Muslim Notebook Header Ads

002. Surat Al-Baqoroh Ayat 151 - 199 - Tafsir Ibnu Katsir - Muslim Notebook

 

Al-Baqarah, ayat 151-152

{كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (151) فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ (152) }
Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di antara kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan menyucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian Al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat-Ku).

Allah Swt. mengingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin akan nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, yaitu diutus-Nya seorang Rasul —yakni Nabi Muhammad Saw.— untuk membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah yang jelas; menyucikan serta membersihkan mereka dari akhlak-akhlak yang rendah, jiwa-jiwa yang kotor, dan perbuatan-perbuatan Jahiliah; mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, mengajarkan kepada mereka Al-Qur'an dan sunnah, serta mengajarkan kepada mereka banyak hal yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Di zaman Jahiliah mereka hidup dalam kebodohan yang menyesatkan. Akhirnya berkat barakah risalah Nabi Saw. dan misi yang diembannya, mereka menjadi orang-orang yang dikasihi oleh Allah, berwatak sebagai ulama, dan menjadi orang-orang yang berilmu paling mendalam, memiliki hati yang suci, paling sedikit bebannya, dan paling jujur ungkapannya.
Allah Swt. berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka. (Ali Imran: 164), hingga akhir ayat.
Allah Swt. mencela orang yang tidak menghargai nikmat ini. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دارَ الْبَوارِ

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? (Ibrahim: 28)

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan nikmat ini ialah nikmat yang berupa diutus-Nya Nabi Muhammad Saw. kepada mereka. Karena itulah maka Allah menyerukan kepada orang-orang mukmin agar mengakui nikmat ini dan membalasnya dengan banyak berzikir menyebut asma-Nya dan bersyukur kepada-Nya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku. (Al-Baqarah: 152)

Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di antara kalian. (Al-Baqarah: 151) Yakni sebagaimana Aku telah melimpahkan nikmat kepada kalian, maka ingatlah kalian kepada-Ku.

Abdullah ibnu Wahb meriwayatkan dari Hisyam ibnu Sa'id, dari Zaid ibnu Aslam, bahwa Nabi Musa pernah berkata, "Wahai Tuhan-ku, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu?" Tuhan berfirman kepadanya, "Ingatlah Aku dan jangan kamu lupakan Aku. Maka apabila kamu ingat kepada-Ku, berarti kamu telah bersyukur kepada-Ku. Apabila kamu lupa kepada-Ku, berarti kamu ingkar kepada-Ku."
Al-Hasan Al-Basri, Abul Aliyah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa Allah Swt. selalu mengingat orang yang ingat kepada-Nya, memberikan tambahan nikmat kepada orang yang bersyukur kepada-Nya, dan mengazab orang yang ingkar terhadap-Nya.

Salah seorang ulama Salaf mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya:
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ

Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya. (Ali Imran: 102)

Bahwa makna yang dimaksud ialah hendaknya kita taat kepada-Nya dan tidak durhaka terhadap-Nya, selalu ingat kepada-Nya dan tidak melupakan-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak ingkar terhadap-Nya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Imarah As-Saidalani, telah menceritakan kepada kami Makhul Al-Azdi yang mengatakan asar berikut, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, "Bagaimanakah menurutmu tentang orang yang membunuh jiwa, peminum khamr, pencuri, dan pezina yang selalu ingat kepada Allah, sedangkan Allah Swt. telah berfirman:  'Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian ' (Al-Baqarah: 152)?" Ibnu Umar menjawab, "Apabila Allah mengingat orang ini, maka Dia mengingatnya melalui laknat-Nya hingga dia diam."

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian. (Al-Baqarah: 152) Makna yang dimaksud ialah: "Ingatlah kalian kepada-Ku dalam semua apa yang telah Kufardukan atas kalian, maka niscaya Aku akan mengingat kalian dalam semua apa yang Aku wajibkan bagi kalian atas diri-Ku".

Menurut Sa'id ibnu Jubair artinya: "Ingatlah kalian kepada-Ku dengan taat kepada-Ku, niscaya Aku selalu ingat kepada kalian dengan magfirah (ampunan)-Ku". Menurut riwayat yang lain disebutkan "dengan rahmat-Ku".

Dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya:  Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian. (Al-Baqarah: 152) Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah 'ingat Allah kepada kalian jauh lebih banyak daripada ingat kalian kepada-Nya'.

Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
"يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ خَيْرٍ مِنْهُ".

Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang ingat kepada-Ku di dalam dirinya, niscaya Aku ingat (pula) kepadanya di dalam diri-Ku; dan barang siapa yang ingat kepada-Ku di dalam suatu golongan, niscaya Aku ingat (pula) kepadanya di dalam golongan yang lebih baik daripada golongannya."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنْ ذَكَرْتَنِي فِي نَفْسِكَ ذَكَرْتُكَ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرْتَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُكَ، فِي مَلَأٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ -أَوْ قَالَ: [فِي] مَلَأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ -وَإِنْ دَنَوْتَ مِنِّي شِبْرًا دَنَوْتُ مِنْكَ ذِرَاعًا، وَإِنْ دَنَوْتَ مِنِّي ذِرَاعًا دَنَوْتُ مِنْكَ بَاعًا، وَإِنْ أَتَيْتَنِي تَمْشِي أَتَيْتُكَ أُهَرْوِلُ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Hai anak Adam, jika kamu ingat kepada-Ku di dalam dirimu, niscaya Aku ingat pula kepadamu di dalam diri-Ku. Dan jika kamu mengingat-Ku di dalam suatu golongan, niscaya Aku ingat pula kepadamu di dalam golongan dari kalangan para malaikat -atau beliau Saw. bersabda, 'Di dalam golongan yang lebih baik dari golonganmu'-. Dan jika kamu mendekat kepada-Ku satu jengkal, niscaya Aku mendekat kepadamu satu hasta. Dan jika kamu mendekat kepada-Ku satu hasta, niscaya Aku mendekat kepadamu satu depa. Dan jika kamu datang kepada-Ku jalan kaki, niscaya Aku datang kepadamu dengan berlari kecil.

Sanad hadis ini sahih, diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Qatadah yang di dalamnya disebutkan bahwa Qatadah mengatakan, "Makna yang dimaksud dari keseluruhannya ialah rahmat Allah lebih dekat kepadanya."
************

Firman Allah Swt.:
{وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ}

Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku. (Al-Baqarah: 152)

Allah Swt. memerintahkan bersyukur dan menjanjikan pahala bersyukur berupa tambahan kebaikan dari-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat)-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim: 7)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْفُضَيْلِ  بْنِ فَضَالَةَ -رَجُلٍ مِنْ قَيْسٍ- حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيُّ، قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ وَعَلَيْهِ مطْرف مِنْ خَزٍّ لَمْ نَرَهُ عَلَيْهِ قَبْلَ ذَلِكَ وَلَا بَعْدَهُ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ نِعْمَةً فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى خَلْقِهِ". وَقَالَ رَوْحٌ مَرَّةً: "عَلَى عَبْدِهِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Fudail ibnu Fudalah (seorang lelaki dari kalangan Bani Qais), telah menceritakan kepada kami Abu Raja Al-Ataridi yang mengatakan bahwa Imran Ibnu Husain keluar menemui kami memakai jubah kain sutra campuran yang belum pernah kami lihat dia memakainya, baik sebelum itu ataupun sesudahnya. Lalu ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa dianugerahi suatu nikmat oleh Allah, maka sesungguhnya Allah menyukai bila melihat penampilan dari nikmat yang telah Dia berikan kepada makhluk-Nya. Dan adakalanya Rauh mengatakan 'kepada hamba-Nya".

Al-Baqarah, ayat 153-154

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (153) وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ (154) }
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya.

Setelah Allah Swt. menerangkan perintah untuk bersyukur kepada-Nya, maka melalui ayat ini Dia menjelaskan perihal sabar dan hikmah yang terkandung di dalam masalah menjadikan sabar dan salat sebagai penolong serta pembimbing. Karena sesungguhnya seorang hamba itu adakalanya berada dalam kenikmatan, lalu ia mensyukurinya; atau berada dalam cobaan, lalu ia bersabar menanggungnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh sebuah hadis yang mengatakan:
"عَجَبًا لِلْمُؤْمِنِ. لَا يَقْضِي اللَّهُ لَهُ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ، فَشَكَرَ، كَانَ خَيْرًا لَهُ؛ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ فَصَبَرَ كَانَ خَيْرًا لَهُ".

Mengagumkan perihal orang mukmin itu. Tidak sekali-kali Allah menetapkan suatu ketetapan baginya, melainkan hal itu baik belaka baginya. Jika dia mendapat kesenangan, maka bersyukurlah dia yang hal ini adalah lebih baik baginya; dan jika tertimpa kesengsaraan, maka bersabarlah dia yang hal ini adalah lebih baik baginya.

Allah Swt. menjelaskan bahwa sarana yang paling baik untuk menanggung segala macam cobaan ialah dengan sikap sabar dan banyak salat, seperti yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّها لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخاشِعِينَ

Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Al-Baqarah: 45)

Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَه أَمْرٌ صَلَّى

Rasulullah Saw. apabila mendapat suatu cobaan, maka beliau mengerjakan salat.
Sabar itu ada dua macam, yaitu sabar dalam meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan dosa-dosa, serta sabar dalam mengerjakan ketaatan dan amal-amal taqarrub. Jenis yang kedua inilah yang lebih utama, mengingat ia adalah tujuan utama. Adapun jenis sabar lainnya yaitu sabar dalam menanggung berbagai macam musibah dan cobaan, jenis ini pun hukumnya wajib; perihalnya sama dengan istigfar (memohon ampun) dari segala macam cela.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa sabar itu ada dua macam, yaitu: Sabar karena Allah dalam mengerjakan hal-hal yang disukai oleh Allah, sekalipun berat terasa oleh jiwa dan raga; dan sabar karena Allah dalam meninggalkan hal-hal yang dibenci oleh-Nya, sekalipun bertentangan dengan kehendak hawa nafsu sendiri. Barang siapa yang demikian keadaannya, maka dia termasuk orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang beroleh keselamatan. Insya Allah.
Ali ibnul Husain Zainul Abidin mengatakan, apabila Allah menghimpun semua manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, maka terdengarlah suara seruan, "Di manakah orang-orang sabar? Hendaklah mereka masuk ke surga sebelum ada hisab (tanpa hisab)!" Maka bangkitlah segolongan manusia, lalu mereka bersua dengan para malaikat yang bertanya kepada mereka, "Hendak ke manakah kalian, hai anak Adam?" Mereka menjawab, "Ke surga." Para malaikat bertanya, "Sebelum ada hisab?" Mereka menjawab, "Ya." Para malaikat bertanya, "Siapakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang sabar." Para malaikat bertanya, "Apakah sabar kalian?" Mereka menjawab, "Kami sabar dalam mengerjakan taat kepada Allah dan sabar dalam meninggalkan maksiat terhadap Allah, hingga Allah mewafatkan kami." Para malaikat berkata, "Kalian memang seperti apa yang kalian katakan, sekarang masuklah kalian semua ke dalam surga, maka sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal adalah kalian."
Menurut kami, hal ini dapat dibuktikan dengan nas firman Allah Swt. yang mengatakan:
إِنَّما يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab (batas). (Az-Zumar: 10)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa sabar itu merupakan pengakuan seorang hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya, dan ia jalani hal ini dengan penuh ketabahan karena mengharapkan pahala yang ada di sisi-Nya. Adakalanya seorang lelaki itu berkeluh kesah, tetapi dia tabah dan tiada yang kelihatan dari dirinya melainkan hanya kesabaran semata.
**************

Firman Allah Swt.:
{وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ}

Dan janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu. hidup. (Al-Baqarah: 154)
Melalui ayat ini Allah Swt. memberitahukan bahwa orang-orang yang mati syahid di alam barzakhnya dalam keadaan hidup, mereka diberi rezeki oleh Allah; seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih Muslim,
"إِنَّ أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي حَوَاصِلِ طَيْرٍ خُضْرٍ تَسْرَحُ فِي الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مُعَلَّقة تَحْتَ الْعَرْشِ، فاطَّلع عَلَيْهِمْ رَبُّكَ اطِّلاعَة، فَقَالَ: مَاذَا تَبْغُونَ؟ فَقَالُوا: يَا رَبَّنَا، وَأَيُّ شَيْءٍ نَبْغِي، وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ؟ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِمْ بِمِثْلِ هَذَا، فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَا يُتْرَكُون مِنْ أَنْ يَسْأَلُوا، قَالُوا: نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّنَا إِلَى الدَّارِ الدُّنْيَا، فَنُقَاتِلَ فِي سَبِيلِكَ، حَتَّى نُقْتَلَ فِيكَ مَرَّةً أُخْرَى؛ لِمَا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ الشَّهَادَةِ -فَيَقُولُ الرَّبُّ جَلَّ جَلَالُهُ: إِنِّي كتبتُ أنَّهم إِلَيْهَا لَا يَرْجِعُونَ"

bahwa arwah para syuhada itu berada di dalam perut burung-burung hijau yang terbang di dalam surga ke mana saja yang mereka kehendaki. Kemudian burung-burung itu hinggap di lentera-lentera yang bergantung di bawah 'Arasy. Kemudian Tuhanmu menjenguk mereka, dalam sekali jengukan-Nya Dia berfirman, "Apakah yang kalian inginkan?" Mereka menjawab, "Wahai Tuhan kami, apa lagi yang kami inginkan, sedangkan Engkau telah memberi kami segala sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun di antara makhluk-Mu?" Kemudian Allah mengulangi hal itu terhadap mereka. Manakala mereka didesak terus dan tidak ada jalan lain kecuali mengemukakan permintaannya, akhirnya mereka berkata, "Kami menginginkan agar Engkau mengembalikan kami ke dalam kehidupan di dunia, lalu kami akan berperang lagi di jalan-Mu hingga kami gugur lagi karena membela Engkau," mengingat mereka telah merasakan pahala dari mati syahid yang tak terperikan itu. Maka Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku telah memastikan bahwa mereka tidak dapat kembali lagi ke dunia (sesudah mereka mati)."
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ، عَنِ الْإِمَامِ مَالِكٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نَسَمَةُ الْمُؤْمِنِ طَائِرٌ تَعْلَقُ فِي شَجَرِ الْجَنَّةِ، حَتَّى يُرْجِعَهُ اللَّهُ إِلَى جَسَدِهِ يَوْمَ يَبْعَثُهُ"

dari Imam Syafii, dari Imam Malik, dari Az-Zuhri, dari Abdur Rahman ibnu Ka'b ib'nu Malik, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Roh orang mukmin itu merupakan burung yang hinggap di pepohonan surga, hingga Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari dia dibangkitkan.
Di dalam hadis ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa hal tersebut menyangkut semua orang mukmin lainnya, hanya saja arwah para syuhada secara khusus disebutkan di dalam Al-Qur'an sebagai penghormatan buat mereka dan memuliakan serta mengagungkan derajat mereka.

Al-Baqarah, ayat 155-157

{وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157) }

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia pasti menimpakan cobaan kepada hamba-hamba-Nya, yakni melatih dan menguji mereka. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبارَكُمْ

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui (supaya nyata) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwal kalian. (Muhammad: 31)
Adakalanya Allah Swt. mengujinya dengan kesenangan dan adakalanya mengujinya dengan kesengsaraan berupa rasa takut dan rasa lapar, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
فَأَذاقَهَا اللَّهُ لِباسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ

Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan. (An-Nahl: 112)

Di dalam surat ini Allah Swt. berfirman:
{بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ}

dengan sedikit ketakutan dan kelaparan. (Al-Baqarah: 155)
Yang dimaksud dengan sesuatu ialah sedikit.

Sedangkan firman-Nya:
{وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ}

dan kekurangan harta. (Al-Baqarah: 155)

Yakni lenyapnya sebagian harta.
{وَالأنْفُسِ}

dan kekurangan jiwa. (Al-Baqarah: 155)
Yaitu dengan meninggalnya teman-teman, kaum kerabat, dan kekasih-kekasih.
{وَالثَّمَرَاتِ}

dan kekurangan buah-buahan. (Al-Baqarah: 155)
Yakni kebun dan lahan pertanian tanamannya tidak menghasilkan buahnya sebagaimana kebiasaannya (menurun produksinya). Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa sebagian pohon kurma sering tidak berbuah; hal ini dan yang semisal dengannya merupakan suatu cobaan yang ditimpakan oleh Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang sabar, maka ia mendapat pahala; dan barang siapa tidak sabar, maka azab-Nya akan menimpanya. Karena itulah, maka di penghujung ayat ini disebutkan:
{وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ}

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 155)
Salah seorang Mufassirin meriwayatkan bahwa makna yarg dimaksud dengan al-khauf ialah takut kepada Allah, al-ju'u ialah puasa bulan Ramadan, naqsul amwal ialah zakat harta benda, al-anfus ialah berbagai macam sakit, dan samarat ialah anak-anak. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang yang sabar yang mendapat pahala dari Allah ialah mereka yang disebutkan di dalam firman berikut:
{الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ}

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. (Al-Baqarah: 156)
Yakni mereka menghibur dirinya dengan mengucapkan kalimat tersebut manakala mereka tertimpa musibah, dan mereka yakin bahwa diri mereka adalah milik Allah. Dia memberlakukan terhadap hamba-hamba-Nya menurut apa yang Dia kehendaki. Mereka meyakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala di sisi-Nya seberat biji sawi pun kelak di hari kiamat. Maka ucapan ini menanamkan di dalam hati mereka suatu pengakuan yang menyatakan bahwa diri mereka adalah hamba-hamba-Nya dan mereka pasti akan kembali kepada-Nya di hari akhirat nanti. Karena itulah maka Allah Swt. memberita-hukan tentang pahala yang akan diberikan-Nya kepada mereka sebagai imbalan dari hal tersebut melalui firman-Nya:
{أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ}

Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157)
Maksudnya, mendapat pujian dari Allah Swt. Sedangkan menurut Sa'id ibnu Jubair, yang dimaksud ialah aman dari siksa Allah.
*************

Firman Allah Swt.:
{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ}

Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157)
Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan bahwa sebaik-baik kedua jenis pahala ialah yang disebutkan di dalam firman-Nya: Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157) Kedua jenis pahala tersebut adalah berkah dan rahmat yang sempurna. Dan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:  Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157) adalah pahala tambahannya, yang ditambahkan kepada salah satu dari kedua sisi timbangan hingga beratnya bertambah. Demikian pula keadaan mereka; mereka diberi pahala yang setimpal berikut tambahannya.
Sehubungan dengan pahala membaca istirja' di saat tertimpa musibah, banyak hadis-hadis yang menerangkannya. Yang dimaksud dengan istirja' ialah ucapan Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kita semua dikembalikan).
Antara lain ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang mengatakan:
حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ -يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ -عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرو، عَنِ الْمُطَّلِبِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَتَانِي أَبُو سَلَمَةَ يَوْمًا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَقَدْ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا سُررْتُ بِهِ. قَالَ: "لَا يُصِيبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ عِنْدَ مُصِيبَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أجُرني فِي مُصِيبَتِي واخلُف لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا فُعِل ذَلِكَ بِهِ". قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَحَفِظْتُ ذَلِكَ مِنْهُ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ اسْتَرْجَعْتُ وَقُلْتُ: اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخَلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهُ، ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى نَفْسِي. فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ لِي خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ؟ فَلَمَّا انْقَضَتْ عدَّتي اسْتَأْذَنَ عَلِيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَأَنَا أَدْبُغُ إِهَابًا لِي -فَغَسَلْتُ يَدِي مِنَ القَرَظ وَأَذِنْتُ لَهُ، فَوَضَعْتُ لَهُ وِسَادَةَ أَدَمٍ حَشْوُها لِيفٌ، فَقَعَدَ عَلَيْهَا، فَخَطَبَنِي إِلَى نَفْسِي، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ مَقَالَتِهِ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا بِي أَلَّا يَكُونَ بِكَ الرَّغْبَةُ، وَلَكِنِّي امْرَأَةٌ، فِيَّ غَيْرة شَدِيدَةٌ، فَأَخَافَ أَنْ تَرَى مِنِّي شَيْئًا يُعَذِّبُنِي اللَّهُ بِهِ، وَأَنَا امْرَأَةٌ قَدْ دخلتُ فِي السِّنِّ، وَأَنَا ذَاتُ عِيَالٍ، فَقَالَ: "أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذهبها اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ عَنْكِ. وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّن فَقَدْ أَصَابَنِي مثلُ الذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي". قَالَتْ: فَقَدْ سلَّمْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَتَزَوَّجَهَا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت أُمُّ سَلَمَةَ بَعْدُ: أَبْدَلَنِي اللَّهُ بِأَبِي سَلَمَةَ خَيْرًا مِنْهُ، رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'd), dari Yazid ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnul Had, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa pada suatu hari Abu Salamah datang kepadanya sepulang dari Rasulullah Saw. Lalu Abu Salamah berkata, "Aku telah mendengar langsung dari Rasulullah Saw. suatu ucapan yang membuat hatiku gembira karenanya." Beliau Saw. telah bersabda:  Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia membaca istirja' ketika musibah menimpanya, kemudian mengucapkan, "Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah buatku yang lebih baik daripadanya," melainkan diberlakukan kepadanya apa yang dimintanya itu. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku hafal doa tersebut darinya. Ketika Abu Salamah meninggal dunia, maka aku ber-istirja'' dan kuucapkan pula, 'Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan berilah daku ganti yang lebih baik daripada dia.' Kemudian aku berkata kepada diriku sendiri, 'Dari manakah aku mendapatkan suami yang lebih baik daripada Abu Salamah?' Tatkala masa idahku habis, Rasulullah Saw. meminta izin untuk menemuiku; ketika itu aku sedang menyamak selembar kulit milikku. Maka aku mencuci kedua tanganku dari cairan qaraz (bahan penyamak), dan aku izinkan beliau Saw. masuk, lalu aku letakkan sebuah bantal kulit yang berisikan sabut, kemudian Rasulullah Saw. duduk di atasnya dan mulailah beliau Saw. melamarku. Setelah Rasulullah Saw. selesai dari ucapannya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak menyangka kalau engkau mempunyai hasrat kepada diriku, sedangkan diriku ini adalah seorang wanita yang sangat pencemburu, maka aku merasa khawatir bila kelak engkau akan melihat dari diriku sesuatu hal yang menyebabkan Allah akan mengazabku karenanya. Aku juga seorang wanita yang sudah berumur serta mempunyai banyak tanggungan anak-anak.' Maka Rasulullah Saw. bersabda, 'Adapun mengenai cemburu yang kamu sebutkan, mudah-mudahan Allah Swt. akan melenyapkannya dari dirimu. Dan mengenai usia yang telah kamu sebutkan, sesungguhnya aku pun mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami (berusia lanjut). Dan mengenai anak-anak yang kamu sebutkan tadi, sesungguhnya anak-anak tanggunganmu itu nanti akan menjadi tanggunganku pula'." Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku memasrahkan diriku kepada Rasulullah Saw." Kemudian Rasulullah Saw. mengawininya. Sesudah itu Ummu Salamah mengatakan, "Allah Swt. telah menggantikan Abu Salamah dengan orang yang lebih baik daripada dirinya, yaitu Rasulullah Saw."
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ummu Salamah. Ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ: {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} اللَّهُمَّ أجُرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها، إلا آجَرَهُ اللَّهُ مِنْ مُصِيبَتِهِ، وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا" قَالَتْ: فَلَمَّا تُوُفي أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِي خَيْرًا مِنْهُ: رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Tidak sekali-kali seorang hamba tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepada-Nyalah dikembalikan). Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah kepadaku yang lebih baik daripadanya," melainkan Allah akan memberinya pahala dalam musibahnya itu dan menggantikan kepadanya apa yang lebih baik daripadanya.  Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku mengucapkan doa seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. itu. Maka Allah memberikan gantinya kepadaku dengan yang lebih baik daripada Abu Salamah, yaitu Rasulullah Saw. sendiri."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، وعَبَّاد بْنُ عَبَّادٍ قَالَا حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي هِشَامٍ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ أُمِّهِ، عَنْ فَاطِمَةَ ابْنَةِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ وَلَا مُسَلَمَةَ يُصَابُ بِمُصِيبَةٍ فَيَذْكُرُهَا وَإِنْ طَالَ عَهْدُهَا -وَقَالَ عَبَّادٌ: قَدُمَ عَهْدُهَا -فَيُحْدِثُ لِذَلِكَ اسْتِرْجَاعًا، إِلَّا جَدَّدَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ ذَلِكَ فَأَعْطَاهُ مِثْلَ أَجْرِهَا يَوْمَ أُصِيبَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid dan Abbad ibnu Abbad. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami ibnu Abu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki atau perempuan muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia mengingatnya, sekalipun waktunya telah berlalu —Abbad mengatakan, "Sekalipun waktunya telah silam"—, kemudian ingatannya itu menggerakkannya untuk membaca istirja', melainkan Allah memperbarui untuknya saat itu dan memberikan kepadanya pahala yang semisal dengan pahala ketika di hari ia tertimpa musibah.
Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah di dalam kitab sunannya, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Waki', dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayah-nya. Ismail ibnu Ulayyah dan Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan pula hadis yang sama, dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah, dari ayahnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ السَّالَحِينِيُّ، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ قَالَ: دفنتُ ابْنًا لِي، فَإِنِّي لَفِي الْقَبْرِ إِذْ أَخَذَ بِيَدِي أَبُو طَلْحَةَ -يَعْنِي الْخَوْلَانِيُّ -فَأَخْرَجَنِي، وَقَالَ لِي: أَلَا أُبَشِّرُكَ؟ قُلْتُ: بَلَى. قَالَ: حَدَّثَنِي الضَّحَّاكُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عرْزَب، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ :يَا مَلَكَ الْمَوْتِ، قبضتَ وَلَدَ عَبْدِي؟ قَبَضْتَ قُرَّة عَيْنِهِ وَثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ: فَمَا قَالَ؟ قَالَ: حَمِدَك وَاسْتَرْجَعَ، قَالَ: ابْنُو لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ، وسمُّوه بيتَ الْحَمْدِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq As-Sailahini, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Samalah, dari Abu Sinan yang menceritakan, "Aku baru menguburkan salah seorang anakku yang meninggal dunia. Ketika aku masih berada di pekuburan, tiba-tiba tanganku dipegang oleh Abu Talhah Al-Aulani, lalu ia mengeluarkan aku dari pekuburan itu dan berkata kepadaku, 'Maukah engkau aku sampaikan berita gembira kepadamu?' Aku menjawab, 'Tentu saja mau'." Abu Talhah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Ad-Dahhak ibnu Abdur Rahman ibnu Auzab, dari Abu Musa yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah berfirman, "Hai malaikat maut, engkau telah mencabut anak hamba-Ku, engkau telah mencabut nyawa penyejuk mata dan buah hatinya!" Malaikat maut menjawab, "Ya." Allah Swt. bertanya, "Lalu apa yang dikatakannya?" Malaikat maut menjawab, "Dia memuji dan ber-istirja' kepada-Mu." Allah Swt. berfirman, "Bangunkanlah buatnya sebuah gedung di dalam surga dan namailah gedung itu dengan sebutan Baitul Hamdi (rumah pujian)."
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ali ibnu Ishaq, dari Abdullah ibnul Mubarak, lalu ia mengetengahkannya. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Suwaid ibnu Nasr, dari Ibnul Mubarrak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Nama asli Abu Sinan ialah Isa ibnu Sinan.

Al-Baqarah, ayat 158

{إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ (158) }

Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Bailullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْهَاشِمِيُّ، أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ: أَرَأَيْتِ قَوْلَ الله تَعَالَى: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا} قُلْتُ: فَوَاللَّهِ مَا عَلَى أَحَدٍ جُنَاحٌ أَنْ لَا يطَّوف بِهِمَا؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: بِئْسَمَا قُلْتَ يَا ابْنَ أُخْتِي إِنَّهَا لَوْ كَانَتْ عَلَى مَا أوّلتَها عليه كانت: فلا جناح عليه أَلَّا يَطَّوَفَ بِهِمَا، وَلَكِنَّهَا إِنَّمَا أُنْزِلَتْ أَنَّ الْأَنْصَارَ كَانُوا قَبْلَ أَنْ يُسْلِمُوا كَانُوا يُهِلّون لِمَنَاةَ الطَّاغِيَةِ، التِي كَانُوا يَعْبُدُونَهَا عِنْدَ المُشلَّل. وَكَانَ مَنْ أهلَّ لَهَا يَتَحَرَّجُ أَنْ يطوَّف بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَسَأَلُوا عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا نَتَحَرَّجُ أَنْ نطَّوف بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا} قَالَتْ عَائِشَةُ: ثُمَّ قَدْ سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّوَافَ بِهِمَا، فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَدع الطَّوَافَ بِهِمَا.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Sa'd, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah. Urwah menceritakan bahwa Siti Aisyah pernah berkata kepadanya, bagaimanakah pendapatmu mengenai makna firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. (Al-Baqarah: 158) Aku menjawab, "Demi Allah, tidak ada dosa bagi seseorang bila dia tidak melakukan tawaf di antara keduanya." Siti Aisyah berkata, "Alangkah buruknya apa yang kamu katakan itu, hai anak saudara perempuanku. Sesungguhnya bila makna ayat ini seperti apa yang engkau takwilkan, maka maknanya menjadi 'Tidak ada dosa bagi seseorang bila tidak tawaf di antara keduanya'. Akan tetapi, ayat ini diturunkan hanyalah karena orang-orang Ansar di masa lalu sebelum mereka masuk Islam, mereka selalu ber-ihlal untuk berhala Manat sesembahan mereka yang ada di Musyallal (tempat yang terletak di antara Safa dan Marwah), dan orang-orang yang pernah melakukan ihlal untuk berhala Manat merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah. Lalu mereka menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah karena masa Jahiliah kami. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya '(Al-Baqarah: 158). Siti Aisyah r.a. berkata, "Kemudian Rasulullah Saw. menetapkan (mewajibkan) sa'i antara keduanya, maka tiada alasan bagi seseorang untuk tidak melakukan sa'i di antara keduanya."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Sahihain.
Di dalam sebuah riwayat dari Az-Zuhri disebutkan, ia mengatakan bahwa ia menceritakan hadis ini kepada Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam. Maka Abu Bakar ibnu Abdur Rahman menjawab, "Sesungguhnya pengetahuan mengenai ini belum pernah kudengar, dan sesungguhnya aku pernah mendengar dari banyak lelaki dari kalangan ahlul 'ilmi. Mereka mengatakan, 'Sesungguhnya orang-orang —kecuali yang disebutkan oleh Siti Aisyah— mengatakan bahwa tawaf di antara kedua batu ini (Safa dan Marwah) termasuk perbuatan Jahiliah.' Orang-orang lain dari kalangan Ansar mengatakan, 'Sesungguhnya kami hanya diperintahkan melakukan tawaf di Baitullah dan tidak diperintahkan untuk tawaf antara Safa dan Marwah.' Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 'Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah ' (Al-Baqarah: 158). Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Barangkali ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka (sebagian ahlul ilmi) dan mereka (kalangan orang-orang Ansar) yang lainnya."
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadis Malik, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang lafaznya semisal dengan hadis di atas.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ سُليمان قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسًا عَنِ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَ: كُنَّا نَرَى ذَلِكَ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ الْإِسْلَامُ أَمْسَكْنَا عَنْهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ}

Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Asim ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah, bertanya kepada Anas r.a. tentang masalah Safa dan Marwah. Maka Anas r.a. menjawab, "Pada mulanya kami menganggap termasuk perkara Jahiliah. Ketika Islam datang, maka kami berhenti melakukan tawaf di antara keduanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah bagian dari syiar Allah.' (Al-Baqarah: 158)
Imam Qurtubi menyebutkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa setan-setan menyebar di antara Safa dan Marwah di sepanjang malam, di antara keduanya banyak terdapat berhala-berhala. Ketika Islam datang, mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang melakukan sa'i di antara keduanya, maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 158).
Asy-Sya'bi mengatakan, "Dahulu berhala Isaf berada di atas Safa, dan berhala Nailah berada di atas Marwah; mereka selalu mengusap keduanya. Akhirnya mereka merasa berdosa sesudah masuk Islam untuk melakukan tawaf di antara keduanya. Maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 158).
Menurut kami, Muhammad ibnu Ishaq menyebutkan di dalam kitab Sirah-nya bahwa berhala Isaf dan Nailah pada mulanya adalah dua orang manusia (laki-laki dan perempuan), lalu keduanya berzina di dalam Ka'bah, maka keduanya dikutuk menjadi batu. Kemudian orang-orang Quraisy memancangkan keduanya di dekat Ka'bah untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi orang lain. Ketika masa berlalu cukup lama, keduanya disembah, kemudian letaknya dipindahkan ke Safa dan Marwah, lalu keduanya dipancangkan di tempat tersebut. Setiap orang yang melakukan tawaf (sa'i) di antara Safa dan Marwah selalu mengusap keduanya. Karena itu, Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu kasidahnya yang terkenal:
وَحَيْثُ يُنِيخُ الْأَشْعَرُونَ رِكَابَهُمْ ... بِمَفْضَى السِّيُولُ مِنْ إِسَافِ وَنَائِلِ ...

Di tempat orang-orang yang ziarah menambatkan unta-unta kendaraan mereka, mereka benar-benar bagaikan air bah turun dari Isaf dan Nailah.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Jabir yang cukup panjang, bahwa ketika Rasulullah Saw. selesai dari tawafnya di Baitullah, maka beliau kembali ke rukun, lalu mengusapnya, kemudian keluar dari pintu Safa seraya membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Safa  dan Marwah adalah sebagian  dari syiar Allah. (Al-Baqarah: 158)
Kemudian beliau Saw. bersabda:
"أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"

Aku memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah (yakni dari Safa ke Marwah).
Di dalam riwayat Imam Nasai disebutkan:
"ابدؤوا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"

Mulailah oleh kalian dengan apa yang dimulai oleh Allah!
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا شُرَيْحٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُؤَمَّلِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ، عَنْ حَبِيبة بِنْتِ أَبِي تَجْرَاةَ قَالَتْ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوفُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَالنَّاسُ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَهُوَ وَرَاءَهُمْ، وَهُوَ يَسْعَى حَتَّى أَرَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ شِدَّةِ السَّعْيِ يَدُورُ بِهِ إِزَارُهُ، وَهُوَ يَقُولُ: "اسعَوا، فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abdullah Muammal, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Safiyyah binti Syaibah, dari Habibah binti Abu Tajrah yang menceritakan: Aku melihat Rasulullah Saw. sa'i antara Safa dan Marwah, sedangkan orang-orang berada di bagian depannya dan beliau di belakang mereka seraya bersa'i, hingga aku melihat kedua lutut-nya, karena sa'inya yang kencang hingga kain sarungnya berputar seraya mengatakan, "Bersa'ilah kalian, karena sesungguhnya Allah telah memfardukan sa'i atas kalian."
ثُمَّ رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ وَاصِلٍ -مَوْلَى أَبِي عُيَينة -عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ (4) عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ، أَنَّ امْرَأَةً أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا سَمِعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ يَقُولُ: "كُتِبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيُ، فَاسْعَوْا"
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Abdur Razzaq yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Wasil maula Abu Uyaynah, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa ada seorang wanita menceritakan kepadanya; dia pernah mendengar Nabi Saw. di antara Safa dan Marwah menyerukan:  Telah difardukan atas kalian sa'i. Karena ilu, bersa'ilah kalian!
Hadis ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa sa'i antara Safa dan Marwah merupakan salah satu dari rukun ibadah haji, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii dan para pengikutnya, dan menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang merupakan pendapat yang terkenal dari Imam Malik.
Menurut suatu pendapat, sa'i bukan rukun haji, tetapi hukumnya wajib. Karena itu, barang siapa yang meninggalkannya —baik dengan sengaja atau lupa— ia dapat menggantinya dengan menyembelih kurban. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dijadikan pegangan oleh segolongan ulama.
Menurut pendapat yang lain, sa'i hukumnya sunat. Hal ini dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, As'-Sauri, Asy-Sya'bi, dan Ibnu Sirin yang bersumberkan dari riwayat Anas, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas; juga diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Al-Utabiyyah. Menurut Imam Qurtubi, alasan mereka mengatakannya sunat berdasarkan firman-Nya: Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati. (Al-Baqarah: 158)
Akan tetapi, pendapat yang pertama lebih kuat karena Rasulullah Saw. melakukan sa'i antara keduanya seraya mengucapkan:
"لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ"
Hendaklah kalian mengambil dariku manasik-manasik kalian.
Semua yang dilakukan oleh Nabi Saw. dalam hajinya itu hukumnya wajib dan harus dikerjakan dalam ibadah haji, kecuali hal-hal yang dikecualikan berdasarkan dalil.
Dalam keterangan terdahulu telah disebutkan sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«اسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ»
Bersa'ilah kalian! Karena sesungguhnya Allah telah memfardukan sa'i atas kalian.
Allah Swt. telah menjelaskan bahwa sa'i antara Safa dan Marwah termasuk salah satu syiar Allah, yakni salah satu syiar yang disyariatkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim a.s. dalam manasik haji. Telah dijelaskan pula dalam hadis Ibnu Abbas bahwa asal mula hal tersebut diambil dari tawaf Siti Hajar, ia pulang pergi antara Safa dan Marwah dalam rangka mencari air untuk putranya ketika persediaan air dan bekal mereka habis setelah mereka ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim a.s. di tempat tersebut. Sedangkan di tempat itu tidak ada seorang manusia pun selain mereka berdua.
Ketika Siti Hajar merasa khawatir terhadap kelangsungan hidup putranya di tempat itu karena perbekalannya telah habis, maka Siti Hajar meminta pertolongan kepada Allah Swt. Ia mondar-mandir antara Safa dan Marwah seraya merendahkan diri, penuh dengan rasa takut kepada Allah dan sangat mengharapkan pertolongan-Nya, hingga Allah membebaskannya dari kesusahannya itu, dan mengusir rasa keterasingannya, melenyapkan kesengsaraannya, serta menganugerahkan kepadanya zamzam yang airnya merupakan makanan yang mengenyangkan dan obat penawar bagi segala penyakit.
Karena itu, orang yang melakukan sa'i di antara Safa dan Marwah hendaknya melakukannya dengan hati yang penuh harap kepada Allah, rendah diri dan memohon petunjuk serta perbaikan keadaannya, dan mengharapkan ampunan-Nya. Hendaknya dia berlindung kepada Allah Swt. agar dibebaskan dari semua kekurangan dan aib yang ada pada dirinya, dan memohon hidayah-Nya akan jalan yang lurus. Hendaknya dia memohon kepada Allah agar hatinya ditetapkan pada hidayah itu (Islam) hingga akhir hayatnya. Hendaknya ia memohon kepada Allah agar Dia mengalihkan keadaan dirinya yang penuh dengan dosa dan kedurhakaan kepada keadaan yang sempurna, ampunan, keteguhan hati dalam menempuh jalan yang lurus, seperti apa yang dialami oleh Siti Hajar a.s.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا}
Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati. (Al-Baqarah: 158)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah melakukan sa'i lebih dari yang telah diwajibkan, misalnya delapan kali putaran atau sembilan kali putaran.
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah melakukan sa'i di antara Safa dan Marwah dalam haji tatawwu' (sunat) dan 'umrah tatawwu'.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, makna yang dimaksud ialah melakukan tambahan kebaikan dalam semua jenis ibadah. Semuanya diriwayatkan oleh Ar-Razi, dan pendapat yang ketiga dikaitkan dengan Al-Hasan Al-Basri.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ}
Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 158)
Yakni Allah memberi pahala kepada amal yang sedikit dan amal yang banyak tanpa pandang bulu, lagi Maha Mengetahui kadar pahala yang diberikan-Nya; maka tiada seorang pun dirugikan dalam menerima pahala dari-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
ولا يَظْلِمُ مِثْقالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضاعِفْها وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْراً عَظِيماً
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang, walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (An-Nisa: 40)

Al-Baqarah, ayat 159-162

{إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ (159) إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (160) إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (161) خَالِدِينَ فِيهَا لَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلا هُمْ يُنْظَرُونَ (162) }
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran); maka terhadap mereka itulah Aku menerima tobat-nya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.
Ancaman yang keras buat orang yang menyembunyikan apa yang telah disampaikan oleh rasul-rasul berupa keterangan-keterangan yang jelas yang bertujuan benar serta petunjuk yang bermanfaat bagi had manusia, sesudah dijelaskan oleh Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya melalui kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul-Nya.
Abul Aliyah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Ahli Kitab. Mereka menyembunyikan sifat Nabi Muhammad Saw. Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa segala sesuatu melaknat perbuatan mereka itu; sebagaimana halnya orang yang alim, segala sesuatu memohonkan ampun baginya, hingga ikan-ikan yang ada di air dan burung-burung yang ada di udara. Sikap mereka (Ahli Kitab) bertentangan dengan sikap ulama. Karena itu, mereka dilaknat oleh Allah, dan segala sesuatu ikut melaknat mereka.
Telah disebutkan di dalam hadis musnad melalui berbagai jalur yang satu sama lainnya saling memperkuat predikat hadis, dari Abu Hurairah dan lain-lainnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ سُئِل عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ، أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ"
Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, niscaya dia akan disumbat kelak di hari kiamat dengan tali kendali dari api neraka.
Di dalam kitab sahih dari Abu Hurairah disebutkan bahwa ia pernah mengatakan, "Seandainya tidak ada suatu ayat dalam Kilabullah, niscaya aku tidak akan menceritakan apa pun kepada orang lain." Yang dimaksud ialah firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk. (Al-Baqarah: 159), hingga akhir ayat.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنَا عَمَّارُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ لَيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ، عَنِ الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ زَاذَانَ أَبِي عُمَر عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةٍ، فَقَالَ: "إِنَّ الْكَافِرَ يُضْرَبُ ضَرْبَةً بَيْنَ عَيْنَيْهِ، فَيَسْمَعُ كُلُّ دَابَّةٍ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ، فَتَلْعَنُهُ كُلُّ دَابَّةٍ سَمِعَتْ صَوْتَهُ، فَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ} يَعْنِي: دَوَابُّ الْأَرْضِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Ammar ibnu Muhammad, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Zazan Abu Umar, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan: Bahwa kami pernah bersama Nabi Saw. menghadiri suatu jenazah, maka beliau Saw. bersabda, "Sesungguhnya orang kafir akan dipukul sekali pukul di antara kedua matanya; semua makhluk hidup mendengar (jeritan)nya selain manusia dan jin, maka semua hewan yang mendengar suaranya melaknatnya. Yang demikian itu adalah firman Allah Swt., 'Mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati!' (Al-Baqarah: 159), yakni semua hewan bumi."
Ibnu Majah meriwayatkan pula hadis ini dari Muhammad ibnus Sabah, dari Amir ibnu Muhammad dengan lafaz yang sama. Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa semua hewan, jin, dan manusia turut melaknatinya.
Mujahid mengatakan bahwa apabila bumi kekeringan (paceklik), maka semua hewan mengatakan, "Ini akibat orang-orang yang durhaka dari Bani Adam, semoga Allah melaknat orang-orang durhaka dari Bani Adam."
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. (Al-Baqarah: 159) Yakni mereka dilaknati oleh para malaikat dan orang-orang mukmin.
Telah disebutkan di dalam sebuah hadis bahwa orang yang alim itu dimintakan ampunan baginya oleh segala sesuatu sehingga ikan-ikan yang ada di laut memintakan ampunan buatnya.
Di dalam ayat ini (Al-Baqarah ayat 159) disebutkan bahwa orang yang menyembunyikan ilmu akan dilaknat oleh Allah, para malaikat, seluruh manusia, dan semua makhluk yang dapat melaknati. Mereka adalah semua makhluk yang dapat berbicara dan yang tidak dapat bicara, baik dengan lisan ataupun dengan perbuatan, jika makhluk itu termasuk yang berakal pada hari kiamat.
Kemudian Allah Swt. mengecualikan dari mereka orang-orang yang bertobat kepada-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا}
Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran). (Al-Baqarah: 160)
Yaitu mereka kembali sadar dari apa yang sebelumnya mereka lakukan dan mau memperbaiki amal perbuatannya serta menjelaskan kepada orang-orang semua apa yang sebelumnya mereka sembunyikan.
{فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}
Maka terhadap mereka itulah Aku menerima tobatnya dan Aku-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 160)
Di dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa orang yang menyeru kepada kekufuran atau bid'ah, apabila ia bertobat kepada Allah, niscaya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya telah disebutkan bahwa umat-umat terdahulu yang melakukan perbuatan seperti itu, tobat mereka tidak diterima, karena sesungguhnya hal ini merupakan kekhususan bagi syariat Nabi pembawa tobat, yaitu Nabi pembawa rahmat; semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepadanya.
Kemudian Allah Swt. menceritakan keadaan orang yang kafir dan tetap pada kekafirannya hingga ia mati, melalui firman-Nya:
{عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ * خَالِدِينَ فِيهَا}
Mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu. (Al-Baqarah: 161-162)
Maksudnya, laknat terus mengikuti mereka sampai hari kiamat, kemudian laknat membarenginya di dalam neraka Jahannam yang tidak diringankan siksa dari mereka di dalamnya. Dengan kata lain, siksaan yang menimpa mereka tidak dikurangi, tidak pula mereka diberi tangguh; yakni tidak ada perubahan barang sesaat pun, tidak pula ada henti-hentinya, bahkan siksaan terus-menerus berlangsung terhadap dirinya. Semoga Allah melindungi kita dari siksaan tersebut.
Abul Aliyah dan Qatadah mengatakan, sesungguhnya orang kafir itu akan dihentikan di hari kiamat, lalu Allah melaknatnya, kemudian para malaikat melaknatnya pula, setelah itu manusia seluruhnya melaknatnya.
Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah boleh melaknat orang-orang kafir. Sesungguhnya dahulu Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. serta para imam sesudahnya melak-nati orang-orang kafir dalam doa qunut mereka dan doa lainnya.
Mengenai orang kafir tertentu, ada segolongan ulama yang berpendapat tidak boleh melaknatinya, dengan alasan bahwa kita belum mengetahui khatimah apakah yang dikehendaki oleh Allah buatnya. Sebagian di antara ulama memperbolehkan demikian dengan berdalilkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya. (Al-Baqarah: 161)
Segolongan ulama lainnya berpendapat, bahkan boleh melaknati orang kafir yang tertentu. Pendapat ini dipilih oleh Al-Faqih Abu Bakar ibnul Arabi Al-Maliki, tetapi dalil yang dijadikan pegangannya adalah sebuah hadis yang di dalamnya mengandung ke-daif-an. Sedangkan selain Abu Bakar ibnul Arabi berdalilkan sabda Rasulullah Saw. dalam kisah seorang lelaki pemabuk yang dihadapkan kepadanya, lalu beliau menjatuhkan hukuman hati terhadapnya. Kemudian ada seorang lelaki (lain) yang mengatakan, "Semoga Allah melaknatinya, alangkah besar dosa yang dilakukannya." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"لَا تَلْعَنْهُ فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ"
Janganlah engkau melaknatinya, karena sesungguhnya dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya boleh dilaknati.

Al-Baqarah, ayat 163

{وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ (163) }
Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa: tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Melalui ayat ini Allah Swt. menceritakan bahwa diri-Nya adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, tiada yang sama dengan-Nya. Dia adalah Allah Yang Maha Esa yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, yang tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali hanya Dia, dan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Tafsir kedua asma ini telah dikemukakan dalam permulaaan tafsir surat Al-Fatihah.
Di dalam sebuah hadis:
عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يزيد بْنِ السَّكَنِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "اسْمُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ فِي هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ: {وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ} وَ {الم * اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ}
dari Syahr ibnu Hausyab, dari Asma binti Yazid ibnus Sakan, dari Rasulullah Saw., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Nama Allah Yang Mahaagung terdapat di dalam dua ayat berikut," yakni firman-Nya: Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 163). Alif Lam Mim. Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi senantiasa berdiri sendiri. (Ali Imran: 1-2)
Kemudian Allah Swt. menyebutkan sifat-Nya Yang Maha Esa melalui penciptaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya semua makhluk yang diciptakan dan diadakan-Nya, yang semuanya menunjukkan akan keesaan-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

Al-Baqarah, ayat 164 

{إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164) }
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi yang kita lihat sekarang ketinggiannya, keindahannya, keluasannya, bintang-bintangnya yang beredar, yang tetap, serta perputaran falak (kosmik)nya; dan bumi ini yang dengan kepadatannya, lembah-lembahnya, gunung-gunungnya, lautannya, padang saharanya, hutan belantaranya, dan keramaiannya serta segala sesuatu yang ada padanya berupa berbagai macam manfaat; pergantian malam dan siang hari; datang, lalu pergi, kemudian digantikan dengan yang lainnya secara silih berganti tanpa ada keterlambatan barang sedikit pun, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ}
Tidaklah mungkin matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yasin: 40)
Adakalanya yang ini panjang dan yang itu pendek, dan adakalanya yang ini mengambil sebagian waktu dari yang itu. Demikianlah set-rusnya secara bergantian, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ}
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. (Al Hajj: 61, Luqman: 29, Fathir: 13, Al-Hadid: 6)
Dengan kata lain, menambahkan yang ini dari yang itu dan menambahkan yang itu dari yang ini.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ}
Bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia. (Al-Baqarah: 164)
Yakni Allah menundukkan laut agar dapat membawa berlayar perahu-perahu dari satu pantai ke pantai yang lain untuk keperluan penghidupan manusia dan dapat dimanfaatkan oleh para penduduk yang berada di kawasan tersebut, sebagai jalur transportasi untuk mengangkut keperluan-keperluan dari suatu pantai ke pantai yang lainnya secara timbal balik.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا أَنزلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا}
dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya. (Al-Baqarah: 164)
Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
وَآيَةٌ لَهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْناها وَأَخْرَجْنا مِنْها حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ- إلى قوله- وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan —sampai dengan firman-Nya, "Maupun dari apa yang tidak mereka ketahui"— (Yasin: 33-36).
*********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ}
dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. (Al-Baqarah: 164)
dengan berbagai macam bentuk, warna, kegunaan, kecil, dan besar-nya. Dia Maha Mengetahui semuanya itu dan Dia memberinya rezeki, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya dari hal itu, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
وَما مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُها وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّها وَمُسْتَوْدَعَها كُلٌّ فِي كِتابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (Hud: 6)
***********
Firman Allah Swt.:
{وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ}
dan pengisaran angin. (Al-Baqarah: 164)
Yakni adakalanya datang membawa rahmat, dan adakalanya datang membawa bencana. Adakalanya angin datang membawa tanda yang menggembirakan, yaitu awan yang mengandung hujan; adakalanya angin menggiringnya dan menghimpunkannya; dan adakalanya mencerai-beraikannya, lalu mengusirnya. Kemudian adakalanya ia datang dari arah selatan yang dikenal dengan angin syamiyah, adakalanya datang dari arah negeri Yaman, dan adakalanya bertiup dari arah timur yang menerpa bagian muka Ka'bah, kemudian adakalanya ia bertiup dari arah barat yang menerpa dari arah bagian belakang Ka'bah. Memang ada sebagian orang yang menulis tentang angin, hujan, dan bintang-bintang ke dalam banyak karya tulis, yang pembahasannya memerlukan keterangan yang panjang bila dikemukakan di sini.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ}
dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. (Al-Baqarah: 164)
Yakni bergerak antara langit dan bumi, ditundukkan menuju tempat-tempat yang dikehendaki oleh Allah dan dipalingkan menurut apa yang dikehendaki-Nya.
***********
Firman Allah Swt.:
{لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ}
sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Al-Baqarah: 164)
Yakni dalam kesemuanya itu benar-benar terdapat tanda-tanda yang jelas menunjukkan keesaan Allah Swt. dan kebesaran kekuasaan-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ}
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali Imran: 190-191)
وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويه: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الدَّشْتَكِيّ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي الْمُغِيرَةِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: أَتَتْ قُرَيْشٌ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا مُحَمَّدُ إِنَّمَا نُرِيدُ أَنْ تَدْعُوَ رَبَّكَ أَنْ يَجْعَلَ لَنَا الصَّفَا ذَهَبًا، فَنَشْتَرِيَ بِهِ الْخَيْلَ وَالسِّلَاحَ، فَنُؤْمِنَ بِكَ وَنُقَاتِلَ مَعَكَ. قَالَ: "أَوْثِقُوا لِي لئِنْ دعوتُ رَبِّي فجعلَ لَكُمُ الصَّفَا ذَهَبًا لتُؤْمنُنّ بِي" فَأَوْثَقُوا لَهُ، فَدَعَا رَبَّهُ، فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: إِنَّ رَبَّكَ قَدْ أَعْطَاهُمُ الصَّفَا ذَهَبًا عَلَى أَنَّهُمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِكَ عَذَّبَهُمْ عَذَابًا لَمْ يُعَذِّبْهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ. قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "رَبِّ لَا بَلْ دَعْنِي وَقَوْمِي فَلَأَدْعُهُمْ يَوْمًا بِيَوْمٍ". فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ: {إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ} الآية.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Sa'id Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakek, dari Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Orang-orang Quraisy datang kepada Nabi Saw., lalu mereka berkata, "Hai Muhammad, sesungguhnya kami menginginkan kamu mendoakan kepada Tuhanmu agar Dia menjadikan Bukit Safa ini emas buat kami. Untuk itu maka kami akan membeli kuda dan senjata dengannya, dan kami akan beriman kepadamu serta berperang bersamamu." Nabi Saw. menjawab, "Berjanjilah kalian kepadaku, bahwa sekiranya aku berdoa kepada Tuhanku, kemudian Dia menjadikan bagi kalian Bukit Safa emas, kalian benar-benar akan beriman kepadaku." Maka mereka mengadakan perjanjian dengan Nabi Saw. untuk hal tersebut. Lalu Nabi Saw. berdoa kepada Tuhannya, dan datanglah Malaikat Jibril kepadanya, lalu berkata, "Sesungguhnya Tuhanmu sanggup menjadikan Bukit Safa emas buat mereka, dengan syarat jika mereka tidak juga beriman kepadamu, maka Allah mengazab mereka dengan siksaan yang belum pernah Dia timpakan kepada seorang pun di antara makhluk-Nya.” Nabi Muhammad Saw. berkata, "Wahai Tuhanku, tidak, lebih baik biarkanlah aku dan kaumku. Aku akan tetap menyeru mereka dari hari ke hari.” Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia.” (Al-Baqarah: 164), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula dari jalur lain melalui Ja'far ibnu Abul Mugirah dengan lafaz yang sama. Ia menambahkan di akhirnya:
وَكَيْفَ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الصَّفَا وَهُمْ يَرَوْنَ مِنَ الْآيَاتِ مَا هُوَ أَعْظَمُ مِنَ الصَّفَا.
(Malaikat Jibril berkata), "Mengapa mereka meminta kepadamu Bukit Safa (agar dijadikan emas), padahal mereka melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang lebih besar daripada Bukit Safa itu?"
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata yang menceritakan bahwa diturunkan ayat berikut kepada Nabi Saw. ketika di Madinah, yaitu firman-Nya: Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 163) Maka orang-orang kafir Quraisy di Mekah berkata, "Bagaimanakah dapat memenuhi manusia semuanya hanya dengan satu Tuhan?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia —sampai dengan firman-Nya— sungguh (terdapat) tanda-tanda (kebesaran dan keesaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Al-Baqarah: 164)
Dengan demikian, maka mereka mengetahui bahwa Tuhan adalah Yang Maha Esa, dan Dia adalah Tuhan segala sesuatu serta Yang Menciptakan segala sesuatu.
Waki' ibnul Jarrah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ayahnya, dari Abud Duha, bahwa ketika firman-Nya berikut diturunkan:  Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. (Al-Baqarah: 163), hingga akhir ayat. Maka orang-orang musyrik berkata, "Sekiranya demikian, hendaklah dia (Nabi Saw.) mendatangkan kepada kami suatu tanda (bukti)." Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang —sampai dengan firman-Nya— kaum yang memikirkan. (Al-Baqarah: 164)
Adam ibnu Iyas meriwayatkan pula dari Abu Ja'far (yakni Ar-Razi), dari Sa'id ibnu Masruq (orang tua Sufyan), dari Abud Duha dengan lafaz yang sama.

Al-Baqarah, ayat 165-167

{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ (165) إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأسْبَابُ (166) وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ (167) }
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.
Allah menyebutkan keadaan kaum musyrik dalam kehidupan di dunia dan apa yang bakal mereka peroleh di negeri akhirat, disebabkan mereka menjadikan tandingan-tandingan dan saingan-saingan serta sekutu-sekutu yang mereka sembah bersama Allah, dan mereka mencintai tandingan-tandingan itu sebagaimana mereka mencintai Allah. Padahal kenyataannya Allah adalah Tuhan yang tiada yang wajib disembah selain Dia. Tiada lawan, tiada tandingan, dan tiada sekutu bagi-Nya.
Di dalam hadis Sahihain disebutkan dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan hadis berikut:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خلَقَك"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?" Rasulullah Saw. menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakan kamu."
***********
Firman Allah Swt.:
{وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ}
Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (Al-Baqarah: 165)
Demikian itu karena mereka cinta kepada Allah, makrifat kepada-Nya, mengagungkan-Nya, serta mengesakan-Nya; dan mereka sama sekali tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melainkan hanya menyembah-Nya semata dan bertawakal kepada-Nya serta kembali kepada-Nya dalam semua urusan mereka.
Kemudian Allah Swt. mengancam orang-orang yang mempersekutukan diri-Nya, yang berbuat aniaya terhadap diri mereka sendiri. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا}
Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya. (Al-Baqarah: 165)
Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa makna ayat ini ialah, "Seandainya mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri siksaan tersebut, niscaya mereka mengetahui saat itu bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya."Dengan kata lain, hanya Dia sematalah yang berhak menghukumi, tiada sekutu baginya; dan bahwa segala sesuatu itu berada di bawah keperkasaan-Nya, kekuatan-Nya, dan kekuasaan-Nya. dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya. (Al-Baqarah: 165)
Seperti yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
{فَيَوْمَئِذٍ لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ * وَلا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ}
Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya. (Al-Fajr: 25-26)
Allah berfirman, "Seandainya mereka mengetahui apa yang bakal mereka alami di akhirat nanti dan mengetahui apa yang bakal menimpa mereka, yaitu siksaan yang mengerikan lagi sangat besar karena perbuatan syirik dan keingkaran mereka, niscaya mereka akan bertobat dari kesesatannya."
Kemudian Allah Swt. memberitahukan perihal protes berhala-berhala sesembahan mereka terhadap diri mereka dan orang-orang yang diikuti berlepas diri dari perbuatan yang dilakukan oleh para pengikutnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا}
(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya. (Al-Baqarah: 166)
Yakni para malaikat yang mereka jadikan sebagai sesembahan mereka ketika di dunia berlepas diri dari perbuatan mereka, dan para malaikat mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{تَبَرَّأْنَا إِلَيْكَ مَا كَانُوا إِيَّانَا يَعْبُدُونَ}
Kami menyatakan berlepas diri (dari mereka) kepada Engkau, mereka sekali-kali tidak menyembah kami. (Al-Qashash: 63)
Mereka mengatakan pula seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
سُبْحانَكَ أَنْتَ وَلِيُّنا مِنْ دُونِهِمْ بَلْ كانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُمْ بِهِمْ مُؤْمِنُونَ
Malaikat-malaikat itu menjawab, "Mahasuci Engkau, Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu." (Saba': 41)
Jin pun berlepas diri dari perbuatan mereka serta memprotes penyembahan orang-orang musyrik terhadap diri mereka, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلى يَوْمِ الْقِيامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعائِهِمْ غافِلُونَ. وَإِذا حُشِرَ النَّاسُ كانُوا لَهُمْ أَعْداءً وَكانُوا بِعِبادَتِهِمْ كافِرِينَ
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembdhan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila mereka dihimpunkan (pada hari kiamat), niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka. (Al-Ahqaf: 5-6)
وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لِيَكُونُوا لَهُمْ عِزًّا. كَلَّا سَيَكْفُرُونَ بِعِبادَتِهِمْ وَيَكُونُونَ عَلَيْهِمْ ضِدًّا
Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung mereka, sekali-kali tidak. Kelak mereka (sembahan-sembahan) itu akan mengingkari penyembahan (pengikut-pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi musuh bagi mereka. (Maryam: 81-82)
Nabi Ibrahim Al-Khalil pernah berkata kepada kaumnya yang disitir oleh firman-Nya:
إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثاناً مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَياةِ الدُّنْيا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضاً وَمَأْواكُمُ النَّارُ وَما لَكُمْ مِنْ ناصِرِينَ
Sesungguhnya berhala-berhala yang kalian sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kalian dalam kehidupan dunia ini, kemudian di hari kiamat sebagian kalian mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kalian melaknati sebagian (yang lain); dan tempat kembali kalian ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagi kalian para penolong pun. (Al-'Ankabut 25)
Dan Allah Swt. telah berfirman:
{وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ مَوْقُوفُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ يَرْجِعُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ الْقَوْلَ يَقُولُ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لَوْلا أَنْتُمْ لَكُنَّا مُؤْمِنِينَ * قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا أَنَحْنُ صَدَدْنَاكُمْ عَنِ الْهُدَى بَعْدَ إِذْ جَاءَكُمْ بَلْ كُنْتُمْ مُجْرِمِينَ * وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَنْ نَكْفُرَ بِاللَّهِ وَنَجْعَلَ لَهُ أَنْدَادًا وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ وَجَعَلْنَا الأغْلالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ يُجْزَوْنَ إِلا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, "Kalau tidaklah karena kalian, tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman." Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah, "Kamikah yang telah menghalangi kalian dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepada kalian? (Tidak), sebenarnya kalian sendirilah orang-orang yang berdosa." Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, "(Tidak), sebenarnya tipu daya (kalian) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kalian menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menja-dikan sekutu-sekutu bagi-Nya." Kedua belah pihak menyatakan penyesalan talkala mereka melihat azab. Dan Kami pasang belenggu-belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Saba': 31-33)
وَقالَ الشَّيْطانُ لَمَّا قُضِيَ الْأَمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَما كانَ لِي عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطانٍ إِلَّا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي فَلا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَما أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِما أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذابٌ أَلِيمٌ
Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar; dan aku pun telah menjanjikan kepada kalian, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap kalian melainkan (sekadar) aku menyeru kalian, lalu kalian mematuhi seruanku. Oleh sebab itu, janganlah kalian mencerca aku, tetapi cercalah diri kalian sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolong kalian, dan kalian pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatan kalian mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu." Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim: 22)
*************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأسْبَابُ}
dan mereka melihat siksa dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (Al-Baqarah: 166)
Yakni mereka melihat azab Allah dan terputuslah semua jalan untuk selamat, serta mereka tidak menjumpai suatu jalan keluar pun yang dapat menghindarkan dan memalingkan mereka dari neraka.
Ata meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan maksud firman-Nya: Dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (Al-Baqarah: 166) Yang dimaksud dengan asbab ialah hubungan intim dan kasih sayang.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid di dalam riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Nujaih.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا}
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." (Al-Baqarah: 167)
Yakni seandainya kami dapat kembali lagi ke kehidupan di dunia, pastilah kami akan berlepas diri dari mereka dan tidak akan menyembah mereka dan kami tidak akan menoleh mereka barang sedikit pun, melainkan kami akan mengesakan Allah dengan menyembah-Nya semata. Akan tetapi, sebenamya mereka berdusta dalam pengakuannya itu; dan bahkan seandainya mereka dikembalikan lagi ke dunia, niscaya mereka akan kembali melakukan hal-hal yang dilarang mereka melakukannya, karena sesungguhnya mereka itu benar-benar berdusta, seperti yang diberitakan oleh Allah Swt. tentang kedustaan mereka dalam hal ini. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ}
Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka. (Al-Baqarah: 167)
Yakni amalan mereka lenyap dan hilang, Sebagaimana yang diungkapkan Allah dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
وَقَدِمْنا إِلى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْناهُ هَباءً مَنْثُوراً
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (Al-Furqan: 23)
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمالُهُمْ كَرَمادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عاصِفٍ
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. (Ibrahim: 18), hingga akhir ayat.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمالُهُمْ كَسَرابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ ماءً
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga. (An-Nur: 39), hingga akhir ayat.
Karena itulah maka dalam akhir ayat disebutkan:
{وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ}
Dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (Al-Baqarah: 167)

Al-Baqarah, ayat 168-169

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (168) إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (169) }
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.
Setelah Allah Swt. menjelaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia dan bahwa hanya Dialah yang menciptakan segalanya, maka Allah Swt. menjelaskan bahwa Dialah yang memberi rezeki semua makhluk-Nya. Untuk itu Allah Swt. menyebutkan sebagai pemberi karunia kepada mereka, bahwa Dia memperbolehkan mereka makan dari semua apa yang ada di bumi, yaitu yang dihalalkan bagi mereka lagi baik dan tidak membahayakan tubuh serta akal mereka, sebagai karunia dari Allah Swt. Allah melarang mereka mengikuti langkah-langkah setan, yakni jalan-jalan dan sepak terjang yang digunakan untuk menyesatkan para pengikutnya, seperti mengharamkan bahirah (hewan unta bahirah), saibah (hewan unta saibah), wasilah (hewan unta wasilah), dan lain sebagainya yang dihiaskan oleh setan terhadap mereka dalam masa Jahiliah. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis Iyad ibnu Hammad yang terdapat di dalam kitab Sahih Muslim, dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: إِنَّ كُلَّ مَا أمنحُه عِبَادِي فَهُوَ لَهُمْ حَلَالٌ" وَفِيهِ: "وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفاء فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ، وحَرَّمتْ عَلَيْهِمْ مَا أحللتُ لَهُمْ"
Allah berfirman, "Sesungguhnya semua harta yang telah Kuberikan kepada hamba-hamba-Ku adalah halal bagi mereka." Selanjutnya disebutkan, "Dan sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan cenderung kepada agama yang hak, maka datanglah setan kepada mereka, lalu setan menyesatkan mereka dari agamanya dan mengharamkan atas mereka apa-apa yang telah Kuhalalkan bagi mereka."
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ شَيْبَةَ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الِاحْتِيَاطِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْجُوزَجَانِيُّ -رَفِيقُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَدْهَمَ -حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيج، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُليت هَذِهِ الْآيَةُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلالا طَيِّبًا} فَقَامَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، فَقَالَ. "يَا سَعْدُ، أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، وَالذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الرَّجُلَ ليَقْذفُ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفه مَا يُتَقبَّل مِنْهُ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، وَأَيُّمَا عَبْدٍ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْت وَالرِّبَا فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ"
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa ibnu Syaibah Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Abdur Rahman Al-Ihtiyati, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Jauzajani (teman karib Ibrahim ibnu Adam), telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Aku membacakan ayat ini di hadapan Nabi Saw., "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi" (Al-Baqarah: 168). Maka berdirilah Sa'd ibnu Abu Waqqas, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sudilah kiranya engkau doakan kepada Allah semoga Dia menjadikan diriku orang yang diperkenankan doanya." Maka Rasulullah Saw. menjawab,  "Hai Sa'd, makanlah yang halal, niscaya doamu diperkenankan. Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ini berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya seorang lelaki yang memasukkan sesuap makanan haram ke dalam perutnya benar-benar tidak diperkenankan doa darinya selama empat puluh hari. Dan barang siapa di antara hamba Allah dagingnya tumbuh dari makanan yang haram dan hasil riba, maka neraka adalah lebih layak baginya."
**************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ}
Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian. (Al-Baqarah: 168)
Di dalam ayat ini terkandung makna yang menanamkan antipati terhadap setan dan sikap waspada terhadapnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الشَّيْطانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّما يَدْعُوا حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحابِ السَّعِيرِ
Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kalian. Maka anggaplah ia musuh (kalian), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (Fathir: 6)
أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا
Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain dari-Ku, sedangkan mereka adalah musuh kalian? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. (Al-Kahfi: 50)
Qatadah dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. (Al-Baqarah: 168) Setiap perbuatan durhaka kepada Allah, maka perbuatan itu langkah (jalan) setan.
Ikrimah mengatakan, yang dimaksud dengan langkah-langkah setan ialah bisikan-bisikannya.
Mujahid mengatakan bahwa langkah-langkah setan ialah dosa-dosanya atau kesalahan-kesalahannya.
Menurut Abu Mijlaz, yang dimaksud dengan langkah-langkah setan ialah bernazar dalam maksiat. Asy-Sya'bi mengatakan, "Ada seorang lelaki bernazar akan menyembelih anak laki-lakinya, lalu Masruq memberikan fatwa kepadanya agar dia menyembelih seekor domba sebagai penggantinya dan ia mengatakan bahwa hal seperti itu termasuk langkah-langkah setan."
Abud Duha meriwayatkan sebuah asar dari Masruq, bahwa disuguhkan kepada Abdullah ibnu Mas'ud bubur susu dan garam, lalu ia makan, tetapi ternyata ada seorang lelaki dari kaum yang hadir menjauhkan dirinya. Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Berikanlah bagian kepada teman kalian itu." Lelaki itu menjawab, "Aku tidak menginginkannya." Ibnu Mas'ud bertanya, "Apakah kamu sedang puasa?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Mas'ud bertanya, "Lalu mengapa kamu tidak mau makan bersama?" Lelaki itu menjawab, "Aku telah mengharamkan diriku makan bubur susu untuk selama-lamanya." Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Ini adalah termasuk langkah-langkah setan, makanlah dan bayarlah kifarat untuk sumpahmu itu!"
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Dan Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Abdullah Al-Masri, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Rafi' yang menceritakan, "Pada suatu hari ibuku marah-marah kepada istriku, lalu ibuku berkata bahwa istriku adalah wanita Yahudi, dan di lain kali ia mengatakan bahwa istriku adalah wanita Nasrani. Dia mengatakan pula bahwa semua budak miliknya akan dimerdekakan jika aku tidak menceraikan istriku. Maka aku datang kepada Abdullah ibnu Umar meminta fatwa kepadanya, dan ia mengatakan, 'Ini merupakan salah satu dari langkah-langkah setan'."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Zainab binti Ummu Salamah yang saat itu merupakan wanita paling alim dalam masalah fiqih di kota Madinah. Aku datang kepada Asim dan Ibnu Umar, keduanya mengatakan hal yang semisal.
Abdu ibnu Humaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, dari Syarik, dari Abdul Karim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah atau nazar apa pun yang di-lakukan dalam keadaan emosi merupakan salah satu dari langkah-langkah setan, dan kifaratnya sama dengan kifarat sumpah.
************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ}
Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 169)
Yakni sesungguhnya setan musuh kalian hanya memerintahkan kalian kepada perbuatan-perbuatan yang jahat dan perbuatan-perbuatan yang berdosa besar, seperti zina dan lain-lainnya; dan yang paling parah di antaranya ialah mengatakan terhadap Allah hal-hal yang tanpa didasari pengetahuan, dan termasuk ke dalam golongan terakhir ini setiap orang kafir, juga setiap pembuat bid'ah.

Al-Baqarah, ayat 170-171

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ (170) وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (171) }
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab, "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." "Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?" Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.
Allah Swt. berfirman, "Apabila dikatakan kepada orang-orang kafir yang musyrik itu, 'Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dan tinggalkanlah kesesatan dan kebodohan yang kalian lakukan itu!' Mereka menjawab pertanyaan tersebut, 'Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami'," yakni menyembah berhala dan tandingan-tandingan Allah. Maka Allah membantah mereka melalui firman-Nya: Apakah (mereka mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? (Al-Baqarah: 170) Artinya, apakah mereka tetap akan mengikuti jejak nenek moyang-nya, sekalipun nenek moyang mereka tidak mengerti apa pun dan tidak pula mendapat hidayah?
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang-orang Yahudi yang diajak oleh Rasulullah Saw. untuk memeluk Islam, lalu mereka menjawab bahwa mereka hanya mau pengikuti apa yang mereka dapati nenek moyang mereka melakukannya. Lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini. Allah membuat suatu perumpamaan perihal mereka, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ
Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat yang buruk. (An-Nahl: 60)
**********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا}
Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 171), hingga akhir ayat.
Yakni menyeru mereka yang tenggelam di dalam kesesatan, kezaliman, dan kebodohannya sama dengan menyeru hewan gembalaan yang tidak memahami apa yang diserukan kepada mereka. Bahkan apabila diserukan kepada mereka suatu seruan oleh penggembalanya untuk membimbingnya, maka mereka tidak memahami apa yang dikatakannya selain hanya suaranya saja yang didengar, tanpa memahami maksudnya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ata, Al-Khur-rasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Menurut suatu pendapat, hal ini merupakan suatu perumpamaan yang dibuatkan terhadap mereka sehubungan seruan mereka kepada berhala-berhala sesembahan mereka yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak memahami apa pun. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Tetapi pendapat pertama adalah pendapat yang lebih utama, mengingat berhala-berhala itu memang tidak mendengar apa pun, tidak memahami dan tidak melihatnya, tidak bergerak dan tidak hidup.
*********
Firman Allah Swt.:
{صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ}
Mereka tuli, bisu, dan buta. (Al-Baqarah: 171)
Yakni tuli tidak dapat mendengar perkara yang baik, bisu tidak mau mengutarakannya, dan buta tidak dapat melihat jalan yang hak.
{فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ}
Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (Al-Baqarah: 171)
Yakni mereka sama sekali tidak dapat memahami apa pun dan tidak dapat mengerti. Perihal mereka sama dengan apa yang disebutkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ مَنْ يَشَأِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, bisu, dan berada dalam gelap gulita. Barang siapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus. (Al-An'am: 39)

Al-Baqarah, ayat 172-173

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172) إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (173) }
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya saja kalian menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Allah Swt. berfirman memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk memakan dari rezeki yang baik yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan hendaknya mereka bersyukur kepada Allah Swt. atas hal tersebut, jika mereka benar-benar mengaku sebagai hamba-hamba-Nya.
Makan dari rezeki yang halal merupakan penyebab bagi terkabulnya doa dan ibadah, sedangkan makan dari rezeki yang haram dapat menghambat terkabulnya doa dan ibadah. Seperti yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الفُضَيل بْنُ مَرْزُوقٍ، عَنْ عدَيِّ بْنِ ثَابِتٍ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيَّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} [الْمُؤْمِنُونَ: 51] وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يطيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يمدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وغُذي بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ".
telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Fudail ibnu Marzuq, dari Addi ibnu Sabit, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hai manusia, sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sama dengan apa yang diperintahkan-Nya kepada para rasul, maka Allah berfirman, "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan" (Al-Muminun: 51). Dan Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian" (Al-Baqarah: 172). Kemudian Nabi Saw. menyebutkan perihal seorang lelaki yang lama dalam perjalanannya dengan rambut yang awut-awutan penuh debu, lalu ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Sedangkan makanannya dari yang haram, minumnya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan disuapi dari yang haram, mana mungkin doanya dikabulkan dengan cara demikian?
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dan Imam Turmuzi melalui hadis Fudail ibnu Marzuq.
Setelah Allah menganugerahkan kepada mereka rezeki-Nya dan memberi mereka petunjuk agar makan dari rezeki yang halal, berikutnya Allah menyebutkan bahwa Dia tidak mengharamkan kepada mereka dari hal tersebut kecuali bangkai. Yang dimaksud dengan bangkai ialah hewan yang menemui ajalnya tanpa melalui proses penyembelihan, baik karena tercekik atau tertusuk, jatuh dari ketinggian atau tertanduk hewan lain, atau dimangsa oleh binatang buas. Akan tetapi, jumhur ulama mengecualikan masalah ini ialah bangkai ikan, karena berdasarkan firman-Nya:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعامُهُ
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut. (Al-Maidah: 96)
Hal ini akan diterangkan nanti pada tempatnya, insya Allah. Juga berdasarkan hadis ikan anbar dalam kitab Sahih, kitab Musnad, kitab Muwatta’ dan kitab-kitab Sunan, yaitu sabda Rasul Saw. mengenai laut:
«هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ»
Laut itu airnya menyucikan lagi bangkainya halal.
Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah serta Imam Daruqutni telah meriwayatkan melalui hadis Ibnu Umar secara marfu yang mengatakan:
«أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ السَّمَكُ وَالْجَرَادُ وَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ»
Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, yaitu ikan dan belalang, serta hati dan limpa.
Pembahasan   secara   detail   mengenai   masalah   ini   nanti   akan diterangkan di dalam tafsir surat Al-Maidah.
Air susu bangkai dan telur bangkai yang masih bersatu dengannya hukumnya najis —menurut Imam Syafii dan lain-lainnya— karena masih merupakan bagian dari bangkai tersebut.
Imam Malik menurut salah satu riwayat mengatakan bahwa air susu dan telur tersebut suci, hanya saja menjadi najis karena faktor mujawairah. Demikian pula halnya keju yang terbuat dari air susu bangkai, masih diperselisihkan; tetapi menurut pendapat yang terkenal di kalangan mereka, hukumnya najis. Mereka mengemukakan dalil untuk alasan mereka, bahwa para sahabat pernah memakan keju orang-orang Majusi.
Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya sehubungan dengan masalah ini mengatakan, "Bahan keju tersebut sedikit, sedangkan campurannya yang terdiri atas air susu banyak. Karena itu, najis yang sedikit dimaafkan bila bercampur dengan cairan (suci) yang banyak."
وَقَدْ رَوَى ابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ سَيْفِ بْنِ هَارُونَ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ سَلْمَانَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّمْنِ وَالْجُبْنِ وَالْفِرَاءِ، فَقَالَ: "الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ"
Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Saif ibnu Harun, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai samin, keju, dan bulu. Maka beliau Saw. bersabda: Halal ialah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab-Nya, dan haram ialah apa-apa yang diharamkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak diterangkan padanya termasuk sesuatu yang dimaafkan.
Diharamkan pula atas mereka daging babi, baik yang disembelih ataupun mati dengan sendirinya. Termasuk ke dalam pengertian daging babi ialah lemaknya, adakalanya karena faktor prioritas atau karena pengertian daging mencakup lemaknya juga, atau melalui jalur kias (analogi) menurut suatu pendapat.
Diharamkan pula hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, misalnya menyebut nama berhala-berhala, tandingan-tandingan, dan azlam serta lain sebagainya yang serupa, yang biasa disebutkan oleh orang-orang Jahiliah bila mereka menyembelih hewannya.
Imam Qurtubi menyebutkan suatu riwayat dari Ibnu Atiyyah, yang Ibnu Atiyyah pernah menukil dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang wanita yang mengadakan pesta perkawinan buat bonekanya, lalu wanita itu menyembelih seekor unta untuk pesta tersebut. Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa daging unta tersebut tidak boleh dimakan karena disembelih untuk berhala.
Imam Qurtubi mengetengahkan pula sebuah as'ar dari Siti Aisyah r.a., bahwa Siti Aisyah pernah ditanya mengenai hewan yang disembelih oleh orang-orang 'ajam (selain bangsa Arab) untuk hari perayaan mereka, lalu mereka menghadiahkan sebagiannya kepada kaum muslim. Maka Siti Aisyah r.a. menjawab, "Hewan yang disembelih untuk merayakan hari tersebut tidak boleh kalian makan, dan kalian hanya boleh makan buah-buahannya."
Selanjutnya Allah Swt. memperbolehkan makan semua yang disebutkan tadi dalam keadaan darurat dan sangat diperlukan bila makanan yang lainnya tidak didapati. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ}
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak maksiat dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (Al-Baqarah: 173)
Yakni bukan dalam keadaan maksiat, bukan pula dalam keadaan melampaui batas; tidak ada dosa baginya makan apa yang telah disebutkan.
{إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 173)
Mujahid mengatakan, "Barang siapa yang tidak maksiat dan tidak pula melampaui batas, yakni bukan dalam keadaan sebagai pembegal jalan (rampok), atau memberontak terhadap imam (penguasa), atau bepergian untuk tujuan maksiat terhadap Allah, diperbolehkan baginya memakannya. Tetapi barang siapa yang bepergian karena memberontak atau melampaui batas atau berbuat maksiat kepada Allah, tidak ada rukhsah (dispensasi) baginya, sekalipun ia dalam keadaan darurat." Hal yang sama dikatakan pula menurut suatu riwayat yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair.
Sa'id di dalam riwayat yang lain dan Muqatil mengatakan, yang dimaksud dengan gaira   bagin ialah tidak menghalalkannya.
As-Saddi mengatakan bahwa gaira bagin artinya bukan karena memperturutkan selera ingin memakannya.
Adam ibnu Abi Iyas mengatakan, telah menceritakan kepada kami Damrah, dari Usman ibnu Ata (yakni Al-Khurrasani), dari ayahnya yang mengatakan bahwa seseorang tidak boleh memanggang sebagian dari bangkai itu untuk membuatnya berselera memakannya, tidak boleh pula memasaknya serta tidak boleh memakannya kecuali hanya sedikit, tetapi ia boleh membawanya sampai ia dapat menemukan makanan yang halal. Apabila ia telah menemukan makanan yang halal, ia harus membuangnya. Demikianlah yang dimaksud oleh firman-Nya, "Wala 'adin," yakni tidak boleh melampaui batas dalam memakannya bila telah menemukan yang halal.
Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa makna wala 'adin ialah tidak boleh sekenyangnya. Sedangkan As-Saddi menafsirkannya dengan makna al-'udwan, yakni melampaui batas.
Disebutkan pula dari Ibnu Abbas bahwa gaira bagin yakni tidak menginginkan bangkai tersebut, wala 'adin artinya dan tidak melampaui batas dalam memakannya.
Qatadah mengatakan bahwa gaira bagin artinya tidak menginginkan bangkai tersebut, yakni 'ketika keadaan memaksanya untuk memakan bangkai, ia memakannya tidak melampaui batas garis-garis yang dihalalkan sampai kepada batas yang diharamkan, padahal ia mempunyai jalan keluar dari itu'.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya). (Al-Baqarah: 173) Yakni dipaksa untuk memakannya tanpa ada kemauan dari dirinya sendiri.
Apabila orang yang dalam keadaan terpaksa (darurat) menemukan suatu bangkai dan makanan milik orang lain, sekiranya tidak ada hukum potong tangan dalam mengambilnya dan tidak pula hukuman lainnya (ta'zir), maka tidak dihalalkan baginya memakan bangkai, melainkan ia boleh memakan makanan milik orang lain itu. Semua ulama sepakat, tanpa ada yang memperselisihkannya.
Selanjutnya disebutkan, apabila dia memakannya dalam keadaan demikian, lalu apakah dia harus menggantinya atau tidak? Sebagai jawabannya ada dua pendapat, yang keduanya merupakan dua riwayat dari Imam Malik.
Selanjutnya diketengahkan sebuah hadis dari Sunan Ibnu Majah:
مِنْ حَدِيثِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي إِيَاسٍ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي وَحْشِيَّةَ: سَمِعْتُ عَبَّادَ بْنَ الْعَنْزِيِّ قَالَ: أَصَابَتْنَا عَامًا مَخْمَصَةٌ، فَأَتَيْتُ الْمَدِينَةَ. فَأَتَيْتُ حَائِطًا، فَأَخَذْتُ سُنْبُلًا فَفَرَكْتُهُ وَأَكَلْتُهُ، وَجَعَلْتُ مِنْهُ فِي كِسَائِي، فَجَاءَ صَاحِبُ الْحَائِطِ فَضَرَبَنِي وَأَخَذَ ثَوْبِي، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ لِلرَّجُلِ: "مَا أَطْعَمْتَهُ إِذْ كَانَ جَائِعًا أَوْ سَاعِيًا، وَلَا عَلَّمْتَهُ إِذْ كَانَ جَاهِلَا" فَأَمَرَهُ فَرَدَّ إِلَيْهِ ثَوْبَهُ، وَأَمَرَ لَهُ بِوَسْقٍ مِنْ طَعَامٍ أَوْ نِصْفِ وَسْقٍ
melalui hadis Syu'bah, dari Abu Iyas, dari Ja'far ibnu Abu Wahsyiyyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syurahbil Al-Anazi menceritakan hadis berikut, "Ketika tahun paceklik menimpa kami, aku datang ke Madinah, lalu aku memasuki sebuah kebun dan mengambil setangkai buah kurma. Aku memakannya, dan selebihnya aku masukkan ke dalam kantong bajuku. Ternyata pemilik kebun itu datang, maka dia memukuliku dan merampas bajuku. Lalu aku datang kepada Rasulullah Saw. dan kuceritakan kepadanya hal tersebut Maka beliau Saw. bersabda kepada pemilik kebun:  'Kamu tidak memberinya makan ketika dia sedang kelaparan dan dalam keadaan tidak bermata pencaharian, dan kamu tidak mengajarnya sewaktu dia tidak mengerti (bodoh).' Lalu Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar mengembalikan pakaian lelaki itu, dan Nabi Saw. memerintahkan pula agar diberikan kepada si pemilik kebun satu wasaq atau setengah wasaq makanan (sebagai gantinya)."
Sanad hadis ini sahih, kuat lagi jayyid dan mempunyai banyak syawahid lainnya yang memperkuatnya. Termasuk ke dalam bab ini hadis lain yang diriwayatkan melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai buah-buahan yang bergantung pada pohonnya. Maka beliau Saw. menjawab:
"مَنْ أَصَابَ مِنْهُ مِنْ ذِي حَاجَةٍ بِفِيهِ غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ"
Barang siapa yang mengambil sebagian darinya cukup untuk makannya sendiri, sedangkan dia dalam keadaan miskin serta tidak mengambil bekal darinya, tidak ada dosa baginya, hingga akhir hadis.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 173) Yakni tidak ada dosa baginya karena memakan makanan itu, sebab dia dalam keadaan terpaksa. Telah sampai kepada kami suatu riwayat —hanya Allah Yang Mengetahui— bahwa makanan tersebut tidak boleh lebih dari tiga suap.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna ayat adalah sebagai berikut: "Allah Maha Pengampun terhadap apa yang telah dimakannya dari barang yang haram, lagi Maha Penyayang karena Dia telah menghalalkan baginya barang yang haram dalam keadaan terpaksa."
Waki' mengatakan bahwa Al-A'masy menceritakan kepada kami, dari Abud-Duha, dari Masruq yang mengatakan, "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, lalu dia tidak mau makan dan minum, kemudian berakibat kepada kematiannya, maka dia masuk neraka." Pendapat ini menunjukkan bahwa memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa merupakan azimah (keharusan), bukan rukhsah (dispensasi).
Abul Hasan At-Tabari yang dikenal dengan nama Kayalharasi (sahabat karib Imam Gazali) di dalam kitab Al-Istigal-nya. mengatakan, "Menurut pendapat yang sahih di kalangan kami, masalah ini sama halnya dengan berbuka puasa bagi orang yang sakit dan karena penyebab lainnya yang membolehkannya berbuka puasa."

Al-Baqarah, ayat 174-176

{إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلا النَّارَ وَلا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (174) أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ (175) ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ نزلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ (176)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah —yaitu Al-Kitab— dan menjualnya dengan harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka! Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ}
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab. (Al-Baqarah: 174)
Yakni orang-orang Yahudi yang menyembunyikan sifat-sifat (ciri-ciri) Nabi Muhammad Saw. dalam kitab-kitab yang ada di tangan mereka, yang isinya antara lain mempersaksikan kerasulan dan kenabiannya. Lalu mereka dengan sengaja menyembunyikan hal tersebut agar kepemimpinan mereka tidak lenyap, dan agar tidak lenyap pula hadiah-hadiah dan upeti-upeti yang biasa diberikan oleh orang-orang Arab kepada mereka sebagai ungkapan rasa hormat orang-orang Arab kepada kakek moyang mereka. Maka mereka —semoga laknat Allah tetap menimpa mereka— merasa khawatir jika hal tersebut ditampakkan kepada orang-orang, sehingga orang-orang akan mengikutinya dan meninggalkan mereka.
Karena itulah mereka menyembunyikan berita tersebut demi mempertahankan apa yang biasa mereka hasilkan dari cara mereka itu, yaitu harta duniawi yang sedikit; mereka rela menjual akidah mereka dengan hal tersebut. Dengan demikian, berarti mereka menukar hidayah perkara yang hak, membenarkan Rasul dan iman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Allah; dengan harta duniawi yang sedikit itu akhirnya kelak mereka akan kecewa dan merugi dalam kehidupan dunia dan akhiratnya.
Kerugian mereka di dunia ialah karena sesungguhnya Allah menampakkan kepada hamba-hamba-Nya kebenaran Rasul-Nya melalui apa yang ditegakkannya dan Allah membekalinya dengan ayat-ayat yang jelas dan bukti-bukti yang mematahkan hujah mereka. Pada akhirnya orang-orang yang mereka khawatirkan akan mengikutinya kini benar-benar mengikutinya, dan jadilah orang-orang tersebut pembantu Rasul-Nya dalam memerangi mereka. Akhirnya mereka kembali dengan mendapat kemurkaan di atas kemurkaan. Allah mencela perbuatan mereka (Ahli Kitab) bukan hanya pada satu tempat dari Al-Qur'an-Nya, yang antara lain ialah ayat yang mulia ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah —yaitu Al-Kitab— dan menjualnya dengan harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api. (Al-Baqarah: 174) Yakni menukarnya dengan harta duniawi. Maka sesungguhnya apa yang mereka makan dari hasilnya itu hanyalah api belaka, sebagai balasan dari penyembunyian mereka terhadap perkara yang hak. Api itu kelak di hari kiamat berkobar-kobar di dalam perut mereka. Sama halnya dengan gambaran yang disebutkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa: 10)
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الَّذِي يَأْكُلُ أَوْ يَشْرَبُ فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ»
Sesungguhnya orang yang makan atau minum dengan memakai wadah dari emas dan perak tiada lain hanyalah menegukkan (menelankan) ke dalam perutnya api neraka Jahannam.
************
Firman Allah Swt.:
{وَلا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (Al-Baqarah: 174)
Dikatakan demikian karena Allah Swt. murka terhadap mereka, mengingat mereka menyembunyikan perkara hak yang mereka ketahui. Untuk itu mereka berhak mendapat murka Allah, dan Allah tidak mau melihat mereka.
Wala yuzakkihim, Allah tidak mau menyebut dan memuji nama mereka, bahkan Allah mengazab mereka dengan siksa yang amat pedih.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih dalam bab ini meriwayatkan melalui hadis Al-A'masy, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ [وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ] شَيْخٌ زَانٍ، وَمَلِكٌ كَذَّابٌ، وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ"
Ada tiga macam orang, Allah tidak akan berbicara kepada mereka dan tidak akan melihat mereka, serta tidak akan menyucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih, yaitu: Orang tua yang berbuat zina, raja (penguasa) yang pendusta, dan orang miskin yang takabur.
***************
Kemudian Allah Swt berfirman menceritakan perihal mereka:
{أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى}
Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. (Al-Baqarah: 175)
Yaitu mereka menukar petunjuk dengan kesesatan. Yang dimaksud dengan petunjuk ialah menyiarkan berita yang terdapat di dalam kitab-kitab mereka menyangkut sifat-sifat Rasulullah Saw. perihal kerasulannya dan berita gembira kedatangannya, perintah mengikutinya dan percaya kepadanya; hal ini disebutkan di dalam kitab-kitab nabi-nabi terdahulu. Yang dimaksud dengan kesesatan ialah mendustakan Nabi Saw., mengingkarinya, dan menyembunyikan sifat-sifatnya yang ada dalam kitab-kitab mereka.
{وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ}
dan siksa dengan ampunan. (Al-Baqarah: 175)
Maksudnya, mereka menukar magfirah Allah dengan siksa-Nya, yakni penyebab-penyebab magfirah mereka tukar dengan penyebab-penyebab siksa.
*********
Firman Allah Swt.:
{فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ}
Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka. (Al-Baqarah: 175)
Allah menceritakan bahwa mereka berada di dalam siksa yang keras lagi besar dan mengerikan, hingga membuat orang yang melihat mereka merasa takjub dengan keberanian mereka dalam menanggung siksa tersebut, padahal kerasnya siksaan yang mereka alami tak terperikan dan semuanya berlindung kepada Allah dari siksa seperti itu.
Menurut pendapat yang lain sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka alangkah sabarnya mereka menentang api neraka. (Al-Baqarah: 175) Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah alangkah beraninya mereka kekal dalam mengerjakan kemaksiatan, padahal kemaksiatan itu menjerumuskan mereka ke dalam neraka.
*********
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ نزلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ}
Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran. (Al-Baqarah: 176)
Yakni sesungguhnya mereka berhak mendapat siksa yang keras ini, tiada lain karena Allah Swt. telah menurunkan kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw. —juga kepada nabi-nabi sebelumnya— kitab-kitab-Nya yang membuktikan perkara hak dan menyalahkan perkara yang batil. Sedangkan mereka menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokannya. Kitab mereka (Ahli Kitab) memerintahkan kepada mereka untuk menyampaikan ilmu dan menyebarkannya, tetapi mereka menentangnya dan mendustakannya. Hal yang sama dialami pula oleh penutup para rasul, yaitu Nabi Muhammad Saw. Beliau menyeru mereka (Ahli Kitab) kepada Allah Swt., memerintahkan perkara yang makruf, serta melarang mereka melakukan perbuatan yang mungkar; tetapi mereka mendustakannya, menentangnya, mengingkari, dan menyembunyikan ciri-cirinya. Perbuatan mereka sama dengan memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada rasul-rasul-Nya. Oleh sebab itu, mereka berhak mendapat azab dan balasan yang setimpal. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ نزلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ}
Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran). (Al-Baqarah: 176)

Al-Baqarah, ayat 177

{لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (177) }
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa
Ayat yang mulia ini mengandung kalimat-kalimat yang agung, kaidah-kaidah yang luas, dan akidah yang lurus. Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبيد بْنُ هِشَامٍ الْحَلَبِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَامِرِ بْنِ شُفَي، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ: أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا الْإِيمَانُ؟ فَتَلَا عَلَيْهِ: {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ. قَالَ: ثُمَّ سَأَلَهُ أَيْضًا، فَتَلَاهَا عَلَيْهِ ثُمَّ سَأَلَهُ. فَقَالَ: "إِذَا عَمِلْتَ حَسَنَةً أَحَبَّهَا قَلْبُكَ، وَإِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً أَبْغَضَهَا قَلْبُكَ"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Hisyam Al-Halbi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari Amir ibnu Syafi, dari Abdul Karim, dari Mujahid, dari Abu Zar r.a., telah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang iman, "Apakah yang dinamakan iman itu?" Maka Rasulullah Saw. membacakan kepadanya firman Allah Swt.: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Abu Zar kembali bertanya, dan Rasulullah Saw. membacakan lagi ayat ini kepadanya. Kemudian Abu Zar bertanya lagi, maka Rasul Saw. menjawab: Apabila kamu hendak mengerjakan suatu kebaikan, maka buatlah hatimu cinta kepadanya; dan apabila kamu hendak melakukan suatu keburukan, maka buatlah hatimu benci kepadanya.
Akan tetapi, hadis ini berpredikat munqati (terputus mata rantai sanadnya), mengingat Mujahid sebenarnya belum pernah bersua dengan sahabat Abu Zar, karena Abu Zar telah meninggal dunia di masa sebelumnya.
قَالَ الْمَسْعُودِيُّ: حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي ذَرٍّ، فَقَالَ: مَا الْإِيمَانُ؟ فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَ: {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ} حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا. فَقَالَ الرَّجُلُ: لَيْسَ عَنِ الْبَرِّ سألتُكَ. فَقَالَ أَبُو ذَرٍّ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَمَّا سَأَلْتَنِي عَنْهُ، فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَ، فَأَبَى أن يرضى كما أبيت [أنت] أن تَرْضَى فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَأَشَارَ بِيَدِهِ -: "الْمُؤْمِنُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً سَرته وَرَجَا ثَوَابَهَا، وَإِذَا عَمِلَ سَيِّئَةً أَحْزَنَتْهُ وَخَافَ عِقَابَهَا"
Al-Mas'udi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim Abdur Rahman, bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat Abu Zar, lalu lelaki itu bertanya, "Apakah iman itu?" Kemudian Abu Zar membacakan kepadanya ayat berikut: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Kemudian lelaki itu berkata, "Yang kutanyakan kepadamu bukanlah masalah kebajikan." Maka Abu Zar r.a. menceritakan kepadanya bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu menanyakan kepadanya seperti pertanyaan yang baru kamu ajukan kepadaku, maka beliau Saw. membacakan ayat ini kepadanya. Akan tetapi, lelaki itu masih kurang puas sebagaimana kamu kurang puas. Maka akhirnya Rasulullah Saw. bersabda kepadanya dan mengisyaratkan dengan tangannya: Orang mukmin itu apabila melakukan suatu kebaikan, ia merasa gembira dan mengharapkan pahalanya; dan apabila dia mengerjakan suatu keburukan (dosa), maka hatinya sedih dan takut akan siksaannya.
Hadis riwayat Ibnu Murdawaih, dan hadis ini berpredikat munqati' pula.
Pembahasan mengenai tafsir ayat ini ialah: Sesungguhnya Allah Swt. setelah memerintahkan kepada orang-orang mukmin pada mulanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, lalu Allah memalingkan mereka ke arah Ka'bah, maka hal tersebut terasa berat oleh segolongan orang-orang dari kalangan Ahli Kitab dan sebagian kaum muslim. Maka Allah Swt. menurunkan penjelasan hikmah yang terkandung di dalam hal tersebut. Yang intinya berisikan bahwa tujuan utama dari hal tersebut tiada lain adalah taat kepada Allah dan mengerjakan perintah-perintah-Nya dengan patuh, serta menghadap ke arah mana yang dikehendaki-Nya dan mengikuti apa yang telah disyariatkan-Nya.
Demikianlah makna kebajikan, takwa, dan iman yang sempurna; dan kebajikan serta ketaatan itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepatuhan menghadap ke arah timur atau barat, jika bukan karena perintah Allah dan syariatnya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
{لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat.
Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam masalah kurban dan menyembelih hadyu, yaitu firman-Nya:
{لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ}
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa kebajikan itu bukanlah kalian melakukan salat tetapi tidak beramal. Hal ini diturunkan ketika Nabi Saw. hijrah dari Mekah ke Madinah, dan diturunkan hukum-hukum fardu dan hukum-hukum had, maka Allah memerintahkan mereka untuk mengerjakan fardu-fardu dan mengamalkannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ad-Dahhak serta Muqatil.
Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, dan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatii kebajikan. (Al-Baqarah: 177) Apa yang dibahas oleh ayat ini adalah iman dan hakikatnya, yaitu pengalamannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Mujahid mengatakan, "Kebajikan yang sesungguhnya ialah ketaatan kepada Allah Swt. yang telah meresap ke dalam hati."
Ad-Dahhak mengatakan bahwa kebajikan dan ketakwaan itu ialah bila kalian menunaikan fardu-fardu sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.
As-Sauri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Semua yang disebutkan oleh ayat ini merupakan aneka ragam kebajikan.
Memang benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Sauri ini, karena sesungguhnya orang yang memiliki sifat seperti yang disebutkan oleh ayat ini berarti dia telah memasukkan dirinya ke dalam ikatan Islam secara keseluruhan dan mengamalkan semua kebaikan secara menyeluruh; yaitu iman kepada Allah dan tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, juga beriman kepada para malaikat yang merupakan duta-duta antara Allah dan rasul-rasul-Nya.
Wal kitabi, merupakan isim jinis yang pengertiannya mencakup semua kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri dengan yang paling mulia di antara semuanya, yaitu kitab Al-Qur'an yang  isinya   mencakup semua kitab sebelumnya, berakhir padanya semua kebaikan, serta mengandung semua kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan diturunkan-Nya Al-Qur'an, maka di-na-sakh-lah semua kitab sebelumnya, di dalamnya terdapat anjuran beriman kepada semua nabi Allah dari permulaan hingga yang paling akhir, yaitu Nabi Muhammad Saw.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ}
dan memberikan harta yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177)
Yakni mengeluarkannya, sedangkan dia mencintainya dan berhasrat kepadanya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnu Jubair, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahihain dari hadis Abu Hurairah secara marfu', yaitu:
"أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى، وَتَخْشَى الْفَقْرَ".
Sedekah yang paling ulama ialah bila kamu mengeluarkannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi pelit bercita-cita ingin kaya dan takut jatuh miskin.
وَقَدْ رَوَى الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ، مِنْ حَدِيثِ شُعْبَةَ وَالثَّوْرِيِّ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ زُبَيد، عَنْ مُرَّة، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ} أَنْ  تُعْطِيَهُ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ".
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Syu'bah dan As-Sauri, dari Mansur, dari Zubair, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: "Dan memberikan harta yang dicintainya" (Al-Baqarah: 177), yaitu hendaknya kamu memberikannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi pelit, mengharapkan kecukupan dan takut jatuh miskin.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), sedangkan keduanya tidak mengetengahkannya.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Waki', dari Al-A'masy, dan Sufyan, dari Zubaid, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud secara mauquf dan lebih sahih.
Allah Swt. telah berfirman:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعامَ عَلى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً. إِنَّما نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزاءً وَلا شُكُوراً
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Al-Insan: 8-9)
لَنْ تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92)
وَيُؤْثِرُونَ عَلى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كانَ بِهِمْ خَصاصَةٌ
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. (Al-Hasyr: 9)
Apa yang telah disebutkan oleh ketiga ayat di atas merupakan jenis lain dari cara bersedekah yang lebih tinggi kedudukannya daripada yang disebutkan oleh ayat ini (Al-Baqarah: 177). Demikian itu karena mereka lebih mengutamakan diri orang lain daripada diri mereka sendiri, padahal mereka sangat memerlukannya, tetapi mereka tetap memberikannya dan memberi makan orang-orang lain dari harta yang mereka sendiri mencintai dan memerlukannya.
Yang dimaksud dengan Zawil Qurba dalam ayat ini ialah kaum kerabat lelaki yang bersangkutan, mereka adalah orang-orang yang lebih utama untuk diberi sedekah. Seperti yang telah ditetapkan di dalam hadis sahih, yaitu:
«الصَّدَقَةُ عَلَى الْمَسَاكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ، فَهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِكَ وَبِبِرِّكَ وَإِعْطَائِكَ»
Sedekah kepada orang-orang miskin adalah suatu sedekah, dan sedekah kepada kerabat merupakan dua amal, yaitu sedekah dan silaturahmi. Karena kaum kerabat adalah orang-orang yang lebih utama bagimu untuk mendapatkan kebajikan dan pemberianmu.
Allah Swt. telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada kaum kerabat, hal ini diutarakan-Nya bukan hanya pada satu tempat dari kitab-Nya.
Wal yatama, yang dimaksud dengan anak-anak yatim ialah mereka yang tidak mempunyai penghasilan, sedangkan ayah-ayah mereka telah tiada, mereka dalam keadaan lemah, masih kecil, dan berusia di bawah usia balig serta belum mampu mencari mata pencaharian. Sehubungan dengan masalah ini Abdur Razzaq mengatakan:
أَنْبَأَنَا مَعْمَر، عَنْ جُوَيْبِرٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ، عَنِ النَّزَّالِ بْنِ سَبْرَةَ، عَنْ عَلِيٍّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يُتْم بَعْدَ حُلُم".
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Juwaibir, dari Ad-Dahhak, dari An-Nizal ibnu Sabrah, dari sahabat Ali, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Tiada yatim lagi sesudah usia balig.
Wal masakin, mereka adalah orang-orang yang tidak dapat menemukan apa yang mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Untuk itu mereka diberi apa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَيْسَ الْمِسْكِينُ بهذا الطوَّاف الذي تَرده التمرة وَالتَّمْرَتَانِ وَاللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدق عَلَيْهِ.
Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling (meminta-minta) yang pergi setelah diberi sebutir atau dua butir kurma, dan sesuap atau dua suap makanan, tetapi orang miskin yang sesungguhnya ialah orang yang tidak mendapatkan apa yang mencukupinya, dan pula keadaan dirinya tidak diketahui (sebagai orang miskin) hingga mudah diberi sedekah.
Yang dimaksud dengan ibnu sabil ialah orang musafir jauh yang kehabisan bekalnya, untuk itu dia harus diberi bekal yang dapat memulangkannya ke tempat tinggalnya. Demikian pula halnya orang yang akan mengadakan perjalanan untuk tujuan ketaatan, ia boleh diberi bekal yang mencukupinya buat pulang pergi.
Termasuk ke dalam pengertian ibnu sabil ialah tamu, seperti yang dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Ibnu Sabil ialah tamu yang menginap di kalangan orang-orang muslim. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Ja'far Al-Baqir, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Wassailina, mereka adalah orang-orang yang merelakan dirinya meminta-minta, maka mereka diberi dari sebagian harta zakat dan sedekah. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا وَكِيع وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ يَعْلَى بْنِ أَبِي يَحْيَى، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا -قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ -قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ".
bahwa telah menceritakan kepada kami Waki' dan Abdur Rahman; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus'ab ibnu Muhammad, dari Ya'la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya (yakni Husain ibnu Ali), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang meminta-minta mempunyai hak (untuk diberi), sekalipun dia datang dengan berkendaraan kuda. (Riwayat Imam Abu Daud)
Ar-Riqab, mereka adalah budak-budak mukatab yang tidak menemukan apa yang mereka jadikan untuk melunasi transaksi kitabahnya.
Pembahasan mengenai golongan tersebut nanti akan diterangkan di dalam ayat sedekah (zakat), bagian dari surat Al-Bara’ah (surat Taubah).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepadaku Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Fatimah binti Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Apakah pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat?" Maka beliau membacakan ayat berikut kepadanya, yaitu firman-Nya: dan memberikan harta yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177)
وَرَوَاهُ ابْنُ مَرْدُويه مِنْ حَدِيثِ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ، وَيَحْيَى بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ، كِلَاهُمَا، عن شريك، عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ" ثُمَّ تَلَا {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَفِي الرِّقَابِ}
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui hadis Adam ibnu Abu Iyas dan Yahya ibnu Abdul Hamid, keduanya menerima hadis berikut dari Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya'bi, dari Fatimah binti Qais yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Di dalam harta benda terdapat kewajiban selain zakat." Kemudian beliau membacakan firman-Nya, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan —sampai dengan firman-Nya—dan (memerdekakan) hamba sahaya" (Al-Baqarah: 177).
Hadis diketengahkan oleh Ibnu Majah dan Imam Turmuzi, tetapi Abu Hamzah (yakni Maimun Al-A'war, salah seorang perawinya) dinilai daif. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Sayyar dan Ismail ibnu Salim, dari Asy-Sya'bi.
Firman Allah Swt., "Wa-aqamas salata," artinya 'dan merampungkan semua pekerjaan salat pada waktunya masing-masing', yakni menyempurnakan rukuk-rukuknya, sujud-sujudnya, dan tumaninah serta khusyuknya sesuai dengan perintah syariat yang diridai.
Firman Allah Swt., "Wa-ataz zakata," artinya 'dan menunaikan zakat', tetapi dapat pula diinterpretasikan dengan pengertian membersihkan jiwa dan membebaskannya dari akhlak-akhlak yang rendah lagi kotor, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها. وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 9-10)
Ucapan Musa a.s. kepada Fir'aun yang disitir oleh firman-Nya:
هَلْ لَكَ إِلى أَنْ تَزَكَّى وَأَهْدِيَكَ إِلى رَبِّكَ فَتَخْشى
Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya?" (An-Nazi'at: 18-19)
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكاةَ
Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat. (Fushshilat: 6-7)
Dapat pula diartikan zakat harta benda, seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan. Dengan demikian, berarti hal yang telah disebutkan sebelumnya —yaitu memberikan sebagian harta kepada golongan-golongan yang telah disebutkan— hanyalah dianggap sebagai amal tatawwu' (sunat), kebajikan, dan silaturahmi. Sebagai dalilnya ialah hadis Fatimah binti Qais yang telah disebutkan di atas, yaitu yang menyatakan bahwa pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat.
******
Firman Allah Swt.:
{وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا}
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji. (Al-Baqarah: 177)
Ayat ini semakna dengan firman Allah Swt.:
{الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ}
(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. (Ar-Ra'd: 20)
Kebalikan dari sifat ini adalah sifat munafik. Seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih, yaitu:
"آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ".
Pertanda munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, berkhianat.
Di dalam hadis lainnya disebutkan seperti berikut:
:"إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ"
Apabila berbicara, berdusta; apabila berjanji, merusak (janjinya); dan apabila bersengketa, berbuat curang.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ}
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. (Al-Baqarah: 177)
Yang dimaksud dengan ba-sa ialah dalam keadaan miskin dan fakir, sedangkan yang dimaksud dengan darra ialah dalam keadaan sakit dan kesusahan. Yang dimaksud dengan hinal ba-su ialah ketika peperangan sedang berkecamuk. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Murrah Al-Hamdani, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Abu Malik, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.
Sesungguhnya lafaz sabirina di-nasab-kan karena mengandung pujian terhadap sikap sabar dan sekaligus sebagai anjuran untuk bersikap sabar dalam situasi seperti itu, mengingat situasinya sangat keras lagi sulit.
******
Firman Allah Swt.:
{أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا}
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). (Al-Baqarah: 177)
Maksudnya, mereka yang memiliki sifat-sifat ini adalah orang-orang yang benar imannya, karena mereka merealisasikan iman hati dengan ucapan dan amal perbuatan; maka mereka itulah orang-orang yang benar. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa, karena mereka memelihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mengerjakan semua amal ketaatan.

Al-Baqarah, ayat 178-179 

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (178) وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (179) }
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa.
Allah Swt. berfirman, "Telah diharuskan atas kalian berbuat adil dalam hukum qisas, hai orang-orang mukmin; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita; janganlah kalian melampaui batas dan jangan pula kalian berbuat aniaya, sebagaimana orang-orang sebelum kalian berbuat kelewat batas karena mereka mengubah hukum Allah yang berkaitan dengan qisas."
Penyebabnya ialah Bani Quraizz dan Bani Nadir. Di masa Jahiliah Bani Nadir berperang melawan Bani Quraizz dan dapat mengalahkan mereka. Tersebutlah bahwa apabila seorang dari Bani Nadir membunuh seorang dari Bani Quraizz, maka si pembunuh tidak dikenakan hukum balasan, melainkan hanya membayar tebusan berupa seratus wasaq kurma. Tetapi apabila seorang Quraizz membunuh seorang Nadir, maka tebusannya dua kali lipat, yaitu dua ratus wasaq kurma; jika tidak, ia akan dikenakan hukuman qisas (dibunuh lagi). Maka Allah memerintahkan agar keadilan ditegakkan dalam hukum qisas, tidak boleh mengikuti jalan orang-orang yang merusak lagi menyimpang dan menentang hukum-hukum Allah di kalangan mereka karena ingkar dan melampaui batas. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى}
Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178)
Mengenai asbabun nuzul ayat ini, menurut riwayat Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (Al-Baqarah: 178) Yakni jika kasus pembunuhan terjadi dengan sengaja, maka ketentuan hukumnya ialah orang merdeka dengan orang merdeka. Demikian itu karena ada dua kabilah dari kalangan orang-orang Arab saling berperang di zaman Jahiliah yang mendekati zaman Islam dalam jangka waktu yang tidak begitu lama. Dahulu di antara mereka terjadi pembunuhan dan pelukaan, yang terbunuh termasuk budak-budak dan kaum wanita. Maka sebagian dari mereka belum sempat menuntut sebagian yang lain hingga mereka masuk Islam semuanya. Salah satu dari kedua belah pihak mempunyai keunggulan atas pihak lain yang menjadi lawannya dalam hal persenjataan dan harta benda (perbekalan). Mereka bersumpah bahwa mereka tidak rela sebelum orang merdeka dari kalangan musuhnya dibunuh karena membunuh budak dari kalangan mereka, dan seorang lelaki dari kalangan musuh dibunuh karena membunuh seorang wanita dari kalangan mereka. Berkenaan dengan mereka itu turunlah firman-Nya: Orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178) Sebagian dari kandungan ayat ini ada yang di-mansukh dengan ayat yang menyatakan, "Jiwa dengan jiwa."
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: wanita (dihukum mati) karena (membunuh) wanita. (Al-Baqarah: 178) Demikian itu membuat mereka tidak menghukum mati lelaki karena membunuh wanita. Mereka hanya membunuh lelaki karena membunuh lelaki lainnya, dan wanita dibunuh karena membunuh wanita lainnya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata. (Al-Maidah: 45)
Dengan demikian, orang-orang yang merdeka dijadikan sama dalam hukum qisas dalam kasus pembunuhan yang terjadi di antara sesama mereka dengan sengaja; kaum lelaki dan kaum wanitanya dalam kasus jiwa dan pelukaan diberlakukan sama, tanpa membedakan jenis kelamin. Budak-budak dijadikan sama di antara sesama mereka dalam kasus pembunuhan yang disengaja, demikian pula dalam kasus pelukaan di antara kaum lelaki dan kaum wanitanya.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abu Malik, bahwa ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: jiwa (dibalas) dengan jiwa. (Al-Maidah: 45)
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang merdeka dihukum mati karena membunuh budak, berdasarkan keumuman makna ayat surat Al-Maidah (ayat 45). Pendapat ini diikuti oleh As-Sauri, Ibnu Abu Laila, dan Daud. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, dan Al-Hakam.
Imam Bukhari, Ali ibnul Madini, Ibrahim An-Nakha'i, dan As-Sauri menurut salah satu riwayat darinya mengatakan bahwa seorang tuan pemilik budak dihukum mati karena membunuh budaknya, karena keumuman makna hadis Al-Hasan dari Samurah yang mengatakan:
"مَنْ قَتَلَ عَبْدَهُ قَتَلْنَاهُ، وَمَنْ جَذَعَهُ جَذَعْنَاهُ، وَمَنْ خَصَاهُ خَصَيْنَاهُ"
Barang siapa yang membunuh budaknya, maka kami bunuh pula dia; dan barang siapa yang memotong hidung budaknya, maka kami potong pula hidungnya; dan barang siapa yang mengebiri budaknya, maka kami kebiri pula ia.
Akan tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat dengan mereka. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang merdeka tidak dihukum mati karena membunuh budak, karena budak kedudukannya sama dengan barang dagangan; sekiranya seorang budak dibunuh secara keliru (tidak sengaja), maka tidak wajib diat dalam kasusnya, melainkan yang wajib hanyalah membayar harga budak tersebut. Demikian pula halnya dalam kasus pemotongan anggota tubuh, tidak ada hukum balasan; terlebih lagi terhadap jiwa, tidak ada hukuman qisas bagi orang merdeka yang melakukannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir, berdasarkan sebuah hadis sahih yang diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Ali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ"
Orang muslim tidak dihukum mati karena (membunuh) orang kafir.
Tidak ada suatu hadis atau asar sahih pun yang bertentangan dengan makna hadis ini.
Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang muslim tetap dihukum mati karena membunuh orang kafir, karena keumuman surat Al-Maidah ayat 45.
Al-Hasan dan Ata mengatakan bahwa seorang lelaki tidak dihukum mati karena membunuh seorang wanita, berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 178. Berbeda dengan jumhur ulama, mereka berpendapat sebaliknya karena berdasarkan surat Al-Maidah ayat 45. Juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ"
Orang-orang muslim itu, darah mereka sebanding (satu sama lainnya).
Al-Lais mengatakan, sekiranya seorang suami membunuh istrinya, maka si suami tidak dikenai hukuman mati hanya karena membunuh istrinya.
Mazhab keempat Imam dan jumhur ulama mengatakan bahwa sejumlah orang-orang terkena hukuman mati semuanya karena membunuh satu orang. Khalifah Umar r.a. pernah berkata dalam kasus seorang pelayan yang dibunuh oleh tujuh orang, "Seandainya semua penduduk San'a ikut mengeroyoknya, niscaya aku hukum mati mereka semuanya." Ternyata di masanya itu tidak ada seorang sahabat pun yang menentang pendapatnya; yang demikian itu sama kedudukannya dengan ijma' (kesepakatan).
Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad sebuah riwayat yang menyatakan bahwa suatu jamaah tidak dibunuh karena hanya membunuh satu orang, dan tidaklah suatu jiwa itu dihukum mati kecuali karena membunuh satu jiwa lainnya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnul Munzir, dari Mu'az dan Ibnuz Zubair, Abdul Malik ibnu Marwan, Az-Zuhri, Ibnu Sirin, dan Habib ibnu Abu Sabit. Kemudian Ibnul Munzir mengatakan bahwa sanad riwayat ini lebih sahih, dan tidak ada hujah bagi orang yang membolehkan menghukum mati suatu jamaah karena hanya membunuh satu orang. Sesungguhnya terbukti adanya suatu riwayat dari Ibnuz Zubair yang menentang pendapat pertama tadi. Untuk itu apabila para sahabat berbeda pendapat, maka jalan keluarnya ialah mempertirnbangkannya.
************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ}
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178)
Mujahid mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Yakni konsekuensi memberi maaf dalam kasus pembunuhan secara sengaja ialah menerima pembayaran diat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abul Aliyah, Abusy Sya'sa, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Bahwa barang siapa yang diberi suatu pemaafan dari saudaranya, yakni saudaranya memilih mengambil diat sesudah berhak menuntut darah, yang demikian itulah yang dimaksud dengan pemaafan. Selanjutnya disebutkan: hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 178) Dengan kata lain, pihak si penuntut hendaklah mengikuti cara yang baik bila ia menerima diat, yakni jangan mempersulit dan mengada-ada. dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178) Yakni hendaklah si pembunuh membayar diat-nya tanpa membahayakan dirinya, juga tidak boleh menolak.
Telah diriwayatkan oleh Imam Hakim melalui hadis Sufyan, dari Amr, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah hendaklah orang yang diberi maaf menunaikan apa yang diminta pihak si terbunuh dengan cara yang baik. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan, Qatadah, Ata Al-Khurra-sani, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Imam Malik mengatakan di dalam riwayat Ibnul Qasim darinya, yang merupakan pendapat yang terkenal di kalangan mazhabnya. Begitu pula Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, juga Imam Syafii dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa pihak wali darah tidak mempunyai hak memberi maaf dengan imbalan diat, kecuali dengan kerelaan dari pihak si pembunuh. Sedangkan ulama lainnya berpendapat, pihak wali darah boleh memaafkan dengan imbalan diat, sekalipun pihak si pembunuh tidak rela.
Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa bagi kaum wanita tidak ada hak untuk memberi maaf. Mereka yang mengatakan demikian antara lain Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ibnu Syabramah, Al-Lais, dan Al-Auza'i; tetapi ulama Salaf lainnya berpendapat berbeda.
*************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ}
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat. (Al-Baqarah: 178)
Yakni sesungguhnya Allah mensyariatkan kepada kalian pembayaran diat dalam kasus pembunuhan sengaja tidak lain hanyalah suatu keringanan dari Allah buat kalian dan merupakan suatu rahmat bagi kalian, yang membebaskan kalian dari apa yang berlaku di kalangan umat-umat terdahulu sebelum kalian, yaitu hukuman mati atau memaafkan secara cuma-cuma.
Seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diwajibkan atas kaum Bani Israil hukuman qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh tanpa ada pemaafan di kalangan mereka. Maka Allah berfirman kepada umat ini (umat Nabi Muhammad Saw.): Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Pemaafan itu ialah menerima diat dalam kasus pembunuhan sengaja. Yang demikian itu merupakan keringanan ketimbang apa yang diwajibkan atas kaum Bani Israil dan umat-umat sebelum kalian. hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178)
Takwil ini telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja, melalui Amr. Diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui Amr ibnu Dinar; hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Jamaah melalui Mujahid, dari Ibnu Abbas.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 178) Semoga Allah merahmati umat ini, Allah telah memperkenankan bagi mereka makan hasil diat yang belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumnya. Tersebutlah bahwa hukum yang berlaku di kalangan ahli Taurat hanyalah qisas dan pemaafan tanpa diat. Sedangkan dalam syariat ahli Injil, hanya maaf belaka yang dianjurkan kepada mereka. Maka Allah menjadikan bagi umat ini hukum qisas dan pemaafan serta diat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Muqatil ibnu Hayyan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (Al-Baqarah: 178)
Dengan kata lain, barang siapa yang membunuh sesudah mengambil diat dari si terbunuh atau sesudah ia setuju dengan diat, maka baginya siksa Allah yang sangat pedih lagi menyakitkan dan sangat keras.
Demikianlah takwil ayat menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Kesimpulan dari semuanya itu, yang dimaksud dengan orang yang melampaui batas ialah orang yang membunuh si pembunuh sesudah mengambil diat darinya.
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ أَبِي الْعَوْجَاءِ، عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيِّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أُصِيبَ بِقَتْلٍ أَوْ خَبْل فَإِنَّهُ يَخْتَارُ إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يَقْتَصَّ، وَإِمَّا أَنْ يَعْفُوَ، وَإِمَّا أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ؛ فَإِنْ أَرَادَ الرَّابِعَةَ فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ. وَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ نَارُ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا"
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Al-Haris ibnu Fudail, dari Sufyan ibnu Abul Auja, dari Abu Syuraih Al-Khuza'i, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang tertimpa musibah pembunuhan atau pelukaan, maka sesungguhnya dia memilih salah satu di antara tiga perkara, yaitu: Adakalanya meng-qisas (pelakunya), adakalanya memaafnya, dan adakalanya mengambil diat. Dan jika dia menghendaki yang keempat, maka belenggulah kedua tangannya (lakukanlah qisas terhadapnya). Dan barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. (Riwayat Imam Ahmad)
Sa'id ibnu Abu Urubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"لا أُعَافِي رَجُلًا قَتَلَ بَعْدَ أَخْذِ الدِّيَةِ -يَعْنِي: لَا أَقْبَلُ مِنْهُ الدِّيَةَ -بَلْ أَقْتُلُهُ"
Aku tidak akan memaafkan seorang lelaki yang membunuh (si pembunuh) sesudah dia mengambil diat (darinya).
Dengan kata lain, aku tidak mau menerima diat darinya melainkan kujalankan hukum qisas terhadapnya, tanpa ampun.
************
Firman Allah Swt.:
{وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ}
Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian. (Al-Baqarah: 179)
Allah Swt. berfirman bahwa di dalam pen-tasyri'-an hukum qisas bagi kalian, yakni membunuh si pembunuh, terkandung hikmah yang besar, yaitu jaminan kelangsungan hidup dan terpeliharanya nyawa. Sesungguhnya seseorang itu apabila mengetahui (jika dia membunuh seseorang, maka ia akan dikenai hukuman mati), niscaya dia akan mencegah dirinya dari melakukan niatnya itu. Di dalam peraturan ini terkandung jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia.
Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa hukum mati itu lebih meniadakan pembunuhan. Maka pengertian ini diungkapkan oleh Al-Qur'an dengan ungkapan yang lebih fasih, lebih mengena, dan lebih ringkas, yaitu melalui firman-Nya:  Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian. (Al-Baqarah: 179)
Abul Aliyah mengatakan, Allah menjadikan hukum qisas sebagai jaminan kelangsungan hidup bagi kalian; karena berapa banyak orang dari kaum laki-laki yang hendak melakukan pembunuhan, tetapi niatnya itu dia urungkan karena takut akan terkena hukum qisas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
************
Firman Allah Swt.:
{يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 179)
Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang berakal, mempunyai pengertian dan pemahaman (ditetapkan-Nya demikian itu) supaya kalian sadar dan menghentikan hal-hal yang diharamkan Allah dan semua perbuatan dosa." Takwa merupakan isim yang pengertiannya mencakup semua perbuatan taat dan menghentikan hal-hal yang mungkar.

Al-Baqarah, ayat 180-182

{كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180) فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (181) فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (182) }
Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa, Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat yang mulia ini mengandung perintah berwasiat buat kedua orang tua dan kaum kerabat. Pada mulanya hal ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, yakni sebelum turunnya ayat mawaris (pembagian waris). Setelah ayat faraid (pembagian waris) diturunkan, maka ayat ini di-mansukh olehnya.
Dengan demikian, sejak diturunkan ayat faraid, maka bagian-bagian waris yang telah ditentukan merupakan hukum fardu dari Allah yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang bersangkutan dengan tegas tanpa melalui proses wasiat lagi. Hukum-hukum bagian waris ini tidak mengandung pengertian pemberian dari pihak orang yang berwasiat.
Karena itu, telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab sunnah dan kitab lainnya, melalui Amr ibnu Kharijah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw, berkhotbah, yang antara lain mengatakan:
"إِنِ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ"
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak atas bagiannya (masing-masing), maka tidak ada lagi wasiat bagi ahli waris.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa sahabat Ibnu Abbas duduk di suatu majelis, lalu ia membaca surat Al-Baqarah sampai pada firman-Nya: Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya. (Al-Baqarah: 180) Lalu ia mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Hasyim, dari Yunus dengan lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkannya pula di dalam kitab Mustadrak-nya, dan mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat keduanya (yakni Bukhari dan Muslim).
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya. (Al-Baqarah: 180) Pada mulanya tidak ada yang berhak mewaris selain dari ibu bapak, kecuali melalui proses wasiat bagi kaum kerabat. Maka Allah menurunkan ayat mira's (pembagian waris) dan menjelaskan padanya bagian waris dari ibu bapak, serta menetapkan wasiat buat kaum kerabat dalam sepertiga dari harta peninggalan si mayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: berwasiat buat ibu bapak dan kaum kerabatnya. (Al-Baqarah: 180)
Ayat ini dimansukh oleh firman-Nya:
لِلرِّجالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً مَفْرُوضاً
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa: 7)
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu Musa, Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Sirin, Ikrimah, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Tawus Ibrahim An-Nakha'i, Syuraih, Ad-Dahhak, dan Az-Zuhri, bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 180) telah dimansukh; yang me-mansukh-nya adalah ayatul miras (ayat yang menerangkan bagian-bagian tertentu dalam pewarisan).
Akan tetapi, yang mengherankan adalah pendapat yang dikatakan oleh Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi. Dia mengatakan di dalam kitab Tafsirul Kabir-nya, meriwayatkan pendapat Abu Muslim Al-Asfahani, bahwa ayat ini tidak di-mansukh, dan sesungguhnya ia hanya ditafsirkan oleh ayatul mawaris. Hal ini berarti makna yang dimaksud ialah diwajibkan atas kalian apa yang telah disyariatkan Allah kepada kalian tentang pembagian pusaka untuk ibu bapak dan kaum kerabat, yakni bagian dari firman-Nya:
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ}
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 11)
Selanjutnya Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi mengatakan, hal ini merupakan pendapat kebanyakan ahli tafsir dan ahli fiqih yang dianggap. Ia mengatakan pula bahwa di antara mereka ada yang mengatakan, sesungguhnya surat Al-Baqarah ayat 180 ini di-mansukh berkenaan dengan orang-orang yang mempunyai hak waris, dan tetap hukumnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai hak waris.  Pendapat ini merupakan mazhab Ibnu Abbas, Al-Hasan, Masruq, Thawus, Ad-Dahhak, Muslim ibnu Yasar, dan Al-Ala ibnu Ziad.
Menurut kami, pendapat ini dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan; tetapi pendapat mereka ini menurut peristilahan di kalangan kami ulama mutaakhkhirin bukan dinamakan nasakh, karena ayatul mawaris hanyalah menghapus sebagian hukum yang ditunjukkan oleh keumuman makna ayat wasiat. Mengingat istilah kaum kerabat mencakup orang-orang yang mempunyai hak waris dan orang-orang yang tidak mempunyai hak waris, maka dihapuslah hukum yang menyangkut orang-orang yang berhak mewaris karena telah ada bagian tertentu baginya, sedangkan untuk yang lainnya yang tidak mempunyai bagian tertentu masih tetap berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh ayat pertama (Al-Baqarah ayat 180). Pengertian ini hanyalah berdasarkan interpretasi pendapat sebagian dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa wasiat itu pada permulaan Islam hanyalah sunat, hingga ia di-mansukh.
Menurut orang yang berpendapat bahwa hukum wasiat itu pada mulanya adalah wajib, seperti yang ditunjukkan oleh makna lahiriah konteks ayat, maka sudah dapat ditentukan bahwa ia di-mansukh oleh ayat miras. Seperti yang dikatakan oleh kebanyakan Mufassirin dan para ahli fiqih terkemuka. Mereka mengatakan, sesungguhnya hukum wajib berwasiat buat kedua orang tua dan kaum kerabat yang mewaris dimansukh oleh ayat miras menurut ijma', dan bahkan dilarang karena dalil hadis yang telah lalu, yaitu sabda Nabi Saw.: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak (mewaris) bagiannya masing-masing. Maka tidak ada wasiat (lagi) bagi orang yang mewaris.
Ayat mengenai pembagian waris merupakan hukum menyendiri dan kewajiban dari sisi Allah buat orang-orang yang memiliki bagian tertentu dan asabah. Ayat ini menghapuskan hukum yang mewajibkan wasiat secara keseluruhan.
Dengan demikian, yang tertinggal adalah kaum kerabat yang tidak mempunyai bagian tertentu. Untuk mereka disunatkan berwasiat yang diambil dari sepertiga harta peninggalan, demi menghargai ayat wasiat dan keumuman maknanya; juga karena apa yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ". قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا مَرَّتْ عَلَيّ لَيْلَةً مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ إِلَّا وَعِنْدِي وَصِيَّتِي
Tiadalah kewajiban seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang akan ia wasiatkan, lalu ia lewatkan waktu selama dua malam, melainkan wasiatnya itu harus sudah tertulis di sisinya. Selanjutnya Ibnu Umar r.a. mengatakan, "Tidak sekali-kali lewat bagiku satu malam sejak aku mendengar hadis ini dari Rasulullah Saw. kecuali wasiatku telah kupersiapkan di sisiku."
Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi Saw. yang menganjurkan berbuat baik kepada kaum kerabat dan menyantuni mereka sangat banyak.
قَالَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ مُبَارَكِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ نَافِعٍ قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، ثِنْتَانِ لَمْ يَكُنْ لَكَ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا: جَعَلْتُ لَكَ نَصِيبًا فِي مَالِكَ حِينَ أَخَذْتُ بِكَظْمِكَ؛ لِأُطَهِّرَكَ بِهِ وَأُزَكِّيَكَ، وَصَلَاةُ عِبَادِي عَلَيْكَ بَعْدَ انْقِضَاءِ أَجَلِكَ".
Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Abdullah, dari Mubarak ibnu Hassan, dari Nafi' yang menceritakan, Abdullah pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:  Allah Swt. berfirman, "Hai anak Adam, ada dua perkara yang tiada satu pun di antaranya merupakan milikmu: Aku jadikan buatmu suatu bagian pada harta milikmu di saat Aku menimpakan sakit kepadamu untuk membersihkan dan menyucikan dirimu melaluinya, dan salat hamba-hamba-Ku untukmu sesudah kamu menunaikan ajalmu (mati)."
**************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ تَرَكَ خَيْرًا}
jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180)
Yang dimaksud dengan khairan atau kebaikan ialah harta benda. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Atiyyah Al-Aufi, Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, Qatadah, dan lain-lainnya.
Kemudian sebagian di antara mereka mengatakan bahwa wasiat itu disyariatkan tanpa memandang apakah harta peninggalan berjumlah banyak ataupun sedikit, perihalnya sama dengan yang untuk ahli waris.
Di antara mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wasiat itu diwajibkan hanya bila orang yang bersangkutan meninggalkan harta yang berjumlah banyak. Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai kadar yang termasuk jumlah banyak ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Ali r.a. bahwa sesungguhnya seorang lelaki dari kabilah Quraisy telah meninggal dunia dan meninggalkan harta sebanyak tiga ratus atau empat ratus dinar, tetapi ia tidak berwasiat. Maka Ali r.a. menjawab bahwa jumlah tersebut masih belum banyak, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa Ali r.a. masuk ke dalam rumah seorang lelaki dari kalangan kaumnya (Quraisy) untuk menjenguknya. Maka lelaki itu berkata kepadanya, "Apakah aku harus berwasiat?" Ali r.a. menjawab: "Sesungguhnya Allah Swt. hanya mengatakan dalam firman-Nya, ‘Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat' (Al-Baqarah: 180) Dan sesungguhnya harta yang kamu tinggalkan hanyalah berjumlah sedikit, maka biarkanlah untuk anakmu.”
Imam Hakim bin Iban mengatakan: pernah menceritakan kepadaku sebuah asar dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180) Maka Ibnu Abbas berkata, "Barang siapa yang tidak meninggalkan sejumlah enam puluh dinar, berarti dia tidak meninggalkan kebaikan (harta yang banyak)."
Imam Hakim mengatakan bahwa Tawus pernah mengatakan, "Masih belum dikatakan meninggalkan harta yang banyak seseorang yang tidak meninggalkan harta sejumlah delapan puluh dinar."
Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan harta yang banyak ialah sejumlah seribu dinar hingga lebih.
Yang dimaksud dengan bil ma'ruf ialah dengan cara yang baik dan lemah lembut.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Diwajibkan atas kalian apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut. (Al-Baqarah: 180) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Sebaik-baik wasiat, yang merupakan perkara yang hak atas setiap orang muslim, ialah hendaknya ia berwasiat dengan cara yang makruf (bukan mungkar) apabila kedatangan tanda-tanda maut." Yang dimaksud dengan cara yang makruf ialah hendaknya dia berwasiat untuk kaum kerabatnya suatu wasiat yang tidak menghabiskan bagian ahli warisnya, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula terlalu pelit. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain, yaitu:
أَنَّ سَعْدًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي مَالًا وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي، أَفَأُوصِي بثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: "لَا" قَالَ: فبالشَّطْر؟ قَالَ: "لَا" قَالَ: فَالثُّلُثُ ؟ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ؛ إِنَّكَ أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ".
Bahwa Sa'd bertanya,  "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta yang banyak, sedangkan aku tidak mempunyai ahli waris selain anak perempuanku, maka bolehkah aku berwasiat dengan dua pertiga hartaku?" Rasul Saw. menjawab, "Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan separonya?" Rasul Saw. menjawab, "Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan sepertiga?" Rasul Saw. menjawab, "Sepertiga, ya sepertiga cukup banyak. Sesungguhnya kamu jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, jauh lebih baik daripada kamu tinggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang lain."
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan:
لَوْ أَنَّ النَّاسَ غَضوا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ"
Seandainya orang-orang mengurangi sepertiga hingga seperempatnya (niscaya baik bagi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, "Sepertiga. Sepertiga itu cukup banyak."
رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، عَنْ ذَيَّالِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ حَنْظَلَةَ، سَمِعْتُ حَنْظَلَةَ بْنَ حِذْيَمِ بْنِ حَنِيفَةَ: أَنَّ جِدَّهُ حَنِيفَةَ أَوْصَى لِيَتِيمٍ فِي حِجْرِهِ بِمِائَةٍ مِنَ الْإِبِلِ، فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى بَنِيهِ، فَارْتَفَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ حَنِيفَةُ: إِنِّي أَوْصَيْتُ لِيَتِيمٍ لِي بِمِائَةٍ مِنَ الْإِبِلِ، كُنَّا نُسَمِّيهَا الْمُطَيَّبَةَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، "لَا لَا لَا. الصَّدَقَةُ: خَمْسٌ، وَإِلَّا فعَشْر، وَإِلَّا فَخَمْسَ عَشْرَةَ، وَإِلَّا فَعِشْرُونَ، وَإِلَّا فَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ، وَإِلَّا فَثَلَاثُونَ، وَإِلَّا فَخَمْسٌ وَثَلَاثُونَ، فَإِنْ أَكْثَرْتَ فَأَرْبَعُونَ". وَذَكَرَ الْحَدِيثَ بِطُولِهِ
Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id maula Bani Hasyim, dari Ziad ibnu Atabah ibnu Hanzalah bahwa ia pernah mendengar Hanzalah ibnu Juzaim ibnu Hanifah menceritakan bahwa kakeknya yang bernama Hanifah pernah berwasiat seratus ekor unta untuk seorang anak yatim yang berada dalam pemeliharaannya. Hal tersebut dirasakan amat berat bagi anak-anaknya, lalu mereka melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Hanifah berkata, "Sesungguhnya aku mewasiatkan buat anak yatimku ini sebanyak seratus ekor unta. Unta-unta itu kami namakan Matiyyah." Maka Nabi Saw. menjawab: Tidak, tidak, tidak, sedekah (zakat) saja hanya seperlimanya. Jika tidak, maka sepuluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka lima belas ekor unta saja; dan jika tidak, maka dua puluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka dua puluh lima ekor unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh lima ekor unta saja. Akan tetapi, jika ternak unta berjumlah banyak, boleh empat puluh ekor unta. Lalu hadis ini dikemukakannya hingga selesai.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ}
Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. (Al-Baqarah: 181)
Yakni barang siapa yang mengubah wasiat dan menyelewengkannya hingga menyimpang dari ketentuannya, baik dengan melebihkannya atau menguranginya, dan termasuk ke dalam pengertian ini ialah orang yang menyembunyikan wasiat secara lebih prioritasnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.
Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan, "Pahala mayat tetap ada di sisi Allah, sedangkan dosa mengubah wasiat ditanggung oleh orang-orang yang mengubahnya."
{إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 181)
Yakni Allah melihat apa yang diwasiatkan oleh si mayat, dan Dia Maha Mengetahui hal tersebut dan apa yang diubah oleh orang-orang yang menerima wasiat.
**************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا}
(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa. (Al-Baqarah: 182)
Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi mengatakan bahwa al-janaf ialah keliru, tetapi yang ini pengertiannya mencakup segala macam kekeliruan. Misalnya mereka menambahkan bagian salah seorang ahli waris dengan memakai suatu perantara atau suatu cara. Umpamanya bila ia mewasiatkan untuk menjual sesuatu kepada si Fulan dengan harga yang sangat murah, atau mewasiatkan sesuatu kepada cucu lelakinya yang lahir dari anak perempuan dengan tujuan untuk menambah bagian si anak perempuan, atau dengan cara lainnya. Hal ini dia lakukan baik secara tidak sengaja —karena terdorong oleh emosi dan kekuatan kasih sayangnya tanpa berpikir terlebih dahulu— ataupun ia lakukan dengan sengaja tanpa memikirkan dosanya, maka dalam keadaan seperti ini si penerima harus memperbaiki permasalahannya dan bersikap adil dalam menangani wasiat yang diterimanya itu sesuai dengan ketentuan hukum syara'. Dan hendaknya merevisi apa yang diwasiatkan oleh si mayat dengan meluruskannya kepada apa yang lebih dekat kepada hukum yang benar dan maksud yang dituju oleh si mayat. Singkatnya, menggabungkan tujuan si pemberi wasiat dengan hukum syar'i. Perbaikan dan penyesuaian ini sama sekali bukan termasuk ke dalam pengertian mengubah wasiat. Karena itulah maka ia di-'ataf"-kan (dikaitkan) dengan kalimat sebelumnya yang menunjukkan pengertian dilarang, untuk diketahui bahwa cara ini sama sekali berbeda dengan cara pertama tadi.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ بْنِ مَزيد، قِرَاءَةً، أَخْبَرَنِي أَبِي، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ الزُّهْرِيُّ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّهُ قَالَ: "يُرَدّ مِنْ صَدقة الْحَائِفِ فِي حَيَاتِهِ مَا يُرَدُّ مِنْ وَصِيَّةِ الْمُجْنِفِ عِنْدَ مَوْتِهِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazid secara qiraah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-Auza'i, bahwa Az-Zuhri pernah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dikembalikan sebagian dari sedekah orang yang aniaya selagi ia masih hidup, sebagaimana dikembalikan sebagian wasiat orang yang berat sebelah setelah ia meninggal dunia.
Diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Abbas ibnul Walid dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Al-Walid ibnu Mazid melakukan kekeliruan padanya, perkataan ini hanyalah dari Urwah saja. Al-Walid ibnu Muslim meriwayatkannya pula dari Al-Auza'i, dan dalam sanadnya ini ia tidak sampai kepada Urwah.
قَالَ ابْنُ مَرْدويه أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيِ هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْحَيْفُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ"
Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Mugirah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang bersabda: Berat sebelah dalam wasiat merupakan dosa besar.
Mengenai status rafa" hadis ini masih perlu dipertimbangkan.
Hadis yang paling baik mengenai bab ini ialah apa yang dikatakan oleh Abdur Razzaq:
حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنْ أشعثَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ شَهْر بْنِ حَوْشَب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الرَّجُلَ ليعملُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْخَيْرِ سبعينَ سنة، فإذا أوصى حاف في وصيته فَيُخْتَمُ لَهُ بِشَرِّ عَمَلِهِ، فَيَدْخُلُ النَّارَ، وَإِنَّ الرجل ليعمل بعَمَل أهل الشر سبعينَ سنة، فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ عَمَلِهِ، فيدخل الجنة"
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Asy'as ibnu Abdullah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu amalan ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun; tetapi apabila ia berwasiat, lalu ia berat sebelah dalam wasiatnya itu, maka dia akan diakhiri dengan keburukan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu amalan ahli keburukan selama tujuh puluh tahun, tetapi ternyata berlaku adil dalam wasiatnya, maka dia akan diakhiri dengan kebaikan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam surga.
Selanjutnya Abu Hurairah r.a. mengatakan, "Bacalah oleh kalian bila kalian suka," yaitu firman-Nya: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. (Al-Baqarah: 229)

Al-Baqarah, ayat 183-184

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184) }
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.
Melalui ayat ini Allah Swt. ber-khitab kepada orang-orang mukmin dari kalangan umat ini dan memerintahkan kepada mereka berpuasa, yaitu menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt. Karena di dalam berpuasa terkandung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya serta membebaskannya dari endapan-endapan yang buruk (bagi kesehatan tubuh) dan akhlak-akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, sebagaimana puasa diwajibkan atas mereka, sesungguhnya Allah pun telah mewajibkannya atas umat-umat sebelum mereka. Dengan demikian, berarti mereka mempunyai teladan dalam berpuasa, dan hal ini memberikan semangat kepada mereka dalam menunaikan kewajiban ini, yaitu dengan penunaian yang lebih sempurna dari apa yang telah ditunaikan oleh orang-orang sebelum mereka. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
لِكُلٍّ جَعَلْنا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهاجاً وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَلكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ
Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja); tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (Al-Maidah: 48), hingga akhir ayat.
Karena itulah maka dalam ayat ini disebutkan:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 183)
Dikatakan demikian karena puasa mengandung hikmah menyucikan tubuh dan mempersempit jalan-jalan setan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain, yaitu:
"يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ"
Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu memberi nafkah, maka kawinlah; dan barang siapa yang tidak mampu (memberi nafkah), hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya.
Kemudian Allah Swt. menjelaskan batas hari-hari yang dilakukan padanya puasa, hal itu dilakukan bukan setiap hari agar tidak berat dikerjakan yang akibatnya nanti tubuh menjadi lemah dalam menunaikannya, melainkan hanya dalam beberapa hari tertentu. Memang demikianlah cara ibadah puasa pada permulaan Islam, yaitu mereka melakukan puasa tiga hari setiap bulan. Kemudian hal ini di-mansukh oleh perintah puasa bulan Ramadan sepenuhnya, seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa ibadah puasa pada permulaan Islam dilakukan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum kita, yaitu setiap bulannya tiga hari. Riwayat ini dari Mu'az, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ata, Qatadah, dan Ad-Dahhak Ibnu Muzahim. Puasa demikian masih terus berlangsung sejak zaman Nabi Nuh a.s. sampai Allah me-nasakh-nya. dengan puasa bulan Ramadan.
Abbad ibnu Mansur meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. (Al-Baqarah: 183-184) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Memang benar, demi Allah, sesungguhnya ibadah puasa diwajibkan atas semua umat yang telah lalu, sebagaimana diwajibkan atas kita sebulan penuh; yang dimaksud dengan ayyamam ma'dudat ialah hari-hari tertentu yang telah dimaklumi." Dan telah diriwayatkan dari As-Saddi hal yang semisal.
وَرَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِيِّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ، عَنْ أَبِي الرَّبِيعِ، رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صِيَامُ رَمَضَانَ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ.."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadis Abu Abdur Rahman Al-Muqri yang mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Walid, dari Abur Rabi' (seorang ulama Madinah), dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Puasa bulan Ramadan diwajibkan oleh Allah atas umat-umat terdahulu.
Demikianlah nukilan dari sebuah hadis panjang, yang sengaja kami singkat seperlunya menyangkut pembahasan ini.
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari orang yang menerimanya dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. (Al-Baqarah: 183) Bahwa diwajibkan atas mereka apabila seseorang di antara mereka salat malam hari lalu tidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan bersetubuh dengan istri sampai waktu yang semisal di besok malamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Abdur Rahman ibnu Abu Laila, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Muqatil Ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ata Al-Khurrasani.
Ata Al-Khurrasani meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. (Al-Baqarah: 183) Yakni atas kaum Ahli Kitab.
Telah diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, As-Saddi serta Ata Al-Khurrasani hal yang semisal.
Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa menurut apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 184)
Artinya, orang yang sakit dan orang yang bepergian tidak boleh puasa di saat sakit dan bepergian, mengingat puasa memberatkan keduanya, bahkan keduanya boleh berbuka dan mengqadai puasa yang ditinggal-kannya itu di hari-hari yang lain sebanyak yang ditinggalkannya. Orang yang sehat lagi berada di tempat, tetapi berat menjalankan puasa, sesungguhnya dia boleh memilih antara puasa dan memberi makan. Dengan kata lain, jika dia suka, boleh puasa; dan jika ia suka berbuka, maka berbuka boleh baginya, tetapi dia harus memberi makan seorang miskin setiap hari. Jika dia memberi makan lebih banyak dari seorang miskin untuk setiap harinya, maka hal ini lebih baik baginya. Jika ia berpuasa, maka puasa lebih utama baginya daripada memberi makan. Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Tawus, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 184)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرّة، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أُحِيلَتِ الصَّلَاةُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ، وَأُحِيلَ الصِّيَامُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ؛ فَأَمَّا أَحْوَالُ الصَّلَاةِ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، وَهُوَ يُصَلِّي سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ عَلَيْهِ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا} [الْبَقَرَةِ: 144] فوجهَهُ اللهُ إِلَى مَكَّةَ. هَذَا حَوْلٌ. قَالَ: وَكَانُوا يَجْتَمِعُونَ لِلصَّلَاةِ ويُؤْذِنُ بِهَا بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى نَقَسُوا أَوْ كَادُوا يَنْقُسُون. ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، يُقَالُ لَهُ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ، أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي رَأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ -وَلَوْ قلتُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ نَائِمًا لصدقتُ -أَنِّي بَيْنَا أَنَا بَيْنَ النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ إذْ رَأَيْتُ شَخْصًا عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَخْضَرَانِ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ -مَثْنَى حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْأَذَانِ، ثُمَّ أَمْهَلَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ مِثْلَ الذِي قَالَ، غَيْرَ أَنَّهُ يَزِيدُ فِي ذَلِكَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ -مَرَّتَيْنِ -قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلِّمْهَا بِلَالًا فَلْيؤذن بِهَا". فَكَانَ بِلُالٌ أَوَّلَ مَنْ أَذَّنَ بِهَا. قَالَ: وَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، [إِنَّهُ] قَدْ طَافَ بِي مِثْلَ الذِي طَافَ بِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ سَبَقَنِي، فَهَذَانِ حَالَانِ. قَالَ: وَكَانُوا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ -قَدْ سَبَقَهُمُ النَّبيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، فَكَانَ الرَّجُلُ يُشِيرُ إِلَى الرَّجُلِ إِذًا كَمْ صَلَّى، فَيَقُولُ: وَاحِدَةٌ أَوِ اثْنَتَيْنِ، فَيُصَلِّيهِمَا، ثُمَّ يَدْخُلُ مَعَ الْقَوْمِ فِي صَلَاتِهِمْ. قَالَ: فَجَاءَ مُعَاذٌ فَقَالَ: لَا أَجِدُهُ عَلَى حَالٍ أَبَدًا إِلَّا كنتُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قضيتُ مَا سَبَقَنِي. قَالَ: فَجَاءَ وَقَدْ سَبَقه النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، قَالَ: فثَبَتَ مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فَقَضَى، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهُ قَد سَنَّ لَكُمْ مُعَاذ، فَهَكَذَا فَاصْنَعُوا". فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ
وَأَمَّا أَحْوَالُ الصِّيَامِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَجَعَلَ يصومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَصَامَ عَاشُورَاءَ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِ الصِّيَامَ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ} . إِلَى قَوْلِهِ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ. ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الْآيَةَ الْأُخْرَى: {شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} فَأَثْبَتَ اللهُ صيامَه عَلَى الْمُقِيمِ الصَّحِيحِ ورخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ، وَثَبَتَ الإطعامُ لِلْكَبِيرِ الذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصِّيَامَ، فَهَذَانَ حَالَانِ. قَالَ: وَكَانُوا يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَيَأْتُونَ النِّسَاءَ مَا لَمْ يَنَامُوا، فَإِذَا نَامُوا امْتَنَعُوا، ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ: صِرْمَةُ، كَانَ يَعْمَلُ صَائِمًا حَتَّى أَمْسَى، فَجَاءَ إِلَى أَهْلِهِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ نَامَ فَلَمْ يَأْكُلْ وَلَمْ يَشْرَبْ، حَتَّى أَصْبَحَ فَأَصْبَحَ صَائِمًا، فَرَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ جَهِدَ جَهْدًا شَدِيدًا، فَقَالَ: مَا لِي أَرَاكَ قَدْ جَهِدْت جَهْدًا شَدِيدًا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَمِلْتُ أَمْسِ فجئتُ حِينَ جئتُ فألقيتُ نَفْسِي فَنِمْتُ فَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِمًا. قَالَ: وَكَانَ عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنَ النِّسَاءِ بَعْدَ مَا نَامَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Murrah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az ibnu Jabal r.a. yang menceritakan bahwa ibadah salat difardukan melalui tiga tahapan, dan ibadah puasa difardukan melalui tiga tahapan pula. Adapun mengenai tahapan-tahapan ibadah salat ialah ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, maka beliau Saw. salat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis selama tujuh belas bulan. Kemudian Allah Swt. menurunkan kepadanya ayat berikut, yaitu firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144), hingga akhir ayat. Maka Allah Swt. memalingkannya ke arah Mekah; hal ini merupakan tahapan pertama. Mu'az ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya mereka berkumpul menunaikan salat dengan cara sebagian dari mereka mengundang sebagian lainnya hingga akhirnya mereka membuat kentong atau hampir saja mereka membuat kentong untuk tujuan tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar —yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Zaid ibnu Abdu Rabbih— datang kepada Rasulullah Saw. Lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku suatu peristiwa yang jika aku tidak tidur, niscaya aku percaya kepada apa yang kulihat itu. Sesungguhnya ketika aku dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba-tiba aku melihat seseorang yang memakai baju rangkap yang kedua-duanya berwarna hijau. Lelaki itu menghadap ke arah kiblat, lalu mengucapkan. 'Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Mahabesar, Allah Mahabesar), asyhadu alia ilaha illallah (aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah).' Ia membacanya dua kali-dua kali hingga selesai azannya. Kemudian berhenti sesaat. Setelah itu ia mengucapkan hal yang sama, hanya kali ini dia menambahkan kalimat qad qamatis salah (sesungguhnya salat akan didirikan) sebanyak dua kali." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Ajarkanlah itu kepada Bilal, maka Bilal menyerukan azan dengan kalimat ini. Maka Bilal adalah orang yang mula-mula menyerukan azan dengan kalimat ini. Mu'az ibnu Jabar r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu datanglah Umar ibnul Khattab r.a. dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pun pernah bermimpi melihat seperti apa yang dilihatnya, hanya dia lebih dahulu dariku." Hal yang telah kami sebutkan di atas merupakan dua tahapan, yaitu tahapan pertama dan kedua. Mu'az ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya para sahabat sering datang terlambat di tempat salat; mereka datang ketika Nabi Saw. telah menyelesaikan sebagian dari salatnya. Maka seorang lelaki dari mereka bertanya kepada salah seorang yang sedang salat melalui isyarat yang maksudnya ialah berapa rakaat salat yang telah dikerjakan. Lelaki yang ditanya menjawabnya dengan isyarat satu atau dua rakaat. Lalu dia mengerjakan salat yang tertinggal itu sendirian, setelah itu ia baru masuk ke dalam jamaah, menggabungkan diri bermakmum kepada Nabi Saw. Perawi mengatakan, lalu datanglah Mu'az dan berkata, "Tidak sekali-kali ada suatu tahapan yang baru yang dialami oleh Nabi Saw. melainkan aku terlibat di dalamnya." Pada suatu hari ia datang, sedangkan Nabi Saw. telah mendahuluinya dengan sebagian salatnya. Maka Mu'az langsung ikut bermakmum kepada Nabi Saw. Setelah Nabi Saw. menyelesaikan salatnya, bangkitlah Mu'az melanjutkan salatnya yang ketinggalan. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Mu'az telah membuat suatu peraturan bagi kalian, maka tirulah oleh kalian perbuatannya itu (yakni langsung masuk ke dalam berjamaah; apabila imam selesai dari salatnya, baru ia menyelesaikan rakaat yang tertinggal sendirian). Hal yang ketiga ini merupakan tahapan terakhir dari salat.
Keadaan-keadaan atau tahapan yang dialami oleh ibadah puasa ialah ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau puasa tiga hari setiap bulannya, juga puasa 'Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa atasnya melalui firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa —sampai dengan firman-Nya— Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 183-184) Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari puasanya. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat lain, yaitu firman-Nya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an —sampai dengan firman-Nya— Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185) Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa. Demikianlah dua tahapan yang dialami oleh puasa. Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum, dan mendatangi istri selagi mereka belum tidur; tetapi apabila telah tidur, mereka dilarang melakukan hal tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar yang dikenal dengan nama Sirmah. Dia bekerja di siang harinya sambil puasa hingga petang hari, lalu ia pulang ke rumah dan salat Isya, kemudian ketiduran dan belum sempat lagi makan dan minum karena terlalu lelah hingga keesokan harinya. Keesokan harinya ia melanjutkan puasa-nya, maka Rasulullah Saw. melihat dirinya dalam keadaan sangat kepayahan, lalu beliau Saw. bertanya, "Kulihat dirimu tampak sangat payah dan letih." Sirmah menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung merebahkan diri karena sangat lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi hari dan aku terus dalam keadaan puasa." Disebutkan pula bahwa Umar telah menggauli istrinya sesudah tidur, lalu ia datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan apa yang telah dialaminya itu. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam hari. (Al-Baqarah: 187).
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui hadis Al-Mas'udi dengan lafaz yang sama.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan:
كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin puasa 'Asyura boleh melakukannya; dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa 'Asyura.
Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya pula melalui Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud dengan lafaz yang semisal.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}
Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)
Seperti yang dijelaskan oleh Mu'az ibnu Jabal, yaitu 'pada mulanya barang siapa yang ingin puasa, maka ia boleh puasa; dan barang siapa yang tidak ingin puasa, maka ia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya'.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari melalui Salamah ibnul Akwa' yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Maka bagi orang yang hendak berbuka, ia harus menebusnya dengan fidyah hingga turunlah ayat yang selanjutnya, yaitu berfungsi me-nasakh-nya.
Telah diriwayatkan pula melalui hadis Ubaidillah, dari Nafi, dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan bahwa memang ayat ini di-mansukh oleh ayat sesudahnya.
As-Saddi meriwayatkan dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya:. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)
Yang dimaksud dengan yutiqunahu ialah mengerjakannya dengan penuh masyaqat (berat). Orang yang ingin puasa, mengerjakan puasa; dan orang yang ingin berbuka, maka ia berbuka dan memberi makan seorang miskin sebagai fidyah. Yaitu yang dimaksud dengan firman-Nya: Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. (Al-Baqarah: 184) Yakni barang siapa yang memberi makan seorang miskin lagi, maka itulah yang lebih baik baginya, tetapi berpuasa lebih baik bagi kalian (daripada berbuka dan memberi makan seorang miskin). (Al-Baqarah: 184)
Pada mulanya mereka tetap dalam keadaan demikian hingga ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)
Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, dari Ata; ia pernah mendengar Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Lalu Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini tidak di-mansukh, yaitu berkenaan bagi manula laki-laki dan perempuan yang tidak mampu mengerjakan ibadah puasa, maka keduanya harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.
Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh seorang ulama, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Asy'as ibnu Si war, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini (yakni firman-Nya): Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) diturunkan berkenaan dengan manula yang tidak kuat puasa; jika puasa, keadaannya sangat lemah. Maka Allah memberinya keringanan boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Bahran Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdullah, dari Ibnu Abu Laila yang menceritakan, "Ata masuk menemuiku dalam bulan Ramadan, sedangkan dia tidak berpuasa, lalu ia mengatakan, 'Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 185) diturunkan me-nasakh ayat yang sebelumnya, kecuali orang yang sudah lanjut usia; maka jika ingin berbuka, ia boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya'."
Kesimpulan bahwa nasakh berlaku bagi orang sehat yang mukim di tempat tinggalnya harus puasa karena berdasarkan firman-Nya: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)
Orang yang sudah sangat lanjut usia dan tidak mampu melakukan puasa, boleh berbuka dan tidak wajib qada baginya karena keadaannya bukanlah seperti keadaan orang yang mampu mengqadainya. Tetapi bila ia berbuka, apakah wajib baginya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, jika memang dia orang yang lemah kondisinya karena usia yang sudah tua? Ada dua pendapat di kalangan ulama sehubungan dengan masalah ini. Pertama, tidak wajib baginya memberi makan seorang miskin, mengingat kondisinya lemah, tidak kuat melakukan puasa karena pengaruh usia yang sudah sangat tua; maka tidak wajib baginya membayar fidyah, perihalnya sama dengan anak kecil. Karena Allah Swt. tidak sekali-kali mernbebankan kepada seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafii. Kedua, pendapat yang sahih dan di-jadikan pegangan oleh kebanyakan ulama, yaitu wajib baginya membayar fidyah setiap hari yang ditinggalkannya. Seperti penafsiran ibnu Abbas dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf berdasarkan qiraat orang-orang yang membacakan wa'alal lazina yufiqunahu, yakni berat menjalankannya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud dan lain-lain-nya. Hal ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Imam Bukhari, karena Imam Bukhari mengatakan, "Adapun orang yang berusia lanjut, bila tidak mampu mengerjakan puasa, maka dia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Sesungguhnya Anas sesudah usianya sangat lanjut, setiap hari yang ditinggalkannya ia memberi makan seorang miskin berupa roti dan daging, lalu ia sendiri berbuka (tidak puasa); hal ini dilakukannya selama satu atau dua tahun."
Riwayat yang dinilai mu'allaq oleh Imam Bukhari ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli di dalam kitab Musnad-nya. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Imran, dari Ayyub ibnu Abu Tamimah yang menceritakan bahwa Anas r.a. tidak mampu mengerjakan puasa karena usianya yang sangat lanjut, maka ia memasak makanan Sarid dalam panci, lalu ia memanggil tiga puluh orang miskin dan memberi mereka makan.
Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Rauh ibnu Ubadah, dari Imran (yakni Ibnu Jarir), dari Ayyub dengan lafaz yang sama.
Abdu meriwayatkan pula melalui hadis Sittah, bersumber dari murid-murid Anas, dari Anas hal yang semakna.
Termasuk ke dalam pengertian ini ialah wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui, jika keduanya merasa khawatir terhadap kesehatan dirinya atau kesehatan anaknya. Sehubungan dengan keduanya para ulama berselisih pendapat. Sebagian dari mereka mengatakan, keduanya boleh berbuka, tetapi harus membayar fidyah dan qada. Menurut pendapat lainnya, keduanya hanya diwajibkan membayar fidyah, tanpa ada qada. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa yang wajib hanya qadanya saja, tanpa fidyah. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya boleh berbuka (tidak puasa) tanpa harus membayar fidyah dan qada. Masalah ini telah kami bahas secara rinci di dalam Kitabus Siyam yang kami pisahkan di dalam kitab yang lain.

Al-Baqarah, ayat 185

{شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185) }
Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang ba-til). Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu; dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur.
Allah Swt. memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya, karena Dia telah memilihnya di antara semua bulan sebagai bulan yang padanya diturunkan Al-Qur'an yang agung. Sebagaimana Allah mengkhususkan bulan Ramadan sebagai bulan diturunkan-Nya Al-Qur'an, sesungguhnya telah disebutkan oleh hadis bahwa pada bulan Ramadan pula kitab Allah lainnya diturunkan kepada para nabi Sebelum Nabi Muhammad Saw.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا عمْران أَبُو الْعَوَّامِ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ وَاثِلَةَ -يَعْنِي ابْنَ الْأَسْقَعِ-أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ. وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ  وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ"
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Imran Abul Awwam, dari Qatadah, dari Abul Falih, dari Wasilah (yakni Ibnul Asqa), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadan, sedangkan Al-Qur'an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadan.
Telah diriwayatkan pula melalui hadis Jabir ibnu Abdullah yang di dalamnya disebutkan:
أَنَّ الزَّبُورَ أُنْزِلَ لثنتَي عَشْرَةَ [لَيْلَةً] َلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَمَانِي عَشْرَةَ،
Bahwa kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal delapan belasnya.
Sedangkan kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih.
Adapun lembaran-lembaran atau suhuf, kitab Taurat, Zabur, dan Injil, masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan secara sekaligus. Lain halnya dengan Al-Qur'an, diturunkan sekaligus hanya dari Baitul 'Izzah ke langit dunia; hal ini terjadi pada bulan Ramadan, yaitu di malam Lailatul Qadar. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan. (Al-Qadar: 1)
إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati. (Ad-Dukhan: 3)
Setelah itu Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah Saw. secara bertahap sesuai dengan kejadian-kejadiannya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan bukan hanya oleh seorang perawi saja, dari Ibnu Abbas. Seperti yang diriwayatkan oleh Israil, dari As-Saddi, dari Muhammad ibnu Abul Mujalid, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas.
Disebutkan bahwa Atiyyah ibnul Aswad pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa di dalam hatinya terdapat keraguan mengenai firman-Nya: Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 185); Firman-Nya: Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada suatu malam yang diberkahi. (Ad-Dukhan: 3); Serta firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan. (Al-Qadar. 1) Sedangkan Al-Qur'an ada yang diturunkan pada bulan Syawal, ada yang dalam bulan Zul-Qa'dah, ada yang dalam bulan Zul-Hijjah, ada yang dalam bulan Muharram, ada yang dalam bulan Safar, ada pula yang diturunkan dalam bulan Rabi'. Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan dalam bulan Ramadan, yaitu dalam malam yang penuh dengan kemuliaan (Lailatul Qadar), dan dalam malam yang penuh dengan keberkahan secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi sesuai dengan kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang berbeda-beda."
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih.
Sedangkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan, "Al-Qur'an diturunkan pada pertengahan bulan Ramadan ke langit dunia dari tempat asalnya, yaitu Baitul 'Izzah. Kemudian diturunkan kepada Rasulullah Saw. selama dua puluh tahun untuk menjawab perkataan manusia."
Di dalam riwayat Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada bulan Ramadan (yaitu di malam Lailatul Qadar) ke langit dunia secara sekaligus. Sesungguhnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya, dan tidak sekali-kali orang-orang musyrik mendatangkan suatu perumpamaan untuk mendebat Nabi Saw. melainkan Allah Swt. mendatangkan jawabannya. Yang demikian itulah pengertian firman-Nya:
وَقالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً واحِدَةً كَذلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤادَكَ وَرَتَّلْناهُ تَرْتِيلًا وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْناكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً
Berkatalah orang-orang yang kafir, "Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Al-Furqan: 32-33)
*********
Adapun firman Allah Swt.:
{هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ}
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Al-Baqarah: 185)
Hal ini merupakan pujian bagi Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah Swt. sebagai petunjuk buat hati hamba-hamba-Nya yang beriman kepada Al-Qur'an, membenarkannya, dan mengikutinya.
Bayyinatin, petunjuk-petunjuk dan hujah-hujah yang jelas lagi gamblang dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran apa yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan jalan yang keliru, dan pembeda antara perkara yang hak dan yang batil serta ha-lal dan haram.
Telah diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf bahwa ia tidak suka mengatakan bulan puasa dengan sebutan Ramadan saja, melainkan bulan Ramadan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakkar ibnur Rayyan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Sa'id (yakni Al-Maqbari), dari Abu Hurairah r.a., ia pernah mengatakan, "Janganlah kalian katakan Ramadan, karena sesungguhnya Ramadan itu merupakan salah satu dari asma Allah Swt. Tetapi katakanlah bulan Ramadan."
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan juga dari Mujahid dan Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas. Akan tetapi, Ibnu Abbas dan Zaid ibnu Sabit membolehkan sebutan tersebut.
Menurut kami, Abu Ma'syar adalah Najih ibnu Abdur Rahman Al-Madani, seorang imam ahli dalam Bab "Magazi dan Sirah", tetapi daif (dalam periwayatan hadis); anak lelakinya yang bernama Muhammad mengambil riwayat hadis darinya. Dialah yang me-rafa'-kan hadis ini sampai kepada Abu Hurairah. Periwayatan hadisnya ditolak oleh Al-Hafiz Ibnu Addi, dan ia memang berhak untuk ditolak karena predikatnya matruk; sesungguhnya dia hanya menduga-duga saja akan predikat marfu' hadis ini. Tetapi Imam Bukhari di dalam kitab-nya mendukung Abu Ma'syar, untuk itu ia mengatakan dalam kitabnya bahwa ini adalah bab mengenai sebutan Ramadan, lalu ia mengetengahkan hadis-hadis yang menyangkut hal tersebut, antara lain ialah hadis yang mengatakan:
"مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"
Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan rida Allah, niscaya diampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.
Dan hadis-hadis lainnya yang semisal.
*********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ}
Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)
Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa.
Ayat ini me-nasakh ayat yang membolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sehat lagi mukim, tetapi hanya membayar fidyah, memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
Setelah masalah puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebutkan kembali keringanan bagi orang yang sakit dan orang yang bepergian. Keduanya boleh berbuka, tetapi dengan syarat kelak harus mengqadainya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185)
Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa memberatkannya atau membahayakannya, atau ia sedang dalam perjalanan, maka dia boleh berbuka. Apabila berbuka, maka ia harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar Ramadan). Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)
Dengan kata lain, sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian hanya dalam keadaan kalian sedang sakit atau dalam perjalanan, teta-pi puasa merupakan suatu keharusan bagi orang yang mukim lagi se-hat. Hal ini tiada lain hanyalah untuk mempermudah dan memperi-ngan kalian sebagai rahmat dari Allah Swt. buat kalian.
Beberapa masalah yang berkaitan dengan ayat ini
Pertama: Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa orang yang sejak permulaan Ramadan masuk masih dalam keadaan mukim, kemudian di tengah bulan Ramadan ia mengadakan perjalanan (bepergian), maka tidak diperbolehkan baginya berbuka karena alasan bepergian selama ia berada dalam perjalanannya, karena firman Allah Swt.: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185) Sesungguhnya berbuka itu hanya diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanannya sebelum bulan Ramadan masuk, sedangkan dia telah berada dalam perjalanannya.
Tetapi pendapat ini aneh, dinukil oleh Abu Muhammad ibnu Hazm di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mahalli, dari sejumlah sahabat dan tabi'in. Hanya riwayat yang dikemukakannya dari mereka masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, karena sesungguhnya telah ditetapkan di dalam sunnah dari Rasulullah Saw. bahwa beliau pernah melakukan suatu perjalanan di dalam bulan Ramadan untuk melakukan Perang Fatah (penaklukan kota Mekah). Beliau Saw. berjalan bersama pasukannya sampai di Kadid. Ketika di Kadid, beliau berbuka dan memerintahkan kepada orang-orang untuk berbuka mengikuti jejaknya. Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Kedua: Segolongan sahabat dan tabi'in lainnya berpendapat, wajib berbuka dalam perjalanan karena berdasarkan firman-Nya:  maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185) Akan tetapi, pendapat yang benar ialah yang dikatakan oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yaitu bahwa masalah berbuka dalam perjalanan ini berdasarkan takhyir (boleh memilih) dan bukan suatu keharusan. Karena mereka berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan, lalu menurut salah seorang di antara mereka yang terlibat, "Di antara kami ada orang yang tetap berpuasa dan di antara kami ada pula yang berbuka. Maka Nabi Saw. tidak mencela orang yang tetap berpuasa dan tidak pula terhadap orang yang berbuka. Seandainya berbuka merupakan suatu keharusan, niscaya beliau Saw. mencela orang-orang yang berpuasa di antara kami. Bahkan telah dibuktikan pula dari perbuatan Rasulullah Saw. sendiri bahwa beliau pernah dalam keadaan demikian (berada dalam suatu perjalanan), tetapi beliau tetap berpuasa." Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Darda yang menceritakan:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ من شدة، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ
Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan, cuaca saat itu sangat panas hingga seseorang di antara kami ada yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena teriknya panas matahari, dan tiada seorang pun di antara kami yang tetap berpuasa selain Rasulullah Saw. sendiri dan Abdullah ibnu Rawwahah.
Ketiga: Segolongan ulama yang antara lain ialah Imam Syafii mengatakan bahwa puasa dalam perjalanan lebih utama daripada berbuka karena berdasarkan perbuatan Nabi Saw., seperti yang disebutkan di atas tadi.
Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahkan berbuka lebih baik daripada berpuasa karena berpegang kepada rukhsah (keringanan), juga karena ada sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang menceritakan bahwa beliau Saw. pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan. Maka beliau menjawab:
«مَنْ أَفْطَرَ فَحَسَنٌ، وَمَنْ صَامَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ»
Barang siapa yang berbuka, maka hal itu baik; dan barang siapa yang tetap berpuasa, maka tiada dosa atasnya.
Di dalam hadis yang lain disebutkan:
«عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ التِي رَخَّصَ لَكُمْ»
Ambillah oleh kalian rukhsah (keringanan) Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.
Segolongan ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya (berbuka dan puasa dalam perjalanan) sama saja, karena berdasarkan hadis Siti Aisyah yang mengatakan bahwa Hamzah ibnu Amr Al-Aslami pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang sering berpuasa, maka bolehkah aku berpuasa dalam perjalanan?" Rasulullah Saw. menjawab:
«إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»
Jika kamu menginginkan puasa, berpuasalah. Dan jika kamu menginginkan berbuka, berbukalah.
Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain.
Menurut pendapat yang lain, apabila puasa memberatkannya, maka berbuka adalah lebih utama, berdasarkan kepada hadis Jabir yang mengatakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟ " قَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: " لَيْسَ مِنَ الْبَرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ".
Bahwa Rasulullah Saw. pernah melihat seorang lelaki yang dinaungi (dikerumuni oleh orang banyak), maka beliau bertanya, "Ada apa?" Mereka menjawab, "Orang yang berpuasa." Maka beliau Saw. bersabda, "Bukanlah merupakan suatu kebaktian melakukan puasa dalam perjalanan." (Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Jika orang yang bersangkutan tidak menyukai sunnah dan ia tidak suka berbuka, maka merupakan suatu ketentuan baginya berbuka, dan haram baginya melakukan puasa bila ia dalam perjalanan. Hal ini berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan lain-lainnya, dari Ibnu Umar dan Jabir serta selain keduanya yang mengatakan:
مَنْ لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَةَ اللَّهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ جِبَالِ عَرَفَةَ
Barang siapa yang tidak mau menerima keringanan Allah, maka atas dirinya dibebankan dosa yang besarnya semisal dengan Bukit Arafah.
Keempat: Mengenai masalah qada, apakah wajib berturut-turut atau boleh terpisah-pisah? Ada dua pendapat mengenai masalah ini.
  • Pendapat pertama mengatakan wajib berturut-turut, karena qada merupakan pengulangan dari ada'an.
  • Menurut pendapat kedua, tidak wajib berturut-turut. Jika orang yang bersangkutan ingin memisah-misahkannya, maka ia boleh memisah-misahkannya. Jika ingin berturut-turut, ia boleh berturut-turut dalam mengerjakannya. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama Salaf dan Khalaf —dan didukung oleh dalil-dalil yang kuat— karena berturut-turut itu hanyalah diwajibkan dalam bulan Ramadan, mengingat puasa harus dilakukan dalam bulan itu secara tuntas. Bila bulan Ramadan telah lewat, maka makna yang dimaksud hanyalah wajib membayar hari-hari yang ditinggalkannya saja, tanpa ikatan harus berturut-turut. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah : 185) Kemudian Allah Swt. berfirman: Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ الْخُزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، عَنِ الْأَعْرَابِيِّ الذِي سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إن خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ، إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza'i, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Humaid ibnu Hilal Al-Adawi, dari Abu Qatadah, dari Al-A'rabi yang mendengarnya langsung dari Nabi Saw.: Sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah, sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah.
قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ هِلَالٍ، حَدَّثَنَا غَاضِرَةُ بْنُ عُرْوة الفُقَيْمي، حَدَّثَنِي أَبِي عُرْوَة، قَالَ: كُنَّا نَنْتَظِرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَجلا يَقْطُرُ رَأْسُهُ مِنْ وُضُوءٍ أَوْ غُسْلٍ، فَصَلَّى، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ جَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ: عَلَيْنَا حَرَجٌ فِي كَذَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ دِينَ اللَّهِ فِي يُسْرٍ" ثَلَاثًا يَقُولُهَا
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Hilal, telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Urwah Al-Faqimi, telah menceritakan kepadaku Abu Urwah yang menceritakan: Ketika kami sedang menunggu Nabi Saw., maka keluarlah beliau dengan kepala yang masih meneteskan air karena habis wudu atau mandi, lalu beliau salat. Setelah beliau selesai dari salat-nya, maka orang-orang bertanya kepadanya, "Apakah kami berdosa jika melakukan demikian?" Maka Rasulullah Saw. bersabda,  "Sesungguhnya agama Allah itu berada dalam kemudahan." Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.
Imam Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dalam tafsir ayat ini melalui hadis Muslim ibnu Abu Tamim, dari Asim ibnu Hilal dengan lafaz yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو التَّيَّاحِ، سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "يَسِّرُوا، وَلَا تُعَسِّرُوا، وسكِّنُوا وَلَا تُنَفِّروا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abut Tayyah; ia pernah mendengar sahabat Anas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit, serta bersikap simpatilah kalian dan janganlah kalian bersikap tidak disenangi.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahih masing-masing. Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa ketika Rasulullah Saw. mengutus sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Abu Musa ke negeri Yaman, beliau bersabda kepada keduanya:
"بَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا، وَيَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا، وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا"
Sampaikanlah berita gembira (kepada mereka) dan janganlah kamu berdua bersikap yang membuat mereka antipati kepadamu; permudahkanlah oleh kamu dan janganlah kamu berdua mempersulit; dan saling bantulah kamu berdua dan jangan sampai kamu berdua berselisih pendapat.
Di dalam kitab Sunan dan kitab Masanid disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"بُعِثْتُ بالحنيفيَّة السَّمْحَةِ"
Aku diutus membawa agama yang cenderung kepada perkara yang hak dan penuh dengan toleransi.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya mengatakan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ابْنُ أَبِي طَالِبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَسْعُودٍ الجُرَيري، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مِحْجَن بْنِ الْأَدْرَعِ: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي فَتَرَاءَاهُ بِبَصَرِهِ سَاعَةً، فَقَالَ: "أَتُرَاهُ يُصَلِّي صَادِقًا؟ " قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا أَكْثَرُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ صَلَاةً، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا تُسْمِعْه فَتُهلِكَه". وَقَالَ: "إِنَّ اللَّهَ إِنَّمَا أَرَادَ بِهَذِهِ الْأُمَّةِ اليُسْر، وَلَمْ يَرِدْ بِهِمُ العُسْر"
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Talib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, telah menceritakan kepada kami Abu Mas'ud Al-Hariri, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Mihjan ibnul Adra' yang menceritakan: Bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang lelaki yang sedang salat, lalu beliau menatapnya dengan pandangan mata yang tajam selama sesaat, kemudian bersabda, "Bagaimanakah menurutmu, apakah lelaki ini salat dengan sebenarnya?" Perawi berkata, "Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, orang ini adalah penduduk Madinah yang paling banyak mengerjakan salat'." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Janganlah kamu memperdengarkan jawabanmu kepadanya, karena akan membinasakannya (membuatnya bangga dan riya)!" Dan Rasul Saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah hanya menghendaki kemudahan belaka bagi umat ini, dan Dia tidak menghendaki mereka kesulitan."
**********
Firman Allah Swt:
{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ}
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya. (Al-Baqarah: 185)
Yakni sesungguhnya Aku memberikan keringanan kepada kalian boleh berbuka bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan serta uzur lainnya, tiada lain karena Aku menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan sesungguhnya Aku memerintahkan kalian untuk mengqadainya agar kalian menyempurnakan bilangan bulan Ramadan kalian.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ}
dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya. (Al-Baqarah: 185)
Yakni agar kalian ingat kepada Allah di saat ibadah kalian selesai.
Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
فَإِذا قَضَيْتُمْ مَناسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً
Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah: 200)
فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung. (Al-Jumu'ah: 10)
Dan firman Allah Swt.:
سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ. وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبارَ السُّجُودِ
Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai salat. (Qaf: 39-40)
Karena itulah maka disebutkan di dalam sunnah bahwa disunatkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir setiap sesudah mengerjakan salat lima waktu. Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, "Kami tidak mengetahui selesainya salat Nabi Saw. melainkan melalui takbirnya."
Karena itulah banyak kalangan ulama yang mengatakan bahwa membaca takbir disyariatkan dalam Hari Raya Idul Fitri atas dasar firman-Nya: Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan-Nya kepada kalian. (Al-Baqarah: 185) Hingga Daud ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri berpendapat wajib membaca takbir dalam Hari Raya Idul Fitri berdasarkan makna lahiriah perintah yang terkandung di dalam firman-Nya: dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 185)
Lain halnya dengan mazhab Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa membaca takbir dalam Hari Raya Fitri tidak disyariatkan. Sedangkan Imam lainnya mengatakan sunat, tetapi masih ada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam sebagian cabang-cabangnya.
********
Firman Allah Swt.:
{وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}
Supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 185)
Artinya, apabila kalian mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian (yakni taat kepada-Nya dan mengerjakan semua yang difardukan-Nya dan meninggalkan semua apa yang diharamkan-Nya serta memelihara batasan-batasan-Nya), barangkali kalian akan menjadi orang-orang yang bersyukur kepada-Nya karena mengerjakan hal tersebut.

Al-Baqarah, ayat 186

{وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (186) }
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Aku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abdah ibnu Abu Barzah As-Sukhtiyani, dari As-Silt ibnu Hakim ibnu Mu'awiyah (yakni Ibnu Haidah Al-Qusyairi), dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang penduduk Badui bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita dekat, maka kita akan bermunajat (berbisik) kepada-Nya; ataukah Dia jauh, maka kita akan menyeru-Nya?" Nabi Saw. diam, tidak menjawab. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Aku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186)
Dengan kata lain, apabila kamu perintahkan mereka untuk berdoa kepada-Ku, hendaklah mereka berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan mereka.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Humaid Ar-Razi, dari Jarir dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih serta Abusy Syekh Al-Asbahani, melalui hadis Muhammad ibnu Abu Humaid, dari Jarir dengan lafaz yang sama.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Auf, dari Al-Hasan yang menceritakan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw., "Di manakah Tuhan kita?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, telah sampai kepada Ata bahwa ketika firman-Nya ini diturunkan: Dan Tuhan kalian berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian." (Al-Mumin: 60) Maka orang-orang bertanya, "Sekiranya kami mengetahui, saat manakah yang lebih tepat untuk melakukan doa bagi kami?" Maka turunlah firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاة فَجَعَلْنَا لَا نَصْعَدُ شَرَفًا، وَلَا نَعْلُو شَرَفًا، وَلَا نَهْبِطُ وَادِيًا إِلَّا رَفَعْنَا أَصْوَاتَنَا بِالتَّكْبِيرِ. قَالَ: فَدَنَا مِنَّا فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أرْبعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ؛ فإنَّكم لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا، إِنَّ الذِي تَدْعُونَ أقربُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُق رَاحِلَتِهِ. يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ، أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ؟ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِالْلَّهِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid Al-Hazza, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan, "Ketika kami (para sahabat) bersama Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan, tidak sekali-kali kami menaiki suatu tanjakan dan berada di tempat yang tinggi serta tidak pula kami menuruni suatu lembah melainkan kami mengeraskan suara kami seraya mengucapkan takbir." Abu Musa melanjutkan kisahnya, "Lalu Nabi Saw. mendekat ke arah kami dan bersabda: 'Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian bukan berseru kepada orang yang tuli, bukan pula kepada orang yang gaib; sesungguhnya kalian hanya berseru kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya Tuhan yang kalian seru lebih dekat kepada seseorang di antara kalian daripada leher unta kendaraannya. Hai Abdullah ibnu Qais, maukah kamu kuajarkan suatu kalimat (doa) yang termasuk perbendaharaan surga? (Yaitu) la haula wala quwwata ilia billah (tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)'."
Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan jamaah lainnya melalui hadis Abu Usman An-Nahdi yang nama aslinya ialah Abdur Rahman ibnu Ali, dari Abu Musa Al-Asy'ari dengan lafaz yang semisal.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Aku menurut dugaan hamba-Ku mengenai diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika dia berdoa kepada-Ku."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ كَرِيمَةَ بِنْتِ الْخَشْخَاشِ الْمُزَنِيَّةِ، قَالَتْ: حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "قَالَ اللَّهُ: أَنَا مَعَ عَبْدِي مَا ذَكَرَنِي، وَتَحَرَّكَتْ بِي شَفَتَاهُ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ubaidillah, dari Karimah binti Ibnu Khasykhasy Al-Muzaniyyah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah yang pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt. berfirman, "Aku selalu bersama hamba-Ku selagi ia ingat kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku."
Menurut kami, hadis ini sama pengertiannya dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (An-Nahl: 128)
Sama pula dengan firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, yaitu:
إِنَّنِي مَعَكُما أَسْمَعُ وَأَرى
Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. (Thaha: 46)
Makna yang dimaksud dari kesemuanya itu adalah, Allah Swt. tidak akan mengecewakan doa orang yang berdoa kepada-Nya dan tidak sesuatu pun yang menyibukkan (melalaikan) Dia, bahkan Dia Maha Mendengar doa. Di dalam pengertian ini terkandung anjuran untuk berdoa, dan bahwa Allah Swt. tidak akan menyia-nyiakan doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Sehubungan dengan hal ini Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا رَجُلٌ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عُثْمَانَ -هُوَ النَّهْدِيُّ -يُحَدِّثُ عَنْ سَلْمَانَ -يَعْنِي الْفَارِسِيَّ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيَسْتَحْيِي أَنْ يَبْسُطَ الْعَبْدُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ يَسْأَلُهُ فِيهِمَا خَيْرًا فَيَرُدُّهُمَا خَائِبَتَيْنِ". قَالَ يَزِيدُ: سَمَّوْا لِي هَذَا الرَّجُلَ، فَقَالُوا: جَعْفَرُ بْنُ مَيْمُونٍ
telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami seorang lelaki yang pernah mendengar dari Abu Usman (yakni An-Nahdi) ketika ia menceritakan hadis berikut dari Salman (yakni Al-Farisi r.a.), bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. benar-benar malu bila ada seorang hamba mengangkat kedua tangannya memohon suatu kebaikan kepada-Nya, lalu Allah menolak permohonannya dengan kedua tangan yang hampa. Yazid berkata, "Sebutkanlah kepadaku nama lelaki itu." Mereka menjawab bahwa dia adalah Ja'far ibnu Maimun.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah melalui hadis Ja'far ibnu Maimun (pemilik kitab Al-Anbat) dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Hadis ini diriwayatkan pula oleh sebagian dari mereka, tetapi dia tidak me-rafa'-kannya. Syekh Al-Hafiz Abul Hajjah Al-Mazi di dalam kitab Atraf-nya mengatakan bahwa periwayatan hadis ini diikuti pula oleh Abu Hammam Muhammad ibnu Abuz Zabarqan, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad mengatakan pula:
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عَليّ بْنُ دُؤاد أَبُو الْمُتَوَكِّلِ النَّاجِي، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ: إِمَّا أَنْ يعجِّل لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدّخرها لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا" قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ. قَالَ: "اللَّهُ أَكْثَرُ "
telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abul Mutawakkil An-Naji, dari Abu Sa'id, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Tiada seorang muslim pun yang memanjatkan suatu doa kepada Allah yang di dalamnya tidak mengandung permintaan yang berdosa dan tidak pula memutuskan silaturahmi, melainkan Allah pasti memberinya berkat doa itu salah satu dari tiga perkara berikut, yaitu: Adakalanya permohonannya itu segera dikabulkan, adakalanya permohonannya itu disimpan oleh Allah untuknya kelak di hari kemudian, dan adakalanya dipalingkan darinya suatu keburukan yang semisal dengan permohonannya itu. Mereka (para sahabat) berkata, "Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa." Nabi Saw. menjawab, "Allah Maha Banyak (Mengabulkan Doa)."
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ الْكَوْسَجُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ جُبَير بْنِ نُفَيْرٍ، أَنَّ عُبَادة بْنَ الصَّامِتِ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ مِنْ رَجُلٍ مُسْلِم يَدْعُو اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، بِدَعْوَةٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهَا، أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا، مَا لَمْ يَدعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ"
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur Al-Kausaj, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Sauban, dari ayahnya, dari Makhul, dari Jubair ibnu Nafir, bahwa Ubadah ibnus Samit pernah menceritakan hadis berikut kepada mereka, yaitu Nabi Saw. pernah bersabda: tiada seorang lelaki muslim pun di muka bumi ini berdoa kepada Allah Swt. memohon sesuatu melainkan Allah pasti mengabulkan permintaannya itu atau mencegah darinya keburukan yang seimbang dengan permintaannya, selagi dia tidak meminta hal yang berdosa atau memutuskan hubungan silaturahmi.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Ad-Darami,dari Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, dari Ibnu Sauban (yaitu Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Sauban) dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih bila ditinjau dari jalur yang terakhir ini.
وَقَالَ الْإِمَامُ مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ -مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ -عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ: "يُسْتَجَاب لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجل، يَقُولُ: دعوتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي".
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abu Ubaid maula Ibnu Azhar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dikabulkan bagi seseorang di antara kalian selagi dia tidak tergesa-gesa mengatakan, "Aku telah berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku."
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Malik dengan lafaz yang sama. Hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Bukhari rahimahullah.
قَالَ مُسْلِمٌ أَيْضًا : حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ ربيعة ابن يَزِيدَ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الخَوْلاني، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الاستعجال؟ قال: "يقول: قد دعوتُ، وَقَدْ دَعَوتُ، فَلَمْ أرَ يستجابُ لِي، فَيَسْتَحسر عِنْدَ ذَلِكَ، وَيَتْرُكُ الدُّعَاءَ"
Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan kepadaku Abut Tahir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Rabi'ah, dari Yazid, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Doa .seorang hamba masih tetap dikabulkan selagi dia tidak mendoakan hal yang berdosa atau yang memutuskan silaturahmi, bilamana dia tidak tergesa-gesa. Lalu ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Seorang hamba mengatakan, 'Aku telah berdoa, aku telah berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku,' lalu saat itu dia merasa kecewa dan menghentikan doanya."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قَالُوا: وَكَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: "يَقُولُ: قَدْ دعوتُ رَبِّي فَلَمْ يَسُتَجبْ لِي"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang hamba masih tetap berada dalam kebaikan selagi dia tidak tergesa-gesa. Mereka (sahabat) bertanya, "Bagaimanakah pengertian tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Dia mengatakan, 'Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku'."
Imam Abu Ja'far At-Tabari di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, bahwa Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit telah menceritakan kepadanya, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah r.a. yang pernah mengatakan bahwa tidak sekali-kali seorang hamba yang mukmin berdoa kepada Allah memohon sesuatu, lalu doanya itu disia-siakan, sebelum disegerakan baginya di dunia atau ditangguhkan baginya untuk di akhirat, selagi dia tidak tergesa-gesa atau putus asa. Urwah bertanya, "Wahai bibi, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa dan putus asa itu?" Siti Aisyah menjawab, "Dia mengatakan, 'Aku telah meminta, tetapi tidak diberi; dan aku telah berdoa, tetapi tidak dikabulkan'."
Ibnu Qasit mengatakan pula bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab mengatakan hal yang serupa dengan apa yang dikatakan oleh Siti Aisyah r.a.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُليّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قال: "الْقُلُوبُ أَوْعِيَةٌ، وَبَعْضُهَا أَوْعَى مِنْ بَعْضٍ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ فَاسْأَلُوهُ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ، فَإِنَّهُ لَا يَسْتَجِيبُ لِعَبْدٍ دَعَاهُ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ غَافِلٍ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Amr, dari Ibnu Abdur Rahman Al-Jaili, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hati manusia itu bagaikan wadah, sebagian di antaranya lebih memuat daripada sebagian yang lain. Karena itu, apabila kalian meminta kepada Allah, hai manusia, mintalah kepada-Nya, sedangkan hati kalian merasa yakin diperkenankan; karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan bagi hamba yang berdoa kepada-Nya dengan hati yang lalai.
قَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ أَيُّوبَ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بن إبراهيم بن أبيَّ بن نافع ابن مَعْدِ يكَرِبَ بِبَغْدَادَ، حَدَّثَنِي أُبَيُّ بْنُ نَافِعٍ، حدثني أبي نَافِعِ بْنِ مَعْدِ يكَرِبَ، قَالَ: كُنْتُ أَنَا وَعَائِشَةُ سألتُ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْآيَةِ: {أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ} قَالَ: "يَا رَبِّ، مَسْأَلَةُ عَائِشَةَ". فَهَبَطَ جِبْرِيلُ فَقَالَ: اللَّهُ يُقْرِؤُكَ السَّلَامَ، هَذَا عَبْدِي الصَالِحٍ بِالنِّيَّةِ الصَّادِقَةِ، وقلبُه نَقِيٌّ يَقُولُ: يَا رَبِّ، فَأَقُولُ: لَبَّيْكَ. فَأَقْضِي حَاجَتَهُ.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba di Bagdad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba yang mengatakan bahwa ia dan Siti Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai makna firman-Nya: Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186) Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai Tuhanku, ini adalah pertanyaan Aisyah?" Maka turunlah Malaikat Jibril dan berkata: Allah menyampaikan salam-Nya kepadamu, ada seorang hamba-Ku yang saleh, dengan niat yang benar dan hatinya bersih mengatakan, "Wahai Tuhanku." Maka Aku berfirman, "Labbaika," lalu Aku penuhi permintaannya.
Akan tetapi, hadis ini garib bila ditinjau dari sanad ini.
وَرَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ حَدِيثِ الْكَلْبِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: حَدَّثَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ} الْآيَةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُمَّ أَمَرْتَ بِالدُّعَاءِ، وتوكَّلْتَ بِالْإِجَابَةِ، لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، أَشْهَدُ أَنَّكَ فَرْدٌ أَحَدٌ صَمَد لَمْ تَلِدْ وَلَمْ تُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَكَ كُفُوًا أَحَدٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّ وَعْدَكَ حَقٌّ، وَلِقَاءَكَ حَقٌّ، وَالْجَنَّةَ حَقٌّ، وَالنَّارَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا، وَأَنْتَ تَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ"
Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Jabir ibnu Abdullah, bahwa Nabi Saw. pernah membacakan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah Saw. bersabda: ya Allah, Engkau memerintahkan untuk berdoa dan aku bertawakal dalam masalah pengabulannya. Kupenuhi seruan-Mu, ya Allah, kupenuhi seruan-Mu, kupenuhi seruan-Mu, tiada sekutu bagimu, kupenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah milik-Mu dan begitu pula semua kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa Engkau tiada tandingan lagi Maha Esa, bergantung kepada-Mu segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tiada seorang pun yang setara dengan-Mu. Aku bersaksi bahwa janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, dan hari kiamat pasti akan datang tanpa diragukan lagi, dan Engkaulah yang akan membangkitkan manusia dari kuburnya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى الْأَرْزِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى القُطَعي  قَالَا حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهال، حَدَّثَنَا صَالِحٍ المُرِّي، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، وَاحِدَةٌ لَكَ وَوَاحِدَةٌ لِي، وَوَاحِدَةٌ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَكَ؛ فَأَمَّا التِي لِي فَتَعْبُدُنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، وَأَمَّا التِي لَكَ فَمَا عملتَ مِنْ شَيْءٍ وَفَّيْتُكَه وَأَمَّا التِي بَيْنِي وَبَيْنَكَ فَمِنْكَ الدُّعَاءُ وَعَلِيَّ الْإِجَابَةُ"
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan pada kami Al-Hasan ibnu Yahya Al-Azdi dan Muhammad ibnu Yahya Al-Qat'i; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Saleh Al-Mari, dari Al-Hasan, dari Anas, dari Nabi Saw. yang bersabda: Allah SWT berfirman, "Hai anak Adam, satu hal untukmu, dan satu hal untuk-Ku, serta satu hal lagi antara Aku dan kamu. Adapun hal yang untuk-Ku ialah kamu harus menyembah-Ku, janganlah kamu persekutukan Aku dengan sesuatu pun. Dan adapun yang bagimu ialah semua hal yang kamu lakukan atau amal apa pun, maka Aku pasti menunaikan (pahala)nya kepadamu. Dan adapun yang antara Aku dan kamu ialah kamu berdoa dan Aku yang memperkenankan (mengabulkan).
Penyisipan anjuran untuk berdoa di antara hukum-hukum puasa ini mengandung petunjuk yang menganjurkan agar berdoa dengan sekuat tenaga di saat menyempurnakan bilangan Ramadan, dan bahkan di setiap berbuka. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab Musnad-nya:
حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْمَلِيكِيُّ، عَنْ عَمْرو -هُوَ ابْنُ شُعَيْبِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "لِلصَّائِمِ عِنْدَ إِفْطَارِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ". فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو إِذْ أَفْطَرَ دَعَا أَهْلَهُ، وَوَلَدَهَ وَدَعَا
telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al-Mulaiki, dari Amr (yakni Ibnu Syu'aib ibnu Muhammad ibnu Abdullah ibnu Amr), dari ayahnya, dari kakeknya (yakni Abdullah Ibnu Amr) yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Bagi orang puasa di saat berbukanya ada doa yang dikabulkan. Tersebutlah bahwa Abdullah ibnu Amr selalu berdoa untuk keluarga dan anaknya; begitu pula anak dan keluarganya, sama-sama berdoa ketika berbuka puasa.
Abu Abdullah Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah di dalam kitab sunannya;
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمَدَنِيِّ، عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكة، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوةً مَا تُرَدّ". قَالَ عَبْد اللَّهِ بْنُ أَبِي مُليَكة: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرو يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ التِي وسعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي .
telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Ishaq ibnu Abdullah Al-Madani, dari Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya bagi orang puasa di saat berbukanya terdapat doa yang tidak ditolak (untuknya). Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah mengatakan, ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr selalu mengucapkan doa berikut bila berbuka: Ya Allah, sesungguhnya Aku memohon demi rahmat-Mu yang memuat segala sesuatu, sudilah kiranya Engkau mengampuniku.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Sunan Turmuzi, Nasai, dan Ibnu Majah disebutkan sebuah hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
" ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حتى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ دُونَ الْغَمَامِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَتُفْتَحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَيَقُولُ: بعزتي لأنصرنك ولو بعد حين"
Ada tiga macam orang yang doanya tidak ditolak, yaitu imam yang adil, orang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang teraniaya diangkat oleh Allah sampai di bawah gamam (awan) di hari kiamat nanti, dan dibukakan baginya semua pintu langit, dan Allah berfirman, "Demi kemuliaan-Ku, Aku benar-benar akan menolongmu, sekalipun sesudahnya.”

Al-Baqarah, ayat 187

{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187) }
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Hal ini merupakan suatu keringanan dari Allah buat kaum muslim, dan Allah menghapuskan apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Karena sesungguhnya pada permulaan Islam, apabila salah seorang di antara mereka berbuka, ia hanya dihalalkan makan dan minum serta bersetubuh sampai salat Isya saja. Tetapi bila ia tidur sebelum itu atau telah salat Isya, maka diharamkan baginya makan, minum, dan bersetubuh sampai malam berikutnya. Maka dengan peraturan ini mereka mengalami masyaqat yang besar.
Ar-Rafas, dalam ayat ini artinya bersetubuh. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ata, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Tawus, Salim ibnu Abdullah, Amr ibnu Dinar, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ad-Dahhak, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan.
*******
Firman Allah Swt.:
{هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ}
Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. (Al-Baqarah: 187)
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, makna yang dimaksud ialah 'mereka adalah ketenangan bagi kalian, dan kalian pun adalah ketenangan bagi mereka'.
Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, maksud ayat ialah 'mereka adalah selimut bagi kalian dan kalian pun adalah selimut bagi mereka'.
Pada kesimpulannya suami dan istri, masing-masing dari keduanya bercampur dengan yang lain dan saling pegang serta tidur-meniduri, maka amatlah sesuai bila diringankan bagi mereka boleh bersetubuh dalam malam Ramadan, agar tidak memberatkan mereka dan menjadikan mereka berdosa. Seorang penyair mengatakan:
إِذَا مَا الضَّجِيعُ ثَنَى جِيدَهَا ... تَدَاعَتْ فَكَانَتْ عَلَيْهِ لِبَاسَا
Bilamana teman tidur melipatkan lehernya, berarti dia mengajak, maka jadilah dia seperti pakaiannya.
Latar belakang turunnya ayat ini telah disebutkan di dalam hadis Mu'az yang panjang yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Ishaq meriwayatkan dari Al-Barra ibnu Azib, tersebutlah sahabat Rasulullah Saw. bila seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak boleh makan sampai keesokan malamnya di waktu yang sama. Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Ansar sedang melaksanakan puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya. Ketika waktu berbuka telah tiba, ia datang kepada istrinya dan mengatakan, "Apakah kamu mempunyai makanan?" Si istri menjawab, "Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk mencarikannya buatmu." Ternyata Qais sangat lelah hingga ia tertidur. Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka ia berkata, "Alangkah kecewanya engkau, ternyata engkau tertidur." Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi Saw. Kemudian turunlah ayat ini, yaitu: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian, —sampai dengan firman-Nya— dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat ini.
Lafaz hadis Imam Bukhari dalam bab ini diketengahkan melalui Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika ayat puasa bulan Ramadan diturunkan, mereka tidak menggauli istri-istri mereka sepanjang bulan Ramadan, dan kaum laki-laki berkhianat terhadap dirinya sendiri. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. (Al-Baqarah: 187)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa kaum muslim pada mulanya dalam bulan Ramadan bilamana mereka telah salat Isya, maka diharamkan atas mereka wanita dan makanan sampai dengan waktu yang semisal pada keesokan malamnya. Kemudian ada segolongan kaum muslim yang menggauli istri-istri mereka dan makan sesudah salat Isya dalam bulan Ramadan, di antaranya ialah Umar ibnul Khattab. Maka mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.
Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sesungguhnya orang-orang itu sebelum diturunkan perintah puasa seperti apa yang telah diturunkan kepada mereka sekarang, mereka masih tetap boleh makan dan minum serta dihalalkan bagi mereka menggauli istri-istrinya. Tetapi apabila seseorang di antara mereka tidur, maka ia tidak boleh makan dan minum serta tidak boleh menyetubuhi istrinya hingga tiba saat berbuka pada keesokan malamnya. Kemudian sampailah suatu berita kepada kami bahwa Umar ibnul Khattab sesudah dia tidur dan wajib baginya melakukan puasa, maka ia (bangun) dan menyetubuhi istrinya. Kemudian ia datang menghadap Nabi Saw. dan berkata, "Aku mengadu kepada Allah dan juga kepadamu atas apa yang telah aku perbuat." Nabi Saw. bertanya, "Apakah yang telah kamu lakukan?" Umar menjawab, "Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku berkeinginan untuk puasa." Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi Saw. pasti menegurnya dan mengatakan kepadanya, "Tidaklah pantas kamu lakukan hal itu." Maka turunlah firman-Nya yang mengatakan: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qais ibnu Sa'd, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) Bahwa kaum muslim sebelum ayat ini diturunkan, apabila mereka telah salat Isya, diharamkan atas mereka makan, minum, dan wanita hingga mereka berbuka lagi di malam berikutnya. Sesungguhnya Umar ibnul Khattab menyetubuhi istrinya sesudah salat Isya. Sedangkan Sirmah ibnu Qais Al-Ansari tertidur sesudah salat Magrib; dia belum makan apa pun, dan ia masih belum bangun kecuali setelah Rasulullah Saw. salat Isya; maka ia bangun, lalu makan dan minum. Kemudian pada pagi harinya ia datang kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa itu, yakni: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187) Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh dengan istri. mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian. (Al-Baqarah: 187) Yakni kalian menyetubuhi istri-istri kalian dan kalian makan serta minum sesudah Isya. karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Maksudnya, campurilah istri-istri kalian dan ikutilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian, yakni memperoleh anak. dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) Maka hal ini merupakan keringanan dan rahmat dari Allah.
Hisyam meriwayatkan dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila yang menceritakan bahwa sahabat Umar ibnul Khattab r.a. pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi malam menginginkan istriku sebagaimana layaknya seorang lelaki mengingini istrinya. Tetapi ia menjawab bahwa dirinya telah tidur sebelum itu, hanya aku menduga dia sedang sakit. Akhirnya aku setubuhi dia." Maka berkenaan dengan Umar r.a. turunlah ayat berikut, yakni firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, dari Ibnu Abu Laila dengan lafaz yang sama.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Suwaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Abu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Jubair maula Bani Salamah, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik menceritakan sebuah hadis kepadanya dari ayahnya, bahwa orang-orang dalam bulan Ramadan, bila seorang lelaki di antara mereka puasa dan pada petang harinya dia tertidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan menggauli istri hingga saat berbuka pada besok malamnya. Di suatu malam Umar ibnul Khattab r.a. pulang ke rumahnya dari rumah Nabi Saw. yang saat itu begadang di rumah beliau. Lalu Umar menjumpai istrinya telah tidur, dan ia menginginkannya. Tetapi istrinya menjawab, "Aku telah tidur." Maka Umar menjawab, "Kamu belum tidur," lalu ia langsung menyetubuhinya. Ka'b ibnu Malik melakukan hal yang sama pula. Pada pagi harinya Umar berangkat ke rumah Nabi Saw. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Kemudian turunlah firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Ata, Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya dalam asbabun nuzul ayat ini. Yaitu berkenaan dengan perbuatan Umar ibnul Khattab dan orang-orang yang melakukan seperti apa yang diperbuatnya, juga berkenaan dengan Sirmah ibnu Qais. Maka diperbolehkanlah bersetubuh, makan, dan minum dalam semua malam Ramadan sebagai rahmat dan keringanan serta belas kasihan dari Allah.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}
dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187)
Menurut Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih Al-Qadi, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Zaid ibnu Aslam, Al-Hakam ibnu Utbah, Muqatil ibnu Hayyan, Al-Hasan Al-Basri, Ad-Dahhak, Qatadah, dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah anak.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah jimak (persetubuhan).
Amr ibnu Malik Al-Bakri telah mengatakan dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil ayat ini: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah lailatul qadar (malam yang penuh dengan kemuliaan). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, bahwa Qatadah pernah mengatakan, "Ikutilah oleh kalian keringanan yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian ini!" Yakni atas dasar bacaan ma ahallallahu lakum (bukan ma kataballahu lakum), artinya 'apa yang telah dihalalkan oleh Allah buat kalian'.
Abdur Razzaq telah mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ata ibnu Abu Rabah yang pernah bercerita bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas mengenai bacaan ayat ini, yakni firman-Nya: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Mana saja yang kamu sukai boleh, tetapi pilihlah olehmu bacaan yang pertama, (yakni kataba, bukan ahal-la)." Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat lebih umum daripada hal tersebut.
************
Firman Allah Swt.:
{وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}
dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Allah Swt. memperbolehkan pula makan dan minum di samping boleh menggauli istri dalam malam mana pun yang disukai oleh orang yang berpuasa, hingga tampak jelas baginya cahaya waktu subuh dari gelapnya malam hari. Hal ini diungkapkan di dalam ayat dengan istilah 'benang putih' yang berbeda dengan 'benang hitam', kemudian pengertian yang masih misteri ini diperjelas dengan firman-Nya:
{مِنَ الْفَجْرِ}
Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187)
Seperti yang disebutkan di dalam hadis riwayat Imam Abu Abdullah Al-Bukhari:
حَدَّثَنَا ابن أبي مَرْيَمَ، حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّان مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّف، حَدَّثَنِي أَبُو حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: أُنْزِلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} وَلَمْ يُنزلْ {مِنَ الْفَجْرِ} وَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ، رَبَطَ أحدُهم فِي رِجْلَيْهِ الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ الْأَسْوَدَ، فَلَا يَزَالُ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتَهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ: {مِنَ الْفَجْرِ} فَعَلِمُوا أَنَّمَا يَعْنِي: اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan (yakni Muhammad ibnu Mutarrif), telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, dari Sahl ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut ini diturunkan: Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam. (Al-Baqarah: 187) Sedangkan kelanjutannya masih belum diturunkan, yaitu firman-Nya: Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka orang-orang apabila hendak berpuasa, seseorang dari mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya; dia masih tetap makan dan minum hingga tampak jelas baginya kedua benang itu. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka mengertilah mereka bahwa yang dimaksud dengan istilah benang putih dan benang hitam ialah malam dan siang hari.
 قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا حُصَين، عَنِ الشَّعْبِيِّ، أَخْبَرَنِي عَديّ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} عَمَدت إِلَى عِقَالَيْنِ، أحدُهما أَسْوَدُ وَالْآخَرُ أَبْيَضُ، قَالَ: فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمَا فَلَا تَبَيَّن  لِي الْأَسْوَدُ مِنَ الْأَبْيَضِ، وَلَا الْأَبْيَضُ مِنَ الْأَسْوَدِ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ. فَقَالَ: "إِنَّ وِسَادَكَ إِذًا لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ  اللَّيْلِ"
Imam Ahmad mengatakan,  telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Addi ibnu Hatim yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yakni firman-Nya: dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) (Addi ibnu Hatim berkata), "Maka aku sengaja mencari dua buah tali, yang satu berwarna hitam, sedangkan yang lain berwama putih; lalu aku letakkan di bawah bantalku, dan aku tinggal melihat keduanya. Dan ketika tampak jelas di mataku perbedaan antara benang putih dan benang hitam, maka aku mulai imsak (menahan diri). Pada keesokan harinya aku datang menghadap Rasulullah Saw., lalu aku ceritakan kepadanya apa yang telah kulakukan itu, maka beliau bersabda: 'Sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar. Sesungguhnya yang dimaksud dengan demikian itu hanyalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari'."
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari berbagai jalur dari Addi.
Makna 'sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar' ialah bantalmu memang lebar jika dapat memuat dua buah tali, yakni tali yang berwama hitam dan yang berwarna putih. Makna yang dimaksud dijelaskan oleh ayat berikutnya, bahwa sesungguhnya keduanya itu adalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari. Hal ini berarti bantal Addi sama lebarnya dengan ufuk timur dan ufuk barat. Demikianlah menurut apa yang tercatatkan di dalam riwayat Imam Bukhari, yakni ditafsirkan seperti ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا حُصَين، عَنِ الشَّعْبِيِّ، أَخْبَرَنِي عَديّ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} عَمَدت إِلَى عِقَالَيْنِ، أحدُهما أَسْوَدُ وَالْآخَرُ أَبْيَضُ، قَالَ: فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمَا فَلَا تَبَيَّن لِي الْأَسْوَدُ مِنَ الْأَبْيَضِ، وَلَا الْأَبْيَضُ مِنَ الْأَسْوَدِ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ. فَقَالَ: "إِنَّ وِسَادَكَ إِذًا لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ اللَّيْلِ"
Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Husain, dari Sya'bi, dari Addi yang menceritakan bahwa dia mengambil tali yang berwarna putih dan tali yang berwarna hitam. Ketika sebagian dari malam hari telah berlalu, ia memandang ke arah kedua tali itu, tetapi dia masih belum dapat membedakannya. Ketika pagi harinya ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah meletakkan dua buah tali di bawah bantalku." Maka Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya bantalmu (tengkukmu) benar-benar lebar kalau demikian, yakni jika tali putih dan tali hitam itu berada di bawah bantalmu. Menurut lafaz lainnya disebutkan: Sesungguhnya  kamu  ini  benar-benar  memiliki  tengkuk yang lebar.
Sebagian di antara mereka menafsirkannya dengan pengertian orang yang dungu; tetapi riwayat ini daif, melainkan pengertian yang benar ialah 'apabila bantalnya lebar, maka berarti tengkuknya lebar pula (yakni bukan makna kinayah, melainkan makna menurut lahiriah)'.
Imam Bukhari menafsirkan pula melalui riwayat lainnya, yaitu:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مُطَرّف، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ، أَهُمَا الْخَيْطَانِ؟ قَالَ: "إِنَّكَ لَعَرِيضُ الْقَفَا إِنْ أَبْصَرْتَ الْخَيْطَيْنِ". ثُمَّ قَالَ: "لَا بَلْ هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ"
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mutarrif, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan benang putih dari benang hitam, apakah keduanya memang benang?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sesungguhnya tengkukmu benar-benar lebar jika kamu memahami makna kedua benang itu." Kemudian Nabi Saw. bersabda lagi, "Tidak, bahkan yang dimaksud ialah gelapnya malam hari dan terangnya siang hari."
Ketetapan Allah Swt. yang membolehkan seseorang makan sampai fajar terbit menunjukkan sunat bersahur, karena sahur termasuk ke dalam bab rukhsah, dan mengamalkannya merupakan hal yang dianjurkan. Karena itulah di dalam sunnah Rasul Saw. terdapat anjuran bersahur.
Di dalam kitab Sahihain, dari Anas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحور بَرَكَةٌ"
Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur terkandung barakah.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إن فَصْل مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر"
Sesungguhnya perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab ialah makan sahur.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى هُوَ ابْنُ الطَّبَّاعِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "السَّحور أكْلُهُ بَرَكَةٌ؛ فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ يَجْرَع جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa (yaitu Ibnut Tabba'), telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid, dari ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sahur adalah makanan yang mengandung berkah, maka janganlah kalian melewatkannya, sekalipun seseorang di antara kalian hanya meminum seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk orang-orang yang makan sahur.
Di dalam Bab "Anjuran Bersahur" banyak hadis yang menerangkannya, sehingga disebutkan bahwa sekalipun hanya dengan seteguk air, karena disamakan dengan orang-orang yang makan.
Mengakhirkan sahur sunat hukumnya, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. قَالَ أَنَسٌ: قُلْتُ لِزَيْدٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسُّحُورِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
dari Anas ibnu Malik, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan, "Kami makan sahur bersama Rasulullah Saw., kemudian kami bangkit mengerjakan salat." Anas bertanya kepada Zaid, "Berapa lamakah jarak antara azan (salat Subuh) dan sahur?" Zaid menjawab, "Kurang lebih sama dengan membaca lima puluh ayat."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، عَنْ سَالِمِ بْنِ غَيْلَانَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي عُثْمَانَ، عَنْ عَديّ بْنِ حَاتِمٍ الْحِمْصِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "لا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلوا الْإِفْطَارَ وأخَّروا السُّحُورَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Salim ibnu Gailan, dari Sulaiman ibnu Abu Usman, dari Addi ibnu Hatim Al-Hamsi, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Umatku masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka (puasa) dan mengakhirkan makan sahur(nya).
Banyak hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. menamakan makan sahur ini dengan sebutan jamuan yang diberkati. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah:
مِنْ رِوَايَةِ حَمَّادِ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ، عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ: تسحَّرْنا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ النَّهَارُ إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ
melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari Asim ibnu Bahdalah, dari Zaid ibnu Hubaisy, dari Huzaifah yang menceritakan: Kami makan sahur bersama Rasulullah Saw., maka hari pun mulai pagi, hanya matahari belum terbit.
Hadis ini menurut Imam Nasai hanya ada pada Asim ibnu Abun Nujud, dan Imam Nasai menginterpretasikannya dengan pengertian dekat pagi hari. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِذا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
Apabila mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik. (At-Talaq: 2)
Yakni masa idah mereka mendekati akhirnya, maka sebagai jalan keluarnya ialah adakalanya mereka dirujuki dengan baik atau dilepaskan dengan baik pula.
Apa yang dikatakan oleh Imam Nasai ini merupakan takwil makna hadis ini, dan takwil ini merupakan suatu pilihan yang terbaik karena mereka (para sahabat) terbukti melakukan sahur, sedangkan mereka belum yakin akan terbitnya fajar; hingga sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa fajar telah terbit, dan sebagian yang lainnya belum dapat membuktikannya.
Sesungguhnya diriwayatkan dari sebagian besar ulama Salaf bahwa mereka membolehkan makan sahur hingga mendekati waktu fajar. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Huzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid Ibnu Sabit. Sebagaimana telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari sebagian besar golongan tabi'in, antara lain ialah Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, Abu Mijlaz, Ibrahim An-Nakha'i, Abud Duha, dan Abu Wa'il serta lain-lainnya dari kalangan murid-murid Ibnu Mas'ud, Ata, Al-Hasan, Al-Hakim, Ibnu Uyaynah, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, dan Abusya'sa (yaitu Jabir dan ibnu Zaid). Pendapat ini didukung oleh Al-A'masy dan Jabir ibnu Rasyid. Sesungguhnya kami telah mencatat sanad-sanad itu di dalam Kitabus Siyam secara menyendiri.
Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya dari sebagian di antara mereka, bahwa sesungguhnya imsak diwajibkan hanyalah mulai dari terbitnya (dekat terbitnya) matahari, sebagaimana diperbolehkan baginya berbuka setelah matahari tenggelam.
Menurut kami, pendapat ini tidaklah layak dikatakan oleh seseorang yang berilmu mendalam, karena hal ini bertentangan dengan makna firman-Nya: dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Telah disebutkan di dalam hadis Al-Qasjim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يَمْنَعُكُمْ أذانُ بِلَالٍ عَنْ سَحُوركم، فَإِنَّهُ يُنَادِي بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أَذَانَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ"
Jangan sampai azan (pertama) Bilal mencegah kalian dari sahur kalian, karena sesungguhnya dia menyerukan azannya di malam hari. Untuk itu makan dan minumlah kalian hingga kalian mendengar azan yang diserukan Ibnu Ummi Maktum, karena sesungguhnya dia tidak menyerukan azannya sebelum fajar (subuh) terbit.
Demikianlah menurut lafaz Imam Bukhari.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْق، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم قال: "لَيْسَ الفجرُ الْمُسْتَطِيلُ فِي الْأُفُقِ وَلَكِنَّهُ الْمُعْتَرِضُ الْأَحْمَرُ" .
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu-sa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Jabir, dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Fajar itu bukanlah sinar yang memanjang di ufuk, melainkan sinar merah yang melintang.
Sedangkan menurut lafaz Imam Abu Daud dan Imam At Tirmidzi  disebutkan:
"كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا يَهِيدَنَّكُمْ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الْأَحْمَرُ"
Makan dan minumlah kalian, dan jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh sinar yang naik (memanjang), maka makan dan minumlah kalian sebelum tampak cahaya merah yang melintang bagi kalian.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ شَيْخٍ مِنْ بَنِي قُشَيْرٍ: سَمِعْتُ سَمُرة بْنَ جُنْدَب يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَغُرَّنَّكُمْ نِدَاءُ بِلَالٍ وَهَذَا الْبَيَاضُ حَتَّى يَنْفَجِرَ الْفَجْرُ، أَوْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari seorang syekh dari kalangan Bani Qusyair; ia pernah mendengar Samurah ibnu Jundub menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh seruan Bilal dan sinar putih ini, sebelum fajar menyingsing atau sinar merah tampak.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadis Syu'bah dan lain-lainnya, dari Sawad ibnu Hanzalah, dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يَمْنَعُكُمْ مِنْ سَحُوركم أَذَانُ بِلَالٍ وَلَا الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ، وَلَكِنَّ الْفَجْرَ الْمُسْتَطِيرَ فِي الْأُفُقِ"
Jangan sekali-kali kalian berhenti dari sahur kalian karena azan Bilal dan jangan pula karena fajar yang memanjang, tetapi fajar itu ialah sinar yang melebar di ufuk timur.
قَالَ: وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَية، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَوادة القُشَيري، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بلال ولا هذا البياض، تعمدوا الصبح حين يَسْتَطِيرَ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Ulayyah, dari Abdullah ibnu Saudah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari Samurah ibnu Jundub yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh azan Bilal dan jangan pula oleh cahaya putih ini —seraya mengisyaratkan kepada sinar yang tampak memanjang— sebelum ia melebar.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Zuhair ibnu Harb, dari Ismail ibnu Ibrahim (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafaz yang semisal.
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ حمَيد، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ سُلَيمان التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يمنعَنّ أَحَدَكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ عَنْ سُحُورِهِ -أَوْ قَالَ نِدَاءُ بِلَالٍ -فَإِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ -أَوْ [قَالَ] يُنَادِي -لِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ وليَرْجع قائمكم، وليس الفجر أن يقول هكذا أوهكذا، حَتَّى يَقُولَ هَكَذَا".
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,  "Janganlah seseorang di antara kalian tercegah dari makan sahurnya karena azan yang dilakukan oleh Bilal —atau beliau Saw. bersabda, oleh seruan Bilal— karena sesungguhnya Bilal menyerukan azannya di malam hari (yakni hari masih malam) —atau beliau bersabda, untuk membangunkan orang-orang yang tidur di antara kalian dan untuk mengingatkan orang-orang yang salat (sunat malam hari) dari kalian—. Fajar itu bukanlah yang tampak seperti ini, melainkan fajar yang sesungguhnya ialah yang tampak seperti demikian."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari jalur yang lain melalui At-Taimi dengan lafaz yang sama.
وَحَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ الزِّبْرِقَانِ النَّخَعِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي ذئْب، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْفَجْرُ فَجْرَانِ، فَالذِي كَأَنَّهُ ذَنْبُ السِّرْحَانِ لَا يُحَرِّم شَيْئًا، وَأَمَّا الْمُسْتَطِيرُ الذِي يَأْخُذُ الْأُفُقَ، فَإِنَّهُ يُحِلُّ الصَّلَاةَ وَيُحَرِّمُ الطَّعَامَ"
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnuz Zabarqan An-Nakha'i, telah menceritakan kepadaku Abu Usamah, dari Muhammad ibnu Abu Zi'b, dari Al-Haris ibnu Abdur Rahman, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Fajar itu ada dua macam, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala tidak mengharamkan sesuatu pun. Sesungguhnya fajar yang benar adalah yang bentuknya melebar dan memenuhi ufuk (timur), maka fajar inilah yang membolehkan salat Subuh dan mengharamkan makanan.
Hadis ini berpredikat mursal lagi jayyid.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ata; ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa fajar itu ada dua, yaitu fajar yang bentuknya memanjang menyinari langit. Fajar ini tidak menandakan masuknya waktu subuh, tidak pula mengharamkan sesuatu pun. Tetapi fajar yang sebenarnya ialah yang cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, fajar inilah yang mengharamkan minum (pertanda imsak yang sebenarnya).
Ata mengatakan, "Jika sinar fajar itu menerangi langit dalam bentuk memanjang (seperti tiang), fajar ini tidak mengharamkan minum bagi orang yang puasa, tidak memperbolehkan salat (Subuh) dan orang yang sedang haji belum habis waktunya karena fajar ini. Tetapi apabila cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, maka haramlah minum bagi orang yang puasa dan habislah waktu haji."
Asar ini sanadnya sahih sampai kepada Ibnu Abbas dan Ata, hal yang sama diriwayatkan pula oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Termasuk di antara hukum yang ditetapkan oleh Allah ialah fajar dijadikan-Nya sebagai akhir batas waktu boleh bersetubuh, makan, dan minum bagi orang yang hendak puasa. Dari hal ini tersimpul bahwa barang siapa yang berpagi hari dalam keadaan junub, hendaklah ia mandi dan melanjutkan puasanya tanpa ada dosa atasnya. Demikianlah menurut mazhab empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, karena berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Aisyah dan Ummu Salamah r.a. yang keduanya menceritakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
Rasulullah Saw. pernah berpagi hari dalam keadaan junub karena habis jima' (bersetubuh) tanpa mengeluarkan air mani, kemudian beliau mandi dan puasa.
Di dalam hadis Ummu Salamah r.a. yang ada pada Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan:
ثُمَّ لَا يُفْطِرُ وَلَا يَقْضِي
dan beliau Saw. tidak berbuka, tidak pula mengqadainya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan hadis berikut:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، تُدْركني الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، فَأَصُومُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَأَنَا تُدْرِكُنِي الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، فَأَصُومُ". فَقَالَ: لَسْتَ مِثْلَنَا -يَا رَسُولَ اللَّهِ -قَدْ غفرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. فَقَالَ: "وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أكونَ أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَعْلَمُكُمْ بِمَا أَتَّقِي"
Bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, aku berada di waktu salat (Subuh) sedang diriku dalam keadaan junub. Bolehkah aku puasa?" Rasulullah Saw. menjawab, "Aku pun pernah berada dalam waktu salat (Subuh), sedangkan aku dalam keadaan junub, tetapi aku tetap puasa." Lelaki itu berkata, "Tetapi engkau tidaklah seperti kami, wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah memberikan ampunan bagimu atas semua dosamu yang terdahulu dan yang kemudian." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar berharap ingin menjadi orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan orang yang paling alim mengenai cara bertakwa."
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَر، عَنْ هَمَّامٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ -صَلَاةِ الصُّبْحِ -وَأَحَدُكُمْ جُنُبٌ فَلَا يَصُمْ يَوْمَئِذٍ"
telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Hammam, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Apabila diserukan untuk salat, yakni salat Subuh, sedangkan seseorang dari kalian dalam keadaan junub, maka janganlah dia melakukan puasa di hari itu.
Hadis ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat jayyid, tetapi dengan syarat Syaikhain, seperti yang Anda ketahui.
Hadis ini menurut apa yang ada di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah, dari Al-Fadl ibnu Abbas, dari Nabi Saw. Di dalam kitab Sunan Nasai, dari Abu Hurairah, dari Usamah ibnu Zaid dan Al-Fadl ibnu Abbas, tetapi Imam Nasai tidak me-rafa'-kannya (tidak menghubungkannya kepada Nabi Saw.). Karena itu, ada sebagian ulama yang menilai daif' hadis ini karena faktor tersebut (tidak marfu'). dan di antara mereka ada yang berpegang kepada hadis ini.
Pendapat yang mengatakan demikian ada yang meriwayatkannya dari Abu Hurairah, Salim, Ata, Hisyam ibnu Urwah, dan Al-Hasan Al-Basri.
Di antara mereka ada orang yang berpendapat membedakan antara orang yang berpagi hari dalam keadaan junub karena tertidur, maka tidak ada apa pun atas dirinya, berdasarkan kepada hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Tetapi jika dia dalam keadaan mukhtar (bebas memilih), maka tidak ada puasa atas dirinya, berdasarkan hadis Abu Hurairah; hal ini diriwayatkan pula dari Urwah, Tawus, dan Al-Hasan.
Di antara mereka ada orang yang membedakan antara puasa fardu dan puasa sunat. Kalau puasanya adalah puasa fardu, maka dia harus melanjutkan puasanya, tetapi harus mengqadainya. Kalau puasanya sunat, maka jinabah tidak membahayakannya. Pendapat ini diriwayatkan oleh As-Sauri, dari Mansur, dari Ibrahim An-Nakha'i, juga merupakan suatu riwayat dari Al-Hasan Al-Basri.
Di antara mereka ada yang menduga bahwa hadis Abu Hurairah di-nasakh oleh hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah, tetapi pendapat ini tidak mempunyai alasan mana yang lebih dahulu di antara keduanya.
Ibnu Hazm menduga bahwa hadis Abu Hurairah dimansukh oleh ayat ini, tetapi pendapat ini pun jauh dari kebenaran karena pembuktian tarikh (penanggalannya) tidak ada, bahkan pembuktian tarikh memberikan pengertian kebalikannya.
Di antara mereka ada yang menginterpretasikan hadis Abu Hurairah dengan pengertian bertentangan dengan kesempurnaan puasa. Karena itu, tidak ada pahala puasa bagi pelakunya, berdasarkan hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah yang menunjukkan pengertian boleh. Pendapat terakhir inilah yang lebih mendekati kebenaran dan lebih mencakup keseluruhannya.
*************
Firman Allah Swt.:
{ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Makna ayat ini menunjukkan bahwa berbuka puasa itu di saat matahari tenggelam sebagai ketetapan hukum syar'i, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ"
Apabila malam tiba dari arah ini dan siang hari pergi dari arah ini, berarti telah tiba waktu berbuka bagi orang yang puasa.
Dari Sahl ibnu Sa'd As-Sa'idi r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ"
Orang-orang masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka. (Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا قُرّة بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّ أَحَبَّ عِبَادِي إِلِيَّ أعجلُهم فِطْرًا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Abdur Rahman, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang bersabda: Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya orang yang paling Aku cintai di antara hamba-hamba-Ku ialah orang yang paling segera berbuka."
Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui bukan hanya dari satu jalur, bersumber dari Al-Auza'i dengan lafaz yang sama, dan ia mengatakan bahwa hadis ini hasan garib.
وَقَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ إِيَادٍ، سَمِعْتُ إِيَادَ بْنَ لَقِيطٍ قَالَ: سَمِعْتُ لَيْلَى امْرَأَةَ بَشِير بْنِ الخَصَاصِيَّة، قَالَتْ: أَرَدْتُ أَنْ أصومَ يَوْمَيْنِ مُوَاصَلَةً، فَمَنَعَنِي بَشِيرٌ وَقَالَ: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْهُ. وَقَالَ: "يَفْعَلُ ذَلِكَ النَّصَارَى، ولكنْ صُوموا كَمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ، وَأَتِمُّوا الصيامَ إِلَى اللَّيْلِ، فَإِذَا كَانَ اللَّيْلُ فَأَفْطِرُوا"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Iyad yang mendengarnya dari Ibnu Laqit, bahwa ia pernah mendengar dari Laila (istri Basyir ibnul Khasasiyah) yang menceritakan bahwa ia pernah hendak melakukan puasa dua hari berturut-turut, tetapi Basyir melarangnya dan mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang hal seperti itu dan bersabda: Yang melakukan demikian hanyalah orang-orang Nasrani, tetapi berpuasalah kalian sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, "Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam" (Al-Baqarah: 187). Apabila malam tiba (magrib), maka berbukalah kalian.
Karena itulah telah disebutkan di dalam hadis-hadis sahih larangan ber-wisal, yakni melanjutkan puasa dengan hari berikutnya tanpa makan sesuatu pun di antara keduanya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تُوَاصِلُوا". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُوَاصِلُ. قَالَ: "فَإِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ، إِنِّي أبِيتُ يُطْعمني رَبِّي وَيَسْقِينِي". قَالَ: فَلَمْ يَنْتَهُوا عَنِ الْوِصَالِ، فَوَاصَلَ بِهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَيْنِ وَلَيْلَتَيْنِ، ثُمَّ رَأَوُا الْهِلَالَ، فَقَالَ: "لَوْ تَأَخَّرَ الْهِلَالُ لَزِدْتُكُمْ" كالمُنكِّل بِهِمْ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Janganlah kalian ber-wisal." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau pun melakukan wisal." Nabi Saw. menjawab, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku menginap seraya diberi makan dan minum oleh Tuhanku." Abu Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka tidak mau menghentikan wisalnya (karena mengikut Nabi Saw.). Nabi Saw. meneruskan wisal-nya bersama mereka selama dua hari dua malam. Kemudian mereka melihat hilal (bulan Syawwal), maka Nabi Saw. bersabda, "Seandainya hilal datang terlambat, niscaya aku tambahkan kepada kalian," seperti orang yang menghukum mereka.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang sama. Demikian pula keduanya mengetengahkan hadis tentang larangan wisal ini melalui hadis Anas dan Ibnu Umar.
Dari Siti Aisyah r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melarang mereka melakukan puasa wisal karena kasihan kepada mereka, ketika mereka berkata, "Sesungguhnya engkau pun ber-wisal? Maka beliau Saw. menjawab:
"إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي"
Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku diberi makan dan minum oleh Tuhanku.
Larangan melakukan wisal ini telah dibuktikan melalui berbagai jalur periwayatan, dan telah ditetapkan pula bahwa wisal merupakan salah satu keistimewaan Nabi Saw. Beliau Saw. kuat melakukan hal tersebut dan mendapat pertolongan dari Allah untuk melakukannya. Tetapi menurut pendapat yang kuat, makanan dan minuman yang diberikan khusus kepada Nabi Saw. hanyalah berupa makanan dan minuman maknawi (abstrak), bukan hissi (konkret). Jika tidak demikian, berarti Nabi Saw. bukanlah orang yang ber-wisal bila ditinjau dari segi hissi, melainkan perihalnya sama dengan apa yang diungkapkan oleh seorang penyair, yaitu:
لَهَا أَحَادِيثُ مِنْ ذِكْرَاكَ تَشْغَلُهَا ... عَنِ الشَّرَابِ وَتُلْهِيهَا عَنِ الزَّادِ
Dia mempunyai banyak cerita kenangan bersamamu yang membuatnya sibuk, lupa makan dan lupa kepada perbekalannya.
Bagi orang yang senang melakukan imsak sesudah matahari tenggelam hingga waktu sahur, diperbolehkan baginya melakukan hal itu seperti apa yang disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا تُوَاصِلُوا، فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ إِلَى السَّحَرِ". قَالُوا: فَإِنَّكَ تواصِل يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي أَبَيْتُ لِي مُطْعِم يُطْعِمُنِي، وَسَاقٍ يَسْقِينِي".
Janganlah kalian ber-wisal. Barang siapa di antara kalian ingin melakukan wisal, ber-wisal-lah sampai waktu sahur. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, tetapi engkau pun ternyata ber-wisal." Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti keadaan kalian. Sesungguhnya aku menginap, sedangkan aku ada yang memberi makan dan yang memberi minum."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan pula hadis ini di dalam kitab sahih masing-masing.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُريْب، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا أَبُو إِسْرَائِيلَ العَبْسي عَنْ أَبِي بَكْرِ ابن حَفْصٍ، عَنْ أُمِّ وَلَدِ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتعة: أَنَّهَا مَرَّتْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ، فَدَعَاهَا إِلَى الطَّعَامِ. فَقَالَتْ: إِنِّي صَائِمَةٌ. قَالَ: وَكَيْفَ تَصُومِينَ؟ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: "أين أنت من وِصَالِ آلِ مُحَمَّدٍ، مِنَ السَّحَر إِلَى السَّحَر"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abu Israil Al-Anasi, dari Abu Bakar ibnu Hafs, dari ibu anaknya Hatib ibnu Abu Balta'ah yang menceritakan:  Bahwa ia bersua dengan Rasulullah Saw. ketika beliau sedang makan sahur. Beliau memanggil untuk ikut makan, tetapi ia berkata, "Sesungguhnya aku sedang puasa." Nabi Saw. bersabda, "Bagaimanakah cara puasamu?" Lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda, "Puasamu itu bukan termasuk wisal yang dilakukan oleh keluarga Muhammad, (wisal) ialah dari sahur ke sahur yang lain'.'
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ عَلِيٍّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوَاصِلُ مِنَ السَّحَر إِلَى السَّحَر
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abdul A'la, dari Muhammad ibnu Ali, dari Ali r.a.:
Bahwa Nabi Saw. acapkali melakukan wisal dari sahur ke sahur yang lain.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnuz Zubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, bahwa mereka sering melakukan wisal dalam hari-hari yang dapat dihitung. Ibnu Jarir menginterpretasikan bahwa mereka melakukan perbuatan ini hanya untuk melatih diri mereka, bukan sebagai ibadah. Tetapi dapat diinterpretasikan pula bahwa mereka memahami larangan tersebut sebagai bimbingan yang mengandung rasa belas kasihan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Siti Aisyah r.a., yaitu karena belas kasihan kepada mereka. Tersebutlah bahwa Ibnuz Zubair dan anak laki-lakinya (yaitu Amir) serta orang-orang yang mengikuti jejaknya melakukan wisal ini dengan kuat, karena mereka memang mempunyai ketahanan tubuh yang mampu melakukan hal tersebut.
Diriwayatkan dari mereka bahwa ketika mereka ber-wisal, makanan yang mula-mula mereka makan sebagai bukanya ialah minyak samin dan jazam agar perut mereka tidak perih karena makanan selanjutnya. Diriwayatkan dari Ibnuz Zubair bahwa ia sering melakukan wisal selama tujuh hari berturut-turut, tetapi pada hari yang ketujuh di pagi harinya ia kelihatan sebagai orang yang paling kuat dan paling tegar di antara mereka (yang berpuasa).
Abul Aliyah mengatakan, sesungguhnya Allah hanya mewajibkan puasa di siang hari saja. Tetapi bila malam hari tiba, maka orang yang ingin makan, boleh makan; dan bagi orang meneruskannya, boleh tidak makan.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa hal ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang melakukan i'tikaf di dalam masjid, baik dalam bulan Ramadan ataupun di luar Ramadan. Diharamkan baginya menyetubuhi istrinya, baik di siang maupun di malam hari sebelum dia selesai dari i'tikaf.
Ad-Dahhak mengatakan, apabila seorang lelaki melakukan i'tikaf di dalam masjid, lalu ia keluar, maka ia boleh menyetubuhi istrinya jika menghendakinya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187)
Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati mereka (istri-istri kalian) selagi kalian masih dalam keadaan i'tikaf di dalam masjid, baik dalam bulan Ramadan ataupun dalam bulan lainnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Qatadah, dan bukan hanya seorang dari kalangan mereka, bahwa pada mulanya mereka melakukan hal tersebut (yakni menyetubuhi istri mereka selagi mereka masih dalam i'tikaf) hingga ayat ini diturunkan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Muhammad ibnu Ka'b, Mujahid, Ata, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil, bahwa mereka pernah mengatakan, "Janganlah seseorang mendekati istrinya, sedang dia dalam keadaan i'tikaf."
Riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim dari mereka ini merupakan hal yang telah disekapati di kalangan semua ulama. Yaitu orang yang beri'tikaf diharamkan menyetubuhi istrinya selagi ia masih dalam i'tikaf di masjid. Sekiranya dia pergi ke rumahnya untuk suatu keperluan yang tak dapat dielakkan, tidak halal baginya tinggal di dalam rumah kecuali sekadar waktu seperlunya sesuai dengan kepentingannya, misalnya buang air besar atau makan; dan tidak diperbolehkan mencium istri, tidak boleh pula memeluknya, dan tidak boleh menyibukkan diri dengan urusan lain kecuali i'tikafnya. Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tetapi boleh baginya menanyakan perihal si sakit bila ia mengambil jalan yang melewati si sakit.
I'tikaf mempunyai hukum-hukum sendiri di dalam babnya, antara lain hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, dan ada yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya kami telah menyebutkan sebagian yang diperlukan darinya di akhir pembahasan puasa. Karena itulah para penulis kitab fiqih mengikutkan Bab "I'tikaf' dengan Bab "Puasa" demi mengikuti Al-Qur'an, karena sesungguhnya di dalam Al-Qur'an diperhatikan penyebutan masalah i'tikaf sesudah penyebutan masalah puasa.
Penyebutan i'tikaf yang dilakukan oleh Allah Swt. sesudah masalah puasa mengandung petunjuk dan perhatian yang menganjurkan i'tikaf dalam berpuasa atau di akhir bulan Ramadan. Seperti yang telah disebutkan di dalam sunnah Rasul Saw. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. selalu melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, hingga Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istrinya melakukan i'tikaf pula sesudah beliau tiada. Demikianlah menurut hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Siti Aisyah Ummul Muminin r.a.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Safiyyah binti Huyayyin mengunjungi Nabi Saw. yang sedang i'tikaf di dalam masjid, lalu Safiyyah berbicara sesaat dengan Nabi Saw., kemudian ia bangkit untuk pulang ke rumahnya; hal tersebut terjadi di malam hari. Maka Nabi Saw. bangkit untuk mengantarkannya sampai ke rumahnya.
Tersebutlah bahwa rumah Siti Safiyyah binti Huyayyin berada di perkampungan rumah Usamah ibnu Zaid di sebelah Madinah. Ketika berada di tengah jalan, Nabi Saw. bersua dengan dua orang lelaki dari kalangan Ansar. Ketika keduanya melihat Nabi Saw., maka keduanya berjalan dengan cepat.
Menurut riwayat yang lain, kedua lelaki itu bersembunyi karena malu kepada Nabi Saw., mengingat Nabi Saw. sedang bersama istrinya (Siti Safiyyah binti Huyayyin). Maka Nabi Saw. bersabda, "Perlahan-lahanlah kamu berdua, sesungguhnya dia adalah Safiyyah binti Huyayyin," yakni istrinya. Maka kedua lelaki itu berkata, "Subhanallah (Mahasuci Allah), wahai Rasulullah." Maka Rasulullah Saw. bersabda;
"إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا" أَوْ قَالَ: "شَرًّا"
Sesungguhnya setan itu merasuk ke dalam diri anak Adam melalui aliran darahnya, dan sesungguhnya aku merasa khawatir bila timbul suatu kecurigaan di dalam hati kamu berdua —atau beliau Saw. bersabda— suatu keburukan.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan bahwa Nabi Saw. bermaksud mengajarkan kepada umatnya membebaskan diri dari tuduhan di tempat kejadian, agar keduanya tidak terjerumus ke dalam hal yang dilarang, padahal kedua orang tersebut adalah orang yang bertakwa-kepada Allah dan jauh dari kemungkinan bila ia mempunyai prasangka yang buruk terhadap diri Nabi Saw.
Yang dimaksud dengan istilah mubasyarah dalam ayat ini ialah bersetubuh dan semua pendahuluan yang menjurus ke arahnya, seperti ciuman, pelukan, dan lain sebagainya. Saling serah terima sesuatu dan hal lainnya yang semisal, hukumnya tidak mengapa. Sesungguhnya telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah mendekatkan kepalanya ke tubuh Siti Aisyah, lalu Siti Aisyah menyisirkan rambutnya, sedangkan Siti Aisyah dalam keadaan berhaid. Nabi Saw. tidak memasuki rumah (dalam i'tikafnya) melainkan karena keperluan sebagaimana layaknya seorang manusia. Siti Aisyah r.a. mengatakan, "Dan pernah ada orang yang sedang sakit di dalam rumahnya, maka aku tidak menanyakan tentang keadaannya melainkan sambil lewat (menuju masjid)."
***********
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ}
Itulah batasan-batasan Allah. (Al-Baqarah: 187)
Yakni apa yang telah Kami terangkan, yang telah Kami wajibkan dan Kami bataskan menyangkut puasa dan hukum-hukumnya serta hal-hal yang Kami perbolehkan di dalamnya; dan hal-hal yang Kami haramkan serta Kami sebutkan tujuan-tujuan, rukhsah-rukhsah, dan 'azaim-nya. Semua itu adalah batasan-batasan yang telah disyariatkan oleh Allah dan diterangkan-Nya sendiri.
**************
Firman Allah Swt.:
{فَلا تَقْرَبُوهَا}
maka janganlah kalian mendekatinya. (Al-Baqarah: 187)
Maksudnya, janganlah  kalian  melampaui  dan  menabraknya. 
Sedangkan menurut Ad-Dahhak dan Muqatil, makna firman-Nya: Itulah batasan-batasan Allah. (Al-Baqarah: 187) Yakni melakukan persetubuhan dalam i'tikaf. Sedangkan menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, yang dimaksud ialah batasan-batasan yang empat, lalu ia membacakan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayahnya dan orang lain dari kalangan guru-gurunya mengatakan hal yang sama dan mengajarkannya kepada dia (dan murid-murid lainnya).
***************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ}
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia. (Al-Baqarah: 187)
Yakni sebagaimana Allah menjelaskan masalah puasa berikut hukum-hukum syariat dan rinciannya, Dia pun menjelaskan pula semua hu-kum lainnya melalui lisan hamba dan Rasul-Nya —yaitu Nabi Muhammad Saw.— kepada umat manusia.
لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
supaya mereka bertakwa. (Al-Baqarah: 187)
Artinya, agar mereka mengetahui bagaimana jalan hidayah itu dan bagaimana cara mereka bertaat. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ عَلى عَبْدِهِ آياتٍ بَيِّناتٍ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُماتِ إِلَى النُّورِ وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَؤُفٌ رَحِيمٌ
Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Qur'an) supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadap kalian. (Al-Hadid: 9)

Al-Baqarah, ayat 188

{وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188) }
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai utang sejumlah harta, sedangkan pemiutang (yang punya piutang) tidak mempunyai bukti yang kuat. Lalu lelaki tersebut mengingkari utangnya dan mengadukan perkaranya kepada hakim, padahal dia mengetahui bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak, dan bahwa dirinya berada di pihak yang salah (berdosa) dan memakan harta haram.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa mereka pernah mengatakan, "Janganlah kamu membuat perkara, sedangkan kamu mengetahui bahwa dirimu berada di pihak yang zalim."
Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَلَا إِنَّمَا أَنَا بَشَر، وَإِنَّمَا يَأْتِينِي الْخِصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي لَهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ، فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنْ نَارٍ، فَلْيَحْملْهَا، أَوْ ليذَرْها"
Ingatlah, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, dan sesungguhnya sering datang kepadaku orang-orang yang mengadukan perkaranya. Barangkali sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengemukakan alasannya daripada lawannya, karena itu aku memutuskan perkara untuknya. Barang siapa yang telah kuputuskan buatnya menyangkut masalah hak seorang muslim, pada hakikatnya hal itu hanyalah merupakan sepotong api neraka; karena itu, hendaklah seseorang menyanggahnya atau meninggalkannya.
Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa keputusan hakim tidak boleh mengubah hakikat sesuatu —dengan kata lain, tidak dapat mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram— melainkan dia hanya memutuskan berdasarkan apa yang tampak pada lahiriahnya. Untuk itu apabila keputusannya bersesuaian dengan hakikat permasalahan, memang demikianlah yang diharapkan. Jika keputusannya itu tidak bersesuaian dengan hakikat permasalahan, maka si hakim hanya memperoleh pahalanya, sedangkan yang menanggung dosanya ialah pihak yang memalsukan tanda bukti dan melakukan kecurangan dalam perkaranya. Karena itu, dalam ayat ini disebutkan:
{وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan janganlah sebagian dari kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 188)
Yakni kalian mengetahui kebatilan dari apa yang kalian dakwakan dan kalian palsukan melalui ucapan kalian.
Qatadah mengatakan, "Ketahuilah, hai anak Adam, bahwa keputusan kadi itu tidak menghalalkan yang haram bagimu dan tidak pula membenarkan perkara yang batil. Sesungguhnya dia hanya memutuskan berdasarkan apa yang dia lihat melalui kesaksian para saksi. Kadi adalah seorang manusia, dia terkadang keliru dan terkadang benar. Ketahuilah bahwa barang siapa yang diputuskan suatu perkara untuk kemenangannya dengan cara yang batil, maka perkaranya itu masih tetap ada hingga Allah menghimpunkan di antara kedua belah pihak di hari kiamat, lalu Allah memutuskan perkara buat kemenangan orang yang hak atas orang yang batil itu dengan keputusan yang lebih baik daripada apa yang telah diputuskan buat kemenangan si batil atas pihak yang hak sewaktu di dunia."

Al-Baqarah, ayat 189

{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (189) }
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji." Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang bulan sabit. Maka turunlah ayat berikut, yakni firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al-Baqarah: 189) Yakni dengan melaluinya mereka mengetahui waktu masuknya ibadah mereka, bilangan idah istri-istri, dan waktu haji mereka.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, telah sampai sebuah hadis kepada kami bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa Allah menciptakan hilal (bulan sabit)?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al-Baqarah: 189) Maksudnya, Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu puasa kaum muslim dan waktu berbuka mereka, bilangan idah istri-istri, dan tanda waktu agama (ibadah haji) mereka. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ata, Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رَوّاد، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "جَعَلَ اللَّهُ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنَّ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا".
Abdur Razzaq meriwayatkan, dari Abdul Aziz ibnu Abu Rawwad, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia, maka berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya. Maka apabila awan menutupi kalian, sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari.
Hadis riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Ibnu Abu Rawwad dengan lafaz yang sama.
Imam Hakim mengatakan bahwa Ibnu Abu Rawwad adalah orang yang siqah, ahli ibadah, seorang mujtahid lagi bernasab terhormat. Maka hadis ini sahih sanadnya, tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya.
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ؛ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم: "جعل اللَّهُ الأهلَّة، فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فصُوموا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ أغْمي عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ"
Muhammad ibnu Jabir meriwayatkan dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah telah menciptakan bulan sabit. Maka apabila kalian melihat bulan sabit, berpuasalah; dan apabila kalian melihatnya lagi, berbukalah. Tetapi jika awan menutupi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan kalian menjadi tiga puluh hari.
Hal yang sama diriwayatkan melalui hadis Abu Hurairah, juga dari ucapan Ali ibnu Abu Talib r.a.
**********
Firman Allah Swt:
{وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا}
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa pada mulanya di zaman Jahiliah apabila mereka telah melakukan ihram, mereka memasuki rumahnya dari arah belakangnya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu'bah, dari Abi Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa orang-orang Ansar pada mulanya bila mereka tiba dari perjalanannya, maka seseorang dari mereka tidak memasuki rumahnya dari arah pintunya, lalu turunlah ayat ini.
Al-A'masy menceritakan dari Abu Sufyan, dari Jabir, bahwa dahulu orang-orang Quraisy dikenal dengan nama Humus, mereka selalu masuk dari pintu-pintunya dalam ihram mereka; sedangkan orang-orang Ansar dan semua orang Arab dalam ihram mereka tidak memasukinya dari pintu. Ketika Rasulullah Saw. sedang berada di sebuah kebun, selanjutnya beliau keluar dari pintunya, tetapi keluar pula bersamanya Qutbah ibnu Amir dari kalangan Ansar. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qutbah ibnu Amir adalah seorang pedagang, sesungguhnya dia telah keluar bersamamu dari pintu itu." Maka Rasul Saw. bertanya kepada Qutbah, "Apakah yang mendorongmu melakukan demikian?" Qutbah menjawab, "Aku melihat engkau melakukannya, maka aku ikut melakukan seperti apa yang telah engkau lakukan." Rasul Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku adalah seorang Ahmas." Qutbah menjawab, "Sesungguhnya agamaku juga adalah agamamu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula, juga Al-Aufi, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Az-Zuhri, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, dahulu beberapa kaum dari kalangan ahli Jahiliah apabila seseorang dari mereka hendak melakukan suatu perjalanan, lalu ia keluar dari rumahnya memulai perjalanan yang ditujunya. Kemudian sesudah ia keluar, timbul keinginan tetap tinggal dan mengurungkan niat bepergiannya; maka dia tidak memasuki rumahnya dari pintunya, melainkan menaiki tembok bagian belakang. Lalu Allah Swt. berfirman: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya. (Al-Baqarah: 189), hingga akhir ayat.
Muhammad ibnu Ka'b mengatakan, "Seorang lelaki apabila hendak melakukan i'tikaf, ia tidak memasuki rumahnya dari arah pintunya, maka Allah menurunkan ayat ini."
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa penduduk Yasrib apabila kembali dari hari raya mereka, mereka memasuki rumahnya masing-masing dari arah belakangnya, dan mereka berpendapat bahwa hal tersebut lebih mendekati kepada kebajikan. Maka Allah Swt. berfirman: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya. (Al-Baqarah: 189) Akhirnya mereka tidak lagi berpendapat bahwa hal tersebut lebih dekat kepada kebajikan.
*******
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
Dan bertakwalah kalian kepada Allah, agar kalian beruntung. (Al-Baqarah: 189)
Yakni kerjakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada kalian dan tinggalkanlah oleh kalian apa yang telah diharamkan Allah bagi kalian.  agar kalian beruntung. (Al-Baqarah: 189) Yaitu kelak di hari kemudian. Bila kalian dihadirkan di hadapan Allah, maka kelak Dia akan memberi kalian pahala dan balasannya dengan lengkap dan sempurna.

Al-Baqarah, ayat 190-193

{وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (190) وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ (191) فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (192) وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ (193) }
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan, dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian. (Al-Baqarah: 190) Ayat ini merupakan ayat perang pertama yang diturunkan di Madinah. Setelah ayat ini diturunkan, maka Rasulullah Saw. memerangi orang-orang yang memerangi dirinya dan membiarkan orang-orang yang tidak memeranginya, hingga turunlah surat Bara’ah (surat At-Taubah).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan hal yang sama, hingga dia mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ
Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At-Taubah: 5)
Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, mengingat firman-Nya: orang-orang yang memerangi kalian. (Al-Baqarah: 190) Sesungguhnya makna ayat ini merupakan penggerak dan pengobar semangat untuk memerangi musuh-musuh yang berniat memerangi Islam dan para pemeluknya. Dengan kata lain, sebagaimana mereka memerangi kalian, maka perangilah mereka oleh kalian. Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَقاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَما يُقاتِلُونَكُمْ كَافَّةً
Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya. (At-Taubah: 36)
Karena itulah maka dalam ayat ini Allah Swt. berfirman: Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (Mekah). (Al-Baqarah: 191)
Dengan kata lain, agar semangat kalian berkobar untuk memerangi orang-orang musyrik itu, sebagaimana semangat mereka menggebu-gebu untuk memerangi kalian; dan agar kalian terdorong untuk mengusir mereka dari negeri yang mereka telah mengusir kalian darinya sebagai pembalasan yang setimpal.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ}
(tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Baqarah: 190)
Yakni perangilah mereka di jalan Allah, tetapi janganlah kalian bersikap melampaui batas dalam hal ini. Termasuk ke dalam pengertian bertindak melampaui batas ialah melakukan hal-hal yang dilarang (dalam perang).
Menurut Al-Hasan Al-Basri antara lain ialah mencincang musuh, curang, membunuh wanita-wanita, anak-anak serta orang-orang lanjut usia yang tidak ikut berperang serta tidak mempunyai kemampuan berperang, para rahib dan pendeta-pendeta yang ada di dalam gereja-gerejanya, membakar pohon, dan membunuh hewan bukan karena maslahat.
Hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Umar ibnu Abdul Aziz, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis:
عَنْ بُرَيدة أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: "اغْزُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِالْلَّهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلّوا، وَلَا تَغْدروا، وَلَا تُمَثِّلُوا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا، وَلَا أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ".
dari Buraidah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Pergilah di jalan Allah dan perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah kalian, tetapi janganlah kalian curang, jangan khianat, jangan mencincang, dan jangan membunuh anak-anak serta jangan membunuh orang-orang yang ada di dalam gereja-gerejanya. (Riwayat Imam Ahmad)
Disebutkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah Saw. bila memberangkatkan pasukannya, terlebih dahulu berpesan kepada mereka:
"اخْرُجُوا بِسْمِ اللَّهِ، قَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ كَفَرَ بِالْلَّهِ، لَا تَغْدِرُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تُمَثلوا، وَلَا تَقْتُلُوا الْوِلْدَانَ وَلَا أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ".
Berangkatlah kalian dengan menyebut asma Allah, perangilah di jalan Allah orang-orang yang kafir kepada Allah, janganlah kalian melampaui batas, janganlah kalian curang, jangan mencincang (menyiksa), jangan membunuh anak-anak, dan jangan pula orang-orang yang berada dalam gereja-gerejanya.
Imam Ahmad dan Imam Abu Daud meriwayatkan pula hadis yang semisal secara marfu' dari sahabat Anas ibnu Malik r.a.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: وجُدت امْرَأَةٌ فِي بَعْضِ مَغَازِي النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْتُولَةً، فَأَنْكَرَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قتلَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ
dari sahabat Ibnu Umar yang menceritakan: Pernah dijumpai seorang wanita yang terbunuh dalam suatu peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Maka sejak itu beliau membenci membunuh wanita-wanita dan anak-anak.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُصعب بْنُ سَلام، حَدَّثَنَا الْأَجْلَحُ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ رِبْعي ابن حِرَاش، قَالَ: سَمِعْتُ حُذَيفة يَقُولُ: ضَرَبَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْثَالًا وَاحِدًا، وَثَلَاثَةً، وَخَمْسَةً، وَسَبْعَةً، وَتِسْعَةً، وأحدَ عشَرَ، فَضَرَبَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا مَثَلًا وَتَرَكَ سائرَها، قَالَ: "إِنَّ قَوْمًا كَانُوا أهلَ ضَعْف وَمَسْكَنَةٍ، قَاتَلَهُمْ أهلُ تَجَبُّرٍ وَعَدَاءٍ، فَأَظْهَرَ اللَّهُ أَهْلَ الضَّعْفِ عَلَيْهِمْ، فَعَمَدُوا إِلَى عَدُوهم فَاسْتَعْمَلُوهُمْ وَسَلَّطُوهُمْ فَأَسْخَطُوا اللَّهَ عَلَيْهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Al-Ajlah, dari Qais ibnu Abu Muslim, dari Rub'i ibnu Hirasy yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Huzaifah bercerita, "Rasulullah Saw. pernah membuat banyak perumpamaan kepada kami, satu, tiga, lima, tujuh, sembilan, dan sebelas (perumpamaan). Maka Rasulullah Saw. membuat suatu perumpamaan dari semuanya itu kepada kami dan meninggalkan perumpamaan yang lainnya. Beliau Saw. bersabda: 'Sesungguhnya ada suatu kaum yang lemah lagi miskin, mereka diperangi oleh orang-orang yang kuat lagi memendam permusuhan, tetapi Allah memenangkan orang-orang yang lemah atas mereka, lalu orang-orang yang lemah itu menghukum mereka dengan cara mempekerjakan dan menguasai mereka, maka Allah murka terhadap orang-orang yang berbuat demikian hingga hari kiamat'."
Hadis ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat hasan. Makna hadis, bahwa ketika kaum yang lemah itu dapat mengalahkan kaum yang kuat, maka kaum yang lemah berbuat kelewat batas terhadap mereka dan mempekerjakan mereka secara paksa dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak layak bagi mereka. Maka Allah menjadi murka terhadap mereka yang menang itu disebabkan sikap mereka yang melebihi batas.
Hadis dan asar yang membahas hal ini cukup banyak. Mengingat jihad itu mengandung risiko melayangnya banyak jiwa, terbunuhnya banyak kaum laki-laki, maka Allah mengingatkan bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh mereka —yaitu kafir kepada Allah, mempersekutukan-Nya, dan menghalang-halangi jalan Allah— adalah perbuatan yang lebih parah dan lebih fatal, lebih besar akibatnya daripada pembunuhan.
**********
Karena itulah maka dalam ayat selanjutnya disebutkan:
{وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ}
Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. (Al-Baqarah 191)
Menurut Abu Malik, makna ayat ini ialah bahwa apa yang sedang kalian hadapi itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.
Abul Aliyah, Mujahid, Qatadah, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. (Al-Baqarah: 191) Artinya, musyrik itu bahayanya lebih besar daripada pembunuhan.
***************
Firman-Nya:
{وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ}
dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 191)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
"إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، وَإِنَّهَا سَاعَتِي هَذِهِ، حَرَام بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يُعْضَد شَجَرُهُ، وَلَا يُخْتَلى خَلاه. فَإِنْ أَحَدٌ تَرَخَّصَ بِقِتَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا: إِنَّ اللَّهَ أَذِنَ لِرَسُولِهِ وَلَمْ يَأْذَنْ لَكُمْ"
Sesungguhnya kota ini telah disucikan Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi, maka dia tetap suci karena disucikan Allah sampai hari kiamat dan tidak pernah dihalalkan kecuali sesaat untukku di waktu siang hari, dia tetap suci karena disucikan Allah sampai hari kiamat; pepohonannya tidak boleh ditebang, rerumputannya tidak boleh dicabut. Jika ada seseorang membolehkan karena alasan Rasulullah Saw. pernah melakukan perang padanya, maka katakanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya Allah hanya mengizinkan bagi Rasul-Nya dan Dia tidak mengizinkan bagi kalian.
Yang dimaksud ialah peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. terhadap penduduknya ketika hari kemenangan atas kota Mekah, karena sesungguhnya beliau Saw. membukanya dengan paksa, dan sebagian dari kaum lelaki di antara mereka ada yang terbunuh di Khandamah.
Tetapi menurut pendapat yang lain, Nabi Saw. membuka kota Mekah secara damai, karena berdasarkan kepada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
مَنْ أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ
Barang siapa yang menutup pintunya, maka dia aman; dan barang siapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram, maka dia aman; dan barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia aman.
****************
Firman Allah Swt.:
{حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ}
kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 191)
Dengan kata lain, janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram (Mekah) kecuali bila mereka memulai memerangi kalian padanya, maka saat itu kalian boleh memerangi mereka untuk membela diri. Sebagaimana. yang dilakukan oleh para sahabat ketika mengucapkan baiat (janji setia) kepada Nabi Saw. pada hari Hudaibiyyah di bawah sebuah pohon. Mereka berjanji setia untuk membela Nabi Saw., yaitu di saat semua suku Quraisy dan para pendukungnya dari kalangan suku Saqif dan orang-orang Habsyah pada tahun itu bersekutu untuk memerangi Nabi Saw. Kemudian Allah Swt. mencegah pcperangan di antara mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ
Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kalian dan (menahan) tangan kalian dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kalian atas mereka. (Al-Fath: 24)
Allah Swt. berfirman pula:
{وَلَوْلا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا}
Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kalian ketahui, bahwa kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesusahan tanpa pengetahuan kalian (tentulah Allah tidak akan menahan tangan kalian dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yang kafir di antara mereka dengan azob yang pedih. (Al-Fath: 25)
**************
Adapun firman Allah Swt.:
{فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka sesesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 192)
Dengan kata lain, apabila mereka tidak melakukan peperangan di tanah haram (suci), mereka menyerah mau masuk Islam dan bertobat, sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka, sekalipun mereka telah memerangi kaum muslim di Tanah Suci Allah. Karena sesungguhnya tiada suatu dosa besar pun dianggap berat oleh Allah bila Dia mengampuni orang yang bertobat darinya dan kembali ke jalan-Nya. Kemudian Allah Swt. memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir dengan tujuan seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:
{حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ}
sehingga tidak ada fitnah lagi. (Al-Baqarah: 193)
Yang dimaksud dengan fitnah ialah syirik (mempersekutukan Allah). Demikianlah menurut apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, dan Zaid ibnu Aslam.
Allah Swt. berfirman:
{وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ}
dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. (Al-Baqarah: 193)
Yakni hanya agama Allah-lah menang lagi tinggi berada di atas agama lainnya, seperti pengertian yang terkandung di dalam hadis Sahihain:
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: سُئِل النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُقاتل شُجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ حَميَّة، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ: "مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فهو فِي سَبِيلِ اللَّهِ"
melalui Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan: Nabi Saw. pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang berperang karena keberaniannya, seorang lelaki yang berperang karena fanatiknya, dan seorang lelaki yang berperang karena riya (pamer), manakah di antaranya yang termasuk ke dalam perang di jalan Allah? Nabi Saw. menjawab, "Barang siapa yang berperang demi meninggikan kalimah Allah, maka dia adalah orang yang berperang di jalan Allah."
Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula hadis berikut:
"أمرْتُ أنْ أقاتلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ"
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah; apabila mereka mau mengucapkannya, berarti mereka memelihara darah dan harta bendanya dariku, kecuali karena alasan yang hak, sedangkan perhitungan mereka (yang ada di dalam hati mereka) diserahkan kepada Allah.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ}
Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 193)
Yakni jika mereka tidak melakukan lagi kebiasaan syiriknya dan tidak lagi memerangi orang-orang mukmin, maka cegahlah diri kalian dari mereka, karena sesungguhnya orang-orang yang memerangi mereka sesudah itu adalah orang yang zalim, dan tidak ada lagi permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Demikianlah menurut takwil yang dikemukakan oleh Mujahid, yakni tidak ada perang lagi kecuali terhadap orang yang memulainya. Atau makna yang dimaksud ialah, apabila mereka berhenti memusuhi kalian, berarti kalian telah bebas dari gangguan perbuatan aniaya mereka, yaitu kemusyrikan mereka, maka tidak ada permusuhan lagi terhadap mereka sesudah itu. Yang dimaksud dengan istilah 'udwan dalam ayat ini ialah membalas dan memerangi, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ}
Oleh karena itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194)
{وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا}
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. (Asy-Syura: 40)
{وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ}
Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. (An-Nahl: 126)
Karena itulah maka Ikrimah dan Qatadah mengatakan bahwa orang yang zalim ialah orang yang menolak, tidak mau mengucapkan kalimah 'Tidak ada Tuhan selain Allah'.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi. (Al-Baqarah: 193), hingga akhir ayat. Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa ia pernah kedatangan dua orang lelaki pada zaman fitnah Ibnuz Zubair (kemelut yang terjadi di masa Abdullah ibnuz Zubair), lalu kedua lelaki itu berkata, "Sesungguhnya orang-orang telah melibatkan dirinya dalam kemelut ini, sedangkan engkau —hai Ibnu Umar— sebagai sahabat Nabi Saw. mengapa tidak ikut berangkat berperang?" Ibnu Umar menjawab, "Diriku tercegah oleh hukum Allah yang melarang darah saudaraku." Keduanya mengatakan lagi, "Bukankah Allah Swt. telah berfirman: 'Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi' (Al-Baqarah: 193)?" Ibnu Umar menjawab, "Kami telah berperang sehingga tiada ada fitnah lagi, dan agama hanyalah untuk Allah. Sedangkan kalian menghendaki agar perang kalian lakukan sehingga fitnah timbul lagi dan agar agama untuk selain Allah."
Usman ibnu Saleh meriwayatkan dari Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Fulan dan Haiwah ibnu Syuraih, dari Bakr ibnu Umar Al-Magafiri, bahwa Bukair ibnu Abdullah pernah menceritakan kepadanya dari Nafi', bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat Ibnu Umar dan mengatakan, "Hai Abu Abdur Rahman, apakah yang mendorongmu melakukan ibadah haji satu tahun dan bermukim satu tahun, sedangkan engkau meninggalkan jihad di jalan Allah Swt., padahal engkau mengetahui anjuran Allah mengenai berjihad itu?" Ibnu Umar menjawab, "Hai anak saudaraku, Islam dibangun di atas lima pilar, yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya, salat lima waktu, puasa Ramadan, menunaikan zakat, dan haji ke Baitullah." Mereka mengatakan, "Bukankah engkau telah mendengar apa yang telah dikatakan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya, hai Abu Abdur Rahman, (yaitu): 'Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah' (Al-Hujurat: 9). Juga firman Allah Swt. yang mengatakan: 'Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi' (Al-Baqarah: 193)." Ibnu Umar berkata, "Kami telah melakukannya di zaman Rasulullah Saw. yang pada saat itu Islam masih minoritas, dan seorang lelaki muslim diuji dalam agamanya, adakalanya dibunuh oleh mereka atau disiksa. Ketika Islam menjadi mayoritas, maka tidak ada fitnah lagi." Lelaki itu berkata, "Bagaimanakah menurutmu tentang Ali dan Us'man?" Ibnu Umar menjawab, "Adapun mengenai Usman, maka Allah telah memaafkannya, dan kalian ternyata tidak suka memaafkannya. Sedangkan Ali, dia adalah anak paman Rasulullah Saw. dan juga sebagai menantunya," lalu Ibnu Umar mengisyaratkan dengan tangannya dan berkata, "Itulah rumah Ali seperti yang kalian lihat sendiri (yakni tinggal di rumah Rasulullah Saw.)."

Al-Baqarah, ayat 194

{الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (194) }
Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukum qisas. Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
Ikrimah, Ad-Dahhak, As-Saddi, Qatadah, Miqsam, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ata serta lain-lainnya (dari kalangan tabi'in) telah mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah Saw. berangkat melakukan umrah pada tahun keenam Hijriah, kaum musyrik melarangnya masuk ke kota Mekah dan sampai ke Baitullah. Kaum musyrik menghambat Nabi Saw. dan kaum muslim yang bersamanya pada bulan ZulQa'dah, yaitu termasuk bulan haram, hingga beliau Saw. mengqadainya bersama kaum muslim pada tahun berikutnya. Akhirnya beliau Saw. dapat memasukinya bersama-sama kaum muslim pada tahun selanjutnya sebagai qisas dari Allah terhadap kaum musyrik. Maka turunlah ayat tersebut berkenaan dengan firman-Nya: Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukum qisas. (Al-Baqarah: 194)
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا لَيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو فِي الشَّهْرِ الْحَرَامِ إِلَّا أَنْ يُغْزى ويُغْزَوا فَإِذَا حَضَرَهُ أَقَامَ حَتَّى يَنْسَلِخَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Lais ibnu Sa'd, dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan:  Rasulullah Saw. belum pernah berperang dalam bulan haram kecuali bila diserang dan dipaksa untuk berperang. Apabila datang bulan haram, maka beliau menunggunya hingga ia lewat.
Sanad hadis ini sahih.
Karena itu, ketika sampai suatu berita kepada Nabi Saw. yang sedang berkemah di Hudaibiyyah bahwa sahabat Usman telah terbunuh —padahal Usman sedang diutus beliau untuk menyampaikan sepucuk surat kepada kaum musyrik— maka beliau membaiat semua sahabatnya yang berjumlah seribu empat ratus orang di bawah sebatang pohon untuk memerangi kaum musyrik. Akan tetapi, ketika sampai lagi suatu berita yang menyatakan bahwa Usman sebenarnya tidak dibunuh, maka beliau mencegah diri dari perang dan cenderung kepada perdamaian, hingga terjadilah di masa itu apa yang telah terjadi (yakni dilarang oleh kaum musyrik memasuki Mekah tahun itu, melainkan boleh untuk tahun depannya).
Demikian pula ketika beliau selesai memerangi kabilah Hawazin dalam Perang Hunain, lalu sisa-sisa Hawazin berlindung di balik benteng kota Taif. Beliau menghentikan perang, dan yang beliau lakukan hanya mengepungnya saja karena bulan Zul-Qa'dah telah masuk. Nabi Saw. mengepung kota Taif dengan manjaniq (meriam batu), hal ini dilakukannya selama empat puluh hari. Seperti apa yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Anas yang mengatakan, "Setelah banyak orang terbunuh dari kalangan sahabatnya, maka beliau pergi meninggalkan Taif dan tidak jadi membukanya. Kemudian beliau kembali ke Mekah, lalu melakukan umrah dari Ji'ranah yang di tempat itu dibagi-bagikan ganimah Perang Hunain. Umrah kali ini beliau lakukan pada tahun delapan Hijriah, tepatnya pada bulan Zul-Qa'dah."
*********
Firman Allah Swt:
{فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ}
Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194)
Ayat ini menganjurkan berbuat adil, sekalipun terhadap kaum musyrik (musuh). Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَإِنْ عاقَبْتُمْ فَعاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ
Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. (An-Nahl: 126)
وَجَزاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُها
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. (Asy-Syura: 40)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa firman-Nya: Oleh karena itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194) Ayat ini diturunkan di Mekah di masa tidak ada kekuatan dan tidak ada jihad, kemudian di-mansukh oleh ayat perang yang diturunkan di Madinah. Pendapat ini diketengahkan oleh Ibnu Jarir, dan ia mengatakan bahkan ayat ini diturunkan di Madinah sesudah umrah qada. Ibnu Jarir menisbatkan pendapatnya ini kepada Mujahid.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ}
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 194)
Allah memerintahkan mereka untuk taat dan bertakwa kepada-Nya, sekaligus memberitahukan kepada mereka bahwa Allah Swt. selalu bersama orang-orang yang bertakwa melalui pertolongan-Nya dan dukungan-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.

Al-Baqarah, ayat 195

{وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (195) }
Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami An-Nadr, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Abu Wail mengatakan dari Huzaifah sehubungan dengan firman-Nya: Dan belanjakanlah (harta kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah memberi nafkah.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, dari Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Lais ibnu Sa'd meriwayatkan dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Aslam Abu Imran yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari kalangan Muhajirin ketika di Qustantiniyah (Konstantinopel) maju sendirian melabrak barisan musuh hingga dapat menerobosnya (lalu kembali lagi), sedangkan bersama kami ada Abu Ayyub Al-Ansari. Maka orang-orang mengatakan, "Dia telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan." Maka Abu Ayyub menjawab, "Kami lebih mengetahui tentang ayat ini, sesungguhnya ia diturunkan berkenaan dengan kami. Kami selalu menemani Rasulullah Saw. dan kami ikut bersamanya dalam semua peperangan, dan kami bantu beliau dengan segala kemampuan kami. Setelah Islam menyebar dan menang, maka kami orang-orang Ansar berkumpul mengadakan reuni. Lalu kami mengatakan, 'Allah telah memuliakan kita karena kita menjadi sahabat Nabi Saw. dan menolongnya hingga Islam tersebar dan para pemeluknya menjadi golongan mayoritas. Kita lebih mementingkan Nabi Saw. daripada keluarga, harta benda, dan anak-anak kita.' Setelah perang tiada lagi, lalu kami kembali kepada keluarga dan anak-anak kami serta kami tinggal bersama mereka. Lalu turunlah firman-Nya: 'Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan ' (Al-Baqarah: 195). Maka kebinasaan itu terjadi bila kami bermukim mengurusi keluarga dan harta benda. Sedangkan jihad kami tinggalkan."
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmuzi, Nasai, dan Abdu ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya; dan Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih serta Al-Hafiz Abu Ya'la di dalam kitab musnadnya; Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya, dan Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya. Semuanya meriwayatkan hadis ini melalui Yazid ibnu Abu Habib dengan lafaz seperti yang disebutkan di atas.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan, sahih, garib. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, sedangkan keduanya tidak mengetengahkannya.
Menurut lafaz yang ada pada Imam Abu Daud, dari Aslam Abu Imran, ketika kami berada di Konstantinopel, pemimpin pasukan kaum muslim dari Mesir dipegang oleh Uqbah ibnu Amir, dan dari negeri Syam dipegang oleh seorang lelaki kepercayaan Yazid ibnu Fudalah ibnu Ubaid.
Maka keluarlah dari kota Konstantinopel sepasukan yang berjumlah sangat besar dari pasukan Romawi; kami pun menyusun barisan pertahanan untuk menghadapi mereka. Kemudian ada seorang lelaki dari pasukan kaum muslim maju menerjang barisan pasukan Romawi, hingga sempat memorak-porandakannya, dan masuk ke tengah barisan musuh, setelah itu ia kembali lagi ke barisan kami. Melihat peristiwa tersebut pasukan kaum muslim berteriak seraya mengucapkan, "Subhanallah, dia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan!" Maka Abu Ayyub menjawab: Hai manusia, sesungguhnya kalian benar-benar menakwilkan ayat ini bukan dengan takwil yang semestinya. Sesungguhnya ayat ini hanya diturunkan berkenaan dengan kami, orang-orang Ansar. Sesungguhnya kami setelah Allah memenangkan agama-Nya dan banyak yang mendukungnya, maka kami berkata di antara sesama kami, "Sekiranya kita kembali kepada harta benda kita untuk memperbaikinya," maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 195).
Abu Bakar ibnu Iyasy meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Subai'i yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Al-Barra ibnu Azib, "Jika aku maju sendirian menerjang musuh, lalu mereka membunuhku, apakah berarti aku menjerumuskan diriku ke dalam kebinasaan?" Al-Barra menjawab, "Tidak, Allah Swt. telah berfirman kepada Rasul-Nya:
فَقاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ
'Maka berperanglah kalian pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri' (An-Nisa: 84).
Sesungguhnya ayat ini (yakni Al-Baqarah ayat 195) hanyalah berkenaan dengan masalah nafkah."
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula, dan Imam Hakim telah mengetengahkannya di dalam kitab Mustadrak melalui hadis Israil, dari Abu Ishaq; dan Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Imam Turmuzi meriwayatkannya, begitu pula Qais ibnur Rabi', dari Abu Ishaq, dari Al-Barra. Kemudian Al-Barra menuturkan hadis ini,dan sesudah firman-Nya: Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. (An-Nisa: 84) Ia mengatakan, "Kebinasaan yang sesungguhnya ialah bila seorang lelaki melakukan suatu dosa, sedangkan ia tidak bertobat darinya. Maka dialah orang yang menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh (juru tulis Al-Lais), telah menceritakan kepadaku Al-Lais, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Khalid ibnu Musaflr, dari Ibnu Syihab, dari Abu Bakar ibnu Numair ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam, bahwa Abdur Rahman Al-Aswad ibnu Abdu Yagus telah menceritakan kepadanya bahwa mereka mengepung kota Dimasyq (Damaskus). Maka berangkatlah seorang lelaki dari Azdsyanuah, ia maju dengan cepat menerjang musuh sendirian. Kaum muslim mencela perbuatannya itu, lalu perkaranya dilaporkan kepada Amr ibnul As (panglima pasukan kaum muslim). Kemudian Amr mengirimkan pesuruh untuk menyuruhnya kembali (ke barisan kaum muslim). Ketika lelaki itu datang ke hadapannya, maka Amr membacakan kepadanya firman Allah Swt.: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195)
Ata ibnus Saib meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini bukan berkenaan dengan masalah perang, melainkan berkenaan dengan masalah membelanjakan harta, yaitu bila kamu genggamkan tanganmu, tidak mau membelanjakan harta di jalan Allah, maka dikatakan, "Janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan."
Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Daud, dari Asy-Sya'bi, dari Ad-Dahhak ibnu Abu Jubair yang menceritakan bahwa orang-orang Ansar biasa menyedekahkan dan menginfakkan sebagian dari harta mereka. Pada suatu ketika paceklik menimpa mereka, karena itu mereka tidak lagi membelanjakan hartanya di jalan Allah. Lalu turunlah ayat ini: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya:  Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Yang dimaksud ialah sifat kikir.
Sammak ibnu Harb meriwayatkan dari An-Nu'man ibnu Basyir sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Maksudnya ialah ada seorang lelaki melakukan suatu dosa, lalu ia mengatakan bahwa dirinya tidak akan diampuni. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaidah As-Salmani, Al-Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin, dan Abu Qilabah hal yang semisal, yakni yang semisal dengan apa yang telah diceritakan oleh An-Nu'man ibnu Basyir. Yaitu bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang melakukan suatu dosa, lalu ia berkeyakinan bahwa dirinya tidak akan diampuni. Karena itulah dia menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan. Dengan kata lain, karena dia merasa tidak akan diampuni, maka ia memperbanyak berbuat dosa, dan akhirnya dia binasa. Karena itulah Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang pernah mengatakan bahwa kebinasaan adalah azab Allah.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakr, dari Al-Qurazi (yaitu Muhammad ibnu Ka'b), bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Ada suatu kaum yang sedang berjuang di jalan Allah, dan seseorang dari mereka membawa bekal yang paling banyak di antara teman-temannya. Lalu ia menginfakkan perbekalannya itu kepada orang yang kekurangan, hingga tiada sesuatu pun yang tersisa dari bekalnya untuk menyantuni teman-temannya yang memerlukan pertolongan. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadanya Abdullah ibnu Ayyasy, dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan firman-Nya: Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Demikian kisahnya, bermula dengan sejumlah kaum laki-laki yang berangkat mengemban misi yang ditugaskan oleh Rasulullah Saw. ke pundak mereka tanpa bekal. Ketiadaan bekal mereka adakalanya karena mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai mata pencaharian, atau adakalanya karena mereka adalah orang-orang yang mempunyai banyak tanggungan. Maka Allah memerintahkan kepada mereka untuk meminta perbelanjaan dari apa yang telah direzekikan Allah kepada mereka (kaum muslim), dan janganlah mereka menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan.
Pengertian binasa ialah bila mereka yang bertugas mengemban misi ini binasa karena lapar dan dahaga atau karena jalan kaki. Allah Swt. berfirman kepada orang-orang yang mempunyai harta berlebih: Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
Kesimpulan dari makna ayat ini ialah perintah membelanjakan harta di jalan Allah dan semua jalan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dan taat kepada-Nya, khususnya membelanjakan harta untuk memerangi musuh, kemudian mengalokasikannya buat sarana dan bekal yang memperkuat kaum muslim dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Melalui ayat ini Allah memberitakan kepada mereka bahwa jika hal ini ditinggalkan, maka akan berakibat kepada kehancuran dan kebinasaan bagi orang yang tidak mau membelanjakan hartanya untuk tujuan tersebut. Kemudian di-'ataf-kan kepada perintah berbuat baik, yang mana hal ini merupakan amal ketaatan yang paling tinggi. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)

Al-Baqarah, ayat 196

{وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (196) }
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya  tidak berada (di  sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
Setelah Allah menyebutkan hukum-hukum puasa, lalu meng-'ataf kannya dengan sebutan masalah jihad, maka mulailah Allah menjelaskan masalah manasik. Untuk itu, Allah memerintahkan agar ibadah haji dan umrah disempurnakan. Menurut pengertian lahiriah konteks menunjukkan harus menyempurnakan semua pekerjaan haji dan umrah bilamana seseorang telah memulainya. Karena itulah sesudahnya disebutkan:
{فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ}
Jika kalian terkepung. (Al-Baqarah: 196)
Yakni jika kalian terhalang sampai ke Baitullah dan kalian terhambat hingga tidak dapat menyempurnakan keduanya (karena terhalang oleh musuh atau karena sakit). Karena itulah para ulama sepakat bahwa memasuki ibadah haji dan umrah merupakan suatu keharusan, baik menurut pendapat yang mengatakan bahwa umrah itu wajib ataupun sunat, seperti pendapat-pendapat yang ada di kalangan ulama. Kami telah menyebutkan kedua masalah ini beserta dalil-dalilnya di dalam Kitabul Ahkam secara rinci.
Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Abdullah ibnu Salamah, dari Ali yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Dikatakan demikian bilamana kamu telah memasuki ihram dari rumah keluargamu. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, dan Tawus.
Disebutkan dari Sufyan As-Sauri, ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa pengertian menyempurnakan haji dan umrah itu ialah bila kamu telah berihram dari rumah keluargamu dengan tujuan hanya untuk haji dan umrah. Kamu ber-ihlal (berihram) dari miqat, sedangkan tujuan kamu bukan untuk berniaga, bukan pula untuk keperluan lainnya. Ketika kamu sudah berada di dekat Mekah, maka kamu berkata, "Sekiranya aku melakukan haji atau umrah," yang demikian itu sudah dianggap cukup, tetapi yang sempurna ialah bila kamu berangkat ihram dan tiada niat lain kecuali hanya untuk itu.
Makhul mengatakan, pengertian menyempurnakan haji dan umrah ialah memulai keduanya dari miqat-nya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa sahabat Umar pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Bahwa termasuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah ialah bila kamu meng-ifrad-kan masing-masing dari yang lainnya secara terpisah, dan kamu lakukan ibadah umrah di luar bulan-bulan haji, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Aun bahwa ia pernah mendengar Al-Qasim ibnu Muhammad berkata, "Sesungguhnya melakukan ibadah umrah di dalam bulan-bulan haji kurang sempurna." Ketika dikatakan kepadanya, "Bagaimana dengan umrah dalam bulan Muharram?" Ia menjawab, "Menurut mereka, melakukan ibadah umrah dalam bulan tersebut dianggap sempurna."
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah ibnu Di'amah. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan karena disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah Saw. melakukan umrahnya sebanyak empat kali, semuanya beliau lakukan dalam bulan Zul-Qa'dah. Umrah hudaibiyyah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun enam Hijriah, umrah qada dalam bulan Zul-Qa'dah tahun ketujuh Hijriah, umrah ji'arah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun delapan Hijriah, dan umrah yang beliau lakukan dalam ibadah haji —beliau berihram untuk keduanya secara bersamaan (qiran)— dalam bulan Zul-Qa'dah tahun sepuluh Hijriah. Beliau Saw. tidak melakukan umrah lagi selain dari umrah-umrah tersebut setelah beliau hijrah. Akan tetapi, Nabi Saw. bersabda kepada Ummu Hani':
"عُمْرة فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِي"
Umrah dalam bulan Ramadan seimbang dengan melakukan ibadah haji bersamaku.
Dikatakan demikian karena Ummu Hani' bertekad untuk melakukan ibadah haji bersama Nabi Saw., tetapi ia terhambat melakukannya karena masa sucinya terlambat, seperti yang dijelaskan dengan panjang lebar di dalam hadis Imam Bukhari. Tetapi dalam nas Sa'id ibnu Jubair disebutkan bahwa hal tersebut hanya merupakan kekhususan bagi Ummu Hani'.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Yakni tegakkanlah (kerjakanlah) ibadah haji dan umrah.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Artinya, barang siapa yang telah berihram untuk ibadah haji atau umrah, maka dia tidak boleh ber-tahallul sebelum menyempurnakan keduanya, yaitu sempurnanya ibadah haji pada hari kurban. Bila ia telah melempar jumrah aqabah, tawaf di Baitullah, dan sa'i antara Safa dan Marwah; setelah semuanya dikerjakan, berarti sudah tiba masa tahallul-nya.
Qatadah meriwayatkan dari Zararah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Haji itu adalah Arafah, dan umrah itu adalah tawaf."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Disebutkan bahwa menurut qiraat Abdullah ibnu Mas'ud bunyinya demikian, "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah," yakni melakukan ibadah umrah hanya di sekitar Baitullah, tidak melebihinya. Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Sa'id ibnu Jubair. Maka Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas.
Sufyan meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia pernah mengatakan, "Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Sauri, dari Ibrahim, dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan berikut yang artinya, "Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah."
Asy-Sya'bi membaca ayat ini dengan me-rafa'-kan lafaz al-umrah, dan ia mengatakan bahwa ibadah umrah hukumnya tidak wajib, melainkan sunat. Akan tetapi, diriwayatkan darinya hal yang berbeda, yakni yang mengatakan wajib.
Telah disebutkan di dalam banyak hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang berbeda, dari Anas dan sejumlah sahabat, bahwa Rasulullah Saw. dalam ihramnya menggabungkan ibadah haji dan ibadah umrah. Ditetapkan di dalam hadis sahih yang bersumber dari Nabi Saw. bahwa beliau Saw. pernah bersabda kepada para sahabat:
"مَنْ كَانَ مَعَهُ هَدْي فَلْيُهِلَّ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ"
Barang siapa yang membawa hadyu (hewan kurban), maka hendaklah ia ber-ihlal (berihram) untuk ibadah haji dan umrahnya.
Di dalam hadis sahih lain disebutkan pula bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"دَخَلَتِ الْعُمْرَةُ فِي الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"
Umrah dimasukkan ke dalam ibadah haji sampai hari kiamat.
Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini meriwayatkan sebuah hadis yang garib. Untuk itu dia mengatakan:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْهَرَوِيُّ، حَدَّثَنَا غَسَّانُ الْهَرَوِيُّ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَان، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ أَنَّهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَضَمِّخٌ بِالزَّعْفَرَانِ، عَلَيْهِ جُبَّةٌ، فَقَالَ: كَيْفَ تَأْمُرُنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي عُمْرَتِي؟ قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ} فَقَالَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيْنَ السَّائِلُ عَنِ العُمْرة؟ " فَقَالَ: هَا أَنَا ذَا. فَقَالَ لَهُ: "أَلْقِ عَنْكَ ثِيَابَكَ، ثُمَّ اغْتَسِلْ، وَاسْتَنْشِقْ مَا اسْتَطَعْتَ، ثُمَّ مَا كُنْتَ صَانِعًا فِي حَجّك فَاصْنَعْهُ فِي عُمْرَتِكَ"
telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Harawi, telah menceritakan kepada kami Gassan Al-Harawi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Tahman, dari Ata, dari Safwan ibnu Umayyah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. dalam keadaan memakai minyak wangi za'faran yang ia balurkan pada baju jubahnya, lalu lelaki itu bertanya, "Apakah yang harus aku lakukan dalam ibadah umrahku menurutmu, wahai Rasulullah?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Lalu Rasulullah Saw. bertanya, "Ke manakah orang yang bertanya tentang umrah tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Lepaskanlah bajumu itu, lalu mandilah dan ber-istinsyaq-lah menurut kemampuanmu. Kemudian apa yang kamu lakukan dalam ibadah hajimu, lakukanlah pula dalam ibadah umrahmu."
Hadis ini garib dan konteksnya aneh.
Hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain dari Ya'la ibnu Umayyah dalam kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi Saw. ketika di Ji'ranah, disebutkan bahwa lelaki itu bertanya, "Bagaimanakah menurutmu tentang seorang lelaki yang berihram untuk umrah, sedangkan dia memakai kain jubah yang dilumuri dengan minyak za'faran?" Nabi Saw. diam, lalu turunlah wahyu kepadanya, kemudian beliau mengangkat kepalanya dan bertanya, "Manakah orang yang bertanya tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Maka beliau Saw. bersabda:
"أَمَّا الْجُبَّةُ فَانْزَعْهَا، وَأَمَّا الطِّيبُ الذِي بِكَ فَاغْسِلْهُ، ثُمَّ مَا كُنْتَ صَانِعًا فِي حَجِّكَ فَاصْنَعْهُ فِي عُمْرتك"
Adapun mengenai baju jubahmu, lepaskanlah ia; dan adapun mengenai wewangian yang ada pada tubuhmu, cucilah. Kemudian apa yang biasa kamu lakukan dalam ibadah hajimu, maka lakukanlah pula dalam ibadah umrahmu.
Di dalam riwayat ini tidak disebutkan masalah istinsyaq (mengisap air dengan hidung untuk mencucinya), juga tidak disebutkan mandi, tidak pula sebutan asbabun nuzul ayat ini. Hadis  ini dari Ya'la ibnu Umayyah, bukan Safwan ibnu Umayyah.
*****************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada tahun enam Hijriah, yakni pada tahun perjanjian Hudaibiyah, yaitu ketika kaum musyrik menghalang-halangi antara Rasulullah Saw. dan Baitullah, hingga beliau tidak dapat sampai kepadanya, dan Allah menurunkan sehubungan dengan peristiwa ini di dalam surat Al-Fath secara lengkap. Allah menurunkan bagi mereka keringanan, yaitu mereka diperbolehkan menyembelih hewan hadyu yang mereka bawa. Jumlah hewan hadyu yang mereka bawa saat itu kurang lebih tujuh puluh ekor unta, lalu mereka mencukur rambut mereka masing-masing dan diperintahkan untuk ber-tahallul dari ihram mereka.
Maka pada saat itu juga Nabi Saw. memerintahkan kepada mereka untuk mencukur rambut dan ber-tahallul dari ihramnya. Akan tetapi, pada mulanya mereka tidak mau melakukannya karena menunggu adanya perintah nasakh. Maka terpaksa Rasulullah Saw. keluar dan mencukur rambutnya, lalu orang-orang mengikuti jejaknya; dan di antara mereka ada orang-orang yang hanya memotong rambutnya saja, tidak mencukurnya. Karena itulah Nabi Saw. bersabda:
"رَحِم اللَّهُ المُحَلِّقين". قَالُوا: وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ فِي الثَّالِثَةِ: "وَالْمُقَصِّرِينَ"
"Semoga Allah merahmati orang-orang yang bercukur." Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, doakanlah pula buat orang-orang yang memotong rambutnya." Pada yang ketiga kalinya baru Rasulullah Saw. berdoa, "Dan juga orang-orang yang mencukur rambutnya."
Mereka bersekutu dalam penyembelihan hadyu mereka, setiap tujuh orang satu ekor unta, sedangkan jumlah mereka seluruhnya ada seribu empat ratus orang. Tempat mereka di Hudaibiyyah berada di luar Tanah Suci. Menurut pendapat yang lain, bahkan mereka berada di pinggir kawasan Kota Suci.
Para ulama berselisih pendapat, apakah masalah boleh ber-tahallul di luar Kota Suci ini khusus hanya menyangkut keadaan bila dikepung oleh musuh, karenanya tidak boleh ber-tahallul kecuali hanya orang yang dikepung oleh musuh, bukan karena faktor sakit atau faktor lainnya? Ada dua pendapat mengenai masalah ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, juga dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tiada kepungan kecuali karena kepungan musuh. Orang yang terkena sakit atau penyakitnya kambuh atau tersesat, maka tiada dispensasi apa pun atas dirinya, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Apabila   kalian telah (merasa) aman. (Al-Baqarah: 196) Maksud keadaan aman itu ialah bila tidak dikepung.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Tawus, Az-Zuhri, dan Zaid ibnu Aslam.
Pendapat yang kedua mengatakan, pengertian hasr (terkepung) lebih umum daripada hanya sekadar dikepung musuh atau karena sakit atau karena tersesat jalannya atau faktor lainnya yang sejenis.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا حَجَّاج بْنُ الصوّافُ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "من كُسِر أَوْ عَرِج فَقَدْ حَلَّ، وَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnus Sawwaf, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Ikrimah, dari Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang patah tulang atau sakit atau pincang, maka sesungguhnya dia telah ber-tahallul, dan wajib atas dirinya melakukan haji lagi.
Selanjutnya Ikrimah (tabi'in) mengatakan, lalu ia menceritakan hal ini kepada Ibnu Abbas dan Abu Hurairah r.a. Keduanya mengatakan bahwa dia (yakni Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari) memang benar.
Penulis kitab-kitab pokok hadis yang empat menceritakan hadis ini melalui Yahya ibnu Abu Kasir dengan lafaz yang sama.
Menurut riwayat Abu Daud dan ibnu Majah disebutkan:
مَنْ عَرَجَ أَوْ كُسر أَوْ مَرض
Barang siapa yang pincang (terkilir) atau patah tulang atau sakit.
Kemudian kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas, yakni semakna dengannya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Ismail ibnu Ulayyah, dari Al-Hajjaj ibnu Abu Us'man As-Sawwaf dengan lafaz yang sama.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnuz Zubair, Alqamah, Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, Mujahid, An-Nakha'i, Ata, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan, "Yang dimaksud dengan istilah ihsar ialah terhalang oleh musuh atau sakit atau patah tulang."
As-Sauri mengatakan bahwa ihsar artinya segala sesuatu yang mengganggu.
Di dalam hadis Sahihain disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَل عَلَى ضُبَاعة بِنْتِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُرِيدُ الْحَجَّ وَأَنَا شَاكِيَةٌ. فَقَالَ: "حُجِّي وَاشْتَرِطِي: أنَّ مَحِلِّي حيثُ حبَسْتَني"
dari hadis Aisyah bahwa Rasulullah Saw. memasuki rumah Duba'ah binti Zubair ibnu Abdul Muttalib, lalu Duba'ah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bermaksud menunaikan haji, sedangkan aku dalam keadaan sakit (sedang haid)." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Berhajilah kamu dan syaratkanlah dalam niatmu bahwa tempat tahallul-ku sekiranya penyakit (haid) menahanku.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal. Maka berpendapatlah sebagian ulama bahwa sah mengadakan persyaratan dalam niat haji karena berdasarkan hadis ini.
Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii memberikan komentarnya, bahwa kebenaran pendapat ini bergantung kepada kesahihan hadis yang dijadikan landasannya. Imam Baihaqi dan lain-lainnya dari kalangan huffaz (orang-orang yang hafal hadis) mengatakan bahwa hadis ini sahih.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Imam Malik meriwayatkan dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud dengan hewan kurban ialah seekor kambing.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan hadyu ialah hewan jantan dan hewan betina dari keempat jenis ternak, yaitu unta, sapi, kambing, dan domba.
As-Sauri meriwayatkan dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud ialah ternak kambing.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, Abul Aliyah, Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, Abdur Rahman ibnul Qasim, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab empat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah dan Ibnu Umar; keduanya berpendapat sehubungan dengan hewan kurban yang mudah didapat, bahwa yang dimaksud tiada lain adalah dua jenis ternak, yaitu berupa unta dan sapi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Salim, Al-Qasim, Urwah ibnuz Zubair, dan Sa'id ibnu Jubair.
Menurut kami, sandaran yang dijadikan pegangan mereka untuk memperkuat pendapatnya ialah hadis yang mengisahkan peristiwa di Hudaibiyyah. Karena sesungguhnya belum pernah dinukil oleh seorang pun di antara mereka bahwa Nabi Saw. dalam tahallul-nya itu menyembelih kambing, melainkan yang disembelih oleh mereka sebagai kurban ialah ternak unta dan sapi.
Di dalam kitab Sahihain, dari Jabir, disebutkan:
أَمَرَنَا رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَقَرَةٍ
Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk bersekutu dalam kurban unta dan sapi, tiap-tiap tujuh orang di antara kami satu ekor sapi.
Abdur Razzaq mengatakan bahwa Ma'mar menceritakan kepada kami, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud ialah disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, "Jika orang yang bersangkutan adalah orang kaya, maka ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak unta. Dan jika dia bukan orang kaya, ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak sapi. Jika dia termasuk golongan yang lebih rendah tingkatan ekonominya, hendaklah ia berkurban dengan menyembelih seekor kambing."
Hisyam ibnu Urwah meriwayatkan dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Sesungguhnya hal tersebut yang dijadikan standar ialah menurut pasang surutnya harga antara murah dan mahalnya. Sebagai dalil yang membenarkan pendapat jumhur ulama yang mengatakan cukup menyembelih kambing bila dalam keadaan terkepung, bahwa Allah Swt. hanya memerintahkan menyembelih hewan kurban yang mudah didapat, yakni berupa ternak apa pun selagi masih ada kategori hewan hadyu, baik berupa unta, sapi, ataupun kambing.
Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. Hal ini terbukti di dalam kitab Sahihain melalui Siti Aisyah Ummul Muminin r.a. yang menceritakan:
أهْدَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرة غَنَمًا
Nabi Saw. pernah sekali berkurban dengan menyembelih seekor domba.
************
{وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ}
Dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. (Al-Baqarah: 196)
Jumlah ini di-'ataf-kan kepada firman-Nya:
{وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ}
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196)
Bukan di-'ataf-kan (dikaitkan) dengan firman-Nya:
{فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Seperti apa yang diduga oleh Ibnu Jarir rahimahullah. Karena Nabi Saw. bersama para sahabatnya pada tahun Hudaibiyah —yaitu ketika orang-orang kafir Quraisy melarang mereka memasuki Tanah Suci— beliau Saw. bersama para sahabatnya bercukur dan menyembelih hewan kurban mereka di luar Tanah Suci. Adapun dalam keadaan aman dan telah sampai di Tanah Suci, tidak boleh baginya mencukur rambutnya (yakni tidak boleh ber-tahallul) sebelum hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya. Orang yang berhaji telah selesai dari semua pekerjaan haji dan umrahnya jika ia sebagai orang yang ber-qiran, atau setelah ia mengerjakan salah satunya jika dia melakukan haji ifrad atau tamattu. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Siti Hafsah r.a. yang menceritakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا شَأْنُ النَّاسِ حَلّوا مِنَ الْعُمْرَةِ، وَلَمْ تَحِلّ أَنْتَ مِنْ عُمْرَتِكَ؟ فَقَالَ: "إِنِّي لَبَّدْتُ رَأْسِي وقلَّدت هَدْيي، فَلَا أَحِلُّ حَتَّى أَنْحَرَ"
"Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang ber-tahallul dari umrahnya, sedangkan engkau sendiri tidak ber-tahallul dari umrah-mu?" Maka Nabi Saw. menjawab, "Sesungguhnya aku telah meminyaki rambut kepalaku dan telah kukalungi hewan kurbanku, maka aku tidak akan ber-tahallul sebelum menyembelih hewan kurbanku."
***************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ}
Jika di antara kalian ada yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَصْبَهَانِيِّ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَعْقل، قَالَ: فَعُدْتُ إِلَى كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ -يَعْنِي مَسْجِدَ الْكُوفَةِ -فَسَأَلْتُهُ عَنْ {فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ} فَقَالَ: حُملْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ والقملُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي. فَقَالَ: "مَا كنتُ أرَى أَنَّ الجَهد بَلَغَ بِكَ هَذَا! أَمَا تَجِدُ شَاةً؟ " قُلْتُ: لَا. قَالَ: "صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفُ صَاعٍ مِنْ طَعَامٍ، وَاحْلِقْ رَأْسَكَ". فَنَزَلَتْ فِيَّ خَاصَّةً، وَهِيَ لَكُمْ عَامَّةً
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdur Rahman ibnul Asbahani, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ma'qal bercerita, "Aku pernah duduk di dekat Ka'b ibnu Ujrah di dalam masjid ini (yakni Masjid Kufah). Lalu aku bertanya kepadanya tentang fidyah yang berupa melakukan puasa. Maka Ka'b ibnu Ujrah menjawab bahwa ia berangkat untuk bergabung dengan Nabi Saw., sedangkan ketombe bertebaran di wajahnya. Maka Nabi Saw. bersabda, 'Sebelumnya aku tidak menduga bahwa kepayahan yang menimpamu sampai separah ini. Tidakkah kamu mempunyai kambing?' Ia menjawab, 'Tidak.' Nabi Saw. bersabda, 'Puasalah tiga hari atau berilah makan enam orang miskin, masing-masing orang sebanyak setengah sa’ makanan, dan cukurlah rambutmu itu.' (Selanjutnya ia berkata), Maka turunlah ayat ini, berkenaan denganku secara khusus, tetapi maknanya umum mencakup kalian semua'."
وَقَالَ الْإِمَامُ أحمدُ: حَدَّثَنَا إسماعيلُ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَة قَالَ: أَتَى عَلَيّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أُوقِدُ تَحْتَ قِدْرٍ، والقَمْلُ يتناثَرُ عَلَى وَجْهِي -أَوْ قَالَ: حَاجِبِي -فَقَالَ: "يُؤْذيك هَوَامُّ رَأْسِكَ؟ ". قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: "فَاحْلِقْهُ، وَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوِ انْسَكْ نَسِيكَةً". قَالَ أَيُّوبُ: لَا أَدْرِي بِأَيَّتِهِنَّ بَدَأَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b Ujrah yang menceritakan: Nabi Saw. datang kepadaku ketika aku sedang menyalakan api untuk panci, dan ketombe bertebaran di wajahku, atau dia mengatakan, "Di alisku." Maka Nabi Saw. bersabda, "Apakah penyakit yang ada di kepalamu itu mengganggumu?" Aku menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda, "Maka cukurlah rambutmu itu dan puasalah tiga hari (sebagai fidyahnya), atau berilah makan enam orang miskin, atau sembelihlah seekor hewan kurban." Ayyub (salah seorang perawi hadis ini) mengatakan bahwa ia tidak mengetahui manakah di antara semua fidyah itu yang disebutkan paling dahulu.
Imam Ahmad meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang menceritakan, "Ketika kami berada di Hudaibiyah bersama Rasulullah Saw., sedangkan kami semuanya dalam keadaan berihram, dan orang-orang musyrik telah mengepungnya. Tersebutlah bahwa rambutku sangat lebat, maka ketombe bertebaran di wajahku (karena banyaknya). Lalu Nabi Saw. lewat di dekatku. Beliau bersabda, 'Apakah penyakit di kepalamu itu menganggumu?' Maka Nabi Saw. memerintahkan Ka'b ibnu Ujrah untuk bercukur." Selanjutnya Ka'b ibnu Ujrah mengatakan bahwa lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Usman, dari Syu'bah, dari Abu Bisyr (yaitu Ja'far ibnu Iyas) dengan lafaz yang sama.
Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Daud, dari Asy-Sya'bi, dari Ka'b ibnu Ujrah hal yang semisal. Imam Malik meriwayatkannya dari Humaid ibnu Qais, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah, lalu Imam Malik menyebutkan hadis yang semisal.
Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah meriwayatkan dari Aban ibnu Saleh, dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah mendengar Ka'b ibnu Ujrah mengatakan, "Maka aku menyembelih seekor kambing."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih, telah diriwayatkan pula melalui hadis Umar ibnu Qais —dia orangnya daif— dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
النُّسُكُ شَاةٌ، وَالصِّيَامُ ثَلَاثَةُ أَيَّامِ، وَالطَّعَامُ فَرَق، بَيْنَ سِتَّةٍ"
Nusuk artinya menyembelih kambing, dan puasa adalah selama tiga hari, sedangkan memberi makan ialah dibagikan di antara enam orang (miskin).
Hal yang sama diriwayatkan dari Ali, Muhammad ibnu Ka'b, Alqamah, Ibrahim, Mujahid, Ata, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ: أَنَّ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ مَالِكٍ الجَزَري، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ كعب ابن عُجْرة: أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَآذَاهُ القَمْل فِي رَأْسِهِ، فَأَمَرَهُ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ، وَقَالَ: "صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، مُدّين مُدَّيْنِ لِكُلِّ إِنْسَانٍ، أَوِ انسُك شَاةً، أيَّ ذَلِكَ فعلتَ أَجْزَأَ عَنْكَ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, bahwa Malik ibnu Anas pernah menceritakan hadis kepa-danya, dari Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang menceritakan bahwa ia pernah bersama Rasulullah Saw., lalu terganggu oleh banyaknya ketombe di kepalanya. Maka Nabi Saw. memerintahkan agar ia mencukur rambutnya dan bersabda: Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin dua mud-dua mud perorangnya, atau sembelihlah seekor kambing. Mana saja di antaranya yang kamu kerjakan, maka hal itu sudah cukup sebagai fidyahmu.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Ibnu Abbas mengatakan, apabila huruf 'ataf yang dipakai adalah au, maka mana saja yang kamu ambil, hal itu sudah mencukupi fidyah-mu.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Ata, Tawus, Al-Hasan, Humaid Al-A'raj, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ad-Dahhak, lalu disebutkan hal yang semisal.
Menurut kami, pendapat mazhab Imam yang empat serta mayoritas ulama merupakan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Mereka mengatakan bahwa dalam hal ini orang yang bersangkutan diperbolehkan memilih salah satu di antara puasa, atau menyedekahkan satu farq makanan, yaitu tiga sa' untuk setiap orang miskin —setengah sa' yakni dua mud— atau menyembelih seekor kurban, lalu menyedekahkan dagingnya kepada fakir miskin. Mana saja yang ia pilih sudah cukup baginya, mengingat ungkapan Al-Qur'an dalam menjelaskan suatu keringanan, yang didahulukannya adalah yang paling mudah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Akan tetapi, ketika Nabi Saw. memerintahkan hal tersebut kepada Ka'b ibnu Ujrah, beliau memberinya petunjuk kepada yang paling utama lebih dahulu, kemudian baru yang utama. Untuk itu beliau Saw. bersabda: Sembelihlah seekor kambing, atau berilah makan enam orang miskin, atau berpuasalah tiga hari.
Maka masing-masing dinilai baik bila disesuaikan dengan kondisi orang yang bersangkutan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, bahwa Al-A'masy pernah menceritakan bahwa Ibrahim pernah bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair tentang ayat berikut, yaitu firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Maka Sa'id ibnu Jubair menjawab dengan suatu jawaban yang menjadikan makanan sebagai tolok ukurnya. Jika dia mempunyai kemampuan untuk membeli seekor kambing, hendaklah ia membeli seekor kambing. Jika kambing tidak ada, maka harga kambing ditaksir, lalu jumlahnya diberikan berupa makanan untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Jika ia tidak mempunyai uang, hendaklah ia berpuasa, untuk setengah sa’ ganti dengan puasa satu hari (hingga jumlah hari-hari yang dipuasainya berjumlah enam hari).
Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa hal yang sama telah kudengar pula dari Alqamah. Alqamah menceritakan, "Ketika Sa'id Ibnu Jubair berkata kepadaku, 'Siapakah orang ini? Alangkah gantengnya!' Maka kujawab, 'Dia adalah Ibrahim.' Sa'id ibnu Jubair mengatakan, 'Alangkah gantengnya dia duduk bersama kita.' Lalu aku ceritakan kepada Ibrahim hal itu. Ketika kuceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, maka Ibrahim pergi dari majelis itu."
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Imran, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Mu'az, dari ayahnya, dari Asy'as, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaiiu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Ia mengatakan, "Apabila orang yang sedang ihram mengalami gangguan di kepalanya, ia boleh bercukur dan membayar fidyah dengan salah satu di antara ketiga perkara ini menurut apa yang disukainya. Kalau puasa sebanyak sepuluh hari, kalau sedekah memberi makan sepuluh orang miskin dengan ketentuan tiap orang miskin sebanyak dua Makkuk' (1 Makkuk l.k 3,264 kg. –pen)  yaitu satu Makkuk berupa kurma, sedangkan satu Makkuk lainnya berupa jewawut. Sedangkan yang dimaksud dengan nusuk ialah menyembelih kurban, berupa seekor kambing.
Qatadah meriwayatkan dari Al-Hasan dan Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud dengan sedekah ialah memberi makan sepuluh orang miskin.
Kedua pendapat ini —yaitu yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair dan Alqamah serta Al-Hasan dan Ikrimah— merupakan dua pendapat yang aneh, keduanya masih perlu dipertimbangkan. Karena telah disebutkan oleh sunnah melalui hadis Ka'b ibnu Ujrah bahwa puasa itu adalah tiga hari, bukan enam hari; dan memberi makan adalah kepada enam orang miskin, nusuk artinya menyembelih seekor kambing. Hal tersebut atas dasar takhyir (boleh memilih salah satu di antaranya), seperti yang ditunjukkan oleh konteks ayat Al-Qur'an. Adapun mengenai tartib (urutan), hal ini hanyalah dikenal dalam masalah membunuh binatang buruan, seperti yang disebutkan di dalam nas Al-Qur'an dan telah disepakati oleh semua ahli fiqih, lain halnya dengan masalah ini.
Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Tawus, bahwa ia selalu mengatakan sehubungan dengan masalah dam atau memberi makan; hal itu dilaksanakan di Mekah. Sedangkan yang menyangkut puasa boleh dilakukan di mana saja menurut apa yang disukai oleh orang yang bersangkutan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ata, dan Al-Hasan.
Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj dan Abdul Malik serta selain keduanya, dari Ata. Ia acapkali mengatakan bahwa masalah apa saja yang menyangkut dam dilaksanakan di Mekah, sedangkan apa saja yang menyangkut memberi makan atau puasa dilaksanakan menurut kehendak orang yang bersangkutan.
Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ya'qub ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abu Asma maula Ibnu Ja'far yang menceritakan bahwa Usman ibnu Affan pernah berhaji ditemani oleh Ali dan Al-Husain ibnu Ali. Usman berangkat lebih dulu. Abu Asma' melanjutkan kisahnya, bahwa ia bersama Ibnu Ja'far, "Tiba-tiba kami bersua dengan seorang lelaki yang sedang tidur, sedangkan unta kendaraannya berada di dekat kepalanya, lalu aku (Abu Asma) berkata, 'Hai orang yang sedang tidur.' Lelaki itu bangun, dan ternyata dia adalah Al-Husain ibnu Ali. Lalu Ibnu Ja'far membawanya sampai datang ke tempat air. Kemudian dikirimkan seorang utusan untuk menemui Ali yang saat itu sedang bersama Asma binti Umais. Maka kami merawat Al-Husain ibnu Ali selama kurang lebih dua puluh malam. Lalu Ali bertanya kepada Al-Husain, 'Apakah sakit yang kamu rasakan?' Al-Husain mengisyaratkan dengan tangannya ke kepalanya. Maka Ali memerintahkan agar rambut Al-Husain dicukur, kemudian Ali meminta didatangkan seekor unta, lalu ia menyembelihnya."
Jika unta kurban ini sebagai fidyah dari bercukur, berarti Ali menyembelihnya di luar kota Mekah. Tetapi jika sebagai fidyah dari tahallul, maka masalahnya sudah jelas.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Dengan kata lain, apabila kalian mampu untuk menunaikan manasik, tanpa hambatan apa pun, sedangkan di antara kalian ada yang ingin melakukan tamattu' dengan mengerjakan umrah dahulu sebelum ibadah haji tiba waktunya.
Pengertian tamattu' di sini mencakup orang yang berihram untuk keduanya atau berihram untuk umrah lebih dahulu, setelah selesai dari umrah baru berihram lagi untuk haji. Demikianlah pengertian tamattu' secara khusus yang telah terkenal di kalangan para ahli fiqih. Sedangkan pengertian tamattu secara umum mencakup keduanya, seperti yang ditunjukkan oleh hadis-hadis sahih. Karena sesungguhnya di antara perawi ada yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. ber-tamattu', sedangkan yang lainnya mengatakan ber-qiran, tetapi di antara keduanya tidak ada perbedaan dalam masalah bahwa Nabi Saw. membawa hewan hadyunya.
**************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Dengan kata lain, hendaklah ia menyembelih kurban yang mudah didapat baginya, minimal seekor kambing. Tetapi diperbolehkan baginya menyembelih seekor sapi, karena Rasulullah Saw. sendiri menyembelih sapi untuk dam istri-istrinya.
Al-Auza'i meriwayatkan dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah, dari sahabat Abu Hurairah r.a.:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَبَحَ بَقَرَةً عَنْ نِسَائِهِ، وَكُنْ مُتَمَتِّعَاتٍ.
Bahwa Rasulullah Saw. menyembelih seekor sapi untuk (dam) istri-istrinya, karena mereka semuanya melakukan tamattu'.
Hadis riwayat Abu Bakar ibnu Murdawaih.
Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa tamattu' itu disyariatkan, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Imran ibnu Husain yang mengatakan, "Ayat tamattu' telah diturunkan di dalam Kitabullah dan kami mengerjakannya bersama-sama Rasulullah Saw. Kemudian tidak ada wahyu lagi yang turun mengharamkannya serta Nabi Saw. tidak melarangnya pula hingga beliau wafat."
Akan tetapi, ada seorang lelaki yang berpendapat menurut kehendaknya sendiri. Imam Bukhari mengatakan bahwa lelaki itu adalah sahabat Umar. Apa yang dikatakan oleh Imam Bukhari ini telah disebutkan dengan jelas, bahwa Umar pernah melarang orang-orang melakukan tamattu'. Ia mengatakan bahwa kita harus memegang Kitabullah, karena sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk melakukannya dengan sempurna. Yang dimaksud adalah firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Tetapi pada kenyataannya Umar r.a. tidak melarang orang yang berihram dengan tamattu'. Sesungguhnya dia melarangnya hanya untuk tujuan agar orang-orang yang ziarah ke Baitullah bertambah banyak, ada yang melakukan haji dan ada yang berumrah, seperti yang telah dijelaskannya sendiri.
************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ}
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (Al-Baqarah: 196)
Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang tidak dapat menemukan binatang kurban, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji, yakni di hari-hari manasik."
Menurut ulama, hal yang paling utama hendaknya puasa dilakukan sebelum hari Arafah, yaitu pada tanggal sepuluh. Demikianlah menurut Ata. Atau sejak dia melakukan ihram (untuk hajinya), menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, karena berdasarkan sabda Nabi Saw. dalam ibadah hajinya. Di antara mereka ada yang memperbolehkan melakukan puasa sejak dari permulaan bulan Syawwal. Demikianlah menurut Tawus, Mujahid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Asy-Sya'bi memperbolehkan berpuasa pada hari Arafah dan dua hari sebelumnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, As-Saddi, Ata, Tawus, Al-Hakam, Al-Hasan, Hammad, Ibrahim, Abu Ja'far Al-Baqir, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan.
Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas, "Apabila seseorang tidak dapat menemukan hadyu, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji sebelum hari Arafah. Untuk itu apabila jatuh hari yang ketiga dari Arafah, maka puasanya harus sudah selesai. Ia juga harus puasa tujuh hari setelah pulang ke tanah airnya."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Ishaq, dari Wabrah, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa orang yang bersangkutan hendaknya memulai puasanya sehari sebelum hari Tarwih, kemudian hari Tarwih, dan yang terakhir pada hari Arafahnya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali.
Sekiranya orang yang bersangkutan tidak melakukan puasanya pada hari-hari haji atau tidak melakukan sebagiannya sebelum hari Raya Adha, bolehkah ia melakukan puasanya itu pada hari-hari Tasyriq?
Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama, kedua-duanya diketengahkan pula oleh Imam Syafii. Menurut qaul qadim-nya, orang yang bersangkutan boleh melakukan puasanya pada hari-hari Tasyriq. Karena berdasarkan kepada ucapan Siti Aisyah dan Ibnu Umar yang terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari, yaitu bahwa Nabi Saw. tidak memperbolehkan melakukan puasa di hari-hari Tasyriq kecuali bagi orang yang tidak menemukan hadyu (hewan kurban).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Malik, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, juga dari Salim, dari Ibnu Umar. Memang telah diriwayatkan dari keduanya (Siti Aisyah dan Ibnu Umar) melalui banyak jalur.
Sufyan meriwayatkannya dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Barang siapa yang kelewat waktunya hingga tidak melakukan puasa tiga hari pada hari-hari haji, maka ia harus melakukannya pada hari-hari Tasyriq."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ubaid ibnu Umair Al-Laisi, dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri serta Urwah ibnuz Zubair.
Sesungguhnya mereka mengatakan demikian karena keumuman makna yang terkandung di dalam firman-Nya: maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji. (Al-Baqarah: 196)
Sedangkan menurut qaul jadid, ia tidak boleh melakukan puasa pada hari-hari Tasyriq, karena berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Qutaibah Al-Huzali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ"
Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah Swt.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ}
dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. (Al-Baqarah: 196)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Salah satunya mengatakan, yang dimaksud dengan iza raja'tum ialah apabila kalian kembali ke perjalanan pulang kalian. Karena itulah Mujahid mengatakan bahwa puasa tujuh hari ini merupakan rukhsah. Untuk itu apabila orang yang bersangkutan ingin melakukannya dalam perjalanan pulangnya, ia boleh melakukannya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata ibnu Abu Rabah.
Pendapat kedua mengatakan, yang dimaksud dengan iza raja'tum ialah apabila kalian kembali ke tanah air kalian, yakni kalian telah berada di negeri tempat tinggal kalian sendiri.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Salim, bahwa ia pernah mendengar ibnu Umar berkata sehubungan dengan makna firman-Nya: Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. (Al-Baqarah: 196) Makna yang dimaksud ialah bila orang yang bersangkutan telah kembali ke tempat keluarganya (tanah airnya).
Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang telah disepakati.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَير، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيل، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ قَالَ: تَمَتَّعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّة الْوَدَاعِ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ وَأَهْدَى فَسَاقَ مَعَهُ الهَدْي مِنْ ذِي الحُلَيفة، وَبَدَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فأهلَّ بِالْعُمْرَةِ، ثُمَّ أهلَّ بِالْحَجِّ، فَتَمَتَّعَ النَّاسُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ. فَكَانَ مِنَ النَّاسِ مَنْ أَهْدَى فَسَاقَ الهَدْي، وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُهْد. فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ قَالَ لِلنَّاسِ: "مَنْ كَانَ مِنْكُمْ أَهْدَى فَإِنَّهُ لَا يَحل لِشَيْءٍ حَرُم مِنْهُ حتَى يَقْضِيَ حَجّه، ومَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَهْدَى فَلْيَطُفْ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَلْيُقَصِّر وليَحللْ ثُمَّ ليُهِلّ بِالْحَجِّ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ هَدْيًا فليصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةً إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ". وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Ibnu Umar pernah menceritakan: Rasulullah Saw. melakukan tamattu' dalam haji wada'-nya dengan melakukan umrah sebelum ibadah haji, lalu beliau menyembelih hewan kurbannya. Untuk itu beliau membawa hewan hadyu (kurban) dari Zul Hulaifah, kemudian beliau berihram untuk ibadah umrahnya. Sesudah ilu baru beliau berihram untuk ibadah hajinya. Maka orang-orang pun ikut ber-tamattu' bersama-sama Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. memulai pekerjaannya dengan ibadah umrah sebelum haji. Sedangkan di kalangan orang-orang ada yang berkurban, ia membawa hewan kurbannya; dan di antara mereka ada yang tidak berkurban. Ketika Nabi Saw. tiba di Mekah, maka beliau bersabda kepada orang-orang, "Barang siapa di antara kalian mempunyai hewan kurban, maka tidak halal baginya melakukan sesuatu pun yang diharamkan atas dirinya sebelum menyelesaikan hajinya. Barang siapa di antara kalian tidak membawa hadyunya (hewan kurban-nya), hendaklah ia melakukan tawaf di Baitullah, dan sa'i di antara Safa dan Marwah serta memotong rambut dan ber-tahallul. Setelah itu hendaklah ia berihram lagi untuk ibadah hajinya. Barang siapa yang tidak menemukan hewan kurban, hendaklah ia berpuasa selama tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila ia telah kembali kepada keluarganya. Hingga akhir hadis.
Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah, dari Siti Aisyah r.a. hal yang semisal dengan apa yang telah diceritakan kepadaku oleh Salim, dari ayahnya. Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang sama.
************
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ}
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (Al-Baqarah: 196)
Menurut suatu pendapat, kalimat ayat ini merupakan taukid (yang menguatkan makna kalimat sebelumnya). Perihalnya sama dengan kata-kata orang Arab, "Aku melihat dengan kedua mataku sendiri, dan aku mendengar dengan kedua telingaku sendiri, aku tulis dengan tanganku ini." Dan sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَلا طائِرٍ يَطِيرُ بِجَناحَيْهِ
dan tiada burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya. (Al-An'am: 38)
وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ
dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. (Al-'Ankabut: 48)
Adapun firman Allah Swt.:
وَواعَدْنا مُوسى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْناها بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnakanlah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh (malam lagi). (Al-A'raf: 142)
Menurut pendapat yang lain, makna 'Kamilah' yang terkandung di dalam ayat ini ialah perintah untuk menyelesaikannya dengan sempurna. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah cukup sebagai ganti menyembelih hewan kurban. Hisyam meriwayatkan dari Abbad ibnu Rasyid, dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: Itulah sepuluh hari yang sempurna. (Al-Baqarah: 196) Yakni sudah cukup sebagai ganti menyembelih hewan kurban.
***************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ}
Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk Mekah). (Al-Baqarah: 196)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ahli takwil berbeda pendapat sehubungan dengan orang yang dimaksud di dalam firman-Nya: bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk Mekah). (Al-Baqarah: 196) Padahal mereka telah sepakat bahwa yang dimaksud ialah penduduk kota Mekah. Tidak ada tamattu'' bagi mereka. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah hanya khusus bagi penduduk kota Mekah, bukan selainnya.
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan (yakni As-Sauri) yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Yang dimaksud dengan mereka (dalam ayat ini) adalah penduduk kota Mekah." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnul Mubarak, dari As-Sauri.
Jama'ah menambahkan dalam riwayatnya, dan Qatadah mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Hai penduduk Mekah, tiada tamattu' bagi kalian. Tamattu' hanya dihalalkan bagi penduduk negeri-negeri lain dan diharamkan atas kalian. Sesungguhnya seseorang dari kalian hanya tinggal menempuh sebuah lembah, atau dia menjadikan antara dirinya dan Tanah Suci sebuah lembah, kemudian ia berihram untuk umrahnya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya yang mengatakan bahwa tamattu' hanya diperbolehkan bagi orang-orang lain, bukan untuk penduduk Mekah, yaitu bagi orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Tanah Suci. Demikianlah menurut apa yang disebutkan di dalam firman-Nya: Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196)
Abdur Razzaq mengatakan, telah sampai kepadanya dari Ibnu Abbas pendapat yang semisal dengan apa yang dikatakan oleh Tawus.
Ulama lainnya mengatakan bahwa mereka adalah penduduk Tanah Suci dan daerah sekitarnya yang masih berada di antara Mekah dan miqat. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ata yang mengatakan, "Barang siapa yang keluarganya berada sebelum miqat (dari Mekah), maka kedudukannya sama dengan penduduk Mekah, yakni tidak boleh melakukan tamattu"
Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Yazid, dari Jabir, dari Makhul sehubungan dengan makna firman-Nya: Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196) Makna yang dimaksud ialah orang yang tempat tinggalnya masih berada di dalam lingkungan miqat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata sehubungan dengan makna firman-Nya: Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud ialah Arafah, Muzdalifah, Urnah, dan Ar-Raji'.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, bahwa ia pernah mendengar Az-Zuhri mengatakan, "Barang siapa yang keluarganya berada dalam jarak perjalanan kurang lebih satu hari dari Mekah, maka ia boleh ber-tamattu'." Menurut riwayat yang lain darinya mengatakan perjalanan dua hari dari Mekah.
Ibnu Jarir sehubungan dengan masalah ini memilih mazhab Imam Syafii yang mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Mekah dan orang-orang yang tinggal dalam jarak tidak diperbolehkan melakukan qasar dari Kota Suci, karena sesungguhnya orang yang tempat tinggalnya sejauh itu masih termasuk ke dalam pengertian hadir, bukan musafir.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ}
Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah: 196)
Yaitu dalam mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan apa yang dilarang-Nya terhadap kalian.
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.  (Al-Baqarah: 196)
Yakni terhadap orang yang menentang perintah-Nya dan mengerjakan hal-hal yang dilarang ia melakukannya.

Al-Baqarah, ayat 197

{الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ (197) }
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.
Ulama bahasa berbeda pendapat mengenai makna firman-Nya: Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Sebagian di antara mereka mengatakan, bentuk lengkapnya ialah bahwa ibadah haji yang sesungguhnya yaitu haji yang dilakukan dalam bulan-bulan yang dimaklumi untuk itu.
Berdasarkan pengertian ini, berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa melakukan ihram ibadah haji dalam bulan-bulan haji lebih sempurna daripada melakukan ihram haji di luar bulan haji, sekalipun melakukan ihram haji di luar bulan-bulan haji hukumnya sah.
Pendapat yang mengatakan sah melakukan ihram ibadah haji di sepanjang tahun merupakan. mazhab Imam Maliki, Abu Hanifah, Ahmad ibnu Hambal, dan Ishaq ibnu Rahawaih. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim An-Nakha'i, As-Sauri, dan Al-Lais ibnu Sa'd. Hal yang dijadikan hujah untuk memperkuat pendapat mereka adalah firman-Nya:
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ}
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji." (Al-Baqarah: 189)
Ibadah haji merupakan salah satu di antara sepasang manasik, maka hukumnya sah melakukan ihram untuk haji di waktu kapan pun sepanjang tahun. Perihalnya sama dengan ibadah umrah.
Imam Syafii berpendapat, tidak sah melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulannya. Untuk itu seandainya seseorang melakukan ihram haji sebelum bulan haji tiba, maka ihramnya tidak sah.
Akan tetapi, sehubungan dengan umrahnya, apakah sah atau tidak? Ada dua pendapat mengenainya. Pendapat yang mengatakan bahwa tidak sah melakukan ihram haji kecuali di dalam bulan-bulannya diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Tawus, dan Mujahid. Sebagai dalilnya ialah firman Allah Swt. yang mengatakan: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Menurut makna lahiriah, ayat ini mengandung makna lain yang diutarakan oleh ulama Nahwu. Pendapat ini mengartikan bahwa musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi; Allah mengkhususkan haji dalam bulan-bulan tersebut di antara bulan-bulan lainnya, maka hal ini menunjukkan bahwa tidak sah melakukan ihram sebelum tiba bulan-bulan haji. Perihalnya sama dengan waktu-waklu salat.
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ata, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak layak bagi seseorang melakukan ihram haji kecuali dalam musim haji, karena berdasarkan kepada firman-Nya: Musim haji adalah beberapa bulan  yang  dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu Yahya ibnu Malik As-Susi, dari Hajjaj ibnu Muhammad Al-A'war, dari Ibnu Juraij dengan lafaz yang sama.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui dua jalur, dari Hajjaj ibnu Artah, dari Al-Hakim ibnu Utaibah, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Termasuk tuntunan Nabi Saw. ialah tidak melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji (musim haji)."
Ibnu Khuzaimah di dalam kitab sahihnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak boleh ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji, karena sesungguhnya termasuk sunnah haji ialah melakukan ihram haji dalam bulan-bulan haji.
Sanad asar ini berpredikat sahih. Perkataan seorang sahabat yang menyatakan bahwa termasuk sunnah (tuntunan Nabi Saw.) dikategorikan sebagai hadis marfu' menurut kebanyakan ulama. Terlebih lagi jika yang mengatakannya adalah Ibnu Abbas yang dijuluki sebagai 'juru terjemah Al-Qur'an dan ahli menafsirkannya'. Memang ada sebuah hadis marfu' sehubungan dengan masalah ini.
قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي بْنُ قَانِعٍ (7) حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ المُثَنى، حَدَّثَنَا أَبُو حُذَيْفَةَ، حدثنا سفيان، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ إِلَّا فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah mencertakan kepada kami Nafi', telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zubair, dari Jabir, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:  Tidak layak bagi seseorang melakukan ihram haji kecuali di dalam bulan-bulan haji.
Sanad hadis ini tidak ada masalah. Tetapi Imam Syafii dan Imam Baihaqi meriwayatkannya melalui berbagai jalur, dari Ibnu Juraij, dari Abuz Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah bertanya:
أَيُهَلُّ بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ؟ فَقَالَ: لَا،
"Bolehkah melakukan ihram haji sebelum musim haji?" Beliau menjawab, "Tidak boleh."
Hadis mauquf ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya daripada hadis marfu' tadi. Dengan demikian, berarti mazhab sahabat menjadi kuat berkat adanya ucapan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa termasuk sunnah ialah tidak melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji.
*************
Firman Allah Swt.:
{أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ}
beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Imam Bukhari mengatakan bahwa menurut Ibnu Umar, yang dimaksud dengan bulan-bulan haji ialah Syawwal, Zul-Qa'dah, dan sepuluh hari bulan Zul-Hijjah.
Asar yang di-ta'liq (dikomentari) oleh Imam Bukhari dengan ungkapan yang pasti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir secara mausul.
Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim ibnu Abu Zagrah, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Warqa, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar sehubungan dengan makna firman-Nya: Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Bahwa yang dimaksud ialah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan sepuluh hari dari bulan Zul-Hijjah. Sanad asar ini berpredikat sahih.
Dan sesungguhnya Imam Hakim pun meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak, dari Al-Asam, dari Al-Hasan ibnu Ali ibnu Affan, dari Abdullah ibnu Numair, dari Ubaidillah ibnu Nafi', dari Ibnu Umar, lalu ia mengetengahkan asar ini dan mengatakan bahwa asar ini (dikatakan sahih) dengan syarat Syaikhain.
Menurut kami, asar ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abdullah ibnuz Zubair, Ibnu Abbas, Ata, Tawus, Mujahid, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Makhul, Qatadah, Ad-Dahhak ibnu Muzahim, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan. Hal ini merupakan pegangan bagi mazhab Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Yusuf, dan Abu Saur. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, dan Ibnu Jarir mengatakan bahwa dibenarkan menyebutkan jamak untuk pengertian dua bulan dan sepertiga dari satu bulan dengan pengertian taglib (prioritas). Perihalnya sama dengan perkataan orang-orang Arab, "Aku melihatnya tahun ini," dan "Aku melihatnya hari ini," sedangkan makna yang dimaksud ialah sebagian dari satu tahun dan sehari. Juga seperti pengertian dalam firman-Nya:
فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. (Al-Baqarah: 203)
Karena sesungguhnya pengertian cepat berangkat ini tertuju kepada satu setengah hari (bukan setelah dua hari).
Imam Malik ibnu Anas dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah secara lengkap. Pendapat ini berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Ibrahim ibnu Muhajir, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang pernah mengatakan bahwa ia bertanya kepada Nafi', "Apakah engkau pernah mendengar Ibnu Umar menyebutkan tentang bulan-bulan haji itu?" Nafi' menjawab, "Ya, Abdullah ibnu Umar menyebutnya bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah."
Ibnu Juraij mengatakan bahwa hal tersebut dikatakan pula oleh Ibnu Syihab, Ata, dan Jabir ibnu Abdullah r.a. Sanad asar ini berpredikat sahih sampai kepada Ibnu Juraij. Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Tawus, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah.
Sehubungan dengan masalah ini ada hadis marfu', hanya sayangnya berpredikat maudu', diriwayatkan oleh Al-Hafiz ibnu Murdawaih melalui jalur Husain ibnu Mukhariq —sedangkan dia orangnya dicurigai suka membuat hadis maudu'—, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"الْحَجُّ أَشْهَرٌ مَعْلُومَاتٌ: شَوَّالٌ وَذُو الْقِعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ"
Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan Syawwal, bulan Zul-Qa'dah, dan bulan Zul-Hijjah.
Akan tetapi, seperti yang disebutkan di atas, predikat marfu' hadis ini tidak sah.
Faedah dari mazhab Imam Malik yang mengatakan bahwa musim haji itu berlangsung sampai akhir bulan Zul-Hijjah mengandung pengertian bahwa bulan tersebut khusus buat ibadah haji, maka makruh melakukan ihram umrah pada sisa bulan Zul-Hijjah, tetapi bukan berarti bahwa sah melakukan ihram haji sesudah malam kurban.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Abdullah pernah mengatakan, "Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, tanpa ada umrah padanya." Sanad asar ini sahih.
Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya orang yang berpendapat bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah hanyalah bermaksud bahwa bulan-bulan tersebut bukanlah bulan-bulan untuk melakukan umrah. Sesungguhnya bulan-bulan tersebut hanyalah untuk ibadah haji, sekalipun pada kenyataannya semua pekerjaan ibadah haji telah rampung dengan selesainya hari-hari Mina. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Sirin, "Tiada seorang pun dari kalangan ahlul ilmi merasa ragu bahwa ibadah umrah di luar bulan-bulan haji lebih utama daripada melakukan ibadah umrah dalam bulan-bulan haji."
Ibnu Aun mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Qasim ibnu Muhammad tentang. ibadah umrah dalam bulan-bulan haji. Lalu Al-Qasim menjawab, "Mereka menganggapnya kurang sempurna."
Menurut kami, ada sebuah asar dari Umar dan Usman yang mengatakan bahwa keduanya menyukai ibadah umrah dalam selain bulan-bulan haji, dan keduanya melarang hal tersebut dalam bulan-bulan haji.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ}
Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)
Maksudnya, telah mewajibkan haji dengan memasuki ihramnya. Di dalam ayat ini terkandung makna yang menunjukkan keharusan ihram haji dan melangsungkannya.
Ibnu Jarir mengatakan, mereka sepakat bahwa makna yang dimaksud dengan al-fard dalam ayat ini ialah wajib dan harus.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yakni orang yang telah berihram untuk haji atau umrah.
Menurut Ata, yang dimaksud dengan fard ialah ihram.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ata, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Tidak layak bagi seseorang bila melakukan ihram untuk haji, kemudian ia tinggal di suatu tempat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ata, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah, Ad-Dahhak, Qatadah, Sufyan As-Sauri, Az-Zuhri, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Tawus dan Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, yang dimaksud dengan fard ialah talbiyah.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَلا رَفَثَ}
maka tidak boleh rafas. (Al-Baqarah: 197)
Yakni barang siapa yang memasuki ihram untuk ibadah haji atau umrah, hendaklah ia menjauhi rafas. Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ}
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)
Diharamkan pula melakukan hal-hal yang menjurus ke arahnya, seperti berpelukan dan berciuman serta lain-lainnya yang semisal; juga diharamkan membicarakan hal-hal tersebut di hadapan kaum wanita.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus; Nafi' pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Umar acapkali mengatakan bahwa rafas artinya menggauli istri dan membicarakan hal-hal yang berbau porno.
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Qatadah, dari seorang lelaki, dari Abul Aliyah Ar-Rayyahi, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mendendangkan syair untuk memberi semangat kepada unta kendaraannya, sedangkan dia dalam keadaan berihram, yaitu ucapan penyair:
وَهُنَّ يَمْشينَ بنَا هَمِيسَا ... إنْ يَصْدُق الطَّيْرُ نَنَلْ لَميسَا ...
Sedangkan wanita-wanita itu berjalan bersama kami dengan langkah yang tak bersuara; sekiranya ada burung, niscaya kami dapat menyentuhnya.
Abul Aliyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Apakah engkau mengeluarkan kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?" Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya rafas yang dilarang ialah bila dituturkan di hadapan kaum wanita."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ziyad ibnu Husain, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas, lalu ia mengetengahkan asar ini.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi,-dari Auf, telah menceritakan kepadaku Ziyad ibnu Husain, telah menceritakan kepadaku Abu Husain ibnu Qais yang menceritakan bahwa ia pernah berangkat haji bersama Ibnu Abbas, dan pada tahun itu dia menjadi teman Ibnu Abbas. Setelah kami ihram (memasuki miqat), Ibnu Abbas mendendangkan sebuah syair untuk memberikan semangat kepada unta kendaraannya, yaitu:
وَهُنَّ يَمْشِينَ بنَا هَمِيسَا ... إنْ يَصْدُق الطَّيْرُ نَنَلْ لَميسَا ...
Mereka (wanita-wanita itu) berjalan bersama kami dengan langkah-langkah yang tak bersuara; seandainya kami menjumpai burung, niscaya kami dapat memegangnya.
Abu Husain ibnu Qais bertanya, "Apakah engkau berani mengucapkan kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?" Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya yang dinamakan rafas ialah bila diucapkan di hadapan kaum wanita."
Abdullah ibnu Tawus meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayahnya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya: maka tidak boleh rafas dan berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Rafas artinya mengeluarkan kata-kata sindiran yang mengandung arti persetubuhan. Ungkapan ini dinamakan 'irabah menurut islilah orang-orang Arab yang artinya 'kata-kata yang jorok'."
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa rafas artinya persetubuhan dan yang lebih rendah daripada itu berupa perkataan yang jorok. Hal yang sama dikatakan pula oleh Amr ibnu Dinar.
Ata mengatakan bahwa orang-orang Arab tidak menyukai ungkapan 'irabah yang artinya kata-kata sindiran ke arah persetubuhan, hal ini hukumnya haram.
Tawus mengatakan, rafas ialah bila seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Apabila kamu telah ber-tahallul, niscaya aku akan menggaulimu." Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa rafas artinya menyetubuhi wanita, menciumnya, dan mencumbu rayunya serta mengeluarkan kata-kata sindiran yang jorok kepadanya yang menjurus ke arah persetubuhan dan lain-lainnya yang semisal.
Ibnu Abbas mengatakan pula —juga Ibnu Umar— bahwa rafas artinya menyetubuhi wanita. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, Ibrahim, Abul Aliyah, dari Ata, Makhul, Ata Al-Khurrasani, Ata ibnu Yasar, Atiyyah, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi', Az-Zuhri, As-Saddi, Malik ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, Abdul Karim ibnu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَلا فُسُوقَ}
dan tidak boleh berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197)
Miqsam dan bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan fusuq ialah perbuatan-perbuatan maksiat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ata ibnu Yasar, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fusuq ialah semua jenis perbuatan maksiat terhadap Allah, baik berupa berburu (di waktu ihram) ataupun perbuatan lainnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi', bahwa Abdullah ibnu Umar pernah berkata, "Yang dinamakan fusuq ialah melakukan perbuatan-perbuatan yang durhaka terhadap Allah di Tanah Suci."
Sedangkan ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan fusuq dalam ayat ini ialah mencaci maki. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnuz Zubair, Mujahid, As-Saddi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan. Barangkali mereka yang mengatakan demikian (caci maki) berpegang kepada apa yang telah ditetapkan di dalam hadis sahih, yaitu:
«سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»
Mencaci orang muslim adalah perbuatan fasik, dan memeranginya adalah kekufuran.
Karena itulah maka dalam bab ini Abu Muhammad ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri, dari Zubaid, dari Abu Wail, dari Abdullah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Mencaci orang muslim hukumnya fasik dan memeranginya hukumnya kufur.
Telah diriwayatkan melalui hadis Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Mas'ud, dari ayahnya, juga melalui hadis Abu Ishaq, dari Muhammad ibnu Sa'd, dari ayahnya. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa fusuq dalam ayat ini artinya melakukan sembelihan untuk berhala-berhala, seperti pengertian yang terdapat di dalam Firman-Nya:
أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-An'am: 145)
Ad-Dahhak mengatakan, al-fusuq artinya saling memanggil dengan julukan-julukan yang buruk.
Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa makna fusuq dalam ayat ini ialah semua perbuatan maksiat merupakan pendapat yang benar, sebagaimana Allah melarang perbuatan zalim (aniaya) dalam bulan-bulan haram, sekalipun dalam sepanjang masa perbuatan ini diharamkan, hanya saja dalam bulan-bulan haram lebih keras lagi keharamannya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
مِنْها أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam bulan yang empat ini. (At-Taubah: 36)
Sehubungan dengan melakukan perbuatan zalim di Tanah Suci, Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذابٍ أَلِيمٍ  
Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25)
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa isitilah fusuq dalam ayat ini ialah semua perbuatan yang dilarang di dalam ihram, seperti membunuh binatang buruan, mencukur rambut kepala, memotong kuku, dan lain sebagainya yang sejenis, seperti yang disebutkan dari Ibnu Umar. Akan tetapi, semua apa yang telah kami sebutkan adalah harus lebih dijauhi.
Disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Abu Hazm, dari sahabat Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«من حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ»
Barang siapa yang melakukan haji di Baitullah ini, lalu ia tidak rafas dan tidak berbuat fasik, maka seakan-akan ia bersih dari semua dosanya seperti pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ}
dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama mengatakan tidak boleh berbantah-bantahan dalam musim haji, yakni sewaktu sedang melaksanakan manasik-manasiknya. Allah Swt. telah menjelaskannya dengan keterangan yang sempurna dan merincikannya dengan rincian yang gamblang.
Sehubungan dengan hal ini Waki' telah meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Abdul Karim, bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Sesungguhnya Allah Swt. telah menjelaskan bulan-bulan haji, maka tidak boleh lagi ada bantah-bantahan di antara manusia dalam mengerjakannya.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Tidak ada bulan yang ditangguhkan dan tidak ada bantahan-bantahan dalam masalah haji, semuanya sudah jelas. Kemudian Mujahid menyebutkan tingkah laku yang dilakukan oleh kaum musyrik terhadap apa yang disebutkan di kalangan mereka dengan nama nasi' (menangguhkan bulan haji, lalu memindahkannya ke bulan yang lain). Perbuatan mereka itu sangat dicela oleh Allah Swt.
As-Sauri meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Rafi', dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Bahwa masalah haji telah diluruskan, maka tidak boleh ada bantah-bantahan lagi mengenainya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh As-Saddi. Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud dengan jidal ialah berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan ibadah haji.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Malik pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Makna yang dimaksud ialah melakukan bantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji. Hanya Allah yang lebih mengetahui, bahwa pada mulanya orang-orang Quraisy melakukan wuquf di Masy'aril Haram, yaitu di Muzdalifah, sedangkan orang-orang Arab lainnya dan selain orang-orang Arab melakukan wuquf di Arafah. Mereka selalu berbantah-bantahan. Golongan yang pertama mengatakan, "Kami lebih benar," sedangkan golongan yang lain mengatakan, "Kamilah yang lebih benar." Demikianlah menurut pandangan kami, dan hanya Allah yang lebih mengetahui.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam bahwa mereka mengambil tempat wuqufnya sendiri-sendiri se-cara berbeda-beda yang masih mereka perdebatkan, masing-masing pihak mengakui bahwa mauqif-nya adalah berdasarkan mauqif Nabi Ibrahim a.s. Maka Allah memutuskannya, yaitu ketika Dia memberi-tahukan kepada Nabi-Nya tentang manasik yang sesungguhnya.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy apabila berkumpul di Mina, maka sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lainnya, "Haji kami lebih sempurna daripada haji kalian," begitu pula sebaliknya.
Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Jabir ibnu Habib, dari Al-Qasim ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam ibadah haji ialah bila sebagian dari mereka yang terlibat mengatakan, "Haji adalah esok hari." Sedangkan sebagian yang lain mengatakan, "Haji adalah hari ini."
Sementara itu Ibnu Jarir memilih kandungan makna dari semua pendapat yang telah disebutkan di atas, yaitu tidak boleh berbantah-bantahan dalam manasik haji.
Pendapat yang kedua mengatakan, yang dimaksud dengan istilah jidal dalam ayat ini ialah bertengkar. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Hassan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari Syarik, dari Abu Ishaq, dari Abul Ah-was, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)
Makna yang dimaksud dengan al-jidal ialah bila kamu membantah saudaramu hingga kamu buat dia marah karenanya.
Dengan sanad yang sama sampai kepada Abu Ishaq, dari At-Tamimi, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna al-jidal, maka Ibnu Abbas menjawab, "Artinya berbantah-bantahan, yaitu bila kamu melakukan bantahan terhadap temanmu hingga kamu buat dia marah karenanya." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Miqsan dan Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah, Ata, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Ata Al-Khurrasani, Makhul, As-Saddi, Mu-qatil ibnu Hayyan, Arar ibnu Dinar, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ibrahim An-Nakha'i, Ata ibnu Yasar, Al-Hasan, Qatadah, dan Az-Zuhri.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Artinya, berbantah-bantahan dan perdebatan hingga engkau membuat marah saudara dan temanmu, kemudian Allah Swt. melarang hal tersebut.
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Bahwa mereka tidak menyukai berbantah-bantahan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa al-jidal dalam ibadah haji artinya mencaci maki dan bertengkar.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi', Umar pernah mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji artinya melakukan caci maki, perdebatan, dan pertengkaran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnuz Zubair, Al-Hasan, Ibrahim,Tawus, dan Muhammad ibnu Ka'b, bahwa mereka mengatakan, "Al-jidal artinya berbantah-bantahan."
Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Yahya ibnu Basyir, dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah 197) Al-jidal artinya marah, yaitu bila kamu membuat marah seorang muslim, kecuali jika kamu menegur budak, lalu kamu membuatnya marah tanpa memukulnya, maka tidak menjadi masalah bagimu, insya Allah.
Menurut kami, seandainya seseorang memukul budaknya, hal ini masih tetap diperbolehkan. Sebagai dalilnya ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبَّادِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُجّاجًا، حَتَّى إِذَا كُنَّا بالعَرْج نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَلَسَتْ عائشةُ إِلَى جَنْبِ رَسُولِ اللَّهِ، وجلستُ إِلَى جَنْب أَبِي. وَكَانَتْ زِمَالة أَبِي بَكْرٍ وزِمَالة رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاحِدَةً مَعَ غُلَامِ أَبِي بَكْرٍ، فَجَلَسَ أَبُو بَكْرٍ يَنْتَظِرُهُ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ عَلَيْهِ، فأطْلَعَ وَلَيْسَ مَعَهُ بَعِيرُهُ، فَقَالَ: أَيْنَ بَعِيرُكَ؟ فَقَالَ: أضللتُه الْبَارِحَةَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: بَعِيرٌ وَاحِدٌ تُضلَّه؟ فَطَفِقَ يَضْرِبُهُ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَبَسَّمُ وَيَقُولُ: "انْظُرُوا إِلَى هَذَا المُحْرِم مَا يَصْنَعُ؟ ".
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Yahya ibnu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayah-nya, dari Asma binti Abu Bakar yang menceritakan hadis berikut: Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. untuk menunaikan ibadah haji. Ketika kami berada di Araj, Rasulullah Saw. turun istirahat. Maka Siti Aisyah r.a. duduk di sebelah Rasulullah Saw., sedangkan aku duduk di sebelah Abu Bakar (ayahku). Ketika itu pelayan perempuan Abu Bakar dan Rasulullah Saw. hanya satu orang disertai dengan budak laki-laki milik Abu Bakar. Abu Bakar duduk menunggu budaknya muncul. Si budak muncul tanpa hewan untanya, maka Abu Bakar bertanya, "Ke mana untamu?" Si budak menjawab, "Tadi malam aku kehilangan dia." Abu Bakar berkata, "Mengapa seekor unta saja kamu tidak dapat menjaganya, hingga ia kabur?" Lalu Abu Bakar memukul budaknya itu, sedangkan Rasulullah Saw. tersenyum seraya berkata: Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram ini.’
Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah melalui hadis Ibnu Ishaq.
Berangkat dari pengertian hadis ini, ada sebagian ulama Salaf yang menyimpulkan bahwa termasuk kesempurnaan ibadah haji ialah memukul unta (kendaraan). Akan tetapi, dari sabda Nabi Saw. terhadap Abu Bakar ini, yaitu: Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram ini. dapat ditarik kesimpulan adanya teguran yang lembut. Maknanya menyatakan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut adalah lebih utama.
قَالَ الْإِمَامُ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَخِيهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ قضَى نُسُكَه وسلِم الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"
Imam Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Musa ibnu Ubaidah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Ubaidillah), dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang telah menunaikan hajinya, dan orang-orang muslim selamat dari ulah lisan dan tangannya, niscaya Allah memberikan ampunan baginya atas semua dosanya yang terdahulu.
********
Firman Allah Swt.:
{وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ}
Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. (Al-Baqarah: 197)
Setelah Allah Swt. melarang mereka melakukan perbuatan yang buruk, baik berupa ucapan maupun perbuatan, maka Allah menganjurkan kepada mereka untuk mengerjakan kebaikan, dan Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa Dia Maha Mengetahuinya; kelak Allah akan memberikan balasan kepadanya dengan balasan yang berlimpah di hari kiamat nanti.
************
Firman Allah Swt.:
{وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ada orang-orang yang berangkat meninggalkan keluarga mereka tanpa membawa bekal. Mereka mengatakan, "Kami akan melakukan ibadah haji, mengapa Allah tidak memberi kami makan?" (yakni niscaya Allah memberi kami makan). Maka turunlah ayat ini yang maknanya, "Berbekallah kalian untuk mencegah diri kalian dari meminta-minta kepada orang lain."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, bahwa orang-orang ada yang menunaikan hajinya tanpa membawa bekal. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Amr (yaitu Al-Fallas), dari Ibnu Uyaynah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, sesungguhnya hadis ini diriwayatkan pula oleh Warqa, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa apa yang diriwayatkan oleh Warqa, dari Ibnu Uyaynah lebih sahih.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Sa'id ibnu Abdur Rahman Al-Makhzumi, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ada orang-orang yang menunaikan ibadah haji tanpa membawa bekal, lalu Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Adapun hadis Warqa, diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Yahya ibnu Bisyr, dari Syababah.
Diketengahkan oleh Abu Daud, dari Abu Mas'ud (yaitu Ahmad ibnul Furat Ar-Razi) dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Makhzumi, dari Syababah, dari Warqa, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang Yaman melakukan ibadah hajinya tanpa membawa bekal, dan mereka mengatakan, "Kami adalah orang-orang yang bertawakal." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya dari Syababah.
Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Syababah dengan lafaz yang sama. Ibnu Jarir dan Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Amr ibnu Abdul Gaffar, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa tersebutlah apabila mereka telah memasuki ihram, sedangkan bekal yang mereka bawa masih ada pada mereka, maka mereka membuangnya, lalu mereka mengadakan perbekalan lain yang baru. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Mereka dilarang melakukan hal tersebut dan mereka diperintahkan agar membawa perbekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti kering (yakni makanan yang tahan lama). Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnuz Zubair, Abul Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Salim ibnu Abdullah, Ata Al-Khurrasani, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Berbekallah kalian dengan perbekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti kering."
Waki' ibnul Jarrah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Muhammad ibnu Suqah, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan berbekallah (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud ialah bekal berupa tepung dan sagon.
Waki' meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Makki, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Amr yang mengatakan bahwa sesungguhnya termasuk kedermawanan seorang laki-laki ialah membawa bekal yang baik dalam perjalanannya.
Hammad ibnu Salamah menambahkan pada riwayat di atas, dari Abu Raihanah, bahwa Ibnu Umar pernah memerintahkan kepada orang yang mau bepergian dengannya agar membawa bekal yang baik.
****************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Setelah Allah Swt. memerintahkan mereka agar membawa bekal dalam bepergian di dunia, maka Allah Swt. memberikan pctunjuk-Nya kepada mereka bekal lainnya untuk kebahagiaan di negeri akhirat, yaitu takwa kepada Allah. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَرِيشاً وَلِباسُ التَّقْوى ذلِكَ خَيْرٌ
dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. (Al-A'raf: 26)
Dengan kata lain, setelah Allah menyebutkan pakaian hissi (konkret), lalu Allah mengingatkan seraya memberikan petunjuk kepada jenis pakaian lainnya, yaitu pakaian maknawi (abstrak) berupa khusyuk, taat, dan takwa. Allah menyebutkan pula bahwa pakaian yang terakhir ini lebih baik dan lebih bermanfaat daripada jenis yang per-tama tadi.
Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud dengan takwa ialah bekal untuk akhirat.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [قَالَ] : "مَنْ يَتَزَوَّدْ فِي الدُّنْيَا يَنْفَعه فِي الْآخِرَةِ"
Imam Tabrani meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Mu'awiyah, dari Ismail, dari Qais, dari Jarir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw. yang bersabda: Barang siapa yang membuat bekal di dunia, maka bekal ini akan bermanfaat di akhirat.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, ketika diturunkan firman-Nya: Dan berbekallah. (Al-Baqarah: 197) Maka berdirilah seorang lelaki dari kalangan kaum fakir miskin kaum muslim, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak menemukan apa yang bisa dipergunakan buat bekal kami." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"تَزَوَّدْ مَا تَكُفُّ بِهِ وَجْهَكَ عَنِ النَّاسِ، وَخَيْرُ مَا تَزَوَّدْتُمُ التَّقْوَى".
Berbekallah untuk mencegah dirimu dari meminta-minta kepada orang lain, dan sebaik-baik apa yang dijadikan bekal bagi kalian ialah takwa. (Riwayat Ibnu Abu Hatim)
**************
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ}
dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. (Al-Baqarah: 197)
Yakni hindarilah oleh kalian siksaan-Ku, pembalasan-Ku, dan azab-Ku bagi orang yang menentang-Ku dan tidak mau mengerjakan perintah-Ku, hai orang-orang yang berakal dan berpemahaman!

Al-Baqarah, ayat 198

{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (198) }
Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang di-tunjukkan-Nya kepada kalian; dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyaynah, dari Amr, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa Jahiliah, Ukaz, Majinnah, dan Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan; mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam musim haji. Maka turunlah firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Yaitu dalam musim haji.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq dan Sa'id ibnu Mansur serta lain-lainnya yang bukan hanya satu orang, dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan lafaz yang sama.
Menurut sebagian di antara mereka, setelah Islam datang, mereka masih tetap merasa berdosa bila melakukan perniagaan (dalam musim haji), lalu mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai hal tersebut, lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa Jahiliah, tempat perniagaan orang-orang berada di Ukaz, Majinnah, dan Zul-Majaz. Setelah Islam datang, mereka tidak menyukai hal tersebut. Maka turunlah ayat ini.
Imam Abu Daud dan lain-lainnya meriwayatkan melalui hadis Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa mereka selalu menghindarkan dirinya dari melakukan perniagaan dalam musim haji, dan mereka mengatakan bahwa musim haji adalah hari-hari zikir. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Yakni dalam musim haji.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini: "Tidak ada dosa bagi kalian dalam melakukan transaksi jual beli, sebelum dan sesudah ihram." Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.
Waki' mengatakan, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu Amr Al-Hadrami, dari Ata, dari ibnu Abbas, bahwa ia membacakan firman-Nya:  Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) dalam musim haji.
Abdurrahman mengatakan dari Ibnu Uyaynah, dari Abdullah ibnu Abu Yazid, "Aku pernah mendengar Ibnu Zubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: 'Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian' (Al-Baqarah: 198). dalam musim haji."
Tafsir yang sama dikemukakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,  Ikrimah,  Mansuf  ibnul  Mu'tamir,  Qatadah,  Ibrahim  An-Nakha'i, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Syababah ibnu Siwar, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Umaimah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Ibnu Umar ketika Ibnu Umar ditanya mengenai perihal seorang lelaki yang menunaikan ibadah haji dengan membawa barang dagangannya. Lalu Ibnu Umar membacakan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Maka Nabi Saw. memanggilnya dan bersabda kepadanya.
Predikat asar ini mauquf, tetapi sanadnya kuat dan baik. Sesungguhnya asar ini telah diriwayatkan pula secara marfu'.
Ahmad telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Asbat, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Amr Al-Faqimi, dari Abu Umamah At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya kami biasa melakukan transaksi kira (sewa-menyewa), maka apakah kami beroleh ibadah haji?" Ibnu Umar balik bertanya, "Bukankah kamu telah melakukan tawaf di Baitullah, datang ke Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambutmu?" Lelaki itu menjawab, "Tentu saja." Ibnu Umar berkata bahwa pernah ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepadanya tentang masalah seperti apa yang kamu tanyakan kepadaku, maka beliau tidak menjawab hingga Malaikat Jibril turun membawa ayat ini, yaitu firman-Nya: Kalian adalah jamaah haji.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ai-Sauri, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari seorang lelaki Bani Tamim yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah ib-nu Umar, lalu berkata, "Hai Abu Abdur Rahman, sesungguhnya kami adalah dari kaum yang berprofesi sewa-menyewa, dan mereka menduga bahwa kami tidak akan mendapat haji (karena berbisnis)." Ibnu Umar menjawab, "Bukankah kalian telah berihram seperti mereka berihram, dan kalian bertawaf seperti mereka bertawaf, serta melempar jumrah seperti yang dilakukan oleh jamaah haji lainnya?" Lelaki itu menjawab, "Memang benar." Ibnu Umar berkata, "Kalau demikian, kamu beroleh haji." Kemudian Ibnu Umar mengemukakan hadis berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu ia bertanya kepadanya seperti pertanyaan yang kamu ajukan kepadaku ini, maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian." (Al-Baqarah: 198)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya melalui Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Abu Huzaifah, dari As-Sauri secara marfu', dan telah diriwayatkan pula melalui jalur lainnya secara marfu'.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Abu Umamah At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya kami adalah kaum yang suka berniaga kira ke arah ini —yakni ke Mekah— dan sesungguhnya ada segolongan orang yang menduga bahwa kami tidak akan memperoleh pahala haji. Bagaimanakah menurutmu, apakah kami memperoleh pahala haji?" Ibnu Umar bertanya, "Bukankah kalian berihram, bertawaf di Baitullah, dan menunaikan semua manasik?" Ia menjawab, "Memang benar." Ibnu Umar berkata, "Kalau demikian, kalian adalah orang-orang yang telah berhaji." Selanjutnya Ibnu Umar mengatakan: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepad-nya mengenai pertanyaan seperti yang kamu ajukan itu, maka Nabi Saw. tidak mengetahui apa yang harus ia katakan kepada-nya —atau beliau tidak menjawab sepatah kata pun— hingga turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian" (Al-Baqarah: 198). Maka beliau memanggil lelaki itu dan membacakan ayat ini kepadanya, lalu bersabda, "Kalian adalah orang-orang yang telah berhaji."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Mas'ud ibnu Sa'd dan Abdul Wahid ibnu Ziyad serta Syarik Al-Qadi, dari Al-Ala ibnul Musayyab dengan lafaz yang sama secara marfu'.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Taliq ibnu Muhammad Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Asbat (yaitu Ibnu Muhammad), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Umar (yaitu Al-Faqimi), dari Abu Umamah At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang suka sewa-menyewakan. Apakah kami beroleh pahala haji?" Ibnu Umar bertanya, "Bukankah kalian tawaf di Baitullah, datang di Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambut kalian?" Kami menjawab, "Memang benar." Ibnu Umar menjawab dengan mengemukakan hadis berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepadanya seperti pertanyaan yang kamu ajukan kepadaku, maka beliau tidak mengetahui apa yang harus beliau katakan kepadanya, hingga turunlah Jibril a.s. membawa firman-Nya, "Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian" (Al-Baqarah: 198), hingga akhir ayat. Dan Nabi Saw. bersabda, "Kalian adalah orang-orang yang berhaji."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Gundar, dari Abdur Rahman ibnul Muhajir, dari Abu Saleh maula Umar yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Khalifah Umar, "Wahai Amirul Muminin, mengapa kalian berdagang dalam musim haji?" Umar r.a. menjawab, "Karena tiada lain penghidupan mereka hanyalah dari hasil perniagaan dalam musim haji."
********
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ}
Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. (Al-Baqarah: 198)
Sesungguhnya lafaz arafah di-fathah-kan, sekalipun ia sebagai alam yang muannas, karena pada asalnya berbentuk jamak seperti muslimat dan muminat, kemudian dijadikan nama untuk suatu daerah tertentu, maka bentuk asalnya ini dipelihara hingga ia menerima tanwin. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Arafah merupakan tempat wuquf dalam ibadah haji dan sebagai tiang dari semua pekerjaan haji. Karena itu, Imam Ahmad dan pemilik kitab-kitab sunan meriwayatkan sebuah hadis yang sahih sanad-nya:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَطَاءٍ، عن عبد الرحمن بن يَعْمر الديَلي، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "الْحَجُّ عَرَفَاتٌ -ثَلَاثًا -فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ، فَقَدْ أَدْرَكَ. وَأَيَّامُ مِنًى ثَلَاثَةٌ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ، وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ"
dari As-Sauri, dari Bukair bin Ata, dari Abdur Rahman ibnu Ya'mur Ad-Daili yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Haji itu hanyalah di Arafah —sebanyak tiga kali—. Barang siapa yang menjumpai (hari) Arafah sebelum fajar menyingsing, berarti dia telah menjumpai haji. Dan hari-hari Mina itu adalah tiga hari, karenanya barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa baginya.
Waktu wuquf itu dimulai dari tergelincirnya matahari (dari pertengahan langit) di hari Arafah sampai dengan munculnya fajar yang kedua dari hari Kurban, karena Nabi Saw. melakukan wuqufnya dalam haji wada' sesudah salat Lohor sampai dengan matahari terbenam, lalu beliau bersabda:
"لتأخُذوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ"
Ambillah (contoh) manasik-manasik kalian dariku.
Dalam hadis ini Nabi Saw. bersabda pula: Barang siapa yang menjumpai (hari) Arafah sebelum fajar menyingsing, berarti dia telah menjumpai haji. Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafii.
Imam Ahmad berpendapat bahwa waktu wuquf dimulai dari permulaan hari Arafah. Ia dan para pengikutnya mengatakan demikian dengan berdalilkan sebuah hadis dari Asy-Sya'bi, dari Urwah ibnu Midras ibnu Harisah ibnu Lamut Ta-i yang menceritakan:
أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُزْدَلِفَةِ، حِينَ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي جِئْتُ مِنْ جَبَليْ طَيْئٍ، أَكْلَلْتُ رَاحِلَتِي، وَأَتْعَبْتُ نَفْسِي، وَاللَّهِ مَا تَرَكْتُ مِنْ جَبَلٍ إِلَّا وَقَفْتُ عَلَيْهِ، فَهَلْ لِي مِنْ حَج؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "من شَهِد صَلَاتَنَا هَذِهِ، فَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ، وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا، فَقَدْ تَمَّ حَجّه، وَقَضَى تَفَثَه".
Aku datang kepada Rasulullah Saw. di Muzdalifah ketika beliau berangkat untuk menunaikan salat. Maka aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku datang dari Pegunungan Ta-i, unta kendaraanku telah lelah dan juga diriku. Demi Allah, tiada suatu bukit pun yang aku tinggalkan melainkan aku berwuqufpa-danya. Maka apakah aku memperoleh haji?" Rasulullah Saw. menjawab, "Barang siapa yang mengikuti salat kami ini dan wuquf bersama kami hingga kami berangkat, sedang sebelum itu ia telah wuquf di Arafah di malam. atau siang hari, maka sesungguhnya hajinya telah lengkap dan keperluannya telah dipenuhinya."
Hadis riwayat Imam Ahmad dan As-Habus Sunan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi.
Kemudian dikatakan bahwa sesungguhnya tempat wuquf itu dinamakan Arafah karena ada sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Abdur Razzaq, telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang menceritakan bahwa Ibnul Musayyab pernah menceritakan kisah yang pernah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talib seperti berikut: Allah Swt. mengutus Jibril a.s. kepada Nabi Ibrahim a.s., lalu menuntunnya menunaikan ibadah haji. Dan ketika sampai di Arafah, Nabi Ibrahim berkata, "Aku telah kenal daerah ini," sebelum itu Nabi Ibrahim pernah mendatanginya sekali. Karena itulah maka tempat wuquf dinamakan Arafah.
Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Abul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Ata yang menceritakan bahwa sesungguhnya tempat wuquf dinamakan Arafah, karena ketika Malaikat Jibril memperlihatkan kepada Nabi Ibrahim a.s. tempat-tempat manasik, Nabi Ibrahim berkata, "Aku telah mengenal ini" (yang dalam bahasa Arabnya disebut 'Araftu), kemudian dinamakanlah Arafah.
Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Abu Mijlaz.
Arafah dinamakan pula dengan sebutan Al-Masy'aril Haram, Al-Masy'aril Aqsa, dan Hal, sama wazannya dengan Hilal. Bukit yang ada di tengah-tengahnya dinamakan Jabal Rahmah. Sehubungan dengan hal ini Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu syairnya yang terkenal, yaitu:
وَبِالْمَشْعَرِ الْأَقْصَى إِذَا قَصَدُوا لَهُ ... إِلَالُ إِلَى تِلْكَ الشِّرَاجِ الْقَوَابِلِ
Apabila mereka hendak melakukan wuquf maka mereka berada di Al-Masy'aril Aqsa, yaitu dikenal pula dengan sebutan Hal sebagai kata persamaannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnul Hasan ibnu Uyaynah, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Zam'ah (yaitu Ibnu Saleh), dari Salamah ibnu Wahram, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang Jahiliah melakukan wuqufnya di Arafah. Manakala matahari berada di atas bukit seakan-akan seperti kain sorban di atas kepala laki-laki, maka mereka berangkat. Karena itu, maka Rasululluh Saw. menangguhkan keberangkatan dari Arafah hingga matahari tenggelam.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui Zam'ah ibnu Saleh, dan menambahkan, "Kemudian Rasulullah Saw. berhenti di Muzdalifah, lalu melakukan salat Subuh di pagi buta. Manakala segala sesuatu tampak kuning dan berada di akhir waktu Subuh, barulah beliau bertolak." Hadis ini lebih baik sanadnya.
قَالَ ابْنُ جُرَيْج، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنِ المسْوَر بْنِ مَخْرَمة قَالَ: خَطَبنا رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وهو بِعَرَفَاتٍ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. ثُمَّ قَالَ: "أَمَّا بَعْدُ -وَكَانَ إِذَا خَطَبَ خُطْبَةً قَالَ: أَمَّا بَعْدُ -فَإِنَّ هَذَا الْيَوْمَ الحجَ الْأَكْبَرَ، أَلَا وَإِنَّ أهلَ الشِّرْكِ وَالْأَوْثَانِ كَانُوا يَدْفَعُونَ فِي هَذَا الْيَوْمِ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، إِذَا كَانَتِ الشَّمْسُ فِي رُؤُوسِ الْجِبَالِ، كَأَنَّهَا عَمَائِمُ الرِّجَالِ فِي وُجُوهِهَا، وَإِنَّا نَدْفَعُ بَعْدَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، وَكَانُوا يَدْفَعُونَ مِنَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ بَعْدَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، إِذَا كَانَتِ الشَّمْسُ فِي رُؤُوسِ الْجِبَالِ كَأَنَّهَا عَمَائِمُ الرِّجَالِ فِي وُجُوهِهَا وَإِنَّا نَدْفَعُ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، مُخَالفاً هَدْيُنَا هَدْي أَهْلِ الشِّرْكِ".
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Muhammad ibnu Qais, dari Al-Miswar ibnu Makhramah yang menceritakan hadis berikut: Ketika Rasulullah Saw. berada di Arafah, beliau berkhotbah kepada kami. Untuk itu beliau mengucapkan hamdalah, puja serta puji kepada Allah Swt., setelah itu baru beliau bersabda,  "Amma Ba'du, - dan memang kebiasaan beliau apabila berkhotbah selalu mengucapkan kalimat amma ba'du pada permulaannya- . Sesungguhnya hari ini adalah hari haji akbar. Ingatlah, sesungguhnya orang-orang musyrik dan para penyembah berhala berangkat pada hari ini sebelum matahari tenggelam. Yaitu bila matahari berada di atas bukil-bukit seakan-akan seperti kain sorban laki-laki yang berlengger di kepalanya. Sesungguhnya kami bertolak sesudah matahari tenggelam. Dahulu mereka bertolak dari Masy'aril Haram sesudah matahari terbit, yaitu bila matahari (kelihatan) berada di atas bukit seakan-akan kain sorban laki-laki yang berlengger di kepalanya. Sesungguhnya kami bertolak sebelum matahari terbit agar petunjuk kita berbeda dengan petunjuk kaum musyrik.”
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih, dan hadis ini berdasarkan lafaz darinya; Imam Hakim meriwayatkannya pula di dalam kitab Mustadrak-nya, kedua-duanya melalui hadis Abdur Rahman ibnul Mubarak Al-Aisyi, dari Abdul Waris ibnu Sa'id, dari Ibnu Juraij. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini berpredikat sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Sesungguhnya terbukti dengan benar apa yang telah kami sebutkan di atas yang menyatakan bahwa Al-Miswar benar-benar mendengar langsung dari Rasulullah Saw. Tidak seperti apa yang diduga oleh segolongan teman-teman kami yang mengatakan bahwa Al-Miswar termasuk orang yang hanya pernah melihat Nabi Saw., tetapi tidak pernah mendengar hadis darinya.
Waki' meriwayatkan dari Syu'bah, dari Ismail ibnu Raja Az-Zubaidi, dari Al-Ma'rur ibnu Suwaid yang menceritakan bahwa ia pernah melihat sahabat Umar r.a. ketika bertolak dari Arafah, seakan-akan ia melihatnya seperti lelaki yang botak dengan mengendarai untanya seraya bertolak dan berkata, "Sesungguhnya kami menemukan cara berifadah (bertolak) ialah dengan langkah-langkah yang cepat."
Di dalam hadis Jabir ibnu Abdullah yang cukup panjang yang berada pada kitab Sahih Muslim disebutkan di dalamnya bahwa Nabi Saw. masih tetap berwuquf, yakni di Arafah, hingga matahari tenggelam dan awan kuning mulai tampak sedikit, hingga bulatan matahari benar-benar tenggelam. Nabi Saw. memboncengkan Usamah di belakangnya, lalu beliau bertolak seraya mengencangkan tali kendali qaswa unta kendaraannya, sehingga kepala unta kendaraannya hampir menyentuh bagian depan rahl (pelana)nya, seraya mengisyaratkan dengan tangannya seakan-akan mengatakan:
"أَيُّهَا النَّاسُ، السَّكِينَةَ السَّكِينَةَ"
Hai manusia, tenanglah, tenanglah.
Manakala menaiki bukit, beliau mengendurkan tali kendalinya sedikit agar qaswa dapat naik dengan mudah, hingga sampailah di Muzdalifah, lalu salat Magrib dan Isya padanya dengan sekali azan dan dua kali iqamah, tidak membaca tasbih apa pun di antara keduanya.
Kemudian beliau berbaring hingga fajar terbit, lalu salat Subuh ketika fajar Subuh telah tampak baginya dengan sekali azan dan sekali iqamah. Sesudah itu beliau mengendarai qaswa dan berangkat hingga sampai di Masy'aril Haram, lalu menghadap ke arah kiblat dan berdoa kepada Allah seraya bertakbir, bertahlil, dan menauhidkan-Nya. Beliau Saw. masih tetap dalam keadaan wuquf hingga cahaya pagi kelihatan kuning sekali. Kemudian beliau bertolak sebelum matahari terbit.
Di dalam kitab Sahihain, dari Usamah ibnu Zaid disebutkan bahwa ia pernah ditanya mengenai kecepatan kendaraan Rasulullah Saw. ketika bertolak (dari Muzdalifah ke Masy'aril Haram). Maka Usamah menjawab bahwa beliau Saw. memacu kendaraannya dengan langkah-langkah yang sedang; dan apabila menjumpai tanah yang legok, maka beliau memacunya dengan langkah yang lebih lebar lagi.
Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad (anak lelaki dari anak perempuan Imam Syafii) dalam surat yang ditujukannya kepadaku. Ia menceritakannya dari ayahnya atau dari pamannya, dari Sufyan ibnu Uyaynah sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. (Al-Baqarah: 198) Yang dimaksud dengan zikir dalam ayat ini ialah menjamak dua salat.
Abu Ishaq As-Subai'i meriwayatkan dari Ainr ibnu Maimun, bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang Masy'aril Haram. Maka Ibnu Amr diam, tidak menjawab. Tetapi ketika kaki depan unta kendaraan kami mulai mengambil jalan menurun di Muzdalifah, ia bertanya, "Ke manakah orang yang tadi bertanya tentang Masy'aril Haram? Inilah Masy'aril Haram."
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Salim yang mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah berkata, "Masy'aril Haram adalah seluruh Muzdalifah."
Hisyam meriwayatkan dari Hajjaj, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: Berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. (Al-Baqarah: 198) Maka Ibnu Umar menjawab bahwa Masy'aril Haram ialah bukit ini dan daerah sekitarnya.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Al-Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Ibnu Umar melihat mereka berkumpul di Quzah. Maka ia berkata, "Mengapa mereka berkumpul di suatu tempat, padahal semua kawasan ini adalah Masy'aril Haram."
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, dan Qatadah, bahwa mereka pernah mengatakan, "Masy'aril Haram itu terletak di antara kedua buah bukit."
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata letak Muzdalifah, maka Ata menjawab, "Apabila kamu bertolak dari kedua ma'zam 'Arafah yang menuju ke arah lembah Muhassar, dan bukan kedua ma'zam 'Arafah itu termasuk bagian dari Muzdalifah, melainkan jalan menuju ke arah keduanya; maka berhentilah kamu di antara keduanya jika kamu suka. Aku suka bila kamu berhenti sebelum Quzah. Sekarang marilah bersamaku untuk memberi kesempatan kepada jalan yang dilalui oleh orang banyak."
Menurut kami, tempat-tempat untuk menunaikan haji merupakan rambu-rambu yang sudah jelas, dan sesungguhnya Muzdalifah dinamakan Masy'aril Haram hanyalah karena masih termasuk bagian dari Tanah Suci. Tetapi apakah melakukan wuquf di Muzdalifah merupakan rukun haji; bila tidak dilakukan, hajinya tidak sah? Seperti yang dikatakan oleh segolongan ulama Salaf dan sebagian murid-murid Imam Syafii, antara lain Al-Qaffal dan Ibnu Khuzaimah, berdasarkan kepada hadis Urwah ibnu Midras. Ataukah hukumnya wajib, seperti yang dikatakan oleh salah satu dari dua pendapat Imam Syafii yang mengatakan jika ditinggalkan dapat ditambal dengan membayar dam Ataukah hukumnya sunat; dengan kata lain, tidak ada sanksi apa pun bila ditinggalkan, seperti yang dikatakan oleh selainnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan para ulama, pembahasannya secara panjang lebar terdapat dalam kitab lain.
Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Sufyan As-Sauri, dari Zaid ibnu Aslam, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"عَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ، وَارْفَعُوا عَنْ عُرَنة، وجَمْع كُلُّهَا مَوقف إِلَّا مُحَسرًا"
Arafah semuanya adalah tempat wuquf, tetapi tinggalkanlah oleh kalian (lembah Arafah). Dan Jam'un (Arafah) seluruhnya adalah tempat wuquf kecuali lembah Muhassar.
Hadis ini mursal.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ: "كُلُّ عَرَفَاتٍ مَوْقِفٌ، وَارْفَعُوا عَنْ عُرَنة. وَكُلُّ مُزْدَلِفَةَ مَوْقِفٌ وَارْفَعُوا عَنْ مُحَسِّر، وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحر، وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ"
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Musa, dari Jubair ibnu Mut'im, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Semua kawasan Arafah adalah tempat wuquf dan tinggalkanlah oleh kalian (lembah) Arafah. Muzdalifah seluruhnya adalah tempat wuquf, tetapi tinggalkanlah oleh kalian lembah Muhassar. Dan seluruh pelosok Mekah adalah tempat penyembelihan kurban. Dan seluruh hari-hari tasyriq adalah hari-hari penyembelihan kurban.
Hadis ini pun munqati', karena sesungguhnya Sulaiman ibnu Musa yang dikenal dengan sebutan Al-Asydaq tidak menjumpai masa Jubair ibnu Mut'im.
Akan tetapi, hadis ini diriwayatkan oleh Al-Walid ibnu Muslim dan Suwaid ibnu Abdul Aziz, dari Sa’id ibnu Abdul Aziz, dari Sulaiman; dan Al-Walid mengatakan dari Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya. Sedangkan Suwaid mengatakan dari Nafi' ibnu Jubair, dari ayahnya, dari Nabi Saw., lalu ia mengetengahkannya.
************
Firman Allah Swt.:
{وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ}
Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang di-tunjukkan-Nya kepada kalian. (Al-Baqarah: 198)
Ayat ini mengingatkan mereka akan limpahan nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka, yaitu berupa hidayah, keterangan, dan bimbingan kepada masya'irul hajji. Hal ini sesuai dengan hidayah yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. Karena itulah sesudahnya disebutkan:
{وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ}
dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (Al-Baqarah: 198)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan sebelum itu ialah sebelum adanya petunjuk tersebut. Menurut pendapat yang lain, sebelum adanya Al-Qur'an; dan menurut pendapat yang lainnya lagi sebelum adanya Rasul Saw. Akan tetapi, pada prinsipnya masing-masing pendapat berdekatan pengertiannya, saling mengukuhkan dan benar.

Al-Baqarah, ayat 199

{ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (199) }
Kemudian bertolaklah kalian dari tempat berlolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Lafaz summa dalam ayat ini untuk meng-ataf-kan suatu khabar kepada khabar yang lain dan menunjukkan pengertian urutannya. Seakan-akan Allah memerintahkan kepada orang yang wakaf di Arafah agar bertolak menuju Muzdalifah untuk berzikir kepada Allah Swt. di Masy'aril Haram. Allah memerintahkan kepadanya agar wuquf bersama orang-orang banyak di Arafah, seperti yang telah dilakukan oleh mayoritas orang-orang di masa silam, kecuali orang-orang Quraisy; orang-orang Quraisy tidak mau keluar dari batasan Tanah Suci. Mereka melakukan wuqufnya di perbatasan Kota Suci yang berdekatan dengan Tanah Halal, lalu mereka mengatakan, "Kami adalah orang-orang kepercayaan Allah di negeri-Nya dan pengurus aimah-Nya."
Imam Bukhari meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy dan orang-orang yang mengikuti mereka berwuquf di Muzdalifah, lalu mereka menamakannya Al-Hams, sedangkan orang-orang Arab lainnya berwuquf di Arafah.
Ketika Islam datang, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar datang ke Arafah, kemudian melakukan wuquf padanya, lalu bertolak darinya. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: dari bertolaknya orang-orang. (Al-Baqarah: 199)
Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Qatadah, As-Saddi, dan lain-lainnya, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir dan mengatakannya sebagai suatu kesepakatan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Mujahid, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya yang menceritakan, "Aku pernah kehilangan seekor unta milikku di Arafah, maka aku berangkat mencarinya. Tiba-tiba aku menjumpai Nabi Saw. sedang wuquf. Maka aku berkata (kepada diriku sendiri), 'Sesungguhnya hal ini termasuk Hams, apakah gerangan yang sedang dilakukannya di sini?'."
Riwayat ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya pula dari hadis Musa Ibnu Uqbah, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang kesimpulannya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan istilah ifadah (bertolak) dalam ayat ini ialah bertolak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melempar jumrah.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim saja, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang dalam ayat ini adalah Nabi Ibrahim a.s., juga menurut salah satu riwayat lainnya yang ada pada Imam (Ibnu Jarir). Ibnu Jarir mengatakan, "Seandainya tidak ada kesepakatan hujah yang memberikan pengertian sebaliknya, niscaya riwayat ini lebih kuat."
*************
Firman Allah Swt.:
{وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 199)
Allah Swt. sering memerintahkan berzikir sesudah menunaikan ibadah. Karena itulah maka di dalam sebuah hadis sahih dalam kitab Sahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw. apabila selesai dari salat selalu membaca istigfar sebanyak tiga kali. Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Nabi Saw. menganjurkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak tiga puluh tiga kali (masing-masing).
Dalam bab ini Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Abbas ibnu Mirdas As-Sulami tentang pemiohonan ampun Nabi Saw. buat umatnya pada sore hari Arafah. Kami telah menghimpunnya di dalam sebuah kitab mengenai keutamaan hari Arafah.
Ibnu Murdawaih dalam bab ini meriwayatkan sebuah hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Syaddad ibnu Aus yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«سَيِّدُ الِاسْتِغْفَارِ أَنْ يَقُولَ الْعَبْدُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، خَلَقْتِنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلِيَّ، وَأَبُوءُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، مَنْ قَالَهَا فِي لَيْلَةٍ فَمَاتَ فِي لَيْلَتِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ قَالَهَا فِي يَوْمِهِ فَمَاتَ دَخَلَ الْجَنَّةَ»
Penghulu istigfar ialah bacaan seorang hamba akan doa berikut: "Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau, Engkaulah yang menciptakan diriku, dan aku adalah hamba-Mu, dan aku berada di bawah perintah-Mu dan janji-Mu menurut kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahalan apa yang telah kuperbuat, aku kembali kepada-Mu dengan semua nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku, dan aku kembali kepada-Mu dengan semua dosaku. Maka ampunilah daku, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali hanya Engkau." Barang siapa yang membacanya di suatu malam, lalu di malam itu juga ia meninggal dunia, niscaya ia masuk surga. Dan barang siapa yang membacanya di siang hari, lalu ia meninggal dunia. niscaya masuk surga.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Abu Bakar pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu doa yang akan kubacakan dalam salatku." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"قُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي، إنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ"
Katakanlah, "Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan perbuatan aniaya yang banyak sekali, sedangkan tiada seorang pun yang dapat memberikan ampunan kecuali Engkau; maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan belas kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang."
Hadis-hadis mengenai istigfar cukup banyak, dan yang disebutkan di sini hanya sebagian kecil saja.

No comments

Tafsir Jalalain

Tafsir Ibnu Katsir

Back to top