memang benar, demi Allah, sesungguhnya ibadah
puasa diwajibkan atas semua umat yang telah lalu, sebagaimana diwajibkan atas
kita sebulan penuh; yang dimaksud dengan ayyamam ma'dudat ialah hari-hari
tertentu yang telah dimaklumi." Dan telah diriwayatkan dari As-Saddi hal yang
semisal.
وَرَوَى
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِيِّ،
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
الْوَلِيدِ، عَنْ أَبِي الرَّبِيعِ، رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "صِيَامُ رَمَضَانَ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ.."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadis Abu Abdur Rahman Al-Muqri yang
mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan
kepadaku Abdullah ibnul Walid, dari Abur Rabi' (seorang ulama Madinah), dari
Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Puasa bulan Ramadan diwajibkan oleh Allah atas umat-umat terdahulu.
Demikianlah nukilan dari sebuah hadis panjang, yang sengaja kami singkat
seperlunya menyangkut pembahasan ini.
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari orang yang
menerimanya dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kalian. (Al-Baqarah: 183) Bahwa diwajibkan atas mereka
apabila seseorang di antara mereka salat malam hari lalu tidur, maka diharamkan
atasnya makan, minum, dan bersetubuh dengan istri sampai waktu yang semisal di
besok malamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, Abul Aliyah, Abdur Rahman ibnu Abu Laila, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,
Muqatil Ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ata Al-Khurrasani.
Ata Al-Khurrasani meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.
(Al-Baqarah: 183) Yakni atas kaum Ahli Kitab.
Telah diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, As-Saddi serta Ata Al-Khurrasani hal yang
semisal.
Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa menurut apa yang berlaku di masa
permulaan Islam. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ}
Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 184)
Artinya, orang yang sakit dan orang yang bepergian tidak boleh puasa di saat
sakit dan bepergian, mengingat puasa memberatkan keduanya, bahkan keduanya boleh
berbuka dan mengqadai puasa yang ditinggal-kannya itu di hari-hari yang lain
sebanyak yang ditinggalkannya. Orang yang sehat lagi berada di tempat, tetapi
berat menjalankan puasa, sesungguhnya dia boleh memilih antara puasa dan memberi
makan. Dengan kata lain, jika dia suka, boleh puasa; dan jika ia suka berbuka,
maka berbuka boleh baginya, tetapi dia harus memberi makan seorang miskin setiap
hari. Jika dia memberi makan lebih banyak dari seorang miskin untuk setiap
harinya, maka hal ini lebih baik baginya. Jika ia berpuasa, maka puasa lebih
utama baginya daripada memberi makan. Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu
Abbas, Mujahid, Tawus, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya dari kalangan ulama
Salaf. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
{وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ}
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.
(Al-Baqarah: 184)
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ،
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرّة، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ
مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أُحِيلَتِ الصَّلَاةُ
ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ، وَأُحِيلَ الصِّيَامُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ؛ فَأَمَّا
أَحْوَالُ الصَّلَاةِ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ
الْمَدِينَةَ، وَهُوَ يُصَلِّي سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ،
ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ عَلَيْهِ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ
وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا} [الْبَقَرَةِ:
144] فوجهَهُ اللهُ إِلَى مَكَّةَ. هَذَا حَوْلٌ. قَالَ:
وَكَانُوا يَجْتَمِعُونَ لِلصَّلَاةِ ويُؤْذِنُ بِهَا بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى
نَقَسُوا أَوْ كَادُوا يَنْقُسُون. ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، يُقَالُ
لَهُ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ، أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي رَأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ
-وَلَوْ قلتُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ نَائِمًا لصدقتُ -أَنِّي بَيْنَا أَنَا بَيْنَ
النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ إذْ رَأَيْتُ شَخْصًا عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَخْضَرَانِ،
فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ -مَثْنَى حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْأَذَانِ، ثُمَّ
أَمْهَلَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ مِثْلَ الذِي قَالَ، غَيْرَ أَنَّهُ يَزِيدُ فِي
ذَلِكَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ -مَرَّتَيْنِ -قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلِّمْهَا بِلَالًا فَلْيؤذن بِهَا". فَكَانَ
بِلُالٌ أَوَّلَ مَنْ أَذَّنَ بِهَا. قَالَ: وَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ،
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، [إِنَّهُ] قَدْ طَافَ بِي
مِثْلَ الذِي طَافَ بِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ سَبَقَنِي، فَهَذَانِ
حَالَانِ. قَالَ:
وَكَانُوا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ -قَدْ سَبَقَهُمُ النَّبيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، فَكَانَ الرَّجُلُ يُشِيرُ إِلَى الرَّجُلِ إِذًا كَمْ
صَلَّى، فَيَقُولُ: وَاحِدَةٌ أَوِ اثْنَتَيْنِ، فَيُصَلِّيهِمَا، ثُمَّ يَدْخُلُ
مَعَ الْقَوْمِ فِي صَلَاتِهِمْ. قَالَ: فَجَاءَ مُعَاذٌ فَقَالَ: لَا أَجِدُهُ
عَلَى حَالٍ أَبَدًا إِلَّا كنتُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قضيتُ مَا سَبَقَنِي. قَالَ:
فَجَاءَ وَقَدْ سَبَقه النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا،
قَالَ: فثَبَتَ مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَامَ فَقَضَى، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "إِنَّهُ قَد سَنَّ لَكُمْ مُعَاذ، فَهَكَذَا فَاصْنَعُوا". فَهَذِهِ
ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ
وَأَمَّا
أَحْوَالُ الصِّيَامِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَجَعَلَ يصومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ،
وَصَامَ عَاشُورَاءَ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِ الصِّيَامَ، وَأَنْزَلَ
اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ} . إِلَى
قَوْلِهِ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فَكَانَ
مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ.
ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الْآيَةَ الْأُخْرَى: {شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} فَأَثْبَتَ اللهُ صيامَه عَلَى الْمُقِيمِ
الصَّحِيحِ ورخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ، وَثَبَتَ الإطعامُ
لِلْكَبِيرِ الذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصِّيَامَ، فَهَذَانَ
حَالَانِ. قَالَ:
وَكَانُوا يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَيَأْتُونَ النِّسَاءَ مَا لَمْ يَنَامُوا،
فَإِذَا نَامُوا امْتَنَعُوا، ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ:
صِرْمَةُ، كَانَ يَعْمَلُ صَائِمًا حَتَّى أَمْسَى، فَجَاءَ إِلَى أَهْلِهِ
فَصَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ نَامَ فَلَمْ يَأْكُلْ وَلَمْ يَشْرَبْ، حَتَّى
أَصْبَحَ فَأَصْبَحَ صَائِمًا، فَرَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَقَدْ جَهِدَ جَهْدًا شَدِيدًا، فَقَالَ: مَا لِي أَرَاكَ قَدْ جَهِدْت
جَهْدًا شَدِيدًا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَمِلْتُ أَمْسِ فجئتُ حِينَ
جئتُ فألقيتُ نَفْسِي فَنِمْتُ فَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِمًا. قَالَ:
وَكَانَ عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنَ النِّسَاءِ بَعْدَ مَا نَامَ، فَأَتَى النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} إِلَى
قَوْلِهِ: {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah
menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu
Murrah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az ibnu Jabal r.a. yang
menceritakan bahwa ibadah salat difardukan melalui tiga tahapan, dan ibadah
puasa difardukan melalui tiga tahapan pula. Adapun mengenai tahapan-tahapan
ibadah salat ialah ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, maka beliau Saw. salat
dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis selama tujuh belas bulan. Kemudian Allah
Swt. menurunkan kepadanya ayat berikut, yaitu firman-Nya: Sungguh Kami
(sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan
kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144), hingga akhir ayat. Maka
Allah Swt. memalingkannya ke arah Mekah; hal ini merupakan tahapan pertama.
Mu'az ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya mereka berkumpul
menunaikan salat dengan cara sebagian dari mereka mengundang sebagian lainnya
hingga akhirnya mereka membuat kentong atau hampir saja mereka membuat kentong
untuk tujuan tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar —yang
dikenal dengan nama Abdullah ibnu Zaid ibnu Abdu Rabbih— datang kepada
Rasulullah Saw. Lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat
dalam mimpiku suatu peristiwa yang jika aku tidak tidur, niscaya aku percaya
kepada apa yang kulihat itu. Sesungguhnya ketika aku dalam keadaan antara tidur
dan terjaga, tiba-tiba aku melihat seseorang yang memakai baju rangkap yang
kedua-duanya berwarna hijau. Lelaki itu menghadap ke arah kiblat, lalu
mengucapkan. 'Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Mahabesar, Allah
Mahabesar), asyhadu alia ilaha illallah (aku bersaksi tidak ada Tuhan
selain Allah).' Ia membacanya dua kali-dua kali hingga selesai azannya. Kemudian
berhenti sesaat. Setelah itu ia mengucapkan hal yang sama, hanya kali ini dia
menambahkan kalimat qad qamatis salah (sesungguhnya salat akan didirikan)
sebanyak dua kali." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Ajarkanlah itu kepada
Bilal, maka Bilal menyerukan azan dengan kalimat ini. Maka Bilal adalah
orang yang mula-mula menyerukan azan dengan kalimat ini. Mu'az ibnu Jabar r.a.
melanjutkan kisahnya, bahwa lalu datanglah Umar ibnul Khattab r.a. dan
mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pun pernah bermimpi melihat
seperti apa yang dilihatnya, hanya dia lebih dahulu dariku." Hal yang telah kami
sebutkan di atas merupakan dua tahapan, yaitu tahapan pertama dan kedua. Mu'az
ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya para sahabat sering
datang terlambat di tempat salat; mereka datang ketika Nabi Saw. telah
menyelesaikan sebagian dari salatnya. Maka seorang lelaki dari mereka bertanya
kepada salah seorang yang sedang salat melalui isyarat yang maksudnya ialah
berapa rakaat salat yang telah dikerjakan. Lelaki yang ditanya menjawabnya
dengan isyarat satu atau dua rakaat. Lalu dia mengerjakan salat yang tertinggal
itu sendirian, setelah itu ia baru masuk ke dalam jamaah, menggabungkan diri
bermakmum kepada Nabi Saw. Perawi mengatakan, lalu datanglah Mu'az dan berkata,
"Tidak sekali-kali ada suatu tahapan yang baru yang dialami oleh Nabi Saw.
melainkan aku terlibat di dalamnya." Pada suatu hari ia datang, sedangkan Nabi
Saw. telah mendahuluinya dengan sebagian salatnya. Maka Mu'az langsung ikut
bermakmum kepada Nabi Saw. Setelah Nabi Saw. menyelesaikan salatnya, bangkitlah
Mu'az melanjutkan salatnya yang ketinggalan. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya Mu'az telah membuat suatu peraturan bagi kalian, maka tirulah
oleh kalian perbuatannya itu (yakni langsung masuk ke dalam berjamaah;
apabila imam selesai dari salatnya, baru ia menyelesaikan rakaat yang tertinggal
sendirian). Hal yang ketiga ini merupakan tahapan terakhir dari salat.
Keadaan-keadaan atau tahapan yang dialami oleh ibadah puasa ialah ketika
Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau puasa tiga hari setiap bulannya, juga
puasa 'Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa atasnya melalui firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa —sampai
dengan firman-Nya— Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin. (Al-Baqarah: 183-184) Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia
boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan seorang
miskin sebagai ganti dari puasanya. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat lain,
yaitu firman-Nya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an —sampai dengan
firman-Nya— Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
(Al-Baqarah: 185) Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas orang mukim
yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang
sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi lansia yang
tidak kuat lagi melakukan puasa. Demikianlah dua tahapan yang dialami oleh
puasa. Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum, dan mendatangi istri selagi
mereka belum tidur; tetapi apabila telah tidur, mereka dilarang melakukan hal
tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar yang dikenal dengan
nama Sirmah. Dia bekerja di siang harinya sambil puasa hingga petang hari, lalu
ia pulang ke rumah dan salat Isya, kemudian ketiduran dan belum sempat lagi
makan dan minum karena terlalu lelah hingga keesokan harinya. Keesokan harinya
ia melanjutkan puasa-nya, maka Rasulullah Saw. melihat dirinya dalam keadaan
sangat kepayahan, lalu beliau Saw. bertanya, "Kulihat dirimu tampak sangat
payah dan letih." Sirmah menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kemarin
aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung merebahkan diri karena sangat
lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi hari dan aku terus dalam keadaan puasa."
Disebutkan pula bahwa Umar telah menggauli istrinya sesudah tidur, lalu ia
datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan apa yang telah dialaminya itu. Maka
Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari
puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya—
kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam hari. (Al-Baqarah:
187).
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya, dan Imam
Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui hadis Al-Mas'udi dengan lafaz yang
sama.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis
Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan:
كَانَ
عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ
وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu yang mewajibkan
puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin puasa 'Asyura boleh melakukannya; dan
orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa 'Asyura.
Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya pula melalui Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud
dengan lafaz yang semisal.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}
Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.
(Al-Baqarah: 184)
Seperti yang dijelaskan oleh Mu'az ibnu Jabal, yaitu 'pada mulanya barang
siapa yang ingin puasa, maka ia boleh puasa; dan barang siapa yang tidak ingin
puasa, maka ia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya'.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari melalui Salamah ibnul Akwa'
yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Dan wajib bagi orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu)
memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Maka bagi orang yang hendak
berbuka, ia harus menebusnya dengan fidyah hingga turunlah ayat yang
selanjutnya, yaitu berfungsi me-nasakh-nya.
Telah diriwayatkan pula melalui hadis Ubaidillah, dari Nafi, dari Ibnu Umar
yang pernah mengatakan bahwa memang ayat ini di-mansukh oleh ayat
sesudahnya.
As-Saddi meriwayatkan dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang
mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya:. Dan wajib bagi orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu)
memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)
Yang dimaksud dengan yutiqunahu ialah mengerjakannya dengan penuh
masyaqat (berat). Orang yang ingin puasa, mengerjakan puasa; dan orang
yang ingin berbuka, maka ia berbuka dan memberi makan seorang miskin sebagai
fidyah. Yaitu yang dimaksud dengan firman-Nya: Barang siapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan. (Al-Baqarah: 184) Yakni barang siapa
yang memberi makan seorang miskin lagi, maka itulah yang lebih baik baginya,
tetapi berpuasa lebih baik bagi kalian (daripada berbuka dan memberi makan
seorang miskin). (Al-Baqarah: 184)
Pada mulanya mereka tetap dalam keadaan demikian hingga ayat ini di-mansukh
oleh firman-Nya: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
(Al-Baqarah: 185)
Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah
menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu
Ishaq, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, dari Ata; ia pernah
mendengar Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi
makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Lalu Ibnu Abbas mengatakan bahwa
ayat ini tidak di-mansukh, yaitu berkenaan bagi manula laki-laki dan perempuan
yang tidak mampu mengerjakan ibadah puasa, maka keduanya harus memberi makan
seorang miskin untuk setiap harinya.
Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh seorang ulama, dari Sa'id
ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur
Rahim ibnu Sulaiman, dari Asy'as ibnu Si war, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa ayat ini (yakni firman-Nya): Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu)
memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) diturunkan berkenaan dengan
manula yang tidak kuat puasa; jika puasa, keadaannya sangat lemah. Maka Allah
memberinya keringanan boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk
setiap harinya.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu
Bahran Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Baqiyyah, telah
menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdullah, dari Ibnu Abu Laila yang
menceritakan, "Ata masuk menemuiku dalam bulan Ramadan, sedangkan dia tidak
berpuasa, lalu ia mengatakan, 'Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa ayat ini
(Al-Baqarah ayat 185) diturunkan me-nasakh ayat yang sebelumnya, kecuali orang
yang sudah lanjut usia; maka jika ingin berbuka, ia boleh berbuka dengan memberi
makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya'."
Kesimpulan bahwa nasakh berlaku bagi orang sehat yang mukim di tempat
tinggalnya harus puasa karena berdasarkan firman-Nya: Karena itu, barang
siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)
Orang yang sudah sangat lanjut usia dan tidak mampu melakukan puasa, boleh
berbuka dan tidak wajib qada baginya karena keadaannya bukanlah seperti keadaan
orang yang mampu mengqadainya. Tetapi bila ia berbuka, apakah wajib baginya
memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, jika memang dia orang yang
lemah kondisinya karena usia yang sudah tua? Ada dua pendapat di kalangan ulama
sehubungan dengan masalah ini. Pertama, tidak wajib baginya memberi makan
seorang miskin, mengingat kondisinya lemah, tidak kuat melakukan puasa karena
pengaruh usia yang sudah sangat tua; maka tidak wajib baginya membayar fidyah,
perihalnya sama dengan anak kecil. Karena Allah Swt. tidak sekali-kali
mernbebankan kepada seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Pendapat ini
merupakan salah satu pendapat Imam Syafii. Kedua, pendapat yang sahih dan
di-jadikan pegangan oleh kebanyakan ulama, yaitu wajib baginya membayar fidyah
setiap hari yang ditinggalkannya. Seperti penafsiran ibnu Abbas dan lain-lainnya
dari kalangan ulama Salaf berdasarkan qiraat orang-orang yang membacakan wa'alal
lazina yufiqunahu, yakni berat menjalankannya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud dan lain-lain-nya. Hal ini
merupakan pendapat yang dipilih oleh Imam Bukhari, karena Imam Bukhari
mengatakan, "Adapun orang yang berusia lanjut, bila tidak mampu mengerjakan
puasa, maka dia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang
ditinggalkannya. Sesungguhnya Anas sesudah usianya sangat lanjut, setiap hari
yang ditinggalkannya ia memberi makan seorang miskin berupa roti dan daging,
lalu ia sendiri berbuka (tidak puasa); hal ini dilakukannya selama satu atau dua
tahun."
Riwayat yang dinilai mu'allaq oleh Imam Bukhari ini diriwayatkan pula oleh
Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli di dalam kitab Musnad-nya. Untuk itu dia
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu'az, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Imran, dari
Ayyub ibnu Abu Tamimah yang menceritakan bahwa Anas r.a. tidak mampu mengerjakan
puasa karena usianya yang sangat lanjut, maka ia memasak makanan Sarid dalam
panci, lalu ia memanggil tiga puluh orang miskin dan memberi mereka makan.
Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Rauh ibnu Ubadah, dari
Imran (yakni Ibnu Jarir), dari Ayyub dengan lafaz yang sama.
Abdu meriwayatkan pula melalui hadis Sittah, bersumber dari murid-murid Anas,
dari Anas hal yang semakna.
Termasuk ke dalam pengertian ini ialah wanita yang sedang hamil dan yang
sedang menyusui, jika keduanya merasa khawatir terhadap kesehatan dirinya atau
kesehatan anaknya. Sehubungan dengan keduanya para ulama berselisih pendapat.
Sebagian dari mereka mengatakan, keduanya boleh berbuka, tetapi harus membayar
fidyah dan qada. Menurut pendapat lainnya, keduanya hanya diwajibkan membayar
fidyah, tanpa ada qada. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa yang wajib hanya
qadanya saja, tanpa fidyah. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi mengatakan
bahwa keduanya boleh berbuka (tidak puasa) tanpa harus membayar fidyah dan qada.
Masalah ini telah kami bahas secara rinci di dalam Kitabus Siyam yang kami
pisahkan di dalam kitab yang lain.
Al-Baqarah, ayat 185
{شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ
كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
}
Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya
diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang ba-til). Karena itu,
barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu; dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi
kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Hendaklah kalian
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian
bersyukur.
Allah Swt. memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya, karena Dia
telah memilihnya di antara semua bulan sebagai bulan yang padanya diturunkan
Al-Qur'an yang agung. Sebagaimana Allah mengkhususkan bulan Ramadan sebagai
bulan diturunkan-Nya Al-Qur'an, sesungguhnya telah disebutkan oleh hadis bahwa
pada bulan Ramadan pula kitab Allah lainnya diturunkan kepada para nabi Sebelum
Nabi Muhammad Saw.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ
مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا عمْران أَبُو الْعَوَّامِ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ
أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ وَاثِلَةَ -يَعْنِي ابْنَ الْأَسْقَعِ-أَنَّ رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال: "أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ
رَمَضَانَ. وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ،
وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ
الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ"
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Imran Abul Awwam, dari
Qatadah, dari Abul Falih, dari Wasilah (yakni Ibnul Asqa), bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan
malam Ramadan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadan, dan kitab
Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadan, sedangkan Al-Qur'an diturunkan
pada tanggal dua puluh empat Ramadan.
Telah diriwayatkan pula melalui hadis Jabir ibnu Abdullah yang di dalamnya
disebutkan:
أَنَّ
الزَّبُورَ أُنْزِلَ لثنتَي عَشْرَةَ [لَيْلَةً] َلَتْ مِنْ رَمَضَانَ،
وَالْإِنْجِيلُ لِثَمَانِي عَشْرَةَ،
Bahwa kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadan, dan kitab
Injil diturunkan pada tanggal delapan belasnya.
Sedangkan kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas. Demikianlah menurut
riwayat Ibnu Murdawaih.
Adapun lembaran-lembaran atau suhuf, kitab Taurat, Zabur, dan Injil,
masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan secara sekaligus. Lain
halnya dengan Al-Qur'an, diturunkan sekaligus hanya dari Baitul 'Izzah ke langit
dunia; hal ini terjadi pada bulan Ramadan, yaitu di malam Lailatul Qadar.
Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّا
أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh
kemuliaan. (Al-Qadar: 1)
إِنَّا
أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati.
(Ad-Dukhan: 3)
Setelah itu Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah Saw. secara bertahap
sesuai dengan kejadian-kejadiannya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan bukan hanya oleh seorang perawi
saja, dari Ibnu Abbas. Seperti yang diriwayatkan oleh Israil, dari As-Saddi,
dari Muhammad ibnu Abul Mujalid, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas.
Disebutkan bahwa Atiyyah ibnul Aswad pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa
di dalam hatinya terdapat keraguan mengenai firman-Nya: Bulan Ramadan, bulan
yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 185); Firman-Nya:
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada suatu malam yang
diberkahi. (Ad-Dukhan: 3); Serta firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan. (Al-Qadar. 1)
Sedangkan Al-Qur'an ada yang diturunkan pada bulan Syawal, ada yang dalam bulan
Zul-Qa'dah, ada yang dalam bulan Zul-Hijjah, ada yang dalam bulan Muharram, ada
yang dalam bulan Safar, ada pula yang diturunkan dalam bulan Rabi'. Maka Ibnu
Abbas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan dalam bulan Ramadan, yaitu
dalam malam yang penuh dengan kemuliaan (Lailatul Qadar), dan dalam malam yang
penuh dengan keberkahan secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi sesuai dengan
kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang
berbeda-beda."
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu
Murdawaih.
Sedangkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan
bahwa Ibnu Abbas mengatakan, "Al-Qur'an diturunkan pada pertengahan bulan
Ramadan ke langit dunia dari tempat asalnya, yaitu Baitul 'Izzah. Kemudian
diturunkan kepada Rasulullah Saw. selama dua puluh tahun untuk menjawab
perkataan manusia."
Di dalam riwayat Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Al-Qur'an
diturunkan pada bulan Ramadan (yaitu di malam Lailatul Qadar) ke langit dunia
secara sekaligus. Sesungguhnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi-Nya menurut apa
yang dikehendaki-Nya, dan tidak sekali-kali orang-orang musyrik mendatangkan
suatu perumpamaan untuk mendebat Nabi Saw. melainkan Allah Swt. mendatangkan
jawabannya. Yang demikian itulah pengertian firman-Nya:
وَقالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً واحِدَةً كَذلِكَ
لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤادَكَ وَرَتَّلْناهُ تَرْتِيلًا وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ
إِلَّا جِئْناكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً
Berkatalah orang-orang yang kafir, "Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya
dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu
datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu
suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Al-Furqan: 32-33)
*********
Adapun firman Allah Swt.:
{هُدًى
لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ}
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Al-Baqarah:
185)
Hal ini merupakan pujian bagi Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah Swt.
sebagai petunjuk buat hati hamba-hamba-Nya yang beriman kepada Al-Qur'an,
membenarkannya, dan mengikutinya.
Bayyinatin, petunjuk-petunjuk dan hujah-hujah yang jelas lagi gamblang
dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran apa
yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda
dengan jalan yang keliru, dan pembeda antara perkara yang hak dan yang batil
serta ha-lal dan haram.
Telah diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf bahwa ia tidak suka
mengatakan bulan puasa dengan sebutan Ramadan saja, melainkan bulan Ramadan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakkar ibnur Rayyan, telah menceritakan
kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Sa'id (yakni
Al-Maqbari), dari Abu Hurairah r.a., ia pernah mengatakan, "Janganlah kalian
katakan Ramadan, karena sesungguhnya Ramadan itu merupakan salah satu dari asma
Allah Swt. Tetapi katakanlah bulan Ramadan."
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan juga dari Mujahid dan
Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas. Akan tetapi, Ibnu Abbas
dan Zaid ibnu Sabit membolehkan sebutan tersebut.
Menurut kami, Abu Ma'syar adalah Najih ibnu Abdur Rahman Al-Madani, seorang
imam ahli dalam Bab "Magazi dan Sirah", tetapi daif (dalam periwayatan hadis);
anak lelakinya yang bernama Muhammad mengambil riwayat hadis darinya. Dialah
yang me-rafa'-kan hadis ini sampai kepada Abu Hurairah. Periwayatan hadisnya
ditolak oleh Al-Hafiz Ibnu Addi, dan ia memang berhak untuk ditolak karena
predikatnya matruk; sesungguhnya dia hanya menduga-duga saja akan predikat
marfu' hadis ini. Tetapi Imam Bukhari di dalam kitab-nya mendukung Abu Ma'syar,
untuk itu ia mengatakan dalam kitabnya bahwa ini adalah bab mengenai sebutan
Ramadan, lalu ia mengetengahkan hadis-hadis yang menyangkut hal tersebut, antara
lain ialah hadis yang mengatakan:
"مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ"
Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan rida Allah,
niscaya diampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.
Dan hadis-hadis lainnya yang semisal.
*********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ}
Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
(Al-Baqarah: 185)
Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal
masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan
Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus
mengerjakan puasa.
Ayat ini me-nasakh ayat yang membolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sehat
lagi mukim, tetapi hanya membayar fidyah, memberi makan seorang miskin untuk
setiap harinya, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
Setelah masalah puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebutkan kembali
keringanan bagi orang yang sakit dan orang yang bepergian. Keduanya boleh
berbuka, tetapi dengan syarat kelak harus mengqadainya. Untuk itu Allah Swt.
berfirman:
{وَمَنْ
كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185)
Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa memberatkannya atau
membahayakannya, atau ia sedang dalam perjalanan, maka dia boleh berbuka.
Apabila berbuka, maka ia harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya di
hari-hari yang lain (di luar Ramadan). Karena itu, dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran
bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)
Dengan kata lain, sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian hanya
dalam keadaan kalian sedang sakit atau dalam perjalanan, teta-pi puasa merupakan
suatu keharusan bagi orang yang mukim lagi se-hat. Hal ini tiada lain hanyalah
untuk mempermudah dan memperi-ngan kalian sebagai rahmat dari Allah Swt. buat
kalian.
Beberapa masalah yang berkaitan dengan ayat ini
Pertama: Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa orang yang
sejak permulaan Ramadan masuk masih dalam keadaan mukim, kemudian di tengah
bulan Ramadan ia mengadakan perjalanan (bepergian), maka tidak diperbolehkan
baginya berbuka karena alasan bepergian selama ia berada dalam perjalanannya,
karena firman Allah Swt.: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu. (Al-Baqarah: 185) Sesungguhnya berbuka itu hanya diperbolehkan bagi
orang yang melakukan perjalanannya sebelum bulan Ramadan masuk, sedangkan dia
telah berada dalam perjalanannya.
Tetapi pendapat ini aneh, dinukil oleh Abu Muhammad ibnu Hazm di dalam
kitabnya yang berjudul Al-Mahalli, dari sejumlah sahabat dan tabi'in. Hanya
riwayat yang dikemukakannya dari mereka masih perlu dipertimbangkan
kebenarannya, karena sesungguhnya telah ditetapkan di dalam sunnah dari
Rasulullah Saw. bahwa beliau pernah melakukan suatu perjalanan di dalam bulan
Ramadan untuk melakukan Perang Fatah (penaklukan kota Mekah). Beliau Saw.
berjalan bersama pasukannya sampai di Kadid. Ketika di Kadid, beliau berbuka dan
memerintahkan kepada orang-orang untuk berbuka mengikuti jejaknya. Demikianlah
menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Kedua: Segolongan sahabat dan tabi'in lainnya berpendapat,
wajib berbuka dalam perjalanan karena berdasarkan firman-Nya: maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. (Al-Baqarah: 185) Akan tetapi, pendapat yang benar ialah yang
dikatakan oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yaitu bahwa masalah berbuka dalam
perjalanan ini berdasarkan takhyir (boleh memilih) dan bukan suatu
keharusan. Karena mereka berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan,
lalu menurut salah seorang di antara mereka yang terlibat, "Di antara kami ada
orang yang tetap berpuasa dan di antara kami ada pula yang berbuka. Maka Nabi
Saw. tidak mencela orang yang tetap berpuasa dan tidak pula terhadap orang yang
berbuka. Seandainya berbuka merupakan suatu keharusan, niscaya beliau Saw.
mencela orang-orang yang berpuasa di antara kami. Bahkan telah dibuktikan pula
dari perbuatan Rasulullah Saw. sendiri bahwa beliau pernah dalam keadaan
demikian (berada dalam suatu perjalanan), tetapi beliau tetap berpuasa." Seperti
yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Darda yang menceritakan:
خَرَجْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي
حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ من شدة،
وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ
Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan, cuaca saat itu
sangat panas hingga seseorang di antara kami ada yang meletakkan tangannya di
atas kepalanya karena teriknya panas matahari, dan tiada seorang pun di antara
kami yang tetap berpuasa selain Rasulullah Saw. sendiri dan Abdullah ibnu
Rawwahah.
Ketiga: Segolongan ulama yang antara lain ialah Imam Syafii
mengatakan bahwa puasa dalam perjalanan lebih utama daripada berbuka karena
berdasarkan perbuatan Nabi Saw., seperti yang disebutkan di atas tadi.
Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahkan berbuka lebih baik daripada
berpuasa karena berpegang kepada rukhsah (keringanan), juga karena ada sebuah
hadis dari Rasulullah Saw. yang menceritakan bahwa beliau Saw. pernah ditanya
mengenai puasa dalam perjalanan. Maka beliau menjawab:
«مَنْ
أَفْطَرَ فَحَسَنٌ، وَمَنْ صَامَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ»
Barang siapa yang berbuka, maka hal itu baik; dan barang siapa yang tetap
berpuasa, maka tiada dosa atasnya.
Di dalam hadis yang lain disebutkan:
«عَلَيْكُمْ
بِرُخْصَةِ اللَّهِ التِي رَخَّصَ لَكُمْ»
Ambillah oleh kalian rukhsah (keringanan) Allah yang diberikan-Nya kepada
kalian.
Segolongan ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya (berbuka dan
puasa dalam perjalanan) sama saja, karena berdasarkan hadis Siti Aisyah yang
mengatakan bahwa Hamzah ibnu Amr Al-Aslami pernah bertanya, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku adalah orang yang sering berpuasa, maka bolehkah aku berpuasa
dalam perjalanan?" Rasulullah Saw. menjawab:
«إِنْ
شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»
Jika kamu menginginkan puasa, berpuasalah. Dan jika kamu menginginkan
berbuka, berbukalah.
Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain.
Menurut pendapat yang lain, apabila puasa memberatkannya, maka berbuka adalah
lebih utama, berdasarkan kepada hadis Jabir yang mengatakan:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ
عَلَيْهِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟ " قَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: " لَيْسَ مِنَ
الْبَرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ".
Bahwa Rasulullah Saw. pernah melihat seorang lelaki yang dinaungi (dikerumuni
oleh orang banyak), maka beliau bertanya, "Ada apa?" Mereka menjawab,
"Orang yang berpuasa." Maka beliau Saw. bersabda, "Bukanlah merupakan suatu
kebaktian melakukan puasa dalam perjalanan." (Hadis diketengahkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim)
Jika orang yang bersangkutan tidak menyukai sunnah dan ia tidak suka berbuka,
maka merupakan suatu ketentuan baginya berbuka, dan haram baginya melakukan
puasa bila ia dalam perjalanan. Hal ini berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab
Musnad Imam Ahmad dan lain-lainnya, dari Ibnu Umar dan Jabir serta selain
keduanya yang mengatakan:
مَنْ
لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَةَ اللَّهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ جِبَالِ
عَرَفَةَ
Barang siapa yang tidak mau menerima keringanan Allah, maka atas dirinya
dibebankan dosa yang besarnya semisal dengan Bukit Arafah.
Keempat: Mengenai masalah qada, apakah wajib berturut-turut
atau boleh terpisah-pisah? Ada dua pendapat mengenai masalah ini.
-
Pendapat pertama mengatakan wajib berturut-turut, karena qada merupakan
pengulangan dari ada'an.
- Menurut pendapat kedua, tidak wajib berturut-turut. Jika orang yang bersangkutan ingin memisah-misahkannya, maka ia boleh memisah-misahkannya. Jika ingin berturut-turut, ia boleh berturut-turut dalam mengerjakannya. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama Salaf dan Khalaf —dan didukung oleh dalil-dalil yang kuat— karena berturut-turut itu hanyalah diwajibkan dalam bulan Ramadan, mengingat puasa harus dilakukan dalam bulan itu secara tuntas. Bila bulan Ramadan telah lewat, maka makna yang dimaksud hanyalah wajib membayar hari-hari yang ditinggalkannya saja, tanpa ikatan harus berturut-turut. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah : 185) Kemudian Allah Swt. berfirman: Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
أَبُو سَلَمَةَ الْخُزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ
هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، عَنِ الْأَعْرَابِيِّ الذِي سَمِعَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إن خَيْرَ دِينِكُمْ
أَيْسَرُهُ، إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza'i,
telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Humaid ibnu Hilal Al-Adawi, dari
Abu Qatadah, dari Al-A'rabi yang mendengarnya langsung dari Nabi Saw.:
Sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah,
sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling
mudah.
قَالَ
أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ
هِلَالٍ، حَدَّثَنَا غَاضِرَةُ بْنُ عُرْوة الفُقَيْمي، حَدَّثَنِي أَبِي عُرْوَة،
قَالَ: كُنَّا نَنْتَظِرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ
رَجلا يَقْطُرُ رَأْسُهُ مِنْ وُضُوءٍ أَوْ غُسْلٍ، فَصَلَّى، فَلَمَّا قَضَى
الصَّلَاةَ جَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ: عَلَيْنَا حَرَجٌ فِي كَذَا؟ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ دِينَ اللَّهِ فِي
يُسْرٍ" ثَلَاثًا يَقُولُهَا
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun,
telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Hilal, telah menceritakan kepada kami
Amir ibnu Urwah Al-Faqimi, telah menceritakan kepadaku Abu Urwah yang
menceritakan: Ketika kami sedang menunggu Nabi Saw., maka keluarlah beliau
dengan kepala yang masih meneteskan air karena habis wudu atau mandi, lalu
beliau salat. Setelah beliau selesai dari salat-nya, maka orang-orang bertanya
kepadanya, "Apakah kami berdosa jika melakukan demikian?" Maka Rasulullah Saw.
bersabda, "Sesungguhnya agama Allah itu berada dalam kemudahan." Beliau
mengucapkannya sebanyak tiga kali.
Imam Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dalam tafsir ayat ini
melalui hadis Muslim ibnu Abu Tamim, dari Asim ibnu Hilal dengan lafaz yang
sama.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو التَّيَّاحِ، سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "يَسِّرُوا، وَلَا
تُعَسِّرُوا، وسكِّنُوا وَلَا تُنَفِّروا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far,
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abut
Tayyah; ia pernah mendengar sahabat Anas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit, serta bersikap
simpatilah kalian dan janganlah kalian bersikap tidak disenangi.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahih
masing-masing. Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa ketika Rasulullah
Saw. mengutus sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Abu Musa ke negeri Yaman, beliau
bersabda kepada keduanya:
"بَشِّرَا
وَلَا تُنَفِّرَا، وَيَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا، وَتَطَاوَعَا وَلَا
تَخْتَلِفَا"
Sampaikanlah berita gembira (kepada mereka) dan janganlah kamu berdua
bersikap yang membuat mereka antipati kepadamu; permudahkanlah oleh kamu dan
janganlah kamu berdua mempersulit; dan saling bantulah kamu berdua dan jangan
sampai kamu berdua berselisih pendapat.
Di dalam kitab Sunan dan kitab Masanid disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"بُعِثْتُ
بالحنيفيَّة السَّمْحَةِ"
Aku diutus membawa agama yang cenderung kepada perkara yang hak dan penuh
dengan toleransi.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya mengatakan:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ابْنُ أَبِي
طَالِبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَسْعُودٍ
الجُرَيري، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مِحْجَن بْنِ الْأَدْرَعِ: أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي فَتَرَاءَاهُ بِبَصَرِهِ
سَاعَةً، فَقَالَ: "أَتُرَاهُ يُصَلِّي صَادِقًا؟ " قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، هَذَا أَكْثَرُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ صَلَاةً، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا تُسْمِعْه فَتُهلِكَه". وَقَالَ: "إِنَّ
اللَّهَ إِنَّمَا أَرَادَ بِهَذِهِ الْأُمَّةِ اليُسْر، وَلَمْ يَرِدْ بِهِمُ
العُسْر"
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Talib, telah menceritakan kepada kami
Abdul Wahhab ibnu Ata, telah menceritakan kepada kami Abu Mas'ud Al-Hariri, dari
Abdullah ibnu Syaqiq, dari Mihjan ibnul Adra' yang menceritakan: Bahwa
Rasulullah Saw. melihat seorang lelaki yang sedang salat, lalu beliau
menatapnya dengan pandangan mata yang tajam selama sesaat, kemudian bersabda,
"Bagaimanakah menurutmu, apakah lelaki ini salat dengan sebenarnya?" Perawi
berkata, "Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, orang ini adalah penduduk Madinah
yang paling banyak mengerjakan salat'." Maka Rasulullah Saw. bersabda,
"Janganlah kamu memperdengarkan jawabanmu kepadanya, karena akan
membinasakannya (membuatnya bangga dan riya)!" Dan Rasul Saw. bersabda,
"Sesungguhnya Allah hanya menghendaki kemudahan belaka bagi umat ini, dan Dia
tidak menghendaki mereka kesulitan."
**********
Firman Allah Swt:
{يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ}
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan
bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya. (Al-Baqarah:
185)
Yakni sesungguhnya Aku memberikan keringanan kepada kalian boleh berbuka bagi
orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan serta uzur lainnya, tiada lain
karena Aku menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan sesungguhnya Aku memerintahkan
kalian untuk mengqadainya agar kalian menyempurnakan bilangan bulan Ramadan
kalian.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَلِتُكَبِّرُوا
اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ}
dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya.
(Al-Baqarah: 185)
Yakni agar kalian ingat kepada Allah di saat ibadah kalian selesai.
Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu
firman-Nya:
فَإِذا
قَضَيْتُمْ مَناسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ
ذِكْراً
Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah
dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan)
nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.
(Al-Baqarah: 200)
فَإِذا
قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian
beruntung. (Al-Jumu'ah: 10)
Dan firman Allah Swt.:
سَبِّحْ
بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ. وَمِنَ اللَّيْلِ
فَسَبِّحْهُ وَأَدْبارَ السُّجُودِ
Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam(nya). Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai
salat. (Qaf: 39-40)
Karena itulah maka disebutkan di dalam sunnah bahwa disunatkan membaca
tasbih, tahmid, dan takbir setiap sesudah mengerjakan salat lima waktu. Sahabat
Ibnu Abbas mengatakan, "Kami tidak mengetahui selesainya salat Nabi Saw.
melainkan melalui takbirnya."
Karena itulah banyak kalangan ulama yang mengatakan bahwa membaca takbir
disyariatkan dalam Hari Raya Idul Fitri atas dasar firman-Nya: Dan hendaklah
kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan-Nya kepada kalian. (Al-Baqarah: 185) Hingga Daud
ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri berpendapat wajib membaca takbir dalam Hari Raya
Idul Fitri berdasarkan makna lahiriah perintah yang terkandung di dalam
firman-Nya: dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 185)
Lain halnya dengan mazhab Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa membaca
takbir dalam Hari Raya Fitri tidak disyariatkan. Sedangkan Imam lainnya
mengatakan sunat, tetapi masih ada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam
sebagian cabang-cabangnya.
********
Firman Allah Swt.:
{وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ}
Supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 185)
Artinya, apabila kalian mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada
kalian (yakni taat kepada-Nya dan mengerjakan semua yang difardukan-Nya dan
meninggalkan semua apa yang diharamkan-Nya serta memelihara
batasan-batasan-Nya), barangkali kalian akan menjadi orang-orang yang bersyukur
kepada-Nya karena mengerjakan hal tersebut.
Al-Baqarah, ayat 186
{وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (186)
}
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka
itu memenuhi (segala perintah)-Aku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah menceritakan kepada kami, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami
Jarir, dari Abdah ibnu Abu Barzah As-Sukhtiyani, dari As-Silt ibnu Hakim ibnu
Mu'awiyah (yakni Ibnu Haidah Al-Qusyairi), dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa
ada seorang penduduk Badui bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita dekat,
maka kita akan bermunajat (berbisik) kepada-Nya; ataukah Dia jauh, maka kita
akan menyeru-Nya?" Nabi Saw. diam, tidak menjawab. Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah)-Aku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186)
Dengan kata lain, apabila kamu perintahkan mereka untuk berdoa kepada-Ku,
hendaklah mereka berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan mereka.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Humaid
Ar-Razi, dari Jarir dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula oleh Ibnu
Murdawaih serta Abusy Syekh Al-Asbahani, melalui hadis Muhammad ibnu Abu Humaid,
dari Jarir dengan lafaz yang sama.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman,
dari Auf, dari Al-Hasan yang menceritakan bahwa para sahabat bertanya kepada
Rasulullah Saw., "Di manakah Tuhan kita?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulan permohonan orang yang mendoa apabila
ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, telah sampai kepada Ata bahwa ketika
firman-Nya ini diturunkan: Dan Tuhan kalian berfirman, "Berdoalah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian." (Al-Mumin: 60) Maka orang-orang
bertanya, "Sekiranya kami mengetahui, saat manakah yang lebih tepat untuk
melakukan doa bagi kami?" Maka turunlah firman-Nya: Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa
kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186)
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ
الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ،
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاة فَجَعَلْنَا لَا نَصْعَدُ شَرَفًا، وَلَا
نَعْلُو شَرَفًا، وَلَا نَهْبِطُ وَادِيًا إِلَّا رَفَعْنَا أَصْوَاتَنَا
بِالتَّكْبِيرِ. قَالَ: فَدَنَا مِنَّا فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أرْبعُوا
عَلَى أَنْفُسِكُمْ؛ فإنَّكم لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّمَا
تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا، إِنَّ الذِي تَدْعُونَ أقربُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ
عُنُق رَاحِلَتِهِ. يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ، أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً
مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ؟ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِالْلَّهِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Abdul
Majid As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid Al-Hazza, dari Abu Usman
An-Nahdi, dari Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan, "Ketika kami (para
sahabat) bersama Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan, tidak sekali-kali kami
menaiki suatu tanjakan dan berada di tempat yang tinggi serta tidak pula kami
menuruni suatu lembah melainkan kami mengeraskan suara kami seraya mengucapkan
takbir." Abu Musa melanjutkan kisahnya, "Lalu Nabi Saw. mendekat ke arah kami
dan bersabda: 'Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya
kalian bukan berseru kepada orang yang tuli, bukan pula kepada orang yang gaib;
sesungguhnya kalian hanya berseru kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. Sesungguhnya Tuhan yang kalian seru lebih dekat kepada seseorang
di antara kalian daripada leher unta kendaraannya. Hai Abdullah ibnu Qais,
maukah kamu kuajarkan suatu kalimat (doa) yang termasuk perbendaharaan surga?
(Yaitu) la haula wala quwwata ilia billah (tiada upaya dan tiada kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah)'."
Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan jamaah lainnya melalui
hadis Abu Usman An-Nahdi yang nama aslinya ialah Abdur Rahman ibnu Ali, dari Abu
Musa Al-Asy'ari dengan lafaz yang semisal.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ،
حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ
عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud,
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Qatadah,
dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Allah Swt.
berfirman, "Aku menurut dugaan hamba-Ku mengenai diri-Ku, dan Aku selalu
bersamanya jika dia berdoa kepada-Ku."
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ
اللَّهِ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ كَرِيمَةَ بِنْتِ الْخَشْخَاشِ
الْمُزَنِيَّةِ، قَالَتْ: حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "قَالَ اللَّهُ: أَنَا مَعَ
عَبْدِي مَا ذَكَرَنِي، وَتَحَرَّكَتْ بِي شَفَتَاهُ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ishaq,
telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Abdur
Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu
Ubaidillah, dari Karimah binti Ibnu Khasykhasy Al-Muzaniyyah yang mengatakan
bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah yang pernah mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt. berfirman, "Aku selalu bersama hamba-Ku
selagi ia ingat kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku."
Menurut kami, hadis ini sama pengertiannya dengan firman Allah Swt. yang
mengatakan:
إِنَّ
اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang
berbuat kebaikan. (An-Nahl: 128)
Sama pula dengan firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, yaitu:
إِنَّنِي
مَعَكُما أَسْمَعُ وَأَرى
Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.
(Thaha: 46)
Makna yang dimaksud dari kesemuanya itu adalah, Allah Swt. tidak akan
mengecewakan doa orang yang berdoa kepada-Nya dan tidak sesuatu pun yang
menyibukkan (melalaikan) Dia, bahkan Dia Maha Mendengar doa. Di dalam pengertian
ini terkandung anjuran untuk berdoa, dan bahwa Allah Swt. tidak akan
menyia-nyiakan doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Sehubungan dengan hal ini Imam
Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا
يَزِيدُ، حَدَّثَنَا رَجُلٌ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عُثْمَانَ -هُوَ النَّهْدِيُّ
-يُحَدِّثُ عَنْ سَلْمَانَ -يَعْنِي الْفَارِسِيَّ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ
تَعَالَى لَيَسْتَحْيِي أَنْ يَبْسُطَ الْعَبْدُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ يَسْأَلُهُ
فِيهِمَا خَيْرًا فَيَرُدُّهُمَا خَائِبَتَيْنِ". قَالَ
يَزِيدُ: سَمَّوْا لِي هَذَا الرَّجُلَ، فَقَالُوا: جَعْفَرُ بْنُ
مَيْمُونٍ
telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami seorang
lelaki yang pernah mendengar dari Abu Usman (yakni An-Nahdi) ketika ia
menceritakan hadis berikut dari Salman (yakni Al-Farisi r.a.), bahwa Nabi Saw.
pernah bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. benar-benar malu bila ada seorang
hamba mengangkat kedua tangannya memohon suatu kebaikan kepada-Nya, lalu Allah
menolak permohonannya dengan kedua tangan yang hampa. Yazid berkata,
"Sebutkanlah kepadaku nama lelaki itu." Mereka menjawab bahwa dia adalah Ja'far
ibnu Maimun.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah
melalui hadis Ja'far ibnu Maimun (pemilik kitab Al-Anbat) dengan lafaz yang
sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Hadis ini
diriwayatkan pula oleh sebagian dari mereka, tetapi dia tidak
me-rafa'-kannya. Syekh Al-Hafiz Abul Hajjah Al-Mazi di dalam kitab
Atraf-nya mengatakan bahwa periwayatan hadis ini diikuti pula oleh Abu
Hammam Muhammad ibnu Abuz Zabarqan, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman
An-Nahdi dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad mengatakan pula:
حَدَّثَنَا
أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عَليّ بْنُ دُؤاد أَبُو الْمُتَوَكِّلِ النَّاجِي، عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا
مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ
وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ:
إِمَّا أَنْ يعجِّل لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدّخرها لَهُ فِي الْآخِرَةِ،
وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا" قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ.
قَالَ: "اللَّهُ أَكْثَرُ "
telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ali
ibnu Abul Mutawakkil An-Naji, dari Abu Sa'id, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
Tiada seorang muslim pun yang memanjatkan suatu doa kepada Allah yang di
dalamnya tidak mengandung permintaan yang berdosa dan tidak pula memutuskan
silaturahmi, melainkan Allah pasti memberinya berkat doa itu salah satu dari
tiga perkara berikut, yaitu: Adakalanya permohonannya itu segera dikabulkan,
adakalanya permohonannya itu disimpan oleh Allah untuknya kelak di hari
kemudian, dan adakalanya dipalingkan darinya suatu keburukan yang semisal dengan
permohonannya itu. Mereka (para sahabat) berkata, "Kalau begitu, kami akan
memperbanyak doa." Nabi Saw. menjawab, "Allah Maha Banyak (Mengabulkan
Doa)."
قَالَ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ
الْكَوْسَجُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْبَانَ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ جُبَير بْنِ نُفَيْرٍ، أَنَّ عُبَادة بْنَ
الصَّامِتِ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"مَا عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ مِنْ رَجُلٍ مُسْلِم يَدْعُو اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ،
بِدَعْوَةٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهَا، أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ
مِثْلَهَا، مَا لَمْ يَدعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ"
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq
ibnu Mansur Al-Kausaj, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Sauban, dari ayahnya, dari Makhul, dari Jubair
ibnu Nafir, bahwa Ubadah ibnus Samit pernah menceritakan hadis berikut kepada
mereka, yaitu Nabi Saw. pernah bersabda: tiada seorang lelaki muslim pun di
muka bumi ini berdoa kepada Allah Swt. memohon sesuatu melainkan Allah pasti
mengabulkan permintaannya itu atau mencegah darinya keburukan yang seimbang
dengan permintaannya, selagi dia tidak meminta hal yang berdosa atau memutuskan
hubungan silaturahmi.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Abdullah ibnu Abdur
Rahman Ad-Darami,dari Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, dari Ibnu Sauban (yaitu
Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Sauban) dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih bila ditinjau
dari jalur yang terakhir ini.
وَقَالَ
الْإِمَامُ مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ -مَوْلَى ابْنِ
أَزْهَرَ -عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم
قَالَ: "يُسْتَجَاب لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجل، يَقُولُ: دعوتُ فَلَمْ
يُسْتَجَبْ لِي".
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abu Ubaid maula Ibnu Azhar,
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dikabulkan bagi
seseorang di antara kalian selagi dia tidak tergesa-gesa mengatakan, "Aku telah
berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku."
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis
Malik dengan lafaz yang sama. Hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Bukhari
rahimahullah.
قَالَ
مُسْلِمٌ أَيْضًا : حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ،
أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ ربيعة ابن يَزِيدَ، عَنْ أَبِي
إِدْرِيسَ الخَوْلاني، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ
يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قِيلَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، مَا الاستعجال؟ قال: "يقول: قد دعوتُ،
وَقَدْ دَعَوتُ، فَلَمْ أرَ يستجابُ لِي، فَيَسْتَحسر عِنْدَ ذَلِكَ، وَيَتْرُكُ
الدُّعَاءَ"
Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan kepadaku
Abut Tahir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan
kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Rabi'ah, dari Yazid, dari Abu Idris
Al-Khaulani, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Doa
.seorang hamba masih tetap dikabulkan selagi dia tidak mendoakan hal yang
berdosa atau yang memutuskan silaturahmi, bilamana dia tidak tergesa-gesa.
Lalu ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa
itu?" Beliau Saw. menjawab, "Seorang hamba mengatakan, 'Aku telah
berdoa, aku telah berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku,' lalu
saat itu dia merasa kecewa dan menghentikan doanya."
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ
قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: "لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قَالُوا: وَكَيْفَ
يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: "يَقُولُ: قَدْ دعوتُ رَبِّي فَلَمْ يَسُتَجبْ
لِي"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah
menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Seorang hamba masih tetap berada dalam kebaikan selagi
dia tidak tergesa-gesa. Mereka (sahabat) bertanya, "Bagaimanakah pengertian
tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Dia mengatakan, 'Aku telah berdoa
kepada Tuhanku, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku'."
Imam Abu Ja'far At-Tabari di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, bahwa Yazid ibnu Abdullah ibnu
Qasit telah menceritakan kepadanya, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah
r.a. yang pernah mengatakan bahwa tidak sekali-kali seorang hamba yang mukmin
berdoa kepada Allah memohon sesuatu, lalu doanya itu disia-siakan, sebelum
disegerakan baginya di dunia atau ditangguhkan baginya untuk di akhirat, selagi
dia tidak tergesa-gesa atau putus asa. Urwah bertanya, "Wahai bibi, apakah yang
dimaksud dengan tergesa-gesa dan putus asa itu?" Siti Aisyah menjawab, "Dia
mengatakan, 'Aku telah meminta, tetapi tidak diberi; dan aku telah berdoa,
tetapi tidak dikabulkan'."
Ibnu Qasit mengatakan pula bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab
mengatakan hal yang serupa dengan apa yang dikatakan oleh Siti Aisyah r.a.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا
بَكْرُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُليّ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قال:
"الْقُلُوبُ أَوْعِيَةٌ، وَبَعْضُهَا أَوْعَى مِنْ بَعْضٍ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ
اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ فَاسْأَلُوهُ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ،
فَإِنَّهُ لَا يَسْتَجِيبُ لِعَبْدٍ دَعَاهُ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ
غَافِلٍ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu
Amr, dari Ibnu Abdur Rahman Al-Jaili, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Hati manusia itu bagaikan wadah, sebagian di antaranya
lebih memuat daripada sebagian yang lain. Karena itu, apabila kalian meminta
kepada Allah, hai manusia, mintalah kepada-Nya, sedangkan hati kalian merasa
yakin diperkenankan; karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan bagi hamba
yang berdoa kepada-Nya dengan hati yang lalai.
قَالَ
ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ أَيُّوبَ، حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بن إبراهيم بن أبيَّ بن نافع ابن مَعْدِ يكَرِبَ بِبَغْدَادَ، حَدَّثَنِي
أُبَيُّ بْنُ نَافِعٍ، حدثني أبي نَافِعِ بْنِ مَعْدِ يكَرِبَ، قَالَ: كُنْتُ أَنَا
وَعَائِشَةُ سألتُ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْآيَةِ:
{أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ} قَالَ: "يَا رَبِّ، مَسْأَلَةُ
عَائِشَةَ". فَهَبَطَ جِبْرِيلُ فَقَالَ: اللَّهُ يُقْرِؤُكَ السَّلَامَ، هَذَا
عَبْدِي الصَالِحٍ بِالنِّيَّةِ الصَّادِقَةِ، وقلبُه نَقِيٌّ يَقُولُ: يَا رَبِّ،
فَأَقُولُ: لَبَّيْكَ. فَأَقْضِي حَاجَتَهُ.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq
ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Abu Nafi'
ibnu Ma'di Kariba di Bagdad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Nafi' ibnu
Ma'di Kariba yang mengatakan bahwa ia dan Siti Aisyah r.a. pernah bertanya
kepada Rasulullah Saw. mengenai makna firman-Nya: Aku mengabulkan permohonan
orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186) Maka
Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai Tuhanku, ini adalah pertanyaan Aisyah?"
Maka turunlah Malaikat Jibril dan berkata: Allah menyampaikan salam-Nya
kepadamu, ada seorang hamba-Ku yang saleh, dengan niat yang benar dan hatinya
bersih mengatakan, "Wahai Tuhanku." Maka Aku berfirman, "Labbaika," lalu Aku
penuhi permintaannya.
Akan tetapi, hadis ini garib bila ditinjau dari sanad ini.
وَرَوَى
ابْنُ مَرْدُويه مِنْ حَدِيثِ الْكَلْبِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ: حَدَّثَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ} الْآيَةَ. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُمَّ أَمَرْتَ بِالدُّعَاءِ، وتوكَّلْتَ
بِالْإِجَابَةِ، لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ،
لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ،
أَشْهَدُ أَنَّكَ فَرْدٌ أَحَدٌ صَمَد لَمْ تَلِدْ وَلَمْ تُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ
لَكَ كُفُوًا أَحَدٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّ وَعْدَكَ حَقٌّ، وَلِقَاءَكَ حَقٌّ،
وَالْجَنَّةَ حَقٌّ، وَالنَّارَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا،
وَأَنْتَ تَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ"
Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu
Abbas, telah menceritakan kepadaku Jabir ibnu Abdullah, bahwa Nabi Saw. pernah
membacakan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186),
hingga akhir ayat. Maka Rasulullah Saw. bersabda: ya Allah, Engkau
memerintahkan untuk berdoa dan aku bertawakal dalam masalah pengabulannya.
Kupenuhi seruan-Mu, ya Allah, kupenuhi seruan-Mu, kupenuhi seruan-Mu, tiada
sekutu bagimu, kupenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah
milik-Mu dan begitu pula semua kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu. Aku bersaksi
bahwa Engkau tiada tandingan lagi Maha Esa, bergantung kepada-Mu segala sesuatu,
tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tiada seorang pun yang setara
dengan-Mu. Aku bersaksi bahwa janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-Mu adalah
benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, dan hari kiamat pasti akan
datang tanpa diragukan lagi, dan Engkaulah yang akan membangkitkan manusia dari
kuburnya.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى
الْأَرْزِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى القُطَعي قَالَا حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ
بْنُ مِنْهال، حَدَّثَنَا صَالِحٍ المُرِّي، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى:
يَا ابْنَ آدَمَ، وَاحِدَةٌ لَكَ وَوَاحِدَةٌ لِي، وَوَاحِدَةٌ فِيمَا بَيْنِي
وَبَيْنَكَ؛ فَأَمَّا التِي لِي فَتَعْبُدُنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، وَأَمَّا
التِي لَكَ فَمَا عملتَ مِنْ شَيْءٍ وَفَّيْتُكَه وَأَمَّا التِي بَيْنِي
وَبَيْنَكَ فَمِنْكَ الدُّعَاءُ وَعَلِيَّ الْإِجَابَةُ"
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan pada kami
Al-Hasan ibnu Yahya Al-Azdi dan Muhammad ibnu Yahya Al-Qat'i; keduanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah
menceritakan kepada kami Saleh Al-Mari, dari Al-Hasan, dari Anas, dari Nabi Saw.
yang bersabda: Allah SWT berfirman, "Hai anak Adam, satu hal untukmu, dan
satu hal untuk-Ku, serta satu hal lagi antara Aku dan kamu. Adapun hal
yang untuk-Ku ialah kamu harus menyembah-Ku, janganlah kamu persekutukan Aku
dengan sesuatu pun. Dan adapun yang bagimu ialah semua hal yang kamu lakukan
atau amal apa pun, maka Aku pasti menunaikan (pahala)nya kepadamu. Dan adapun
yang antara Aku dan kamu ialah kamu berdoa dan Aku yang memperkenankan
(mengabulkan).
Penyisipan anjuran untuk berdoa di antara hukum-hukum puasa ini mengandung
petunjuk yang menganjurkan agar berdoa dengan sekuat tenaga di saat
menyempurnakan bilangan Ramadan, dan bahkan di setiap berbuka. Seperti yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab Musnad-nya:
حَدَّثَنَا
أَبُو مُحَمَّدٍ الْمَلِيكِيُّ، عَنْ عَمْرو -هُوَ ابْنُ شُعَيْبِ بْنِ مُحَمَّدِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول:
"لِلصَّائِمِ عِنْدَ إِفْطَارِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ". فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ عَمْرٍو إِذْ أَفْطَرَ دَعَا أَهْلَهُ، وَوَلَدَهَ وَدَعَا
telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al-Mulaiki, dari Amr (yakni Ibnu
Syu'aib ibnu Muhammad ibnu Abdullah ibnu Amr), dari ayahnya, dari kakeknya
(yakni Abdullah Ibnu Amr) yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi
Saw. bersabda: Bagi orang puasa di saat berbukanya ada doa yang dikabulkan.
Tersebutlah bahwa Abdullah ibnu Amr selalu berdoa untuk keluarga dan
anaknya; begitu pula anak dan keluarganya, sama-sama berdoa ketika berbuka
puasa.
Abu Abdullah Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah di dalam kitab sunannya;
حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ
عُبَيْدِ اللَّهِ الْمَدَنِيِّ، عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكة، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوةً مَا تُرَدّ". قَالَ عَبْد
اللَّهِ بْنُ أَبِي مُليَكة: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرو يَقُولُ إِذَا
أَفْطَرَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ التِي وسعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
أَنْ تَغْفِرَ لِي .
telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah
menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Ishaq ibnu Abdullah
Al-Madani, dari Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Amr yang
menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya bagi orang puasa
di saat berbukanya terdapat doa yang tidak ditolak (untuknya). Ubaidillah
ibnu Abu Mulaikah mengatakan, ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr selalu
mengucapkan doa berikut bila berbuka: Ya Allah, sesungguhnya Aku memohon demi
rahmat-Mu yang memuat segala sesuatu, sudilah kiranya Engkau
mengampuniku.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Sunan Turmuzi, Nasai, dan Ibnu Majah
disebutkan sebuah hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"
ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حتى
يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ دُونَ الْغَمَامِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، وَتُفْتَحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَيَقُولُ: بعزتي لأنصرنك
ولو بعد حين"
Ada tiga macam orang yang doanya tidak ditolak, yaitu imam yang adil,
orang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang teraniaya diangkat oleh Allah
sampai di bawah gamam (awan) di hari kiamat nanti, dan dibukakan baginya semua
pintu langit, dan Allah berfirman, "Demi kemuliaan-Ku, Aku benar-benar akan
menolongmu, sekalipun sesudahnya.”
Al-Baqarah, ayat 187
{أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ
وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ
أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ
فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187) }
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa
bercampur dengan istri-istri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan
kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak
dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf
kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai malam, (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian
ber-i'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya
mereka bertakwa.
Hal ini merupakan suatu keringanan dari Allah buat kaum muslim, dan Allah
menghapuskan apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Karena sesungguhnya pada
permulaan Islam, apabila salah seorang di antara mereka berbuka, ia hanya
dihalalkan makan dan minum serta bersetubuh sampai salat Isya saja. Tetapi bila
ia tidur sebelum itu atau telah salat Isya, maka diharamkan baginya makan,
minum, dan bersetubuh sampai malam berikutnya. Maka dengan peraturan ini mereka
mengalami masyaqat yang besar.
Ar-Rafas, dalam ayat ini artinya bersetubuh. Demikianlah menurut Ibnu
Abbas, Ata, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Tawus, Salim ibnu Abdullah, Amr ibnu
Dinar, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ad-Dahhak, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, Ata
Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan.
*******
Firman Allah Swt.:
{هُنَّ
لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ}
Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi
mereka. (Al-Baqarah: 187)
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi,
dan Muqatil ibnu Hayyan, makna yang dimaksud ialah 'mereka adalah ketenangan
bagi kalian, dan kalian pun adalah ketenangan bagi mereka'.
Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, maksud ayat ialah 'mereka adalah selimut bagi
kalian dan kalian pun adalah selimut bagi mereka'.
Pada kesimpulannya suami dan istri, masing-masing dari keduanya bercampur
dengan yang lain dan saling pegang serta tidur-meniduri, maka amatlah sesuai
bila diringankan bagi mereka boleh bersetubuh dalam malam Ramadan, agar tidak
memberatkan mereka dan menjadikan mereka berdosa. Seorang penyair
mengatakan:
إِذَا مَا الضَّجِيعُ ثَنَى جِيدَهَا ...
تَدَاعَتْ فَكَانَتْ عَلَيْهِ لِبَاسَا
Bilamana teman tidur melipatkan
lehernya, berarti dia mengajak, maka jadilah dia seperti
pakaiannya.
Latar belakang turunnya ayat ini telah disebutkan di dalam hadis Mu'az yang
panjang yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Ishaq meriwayatkan dari Al-Barra
ibnu Azib, tersebutlah sahabat Rasulullah Saw. bila seseorang dari mereka puasa,
lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak boleh makan sampai keesokan
malamnya di waktu yang sama. Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Ansar
sedang melaksanakan puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya. Ketika
waktu berbuka telah tiba, ia datang kepada istrinya dan mengatakan, "Apakah kamu
mempunyai makanan?" Si istri menjawab, "Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu
untuk mencarikannya buatmu." Ternyata Qais sangat lelah hingga ia tertidur.
Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka ia berkata,
"Alangkah kecewanya engkau, ternyata engkau tertidur." Ketika keesokan harinya,
tepat di siang hari Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi Saw.
Kemudian turunlah ayat ini, yaitu: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari
puasa bercampur dengan istri-istri kalian, —sampai dengan firman-Nya— dan
makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat
ini.
Lafaz hadis Imam Bukhari dalam bab ini diketengahkan melalui Abu Ishaq, dari
Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika ayat puasa bulan Ramadan diturunkan,
mereka tidak menggauli istri-istri mereka sepanjang bulan Ramadan, dan kaum
laki-laki berkhianat terhadap dirinya sendiri. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu
kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian.
(Al-Baqarah: 187)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa kaum
muslim pada mulanya dalam bulan Ramadan bilamana mereka telah salat Isya, maka
diharamkan atas mereka wanita dan makanan sampai dengan waktu yang semisal pada
keesokan malamnya. Kemudian ada segolongan kaum muslim yang menggauli
istri-istri mereka dan makan sesudah salat Isya dalam bulan Ramadan, di
antaranya ialah Umar ibnul Khattab. Maka mereka mengadukan hal tersebut kepada
Rasulullah Saw. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya
kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan
memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah:
187), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.
Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa sesungguhnya orang-orang itu sebelum diturunkan perintah
puasa seperti apa yang telah diturunkan kepada mereka sekarang, mereka masih
tetap boleh makan dan minum serta dihalalkan bagi mereka menggauli
istri-istrinya. Tetapi apabila seseorang di antara mereka tidur, maka ia tidak
boleh makan dan minum serta tidak boleh menyetubuhi istrinya hingga tiba saat
berbuka pada keesokan malamnya. Kemudian sampailah suatu berita kepada kami
bahwa Umar ibnul Khattab sesudah dia tidur dan wajib baginya melakukan puasa,
maka ia (bangun) dan menyetubuhi istrinya. Kemudian ia datang menghadap Nabi
Saw. dan berkata, "Aku mengadu kepada Allah dan juga kepadamu atas apa yang
telah aku perbuat." Nabi Saw. bertanya, "Apakah yang telah kamu lakukan?"
Umar menjawab, "Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku
menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku berkeinginan untuk puasa."
Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi Saw. pasti menegurnya dan
mengatakan kepadanya, "Tidaklah pantas kamu lakukan hal itu." Maka turunlah
firman-Nya yang mengatakan: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa
bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qais ibnu Sa'd, dari Ata ibnu Abu
Rabah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dihalalkan bagi
kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai
dengan firman-Nya— kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.
(Al-Baqarah: 187) Bahwa kaum muslim sebelum ayat ini diturunkan, apabila mereka
telah salat Isya, diharamkan atas mereka makan, minum, dan wanita hingga mereka
berbuka lagi di malam berikutnya. Sesungguhnya Umar ibnul Khattab menyetubuhi
istrinya sesudah salat Isya. Sedangkan Sirmah ibnu Qais Al-Ansari tertidur
sesudah salat Magrib; dia belum makan apa pun, dan ia masih belum bangun kecuali
setelah Rasulullah Saw. salat Isya; maka ia bangun, lalu makan dan minum.
Kemudian pada pagi harinya ia datang kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan hal
tersebut kepadanya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya berkenaan dengan
peristiwa itu, yakni: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur
dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187) Yang dimaksud dengan
rafas ialah bersetubuh dengan istri. mereka itu adalah pakaian bagi
kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kalian tidak dapat menahan nafsu kalian. (Al-Baqarah: 187) Yakni kalian
menyetubuhi istri-istri kalian dan kalian makan serta minum sesudah Isya.
karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk
kalian. (Al-Baqarah: 187) Maksudnya, campurilah istri-istri kalian dan
ikutilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian, yakni memperoleh
anak. dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.
(Al-Baqarah: 187) Maka hal ini merupakan keringanan dan rahmat dari Allah.
Hisyam meriwayatkan dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Abdur Rahman ibnu Abu
Laila yang menceritakan bahwa sahabat Umar ibnul Khattab r.a. pernah bertanya,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi malam menginginkan istriku sebagaimana
layaknya seorang lelaki mengingini istrinya. Tetapi ia menjawab bahwa dirinya
telah tidur sebelum itu, hanya aku menduga dia sedang sakit. Akhirnya aku
setubuhi dia." Maka berkenaan dengan Umar r.a. turunlah ayat berikut, yakni
firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan
istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, dari Ibnu
Abu Laila dengan lafaz yang sama.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna,
telah menceritakan kepada kami Suwaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul
Mubarak, dari Abu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Jubair maula
Bani Salamah, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik
menceritakan sebuah hadis kepadanya dari ayahnya, bahwa orang-orang dalam bulan
Ramadan, bila seorang lelaki di antara mereka puasa dan pada petang harinya dia
tertidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan menggauli istri hingga saat
berbuka pada besok malamnya. Di suatu malam Umar ibnul Khattab r.a. pulang ke
rumahnya dari rumah Nabi Saw. yang saat itu begadang di rumah beliau. Lalu Umar
menjumpai istrinya telah tidur, dan ia menginginkannya. Tetapi istrinya
menjawab, "Aku telah tidur." Maka Umar menjawab, "Kamu belum tidur," lalu ia
langsung menyetubuhinya. Ka'b ibnu Malik melakukan hal yang sama pula. Pada pagi
harinya Umar berangkat ke rumah Nabi Saw. dan menceritakan hal tersebut
kepadanya. Kemudian turunlah firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian
tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi
maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187),
hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Ata, Ikrimah, Qatadah, dan
lain-lainnya dalam asbabun nuzul ayat ini. Yaitu berkenaan dengan perbuatan Umar
ibnul Khattab dan orang-orang yang melakukan seperti apa yang diperbuatnya, juga
berkenaan dengan Sirmah ibnu Qais. Maka diperbolehkanlah bersetubuh, makan, dan
minum dalam semua malam Ramadan sebagai rahmat dan keringanan serta belas
kasihan dari Allah.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَابْتَغُوا
مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}
dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian.
(Al-Baqarah: 187)
Menurut Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih Al-Qadi, Mujahid, Ikrimah,
Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Zaid ibnu Aslam, Al-Hakam
ibnu Utbah, Muqatil ibnu Hayyan, Al-Hasan Al-Basri, Ad-Dahhak, Qatadah, dan
lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah anak.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian.
(Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah jimak (persetubuhan).
Amr ibnu Malik Al-Bakri telah mengatakan dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan takwil ayat ini: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan
Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah lailatul
qadar (malam yang penuh dengan kemuliaan). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu
Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, bahwa
Qatadah pernah mengatakan, "Ikutilah oleh kalian keringanan yang telah
ditetapkan oleh Allah buat kalian ini!" Yakni atas dasar bacaan ma
ahallallahu lakum (bukan ma kataballahu lakum), artinya 'apa yang
telah dihalalkan oleh Allah buat kalian'.
Abdur Razzaq telah mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ata ibnu Abu Rabah yang pernah bercerita
bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas mengenai bacaan ayat ini, yakni
firman-Nya: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian.
(Al-Baqarah: 187) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Mana saja yang kamu sukai boleh,
tetapi pilihlah olehmu bacaan yang pertama, (yakni kataba, bukan
ahal-la)." Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa
makna ayat lebih umum daripada hal tersebut.
************
Firman Allah Swt.:
{وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ}
dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dan benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah:
187)
Allah Swt. memperbolehkan pula makan dan minum di samping boleh menggauli
istri dalam malam mana pun yang disukai oleh orang yang berpuasa, hingga tampak
jelas baginya cahaya waktu subuh dari gelapnya malam hari. Hal ini diungkapkan
di dalam ayat dengan istilah 'benang putih' yang berbeda dengan 'benang hitam',
kemudian pengertian yang masih misteri ini diperjelas dengan firman-Nya:
{مِنَ
الْفَجْرِ}
Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187)
Seperti yang disebutkan di dalam hadis riwayat Imam Abu Abdullah Al-Bukhari:
حَدَّثَنَا
ابن أبي مَرْيَمَ،
حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّان مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّف، حَدَّثَنِي أَبُو حَازِمٍ، عَنْ
سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: أُنْزِلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} وَلَمْ يُنزلْ {مِنَ
الْفَجْرِ} وَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ، رَبَطَ أحدُهم فِي
رِجْلَيْهِ الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ الْأَسْوَدَ، فَلَا يَزَالُ يَأْكُلُ
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتَهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ: {مِنَ
الْفَجْرِ} فَعَلِمُوا أَنَّمَا يَعْنِي: اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami
Abu Gassan (yakni Muhammad ibnu Mutarrif), telah menceritakan kepada kami Abu
Hazim, dari Sahl ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut ini
diturunkan: Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari
benang hitam. (Al-Baqarah: 187) Sedangkan kelanjutannya masih belum
diturunkan, yaitu firman-Nya: Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka
orang-orang apabila hendak berpuasa, seseorang dari mereka mengikatkan benang
putih dan benang hitam pada kakinya; dia masih tetap makan dan minum hingga
tampak jelas baginya kedua benang itu. Lalu Allah menurunkan firman-Nya:
Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka mengertilah mereka bahwa yang
dimaksud dengan istilah benang putih dan benang hitam ialah malam dan siang
hari.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا حُصَين، عَنِ الشَّعْبِيِّ،
أَخْبَرَنِي عَديّ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأسْوَدِ} عَمَدت إِلَى عِقَالَيْنِ، أحدُهما أَسْوَدُ وَالْآخَرُ أَبْيَضُ،
قَالَ: فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمَا
فَلَا تَبَيَّن لِي الْأَسْوَدُ مِنَ الْأَبْيَضِ، وَلَا الْأَبْيَضُ مِنَ
الْأَسْوَدِ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ. فَقَالَ: "إِنَّ وِسَادَكَ
إِذًا لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ
اللَّيْلِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah
menceritakan kepada kami Husain, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku
Addi ibnu Hatim yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yakni
firman-Nya: dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) (Addi ibnu Hatim berkata),
"Maka aku sengaja mencari dua buah tali, yang satu berwarna hitam, sedangkan
yang lain berwama putih; lalu aku letakkan di bawah bantalku, dan aku tinggal
melihat keduanya. Dan ketika tampak jelas di mataku perbedaan antara benang
putih dan benang hitam, maka aku mulai imsak (menahan diri). Pada keesokan
harinya aku datang menghadap Rasulullah Saw., lalu aku ceritakan kepadanya apa
yang telah kulakukan itu, maka beliau bersabda: 'Sesungguhnya bantalmu kalau
demikian benar-benar lebar. Sesungguhnya yang dimaksud dengan demikian
itu hanyalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari'."
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari berbagai jalur
dari Addi.
Makna 'sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar' ialah
bantalmu memang lebar jika dapat memuat dua buah tali, yakni tali yang berwama
hitam dan yang berwarna putih. Makna yang dimaksud dijelaskan oleh ayat
berikutnya, bahwa sesungguhnya keduanya itu adalah terangnya siang hari dan
gelapnya malam hari. Hal ini berarti bantal Addi sama lebarnya dengan ufuk timur
dan ufuk barat. Demikianlah menurut apa yang tercatatkan di dalam riwayat Imam
Bukhari, yakni ditafsirkan seperti ini.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا حُصَين، عَنِ الشَّعْبِيِّ،
أَخْبَرَنِي عَديّ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأسْوَدِ} عَمَدت إِلَى عِقَالَيْنِ، أحدُهما أَسْوَدُ وَالْآخَرُ أَبْيَضُ،
قَالَ: فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمَا
فَلَا تَبَيَّن لِي الْأَسْوَدُ مِنَ الْأَبْيَضِ، وَلَا الْأَبْيَضُ مِنَ
الْأَسْوَدِ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ. فَقَالَ: "إِنَّ وِسَادَكَ
إِذًا لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ
اللَّيْلِ"
Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada
kami Abu Uwwanah, dari Husain, dari Sya'bi, dari Addi yang menceritakan bahwa
dia mengambil tali yang berwarna putih dan tali yang berwarna hitam. Ketika
sebagian dari malam hari telah berlalu, ia memandang ke arah kedua tali itu,
tetapi dia masih belum dapat membedakannya. Ketika pagi harinya ia berkata,
"Wahai Rasulullah, aku telah meletakkan dua buah tali di bawah bantalku." Maka
Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya bantalmu (tengkukmu) benar-benar lebar
kalau demikian, yakni jika tali putih dan tali hitam itu berada di bawah
bantalmu. Menurut lafaz lainnya disebutkan: Sesungguhnya kamu
ini benar-benar memiliki tengkuk yang lebar.
Sebagian di antara mereka menafsirkannya dengan pengertian orang yang dungu;
tetapi riwayat ini daif, melainkan pengertian yang benar ialah 'apabila
bantalnya lebar, maka berarti tengkuknya lebar pula (yakni bukan makna kinayah,
melainkan makna menurut lahiriah)'.
Imam Bukhari menafsirkan pula melalui riwayat lainnya, yaitu:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مُطَرّف، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ
بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ، أَهُمَا الْخَيْطَانِ؟ قَالَ: "إِنَّكَ لَعَرِيضُ الْقَفَا
إِنْ أَبْصَرْتَ الْخَيْطَيْنِ". ثُمَّ قَالَ: "لَا بَلْ هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ
وَبَيَاضُ النَّهَارِ"
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami
Jarir, dari Mutarrif, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan:
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan benang putih dari
benang hitam, apakah keduanya memang benang?" Rasulullah Saw. menjawab,
"Sesungguhnya tengkukmu benar-benar lebar jika kamu memahami makna kedua
benang itu." Kemudian Nabi Saw. bersabda lagi, "Tidak, bahkan yang
dimaksud ialah gelapnya malam hari dan terangnya siang hari."
Ketetapan Allah Swt. yang membolehkan seseorang makan sampai fajar terbit
menunjukkan sunat bersahur, karena sahur termasuk ke dalam bab rukhsah, dan
mengamalkannya merupakan hal yang dianjurkan. Karena itulah di dalam sunnah
Rasul Saw. terdapat anjuran bersahur.
Di dalam kitab Sahihain, dari Anas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"تَسَحَّرُوا
فَإِنَّ فِي السَّحور بَرَكَةٌ"
Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur terkandung
barakah.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Amr ibnul As r.a. yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إن
فَصْل مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ
السَّحَر"
Sesungguhnya perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab ialah
makan sahur.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى هُوَ ابْنُ الطَّبَّاعِ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ
يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "السَّحور أكْلُهُ بَرَكَةٌ؛ فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
يَجْرَع جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
الْمُتَسَحِّرِينَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa (yaitu
Ibnut Tabba'), telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid, dari
ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Sahur adalah makanan yang mengandung berkah, maka
janganlah kalian melewatkannya, sekalipun seseorang di antara kalian hanya
meminum seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat
untuk orang-orang yang makan sahur.
Di dalam Bab "Anjuran Bersahur" banyak hadis yang menerangkannya, sehingga
disebutkan bahwa sekalipun hanya dengan seteguk air, karena disamakan dengan
orang-orang yang makan.
Mengakhirkan sahur sunat hukumnya, seperti yang disebutkan di dalam kitab
Sahihain:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. قَالَ
أَنَسٌ: قُلْتُ لِزَيْدٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسُّحُورِ؟ قَالَ:
قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
dari Anas ibnu Malik, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan, "Kami makan
sahur bersama Rasulullah Saw., kemudian kami bangkit mengerjakan salat." Anas
bertanya kepada Zaid, "Berapa lamakah jarak antara azan (salat Subuh) dan
sahur?" Zaid menjawab, "Kurang lebih sama dengan membaca lima puluh ayat."
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة،
عَنْ سَالِمِ بْنِ غَيْلَانَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي عُثْمَانَ، عَنْ عَديّ
بْنِ حَاتِمٍ الْحِمْصِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "لا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلوا الْإِفْطَارَ
وأخَّروا السُّحُورَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Salim ibnu Gailan, dari Sulaiman
ibnu Abu Usman, dari Addi ibnu Hatim Al-Hamsi, dari Abu Zar yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Umatku masih tetap dalam keadaan baik
selagi mereka menyegerakan berbuka (puasa) dan mengakhirkan makan
sahur(nya).
Banyak hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. menamakan makan sahur ini
dengan sebutan jamuan yang diberkati. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah:
مِنْ
رِوَايَةِ حَمَّادِ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ، عَنْ زِرِّ بْنِ
حُبَيْشٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ: تسحَّرْنا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ النَّهَارُ إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ
لَمْ تَطْلُعْ
melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari Asim ibnu Bahdalah, dari Zaid ibnu
Hubaisy, dari Huzaifah yang menceritakan: Kami makan sahur bersama Rasulullah
Saw., maka hari pun mulai pagi, hanya matahari belum terbit.
Hadis ini menurut Imam Nasai hanya ada pada Asim ibnu Abun Nujud, dan Imam
Nasai menginterpretasikannya dengan pengertian dekat pagi hari. Perihalnya sama
dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِذا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فارِقُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ
Apabila mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik
atau lepaskanlah mereka dengan baik. (At-Talaq: 2)
Yakni masa idah mereka mendekati akhirnya, maka sebagai jalan keluarnya ialah
adakalanya mereka dirujuki dengan baik atau dilepaskan dengan baik pula.
Apa yang dikatakan oleh Imam Nasai ini merupakan takwil makna hadis ini, dan
takwil ini merupakan suatu pilihan yang terbaik karena mereka (para sahabat)
terbukti melakukan sahur, sedangkan mereka belum yakin akan terbitnya fajar;
hingga sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa fajar telah terbit,
dan sebagian yang lainnya belum dapat membuktikannya.
Sesungguhnya diriwayatkan dari sebagian besar ulama Salaf bahwa mereka
membolehkan makan sahur hingga mendekati waktu fajar. Hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Huzaifah, Abu Hurairah,
Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid Ibnu Sabit. Sebagaimana telah diriwayatkan pula hal
yang semisal dari sebagian besar golongan tabi'in, antara lain ialah Muhammad
ibnu Ali ibnul Husain, Abu Mijlaz, Ibrahim An-Nakha'i, Abud Duha, dan Abu Wa'il
serta lain-lainnya dari kalangan murid-murid Ibnu Mas'ud, Ata, Al-Hasan,
Al-Hakim, Ibnu Uyaynah, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, dan Abusya'sa (yaitu Jabir
dan ibnu Zaid). Pendapat ini didukung oleh Al-A'masy dan Jabir ibnu Rasyid.
Sesungguhnya kami telah mencatat sanad-sanad itu di dalam Kitabus Siyam secara
menyendiri.
Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya dari sebagian di
antara mereka, bahwa sesungguhnya imsak diwajibkan hanyalah mulai dari terbitnya
(dekat terbitnya) matahari, sebagaimana diperbolehkan baginya berbuka setelah
matahari tenggelam.
Menurut kami, pendapat ini tidaklah layak dikatakan oleh seseorang yang
berilmu mendalam, karena hal ini bertentangan dengan makna firman-Nya: dan
makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Telah disebutkan di dalam hadis Al-Qasjim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
"لَا
يَمْنَعُكُمْ أذانُ بِلَالٍ عَنْ سَحُوركم، فَإِنَّهُ يُنَادِي بِلَيْلٍ، فَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أَذَانَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا
يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ"
Jangan sampai azan (pertama) Bilal mencegah kalian dari sahur kalian,
karena sesungguhnya dia menyerukan azannya di malam hari. Untuk itu makan dan
minumlah kalian hingga kalian mendengar azan yang diserukan Ibnu Ummi Maktum,
karena sesungguhnya dia tidak menyerukan azannya sebelum fajar (subuh)
terbit.
Demikianlah menurut lafaz Imam Bukhari.
وَقَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
جَابِرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْق، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عليه وسلم قال: "لَيْسَ الفجرُ الْمُسْتَطِيلُ فِي الْأُفُقِ وَلَكِنَّهُ
الْمُعْتَرِضُ الْأَحْمَرُ" .
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu-sa ibnu Daud, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Jabir, dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Fajar itu bukanlah sinar yang
memanjang di ufuk, melainkan sinar merah yang melintang.
Sedangkan menurut lafaz Imam Abu Daud dan Imam At Tirmidzi disebutkan:
"كُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلَا يَهِيدَنَّكُمْ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا
حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الْأَحْمَرُ"
Makan dan minumlah kalian, dan jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh
sinar yang naik (memanjang), maka makan dan minumlah kalian sebelum tampak
cahaya merah yang melintang bagi kalian.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ شَيْخٍ مِنْ بَنِي
قُشَيْرٍ: سَمِعْتُ سَمُرة بْنَ جُنْدَب يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَغُرَّنَّكُمْ نِدَاءُ بِلَالٍ وَهَذَا
الْبَيَاضُ حَتَّى يَنْفَجِرَ الْفَجْرُ، أَوْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan
kepada kami Syu'bah, dari seorang syekh dari kalangan Bani Qusyair; ia pernah
mendengar Samurah ibnu Jundub menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh seruan Bilal dan
sinar putih ini, sebelum fajar menyingsing atau sinar merah tampak.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadis Syu'bah dan
lain-lainnya, dari Sawad ibnu Hanzalah, dari Samurah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا
يَمْنَعُكُمْ مِنْ سَحُوركم أَذَانُ بِلَالٍ وَلَا الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ،
وَلَكِنَّ الْفَجْرَ الْمُسْتَطِيرَ فِي الْأُفُقِ"
Jangan sekali-kali kalian berhenti dari sahur kalian karena azan Bilal dan
jangan pula karena fajar yang memanjang, tetapi fajar itu ialah sinar yang
melebar di ufuk timur.
قَالَ:
وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَية، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ سَوادة القُشَيري، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَغُرَّنَّكُمْ
أَذَانُ بلال ولا هذا البياض، تعمدوا الصبح حين يَسْتَطِيرَ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu
Ulayyah, dari Abdullah ibnu Saudah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari Samurah ibnu
Jundub yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jangan
sekali-kali kalian teperdaya oleh azan Bilal dan jangan pula oleh cahaya putih
ini —seraya mengisyaratkan kepada sinar yang tampak memanjang— sebelum ia
melebar.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Zuhair ibnu
Harb, dari Ismail ibnu Ibrahim (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafaz yang
semisal.
وَقَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ حمَيد، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ
سُلَيمان التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يمنعَنّ
أَحَدَكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ عَنْ سُحُورِهِ -أَوْ قَالَ نِدَاءُ بِلَالٍ -فَإِنَّ
بِلَالًا يُؤَذِّنُ -أَوْ [قَالَ] يُنَادِي -لِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ وليَرْجع
قائمكم، وليس الفجر أن يقول هكذا
أوهكذا، حَتَّى يَقُولَ هَكَذَا".
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ibnu Humaid, telah
menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman
An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda, "Janganlah seseorang di antara kalian tercegah dari makan sahurnya
karena azan yang dilakukan oleh Bilal —atau beliau Saw. bersabda, oleh
seruan Bilal— karena sesungguhnya Bilal menyerukan azannya di malam hari (yakni
hari masih malam) —atau beliau bersabda, untuk membangunkan orang-orang
yang tidur di antara kalian dan untuk mengingatkan orang-orang yang salat (sunat
malam hari) dari kalian—. Fajar itu bukanlah yang tampak seperti ini, melainkan
fajar yang sesungguhnya ialah yang tampak seperti demikian."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari jalur yang lain melalui
At-Taimi dengan lafaz yang sama.
وَحَدَّثَنِي
الْحَسَنُ بْنُ الزِّبْرِقَانِ النَّخَعِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي ذئْب، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْفَجْرُ فَجْرَانِ، فَالذِي كَأَنَّهُ
ذَنْبُ السِّرْحَانِ لَا يُحَرِّم شَيْئًا، وَأَمَّا الْمُسْتَطِيرُ الذِي يَأْخُذُ
الْأُفُقَ، فَإِنَّهُ يُحِلُّ الصَّلَاةَ وَيُحَرِّمُ الطَّعَامَ"
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnuz Zabarqan An-Nakha'i, telah
menceritakan kepadaku Abu Usamah, dari Muhammad ibnu Abu Zi'b, dari Al-Haris
ibnu Abdur Rahman, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Fajar itu ada dua macam, fajar yang
bentuknya seperti ekor serigala tidak mengharamkan sesuatu pun.
Sesungguhnya fajar yang benar adalah yang bentuknya melebar dan memenuhi
ufuk (timur), maka fajar inilah yang membolehkan salat Subuh dan mengharamkan
makanan.
Hadis ini berpredikat mursal lagi jayyid.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari
Ata; ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa fajar itu ada dua, yaitu
fajar yang bentuknya memanjang menyinari langit. Fajar ini tidak menandakan
masuknya waktu subuh, tidak pula mengharamkan sesuatu pun. Tetapi fajar yang
sebenarnya ialah yang cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, fajar inilah yang
mengharamkan minum (pertanda imsak yang sebenarnya).
Ata mengatakan, "Jika sinar fajar itu menerangi langit dalam bentuk memanjang
(seperti tiang), fajar ini tidak mengharamkan minum bagi orang yang puasa, tidak
memperbolehkan salat (Subuh) dan orang yang sedang haji belum habis waktunya
karena fajar ini. Tetapi apabila cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, maka
haramlah minum bagi orang yang puasa dan habislah waktu haji."
Asar ini sanadnya sahih sampai kepada Ibnu Abbas dan Ata, hal yang sama
diriwayatkan pula oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Termasuk di antara hukum yang ditetapkan oleh Allah ialah fajar dijadikan-Nya
sebagai akhir batas waktu boleh bersetubuh, makan, dan minum bagi orang yang
hendak puasa. Dari hal ini tersimpul bahwa barang siapa yang berpagi hari dalam
keadaan junub, hendaklah ia mandi dan melanjutkan puasanya tanpa ada dosa
atasnya. Demikianlah menurut mazhab empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan
Khalaf, karena berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim melalui hadis Aisyah dan Ummu Salamah r.a. yang keduanya
menceritakan:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ
غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
Rasulullah Saw. pernah berpagi hari dalam keadaan junub karena habis jima'
(bersetubuh) tanpa mengeluarkan air mani, kemudian beliau mandi dan
puasa.
Di dalam hadis Ummu Salamah r.a. yang ada pada Imam Bukhari dan Imam Muslim
disebutkan:
ثُمَّ
لَا يُفْطِرُ وَلَا يَقْضِي
dan beliau Saw. tidak berbuka, tidak pula mengqadainya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Siti Aisyah r.a. yang
menceritakan hadis berikut:
أَنَّ
رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، تُدْركني الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ،
فَأَصُومُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَأَنَا
تُدْرِكُنِي الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، فَأَصُومُ". فَقَالَ: لَسْتَ مِثْلَنَا
-يَا رَسُولَ اللَّهِ -قَدْ غفرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا
تَأَخَّرَ. فَقَالَ: "وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أكونَ أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ
وَأَعْلَمُكُمْ بِمَا أَتَّقِي"
Bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, aku berada di waktu
salat (Subuh) sedang diriku dalam keadaan junub. Bolehkah aku puasa?" Rasulullah
Saw. menjawab, "Aku pun pernah berada dalam waktu salat (Subuh), sedangkan
aku dalam keadaan junub, tetapi aku tetap puasa." Lelaki itu berkata,
"Tetapi engkau tidaklah seperti kami, wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah
memberikan ampunan bagimu atas semua dosamu yang terdahulu dan yang kemudian."
Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar
berharap ingin menjadi orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan
orang yang paling alim mengenai cara bertakwa."
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَر، عَنْ هَمَّامٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ -صَلَاةِ الصُّبْحِ -وَأَحَدُكُمْ جُنُبٌ فَلَا يَصُمْ
يَوْمَئِذٍ"
telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Hammam, dari
Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Apabila diserukan
untuk salat, yakni salat Subuh, sedangkan seseorang dari kalian dalam keadaan
junub, maka janganlah dia melakukan puasa di hari itu.
Hadis ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat jayyid, tetapi dengan
syarat Syaikhain, seperti yang Anda ketahui.
Hadis ini menurut apa yang ada di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah,
dari Al-Fadl ibnu Abbas, dari Nabi Saw. Di dalam kitab Sunan Nasai, dari Abu
Hurairah, dari Usamah ibnu Zaid dan Al-Fadl ibnu Abbas, tetapi Imam Nasai tidak
me-rafa'-kannya (tidak menghubungkannya kepada Nabi Saw.). Karena itu,
ada sebagian ulama yang menilai daif' hadis ini karena faktor tersebut (tidak
marfu'). dan di antara mereka ada yang berpegang kepada hadis ini.
Pendapat yang mengatakan demikian ada yang meriwayatkannya dari Abu Hurairah,
Salim, Ata, Hisyam ibnu Urwah, dan Al-Hasan Al-Basri.
Di antara mereka ada orang yang berpendapat membedakan antara orang yang
berpagi hari dalam keadaan junub karena tertidur, maka tidak ada apa pun atas
dirinya, berdasarkan kepada hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Tetapi jika dia
dalam keadaan mukhtar (bebas memilih), maka tidak ada puasa atas dirinya,
berdasarkan hadis Abu Hurairah; hal ini diriwayatkan pula dari Urwah, Tawus, dan
Al-Hasan.
Di antara mereka ada orang yang membedakan antara puasa fardu dan puasa
sunat. Kalau puasanya adalah puasa fardu, maka dia harus melanjutkan puasanya,
tetapi harus mengqadainya. Kalau puasanya sunat, maka jinabah tidak
membahayakannya. Pendapat ini diriwayatkan oleh As-Sauri, dari Mansur, dari
Ibrahim An-Nakha'i, juga merupakan suatu riwayat dari Al-Hasan Al-Basri.
Di antara mereka ada yang menduga bahwa hadis Abu Hurairah di-nasakh oleh
hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah, tetapi pendapat ini tidak mempunyai alasan
mana yang lebih dahulu di antara keduanya.
Ibnu Hazm menduga bahwa hadis Abu Hurairah dimansukh oleh ayat ini, tetapi
pendapat ini pun jauh dari kebenaran karena pembuktian tarikh (penanggalannya)
tidak ada, bahkan pembuktian tarikh memberikan pengertian kebalikannya.
Di antara mereka ada yang menginterpretasikan hadis Abu Hurairah dengan
pengertian bertentangan dengan kesempurnaan puasa. Karena itu, tidak ada pahala
puasa bagi pelakunya, berdasarkan hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah yang
menunjukkan pengertian boleh. Pendapat terakhir inilah yang lebih mendekati
kebenaran dan lebih mencakup keseluruhannya.
*************
Firman Allah Swt.:
{ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Makna ayat ini menunjukkan bahwa berbuka puasa itu di saat matahari tenggelam
sebagai ketetapan hukum syar'i, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab
Sahihain, dari Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا
أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا، فَقَدْ
أَفْطَرَ الصَّائِمُ"
Apabila malam tiba dari arah ini dan siang hari pergi dari arah ini,
berarti telah tiba waktu berbuka bagi orang yang puasa.
Dari Sahl ibnu Sa'd As-Sa'idi r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"لَا
يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ"
Orang-orang masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan
berbuka. (Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim)
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا
الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا قُرّة بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ،
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّ أَحَبَّ عِبَادِي
إِلِيَّ أعجلُهم فِطْرًا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim,
telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepada kami Qurrah
ibnu Abdur Rahman, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi
Saw. yang bersabda: Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya orang yang paling Aku
cintai di antara hamba-hamba-Ku ialah orang yang paling segera berbuka."
Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui bukan hanya dari satu jalur,
bersumber dari Al-Auza'i dengan lafaz yang sama, dan ia mengatakan bahwa hadis
ini hasan garib.
وَقَالَ
أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ إِيَادٍ،
سَمِعْتُ إِيَادَ بْنَ لَقِيطٍ قَالَ: سَمِعْتُ لَيْلَى امْرَأَةَ بَشِير بْنِ
الخَصَاصِيَّة، قَالَتْ: أَرَدْتُ أَنْ أصومَ يَوْمَيْنِ مُوَاصَلَةً، فَمَنَعَنِي
بَشِيرٌ وَقَالَ: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْهُ. وَقَالَ:
"يَفْعَلُ ذَلِكَ النَّصَارَى، ولكنْ صُوموا كَمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ، وَأَتِمُّوا
الصيامَ إِلَى اللَّيْلِ، فَإِذَا كَانَ اللَّيْلُ فَأَفْطِرُوا"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Iyad yang mendengarnya dari Ibnu Laqit,
bahwa ia pernah mendengar dari Laila (istri Basyir ibnul Khasasiyah) yang
menceritakan bahwa ia pernah hendak melakukan puasa dua hari berturut-turut,
tetapi Basyir melarangnya dan mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw.
melarang hal seperti itu dan bersabda: Yang melakukan demikian hanyalah
orang-orang Nasrani, tetapi berpuasalah kalian sebagaimana yang diperintahkan
oleh Allah, "Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam" (Al-Baqarah:
187). Apabila malam tiba (magrib), maka berbukalah kalian.
Karena itulah telah disebutkan di dalam hadis-hadis sahih larangan
ber-wisal, yakni melanjutkan puasa dengan hari berikutnya tanpa makan
sesuatu pun di antara keduanya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "لَا تُوَاصِلُوا". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُوَاصِلُ.
قَالَ: "فَإِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ، إِنِّي أبِيتُ يُطْعمني رَبِّي وَيَسْقِينِي".
قَالَ: فَلَمْ يَنْتَهُوا عَنِ الْوِصَالِ، فَوَاصَلَ بِهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَيْنِ وَلَيْلَتَيْنِ، ثُمَّ رَأَوُا الْهِلَالَ،
فَقَالَ: "لَوْ تَأَخَّرَ الْهِلَالُ لَزِدْتُكُمْ" كالمُنكِّل
بِهِمْ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Janganlah
kalian ber-wisal." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau
pun melakukan wisal." Nabi Saw. menjawab, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti
kalian, sesungguhnya aku menginap seraya diberi makan dan minum oleh
Tuhanku." Abu Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka tidak mau
menghentikan wisalnya (karena mengikut Nabi Saw.). Nabi Saw. meneruskan
wisal-nya bersama mereka selama dua hari dua malam. Kemudian mereka melihat
hilal (bulan Syawwal), maka Nabi Saw. bersabda, "Seandainya hilal datang
terlambat, niscaya aku tambahkan kepada kalian," seperti orang yang
menghukum mereka.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Sahihain
melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang sama. Demikian pula keduanya
mengetengahkan hadis tentang larangan wisal ini melalui hadis Anas dan Ibnu
Umar.
Dari Siti Aisyah r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melarang mereka
melakukan puasa wisal karena kasihan kepada mereka, ketika mereka berkata,
"Sesungguhnya engkau pun ber-wisal? Maka beliau Saw. menjawab:
"إِنِّي
لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي يُطْعِمُنِي رَبِّي
وَيَسْقِينِي"
Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku diberi
makan dan minum oleh Tuhanku.
Larangan melakukan wisal ini telah dibuktikan melalui berbagai jalur
periwayatan, dan telah ditetapkan pula bahwa wisal merupakan salah satu
keistimewaan Nabi Saw. Beliau Saw. kuat melakukan hal tersebut dan mendapat
pertolongan dari Allah untuk melakukannya. Tetapi menurut pendapat yang kuat,
makanan dan minuman yang diberikan khusus kepada Nabi Saw. hanyalah berupa
makanan dan minuman maknawi (abstrak), bukan hissi (konkret). Jika tidak
demikian, berarti Nabi Saw. bukanlah orang yang ber-wisal bila ditinjau dari
segi hissi, melainkan perihalnya sama dengan apa yang diungkapkan oleh
seorang penyair, yaitu:
لَهَا أَحَادِيثُ مِنْ ذِكْرَاكَ تَشْغَلُهَا ... عَنِ الشَّرَابِ وَتُلْهِيهَا عَنِ
الزَّادِ
Dia mempunyai banyak cerita kenangan
bersamamu yang membuatnya sibuk, lupa makan dan lupa kepada
perbekalannya.
Bagi orang yang senang melakukan imsak sesudah matahari tenggelam hingga
waktu sahur, diperbolehkan baginya melakukan hal itu seperti apa yang disebutkan
di dalam hadis Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"لَا
تُوَاصِلُوا، فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ إِلَى السَّحَرِ".
قَالُوا: فَإِنَّكَ تواصِل يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "إِنِّي لَسْتُ
كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي أَبَيْتُ لِي مُطْعِم يُطْعِمُنِي، وَسَاقٍ يَسْقِينِي".
Janganlah kalian ber-wisal. Barang siapa di antara kalian ingin melakukan
wisal, ber-wisal-lah sampai waktu sahur. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah,
tetapi engkau pun ternyata ber-wisal." Rasulullah Saw. bersabda,
"Sesungguhnya aku tidaklah seperti keadaan kalian. Sesungguhnya aku menginap,
sedangkan aku ada yang memberi makan dan yang memberi minum."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan pula hadis ini di dalam kitab
sahih masing-masing.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُريْب، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا
أَبُو إِسْرَائِيلَ العَبْسي عَنْ أَبِي بَكْرِ ابن حَفْصٍ، عَنْ أُمِّ وَلَدِ
حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتعة: أَنَّهَا مَرَّتْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ، فَدَعَاهَا إِلَى الطَّعَامِ. فَقَالَتْ:
إِنِّي صَائِمَةٌ. قَالَ: وَكَيْفَ تَصُومِينَ؟ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: "أين أنت من وِصَالِ
آلِ مُحَمَّدٍ، مِنَ السَّحَر إِلَى السَّحَر"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abu Israil
Al-Anasi, dari Abu Bakar ibnu Hafs, dari ibu anaknya Hatib ibnu Abu Balta'ah
yang menceritakan: Bahwa ia bersua dengan Rasulullah Saw. ketika beliau sedang
makan sahur. Beliau memanggil untuk ikut makan, tetapi ia berkata, "Sesungguhnya
aku sedang puasa." Nabi Saw. bersabda, "Bagaimanakah cara puasamu?" Lalu
ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda,
"Puasamu itu bukan termasuk wisal yang dilakukan oleh keluarga Muhammad,
(wisal) ialah dari sahur ke sahur yang lain'.'
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ،
عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ عَلِيٍّ: أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوَاصِلُ مِنَ السَّحَر إِلَى
السَّحَر
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah
menceritakan kepada kami Israil, dari Abdul A'la, dari Muhammad ibnu Ali, dari
Ali r.a.:
Bahwa Nabi Saw. acapkali melakukan wisal dari sahur ke sahur yang
lain.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnuz Zubair dan lain-lainnya dari
kalangan ulama Salaf, bahwa mereka sering melakukan wisal dalam hari-hari yang
dapat dihitung. Ibnu Jarir menginterpretasikan bahwa mereka melakukan perbuatan
ini hanya untuk melatih diri mereka, bukan sebagai ibadah. Tetapi dapat
diinterpretasikan pula bahwa mereka memahami larangan tersebut sebagai bimbingan
yang mengandung rasa belas kasihan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Siti
Aisyah r.a., yaitu karena belas kasihan kepada mereka. Tersebutlah bahwa Ibnuz
Zubair dan anak laki-lakinya (yaitu Amir) serta orang-orang yang mengikuti
jejaknya melakukan wisal ini dengan kuat, karena mereka memang mempunyai
ketahanan tubuh yang mampu melakukan hal tersebut.
Diriwayatkan dari mereka bahwa ketika mereka ber-wisal, makanan yang
mula-mula mereka makan sebagai bukanya ialah minyak samin dan jazam agar perut
mereka tidak perih karena makanan selanjutnya. Diriwayatkan dari Ibnuz Zubair
bahwa ia sering melakukan wisal selama tujuh hari berturut-turut, tetapi pada
hari yang ketujuh di pagi harinya ia kelihatan sebagai orang yang paling kuat
dan paling tegar di antara mereka (yang berpuasa).
Abul Aliyah mengatakan, sesungguhnya Allah hanya mewajibkan puasa di siang
hari saja. Tetapi bila malam hari tiba, maka orang yang ingin makan, boleh
makan; dan bagi orang meneruskannya, boleh tidak makan.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَلا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf
dalam masjid. (Al-Baqarah: 187)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa hal ini berkenaan
dengan seorang lelaki yang sedang melakukan i'tikaf di dalam masjid, baik dalam
bulan Ramadan ataupun di luar Ramadan. Diharamkan baginya menyetubuhi istrinya,
baik di siang maupun di malam hari sebelum dia selesai dari i'tikaf.
Ad-Dahhak mengatakan, apabila seorang lelaki melakukan i'tikaf di dalam
masjid, lalu ia keluar, maka ia boleh menyetubuhi istrinya jika menghendakinya.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: (tetapi) janganlah kalian campuri
mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187)
Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati mereka (istri-istri kalian)
selagi kalian masih dalam keadaan i'tikaf di dalam masjid, baik dalam bulan
Ramadan ataupun dalam bulan lainnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid,
Qatadah, dan bukan hanya seorang dari kalangan mereka, bahwa pada mulanya mereka
melakukan hal tersebut (yakni menyetubuhi istri mereka selagi mereka masih dalam
i'tikaf) hingga ayat ini diturunkan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Muhammad ibnu
Ka'b, Mujahid, Ata, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas,
dan Muqatil, bahwa mereka pernah mengatakan, "Janganlah seseorang mendekati
istrinya, sedang dia dalam keadaan i'tikaf."
Riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim dari mereka ini merupakan hal
yang telah disekapati di kalangan semua ulama. Yaitu orang yang beri'tikaf
diharamkan menyetubuhi istrinya selagi ia masih dalam i'tikaf di masjid.
Sekiranya dia pergi ke rumahnya untuk suatu keperluan yang tak dapat dielakkan,
tidak halal baginya tinggal di dalam rumah kecuali sekadar waktu seperlunya
sesuai dengan kepentingannya, misalnya buang air besar atau makan; dan tidak
diperbolehkan mencium istri, tidak boleh pula memeluknya, dan tidak boleh
menyibukkan diri dengan urusan lain kecuali i'tikafnya. Ia tidak boleh menjenguk
orang yang sakit, tetapi boleh baginya menanyakan perihal si sakit bila ia
mengambil jalan yang melewati si sakit.
I'tikaf mempunyai hukum-hukum sendiri di dalam babnya, antara lain hukum yang
telah disepakati oleh seluruh ulama, dan ada yang masih diperselisihkan.
Sesungguhnya kami telah menyebutkan sebagian yang diperlukan darinya di akhir
pembahasan puasa. Karena itulah para penulis kitab fiqih mengikutkan Bab
"I'tikaf' dengan Bab "Puasa" demi mengikuti Al-Qur'an, karena sesungguhnya di
dalam Al-Qur'an diperhatikan penyebutan masalah i'tikaf sesudah penyebutan
masalah puasa.
Penyebutan i'tikaf yang dilakukan oleh Allah Swt. sesudah masalah puasa
mengandung petunjuk dan perhatian yang menganjurkan i'tikaf dalam berpuasa atau
di akhir bulan Ramadan. Seperti yang telah disebutkan di dalam sunnah Rasul Saw.
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. selalu melakukan i'tikaf pada sepuluh
hari terakhir bulan Ramadan, hingga Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istrinya
melakukan i'tikaf pula sesudah beliau tiada. Demikianlah menurut hadis yang
diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Siti Aisyah Ummul
Muminin r.a.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Safiyyah binti Huyayyin mengunjungi
Nabi Saw. yang sedang i'tikaf di dalam masjid, lalu Safiyyah berbicara sesaat
dengan Nabi Saw., kemudian ia bangkit untuk pulang ke rumahnya; hal tersebut
terjadi di malam hari. Maka Nabi Saw. bangkit untuk mengantarkannya sampai ke
rumahnya.
Tersebutlah bahwa rumah Siti Safiyyah binti Huyayyin berada di perkampungan
rumah Usamah ibnu Zaid di sebelah Madinah. Ketika berada di tengah jalan, Nabi
Saw. bersua dengan dua orang lelaki dari kalangan Ansar. Ketika keduanya melihat
Nabi Saw., maka keduanya berjalan dengan cepat.
Menurut riwayat yang lain, kedua lelaki itu bersembunyi karena malu kepada
Nabi Saw., mengingat Nabi Saw. sedang bersama istrinya (Siti Safiyyah binti
Huyayyin). Maka Nabi Saw. bersabda, "Perlahan-lahanlah kamu berdua,
sesungguhnya dia adalah Safiyyah binti Huyayyin," yakni istrinya. Maka kedua
lelaki itu berkata, "Subhanallah (Mahasuci Allah), wahai Rasulullah." Maka
Rasulullah Saw. bersabda;
"إِنَّ
الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ
يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا" أَوْ قَالَ: "شَرًّا"
Sesungguhnya setan itu merasuk ke dalam diri anak Adam melalui aliran
darahnya, dan sesungguhnya aku merasa khawatir bila timbul suatu kecurigaan di
dalam hati kamu berdua —atau beliau Saw. bersabda— suatu
keburukan.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan bahwa Nabi Saw. bermaksud mengajarkan
kepada umatnya membebaskan diri dari tuduhan di tempat kejadian, agar keduanya
tidak terjerumus ke dalam hal yang dilarang, padahal kedua orang tersebut adalah
orang yang bertakwa-kepada Allah dan jauh dari kemungkinan bila ia mempunyai
prasangka yang buruk terhadap diri Nabi Saw.
Yang dimaksud dengan istilah mubasyarah dalam ayat ini ialah
bersetubuh dan semua pendahuluan yang menjurus ke arahnya, seperti ciuman,
pelukan, dan lain sebagainya. Saling serah terima sesuatu dan hal lainnya yang
semisal, hukumnya tidak mengapa. Sesungguhnya telah disebutkan di dalam kitab
Sahihain, dari Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah mendekatkan
kepalanya ke tubuh Siti Aisyah, lalu Siti Aisyah menyisirkan rambutnya,
sedangkan Siti Aisyah dalam keadaan berhaid. Nabi Saw. tidak memasuki rumah
(dalam i'tikafnya) melainkan karena keperluan sebagaimana layaknya seorang
manusia. Siti Aisyah r.a. mengatakan, "Dan pernah ada orang yang sedang sakit di
dalam rumahnya, maka aku tidak menanyakan tentang keadaannya melainkan sambil
lewat (menuju masjid)."
***********
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ}
Itulah batasan-batasan Allah. (Al-Baqarah: 187)
Yakni apa yang telah Kami terangkan, yang telah Kami wajibkan dan Kami
bataskan menyangkut puasa dan hukum-hukumnya serta hal-hal yang Kami perbolehkan
di dalamnya; dan hal-hal yang Kami haramkan serta Kami sebutkan tujuan-tujuan,
rukhsah-rukhsah, dan 'azaim-nya. Semua itu adalah batasan-batasan yang telah
disyariatkan oleh Allah dan diterangkan-Nya sendiri.
**************
Firman Allah Swt.:
{فَلا
تَقْرَبُوهَا}
maka janganlah kalian mendekatinya. (Al-Baqarah: 187)
Maksudnya, janganlah kalian melampaui dan menabraknya.
Sedangkan menurut Ad-Dahhak dan Muqatil, makna firman-Nya: Itulah
batasan-batasan Allah. (Al-Baqarah: 187) Yakni melakukan persetubuhan dalam
i'tikaf. Sedangkan menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, yang dimaksud
ialah batasan-batasan yang empat, lalu ia membacakan firman-Nya: Dihalalkan
bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian
—sampai dengan firman-Nya— Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
malam. (Al-Baqarah: 187)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayahnya dan orang lain
dari kalangan guru-gurunya mengatakan hal yang sama dan mengajarkannya kepada
dia (dan murid-murid lainnya).
***************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ}
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia.
(Al-Baqarah: 187)
Yakni sebagaimana Allah menjelaskan masalah puasa berikut hukum-hukum syariat
dan rinciannya, Dia pun menjelaskan pula semua hu-kum lainnya melalui lisan
hamba dan Rasul-Nya —yaitu Nabi Muhammad Saw.— kepada umat manusia.
لَعَلَّهُمْ
يَتَّقُونَ
supaya mereka bertakwa. (Al-Baqarah: 187)
Artinya, agar mereka mengetahui bagaimana jalan hidayah itu dan bagaimana
cara mereka bertaat. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam
firman-Nya:
هُوَ
الَّذِي يُنَزِّلُ عَلى عَبْدِهِ آياتٍ بَيِّناتٍ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُماتِ
إِلَى النُّورِ وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَؤُفٌ رَحِيمٌ
Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Qur'an)
supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadap kalian. (Al-Hadid:
9)
Al-Baqarah, ayat 188
{وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ (188) }
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta
sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah)
kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan
sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kalian mengetahui.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini berkenaan
dengan seorang lelaki yang mempunyai utang sejumlah harta, sedangkan pemiutang
(yang punya piutang) tidak mempunyai bukti yang kuat. Lalu lelaki tersebut
mengingkari utangnya dan mengadukan perkaranya kepada hakim, padahal dia
mengetahui bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak, dan bahwa dirinya
berada di pihak yang salah (berdosa) dan memakan harta haram.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah,
Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, dan Abdur Rahman ibnu Zaid
ibnu Aslam, bahwa mereka pernah mengatakan, "Janganlah kamu membuat perkara,
sedangkan kamu mengetahui bahwa dirimu berada di pihak yang zalim."
Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
"أَلَا
إِنَّمَا أَنَا بَشَر، وَإِنَّمَا يَأْتِينِي الْخِصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ
يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي لَهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ
بِحَقِّ مُسْلِمٍ، فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنْ نَارٍ، فَلْيَحْملْهَا، أَوْ
ليذَرْها"
Ingatlah, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, dan sesungguhnya
sering datang kepadaku orang-orang yang mengadukan perkaranya. Barangkali
sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengemukakan alasannya daripada
lawannya, karena itu aku memutuskan perkara untuknya. Barang siapa yang telah
kuputuskan buatnya menyangkut masalah hak seorang muslim, pada hakikatnya hal
itu hanyalah merupakan sepotong api neraka; karena itu, hendaklah seseorang
menyanggahnya atau meninggalkannya.
Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa keputusan hakim tidak boleh mengubah
hakikat sesuatu —dengan kata lain, tidak dapat mengharamkan yang halal dan tidak
pula menghalalkan yang haram— melainkan dia hanya memutuskan berdasarkan apa
yang tampak pada lahiriahnya. Untuk itu apabila keputusannya bersesuaian dengan
hakikat permasalahan, memang demikianlah yang diharapkan. Jika keputusannya itu
tidak bersesuaian dengan hakikat permasalahan, maka si hakim hanya memperoleh
pahalanya, sedangkan yang menanggung dosanya ialah pihak yang memalsukan tanda
bukti dan melakukan kecurangan dalam perkaranya. Karena itu, dalam ayat ini
disebutkan:
{وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ
أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan janganlah sebagian dari kalian memakan harta sebagian yang lain di
antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui.
(Al-Baqarah: 188)
Yakni kalian mengetahui kebatilan dari apa yang kalian dakwakan dan kalian
palsukan melalui ucapan kalian.
Qatadah mengatakan, "Ketahuilah, hai anak Adam, bahwa keputusan kadi itu
tidak menghalalkan yang haram bagimu dan tidak pula membenarkan perkara yang
batil. Sesungguhnya dia hanya memutuskan berdasarkan apa yang dia lihat melalui
kesaksian para saksi. Kadi adalah seorang manusia, dia terkadang keliru dan
terkadang benar. Ketahuilah bahwa barang siapa yang diputuskan suatu perkara
untuk kemenangannya dengan cara yang batil, maka perkaranya itu masih tetap ada
hingga Allah menghimpunkan di antara kedua belah pihak di hari kiamat, lalu
Allah memutuskan perkara buat kemenangan orang yang hak atas orang yang batil
itu dengan keputusan yang lebih baik daripada apa yang telah diputuskan buat
kemenangan si batil atas pihak yang hak sewaktu di dunia."
Al-Baqarah, ayat 189
{يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ
بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى
وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
(189) }
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadah) haji." Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,
tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian
beruntung.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang bertanya kepada
Rasulullah Saw. tentang bulan sabit. Maka turunlah ayat berikut, yakni
firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al-Baqarah: 189) Yakni
dengan melaluinya mereka mengetahui waktu masuknya ibadah mereka, bilangan idah
istri-istri, dan waktu haji mereka.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, telah sampai sebuah
hadis kepada kami bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa Allah
menciptakan hilal (bulan sabit)?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al-Baqarah: 189) Maksudnya, Allah
menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu puasa kaum muslim dan waktu
berbuka mereka, bilangan idah istri-istri, dan tanda waktu agama (ibadah haji)
mereka. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ata, Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi,
dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
قَالَ
عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رَوّاد، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"جَعَلَ اللَّهُ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنَّ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
يَوْمًا".
Abdur Razzaq meriwayatkan, dari Abdul Aziz ibnu Abu Rawwad, dari Nafi', dari
Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah
menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia, maka berpuasalah
kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya. Maka
apabila awan menutupi kalian, sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh
hari.
Hadis riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Ibnu Abu
Rawwad dengan lafaz yang sama.
Imam Hakim mengatakan bahwa Ibnu Abu Rawwad adalah orang yang siqah, ahli
ibadah, seorang mujtahid lagi bernasab terhormat. Maka hadis ini sahih sanadnya,
tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya.
قَالَ
مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ؛ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم: "جعل اللَّهُ الأهلَّة، فَإِذَا رَأَيْتُمُ
الْهِلَالَ فصُوموا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ أغْمي عَلَيْكُمْ
فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ"
Muhammad ibnu Jabir meriwayatkan dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah telah menciptakan
bulan sabit. Maka apabila kalian melihat bulan sabit, berpuasalah; dan
apabila kalian melihatnya lagi, berbukalah. Tetapi jika awan menutupi kalian,
maka sempurnakanlah bilangan bulan kalian menjadi tiga puluh hari.
Hal yang sama diriwayatkan melalui hadis Abu Hurairah, juga dari ucapan Ali
ibnu Abu Talib r.a.
**********
Firman Allah Swt:
{وَلَيْسَ
الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ
اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا}
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi
kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah
itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa,
dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa pada mulanya
di zaman Jahiliah apabila mereka telah melakukan ihram, mereka memasuki rumahnya
dari arah belakangnya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu'bah, dari
Abi Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa orang-orang Ansar pada mulanya
bila mereka tiba dari perjalanannya, maka seseorang dari mereka tidak memasuki
rumahnya dari arah pintunya, lalu turunlah ayat ini.
Al-A'masy menceritakan dari Abu Sufyan, dari Jabir, bahwa dahulu orang-orang
Quraisy dikenal dengan nama Humus, mereka selalu masuk dari pintu-pintunya dalam
ihram mereka; sedangkan orang-orang Ansar dan semua orang Arab dalam ihram
mereka tidak memasukinya dari pintu. Ketika Rasulullah Saw. sedang berada di
sebuah kebun, selanjutnya beliau keluar dari pintunya, tetapi keluar pula
bersamanya Qutbah ibnu Amir dari kalangan Ansar. Mereka berkata, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Qutbah ibnu Amir adalah seorang pedagang, sesungguhnya
dia telah keluar bersamamu dari pintu itu." Maka Rasul Saw. bertanya kepada
Qutbah, "Apakah yang mendorongmu melakukan demikian?" Qutbah menjawab,
"Aku melihat engkau melakukannya, maka aku ikut melakukan seperti apa yang telah
engkau lakukan." Rasul Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku adalah seorang
Ahmas." Qutbah menjawab, "Sesungguhnya agamaku juga adalah agamamu." Maka
Allah menurunkan firman-Nya: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula, juga Al-Aufi, dari Ibnu Abbas dengan
lafaz yang semisal. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Az-Zuhri,
Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, dahulu beberapa kaum dari kalangan ahli
Jahiliah apabila seseorang dari mereka hendak melakukan suatu perjalanan, lalu
ia keluar dari rumahnya memulai perjalanan yang ditujunya. Kemudian sesudah ia
keluar, timbul keinginan tetap tinggal dan mengurungkan niat bepergiannya; maka
dia tidak memasuki rumahnya dari pintunya, melainkan menaiki tembok bagian
belakang. Lalu Allah Swt. berfirman: Dan bukanlah kebajikan memasuki
rumah-rumah dari belakangnya. (Al-Baqarah: 189), hingga akhir ayat.
Muhammad ibnu Ka'b mengatakan, "Seorang lelaki apabila hendak melakukan
i'tikaf, ia tidak memasuki rumahnya dari arah pintunya, maka Allah menurunkan
ayat ini."
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa penduduk Yasrib apabila kembali dari hari
raya mereka, mereka memasuki rumahnya masing-masing dari arah belakangnya, dan
mereka berpendapat bahwa hal tersebut lebih mendekati kepada kebajikan. Maka
Allah Swt. berfirman: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya. (Al-Baqarah: 189) Akhirnya mereka tidak lagi berpendapat bahwa
hal tersebut lebih dekat kepada kebajikan.
*******
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
Dan bertakwalah kalian kepada Allah, agar kalian beruntung.
(Al-Baqarah: 189)
Yakni kerjakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada kalian dan
tinggalkanlah oleh kalian apa yang telah diharamkan Allah bagi kalian. agar
kalian beruntung. (Al-Baqarah: 189) Yaitu kelak di hari kemudian. Bila
kalian dihadirkan di hadapan Allah, maka kelak Dia akan memberi kalian pahala
dan balasannya dengan lengkap dan sempurna.
Al-Baqarah, ayat 190-193
{وَقَاتِلُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (190) وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ
وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ
فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ (191) فَإِنِ
انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (192) وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا
تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ
إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ (193) }
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah
mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka
telah mengusir kalian (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada
pembunuhan, dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali
jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi kalian (di
tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.
Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak
ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka
berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali
terhadap orang-orang yang zalim.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kalian. (Al-Baqarah: 190) Ayat ini merupakan ayat
perang pertama yang diturunkan di Madinah. Setelah ayat ini diturunkan, maka
Rasulullah Saw. memerangi orang-orang yang memerangi dirinya dan membiarkan
orang-orang yang tidak memeranginya, hingga turunlah surat Bara’ah (surat
At-Taubah).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan hal yang sama, hingga dia
mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya:
فَاقْتُلُوا
الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ
Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai
mereka. (At-Taubah: 5)
Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, mengingat
firman-Nya: orang-orang yang memerangi kalian. (Al-Baqarah: 190)
Sesungguhnya makna ayat ini merupakan penggerak dan pengobar semangat untuk
memerangi musuh-musuh yang berniat memerangi Islam dan para pemeluknya. Dengan
kata lain, sebagaimana mereka memerangi kalian, maka perangilah mereka oleh
kalian. Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَقاتِلُوا
الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَما يُقاتِلُونَكُمْ كَافَّةً
Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi
kalian semuanya. (At-Taubah: 36)
Karena itulah maka dalam ayat ini Allah Swt. berfirman: Dan bunuhlah
mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka
telah mengusir kalian (Mekah). (Al-Baqarah: 191)
Dengan kata lain, agar semangat kalian berkobar untuk memerangi orang-orang
musyrik itu, sebagaimana semangat mereka menggebu-gebu untuk memerangi kalian;
dan agar kalian terdorong untuk mengusir mereka dari negeri yang mereka telah
mengusir kalian darinya sebagai pembalasan yang setimpal.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَلا
تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ}
(tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Baqarah: 190)
Yakni perangilah mereka di jalan Allah, tetapi janganlah kalian bersikap
melampaui batas dalam hal ini. Termasuk ke dalam pengertian bertindak melampaui
batas ialah melakukan hal-hal yang dilarang (dalam perang).
Menurut Al-Hasan Al-Basri antara lain ialah mencincang musuh, curang,
membunuh wanita-wanita, anak-anak serta orang-orang lanjut usia yang tidak ikut
berperang serta tidak mempunyai kemampuan berperang, para rahib dan
pendeta-pendeta yang ada di dalam gereja-gerejanya, membakar pohon, dan membunuh
hewan bukan karena maslahat.
Hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Umar ibnu Abdul Aziz, Muqatil ibnu Hayyan,
dan lain-lainnya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis:
عَنْ
بُرَيدة أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ:
"اغْزُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِالْلَّهِ، اغْزُوا وَلَا
تَغُلّوا، وَلَا تَغْدروا، وَلَا تُمَثِّلُوا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا، وَلَا
أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ".
dari Buraidah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Pergilah di jalan
Allah dan perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah kalian, tetapi
janganlah kalian curang, jangan khianat, jangan mencincang, dan jangan membunuh
anak-anak serta jangan membunuh orang-orang yang ada di dalam
gereja-gerejanya. (Riwayat Imam Ahmad)
Disebutkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah Saw. bila memberangkatkan
pasukannya, terlebih dahulu berpesan kepada mereka:
"اخْرُجُوا
بِسْمِ اللَّهِ، قَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ كَفَرَ بِالْلَّهِ، لَا
تَغْدِرُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تُمَثلوا، وَلَا تَقْتُلُوا الْوِلْدَانَ وَلَا
أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ".
Berangkatlah kalian dengan menyebut asma Allah, perangilah di jalan Allah
orang-orang yang kafir kepada Allah, janganlah kalian melampaui batas, janganlah
kalian curang, jangan mencincang (menyiksa), jangan membunuh anak-anak, dan
jangan pula orang-orang yang berada dalam gereja-gerejanya.
Imam Ahmad dan Imam Abu Daud meriwayatkan pula hadis yang semisal secara
marfu' dari sahabat Anas ibnu Malik r.a.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ: وجُدت امْرَأَةٌ فِي بَعْضِ مَغَازِي النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْتُولَةً، فَأَنْكَرَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قتلَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ
dari sahabat Ibnu Umar yang menceritakan: Pernah dijumpai seorang wanita yang
terbunuh dalam suatu peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Maka sejak
itu beliau membenci membunuh wanita-wanita dan anak-anak.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُصعب بْنُ سَلام، حَدَّثَنَا الْأَجْلَحُ، عَنْ
قَيْسِ بْنِ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ رِبْعي ابن حِرَاش، قَالَ: سَمِعْتُ حُذَيفة
يَقُولُ: ضَرَبَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَمْثَالًا وَاحِدًا، وَثَلَاثَةً، وَخَمْسَةً، وَسَبْعَةً، وَتِسْعَةً، وأحدَ
عشَرَ، فَضَرَبَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا
مَثَلًا وَتَرَكَ سائرَها، قَالَ: "إِنَّ قَوْمًا كَانُوا أهلَ ضَعْف وَمَسْكَنَةٍ،
قَاتَلَهُمْ أهلُ تَجَبُّرٍ وَعَدَاءٍ، فَأَظْهَرَ اللَّهُ أَهْلَ الضَّعْفِ
عَلَيْهِمْ، فَعَمَدُوا إِلَى عَدُوهم فَاسْتَعْمَلُوهُمْ وَسَلَّطُوهُمْ
فَأَسْخَطُوا اللَّهَ عَلَيْهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Salam,
telah menceritakan kepada kami Al-Ajlah, dari Qais ibnu Abu Muslim, dari Rub'i
ibnu Hirasy yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Huzaifah bercerita,
"Rasulullah Saw. pernah membuat banyak perumpamaan kepada kami, satu, tiga,
lima, tujuh, sembilan, dan sebelas (perumpamaan). Maka Rasulullah Saw. membuat
suatu perumpamaan dari semuanya itu kepada kami dan meninggalkan perumpamaan
yang lainnya. Beliau Saw. bersabda: 'Sesungguhnya ada suatu kaum yang lemah
lagi miskin, mereka diperangi oleh orang-orang yang kuat lagi memendam
permusuhan, tetapi Allah memenangkan orang-orang yang lemah atas mereka, lalu
orang-orang yang lemah itu menghukum mereka dengan cara mempekerjakan dan
menguasai mereka, maka Allah murka terhadap orang-orang yang berbuat demikian
hingga hari kiamat'."
Hadis ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat hasan. Makna hadis, bahwa
ketika kaum yang lemah itu dapat mengalahkan kaum yang kuat, maka kaum yang
lemah berbuat kelewat batas terhadap mereka dan mempekerjakan mereka secara
paksa dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak layak bagi mereka. Maka Allah
menjadi murka terhadap mereka yang menang itu disebabkan sikap mereka yang
melebihi batas.
Hadis dan asar yang membahas hal ini cukup banyak. Mengingat jihad itu
mengandung risiko melayangnya banyak jiwa, terbunuhnya banyak kaum laki-laki,
maka Allah mengingatkan bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh mereka —yaitu
kafir kepada Allah, mempersekutukan-Nya, dan menghalang-halangi jalan Allah—
adalah perbuatan yang lebih parah dan lebih fatal, lebih besar akibatnya
daripada pembunuhan.
**********
Karena itulah maka dalam ayat selanjutnya disebutkan:
{وَالْفِتْنَةُ
أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ}
Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. (Al-Baqarah
191)
Menurut Abu Malik, makna ayat ini ialah bahwa apa yang sedang kalian hadapi
itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.
Abul Aliyah, Mujahid, Qatadah, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Al-Hasan,
Ad-Dahhak, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. (Al-Baqarah:
191) Artinya, musyrik itu bahayanya lebih besar daripada pembunuhan.
***************
Firman-Nya:
{وَلا
تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ}
dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram. (Al-Baqarah:
191)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
"إِنَّ
هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، فَهُوَ
حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا
سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، وَإِنَّهَا سَاعَتِي هَذِهِ، حَرَام بِحُرْمَةِ اللَّهِ
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يُعْضَد شَجَرُهُ، وَلَا يُخْتَلى خَلاه. فَإِنْ
أَحَدٌ تَرَخَّصَ بِقِتَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقُولُوا: إِنَّ اللَّهَ أَذِنَ لِرَسُولِهِ وَلَمْ يَأْذَنْ
لَكُمْ"
Sesungguhnya kota ini telah disucikan Allah sejak Dia menciptakan langit
dan bumi, maka dia tetap suci karena disucikan Allah sampai hari kiamat dan
tidak pernah dihalalkan kecuali sesaat untukku di waktu siang hari, dia tetap
suci karena disucikan Allah sampai hari kiamat; pepohonannya tidak boleh
ditebang, rerumputannya tidak boleh dicabut. Jika ada seseorang membolehkan
karena alasan Rasulullah Saw. pernah melakukan perang padanya, maka katakanlah
oleh kalian bahwa sesungguhnya Allah hanya mengizinkan bagi Rasul-Nya dan Dia
tidak mengizinkan bagi kalian.
Yang dimaksud ialah peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. terhadap
penduduknya ketika hari kemenangan atas kota Mekah, karena sesungguhnya beliau
Saw. membukanya dengan paksa, dan sebagian dari kaum lelaki di antara mereka ada
yang terbunuh di Khandamah.
Tetapi menurut pendapat yang lain, Nabi Saw. membuka kota Mekah secara damai,
karena berdasarkan kepada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
مَنْ
أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ
دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ
Barang siapa yang menutup pintunya, maka dia aman; dan barang siapa yang
masuk ke dalam Masjidil Haram, maka dia aman; dan barang siapa yang memasuki
rumah Abu Sufyan, maka dia aman.
****************
Firman Allah Swt.:
{حَتَّى
يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ
الْكَافِرِينَ}
kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi
kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi
orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 191)
Dengan kata lain, janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram (Mekah)
kecuali bila mereka memulai memerangi kalian padanya, maka saat itu kalian boleh
memerangi mereka untuk membela diri. Sebagaimana. yang dilakukan oleh para
sahabat ketika mengucapkan baiat (janji setia) kepada Nabi Saw. pada hari
Hudaibiyyah di bawah sebuah pohon. Mereka berjanji setia untuk membela Nabi
Saw., yaitu di saat semua suku Quraisy dan para pendukungnya dari kalangan suku
Saqif dan orang-orang Habsyah pada tahun itu bersekutu untuk memerangi Nabi Saw.
Kemudian Allah Swt. mencegah pcperangan di antara mereka. Untuk itu Allah Swt.
berfirman:
وَهُوَ
الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ
مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ
Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kalian dan
(menahan) tangan kalian dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah
Allah memenangkan kalian atas mereka. (Al-Fath: 24)
Allah Swt. berfirman pula:
{وَلَوْلا
رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ
فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي
رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا}
Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan
yang mukmin yang tiada kalian ketahui, bahwa kalian akan membunuh mereka yang
menyebabkan kalian ditimpa kesusahan tanpa pengetahuan kalian (tentulah Allah
tidak akan menahan tangan kalian dari membinasakan mereka). Supaya Allah
memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka
tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yang kafir di
antara mereka dengan azob yang pedih. (Al-Fath: 25)
**************
Adapun firman Allah Swt.:
{فَإِنِ
انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka sesesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 192)
Dengan kata lain, apabila mereka tidak melakukan peperangan di tanah haram
(suci), mereka menyerah mau masuk Islam dan bertobat, sesungguhnya Allah akan
mengampuni dosa-dosa mereka, sekalipun mereka telah memerangi kaum muslim di
Tanah Suci Allah. Karena sesungguhnya tiada suatu dosa besar pun dianggap berat
oleh Allah bila Dia mengampuni orang yang bertobat darinya dan kembali ke
jalan-Nya. Kemudian Allah Swt. memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir
dengan tujuan seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:
{حَتَّى
لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ}
sehingga tidak ada fitnah lagi. (Al-Baqarah: 193)
Yang dimaksud dengan fitnah ialah syirik (mempersekutukan Allah). Demikianlah
menurut apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid,
Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, dan Zaid ibnu Aslam.
Allah Swt. berfirman:
{وَيَكُونَ
الدِّينُ لِلَّهِ}
dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. (Al-Baqarah:
193)
Yakni hanya agama Allah-lah menang lagi tinggi berada di atas agama lainnya,
seperti pengertian yang terkandung di dalam hadis Sahihain:
عَنْ
أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: سُئِل النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُقاتل شُجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ حَميَّة، وَيُقَاتِلُ
رِيَاءً، أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ: "مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ
كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فهو فِي
سَبِيلِ اللَّهِ"
melalui Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan: Nabi Saw. pernah ditanya
mengenai seorang lelaki yang berperang karena keberaniannya, seorang lelaki yang
berperang karena fanatiknya, dan seorang lelaki yang berperang karena riya
(pamer), manakah di antaranya yang termasuk ke dalam perang di jalan Allah? Nabi
Saw. menjawab, "Barang siapa yang berperang demi meninggikan kalimah Allah,
maka dia adalah orang yang berperang di jalan Allah."
Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula hadis berikut:
"أمرْتُ
أنْ أقاتلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا
قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا،
وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ"
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan tidak
ada Tuhan selain Allah; apabila mereka mau mengucapkannya, berarti mereka
memelihara darah dan harta bendanya dariku, kecuali karena alasan yang hak,
sedangkan perhitungan mereka (yang ada di dalam hati mereka) diserahkan kepada
Allah.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَإِنِ
انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ}
Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan
(lagi) kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 193)
Yakni jika mereka tidak melakukan lagi kebiasaan syiriknya dan tidak lagi
memerangi orang-orang mukmin, maka cegahlah diri kalian dari mereka, karena
sesungguhnya orang-orang yang memerangi mereka sesudah itu adalah orang yang
zalim, dan tidak ada lagi permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Demikianlah menurut takwil yang dikemukakan oleh Mujahid, yakni tidak ada perang
lagi kecuali terhadap orang yang memulainya. Atau makna yang dimaksud ialah,
apabila mereka berhenti memusuhi kalian, berarti kalian telah bebas dari
gangguan perbuatan aniaya mereka, yaitu kemusyrikan mereka, maka tidak ada
permusuhan lagi terhadap mereka sesudah itu. Yang dimaksud dengan istilah
'udwan dalam ayat ini ialah membalas dan memerangi, seperti pengertian
yang terkandung di dalam firman-Nya:
{فَمَنِ
اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى
عَلَيْكُمْ}
Oleh karena itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia
seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194)
{وَجَزَاءُ
سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا}
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. (Asy-Syura:
40)
{وَإِنْ
عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ}
Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. (An-Nahl: 126)
Karena itulah maka Ikrimah dan Qatadah mengatakan bahwa orang yang zalim
ialah orang yang menolak, tidak mau mengucapkan kalimah 'Tidak ada Tuhan selain
Allah'.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi. (Al-Baqarah: 193),
hingga akhir ayat. Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami
Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa ia pernah
kedatangan dua orang lelaki pada zaman fitnah Ibnuz Zubair (kemelut yang terjadi
di masa Abdullah ibnuz Zubair), lalu kedua lelaki itu berkata, "Sesungguhnya
orang-orang telah melibatkan dirinya dalam kemelut ini, sedangkan engkau —hai
Ibnu Umar— sebagai sahabat Nabi Saw. mengapa tidak ikut berangkat berperang?"
Ibnu Umar menjawab, "Diriku tercegah oleh hukum Allah yang melarang darah
saudaraku." Keduanya mengatakan lagi, "Bukankah Allah Swt. telah berfirman:
'Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi' (Al-Baqarah:
193)?" Ibnu Umar menjawab, "Kami telah berperang sehingga tiada ada fitnah lagi,
dan agama hanyalah untuk Allah. Sedangkan kalian menghendaki agar perang kalian
lakukan sehingga fitnah timbul lagi dan agar agama untuk selain Allah."
Usman ibnu Saleh meriwayatkan dari Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku
Fulan dan Haiwah ibnu Syuraih, dari Bakr ibnu Umar Al-Magafiri, bahwa Bukair
ibnu Abdullah pernah menceritakan kepadanya dari Nafi', bahwa ada seorang lelaki
datang kepada sahabat Ibnu Umar dan mengatakan, "Hai Abu Abdur Rahman, apakah
yang mendorongmu melakukan ibadah haji satu tahun dan bermukim satu tahun,
sedangkan engkau meninggalkan jihad di jalan Allah Swt., padahal engkau
mengetahui anjuran Allah mengenai berjihad itu?" Ibnu Umar menjawab, "Hai anak
saudaraku, Islam dibangun di atas lima pilar, yaitu iman kepada Allah dan
Rasul-Nya, salat lima waktu, puasa Ramadan, menunaikan zakat, dan haji ke
Baitullah." Mereka mengatakan, "Bukankah engkau telah mendengar apa yang telah
dikatakan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya, hai Abu Abdur Rahman, (yaitu):
'Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah'
(Al-Hujurat: 9). Juga firman Allah Swt. yang mengatakan: 'Dan perangilah
mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi' (Al-Baqarah: 193)." Ibnu Umar
berkata, "Kami telah melakukannya di zaman Rasulullah Saw. yang pada saat itu
Islam masih minoritas, dan seorang lelaki muslim diuji dalam agamanya,
adakalanya dibunuh oleh mereka atau disiksa. Ketika Islam menjadi mayoritas,
maka tidak ada fitnah lagi." Lelaki itu berkata, "Bagaimanakah menurutmu tentang
Ali dan Us'man?" Ibnu Umar menjawab, "Adapun mengenai Usman, maka Allah telah
memaafkannya, dan kalian ternyata tidak suka memaafkannya. Sedangkan Ali, dia
adalah anak paman Rasulullah Saw. dan juga sebagai menantunya," lalu Ibnu Umar
mengisyaratkan dengan tangannya dan berkata, "Itulah rumah Ali seperti yang
kalian lihat sendiri (yakni tinggal di rumah Rasulullah Saw.)."
Al-Baqarah, ayat 194
{الشَّهْرُ
الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى
عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُوا
اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (194) }
Bulan haram dengan bulan haram dan pada
sesuatu yang patut dihormati berlaku hukum qisas. Oleh sebab itu, barang siapa
yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap
kalian. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang
yang bertakwa.
Ikrimah, Ad-Dahhak, As-Saddi, Qatadah, Miqsam, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ata
serta lain-lainnya (dari kalangan tabi'in) telah mengatakan dari Ibnu Abbas
bahwa ketika Rasulullah Saw. berangkat melakukan umrah pada tahun keenam
Hijriah, kaum musyrik melarangnya masuk ke kota Mekah dan sampai ke Baitullah.
Kaum musyrik menghambat Nabi Saw. dan kaum muslim yang bersamanya pada bulan
ZulQa'dah, yaitu termasuk bulan haram, hingga beliau Saw. mengqadainya bersama
kaum muslim pada tahun berikutnya. Akhirnya beliau Saw. dapat memasukinya
bersama-sama kaum muslim pada tahun selanjutnya sebagai qisas dari Allah
terhadap kaum musyrik. Maka turunlah ayat tersebut berkenaan dengan firman-Nya:
Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku
hukum qisas. (Al-Baqarah: 194)
وَقَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا لَيْثُ بْنُ
سَعْدٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: لَمْ
يَكُنْ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو فِي الشَّهْرِ
الْحَرَامِ إِلَّا أَنْ يُغْزى ويُغْزَوا فَإِذَا حَضَرَهُ أَقَامَ حَتَّى
يَنْسَلِخَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah
menceritakan kepada kami Lais ibnu Sa'd, dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu
Abdullah yang menceritakan: Rasulullah Saw. belum pernah berperang dalam bulan
haram kecuali bila diserang dan dipaksa untuk berperang. Apabila datang bulan
haram, maka beliau menunggunya hingga ia lewat.
Sanad hadis ini sahih.
Karena itu, ketika sampai suatu berita kepada Nabi Saw. yang sedang berkemah
di Hudaibiyyah bahwa sahabat Usman telah terbunuh —padahal Usman sedang diutus
beliau untuk menyampaikan sepucuk surat kepada kaum musyrik— maka beliau
membaiat semua sahabatnya yang berjumlah seribu empat ratus orang di bawah
sebatang pohon untuk memerangi kaum musyrik. Akan tetapi, ketika sampai lagi
suatu berita yang menyatakan bahwa Usman sebenarnya tidak dibunuh, maka beliau
mencegah diri dari perang dan cenderung kepada perdamaian, hingga terjadilah di
masa itu apa yang telah terjadi (yakni dilarang oleh kaum musyrik memasuki Mekah
tahun itu, melainkan boleh untuk tahun depannya).
Demikian pula ketika beliau selesai memerangi kabilah Hawazin dalam Perang
Hunain, lalu sisa-sisa Hawazin berlindung di balik benteng kota Taif. Beliau
menghentikan perang, dan yang beliau lakukan hanya mengepungnya saja karena
bulan Zul-Qa'dah telah masuk. Nabi Saw. mengepung kota Taif dengan manjaniq
(meriam batu), hal ini dilakukannya selama empat puluh hari. Seperti apa yang
disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Anas yang mengatakan, "Setelah banyak
orang terbunuh dari kalangan sahabatnya, maka beliau pergi meninggalkan Taif dan
tidak jadi membukanya. Kemudian beliau kembali ke Mekah, lalu melakukan umrah
dari Ji'ranah yang di tempat itu dibagi-bagikan ganimah Perang Hunain. Umrah
kali ini beliau lakukan pada tahun delapan Hijriah, tepatnya pada bulan
Zul-Qa'dah."
*********
Firman Allah Swt:
{فَمَنِ
اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى
عَلَيْكُمْ}
Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia
seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194)
Ayat ini menganjurkan berbuat adil, sekalipun terhadap kaum musyrik (musuh).
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَإِنْ
عاقَبْتُمْ فَعاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ
Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. (An-Nahl: 126)
وَجَزاءُ
سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُها
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. (Asy-Syura:
40)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa firman-Nya: Oleh
karena itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang
dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194) Ayat ini diturunkan di
Mekah di masa tidak ada kekuatan dan tidak ada jihad, kemudian di-mansukh oleh
ayat perang yang diturunkan di Madinah. Pendapat ini diketengahkan oleh Ibnu
Jarir, dan ia mengatakan bahkan ayat ini diturunkan di Madinah sesudah umrah
qada. Ibnu Jarir menisbatkan pendapatnya ini kepada Mujahid.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا
اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ}
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang
yang bertakwa. (Al-Baqarah: 194)
Allah memerintahkan mereka untuk taat dan bertakwa kepada-Nya, sekaligus
memberitahukan kepada mereka bahwa Allah Swt. selalu bersama orang-orang yang
bertakwa melalui pertolongan-Nya dan dukungan-Nya, baik di dunia maupun di
akhirat.
Al-Baqarah, ayat 195
{وَأَنْفِقُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (195) }
Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di
jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah
menceritakan kepada kami An-Nadr, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari
Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Abu Wail mengatakan dari Huzaifah sehubungan
dengan firman-Nya: Dan belanjakanlah (harta kalian) di jalan Allah, dan
janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.
(Al-Baqarah: 195) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah memberi
nafkah.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Al-Hasan ibnu
Muhammad ibnus Sabbah, dari Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu
Abbas, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah,
As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Lais ibnu Sa'd meriwayatkan dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Aslam Abu Imran
yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari kalangan Muhajirin ketika di
Qustantiniyah (Konstantinopel) maju sendirian melabrak barisan musuh hingga
dapat menerobosnya (lalu kembali lagi), sedangkan bersama kami ada Abu Ayyub
Al-Ansari. Maka orang-orang mengatakan, "Dia telah menjerumuskan dirinya sendiri
ke dalam kebinasaan." Maka Abu Ayyub menjawab, "Kami lebih mengetahui tentang
ayat ini, sesungguhnya ia diturunkan berkenaan dengan kami. Kami selalu menemani
Rasulullah Saw. dan kami ikut bersamanya dalam semua peperangan, dan kami bantu
beliau dengan segala kemampuan kami. Setelah Islam menyebar dan menang, maka
kami orang-orang Ansar berkumpul mengadakan reuni. Lalu kami mengatakan, 'Allah
telah memuliakan kita karena kita menjadi sahabat Nabi Saw. dan menolongnya
hingga Islam tersebar dan para pemeluknya menjadi golongan mayoritas. Kita lebih
mementingkan Nabi Saw. daripada keluarga, harta benda, dan anak-anak kita.'
Setelah perang tiada lagi, lalu kami kembali kepada keluarga dan anak-anak kami
serta kami tinggal bersama mereka. Lalu turunlah firman-Nya: 'Dan
belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian
menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan ' (Al-Baqarah: 195).
Maka kebinasaan itu terjadi bila kami bermukim mengurusi keluarga dan harta
benda. Sedangkan jihad kami tinggalkan."
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmuzi, Nasai, dan Abdu ibnu Humaid di
dalam kitab tafsirnya; dan Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih serta
Al-Hafiz Abu Ya'la di dalam kitab musnadnya; Ibnu Hibban di dalam kitab
sahihnya, dan Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya. Semuanya meriwayatkan
hadis ini melalui Yazid ibnu Abu Habib dengan lafaz seperti yang disebutkan di
atas.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan, sahih, garib. Imam Hakim
mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, sedangkan keduanya
tidak mengetengahkannya.
Menurut lafaz yang ada pada Imam Abu Daud, dari Aslam Abu Imran, ketika kami
berada di Konstantinopel, pemimpin pasukan kaum muslim dari Mesir dipegang oleh
Uqbah ibnu Amir, dan dari negeri Syam dipegang oleh seorang lelaki kepercayaan
Yazid ibnu Fudalah ibnu Ubaid.
Maka keluarlah dari kota Konstantinopel sepasukan yang berjumlah sangat besar
dari pasukan Romawi; kami pun menyusun barisan pertahanan untuk menghadapi
mereka. Kemudian ada seorang lelaki dari pasukan kaum muslim maju menerjang
barisan pasukan Romawi, hingga sempat memorak-porandakannya, dan masuk ke tengah
barisan musuh, setelah itu ia kembali lagi ke barisan kami. Melihat peristiwa
tersebut pasukan kaum muslim berteriak seraya mengucapkan, "Subhanallah, dia
menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan!" Maka Abu Ayyub menjawab: Hai manusia,
sesungguhnya kalian benar-benar menakwilkan ayat ini bukan dengan takwil yang
semestinya. Sesungguhnya ayat ini hanya diturunkan berkenaan dengan kami,
orang-orang Ansar. Sesungguhnya kami setelah Allah memenangkan agama-Nya dan
banyak yang mendukungnya, maka kami berkata di antara sesama kami, "Sekiranya
kita kembali kepada harta benda kita untuk memperbaikinya," maka turunlah ayat
ini (Al-Baqarah: 195).
Abu Bakar ibnu Iyasy meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Subai'i yang menceritakan
bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Al-Barra ibnu Azib, "Jika aku maju
sendirian menerjang musuh, lalu mereka membunuhku, apakah berarti aku
menjerumuskan diriku ke dalam kebinasaan?" Al-Barra menjawab, "Tidak, Allah Swt.
telah berfirman kepada Rasul-Nya:
فَقاتِلْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ
'Maka berperanglah kalian pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani
melainkan dengan kewajiban kamu sendiri' (An-Nisa: 84).
Sesungguhnya ayat ini (yakni Al-Baqarah ayat 195) hanyalah berkenaan dengan
masalah nafkah."
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula, dan Imam Hakim telah mengetengahkannya
di dalam kitab Mustadrak melalui hadis Israil, dari Abu Ishaq; dan Imam Hakim
mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim),
tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Imam Turmuzi meriwayatkannya, begitu
pula Qais ibnur Rabi', dari Abu Ishaq, dari Al-Barra. Kemudian Al-Barra
menuturkan hadis ini,dan sesudah firman-Nya: Tidaklah kamu dibebani melainkan
dengan kewajiban kamu sendiri. (An-Nisa: 84) Ia mengatakan, "Kebinasaan yang
sesungguhnya ialah bila seorang lelaki melakukan suatu dosa, sedangkan ia tidak
bertobat darinya. Maka dialah orang yang menjatuhkan dirinya ke dalam
kebinasaan."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abu Saleh (juru tulis Al-Lais), telah menceritakan
kepadaku Al-Lais, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Khalid ibnu
Musaflr, dari Ibnu Syihab, dari Abu Bakar ibnu Numair ibnu Abdur Rahman ibnul
Haris ibnu Hisyam, bahwa Abdur Rahman Al-Aswad ibnu Abdu Yagus telah
menceritakan kepadanya bahwa mereka mengepung kota Dimasyq (Damaskus). Maka
berangkatlah seorang lelaki dari Azdsyanuah, ia maju dengan cepat menerjang
musuh sendirian. Kaum muslim mencela perbuatannya itu, lalu perkaranya
dilaporkan kepada Amr ibnul As (panglima pasukan kaum muslim). Kemudian Amr
mengirimkan pesuruh untuk menyuruhnya kembali (ke barisan kaum muslim). Ketika
lelaki itu datang ke hadapannya, maka Amr membacakan kepadanya firman Allah
Swt.: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam
kebinasaan. (Al-Baqarah: 195)
Ata ibnus Saib meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan belanjakanlah (harta benda kalian)
di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam
kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini bukan
berkenaan dengan masalah perang, melainkan berkenaan dengan masalah
membelanjakan harta, yaitu bila kamu genggamkan tanganmu, tidak mau
membelanjakan harta di jalan Allah, maka dikatakan, "Janganlah kalian
menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan."
Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Daud, dari Asy-Sya'bi, dari Ad-Dahhak
ibnu Abu Jubair yang menceritakan bahwa orang-orang Ansar biasa menyedekahkan
dan menginfakkan sebagian dari harta mereka. Pada suatu ketika paceklik menimpa
mereka, karena itu mereka tidak lagi membelanjakan hartanya di jalan Allah. Lalu
turunlah ayat ini: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke
dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan
janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.
(Al-Baqarah: 195) Yang dimaksud ialah sifat kikir.
Sammak ibnu Harb meriwayatkan dari An-Nu'man ibnu Basyir sehubungan dengan
makna firman-Nya: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke
dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Maksudnya ialah ada seorang lelaki
melakukan suatu dosa, lalu ia mengatakan bahwa dirinya tidak akan diampuni. Maka
Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri
kalian sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaidah As-Salmani,
Al-Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin, dan Abu Qilabah hal yang semisal, yakni yang
semisal dengan apa yang telah diceritakan oleh An-Nu'man ibnu Basyir. Yaitu
bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang melakukan suatu dosa, lalu
ia berkeyakinan bahwa dirinya tidak akan diampuni. Karena itulah dia
menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan. Dengan kata lain, karena dia merasa
tidak akan diampuni, maka ia memperbanyak berbuat dosa, dan akhirnya dia binasa.
Karena itulah Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang pernah
mengatakan bahwa kebinasaan adalah azab Allah.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu
Sakr, dari Al-Qurazi (yaitu Muhammad ibnu Ka'b), bahwa ia pernah mengatakan
sehubungan dengan takwil ayat ini: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri
kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Ada suatu kaum yang
sedang berjuang di jalan Allah, dan seseorang dari mereka membawa bekal yang
paling banyak di antara teman-temannya. Lalu ia menginfakkan perbekalannya itu
kepada orang yang kekurangan, hingga tiada sesuatu pun yang tersisa dari
bekalnya untuk menyantuni teman-temannya yang memerlukan pertolongan. Maka Allah
Swt. menurunkan firman-Nya: Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan
Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan.
(Al-Baqarah: 195)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadanya
Abdullah ibnu Ayyasy, dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan firman-Nya: Dan
belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian
menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Demikian
kisahnya, bermula dengan sejumlah kaum laki-laki yang berangkat mengemban misi
yang ditugaskan oleh Rasulullah Saw. ke pundak mereka tanpa bekal. Ketiadaan
bekal mereka adakalanya karena mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai
mata pencaharian, atau adakalanya karena mereka adalah orang-orang yang
mempunyai banyak tanggungan. Maka Allah memerintahkan kepada mereka untuk
meminta perbelanjaan dari apa yang telah direzekikan Allah kepada mereka (kaum
muslim), dan janganlah mereka menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan.
Pengertian binasa ialah bila mereka yang bertugas mengemban misi ini binasa
karena lapar dan dahaga atau karena jalan kaki. Allah Swt. berfirman kepada
orang-orang yang mempunyai harta berlebih: Dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah:
195)
Kesimpulan dari makna ayat ini ialah perintah membelanjakan harta di jalan
Allah dan semua jalan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dan taat
kepada-Nya, khususnya membelanjakan harta untuk memerangi musuh, kemudian
mengalokasikannya buat sarana dan bekal yang memperkuat kaum muslim dalam
menghadapi musuh-musuh mereka. Melalui ayat ini Allah memberitakan kepada mereka
bahwa jika hal ini ditinggalkan, maka akan berakibat kepada kehancuran dan
kebinasaan bagi orang yang tidak mau membelanjakan hartanya untuk tujuan
tersebut. Kemudian di-'ataf-kan kepada perintah berbuat baik, yang mana hal ini
merupakan amal ketaatan yang paling tinggi. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَأَحْسِنُوا
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
Al-Baqarah, ayat 196
{وَأَتِمُّوا
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ
أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ
إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ
كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (196)
}
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah
karena Allah. Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit),
maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kalian mencukur kepala
kalian sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara
kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka
wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban.
Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah
sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah
didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras
siksaan-Nya.
Setelah Allah menyebutkan hukum-hukum puasa, lalu meng-'ataf kannya dengan
sebutan masalah jihad, maka mulailah Allah menjelaskan masalah manasik. Untuk
itu, Allah memerintahkan agar ibadah haji dan umrah disempurnakan. Menurut
pengertian lahiriah konteks menunjukkan harus menyempurnakan semua pekerjaan
haji dan umrah bilamana seseorang telah memulainya. Karena itulah sesudahnya
disebutkan:
{فَإِنْ
أُحْصِرْتُمْ}
Jika kalian terkepung. (Al-Baqarah: 196)
Yakni jika kalian terhalang sampai ke Baitullah dan kalian terhambat hingga
tidak dapat menyempurnakan keduanya (karena terhalang oleh musuh atau karena
sakit). Karena itulah para ulama sepakat bahwa memasuki ibadah haji dan umrah
merupakan suatu keharusan, baik menurut pendapat yang mengatakan bahwa umrah itu
wajib ataupun sunat, seperti pendapat-pendapat yang ada di kalangan ulama. Kami
telah menyebutkan kedua masalah ini beserta dalil-dalilnya di dalam Kitabul
Ahkam secara rinci.
Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Abdullah ibnu Salamah, dari
Ali yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakan ibadah haji
dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Dikatakan demikian bilamana kamu
telah memasuki ihram dari rumah keluargamu. Hal yang sama dikatakan pula oleh
Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, dan Tawus.
Disebutkan dari Sufyan As-Sauri, ia pernah mengatakan sehubungan dengan
takwil ayat ini, bahwa pengertian menyempurnakan haji dan umrah itu ialah bila
kamu telah berihram dari rumah keluargamu dengan tujuan hanya untuk haji dan
umrah. Kamu ber-ihlal (berihram) dari miqat, sedangkan tujuan kamu bukan
untuk berniaga, bukan pula untuk keperluan lainnya. Ketika kamu sudah berada di
dekat Mekah, maka kamu berkata, "Sekiranya aku melakukan haji atau umrah," yang
demikian itu sudah dianggap cukup, tetapi yang sempurna ialah bila kamu
berangkat ihram dan tiada niat lain kecuali hanya untuk itu.
Makhul mengatakan, pengertian menyempurnakan haji dan umrah ialah memulai
keduanya dari miqat-nya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri
yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa sahabat Umar pernah mengatakan
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah
karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Bahwa termasuk menyempurnakan ibadah haji
dan umrah ialah bila kamu meng-ifrad-kan masing-masing dari yang lainnya
secara terpisah, dan kamu lakukan ibadah umrah di luar bulan-bulan haji, karena
sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: (Musim) haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Aun bahwa ia pernah mendengar Al-Qasim ibnu
Muhammad berkata, "Sesungguhnya melakukan ibadah umrah di dalam bulan-bulan haji
kurang sempurna." Ketika dikatakan kepadanya, "Bagaimana dengan umrah dalam
bulan Muharram?" Ia menjawab, "Menurut mereka, melakukan ibadah umrah dalam
bulan tersebut dianggap sempurna."
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah ibnu Di'amah. Akan tetapi,
pendapat ini masih perlu dipertimbangkan karena disebutkan dalam sebuah hadis
bahwa Rasulullah Saw. melakukan umrahnya sebanyak empat kali, semuanya beliau
lakukan dalam bulan Zul-Qa'dah. Umrah hudaibiyyah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun
enam Hijriah, umrah qada dalam bulan Zul-Qa'dah tahun ketujuh Hijriah, umrah
ji'arah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun delapan Hijriah, dan umrah yang beliau
lakukan dalam ibadah haji —beliau berihram untuk keduanya secara bersamaan
(qiran)— dalam bulan Zul-Qa'dah tahun sepuluh Hijriah. Beliau Saw. tidak
melakukan umrah lagi selain dari umrah-umrah tersebut setelah beliau hijrah.
Akan tetapi, Nabi Saw. bersabda kepada Ummu Hani':
"عُمْرة
فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِي"
Umrah dalam bulan Ramadan seimbang dengan melakukan ibadah haji
bersamaku.
Dikatakan demikian karena Ummu Hani' bertekad untuk melakukan ibadah haji
bersama Nabi Saw., tetapi ia terhambat melakukannya karena masa sucinya
terlambat, seperti yang dijelaskan dengan panjang lebar di dalam hadis Imam
Bukhari. Tetapi dalam nas Sa'id ibnu Jubair disebutkan bahwa hal tersebut hanya
merupakan kekhususan bagi Ummu Hani'.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah
ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Yakni tegakkanlah
(kerjakanlah) ibadah haji dan umrah.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya:Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah.
(Al-Baqarah: 196) Artinya, barang siapa yang telah berihram untuk ibadah haji
atau umrah, maka dia tidak boleh ber-tahallul sebelum menyempurnakan
keduanya, yaitu sempurnanya ibadah haji pada hari kurban. Bila ia telah melempar
jumrah aqabah, tawaf di Baitullah, dan sa'i antara Safa dan Marwah; setelah
semuanya dikerjakan, berarti sudah tiba masa tahallul-nya.
Qatadah meriwayatkan dari Zararah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah
mengatakan, "Haji itu adalah Arafah, dan umrah itu adalah tawaf."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah
sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena
Allah. (Al-Baqarah: 196) Disebutkan bahwa menurut qiraat Abdullah ibnu
Mas'ud bunyinya demikian, "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah sampai ke
Baitullah," yakni melakukan ibadah umrah hanya di sekitar Baitullah, tidak
melebihinya. Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa lalu ia menceritakan hal
tersebut kepada Sa'id ibnu Jubair. Maka Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa hal
yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas.
Sufyan meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia
pernah mengatakan, "Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Sauri, dari Ibrahim, dari Mansur, dari
Ibrahim, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan berikut yang artinya, "Dan
dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah."
Asy-Sya'bi membaca ayat ini dengan me-rafa'-kan lafaz
al-umrah, dan ia mengatakan bahwa ibadah umrah hukumnya tidak
wajib, melainkan sunat. Akan tetapi, diriwayatkan darinya hal yang berbeda,
yakni yang mengatakan wajib.
Telah disebutkan di dalam banyak hadis yang diriwayatkan melalui berbagai
jalur yang berbeda, dari Anas dan sejumlah sahabat, bahwa Rasulullah Saw. dalam
ihramnya menggabungkan ibadah haji dan ibadah umrah. Ditetapkan di dalam hadis
sahih yang bersumber dari Nabi Saw. bahwa beliau Saw. pernah bersabda kepada
para sahabat:
"مَنْ
كَانَ مَعَهُ هَدْي فَلْيُهِلَّ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ"
Barang siapa yang membawa hadyu (hewan kurban), maka hendaklah ia
ber-ihlal (berihram) untuk ibadah haji dan umrahnya.
Di dalam hadis sahih lain disebutkan pula bahwa Nabi Saw. pernah
bersabda:
"دَخَلَتِ
الْعُمْرَةُ فِي الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"
Umrah dimasukkan ke dalam ibadah haji sampai hari kiamat.
Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini
meriwayatkan sebuah hadis yang garib. Untuk itu dia mengatakan:
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْهَرَوِيُّ،
حَدَّثَنَا غَسَّانُ الْهَرَوِيُّ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَان، عَنْ
عَطَاءٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ أَنَّهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَضَمِّخٌ بِالزَّعْفَرَانِ،
عَلَيْهِ جُبَّةٌ، فَقَالَ: كَيْفَ تَأْمُرُنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي عُمْرَتِي؟
قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ} فَقَالَ
رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيْنَ السَّائِلُ عَنِ
العُمْرة؟ " فَقَالَ: هَا أَنَا ذَا. فَقَالَ لَهُ: "أَلْقِ عَنْكَ ثِيَابَكَ،
ثُمَّ اغْتَسِلْ، وَاسْتَنْشِقْ مَا اسْتَطَعْتَ، ثُمَّ مَا كُنْتَ صَانِعًا فِي
حَجّك فَاصْنَعْهُ فِي عُمْرَتِكَ"
telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada
kami Abu Abdullah Al-Harawi, telah menceritakan kepada kami Gassan Al-Harawi,
telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Tahman, dari Ata, dari Safwan ibnu
Umayyah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. dalam
keadaan memakai minyak wangi za'faran yang ia balurkan pada baju jubahnya, lalu
lelaki itu bertanya, "Apakah yang harus aku lakukan dalam ibadah umrahku
menurutmu, wahai Rasulullah?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Lalu
Rasulullah Saw. bertanya, "Ke manakah orang yang bertanya tentang umrah
tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Nabi Saw. bersabda kepadanya,
"Lepaskanlah bajumu itu, lalu mandilah dan ber-istinsyaq-lah menurut
kemampuanmu. Kemudian apa yang kamu lakukan dalam ibadah hajimu, lakukanlah pula
dalam ibadah umrahmu."
Hadis ini garib dan konteksnya aneh.
Hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain dari Ya'la ibnu Umayyah dalam
kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi Saw. ketika di Ji'ranah,
disebutkan bahwa lelaki itu bertanya, "Bagaimanakah menurutmu tentang seorang
lelaki yang berihram untuk umrah, sedangkan dia memakai kain jubah yang dilumuri
dengan minyak za'faran?" Nabi Saw. diam, lalu turunlah wahyu kepadanya, kemudian
beliau mengangkat kepalanya dan bertanya, "Manakah orang yang bertanya
tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Maka beliau Saw. bersabda:
"أَمَّا
الْجُبَّةُ فَانْزَعْهَا، وَأَمَّا الطِّيبُ الذِي بِكَ فَاغْسِلْهُ، ثُمَّ مَا
كُنْتَ صَانِعًا فِي حَجِّكَ فَاصْنَعْهُ فِي عُمْرتك"
Adapun mengenai baju jubahmu, lepaskanlah ia; dan adapun mengenai
wewangian yang ada pada tubuhmu, cucilah. Kemudian apa yang biasa kamu lakukan
dalam ibadah hajimu, maka lakukanlah pula dalam ibadah umrahmu.
Di dalam riwayat ini tidak disebutkan masalah istinsyaq (mengisap air
dengan hidung untuk mencucinya), juga tidak disebutkan mandi, tidak pula sebutan
asbabun nuzul ayat ini. Hadis ini dari Ya'la ibnu Umayyah, bukan Safwan ibnu
Umayyah.
*****************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ
أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka
(sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada tahun enam Hijriah, yakni
pada tahun perjanjian Hudaibiyah, yaitu ketika kaum musyrik menghalang-halangi
antara Rasulullah Saw. dan Baitullah, hingga beliau tidak dapat sampai
kepadanya, dan Allah menurunkan sehubungan dengan peristiwa ini di dalam surat
Al-Fath secara lengkap. Allah menurunkan bagi mereka keringanan, yaitu mereka
diperbolehkan menyembelih hewan hadyu yang mereka bawa. Jumlah hewan hadyu yang
mereka bawa saat itu kurang lebih tujuh puluh ekor unta, lalu mereka mencukur
rambut mereka masing-masing dan diperintahkan untuk ber-tahallul dari ihram
mereka.
Maka pada saat itu juga Nabi Saw. memerintahkan kepada mereka untuk mencukur
rambut dan ber-tahallul dari ihramnya. Akan tetapi, pada mulanya mereka tidak
mau melakukannya karena menunggu adanya perintah nasakh. Maka terpaksa
Rasulullah Saw. keluar dan mencukur rambutnya, lalu orang-orang mengikuti
jejaknya; dan di antara mereka ada orang-orang yang hanya memotong rambutnya
saja, tidak mencukurnya. Karena itulah Nabi Saw. bersabda:
"رَحِم
اللَّهُ المُحَلِّقين". قَالُوا: وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ
فِي الثَّالِثَةِ: "وَالْمُقَصِّرِينَ"
"Semoga Allah merahmati orang-orang yang bercukur." Mereka berkata,
"Wahai Rasulullah, doakanlah pula buat orang-orang yang memotong rambutnya."
Pada yang ketiga kalinya baru Rasulullah Saw. berdoa, "Dan juga orang-orang
yang mencukur rambutnya."
Mereka bersekutu dalam penyembelihan hadyu mereka, setiap tujuh orang satu
ekor unta, sedangkan jumlah mereka seluruhnya ada seribu empat ratus orang.
Tempat mereka di Hudaibiyyah berada di luar Tanah Suci. Menurut pendapat yang
lain, bahkan mereka berada di pinggir kawasan Kota Suci.
Para ulama berselisih pendapat, apakah masalah boleh ber-tahallul di luar
Kota Suci ini khusus hanya menyangkut keadaan bila dikepung oleh musuh,
karenanya tidak boleh ber-tahallul kecuali hanya orang yang dikepung oleh musuh,
bukan karena faktor sakit atau faktor lainnya? Ada dua pendapat mengenai masalah
ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr
ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, juga
dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tiada kepungan
kecuali karena kepungan musuh. Orang yang terkena sakit atau penyakitnya kambuh
atau tersesat, maka tiada dispensasi apa pun atas dirinya, karena sesungguhnya
Allah Swt. telah berfirman: Apabila kalian telah (merasa) aman.
(Al-Baqarah: 196) Maksud keadaan aman itu ialah bila tidak dikepung.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari
Ibnu Umar, Tawus, Az-Zuhri, dan Zaid ibnu Aslam.
Pendapat yang kedua mengatakan, pengertian hasr (terkepung) lebih umum
daripada hanya sekadar dikepung musuh atau karena sakit atau karena tersesat
jalannya atau faktor lainnya yang sejenis.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا حَجَّاج بْنُ
الصوّافُ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ الْحَجَّاجِ
بْنِ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وسلم يقول: "من كُسِر أَوْ عَرِج فَقَدْ حَلَّ، وَعَلَيْهِ حَجَّةٌ
أُخْرَى".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah
menceritakan kepada kami Hajjaj ibnus Sawwaf, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari
Ikrimah, dari Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari yang menceritakan bahwa ia pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang patah tulang atau sakit
atau pincang, maka sesungguhnya dia telah ber-tahallul, dan wajib atas dirinya
melakukan haji lagi.
Selanjutnya Ikrimah (tabi'in) mengatakan, lalu ia menceritakan hal ini kepada
Ibnu Abbas dan Abu Hurairah r.a. Keduanya mengatakan bahwa dia (yakni Al-Hajjaj
ibnu Amr Al-Ansari) memang benar.
Penulis kitab-kitab pokok hadis yang empat menceritakan hadis ini melalui
Yahya ibnu Abu Kasir dengan lafaz yang sama.
Menurut riwayat Abu Daud dan ibnu Majah disebutkan:
مَنْ
عَرَجَ أَوْ كُسر أَوْ مَرض
Barang siapa yang pincang (terkilir) atau patah tulang atau sakit.
Kemudian kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas, yakni semakna
dengannya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Ismail ibnu
Ulayyah, dari Al-Hajjaj ibnu Abu Us'man As-Sawwaf dengan lafaz yang sama.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud,
Ibnuz Zubair, Alqamah, Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, Mujahid,
An-Nakha'i, Ata, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan, "Yang
dimaksud dengan istilah ihsar ialah terhalang oleh musuh atau sakit atau patah
tulang."
As-Sauri mengatakan bahwa ihsar artinya segala sesuatu yang
mengganggu.
Di dalam hadis Sahihain disebutkan:
عَنْ
عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَل عَلَى
ضُبَاعة بِنْتِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنِّي أُرِيدُ الْحَجَّ وَأَنَا شَاكِيَةٌ. فَقَالَ: "حُجِّي
وَاشْتَرِطِي: أنَّ مَحِلِّي حيثُ حبَسْتَني"
dari hadis Aisyah bahwa Rasulullah Saw. memasuki rumah Duba'ah binti Zubair
ibnu Abdul Muttalib, lalu Duba'ah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
bermaksud menunaikan haji, sedangkan aku dalam keadaan sakit (sedang haid)."
Maka Rasulullah Saw. bersabda: Berhajilah kamu dan syaratkanlah dalam niatmu
bahwa tempat tahallul-ku sekiranya penyakit (haid) menahanku.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui Ibnu Abbas dengan lafaz yang
semisal. Maka berpendapatlah sebagian ulama bahwa sah mengadakan persyaratan
dalam niat haji karena berdasarkan hadis ini.
Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii memberikan komentarnya, bahwa kebenaran
pendapat ini bergantung kepada kesahihan hadis yang dijadikan landasannya. Imam
Baihaqi dan lain-lainnya dari kalangan huffaz (orang-orang yang hafal hadis)
mengatakan bahwa hadis ini sahih.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَمَا
اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat.
(Al-Baqarah: 196)
Imam Malik meriwayatkan dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali
ibnu Abu Talib, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat.
(Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud dengan hewan kurban ialah seekor kambing.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan hadyu ialah hewan jantan dan
hewan betina dari keempat jenis ternak, yaitu unta, sapi, kambing, dan
domba.
As-Sauri meriwayatkan dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih)
kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud ialah ternak
kambing.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, Abul Aliyah, Muhammad
ibnu Ali ibnul Husain, Abdur Rahman ibnul Qasim, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i,
Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Pendapat
inilah yang dipegang oleh mazhab empat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj,
telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Yahya ibnu Sa'id, dari
Al-Qasim, dari Siti Aisyah dan Ibnu Umar; keduanya berpendapat sehubungan dengan
hewan kurban yang mudah didapat, bahwa yang dimaksud tiada lain adalah dua jenis
ternak, yaitu berupa unta dan sapi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Salim,
Al-Qasim, Urwah ibnuz Zubair, dan Sa'id ibnu Jubair.
Menurut kami, sandaran yang dijadikan pegangan mereka untuk memperkuat
pendapatnya ialah hadis yang mengisahkan peristiwa di Hudaibiyyah. Karena
sesungguhnya belum pernah dinukil oleh seorang pun di antara mereka bahwa Nabi
Saw. dalam tahallul-nya itu menyembelih kambing, melainkan yang disembelih oleh
mereka sebagai kurban ialah ternak unta dan sapi.
Di dalam kitab Sahihain, dari Jabir, disebutkan:
أَمَرَنَا
رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ
وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَقَرَةٍ
Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk bersekutu dalam kurban unta dan
sapi, tiap-tiap tujuh orang di antara kami satu ekor sapi.
Abdur Razzaq mengatakan bahwa Ma'mar menceritakan kepada kami, dari Ibnu
Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Maka
(wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Yang dimaksud ialah disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, "Jika orang yang bersangkutan adalah orang
kaya, maka ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak unta. Dan jika dia bukan
orang kaya, ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak sapi. Jika dia termasuk
golongan yang lebih rendah tingkatan ekonominya, hendaklah ia berkurban dengan
menyembelih seekor kambing."
Hisyam ibnu Urwah meriwayatkan dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya:
Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat.
(Al-Baqarah: 196) Sesungguhnya hal tersebut yang dijadikan standar ialah menurut
pasang surutnya harga antara murah dan mahalnya. Sebagai dalil yang membenarkan
pendapat jumhur ulama yang mengatakan cukup menyembelih kambing bila dalam
keadaan terkepung, bahwa Allah Swt. hanya memerintahkan menyembelih hewan kurban
yang mudah didapat, yakni berupa ternak apa pun selagi masih ada kategori hewan
hadyu, baik berupa unta, sapi, ataupun kambing.
Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. Hal ini terbukti
di dalam kitab Sahihain melalui Siti Aisyah Ummul Muminin r.a. yang
menceritakan:
أهْدَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرة غَنَمًا
Nabi Saw. pernah sekali berkurban dengan menyembelih seekor domba.
************
{وَلا
تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ}
Dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum kurban sampai di tempat
penyembelihannya. (Al-Baqarah: 196)
Jumlah ini di-'ataf-kan kepada firman-Nya:
{وَأَتِمُّوا
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ}
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah:
196)
Bukan di-'ataf-kan (dikaitkan) dengan firman-Nya:
{فَإِنْ
أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka
(sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Seperti apa yang diduga oleh Ibnu Jarir rahimahullah. Karena Nabi Saw.
bersama para sahabatnya pada tahun Hudaibiyah —yaitu ketika orang-orang kafir
Quraisy melarang mereka memasuki Tanah Suci— beliau Saw. bersama para sahabatnya
bercukur dan menyembelih hewan kurban mereka di luar Tanah Suci. Adapun dalam
keadaan aman dan telah sampai di Tanah Suci, tidak boleh baginya mencukur
rambutnya (yakni tidak boleh ber-tahallul) sebelum hewan kurban sampai di tempat
penyembelihannya. Orang yang berhaji telah selesai dari semua pekerjaan haji dan
umrahnya jika ia sebagai orang yang ber-qiran, atau setelah ia mengerjakan salah
satunya jika dia melakukan haji ifrad atau tamattu. Seperti yang disebutkan di
dalam kitab Sahihain melalui Siti Hafsah r.a. yang menceritakan:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ، مَا شَأْنُ النَّاسِ حَلّوا مِنَ الْعُمْرَةِ، وَلَمْ تَحِلّ
أَنْتَ مِنْ عُمْرَتِكَ؟ فَقَالَ: "إِنِّي لَبَّدْتُ رَأْسِي وقلَّدت هَدْيي، فَلَا
أَحِلُّ حَتَّى أَنْحَرَ"
"Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang ber-tahallul dari umrahnya, sedangkan
engkau sendiri tidak ber-tahallul dari umrah-mu?" Maka Nabi Saw. menjawab,
"Sesungguhnya aku telah meminyaki rambut kepalaku dan telah kukalungi hewan
kurbanku, maka aku tidak akan ber-tahallul sebelum menyembelih hewan
kurbanku."
***************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ
أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ}
Jika di antara kalian ada yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu
ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah
atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
قَالَ
الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ الْأَصْبَهَانِيِّ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَعْقل، قَالَ: فَعُدْتُ
إِلَى كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ -يَعْنِي مَسْجِدَ الْكُوفَةِ
-فَسَأَلْتُهُ عَنْ {فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ} فَقَالَ: حُملْتُ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ والقملُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي. فَقَالَ:
"مَا كنتُ أرَى أَنَّ الجَهد بَلَغَ بِكَ هَذَا! أَمَا تَجِدُ شَاةً؟ " قُلْتُ:
لَا. قَالَ: "صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، لِكُلِّ
مِسْكِينٍ نِصْفُ صَاعٍ مِنْ طَعَامٍ، وَاحْلِقْ رَأْسَكَ". فَنَزَلَتْ فِيَّ
خَاصَّةً، وَهِيَ لَكُمْ عَامَّةً
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdur Rahman ibnul Asbahani, bahwa ia
pernah mendengar Abdullah ibnu Ma'qal bercerita, "Aku pernah duduk di dekat Ka'b
ibnu Ujrah di dalam masjid ini (yakni Masjid Kufah). Lalu aku bertanya kepadanya
tentang fidyah yang berupa melakukan puasa. Maka Ka'b ibnu Ujrah menjawab bahwa
ia berangkat untuk bergabung dengan Nabi Saw., sedangkan ketombe bertebaran di
wajahnya. Maka Nabi Saw. bersabda, 'Sebelumnya aku tidak menduga bahwa
kepayahan yang menimpamu sampai separah ini. Tidakkah kamu mempunyai
kambing?' Ia menjawab, 'Tidak.' Nabi Saw. bersabda, 'Puasalah tiga hari
atau berilah makan enam orang miskin, masing-masing orang sebanyak setengah sa’
makanan, dan cukurlah rambutmu itu.' (Selanjutnya ia berkata), Maka turunlah
ayat ini, berkenaan denganku secara khusus, tetapi maknanya umum mencakup kalian
semua'."
وَقَالَ
الْإِمَامُ أحمدُ: حَدَّثَنَا إسماعيلُ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَة قَالَ: أَتَى
عَلَيّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أُوقِدُ تَحْتَ
قِدْرٍ، والقَمْلُ يتناثَرُ عَلَى وَجْهِي -أَوْ قَالَ: حَاجِبِي -فَقَالَ:
"يُؤْذيك هَوَامُّ رَأْسِكَ؟ ". قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: "فَاحْلِقْهُ، وَصُمْ
ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوِ انْسَكْ نَسِيكَةً".
قَالَ أَيُّوبُ: لَا أَدْرِي بِأَيَّتِهِنَّ بَدَأَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah
menceritakan kepada kami Ayyub, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila,
dari Ka'b Ujrah yang menceritakan: Nabi Saw. datang kepadaku ketika aku sedang
menyalakan api untuk panci, dan ketombe bertebaran di wajahku, atau dia
mengatakan, "Di alisku." Maka Nabi Saw. bersabda, "Apakah penyakit yang ada
di kepalamu itu mengganggumu?" Aku menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda,
"Maka cukurlah rambutmu itu dan puasalah tiga hari (sebagai fidyahnya), atau
berilah makan enam orang miskin, atau sembelihlah seekor hewan kurban."
Ayyub (salah seorang perawi hadis ini) mengatakan bahwa ia tidak mengetahui
manakah di antara semua fidyah itu yang disebutkan paling dahulu.
Imam Ahmad meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah
menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu
Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang menceritakan, "Ketika kami berada di Hudaibiyah
bersama Rasulullah Saw., sedangkan kami semuanya dalam keadaan berihram, dan
orang-orang musyrik telah mengepungnya. Tersebutlah bahwa rambutku sangat lebat,
maka ketombe bertebaran di wajahku (karena banyaknya). Lalu Nabi Saw. lewat di
dekatku. Beliau bersabda, 'Apakah penyakit di kepalamu itu menganggumu?'
Maka Nabi Saw. memerintahkan Ka'b ibnu Ujrah untuk bercukur." Selanjutnya Ka'b
ibnu Ujrah mengatakan bahwa lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya:
Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia
bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau
berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Usman, dari Syu'bah, dari Abu Bisyr
(yaitu Ja'far ibnu Iyas) dengan lafaz yang sama.
Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Abdur Rahman ibnu Abu
Laila dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Daud, dari
Asy-Sya'bi, dari Ka'b ibnu Ujrah hal yang semisal. Imam Malik meriwayatkannya
dari Humaid ibnu Qais, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b
ibnu Ujrah, lalu Imam Malik menyebutkan hadis yang semisal.
Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah meriwayatkan dari Aban ibnu Saleh, dari
Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah mendengar Ka'b ibnu Ujrah mengatakan, "Maka
aku menyembelih seekor kambing."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih, telah diriwayatkan pula
melalui hadis Umar ibnu Qais —dia orangnya daif— dari Ata, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
النُّسُكُ
شَاةٌ، وَالصِّيَامُ ثَلَاثَةُ أَيَّامِ، وَالطَّعَامُ فَرَق، بَيْنَ
سِتَّةٍ"
Nusuk artinya menyembelih kambing, dan puasa adalah selama tiga hari,
sedangkan memberi makan ialah dibagikan di antara enam orang (miskin).
Hal yang sama diriwayatkan dari Ali, Muhammad ibnu Ka'b, Alqamah, Ibrahim,
Mujahid, Ata, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ: أَنَّ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ
الْكَرِيمِ بْنِ مَالِكٍ الجَزَري، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
أَبِي لَيْلَى، عَنْ كعب ابن عُجْرة: أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَآذَاهُ القَمْل فِي رَأْسِهِ، فَأَمَرَهُ رسولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ، وَقَالَ: "صُمْ
ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، مُدّين مُدَّيْنِ لِكُلِّ
إِنْسَانٍ، أَوِ انسُك شَاةً، أيَّ ذَلِكَ فعلتَ أَجْزَأَ عَنْكَ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul
A'la, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, bahwa Malik ibnu Anas
pernah menceritakan hadis kepa-danya, dari Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari,
dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang
menceritakan bahwa ia pernah bersama Rasulullah Saw., lalu terganggu oleh
banyaknya ketombe di kepalanya. Maka Nabi Saw. memerintahkan agar ia mencukur
rambutnya dan bersabda: Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang
miskin dua mud-dua mud perorangnya, atau sembelihlah seekor kambing. Mana saja
di antaranya yang kamu kerjakan, maka hal itu sudah cukup sebagai
fidyahmu.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Maka wajiblah atasnya
berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Ibnu Abbas mengatakan, apabila huruf 'ataf yang dipakai adalah au,
maka mana saja yang kamu ambil, hal itu sudah mencukupi fidyah-mu.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Ata, Tawus, Al-Hasan,
Humaid Al-A'raj, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ad-Dahhak, lalu disebutkan hal yang
semisal.
Menurut kami, pendapat mazhab Imam yang empat serta mayoritas ulama merupakan
pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Mereka mengatakan bahwa dalam hal
ini orang yang bersangkutan diperbolehkan memilih salah satu di antara puasa,
atau menyedekahkan satu farq makanan, yaitu tiga sa' untuk setiap orang miskin
—setengah sa' yakni dua mud— atau menyembelih seekor kurban, lalu menyedekahkan
dagingnya kepada fakir miskin. Mana saja yang ia pilih sudah cukup baginya,
mengingat ungkapan Al-Qur'an dalam menjelaskan suatu keringanan, yang
didahulukannya adalah yang paling mudah, seperti yang disebutkan di dalam
firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah
atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Akan tetapi, ketika Nabi Saw. memerintahkan hal tersebut kepada Ka'b ibnu
Ujrah, beliau memberinya petunjuk kepada yang paling utama lebih dahulu,
kemudian baru yang utama. Untuk itu beliau Saw. bersabda: Sembelihlah seekor
kambing, atau berilah makan enam orang miskin, atau berpuasalah tiga
hari.
Maka masing-masing dinilai baik bila disesuaikan dengan kondisi orang yang
bersangkutan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, bahwa Al-A'masy pernah
menceritakan bahwa Ibrahim pernah bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair tentang ayat
berikut, yaitu firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa
atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Maka Sa'id ibnu Jubair
menjawab dengan suatu jawaban yang menjadikan makanan sebagai tolok ukurnya.
Jika dia mempunyai kemampuan untuk membeli seekor kambing, hendaklah ia membeli
seekor kambing. Jika kambing tidak ada, maka harga kambing ditaksir, lalu
jumlahnya diberikan berupa makanan untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Jika
ia tidak mempunyai uang, hendaklah ia berpuasa, untuk setengah sa’ ganti dengan
puasa satu hari (hingga jumlah hari-hari yang dipuasainya berjumlah enam
hari).
Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa hal yang sama telah kudengar pula dari
Alqamah. Alqamah menceritakan, "Ketika Sa'id Ibnu Jubair berkata kepadaku,
'Siapakah orang ini? Alangkah gantengnya!' Maka kujawab, 'Dia adalah Ibrahim.'
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, 'Alangkah gantengnya dia duduk bersama kita.' Lalu
aku ceritakan kepada Ibrahim hal itu. Ketika kuceritakan kepadanya apa yang
dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, maka Ibrahim pergi dari majelis itu."
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Imran,
telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Mu'az, dari ayahnya, dari Asy'as,
dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka wajiblah atasnya
berfidyah, yaiiu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah:
196)
Ia mengatakan, "Apabila orang yang sedang ihram mengalami gangguan di
kepalanya, ia boleh bercukur dan membayar fidyah dengan salah satu di antara
ketiga perkara ini menurut apa yang disukainya. Kalau puasa sebanyak sepuluh
hari, kalau sedekah memberi makan sepuluh orang miskin dengan ketentuan tiap
orang miskin sebanyak dua Makkuk' (1 Makkuk l.k 3,264 kg.
–pen) yaitu satu Makkuk berupa kurma, sedangkan satu Makkuk lainnya
berupa jewawut. Sedangkan yang dimaksud dengan nusuk ialah menyembelih kurban,
berupa seekor kambing.
Qatadah meriwayatkan dari Al-Hasan dan Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya:
Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau
berkurban. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud dengan sedekah ialah memberi
makan sepuluh orang miskin.
Kedua pendapat ini —yaitu yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair dan Alqamah
serta Al-Hasan dan Ikrimah— merupakan dua pendapat yang aneh, keduanya masih
perlu dipertimbangkan. Karena telah disebutkan oleh sunnah melalui hadis Ka'b
ibnu Ujrah bahwa puasa itu adalah tiga hari, bukan enam hari; dan memberi makan
adalah kepada enam orang miskin, nusuk artinya menyembelih seekor
kambing. Hal tersebut atas dasar takhyir (boleh memilih salah satu di
antaranya), seperti yang ditunjukkan oleh konteks ayat Al-Qur'an. Adapun
mengenai tartib (urutan), hal ini hanyalah dikenal dalam masalah membunuh
binatang buruan, seperti yang disebutkan di dalam nas Al-Qur'an dan telah
disepakati oleh semua ahli fiqih, lain halnya dengan masalah ini.
Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Tawus, bahwa ia
selalu mengatakan sehubungan dengan masalah dam atau memberi makan; hal
itu dilaksanakan di Mekah. Sedangkan yang menyangkut puasa boleh dilakukan di
mana saja menurut apa yang disukai oleh orang yang bersangkutan. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Mujahid, Ata, dan Al-Hasan.
Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj dan Abdul Malik
serta selain keduanya, dari Ata. Ia acapkali mengatakan bahwa masalah apa saja
yang menyangkut dam dilaksanakan di Mekah, sedangkan apa saja yang
menyangkut memberi makan atau puasa dilaksanakan menurut kehendak orang yang
bersangkutan.
Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari
Ya'qub ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abu Asma maula Ibnu Ja'far
yang menceritakan bahwa Usman ibnu Affan pernah berhaji ditemani oleh Ali dan
Al-Husain ibnu Ali. Usman berangkat lebih dulu. Abu Asma' melanjutkan kisahnya,
bahwa ia bersama Ibnu Ja'far, "Tiba-tiba kami bersua dengan seorang lelaki yang
sedang tidur, sedangkan unta kendaraannya berada di dekat kepalanya, lalu aku
(Abu Asma) berkata, 'Hai orang yang sedang tidur.' Lelaki itu bangun, dan
ternyata dia adalah Al-Husain ibnu Ali. Lalu Ibnu Ja'far membawanya sampai
datang ke tempat air. Kemudian dikirimkan seorang utusan untuk menemui Ali yang
saat itu sedang bersama Asma binti Umais. Maka kami merawat Al-Husain ibnu Ali
selama kurang lebih dua puluh malam. Lalu Ali bertanya kepada Al-Husain, 'Apakah
sakit yang kamu rasakan?' Al-Husain mengisyaratkan dengan tangannya ke
kepalanya. Maka Ali memerintahkan agar rambut Al-Husain dicukur, kemudian Ali
meminta didatangkan seekor unta, lalu ia menyembelihnya."
Jika unta kurban ini sebagai fidyah dari bercukur, berarti Ali menyembelihnya
di luar kota Mekah. Tetapi jika sebagai fidyah dari tahallul, maka masalahnya
sudah jelas.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا
أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِ}
Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan
umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang
mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Dengan kata lain, apabila kalian mampu untuk menunaikan manasik, tanpa
hambatan apa pun, sedangkan di antara kalian ada yang ingin melakukan
tamattu' dengan mengerjakan umrah dahulu sebelum ibadah haji tiba
waktunya.
Pengertian tamattu' di sini mencakup orang yang berihram untuk keduanya atau
berihram untuk umrah lebih dahulu, setelah selesai dari umrah baru berihram lagi
untuk haji. Demikianlah pengertian tamattu' secara khusus yang telah terkenal di
kalangan para ahli fiqih. Sedangkan pengertian tamattu secara umum mencakup
keduanya, seperti yang ditunjukkan oleh hadis-hadis sahih. Karena sesungguhnya
di antara perawi ada yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. ber-tamattu',
sedangkan yang lainnya mengatakan ber-qiran, tetapi di antara keduanya tidak ada
perbedaan dalam masalah bahwa Nabi Saw. membawa hewan hadyunya.
**************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِ}
Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan
haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah:
196)
Dengan kata lain, hendaklah ia menyembelih kurban yang mudah didapat baginya,
minimal seekor kambing. Tetapi diperbolehkan baginya menyembelih seekor sapi,
karena Rasulullah Saw. sendiri menyembelih sapi untuk dam istri-istrinya.
Al-Auza'i meriwayatkan dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah, dari
sahabat Abu Hurairah r.a.:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَبَحَ بَقَرَةً عَنْ
نِسَائِهِ، وَكُنْ مُتَمَتِّعَاتٍ.
Bahwa Rasulullah Saw. menyembelih seekor sapi untuk (dam) istri-istrinya,
karena mereka semuanya melakukan tamattu'.
Hadis riwayat Abu Bakar ibnu Murdawaih.
Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa tamattu' itu
disyariatkan, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Imran ibnu
Husain yang mengatakan, "Ayat tamattu' telah diturunkan di dalam Kitabullah dan
kami mengerjakannya bersama-sama Rasulullah Saw. Kemudian tidak ada wahyu lagi
yang turun mengharamkannya serta Nabi Saw. tidak melarangnya pula hingga beliau
wafat."
Akan tetapi, ada seorang lelaki yang berpendapat menurut kehendaknya sendiri.
Imam Bukhari mengatakan bahwa lelaki itu adalah sahabat Umar. Apa yang dikatakan
oleh Imam Bukhari ini telah disebutkan dengan jelas, bahwa Umar pernah melarang
orang-orang melakukan tamattu'. Ia mengatakan bahwa kita harus memegang
Kitabullah, karena sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk
melakukannya dengan sempurna. Yang dimaksud adalah firman-Nya: Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Tetapi
pada kenyataannya Umar r.a. tidak melarang orang yang berihram dengan tamattu'.
Sesungguhnya dia melarangnya hanya untuk tujuan agar orang-orang yang ziarah ke
Baitullah bertambah banyak, ada yang melakukan haji dan ada yang berumrah,
seperti yang telah dijelaskannya sendiri.
************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ}
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (Al-Baqarah:
196)
Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang tidak dapat menemukan binatang
kurban, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji, yakni di hari-hari
manasik."
Menurut ulama, hal yang paling utama hendaknya puasa dilakukan sebelum hari
Arafah, yaitu pada tanggal sepuluh. Demikianlah menurut Ata. Atau sejak dia
melakukan ihram (untuk hajinya), menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, karena
berdasarkan sabda Nabi Saw. dalam ibadah hajinya. Di antara mereka ada yang
memperbolehkan melakukan puasa sejak dari permulaan bulan Syawwal. Demikianlah
menurut Tawus, Mujahid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Asy-Sya'bi memperbolehkan berpuasa pada hari Arafah dan dua hari sebelumnya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, As-Saddi, Ata,
Tawus, Al-Hakam, Al-Hasan, Hammad, Ibrahim, Abu Ja'far Al-Baqir, Ar-Rabi', dan
Muqatil ibnu Hayyan.
Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas, "Apabila seseorang tidak dapat menemukan
hadyu, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji sebelum hari Arafah.
Untuk itu apabila jatuh hari yang ketiga dari Arafah, maka puasanya harus sudah
selesai. Ia juga harus puasa tujuh hari setelah pulang ke tanah airnya."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Ishaq, dari Wabrah, dari Ibnu Umar
yang mengatakan bahwa orang yang bersangkutan hendaknya memulai puasanya sehari
sebelum hari Tarwih, kemudian hari Tarwih, dan yang terakhir pada hari
Arafahnya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari
Ali.
Sekiranya orang yang bersangkutan tidak melakukan puasanya pada hari-hari
haji atau tidak melakukan sebagiannya sebelum hari Raya Adha, bolehkah ia
melakukan puasanya itu pada hari-hari Tasyriq?
Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama,
kedua-duanya diketengahkan pula oleh Imam Syafii. Menurut qaul qadim-nya, orang
yang bersangkutan boleh melakukan puasanya pada hari-hari Tasyriq. Karena
berdasarkan kepada ucapan Siti Aisyah dan Ibnu Umar yang terdapat di dalam kitab
Sahih Bukhari, yaitu bahwa Nabi Saw. tidak memperbolehkan melakukan puasa di
hari-hari Tasyriq kecuali bagi orang yang tidak menemukan hadyu (hewan
kurban).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Malik, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari
Aisyah, juga dari Salim, dari Ibnu Umar. Memang telah diriwayatkan dari keduanya
(Siti Aisyah dan Ibnu Umar) melalui banyak jalur.
Sufyan meriwayatkannya dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali r.a.
yang mengatakan, "Barang siapa yang kelewat waktunya hingga tidak melakukan
puasa tiga hari pada hari-hari haji, maka ia harus melakukannya pada hari-hari
Tasyriq."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ubaid ibnu Umair Al-Laisi, dari Ikrimah dan
Al-Hasan Al-Basri serta Urwah ibnuz Zubair.
Sesungguhnya mereka mengatakan demikian karena keumuman makna yang terkandung
di dalam firman-Nya: maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji.
(Al-Baqarah: 196)
Sedangkan menurut qaul jadid, ia tidak boleh melakukan puasa pada hari-hari
Tasyriq, karena berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
melalui Qutaibah Al-Huzali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"أَيَّامُ
التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ"
Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada
Allah Swt.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَسَبْعَةٍ
إِذَا رَجَعْتُمْ}
dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali.
(Al-Baqarah: 196)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Salah satunya mengatakan,
yang dimaksud dengan iza raja'tum ialah apabila kalian kembali ke
perjalanan pulang kalian. Karena itulah Mujahid mengatakan bahwa puasa tujuh
hari ini merupakan rukhsah. Untuk itu apabila orang yang bersangkutan ingin
melakukannya dalam perjalanan pulangnya, ia boleh melakukannya. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Ata ibnu Abu Rabah.
Pendapat kedua mengatakan, yang dimaksud dengan iza raja'tum ialah
apabila kalian kembali ke tanah air kalian, yakni kalian telah berada di negeri
tempat tinggal kalian sendiri.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Yahya
ibnu Sa'id, dari Salim, bahwa ia pernah mendengar ibnu Umar berkata sehubungan
dengan makna firman-Nya: Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau
tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kalian telah pulang kembali. (Al-Baqarah: 196) Makna yang
dimaksud ialah bila orang yang bersangkutan telah kembali ke tempat keluarganya
(tanah airnya).
Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah,
Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Abu
Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang telah
disepakati.
قَالَ
الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَير، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ
عُقَيل، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ
قَالَ: تَمَتَّعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّة
الْوَدَاعِ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ وَأَهْدَى فَسَاقَ مَعَهُ الهَدْي مِنْ
ذِي الحُلَيفة، وَبَدَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فأهلَّ
بِالْعُمْرَةِ، ثُمَّ أهلَّ بِالْحَجِّ، فَتَمَتَّعَ النَّاسُ مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ. فَكَانَ مِنَ
النَّاسِ مَنْ أَهْدَى فَسَاقَ الهَدْي، وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُهْد. فَلَمَّا
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ قَالَ لِلنَّاسِ:
"مَنْ كَانَ مِنْكُمْ أَهْدَى فَإِنَّهُ لَا يَحل لِشَيْءٍ حَرُم مِنْهُ حتَى
يَقْضِيَ حَجّه، ومَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَهْدَى فَلْيَطُفْ بِالْبَيْتِ
وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَلْيُقَصِّر وليَحللْ ثُمَّ ليُهِلّ بِالْحَجِّ،
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ هَدْيًا فليصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةً
إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ". وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair,
telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Salim
ibnu Abdullah, bahwa Ibnu Umar pernah menceritakan: Rasulullah Saw. melakukan
tamattu' dalam haji wada'-nya dengan melakukan umrah sebelum ibadah haji, lalu
beliau menyembelih hewan kurbannya. Untuk itu beliau membawa hewan hadyu
(kurban) dari Zul Hulaifah, kemudian beliau berihram untuk ibadah umrahnya.
Sesudah ilu baru beliau berihram untuk ibadah hajinya. Maka orang-orang pun ikut
ber-tamattu' bersama-sama Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. memulai pekerjaannya
dengan ibadah umrah sebelum haji. Sedangkan di kalangan orang-orang ada yang
berkurban, ia membawa hewan kurbannya; dan di antara mereka ada yang tidak
berkurban. Ketika Nabi Saw. tiba di Mekah, maka beliau bersabda kepada
orang-orang, "Barang siapa di antara kalian mempunyai hewan kurban, maka
tidak halal baginya melakukan sesuatu pun yang diharamkan atas dirinya sebelum
menyelesaikan hajinya. Barang siapa di antara kalian tidak membawa hadyunya
(hewan kurban-nya), hendaklah ia melakukan tawaf di Baitullah, dan sa'i di
antara Safa dan Marwah serta memotong rambut dan ber-tahallul. Setelah itu
hendaklah ia berihram lagi untuk ibadah hajinya. Barang siapa yang tidak
menemukan hewan kurban, hendaklah ia berpuasa selama tiga hari dalam masa haji
dan tujuh hari lagi apabila ia telah kembali kepada keluarganya. Hingga
akhir hadis.
Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah, dari Siti Aisyah r.a.
hal yang semisal dengan apa yang telah diceritakan kepadaku oleh Salim, dari
ayahnya. Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri
dengan lafaz yang sama.
************
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ
عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ}
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (Al-Baqarah: 196)
Menurut suatu pendapat, kalimat ayat ini merupakan taukid (yang menguatkan
makna kalimat sebelumnya). Perihalnya sama dengan kata-kata orang Arab, "Aku
melihat dengan kedua mataku sendiri, dan aku mendengar dengan kedua telingaku
sendiri, aku tulis dengan tanganku ini." Dan sama dengan makna yang terkandung
di dalam firman-Nya:
وَلا
طائِرٍ يَطِيرُ بِجَناحَيْهِ
dan tiada burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya. (Al-An'am:
38)
وَلا
تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ
dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu.
(Al-'Ankabut: 48)
Adapun firman Allah Swt.:
وَواعَدْنا
مُوسى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْناها بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقاتُ رَبِّهِ
أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu
waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh
(malam lagi), maka sempurnakanlah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat
puluh (malam lagi). (Al-A'raf: 142)
Menurut pendapat yang lain, makna 'Kamilah' yang terkandung di dalam
ayat ini ialah perintah untuk menyelesaikannya dengan sempurna. Pendapat ini
dipilih oleh Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah cukup sebagai ganti
menyembelih hewan kurban. Hisyam meriwayatkan dari Abbad ibnu Rasyid, dari
Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: Itulah sepuluh hari
yang sempurna. (Al-Baqarah: 196) Yakni sudah cukup sebagai ganti menyembelih
hewan kurban.
***************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ
لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ}
Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya
tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk Mekah).
(Al-Baqarah: 196)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ahli takwil berbeda pendapat sehubungan dengan
orang yang dimaksud di dalam firman-Nya: bagi orang-orang yang keluarganya
tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk Mekah).
(Al-Baqarah: 196) Padahal mereka telah sepakat bahwa yang dimaksud ialah
penduduk kota Mekah. Tidak ada tamattu'' bagi mereka. Sebagian dari mereka
berpendapat bahwa yang dimaksud ialah hanya khusus bagi penduduk kota Mekah,
bukan selainnya.
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami
Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan (yakni As-Sauri) yang
menceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Yang dimaksud dengan mereka
(dalam ayat ini) adalah penduduk kota Mekah." Hal yang sama diriwayatkan pula
oleh Ibnul Mubarak, dari As-Sauri.
Jama'ah menambahkan dalam riwayatnya, dan Qatadah mengatakan bahwa Ibnu Abbas
pernah mengatakan, "Hai penduduk Mekah, tiada tamattu' bagi kalian. Tamattu'
hanya dihalalkan bagi penduduk negeri-negeri lain dan diharamkan atas kalian.
Sesungguhnya seseorang dari kalian hanya tinggal menempuh sebuah lembah, atau
dia menjadikan antara dirinya dan Tanah Suci sebuah lembah, kemudian ia berihram
untuk umrahnya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu
Tawus, dari ayahnya yang mengatakan bahwa tamattu' hanya diperbolehkan bagi
orang-orang lain, bukan untuk penduduk Mekah, yaitu bagi orang yang keluarganya
tidak berada di sekitar Tanah Suci. Demikianlah menurut apa yang disebutkan di
dalam firman-Nya: Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah:
196)
Abdur Razzaq mengatakan, telah sampai kepadanya dari Ibnu Abbas pendapat yang
semisal dengan apa yang dikatakan oleh Tawus.
Ulama lainnya mengatakan bahwa mereka adalah penduduk Tanah Suci dan daerah
sekitarnya yang masih berada di antara Mekah dan miqat. Seperti yang dikatakan
oleh Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ata yang
mengatakan, "Barang siapa yang keluarganya berada sebelum miqat (dari Mekah),
maka kedudukannya sama dengan penduduk Mekah, yakni tidak boleh melakukan
tamattu"
Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Yazid, dari
Jabir, dari Makhul sehubungan dengan makna firman-Nya: Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196) Makna yang dimaksud ialah orang
yang tempat tinggalnya masih berada di dalam lingkungan miqat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata sehubungan dengan makna firman-Nya:
Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya
tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud
ialah Arafah, Muzdalifah, Urnah, dan Ar-Raji'.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, bahwa ia
pernah mendengar Az-Zuhri mengatakan, "Barang siapa yang keluarganya berada
dalam jarak perjalanan kurang lebih satu hari dari Mekah, maka ia boleh
ber-tamattu'." Menurut riwayat yang lain darinya mengatakan perjalanan dua hari
dari Mekah.
Ibnu Jarir sehubungan dengan masalah ini memilih mazhab Imam Syafii yang
mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Mekah dan orang-orang yang tinggal
dalam jarak tidak diperbolehkan melakukan qasar dari Kota Suci, karena
sesungguhnya orang yang tempat tinggalnya sejauh itu masih termasuk ke dalam
pengertian hadir, bukan musafir.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا
اللَّهَ}
Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah: 196)
Yaitu dalam mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan apa yang
dilarang-Nya terhadap kalian.
{وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (Al-Baqarah:
196)
Yakni terhadap orang yang menentang perintah-Nya dan mengerjakan hal-hal yang
dilarang ia melakukannya.
Al-Baqarah, ayat 197
{الْحَجُّ
أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ
وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي
الألْبَابِ (197) }
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji. Dan apa yang kalian
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai
orang-orang yang berakal.
Ulama bahasa berbeda pendapat mengenai makna firman-Nya: Haji adalah
beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Sebagian di antara mereka
mengatakan, bentuk lengkapnya ialah bahwa ibadah haji yang sesungguhnya yaitu
haji yang dilakukan dalam bulan-bulan yang dimaklumi untuk itu.
Berdasarkan pengertian ini, berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa melakukan
ihram ibadah haji dalam bulan-bulan haji lebih sempurna daripada melakukan ihram
haji di luar bulan haji, sekalipun melakukan ihram haji di luar bulan-bulan haji
hukumnya sah.
Pendapat yang mengatakan sah melakukan ihram ibadah haji di sepanjang tahun
merupakan. mazhab Imam Maliki, Abu Hanifah, Ahmad ibnu Hambal, dan Ishaq ibnu
Rahawaih. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim An-Nakha'i, As-Sauri, dan
Al-Lais ibnu Sa'd. Hal yang dijadikan hujah untuk memperkuat pendapat mereka
adalah firman-Nya:
{يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ}
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji." (Al-Baqarah:
189)
Ibadah haji merupakan salah satu di antara sepasang manasik, maka hukumnya
sah melakukan ihram untuk haji di waktu kapan pun sepanjang tahun. Perihalnya
sama dengan ibadah umrah.
Imam Syafii berpendapat, tidak sah melakukan ihram haji kecuali dalam
bulan-bulannya. Untuk itu seandainya seseorang melakukan ihram haji sebelum
bulan haji tiba, maka ihramnya tidak sah.
Akan tetapi, sehubungan dengan umrahnya, apakah sah atau tidak? Ada dua
pendapat mengenainya. Pendapat yang mengatakan bahwa tidak sah melakukan ihram
haji kecuali di dalam bulan-bulannya diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir. Hal
yang sama dikatakan pula oleh Ata, Tawus, dan Mujahid. Sebagai dalilnya ialah
firman Allah Swt. yang mengatakan: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Menurut makna lahiriah, ayat ini mengandung makna lain yang diutarakan oleh
ulama Nahwu. Pendapat ini mengartikan bahwa musim haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi; Allah mengkhususkan haji dalam bulan-bulan tersebut di antara
bulan-bulan lainnya, maka hal ini menunjukkan bahwa tidak sah melakukan ihram
sebelum tiba bulan-bulan haji. Perihalnya sama dengan waktu-waklu salat.
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid,
dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ata, dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak layak bagi seseorang melakukan ihram haji
kecuali dalam musim haji, karena berdasarkan kepada firman-Nya: Musim haji
adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu Yahya ibnu
Malik As-Susi, dari Hajjaj ibnu Muhammad Al-A'war, dari Ibnu Juraij dengan lafaz
yang sama.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui dua jalur, dari
Hajjaj ibnu Artah, dari Al-Hakim ibnu Utaibah, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan, "Termasuk tuntunan Nabi Saw. ialah tidak melakukan ihram haji
kecuali dalam bulan-bulan haji (musim haji)."
Ibnu Khuzaimah di dalam kitab sahihnya mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari
Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak
boleh ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji, karena sesungguhnya termasuk
sunnah haji ialah melakukan ihram haji dalam bulan-bulan haji.
Sanad asar ini berpredikat sahih. Perkataan seorang sahabat yang menyatakan
bahwa termasuk sunnah (tuntunan Nabi Saw.) dikategorikan sebagai hadis marfu'
menurut kebanyakan ulama. Terlebih lagi jika yang mengatakannya adalah Ibnu
Abbas yang dijuluki sebagai 'juru terjemah Al-Qur'an dan ahli menafsirkannya'.
Memang ada sebuah hadis marfu' sehubungan dengan masalah ini.
قَالَ
ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي بْنُ قَانِعٍ (7) حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بْنُ المُثَنى، حَدَّثَنَا أَبُو حُذَيْفَةَ، حدثنا سفيان، عَنْ أَبِي
الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ: "لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ إِلَّا فِي
أَشْهُرِ الْحَجِّ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah
mencertakan kepada kami Nafi', telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnul
Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada
kami Sufyan, dari Abuz Zubair, dari Jabir, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw.
pernah bersabda: Tidak layak bagi seseorang melakukan ihram haji kecuali di
dalam bulan-bulan haji.
Sanad hadis ini tidak ada masalah. Tetapi Imam Syafii dan Imam Baihaqi
meriwayatkannya melalui berbagai jalur, dari Ibnu Juraij, dari Abuz Zubair,
bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah bertanya:
أَيُهَلُّ
بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ؟ فَقَالَ: لَا،
"Bolehkah melakukan ihram haji sebelum musim haji?" Beliau menjawab,
"Tidak boleh."
Hadis mauquf ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya daripada hadis marfu'
tadi. Dengan demikian, berarti mazhab sahabat menjadi kuat berkat adanya ucapan
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa termasuk sunnah ialah tidak melakukan ihram
haji kecuali dalam bulan-bulan haji.
*************
Firman Allah Swt.:
{أَشْهُرٌ
مَعْلُومَاتٌ}
beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Imam Bukhari mengatakan bahwa menurut Ibnu Umar, yang dimaksud dengan
bulan-bulan haji ialah Syawwal, Zul-Qa'dah, dan sepuluh hari bulan Zul-Hijjah.
Asar yang di-ta'liq (dikomentari) oleh Imam Bukhari dengan ungkapan yang
pasti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir secara mausul.
Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim ibnu Abu
Zagrah, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami
Warqa, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar sehubungan dengan makna
firman-Nya: Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah:
197) Bahwa yang dimaksud ialah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan sepuluh hari dari
bulan Zul-Hijjah. Sanad asar ini berpredikat sahih.
Dan sesungguhnya Imam Hakim pun meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak,
dari Al-Asam, dari Al-Hasan ibnu Ali ibnu Affan, dari Abdullah ibnu Numair, dari
Ubaidillah ibnu Nafi', dari Ibnu Umar, lalu ia mengetengahkan asar ini dan
mengatakan bahwa asar ini (dikatakan sahih) dengan syarat Syaikhain.
Menurut kami, asar ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abdullah
ibnuz Zubair, Ibnu Abbas, Ata, Tawus, Mujahid, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi,
Al-Hasan, Ibnu Sirin, Makhul, Qatadah, Ad-Dahhak ibnu Muzahim, Ar-Rabi' ibnu
Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan. Hal ini merupakan pegangan bagi mazhab Imam
Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Yusuf, dan Abu Saur.
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, dan Ibnu Jarir mengatakan bahwa dibenarkan
menyebutkan jamak untuk pengertian dua bulan dan sepertiga dari satu bulan
dengan pengertian taglib (prioritas). Perihalnya sama dengan perkataan
orang-orang Arab, "Aku melihatnya tahun ini," dan "Aku melihatnya hari ini,"
sedangkan makna yang dimaksud ialah sebagian dari satu tahun dan sehari. Juga
seperti pengertian dalam firman-Nya:
فَمَنْ
تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka
tiada dosa baginya. (Al-Baqarah: 203)
Karena sesungguhnya pengertian cepat berangkat ini tertuju kepada satu
setengah hari (bukan setelah dua hari).
Imam Malik ibnu Anas dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan bahwa
bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah secara
lengkap. Pendapat ini berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah
menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari
Ibrahim ibnu Muhajir, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa
bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada
kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang pernah mengatakan bahwa ia bertanya
kepada Nafi', "Apakah engkau pernah mendengar Ibnu Umar menyebutkan tentang
bulan-bulan haji itu?" Nafi' menjawab, "Ya, Abdullah ibnu Umar menyebutnya bulan
Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah."
Ibnu Juraij mengatakan bahwa hal tersebut dikatakan pula oleh Ibnu Syihab,
Ata, dan Jabir ibnu Abdullah r.a. Sanad asar ini berpredikat sahih sampai kepada
Ibnu Juraij. Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Tawus, Mujahid, Urwah
ibnuz Zubair, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah.
Sehubungan dengan masalah ini ada hadis marfu', hanya sayangnya berpredikat
maudu', diriwayatkan oleh Al-Hafiz ibnu Murdawaih melalui jalur Husain
ibnu Mukhariq —sedangkan dia orangnya dicurigai suka membuat hadis maudu'—, dari
Yunus ibnu Ubaid, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Umamah yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"الْحَجُّ
أَشْهَرٌ مَعْلُومَاتٌ: شَوَّالٌ وَذُو الْقِعْدَةِ وَذُو
الْحِجَّةِ"
Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan Syawwal,
bulan Zul-Qa'dah, dan bulan Zul-Hijjah.
Akan tetapi, seperti yang disebutkan di atas, predikat marfu' hadis ini tidak
sah.
Faedah dari mazhab Imam Malik yang mengatakan bahwa musim haji itu
berlangsung sampai akhir bulan Zul-Hijjah mengandung pengertian bahwa bulan
tersebut khusus buat ibadah haji, maka makruh melakukan ihram umrah pada sisa
bulan Zul-Hijjah, tetapi bukan berarti bahwa sah melakukan ihram haji sesudah
malam kurban.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan,
telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu
Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Abdullah pernah mengatakan,
"Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, tanpa ada umrah padanya."
Sanad asar ini sahih.
Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya orang yang berpendapat bahwa bulan-bulan
haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah hanyalah bermaksud
bahwa bulan-bulan tersebut bukanlah bulan-bulan untuk melakukan umrah.
Sesungguhnya bulan-bulan tersebut hanyalah untuk ibadah haji, sekalipun pada
kenyataannya semua pekerjaan ibadah haji telah rampung dengan selesainya
hari-hari Mina. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Sirin, "Tiada seorang
pun dari kalangan ahlul ilmi merasa ragu bahwa ibadah umrah di luar bulan-bulan
haji lebih utama daripada melakukan ibadah umrah dalam bulan-bulan haji."
Ibnu Aun mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Qasim ibnu Muhammad
tentang. ibadah umrah dalam bulan-bulan haji. Lalu Al-Qasim menjawab, "Mereka
menganggapnya kurang sempurna."
Menurut kami, ada sebuah asar dari Umar dan Usman yang mengatakan bahwa
keduanya menyukai ibadah umrah dalam selain bulan-bulan haji, dan keduanya
melarang hal tersebut dalam bulan-bulan haji.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ}
Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji. (Al-Baqarah: 197)
Maksudnya, telah mewajibkan haji dengan memasuki ihramnya. Di dalam ayat ini
terkandung makna yang menunjukkan keharusan ihram haji dan melangsungkannya.
Ibnu Jarir mengatakan, mereka sepakat bahwa makna yang dimaksud dengan
al-fard dalam ayat ini ialah wajib dan harus.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yakni orang yang telah berihram untuk
haji atau umrah.
Menurut Ata, yang dimaksud dengan fard ialah ihram.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim dan Ad-Dahhak serta
lain-lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ata, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji. (Al-Baqarah: 197) Tidak layak bagi seseorang bila melakukan ihram
untuk haji, kemudian ia tinggal di suatu tempat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu
Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ata, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah,
Ad-Dahhak, Qatadah, Sufyan As-Sauri, Az-Zuhri, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Tawus dan Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, yang dimaksud dengan fard
ialah talbiyah.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَلا
رَفَثَ}
maka tidak boleh rafas. (Al-Baqarah: 197)
Yakni barang siapa yang memasuki ihram untuk ibadah haji atau umrah,
hendaklah ia menjauhi rafas. Yang dimaksud dengan rafas ialah
bersetubuh, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ}
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri
kalian. (Al-Baqarah: 187)
Diharamkan pula melakukan hal-hal yang menjurus ke arahnya, seperti
berpelukan dan berciuman serta lain-lainnya yang semisal; juga diharamkan
membicarakan hal-hal tersebut di hadapan kaum wanita.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus; Nafi' pernah
menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Umar acapkali mengatakan bahwa
rafas artinya menggauli istri dan membicarakan hal-hal yang berbau
porno.
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, dari Muhammad
ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada
kami Syu'bah, dari Qatadah, dari seorang lelaki, dari Abul Aliyah Ar-Rayyahi,
dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mendendangkan syair untuk
memberi semangat kepada unta kendaraannya, sedangkan dia dalam keadaan berihram,
yaitu ucapan penyair:
وَهُنَّ
يَمْشينَ بنَا هَمِيسَا ...
إنْ يَصْدُق الطَّيْرُ نَنَلْ لَميسَا ...
Sedangkan wanita-wanita itu berjalan
bersama kami dengan langkah yang tak bersuara; sekiranya ada burung, niscaya
kami dapat menyentuhnya.
Abul Aliyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Apakah engkau
mengeluarkan kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?" Ibnu
Abbas menjawab, "Sesungguhnya rafas yang dilarang ialah bila dituturkan di
hadapan kaum wanita."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ziyad ibnu Husain, dari
Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas, lalu ia mengetengahkan asar ini.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi,-dari Auf, telah
menceritakan kepadaku Ziyad ibnu Husain, telah menceritakan kepadaku Abu Husain
ibnu Qais yang menceritakan bahwa ia pernah berangkat haji bersama Ibnu Abbas,
dan pada tahun itu dia menjadi teman Ibnu Abbas. Setelah kami ihram (memasuki
miqat), Ibnu Abbas mendendangkan sebuah syair untuk memberikan semangat kepada
unta kendaraannya, yaitu:
وَهُنَّ
يَمْشِينَ بنَا هَمِيسَا ...
إنْ يَصْدُق الطَّيْرُ نَنَلْ لَميسَا ...
Mereka (wanita-wanita itu) berjalan
bersama kami dengan langkah-langkah yang tak bersuara; seandainya kami menjumpai
burung, niscaya kami dapat memegangnya.
Abu Husain ibnu Qais bertanya, "Apakah engkau berani mengucapkan kata-kata
rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?" Ibnu Abbas menjawab,
"Sesungguhnya yang dinamakan rafas ialah bila diucapkan di hadapan kaum
wanita."
Abdullah ibnu Tawus meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayahnya pernah bertanya
kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya: maka tidak boleh rafas dan
berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Rafas artinya
mengeluarkan kata-kata sindiran yang mengandung arti persetubuhan. Ungkapan ini
dinamakan 'irabah menurut islilah orang-orang Arab yang artinya 'kata-kata yang
jorok'."
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa rafas artinya persetubuhan dan yang lebih
rendah daripada itu berupa perkataan yang jorok. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Amr ibnu Dinar.
Ata mengatakan bahwa orang-orang Arab tidak menyukai ungkapan 'irabah yang
artinya kata-kata sindiran ke arah persetubuhan, hal ini hukumnya haram.
Tawus mengatakan, rafas ialah bila seorang lelaki berkata kepada istrinya,
"Apabila kamu telah ber-tahallul, niscaya aku akan menggaulimu." Hal yang sama
dikatakan pula oleh Abul Aliyah.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa rafas artinya
menyetubuhi wanita, menciumnya, dan mencumbu rayunya serta mengeluarkan
kata-kata sindiran yang jorok kepadanya yang menjurus ke arah persetubuhan dan
lain-lainnya yang semisal.
Ibnu Abbas mengatakan pula —juga Ibnu Umar— bahwa rafas artinya menyetubuhi
wanita. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid,
Ibrahim, Abul Aliyah, dari Ata, Makhul, Ata Al-Khurrasani, Ata ibnu Yasar,
Atiyyah, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi', Az-Zuhri, As-Saddi, Malik ibnu Anas,
Muqatil ibnu Hayyan, Abdul Karim ibnu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, dan
lain-lainnya.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
فُسُوقَ}
dan tidak boleh berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197)
Miqsam dan bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang
dimaksud dengan fusuq ialah perbuatan-perbuatan maksiat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa'id ibnu
Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri,
Ar-Rabi' ibnu Anas, Ata ibnu Yasar, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu
Hayyan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar yang pernah
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fusuq ialah semua jenis perbuatan maksiat
terhadap Allah, baik berupa berburu (di waktu ihram) ataupun perbuatan
lainnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi', bahwa
Abdullah ibnu Umar pernah berkata, "Yang dinamakan fusuq ialah melakukan
perbuatan-perbuatan yang durhaka terhadap Allah di Tanah Suci."
Sedangkan ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan fusuq dalam ayat ini
ialah mencaci maki. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnuz Zubair,
Mujahid, As-Saddi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan. Barangkali mereka yang
mengatakan demikian (caci maki) berpegang kepada apa yang telah ditetapkan di
dalam hadis sahih, yaitu:
«سِبَابُ
الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»
Mencaci orang muslim adalah perbuatan fasik, dan memeranginya adalah
kekufuran.
Karena itulah maka dalam bab ini Abu Muhammad ibnu Abu Hatim meriwayatkannya
melalui hadis Sufyan As-Sauri, dari Zubaid, dari Abu Wail, dari Abdullah, dari
Nabi Saw. yang telah bersabda: Mencaci orang muslim hukumnya fasik dan
memeranginya hukumnya kufur.
Telah diriwayatkan melalui hadis Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Mas'ud, dari
ayahnya, juga melalui hadis Abu Ishaq, dari Muhammad ibnu Sa'd, dari ayahnya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa fusuq dalam ayat ini
artinya melakukan sembelihan untuk berhala-berhala, seperti pengertian yang
terdapat di dalam Firman-Nya:
أَوْ
فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-An'am:
145)
Ad-Dahhak mengatakan, al-fusuq artinya saling memanggil dengan
julukan-julukan yang buruk.
Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa makna fusuq dalam ayat ini ialah
semua perbuatan maksiat merupakan pendapat yang benar, sebagaimana Allah
melarang perbuatan zalim (aniaya) dalam bulan-bulan haram, sekalipun dalam
sepanjang masa perbuatan ini diharamkan, hanya saja dalam bulan-bulan haram
lebih keras lagi keharamannya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
مِنْها
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ
di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam bulan yang empat ini.
(At-Taubah: 36)
Sehubungan dengan melakukan perbuatan zalim di Tanah Suci, Allah Swt.
berfirman:
وَمَنْ
يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذابٍ أَلِيمٍ
Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim,
niscaya Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25)
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa isitilah fusuq dalam
ayat ini ialah semua perbuatan yang dilarang di dalam ihram, seperti membunuh
binatang buruan, mencukur rambut kepala, memotong kuku, dan lain sebagainya yang
sejenis, seperti yang disebutkan dari Ibnu Umar. Akan tetapi, semua apa yang
telah kami sebutkan adalah harus lebih dijauhi.
Disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Abu Hazm, dari sahabat Abu
Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«من
حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ
كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ»
Barang siapa yang melakukan haji di Baitullah ini, lalu ia tidak rafas dan
tidak berbuat fasik, maka seakan-akan ia bersih dari semua dosanya seperti pada
hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
جِدَالَ فِي الْحَجِّ}
dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
(Al-Baqarah: 197)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama mengatakan tidak boleh berbantah-bantahan dalam musim haji,
yakni sewaktu sedang melaksanakan manasik-manasiknya. Allah Swt. telah
menjelaskannya dengan keterangan yang sempurna dan merincikannya dengan rincian
yang gamblang.
Sehubungan dengan hal ini Waki' telah meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Abdul
Karim, bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan
haji. (Al-Baqarah: 197) Sesungguhnya Allah Swt. telah menjelaskan
bulan-bulan haji, maka tidak boleh lagi ada bantah-bantahan di antara manusia
dalam mengerjakannya.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya:
dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
(Al-Baqarah: 197) Tidak ada bulan yang ditangguhkan dan tidak ada
bantahan-bantahan dalam masalah haji, semuanya sudah jelas. Kemudian Mujahid
menyebutkan tingkah laku yang dilakukan oleh kaum musyrik terhadap apa yang
disebutkan di kalangan mereka dengan nama nasi' (menangguhkan bulan haji, lalu
memindahkannya ke bulan yang lain). Perbuatan mereka itu sangat dicela oleh
Allah Swt.
As-Sauri meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Rafi', dari Mujahid sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Bahwa masalah haji telah diluruskan,
maka tidak boleh ada bantah-bantahan lagi mengenainya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh As-Saddi. Hisyam mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud dengan jidal ialah
berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan ibadah haji.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Malik pernah mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Makna yang dimaksud ialah melakukan
bantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji. Hanya Allah yang lebih mengetahui,
bahwa pada mulanya orang-orang Quraisy melakukan wuquf di Masy'aril Haram, yaitu
di Muzdalifah, sedangkan orang-orang Arab lainnya dan selain orang-orang Arab
melakukan wuquf di Arafah. Mereka selalu berbantah-bantahan. Golongan yang
pertama mengatakan, "Kami lebih benar," sedangkan golongan yang lain mengatakan,
"Kamilah yang lebih benar." Demikianlah menurut pandangan kami, dan hanya Allah
yang lebih mengetahui.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam bahwa mereka
mengambil tempat wuqufnya sendiri-sendiri se-cara berbeda-beda yang masih mereka
perdebatkan, masing-masing pihak mengakui bahwa mauqif-nya adalah
berdasarkan mauqif Nabi Ibrahim a.s. Maka Allah memutuskannya, yaitu ketika Dia
memberi-tahukan kepada Nabi-Nya tentang manasik yang sesungguhnya.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka'b yang
mengatakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy apabila berkumpul di Mina, maka
sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lainnya, "Haji kami lebih
sempurna daripada haji kalian," begitu pula sebaliknya.
Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Jabir ibnu Habib, dari Al-Qasim ibnu
Muhammad yang mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam ibadah haji ialah bila
sebagian dari mereka yang terlibat mengatakan, "Haji adalah esok hari."
Sedangkan sebagian yang lain mengatakan, "Haji adalah hari ini."
Sementara itu Ibnu Jarir memilih kandungan makna dari semua pendapat yang
telah disebutkan di atas, yaitu tidak boleh berbantah-bantahan dalam manasik
haji.
Pendapat yang kedua mengatakan, yang dimaksud dengan istilah jidal
dalam ayat ini ialah bertengkar. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdul Hamid ibnu Hassan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari
Syarik, dari Abu Ishaq, dari Abul Ah-was, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)
Makna yang dimaksud dengan al-jidal ialah bila kamu membantah
saudaramu hingga kamu buat dia marah karenanya.
Dengan sanad yang sama sampai kepada Abu Ishaq, dari At-Tamimi, disebutkan
bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna al-jidal, maka Ibnu
Abbas menjawab, "Artinya berbantah-bantahan, yaitu bila kamu melakukan bantahan
terhadap temanmu hingga kamu buat dia marah karenanya." Hal yang sama
diriwayatkan pula oleh Miqsan dan Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Abul Aliyah, Ata, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Jabir
ibnu Zaid, Ata Al-Khurrasani, Makhul, As-Saddi, Mu-qatil ibnu Hayyan, Arar ibnu
Dinar, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ibrahim An-Nakha'i, Ata ibnu Yasar,
Al-Hasan, Qatadah, dan Az-Zuhri.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan
haji. (Al-Baqarah: 197) Artinya, berbantah-bantahan dan perdebatan hingga
engkau membuat marah saudara dan temanmu, kemudian Allah Swt. melarang hal
tersebut.
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah:
197) Bahwa mereka tidak menyukai berbantah-bantahan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi, dari Ibnu Umar yang mengatakan
bahwa al-jidal dalam ibadah haji artinya mencaci maki dan bertengkar.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi', Umar
pernah mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji artinya
melakukan caci maki, perdebatan, dan pertengkaran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnuz Zubair, Al-Hasan,
Ibrahim,Tawus, dan Muhammad ibnu Ka'b, bahwa mereka mengatakan, "Al-jidal
artinya berbantah-bantahan."
Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Yahya ibnu Basyir, dari Ikrimah
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di
dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah 197) Al-jidal artinya marah, yaitu
bila kamu membuat marah seorang muslim, kecuali jika kamu menegur budak, lalu
kamu membuatnya marah tanpa memukulnya, maka tidak menjadi masalah bagimu, insya
Allah.
Menurut kami, seandainya seseorang memukul budaknya, hal ini masih tetap
diperbolehkan. Sebagai dalilnya ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam
Ahmad:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ يَحْيَى
بْنِ عَبَّادِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ
أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُجّاجًا، حَتَّى إِذَا كُنَّا بالعَرْج نَزَلَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَلَسَتْ عائشةُ إِلَى جَنْبِ
رَسُولِ اللَّهِ، وجلستُ إِلَى جَنْب أَبِي. وَكَانَتْ زِمَالة أَبِي بَكْرٍ
وزِمَالة رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاحِدَةً مَعَ
غُلَامِ أَبِي بَكْرٍ، فَجَلَسَ أَبُو بَكْرٍ يَنْتَظِرُهُ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ
عَلَيْهِ، فأطْلَعَ وَلَيْسَ مَعَهُ بَعِيرُهُ، فَقَالَ: أَيْنَ بَعِيرُكَ؟
فَقَالَ: أضللتُه الْبَارِحَةَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: بَعِيرٌ وَاحِدٌ تُضلَّه؟
فَطَفِقَ يَضْرِبُهُ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَتَبَسَّمُ وَيَقُولُ: "انْظُرُوا إِلَى هَذَا المُحْرِم مَا يَصْنَعُ؟
".
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Yahya ibnu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari
ayah-nya, dari Asma binti Abu Bakar yang menceritakan hadis berikut: Kami
berangkat bersama Rasulullah Saw. untuk menunaikan ibadah haji. Ketika kami
berada di Araj, Rasulullah Saw. turun istirahat. Maka Siti Aisyah r.a. duduk di
sebelah Rasulullah Saw., sedangkan aku duduk di sebelah Abu Bakar (ayahku).
Ketika itu pelayan perempuan Abu Bakar dan Rasulullah Saw. hanya satu orang
disertai dengan budak laki-laki milik Abu Bakar. Abu Bakar duduk menunggu
budaknya muncul. Si budak muncul tanpa hewan untanya, maka Abu Bakar bertanya,
"Ke mana untamu?" Si budak menjawab, "Tadi malam aku kehilangan dia." Abu Bakar
berkata, "Mengapa seekor unta saja kamu tidak dapat menjaganya, hingga ia
kabur?" Lalu Abu Bakar memukul budaknya itu, sedangkan Rasulullah Saw. tersenyum
seraya berkata: Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang
sedang ihram ini.’
Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah
melalui hadis Ibnu Ishaq.
Berangkat dari pengertian hadis ini, ada sebagian ulama Salaf yang
menyimpulkan bahwa termasuk kesempurnaan ibadah haji ialah memukul unta
(kendaraan). Akan tetapi, dari sabda Nabi Saw. terhadap Abu Bakar ini, yaitu:
Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram
ini. dapat ditarik kesimpulan adanya teguran yang lembut. Maknanya
menyatakan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut adalah lebih utama.
قَالَ
الْإِمَامُ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
مُوسَى، عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَخِيهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدَةَ
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ قضَى نُسُكَه وسلِم الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"
Imam Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Musa ibnu Ubaidah, dari
saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Ubaidillah), dari Jabir ibnu Abdullah yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang telah
menunaikan hajinya, dan orang-orang muslim selamat dari ulah lisan dan
tangannya, niscaya Allah memberikan ampunan baginya atas semua dosanya yang
terdahulu.
********
Firman Allah Swt.:
{وَمَا
تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ}
Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. (Al-Baqarah: 197)
Setelah Allah Swt. melarang mereka melakukan perbuatan yang buruk, baik
berupa ucapan maupun perbuatan, maka Allah menganjurkan kepada mereka untuk
mengerjakan kebaikan, dan Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa Dia Maha
Mengetahuinya; kelak Allah akan memberikan balasan kepadanya dengan balasan yang
berlimpah di hari kiamat nanti.
************
Firman Allah Swt.:
{وَتَزَوَّدُوا
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.
(Al-Baqarah: 197)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ada orang-orang yang berangkat
meninggalkan keluarga mereka tanpa membawa bekal. Mereka mengatakan, "Kami akan
melakukan ibadah haji, mengapa Allah tidak memberi kami makan?" (yakni niscaya
Allah memberi kami makan). Maka turunlah ayat ini yang maknanya, "Berbekallah
kalian untuk mencegah diri kalian dari meminta-minta kepada orang lain."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr
ibnu Dinar, dari Ikrimah, bahwa orang-orang ada yang menunaikan hajinya tanpa
membawa bekal. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Amr (yaitu Al-Fallas),
dari Ibnu Uyaynah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, sesungguhnya hadis ini diriwayatkan pula oleh
Warqa, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu Hatim
mengatakan bahwa apa yang diriwayatkan oleh Warqa, dari Ibnu Uyaynah lebih
sahih.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Sa'id ibnu
Abdur Rahman Al-Makhzumi, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ada orang-orang yang menunaikan ibadah haji
tanpa membawa bekal, lalu Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Adapun hadis Warqa, diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Yahya ibnu Bisyr,
dari Syababah.
Diketengahkan oleh Abu Daud, dari Abu Mas'ud (yaitu Ahmad ibnul Furat
Ar-Razi) dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Makhzumi, dari Syababah, dari Warqa, dari
Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
orang-orang Yaman melakukan ibadah hajinya tanpa membawa bekal, dan mereka
mengatakan, "Kami adalah orang-orang yang bertawakal." Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.
(Al-Baqarah: 197)
Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya dari
Syababah.
Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Syababah
dengan lafaz yang sama. Ibnu Jarir dan Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui
hadis Amr ibnu Abdul Gaffar, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa
tersebutlah apabila mereka telah memasuki ihram, sedangkan bekal yang mereka
bawa masih ada pada mereka, maka mereka membuangnya, lalu mereka mengadakan
perbekalan lain yang baru. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.
(Al-Baqarah: 197)
Mereka dilarang melakukan hal tersebut dan mereka diperintahkan agar membawa
perbekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti kering (yakni makanan yang
tahan lama). Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnuz Zubair, Abul Aliyah,
Mujahid, Ikrimah, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Salim ibnu Abdullah, Ata
Al-Khurrasani, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Berbekallah kalian dengan perbekalan berupa
tepung terigu, sagon, dan roti kering."
Waki' ibnul Jarrah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan
kepada kami Sufyan, dari Muhammad ibnu Suqah, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan
dengan makna firman-Nya: Dan berbekallah (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud
ialah bekal berupa tepung dan sagon.
Waki' meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Makki,
dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Amr yang mengatakan bahwa
sesungguhnya termasuk kedermawanan seorang laki-laki ialah membawa bekal yang
baik dalam perjalanannya.
Hammad ibnu Salamah menambahkan pada riwayat di atas, dari Abu Raihanah,
bahwa Ibnu Umar pernah memerintahkan kepada orang yang mau bepergian dengannya
agar membawa bekal yang baik.
****************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ
خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Setelah Allah Swt. memerintahkan mereka agar membawa bekal dalam bepergian di
dunia, maka Allah Swt. memberikan pctunjuk-Nya kepada mereka bekal lainnya untuk
kebahagiaan di negeri akhirat, yaitu takwa kepada Allah. Perihalnya sama dengan
makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَرِيشاً
وَلِباسُ التَّقْوى ذلِكَ خَيْرٌ
dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling
baik. (Al-A'raf: 26)
Dengan kata lain, setelah Allah menyebutkan pakaian hissi (konkret),
lalu Allah mengingatkan seraya memberikan petunjuk kepada jenis pakaian lainnya,
yaitu pakaian maknawi (abstrak) berupa khusyuk, taat, dan takwa. Allah
menyebutkan pula bahwa pakaian yang terakhir ini lebih baik dan lebih bermanfaat
daripada jenis yang per-tama tadi.
Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud
dengan takwa ialah bekal untuk akhirat.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ،
عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ
النَّبِيِّ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [قَالَ] : "مَنْ يَتَزَوَّدْ فِي
الدُّنْيَا يَنْفَعه فِي الْآخِرَةِ"
Imam Tabrani meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar,
telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Mu'awiyah, dari Ismail, dari Qais,
dari Jarir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw. yang bersabda: Barang siapa yang
membuat bekal di dunia, maka bekal ini akan bermanfaat di akhirat.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, ketika diturunkan firman-Nya: Dan
berbekallah. (Al-Baqarah: 197) Maka berdirilah seorang lelaki dari kalangan
kaum fakir miskin kaum muslim, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak
menemukan apa yang bisa dipergunakan buat bekal kami." Maka Rasulullah Saw.
bersabda:
"تَزَوَّدْ
مَا تَكُفُّ بِهِ وَجْهَكَ عَنِ النَّاسِ، وَخَيْرُ مَا تَزَوَّدْتُمُ
التَّقْوَى".
Berbekallah untuk mencegah dirimu dari meminta-minta kepada orang lain,
dan sebaik-baik apa yang dijadikan bekal bagi kalian ialah takwa. (Riwayat
Ibnu Abu Hatim)
**************
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُونِ
يَا أُولِي الألْبَابِ}
dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. (Al-Baqarah:
197)
Yakni hindarilah oleh kalian siksaan-Ku, pembalasan-Ku, dan azab-Ku bagi
orang yang menentang-Ku dan tidak mau mengerjakan perintah-Ku, hai orang-orang
yang berakal dan berpemahaman!
Al-Baqarah, ayat 198
{لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ
عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا
هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (198)
}
Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari
karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. Maka apabila kalian telah
bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. Dan
berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang di-tunjukkan-Nya kepada
kalian; dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang
yang sesat.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah
menceritakan kepadaku Ibnu Uyaynah, dari Amr, dari Ibnu Abbas yang menceritakan
bahwa di masa Jahiliah, Ukaz, Majinnah, dan Zul-Majaz merupakan pasar-pasar
tahunan; mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam musim haji. Maka
turunlah firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki
hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Yaitu dalam musim
haji.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq dan Sa'id ibnu Mansur serta
lain-lainnya yang bukan hanya satu orang, dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan lafaz
yang sama.
Menurut sebagian di antara mereka, setelah Islam datang, mereka masih tetap
merasa berdosa bila melakukan perniagaan (dalam musim haji), lalu mereka
bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai hal tersebut, lalu Allah Swt.
menurunkan ayat ini.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu
Abbas yang menceritakan bahwa di masa Jahiliah, tempat perniagaan orang-orang
berada di Ukaz, Majinnah, dan Zul-Majaz. Setelah Islam datang, mereka tidak
menyukai hal tersebut. Maka turunlah ayat ini.
Imam Abu Daud dan lain-lainnya meriwayatkan melalui hadis Yazid ibnu Abu
Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa mereka selalu
menghindarkan dirinya dari melakukan perniagaan dalam musim haji, dan mereka
mengatakan bahwa musim haji adalah hari-hari zikir. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari
Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Yakni dalam musim haji.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna ayat ini: "Tidak ada dosa bagi kalian dalam melakukan transaksi jual
beli, sebelum dan sesudah ihram." Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Aufi,
dari Ibnu Abbas.
Waki' mengatakan, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu Amr Al-Hadrami,
dari Ata, dari ibnu Abbas, bahwa ia membacakan firman-Nya: Tidak ada dosa
bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan
kalian. (Al-Baqarah: 198) dalam musim haji.
Abdurrahman mengatakan dari Ibnu Uyaynah, dari Abdullah ibnu Abu Yazid, "Aku
pernah mendengar Ibnu Zubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
'Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan)
dari Tuhan kalian' (Al-Baqarah: 198). dalam musim haji."
Tafsir yang sama dikemukakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah,
Mansuf ibnul Mu'tamir, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ar-Rabi' ibnu Anas
serta lain-lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah,
telah menceritakan kepada kami Syababah ibnu Siwar, telah menceritakan kepada
kami Syu'bah, dari Abu Umaimah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari
Ibnu Umar ketika Ibnu Umar ditanya mengenai perihal seorang lelaki yang
menunaikan ibadah haji dengan membawa barang dagangannya. Lalu Ibnu Umar
membacakan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia
(rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Maka Nabi
Saw. memanggilnya dan bersabda kepadanya.
Predikat asar ini mauquf, tetapi sanadnya kuat dan baik. Sesungguhnya asar
ini telah diriwayatkan pula secara marfu'.
Ahmad telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Asbat, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Amr Al-Faqimi, dari Abu Umamah At-Taimi
yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya kami
biasa melakukan transaksi kira (sewa-menyewa), maka apakah kami beroleh ibadah
haji?" Ibnu Umar balik bertanya, "Bukankah kamu telah melakukan tawaf di
Baitullah, datang ke Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambutmu?" Lelaki itu
menjawab, "Tentu saja." Ibnu Umar berkata bahwa pernah ada seorang lelaki datang
kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepadanya tentang masalah seperti apa yang kamu
tanyakan kepadaku, maka beliau tidak menjawab hingga Malaikat Jibril turun
membawa ayat ini, yaitu firman-Nya: Kalian adalah jamaah haji.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ai-Sauri, dari
Al-Ala ibnul Musayyab, dari seorang lelaki Bani Tamim yang menceritakan bahwa
seorang lelaki datang kepada Abdullah ib-nu Umar, lalu berkata, "Hai Abu Abdur
Rahman, sesungguhnya kami adalah dari kaum yang berprofesi sewa-menyewa, dan
mereka menduga bahwa kami tidak akan mendapat haji (karena berbisnis)." Ibnu
Umar menjawab, "Bukankah kalian telah berihram seperti mereka berihram, dan
kalian bertawaf seperti mereka bertawaf, serta melempar jumrah seperti yang
dilakukan oleh jamaah haji lainnya?" Lelaki itu menjawab, "Memang benar." Ibnu
Umar berkata, "Kalau demikian, kamu beroleh haji." Kemudian Ibnu Umar
mengemukakan hadis berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu ia
bertanya kepadanya seperti pertanyaan yang kamu ajukan kepadaku ini, maka
turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Tidak ada dosa bagi kalian untuk
mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian." (Al-Baqarah:
198)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya
melalui Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan
pula oleh Abu Huzaifah, dari As-Sauri secara marfu', dan telah diriwayatkan pula
melalui jalur lainnya secara marfu'.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Arafah, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Al-Ala ibnul
Musayyab, dari Abu Umamah At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah berkata
kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya kami adalah kaum yang suka berniaga kira ke arah
ini —yakni ke Mekah— dan sesungguhnya ada segolongan orang yang menduga bahwa
kami tidak akan memperoleh pahala haji. Bagaimanakah menurutmu, apakah kami
memperoleh pahala haji?" Ibnu Umar bertanya, "Bukankah kalian berihram, bertawaf
di Baitullah, dan menunaikan semua manasik?" Ia menjawab, "Memang benar." Ibnu
Umar berkata, "Kalau demikian, kalian adalah orang-orang yang telah berhaji."
Selanjutnya Ibnu Umar mengatakan: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu
bertanya kepad-nya mengenai pertanyaan seperti yang kamu ajukan itu, maka Nabi
Saw. tidak mengetahui apa yang harus ia katakan kepada-nya —atau beliau tidak
menjawab sepatah kata pun— hingga turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Tidak
ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan
kalian" (Al-Baqarah: 198). Maka beliau memanggil lelaki itu dan membacakan
ayat ini kepadanya, lalu bersabda, "Kalian adalah orang-orang yang telah
berhaji."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Mas'ud ibnu Sa'd dan Abdul Wahid ibnu
Ziyad serta Syarik Al-Qadi, dari Al-Ala ibnul Musayyab dengan lafaz yang sama
secara marfu'.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Taliq ibnu Muhammad
Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Asbat (yaitu Ibnu Muhammad), telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Umar (yaitu Al-Faqimi), dari Abu Umamah
At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar,
"Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang suka sewa-menyewakan. Apakah kami
beroleh pahala haji?" Ibnu Umar bertanya, "Bukankah kalian tawaf di Baitullah,
datang di Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambut kalian?" Kami menjawab,
"Memang benar." Ibnu Umar menjawab dengan mengemukakan hadis berikut: Seorang
lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepadanya seperti pertanyaan yang
kamu ajukan kepadaku, maka beliau tidak mengetahui apa yang harus beliau katakan
kepadanya, hingga turunlah Jibril a.s. membawa firman-Nya, "Tidak ada dosa
bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan
kalian" (Al-Baqarah: 198), hingga akhir ayat. Dan Nabi Saw. bersabda,
"Kalian adalah orang-orang yang berhaji."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Ishaq, telah
menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Gundar, dari
Abdur Rahman ibnul Muhajir, dari Abu Saleh maula Umar yang menceritakan bahwa ia
pernah bertanya kepada Khalifah Umar, "Wahai Amirul Muminin, mengapa kalian
berdagang dalam musim haji?" Umar r.a. menjawab, "Karena tiada lain penghidupan
mereka hanyalah dari hasil perniagaan dalam musim haji."
********
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا
أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ
الْحَرَامِ}
Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah
di Masy'aril Haram. (Al-Baqarah: 198)
Sesungguhnya lafaz arafah di-fathah-kan, sekalipun ia sebagai alam
yang muannas, karena pada asalnya berbentuk jamak seperti muslimat
dan muminat, kemudian dijadikan nama untuk suatu daerah tertentu, maka
bentuk asalnya ini dipelihara hingga ia menerima tanwin. Pendapat inilah
yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Arafah merupakan tempat wuquf dalam ibadah haji dan sebagai tiang dari semua
pekerjaan haji. Karena itu, Imam Ahmad dan pemilik kitab-kitab sunan
meriwayatkan sebuah hadis yang sahih sanad-nya:
عَنِ
الثَّوْرِيِّ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَطَاءٍ، عن عبد الرحمن بن يَعْمر
الديَلي، قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "الْحَجُّ
عَرَفَاتٌ -ثَلَاثًا -فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ،
فَقَدْ أَدْرَكَ. وَأَيَّامُ مِنًى ثَلَاثَةٌ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ، وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ"
dari As-Sauri, dari Bukair bin Ata, dari Abdur Rahman ibnu Ya'mur Ad-Daili
yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Haji
itu hanyalah di Arafah —sebanyak tiga kali—. Barang siapa yang menjumpai
(hari) Arafah sebelum fajar menyingsing, berarti dia telah menjumpai haji. Dan
hari-hari Mina itu adalah tiga hari, karenanya barang siapa yang ingin cepat
berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang
siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak
ada dosa baginya.
Waktu wuquf itu dimulai dari tergelincirnya matahari (dari pertengahan
langit) di hari Arafah sampai dengan munculnya fajar yang kedua dari hari
Kurban, karena Nabi Saw. melakukan wuqufnya dalam haji wada' sesudah salat Lohor
sampai dengan matahari terbenam, lalu beliau bersabda:
"لتأخُذوا
عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ"
Ambillah (contoh) manasik-manasik kalian dariku.
Dalam hadis ini Nabi Saw. bersabda pula: Barang siapa yang menjumpai
(hari) Arafah sebelum fajar menyingsing, berarti dia telah menjumpai haji.
Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafii.
Imam Ahmad berpendapat bahwa waktu wuquf dimulai dari permulaan hari Arafah.
Ia dan para pengikutnya mengatakan demikian dengan berdalilkan sebuah hadis dari
Asy-Sya'bi, dari Urwah ibnu Midras ibnu Harisah ibnu Lamut Ta-i yang
menceritakan:
أَتَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُزْدَلِفَةِ، حِينَ
خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي جِئْتُ مِنْ
جَبَليْ طَيْئٍ، أَكْلَلْتُ رَاحِلَتِي، وَأَتْعَبْتُ نَفْسِي، وَاللَّهِ مَا
تَرَكْتُ مِنْ جَبَلٍ إِلَّا وَقَفْتُ عَلَيْهِ، فَهَلْ لِي مِنْ حَج؟ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "من شَهِد صَلَاتَنَا هَذِهِ،
فَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ، وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلًا
أَوْ نَهَارًا، فَقَدْ تَمَّ حَجّه، وَقَضَى تَفَثَه".
Aku datang kepada Rasulullah Saw. di Muzdalifah ketika beliau berangkat untuk
menunaikan salat. Maka aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku datang
dari Pegunungan Ta-i, unta kendaraanku telah lelah dan juga diriku. Demi Allah,
tiada suatu bukit pun yang aku tinggalkan melainkan aku berwuqufpa-danya. Maka
apakah aku memperoleh haji?" Rasulullah Saw. menjawab, "Barang siapa yang
mengikuti salat kami ini dan wuquf bersama kami hingga kami berangkat, sedang
sebelum itu ia telah wuquf di Arafah di malam. atau siang hari, maka
sesungguhnya hajinya telah lengkap dan keperluannya telah dipenuhinya."
Hadis riwayat Imam Ahmad dan As-Habus Sunan dinilai sahih oleh Imam
Turmuzi.
Kemudian dikatakan bahwa sesungguhnya tempat wuquf itu dinamakan Arafah
karena ada sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Abdur Razzaq, telah
menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang menceritakan bahwa Ibnul Musayyab pernah
menceritakan kisah yang pernah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talib seperti
berikut: Allah Swt. mengutus Jibril a.s. kepada Nabi Ibrahim a.s., lalu
menuntunnya menunaikan ibadah haji. Dan ketika sampai di Arafah, Nabi Ibrahim
berkata, "Aku telah kenal daerah ini," sebelum itu Nabi Ibrahim pernah
mendatanginya sekali. Karena itulah maka tempat wuquf dinamakan Arafah.
Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Abul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Ata yang
menceritakan bahwa sesungguhnya tempat wuquf dinamakan Arafah, karena ketika
Malaikat Jibril memperlihatkan kepada Nabi Ibrahim a.s. tempat-tempat manasik,
Nabi Ibrahim berkata, "Aku telah mengenal ini" (yang dalam bahasa Arabnya
disebut 'Araftu), kemudian dinamakanlah Arafah.
Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Abu
Mijlaz.
Arafah dinamakan pula dengan sebutan Al-Masy'aril Haram,
Al-Masy'aril Aqsa, dan Hal, sama wazannya dengan Hilal.
Bukit yang ada di tengah-tengahnya dinamakan Jabal Rahmah. Sehubungan dengan hal
ini Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu syairnya yang terkenal,
yaitu:
وَبِالْمَشْعَرِ الْأَقْصَى إِذَا قَصَدُوا لَهُ ... إِلَالُ إِلَى تِلْكَ الشِّرَاجِ
الْقَوَابِلِ
Apabila mereka hendak melakukan wuquf
maka mereka berada di Al-Masy'aril Aqsa, yaitu dikenal pula dengan sebutan Hal
sebagai kata persamaannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnul Hasan
ibnu Uyaynah, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Zam'ah (yaitu Ibnu
Saleh), dari Salamah ibnu Wahram, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa orang-orang Jahiliah melakukan wuqufnya di Arafah. Manakala
matahari berada di atas bukit seakan-akan seperti kain sorban di atas kepala
laki-laki, maka mereka berangkat. Karena itu, maka Rasululluh Saw. menangguhkan
keberangkatan dari Arafah hingga matahari tenggelam.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui Zam'ah ibnu Saleh,
dan menambahkan, "Kemudian Rasulullah Saw. berhenti di Muzdalifah, lalu
melakukan salat Subuh di pagi buta. Manakala segala sesuatu tampak kuning dan
berada di akhir waktu Subuh, barulah beliau bertolak." Hadis ini lebih baik
sanadnya.
قَالَ
ابْنُ جُرَيْج، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنِ المسْوَر بْنِ مَخْرَمة قَالَ:
خَطَبنا رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وهو بِعَرَفَاتٍ،
فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. ثُمَّ قَالَ: "أَمَّا بَعْدُ -وَكَانَ إِذَا
خَطَبَ خُطْبَةً قَالَ: أَمَّا بَعْدُ -فَإِنَّ هَذَا الْيَوْمَ الحجَ الْأَكْبَرَ،
أَلَا وَإِنَّ أهلَ الشِّرْكِ وَالْأَوْثَانِ كَانُوا يَدْفَعُونَ فِي هَذَا
الْيَوْمِ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، إِذَا كَانَتِ الشَّمْسُ فِي رُؤُوسِ
الْجِبَالِ، كَأَنَّهَا عَمَائِمُ الرِّجَالِ فِي وُجُوهِهَا، وَإِنَّا نَدْفَعُ
بَعْدَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، وَكَانُوا يَدْفَعُونَ مِنَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ
بَعْدَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، إِذَا كَانَتِ الشَّمْسُ فِي رُؤُوسِ الْجِبَالِ
كَأَنَّهَا عَمَائِمُ الرِّجَالِ فِي وُجُوهِهَا وَإِنَّا نَدْفَعُ قَبْلَ أَنْ
تَطْلُعَ الشَّمْسُ، مُخَالفاً هَدْيُنَا هَدْي أَهْلِ الشِّرْكِ".
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Muhammad ibnu Qais, dari Al-Miswar ibnu
Makhramah yang menceritakan hadis berikut: Ketika Rasulullah Saw. berada di
Arafah, beliau berkhotbah kepada kami. Untuk itu beliau mengucapkan hamdalah,
puja serta puji kepada Allah Swt., setelah itu baru beliau bersabda, "Amma
Ba'du, - dan memang kebiasaan beliau apabila berkhotbah selalu mengucapkan
kalimat amma ba'du pada permulaannya- . Sesungguhnya hari ini adalah hari
haji akbar. Ingatlah, sesungguhnya orang-orang musyrik dan para penyembah
berhala berangkat pada hari ini sebelum matahari tenggelam. Yaitu bila
matahari berada di atas bukil-bukit seakan-akan seperti kain sorban laki-laki
yang berlengger di kepalanya. Sesungguhnya kami bertolak sesudah matahari
tenggelam. Dahulu mereka bertolak dari Masy'aril Haram sesudah matahari terbit,
yaitu bila matahari (kelihatan) berada di atas bukit seakan-akan kain sorban
laki-laki yang berlengger di kepalanya. Sesungguhnya kami bertolak sebelum
matahari terbit agar petunjuk kita berbeda dengan petunjuk kaum
musyrik.”
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih, dan hadis ini
berdasarkan lafaz darinya; Imam Hakim meriwayatkannya pula di dalam kitab
Mustadrak-nya, kedua-duanya melalui hadis Abdur Rahman ibnul Mubarak Al-Aisyi,
dari Abdul Waris ibnu Sa'id, dari Ibnu Juraij. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis
ini berpredikat sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak
mengetengahkannya.
Sesungguhnya terbukti dengan benar apa yang telah kami sebutkan di atas yang
menyatakan bahwa Al-Miswar benar-benar mendengar langsung dari Rasulullah Saw.
Tidak seperti apa yang diduga oleh segolongan teman-teman kami yang mengatakan
bahwa Al-Miswar termasuk orang yang hanya pernah melihat Nabi Saw., tetapi tidak
pernah mendengar hadis darinya.
Waki' meriwayatkan dari Syu'bah, dari Ismail ibnu Raja Az-Zubaidi, dari
Al-Ma'rur ibnu Suwaid yang menceritakan bahwa ia pernah melihat sahabat Umar
r.a. ketika bertolak dari Arafah, seakan-akan ia melihatnya seperti lelaki yang
botak dengan mengendarai untanya seraya bertolak dan berkata, "Sesungguhnya kami
menemukan cara berifadah (bertolak) ialah dengan langkah-langkah yang
cepat."
Di dalam hadis Jabir ibnu Abdullah yang cukup panjang yang berada pada kitab
Sahih Muslim disebutkan di dalamnya bahwa Nabi Saw. masih tetap berwuquf, yakni
di Arafah, hingga matahari tenggelam dan awan kuning mulai tampak sedikit,
hingga bulatan matahari benar-benar tenggelam. Nabi Saw. memboncengkan Usamah di
belakangnya, lalu beliau bertolak seraya mengencangkan tali kendali qaswa unta
kendaraannya, sehingga kepala unta kendaraannya hampir menyentuh bagian depan
rahl (pelana)nya, seraya mengisyaratkan dengan tangannya seakan-akan
mengatakan:
"أَيُّهَا
النَّاسُ، السَّكِينَةَ السَّكِينَةَ"
Hai manusia, tenanglah, tenanglah.
Manakala menaiki bukit, beliau mengendurkan tali kendalinya sedikit agar
qaswa dapat naik dengan mudah, hingga sampailah di Muzdalifah, lalu salat Magrib
dan Isya padanya dengan sekali azan dan dua kali iqamah, tidak membaca tasbih
apa pun di antara keduanya.
Kemudian beliau berbaring hingga fajar terbit, lalu salat Subuh ketika fajar
Subuh telah tampak baginya dengan sekali azan dan sekali iqamah. Sesudah itu
beliau mengendarai qaswa dan berangkat hingga sampai di Masy'aril Haram, lalu
menghadap ke arah kiblat dan berdoa kepada Allah seraya bertakbir, bertahlil,
dan menauhidkan-Nya. Beliau Saw. masih tetap dalam keadaan wuquf hingga cahaya
pagi kelihatan kuning sekali. Kemudian beliau bertolak sebelum matahari
terbit.
Di dalam kitab Sahihain, dari Usamah ibnu Zaid disebutkan bahwa ia pernah
ditanya mengenai kecepatan kendaraan Rasulullah Saw. ketika bertolak (dari
Muzdalifah ke Masy'aril Haram). Maka Usamah menjawab bahwa beliau Saw. memacu
kendaraannya dengan langkah-langkah yang sedang; dan apabila menjumpai tanah
yang legok, maka beliau memacunya dengan langkah yang lebih lebar lagi.
Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad
(anak lelaki dari anak perempuan Imam Syafii) dalam surat yang ditujukannya
kepadaku. Ia menceritakannya dari ayahnya atau dari pamannya, dari Sufyan ibnu
Uyaynah sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: Maka apabila kalian telah
bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram.
(Al-Baqarah: 198) Yang dimaksud dengan zikir dalam ayat ini ialah menjamak dua
salat.
Abu Ishaq As-Subai'i meriwayatkan dari Ainr ibnu Maimun, bahwa ia pernah
bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang Masy'aril Haram. Maka Ibnu Amr diam,
tidak menjawab. Tetapi ketika kaki depan unta kendaraan kami mulai mengambil
jalan menurun di Muzdalifah, ia bertanya, "Ke manakah orang yang tadi bertanya
tentang Masy'aril Haram? Inilah Masy'aril Haram."
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari
Az-Zuhri, dari Salim yang mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah berkata, "Masy'aril
Haram adalah seluruh Muzdalifah."
Hisyam meriwayatkan dari Hajjaj, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah
ditanya mengenai makna firman-Nya: Berzikirlah kepada Allah di Masy'aril
Haram. (Al-Baqarah: 198) Maka Ibnu Umar menjawab bahwa Masy'aril Haram ialah
bukit ini dan daerah sekitarnya.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari
Al-Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Ibnu Umar melihat mereka berkumpul di Quzah.
Maka ia berkata, "Mengapa mereka berkumpul di suatu tempat, padahal semua
kawasan ini adalah Masy'aril Haram."
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid,
As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, dan Qatadah, bahwa mereka pernah
mengatakan, "Masy'aril Haram itu terletak di antara kedua buah bukit."
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata letak Muzdalifah,
maka Ata menjawab, "Apabila kamu bertolak dari kedua ma'zam 'Arafah yang menuju
ke arah lembah Muhassar, dan bukan kedua ma'zam 'Arafah itu termasuk bagian dari
Muzdalifah, melainkan jalan menuju ke arah keduanya; maka berhentilah kamu di
antara keduanya jika kamu suka. Aku suka bila kamu berhenti sebelum Quzah.
Sekarang marilah bersamaku untuk memberi kesempatan kepada jalan yang dilalui
oleh orang banyak."
Menurut kami, tempat-tempat untuk menunaikan haji merupakan rambu-rambu yang
sudah jelas, dan sesungguhnya Muzdalifah dinamakan Masy'aril Haram hanyalah
karena masih termasuk bagian dari Tanah Suci. Tetapi apakah melakukan wuquf di
Muzdalifah merupakan rukun haji; bila tidak dilakukan, hajinya tidak sah?
Seperti yang dikatakan oleh segolongan ulama Salaf dan sebagian murid-murid Imam
Syafii, antara lain Al-Qaffal dan Ibnu Khuzaimah, berdasarkan kepada hadis Urwah
ibnu Midras. Ataukah hukumnya wajib, seperti yang dikatakan oleh salah satu dari
dua pendapat Imam Syafii yang mengatakan jika ditinggalkan dapat ditambal dengan
membayar dam Ataukah hukumnya sunat; dengan kata lain, tidak ada sanksi apa pun
bila ditinggalkan, seperti yang dikatakan oleh selainnya? Sehubungan dengan
masalah ini ada tiga pendapat di kalangan para ulama, pembahasannya secara
panjang lebar terdapat dalam kitab lain.
Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Sufyan As-Sauri, dari Zaid ibnu
Aslam, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"عَرَفَةُ
كُلُّهَا مَوْقِفٌ، وَارْفَعُوا عَنْ عُرَنة، وجَمْع كُلُّهَا مَوقف إِلَّا
مُحَسرًا"
Arafah semuanya adalah tempat wuquf, tetapi tinggalkanlah oleh kalian
(lembah Arafah). Dan Jam'un (Arafah) seluruhnya adalah tempat wuquf kecuali
lembah Muhassar.
Hadis ini mursal.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ
عَبْدِ الْعَزِيزِ، حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ
مُطْعِمٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ: "كُلُّ
عَرَفَاتٍ مَوْقِفٌ، وَارْفَعُوا عَنْ عُرَنة. وَكُلُّ مُزْدَلِفَةَ مَوْقِفٌ
وَارْفَعُوا عَنْ مُحَسِّر، وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحر، وَكُلُّ أَيَّامِ
التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ"
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah
menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepadaku
Sulaiman ibnu Musa, dari Jubair ibnu Mut'im, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Semua kawasan Arafah adalah tempat wuquf dan tinggalkanlah oleh kalian
(lembah) Arafah. Muzdalifah seluruhnya adalah tempat wuquf, tetapi tinggalkanlah
oleh kalian lembah Muhassar. Dan seluruh pelosok Mekah adalah tempat
penyembelihan kurban. Dan seluruh hari-hari tasyriq adalah hari-hari
penyembelihan kurban.
Hadis ini pun munqati', karena sesungguhnya Sulaiman ibnu Musa yang dikenal
dengan sebutan Al-Asydaq tidak menjumpai masa Jubair ibnu Mut'im.
Akan tetapi, hadis ini diriwayatkan oleh Al-Walid ibnu Muslim dan Suwaid ibnu
Abdul Aziz, dari Sa’id ibnu Abdul Aziz, dari Sulaiman; dan Al-Walid mengatakan
dari Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya. Sedangkan Suwaid mengatakan dari Nafi'
ibnu Jubair, dari ayahnya, dari Nabi Saw., lalu ia mengetengahkannya.
************
Firman Allah Swt.:
{وَاذْكُرُوهُ
كَمَا هَدَاكُمْ}
Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang di-tunjukkan-Nya
kepada kalian. (Al-Baqarah: 198)
Ayat ini mengingatkan mereka akan limpahan nikmat yang telah diberikan Allah
kepada mereka, yaitu berupa hidayah, keterangan, dan bimbingan kepada masya'irul
hajji. Hal ini sesuai dengan hidayah yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada
Nabi Ibrahim a.s. Karena itulah sesudahnya disebutkan:
{وَإِنْ
كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ}
dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang
sesat. (Al-Baqarah: 198)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan sebelum itu ialah sebelum adanya
petunjuk tersebut. Menurut pendapat yang lain, sebelum adanya Al-Qur'an; dan
menurut pendapat yang lainnya lagi sebelum adanya Rasul Saw. Akan tetapi, pada
prinsipnya masing-masing pendapat berdekatan pengertiannya, saling mengukuhkan
dan benar.
Al-Baqarah, ayat 199
{ثُمَّ
أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (199) }
Kemudian bertolaklah kalian dari tempat
berlolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Lafaz summa dalam ayat ini untuk meng-ataf-kan suatu khabar
kepada khabar yang lain dan menunjukkan pengertian urutannya. Seakan-akan Allah
memerintahkan kepada orang yang wakaf di Arafah agar bertolak menuju Muzdalifah
untuk berzikir kepada Allah Swt. di Masy'aril Haram. Allah memerintahkan
kepadanya agar wuquf bersama orang-orang banyak di Arafah, seperti yang telah
dilakukan oleh mayoritas orang-orang di masa silam, kecuali orang-orang Quraisy;
orang-orang Quraisy tidak mau keluar dari batasan Tanah Suci. Mereka melakukan
wuqufnya di perbatasan Kota Suci yang berdekatan dengan Tanah Halal, lalu mereka
mengatakan, "Kami adalah orang-orang kepercayaan Allah di negeri-Nya dan
pengurus aimah-Nya."
Imam Bukhari meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada
kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa dahulu
orang-orang Quraisy dan orang-orang yang mengikuti mereka berwuquf di
Muzdalifah, lalu mereka menamakannya Al-Hams, sedangkan orang-orang Arab lainnya
berwuquf di Arafah.
Ketika Islam datang, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar datang ke
Arafah, kemudian melakukan wuquf padanya, lalu bertolak darinya. Yang demikian
itu disebutkan di dalam firman-Nya: dari bertolaknya orang-orang.
(Al-Baqarah: 199)
Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Qatadah, As-Saddi, dan
lain-lainnya, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir dan mengatakannya sebagai suatu
kesepakatan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari
Mujahid, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya yang menceritakan,
"Aku pernah kehilangan seekor unta milikku di Arafah, maka aku berangkat
mencarinya. Tiba-tiba aku menjumpai Nabi Saw. sedang wuquf. Maka aku berkata
(kepada diriku sendiri), 'Sesungguhnya hal ini termasuk Hams, apakah gerangan
yang sedang dilakukannya di sini?'."
Riwayat ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab
sahihnya masing-masing.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya pula dari hadis Musa Ibnu Uqbah, dari
Kuraib, dari Ibnu Abbas yang kesimpulannya menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan istilah ifadah (bertolak) dalam ayat ini ialah bertolak dari
Muzdalifah menuju Mina untuk melempar jumrah.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim saja, yang mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan orang-orang dalam ayat ini adalah Nabi Ibrahim a.s.,
juga menurut salah satu riwayat lainnya yang ada pada Imam (Ibnu Jarir). Ibnu
Jarir mengatakan, "Seandainya tidak ada kesepakatan hujah yang memberikan
pengertian sebaliknya, niscaya riwayat ini lebih kuat."
*************
Firman Allah Swt.:
{وَاسْتَغْفِرُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 199)
Allah Swt. sering memerintahkan berzikir sesudah menunaikan ibadah. Karena
itulah maka di dalam sebuah hadis sahih dalam kitab Sahih Muslim disebutkan
bahwa Rasulullah Saw. apabila selesai dari salat selalu membaca istigfar
sebanyak tiga kali. Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Nabi Saw.
menganjurkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak tiga puluh tiga kali
(masing-masing).
Dalam bab ini Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Abbas ibnu Mirdas
As-Sulami tentang pemiohonan ampun Nabi Saw. buat umatnya pada sore hari Arafah.
Kami telah menghimpunnya di dalam sebuah kitab mengenai keutamaan hari
Arafah.
Ibnu Murdawaih dalam bab ini meriwayatkan sebuah hadis yang diketengahkan
oleh Imam Bukhari, dari Syaddad ibnu Aus yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
«سَيِّدُ
الِاسْتِغْفَارِ أَنْ يَقُولَ الْعَبْدُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي، لَا إِلَهَ
إِلَّا أَنْتَ، خَلَقْتِنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ
مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ
عَلِيَّ، وَأَبُوءُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ
إِلَّا أَنْتَ، مَنْ قَالَهَا فِي لَيْلَةٍ فَمَاتَ فِي لَيْلَتِهِ دَخَلَ
الْجَنَّةَ، وَمَنْ قَالَهَا فِي يَوْمِهِ فَمَاتَ دَخَلَ
الْجَنَّةَ»
Penghulu istigfar ialah bacaan seorang hamba akan doa berikut: "Ya Allah,
Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau, Engkaulah yang menciptakan
diriku, dan aku adalah hamba-Mu, dan aku berada di bawah perintah-Mu dan
janji-Mu menurut kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahalan apa yang
telah kuperbuat, aku kembali kepada-Mu dengan semua nikmat yang telah Engkau
berikan kepadaku, dan aku kembali kepada-Mu dengan semua dosaku. Maka ampunilah
daku, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang dapat mengampuni dosa-dosa
kecuali hanya Engkau." Barang siapa yang membacanya di suatu malam, lalu di
malam itu juga ia meninggal dunia, niscaya ia masuk surga. Dan barang siapa yang
membacanya di siang hari, lalu ia meninggal dunia. niscaya masuk surga.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis dari Abdullah ibnu Umar,
bahwa Abu Bakar pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu
doa yang akan kubacakan dalam salatku." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"قُلِ:
اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ
إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي، إنَّك أَنْتَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ"
Katakanlah, "Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri
dengan perbuatan aniaya yang banyak sekali, sedangkan tiada seorang pun yang
dapat memberikan ampunan kecuali Engkau; maka ampunilah aku dengan ampunan dari
sisi-Mu dan belas kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi
Maha Penyayang."
Hadis-hadis mengenai istigfar cukup banyak, dan yang disebutkan di sini hanya
sebagian kecil saja.
No comments