Muslim Notebook Header Ads

002. Surat Al-Baqoroh Ayat 001 - 064 - Tafsir Ibnu Katsir - Muslim Notebook


تَفْسِيرُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ
(Sapi Betina)
Madaniyyah, 286 ayat,
kecuali ayat 281 turun di Mina sewaktu Haji Wada' (haji perpisahan)

Keutamaan Surat Al-Baqarah

[ذِكْرُ مَا وَرَدَ فِي فَضْلِهَا]
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَارِمٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الْبَقَرَةُ سَنَام الْقُرْآنِ وَذُرْوَتُهُ، نَزَلَ مَعَ كُلِّ آيَةٍ مِنْهَا ثَمَانُونَ مَلَكًا، وَاسْتُخْرِجَتْ: "اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ" [الْبَقَرَةِ: 255] مِنْ تَحْتِ الْعَرْشِ، فَوُصِلَتْ بِهَا، أَوْ فَوُصِلَتْ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ، وَيس: قَلْبُ الْقُرْآنِ، لَا يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيدُ اللَّهَ، وَالدَّارَ الْآخِرَةَ إِلَّا غُفِرَ له، واقرؤوها عَلَى مَوْتَاكُمْ "
Imam Ahmad menceritakan, telah menceritakan kepada kami Arim, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir. dari ayahnya. dari seorang lelaki, dari ayah lelaki tersebut, dari Ma'qal ibnu Yasar, bahwa Rasuhallah Saw. pernah bersabda: Surat Al-Baqarah adalah puncak Al-Qur'an, diturunkan bersamaan dengan turunnya delapan puluh malaikat pada tiap-tiap ayatnya. Dikeluarkan dari Arasy firman-Nya, "Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)" (Al-Baqarah: 255); kemudian disambungkan dengannya. yakni dengan surat Al-Baqarah. Yasin adalah kalbu Al-Qur'an, tidak sekali-kali seorang lelaki membacanya karena mengharapkan pahala Allah dan hari kemudian (surga-Nya) melainkan diampuni baginya. Bacakanlah surat Yasin buat orang-orang mati (di antara) kalian.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa Imam Ahmad pun telah meriwayatkan  pula dari Arim, dari Abdullah ibnul Mubarak, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman —tetapi bukan An-Nahdi—, dari ayahnya, dari Ma'qal ibnu Yasar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
" اقرؤوها عَلَى مَوْتَاكُمْ " يَعْنِي: يس
Dan bacakanlah ia buat orang-orang mati kalian. Makna yang dimaksud ialah "surat Yasin".
Dengan adanya riwayat yang terakhir ini, jelas bagi kita para perawi yang tidak disebutkan dengan jelas namanya dalam riwayat pertama tadi. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ib'nu Majah, seperti riwayat yang kedua.
Imam Turmuzi meriwayatkan melalui hadis Hakim ibnu Jabir —hanya di dalamnya terkandung ke-daif-an—, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لِكُلِّ شَيْءٍ سَنَامٌ وإن سنام الْقُرْآنِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَفِيهَا آيَةٌ هِيَ سَيِّدَةُ آيِ الْقُرْآنِ آيَةُ الْكُرْسِيِّ»
Segala sesuatu itu mempunyai punuk (puncak)nya tersendiri, sedangkan punuk Al-Qur'an adalah surat Al-Baqarah. Di dalamnya terkandung penghulu ayat-ayat Al-Qur'an, yaitu ayat Kursi.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Sahih Muslim, Sunan Turmuzi, dan Sunan Nasai disebutkan melalui hadis Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا تَجْعَلُوا بيوتكم قبورا فإن البيت الذي تقرأ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ لَا يَدْخُلُهُ الشَّيْطَانُ»
Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. karena sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah tidak akan kemasukan setan.
Menurut Imam Turmuzi hadis ini berpredikat hasan sahih.
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ الْقَاسِمُ بْنُ سَلَّامٍ: حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ سِنان بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ الشَّيْطَانَ يَخْرُجُ مِنَ الْبَيْتِ إِذَا سَمِعَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ تُقْرَأُ فِيهِ "
Abu Ubaidah Al-Qasim ibnu Salam mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ibnu Abu Maryam, dari Ibnu Abu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Sinan ibnu Sa'd, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya setan keluar dari suatu rumah bila ia mendengar surat Al-Baqarah dibacakan di dalamnya.
Sinan ibnu Sa'd menurut suatu pendapat disebutkan secara terbalik (yakni Sa'd ibnu Sinan) dinilai siqah oleh Ibnu Mu'in. Tetapi Imam Ahmad ibnu Hambal dan lain-lainnya menilai hadisnya berpredikat munkar.
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnu Jafar, dari Syu'bah dari Salamah ibnu Kahil, dari Abu Ahwas dari Ibnu Mas'ud r.a.— yang mengatakan bahwa sesungguhnya setan lari dari suatu rumah bila ia mendengar surat Al-Baqoroh dibacakan di dalamnya.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaum wal Lailah, dan diketengahkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis syu'bah, kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadis ini berpredikat shahih. dan keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
قَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ كَامِلٍ، حَدَّثَنَا أَبُو إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِيُّ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا ألْفَيَنَّ أحَدَكم، يَضَع إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى يَتَغَنَّى، وَيَدَعُ سُورَةَ الْبَقَرَةِ يَقْرَؤُهَا، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَفِرُّ مِنَ الْبَيْتِ تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ، وَإِنَّ أصفْرَ الْبُيُوتِ، الجَوْفُ الصِّفْر مِنْ كِتَابِ اللَّهِ "
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil. telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Ath-Thurmuzi- telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Sulaiman ibnu Bilal telah menceritakan kepadaku Abu Bakar ibnu Abu Uwais, dari Sulaiman ibnu Bilal, dari Muhammad ibnu Ajlan, dari Abu Ishaq, dari Abu Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Semoga aku tidak menjumpai seseorang di antara kalian sedang menumpangkan salah satu kakinya di atas kaki yang lain seraya bernyanyi, tetapi dia meninggalkan surat Al-Baqarah tanpa membacanya. Karena sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah di dalamnya. Sesungguhnya rumah yang paling kecil ialah sebuah rumah yang tidak pernah dibacakan Kitabullah di dalamnya.
Demikian riwayat Imam Nasai di dalam Al-Yaum wal Lailah. dari Muhammad ibnu Nasr, dari Ayyub ibnu Sulaiman.
Ad-Darimi di dalam kitab Musnad-nya meriwayatkan melalui Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Tiada suatu rumah pun dibacakan surat Al-Baqarah di dalamnya melainkan setan keluar darinya seraya terkentut-kentut (lari terbirit-birit)." Selanjutnya Ibnu Mas'ud r.a. mengatakan pula, "Sesungguhnya segala sesuatu itu mempunyai punuk, dan sesungguhnya punuk Al-Qur'an adalah surat Al-Baqarah. Sesungguhnya segala sesuatu itu mempunyai inti. sedangkan inti dari Al-Qur'an ialah surat Mufassal."
Ad-Darimi meriwayatkan pula melalui jalur Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud r.a. pernah mengatakan, "Barang siapa membaca sepuluh ayat dari surat Al-Baqarah di suatu malam hari, niscaya setan tidak akan dapat memasuki rumah itu pada malam tersebut. Yaitu empat ayat dari permulaan surat Al-Baqarah dan ayat Kursi, dua ayat sesudah ayat Kursi, kemudian tiga ayat pada bagian terakhir." Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa setan tidak dapat mendekati rumah itu, tidak dapat pula mendekati penghuninya pada malam tersebut, tidak pula sesuatu yang tidak disukai akan menimpanya. Tidak sekali-kali ia dibacakan terhadap orang gila melainkan pasti sadar dari penyakit gilanya.
Dari Sahl ibnu Sa'd, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ سَنَامًا وإن سنام القرآن البقرة وإن مَنْ قَرَأَهَا فِي بَيْتِهِ لَيْلَةً لَمْ يَدْخُلْهُ الشَّيْطَانُ ثَلَاثَ لَيَالٍ وَمَنْ قَرَأَهَا فِي بَيْتِهِ نَهَارًا لَمْ يَدْخُلْهُ الشَّيْطَانُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ»
Sesungguhnya segala sesuatu itu mempunyai punuk, dan sesungguhnya punuk Al-Qur'an adalah surat Al-Baqarah. Sesungguhnya orang yang membacanya di dalam rumah pada suatu malam, niscaya setan tidak akan dapat memasuki rumah itu selama tiga malam. Barang siapa membacanya di dalam rumah pada siang hari, niscaya setan tidak dapat memasukinya selama tiga hari.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abul Qasim At-Tabrani, Abu Hatim. dan Ibnu Hibban di dalam kitab Sahih-nya serta Ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Azraq ibnu Ali. Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Sa'id Al-Madani, dari Abu Hazim, dari Sahl dengan Lafaz yang sama. Sedangkan menurut riwayat ibnu Hibban, hanya dari Khalid ibnu Sa'id Al-Madini.
Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan:
مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ عَطَاءٍ مَوْلَى أَبِي أَحْمَدَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْثًا وَهُمْ ذَوُو عَدَدٍ، فَاسْتَقْرَأَهُمْ فَاسْتَقْرَأَ كُلّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ، يَعْنِي مَا مَعَهُ مِنَ الْقُرْآنِ، فَأَتَى عَلَى رَجُلٍ مِنْ أَحْدَثِهِمْ سِنًّا، فَقَالَ: " مَا مَعَكَ يَا فُلَانُ؟ " قَالَ: مَعِي كَذَا وَكَذَا وَسُورَةُ الْبَقَرَةِ، فَقَالَ: " أَمَعَكَ سُورَةُ الْبَقَرَةِ؟ " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: " اذْهَبْ فَأَنْتَ أَمِيرُهُمْ " فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِهِمْ: وَاللَّهِ مَا مَنَعَنِي أَنْ أَتَعَلَّمَ الْبَقَرَةَ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَلَّا أَقُومَ بِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " تعلموا القرآن واقرؤوه، فإن مثل القرآن لمن تعلمه فقرأ وَقَامَ بِهِ كَمَثَلِ جِرَابٍ مَحْشُوٍّ مسْكًا يَفُوحُ رِيحُهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ، وَمَثَلَ مَنْ تَعَلَّمَهُ، فَيَرْقُدُ وَهُوَ فِي جَوْفِهِ، كَمَثَلِ جِرَابٍ أوكِي عَلَى مِسْكٍ "
melalui hadis Abdul Hamid ibnu Ja'far dari Sa'id Al-Maqbari. dari Atha maula Abu Ahmad, dari Abu Hurairah r.a. yang mencerita-suatu delegasi yang jumlah mereka dapat dihitung, lalu beliau menyuruh mereka membaca Al-Quran. Masing-masing orang dari mereka membaca Al-Qur'an yang ia hafal, hingga giliran tiba pada seorang lelaki yang paling muda di antara mereka. Maka Nabi Saw. bersabda, "Hai Fulan, apa saja dari Al-Quran yang kamu hafal?" Lelaki itu menjawab, "Aku hafal surat anu dan surat anu. dan surat Al-Baqarah." Nabi Saw. bertanya, "Apakah kamu hafal surat Al-Baqarah?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda, "Berangkatlah, engkau adalah pemimpin mereka." Kemudian salah seorang dari mereka —yaitu orang yang paling dihormati di kalangan mereka— berkata, "Demi Allah, tidak sekali-kali aku segan belajar surat Al-Baqarah melainkan karena khawatir aku tidak dapat mengamalkannya." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Pelajarilah dan bacalah Al-Qur'an. karena sesungguhnya perumpamaan Al-Qur'an bagi orang yang mempelajarinya, membacanya dan mengamalkannya, seperti sebuah wadah yang penuh minyak kesturi, yakni bau wanginya menyebar ke setiap tempat. Dan perumpamaan orang yang mempelajarinya, lalu dia tidur, sedangkan Al-Qur'an telah dihafalnya, seperti sebuah wadah yang tertutup, di dalamnya terdapat minyak kesturi.
Demikianlah menurut lafaz riwayat Imam Turmuzi, kemudian dia mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan. Selanjutnya Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui hadis Al-Lais, dari Sa'id, dari Ata maula Abu Ahmad secara mursal.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: وَقَالَ اللَّيْثُ: حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ الْهَادِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أسَيد بْنِ حُضَير قَالَ: بَيْنَمَا هُوَ يَقْرَأُ مِنَ اللَّيْلِ سُورَةَ الْبَقَرَةِ، وَفَرَسُهُ مَرْبُوطَةٌ عِنْدَهُ، إِذْ جَالَتِ الْفَرَسُ، فَسَكَتَ، فسكَنتْ، فَقَرَأَ فَجَالَتِ الْفَرَسُ، فَسَكَتَ، فَسَكَنَتْ، ثُمَّ قَرَأَ فَجَالَتِ الْفَرَسُ، فَانْصَرَفَ، وَكَانَ ابْنُهُ يَحْيَى قَرِيبًا مِنْهَا. فَأَشْفَقَ أَنْ تُصِيبَهُ، فَلَمَّا أَخَذَهُ رَفْعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى مَا يَرَاهَا، فَلَمَّا أَصْبَحَ حَدَّثَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " اقْرَأْ يَا ابْنَ حُضَير". قَالَ: فَأَشْفَقْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْ تَطَأَ يَحْيَى، وَكَانَ مِنْهَا قَرِيبًا، فَرَفَعْتُ رَأْسِي وَانْصَرَفْتُ إِلَيْهِ، فَرَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى السَّمَاءِ، فَإِذَا مِثْلُ الظُّلَّة فِيهَا أَمْثَالُ الْمَصَابِيحِ، فَخَرَجْتُ حَتَّى لَا أَرَاهَا، قَالَ: " وَتَدْرِي مَا ذَاكَ؟ ". قَالَ: لَا. قَالَ: " تِلْكَ الْمَلَائِكَةُ دَنَتْ لِصَوْتِكَ وَلَوْ قَرَأْتَ لَأَصْبَحَتْ  يَنْظُرُ النَّاسُ إِلَيْهَا لَا تَتَوَارَى مِنْهُمْ
Imam Bukhari mengatakan, Al-Lais pernah berkata bahwa telah menceritakan kepadanya Yazid ibnul Had, dari Muhammad ibnu Ibrahim, dari Usaid ibnu Hudair r.a. yang menceritakan: Ketika dia sedang membaca surat Al-Baqarah di suatu malam. sedangkan kuda tunggangannya dalam keadaan tertambat di dekatnya, tiba-tiba kudanya gelisah: lalu ia berhenti dari bacaannya, maka kudanya pun diam. Ia meneruskan bacaannya, ternyata kudanya tampak gelisah lagi. Maka ia berhenti dari bacaannya, dan ternyata kudanya tenang kembali. Kemudian ia meneruskan bacaannya ternyata kudanya tampak gelisah. akhirnya dia menghehtikan bacaannya sama sekali, lalu bangkit ke arah anaknya —Yahya— yang berada di dekat kuda tersebut. Ia merasa khawatir bila anaknya terdepak oleh kudanya. Ketika ia mengambil anaknya, ia mengarahkan pandangannya ke langit (ternyata ia melihat sesuatu yang aneh) hingga sesuatu itu tidak tampak lagi. Pada pagi harinya ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw. Beliau menjawab, "Mengapa engkau tidak meneruskan bacaanmu, hai Ibnu Hudair?" Ia menjawab, "Aku merasa khawatir terhadap Yahya, wahai Rasulullah; karena dia berada di dekat kuda itu. Ketika aku menghentikan bacaanku dan aku menuju kepada Yahya, lalu aku memandang ke arah langit. tiba-tiba kulihat sesuatu seperti naungan di dalamnya terdapat banyak cahaya seperti pelita-pelita yang gemerlapan. Lalu aku keluar ke tanah lapang dan terus memandangnya hingga hilang dari pandanganku." Nabi Saw.-bertanya, "Tahukah kamu, apakah itu?" Usaid ibnu Hadir menjawab, "Tidak." Nabi Saw. menjawab:  Itu adalah para malaikat yang turun karena suaramu. Seandainya kamu membaca(nya terus hingga pagi hari), niscaya para malaikat itu tetap ada sampai pagi hari; semua orang akan dapat melihatnya dan tidak dapat menyembunyikan dirinya dari pandangan mereka.
Begitu pula menurut riwayat Imam Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitab Fadailil, dari Abdullah ibnu Saleh dan Yahya ibnu Bukair Dari Laits dengan lafaz yang sama. Akan tetapi, dia pun telah meriwayatkarmya pula melalui jalur lain dari Usaid ibnu Hudair, seperti hadits diatas.
Hal yang sama pernah dialami pula oleh Sabit ibnu Qais ibnu Syimas ra, yang kisahnya diriwayatkan oleh Abu Ubaid. Abu Ubaid mengatakan:
حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ عَبَّادٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ يَزِيدَ: أَنَّ أَشْيَاخَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ حَدَّثُوهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قِيلَ لَهُ: أَلَمْ تَرَ ثَابِتَ بْنَ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ؟ لَمْ تَزَلْ دَارُهُ الْبَارِحَةَ تُزْهِرُ مَصَابِيحَ، قَالَ: " فَلَعَلَّهُ قَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ ". قَالَ: فَسُئِلَ ثَابِتٌ، فَقَالَ: قَرَأْتُ سُورَةَ الْبَقَرَةِ
telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Abbad, dan Jarir Ibnu Hazm, dari pamannya—Jarir ibnu Yazid— bahwa para syaikh di Madinah telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah saw mendapat berita.”Tidakkah engkau melihat rumah sabit ibnu Qais Syimas? Tadi malam rumahnya terus-menerus memperoleh cahaya pelita yang gemerlapan." Nabi Saw. menjawab.”Barangkali"; dia membaca surat Al-Baqarah." Lalu aku (perawi hadis) bertanya kepada Sabit, dan Sabit menjawab, "Aku memang membaca surat Al-Baqarah."
Sanad hadis ini jayyid, hanya saja di dalamnya masih terdapat nama perawi -yang tidak disebutkan dengan jelas (ibham), kemudian hadis ini berpredikat mursal. 

Keutamaan Surat Al-Baqarah dan Ali Imran

(ذِكْرُ مَا وَرَدَ فِي فَضْلِهَا مَعَ آلِ عِمْرَانَ)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا بَشِيرُ بْنُ مُهَاجِرٍ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: " تَعَلَّمُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ، وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ ". قَالَ: ثُمَّ سَكَتَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ: " تَعَلَّمُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، وَآلَ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا الزَّهْرَاوَانِ، يُظلان صَاحِبَهُمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ غَيَايَتَانِ، أَوْ فرْقان مِنْ طَيْرٍ صَوافّ، وَإِنَّ الْقُرْآنَ يَلْقَى صَاحِبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِينَ يَنْشَقُّ عَنْهُ قَبْرُهُ كَالرَّجُلِ الشَّاحِبِ، فَيَقُولُ لَهُ: هَلْ تَعْرِفُنِي؟ فَيَقُولُ: مَا أَعْرِفُكَ. فَيَقُولُ: أَنَا صَاحِبُكَ الْقُرْآنُ الَّذِي أَظْمَأْتُكَ فِي الْهَوَاجِرِ، وَأَسْهَرْتُ لَيْلَكَ، وَإِنَّ كُلَّ تَاجِرٍ مِنْ وَرَاءِ تِجَارَتِهِ، وَإِنَّكَ الْيَوْمَ مِنْ وَرَاءِ كُلِّ تِجَارَةٍ. فَيُعْطَى الْمُلْكَ بِيَمِينِهِ وَالْخُلْدَ بِشِمَالِهِ، وَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ تَاجُ الْوَقَارِ، وَيُكْسَى وَالِدَاهُ حُلَّتَيْنِ، لَا يَقُومُ لَهُمَا أَهْلُ الدُّنْيَا، فَيَقُولَانِ: بِمَ كُسِينَا هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِأَخْذِ وَلَدِكُمَا الْقُرْآنَ، ثُمَّ يُقَالُ: اقْرَأْ وَاصْعَدْ فِي دَرَج الْجَنَّةِ وَغُرَفِهَا، فَهُوَ فِي صُعُودٍ مَا دَامَ يَقْرَأُ هَذًّا كَانَ أَوْ تَرْتِيلًا ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, yaitu Bisyr ibnu Muhajir; telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Buraidah, dari ayahnya yang menceritakan: Ketika ia berada di hadapan Nabi Saw., ia mendengar Nabi bersabda: Pelajarilah surat Al-Baqarah, karena sesungguhnya mengambil surat Al-Baqarah membawa berkah, dan meninggalkannya mengakibatkan penyesalan, dan sihir tidak dapat mengenai pemiliknya. Nabi Saw. diam sesaat, kemudian bersabda lagi, "Pelajarilah surat Al-Baqarah dan surat Ali Imran, sesungguhnya kedua surat tersebut adalah zahrawani (dua surat yang bercahaya) menaungi pemiliknya kelak di hari kiamat, seakan-akan seperti dua gumpalan awan atau dua buah naungan atau dua kelompok besar burung-burung yang terbang berbaris (menaunginya). Sesungguhnya Al-Qur'an bakal menemui pemiliknya di hari kiamat di saat kuburan terbelah mengeluarkannya. Al-Qur'an menjelma sebagai seorang lelaki, lalu berkata kepada pemiliknya, " Apakah engkau mengenalku?" Ia menjawab, "Aku tidak mengenalmu." Al-Qur'an berkata, "Aku adalah temanmu yang membuatmu haus di siang hari dan membuatmu begadang di malam harinya. Sesungguhnya setiap pedagang itu memperoleh keuntungan di balik perdagangannya, dan sesungguhnya kamu sekarang memperoleh keuntungan dari semua perdagangan." Kemudian ia diberi kerajaan dari sebelah kanannya dan diberi kekekalan di sebelah kirinya, dipakaikan pada kepalanya sebuah mahkota keagungan, dan kedua orang tuanya diberi pakaian perhiasan yang jauh lebih berharga daripada apa yang ada di dunia. Lalu kedua orang tuanya bertanya, "Mengapa kami berdua diberi pakaian ini?" lalu dijawab, "Karena anakmu hafal Al-Qur'an." Kemudian dikatakan, "Bacalah dan naiklah ke tangga surga serta kenalilah!" Dia masih terus dalam keadaan menaikinya selama membacakannya atau men-tartil-kannya.
Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Bisyr ibnul Muhajir sebagian dari hadis di atas. Sanad hadis ini berpredikat hasan dengan syarat Imam Muslim, mengingat Bisyr yang ini hadisnya diketengahkan pula oleh Imam Muslim dan dinilai siqah oleh Ibnu Mu'in. Imam Nasai mengatakan bahwa hadis Bisyr dapat dipakai sebagai dalil (hujah).
Akan tetapi Imam Ahmad mengatakan, bahwa hadis yang diriwayatkan Bisyr berpredikat munkar.”Pada mulanya aku memakai hadis-hadisnya, tetapi ternyata hadis-hadisnya itu mendatangkan hal-hal yang mengherankan." Imam Bukhari mengatakan pada sebagian hadis bahwa Bisyr ibnul Muhajir memang berbeda. Imam Abu Hatim mengatakan bahwa hadis Bisyr dapat dicatat (diterima), tetapi tidak dapat dijadikan sebagai hujah. Ibnu Addi mengatakan, Bisyr meriwayatkan hadis-hadis yang tidak dapat diikuti. Imam Daruqutni mengatakan Bisyr orangnya tidak kuat.
Akan tetapi, menurut kami sebagian hadits diatas mempunyai syawahid (saksi penguat), antara lain ialah hadis Abu Umamah Al-Bahili;
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَّامٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: " اقرؤوا القرآن فإنه شافع لأهله يوم القيامة، اقرؤوا الزَّهْرَاوَيْنِ: الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا يَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ، أَوْ كأنهما فِرْقان من طير صواف يحاجان عن أهلهما "ثم قال: " اقرؤوا البقرة فإن أخذها بركة ، وتركها حسرة، ولا تستطيعها الْبَطَلَةُ "
Imam Ahmad mengatakan telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya Ibnu Abi Katsir, dari Abu Salam, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: Bacalah Al-Qur'an, karena sesungguhnya Al-Qur'an memberi syafaat kepada pembacanya kelak di hari kiamat. Bacalah surat zahrawani —yaitu Al-Baqarah dan Ali Imran— karena sesungguhnya keduanya akan datang di hari kiamat bagaikan dua awan atau dua naungan atau dua kelompok besar burung yang terbang berbaris; keduanya akan datang membela para pembacanya. Bacalah surat Al-Baqarah, karena sesungguhnya mengambilnya akan membawa berkah, dan meninggalkannya akan mengakibatkan kekecewaan, para tukang sihir tidak akan mampu menghafalnya.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Muslim di dalam Kitab Salat melalui hadis Mu'awiyah ibnu Salam, dari saudara lelakinya (Zaid ibnu Salam), dari kakeknya (Abu Salam Mamtur Al-Habsyi), dari Abu Umamah Suda ibnu Ajlan Al-Bahili dengan lafaz yang sama.
Az-zahrawani, keduanya bercahaya.
Al-gayayah. sesuatu yang menaungimu dari atasmu.
Al-farq, sekumpulan dari sesuatu.
As-sawaf, berbaris dengan rapat.
Al-batalah, tukang-tukang sihir.
La tastati'uha, para ahli sihir tidak akan mampu menghafalnya. Menurut pendapat lain, ulah tukang sihir tidak akan mampu menembus pembacanya.
Bukti lainnya ialah hadis An-Nawwas ibnu Sam'an;
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُهَاجِرٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الجُرَشي، عَنْ جُبَير بْنِ نُفَير، قَالَ: سَمِعْتُ النَّوَّاسَ بْنَ سَمْعَانَ الْكِلَابِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " يُؤْتَى بِالْقُرْآنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَهْلُهُ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ، تَقْدُمُهُمْ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَآلُ عِمْرَانَ ". وَضَرَبَ لَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَمْثَالٍ مَا نَسِيتُهُنَّ بَعْدُ، قَالَ: " كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ ظُلَّتَانِ سَوْدَاوَانِ بَيْنَهُمَا شَرْق، أَوْ كَأَنَّهُمَا فرْقَان مِنْ طَيْرٍ صَوَاف يُحَاجَّان عَنْ صَاحِبِهِمَا "
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdul Rabihi, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Muhammad ibnu Muhajir, dari Al-Walid ibnu Abdur Rahman Al-Jarasyi, dari Jabir ibnu Nafir; ia pernah mendengar An-Nawwas ibnu Sam'an Al-Kilabi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Kelak di hari kiamat didatangkan Al-Qur'an bersama dengan ahlinya yang mengamalkannya, yang berada di depan mereka adalah surat Al-Baqarah dan surat Ali Imran. Kemudian Rasulullah Saw. membuat tiga buah perumpamaan yang tidak pernah ia lupakan sesudahnya. Beliau Saw. bersabda: Seakan-akan kedua surat itu bagaikan dua awan atau dua naungan yang hitam, di antara keduanya terdapat cahaya, atau keduanya seperti dua kelompok burung yang bersaf keduanya membela pemiliknya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Ishaq ibnu Mansur, dari Yazid ibnu Abdu Rabbihi dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Al-Walid ibnu Abdur Rahman Al-Jarasyi dengan lafaz yang sama. Ia mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib.
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Hammad ibnu Salamah, dari Abdul Malik ibnu Umair yang mengatakan bahwa Hammad menduga hadis ini dari Abu Munib, dari pamannya; ada seorang lelaki membaca surat Al-Baqarah dan surat Ali Irnran setelah ia selesai dari salat Maka Ka'b bertanya, "Apakah engkau membaca surat Al-Baqarah dan surat Ali Imran?" Lelaki itu menjawab.”Ya." Ka'b berkata, "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya di dalam kedua surat itu terdapat asma Allah; bila disebutkan dalam suatu doa, niscaya akan diperkenankan. Abu Munib mengatakan, "Beri tahukanlah isim itu kepadaku! Pamannya menjawab, Tidak, demi Allah, aku tidak akan menceritakannya kepadamu. Seandainya aku menceritakannya kepadamu niscaya dalam waktu dekat kamu akan menyebutnya dalam doa untuk keluargamu yang di dalamnya terlibat aku dan kamu."
Abu Ubaid mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Salim ibnu Amir. bahwa ia pernah mendengar Abu Umamah mengatakan, "Sesungguhnya ada seorang dari saudara kalian bermimpi dalam tidurnya melihat sejumlah manusia menempuh jalan lereng suatu bukit yang terjal lagi panjang, sedangkan di atas puncak bukit itu terdapat dua buah pohon yang kedua-duanya tampak hijau (subur). Kedua pohon ku bersuara dan mengatakan. 'Apakah di antara kalian terdapat orang yang dapat membaca surat Al-Baqarah? Apakah di antara kalian ada orang yang dapat membaca surat Ali Imran'?" Abu Umamah melanjutkan kisahnya, "Apabila ada seorang menjawab, 'Ya,' maka kedua pohon itu menjulurkan ranting-rantingnya mendekat ke arah lelaki tersebut hingga lelaki itu dapat bergantungan padanya, lalu membawanya naik ke atas puncak bukit."
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, dari Mu'awiyah ibnu Saleh. dari Abu Imran; ia pernah mendengar Ummu Darda menceritakan kisah berikut, "Seorang lelaki dari kalangan orang-orang yang hafal Al-Qur'an menyerang seorang tetangganya dan membunuhnya, kemudian ia terkena qisas dan dihukum mati. Maka Al-Qur'an keluar meninggalkannya satu surat demi satu surat secara terus-menerus, hingga yang tertinggal hanya surat Al-Baqarah dan surat Ali Imran selama satu Jumat. Kemudian surat Ali Imran pergi pula meninggalkannya, dan surat Al-Baqarah tinggal selama satu Jumat. Kemudian dikatakan kepadanya:
مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَما أَنَا بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku. (Qaf: 29)
Lalu surat Al-Baqarah keluar, wujudnya seperti gumpalan awan yang besar. Abu Ubaidah mengatakan bahwa dia memimpikan kedua surat tersebut menemani lelaki itu di dalam kuburnya. membelanya. dan menghiburnya. Kedua surat itu merupakan bagian dari Al-Qur'an yang tetap bersamanya.
Abu Ubaid mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Misar Al-Gassani, dari Sa'id ibnu Abdul Aziz At-Tanukhi, bahwa Yazid ibnul Aswad Al-Jarasyi pernah menceritakan, "Barang siapa yang membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran di siang hari, maka dia bebas dari nifaq (sifat munafik) sampai petang harinya. Dan barang siapa yang membacanya di malam hari. maka dia bebas dari nifaq hingga pagi harinya." Perawi mengatakan bahwa Yazid ibnul Aswad Al-Jarasyi selalu membaca kedua surat tersebut setiap siang dan malam hari selain dari satu juz wiridnya.
Telah menceritakan kepada kami Yazid, dari Warqa ibnu Iyas, dari Sa'id ibnu Jabir yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan, "Barang siapa membaca surat Al-Baqarah dan surat Ali Imran di malam hari, dia dicatat termasuk orang-orang yang beribadah." Di dalam asar ini terdapat inqita (sanad yang terputus), tetapi telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain bahwa Rasulullah Saw. membaca kedua surat ini dalam satu rakaat.

Keutamaan tujuh surat yang panjang-panjang

ذِكْرُ ما ورد في فضل السبع الطوال
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الدِّمَشْقِيُّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " أُعْطِيتُ السَّبْعَ الطُّوال مَكَانَ التَّوْرَاةِ، وَأُعْطِيتُ الْمِئِينَ مَكَانَ الْإِنْجِيلِ، وَأُعْطِيتُ الْمَثَانِيَ مَكَانَ الزَّبُورِ، وَفُضِّلْتُ بِالْمُفَصَّلِ "
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ismail Ad-Dimasyqi, dari Muhammad ibnu Syu'aib, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Abul Malih, dari Wa'ilah ibnul Asqa, dari Nabi Saw. yang pernah bersabda: Aku dianugerahi tujuh surat yang panjang-panjang untuk mengimbangi kitab Taurat, dan aku dianugerahi dua ratus ayat untuk mengimbangi kitab Injil, dan aku dianugerahi Al-Masani untuk mengimbangi kitab Zabur, dan aku diberi keutamaan melalui surat-surat Mufassal
Predikat hadits ini gharib, mengingat Sa'id ibnu Basyir mempunyai Kelemahan. Akan tetapi, hadis ini diriwajatkan pula oleh Abu Ubaid, dari ABDULAH IBNU SALEH dari Al-Laits. dari Sa'id ibnu Abul Hilal Yang menceritakan.”Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah saw pernah bersabda. hingga akhir hadis."
Abu Ubaid mengatakan:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو، مَوْلَى الْمُطَّلِبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْطَبٍ، عَنْ حبيب بن هند الأسلمي، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ أَخَذَ السَّبْعَ فَهُوَ حَبْر"
telah menceritakan kepada kami Ismail Ibnu Ja'far. dari Amr ibnu Abu Amr maula Al-Muttalib ibnu Abdullah Ibnu Hantab, dari Habib ibnu Hindun Al-Aslami, dari Urwah, dari Aisyah r.a.. dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa yang mengambil (hafal) tujuh (surat yang panjang-panjang), maka dia adalah orang alim.
Hadis ini pun berpredikat garib. Habib yang dimaksud dalam sanad hadis ini adalah Habib ibnu Hindun ibnu Asma ibnu Hindab ibnu Harisah Al-Aslami. Orang-orang yang telah meriwayatkan hadis darinya ialah Amr ibnu Abu Amr dan Abdullah ibnu Abu Bakrah. Abu Hatim Ar-Razi menyebutnya (yakni autobiografinya), tetapi dia tidak menyebut suatu cela pun tentangnya.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad ibnu Sulaiman ibnu Daud dan Husain, keduanya menerima hadis ini dari Ismail ibnu Ja'far dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula oleh Abu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Bilal, dari Habib ibnu Hindun, dari Urwah, dari Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«مَنْ أَخَذَ السَّبْعَ الْأُوَلَ مِنَ الْقُرْآنِ فَهُوَ حَبْرٌ»
Barang siapa yang mengambil (hafal) tujuh surat yang pertama dari Al-Qur'an, maka dia adalah orang yang alim.
Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. hadis yang semisal.
Abdullah ibnu Ahmad mengatakan, "Menurutku hadis ini di dalam sanadnya terdapat ayah Al-A'raj (lalu dari Abu Hurairah), tetapi memang demikianlah yang termaktub di dalam kitab ayahku. Aku tidak mengerti apakah ayahku memang lupa atau memang hadis ini mursal."
Imam Turmuzi meriwayatkan sebuah hadis melalui Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah mengirimkan suatu delegasi sebagai utusan yang jumlahnya dapat dihitung. Ternyata beliau Saw. mendahulukan orang yang termuda usianya di kalangan mereka karena dia hafal surat Al-Baqarah. Beliau Saw. bersabda kepadanya:
«اذهب فأنت أميرهم»
Berangkatlah, engkau menjadi pemimpin mereka!
Hadis ini dinilai sahih oleh Imam Turmuzi.
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya:
وَلَقَدْ آتَيْناكَ سَبْعاً مِنَ الْمَثانِي
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu Sab'ul Masani. (Al-Hijr: 87)
Abu Ubaid mengatakan, "Yang dimaksud dengan Sab'ul Masani ini adalah tujuh buah surat yang panjang-panjang, yaitu surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah, Al-An'am, Al-A'raf. dan surat Yunus.
Abu Ubaid mengatakan bahwa Mujahid telah mengatakan, Yang dimaksud adalah tujuh surat yang panjang-panjang."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Makhul, Atiyyah ibnu Qais, Abu Muhammad Al-Farisi, Syaddad ibnu Aus, dan Yahya ibnul Haris Az-Zimari sehubungan dengan tafsir ayat tersebut; salah satu di antaranya adalah surat Yunus yang merupakan surat ketujuhnya.

Fasal Al-Baqoroh Turun di Madinah

فصل-[البقرة نزلت بالمدينة]
Surat Al-Baqarah secara keseluruhan adalah Madaniyah tanpa ada yang memperselisihkannya. Surat Al-Baqarah merupakan surat yang mula-mula diturunkan di Madinah. Akan tetapi, firman Allah swt yang terdapat di dalamnya, yaitu: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu sekalian dikembalikan kepada Allah. (Al-Baqarah: 281)
Menurut suatu pendapat, ayat ini merupakan ayat Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan. Tetapi dapat pula dihipotesiskan bahwa ayat ini memang salah satu di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan dari Al-Qur'an, sebagaimana pula ayat-ayat yang menerangkan tentang riba.
Khalid ibnu Ma'dan mengatakan, "Surat Al-Baqarah adalah fustat (perhiasan) Al-Qur'an." Sebagian ulama mengatakan bahwa surat Al-Baqarah mengandung seribu kalimat berita, seribu kalimat perintah, dan seribu kalimat larangan. Sedangkan menurut orang-orang yang menghitungnya. di dalamnya terdapat 287 ayat, 6.221 kalimat, dan hurufhya berjumlah 25.500."
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata dari Ibnu Abbas, bahwa surat Al-Baqarah diturunkan di Madinah. Khasif mengatakan dari Mujahid. dari Abdullah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa surat Al-Baqarah diturunkan di Madinah. Al-Waqidi mengatakan, telah menceritakan kepadaku Dahhak ibnu Usman, dari Abuz Zanad, dari Kharijah ibnu Zaid ibnu Sabit, dari ayahnya yang mengatakan bahwa surat Al-Baqarah diturunkan di Madinah. Demikianlah hal yang dikatakan bukan hanya oleh seorang ulama saja, semuanya dari kalangan para imam dan para ulama ahli tafsir; tiada perselisihan di kalangan mereka.
قَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَر، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْوَلِيدِ [الْفَارِسِيُّ] حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا عُبيس بْنُ مَيْمُونٍ، عَنْ مُوسَى بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا تَقُولُوا: سُورَةُ الْبَقَرَةِ، وَلَا سُورَةُ آلِ عِمْرَانَ، وَلَا سُورَةُ النِّسَاءِ، وَكَذَا الْقُرْآنُ كُلُّهُ، وَلَكِنْ قُولُوا: السُّورَةُ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا الْبَقَرَةُ، وَالَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا آلُ عِمْرَانَ، وَكَذَا الْقُرْآنُ كُلُّهُ "
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali ibnul Walid Al-Farisi, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Maimun, dari Musa ibnu Anas ibnu Malik, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jangan kalian katakan surat Al-Baqarah, jangan surat Ali Imran, jangan pula surat An-Nisa dengan sebutan demikian terhadap Al-Qur'an seluruhnya, melainkan katakanlah oleh kalian surat yang di dalamnya disebutkan kisah sapi betina (Al-Baqarah) dan surat yang di dalamnya disebutkan kisah keluarga Imran (Ali Imran), demikianlah seterusnya terhadap Al-Qur'an seluruhnya.
Hadis ini berpredikat garib, predikat marfu'-nya tidak sahih. Sedangkan Isa ibnu Maimun yang disebutkan di atas, nama julukannya adalah Abu Salamah Al-Khawwas; dia orangnya dhaif dalam hal periwayatan. hadisnya pun tidak dapat dipakai untuk hujah.
Telah diriwayatkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Mas'ud,
أَنَّهُ رَمَى الْجَمْرَةَ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي، فَجَعَلَ الْبَيْتَ عَنْ يَسَارِهِ، وَمِنَى عَنْ يَمِينِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذَا مَقَامُ الَّذِي أُنْزِلَتْ عَلَيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
bahwa Ibnu Mas'ud pernah melempar jumrah dari perut lembah, dengan mengambil posisi Ka'bah berada di sebelah kirinya dan Mina di sebelah kanannya, kemudian dia mengatakan, "Ini adalah tempat diturunkan surat Al-Baqarah."
Imam Bukhari dan Imam Muslim sendirilah yang mengetengahkan hadis ini.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Syu'bah, dari Uqail ibnu Talhah, dari Utbah ibnu Marsad yang mengatakan bahwa Nabi Saw. melihat sahabat-sahabatnya mundur, maka beliau berseru, "Hai para pemilik surat Al-Baqarah, (majulah)!"
Menurut kami, peristiwa tersebut terjadi dalam Perang Hunain, yaitu di saat pasukan kaum muslim terpukul mundur; maka beliau Saw. memerintahkan kepada Al-Abbas untuk menyeru mereka dengan seruan ini, yaitu: "Hai para pemilik baiat Syajarah!", yakni ahli baiat Ridwan. Menurut riwayat yang lain disebutkan, "Hai para pemilik surat Al-Baqarah!" Tujuannya ialah untuk menyemangatkan mereka dengan seruan tersebut; ternyata sesudah seruan itu mereka maju kembali dari segala penjuru.
Hal yang sama dilakukan pula dalam Perang Yamamah ketika menghadapi para pengikut Musailamah Al-Kazzab. Saat itu para sahabat terpukul mundur karena banyaknya pasukan Bani Hanifah (pasukan musailamah). Lalu kaum Muhajir dan kaum Ansar menyerukan seruan, 'Hai para pemilik surat Al-Baqarah," hingga Allah memberi kemenangan kepada pasukan-pasukan sahabat-sahabat Rasulullah Saw.

Al-Baqarah, ayat 1

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
{ الم 1}
Alif lam mim
Para ulama tafsir berselisih pendapat sehubungan dengan huruf-huruf yang mengawali banyak surat Al-Qur'an. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah Swt. saja, maka untuk mengetahui maknanya mereka mengembalikannya kepada Allah Swt. dan tidak berani menafsirkannya.
Demikianlah menurut riwayat Al-Qurtubi di dalam kitab Tafsir-nya melalui Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan Ibnu Mas'ud, semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka. Hal yang sama dikatakan pula oleh Amir Asy-Sya'bi, Sufyan As-Sauri, dan Ar-Rabi' ibnu Khaisam, dan dipilih oleh Abu Hatim dan Ibnu Hibban.
Di antara mereka ada yang menafsirkan, dan mereka berselisih pendapat mengenai maknanya. Menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, sesungguhnya huruf-huruf tersebut merupakan nama-nama surat yang bersangkutan. Abul Qasim Mahmud ibnu Umar Az-Zamakhsyari di dalam kitab Tafsir-nya —yang kemudian diikuti oleh kebanyakan ulama— mengatakan hal yang sama.
Telah dinukil dari Imam Sibawaih bahwa dia mengatakan hal yang serupa dan ia memperkuat pendapatnya itu dengan hadis yang disebut di dalam kitab Sahihain melalui Abu Hurairah r.a.:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ الم السَّجْدَةِ وهَلْ أَتى عَلَى الْإِنْسانِ
Rasulullah Saw. membaca surat Alif lam mim sajdah dan Hal ata 'alal insani dalam salat Subuh hari Jumat.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Alif lam mim, Ha mim, Alif lam mim sad, dan Shad merupakan pembuka-pembuka surat yang diberlakukan oleh-Nya dalam Al-Qur'an. Hal yang sama dikatakan pula oleh selainnya, dari Mujahid.
Mujahid —menurut riwayat Abu Huzaifah Musa ibnu Mas'ud, dari Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sendiri— mengatakan bahwa Alif lam mim merupakan salah satu asma Al-Qur'an. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam. Barangkali pendapat ini merujuk kepada pendapat Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dalam hal makna, yaitu bahwa nama tersebut merupakan salah satu nama surat yang bersangkutan; karena sesungguhnya setiap surat dinamakan "Al-Qur'an". Tetapi tidak masuk akal bila Alif lam mim sad —misalnya— dianggap sebagai nama Al-Qur'an seluruhnya, karena sesungguhnya pengertian yang sampai terlebih dahulu ke dalam pemahaman seseorang yang mendengar orang lain mengatakan, "Aku telah membaca Alif lam mim sad," ialah bahwa orang tersebut telah membaca surat Al-A'raf, bukan Al-Qur'an seluruhnya.
Menurut suatu pendapat, huruf-huruf tersebut merupakan salah satu nama Allah Swt. Asy-Sya'bi mengatakan, fawatihus suwar adalah asma-asma Allah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Salim ibnu Abdullah dan Ismail ibnu Abdur Rahman As-Saddiyyul Kabir. Syu'bah mengatakan dari As-Saddi. telah sampai kepadanya suatu berita bahwa Ibnu Abbas mengatakan, "Alif lam mim merupakan salah satu asma Allah Yang Teragung." Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Syu'bah.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Bandar, dari Ibnu Mahdi, dari Syu'bah yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada As-Saddi mengenai Hamim ta sin dan Alif lam mim. Ia menjawab bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan, "Hal itu merupakan salah satu asma Allah yang Teragung." Ibnu Jarir mengatakan. telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abun Nu'man, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Ismail As-Saddi, dari Murrah Al-Hamadani yang mengatakan bahwa Abdullah pernah mengatakan hal yang serupa. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ali dan Ibnu Abbas.
Ali ibnu Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa hal itu merupakan qasam (sumpah) yang dipakai oleh Allah dalam sumpah-Nya karena merupakan salah satu dari asma-asma-Nya. Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Ulayyah, dari Khalid Al-Hazza, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Alif lam mim merupakan qasam (sumpah). Keduanya meriwayatkan pula melalui hadis Syarik ibnu Abdullah, dari Ata ibnus Sa'ib, dari Abud Duha, dari ibnu Abbas, bahwa makna Alif lam mim ialah Anallahu 'alam (Aku Allah Yang Maha Mengetahui). Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jabir, dan As-Saddi mengatakannya dari Abu Malik.
Abu Saleh meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan Murrah Al-Hamadani meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah orang-orang dari kalangan sahabat Nabi Saw., bahwa Alif lam mim merupakan huruf-huruf yang dipakai untuk pembukaan; semuanya berasal dari ejaan hijaiyyah asma-asma Allah.
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi', dari Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman Allah Swt., "Alif lam mim." Ketiga huruf ini merupakan bagian dari dua puluh sembilan huruf yang berlaku di kalangan semua bahasa. Tiada suatu huruf pun dari (ketiga)nya melainkan huruf tersebut adalah huruf pertama dari salah satu asma Allah Swt. Tiada suatu huruf pun darinya melainkan merupakan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya, dan tiada suatu huruf pun darinya melainkan di dalamnya terkandung masa hidup suatu kaum dan ajal mereka. Isa ibnu Maryam a.s. mengatakan sebagai ungkapan dari keheranannya, "Aku heran, mereka mengucapkan asma-asma-Nya dan hidup dengan rezeki-Nya, tetapi mengapa mereka kafir terhadap-Nya?" Huruf alif merupakan huruf pertama dari asma Allah, huruf lam merupakan kunci asma-Nya Latif {Yang Mahalembut), dan huruf mim merupakan kunci dari asma-Nya Majid (Yang Mahaagung). Huruf alif adalah tanda-tanda kebesaran Allah, huruf lam adalah sifat Latif Allah, sedangkan huruf mim sifat Majdullah. Huruf alif menunjukkan masa satu tahun, huruf lam menunjukkan masa tiga puluh tahun, dan huruf mim menunjukkan empat puluh tahun.
Ini adalah lafaz Ibnu Abu Hatim. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, kemudian Ibnu Jarir mengarahkan pendapat-pendapat tersebut dan menyelaraskan di antara sesamanya, akhirnya dia sampai pada suatu kesimpulan bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan di antara satu pendapat dengan yang lainnya. Semua pendapat tersebut dapat digabungkan dalam suatu kesimpulan, yaitu "huruf-huruf tersebut merupakan nama surat-surat, nama asma-asma-Nya, dan pendahuluan surat-surat". Setiap huruf menunjukkan suatu asma atau suatu sifat Allah Swt., sebagaimana membuka banyak surat dalam Al-Qur'an dengan memuji, bertasbih, dan mengagungkan nama-Nya. Ibnu Jarir melanjutkan, bahwa tidak menutup kemungkinan bilamana sebagian dari huruf-huruf itu menunjukkan salah satu dari asma-asma Allah dan salah satu dari sifat-sifat-Nya; juga menunjukkan suatu masa atau lain sebagainya, sebagaimana yang disebut oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dari Abul Aliyah. Dikatakan demikian karena satu kalimat diucapkan untuk menunjukkan banyak makna, contohnya lafaz al-ummah. Lafaz al-ummah adakalanya bermakna agama, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
إِنَّا وَجَدْنا آباءَنا عَلى أُمَّةٍ
Sesungguhnya kami menjumpai bapak-bapak kami menganut suatu agama. (Az-Zukhruf: 22)
Adakalanya diucapkan untuk menunjukkan makna "jamaah", seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّ إِبْراهِيمَ كانَ أُمَّةً قانِتاً لِلَّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya Ibrahim adalah seoraug imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (An-Nahl: 120)
وَلَقَدْ بَعَثْنا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat. (An-Nahl: 36)
Adakalanya untuk menunjukkan makna "suatu waktu dari suatu masa", seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَقالَ الَّذِي نَجا مِنْهُما وَادَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ
Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya. (Yusuf: 45)
Makna yang dimaksud ialah "sesudah lewat beberapa waktu", menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat.
Demikianlah kesimpulan pendapat Ibnu jarir secara terarah, tetapi tidak seperti apa yang dikemukakan oleh Abul Aliyah, karena Abul Aliyah menduga bahwa huruf tersebut menunjukkan makna anu dan makna ini serta makna itu secara bersamaan. Sedangkan lafaz ummah dan yang sejenis dengannya —termasuk lafaz musytarakah dalam peristilahan— sesungguhnya menunjukkan kepada suatu makna dalam Al-Qur'an berdasarkan konteks sebelumnya. Jika mengartikannya menurut keseluruhan makna yang dikandungnya jika diperlukan, maka hal ini merupakan masalah yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama usul, pembahasannya bukan termasuk ke dalam subyek dari kitab ini.
Selain itu menunjukkan masing-masing makna lafaz ummah dalam konteks kalimat dilakukan berdasarkan idiom. Penunjukan makna suatu huruf kepada suatu isim dapat pula diartikan menunjukkan makna isim yang lain dengan meniadakan keutamaan antara yang satu dengan yang lain dalam hal taqdir atau idmar, baik menurut idiom ataupun lainnya. Pengertian seperti ini tidak dapat dimengerti melainkan melalui tauqif {petunjuk dan syara'). Permasalahan huruf ini merupakan masalah yang diperselisihkan dan tiada suatu kesepakatan pun hingga dapat dijadikan sebagai ketentuan hukum.
Mengenai syawahid yang mereka kemukakan untuk memperkuat kebenaran pendapat yang mengatakan bahwa mengucapkan suatu huruf dapat diartikan sebagai petunjuk tentang huruf berikutnya dalam kalimat yang dimaksud, hal ini dapat dimengerti melalui konteks pembicaraan. Permasalahannya berbeda amat jauh dengan huruf-huruf yang mengawali surat-surat Al-Qur'an. Di antara yang mereka jadikan sebagai syahid ialah perkataan seorang penyair:
قُلْنَا قِفِي لَنَا فقالت قاف ... لا تَحْسَبِي أنا نَسينا الْإِيجَافَ
Kami katakan, "Berhentilah kamu demi kami. Maka dia (seakan-akan) menjawab, "Aku berhenti." Janganlah kamu menduga bahwa kami lupa untuk memacu(mu).
Makna yang dimaksud dari huruf qaf ialah waqaftu (aku berhenti). Demikian pula ucapan penyair lainnya, yaitu:
مَا لِلظَّلِيمِ عَالَ كَيْفَ لَا يَا ... ينقَدُّ عَنْهُ جِلْدُهُ إِذَا يَا
Tiada kemenangan atas orang yang teraniaya, mengapa dia tidak berbuat; apabila dia berbuat, niscaya tubuhnya akan didera.
Ibnu Jarir mengatakan, seakan-akan penyair bermaksud mengatakan, "Iza yafalu kaza wa kaia" (Bila dia melakukan anu dan anu). Maka dalam hal ini dia cukup hanya dengan menyebutkan ya dari lafaz yafalu. Penyair lainnya mengatakan:
بِالْخَيْرِ خَيْرَاتٌ وَإِنْ شَرًّا فَا ... وَلَا أُرِيدُ الشَّرَّ إِلَّا أَنْ تَا
Perbuatan baik akan menghasilkan kebaikan; dan jika jahat, maka balasannya jahat pula; dan kejahatan itu tidakakan terjadi kecuali jika kamu menghendakinya.
Penyair mengatakan, "Dan jika jahat, maka balasannya jahat pula. Kejahatan itu tidaklah dikehendaki kecuali jika kamu menghendakinya." Kedua lafaz tersebut cukup dimengerti hanya dengan menyebutkan huruf fa dan ta dari kedua kalimat tersebut. Hanya saja pengertian ini dapat diterka melalui konteks kalimat.
Al-Qurtubi mengatakan sehubungan dengan hadis yang mengatakan:
«مَنْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِ مُسْلِمٍ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ»
 “Barang siapa yang ikut membantu membunuh seorang muslim dengan sepotong kalimat, hingga akhir hadis.
Menurut   Sufyan,   makna   yang   dimaksud   ialah   "bila   seseorang mengatakan uq dengan maksud uqtul (bunuhlah dia)".
Khasif mengatakan dari Mujahid bahwa sesungguhnya semua fa-watihus suwar itu —seperti qaf sad, ha mim, ta sin mim, Alif lam ra, dan lain-lainnya— merupakan huruf hijai'. Sebagian ahli bahasa Arab mengatakan bahwa fawatihus suwar itu merupakan huruf-huruf mu'ja ejaan yang dengan menyebutkan sebagian darinya yang ada dalam permulaan surat sudah dianggap cukup untuk menunjukkan huruf-huruf lainnya yang merupakan kelengkapan dari seluruhnya yang berjumlah dua puluh delapan huruf. Perihalnya sama dengan ucapan seseorang, "Anakku menulis a-b-c-d," makna yang dimaksud ialah semua huruf ejaan yang dua puluh delapan. Sudah dianggap cukup untuk menunjukkan yang lainnya hanya dengan menyebutkan sebagiannya, demikian yang dikemukakan Ibnu Jarir.
Menurut pendapat kami semua huruf yang disebut di dalam permulaan surat-surat Al-Qur'an dengan membuang huruf yang ber-ulang-ulang semuanya berjumlah empat belas, yaitu alif, lam. mim. sad, ra, kaf, ha, ya, 'ain, ta, sin, ha, qaf, dan nun. Kesemuanya dapat dihimpun dalam ucapan, "Nassun hakimun qati'un lahu simin" (Ini adalah nas yang pasti dari Tuhan Yang Mahabijaksana, mengandung rahasia). Semuanya itu separo dari bilangan huruf ejaan yang ada, dengan pengertian bahwa yang tersebut di dalamnya berkedudukan lebih besar daripada yang tidak disebut. Penjelasan mengenai masalah ini termasuk ke dalam disiplin ilmu tasrif
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa semua huruf yang empat belas ini mengandung berbagai jenis huruf, di antaranya ada yang mahmus, majhur, rakhwah, syadidah, mutabbaqah, mafhihah, musta'liyah, munkhafidah, ada pula huruf qalqalah. Selanjutnya Az-Zamakhsyari menerangkan secara rinci, kemudian ia mengatakan, "Mahasuci Allah yang kebijaksanaan-Nya Mahateliti dalam segala sesuatu."
Semua jenis yang terhitung jumlahnya ini menjadi banyak dengan menyebutkan sebagian darinya. sebagaimana yang diketahui bahwa hal yang paling pokok dan paling besar bagi sesuatu menduduki status keseluruhannya. Berdasarkan pengertian ini sebagian ulama meringkasnya dalam suatu kalimat, tidak diragukan lagi semua huruf (yang ada dalam fawatihus suwar) ini tidak sekali-kali diturunkan oleh Allah Swt. secara cuma-cuma/tiada gunanya. Mengenai orang yang berpendapat bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat hal yang bersifat ta'abbud semata tanpa ada makna sama sekali, sesungguhnya dia sangat keliru.
Berdasarkan kesimpulan dari semua itu, dapat dikatakan bahwa huruf-huruf tersebut memang mempunyai maknanya sendiri. Jika ada berita dari orang yang terpelihara dari dosa (yakni Nabi Saw.), maka kita mengikuti apa yang dikatakannya; jika tidak ada, kita hanya mengembalikannya kepada Allah Swt. dan mengucapkan:
{آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا}
Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. (Ali Imran: 7)
Tiada kesepakatan ulama sehubungan dengan masalah fawatihus suwar ini atas sesuatu yang tertentu, melainkan mereka masih berselisih pendapat. Untuk itu, barang siapa yang menganggap kuat suatu pendapat dari kalangan mereka dengan mengetahui dalilnya, ia boleh mengikutinya; tetapi jika tidak. hendaklah dia bersikap diarn hingga jelas baginya.
Semua yang telah dikemukakan merupakan suatu pembahasan, dan pembahasan lain mengenai hikmah yang terkandung di dalam penyebutan huruf-huruf disebutkan pada permulaan surat. Hikmah apakah yang terkandung di dalamnya tanpa memandang segi makna yang terkandung di dalamnya?
Sebagian ulama mengatakan bahwa huruf-huruf tersebut disebut sebagai pengenal permulaan surat-surat Demikian pendapat Ibnu jarir. tetapi pendapat ini lemah karena keputusannya dapat dilakukan tanpa huruf-huruf tersebut bagi surat yang tidak mengandungnya; juga bagi surat yang di dalamnya disebut basmalah. baik secara bacaan maupun tulisan.
Menurut ulama lain, huruf-huruf tersebut diletakkan pada permulaan surat untuk membuka pendengaran kaum musyrik bila mereka saling berpesan di antara sesamanya agar berpaling dari Al-Qur'an. Apabila pendengaran mereka sudah siap menerimanya. barulah dibacakan kepada mereka apa yang tersusun sesudahnya. Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir pula, tetapi pendapat ini pun dinilai lemah; sebab jika memang demikian maksudnya, niscaya huruf-huruf tersebut pasti ada pada permulaan setiap surat Al-Qur'an, bukan pada sebagiannya saja, bahkan kebanyakan dari surat Al-Qur'an tidaklah demikian. Seandainya memang demikian, sudah selayaknya hal itu disebut pada tiap permulaan pembicaraan bersama mereka (kaum musyrik), tanpa memandang apakah pada pembukaan surat atau pada selainnya.
Selain itu sesungguhnya surat Al-Baqarah ini bersama surat yang mengiringinya —yakni surat Ali Imran— adalah Madaniyah; keduanya mengandung khitab (perintah) bukan ditujukan kepada kaum musyrik. Dengan adanya alasan ini, batallah pendapat yang mereka sebut itu.
Ulama lain berpendapat, sesungguhnya huruf-huruf tersebut dikemukakan pada permulaan surat yang mengandungnya hanyalah untuk menerangkan mukjizat Al-Qur'an. Dengan kata lain, semua makhluk tidak akan mampu menentangnya dengan membuat hal yang semisal dengannya, sekalipun Al-Qur'an terdiri atas huruf-huruf ejaan itu yang biasa mereka gunakan dalam pembicaraan. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya, dari Mubarrad dan sejumlah ulama ahli tahqiq. Al-Qurtubi meriwayatkan pula hal yang semisal dari Al-Farra dan Qutrub, kemudian ditetapkan oleh Az-Zamakhsyari di dalam Tafsir Kasysyaf-nya dan ia mendukungnya dengan dukungan sepenuhnya. Hal yang sama diikuti pula oleh Abul Abbas ibnu Taimiyyah dan guru kami —Abul Hajjaj Al-Mazi— yang telah menceritakannya kepadaku, dari Ibnu Taimiyyah.
Az-Zamakhsyari mengatakan. sesungguhnya huruf-huruf tersebut tidak disebutkan pada permulaan Al-Qur'an secara keseluruhan, dan sesungguhnya huruf-huruf tersebut diulang-ulang (dalam berbagai surat) tiada lain hanya untuk menunjukkan makna tantangan dan cemoohan yang lebih keras. Perihalnya sama saja dengan pengulangan banyak kisahnya dan secara jelas pula tantangan ini dikemukakan oleh Al-Qur'an di berbagai tempatnya. Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa di antaranya ada yang disebut dengan satu huruf, misalnya sad, nun, dan qaf. ada yang terdiri atas dua huruf. misalnya ha mim: tiga huruf seperti Alif lam mim; dan empat huruf, seperti Alif lam mim ra dan Alif lam m'im sad; serta lima huruf, seperti kaf ha ya 'ain sad dan ha mim 'ain sin, qaf karena bentuk kalimat yang mereka gunakan seperti itu, di antaranya ada yang terdiri atas satu huruf, dua huruf, tiga huruf, empat huruf, dan lima huruf, tiada yang lebih dari lima huruf.
Menurut kami, mengingat hal tersebut setiap surat yang dimulai dengan huruf-huruf itu pasti di dalamnya disebutkan keunggulan dari Al-Qur'an dan keterangan mengenai mukjizatnya serta keagungannya. Hal ini dapat diketahui melalui penelitian, dan memang hal ini terjadi pada dua puluh sembilan surat.
Allah Swt. berfirman:
الم. ذلِكَ الْكِتابُ لَا رَيْبَ فِيهِ
Alif lam mim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya. (Al-Baqarah: 1-2)
الم. اللَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِما بَيْنَ يَدَيْهِ
Alif lam mim. Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Hidup kekal lagi senantiasa berdiri sendiri. Dan menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. (Ali Imran: 1-3)
المص. كِتابٌ أُنْزِلَ إِلَيْكَ فَلا يَكُنْ فِي صَدْرِكَ حَرَجٌ مِنْهُ
Alif lam mim sad. Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya (Al-Araf: 1-2)
الر كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُماتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ
Alif lam ra, (Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang. (Ibrahim: 1)
الم. تَنْزِيلُ الْكِتابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعالَمِينَ
Alif lam mim.  Turunnya Al-Qur'an yang tidak ada keraguan padanya (adalah) dari Tuhan semesta alam. (As-Sajdah: 1-2)
حم. تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Ha m'im. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Fusilat: 1-2)
حم. عسق. كَذلِكَ يُوحِي إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ اللَّهُ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Ha mim 'ain sin qaf. Demikianlah Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana mewahyukan kepada kamu dan kepada orang-orang yang sebelum kamu. (Asy-Syura: 1-3)
Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan kebenaran pendapat yang dikatakan oleh mereka bagi orang yang berpikir secara mendalam dalam menekuninya.
Ada orang yang menduga bahwa huruf-huruf tersebut menunjukkan pengetahuan tentang al-madad (masa); juga dikatakan bahwa dari huruf-huruf itu dapat disimpulkan akan terjadi berbagai macam peristiwa, macam-macam fitnah, dan berbagai peperangan. Orang yang berpendapat demikian sama saja mendakwakan hal-hal yang bukan pada tempatnya, menempuh jalan yang bukan tujuannya. Memang ada sebuah hadis daif yang mengisahkannya, tetapi sekalipun begitu kebatilan cara demikian jauh lebih kuat daripada berpegang kepada kesahihan hadis yang dimaksud. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar. penulis kitab Al-Magazi.
Ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Jabir ibnu Abdullah ibnu Rabbab yang menceritakan bahwa ketika Abu Yasir ibnu Akhtab sedang berjalan bersama sejumlah orang Yahudi, ia bersua dengan Rasulullah Saw. yang sedang membaca permulaan surat Al-Baqarah. yaitu: Alif lam mim.  Kitab  (Al-Qur'an)  ini  tidak ada keraguan di dalamnya. (Al-Baqarah: 1-2) Kemudian Abu Yasir ibnu  Akhtab menjumpai  saudara lelakinya —yaitu Hay ibnu Akhtab— bersama sejumlah orang-orang Yahudi tadi. Lalu Abu Yasir berkata, "Tahukah kamu, demi Allah. sesungguhnya aku telah mendengar Muhammad membaca apa yang telah diturunkan oleh Allah kepadanya, yaitu, 'Alif lam mim. Kitab (Al-Qur-'an) ini tidak ada keraguan di dalamnya' (Al-Baqarah: 1-2)." Hay bertanya, "Apakah engkau telah mendengarnya sendiri?" Abu Yasir menjawab, "Ya." Maka Hay ibnu Akhtab berjalan bersama rombongan orang-orang Yahudi itu mendekati Rasulullah Saw. Mereka bertanya, "Hai Muhammad, apakah benar engkau membaca apa yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu Alif lam mim, zalikal kitabul" Rasulullah Saw. menjawab, "Memang benar." Mereka bertanya, "Apakah Jibril yang menyampaikannya kepadamu dari sisi Allah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya." Mereka berkata, "Sesungguhnya Allah pernah mengutus nabi-nabi sebelum engkau yang belum pernah kami ketahui Allah menjelaskan kepada seorang nabi dari kalangan mereka tentang masa kerajaannya. dan berapa lama masa umatnya selain engkau sendiri." Hay ibnu Akhtab bangkit dan menemui orang-orang yang bersamanya tadi. lalu ia berkata.”Alif satu, lam tiga puluh, dan mim empat puluh maka jumlah keseluruhannya adalah tujuh puluh satu tahun. Apakah kalian mau memasuki agama seorang nabi yang masa kerajaannya dan pada masa umatnya hanya tujuh puluh satu tahun?" Kemudian Hay kembali menghadap Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Hai Muhammad, apakah selain itu masih ada lagi?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya." Hay ibnu Akhtab bertanya, "Apakah lainnya itu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Alif lam mim sad." Hay berkata, "Ini lebih berat dan lebih panjang; alif satu, lam tiga puluh, mim empat puluh, dan sad sembilan puluh; jumlah keseluruhannya adalah seratus enam puluh satu tahun. Hai Muhammad, apakah ada yang lain selain dari ini?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya," Hay bertanya, "Apakah itu?" Rasul Saw. menjawab, "Alif lam ra." Hay menjawab, "Ini lebih berat dan lebih panjang lagi: alif satu. lam tiga puluh. sedangkan ra dua ratus; jumlah keseluruhannya dua ratus tiga puluh satu. Apakah masih ada yang lainnya, hai Muhammad?" Rasul Saw. menjawab, "Ya." Hay bertanya, "Apakah itu?" Rasul Saw. menjawab, "Alif lam mim ra.”Hay berkata, "Ini jauh lebih berat dan lebih panjang (daripada sebelumnya). Alif satu, lam tiga puluh, mim empat puluh, dan ra dua ratus; jumlah keseluruhannya adalah dua ratus tujuh puluh satu tahun." Kemudian Hay ibnu Akhtab berkata, "Sesungguhnya perkaramu ini sangat membingungkan kami, hai Muhammad, sehingga kami tidak mengetahui apakah engkau diberi sedikit atau banyak." Kemudian Hay ibnu Akhtab berkata, "Bangkitlah kalian semua darinya!" Selanjutnya Abu Yasir berkata kepada saudaranya —Hay ibnu Akhtab— dan orang-orang yang bersamanya dari kalangan pendeta-pendeta Yahudi, "Tahukah kalian, barangkali telah dihimpun semuanya itu buat Muhammad, yaitu tujuh puluh satu, seratus tiga puluh satu, dua ratus tiga puluh satu, dua ratus tujuh puluh satu, hingga jumlah total keseluruhannya ialah tujuh ratus tiga puluh empat tahun." Mereka menjawab, "Sesungguhnya perkara dia sangat membingungkan kami." Mereka menduga bahwa ayat-ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan peristiwa mereka.
Allah Swt. telah berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتابَ مِنْهُ آياتٌ مُحْكَماتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتابِ وَأُخَرُ مُتَشابِهاتٌ
Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkam, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabih. (Ali Imran: 7)
Hadis ini bersumber dari Muhammad ibnus Sa'id Al-Kalbi, sedangkan dia termasuk orang yang hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai hujah bila menyendiri dalam periwayatannya. Kemudian jika cara ini dinilai benar sebagai misal, niscaya masing-masing huruf yang jumlahnya empat belas itu —seperti yang telah kami sebutkan— dihitung semuanya, pada akhirnya akan mencapai jumlah yang banyak sekali. Lebih besar lagi jumlahnya bila yang terulang diperhitungkan pula.

Al-Baqarah, ayat 2

{ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) }
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
Ibnu Juraij mengatakan, Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa makna zalikal kitabu adalah "kitab ini", yakni Al-Qur'an ini.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ikrimah. Sa'id ibnu Jabir, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Zaid ibnu Aslam, dan Ibnu Juraij. Mereka mengatakan bahwa memang demikianlah maknanya, yakni zalika (itu) bermakna haza (ini). Orang-orang Arab biasa menyilihgantikan isim-isim isyarah (kata petunjuk), mereka menggunakan masing-masing darinya di tempat yang lain; hal ini sudah dikenal di dalam pembicaraan (percakapan) mereka. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, dari Ma'mar ibnul Musanna, dari Abu Ubaidah.
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa isyarat tersebut ditunjukkan kepada Alif lam mim, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya yang lain:
لَا فارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوانٌ بَيْنَ ذلِكَ
yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di antara itu. (Al-Baqarah: 68)
ذلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. (Al-Mumtahanah: 10)
 ذلِكُمُ اللَّهُ
(Zat) yang demikian itulah Allah. (Yunus: 3)
Masih banyak lagi contoh isyarat memakai lafaz zalika dengan pengertian seperti yang telah disebutkan.
Sebagian kalangan ahli tafsir berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Al-Qurtubi dan lain-lainnya, bahwa isyarat tersebut ditujukan kepada Al-Qur'an yang telah dijanjikan kepada Rasulullah Saw. akan diturunkan kepadanya, atau isyarat ditujukan kepada kitab Taurat atau Injil atau hal yang semisal; semuanya ada sepuluh pendapat. Akan tetapi, pendapat ini dinilai lemah oleh kebanyakan ulama.
Yang dimaksud dengan "Al-Kitab" di dalam ayat ini adalah Al-Qur'an. Orang yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan lafaz zalikal kitabu adalah isyarat kepada kitab Taurat dan Injil, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya, jauh sekali menyimpang dari kebenaran. tenggelam ke dalam perselisihan dan memaksakan pendapat, padahal dia sendiri tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Ar-raib artinya keraguan. As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud dan dari sej'umlah orang-orang dari kalangan sahabat Rasulullah Saw., bahwa makna la raibafihi ialah "tidak ada keraguan di dalamnya". Hal yang sama dikatakan pula oleh Abud Darda, Ibnu Abbas. Mujahid. Sa'id ibnu Jabir, Abu Malik. Nafi' maula Ibnu Umar, Ata, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, Qatadah, dan Ismail ibnu Khalid.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, "Aku tidak pernah mengetahui ada perselisihan pendapat mengenai maknanya." Akan tetapi, adakalanya lafaz ar-raib dipakai untuk pengertian "tuduhan", seperti makna yang ada pada perkataan Jamil, seorang penyair:
بُثَيْنَةُ قَالَتْ يَا جَمِيلُ أَرَبْتَنِي ... فَقُلْتُ كِلَانَا يَا بُثَيْنُ مُرِيبُ
Busainah mengatakan, "Hai Jamil, apakah engkau curiga kepadaku?' Maka kukatakan, "Kita semua, hai Busainah, mencurigakan."
Adakalanya dipakai untuk pengertian "kebutuhan", seperti pengertian yang terkandung di dalam ucapan seseorang dari mereka, yaitu:
قَضَيْنَا مِنْ تِهَامَةَ كُلَّ رَيْبٍ ... وَخَيْبَرَ ثُمَّ أَجْمَعْنَا السُّيُوفَا
Kami telah menunaikan semua keperluan dari Tihamah dan Khaibar, setelah itu kami himpun pedang-pedang (senjata kami).
Makna ayat ialah bahwa kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan di dalamnya, ia diturunkan dari sisi Allah. Pengertiannya sama dengan makna firman Allah Swt. di dalam surat As-Sajdah. yaitu:
الم تَنْزِيلُ الْكِتابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعالَمِينَ
Alif lam mim. Turunnya Al-Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. (As-Sajdah: 1-2)
Sebagian ulama mengatakan bahwa bentuk kalimat ayat ini merupakan kalimat berita, tetapi makna yang dimaksud adalah kalimat nahi larangan). yakni: "Janganlah kalian meragukannya!"
Di antara ulama ahli qiraah ada yang melakukan waqaf (menghentikan bacaan) pada lafaz la raiba fihi kemudian melanjutkan bacaanya dari fihi hudal lil munaqin.
Melakukan waqaf pada firman-Nya, "Ia raiba fihi lebih utama karena berdasarkan ayat yang telah kami sebut tadi, karena lafaz hudan menjadi sifat Al-Qur'an (yakni kitab Al-Qur'an ini tidak diserukan lagi, di dalamnya terkandung petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa). Makna ini lebih balig (kuat) daripada fihi hudan (kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa).
Lafaz hudan bila ditinjau dari segi bahasa dapat dianggap marfu' karena menjadi na'at (sifat), dapat pula dianggap mansub karena menjadi hal (keterangan keadaan). Hidayah ini dikhususkan bagi mereka yang bertakwa, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدىً وَشِفاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولئِكَ يُنادَوْنَ مِنْ مَكانٍ بَعِيدٍ
Katakanlah, "Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”(Fushshilat: 44)
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَساراً
Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Isra: 82)
Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan makna bahwa hanya orang-orang mukminlah yang beroleh manfaat dari Al-Qur'an, karena diri orang mukmin itu sendiri sudah merupakan petunjuk. Akan tetapi, yang beroleh petunjuk itu hanya mereka yang bertakwa. sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفاءٌ لِما فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus: 57)
As-Saddi meriwayatkan dari Malik, dari Abu Saleh. dari Ibnu Abbas; As-Saddi juga meriwayatkannya dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud dan darisejumlah sahabat Rasulullah Saw. mengenai makna hudal lil muttaqin. Makna yang dimaksud ialah cahaya bagi orang-orang yang bertakwa.
Abu Rauq meriwayatkan dari Dahhak, dari Ibnu Abbas mengenai hudal lil muttaqin. Ia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang mukmin yang menjauhkan diri dari kemusyrikan terhadap Allah, dan mereka selalu beramal dengan taat kepada-Nya.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad maula Zaid ibnu Sabit, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai makna al-muttaqin. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut terhadap siksaan Allah dalam meninggalkan hidayah yang mereka ketahui, dan mereka mengharapkan rahmat-Nya dalam membenarkan apa yang didatangkan-Nya.
Sufyan As-Sauri menceritakan dari seorang lelaki, dari Al -Hasan Al-Basri mengenai firman-Nya, "lil muttaqin." Al-Hasan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang memelihara diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan menunaikan hal-hal yang telah difardukan-Nya.
Abu Bakar ibnu Iyasy mengatakan bahwa Al-A'masy pernah bertanya kepadanya mengenai makna al-muttaqin. Maka dijawabnya, "Tanyakanlah masalah ini kepada Al-Kalbi." Dia menanyakan kepada Al-Kalbi, dan Al-Kalbi menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Kemudian Abu Bakar ibnu Iyasy berkata lagi, "Ketika aku merujuk kepada Al-A'masy mengenai apa yang dikatakan oleh Al-Kalbi, ternyata Al-Kalbi mempunyai pendapat yang sama denganku dan tidak memprotesnya."
Qatadah mengatakan bahwa muttaqin adalah orang-orang yang disebut di dalam firman Allah Swt. pada ayat berikutnya:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat. (Al-Baqarah: 3)
Sedangkan Ibnu Jarir berpendapat bahwa makna ayat mencakup semua yang telah dikatakan oleh pendapat-pendapat di atas.
Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadis melalui riwayat Abu Uqail (yaitu Abdullah ibnu Uqail), dari Abdullah ibnu Yazid, dari Rabi'ah ibnu Yazid dan Atiyyah ibnu Qais, dari Atiyyah As-Saddi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ»
Seorang hamba masih belum mencapai golongan orang-orang bertakwa sebelum dia meninggalkan hal-hal yang tidak mengapa karena menghindari hal-hal yang mengandung apa-apa (dosa).
Menurut Imam Turmuzi, hadis ini berpredikat hasan garib.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Imran, dari Ishaq ibnu Sulaiman —yakni Ar-Razi—, dari Al-Mugirah ibnu Muslim, dari Maimun Abu Hamzah yang menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat Abu Wa'il, masuklah seorang lelaki yang dikenal dengan julukan Abu Arif, salah seorang murid Mu'az. Syaqiq ibnu Salamah berkata kepadanya, "Hai Abu Arif, tidakkah engkau menceritakan kepada kami apa yang telah dikatakan oleh Mu'az ibnu Jabal?" Ia menjawab, "Tentu saja, aku pernah mendengarnya mengatakan bahwa kelak di hari kiamat umat manusia ditahan dalam suatu tempat. kemudian ada suara yang menyerukan, 'Di manakah orang-orang yang bertakwa?' Lalu mereka (orang-orang yang bertakwa) bangkit berdiri di bawah naungan Tuhan Yang Maha Pemurah; Allah menampakkan diri kepada mereka dan tidak menutup diri-Nya. Aku bertanya, 'Siapakah orang-orang yang bertakwa itu?' Mu'az menjawab, 'Mereka adalah kaum yang menghindarkan diri dari kemusyrikan dan penyembahan berhala, dan mereka mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Swt. semata,' lalu mereka masuk ke dalam surga."
Al-huda menunjukkan makna hal yang mantap di dalam kalbu berupa iman. Tiada yang mampu menciptakannya di dalam kalbu hamba-hamba Allah selain Allah Swt. sendiri, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi. (Al-Qashash: 56)
لَيْسَ عَلَيْكَ هُداهُمْ
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk (Al-Baqarah: 272)
مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هادِيَ لَهُ
Barang siapa yang Allah sesatkan. maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk (Al-A'raf: 186)
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِداً
Barang siapa   diberi petujuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan   mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberinya petunjuk kepadanya. (Al-Isra: 97)
Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan makna yang sama. Lafaz Al-huda adakalanya dimaksudkan sebagai keterangan dan penjelasan mengenai perkara yang hak, penunjukan dan bimbingan kepadanya, sebagaimana makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Asy-Syura: 52)
إِنَّما أَنْتَ مُنْذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هادٍ
Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk. (Ar-Ra'd: 7)
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى
Dan adapun kaum Samud. maka mereka Kami beri petunjuk. tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu. (Fushshilat: 17)
وَهَدَيْناهُ النَّجْدَيْنِ
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10)
Sebagian orang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan an-naj-dain ialah jalan kebaikan dan jalan keburukan: penafsiran ini lebih kuat daripada yang lainnya.
At-taqwa makna asalnya ialah mencegah diri dari hal-hal yang tidak disukai, mengingat bentuk asalnya adalah qawa yang berasal dari al-wiqayah (pencegahan). An-Nabigah (salah seorang penyair Jahiliah terkenal) mengatakan:
سَقَطَ النَّصِيفُ وَلَمْ تُرِدْ إِسْقَاطَهُ ... فَتَنَاوَلَتْهُ وَاتَّقَتْنَا بِالْيَدِ
Penutup kepalanya terjatuh, padahal dia tidak bermaksud menjatuhkannya. maka dia memungutnya seraya menutupi wajahnya  menghindar dari pandangan kami dengan tangannya.
Penyair lain mengatakan:
فَأَلْقَتْ قِنَاعًا دُونَهُ الشَّمْسُ وَاتَّقَتْ ... بِأَحْسَنِ مَوْصُولَيْنِ كَفٌّ وَمِعْصَمُ
Dia menanggalkan penutup kepala yang melindunginya dari sengatan sinar matahari, kemudian ia menghindarkan (wajahnya dari sinar matahari) dengan dua persendiannya yang tercantik, yaitu telapak tangan dan lengannya.
Menurut suatu riwayat, Umar ibnul Khattab r.a. pernah bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b tentang makna takwa. maka Ubay ibnu Ka'b balik bertanya, "Pernahkah engkau menempuh jalan yang beronak duri?" Umar menjawab, "Ya, pernah." Ubay ibnu Ka'b bertanya lagi, "Kemudian apa yang kamu lakukan?" Umar menjawab, "Aku bertahan dan berusaha sekuat tenaga untuk melampauinya." Ubay ibnu Ka'b berkata, "Itulah yang namanya takwa." Pengertian ini disimpulkan oleh Ibnul Mu'taz melalui bait-bait syairnya, yaitu:
خَلِّ الذُّنُوبَ صَغِيرَهَا ... وَكَبِيرَهَا ذَاكَ التُّقَى
وَاصْنَعْ كماش فوق أرض ... الشَّوْكِ يَحْذَرُ مَا يَرَى
لَا تَحْقِرَنَّ صَغِيرَةً ... إِنَّ الْجِبَالَ مِنَ الْحَصَى
Lepaskanlah semua dosa, baik yang kecil maupun yang besar, itulah namanya takwa. Berlakulah seperti orang yang berjalan di atas jalan yang beronak duri. selalu waspada menghindari duri-duri yang dilihamya. Dan jangan sekali-kali kamu meremehkan sesesuatu yang kecil (dosa kecil). sesungguhnya bukit itu terdiri atas batu-batu kerikil yang kecil-kecil.
Abu   Darda di suatu hari pernah mengucapkan syair-syair berikut:
يُرِيدُ الْمَرْءُ أَنْ يُؤْتَى مُنَاهُ ... وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا مَا أَرَادَا
يَقُولُ الْمَرْءُ فَائِدَتِي وَمَالِي ... وَتَقْوَى اللَّهِ أَفْضَلُ مَا اسْتَفَادَا
Manusia selalu mengharapkan agar semua yang didambakannya dapat tercapai, tetapi Allah menolak kecuali apa yang Dia kehendaki. Seseorang mengatakan.Keuntunganku dan hartaku" padahal takwa kepada Allah merupakan keuntungan yang paling utama.
Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Abu Umamah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا اسْتَفَادَ الْمَرْءُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ، إِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ، وَإِنَّ غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ"
Tiada keuntungan yang paling baik bagi seseorang sesudah takwa kepada Allah selain dari istri yang saleh; jika dia memandangnya, membuat dia bahagia; dan jika dia memerintahnya, ia taat; jika melakukan giliran terhadapnya, maka ia berbakti; dan jika dia tidak ada di tempat, meninggalkannya, maka ia memelihara diri dan harta suaminya.

Al-Baqarah, ayat 3

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3)
(yaitu) orang-orang yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Musayyab ibnu Rafi, dari Abu Ishaq, dari Abu Ahwas, dari Abdullah (Ibnu Mas'ud) yang pernah mengatakan bahwa iman ialah percaya.
Ali Ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang percaya (membenarkan).
Ma'mar mengatakan dari Az-Zuhri bahwa iman ialah amal.
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang takut (kepada Allah Swt.)
Ibnu Jarir mengatakan, "Yang lebih utama bila mereka menggambarkan keimanan terhadap masalah yang gaib secara ucapan, keyakinan, dan perbuatan; dan adakalanya takut kepada Allah termasuk ke dalam pengertian iman yang intinya ialah membenarkan ucapan dengan perbuatan. Iman adalah suatu istilah yang mencakup pengertian iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Dan pembenaran pengakuan dibuktikan dengan perbuatan"
Menurut pendapat kami, iman secara makna lugawi (bahasa) berarti percaya secara tulus. Akan tetapi, adakalanya di dalam Al-Qur'an digunakan untuk pengertian tersebut, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ
Ia beriman kepada Allah dan mempercayai orang-orang mukmin. (At-Taubah: 61)
Demikian pula yang dikatakan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayah mereka, yang hal ini disitir oleh firman-Nya:
وَما أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنا وَلَوْ كُنَّا صادِقِينَ
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar. (Yusuf: 17)
Demikian pula maknanya bila dibarengi amal perbuatan, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ
kecuali orang-orang yang percaya dan mengerjakan amal saleh. (At-Tin: 6)
Jika digunakan secara mutlak, maka iman yang dikehendaki oleh syara' ialah yang mencakup tiga unsur, yaitu keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Demikian menurut sebagian besar imam. Bahkan menurut riwayat Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, dan Abu Ubaidah serta ulama lainnya, ijma' dengan pengertian seperti berikut: Iman adalah ucapan dan perbuatan serta dapat bertambah dan berkurang. Banyak hadis dan asar yang menerangkan pengertian ini, yang secara tersendiri telah dikemukakan di dalam permulaan Syarah Bukhari.
Di antara mereka ada yang menafsirkannya dengan makna "takut kepada Allah", sebagaimana makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ
(yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedangkan mereka tidak melihat-Nya. (Al-Anbiya: 49)
 مَنْ خَشِيَ الرَّحْمنَ بِالْغَيْبِ وَجاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ
(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, sedangkan Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat. (Qaf: 33)
Al-khasyyah atau takut kepada Allah merupakan kesimpulan dari iman dan ilmu, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
إِنَّما يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبادِهِ الْعُلَماءُ
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (Fathir: 28)
Sebagian ulama mengatakan bahwa mereka beriman kepada yang gaib (tidak kelihatan) sebagaimana mereka beriman kepada yang kelihatan, dan keadaan mereka tidaklah seperti yang disebut di dalam firman Allah Swt. mengenai perihal orang-orang munafik, yaitu:
وَإِذا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قالُوا آمَنَّا وَإِذا خَلَوْا إِلى شَياطِينِهِمْ قالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّما نَحْنُ مُسْتَهْزِؤُنَ
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang beriman, mereka mengatakan, "Kami telah beriman. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanya berolok-olok." (Al-Baqarah: 14)
إِذا جاءَكَ الْمُنافِقُونَ قالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنافِقِينَ لَكاذِبُونَ
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah" Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar yang pendusta. (Al-Munafiqun: 1)
Berdasarkan pengertian ini berarti lafaz bil gaibi berkedudukan sebagai hal (keterangan keadaan), yaitu sekalipun keadaan mereka tidak kelihatan oleh orang banyak (yakni sendirian).
Mengenai yang dimaksud dengan al-gaib dalam ayat ini, ungkapan ulama Salaf mengenainya berbeda-beda, tetapi semuanya benar; mengingat bila disimpulkan dari semuanya, maka yang tersimpul adalah makna yang dimaksud.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abu Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Orang-orang yang beriman kepada yang gaib. (Al-Baqarah: 3) Menurut Abul Aliyah, makna yang dimaksud ialah "mereka beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kemudian, surga dan neraka-Nya, bersua dengan-Nya; juga beriman kepada kehidupan sesudah mati dan hari berbangkit". Semua itu merupakan hal yang gaib (tidak kelihatan). Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah ibnu Di'amah.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, keduanya menerimanya dari Ibnu Abbas. As-Saddi juga meriwayatkannya dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Nabi Saw., bahwa gaib ialah hal-hal yang tidak kelihatan oleh hamba-hamba Allah, seperti masalah surga, neraka, dan semua hal yang disebutkan di dalam Al-Qur'an.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa makna gaib ialah hal-hal yang didatangkan oleh Allah.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Asim, dari Zurr yang mengatakan bahwa al-Gaib artinya Al-Qur'an.
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah berarti beriman kepada yang gaib (tidak kelihatan).
Ismail ibnu Abu Khalid mengatakan bahwa mereka yang beriman kepada yang gaib ialah mereka yang beriman sesudah masa Islam (masa Nabi dan para sahabat).
Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa orang-orang yang beriman kepada yang gaib ialah yang beriman kepada takdir.
Semua saling berdekatan dalam hal pengertian, mengingat pada garis besarnya semua itu kembali kepada makna gaib yang harus diimani.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Imarah ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Yazid yang mengatakan, "Ketika kami berada di hadapan sahabat Abdullah, ibnu Mas'ud duduk bersamanya. Lalu kami menceritakan perihal sahabat-sahabat Nabi Saw. dan semua amal perbuatan mereka yang mendahului kami. Maka Abdullah ibnu Mas'ud berkata, 'Sesungguhnya perkara Muhammad Saw. adalah jelas bagi orang yang melihatnya. Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada seorang pun yang memiliki iman lebih afdal da-ripada iman tanpa melihat'," kemudian dia membacakan firman-Nya:
الم، ذلِكَ الْكِتابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدىً لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ- إِلَى قَوْلِهِ- الْمُفْلِحُونَ
Alif lam mim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib —sampai dengan firman-Nya— orang-orang yang beruntung. (Al-Baqarah: 1-5)
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak-nya melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama. Imam Hakim mengatakan, asar ini berpredikat sahih dengan syarat Syaikhain, sedangkan keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hadis semisal diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dia menyebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي أُسَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ خَالِدِ بْنِ دُرَيك، عَنِ ابْنِ مُحَيريز، قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي جُمُعَةَ: حَدِّثْنَا حَدِيثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَعَمْ، أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا جَيِّدًا: تَغَدَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ أَحَدٌ خَيْرٌ مِنَّا؟ أَسْلَمْنَا مَعَكَ وَجَاهَدْنَا مَعَكَ. قَالَ: "نَعَمْ"، قَوْمٌ مِنْ بَعْدِكُمْ يُؤْمِنُونَ بِي وَلَمْ يَرَوْنِي"
telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepadaku Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Asad ibnu Abdur Rahman, dari Khalid ibnu Duraik, dari Ibnu Muhairiz yang mengatakan bahwa ia pernah berkata kepada Abu Jum'ah, "Ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang engkau dengar dari Rasulullah Saw." Abu Jum'ah menjawab, "Ya, aku akan menceritakan kepadamu suatu hadis yang baik," yaitu: Kami makan siang bersama Rasulullah Saw. Di antara kami terdapat Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang lebih baik daripada kami? Kami masuk Islam di tanganmu dan kami berjihad bersamamu." Rasulullah Saw. menjawab, "Ya, suatu kaum dari kalangan orang-orang sesudah kalian; mereka beriman kepadaku, padahal mereka tidak melihatku."
Menurut jalur yang lain, diketengahkan oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya, yaitu:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ صَالِحِ بْنِ جُبَيْر، قَالَ: قَدِمَ عَلَيْنَا أَبُو جُمُعَةَ الْأَنْصَارِيُّ، صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ، لِيُصَلِّيَ فِيهِ، وَمَعَنَا يَوْمَئِذٍ رَجَاءُ بْنُ حَيْوَةَ، فَلَمَّا انْصَرَفَ (9) خَرَجْنَا نُشَيِّعُهُ، فَلَمَّا أَرَادَ الِانْصِرَافَ قَالَ: إِنَّ لَكُمْ جَائِزَةً وَحَقًّا؛ أُحَدِّثُكُمْ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قُلْنَا: هَاتِ رَحِمَكَ اللَّهُ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ عَاشِرُ عَشَرَةٍ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ مِنْ قَوْمٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَّا؟ آمَنَّا بك واتبعناك، قال: "مَا يَمْنَعُكُمْ مِنْ ذَلِكَ وَرَسُولُ اللَّهِ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ يَأْتِيكُمْ بِالْوَحْيِ مِنَ السَّمَاءِ، بَلْ قَوْمٌ مِنْ بَعْدِكُمْ يَأْتِيهِمْ كِتَابٌ بَيْنَ لَوْحَيْنِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَعْمَلُونَ بِمَا فِيهِ، أُولَئِكَ أَعْظَمُ مِنْكُمْ أَجْرًا" مَرَّتَيْنِ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Abdullah ibnu Mas'ud; telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Saleh ibnu Jubair yang menceritakan bahwa datang kepada kami Abu Jum'ah Al-Ansari —seorang sahabat Rasulullah Saw.— di Baitul Maqdis untuk melakukan salat. Ketika itu bersama kami terdapat Raja ibnu Haywah r.a. Setelah dia selesai salat, kami keluar mengantarkannya. Tetapi ketika dia hendak pergi, dia berkata, "Sesungguhnya kalian berhak mendapat balasan dan hak, aku akan menceritakan sebuah hadis kepada kalian yang aku dengar langsung dari Rasulullah Saw." Kami menjawab, "Ceritakanlah, semoga Allah merahmatimu." Abu Jum'ah bercerita: Ketika kami bersama Rasulullah Saw., di antara kami terdapat Mu'az ibnu Jabal yang merupakan orang kesepuluh dari kami semua yang berjumlah sepuluh orang. Kemudian kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ada suatu kaum yang beroleh pahala lebih besar daripada kami? Kami beriman kepada Allah dan mengikutimu." Nabi Saw. menjawab, "Tiada yang menghalangi kalian dari hal tersebut, karena Rasulullah berada di antara kalian menyampaikan wahyu yang turun dari langit kepada kalian, bahkan kaum sesudah kalian. Datang kepada mereka kitab (Al-Qur'an) yang telah terhimpun di antara kedua sampulnya, lalu mereka beriman kepadanya dan mengamalkan apa yang dikandungnya, mereka lebih besar pahalanya daripada kalian." Ucapan ini diulanginya sebanyak dua kali.
Kemudian Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui hadis Damrah ibnu Rabi'ah, dari Marzuq ibnu Nafi', dari Saleh ibnu Jubair, dari Abu Jum'ah hal yang semisal dengan hadis ini.
Hadis ini mengandung dalil yang menunjukkan amal yang berdasarkan rasa cinta, di mana para ahli hadis berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana yang telah ditetapkan pada permulaan Syarah Bukhari, karena Nabi Saw. ternyata memuji mereka yang datang sesudahnya, mengingat mereka beriman tanpa melihat. Beliau Saw. menyebutkan bahwa mereka memiliki pahala yang lebih besar bila ditinjau dari segi itu saja tetapi tidak mutlak.
Hal yang sama disebutkan pula di dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Hasan ibnu Arafah Al-Abdi:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ الْحِمْصِيُّ، عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ قَيْسٍ التَّمِيمِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّ الْخَلْقِ أَعْجَبُ إِلَيْكُمْ إِيمَانًا؟ ". قَالُوا: الْمَلَائِكَةُ. قَالَ: "وَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ؟ ". قَالُوا: فَالنَّبِيُّونَ. قَالَ: "وَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَالْوَحْيُ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ؟ ". قَالُوا: فَنَحْنُ. قَالَ: "وَمَا لَكَمَ لَا تُؤْمِنُونَ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟ ". قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا إِنَّ أَعْجَبَ الْخَلْقِ إِلَيَّ إِيمَانًا لَقَوْمٌ يَكُونُونَ مِنْ بَعْدِكُمْ يَجدونَ صُحُفًا فِيهَا كِتَابٌ يُؤْمِنُونَ بِمَا فِيهَا"
telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy Al-Himsi, dari Al-Mugirah ibnu Qais At-Tamimi, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Makhluk apakah yang paling kalian kagumi imannya?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Para malaikat." Nabi Saw. bersabda, "Mana mungkin mereka tidak beriman, sedangkan mereka berada di dekat Tuhannya?" Mereka berkata, "Para nabi.'"'' Rasulullah Saw. bersabda, "Mana mungkin mereka tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka?" Mereka berkata, "Kalau begitu kami.'"' Nabi Saw. bersabda, "Mana mungkin kalian tidak beriman, sedangkan aku berada di antara kalian?''' Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya makhluk yang paling kukagumi keimanannya ialah suatu kaum yang datang sesudah kalian, mereka menjumpai lembaran-lembaran yang di dalamnya tertuliskan Al-Kitab (Al-Qur'an), lalu mereka beriman kepada semua yang terkandung di dalamnya."
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa hadis Al-Mugirah ibnu Qais Al-Basri berpredikat munkar.
Menurut pendapat kami diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la di dalam kitab Musnad-nya dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya serta Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Muhammad ibnu Humaid —hanya di sini ada kedaifan— dari Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a., dari Nabi Saw. hadis yang semisal atau semakna dengannya. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Hadis yang semisal telah diriwayatkan melalui Anas ibnu Malik secara marfu'.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad Al-Musnadi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Idris, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ja'far ibnu Mahmud ibnu Salamah Al-Ansari, telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Mahmud, dari kakeknya —Badilah bin Aslam— yang menceritakan, "Aku salat Lohor atau Asar di masjid Bani Harisah, ketika itu kami menghadap ke arah masjid Eliya (Yerussalem). Ketika kami baru salat dua rakaat, tiba-tiba datang seseorang yang menyampaikan berita kepada kami bahwa Rasulullah Saw. telah menghadap ke arah Baitul Haram. Maka berubahlah posisi kami, kaum wanita menjadi berada di depan kaum laki-laki, sedangkan kaum laki-laki berada di belakang kaum wanita, kemudian kami melanjutkan salat dua rakaat yang tersisa dalam keadaan menghadap ke arah Baitul Haram (kiblat)." Ibrahim mengatakan bahwa ia mendapat berita dari kaum laki-laki dari kalangan Bani Harisah bahwa ketika sampai berita tersebut kepada Rasulullah Saw., beliau bersabda:
«أُولَئِكَ قَوْمٌ آمَنُوا بِالْغَيْبِ»
Mereka adalah kaum yang beriman kepada yang gaib.
Hadis ini berpredikat garib bila ditinjau dari segi ini.
{وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ 3}
dan mereka mendirikan salat serta menqfkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 3)
Ibnu Abbas mengatakan, makna "mereka mendirikan salat" ialah "mereka mendirikan fardu-fardu salat (yakni rukun-rukunnya)".
Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan mendirikan salat ialah menyempurnakan rukuk, sujud, bacaan Al-Qur'an, khusyuk, dan menghadap sepenuh jiwa dan raganya dalam salat Qatadah mengatakan bahwa mendirikan salat artinya memelihara waktu-waktunya, wudu, rukuk, dan sujud.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa mendirikan salat artinya memelihara waktu-waktunya, menyempurnakan wudu, sujud, bacaan Al-Qur'an, bacaan tasyahud, dan salawat buat Nabi Saw. di dalam salat
Ali ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud dengan "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" ialah "mereka tunaikan zakat harta benda dengan benar".
As-Sadi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbis. juga dari Murrah (Al-Hamadani), dari Ibnu Mas'ud r.a., dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw., bahwa makna "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" ialah "nafkah seorang lelaki kepada keluarganya". Hal ini dipahami sebelum diturunkannya ayat mengenai zakat.
Juwaibir mengatakan dari Dahhak, "Pada mulanya nafkah merupakan kurban yang mereka jadikan sebagai amal taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt. sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing, yakni kaya dan miskin, hingga turunlah ayat-ayat yang memfardukan zakat. Ayat-ayat tersebut berjumlah tujuh ayat dalam surat Baraah (At-Taubah), di dalamnya disebut masalah zakat. Ayat-ayat tersebut berkedudukan menasikh secara pasti terhadap pengertian lain."
Qatadah mengatakan bahwa "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" artinya nafkahkanlah sebagian dari apa yang telah Allah berikan kepada kalian, karena harta benda itu merupakan titipan dan pinjaman di tanganmu, hai manusia; dalam waktu yang dekat kamu pasti meninggalkannya.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini bermakna umum, mencakup zakat dan nafkah. Dia mengatakan bahwa takwil yang paling utama dan paling berhak dikemukakan sesuai dengan sifat dari kaum yang dimaksud ialah "hendaklah mereka menunaikan semua kewajiban yang berada pada harta benda mereka, baik berupa zakat ataupun memberi nafkah orang-orang yang harus ia jamin dari kalangan keluarga, anak-anak, dan lain-lainnya dari kalangan orang-orang yang wajib ia nafkahi karena hubungan kekerabatan atau pemilikan atau faktor lainnya". Karena Allah Swt. menyifati dan memuji mereka dengan sebutan tersebut, setiap nafkah dan zakat adalah perbuatan yang terpuji dan para pelakunya mendapat pujian.
Menurut kami, Allah Swt. sering kali menggandengkan antara salat dengan memberi nafkah, karena salat adalah hak Allah dan seba-gai penyembahan kepada-Nya. Di dalam salat terkandung makna menauhidkan (mengesakan) Allah, memuji, mengagungkan, menyanjung-Nya, dan berdoa serta bertawakal kepada-Nya. Sedangkan di dalam infak (membelanjakan harta) terkandung pengertian perbuatan kebajikan kepada sesama makhluk, yaitu dengan mengulurkan bantuan kepada mereka. Orang-orang yang harus diprioritaskan dalam masalah nafkah ini adalah kaum kerabat dan keluarga serta budak-budak yang dimiliki, setelah itu barulah orang lain.
Setiap nafkah wajib dan zakat fardu termasuk ke dalam pengertian firman Allah Swt.:
{وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}
Dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 3)
Karena itu, di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis melalui Ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ»
Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadan, dan berhaji ke Baitullah.
Hadis-hadis yang menerangkan hal ini cukup banyak.
Makna asal lafaz "salat" menurut istilah bahasa ialah doa, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-A'sya dalam salah satu syairnya:
لَهَا حَارِسٌ لَا يَبْرَحُ الدَّهْرَ بَيْتَهَا ... وَإِنْ ذبحت صلّى عليها وزمزم
Si wanita itu mempunyai penjaga yang selamanya tidak pernah meninggalkan rumahnya; dan jika dia menyembelih kurban, maka si penjaga itu berdoa untuknya dengan suara yang kurang dipahami.
Al-A'sya pernah mengatakan pula:
وَقَابَلَهَا الرِّيحُ فِي دَنِّهَا ... وَصَلَّى عَلَى دَنِّهَا وَارْتَسَمَ
Angin menerpanya, sedangkan dia berada di dalam kemahnya, lalu ia berdoa di dalam kemahnya dan pergi.
Kadua bait tersebut diketengahkan oleh Ibnu Jarir sebagai syahid 'bukti' yang menunjukkan makna tersebut (berdoa), dan Al-A'sya mengatakan pula dalam syairnya yang lain, yaitu:
تَقُولُ بِنْتِي وَقَدْ قَرَّبْتُ مُرْتَحِلًا ... يَا رَبِّ جَنِّبْ أَبِي الْأَوْصَابَ وَالْوَجَعَا
عَلَيْكِ مِثْلُ الَّذِي صَلَّيْتِ فَاغْتَمِضِي ... نَوْمًا فَإِنَّ لِجَنْبِ الْمَرْءِ مُضْطَجَعًا
Anak perempuanku mengatakan di saat waktu keberangkatannya telah dekat, "Wahai Tuhanku, jauhkanlah segala musibah dan penyakit dari ayahku.'"' (Ayahnya menjawab), "Semoga engkau mendapatkan pula hal yang semisal dengan apa yang kamu doakan. Maka tidurlah dengan nyenyak, karena sesungguhnya setiap orang memerlukan istirahat."
Penyair bermaksud "semoga engkau pun memperoleh seperti apa yang kamu doakan buatku". Makna ini sudah jelas. Kemudian lafaz "salat" menurut istilah syara' dipakai untuk makna "perbuatan yang mengandung rukuk, sujud, pekerjaan-pekerjaan tertentu, dan dilakukan dalam waktu-waktu yang khusus berikut persyaratan, sifat-sifat-nya, serta jenis-jenisnya yang telah terkenal".
Menurut Ibnu Jarir, salat dinamakan dengan sebutan demikian karena pelakunya berupaya memperoleh pahala Allah melalui amalnya bersamaan dengan permintaan hal-hal yang diperlakukannya kepada Tuhannya. Menurut pendapat lain, lafaz "salat" berasal dari nama kedua urat yang digerakkan dalam salat di saat rukuk dan sujud; urat ini memanjang dari punggung sampai kepada tulang punggung yang paling bawah. Termasuk ke dalam pengertian lafaz ini musalli dinamakan pula terhadap juara kedua dalam perlombaan balap kuda, tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya.
Menurut pendapat lain, lafaz "salat" berasal dari as-sala yang artinya menetapi sesuatu (memasukinya), seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
لا يَصْلاها أي لا يَلْزَمُهَا وَيَدُومُ فِيهَا إِلَّا الْأَشْقَى
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka. (Al-Lail: 15)
Makna yang dimaksud ialah "tiada yang menetapi dan hingga kekal di dalamnya kecuali orang yang paling celaka."
Menurut pendapat lain ia berasal dari tasliyah, yakni memanggang kayu di atas api dengan maksud untuk meluruskannya, sebagaimana orang yang salat menegakkan kebengkokannya dengan salat-nya, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهى عَنِ الْفَحْشاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah lainnya). (Al-'Ankabut: 45)
Menganggap isytiqaq (bentuk asal) salat dari doa adalah pendapat yang paling sahih, sedangkan pembahasan mengenai zakat akan dikemukakan nanti pada bagian tersendiri.

Al-Baqarah, ayat 4

{وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) }
dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa makna firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 4 di atas ialah "mereka percaya kepada apa yang engkau datangkan dari Allah, juga percaya kepada apa yang telah diturunkan kepada rasul-rasul sebelummu, tanpa membeda-bedakan di antara mereka dan tidak mengingkari apa yang telah didatangkan oleh para rasul itu dari Tuhan mereka. Mereka yakin akan adanya kehidupan di akhirat, yakni percaya kepada adanya hari berbangkit, hari kiamat, surga. neraka, hisab, dan mizan (timbangan amal perbuatan); sesungguhnya hari kemudian dinamakan hari akhirat karena terjadi sesudah kehidupan di dunia".
Ulama ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan mereka yang menyandang sifat yang tersebut dalam ayat ini, apakah yang dimaksud dengan mereka adalah orang-orang yang telah disebut dalam firman sebelumnya, yaitu:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 3)
Atau mereka adalah orang-orang lainnya? Menurut Ibnu Jarir, ada tiga pendapat ulama mengenai masalah ini, yaitu:
Pertama, mereka yang sifat-sifatnya disebut pada ayat pertama —demikian pula mereka yang sifatnya disebutkan dalam ayat yang berikutnya— adalah setiap orang mukmin, yaitu orang-orang yang beriman dari kalangan orang Arab, orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab, dan selain mereka. Demikianlah pendapat Mujahid, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah.
Kedua, keduanya sama, yaitu orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab. Berdasarkan makna ini, berarti huruf wawu adalah huruf 'ataf dari suatu sifat ke sifat yang lain. Sebagaimana pengertian yang ada di dalam firman-Nya:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى. الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى. وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدى وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعى. فَجَعَلَهُ غُثاءً أَحْوى
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. (Al-A’la: 1-5)
Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:
إِلَى الْمَلِكِ الْقَرْمِ وَابْنِ الْهُمَامِ ... وَلَيْثِ الْكَتِيبَةِ فِي الْمُزْدَحَمْ
Kepada Raja Al-Qarm, yaitu Ibnul Hammam alias singa pasukan dalam perang yang sengit.
Dalam ungkapannya ini suatu sifat di-'ataf-kan kepada sifat lain, sedangkan mausuf-nya sama.
Ketiga, mereka yang sifat-sifatnya disebutkan pada ayat pertama adalah orang-orang yang beriman dari kalangan bangsa Arab. Sedangkan mereka yang disebut dalam ayat kedua —yaitu firman-Nya, "Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat" (Al-Baqarah: 4)— adalah orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab. Pendapat ini dinukil oleh As-Saddi di dalam kitab Tafsir-nya, dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan sejumlah sahabat Rasulullah Saw. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, lalu ia memperkuat pendapatnya dengan berdalilkan firman-Nya:
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَما أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَما أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خاشِعِينَ لِلَّهِ
Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka, sedangkan mereka berendah diri kepada Allah. (Ali Imran: 199)
hingga akhir ayat. Juga berdalil kepada firman-Nya:
الَّذِينَ آتَيْناهُمُ الْكِتابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ وَإِذا يُتْلى عَلَيْهِمْ قالُوا آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ أُولئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِما صَبَرُوا وَيَدْرَؤُنَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ
Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Qur'an, mereka beriman (pula) dengan Al-Qur'an itu. Dan apabila dibacakan (Al-Qur'an itu) kepada mereka, mereka berkata, "Kami beriman kepadanya. Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya)." Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan; dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan. (Al-Qashash: 52-54)
Juga berdalilkan sebuah hadis yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Asy-Sya'bi, dari Abu Burdah, dari Abu Musa, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«ثَلَاثَةٌ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمَنَ بِي وَرَجُلٌ مَمْلُوكٌ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ وَرَجُلٌ أَدَّبَ جَارِيَتَهُ فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهَا ثُمَّ أَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا»
Ada tiga macam orang, mereka diberi pahala dua kali, yaitu: Seorang lelaki dari kalangan ahli kitab yang beriman kepada nabinya, kemudian beriman kepadaku; seorang lelaki yang dimiliki (budak) yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya; dan seorang lelaki yang mendidik budak perempuannya dengan pendidikan yang baik, setelah itu dia memerdekakannya dan mengawininya.
Ibnu Jarir tidak memakai dalil apa pun untuk memperkuat pendapatnya, melainkan hanya makna kesimpulan saja, yaitu "pada permulaan surat Al-Baqarah ini Allah telah menyifati perihal orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, sebagaimana Dia mengklasifikasikan orang-orang kafir ke dalam dua golongan, yaitu golongan orang kafir dan golongan orang munafik. Dia pun membagi orang-orang mukmin menjadi dua golongan, yaitu orang-orang mukmin dari kalangan orang-orang Arab dan orang-orang mukmin dari kalangan ahli kitab".
Menurut kami, makna lahiriah pendapat Mujahid dalam asar yang diriwayatkan oleh As'-Sauri, dari seorang lelaki, dari Mujahid; dan asar ini diriwayatkan pula bukan hanya oleh satu orang, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan seperti berikut:
Ada empat buah ayat pada permulaan surat Al-Baqarah yang menyifati kaum mukmin dan dua ayat yang menyifati kaum kafir, serta ada tiga belas ayat yang menyifati kaum munafik. Keempat ayat tersebut bermakna umum mencakup setiap orang mukmin yang mempunyai sifat tersebut, baik dari kalangan orang-orang Arab maupun dari kalangan selain mereka; juga dari kalangan ahli kitab, baik manusia ataupun jin. Tiada satu pun dari sifat-sifat tersebut sah bila tanpa yang lainnya, melainkan masing-masing sifat tersebut merupakan kelaziman bagi sifat yang lainnya, juga merupakan syarat keberadaannya. Untuk itu, tidak sah iman kepada yang gaib, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, melainkan harus disertai dengan iman kepada apa yang didatangkan oleh Rasulullah Saw. dari sisi Tuhannya, beriman kepada apa yang didatangkan sebelumnya oleh rasul-rasul lainnya dan Tuhan mereka. juga harus meyakini adanya kehidupan di alam akhirat. salah satu darinya tidaklah sah bila tanpa yang lain. Allah swt telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berbuat demikian. sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلى رَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
Hai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (An-Nisa: 136)
Allah Swt. telah berfirman:
وَلا تُجادِلُوا أَهْلَ الْكِتابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلهُنا وَإِلهُكُمْ واحِدٌ
Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah, "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kalian; Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah satu. (Al-Ankabut: 46)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ آمِنُوا بِما نَزَّلْنا مُصَدِّقاً لِما مَعَكُمْ
Hai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab berimanlah kalian kepada apa yang telah kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan kitab yang ada pada kalian (An-Nisa: 47)
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتابِ لَسْتُمْ عَلى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْراةَ وَالْإِنْجِيلَ وَما أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
Katakanlah, "Hai ahli kitab, kalian tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kalian menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al-Qur'an yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian." (Al-Maidah: 68)
Allah Swt. memberitakan keadaan semua orang mukmin, bahwa mereka beriman terhadap semuanya itu, melalui firman-Nya:
آمَنَ الرَّسُولُ بِما أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ
Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), "Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya." (Al-Baqarah: 285)
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka. (An-Nisa: 152)
Masih banyak lagi ayat lainnya yang intinya memerintahkan kepada segenap kaum mukmin untuk beriman kepada Allah, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Akan tetapi, bagi orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab terdapat kekhususan. Demikian itu bila mereka beriman kepada kitab yang ada di tangan mereka secara rinci; kemudian bila mereka masuk Islam, lalu mereka beriman pula secara rinci kepada Al-Qur'an. maka bagi mereka dua pahala atas hal tersebut. Bagi selain ahli kitab. sesungguhnya beriman kepada kitab-kitab terdahulu itu hanya secara global saja, sebagaimana yang dijelaskan di dalam sebuah hadis sahih, yaitu:
"إِذَا حَدَّثَكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَلَا تُصَدِّقُوهُمْ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَلَكِنْ قُولُوا: آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ"
Apabila ahli kitab bercerita kepada kalian, janganlah kalian dustakan mereka, jangan pula kalian percaya kepada mereka, m-lainkan katakanlah, "Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada kalian"
Akan tetapi, adakalanya iman sebagian besar orang Arab kepada agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. lebih sempurna, lebih umum, dan lebih mencakup daripada iman orang yang masuk Islam dari kalangan ahli kitab. Sekalipun kaum ahli kitab yang masuk Islam itu beroleh pahala dua kali ditinjau dari segi tersebut, maka orang lain selain mereka akan beroleh pahala yang jauh lebih besar daripada dua kali lipat, berkat keimanannya yang dibarengi dengan tasdiq (kepercayaan).

Al-Baqarah, ayat 5

{أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5) }
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk Tuhannya, dan me-rekalah orang-orang yang beruntung.
Allah Swt. berfirman bahwa yang dimaksud dengan mereka itu ialah orang-orang yang mempunyai ciri-ciri khas terdahulu, yaitu iman kepada yang gaib, mendirikan salat, memberi nafkah dari rezeki yang diberikan Allah kepada mereka, iman kepada kitab yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya, dan yakin kepada kehidupan akhirat, yang hal ini menuntut persiapan sebagai bekal guna menghadapinya, yaitu mengerjakan amal-amal saleh dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan.
 {عَلَى هُدًى}'Ala hudan, tetap beroleh cahaya penjelasan dan petunjuk dari Allah Swt.
{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ} Waulaika humul muflihun, dan merekalah orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa makna "mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya" ialah tetap beroleh nur dari Tuhan mereka dan tetap istiqamah (berpegang teguh) kepada Al-Qur'an yang disampaikan kepada mereka.   
Wa ulaika humul muflihun, merekalah orang-orang yang beruntung, yakni orang-orang yang memperoleh apa yang mereka minta dan selamat dari kejahatan yang mereka menghindar darinya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Ulaika 'ala hudam mirrabbihim," ialah "sesungguhnya mereka tetap memperoleh nur (cahaya) dari Tuhannya, pembuktian, istiqamah, dan bimbingan serta taufik Allah buat mereka".
Takwil firman-Nya, "Ulaika humul muflihun.” ialah "merekalah orang-orang yang sukses dan memperoleh apa yang mereka dambakan di sisi Allah melalui amal perbuatan mereka dan iman mereka kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya; dambaan tersebut berupa keberuntungan memperoleh pahala, kekal di surga, dan selamat dari siksaan yang telah disediakan oleh Allah buat musuh-musuh-Nya".
Ibnu Jarir meriwayatkan sebuah pendapat dari sebagian kalangan ahli tafsir, bahwa isim isyarah diulangi di dalam firman-Nya: Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (Al-Baqarah: 5)
Hal itu ditujukan kepada orang-orang beriman dari kalangan ahli kitab yang ciri-ciri khasnya telah disebutkan melalui firman-Nya: dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu. (Al-Baqarah: 4) hingga akhir ayat, seperti yang telah disebutkan perselisihan mengenainya.
Berdasarkan takwil ini, berarti diperbolehkan menganggap firman-Nya, '"Wallazina yu-minuna bima unzila ilaika," bersifat munqati' (terpisah) dari ayat sebelumnya, dan kedudukan i'rab-nya marfu' karena dianggap sebagai mubtada, sedangkan khabar-nya adalah firman Allah Swt, "Wa ulaika humul muflihun"
Ibnu Jarir sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah kembali kepada semua orang yang telah disebut sebelumnya dari kalangan orang-orang beriman bangsa Arab dan orang-orang beriman dari kalangan ahli kitab. Ia memilih pendapat ini karena berdasarkan kepada sebuah asar yang diriwayatkan oleh As-Saddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas; juga dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw. Orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mereka adalah orang-orang mukmin bangsa Arab. Sedangkan mereka yang beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu maksudnya ialah orang-orang beriman dari kalangan ahli kitab. Kemudian keduanya dihimpun dalam satu ayat, yaitu melalui firman-Nya: Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (Al-Baqarah: 5)
Dalam tarjih yang telah kami sebutkan di atas, makna yang dimaksud ialah menerangkan ciri-ciri orang-orang mukmin secara umum, dan isyarat mengandung makna umum ditujukan kepada mereka semua.
Telah dinukil sebuah riwayat dari Mujahid, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah dan Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Misri, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mugirah, dari Abul Haisam yang nama aslinya ialah Sulaiman ibnu Abdullah, dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi Saw. Pernah dikatakan kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tetap membaca Al-Qur'an, lalu kami berdoa, dan kami tetap membaca Al-Qur'an hingga hampir saja kami berputus asa." Maka Nabi Saw. bersabda, "Maukah kalian aku beritakan tentang penduduk surga dan penduduk neraka?" Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah." Nabi Saw. membacakan firman-Nya:
أَلَمْ ذلِكَ الْكِتابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدىً لِلْمُتَّقِينَ- إلى قوله- الْمُفْلِحُونَ
"Alif lam m'im. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan pada-nya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa," sampai dengan firman-Nya, "Orang-orang yang beruntung." (Al-Baqarah: 1-5)
Kemudian Nabi Saw. bersabda, "Mereka adalah penduduk surga." Mereka (para sahabat) berkata, "Sesungguhnya kami berharap semoga diri kami termasuk dari mereka." Lalu Nabi Saw. membacakan firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَواءٌ عَلَيْهِمْ- إِلَى قَوْلِهِ- عَظِيمٌ
"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka," sampai dengan firman-Nya, "Siksaan yang amat berat.” (Al-Baqarah: 6-7)
Beliau Saw. bersabda, "Mereka adalah penduduk neraka." Mereka (para sahabat) berkata, "Wahai Rasulullah, tentunya kami bukan termasuk mereka." Beliau Saw. menjawab, "Ya."

Al-Baqarah, ayat 6

{إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (6) }
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
Innal lazina kafaru, sesungguhnya orang-orang kafir —yakni orang-orang yang menutup perkara yang hak dan menjegalnya— telah dipastikan hal tersebut oleh Allah akan dialami mereka. Yakni sama saja, kamu beri mereka peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tetap tidak akan mau beriman kepada Al-Qur'an yang engkau datangkan kepada mereka. Makna ayat ini semisal dengan ayat lain-nya, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ وَلَوْ جاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ حَتَّى يَرَوُا الْعَذابَ الْأَلِيمَ
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat (azab) Tuhanmu tidaklah mereka akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (Yunus: 96-97)
Allah Swt. telah berfirman menceritakan keadaan orang-orang yang ingkar dari kalangan ahli kitab:
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu. (Al-Baqarah: 145)
Seakan-akan makna ayat ini mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang telah dipastikan oleh Allah Swt. beroleh kecelakaan, maka tiada jalan selamat baginya; dan barang siapa yang disesatkan oleh-Nya, niscaya tiada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Untuk itu, hai Muhammad, janganlah dirimu merasa berdukacita dan kecewa terhadap sikap mereka, teruskanlah penyampaian risalahmu kepada mereka. Barang siapa yang menerima seruanmu, maka baginya pahala yang berlimpah; dan barang siapa yang berpaling, maka janganlah kamu berdukacita terhadap mereka, hal tersebut bukan urusanmu. Pengertian ini sama dengan apa yang diungkapkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
فَإِنَّما عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسابُ
Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedangkan Kamilah yang menghisab amalan mereka. (Ar-Ra'd: 40)
إِنَّما أَنْتَ نَذِيرٌ وَاللَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan, dan Allah pemelihara segala sesuatu. (Hud: 12)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (Al-Baqarah: 6) Pada mulanya Rasulullah Saw. sangat menginginkan agar semua orang beriman dan mengikuti petunjuknya, lalu Allah Swt. memberitahukan kepadanya bahwa tidaklah beriman kecuali orang-orang yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. sebagai orang yang berbahagia, dan tidaklah tersesat kecuali orang-orang yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. sebagai orang yang celaka sejak zaman azalinya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa makna "sesungguhnya orang-orang kafir" ialah kafir terhadap kitab yang diturunkan kepadamu, sekalipun mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami telah beriman kepada kitab yang diturunkan kepada kami sebelummu." Sedangkan kalimat "sama saja, kamu beri mereka peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tetap tidak beriman" maknanya ialah bahwa mereka telah kafir terhadap kitab yang ada di tangan mereka yang di dalamnya terdapat sebutan namamu, dan mereka telah ingkar terhadap perjanjian yang telah ditetapkan atas diri mereka. Pada kesimpulannya mereka kafir terhadap kitab yang diturunkan kepadamu, juga kitab yang diturunkan kepada rasul selainmu buat mereka sebelum kamu; mana mungkin mereka mau mendengar peringatan dan larangan darimu, sedangkan mereka sendiri telah kafir terhadap kitab mereka sendiri yang di dalamnya terkandung pengetahuan mengenai dirimu.
Abu Ja"far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abu Aliyah yang mengatakan bahwa kedua ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan para pemimpin pasukan golongan yang bersekutu, yaitu mereka yang disebut di dalam firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دارَ الْبَوارِ. جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَها
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya. (Ibrahim: 28-29)
Makna yang kami sebutkan pertama —yaitu yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas di dalam riwayat Ali ibnu Talhah— merupakan makna yang lebih jelas, kemudian ayat-ayat berikutnya ditafsirkan dengan makna yang selaras dengannya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan sebuah hadis dalam bab ini. Untuk itu dia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ بْنِ صَالِحٍ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنَّا نَقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ فَنَرْجُو، وَنَقْرَأُ فَنَكَادُ أَنْ نَيْأَسَ، فَقَالَ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ"، ثُمَّ قَالَ: {إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ} هَؤُلَاءِ أَهْلُ النَّارِ". قَالُوا: لَسْنَا مِنْهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "أجل"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Masri, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Mugirah, dari Abul Haisam, dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa pernah dikatakan kepada Rasulullah Saw., "Hai Rasulullah, kami tetap membaca sebagian dari Al-Qur'an dan berharap kami tetap membaca hingga hampir saja kami merasa jenuh." Nabi Saw. bersabda, "Maukah kalian aku ceritakan ...." Kemudian beliau Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga beriman. (Al-Baqarah: 6) Beliau Saw. bersabda, "Mereka adalah ahli neraka." Para sahabat berkata, "Mudah-mudahan kami bukan termasuk mereka, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Tentu saja tidak."
Firman Allah, "La yu-minuna" berkedudukan sebagai jumlah yang mengukuhkan jumlah sebelumnya, yaitu sawa-un 'alaihim a-an zartahum am lam tunzirhum. Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka dalam dua keadaan tersebut tetap bersikap kafir. Karena itu, hal tersebut dikukuhkan dengan firman-Nya, "La yu-minun" (mereka tetap tidak mau beriman).
Akan tetapi, dapat pula dikatakan bahwa lafaz la yu-minuna berkedudukan sebagai khabar, karena bentuk lengkapnya adalah innal lazina kafaru la yu-minuna. Dengan demikian, berarti firman-Nya, "Sawa-un 'alaihim a-an zartahum am lam tunzirhum" merupakan jumlah mu'taridah (kalimat sisipan).

Al-Baqarah, ayat 7

{خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (7) }
Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.
Khatamallahu, menurut As-Saddi maknanya ialah "Allah mengunci mati."
Menurut Qatadah, ayat ini bermakna "setan telah menguasai mereka, mengingat mereka taat kepada keinginan setan, maka Allah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka terdapat penutup. Mereka tidak dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat mendengarnya, tidak dapat memahaminya, dan tidak dapat memikirkannya".
Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan makna khatamallahu 'ala qulubihim, bahwa makna at-tab'u ialah dosa-dosa telah melekat di hati dan meliputinya dari semua sisinya hingga menutupinya dengan rapat. Istilah menutup inilah yang dinamakan, yakni dilak.
Menurut Ibnu Juraij sendiri, yang terkunci mati ialah kalbu dan pendengarannya. Selanjutnya Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Kasir, bahwa ia pernah mendengar Mujahid berkata, "Istilah ar-ran (kotoran) lebih ringan daripada istilah at-tab'u (tertutup rapat), sedangkan at-tab'u lebih ringan daripada al-iqfal (terkunci), dan al-iqfal lebih berat daripada kesemuanya."
Al-A'masy mengatakan bahwa Mujahid pernah berisyarat memperagakan kepadaku dengan tangannya tentang pengertian ini. Dia mengatakan, "Mereka berpendapat bahwa kalbu seseorang itu semisal dengan ini, yakni telapak tangannya. Apabila seseorang hamba melakukan suatu dosa, maka sebagian darinya tergenggam seraya menggenggamkan jari manisnya. Apabila dia berbuat dosa lagi, maka tergenggam pula yang lainnya seraya menggenggamkan jari yang lainnya, hingga semua jari jemari telapak tangannya tergenggam." Kemudian dia mengatakan, "Maka tertutup rapatlah kalbunya oleh dosa-dosa tersebut." Mujahid mengatakan pula, "Mereka memandang bahwa hal tersebutlah yang dinamakan kotoran dosa yang menutupi."
Ibnu Jarir meriwayatkan hal yang sama dari Kuraib, dari Waki', dari Al-A'masy, dari Mujahid.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa sesungguhnya makna firman-Nya: Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7) merupakan berita dari Allah Swt. tentang sifat takabur orang-orang kafir dan berpalingnya mereka dari perkara hak yang disampaikan kepada mereka, yakni mereka tidak mau mendengarkannya. Perihalnya sama dengan perkataan seseorang, "Sesungguhnya si Fulan tuli, tidak mau mendengar perkataan ini," yakni bila dia tidak mau mendengarkannya dan merasa tinggi diri, tidak mau memahaminya karena takabur.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat ini tidak benar, karena sesungguhnya Allah Swt. telah memberitahukan bahwa Dialah yang mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka.
Az-Zamakhsyari mengulas dengan pembahasan panjang lebar dalam menyanggah apa yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir tadi, dan Az-Zamakhsyari menakwilkan makna ayat dari lima hipotesis, tetapi semuanya itu lemah sekali. Menurut kami, tiada yang mendorongnya berbuat demikian melainkan hanya aliran mu'tazilah yang dianutnya. Alasan yang dikemukakannya ialah bahwa makna "mengunci mati hati mereka dan membuatnya menolak untuk menerima perkara yang disampaikan kepadanya" merupakan suatu hal yang buruk (jahat) menurut Az-Zamakhsyari, dan Allah Swt. Maha Tinggi dari perbuatan tersebut; demikianlah keyakinannya.
Akan tetapi, seandainya dia memahami firman Allah Swt. yang mengatakan:
فَلَمَّا زاغُوا أَزاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. (Ash-Shaff: 5)
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصارَهُمْ كَما لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An'am: 110)
Masih banyak ayat serupa lainnya yang menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah Swt. mengunci mati kalbu orang-orang kafir dan menghalang-halangi antara mereka dan hidayah, hanyalah sebagai balasan yang setimpal atas perbuatan mereka yang terus-menerus tenggelam di dalam kebatilan dan mereka tidak mau mengikuti perkara yang hak. Hal ini merupakan keadilan dari Allah Swt. sebagai sikap yang baik, bukan yang buruk. Seandainya Az-Zamakhsyari menyadari hal ini, niscaya dia tidak akan mengeluarkan pendapatnya itu.
Al-Qurtubi mengatakan, para ulama sepakat bahwa Allah Swt. menyifati diri-Nya berlaku mengunci mati dan mengelak kalbu orang-orang kafir sebagai balasan yang setimpal atas kekufuran mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
بَلْ طَبَعَ اللَّهُ عَلَيْها بِكُفْرِهِمْ
Sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya. (An-Nisa: 155)
Selanjutnya Al-Qurtubi menyebutkan hadis yang menceritakan tentang berbolak-baliknya hati, yaitu:
"وَيَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِينِكَ"
Wahai Tuhan yang membolak-balikkan kalbu, tetapkanlah kalbu kami dalam agama-Mu.
Ia mengetengahkan hadis Huzaifah yang terdapat di dalam kitab Sahih, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ، حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ: عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَاءِ فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادٌّ كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا"
Berbagai macam fitnah (dosa) ditampilkan pada kalbu bagaikan tikar yang dianyam sehelai demi sehelai. Hati siapa yang melakukannya, maka dosa itu membuat suatu noktah hitam padanya; dan hati siapa yang mengingkarinya, maka terukirlah padanya suatu sepuhan yang putih. Hingga hati manusia itu ada dua macam, yaitu ada yang putih semisal warna yang jernih; hati yang ini tidak akan tertimpa bahaya oleh suatu dosa pun selagi masih ada langit dan bumi. Sedangkan hati yang lainnya tampak hitam kelam seperti tembikar yang hangus terbakar, ia tidak mengenal perkara yang makruf dan tidak ingkar terhadap perkara yang mungkar... hingga akhir hadis.
Ibnu Jarir mengatakan, "Menurut kami, yang benar sehubungan dengan masalah ini adalah sebuah hadis sahih yang bermakna semisal dari Rasulullah Saw., yaitu sebuah hadis yang diceritakan kepada kami oleh Muhammad ibnu Basysyar; dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ajlan, dari Al-Qa'qa', dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا كَانَتْ نُكْتة سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ فَإِنْ تَابَ ونزعَ وَاسْتَعْتَبَ صُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}
Sesungguhnya orang mukmin itu apabila berbuat suatu dosa, maka hal itu merupakan noktah hitam pada hatinya. Tetapi jika dia bertobat dan kapok serta menyesali, maka tersepuhlah hatinya (menjadi bersih kembali). Tetapi apabila dosanya bertambah, maka bertambah pulalah noktah hitam itu hingga (lama-kelamaan) menutupi hatinya, yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan istilah ar-ran di dalam firman-Nya, "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi mereka." (Al-Muthaffifin: 14)
Hadis ini dari segi yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai, dari Qutaibah, Lais ibnu Sa'd dan Ibnu Majah, dari Hisyam ibnu Ammar, dari Hatim ibnu Ismail dan Al-Walid ibnu Muslim, semuanya berasal dari Muhammad ibnu Ajlan dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, "Rasulullah Saw. telah memberitakan bahwa dosa-dosa itu apabila berturut-turut membuat noktah hitam pada hati maka ia akan menutup hati. Apabila telah tertutup, maka saat itulah dilakukan penguncian oleh Allah Swt. dan dilak. Setelah itu tiada jalan bagi iman untuk menembusnya dan tiada jalan keluar bagi kekufuran untuk meninggalkannya."
Pengertian inilah yang dimaksud oleh istilah penguncian dan pengelakan yang dinyatakan di dalam firman-Nya: Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7)
Pengertian ini diserupakan dengan penguncian dan pengelakan hal yang dapat diinderawi dengan mata, yakni diserupakan dengan wadah dan botol yang tidak dapat diambil isinya kecuali dengan membuka dan memutar tutupnya. Dengan kata lain, demikian pula iman; tidak dapat sampai ke dalam kalbu orang-orang yang disifati oleh Allah Swt. hati dan pendengaran mereka telah dikunci mati, kecuali setelah membuka dan melepaskan penutup yang menguncinya.
Perlu diketahui bahwa waqaf yang sempurna (menghentikan bacaan secara total) pada firman-Nya:
خَتَمَ اللَّهُ عَلى قُلُوبِهِمْ وَعَلى سَمْعِهِمْ
Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7)
وَعَلى أَبْصارِهِمْ غِشاوَةٌ
dan penglihatan mereka ditutup. (Al-Baqarah: 7)
Menandakan masing-masing sebagai jumlah yang sempurna. Dengan kata lain, penguncian dilakukan terhadap hati dan pendengaran, sedangkan penutupan terjadi pada penglihatan. Sebagaimana yang dikatakan As-Saddi di dalam kitab Tafsir-nya, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud r.a. dan dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw. sehubungan dengan firman-Nya: Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7)
As-Saddi mengatakan, "Karena itu, mereka (orang-orang kafir) tidak dapat berpikir dan tidak dapat pula mendengarnya." Disebutkan pula, "Dan penglihatan mereka ditutup," makna yang dimaksud ialah pada penglihatan mereka ada penutupnya hingga mereka tidak dapat melihat perkara yang hak.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepadaku pamanku (Al-Husain ibnul Hasan), dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ibnu Abbas, bahwa Allah telah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, sedangkan penutup terdapat pada penglihatan mereka. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain (yakni Abu Daud), telah menceritakan kepadaku Hajjaj (yakni Ibnu Muhammad Al-A'war), telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang pernah mengatakan bahwa penguncian terjadi pada hati dan penglihatan, sedangkan penutupan terjadi pada penglihatan.
Allah Swt. telah berfirman:
فَإِنْ يَشَإِ اللَّهُ يَخْتِمْ عَلى قَلْبِكَ
Maka jika Allah  menghendaki,  niscaya Dia  mengunci mati hatimu. (Asy-Syura: 24)
وَخَتَمَ عَلى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلى بَصَرِهِ غِشاوَةً
Dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. (Al-Jatsiyah: 23)
Ibnu Jarir mengatakan lafaz gisyawah pada firman-Nya, "Wa'ala absarihim gisyawatan" (Al-Baqarah: 7), barangkali yang me-nasab-kannya adalah fi'il yang tidak disebutkan. Bentuk lengkapnya ialah wa-ja'ala 'ala absarihim gisyawatan (Dan Dia menjadikan pada penglihatan mereka penutup). Barangkali nasab-nya itu karena mengikut kepada mahall i'rab dari lafaz wa 'ala sam'ihim, sebagaimana i'rab ittiba' pada firman-Nya:
وَحُورٌ عِينٌ
Dan (mereka dikelilingi oleh) bidadari-bidadari yang bermata jeli. (Al-Waqi'ah: 22)
Demikian pula pada perkataan seorang penyair, yaitu:
عَلَفْتُهَا تِبْنًا وَمَاءً بَارِدًا ... حَتَّى شَتَتْ هَمَّالَةً عيناها
وَرَأَيْتُ زَوْجَكِ فِي الْوَغَى ... مُتَقَلِّدًا سَيْفًا وَرُمْحًا
Aku beri dia makan makanan ternak dan kuberi dia minum air yang sejuk, hingga terhapuslah belek pada kedua matanya, dan aku lihat suamimu berada dalam pertempuran menyandang pedang dan memanggul tombak.
Bentuk lengkapnya ialah wasaqaituha ma-an baridan dan mu'taqilan bumhan.
Setelah disebutkan sifat orang-orang mukmin dalam permulaan surat melalui empat ayat yang mengawalinya, kemudian diperkenalkan pula keadaan orang-orang kafir melalui dua ayat berikutnya, maka Allah Swt. mulai menjelaskan keadaan orang-orang munafik. Orang-orang munafik adalah mereka yang menampakkan lahiriahnya seakan-akan beriman, sedangkan di dalam batin mereka memendam kekufuran. Mengingat perkara mereka membingungkan kebanyakan orang, maka Allah Swt. mengetengahkan perihal mereka dalam pembahasan yang cukup panjang dengan menyebutkan sifat dan ciri khas yang beraneka ragam, tetapi masing-masing ragam dan bentuk tersebut merupakan ciri khas kemunafikan tersendiri. Sebagaimana Allah pun menyebutkan perihal mereka dalam surat Baraah (surat At-Taubah), surat Munafiqun, dan surat An-Nur serta surat-surat lainnya, untuk memperkenalkan keadaan dan sepak terjang mereka agar dihindari dan jangan sampai orang yang belum mengetahuinya terjerumus ke dalamnya.

Al-Baqarah, ayat 8-9

{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) }
Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian" padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak sadar.
Nifaq atau munafik ialah menampakkan kebaikan dan menyembunyikan kejahatan. Sifat munafik itu bermacam-macam, ada yang berkaitan dengan akidah; jenis ini menyebabkan pelakunya kelak di dalam neraka. Ada yang berkaitan dengan perbuatan, jenis ini merupakan salah satu dari dosa besar, rinciannya akan disebutkan pada bagian tersendiri, insya Allah.
Menurut Ibnu Juraij, orang munafik ialah orang yang ucapannya bertentangan dengan perbuatannya, keadaan batinnya bertentangan dengan sikap lahiriahnya, bagian dalamnya bertentangan dengan bagian luarnya, dan penampilannya bertentangan dengan kepribadiannya.
Sesungguhnya sifat orang munafik diterangkan di dalam surat-surat Madaniyah, karena di Mekah tidak ada sifat munafik, bahkan kebalikannya. Di antara orang-orang dalam periode Mekah ada yang menampakkan kekufuran karena terpaksa, padahal batinnya adalah orang mukmin tulen. Ketika Nabi Saw. hijrah ke Madinah, padanya telah ada kaum Ansar yang terdiri atas kalangan kabilah Aus dan kabilah Khazraj. Dahulu di masa Jahiliah, mereka termasuk penyembah berhala sebagaimana kebiasaan kaum musyrik Arab. Di Madinah terdapat orang-orang Yahudi dari kalangan ahli kitab yang memeluk agama menurut nenek moyang mereka.
Orang-orang Yahudi Madinah terdiri atas tiga kabilah, yaitu Bani Qainuqa' (teman sepakta kabilah Khazraj), Bani Nadir, dan Bani Quraizah (teman sepakta kabilah Aus).
Ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah dan orang-orang Ansar dari kalangan kabilah Aus dan kabilah Khazraj telah masuk Islam, tetapi sedikit sekali dari kalangan orang-orang Yahudi yang masuk Islam, bahkan hanya satu orang, yaitu Abdullah ibnu Salam r.a. Pada saat itu (periode pertama Madinah) masih belum terdapat nifaq, mengingat kaum muslim masih belum mempunyai kekuatan yang berpengaruh, bahkan Nabi Saw. hidup rukun bersama orang-orang Yahudi dan kabilah-kabilah Arab yang berada di sekitar kota Madinah, hingga terjadi Perang Badar Besar, dan-Allah memenangkan kalimah-Nya dan memberikan kejayaan kepada Islam serta para pemeluknya.
Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul adalah seorang pemimpin di Madinah, berasal dari kabilah Khazraj. Dia adalah pemimpin kedua kabilah di masa Jahiliah, mereka bertekad akan menjadikannya sebagai raja mereka. Kemudian datanglah kebaikan (agama Islam) kepada mereka, dan mereka semua masuk Islam, menyibukkan dirinya dengan urusan Islam, sedangkan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul tetap pada pendiriannya seraya memperhatikan perkembangannya Islam dan para pemeluknya. Akan tetapi, ketika terjadi Perang Badar (dan kaum muslim beroleh kemenangan), dia berkata, "Ini merupakan suatu perkara yang benar-benar telah mengarah (kepada kekuasaan)." Akhirnya dia menampakkan lahiriahnya masuk Islam, dan sikapnya ini diikuti oleh orang-orang yang mendukungnya, juga oleh orang lain dari kalangan ahli kitab.
Sejak itulah muncul nifaq (kemunafikan) di kalangan sebagian penduduk Madinah dan orang-orang Badui yang berada di sekitar kota Madinah. Adapun kaum Muhajirin, tidak ada seorang munafik pun di kalangan mereka karena tiada seorang pun yang berhijrah karena dipaksa, bahkan setiap Muhajirin berhijrah meninggalkan harta benda dan anak-anaknya karena mengharapkan pahala di sisi Allah kelak di hari kemudian.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian" padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8) Yang dimaksud adalah orang-orang munafik dari kalangan kabilah Aus dan kabilah Khazraj serta orang-orang yang mengikuti mereka. Hal yang sama ditafsirkan oleh Abul Aliyah, Al-Hasan, Qatadah, dan As-Saddi, yaitu "mereka adalah orang-orang munafik dari kabilah Aus dan kabilah Khazraj".
Melalui ayat ini Allah memperingatkan kaum mukmin agar jangan terbujuk oleh lahiriah sikap mereka, yaitu dengan menerangkan sifat-sifat dan ciri khas orang-orang munafik, karena hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya kerusakan yang luas sebagai akibat tidak bersikap waspada terhadap mereka; dan sebagai akibat meyakini keimanan mereka, padahal kenyataannya mereka adalah orang-orang kafir.
Hal ini merupakan larangan besar, yaitu menduga baik pada orang-orang yang ahli dalam kemaksiatan. Untuk itulah Allah Swt. berfirman: Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8)
Dengan kata lain, mereka katakan hal tersebut hanya dengan lisannya saja, padahal di balik itu tiada satu iman pun yang terdapat di hati mereka, sebagaimana yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
إِذا جاءَكَ الْمُنافِقُونَ قالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ
Apabila orang-orang munqfik datang kepadamu, mereka berkata, "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah." Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya. (Al-Munafiqun: 1)
Dengan kata lain, sesungguhnya mereka mengatakan demikian bila datang kepadamu saja, padahal kenyataannya tidak demikian. Karena itu, mereka mengukuhkan kesaksiannya dengan inna dan lam taukid pada khabar-nya. Mereka mengukuhkan perkataannya pula, seperti yang disitir oleh firman-Nya, "Mereka mengatakan, 'Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian'," padahal kenyataannya tidaklah demikian. Allah mendustakan kesaksian dan kalimat berita mereka, yang hal ini berkaitan dengan akidah mereka, yaitu melalui firman-Nya:
وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنافِقِينَ لَكاذِبُونَ
Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (Al-Munafiqun: 1)
{وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ}
padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8)
**********
Firman Allah Swt. mengatakan, "Yukhadi unallaha wal lazina amanu" mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman karena mereka hanya menampakkan keimanannya pada lahiriahnya saja, sedangkan batin mereka memendam kekufuran. Karena kebodohan mereka sendiri, mereka menduga bahwa diri mereka menipu Allah Swt. dengan sikap tersebut, dan hal tersebut menghasilkan manfaat di sisi-Nya, dapat mengelabui Allah Swt. sebagaimana mereka dapat mengecoh sebagian kalangan kaum mukmin, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعاً فَيَحْلِفُونَ لَهُ كَما يَحْلِفُونَ لَكُمْ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ عَلى شَيْءٍ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْكاذِبُونَ
(Ingatlah) hari (ketika) mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepada kalian; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta. (Al-Mujadilah: 18)
Karena itulah Allah membantah apa yang mereka yakinkan itu melalui firman-Nya:
وَما يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَما يَشْعُرُونَ
Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari. (Al-Baqarah: 9)
Dengan kata lain, mereka tidak mengelabui melalui perbuatannya yang demikian itu; tidak pula menipu, melainkan hanya diri mereka sendiri, sedangkan diri mereka tidak merasakan hal itu, sebagaimana yang disebutkan dalam firman lainnya:
إِنَّ الْمُنافِقِينَ يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (An-Nisa: 142)
Di antara ahli qiraah ada yang membaca wama yakhda'una illa an-fusahum menjadi wama yukhadi' una illa anfusahum yang artinya "tiada lain diplomasi yang mereka lakukan itu melainkan terhadap diri mereka sendiri". Akan tetapi, kedua Qira’ah tersebut mempunyai makna yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, jika ada seseorang mengatakan mengapa orang yang munafik kepada Allah dan kepada kaum mukmin dapat dikatakan sebagai seorang penipu, sedangkan orang yang munafik itu tidak sekali-kali mengatakan apa yang bertentangan dengan batinnya hanyalah karena taqiyyah semata? Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa orang-orang Arab menamakan ucapan yang bertentangan dengan hati sebagai sikap taqiyyah untuk menyelamatkan diri dari hal yang ditakutkan dengan nama mukhadi'. Demikian pula halnya dengan orang munafik, dia dinamakan mukhadi' (orang yang menipu) Allah dan orang-orang mukmin dengan mengucapkan kata-kata yang dapat menyelamatkan dirinya dari pembunuhan, penahanan, dan siksaan yang segera, padahal di balik penampilan luarnya dia memendam kebencian. Yang demikian itu adalah salah satu dari sikap orang munafik; sekalipun dia menipu orang-orang mukmin dalam kehidupan di dunia ini, tetapi dia dengan perbuatannya itu sama saja menipu dirinya sendiri. Dikatakan demikian karena perbuatan yang ditampakkannya itu menurutnya dapat memberikan apa yang dicita-citakannya dan kebahagiaan, padahal kenyataannya justru merupakan sumber kejatuhannya dan berakibat siksaan di hari kemudian serta murka Allah dan azab-Nya yang amat pedih tiada bandingannya. Tipuan yang ia lancarkan tersebut diduganya sebagai perbuatan yang baik buat dirinya, padahal sesungguhnya dia berbuat jahat terhadap dirinya sendiri bagi kehidupannya di akhirat nanti, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya, "Tiadalah yang mereka tipu muslihatkan melainkan diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak merasakannya."
Ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bahwa orang-orang munafik telah mencelakakan dirinya sendiri karena perbuatan mereka membuat Tuhan murka, yaitu kekufuran, keraguan, dan kedustaan yang mereka lakukan tanpa mereka rasakan dan tanpa mereka ketahui hingga membuat mereka buta dan menetapi perbuatannya itu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Mubarak dalam suratnya yang ditujukan kepadaku, bahwa telah menceritakan kepadanya Zaid ibnul Mubarak, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Saur, dari Ibnu Juraij, sehubungan dengan firman-Nya: Mereka hendak menipu Allah. (Al-Baqarah: 9) Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka menampakkan kalimat tauhid dengan tujuan agar darah dan harta benda selamat, padahal di dalam hati mereka terdapat hal yang bertentangan dengan kalimat tauhid itu.
Sa'id telah mengatakan dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepa-da Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari. (Al-Baqarah: 8-9) Bahwa ciri khas orang munafik pada umumnya ialah berakhlak rendah, percaya dengan lisan tetapi ingkar dengan hati, dan berbeda dengan perbuatan serta sepak terjangnya; di pagi hari berada dalam satu keadaan, sedangkan di petang harinya dalam keadaan lain; begitu pula kebalikannya, di petang hari dalam satu sikap, sedangkan di pagi harinya bersikap lain; ia terombang-ambing bagaikan perahu yang ditiup angin kencang dan hanya bersikap mengikuti arah angin.

Al-Baqarah, ayat 10

{فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10) }
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakit-ya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
As-Saddi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Rasul Saw. sehubungan dengan firman-Nya, "Fi qulubihim maradun,'''' di dalam hati mereka ada penyakit, yakni keraguan.”Fazadahumullahu maradan," lalu ditambah Allah penyakitnya, yakni keraguannya. Ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad bin Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Said bin Jabir, dari Ibnu Abbas, bahwa fi qulubihim maradun artinya keraguan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan Al-Basri, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta Qatadah.
Dari Ikrimah dan Tawus disebutkan sehubungan dengan firman-Nya, "Fi qulubihim maradun" di dalam hati mereka ada penyakit, yang dimaksud ialah riya (pamer).
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa. fi qulubihim maradun artinya nifaq, dan fazadahumullahu maradan yakni nifaq (munafik) pula; pendapat ini sama dengan yang pertama.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan fi qulubihim maradun artinya penyakit dalam masalah agama, bukan penyakit pada tubuh. Mereka yang mempunyai penyakit ini adalah orang-orang munafik, sedangkan penyakit tersebut adalah berupa keraguan yang merasuki hati mereka terhadap Islam. Fazadahumullahu maradan artinya "lalu ditambah oleh Allah kekafirannya." Selanjutnya Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam membacakan firman-Nya:
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزادَتْهُمْ إِيماناً وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ. وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ
Adapun orang-orang yang beriman, maka surat itu menambah imannya,  sedangkan  mereka  merasa gembira.  Dan  adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada). (At-Taubah: 124-125)
Menurutnya, makna yang dimaksud ialah bertambahlah kejahatan mereka di samping kejahatan yang ada dan kesesatan di samping kesesatan yang telah ada pada diri mereka. Pendapat yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ini merupakan pembalasan yang sesuai dengan jenis amal perbuatan, demikian pula pendapat ulama yang mendahuluinya. Hal yang sama dikatakan pula terhadap firman-Nya:
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زادَهُمْ هُدىً وَآتاهُمْ تَقْواهُمْ
Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya. (Muhammad: 17)
Firman-Nya, "Bima kanu yakzibuna" (disebabkan mereka berdusta). Lafaz yakzibuna dapat dibaca yukazzibuna (disebabkan apa yang mereka dustakan). Dikatakan demikian karena mereka mempunyai kedua sifat tersebut, yakni mereka adalah orang-orang yang berdusta, juga mendustakan yang gaib. Dengan kata lain, di dalam diri mereka terdapat sifat ini dan sifat itu.
Imam Qurtubi dan lain-lainnya dari kalangan ulama tafsir pernah ditanya mengenai hikmah Nabi Saw. tidak membunuh orang-orang munafik, padahal beliau mengetahui dengan jelas sebagian dari mereka. Lalu mereka mengemukakan jawaban mengenainya yang antara lain ialah melalui apa yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda kepada Umar ibnul Khattab r.a.:
«أَكْرَهُ أَنْ يَتَحَدَّثَ الْعَرَبُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ»
Aku tidak suka bila nanti orang-orang Arab mengatakan bahwa Muhammad membunuh teman-temannya.
Dengan kata lain, beliau merasa khawatir bila hal tersebut dilakukan nya akan mengubah sikap kebanyakan orang-orang Arab hingga mereka antipati untuk masuk Islam, mengingat mereka tidak mengetahui hikmah di balik hukuman mati yang beliau Saw. jatuhkan terhadap mereka (orang-orang munafik), dan mereka sama sekali tidak mengerti bahwa sesungguhnya Nabi Saw. menghukum mereka hanya karena kekufuran; yang mereka simpulkan hanyalah lahiriah yang tampak bagi mereka, lalu mereka katakan bahwa Muhammad telah membunuh teman-temannya sendiri.
Al-Qurtubi mengatakan, demikianlah pendapat ulama mazhab kami dan selain mereka, perihalnya sama dengan pemberian yang diberikan oleh Nabi Saw. kepada kaum mu'allafah (orang-orang yang sedang dibujuk hatinya masuk Islam), padahal Nabi Saw. jelas mengetahui keburukan keyakinan mereka.
Ibnu Atiyyah mengatakan bahwa pendapat ini adalah yang dianut oleh murid-murid Imam Malik, pendapat ini di-nas-kan oleh Muhammad ibnul Jahm dan Al-Qadi Ismail serta Al-Abhuri Majisyun.
Jawaban lainnya ialah menurut apa yang dikatakan oleh Imam Malik, sesungguhnya Rasulullah Saw. menahan diri terhadap orang-orang munafik hanyalah untuk menjelaskan kepada umatnya bahwa seorang hakim tidak boleh main hakim sendiri atas dasar pengetahuannya sendiri. Imam Qurtubi mengatakan, semua ulama telah sepakat bahwa seorang kadi tidak boleh menjatuhkan hukum mati atas dasar pengetahuannya sendiri, sekalipun para ulama berbeda pendapat dalam hukum-hukum lainnya.
Jawaban lainnya ialah apa yang dikatakan oleh Imam Syafli, sesungguhnya Rasulullah Saw. menahan diri tidak menghukum mati orang-orang munafik atas perbuatan mereka yang lahiriahnya menampakkan Islam, padahal batin mereka diketahui munafik, karena apa yang mereka tampakkan itu dapat menutupi apa yang dilakukan sebelumnya. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Saw. dalam sebuah hadis yang telah disepakati kesahihannya di dalam kitab Sahihain dan kitab-kitab lain, yaitu:
«أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»
Aku diperintahkan untuk memerangi orang-orang hingga mereka mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah." Apabila mereka mengucapkannya, berarti mereka telah memelihara darah dan harta bendanya dariku, kecuali berdasarkan alasan yang dibenarkan, sedangkan hisab (perhitungan) mereka diserahkan kepada Allah Swt.
Makna hadis ini menunjukkan bahwa "barang siapa yang mengucapkan kalimah tersebut, maka diberlakukan terhadapnya hukum Islam menurut lahiriahnya." Jika orang yang bersangkutan mengucapkan hal itu disertai dengan keyakinan, maka ia memperoleh pahalanya di hari kemudian. Jika dia tidak meyakininya, maka tiada manfaat pemberlakuan hukum dunia baginya dan pergaulannya dengan orang-orang yang beriman.
Allah Swt. telah berfirrnan:
{يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الأمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ}
Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata, "Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?" Mereka (orang-orang mukmin) menjawab, "Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri dan menunggu (kehancuran kami), dan kalian ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah. (Al-Hadid: 14)
Mereka (orang-orang munafik) itu bergaul dengan orang-orang mukmin dalam sebagian dari pergaulannya. Tetapi apabila orang-orang munafik itu dituntut melakukan suatu kewajiban, mereka berbeda dengan orang-orang yang beriman dan berada di belakang kaum mukmin.
Allah Swt. berfirman:
 وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ
Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini. (Saba': 54)
Orang-orang munafik itu tidak mungkin ikut sujud bersama kaum mukmin, sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak hadis.
Jawaban lainnya ialah apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, sesungguhnya Nabi Saw. tidak menghukum mati mereka karena beliau tidak merasa khawatir terhadap kejahatan dan makar mereka, mengingat beliau Saw. masih hidup di antara kaum mukmin dan membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah yang memberikan penjelasan. Sesudah beliau Saw. wafat, mereka dihukum mati bila menampakkan kemunafikannya dan diketahui oleh kaum muslim.
Imam Malik mengatakan bahwa orang munafik di masa Rasulullah Saw. sama halnya dengan kafir zindiq di masa sekarang (yakni masa Imam Malik).
Menurut kami, para ulama berselisih pendapat mengenai hukuman mati terhadap kafir zindiq jika dia menampakkan kekufurannya, apakah diminta bertobat atau langsung dihukum mati, apakah ada bedanya antara orang zindiq yang telah mendengar dakwah Islam dan yang belum pernah tersentuh oleh dakwah Islam; ataukah disyaratkan hendaknya perbuatan murtadnya itu bersifat berulang-ulang atau tidak, dan apakah masuk Islamnya atau kekafirannya disyaratkan atas kehendak sendiri atau sesudah Islam tampak baginya. Ada berbagai pendapat yang menanggapinya. Hanya, tempat untuk menjelaskannya secara rinci dan keputusannya ada di dalam Bab "Hukum-Hukum".
Pendapat orang yang mengatakan bahwa Nabi Saw. mengetahui secara pasti sebagian orang-orang munafik, sesungguhnya yang dijadikan sandaran dalil baginya hanyalah hadis Huzaifah ibnul Yaman yang di dalamnya disebut nama-nama mereka yang jumlahnya ada empat belas orang munafik dalam Perang Tabuk, yaitu mereka yang, berniat membunuh Rasulullah Saw. di dalam kegelapan malam di salah satu lembah di Tabuk. Mereka bermaksud melaratkan unta yang dikendarainya dengan tujuan agar Nabi Saw. terjatuh. Lalu Allah menurunkan wahyu kepadanya mengenai makar mereka, kemudian Nabi Saw. menceritakan hal tersebut kepada Huzaifah. Barangkali Nabi Saw. menahan diri tidak menghukum mati mereka karena adanya pemberitahuan melalui wahyu tersebut, atau karena faktor lain, hanya Allah yang mengetahuinya.
Selain mereka, sesungguhnya Allah Swt. menyebutkannya melalui firman-Nya:
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرابِ مُنافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ
Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekeliling kalian itu ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. (At-Taubah: 101)
لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجاوِرُونَكَ فِيها إِلَّا قَلِيلًا. مَلْعُونِينَ أَيْنَما ثُقِفُوا أُخِذُوا وَقُتِّلُوا تَقْتِيلًا
Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu sebentar, dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya. (Al-Ahzab: 60-61)
Di dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa Nabi Saw. sebenarnya tidak mengetahui mereka dan tidak mengenal mereka secara perorangan, melainkan hanya disebutkan kepadanya mengenai sifat orang-orang munafik. Dengan bekal tersebut beliau dapat menandainya pada sebagian dari kalangan mereka, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman yang lain:
وَلَوْ نَشاءُ لَأَرَيْناكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيماهُمْ. وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ
Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka melalui tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka. (Muhammad: 30)
Di antara mereka yang terkenal kemunafikannya ialah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul. Kemunafikannya telah disaksikan oleh Zaid ibnu Arqam r.a. setelah ada penjelasan mengenai sifat-sifat orang munafik. Sekalipun demikian, ketika Abdullah ibnu Ubay bin Salul mati, Nabi Saw. ikut menyalatkannya dan bahkan menyaksikan penguburannya, sebagaimana yang beliau lakukan terhadap kaum muslim lainnya. Ketika Umar ibnul Khattab r.a. menegurnya karena perbuatan tersebut, maka beliau Saw. bersabda:
«إِنِّي أَكْرَهُ أَنْ تَتَحَدَّثَ الْعَرَبُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ»
Sesungguhnya aku tidak suka bila nanti orang-orang Arab Badui membicarakan bahwa Muhammad membunuh teman-temannya sendiri.
Di dalam riwayat lain dalam hadis sahih disebutkan:
"إِنِّي خُيِّرْتُ فَاخْتَرْتُ" وَفِي رِوَايَةٍ "لَوْ أَنِّي أَعْلَمُ لَوْ زِدْتُ عَلَى السَّبْعِينَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَهُ لَزِدْتُ".
Sesungguhnya aku disuruh memilih, maka aku melakukan pilihan (yakni ikut menyalatkan dan menguburkannya). Seandainya aku mengetahui bahwa jika aku melakukan istigfar buatnya lebih dari tujuh puluh kali dia diampuni, niscaya aku akan menambahnya.

Al-Baqarah, ayat 11-12

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (11) أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ (12) }
Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi:" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan tetapi mereka tidak menyadarinya.
As-Sadi di dalam kitab Tafsirnya meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah At-Tabib Al Hamdani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya, "Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi,' mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan' (Al-Baqarah: 11), "bahwa mereka adalah orang-orang munafik. Sedangkan yang dimaksud dengan kerusakan di muka bumi ialah melakukan kekufuran dan perbuatan maksiat.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya, "Waiza qila lahum la tufsidu fil ard" artinya janganlah kalian berbuat maksiat di muka bumi. Kerusakan yang mereka timbulkan disebabkan perbuatan maksiat mereka terhadap Allah. Karena orang yang durhaka kepada Allah di muka bumi atau memerintahkan kepada kedurhakaan (kemaksiatan) berarti telah menimbulkan kerusakan di muka bumi, mengingat kebaikan bumi dan langit adalah karena perbuatan taat. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid tentang makna firman-Nya, "Waiza qila lahum la tufsidufil ardi." Menurutnya, apabila mereka mengerjakan maksiat, dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian melakukan maksiat ini dan maksiat itu." Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami berada di jalan hidayah dan sebagai orang-orang yang mengadakan perbaikan."
Waki', Isa ibnu Yunus, dan Assam ibnu Ali mengatakan dari Al-A'masy, dari Minhal ibnu Amr ibnu Abbad ibnu Abdullah Al-Asadi, dari Salman Al-Farisi, sehubungan dengan firman-Nya: Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi." Mereka menjawab, Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (Al-Baqarah: 11) Menurut Salman Al-Farisi, orang-orang yang dimaksud oleh ayat ini masih belum ada (di masanya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Usman ibnu Hakim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Syarik, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-A'masy, dari Zaid ibnu Wahb dan lain-lainnya, dari Salman Al-Farisi sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka masih belum ada.
Ibnu Jarir mengatakan, barangkali Salman r.a. bermaksud bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang disebut dalam ayat ini melakukan kerusakan yang jauh lebih besar daripada mereka yang memiliki sifat yang sama di zaman Nabi Saw. Makna yang dikemukakannya bukan berarti bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut masih belum ada.
Ibnu Jarir mengatakan pula, orang munafik adalah mereka yang melakukan kerusakan di muka bumi karena perbuatan maksiat mereka terhadap Tuhannya dan pelanggaran-pelanggaran yang mereka kerjakan terhadap hal-hal yang dilarang oleh Tuhan. Mereka pun menyia-nyiakan hal-hal yang difardukan-Nya, mereka ragu terhadap agama Allah yang tidak mau menerima amal seorang pun kecuali dengan beriman kepadanya dan meyakini hakikatnya. Selain itu mereka berdusta terhadap kaum mukmin melalui pengakuan mereka yang me-yatakan bahwa dirinya beriman, padahal di dalam batin mereka dipenuhi oleh keraguan dan kebimbangan. Mereka juga membantu orang-orang yang mendustakan Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kekasih-kekasih-Nya bila mereka menemukan jalan ke arah itu. Yang demikian itulah kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang munafik di muka bumi, dan mereka menduga bahwa perbuatan mereka itu dinamakan perbaikan di muka bumi. Makna inilah yang dimaksud oleh Hasan, bahwa sesungguhnya termasuk menimbulkan kerusakan di muka bumi bila orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسادٌ كَبِيرٌ
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kalian (hai kaum muslim) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (Al-Anfal: 73)
Maka Allah memutuskan (meniadakan) saling tolong antara kaum mukmin dan orang-orang kafir, sebagaimana yang ditegaskan di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكافِرِينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطاناً مُبِيناً
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)? (An-Nisa: 144)
Kemudian dalam ayat berikutnya Allah Swt. berfirman:
إِنَّ الْمُنافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيراً
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada bagian yang paling bawah dari neraka, dan kalian tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. (An-Nisa: 145)
Mengingat orang munafik dalam sikap lahiriahnya menunjukkan beriman, perihal yang sebenarnya dapat mengelabui kaum mukmin. Kerusakan yang diakibatkan oleh orang munafik mudah terjadi, mengingat dia dengan mudah dapat membujuk kaum mukmin melalui hasutan yang dilancarkannya. Dengan sembunyi-sembunyi orang-orang munafik bersahabat dengan orang-orang kafir untuk memusuhi kaum mukmin. Padahal seandainya orang-orang munafik tersebut tetap pada pendirian kafirnya, niscaya kejahatan yang ditimbulkannya lebih ringan. Seandainya mereka ikhlas dalam amalnya karena Allah, niscaya mereka beruntung dan beroleh kebahagiaan. Karena itulah Allah Swt. berfirman: Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi Mereka menjawab.”Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (Al-Baqarah: 11)
Dengan kata lain mereka mengatakan, "Kami bermaksud menjadi juru penengah perdamaian antara kedua golongan, yakni kaum mukmin dan kaum kuffar." Pengertian ini dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya, "Waiza qila lahum la tufsidufil ardi qalu innama nahnu muslihuna," yakni sesungguhnya kami bermaksud melakukan perdamaian di antara kedua golongan, yaitu golongan kaum mukmin dan ahli kitab. Akan tetapi, anggapan mereka itu dibantah oleh firman-Nya:  Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari. (Al-Baqarah: 12)
Dengan kata lain, dapat diartikan "hanya saja hal yang mereka duga sebagai perbaikan dan perdainaian itu justru merupakan kerusakan itu sendiri; tetapi karena kebodohan mereka, mereka tidak merasakan hal itu sebagai kerusakan.

Al-Baqarah, ayat 13

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُونَ (13) }
Apabila dikatakan kepada mereka.”Berimanlah kalian sebagaimana orang lain telah beriman." Mereka menjawab, Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak mengerti.
Allah Swt. berfirman, "Waiza qila" (apabila dikatakan), yakni kepada orang-orang munafik. Aminu kama amanan nasu, berimanlah kamu sekalian sebagaimana orang-orang beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari berbangkit sesudah mati, surga dan neraka serta lain-lainnya yang telah diberitakan oleh Allah kepada orang-orang mukmin. Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dalam mengerjakan semua perintah dan meninggalkan semua larangan.
Qalu anuminu kama amanas sufaha-u; mereka menjawab, "Akankah kami disuruh beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Yang mereka maksudkan dengan "orang-orang yang bodoh" adalah para sahabat Rasul Saw., semoga laknat Allah atas orang-orang munafik. Demikian menurut Abul Aliyah dan As-Saddi di dalam kitab Tafsir-nya berikut sanadnya dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud serta sejumlah sahabat Rasulullah Saw. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. Sedangkan menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan lain-lainnya, makna ayat adalah "apakah kami dan mereka sama derajat dan jalannya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang bodoh?"
As-sufaha adalah bentuk jamak dari lafaz safihun, sama wazan-nya dengan lafaz hukama, bentuk tunggalnya adalah hakimun dan hulama yang bentuk tunggalnya adalah halimun. As-safih artinya orang yang bodoh, lemah pendapatnya, dan sedikit pengetahuannya tentang hal yang bermaslahat dan yang mudarat, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهاءَ أَمْوالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِياماً
Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. (An-Nisa: 5)
Menurut kebanyakan ulama, yang dimaksud dengan sufaha dalam ayat ini ialah kaum wanita dan anak-anak.
Kemudian Allah membantah semua yang mereka tuduhkan itu melalui firman selanjutnya, "Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh" (Al-Baqarah: 13). Allah Swt. membalikkan tuduhan mereka, sesungguhnya yang bodoh itu hanyalah mereka sendiri. Pada firman selanjutnya disebutkan, "Tetapi mereka tidak tahu" (Al-Baqarah: 13). Dengan kata lain, kebodohan mereka sangat keterlaluan hingga tidak menyadari kebodohannya sendiri, bahwa sebenarnya keadaan mereka dalam kesesatan dan kebodohan. Ungkapan ini lebih kuat untuk menggambarkan kebutaan mereka dan kejauhan mereka dari hidayah.

Al-Baqarah, ayat 14-15

{وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ (14) اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (15) }
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanyalah ber-olok-olok." Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.
Allah Swt. berfirman, "Apabila orang-orang munafik bersua dengan orang-orang mukmin, mereka berkata, 'Kami beriman'." Mereka menampakkan kepada kaum mukmin seakan-akan diri mereka beriman dan berpihak atau bersahabat dengan kaum mukmin. Akan tetapi, sikap ini mereka maksudkan untuk mengelabui kaum mukmin dan diplomasi mereka untuk melindungi diri agar dimasukkan ke dalam golongan orang-orang mukmin dan mendapat bagian ganimah dan kebaikan yang diperoleh kaum mukmin.
Bilamana mereka kembali bersama setan-setannya. Makna yang dimaksud ialah bilamana mereka kembali dan pergi dengan setan-setan mereka tanpa ada orang lain. Lafaz khalau mengandung makna insarafu, yakni kembali, karena ia muta'addi dengan huruf ila untuk menunjukkan fi'il yang tidak disebutkan dan yang disebutkan. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa ila di sini bermakna ma'a, yakni "apabila mereka berkumpul bersama setan mereka tanpa ada orang lain". Akan tetapi, makna yang pertama lebih baik, yaitu yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir.
As-Saddi mengatakan dari Abu Malik, khalau artinya pergi menuju setan-setan mereka. Syayatin artinya pemimpin dan pembesar atau kepala mereka yang terdiri atas kalangan pendeta Yahudi, pemimpin-pemimpin kaum musyrik dan kaum munafik. As-Saddi di dalam kitab Tafsir-nya mengatakan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw., bahwa yang dimaksud dengan setan-setan mereka dalam firman-Nya, "Wa iza khalau ila syayatinihim," ialah para pemimpin kekufuran mereka.
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat ialah apabila mereka kembali kepada teman-temannya. Teman-teman mereka disebut setan-setan mereka.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Dan apabila mereka kembali kepada setan-setan mereka," yakni yang terdiri atas kalangan orang-orang Yahudi, yaitu mereka yang menganjurkannya untuk berdusta dan menentang apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Mujahid mengatakan bahwa makna syayatinihim ialah teman-teman mereka dari kalangan orang-orang munafik dan orang-orang musyrik.
Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan syayatinihim ialah para pemimpin dan para panglima mereka dalam kemusyrikan dan kejahatan. Hal yang semisal dikatakan pula oleh Abu Malik, Abul Aliyah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa syayatin artinya segala sesuatu yang membangkang. Adakalanya setan itu terdiri atas kalangan manusia dan jin, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya:
وَكَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (Al-An'am: 112)
Di dalam kitab Musnad disebutkan sebuah hadis dari Abu Zar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شَيَاطِينِ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ". فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلِلْإِنْسِ شَيَاطِينٌ؟ قَالَ: "نَعَمْ"
"Kami berlindung kepada Allah dari setan-setan manusia dan setan-setan jin." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah manusia itu ada yang menjadi setan?" Nabi Saw. menjawab, 'Ya."
Qalu inna ma'akum, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami bersama kalian." Menurut Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa maknanya ialah "sesungguhnya kami sependirian dengan kalian". Innama nahnu mustahziun, sesungguhnya kami hanya mengajak mereka dan mempermainkan mereka.
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok dan mengejek teman-teman Muhammad." Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah.
Sebagai bantahan dari Allah Swt. terhadap perbuatan orang-orang munafik itu, maka Allah Swt. berfirman: Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Al-Baqarah: 15)
Ibnu Jarir mengatakan, Allah Swt. memberhahukan bahwa Dialah yang akan melakukan pembalasan terhadap orang-orang munafik itu kelak di hari kiamat, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
يَوْمَ يَقُولُ الْمُنافِقُونَ وَالْمُنافِقاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَراءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُوراً فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بابٌ باطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذابُ
Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, "Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahaya kalian." Dikatakan (kepada mereka), "Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian)." Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. (Al-Hadid: 13)
Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّما نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّما نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدادُوا إِثْماً
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka. (Ali Imran: 178)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal ini dan yang serupa dengannya merupakan ejekan, penghinaan, makar, dan tipu muslihat Allah Swt. terhadap orang-orang munafik dan orang-orang musyrik, menurut orang yang menakwilkan ayat ini dengan pengertian tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan pula, bahwa ulama lainnya mengatakan bahwa ejekan Allah terhadap mereka berupa celaan dan penghinaan Allah terhadap mereka karena mereka telah berbuat durhaka dan kafir kepada-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan pula, "Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa ungkapan seperti ini dan yang semisal merupakan ungkapan pembalikan." Perihalnya sama dengan ucapan seseorang terhadap orang yang menipunya bila ternyata ia dapat membalikkan tipuan lawannya, "Justru akulah yang telah menipumu (bukan kamu yang menipuku)." Akan tetapi, dalam hakikatnya Allah tidak melakukan tipuan; melainkan Dia mengatakan hal tersebut hanya semata-mata menggambarkan tentang akibat dari apa yang diperbuat mereka. Para ulama yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa hal yang sama terdapat pula di dalam firman-Nya:
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْماكِرِينَ
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ali Imran: 54)
{اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ}
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (Al-Baqarah: 15)
Hal tersebut merupakan jawaban semata, karena sesungguhnya Allah tidak melakukan makar dan tidak pula ejekan. Dengan kata lain, makna yang dimaksud ialah bahwa makar dan tipu daya mereka itu justru menimpa diri mereka sendiri (barang siapa menggali lubang, dia sendiri yang akan terjerumus ke dalamnya).
Ulama lainnya mengatakan bahwa firman-Nya: Sesungguhnya kami hanyalah berolok-olok. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (Al-Baqarah: 14-15)
يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ
Mereka (orang-orang munafik) menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (An-Nisa: 142)
فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ
Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka. (At-Taubah: 79)
ونَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ
Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. (At-Taubah: 67)
Demikian pula ayat-ayat lainnya yang semakna, semuanya merupakan berita dari Allah Swt. bahwa Dia pasti akan memberikan balasan terhadap mereka dengan balas memperolok-olokkan dan menyiksa mereka dengan siksaan tipuan, sebagaimana tipuan yang telah mereka lakukan. Kemudian berita mengenai balasan Allah dan siksaan-Nya kepada mereka diungkapkan dengan gaya bahasa yang sama dengan perbuatan mereka yang menyebabkan mereka berhak mendapat siksaan-Nya, hanya dari segi lafaznya saja, tetapi maknanya berbeda. Perihalnya sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَجَزاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُها فَمَنْ عَفا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. (Asy-Syura: 40)
{فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ}
Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194)
Makna pertama mengandung pengertian perbuatan aniaya, sedangkan makna yang kedua mengandung pengertian keadilan. Lafaz yang dipakai pada keduanya sama, tetapi makna yang dimaksud berbeda; berdasarkan pengertian inilah semua makna yang sejenis di dalam Al-Qur'an diartikan dengan pengertian seperti ini.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, sesungguhnya makna yang dimaksud ialah bahwa Allah memberitakan perihal orang-orang munafik; apabila mereka berkumpul dengan pemimpin-pemimpinnya, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian dalam mendustakan Muhammad dan apa yang didatangkannya. Sesungguhnya kata-kata yang kami ucapkan dan sikap yang kami perlihatkan kepada mereka hanyalah mengolok-olokkan mereka." Maka Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia membalas mengolok-olok mereka. Untuk itu, Allah menampakkan kepada mereka sebagian dari hukum-hukum-Nya di dunia, yaitu darah mereka terpelihara, begitu pula harta benda mereka, padahal hal itu kebalikan dari apa yang akan terjadi pada diri mereka kelak di hari kemudian di sisi-Nya, yaitu azab dan siksaan.
Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan alasan dukungannya terhadap pendapat ini, mengingat tipu daya, makar, dan olok-olokan secara main-main dan tidak ada gunanya merupakan hal yang mustahil akan dilakukan oleh Allah Swt. menurut kesepakatan semua. Bila hal tersebut diartikan sebagai pembalasan dan ganjaran-ganjaran yang setimpal secara adil, dapatlah dimengerti.
Ibnu Jarir mengatakan, ada sebuah riwayat yang sependapat dengan apa yang telah kami katakan, diketengahkan dari sahabat Ibnu Abbas. Di dalam riwayat ini disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Usman, telah menceritakan kepada kami Bisyr, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Allahu yastahzi-u bihim," artinya Allah memperolok-olok mereka sebagai pembalasan-Nya terhadap tindakan mereka.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ}
dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Al-Baqarah: 15)
Menurut As-Saddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Nabi Saw., yamudduhum artinya Allah membiarkan mereka.
Mujahid mengatakan bahwa makna yamudduhum ialah menambahkan kepada mereka, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
أَيَحْسَبُونَ أَنَّما نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مالٍ وَبَنِينَ نُسارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْراتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan kepada mereka! Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (Al-Mu’minun: 55-56)
Dan firman Allah Swt.:
سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ
Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui. (Al-A'raf: 182)
Sebagian ulama mengatakan bahwa setiap kali mereka melakukan dosa yang baru, maka Allah memberikan kepada mereka nikmat yang baru. Tetapi pada hakikatnya hal itu merupakan azab, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam ayat lain:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنا عَلَيْهِمْ أَبْوابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذا فَرِحُوا بِما أُوتُوا أَخَذْناهُمْ بَغْتَةً فَإِذا هُمْ مُبْلِسُونَ. فَقُطِعَ دابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Al-An'am: 44-45)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna yang benar ialah Kami menambahkan kepada mereka, dengan pengertian membiarkan dan memperturutkan mereka di dalam kesombongan dan pembangkangannya, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصارَهُمْ كَما لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An'am: 110)
At-tugyan artinya melampaui batas dalam suatu hal, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
إِنَّا لَمَّا طَغَى الْماءُ حَمَلْناكُمْ فِي الْجارِيَةِ
Sesungguhnya Kami tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kalian ke dalam bahtera. (Al-Haqqah: 11)
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa fi tugyanihim ya'mahun artinya di dalam kekufurannya mereka terombang-ambing. Hal yang sama ditafsirkan pula oleh As-Saddi berikut sanadnya dari para sahabat. Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Mujahid, Abu Malik, dan Abdur Rahman ibnu Zaid, bahwa mereka terombang-ambing di dalam kekufuran dan kesesatan.
Ibnu Jarir mengatakan lafaz al-'amah artinya sesat, dikatakan 'cmiha fulanun, ya'mahu, 'amahan, dan 'amuhan artinya si Fulan telah tersesat. Ibnu Jarir mengatakan, makna fi tugyanihim ya'mahun artinya ialah di dalam kekufuran dan kesesatan yang menggelimangi dan menutupi diri mereka karena perbuatan kotor dan najis, mereka terombang-ambing dalam kebingungan dan kesesatan; mereka tidak akan dapat menemukan jalan keluar, karena Allah Swt telah mengun-ci mati hati mereka dan mengelaknya serta membutakan pandangan hati mereka dari jalan hidayah, hingga tertutup pandangan mereka, ti-dak dapat melihat petunjuk, tidak dapat pula mengetahui jalannya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa al-'ama (buta) khusus bagi buta mata, sedangkan al-'amah khusus bagi buta hati; tetapi adakalanya lafaz al-'ama dipakai untuk pengertian buta hati, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
فَإِنَّها لَا تَعْمَى الْأَبْصارُ وَلكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46)
Dikatakan 'amihar rajulu (عَمِهَ الرَّجُلُ) artinya lelaki itu pergi tanpa mengetahui tujuan. Bentuk mudari'-nya ya'mahu (يَعْمَهُ) , bentuk isim fa'il-nya 'amihun (عَمِهٌ) dan 'amihun (عَامِهٌ); bentuk jamaknya 'amahun (عُمَّهٌ), sedangkan bentuk masdarnya ialah 'amuhan (عُمُوهًا) . Dikatakan zahabat ibiluhul 'amha-u (ذَهَبَتْ إِبِلُهُ الْعَمْهَاءُ) jika untanya tidak diketahui ke mana perginya.

Al-Baqarah, ayat 16

{أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (16) }
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
As-Saddi (As-Suda) di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk." Yang dimaksud ialah mereka mengambil kesesatan dan meninggalkan hidayah.
Ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk," yakni membeli kekufuran dengan keimanan.
Menurut mujahid, makna yang dimaksud ialah pada mulanya mereka beriman, kemudian kafir.
Qatadah mengatakan, maksudnya ialah mereka lebih menyukai kesesatan daripada hidayah (petunjuk). Pendapat Qatadah ini mirip dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى
Dan adapun kaum Samud, maka mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu. (Fushshilat 17)
Kesimpulan dari pendapat semua ahli tafsir tentang hal-hal yang telah kami sebutkan ialah 'orang-orang munafik itu menyimpang dari jalan petunjuk dan menempuh jalan kesesatan, mereka menukar hidayah dengan kesesatan'. Pengertian inilah yang dimaksud oleh firman-Nya:
{أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى}
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. (Al-Baqarah: 16)
Dengan kata lain, mereka melepaskan hidayah sebagai ganti kesesatan. Dalam hal ini sama saja apakah dia berasal dari orang yang tadinya beriman, kemudian kafir, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
فِيهِمْ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلى قُلُوبِهِمْ
Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati. (Al-Munafiqun: 3).
Atau dari kalangan mereka lebih menyukai kesesatan daripada hidayah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian dari kalangan mereka (orang-orang munafik), dan memang mereka itu terdiri atas berbagai macam golongan. Karena itu, pada ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman:
{فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ}
Maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 16)
Perniagaan mereka yang demikian itu tidak membawa keuntungan, dan tidaklah mereka mendapat petunjuk, yakni tidak memperoleh bimbingan dalam perbuatannya itu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Basyir, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Qatadah sehubungan dengan firman-Nya, "Maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk" (Al-Baqarah: 16). Demi Allah, kalian telah melihat mereka keluar dari hidayah menuju jalan kesesatan, dari persatuan menjadi perpecahan, dari aman menjadi ketakutan, dan dari sunnah menjadi bid'ah. Demikian pula menurut riwayat Ibnu Abu Hatim melalui hadis Yazid ibnu Zurai', dari Sa'id, dari Qatadah dengan makna yang sama.

Al-Baqarah, ayat 17-18

{مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ (17) صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ (18) }
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).
Dikatakan matsalun, mistlun, dan matsilun artinya perumpamaan bentuk jamaknya adalah amsal, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman lainnya:
وَتِلْكَ الْأَمْثالُ نَضْرِبُها لِلنَّاسِ وَما يَعْقِلُها إِلَّا الْعالِمُونَ
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Al-Ankabut: 43)
Sebagai penjelasannya dapat dikatakan bahwa Allah Swt. menyerupakan perbuatan mereka yang membeli kesesatan dengan keimanan —dan nasib mereka menjadi buta setelah melihat— dengan keadaan orang yang menyalakan api. Akan tetapi, setelah suasana di sekitarnya terang dan beroleh manfaat dari sinarnya, yaitu dapat melihat semua yang ada di kanan dan kirinya, telah menyesuaikan diri dengannya; di saat dalam keadaan demikian, tiba-tiba api tersebut padam. Maka ia berada dalam kegelapan yang pekat, tidak dapat melihat, dan tidak beroleh petunjuk. Selain itu keadaannya kini menjadi tuli tidak dapat mendengar, bisu tidak dapat berbicara lagi, buta seandainya keadaannya terang karena tidak dapat melihat. Karena itu, dia tidak dapat kembali kepada keadaan sebelumnya. Demikian pula keadaan orang-orang munafik itu yang mengganti jalan petunjuk dengan kesesatan dan lebih memilih kesesatan daripada hidayah.
Di dalam masal atau perumpamaan ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa pada awalnya mereka beriman, kemudian kafir, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah Swt dalam ayat lainnya.
Pendapat yang telah kami kemukakan ini diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya, dari As-Saddi. Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, tasybih atau perumpamaan dalam ayat ini sangat benar, karena mereka pada mulanya memperoleh nur berkat keimanan mereka; kemudian pada akhirnya karena kemunafikan mereka, maka batallah hal tersebut dan terjerumuslah mereka ke dalam kebimbangan yang besar, mengingat tiada kebimbangan yang lebih besar daripada kebimbangan dalam agama.
Ibnu Jarir menduga bahwa orang-orang yang disebut dalam perumpamaan ini adalah mereka yang pernah tidak beriman di suatu waktu. Dia mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya:
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ}
Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8)
Akan tetapi, yang benar hal ini merupakan berita mengenai keadaan mereka di saat munafik dan kafir. Pengertian ini tidak bertentangan dengan suatu kenyataan bila mereka pernah beriman sebelum itu, tetapi iman dicabut dari mereka, dan hati mereka dikunci mati. Barangkali Ibnu Jarir tidak menyadari ayat lainnya yang membahas topik yang sama, yaitu firman-Nya:
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ}
Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (Al-Munafiqun: 3)
Karena itulah maka Ibnu Jarir menganalisis perumpamaan ini, bahwa mereka beroleh penerangan dari kalimat iman yang mereka tampakkan (yakni di dunia), kemudian hal selanjutnya yang menimpa mereka adalah kegelapan-kegelapan (yakni kelak di hari kiamat). Ibnu Jarir mengatakan bahwa dalam perumpamaan dianggap sah menggambarkan suatu jamaah seperti satu orang, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
{رَأَيْتَهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ}
Kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati. (Al-Ahzab: 19)
Yakni seperti orang yang sedang dalam keadaan sekarat menghadapi kematiannya. Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
{مَا خَلْقُكُمْ وَلا بَعْثُكُمْ إِلا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ}
Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. (Luqman: 28)
{مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا}
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. (Al-Jumu'ah: 5)
Sebagian ulama menakwilkannya, bahwa makna yang dimaksud ialah kisah mereka sama dengan kisah orang-orang yang menyalakan api. Sedangkan menurut ulama lainnya, orang yang menyalakan api itu adalah salah seorang dari mereka. Menurut yang lainnya lagi, lafaz al-lazi dalam ayat ini mengandung makna al-lazina (orang banyak), sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan seorang penyair berikut:
وَإِنَّ الَّذِي حَانَتْ بِفَلْجٍ دِمَاؤُهُمْ ... هُمُ الْقَوْمُ كُلُّ الْقَوْمِ يَا أُمَّ خَالِدِ
Sesungguhnya orang-orang yang telah tiba masanya bagi mereka mengalirkan darahnya (berkurban) di Falaj adalah kaum itu seluruhnya, hai Ummu Khalid!
Menurut kami, dalam ungkapan ini terjadi iltifat (pengalihan pembicaraan), yaitu di tengah-tengah perumpamaan dari bentuk tunggal kepada bentuk jamak. Sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
{فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ * صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ}
Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah mereka akan kembali ke (jalan yang benar). (Al-Baqarah: 17-18)
Ungkapan seperti ini lebih fasih dan lebih mengena susunannya.
Zahaballahu binurihim, Allah hilangkan dari mereka manfaat api yang sedang mereka perlukan untuk penerangan; dan membiarkan hal yang membahayakan diri mereka, yaitu bara dan asapnya.
Watarakahum fi zulumatin, dan Allah membiarkan mereka berada dalam kegelapan (yakni keraguan, kekufuran, dan kemunafikan mereka).
La yubsirun, mereka tidak dapat melihat, yakni tidak mendapat petunjuk untuk menempuh jalan kebaikan dan tidak pula mengetahuinya.
Selain itu mereka summun, yakni tuli tidak dapat mendengar kebaikan; bukmun, bisu tidak dapat mengucapkan hal-hal yang bermanfaat bagi diri mereka; 'umyun, buta dalam kesesatan dan buta mata hatinya, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya:
{فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ}
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46)
Karena itu, mereka tidak dapat kembali ke jalan hidayah yang telah mereka tukar dengan kesesatan.
Komentar para ahli tafsir ulama salaf
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan firman-Nya:
{فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ}
Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. (Al-Baqarah: 17)
As-Saddi menduga ada sejumlah orang yang telah masuk Islam di saat Nabi Saw. tiba di Madinah, kemudian mereka munafik. Perumpamaan mengenai diri mereka sama dengan seorang lelaki yang pada mulanya berada dalam kegelapan, lalu dia menyalakan api. Ketika api menerangi sekelilingnya yang dipenuhi kotoran dan onak duri, maka dia dapat melihat hingga dapat menghindar. Akan tetapi, ketika ia dalam keadaan demikian, tiba-tiba apinya padam, hingga dia menghadapi situasi yang tidak ia ketahui mana yang harus dia hindarkan dari bahaya yang ada di depannya.
Yang demikian itulah perihal orang munafik, pada awalnya dia berada dalam kegelapan kemusyrikan, lalu masuk Islam hingga mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, juga mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika ia berada dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia kafir, akhirnya dia tidak lagi mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tidak pula mana yang baik dan mana yang buruk'.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini. Cahaya merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang dahulu sering mereka bicarakan, sedangkan kegelapan merupakan perumpamaan bagi kesesatan dan kekufuran mereka yang dahulu mereka perbincangkan. Mereka adalah suatu kaum yang pada mulanya berada dalam jalan petunjuk, kemudian hidayah dicabut dari mereka; sesudah itu akhirnya mereka membangkang, tidak mau beriman lagi.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Falamma ada-at ma haulahu" bahwa sinar api menunjukkan makna keadaan mereka di saat menghadap kepada orang-orang mukmin dan jalan hidayah.
Ata Al-Khurrasani sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran," mengatakan bahwa hal ini merupakan perumpamaan orang munafik yang kadangkala dia dapat melihat dan mengenai, tetapi setelah itu ia terkena buta hati.
Ibnu Abu Hatim mengatakan —dia telah meriwayatkan dari Ikri-mah, Al-Hasan, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas— hal yang semisal dengan apa yang dikatakan oleh Ata Al-Khurrasani.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran," mengatakan bahwa hal tersebut merupakan gambaran tentang sifat orang-orang munafik yang kadangkala dapat melihat dan mengenal, tetapi setelah itu ia terkena buta hati. Dia mengatakan pula sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran," hingga akhir ayat, bahwa hal tersebut merupakan tentang sifat orang-orang munafik. Pada mulanya mereka beriman hingga iman menyinari kalbu mereka, sebagaimana api menyinari mereka yang menyalakannya. Kemudian mereka kafir, maka Allah menghilangkan cahaya apinya dan mencabut imannya sebagaimana Dia menghilangkan cahaya api tersebut, hingga mereka tertinggal dalam keadaan yang sangat gelap tanpa dapat melihat.
Pendapat Ibnu Jarir serupa dengan riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya: Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. (Al-Baqarah: 17) Disebutkan bahwa hal ini merupakan suatu perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan orang-orang munafik. Yaitu pada mulanya mereka merasa bangga dengan Islam, maka kaum muslim mau mengadakan pernikahan dengan mereka, saling mewaris dan saling membagi harta fai. Tetapi di kala mereka mati, Allah mencabut kebanggaan itu dari mereka sebagaimana cayaha api yang dihilangkan dari orang yang memerlukannya.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran" bahwa sesungguhnya cahaya api itu adalah cahaya api yang dinyalakannya. Tetapi bila api itu padam, maka lenyaplah cahayanya. Demikian pula keadaan orang munafik, manakala dia mengucapkan kalimat Ikhlas —yaitu la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah)— ia berada dalam cahaya yang terang; tetapi jika ia ragu, maka terjerumuslah ia ke dalam kegelapan.
Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Zaha-ballahu binurihim." Cahaya api mereka merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang selalu mereka bicarakan.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah mengenai firman-Nya:  Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. (Al-Baqarah: 17) Yang dimaksud dengan api ialah perumpamaan kalimah la ilaha illal-lah (tidak ada Tuhan selain Allah). Api itu menerangi mereka hingga mereka dapat makan dan minum, dianggap beriman di dunia, melakukan pernikahan, serta darah mereka terpelihara. Tetapi di kala mereka mati, Allah menghilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka berada dalam keadaan yang sangat gelap, tidak dapat melihat.
Sa'id meriyawatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa orang munafik yang mengucapkan kalimah la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) memperoleh cahaya dalam kehidupan di dunia. Untuk itu, mereka dapat menikah dengan kaum muslim melalui kalimah tersebut dan berperang bersama kaum muslim, dapat waris-mewaris dengan mereka, dan darah serta hartanya terlindungi. Tetapi di saat ia mati, kalimah tersebut ia cabut karena di dalam hatinya tidak ada pangkalnya; pada amal perbuatannya pun tidak ada hakikat kenyataan. Maka pada ayat selanjutnya disebutkan: dan Allah membiarkan mereka dalam kegelapan tidak dapat melihat. (Al-Baqarah: 17)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatil la yubsirun" yakni Allah meninggalkan mereka dalam kegelapan (maksudnya dalam azab) bila mereka mati.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatin," yakni mereka dapat melihat perkara hak dengan mata hatinya, dan mengatakannya hingga mereka dapat keluar dari kegelapan kekufuran. Akan tetapi, sesudah itu mereka memadamkannya melalui kekufuran dan kemunafikan mereka, akhirnya Allah membiarkan mereka dalam kegelapan kekufuran, hingga tidak dapat melihat hidayah dan tidak dapat berjalan lurus dalam perkara yang hak.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan berikut sanadnya mengenai firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatin," bahwa kegelapan tersebut merupakan perumpamaan bagi kemunafikan mereka.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa watarakahum fi zulumatin la yubsirun artinya hal tersebut terjadi ketika orang munafik mati. Maka amal perbuatan jahatnya merupakan kegelapan baginya, hingga dia tidak dapat menemukan suatu amal baik pun yang sesuai dengan kalimah la ilaha illallah.
Summun bukmun 'umyun, As-Saddi meriwayatkan berikut sanadnya sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka bisu, buta serta tuli.
Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna summun bukmun 'umyun, bahwa mereka tidak dapat mendengar petunjuk, tidak dapat melihatnya, dan tidak dapat mem-haminya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah dan Qatadah ibnu Di'amah.
Fahum la yarji'una, menurut Ibnu Abbas mereka tidak dapat kembali ke jalan hidayah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.
As-Saddi meriwayatkan berikut sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya, "Summun bukmun 'umyun fahum la yarji'una," yakni mereka tidak dapat kembali kepada Islam. Sedangkan menurut Qatadah, mereka tidak dapat kembali itu maksudnya tidak dapat bertobat dan tidak pula mereka ingat.

Al-Baqarah, ayat 19-20

{أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ (19) يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (20) }
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh, dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu; dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Ayat ini merupakan perumpamaan lain yang dibuat oleh Allah Swt. yang menggambarkan keadaan orang-orang munafik. Mereka adalah kaum yang lahiriahnya kadangkala menampakkan Islam, dan kadangkala di lain waktu mereka ragu terhadapnya. Hati mereka yang berada dalam keraguan, kekufuran, dan kebimbangan itu diserupakan dengan sayyib; makna sayyib ialah hujan. Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, dan sejumlah sahabat; juga menurut Abu Aliyah, Mu-jahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Atiyyah, Al-Aufi, Ata Al-Khurrasani, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Menurut Ad-Dahhak, makna sayyibun adalah awan.
Tetapi menurut pendapat yang terkenal, artinya hujan yang turun dari langit. Dalam keadaan gelap gulita maksudnya keraguan, kekufuran, dan kemunafikan; sedangkan maksud dari suara guruh ialah rasa takut yang mencekam hati, mengingat orang munafik itu selalu berada dalam ketakutan yang sangat dan rasa ngeri, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Lainnya, yaitu:
يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ
Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. (Al-Munafiqun: 4)
{وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ * لَوْ يَجِدُونَ مَلْجَأً أَوْ مَغَارَاتٍ أَوْ مُدَّخَلا لَوَلَّوْا إِلَيْهِ وَهُمْ يَجْمَحُونَ}
Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kalian; padahal mereka bukanlah dari golongan kalian, tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepada kalian). Jikalau mereka memperoleh tempat perlindungan atau gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (At-Taubah: 56-57)
Al-barqu artinya kilat, sedangkan yang dimaksud ialah suatu hal yang berkilat di dalam hati golongan orang-orang munafik sebagai pertanda cahaya iman, hanya dalam waktu sebentar dan sekali-kali. Karena itu, Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:
{يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ}
mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 19)
Dengan kata lain, tiada gunanya sama sekali sikap waspada mereka, karena Allah dengan kekuasaan-Nya Maha Meliputi; mereka berada di bawah kehendak dan kekuasaan-Nya, sebagaimana yang dikatakan di dalam firman-Nya:
{هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْجُنُودِ * فِرْعَوْنَ وَثَمُودَ * بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي تَكْذِيبٍ * وَاللَّهُ مِنْ وَرَائِهِمْ مُحِيطٌ}
Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang, (yakni kaum) Fir'aun dan (kaum) Sarnud? Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan, padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. (Al-Buruj: 17-20)
Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan, "Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka." Dikatakan demikian karena sifat cahaya kilat tersebut kuat dan keras, sedangkan pandangan mata mereka (orang-orang munafik) lemah, dan hati mereka tidak mantap keimanannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Yakadul barqu yakhtafu absarahum" artinya "hampir-hampir ayat-ayat muhkam Al-Qur'an membuka kedok orang-orang munafik".
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka." Dikatakan demikian karena kuatnya cahaya kebenaran.”Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu; bila gelap gulita menimpa mereka, mereka berhenti." Manakala muncul seberkas cahaya iman di dalam diri mereka, lalu mereka merasa kangen dan mengikutinya, tetapi di lain waktu muncul keraguan yang membuat hati mereka gelap dan berhenti dalam keadaan kebingungan.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Kullama ada-a lahum masyau fihi," artinya "manakala orang-orang munafik itu beroleh manfaat dari kejayaan Islam, mereka merasa tenang; tetapi bila Islam tertimpa cobaan, mereka bangkit kembali kepada kekufuran", sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt.:
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ [وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ] }
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu; dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana berbaliklah ia ke belakang. (Al-Hajj: 11)
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Kullama ada-a lahum masyau fihi, wa iza azla-ma 'alaihim qamu" artinya "manakala mereka mengetahui perkara yang hak dan membicarakannya, hal ini dimengerti melalui percakapan mereka berada dalam jalan yang lurus. Tetapi manakala mereka berbalik dari iman menjadi kafir, mereka berhenti, maksudnya kebingungan. Demikianlah takwil Abul Aliyah, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddu berikut sanadnya, dari sejumlah sahabat. Pendapat inilah yang paling sahih dan paling kuat.
Demikianlah keadaan orang-orang munafik kelak di hari kiamat, yaitu di saat manusia diberi nur sesuai dengan kadar keimanan masing-masing. Di antara mereka ada orang yang diberi nur yang dapat menerangi perjalanan yang jaraknya berpos-pos buatnya, bahkan lebih dari itu atau kurang dari itu. Di antara mereka ada yang nur-nya kadangkala padam dan kadangkala bercahaya. Di antara mereka ada yang dapat berjalan di atas sirat di suatu waktu, sedangkan di waktu lainnya dia berhenti. Di antara mereka ada yang nur-nya padam (tidak menyala) sama sekali, mereka adalah orang-orang munafik militan yang digambarkan oleh firman-Nya:
{يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا}
Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, "Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian cahaya kalian." Dikatakan (kepada mereka), "Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian)." (Al-Hadid: 13)
Sehubungan dengan orang-orang mukmin di hari kiamat nanti, Allah Swt. menceritakan perihal mereka melalui firman-Nya:
{يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ}
Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedangkan cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), "Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (Al-Hadid: 12)
Dalam firman lainnya Allah Swt. mengatakan:
{يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dia; sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. (At-Tahrim: 8)
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya:
{يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ}
Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, hingga akhir ayat. (Al-Hadid: 12)
Disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"مِنَ الْمُؤْمِنِينَ مَنْ يُضِيءُ نُورُهُ مِنَ الْمَدِينَةِ إِلَى عَدَنَ، أَوْ بَيْنَ صَنْعَاءَ وَدُونَ ذَلِكَ، حَتَّى إِنَّ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ مَنْ لَا يُضِيءُ نُورُهُ إِلَّا مَوْضِعَ قَدَمَيْهِ"
Di antara orang-orang mukmin ada yang cahayanya dapat menyinari sejauh antara Madinah sampai 'Adn yang lebih jauh dari San'a, dan ada pula yang kurang dari itu, hingga sesungguhnya di antara orang-orang mukmin ada yang cahayanya hanya dapat menyinari tempat kedua telapak kakinya saja.
Hadis riwayat Ibnu Jarir, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Imran ibnu Daud Al-Qattan, dari Qatadah hadis yang semisal.
Hadis ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Al-Minhal ibnu Amr, dari Qais ibnus Sakan, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang me-ngatakan bahwa kepada mereka diberikan cahaya yang sesuai dengan amal perbuatan masing-masing; di antara mereka ada yang diberi cahaya seperti pohon kurma, ada yang seperti seorang lelaki berdiri, se-dangkan yang paling kecil cahayanya di antara mereka ialah sebesar ibu jari, terkadang padam dan terkadang menyala. Begitu pula menurut riwayat Ibnu Jarir, dari Ibnu Musanna, dari Ibnu Idris, dari ayahnya, dari Al-Minhal.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris yang pernah mendengar dari ayahnya yang menceritakan dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Qais ibnus Sakan, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firmannya: sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka. (At-Tahrim: 8)  Yakni sesuai dengan kadar amal perbuatan masing-masing. Mereka melewati sirat, di antara mereka ada yang cahayanya semisal gunung, ada pula yang seperti pohon kurma, dan orang yang paling kecil cahayanya di antara mereka ialah yang sebesar ibu jarinya, adakalanya bercahaya dan adakalanya padam.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami Uqbah ib-nul Yaqzan, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tiada seorang pun dari kalangan ahli tauhid melainkan diberi cahaya di hari kiamat kelak. Orang munafik cahayanya padam, orang muk-min merasa kasihan melihat orang-orang munafik padam cahayanya, lalu orang-orang mukmin berkata, "Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami."
Ad-Dahhak ibnu Muzahim mengatakan, setiap orang yang menampakkan keimanan di dunia kelak di hari kiamat akan diberi cahaya. Tetapi bila sampai di sirat, maka padamlah cahaya orang-orang munafik. Ketika orang-orang mukmin melihat hal itu, mereka merasa kasihan, lalu berkata, "Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami."
Berdasarkan pengertian ini, maka manusia itu terbagi menjadi beberapa macam: Pertama, yang mukmin secara murni, yaitu mereka yang sifat-sifatnya disebut pada keempat ayat dari permulaan surat Al-Baqarah. Kedua, orang-orang kafir murni, yaitu mereka yang sifat-sifatnya disebut dalam dua ayat berikutnya. Ketika orang-orang munafik terbagi menjadi dua golongan, yaitu munafik militan —yang dibuat perumpamaan api bagi mereka— dan orang-orang munafik yang masih terombang-ambing dalam kemunafikannya. Adakalanya tampak bagi mereka berkas sinar iman, dan terkadang sinar iman padam dalam diri mereka; mereka adalah orang-orang yang diumpamakan dengan air hujan. Golongan yang terakhir ini lebih ringan daripada golongan sebelumnya.
Perumpamaan mengenai diri seorang mukmin ini ditinjau dari berbagai segi, mirip dengan apa yang disebut di dalam surat An-Nur, yaitu tentang apa yang dijadikan oleh Allah di dalam kalbunya berupa hidayah dan cahaya. Hal ini diserupakan dengan pelita yang berada di dalam kaca, sedangkan kaca tersebut seakan-akan bintang mutiara yang bercahaya dengan sendirinya. Demikianlah keadaan kalbu orang mukmin yang dijadikan secara fitrah beriman dan mendapat siraman dari syariah yang jernih secara langsung menyentuhnya tanpa kekeruhan dan tanpa ada campuran, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti pada tempatnya, insya Allah.
Kemudian Allah membuat perumpamaan buat hamba-hamba yang kafir, yaitu mereka yang menduga bahwa diri mereka beroleh suatu manfaat, padahal tiada suatu manfaat pun yang mereka peroleh. Mereka adalah orang-orang yang jahil murakkab, sebagaimana yang disebut di dalam firman-Nya:
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا}
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. (An-Nur. 39)
Kemudian Allah Swt. membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir yang kebodohannya tidak terlalu parah. Mereka adalah orang-orang yang disebut di dalam firman-Nya:
{أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ}
Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya; (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun. (An-Nur: 40)
Berdasarkan hal ini orang-orang kafir pun terbagi menjadi dua bagian, yaitu orang kafir militan dan orang kafir ikut-ikutan, sebagaimana keduanya disebut di dalam permulaan surat Al-Hajj melalui firman-Nya:
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيدٍ}
Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat. (Al-Hajj: 3)
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ}
Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya. (Al-Hajj: 8)
Allah telah mengklasifikasikan orang-orang mukmin pada permulaan surat Al-Waqi'ah dan bagian akhirnya, sedangkan di dalam surat Al-Insan mereka terbagi menjadi dua bagian, yaitu orang-orang yang terdahulu mereka adalah golongan orang-orang muqarrabin (dekat dengan Allah); dan golongan as-habul yamin, yaitu orang-orang yang bertakwa.
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang mukmin itu terdiri atas dua golongan, yaitu orang-orang yang dekat dengan Allah dan orang-orang yang bertakwa. Orang-orang kafir pun terbagi menjadi dua golongan, yaitu orang-orang kafir militan dan orang-orang kafir muqallid (ikut-ikutan). Orang-orang munafik pun terbagi menjadi dua golongan, yaitu munafik militan dan munafik dari salah satu seginya saja, sebagaimana yang disebut di dalam kitab Sahihain melalui Abdullah ibnu Amr, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعها: مَنْ إِذَا حَدّث كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ"
Ada tiga perkara, barang siapa menyandang ketiganya, maka dia adalah orang munafik militan; dan barang siapa yang menyandang salah satunya, maka di dalam dirinya terdapat suatu pekerti munafik hingga ia meninggalkannya. Yaitu orang yang apabila berbicara berdusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila dipercaya khianat.
Berdasarkan hadis ini para ulama menyimpulkan bahwa di dalam diri seseorang itu adakalanya terdapat suatu cabang dari iman dan suatu cabang dari sifat munafik, yang dalam realisasinya adakalanya berupa amali (perbuatan) berdasarkan hadis ini, atau berupa i'tiqadi (keyakinan) berdasarkan apa yang telah ditunjukkan oleh ayat tadi. Demikian pendapat segolongan ulama Salaf dan sejumlah ulama yang telah disebut di atas.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ يَعْنِي شَيْبَانَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ، فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يُزْهر، وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ، وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصَفَّح، فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ، سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ فَقَلْبُ الْكَافِرِ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ الْخَالِصِ، عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمُصَفَّحُ فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ، ومَثَل الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ، يَمُدُّهَا الْمَاءُ الطَّيِّبُ، وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ الْقُرْحَةِ يَمُدّها الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah (yakni Syaiban), dari Lais, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Bukhturi, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Kalbu (manusia) itu ada empat macam, yaitu kalbu yang jernih, bagian dalamnya seperti pelita yang bercahaya, kalbu yang terbungkus dalam keadaan terikat oleh pembungkusnya, kalbu yang layu, dan kalbu yang terlapisi. Adapun kalbu yang jernih ialah kalbu orang mukmin, sedangkan pelita yang di dalam adalah cahayanya. Adapun kalbu yang terbungkus ialah (perumpamaan) kalbu orang kafir, sedangkan kalbu yang layu ialah kalbu orang munafik murni (militan); pada mulanya mengetahui (perkara yang hak), kemudian mengingkarinya. Kalbu yang terlapisi ialah kalbu yang di dalamnya terdapat iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu adalah seperti sayuran yang selalu diberi air yang baik, sedangkan perumpamaan nifaq adalah seperti luka yang selalu mengeluarkan nanah dan darah. Maka yang mana pun di antara kedua benda yang diperumpamakan itu lebih kuat daripada yang lainnya, berarti ia dapat mengalahkannya.
Hadis ini berpredikat jayyid lagi hasan. Allah SWT telah berfirman:
{وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ}
Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah: 20)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa demikian itu terjadi setelah mereka mengetahui perkara hak, lalu mereka meninggalkannya.
Innallaha 'ala kulli syaiin qadir, menurut Ibnu Abbas artinya 'bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa terhadap semua hal yang di-kehendaki-Nya atas hamba-hamba-Nya berupa pembalasan atau ampunan'.
Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya Allah Swt. menyifati diri-Nya dengan sifat Kuasa terhadap segala sesuatu dalam hal ini, karena Dia bertindak memperingatkan terhadap orang-orang munafik akan azab dan siksanya. Allah memberitakan kepada mereka bahwa Dia Maha Meliputi mereka dan Mahakuasa untuk menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Makna lafaz qadir adalah qadir, sama halnya dengan lafaz 'alim bermakna 'alim.
Ibnu Jarir dan orang-orang yang mengikutinya dari kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa kedua perumpamaan yang dibuat oleh Allah ini menggambarkan keadaan suatu golongan dari orang-orang munafik. Dengan demikian, berarti huruf au yang terdapat di dalam firman-Nya, "Au kasayyibim minas sama," bermakna wawu. Perihalnya sama dengan yang terdapat di dalam firman lainnya, yaitu:
{وَلا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا}
Dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka. (Al-Insan: 24)
Atau huruf au ini bermakna takhyir (pilihan), dengan kata lain 'aku buatkan perumpamaan ini bagi mereka atau jika kamu suka perumpamaan lainnya'.
Imam Qurtubi mengatakan bahwa huruf au di sini menunjukkan makna tasawi (persamaan atau pembanding), misalnya dikatakan: "Bergaullah kamu dengan Al-Hasan atau Ibnu Sirin." Demikian yang dikemukakan oleh Az-Zamakhsyari, yaitu masing-masing dari keduanya memiliki persamaan dengan yang lain dalam hal boleh bergaul. Dengan demikian, berarti makna ayat menunjukkan mana saja di antara perumpamaan ini atau yang lainnya untuk menggambarkan mereka dinilai sesuai dengan keadaan mereka.
Menurut kami, perumpamaan ini dikemukakan berdasarkan jenis orang-orang munafik, karena sesungguhnya mereka terdiri atas berbagai macam tingkatan dan memiliki keadaan serta sifat masing-masing, sebagaimana yang disebut di dalam surat Bara-ah (At-Taubah) dengan memakai ungkapan waminhum (dan di antara mereka) secara berulang-ulang. Setiap kali disebut lafaz waminhum, dijelaskan keadaan dan sifat-sifat mereka, ciri khas perbuatan serta ucapan mereka. Maka menginterpretasikan kedua perumpamaan ini buat dua golongan di antara mereka (orang-orang munaflk) lebih tepat dan lebih sesuai dengan keadaan dan sifat-sifat mereka.
Allah Swt. telah membuat dua perumpamaan bagi dua jenis orang-orang kafir —yaitu orang kafir militan dan orang kafir ikut-ikutan— melalui firman-Nya di dalam surat An-Nur, yaitu:
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ}
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar. (An-Nur: 39)
{أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ}
Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam. (An-Nur: 40)
Perumpamaan yang pertama ditujukan untuk orang kafir militan, yaitu mereka yang jahil murakkab (mereka tidak mengetahui bahwa dirinya tidak tahu); sedangkan yang kedua ditujukan untuk orang kafir yang kebodohannya tidak terlalu parah, yaitu mereka dari kalangan para pengikut dan yang membebek kepada para pemimpinnya.

Al-Baqarah, ayat 21-22

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنزلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (22) }
Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian. Karena itu, janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui.
Allah Swt. menjelaskan tentang sifat uluhiyyah-Nya Yang Maha Esa, bahwa Dialah yang memberi nikmat kepada hamba-hamba-Nya dengan menciptakan mereka dari tiada ke alam wujud, lalu melimpahkan kepada mereka segala macam nikmat lahir dan batin. Allah menjadikan bagi mereka bumi sebagai hamparan buat tempat mereka tinggal, diperkokoh kestabilannya dengan gunung-gunung yang tinggi lagi besar; dan Dia menjadikan langit sebagai atap, sebagaimana disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا مُعْرِضُونَ}
Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedangkan mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. (Al-Anbiya: 32)
Allah menurunkan air hujan dari langit bagi mereka. Yang dimaksud dengan lafaz as-sama dalam ayat ini ialah awan yang datang pada waktunya di saat mereka memerlukannya. Melalui hujan, Allah menumbuhkan buat mereka berbagai macam tumbuhan yang menghasilkan banyak jenis buah, sebagaimana yang telah disaksikan. Hal tersebut sebagai rezeki buat mereka, juga buat ternak mereka, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ayat lainnya. Di antara ayat-ayat tersebut yang paling dekat pengertiannya dengan maksud ini ialah firman-Nya:
{اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ قَرَارًا  وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ}
Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kalian tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kalian, lalu membaguskan rupa kalian serta memberi kalian rezeki dengan sebagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhan kalian, Maha-agung Allah, Tuhan semesta alam. (Al-Mu’min: 64)
Kesimpulan makna yang dikandung ayat ini ialah bahwa Allah adalah Yang Menciptakan, Yang memberi rezeki, Yang memiliki rumah ini serta para penghuninya, dan Yang memberi mereka rezeki. Karena itu, Dia sematalah Yang harus disembah dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam ayat lain:
{فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Karena itu, janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 22)
Di dalam hadis Sahihain disebutkan dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا، وهو خلقك" الحديث
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah? Beliau menjawab, "Bila kamu mengadakan sekutu bagi Allah, padahal Dialah Yang menciptakanmu,'" hingga akhir hadis.
Demikian pula yang disebutkan di dalam hadis Mu'az yang menyebutkan.
"أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ؟ أَنْ يَعْبُدُوهُ لَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا" الْحَدِيثَ
Tahukah kamu apa hak Allah yang dibebankan pada hamba-hamba-Nya?" lalu disebutkan, "Hendaklah mereka menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun," hingga akhir hadis.
Di dalam hadis lain disebutkan seperti berikut:
"لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلَانٌ، وَلَكِنْ لِيَقُلْ  مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ"
Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian mengatakan, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah, dan yang dikehendaki oleh si Fulan," tetapi hendaklah ia mengatakan, "Ini yang dikehendaki oleh Allah" kemudian, "Ini yang dikehendaki oleh si Fulan.
قَالَ حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ، عَنْ رِبْعيِّ بْنِ حِرَاش، عَنِ الطُّفَيْلِ بْنِ سَخْبَرَة، أَخِي عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ لِأُمِّهَا، قَالَ: رَأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ، كَأَنِّي أَتَيْتُ عَلَى نَفَرٍ مِنَ الْيَهُودِ، فَقُلْتُ: مَنْ أَنْتُمْ؟ فَقَالُوا: نَحْنُ الْيَهُودُ، قُلْتُ: إِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: عُزَير ابْنُ اللَّهِ. قَالُوا: وَإِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ مُحَمَّدٌ. قَالَ: ثُمَّ مَرَرْتُ بِنَفَرٍ مِنَ النَّصَارَى، فَقُلْتُ: مَنْ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَحْنُ النَّصَارَى. قُلْتُ: إِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ. قَالُوا: وَإِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ مُحَمَّدٌ. فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَخْبَرْتُ بِهَا مَنْ أَخْبَرْتُ، ثُمَّ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: "هَلْ أَخْبَرْتَ بِهَا أَحَدًا؟ " فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَامَ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: "أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ طُفيلا رَأَى رُؤْيَا أَخْبَرَ بِهَا مَنْ أَخْبَرَ مِنْكُمْ، وَإِنَّكُمْ قُلْتُمْ كَلِمَةً كَانَ يَمْنَعُنِي كَذَا وَكَذَا أَنْ أَنْهَاكُمْ عَنْهَا، فَلَا تَقُولُوا: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ مُحَمَّدٌ، وَلَكِنْ قُولُوا: مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ".
Hammad ibnu Salimah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Umair, dari Rab'i ibnu Hirasy, dari Tufail ibnu Sakhbirah (saudara lelaki ibu Siti Aisyah r.a.) yang menceritakan bahwa ia melihat dalam mimpinya seakan-akan berada di tengah-tengah orang-orang Yahudi, lalu ia bertanya (kepada mereka), "Siapakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang Yahudi." Ia berkata, "Sesungguhnya kalian benar-benar merupakan suatu kaum jikalau kalian tidak mengatakan bahwa Uzair anak laki-laki Allah." Mereka mengatakan, "Sesungguhnya kalian pun merupakan suatu kaum jikalau kalian tidak mengatakan bahwa ini apa yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh Muhammad." Kemudian Tufail bersua dengan segolongan orang-orang Nasrani, lalu ia bertanya, "Siapakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami orang-orang Nasrani." Ia berkata, "Sesungguhnya kalian benar-benar merupakan suatu kaum jikalau kalian tidak mengatakan bahwa Al-Masih anak laki-laki Allah." Mereka berkata, "Dan sesungguhnya kamu pun benar-benar merupakan suatu kaum jikalau kamu tidak mengatakan bahwa ini adalah apa yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh Muhammad." Pada pagi harinya Tufail menceritakan mimpi itu kepada sebagian orang yang biasa mengobrol dengannya, kemudian ia datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka Nabi Saw. bertanya, "Apakah engkau telah menceritakannya kepada seseorang?" Ia menjawab, "Ya." Maka Nabi Saw. berdiri, lalu memuji kepada Allah dan menyanjung-Nya. Setelah itu beliau Saw. bersabda: Amma ba'du, sesungguhnya Tufail telah melihat sesuatu dalam mimpinya yang telah ia ceritakan kepada sebagian orang di antara kalian yang menerima berita darinya. Sesungguhnya kalian telah mengatakan suatu kalimat yang pada mulanya aku terhalang oleh anu dan anu untuk melarang kalian mengatakannya. Maka sekarang janganlah kalian mengatakan, "Ini adalah apa yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh Muhammad" melainkan katakanlah, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah semata."
Demikian riwayat Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya mengenai ayat ini melalui hadis Hammad ibnu Salimah dengan lafaz yang sama. Hadis ini diketengahkan pula oleh Ibnu Majah dari jalur lain melalui Abdul Malik ibnu Umair dengan lafaz yang sama atau semisal.
قَالَ سُفْيَانُ بْنُ سَعِيدٍ الثَّوْرِيُّ، عَنِ الْأَجْلَحِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْكِنْدِيِّ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ. فَقَالَ: "أَجَعَلْتَنِي لِلَّهِ نِدًّا؟ قُلْ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ".
Sufyan ibnu Sa'id As-Sauri mengatakan dari Al-Ajlah ibnu Abdullah Al-Kindi, dari Yazid ibnul Asam, dari Ibnu Abbas yang menceritakan: Seorang lelaki berkata kepada Nabi Saw., "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah dan olehmu." Maka Nabi Saw. bersabda, "Apakah engkau menjadikan diriku sebagai tandingan Allah! Katakanlah, 'Inilah yang dikehendaki oleh Allah semata'"
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih. Imam Nasai serta Imam Ibnu Majah telah mengetengahkannya dari hadis Isa ibnu Yunus. dari Al-Ajlah dengan lafaz yang sama.
Semua itu ditandaskan demi memelihara dan melindungi ketauhidan.
Muhammad ibnu Ishak mengatakan, telah menceritakan kepada-nya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 21) Ayat ini ditujukan kepada kedua golongan secara keseluruhan, yaitu orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dengan kata lain, esakanlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian.
Hal yang sama dikatakan pula dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Karena itu, janganlah kalian mengadakan sekulu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 22) Maksudnya, janganlah kalian mempersekutukan Allah dengan selain-Nya, yaitu dengan tandingan-tandingan yang tidak dapat menimpakan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat, padahal kalian mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang memberi rezeki kepada kalian selain Allah. Kalian telah mengetahui apa yang diserukan oleh Muhammad kepada kalian —yaitu ajaran tauhid— adalah perkara yang hak yang tiada keraguan di dalamnya. Demikian pula menurut Qatadah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr ibnu Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Dahhak ibnu Mukhallad alias Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Syabib ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya, "Fala taj'alu lillahi andadan." Istilah andad yaitu sama dengan mempersekutukan Allah, syirik itu lebih samar daripada rangkakan semut di atas batu hitam yang licin di dalam kegelapan malam.
Contoh perbuatan syirik (atau mempersekutukan Allah) ialah ucapan seseorang, "Demi Allah dan demi hidupmu, hai Fulan, dan demi hidupku." Juga ucapan, "Seandainya tidak ada anjing, niscaya maling akan datang ke rumah kami tadi malam," atau "Seandainya tidak ada angsa, niscaya maling memasuki rumah kami." Demikian pula ucapan seseorang kepada temannya, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki olehmu." Juga ucapan, "Seandainya tidak ada Allah dan si Fulan," semuanya itu merupakan perkataan yang menyebabkan kemusyrikan.
Di dalam hadis disebutkan bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Rasulullah Saw., "Ini adalah yang dikehendaki Allah dan yang dikehendaki olehmu." Maka beliau Saw. bersabda:
"أَجَعَلْتَنِي لِلَّهِ نِدًّا"
Apakah kamu menjadikan diriku sebagai tandingan Allah?
Di dalam hadis lain disebutkan:
"نِعْمَ الْقَوْمُ أَنْتُمْ، لَوْلَا أَنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ، تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللَّهُ، وَشَاءَ فُلَانٌ".
Sebaik-baik kaum adalah kalian jikalau kalian tidak melakukan tandingan (terhadap Allah), (karena) kalian mengatakan, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh si Fulan."
Abul Aliyah mengatakan, makna andadan dalam firman-Nya, "Fala taj'alu lillahi andadan," ialah tandingan dan sekutu. Demikian dikatakan oleh Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, As-Saddi, Abu Malik, dan Ismail ibnu Abu Khalid.
Mujahid mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Wa-antum ta'-lamuna," ialah sedangkan kalian mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa di dalam kitab Taurat dan kitab Injil.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا أَبُو خَلَفٍ مُوسَى بْنُ خَلَفٍ، وَكَانَ يُعَد مِنَ البُدَلاء، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ سَلَّامٍ، عَنْ جَدِّهِ مَمْطُورٍ، عَنِ الْحَارِثِ الْأَشْعَرِيِّ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، أَمَرَ يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا، عَلَيْهِ السَّلَامُ، بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ يَعْمَلَ بِهِنَّ، وَأَنْ يَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَعْمَلُوا بِهِنَّ، وَكَانَ يُبْطِئُ بِهَا، فَقَالَ لَهُ عِيسَى، عَلَيْهِ السَّلَامُ: إِنَّكَ قَدْ أُمِرْتَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ تَعْمَلَ بِهِنَّ وَتَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَعْمَلُوا بِهِنَّ، فَإِمَّا أَنْ تُبْلِغَهُنَّ، وَإِمَّا أَنْ أُبْلِغَهُنَّ. فَقَالَ: يَا أَخِي، إِنِّي أَخْشَى إِنْ سَبَقْتَنِي أَنْ أُعَذَّبَ أَوْ يُخْسَفَ بِي". قَالَ: "فَجَمَعَ يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ، حَتَّى امْتَلَأَ الْمَسْجِدُ، فَقَعَدَ عَلَى الشَّرَفِ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ أَعْمَلَ بِهِنَّ، وَآمُرَكُمْ أَنْ تَعْمَلُوا بِهِنَّ، وَأَوَّلُهُنَّ: أَنْ تَعْبُدُوا اللَّهَ لَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ مَثَل رَجُلٍ اشْتَرَى عَبْدًا مِنْ خَالِصِ مَالِهِ بوَرِق أَوْ ذَهَبٍ، فَجَعَلَ يَعْمَلُ وَيُؤَدِّي غَلَّتَهُ إِلَى غَيْرِ سَيِّدِهِ فَأَيُّكُمْ يَسُرُّهُ أَنْ يَكُونَ عَبْدُهُ كَذَلِكَ؟ وَإِنَّ اللَّهَ خَلَقَكُمْ وَرَزَقَكُمْ فَاعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ؛ فَإِنَّ اللَّهَ يَنْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ، فَإِذَا صَلَّيْتُمْ فَلَا تَلْتَفِتُوا. وَأَمَرَكُمْ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ مَعَهُ صُرَّةً مِنْ مِسْكٍ فِي عِصَابَةٍ، كُلُّهُمْ يَجِدُ رِيحَ الْمِسْكِ. وَإِنَّ خُلُوفَ فَمِ الصَّائِمِ عِنْدَ اللَّهِ أَطْيَبُ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ. وَأَمَرَكُمْ بِالصَّدَقَةِ؛ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَسَرَهُ الْعَدُوُّ، فَشَدُّوا يَدَيْهِ إِلَى عُنُقِهِ، وَقَدَّمُوهُ لِيَضْرِبُوا عُنُقَهُ، فَقَالَ لهم: هل لكم أن أفتدي
نَفْسِي ؟ فَجَعَلَ يَفْتَدِي نَفْسَهُ مِنْهُمْ بِالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ حَتَّى فَكَّ نَفْسَهُ. وَأَمَرَكُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ كَثِيرًا؛ وَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ طَلَبَهُ الْعَدُوُّ سِراعا فِي أَثَرِهِ، فَأَتَى حِصْنًا حَصِينًا فَتَحَصَّنَ فِيهِ، وَإِنَّ الْعَبْدَ أَحْصَنُ مَا يَكُونُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِذَا كَانَ فِي ذِكْرِ اللَّهِ".
قَالَ: وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَأَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ: الْجَمَاعَةُ، وَالسَّمْعُ، وَالطَّاعَةُ، وَالْهِجْرَةُ، وَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؛ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قيدَ شِبْر فَقَدْ خَلَعَ رِبْقة الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ، إِلَّا أَنْ يُرَاجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى جَاهِلِيَّةٍ فَهُوَ مِنْ جِثِيِّ جَهَنَّمَ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى ؟ فَقَالَ: "وَإِنْ صَلَّى وَصَامَ  وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ؛ فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِأَسْمَائِهِمْ عَلَى مَا سَمَّاهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللَّهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abu Khalaf (yaitu Musa ibnu Khalaf, beliau termasuk wali abdal), telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Zaid ibnu Salam, dari kakeknya (Mamtur), dari Al-Haris Al-Asy'ari, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah Swt. memerintahkan kepada Yahya ibnu Zakaria a.s. untuk mengamalkan lima kalimat dan memerintahkan kepada Bani Israil untuk mengamalkannya. Akan tetapi, hampir saja Yahya a.s. terlambat mengamalkannya, lalu Isa a.s. berkata kepadanya, 'Sesungguhnya kamu telah diperintahkan untuk mengamalkan lima kalimat. Kamu pun memerintahkan kepada Bani Israil agar mereka mengamalkannya. Apakah kamu yang menyampaikan, atau diriku yang menyampaikannya?' Yahya menjawab, 'Hai Saudaraku, sesungguhnya aku merasa takut jika kamu yang menyampaikannya, nanti aku akan diazab atau dikutuk.' Kemudian Yahya ibnu Zakaria mengumpulkan kaum Bani Israil di Baitul Muqaddas hingga masjid menjadi penuh oleh mereka. Yahya duduk di atas tempat yang tinggi, lalu memuji dan menyanjung Allah Swt. Kemudian ia mengatakan, 'Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk mengamalkan lima kalimat. Dia memerintahkan pula kepada kalian agar mengamalkannya. Pertama, hendaklah kalian menyembah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Karena sesungguhnya perumpamaan orang yang mempersekutukan Allah itu seperti keadaan seorang lelaki yang membeli seorang budak dengan uangnya sendiri secara murni, baik uang perak ataupun uang emas. Lalu si budak bekerja dan memberikan hasil penjualan jasanya itu kepada selain tuannya. Maka siapakah di antara kalian yang suka diperlakukan seperti demikian? Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang memberi rezeki kalian. Maka sembahlah Dia oleh kalian dan jangan kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Allah memerintahkan kalian untuk mengerjakan salat, karena sesungguhnya Zat Allah berada di hadapan hamba-Nya selagi si hamba (yang sedang salat itu) tidak menoleh. Karena itu, apabila kalian sedang salat, janganlah kalian menoleh. Allah telah memerintahkan kalian puasa, karena sesungguhnya perumpamaan puasa itu seperti keadaan seorang lelaki yang membawa sebotol minyak kesturi berada di tengah-tengah segolongan kaum, lalu mereka dapat mencium bau wangi minyak kesturinya. Sesungguhnya bau mulut orang yang sedang puasa lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kesturi. Allah memerintahkan kalian untuk bersedekah, karena sesungguhnya perurnpamaan sedekah itu seperti seorang laki-laki yang ditawan musuh, dan mengikat kedua tangannya ke lehernya, lalu mengajukannya untuk menjalani hukuman pancung. Kemudian lelaki itu berkata, 'Bolehkah aku menebus diriku dari kalian?' Lalu lelaki itu menebus dirinya dengan semua miliknya, baik yang bernilai murah maupun yang bernilai mahal, hingga dirinya terbebas. Allah memerintahkan kalian untuk berzikir dengan banyak mengingat Allah, karena sesungguhnya perurnpamaan hal ini seperti keadaan seorang lelaki yang dikejar-kejar musuh yang memburunya dengan cepat dari belakang. Kemudian lelaki itu sampai ke suatu benteng, lalu ia berlindung di dalam benteng itu (dari kejaran musuhnya). Sesungguhnya tempat yang paling kuat bagi seorang hamba untuk melindungi dirinya dari setan ialah bila ia selalu dalam keadaan berzikir mengingat Allah'."
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Dan aku perintahkan kalian untuk mengerjakan lima perkara yang telah diperintahkan oleh Allah kepadaku, yaitu (menetapi) jamaah (persatuan), tunduk dan taat (kepada ulil amri), dan hijrah serta jihad di jalan Allah. Karena sesungguhnya barang siapa yang keluar dari jamaah dalam jarak satu jengkal, berarti dia telah rnenanggalkan ikalan Islam dari lehernya, kecuali jika ia bertobat. Barang siapa yang memanggil dengan memakai seruan Jahiliyah. maka ia dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan berlutut. Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sekalipun dia puasa dan salat?" Beliau Saw. menjawab, "Sekalipun dia salat dan puasa, serta mengaku dirinya muslim. Maka panggillah orang-orang muslim dengan nama-namanya sesuai dengan nama yang telah diberikan oleh Allah buat mereka; orang-orang muslim dan orang-orang mukmin adalah hamba-hamba Allah.
Hadis ini berpredikat hasan, sedangkan syahid (bukti) dari hadis ini yang berkaitan dengan makna ayat yang sedang kita bahas ini ialah kalimat yang mengatakan, "Dan sesungguhnya Allah telah menciptakan kalian dan memberi kalian rezeki. Maka sembahlah Dia oleh kalian, dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun."
Ayat yang sedang kita bahas menunjukkan bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Kebanyakan ulama tafsir —seperti Ar-Razi dan lain-lainnya— menyimpulkan dalil dari hadis ini adanya Tuhan Yang Maha Pencipta, sama halnya dengan ayat yang sedang kita bahas secara lebih prioritas. Karena sesungguhnya orang yang merenungkan semua keberadaan alam bagian bawah dan bagian atas berikut berbagai ragam bentuk, warna, watak, manfaat (kegunaan), dan peletakannya dalam posisi yang tepat, semua itu menunjukkan kekuasaan Penciptanya, kebijaksanaan-Nya, pengetahuan-Nya serta keahlian-Nya, dan kebesaran kekuasaan-Nya. Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh sebagian orang Arab ketika ditanya, "Manakah bukti yang menunjukkan adanya Tuhan Yang Maha Tinggi?" Maka dia menjawab, "Subhanallah (Mahasuci Allah), sesungguhnya kotoran unta menunjukkan adanya unta, jejak kaki menunjukkan adanya orang yang lewat. Langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki gunung-gunung serta lautan yang memiliki ombak-ombak, bukankah semua itu menunjukkan adanya Tuhan Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui?"
Ar-Razi meriwayatkan dari Imam Malik, bahwa Ar-Rasyid pernah bertanya kepadanya mengenai masalah ini, lalu Imam Malik membuktikan dengan adanya berbagai macam bahasa, suara, dan irama.
Disebutkan oleh Abu Hanifah bahwa ada sebagian orang Zindiq bertanya kepadanya mengenai keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta. Maka Abu Hanifah berkata kepada mereka, "Biarkanlah aku berpikir sejenak untuk mengingat suatu hal yang pernah diceritakan kepadaku. Mereka menceritakan kepadaku bahwa ada sebuah perahu di tengah laut yang berombak besar, di dalamnya terdapat berbagai macam barang dagangan, sedangkan di dalam perahu itu tidak terdapat seorang pun yang menjaganya dan tiada seorang pun yang mengendalikannya. Tetapi sekalipun demikian perahu tersebut berangkat dan tiba berlayar dengan sendirinya, dapat membelah ombak yang besar hingga selamat dari bahaya. Perahu itu dapat berlayar dengan sendirinya tanpa ada seorang pun yang mengendalikannya." Mereka berkata, "Ini adalah suatu hal yang tidak akan dikatakan oleh orang yang berakal." Maka Abu Hanifah berkata, "Celakalah kamu, semua alam wujud berikut apa yang ada padanya mulai dari alam bagian bawah dan bagian atas, semua yang terkandung di dalamnya berupa berbagai macam benda yang teratur ini, apakah tidak ada penciptanya?" Akhirnya kaum Zindiq itu terdiam dan mereka sadar, lalu kembali kepada perkara yang hak dan semuanya masuk Islam di tengah Abu Hanifah.
Diriwayatkan dari Imam Syafii bahwa ia pernah ditanya mengenai keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta, maka ia menjawab bahwa ini adalah daun at-tut yang rasanya sama. Daun ini bila dimakan ulat sutera dapat menghasilkan benang sutera; bila dimakan lebah, keluar darinya madu; bila dimakan kambing dan sapi atau unta, menjadi kotoran yang tercampakkan (menjadi pupuk); dan bila dimakan oleh kijang, maka keluar dari tubuh kijang itu bibit minyak kesturi, padahal daunnya berasal dari satu jenis.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa ia pernah ditanya mengenai masalah ini, ia menjawab bahwa ada sebuah benteng yang kuat lagi licin, tidak mempunyai pintu dan tidak mempunyai lubang. Bagian luarnya putih seperti perak, sedangkan bagian dalamnya kuning mirip emas. Ketika benteng tersebut dalam keadaan demikian, tiba-tiba temboknya terbelah dan keluarlah darinya seekor hewan yang dapat mendengar dan melihat, bentuk dan suaranya lucu. Dia bermaksud menggambarkan telur bila menetas.
Abu Nuwas pernah ditanya mengenai masalah ini. Ia berkata melalui syair-syairnya, yaitu:
تَأَمَّلْ فِي نَبَاتِ الْأَرْضِ وَانْظُرْ ... إِلَى آثَارِ مَا صَنَعَ الْمَلِيكُ ...
عُيُونٌ مِنْ لُجَيْنٍ شَاخِصَاتٌ ... بِأَحْدَاقٍ هِيَ الذَّهَبُ السَّبِيكُ ...
عَلَى قُضُبِ الزَّبَرْجَدِ شَاهِدَاتٌ ... بِأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ لَهُ شَرِيكُ ...
Renungkanlah kejadian tumbuh-tumbuhan di bumi ini dan perhatikanlah hasil-hasil dari apa yang telah dibuat oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Air yang jernih bak perak memenuhi parit-parit yang bagaikan emas cetakan mengairi lahan-lahan yang indah bagaikan batu permata zabarjad, semuanya itu merupakan saksi yang membuktikan bahwa Allah tiada sekutu bagi-Nya.
Ibnul Mu'taz mengatakan:
فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الْإِلَهُ ... أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ ...
وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةً ... تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ ...
Alangkah anehnya, bagaimanakah seseorang berbuat durhaka kepada Tuhan, dan bagaimanakah seseorang mengingkari-Nya, padahal segala sesuatu merupakan pertanda baginya yang menunjukkan bahwa Tuhan adalah Esa.
Ulama lainnya mengatakan, "Barang siapa yang merenungkan ketinggian langit ini, keluasannya, dan semua yang ada padanya berupa bintang yang bercahaya —baik yang kecil maupun yang besar— dan bintang-bintang yang beredar pada garis edarnya serta yang tetap, niscaya semua itu memberikan kesimpulan kepadanya akan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta. Barang siapa yang menyaksikan bagaimana bintang-bintang tersebut berputar pada dirinya sendiri setiap sehari semalam sekali putaran dalam tata surya yang maha luas itu, sedangkan masing-masing mempunyai garis edarnya sendiri; dan barang siapa yang memperhatikan lautan yang meliputi daratan dari berbagai arah, gunung-gunung yang dipancangkan di bumi agar stabil dan para penghuninya yang terdiri atas berbagai macam jenis dan bentuk serta warnanya, niscaya menyimpulkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta, sebagaimana yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
{وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ * وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}
Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-bina-tang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (Fathir. 27-28)
Demikian pula sungai-sungai yang membelah dari suatu negeri ke negeri yang lain, membawa banyak manfaat. Semua yang diciptakan di muka bumi berupa bermacam-macam makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan yang berbeda-beda rasanya, dan berbagai macam bunga yang beraneka ragam warnanya, padahal tanah dan airnya sama; semua itu menunjukkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta dan kekuasaan serta kebijaksanaan-Nya Yang Mahabesar. Juga menunjukkan rahmat-Nya kepada semua makhluk-Nya, lemah lembut, kebajikan dan kebaikan-Nya kepada mereka; tiada Tuhan selain Allah dan Tiada Rabb selain Dia, hanya kepada-Nyalah aku bertawakal dan kembali. Ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan pengertian ini sangat banyak.

Al-Baqarah, ayat 23-24 

{وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نزلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (23) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (24) }
Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang memang benar. Maka jika kalian tidak dapat membuat(nya) dan pasti kalian tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah diri kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.
Kemudian Allah Swt. menetapkan masalah kenabian sesudah menetapkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Untuk itu, Allah mengarahkan khitab-Nya kepada orang-orang kafir melalui firman-Nya:
{وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نزلْنَا عَلَى عَبْدِنَا}
Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami. (Al-Baqarah: 23)
Yang dimaksud dengan hamba ialah Nabi Muhammad Saw. Maka datangkanlah sebuah surat yang semisal dengan apa yang didatangkan olehnya. Apabila kalian menduga bahwa Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, maka tantanglah Al-Qur'an dengan hal yang semisal dengan apa yang didatangkan olehnya. Mintalah pertolongan kepada orang-orang yang kalian kehendaki selain Allah, karena sesungguhnya kalian pasti tidak akan mampu melakukan hal tersebut. Menurut Ibnu Abbas, syuhada-ukum artinya penolong-penolong kalian.
Menurut As-Saddi, dari Abu Malik, syuhada-ukum artinya sekutu-sekutu kalian. Dengan kata lain ialah kaum selain kalian yangmembantu kalian untuk melakukan hal tersebut. Mintalah pertolongankepada tuhan-tuhan kalian agar mereka membantu dan menolong kalian.
Mujahid mengatakan bahwa makna wad'u syuhada-akum artinya orang-orang yang akan menyaksikannya, mereka adalah juri-juri dari kalangan orang-orang yang fasih dalam berbahasa.
Allah Swt. menantang mereka untuk melakukan hal tersebut di lain ayat dari Al-Qur'an, yaitu dalam surat Al-Qashash:
{قُلْ فَأْتُوا بِكِتَابٍ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ هُوَ أَهْدَى مِنْهُمَا أَتَّبِعْهُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
Katakanlah, "Datangkanlah oleh kalian sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al-Qur'an) niscaya aku mengikutinya, jika kalian sungguh orang-orang yang benar." (Al-Qashash: 49)
Di dalam surat Al-Isra disebutkan melalui firman-Nya:
{قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا}
Katakanlah.”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (Al-Isra: 88)
Di dalam surat Hud Allah Swt. berfirman:
{أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
Bahkan mereka mengatakan, "Muhammad telah membuat-buat Al-Qur'an itu." Katakanlah, "(Jikalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kalian sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kalian memang orang-orang yang benar." (Hud: 13)
Di dalam surat Yunus Allah Swt. telah berfirman:
{وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ * أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
Tidaklah mungkin Al-Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al-Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah duetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan, "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah, "(Kalau benar yang kalian katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kalian panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar" (Yunus: 37-38)
Semua ayat ini Makkiyyah, kemudian Allah menantang mereka dengan tantangan yang sama dalam surat-surat Madaniyyah. Untuk itu, Allah Swt. berfirman dalam ayat berikut: Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buailah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu. (Al-Baqarah: 23) Demikian pendapat Mujahid dan Qatadah, dipilih oleh Ibnu Jarir At-Tabari, Az-Zamakhsyari dan Ar-Razi, dinukil dari Umar, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan kebanyakan ulama ahli Tahqiq.
Pendapat ini dinilai kuat berdasarkan peninjauan dari berbagai segi yang antara lain ialah Allah Swt. menantang mereka secara keseluruhan, baik secara terpisah maupun secara gabungan; yang dalam hal ini tidak ada bedanya antara orang-orang ummi dari kalangan mereka dan orang-orang yang pandai baca tulis dari mereka. Yang demikian itu lebih sempurna dalam tantangannya dan lebih mencakup keseluruhannya daripada tantangan yang hanya ditujukan-kepada individu dari kalangan mereka yang ummi, yaitu orang-orang yang tidak dapat baca tulis dan tidak memperhatikan suatu ilmu pun. Sebagai buktinya ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ}
maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat menyamainya. (Hud: 13)
{لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ}
niscaya meraka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia. (Al-Isra : 88)
Sebagian ulama mangatakan bahwa bimislihi artinya dari orang yang semisal dengan Muhammad saw. yakni dari seorang lelaki yang ummi seperti dia. Tetapi pendapat yang sahih adalah yang pertama, karena tantangan ini bersifat umum bagi mereka semua. Padahal mereka adalah orang-orang yang paling fasih, dan Allah menantang mereka dengan tantangan ini di Mekah dan di Madinah beberapa kali karena mereka sangat memusuhi Nabi Saw. dan sangat membenci agamanya. Akan tetapi, sekalipun mereka adalah orang-orang yang fasih, ternyata mereka tidak mampu membuatnya. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا}
Maka jika kalian tidak dapat (membuatnya), dan pasti kalian tidak akan dapat membuat(nya). (Al-Baqarah: 24)
Huruf lan bermakna menafikan untuk selamanya di masa mendatang, yakni kalian tidak akan mampu melakukannya untuk selama-lamanya. Hal ini merupakan suatu mukjizat tersendiri bahwa Allah Swt. mengemukakan suatu berita yang pasti mendahului segalanya tanpa rasa khawatir dan takut bahwa Al-Qur'an ini tiada yang dapat membuat hal yang semisal dengannya untuk selama - lamanya. Memang kenyataannya demikian, sejak diturunkan dari Allah Swt. sampai sekarang tiada yang dapat membuat hal yang semisal dengannya. Tidak mungkin dan mustahil ada manusia yang dapat melakukannya. Al-Qur'an merupakan Kalamullah Tuhan Yang Menciptakan segala sesuatu, mana mungkin kalam Yang Maha Pencipta dapat diserupakan dengan kalam makhluk-Nya.
Bagi orang yang memikirkan Al-Qur'an, niscaya dia akan menjumpai di dalamnya berbagai mukjizat keindahan-keindahan yang Lahir dan yang tersembunyi yang berkaitan dengan segi lafaz dan segi maknanya.
Allah Swt. telah berfirman:
{الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ}
Alif lam ra, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahawaspada. (Hud: 1)
Lafaz-lafaz disusun dengan rapi dan kokoh, makna-maknanya dijelaskan secara rinci, atau sebaliknya menurut pendapat yang berbeda-beda. Setiap lafaz dan makna Al-Qur'an adalah fasih belaka, tiada yang dapat menandinginya, tiada pula yang dapat sejajar dengannya.
Allah Swt. menceritakan banyak hal yang terjadi di masa silam yang kisah-kisahnya terpendam, lalu kisahnya diangkat kembali sesuai dengan kejadiannya tanpa ada kekurangan sama sekali. Allah memerintahkan kepada semua perkara yang baik dan melarang setiap perbuatan yang buruk.
Allah Swt. telah berfirman:
{وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا}
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur'an) sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An'am: 115)
Dengan kata lain, benar dalam pemberitaan dan adil dalam hukum; semuanya adalah hak, benar, adil, dan petunjuk. Di dalam Al-Qur'an tidak terdapat spekulasi, tiada dusta, dan tiada buat-buatan, sebagaimana yang dijumpai dalam banyak syair Arab dan lain-lainnya yang dipenuhi dengan kedustaan dan spekulasi yang tidak akan indah syair-syair mereka bila tidak disertai dengan kedustaan dan spekulasi. Sebagaimana yang dikatakan bahwa syair yang paling indah ialah yang paling dusta.
Dijumpai dalam kasidah-kasidah yang panjang lagi bertele-tele, kebanyakan isinya hanya menceritakan wanita, kuda, khamr; atau memuji orang tertentu, unta, peperangan, kejadian, hal yang menakutkan atau sesuatu pemandangan yang tiada mengandung suatu faedah selain hanya menunjukkan kemampuan si penyair yang bersangkutan dalam menggambarkan sesuatu yang samar lagi lembut (jelimet), atau menampilkannya ke dalam gambaran yang jelas. Kemudian dijumpai satu bait, dua bait, atau lebih mencakup isi seluruh kasidah, sedangkan yang lainnya tidak ada gunanya dan tidak ada faedahnya selain hanya bertele-tele.
Adapun Al-Qur'an. seluruhnya fasih lagi berparamasastra sangat tinggi bagi orang yang mengetahui hal tersebut secara rinci dan secara global dari kalangan orang-orang yang mengerti bahasa Arab dan seni ungkapan mereka. Karena sesungguhnya jika kamu renungkan berita-beritanya, niscaya kamu menjumpainya sangat indah, baik yang diungkapkan dalam bentuk panjang ataupun ringkas. Sama saja apakah ungkapannya berulang atau tidak, sebab setiap kali berulang dirasakan bertambah indah dan anggun, tidak bosan membacanya, dan para ulama tidak pernah merasa jenuh.
Apabila Al-Qur'an mengungkapkan suatu ancaman atau peringatan, hal ini diungkapkannya dalam bahasa yang membuat gunung yang bisu lagi kokoh itu akan bergetar, terlebih lagi kalbu manusia yang memahaminya. Apabila mengemukakan suatu janji, diungkapkan dalam gaya bahasa yang membuat hati dan pendengaran manusia terbuka, merasa rindu kepada surga yang berada di sisi 'Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah, sebagaimana yang dijelaskan dalam targib melalui firman-Nya:
{فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajdah: 17)
{وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الأنْفُسُ وَتَلَذُّ الأعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya. (Az-Zukhruf: 71)
Di dalam Bab "Tarhib" Allah Swt. telah berfirman:
{أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ}
Maka apakah kalian merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkirbalikkan sebagian daratan bersama kalian. (Al-Isra: 68)
{أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ * أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ}
Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncangl Atau apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? (Al-Mulk: 16-17)
Dalam Bab "Peringatan" Allah Swt. telah berfirman:
{فَكُلا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ}
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosa-nya. (Al-Ankabut 40)
Dalam Bab "Nasihat (Pelajaran)" Allah Swt. telah berfirman:
{أَفَرَأَيْتَ إِنْ مَتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ * ثُمَّ جَاءَهُمْ مَا كَانُوا يُوعَدُونَ * مَا أَغْنَى عَنْهُمْ مَا كَانُوا يُمَتَّعُونَ}
Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya. (Asy-Syu'ara: 205-207)
Masih banyak ayat lainnya yang mengandung berbagai macam fasahah. paramasastra. dan keindahan. Apabila ayat-ayat Al-Qur'an menerangkan perihal hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan. maka setiap perintah selalu mengandung semua perkara makruf, baik, bermanfaat, dan larangan terhadap setiap perbuatan yang buruk, hina, dan rendah.
Ibnu Mas'ud r.a. dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf mengatakan, "Apabila kamu mendengar Allah Swt. berfirman di dalam Al-Qur'an, 'Hai orang-orang yang beriman,' maka pasanglah pendengaranmu baik-baik, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung kebaikan yang akan diperintahkan oleh-Nya atau keburukan yang dilarang oleh-Nya." Allah Swt. telah berfirman:
{يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ}
Yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. (Al-A'raf: 157)
Apabila ayat-ayat menerangkan gambaran tentang hari kiamat berikut semua kesusahan dan kengerian yang terdapat di dalamnya, gambaran tentang surga, neraka, dan semua yang disediakan oleh Allah buat kekasih-kekasih-Nya serta musuh-musuhnya, yaitu kenikmatan dan neraka, serta perlindungan dan siksa yang pedih, maka diungkapkannya dalam bentuk berita gembira, larangan, serta peringatan. Yaitu ungkapan yang mendorong untuk mengerjakan semua kebaikan dan menjauhi semua kemungkaran, mendorong untuk berzuhud terhadap duniawi serta lebih suka kepada pahala di akhirat, dan memperteguh jalan yang penuh dengan keteladanan, memberikan petunjuk ke jalan Allah yang lurus dan syariatnya yang tegak, serta membersihkan hati dari kotoran setan yang terkutuk.
Karena itu, telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah r.a.,bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"مَا مِنْ نَبِيٍّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ إِلَّا قَدْ أعْطِيَ مِنَ الْآيَاتِ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُهُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إليَّ، فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tiada seorang nabi pun melainkan telah dianugerahi suatu mukjizat yang disesuaikan dengan apa yang diimani oleh manusia di masanya. Dan sesungguhnya apa yang telah diberikan kepadaku hanyalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepadaku, maka aku berharap semoga aku adalah nabi yang paling banyak pengikutnya di antara semua nabi-nabi kelak di hari kiamat.
Lafaz hadis ini berasal dari Imam Muslim.
Dengan kata lain, sesungguhnya apa yang diberikan kepadaku hanyalah berupa wahyu; aku mempunyai kekhususan tersendiri di antara mereka (para nabi), yaitu diberi wahyu Al-Qur'an ini yang melemahkan seluruh umat manusia untuk membuat hal yang semisal dengannya, lain halnya dengan kitab-kitab samawi lainnya. Karena sesungguhnya kitab-kitab samawi selain Al-Qur'an menurut kebanyakan ulama bukan merupakan mukjizat. Tetapi Nabi Saw. selain memiliki mukjizat Al-Qur'an, memiliki pula mukjizat-mukjizat lainnya yang menunjukkan kenabian dan kebenaran apa yang didatangkan olehnya, dan hal ini jumlahnya cukup banyak hingga tak terhitung; segala puji dan anugerah hanyalah milik Allah.
Sebagian ulama ahli Kalam ada yang menetapkan unsur i'jaz di dalam Al-Qur'an dengan suatu metode yang mencakup antara pendapat ahli sunnah dan golongan mu'tazilah yang menyatakan sirfah. Dia mengatakan, jika Al-Qur'an ini mengandung i'jaz dengan sendirinya —yakni manusia tidak akan mampu mendatangkan yang semisal dengannya dan di luar kemampuan mereka pula untuk menentangnya— berarti apa yang diakui benar-benar telah terjadi. Jika mereka mempunyai kemampuan untuk menentang Al-Qur'an dengan hal yang semisal dengannya, sedangkan mereka tidak mampu melakukannya, padahal mereka sangat memusuhinya. maka hal ini merupakan bukti yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an benar-benar dari sisi Allah; karena Allah men-sirfah (memalingkan) mereka untuk dapat menentangnya (Al-Qur'an), padahal mereka mempunyai kemampuan untuk menentangnya dengan hal yang semisal. Analisis seperti ini —sekalipun kurang dapat diterima— mengingat Al-Qur'an itu sendiri mengandung mukjizat yang membuat manusia tidak mampu menentangnya dengan hal yang semisal, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Hanya saja analisis ini dapat diterima dengan pengertian sebagai perumpamaan dan tantangan terhadap perkara yang hak. Metode inilah yang dipakai oleh Ar-Razi dalam menjawab hipotesisnya di dalam kitab tafsirnya menyangkut surat yang pendek-pendek, seperti surat Al-'Asr dan Al-Kausar.
***********
Allah Swt. telah berfirman:
{فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ}
Peliharalah diri kalian dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 24)
Yang dimaksud dengan al-waqud ialah sesuatu yang dicampakkan ke dalam api untuk membesarkannya, seperti kayu bakar dan lain-lain-nya; sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا}
Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam. (Al-Jin: 15)
Allah Swt. telah berfirman pula:
{إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ}
Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah makanan Jahannam, kalian pasti masuk ke dalamnya. (Al-Anbiya: 98)
Yang dimaksud al-hijarah dalam surat Al-Baqarah ini ialah batu pemantik api yang sangat besar, hitam, keras, dan berbau busuk. Batu jenis ini paling panas jika dipanaskan, semoga Allah melindungi kita darinya.
Abdul Malik ibnu Maisarah Az-Zarrad meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Amr ibnu Maimun, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan firman-Nya: bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (Al-Baqarah: 24) Bahwa batu yang dimaksudkan adalah batu kibrit (pemantik api), Allah telah menciptakannya di saat Allah menciptakan langit dan bumi, yaitu di langit yang paling rendah, sengaja disediakan buat orang-orang kafir.
Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Jarir dengan lafaz seperti ini, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadraknya; ia mengatakan bahwa dengan syarat Syaikhain.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna ayat ini. Adapun yang dimaksud dengan al-hijarah ialah batu yang ada di dalam neraka, yaitu batu kibrit berwarna hitam; mereka (orang-orang kafir) diazab di dalam neraka dengan batu itu dan api neraka.
Mujahid mengatakan bahwa hijarah ini berasal dari batu kibrit yang baunya lebih busuk daripada bangkai.
Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali mengatakan bahwa batu tersebut adalah batu kibrit.
Ibnu Juraij mengatakan, batu tersebut adalah batu kibrit hitam yang berada di dalam neraka. Menurut Amr ibnu Dinar, batu tersebut jauh lebih keras dan lebih besar daripada yang ada di dunia.
Menurut pendapat yang lain, batu tersebut dimaksudkan batu berhala dan tandingan-tandingan yang disembah selain Allah, sebagaimana dijelaskan dalam firman lainnya, yaitu: Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah makanan Jahannam. (Al-Anbiya: 98)
Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-Qurtubi dan Ar-Razi yang menilainya lebih kuat daripada pendapat di atas. Ar-Razi mengatakan, dikatakan demikian karena bukan merupakan hal yang diingkari bila api mengejar batu kibrit, untuk itu lebih utama bila bahan bakar tersebut diartikan sebagai batu-batuan jenis kibrit. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Ar-Razi masih kurang kuat, mengingat api itu apabila dibesarkan nyalanya dengan batu kibrit, maka panasnya lebih kuat dan nyalanya lebih besar. Terlebih lagi diartikan seperti yang telah dikatakan oleh ulama Salaf, bahwa batu-batuan tersebut adalah batu kibrit yang disediakan untuk tujuan tersebut. Selanjutnya merupakan suatu hal yang nyata pula bila api dapat membakar jenis batu-batuan lainnya, misalnya batu jas (kapur), jika dibakar dengan api, ia menyala, kemudian menjadi kapur. Demikian pula halnya semua batuan lainnya, bila dibakar oleh api pasti terbakar dan menjadi hancur.
Sesungguhnya hal ini dikaitkan dengan panasnya api neraka yang diancamkan kepada mereka. Juga dikaitkan dengan kebesaran nyalanya, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya berikut ini:
{كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا}
Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah bagi mereka nyalanya. (Al-Isra: 97)
Demikian pendapat yang dinilai kuat oleh Al-Qurtubi. Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah batu-batuan yang dapat menambah nyala api dan menambah derajat kepanasannya, dimaksudkan agar hal ini menambah keras siksaannya terhadap para penghuninya.
Al-Qurtubi mengatakan pula, telah disebut sebuah hadis dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw. pernah bersabda:
"كُلُّ مُؤْذٍ فِي النَّارِ"
Setiap yang menyakitkan pasti ada dalam neraka.
Hadis ini kurang dihafal dan kurang dikenal di kalangan ulama ahli hadis. Kemudian Al-Qurtubi mengatakan bahwa hadis ini diinterpretasikan dengan dua makna. Makna pertama menyatakan bahwa setiap orang yang mengganggu orang lain dimasukkan ke dalam neraka. Makna yang kedua mengartikan bahwa setiap yang menyakitkan para penghuninya —seperti binatang buas, serangga beracun, dan lain-lain-nya— terdapat pula di dalam neraka.
Firman Allah, "U'iddat lil kafirin" menurut pendapat yang paling kuat damir yang terdapat di dalam lafaz u'iddat kembali kepada neraka yang bahan bakarnya terdiri atas manusia dan batu-batuan. Tetapi dapat pula diinterpretasikan bahwa damir tersebut kembali kepa-da al-hijarah, sebagaimana tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Mas'ud r.a. Kedua pendapat tersebut tidak bertentangan dalam hal makna, karena keduanya saling mengait dengan yang lainnya.
U'iddat, disediakan buat orang-orang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq, dari Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa makna firman-Nya, "Disediakan bagi orang-orang kafir" (Al-Baqarah: 24) ialah 'buat orang yang kafir di antara kalian'.
Banyak orang dari kalangan para imam sunnah yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa neraka itu sekarang telah ada, yakni telah diciptakan Allah Swt. atas dasar firman-Nya: yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 24) Dengan kata lain, neraka itu telah dipersiapkan dan disediakan buat mereka yang kafir.
Banyak hadis yang menunjukkan pengertian ini (bahwa neraka telah ada), antara lain ialah hadis yang menceritakan bahwa surga dan neraka saling membantah.
Hadis lainnya menyebutkan:
"اسْتَأْذَنَتِ النَّارُ رَبَّهَا فَقَالَتْ: رَبِّ أَكَلَ بَعْضِي بَعْضًا فَأَذِنَ لَهَا بِنَفَسَيْنِ نَفَسٌ فِي الشِّتَاءِ وَنَفَسٌ فِي الصَّيْفِ"
Neraka meminta izin kepada Tuhannya. Untuk itu ia berkata, "Wahai Tuhanku, sebagian dariku memakan sebagian yang lainnya." Akhirnya ia diizinkan untuk mengeluarkan dua embusan, yaitu embusan di waktu musim dingin dan embusan lainnya di waktu musim panas.
Demikian pula dalam hadis yang diceritakan oleh Abdullah ibnu Mas'ud r.a.:
سَمِعْنَا وَجْبَةً فَقُلْنَا مَا هَذِهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَذَا حَجَرٌ أُلْقِيَ بِهِ مِنْ شَفِيرِ جَهَنَّمَ مُنْذُ سَبْعِينَ سَنَةً الْآنَ وَصَلَ إِلَى قَعْرِهَا"
Kami pernah mendengar suatu suara gemuruh, lalu kami bertanya, "Suara apakah itu?" Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Itu adalah suara batu yang dilemparkan dari pinggir neraka Jahannam sejak tujuh puluh tahun yang silam, dan sekarang baru sampai ke dasarnya."
Hadis ini menurut lafaz Imam Muslim.
Juga hadis yang menceritakan salat gerhana Nabi Saw., hadis mengenai malam isra, dan hadis-hadis lain yang menunjukkan makna yang sama dengan pengertian yang sedang dalam bahasan kita ini. Akan tetapi, golongan Mu'tazilah menentang pendapat ini karena kebodohan mereka sendiri, tetapi pendapat mereka didukung oleh Kadi Munzir ibnu Sa'id Al-Balluti, kadi di Andalusia.
*************
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ}
maka buatlah satu surat saja yang semisal dengan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 23)
dan firman Allah Swt. di dalam surat Yunus, yaitu:
{بِسُورَةٍ مِثْلِهِ}
sebuah surat semisal dengannya. (Yunus: 38)
makna yang dimaksud mencakup semua surat Al-Qur'an —baik surat yang panjang maupun yang pendek— mengingat lafaz surat diungkapkan dalam bentuk nakirah dalam konteks syarat. Lafaz seperti itu bermakna umum, sama halnya dengan nakirah yang diungkapkan dalam konteks nafi menurut ahli tahqiq dari kalangan ulama Usul; hal ini akan diterangkan nanti dalam pembahasannya sendiri.
Unsur i'jaz memang terkandung di dalam surat-surat yang panjang, juga surat-surat yang pendek. Sepengetahuan kami tidak ada ulama yang memperselisihkan pendapat ini, baik yang Salaf maupun yang Khalaf.
Tetapi Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang mengatakan: Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu. (Al-Baqarah: 23) diartikan mencakup surat Al-Kausar, Al-'Asr, dan Al-Kafirun. Kita mengetahui bahwa membuat sesuatu yang semisal dengannya atau yang mendekatinya merupakan suatu hal yang mungkin dapat dilakukan dengan pasti. Karena itu, merupakan suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan jika dikatakan bahwa membuat hal yang semisal dengan surat-surat tersebut merupakan suatu hal yang di luar kemampuan manusia. Apabila kita berpendapat seperti pendapat yang berlebihan ini, justru akibatnya akan mengurangi keagungan agama (Al-Qur'an) itu sendiri.
Berdasarkan pengertian inilah kami memilih cara lain dalam menginterpretasikannya; dan kami katakan jika surat-surat tersebut tingkatan kefasihannya mencapai tingkatan i'jaz, berarti bukan menjadi masalah lagi. Tetapi jika tidak demikian keadaannya, berarti ketidakmampuan orang-orang kafir untuk menyainginya merupakan suatu mukjizat tersendiri, mengingat dorongan yang ada pada diri mereka untuk melecehkan Al-Qur'an benar-benar kuat. Atas dasar kedua hipotesis ini unsur i'jaz tetap ada. Demikian nukilan secara harfiah dari Ar-Razi.
Menurut pendapat yang benar, setiap surat dari Al-Qur'an merupakan mukjizat, manusia tidak akan mampu menandinginya, baik surat yang panjang maupun yang pendek.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Jikalau manusia memikirkan makna yang terkandung di dalam surat berikut, niscaya sudah menjadi kecukupan bagi mereka," yaitu firman-Nya:
{وَالْعَصْرِ * إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ}
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (Al-'Asr: 1-3)
Kami meriwayatkan dari Amr ibnul As, bahwa sebelum masuk Islam dia pernah bertamu kepada Musailamah Al-Kazzab. Lalu Musailamah bertanya kepadanya, "Apakah yang telah diturunkan kepada teman kalian (Nabi Muhammad) di Mekah di masa sekarang?" Maka Amr menjawabnya, "Sesungguhnya telah diturunkan kepadanya suatu surat yang ringkas lagi balig." Musailamah bertanya, "Surat apakah?" Amr menjawab: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. (Al-'Asr: 1-2) Maka Musailamah berpikir sejenak, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, "Sesungguhnya telah diturunkan pula kepadaku hal yang semisal dengannya." Amr bertanya, "Apakah itu?" Musailamah berkata, "Hai kelinci, hai kelinci, sesungguhnya kamu hanya terdiri atas dua telinga dan dada, sedangkan selain itu pendek dan kurus." Kemudian Musailamah bertanya, "Bagaimanakah menurut pendapatmu, hai Amr." Amr menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya kamu mengetahui bahwa diriku mengetahui kamu berdusta."

Al-Baqarah, ayat 25

{وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (25) }
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya.
Setelah menuturkan apa yang disediakan-Nya buat musuh-musuh-Nya dari kalangan orang-orang yang celaka —yakni orang-orang yang kafir kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya— berupa siksaan dan pembalasan, maka Allah mengiringinya dengan kisah keadaan kekasih-kekasih-Nya dari kalangan orang-orang yang berbahagia, yaitu orang-orang yang beriman kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang keimanan mereka dibuktikan dengan amal-amal salehnya.
Berdasarkan pengertian inilah maka Al-Qur'an dinamakan ma-sani menurut pendapat yang paling sahih di kalangan para ulama, yang keterangannya akan dibahas dengan panjang lebar pada tempatnya. Yang dimaksud dengan masani ialah hendaknya disebutkan masalah iman, kemudian diikuti dengan sebutan kekufuran atau sebaliknya, atau perihal orang-orang yang berbahagia, lalu diiringi dengan perihal orang-orang yang celaka atau sebaliknya. Kesimpulannya ialah menyebutkan sesuatu hal, kemudian diiringi dengan lawan katanya. Adapun mengenai penyebutan sesuatu yang dikemukakan sesudah penyebutan hal yang semisal dengannya, hal ini dinamakan penyerupaan (tasyabuh), seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah. Untuk itu, Allah Swt. berfirman:
{وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. (Al-Baqarah: 25)
Surga-surga tersebut digambarkan oleh ayat ini, mengalir di bawahnya sungai-sungai, yakni di bawah pohon-pohon dan gedung-gedungnya. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa sungai-sungai surga mengalir bukan pada parit-parit. Sehubungan dengan Sungai Al-Kausar, telah disebutkan bahwa kedua tepinya terdapat kubah-kubah yang terbuat dari batu permata yang berlubang. Kedua pengertian ini tidak bertentangan. Tanah liat surga terdiri atas bibit minyak kesturi, sedangkan batu-batu kerikilnya terdiri atas batu-batu mutiara dan batu-batu permata. Kami memohon kepada Allah dari karunia-Nya, sesungguhnya Dia Mahabaik lagi Maha Penyayang.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: قُرِئَ عَلَى الرَّبِيعِ بْنِ سُلَيْمَانَ: حَدَّثَنَا أَسَدُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ قُرَّةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ ضَمْرَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنْهَارُ الْجَنَّةِ تُفَجَّر مِنْ تَحْتِ تِلَالِ -أَوْ مِنْ تَحْتِ جِبَالِ-الْمِسْكِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah membacakan kepadaku Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Asad ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Sauban, dari Ata ibnu Qur-rah, dari Abdullah ibnu Damrah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sungai-sungai surga mengalir di bagian bawah lereng-lereng atau di bagian bawah bukit-bukit kesturi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Masruq yang menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud r.a. pernah mengatakan, "Sungai-sungai surga mengalir dari bukit kesturi."
***********
Firman Allah Swt:
{كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ}
Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." (Al-Baqarah: 25)
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Disebutkan bahwa mereka di dalam surga diberi buah-buahan. Ketika melihat buah-buahan itu mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu di dunia." Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan didukung oleh Ibnu Jarir.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka mengatakan.”Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu " Makna yang dimaksud ialah 'seperti yang pernah diberikan kemarin". Hal yang sama dikatakan oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. Mujahid mengatakan bahwa mereka mengatakan buah-buahan itu serupa dengan apa yang pernah diberikan kepada mereka.
Ibnu Jarir mengatakan —begitu pula yang lainnya— bahwa takwil makna ayat ini ialah, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu, buah-buahan surga sebelumnya." Dikatakan demikian karena satu sama lainnya sangat mirip, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat selanjutnya:
{وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا}
Mereka diberi buah-buahan yang serupa. (Al-Baqarah: 25)
Sanid ibnu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami seorang syekh dari kalangan penduduk Al-Masisah, dari Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir yang mengatakan bahwa diberikan kepada seseorang di antara penduduk surga piring besar berisikan sesuatu (buah-buahan), lalu ia memakannya. Kemudian disuguhkan lagi piring besar lainnya, maka ia mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Maka para malaikat berkata, "Makanlah, bentuknya memang sama, tetapi rasanya berbeda."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Yusaf, dari Yahya ibnu Abu Kasir yang pernah mengatakan bahwa rerumputan surga terdiri atas minyak za'faran, sedangkan bukit-bukitnya terdiri atas minyak kesturi. Para ahli surga dikelilingi oleh pelayan-pelayan yang menyuguhkan beraneka buah-buahan, lalu mereka memakannya. Kemudian disuguhkan pula kepada mereka hal yang semisal, maka berkatalah penduduk surga kepada para pelayan, "Inilah yang pernah kalian suguhkan kepada kami sebelumnya." Lalu para pelayan menjawabnya, "Makanlah, bentuknya memang sama, tetapi rasanya berbeda." Hal inilah yang dimaksud dengan firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang serupa."
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu: "Wautu bihi mutasyabihan," yakni satu sama lainnya mirip, tetapi rasanya berbeda.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi.
Ibnu Jarir meriwayatkan berikut sanadnya, dari As-Saddi di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang serupa." Makna yang dimaksud ialah serupa dalam hal warna dan bentuk, tetapi tidak sama dalam hal rasa. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang serupa," bahwa buah-buahan surga mirip dengan buah-buahan di dunia, hanya buah-buahan surga lebih wangi dan lebih enak.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Abu Zabyan, dari Ibnu Abbas, bahwa tiada sesuatu pun di dalam surga yang menyerupai sesuatu yang di dunia, hanya namanya saja yang serupa. Menurut riwayat yang lain, tiada sesuatu pun di dunia sama dengan yang ada di surga kecuali hanya dalam masalah nama saja yang serupa. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui riwayat As-Sauri dan Ibnu Abu Hatim melalui hadis Abu Mu'awiyah; keduanya menerima riwayat ini dari Al-A'masy dengan lafaz seperti ini.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang serupa," bahwa mereka mengenal nama-namanya sebagaimana ketika mereka di dunia, misalnya buah apel dan buah delima bentuknya sama dengan buah apel dan buah delima ketika mereka di dunia. Lalu mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami sebelumnya ketika di dunia." Mereka diberi buah-buahan yang serupa, yakni mereka mengenalnya karena bentuknya sama dengan yang ada di dunia, tetapi rasanya tidak sama.
************
Firman Allah Swt.:
{وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ}
Dan untuk mereka di dalamnya (surga) ada istri-istri yang suci. (Al-Baqarah: 25)
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mutahharah artinya suci dari najis dan kotoran.
Mujahid mengatakan, yang dimaksud ialah suci dari haid, buang air besar, buang air kecil, dahak, ingus, ludah, air mani, dan beranak.
Qatadah mengatakan bahwa mutahharah artinya suci dari kotoran dan dosa (najis). Menurut suatu riwayat darinya disebutkan tidak ada haid dan tidak ada tugas. Telah diriwayatkan dari Ata, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Abu Saleh, Atiyyah, dan As-Saddi hal yang semisal dengan riwayat tadi.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa al-mutahharah artinya wanita yang tidak pernah haid. Dia mengatakan, demikian pula halnya Siti Hawa pada waktu pertama kali diciptakan. Tetapi ketika ia durhaka, maka Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku menciptakanmu dalam keadaan suci, sekarang Aku akan membuatmu mengalami pendarahan sebagaimana kamu telah melukai pohon ini." Akan tetapi, riwayat ini dinilai garib.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبٍ، وَأَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الجُوري قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْكِنْدِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ عُمَرَ البَزيعيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ} قَالَ: "مِنَ الْحَيْضِ وَالْغَائِطِ وَالنُّخَاعَةِ وَالْبُزَاقِ"
Al-Hafiz Abu Bakar Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Muhammad ibnu Harb dan Ahmad ibnu Muhammad Al-Khawari; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq ibnu Umar Al-Buzai'i, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, dari Syu'bah, dari Qatadah, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci. (Al-Baqarah: 25) Yang dimaksud ialah suci dari haid, buang air besar, dahak, dan ludah.
Hadis ini dinilai garib.
Akan tetapi, Imam Hakim meriwayatkan-nya di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Muhammad ibnu Ya'qub, dari Al-Hasan ibnu Ali ibnu Affan, dari Muhammad ibnu Ubaid dengan lafaz yang sama.
Imam Hakim mengatakan bahwa predikat hadis ini sahih bila dengan syarat Syaikhain. Apa yang didakwakan oleh Imam Hakim ini masih perlu dipertimbangkan, karena sesungguhnya hadis Abdur Razzaq ibnu Umar Al-Buzai'i dinilai oleh Abu Hatim ibnu Hibban Al-Basti tidak dapat dijadikan sebagai hujah. Menurut kami, yang jelas pendapat ini merupakan pendapat Qatadah, seperti yang telah kami kemukakan di atas.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
Dan mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 25)
Hal ini merupakan kebahagiaan yang sempurna, karena sesungguhnya di samping mereka mendapat nikmat tersebut, mereka terbebas dan aman dari kematian dan terputusnya nikmat. Dengan kata lain, nikmat yang mereka peroleh tiada akhir dan tiada habisnya, bahkan mereka berada dalam kenikmatan yang abadi selama-lamanya. Hanya kepada Allah-lah kami memohon agar diri kami dihimpun bersama golongan ahli surga ini; sesungguhnya Allah Mahadermawan, Mahamulia, Mahabaik lagi Maha Penyayang.

Al-Baqarah, ayat 26-27

{إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلا يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلا الْفَاسِقِينَ (26) الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (27) }
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?'' Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itu-lah orang-orang yang rugi.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat, bahwa ketika Allah membuat kedua perumpamaan ini bagi orang-orang munafik, yakni firman-Nya:
{مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا}
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. (Al-Baqarah: 17)
{أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ}
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit. (Al-Baqarah: 19)
Yakni semuanya terdiri atas tiga ayat. Maka orang-orang munafik berkata bahwa Allah Maha Tinggi lagi Mahaagung untuk membuat perumpamaan-perumpamaan ini. Maka Allah menurunkan ayat ini (yakni Al-Baqarah ayat 26-27) sampai dengan firman-Nya:
{هُمُ الْخَاسِرُونَ}
Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27)
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah; ketika Allah menyebutkan laba-laba dan lalat dalam perumpamaan yang dibuat-Nya, maka orang-orang musyrik berkata, "Apa hubungannya laba-laba dan lalat disebutkan?" Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26)
Sa'id meriwayatkan dari Qatadah, bahwa sesungguhnya Allah tiada segan —demi perkara yang hak— untuk menyebutkan sesuatu hal, baik yang kecil maupun yang besar. Sesungguhnya ketika Allah menyebutkan di dalam Kitab-Nya mengenai lalat dan laba-laba, lalu orang-orang yang sesat mengatakan, "Apakah yang dimaksud oleh Allah menyebut hal ini?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26)
Menurut kami, dalam riwayat pertama dari Qatadah mengandung isyarat bahwa ayat ini termasuk ayat Makkiyyah, tetapi sebenarnya tidaklah demikian (yakni Madaniyyah). Bahkan riwayat Sa'id yang dari Qatadah lebih mendekati kepada kebenaran.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid semisal dengan riwayat kedua yang dari Qatadah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Al-Hasan dan Ismail ibnu Abu Khalid hal yang semisal dengan perkataan As-Saddi dan Qatadah.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan ayat ini, bahwa hal ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan dunia, yaitu nyamuk tetap hidup selagi dalam keadaan lapar; tetapi bila telah gemuk (kekenyangan), maka ia mati. Demikian pula perumpamaan kaum yang dibuatkan perumpamaannya oleh Allah di dalam Al-Qur'an dengan perumpamaan ini. Dengan kata lain, bila mereka kekenyangan karena berlimpah ruah dengan harta duniawi, maka pada saat itulah Allah mengazab mereka. Kemudian Ar-Rabi' ibnu Anas membacakan firman-Nya:
{فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ}
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, hingga akhir ayat. (Al-An'am: 44)
Demikian riwayat Ibnu Jarir. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Abu Ja'far, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah.
Demikian perbedaan pendapat di kalangan mereka mengenai Asbabun Nuzul ayat ini, sedangkan Ibnu Jarir sendiri memilih riwayat yang dikemukakan oleh As-Saddi; mengingat riwayatnya lebih menyentuh surat, maka lebih cocok.
Makna ayat, Allah memberitakan bahwa Dia tidak merasa malu —yakni tidak segan atau tidak takut— untuk membuat perumpamaan apa pun, baik perumpamaan yang kecil ataupun yang besar.
Huruf ma pada lafaz masalan ma menunjukkan makna taqlil (sedikit atau terkecil), dan lafaz ba'udah di-nasab-kan sebagai badal. Perihal makna ma di sini sama dengan ucapan seseorang la-adriban-na darban ma, artinya aku benar-benar akan memukul dengan suatu pukulan. Pengertiannya dapat diartikan dengan pukulan yang paling ringan. Atau huruf ma di sini dianggap sebagai ma nakirah mausufah, yakni huruf ma diartikan dengan penjelasan lafaz ba'udah (nyamuk).
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa huruf ma di sini adalah ma mausulah (kata penghubung), sedangkan lafaz ba'udah di-i'rab-kan sesuai dengan kedudukannya. Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal seperti ini terjadi dalam percakapan orang-orang Arab, yakni mereka biasa meng-i'rab-kan silah dari huruf ma dan man sesuai dengan kedudukan i'rab keduanya. Mengingat keduanya adakalanya berupa ma'rifat, adakalanya pula berupa nakirah. Sebagai contohnya ialah apa yang dikatakan oleh Hasan ibnu Sabit dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
وَكَفَى بِنَا فَضْلا عَلَى مَنْ غَيْرِنَا ... حُب  النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ إيَّانَا
Cukuplah keutamaan bagi kami yang berada di atas selain kami hanya berkat Nabi Muhammad yang keturunannya tergabung kepada kami.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa lafaz ba'udah dapat di-nasab-kan karena membuang harakat jar-nya. Bentuk kalimat secara utuh menjadi seperti berikut: Innallaha la  yastahyi ay-yadriba masalam ma baina ba'udatin ila mafauqaha, yakni sesungguhnya Allah tiada segan untuk membuat perumpamaan apa pun mulai dari seekor nyamuk hingga yang lebih dari itu kecilnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Kisai dan Al-Farra.
Ad-Dahhak dan Ibrahim ibnu Ablah membaca lafaz ba'udah dengan bacaan rafa' (ba'udatun). Ibnu Jinni memberikan komentarnya bahwa dengan demikian berarti lafaz ba'udatun berkedudukan sebagai silah-nya ma, sedangkan damir yang kembali kepada ma dibuang. Perihalnya sama dengan i'rab yang terdapat di dalam firman-Nya:
{تَمَامًا عَلَى الَّذِي أَحْسَنَ}
Untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan. (Al-An'am: 154)
Bentuk Lengkapnya ialah 'alal lazi huwa ahsanu.
Imam Sibawaih telah meriwayatkan kalimat yang mengatakan ma anal lazi qailun laka syai-an (Aku bukanlah orang yang pernah mengatakan sesuatu mengenai dirimu). bentuk Lengkapnya ialah bil lazi huwa qailun laka syaian.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَمَا فَوْقَهَا}
atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan, yang dimaksud ialah lebih kecil dan lebih rendah darinya. Perihalnya sama dengan seorang lelaki jika disifati dengan karakter yang tercela, yakni kikir. Lalu ada pendengar yang menjawabnya, "Memang benar, dia lebih rendah dari apa yang digambarkannya." Demikian pendapat Al-Kisai dan Abu Ubaid. Ar-Razi dan kebanyakan ulama ahli tahqiq mengatakan bahwa di dalam hadis disebutkan:
"لَوْ أَنَّ الدُّنْيَا تَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ"
Seandainya dunia ini berbobot di sisi Allah sama dengan sayap nyamuk, niscaya dia tidak akan memberi minum seteguk air pun darinya kepada orang kafir.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa makna fama fauqaha ialah yang lebih besar dari (nyamuk) itu, atas dasar kriteria bahwa tiada sesuatu pun yang lebih rendah dan lebih kecil daripada nyamuk. Ini adalah pendapat Qatadah ibnu Di'amah dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis riwayat Imam Muslim melalui Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ"
Tiada seorang muslim pun yang tertusuk oleh sebuah duri hingga yang lebih darinya melainkan dicatatkan baginya karena musibah tersebut suatu derajat (pahala), dan dihapuskan darinya karena musibah itu suatu dosa.
Melalui ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia tidak pernah menganggap remeh sesuatu pun untuk dijadikan sebagai misal (perumpamaan), sekalipun sesuatu itu hina lagi kecil seperti nyamuk; sebagaimana Dia tidak segan-segan menciptakan makhluk yang kecil itu, Dia tidak segan-segan pula membuat perumpamaan dengan makhluk kecil itu, sebagaimana membuat perumpamaan memakai lalat dan laba-laba, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ}
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amal lemahlah yang menyembah dan amal lemah (pulalah) yang disembah. (Al-Hajj': 73)
{مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ}
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut: 41)
Allah Swt. telah berfirman:
{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ * تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ * وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الأرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ * يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya (menjulang) ke langit; pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Ibrahim: 24-27)
{ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا عَبْدًا مَمْلُوكًا لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun. (An-Nahl: 75)
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ [هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ] }
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: Dua orang lelaki, yang seorang bisu tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan? (An-Nahl: 76)
Sama halnya dengan firman-Nya:
{ضَرَبَ لَكُمْ مَثَلا مِنْ أَنْفُسِكُمْ هَلْ لَكُمْ مِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ شُرَكَاءَ فِي مَا رَزَقْنَاكُمْ}
Dia membuat perumpamaan untuk kalian dari diri kalian sendiri. Apakah ada di antara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kanan kalian, sekutu bagi kalian dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian. (Ar-Rum: 28)
Allah Swt. telah berfirman:
{ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ [وَرَجُلا سَلَمًا لِرَجُلٍ] }
Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan. (Az-Zumar: 29)
{وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ}
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Al-Ankabut 43)
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak perumpamaan. Sebagian ulama Salaf mengatakan, "Apabila aku mendengar perumpamaan di dalam Al-Qur'an, lalu aku tidak memahaminya, maka aku menangisi diriku sendiri, karena Allah Swt. telah berfirman: 'Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (Al-Ankabut: 43)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26) Maksudnya, semua perumpamaan —baik yang kecil maupun yang besar— orang-orang mukmin beriman kepadanya dan mereka mengetahui bahwa hal itu merupakan perkara hak dari Tuhan mereka, dan melaluinya Allah memberi petunjuk kepada mereka.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. (Al-Baqarah: 26) Menurutnya, mereka mengetahui dengan yakin bahwa perumpamaan tersebut adalah Kalamullah Yang Maha Pemurah dan datang dari sisi-Nya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Abul Aliyah mengatakan, makna firman-Nya, "Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka." Yang dimaksud ialah perumpamaan ini. Tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? (Al-Baqarah: 26) Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلا مَلائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا وَلا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلا هُوَ}
Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. (Al-Muddatstsir: 31)
Demikian pula dalam ayat ini (yakni Al-Baqarah: 26):
{يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلا الْفَاسِقِينَ}
Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (Al-Baqarah: 26)
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah sahabat, yang dimaksud dengan pe-gertian yudillu bihi kasiran adalah orang-orang munafik, sedangkan pengertian yahdi bihi kasiran adalah orang-orang mukmin. Dengan demikian, berarti makin bertambahlah kesesatan orang-orang munafik tersebut di samping kesesatan mereka yang telah ada; karena mereka mendustakan apa yang mereka ketahui sebagai perkara yang hak dan yakin, yaitu mendustakan perumpamaan yang telah dibuat oleh Allah untuk menggambarkan keadaan mereka sendiri. Ketika perumpamaan itu ternyata sesuai dengan keadaan mereka, sedangkan mereka tidak mau percaya, maka hal itulah yang dimaksud dengan penyesatan Allah terhadap mereka melalui perumpamaan ini. Melalui perumpamaan ini Allah memberi petunjuk kepada banyak orang dari kalangan ahli iman dan mereka yang mempercayainya. Maka Allah menambahkan petunjuk kepada mereka di samping petunjuk yang telah ada pada diri mereka, dan bertambah pula iman mereka karena mereka percaya kepada apa yang mereka ketahui sebagai perkara yang hak dan yakin. Mengingat apa yang dibuat oleh Allah sebagai perumpamaan ternyata sesuai dengan kenyataan dan mereka mengakui kebenarannya, maka hal inilah yang dimaksud sebagai hidayah dari Allah buat mereka melalui perumpamaan tersebut.
Firman Allah Swt., "Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik" (Al-Baqarah: 26). Menurut As-Saddi, mereka adalah orang-orang munafik.
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal fasiqin" bahwa mereka adalah ahli kemunafikan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal fasiqin.'"' Ibnu Abbas mengatakan, "Orang-orang kafir mengetahui adanya Allah, tetapi mereka mengingkari-Nya." Qatadah mengatakan sehubungan makna firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal fasiqin," bahwa mereka pada mulanya fasik, kemudian Allah menyesatkan mereka di samping kefasikannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Amr ibnu Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari Sa'd, yang dimaksud dengan kebanyakan orang dalam firman-Nya, "Yudillu bihi kasiran," adalah orang-orang Khawarij.
Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya tentang makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh. (Al-Baqarah: 27), sampai akhir ayat. Ayahnya menjawab bahwa mereka adalah golongan Haruriyyah (Khawarij).
Sanad riwayat ini sekalipun sahih dari Sa'd ibnu Abu Waqqas r.a., tetapi merupakan tafsir dari makna, bukan berarti makna yang dimaksud oleh ayat me-nas-kan orang-orang Khawarij yang memberontak terhadap Khalifah Ali di Nahrawan; karena sesungguhnya mereka masih belum ada pada saat ayat diturunkan, melainkan mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sifat-sifatnya digambarkan oleh Al-Qur'an.
Mereka dinamakan Khawarij karena membangkang, tidak mau taat kepada imam dan tidak mau menegakkan syariat Islam. Sedangkan pengertian fasik menurut istilah bahasa ialah sama dengannya, yaitu membangkang dan tidak mau taat. Orang-orang Arab mengatakan, "Fasaqatir ratbah" bila buah kurma terkelupas dari kulitnya. Karena itu, tikus dinamakan fuwaisiqah karena ia keluar dari liangnya untuk mengadakan pengrusakan. Di dalam hadis Sahihain dari Siti Aisyah r.a. dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"خَمْسُ فَوَاسَقَ يُقتلن فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْغُرَابُ، وَالْحِدَأَةُ، وَالْعَقْرَبُ، وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ العقور"
Lima jenis binatang perusak yang boleh dibunuh —baik di tanah halal maupun di tanah haram— yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, dan anjing gila.
Makna fasik mencakup orang kafir dan orang durhaka, tetapi kefasikan orang kafir lebih kuat dan lebih parah. Makna yang dimaksud dengan istilah 'fasik' dalam ayat ini ialah orang kafir. Sebagai dalilnya ialah karena mereka disifati dalam ayat berikutnya dengan sifat berikut, yaitu:
{الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
Orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi. (Al-Baqarah: 27)
Sifat-sifat tersebut merupakan ciri khas orang-orang kafir yang berbeda dengan sifat-sifat orang mukmin, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat lainnya:
{أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ * الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ * وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ}
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (Ar-Ra'd: 19-21)
Seterusnya hingga sampai pada firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ}
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar-Ra'd: 25)
Ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan makna perjanjian yang digambarkan, bahwa orang-orang fasik tersebut telah merusaknya. Sebagian dari kalangan ahli tafsir mengatakan, perjanjian tersebut adalah wasiat Allah kepada makhluk-Nya, perintah-Nya kepada mereka agar taat kepada apa-apa yang diperintahkan-Nya, dan larangan-Nya kepada mereka agar jangan berbuat durhaka dengan mengerjakan hal-hal yang telah dilarang-Nya. Semua itu disebutkan di dalam kitab-kitab-Nya, juga disampaikan kepada mereka melalui lisan Rasul-rasul-Nya. Pelanggaran yang mereka lakukan ialah karena tidak mengamalkan hal tersebut.
Ahli tafsir lain mengatakan bahkan ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang munafik. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian Allah yang dirusak oleh mereka ialah perjanjian yang diambil oleh Allah atas diri mereka di dalam kitab Taurat, yaitu harus mengamalkan kandungan Taurat dan mengikuti Nabi Muhammad bila telah diutus dan percaya kepada kitab yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Mereka merusak hal tersebut dengan menentangnya sesudah mereka mengetahui hakikatnya, mengingkari serta menyembunyikan pengetahuan mengenai hal tersebut dari orang-orang, padahal Allah telah memberikan janji kepada mereka bahwa mereka harus menjelaskan kepada orang-orang dan tidak boleh menyembunyikannya. Selanjutnya Allah memberitakan bahwa ternyata mereka menyembunyikan hal tersebut di belakang punggungnya dan menukarnya dengan harga yang sedikit. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, hal ini merupakan pendapat Muqatil ibnu Hayyan.
Ahli tafsir lainnya mengatakan, yang dimaksud oleh ayat ini ialah semua orang kafir, orang musyrik, dan orang munafik. Sedangkan janji Allah kepada mereka yang berkaitan dengan masalah menauhidkan (mengesakan)-Nya ialah segala sesuatu yang telah diciptakan bagi mereka berupa dalil-dalil (tanda-tanda) yang semuanya menunjukkan kepada sifat Rububiyyah Allah Swt. Janji Allah kepada mereka yang menyangkut masalah perintah dan larangan-Nya ialah semua hal yang dijadikan hujah oleh para rasul, yaitu berupa mukjizat-mukjizat yang tiada seorang manusia pun selain mereka dapat membuat hal yang semisal dengannya. Mukjizat-mukjizat tersebut menyaksikan akan kebenaran kerasulan mereka.
Mereka mengatakan bahwa pengrusakan janji yang dilakukan oleh mereka ialah karena mereka tidak mau mengakui hal-hal yang telah jelas kebenarannya di mata mereka melalui dalil-dalilnya, dan mereka mendustakan para rasul serta kitab-kitab, padahal mereka mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepada para rasul itu adalah perkara yang hak.
Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Muqatil ibnu Hayyan, pendapat ini cukup baik; dan Az-Zamakhsyari memihak kepada pendapat tersebut.
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa jika ada yang mengatakan, "Apakah yang dimaksud dengan janji Allah?" Jawabannya, "Hal itu merupakan sesuatu yang telah dipancangkan di dalam akal mereka berupa hujah yang menunjukkan ajaran tauhid. Jadi, seakan-akan Allah telah memerintahkan dan mewasiatkan kepada mereka dan mengikatkan hal itu kepada mereka sebagai janji." Pengertian inilah yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى}
Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian!" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami)." (Al-A'raf: 172)
Yaitu ketika Allah mengambil janji terhadap diri mereka dari kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka. Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam firman-Nya:
{وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ}
Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian. (Al-Baqarah: 40)
Ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa janji yang disebutkan oleh Allah Swt. ialah janji yang diambil oleh Allah terhadap mereka di saat Allah mengeluarkan mereka dari sulbi Adam. Hal ini digambarkan melalui firman-Nya:
{وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى [شَهِدْنَا] }
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Al-A'raf: 172)
Sedangkan yang dimaksud dengan pengrusakan mereka terhadap janji tersebut ialah karena mereka tidak memenuhinya. Demikian pula menurut riwayat dari Muqatil ibnu Hayyan; semua pendapat di atas diketengahkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27) Menurutnya ada enam pekerti orang-orang munafik. Apabila mereka mengalami kemenangan atas semua orang, maka mereka menampakkan keenam pekerti tersebut, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar akan janjinya; apabila dipercaya, khianat; mereka melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah agar dihubungkan, dan suka menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Tetapi jika mereka dalam keadaan kalah, mereka hanya menampakkan ketiga pekerti saja, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, khianat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan berikut sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh. (Al-Baqarah: 27) Disebutkan bahwa hal yang dimaksud ialah perjanjian yang diberikan kepada mereka di dalam Al-Qur'an, lalu mereka mengakuinya, kemudian kafir dan merusaknya.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ}
dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya. (Al-Baqarah: 27)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah silaturahmi dan hubungan kekerabatan, seperti yang ditafsirkan oleh Qatadah dalam firman-Nya:
{فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ}
Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (Muhammad: 22)
Pendapatnya itu didukung oleh Ibnu Jarir dan dinilainya kuat.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud lebih umum dari itu, yakni mencakup semua hal yang diperintahkan oleh Allah menghubungkan dan mengerjakannya, kemudian mereka memutuskan dan meninggalkannya.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27) bahwa hal itu terjadi di akhirat. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman Allah Swt:
{أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ}
Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar-Ra'd: 25)
Menurut Dahhak, dari Ibnu Abbas, segala sesuatu yang dinisbatkan oleh Allah kepada selain pemeluk Islam berupa suatu sebutan, misalnya merugi; maka sesungguhnya yang dimaksud hanyalah kekufuran. Sedangkan hal serupa yang dinisbatkan kepada pemeluk Islam, makna yang dimaksud hanyalah dosa.
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Ulaika humul khasirun" bahwa lafaz al-khasirun adalah bentuk jamak dari lafaz khasirun; mereka adalah orang-orang yang mengurangi bagian keberuntungan mereka dari rahmat Allah karena perbuatan maksiat mereka. Perihalnya sama dengan seorang lelaki yang mengalami kerugian dalam perniagaan, misalnya sebagian modalnya amblas karena rugi dalam jual beli. Demikian pula halnya orang munafik dan orang kafir, keduanya beroleh kerugian karena terhalang tidak mendapat rahmat Allah yang diciptakan-Nya buat hamba-hamba-Nya di hari kiamat, padahal saat itu yang paling mereka perlukan adalah rahmat Allah Swt. Termasuk ke dalam pengertian lafaz ini bila dikatakan khasirar rajulu (lelaki itu mengalami kerugian), bentuk masdar-nya adalah khusran, khusranan, dan khisaran, sebagaimana dikatakan Jarir ibnu Atiyyah:
إِنَّ سَلِيطًا فِي الخَسَارِ إنَّه ... أولادُ قَومٍ خُلقُوا أقِنَّه
Sesungguhnya si Sulait, kerugian yang dialaminya ialah karena ia dari anak-anak suatu kaum yang sejak lahir ditakdirkan menjadi hamba sahaya.

Al-Baqarah, ayat 28

{كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (28) }
Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kalian dikembalikan.
Allah Swt. berfirman membuktikan keberadaan dan kekuasaan-Nya, Dialah Yang Maha Pencipta dan Yang Mengatur hamba-hamba-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman, "Kaifa takfuruna billahi" artinya 'mengapa kalian mengingkari keberadaan Allah, atau mengapa kalian menyembah selain-Nya bersama Dia'. Kemudian disebutkan pula, "Wakuntum amwalan fa-ahyakum" artinya 'padahal kalian tadinya tidak ada, lalu Allah menciptakan kalian ke alam wujud'. Makna ayat ini sama dengan yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ * أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بَل لَا يُوقِنُونَ}
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu! Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (Ath-Thur: 35-36)
{هَلْ أَتَى عَلَى الإنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا}
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (Al-Insan: 1)
ayat-ayat lainnya yang menceritakan hal ini masih banyak.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. mengenai firman-Nya:
{قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ}
Mereka menjawab, "Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami" (Al-Mu’min: 11)
Disebutkannya bahwa makna ayat inilah yang dimaksudkan di dalam surat Al-Baqarah berikut ini:
{وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ}
padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali. (Al-Baqarah: 28)
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa kalian tadinya mati dalam tulang sulbi ayah-ayah kalian; saat itu kalian bukan merupakan sesuatu pun sebelum Allah menciptakan kalian. Setelah Allah menciptakan kalian, lalu Dia mematikan kalian sebagai suatu kepastian atas diri kalian. Kemudian Allah menghidupkan kalian dalam hari berbangkit, yaitu di saat Dia menghidupkan kalian di hari kiamat. Disebutkan bahwa makna ayat ini sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya: Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula). (Al-Mu’min: 11)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula). (Al-Mu’min: 11)
Disebutkan bahwa kalian pada asalnya berupa tanah sebelum Allah menciptakan kalian, hal ini dinilai sebagai suatu kematian. Lalu Dia menciptakan kalian, maka hal ini dinilai sebagai suatu kehidupan. Sesudah itu Allah mematikan kalian dan kalian dikembalikan ke kuburan, hal ini dinilai sebagai kematian yang lain. Kemudian Allah menghidupkan kalian di hari kiamat, hal ini dinilai sebagai suatu kehidupan yang lain. Dua kali mati dan dua kali hidup inilah yang dimaksudkan di dalam firman-Nya: Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali. (Al-Baqarah: 28)
Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari As-Saddi berikut sanad-nya melalui Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat. Riwayat ini diketengahkan pula dari Abul Aliyah, Al-Hasan, Mujahid, Qatadah Abu Saleh, Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani.
As-Sauri mengatakan dari As-Saddi, dari Abu Saleh sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kalian di-kembalikan (Al-Baqarah: 28) Disebutkan bahwa Allah menghidupkan kalian di alam kubur, kemudian mematikan kalian.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa Allah menciptakan mereka di dalam sulbi Adam, kemudian membuat perjanjian terhadap mereka, lalu Allah mematikan mereka, kemudian menghidupkan mereka di dalam rahim-rahim. Setelah itu Allah mematikan mereka dan menghidupkan mereka kembali di hari kiamat. Pengertian ini sama halnya dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Mereka menjawab, "Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula)." (Al-Mu’min: 11)
Riwayat ini —juga riwayat sebelumnya— berpredikat garib. Pendapat yang benar ialah dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, golongan tersebut terdiri atas kalangan tabi'in. Mereka mengatakan bahwa makna ayat ini sama dengan firman-Nya:
{قُلِ اللَّهُ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يَجْمَعُكُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ}
Katakanlah, "Allah-lah yang menghidupkan kalian, kemudian mematikan kalian, setelah itu mengumpulkan kalian pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. (Al-Jatsiyah: 26)
Sama pula dengan firman Allah Swt. mengenai berhala-berhala, yaitu:
{أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ}
(Berhala-berhala itu) benda mati, tidak hidup; dan berhala-berhala itu tidak mengetahui. (An-Nahl: 21)
Allah Swt. berfirman dalam ayat lainnya:
{وَآيَةٌ لَهُمُ الأرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ}
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan. (Yasin: 33)

Al-Baqarah, ayat 29

{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (29) }
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Setelah Allah Swt. menyebutkan bukti keberadaan dan kekuasaan-Nya kepada makhluk-Nya melalui apa yang mereka saksikan sendiri pada diri mereka, lalu Dia menyebutkan bukti lain melalui apa yang mereka saksikan, yaitu penciptaan langit dan bumi. Untuk itu Allah Swt. berfirman, "Dialah Allah, yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kalian, dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit" (Al-Baqarah: 29).
Istawa ilas sama, berkehendak atau bertujuan ke langit. Makna lafaz ini mengandung pengertian kedua lafaz tersebut, yakni berkehendak dan bertujuan, karena ia di-muta'addi-kan dengan memakai huruf ila. Fasawahunna, lalu Dia menciptakan langit tujuh lapis. Lafaz as-sama dalam ayat ini merupakan isim jinis, karena itu disebutkan sab'a samawat.
Wahuwa bi kulli syai-in 'alim, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, yakni pengetahuan-Nya meliputi semua makhluk yang telah Dia ciptakan. Pengertiannya sama dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
{أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ}
Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kalian lahirkan dan yang kalian rahasiakan?) (Al-Mulk: 14)
Rincian makna ayat ini diterangkan di dalam surat ha mim sajdah, yaitu melalui firman-Nya:
{قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الأرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ * وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ * ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ * فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ}
Katakanlah, "Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam." Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia. memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan Langit itu masih merupakan asap, lalu dia berkata kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa" Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka hati." Maka Dia menjadikan tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat: 9-12)
Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa Allah Swt. memulai ciptaan-Nya dengan menciptakan bumi, kemudian menciptakan tujuh lapis langit. Memang demikianlah cara membangun sesuatu, yaitu dimulai dari bagian bawah, setelah itu baru bagian atasnya. Para ulama tafsir menjelaskan hal ini, keterangannya akan kami kemukakan sesudah ini, insya Allah. Adapun mengenai firman-Nya:
{أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا * رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا * وَأَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ ضُحَاهَا * وَالأرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا * أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا}
Apakah kalian yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membinanya. Dia meninggikan bangunannya, lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah dihamparkan-Nya, Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenangan kalian dan untuk binatang-binatang ternak kalian. (An-Nazi'at: 27-33)
Maka sesungguhnya huruf summa dalam ayat ini (Al-Baqarah: 29) hanya untuk menunjukkan makna 'ataf khabar kepada khabar, bukan 'ataf fi' il kepada fi'il yang lain. Perihalnya sama dengan perkataan seorang penyair:
قُلْ لِمَنْ سَادَ ثُمَّ سَادَ أَبُوهُ ... ثُمَّ قَدْ سَادَ قَبْلَ ذَلِكَ جَدُّهُ
Katakanlah kepada orang yang berkuasa, dan telah berkuasa ayahnya, serta telah berkuasa pula kakeknya sebelum itu.
Menurut suatu pendapat, ad-daha (penghamparan) bumi dilakukan sesudah penciptaan langit dan bumi. Demikianlah menurut riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.
As-Saddi telah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah: 29) Disebutkan bahwa 'Arasy Allah Swt berada di atas air, ketika itu Allah Swt. belum menciptakan sesuatu pun selain dari air tersebut. Ketika Allah berkehendak menciptakan makhluk, maka Dia mengeluarkan asap dari air tersebut, lalu asap (gas) tersebut membumbung di atas air hingga letaknya berada di atas air, dinamakanlah sama (langit). Kemudian air dikeringkan, lalu Dia menjadikannya bumi yang menyatu. Setelah itu bumi dipisahkan-Nya dan dijadikan-Nya tujuh lapis dalam dua hari, yaitu hari Ahad dan Senin. Allah menciptakan bumi di atas ikan besar, dan ikan besar inilah yang disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an melalui firman-Nya:
 {ن وَالْقَلَمِ }
Nun, demi qalam. (Al-Qalam: 1)
Sedangkan ikan besar (nun) berada di dalam air. Air berada di atas permukaan batu yang licin, sedangkan batu yang licin berada di atas punggung malaikat. Malaikat berada di atas batu besar, dan batu besar berada di atas angin. Batu besar inilah yang disebut oleh Luqman bahwa ia bukan berada di langit, bukan pula di bumi.
Kemudian ikan besar itu bergerak, maka terjadilah gempa di bumi, lalu Allah memancangkan gunung-gunung di atasnya hingga bumi menjadi tenang; gunung-gunung itu berdiri dengan kokohnya di atas bumi. Hal inilah yang dinyatakan di dalam firman Allah Swt.: Dan telah kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) guncang bersama mereka. (Al-Anbiya: 31)
Allah menciptakan gunung di bumi dan makanan untuk penghuninya, menciptakan pepohonannya dan semua yang diperlukan di bumi pada hari Selasa dan Rabu. Hal inilah yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
{قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الأرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ * وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا}
Katakanlah, "Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam." Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya. (Fushshilat: 9-10)
Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa Allah menumbuhkan pepohonannya, yaitu melalui firman-Nya:  Dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya. (Fushshilat: 10) Lalu dalam firman selanjutnya disebutkan: dalam empat masa, sebagai jawaban bagi orang-orang yang bertanya. (Fushshilat: 10) Dalam ayat selanjutnya disebutkan pula: Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih merupakan asap. (Fushshilat 11)
Asap itu merupakan uap dari air tadi, kemudian asap dijadikan langit tujuh lapis dalam dua hari, yaitu hari Kamis dan Jumat. Sesungguhnya hari Jumat dinamakan demikian karena pada hari itu diciptakan langit dan bumi secara bersamaan. Allah Swt. berfirman: Dan Dia mewahyukan kepada tiap-tiap langit urusannya. (Fushshilat 12) Artinya, Allah menciptakan makhluk tersendiri bagi tiap-tiap langit, terdiri atas para malaikat dan semua makhluk yang ada padanya, seperti laut, gunung, embun, serta lain-lainnya yang tidak diketahui. Selanjutnya Allah menghiasi langit dunia dengan bintang-bintang yang Dia ciptakan sebagai hiasan dan penjaga yang memelihara langit dari setan-setan.
Setelah Allah menyelesaikan penciptaan apa yang Dia sukai, lalu Dia menuju 'Arasy, sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya:
{خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ}
Dia menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa di atas 'Arasy. (Al-Hadid: 4)
Dan Allah Swt. telah berfirman:
{كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا}
Dahulu langit dan bumi keduanya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. (Al-Anbiya: 30)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Abu Ma'syar, dari Sa'id ibnu Abu Sa'id, dari Abdullah ibnu Salam yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah memulai penciptaan makhluk-Nya pada hari Ahad, menciptakan berlapis-lapis bumi pada hari Ahad dan hari Senin, menciptakan berbagai makanan dan gunung pada hari Selasa dan Rabu, lalu menciptakan langit pada hari Kamis dan Jumat. Hal itu selesai di akhir hari Jumat yang pada hari itu juga Allah menciptakan Adam dengan tergesa-gesa. Pada saat itulah kelak hari kiamat akan terjadi.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian. (Al-Baqarah: 29) Bahwa Allah menciptakan bumi sebelum menciptakan langit. Ketika Allah menciptakan bumi, maka keluarlah asap darinya. Yang demikian itulah pengertian yang dimaksud dalam firman-Nya: Dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. (Al-Baqarah: 29) Yang dimaksud ialah sebagian dari langit berada di atas sebagian lainnya. Dikatakan sab'u aradina artinya tujuh lapis bumi, yakni sebagian berada di bawah sebagian yang lain.
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa bumi diciptakan sebelum langit, sebagaimana yang dijelaskan di dalam surat As-Sajdah, yaitu:
{قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الأرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ * وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ * ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ * فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ}
Katakanlah, "Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam." Dan Dia menciptakan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa." Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka hati? Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat: 9-12)
Ayat ini dan yang tadi menunjukkan bahwa bumi diciptakan sebelum langit. Menurut pengetahuanku, tiada seorang ulama pun yang memperselisihkan hal ini, kecuali apa yang dinukil oleh Ibnu Jarir dari Qatadah, diduga langit diciptakan sebelum bumi. Akan tetapi, dalam menanggapi masalah ini Al-Qurtubi hanya bersikap tawaqquf (tidak memberi komentar apa pun), yaitu ketika ia menafsirkan makna firman-Nya:
{أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا * رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا * وَأَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ ضُحَاهَا * وَالأرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا * أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا}
Apakah kalian yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membinanya. Dia meninggikan bangunannya, lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya, Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh. (An-Nazi'at 27-32)
Mereka mengatakan bahwa penciptaan langit terjadi sebelum penciptaan bumi. Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai masalah ini, lalu ia menjawab bahwa bumi diciptakan sebelum langit, dan sesungguhnya bumi baru dihamparkan hanya setelah penciptaan langit. Hal yang sama dikatakan pula bukan hanya oleh seorang ulama tafsir terdahulu dan sekarang.
Kami mencatat hal tersebut di dalam tafsir surat An-Nazi'at yang garis besarnya menyatakan bahwa penghamparan bumi yang terdapat di dalam firman-Nya: Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya, Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh. (An-Nazi'at: 30-32) Artinya, semua yang terkandung di dalam bumi dikeluarkan secara paksa hingga menjadi kenyataan. Setelah Allah selesai dari penciptaan bumi dan langit, lalu Allah menghamparkan bumi dan mengeluarkan segala sesuatu yang tersimpan di dalamnya, yaitu air. Berkat air itu tumbuhlah berbagai macam tetumbuhan yang beraneka ragam jenis. bentuk. dan warnanya. Demikian pula tata surya, semuanya beredar, terdiri atas bintang-bintang yang tetap dan bintang-bintang yang beredar pada garis edarnya.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih mengetengahkan sebuah hadis sehubungan dengan tafsir ayat ini, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Nasai, juga diketengahkan oleh keduanya dalam Bab "Tafsir" melalui riwayat Ibnu Juraij. Ibnu Juraij mengatakan:
أَخْبَرَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ، عَنْ أَيُّوبَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعٍ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِي فَقَالَ: "خَلَقَ اللَّهُ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ، وَخَلْقَ الْجِبَالَ فِيهَا يَوْمَ الْأَحَدِ، وَخَلْقَ الشَّجَرَ فِيهَا يَوْمَ الِاثْنَيْنِ، وَخَلَقَ الْمَكْرُوهَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ، وَخَلَقَ النُّورَ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ، وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ، وَخَلَقَ آدَمَ بَعْدَ الْعَصْرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْ آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ الْجُمُعَةِ، فِيمَا بَيْنَ الْعَصْرِ إِلَى اللَّيْلِ"
telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Umayyah, dari Ayyub ibnu Khalid, dari Abdullah ibnu Rafi' maula Ummu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. memegang tanganku, lalu beliau bersabda: Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, menciptakan gunung-gunung yang ada padanya pada hari Ahad, menciptakan pepohonan yang ada padanya pada hari Senin, menciptakan hal yang tidak disukai pada hari Selasa, menciptakan nur pada hari Rabu, mengembangbiakkan (menciptakan) binatang-binatang yang ada di bumi pada hari Kamis, dan menciptakan Adam sesudah Asar pada hari Jumat, yaitu di saat-saat terakhir hari Jumat antara Asar sampai malam hari.
Hadis ini termasuk salah satu hadis garib dalam Sahih Muslim. Banyak komentar mengenai hadis ini, antara lain ialah dari Ali ibnul Madini dan Imam Bukhari serta sejumlah kalangan ahli huffaz hadis. Mereka menganggap hadis ini merupakan perkataan Ka'b, dan sesungguhnya Abu Hurairah hanya mendengamya dari kata-kata Ka'b Al-Ahbar. Hadis ini menjadi samar di kalangan sebagian para perawi hingga membuat mereka menganggapnya sebagai hadis yang marfu'. Demikian keterangan yang dikemukakan oleh Imam Baihaqi.

Al-Baqarah, ayat 30

{وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30) }
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'" Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
Allah Swt. menceritakan perihal anugerah-Nya kepada Bani Adam, yaitu sebagai makhluk yang mulia; mereka disebutkan di kalangan makhluk yang tertinggi —yaitu para malaikat— sebelum mereka diciptakan. Untuk itu, Allah Swt. berfirman: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat. (Al-Baqarah: 30)
Makna yang dimaksud ialah 'hai Muhammad, ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, dan ceritakanlah hal ini kepada kaummu'.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari salah seorang ahli bahasa Arab —yaitu Abu Ubaidah— bahwa lafaz iz dalam ayat ini merupakan huruf zaidah (tambahan), dan bentuk lengkap kalimat ialah wa qala rabbuka tanpa memakai iz.
Pendapat tersebut dibantah oleh Ibnu Jarir. Menurut Al-Qurtubi, semua ahli tafsir pun membantahnya. Hingga Az-Zujaj mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan suatu tindakan kurang ajar dari Abu Ubaidah.
{إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً}
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30)
Yakni suatu kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain silih berganti, abad demi abad, dan generasi demi generasi, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ
Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi. (Al-An'am: 165)
{وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ}
dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi. (An-Naml: 62)
{وَلَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَا مِنْكُمْ مَلائِكَةً فِي الأرْضِ يَخْلُفُونَ}
Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai ganti kalian di muka bumi malaikat-malaikat yang turun-temurun. (Az-Zukhruf: 60)
{فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ}
Maka datanglah sesudah mereka generasi lain. (Al-A'raf: 169)
Menurut qiraah yang syaz dibaca inni ja'ilun fil ardi khalifah (sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah-khalifah di muka bumi). Demikianlah diriwayatkan oleh Zamakhsyari dan lain-lainnya.
Al-Qurtubi menukil dari Zaid ibnu Ali, yang dimaksud dengan khalifah dalam ayat ini bukanlah Nabi Adam a.s. saja seperti yang dikatakan oleh sejumlah ahli tafsir. Al-Qurtubi menisbatkan pendapat ini kepada Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan semua ahli takwil. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Al-Qurtubi ini masih perlu dipertimbangkan. Bahkan perselisihan dalam masalah ini banyak, menurut riwayat Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, juga oleh yang lainnya.
Pengertian lahiriah Nabi Adam a.s. saat itu masih belum kelihatan di alam wujud. Karena jikalau sudah ada, berarti ucapan para malaikat yang disitir oleh firman-Nya dinilai kurang sesuai, yaitu: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30)
Karena sesungguhnya mereka (para malaikat) bermaksud bahwa di antara jenis makhluk ini ada orang-orang yang melakukan hal tersebut, seakan-akan mereka mengetahui hal tersebut melalui ilmu yang khusus, atau melalui apa yang mereka pahami dari watak manusia. Karena Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan jenis makhluk ini dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam. Atau mereka berpemahaman bahwa yang dimaksud dengan khalifah ialah orang yang melerai persengketaan di antara manusia, yaitu memutuskan hukum terhadap apa yang terjadi di kalangan mereka menyangkut perkara-perkara penganiayaan, dan melarang mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan serta dosa-dosa. Demikianlah menurut Al-Qurtubi. Atau para malaikat mengkiaskan manusia dengan makhluk sebelumnya, sebagaimana yang akan kami kemukakan dalam berbagai pendapat ulama tafsir.
Ucapan para malaikat ini bukan dimaksudkan menentang atau memprotes Allah, bukan pula karena dorongan dengki terhadap manusia, sebagaimana yang diduga oleh sebagian ulama tafsir. Sesungguhnya Allah Swt. menyifati para malaikat; mereka tidak pernah mendahului firman Allah Swt., yakni tidak pernah menanyakan sesuatu kepada-Nya yang tidak diizinkan bagi mereka mengemukakannya.
Dalam ayat ini (dinyatakan bahwa) ketika Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan di bumi suatu makhluk —menurut Qatadah—, para malaikat telah mengetahui sebelumnya bahwa makhluk-makhluk tersebut gemar menimbulkan kerusakan padanya (di bumi). Maka mereka mengatakan: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30)
Sesungguhnya kalimat ini merupakan pertanyaan meminta informasi dan pengetahuan tentang hikmah yang terkandung di dalam penciptaan itu. Mereka mengatakan, "Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang terkandung dalam penciptaan mereka, padahal di antara mereka ada orang-orang yang suka membuat kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah? Jikalau yang dimaksudkan agar Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih memuji dan menyucikan Engkau," yakni kami selalu beribadah kepada-Mu, sebagaimana yang akan disebutkan nanti. Dengan kata lain (seakan-akan para malaikat mengatakan), "Kami tidak pernah melakukan sesuatu pun dari hal itu (kerusakan dan mengalirkan darah), maka mengapa Engkau tidak cukup hanya dengan kami para malaikat saja?"
Allah Swt. berfirman menjawab pertanyaan tersebut:
{إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ}
Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
Dengan kata lain, seakan-akan Allah bermaksud bahwa sesungguhnya Aku mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui menyangkut kemaslahatan yang jauh lebih kuat dalam penciptaan jenis makhluk ini daripada kerusakan-kerusakan yang kalian sebut itu. Karena sesungguhnya Aku akan menjadikan dari kalangan mereka nabi-nabi dan rasul-rasul; di antara mereka ada para siddiqin, para syuhada, orang-orang saleh, ahli ibadah, ahli zuhud, para wali, orang-orang bertakwa, para muqarrabin, para ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang yang khusyuk, dan orang-orang yang cinta kepada Allah Swt. lagi mengikuti jejak rasul-rasul-Nya.
Ditetapkan di dalam hadis sahih bahwa para malaikat itu apabila naik (ke langit) menghadap kepada Tuhan mereka seraya membawa amal-amal hamba-hamba-Nya, maka Allah Swt. bertanya kepada mereka (sekalipun Dia lebih mengetahui), "Dalam keadaan apakah kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?" Mereka (para malaikat) menjawab, "Kami datangi mereka dalam keadaan sedang salat, dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan sedang salat."
Demikian itu karena mereka datang kepada kita secara silih berganti, dan mereka berkumpul dalam salat Subuh dan salat Asar. Malaikat yang datang tinggal bersama kita, sedangkan malaikat yang telah menunaikan tugasnya naik meninggalkan kita seraya membawa amal-amal kita, sebagaimana yang disebutkan oleh sabda Nabi Saw.:
"يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ النَّهَارِ، وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ اللَّيْلِ"
Dilaporkan kepada-Nya amal perbuatan malam hari sebelum siang hari, dan amal siang hari sebelum malam hari.
Ucapan para malaikat yang mengatakan, "Kami datangi mereka sedang dalam keadaan salat, dan kami tinggalkan mereka sedang dalam keadaan salat," merupakan tafsir dari firman-Nya kepada mereka (para malaikat): Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
Menurut pendapat lain, firman-Nya ini merupakan jawaban kepada mereka, yang artinya, "Sesungguhnya Aku mempunyai hikmah terinci mengenai penciptaan makhluk ini, sedangkan keadaan yang kalian sebut itu sebenarnya kalian tidak mengetahuinya."
Menurut pendapat lainnya, firman Allah Swt ini merupakan jawaban ucapan mereka yang disitir oleh firman-Nya: padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Lalu Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Maksudnya, keberadaan iblis di antara kalian dan keadaan penciptaan ini tidaklah sebagaimana yang kalian gambarkan itu.
Menurut pendapat yang lain, bahkan ucapan para malaikat tersebut disitir oleh firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Ayat ini mengandung makna permintaan mereka kepada Allah untuk menghuni bumi sebagai ganti dari Bani Adam, lalu Allah Swt. berfirman kepada mereka: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Artinya, keberadaan kalian pada tempatnya lebih maslahat dan lebih layak bagi kalian. Demikian yang disebut oleh Ar-Razi dalam salah satu jawabannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Al-Qasim ibnul Hasan, telah menceritakan kepadaku Al-Hajjaj, dari Jarir ibnu Hazim dan Mubarak, dari Al-Hasan dan Abu Bakar, dari Al-Hasan dan Qatadah. Semua menceritakan bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan khalifah di muka bumi." Firman Allah yang menyatakan bahwa 'Dia akan melakukan hal tersebut' artinya 'Dia memberitahukan hal tersebut kepada mereka'.
As-Saddi mengatakan, Allah bermusyawarah dengan para malaikat tentang penciptaan Adam. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. As-Saddi mengatakan bahwa hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Qatadah. Ungkapan ini mengandung sikap gegabah jika tidak dikembalikan kepada pengertian pemberitahuan. Ungkapan Al-Hasan serta Qatadah dalam riwayat Ibnu Jarir merupakan ungkapan yang lebih baik.
Sehubungan dengan makna firman-Nya, "Fil ardi," Ibnu Abu Hatim meriwayatkan:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "دُحِيت الْأَرْضُ مِنْ مَكَّةَ، وَأَوَّلُ مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ الْمَلَائِكَةُ، فَقَالَ اللَّهُ: إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً، يَعْنِي مَكَّةَ"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Ata ibnus Sa'ib, dari Abdur Rahman ibnu Sabit, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Bumi dihamparkan mulai dari Mekah, dan yang mula-mula melakukan tawaf di Baitullah adalah para malaikai, lalu Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi," yakni Mekah.
Hadis ini berpredikat mursal, sedangkan di dalam sanadnya terdapat kelemahan, dan di dalam hadis ini terdapat madraj (kalimat yang dari luar hadis), yaitu makna yang dimaksud dengan bumi adalah Mekah. Karena sesungguhnya menurut pengertian lahiriah, yang dimaksud dengan bumi lebih umum daripada hal itu (Mekah).
Firman Allah, "Khalifah," menurut As-Saddi di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat, disebutkan bahwa Allah Swt berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka bertanya, "Wahai Tuhan kami, siapakah khalifah tersebut?" Allah berfirman, "Kelak dia mempunyai keturunan yang suka membuat kerusakan di muka bumi, saling mendengki, dan sebagian mereka membunuh sebagian yang lain."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil ayat ini seperti berikut, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah dari-Ku yang berkedudukan menggantikan diri-Ku dalam memutuskan hukum secara adil di kalangan makhluk-Ku." Sesungguhnya khalifah itu adalah Adam dan orang-orang yang menempati kedudukannya dalam ketaatan kepada Allah dan memutuskan hukum dengan adil di kalangan makhluk-Nya. Mereka yang suka menimbulkan kerusakan dan mengalirkan darah tanpa alasan yang dibenarkan, hal itu bukan berasal dari khalifah-khalifah-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya makna khilafah yang disebut oleh Allah Swt. tiada lain khilafah satu generasi dari mereka atas generasi yang lainnya. Ibnu Jarir mengatakan bahwa khalifah fi'liyyah diambil dari perkataan khalafa fulanun fulanan fi hazal amri; dikatakan demikian apabila Fulan pertama menggantikan Fulan yang kedua dalam hal itu sesudahnya. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
{ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلائِفَ فِي الأرْضِ مِنْ بَعْدِهِمْ لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ}
Kemudian Kami jadikan kalian pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kalian berbuat. (Yunus: 14)
Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan kepada sultan yang terbesar sebagai khalifah, karena dia berkedudukan menggantikan sultan yang sebelumnya dalam menjabat urusan-urusannya, maka dikatakanlah dia sebagai penggantinya.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa Muhammad Ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30) Yang dimaksud ialah sebagai penghuni dan pembangunnya. Dengan kata lain, yang akan membangun bumi dan menghuninya adalah makhluk selain kalian (para malaikat).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya yang pertama kali menghuni bumi adalah makhluk jin. Lalu mereka menimbulkan kerusakan di atas bumi dan mengalirkan banyak darah serta sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain." Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, "Setelah itu Allah mengirimkan Iblis untuk memerangi mereka. Akhirnya iblis bersama para malaikat memerangi jin, hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau yang ada di berbagai laut dan sampai ke puncak-puncak gunung. Setelah itu Allah menciptakan Adam, lalu menempatkannya di bumi. Untuk itu Allah Swt berfirman: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi' (Al-Baqarah: 30)."
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ata ibnus Sa'ib, dari Ibnu Sabit sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. (Al-Baqarah: 30) Yang dimaksud oleh para malaikat adalah Bani Adam (manusia).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan di muka bumi makhluk (manusia) dan Aku akan menjadikan seorang khalifah padanya," sedangkan saat itu Allah Swt. tidak memiliki makhluk selain malaikat dan bumi yang masih belum ada makhluknya. Maka para malaikat berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan?"
Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan sebuah riwayat yang diketengahkan oleh As-Saddi melalui Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, serta sejumlah sahabat; ketika Allah Swt. memberitahukan kepada para malaikat tentang apa saja yang akan dilakukan oleh keturunan Adam, maka malaikat mengatakan hal tersebut.
Dalam keterangan yang lalu disebutkan pula sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa jin menimbulkan kerusakan di muka bumi sebelum Adam, maka para malaikat mengatakan hal tersebut; mereka mengkiaskan manusia dengan jin.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Ta-nafisi, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Bukair ibnul Akhnas, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa pada mulanya Jin Banul Jan adalah penghuni bumi sebelum Adam diciptakan dalam tenggang masa dua ribu tahun. Lalu jin menimbulkan kerusakan di bumi dan mengalirkan darah. Maka Allah mengirimkan bala tentara dari kalangan para malaikat. Lalu para malaikat memukul (memerangi) mereka hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau di berbagai lautan. Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30) Lalu Allah berfirman menjawab mereka: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Razi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30) sampai dengan firman-Nya: dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Bahwa Allah menciptakan malaikat pada hari Rabu, menciptakan jin pada hari Kamis, dan menciptakan Adam pada hari Jumat. Ternyata suatu kaum dari makhluk jin itu kafir, lalu para malaikat turun ke bumi memerangi mereka karena mereka membangkang yang sebelumnya diawali dengan kerusakan di muka bumi. Karena itulah para malaikat berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya, seperti kerusakan yang dilakukan oleh makhluk jin. dan mengalirkan darah seperti yang dilakukan oleh mereka?'*
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, bahwa Allah Swt. berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi," yakni Allah berfirman kepada mereka, "Sesungguhnya Aku hendak melakukannya." Mereka beriman kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengajarkan kepada mereka suatu ilmu dan menyembunyikan ilmu yang lain dari mereka yang hanya diketahui-Nya, sedangkan mereka tidak mengetahuinya. Lalu mereka mengatakan atas dasar ilmu yang mereka ketahui, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Lalu Allah menjawab melalui firman-Nya, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui."
Al-Hasan mengatakan, dahulu makhluk jin menimbulkan kerusakan di muka bumi dan gemar mengalirkan darah. Akan tetapi, Allah menjadikan dalam hati mereka (para malaikat) bahwa hal tersebut akan terjadi, lalu mereka mengucapkan kata-kata yang diajarkan-Nya kepada mereka itu.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya. (Al-Baqarah: 30) Pada mulanya Allah memberitahukan kepada para malaikat, "Apabila di muka bumi terdapat makhluk, niscaya makhluk itu akan menimbulkan kerusakan padanya dan suka mengalirkan darah." Oleh sebab itu mereka mengatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya?"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari orang yang dikenal (yakni Ibnu Kharbuz Al-Makki), dari seseorang yang pernah mendengar Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali mengatakan hal berikut: As-Sijl adalah malaikat, teman-temannya antara lain Harut dan Marut, sedangkan As-Sijl setiap harinya mempunyai kesempatan melihat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz) sebanyak tiga kali. Kemudian ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya, maka ia memandangnya dan ternyata di dalamnya terdapat perihal penciptaan Adam dan semua perkara yang berkaitan dengannya. Lalu As-Sijl membisikkan hal tersebut kepada Harut dan Marut yang merupakan pembantu As-Sijl. Ketika Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka mengatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Keduanya mengatakan hal tersebut dengan maksud ingin melebihi para malaikat lainnya.
Asar ini garib (aneh), seandainya asar ini memang benar dari Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali Ibnul Husain Al-Baqir, maka dia menukilnya dari kalangan ahli kitab; di dalam kisah ini terkandung kemungkaran yang mengakibatkan asar ini ditolak. Kesimpulan riwayat ini menyatakan bahwa malaikat yang mengatakan hal tersebut hanya dua malaikat saja, padahal pengertian ini bertentangan dengan konteksnya.
Hal yang lebih aneh lagi ialah asar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim yang menyatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Abu Ubaidillah, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Yahya ibnu Abu Kasir yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa para malaikat yang mengatakan seperti apa yang disebut dalam ayat berikut, yaitu firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Jumlah mereka semuanya ada sepuluh ribu malaikat, kemudian keluarlah api dari sisi Allah dan membakar mereka. Kisah ini pun merupakan kisah Israiliat yang mungkar, sama dengan kisah sebelumnya.
Ibnu Juraij mengatakan, sesungguhnya mereka (para malaikat) hanya mengatakan apa-apa yang telah diajarkan oleh Allah kepada mereka, yaitu bahwa hal tersebut akan terjadi sejak penciptaan Adam, lalu mereka berkata, "Mengapa Engkau menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?"
Ibnu Jarir mengatakan, sebagian ulama mengatakan bahwa sesungguhnya para malaikat mengatakan, "Mengapa Engkau menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Karena Allah telah mengizinkan mereka menanyakan hal tersebut sesudah Allah memberitahukan kepada mereka bahwa hal itu akan terjadi di kalangan Bani Adam. Lalu para malaikat bertanya kepada Allah Swt. dengan ungkapan yang mengandung pengertian aneh terhadap hal tersebut, "Mengapa mereka berbuat durhaka terhadap-Mu, wahai Tuhan, padahal Engkaulah Yang menciptakan mereka?" Maka Allah menjawab mereka melalui firman-Nya: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Dengan kata lain, hal tersebut pasti terjadi di kalangan mereka, sekalipun kalian tidak diberi tahu mengenainya; dan sebagian dari apa yang kalian kemukakan kepada-Ku menunjukkan rasa taat kalian kepada-Ku.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa sebagian ulama mengatakan hal tersebut diajukan oleh para malaikat untuk meminta petunjuk tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui mengenai hal itu. Seakan-akan mereka-mengatakan, "Wahai Tuhan, ceritakanlah kepada kami," sebagai ungkapan meminta penjelasan, bukan sebagai ungkapan protes. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sa'id ibnu Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna fir-man-Nya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah: 30) Bahwa para malaikat meminta pendapat tentang penciptaan Adam. Untuk itu mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Mereka mengatakan demikian karena mengetahui bahwa tiada suatu perbuatan pun yang lebih dibenci oleh Allah selain dari mengalirkan darah dan membuat kerusakan di muka bumi. Lalu para malaikat berkata pula, "Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau." Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Termasuk di antara hal yang hanya ada dalam pengetahuan Allah Swt. ialah bahwa di antara khalifah tersebut terdapat para nabi, para rasul, kaum yang saleh, dan para penghuni surga.
Sa'id ibnu Qatadah mengatakan, telah sampai kepada kami, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa dia pernah berkata, "Sesungguhnya ketika Allah Swt. hendak menciptakan Adam a.s., para malaikat berkata, 'Allah tidak akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dan lebih alim di sisi-Nya daripada kami.' Maka mereka diuji dengan penciptaan Adam." Setiap makhluk mendapat ujian, seperti langit dan bumi menerima ujian untuk taat kepada Allah Swt., sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya;
{اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ}
Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa! Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka hati." (Fushshila:t 11)
***************
Firman Allah Swt.:
{وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ}
Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30)
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah yang mengatakan bahwa tasbih dan taqdis artinya salat.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Menurut mereka, makna yang dimaksud ialah para malaikat berkata, "Kami senantiasa salat kepada-Mu."
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa kami senantiasa mengagungkan dan membesarkan Engkau. Sedangkan menurut Ad-Dahhak, makna taqdis ialah menyucikan. Menurut Muhammad ibnu Ishaq, makna firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami tidak pernah berbuat maksiat terhadap-Mu dan kami tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak Engkau sukai.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna taqdis ialah mengagungkan dan menyucikan. Termasuk ke dalam pengertian ini ialah lafaz subbuhun quddusun; dimaksudkan dengan ucapan mereka subbuhun artinya memahasucikan Allah, dan arti quddusun ialah menyucikan dan mengagungkan Allah. Hal yang sama dikatakan pula terhadap tanah seperti Tanah Suci, yang dimaksud ialah tanah yang disucikan. Dengan demikian, berarti makna firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami senantiasa menyucikan Engkau dan membersihkan Engkau dari hal-hal yang dinisbatkan oleh orang-orang kafir kepada-Mu. Dan makna firman-Nya: dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami nisbatkan Engkau kepada suatu hal dari sifat-sifat-Mu, yaitu suci dari semua hal yang kotor dan suci dari segala sesuatu yang disandarkan oleh orang-orang kafir kepada Engkau.
Di dalam sebuah hadis sahih Muslim disebutkan dari Abu Zar r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai kalam (zikir) yang paling utama. Maka beliau menjawab:
"مَا اصْطَفَى اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ"
Zikir yang dipilih oleh Allah buat para malaikat-Nya yaitu Subhanallah wa bihamdihi (Mahasuci Allah dengan segala puji-Nya).
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Qart, bahwa Rasulullah Saw. di malam beliau di-isra-kan mendengar suara tasbih di langit yang tertinggi mengatakan:
"سُبْحَانَ الْعَلِيِّ الْأَعْلَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى"
Subhanal 'aliyyil A’la subhanahu wa ta'ala (Mahasuci Tuhan Yang Maha Tinggi atas segalanya, Mahasuci Dia dan Maha Tinggi).
**********
Firman Allah Swt.:
{قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ}
Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (Al-Baqarah: 30)
Qatadah mengatakan, tersebut di dalam ilmu Allah bahwa kelak di kalangan khalifah tersebut terdapat para nabi, para rasul, kaum yang saleh, dan para penghuni surga. Dalam pembahasan berikut akan disebutkan berbagai pendapat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, serta sejumlah sahabat dan tabi'in mengenai hikmah yang terkandung di dalam firman-Nya: Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (Al-Baqarah: 30)
Al-Qurtubi dan lain-lainnya menyimpulkan dalil ayat ini, wajib mengangkat seorang khalifah untuk memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara manusia, memutuskan persengketaan mereka, menolong orang-orang yang teraniaya dari perlakuan sewenang-wenang orang-orang yang zalim dari kalangan mereka, menegakkan hukuman-hukuman had, dan memperingatkan mereka dari perbuatan-perbuatan keji serta hal-hal lainnya yang penting dan tidak dapat ditegakkan kecuali dengan adanya seorang imam, mengingat suatu hal yang merupakan kesempurnaan bagi perkara yang wajib hukumnya wajib pula. Pengangkatan imam dapat dilakukan melalui nas seperti yang dikatakan oleh golongan ahli sunnah sehubungan dengan pengangkatan sahabat Abu Bakar r.a. Atau dengan penunjukan seperti yang dikatakan oleh golongan lain dari kalangan ahli sunnah. Atau dengan pengangkatan oleh khalifah yang mendahuluinya, seperti yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar As-Siddiq terhadap sahabat Umar ibnul Khattab. Atau pengangkatannya diserahkan kepada permusyawaratan sejumlah orang-orang yang saleh, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar. Atau dengan kesepakatan ahlul hilli wal 'aqdi yang sepakat mem-bai’at-nya.
Atau melalui pem-bai’at-an yang dilakukan oleh salah seorang dari ahlul hilli wal 'aqdi terhadap seseorang yang di-bai'at-nya. Bila terjadi hal ini, maka menurut jumhur ulama wajib ditetapkan. Imam Haramain meriwayatkan adanya kesepakatan ulama terhadap hal ini.
Atau orang yang terkuat di kalangan orang-orang banyak mengangkat dirinya secara paksa untuk ditaati, maka khilafah wajib diberikan kepadanya untuk menghindari perpecahan dan perselisihan. Pendapat ini telah dinaskan oleh Imam Syafii.
Apakah wajib mempersaksikan pengangkatan imam? Hal ini masih diperselisihkan. Di antara ulama ada yang mengatakan tidak disyaratkan adanya kesaksian, sedangkan pendapat yang lainnya mengatakan kesaksian merupakan syarat pengangkatan; hal ini cukup dilakukan oleh dua orang saksi.
Al-Jiba'i mengatakan bahwa saksi harus dilakukan oleh empat orang selain dari orang yang mengangkat dan orang yang diangkatnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar r.a. Dia menyerahkan pengangkatan khalifah kepada permusyawaratan di antara enam orang. Yang terpilih menjadi pengangkat ialah sahabat Abdur Rahman ibnu Auf, dan yang diangkatnya ialah sahabat Usman, sedangkan hukum wajib saksi empat orang disimpulkan dari empat orang dari sisanya. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Seorang khalifah wajib laki-laki, merdeka, balig, berakal, muslim, adil, mujtahid, dapat melihat, semua anggota tubuhnya sehat, berpengalaman dalam masalah pertempuran dan memiliki pendapat; dan dari kalangan Quraisy menurut pendapat yang sahih. Dalam hal ini tidak disyaratkan harus seorang Hasyimi, tidak pula orang yang terpelihara dari kekeliruan; berbeda dengan pendapat kaum militan dari golongan Rafidah.
Seandainya imam berbuat fasik, apakah harus dipecat atau tidak? Masalah ini masih diperselisihkan. Tetapi menurut pendapat yang sahih, ia tidak dipecat karena berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ"
Terkecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan (dilakukannya) terhadap Allah di antara kalian, sedangkan hal itu ada buktinya.
Apakah seorang imam boleh mengundurkan diri? Masalah ini masih diperselisihkan. Al-Hasan ibnu Ali r.a. mengundurkan diri dan menyerahkan jabatannya kepada Mu'awiyah. Akan tetapi, apa yang dilakukannya itu mempunyai uzur (alasan)nya tersendiri, ternyata sikapnya itu terpuji.
Pengangkatan dua orang imam dalam satu negeri atau lebih dari dua orang hukumnya tidak boleh karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ"
Barang siapa datang kepada kalian, sedangkan perkara kalian telah bersatu, dia bermaksud memecah belah di antara kalian, maka bunuhlah dia oleh kalian di mana pun ia berada.
Demikianlah pendapat jumhur ulama, dan menurut suatu riwayat yang bukan hanya diketengahkan oleh satu orang disebutkan adanya kesepakatan mengenai hal ini; di antara mereka yang meriwayatkannya adalah Imam Haramain.
Mazhab Karamiyah mengatakan, diperbolehkan mengangkat dua orang imam, bahkan lebih, seperti yang terjadi pada Ali dan Mu'awiyah yang keduanya merupakan imam yang harus ditaati. Mereka mengatakan, apabila diperbolehkan mengutus dua orang nabi dalam waktu yang sama dan bahkan lebih dari dua orang, hal ini pun diperbolehkan dalam imamah, karena kenabian lebih tinggi kedudukannya daripada imamah tanpa ada yang memperselisihkan.
Imam Haramain meriwayatkan dari Abu Ishaq, diperbolehkan mengangkat dua orang imam atau lebih apabila letak wilayahnya berjauhan, sedangkan daerah-daerah di antara keduanya cukup luas. Akan tetapi, Imam Haramain bersikap ragu dalam hal ini. Menurut kami, pendapat ini mirip dengan keadaan para Khalifah Bani Abbas di Irak, Khalifah Fatimiyyah di Mesir, serta Khalifah Umawiyah di Magrib. Kami akan membahas seluruh masalah ini di tempat yang lain, yaitu bagian dari Kitabul Ahkam, insya Allah.

Al-Baqarah, ayat 31-33

{وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31) قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (32) قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (33) }
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, "Sebutkanlah nama benda-benda itu jika kalian memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." Allah berfirman, "Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu. Allah berfirman, "Bukankah sudah Ku-katakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan?"
Hal ini merupakan sebutan yang dikemukakan oleh Allah Swt., di dalamnya terkandung keutamaan Adam atas malaikat berkat apa yang telah dikhususkan oleh Allah baginya berupa ilmu tentang nama-nama segala sesuatu, sedangkan para malaikat tidak mengetahuinya. Hal ini terjadi sesudah para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam.
Sesungguhnya bagian ini didahulukan atas bagian tersebut (yang mengandung perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam) karena bagian ini mempunyai kaitan erat dengan keti-aktahuan para malaikat tentang hikmah penciptaan khalifah, yaitu di saat mereka menanyakan hal tersebut. Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia mengetahui apa yang tidak mereka ketahui. Karena itulah Allah menyebutkan bagian ini sesudah hal tersebut, untuk menjelaskan kepada mereka keutamaan Adam, berkat kelebihan yang dimilikinya di atas mereka berupa ilmu pengetahuan tentang nama-nama segala sesuatu. Untuk itu Allah Swt. berfirman,
{وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا}
"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya" (Al-Baqarah: 31).
As-Saddi mengatakan dari orang yang menceritakannya dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. (Al-Baqarah: 31) Bahwa Allah Swt. mengajarkan kepada Adam nama-nama semua anaknya seorang demi seorang, dan nama-nama seluruh hewan, misalnya ini keledai, ini unta, ini kuda, dan seterusnya.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya ini, bahwa yang dimaksud ialah nama-nama yang dikenal oleh manusia, misalnya manusia, hewan, langit, bumi, dataran rendah, laut, kuda, keledai, dan nama-nama makhluk yang serupa lainnya.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari hadis Asim ibnu Kulaib, dari Sa'id ibnu Ma'bad, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa Allah mengajarkan nama piring dan panci kepada Adam. Ibnu Abbas mengatakan, "Memang benar diajarkan pula nama angin yang keluar dari dubur."
Menurut Mujahid, makna ayat ini ialah Allah mengajarkan kepada Adam nama semua hewan, semua jenis burung, dan nama segala sesuatu. Hal yang sama dikatakan pula oleh riwayat dari Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, bahwa Allah mengajarkan kepadanya nama-nama segala sesuatu. Ar-Rabi' dalam salah satu riwayatnya mengatakan bahwa yang dimaksud ialah nama-nama malaikat. Hamid Asy-Syami mengatakan nama-nama bintang-bintang. Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan bahwa Allah mengajarkan kepadanya nama-nama seluruh keturunannya.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa Allah mengajarkan kepadanya nama-nama para malaikat dan nama-nama anak cucunya, karena Allah Swt. berfirman:
{ثُمَّ عَرَضَهُمْ}
Kemudian Allah mengemukakan nama-nama itu. (Al-Baqarah: 30)
Kalimat ini menunjukkan pengertian makhluk yang berakal. Tetapi apa yang dipilih oleh Ibnu Jarir ini bukan merupakan suatu hal yang pasti kebenarannya, mengingat tidak mustahil bila di antara mereka termasuk jenis lain yang tidak berakal, kemudian diungkapkan keseluruhannya dalam bentuk sigat makhluk yang berakal sebagai suatu prioritas, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman Allah lainnya, yaitu:
{وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedangkan sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (An-Nur: 45)
Sahabat Abdullah ibnu Mas'ud membacanya summa aradahunna, sedangkan Ubay ibnu Ka'b membacanya summa aradaha, yakni kemudian Allah mengemukakan nama-nama itu kepada para malaikat.
Menurut pendapat yang sahih, Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu, yakni semua zat, sifat dan karakternya —seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas— hingga nama angin yang keluar dari dubur, yakni nama-nama semua zat dan karakternya dalam bentuk mukabbar dan musaggar.
Karena itu, Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini pada Kitabut Tafsir, bagian dari kitab Sahih-nya, mengatakan:
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ لِي خَلِيفَةُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيع، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ -: "يَجْتَمِعُ الْمُؤْمِنُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيَقُولُونَ: لَوِ اسْتَشْفَعْنَا إِلَى رَبِّنَا؟ فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ: أَنْتَ أَبُو النَّاسِ، خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَأَسْجَدَ لَكَ مَلَائِكَتَهُ، وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ كُلِّ شَيْءٍ، فَاشْفَعْ لَنَا عِنْدَ رَبِّكَ حَتَّى يُرِيحَنَا مِنْ مَكَانِنَا هَذَا، فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، ويذكر ذنبه فيستحي؛ ائْتُوا نُوحًا فَإِنَّهُ أَوَّلُ رَسُولٍ بَعَثَهُ اللَّهُ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ، فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُم. وَيَذْكُرُ سُؤَالَهُ رَبَّهُ مَا لَيْسَ لَهُ بِهِ عِلْمٌ فيستحي. فَيَقُولُ: ائْتُوا خَلِيلَ الرَّحْمَنِ، فَيَأْتُونَهُ، فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكم؛ فَيَقُولُ: ائْتُوا مُوسَى عَبْدًا كَلمه اللَّهُ، وَأَعْطَاهُ التَّوْرَاةَ، فَيَأْتُونَهُ، فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، وَيَذْكُرُ قَتْلَ النفس بغير نفس، فيستحي مِنْ رَبِّهِ؛ فَيَقُولُ: ائْتُوا عِيسَى عَبْدَ اللَّهِ ورسولَه وكَلِمةَ اللَّهِ وَرُوحَهُ، فَيَأْتُونَهُ، فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُم، ائْتُوا مُحَمَّدًا عَبْدًا غَفَر اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، فَيَأْتُونِي، فَأَنْطَلِقُ حَتَّى أَسْتَأْذِنَ عَلَى رَبِّي، فيُؤذن لِي، فَإِذَا رَأَيْتُ رَبِّي وقعتُ سَاجِدًا، فَيَدَعُنِي مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ يُقَالُ: ارْفَعْ رَأْسَكَ، وَسَلْ تعطه، وقل يُسْمَع، وَاشْفَعْ تُشَفَّع، فَأَرْفَعُ رَأْسِي، فَأَحْمَدُهُ بِتَحْمِيدٍ يعلمُنيه، ثُمَّ أَشْفَعُ فَيَحُدُّ لِي حَدًّا فَأُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ، ثُمَّ أَعُودُ إِلَيْهِ، وَإِذَا رَأَيْتُ رَبِّي مِثْلَهُ ، ثُمَّ أَشْفَعُ فَيَحُدُّ لِي حَدًّا فَأُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ ، ثُمَّ أَعُودُ الرَّابِعَةَ فَأَقُولُ: مَا بَقِيَ فِي النَّارِ إِلَّا مَنْ حَبَسَهُ الْقُرْآنُ وَوَجَبَ عَلَيْهِ الْخُلُودُ"
Telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda. Khalifah telah mengatakan kepadaku, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Anas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Orang-orang mukmin berkumpul di hari kiamat, lalu mereka mengatakan, "Seandainya kita meminta syafaat kepada Tuhan kita." Maka mereka datang kepada Adam, lalu berkata, "Engkau adalah bapak umat manusia, Allah telah menciptakan-Mu dengan tangan kekuasaan-Nya dan Dia telah memerintahkan kepada para malaikat-Nya agar bersujud kepadamu serta Dia telah mengajarkan kepadamu nama-nama segala sesuatu, maka mintalah syafaat buat kami kepada Tuhanmu, agar Dia membebaskan kami dari tempat kami sekarang ini." Adam menjawab, "Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian." Lalu dia menyebutkan kesalahannya yang membuatnya merasa malu. (Dia berkata), "Datanglah kalian kepada Nuh, karena sesungguhnya dia adalah rasul pertama yang diutus oleh Allah buat penduduk bumi." Lalu mereka datang kepadanya, tetapi Nuh menjawab, "Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian," lalu ia menyebutkan permintaan yang pernah dia ajukan kepada Tuhannya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, hingga ia merasa malu. Ia berkata, "Datanglah kalian kepada kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah (Nabi Ibrahim)." Lalu mereka mendatanginya, tetapi ia berkata, "Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian," dan Nabi Ibrahim berkata, "Datangilah oleh kalian Musa, seorang hamba yang pernah diajak bicara oleh Allah dan diberi-Nya kitab Taurat." Lalu mereka datang kepada Musa, tetapi Musa menjawab, "Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian," kemudian Musa menyebutkan pembunuhan yang pernah dilakukannya terhadap seseorang bukan karena orang itu telah membunuh orang lain, hingga ia merasa malu kepada Tuhannya. Lalu ia berkata, "Datanglah kalian kepada Isa, hamba Allah dan rasul-Nya yang diciptakan melalui kalimat Allah dan roh (ciptaan)-Nya." Kemudian mereka datang kepada Isa, tetapi Isa menjawab, "Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian, datanglah kalian kepada Muhammad, seorang hamba yang telah diampuni baginya semua dosanya yang lalu dan yang kemudian." Lalu mereka datang kepadaku, maka aku berangkat dan meminta izin kepada Tuhanku hingga Dia mengizinkan diriku. Ketika aku melihat Tuhanku, maka aku menyungkur bersujud dan Dia membiarkan diriku dalam keadaan demikian selama yang Dia kehendaki. Kemudian Dia berfirman, "Angkatlah kepalamu, dan mintalah, niscaya kamu diberi apa yang kamu minta; dan katakanlah, niscaya didengar; dan mintalah syafaat, niscaya kamu diberi izin untuk memberi syafaat." Lalu aku mengangkat kepalaku dan aku memuji-Nya dengan pujian yang Dia ajarkan kepadaku. Kemudian aku memohon syafaat, dan Dia menentukan suatu batasan kepadaku, lalu aku masukkan mereka ke dalam surga. Kemudian aku kembali kepada-Nya; dan ketika aku melihat Tuhanku, maka aku melakukan hal yang serupa, lalu aku memohon syafaat dan Dia memberikan suatu batasan (jumlah) tertentu, maka aku masukkan mereka ke dalam surga. Kemudian aku kembali lagi untuk yang ketiga kalinya dan kembali lagi untuk yang keempat kali-nya, hingga aku katakan, "Tiada yang tertinggal di dalam neraka kecuali orang-orang yang telah ditahan oleh Al-Qur'an dan dipastikan baginya kekal di dalam neraka."
Demikian menurut hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dalam bab ini. Hadis yang sama telah diketengahkan pula oleh Imam Muslim dan Imam Nasai melalui hadis Hisyam (yaitu Ibnu Abu Abdullah Ad-Dustuwa'i), dari Qatadah dengan lafaz yang sama. Imam Muslim, Imam Nasai, dan Ibnu Majah telah mengetengahkan pula hadis ini melalui hadis Sa'id (yaitu Ibnu Abu Arubah), dari Qatadah.
Kaitan pengetengahan hadis ini dan tujuan utamanya ialah menyimpulkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ: أَنْتَ أَبُو النَّاسِ خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَأَسْجَدَ لَكَ مَلَائِكَتَهُ، وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ كُلِّ شَيْءٍ"
Lalu mereka mendatangi Adam dan berkata, "Engkau adalah bapak umat manusia, Allah telah menjadikan kamu dengan tangan kekuasaan-Nya, dan Dia telah memerintahkan para malaikat-Nya agar bersujud kepadamu, dan Dia telah mengajarkan kepadamu nama-nama segala sesuatu."
Hadis ini menunjukkan bahwa Allah Swt. telah mengajarkan kepada Adam nama-nama semua makhluk. Karena itu, disebutkan di dalam firman-Nya:
{ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ}
Kemudian Allah mengemukakan nama-nama itu kepada para malaikat. (Al-Baqarah: 31)
Makna yang dimaksud ialah semua nama-nama tersebut, seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah. Qatadah mengatakan, setelah itu Allah mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat, lalu Allah Swt. berfirman:
{فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
Allah berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kalian memang orang-orang yang benar!" (Al-Baqarah: 31)
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya," kemudian dia mengemukakan makhluk-makhluk itu kepada para malaikat. Menurut Ibnu Juraij, dari Mujahid, setelah itu Allah mengemukakan semua makhluk yang diberi nama-nama itu kepada para malaikat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Al-Hajjaj, dari Jarir ibnu Hazim dan Mubarak ibnu Fudalah, dari Al-Hasan dan Abu Bakar, dari Al-Hasan dan Qatadah; keduanya mengatakan bahwa Allah mengajarkan kepada Adam nama segala sesuatu, dan Allah menyebutkan segala sesuatu dengan namanya masing-masing serta Dia mengemukakannya kepada Adam satu kelompok demi satu kelompok.
Dengan sanad yang sama dari Al-Hasan dan Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Jika kalian memang orang-orang yang benar. (Al-Baqarah: 31) disebutkan bahwa sesungguhnya Aku tidak sekali-kali menciptakan makhluk melainkan kalian (para malaikat) lebih mengetahui daripada dia (Adam), maka sebutkanlah kepada-Ku nama-nama semuanya itu jika memang kalian orang-orang yang benar.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "In kuntum sadiqin" yakni jika kalian memang mengetahui bahwa Aku tidak usah menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "In kuntum sadiqin" yakni jika kalian memang orang-orang yang benar bahwa Bani Adam suka membuat kerusakan di muka bumi dan gemar mengalirkan darah.
Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling utama dalam masalah ini ialah takwil Ibnu Abbas dan orang-orang yang sependapat dengannya.
Makna hal tersebut ialah bahwa Allah Swt berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda yang telah Kukemukakan kepada kalian, hai malaikat yang mengatakan, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? Apakah dari kalangan selain kami atau dari kalangan kami? Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau,' jika kalian memang orang-orang yang benar dalam pengakuannya. Jika Aku menjadikan khalifah-Ku di muka bumi dari kalangan selain kalian, niscaya dia durhaka kepada-Ku, begitu pula keturunannya, lalu mereka membuat kerusakan dan mengalirkan darah. Tetapi jika Aku menjadikan khalifah di muka bumi dari kalangan kalian, niscaya kalian taat kepada-Ku dan mengikuti semua perintah-Ku dengan mengagungkan dan menyucikan-Ku. Apabila kalian tidak mengetahui nama-nama mereka yang Kuketengahkan kepada kalian dan kalian saksikan sendiri, berarti terhadap semua hal yang belum ada dari hal-hal yang akan ada —hanya belum diwujudkan— kalian lebih tidak mengetahui lagi."
*********
{قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ}
Mereka (para malaikat) menjawab: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 32)
Ayat ini menerangkan tentang sanjungan para malaikat kepada Allah dengan menyucikan dan membersihkan-Nya dari semua pengetahuan yang dikuasai oleh seseorang dari ilmu-Nya, bahwa hal itu tidak ada kecuali menurut apa yang dikehendaki-Nya. Dengan kata lain, tidaklah mereka mengetahui sesuatu pun kecuali apa yang diajarkan oleh Allah Swt. kepada mereka.
Karena itulah para malaikat berkata dalam jawabannya: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 32) Yakni Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, Yang Mahabijaksana dalam ciptaan dan urusan-Mu serta dalam mengajarkan segala sesuatu yang Engkau kehendaki serta mencegah segala sesuatu yang Engkau kehendaki, hanya Engkaulah yang memiliki kebijaksanaan dan keadil-an yang sempurna dalam hal ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Hajjaj, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna kalimat subhanallah; hal itu artinya pujian Allah kepada diri-Nya sendiri yang menyucikan-Nya dari semua keburukan.
Kemudian Umar pernah bertanya kepada Ali, sedangkan teman-teman sahabat Umar berada di hadapannya, "Kalau makna kalimah La ilaha illallah telah kami ketahui, apakah makna subhanallah? Ali k.w. menjawab, "Ia merupakan suatu kalimat yang disukai oleh Allah buat diri-Nya, dan Dia rela serta suka bila diucapkan."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Nadr ibnu Addi yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Maimun ibnu Mihran tentang makna kalimat subhanallah. Maka Maimun menjawab, "Nama untuk mengagungkan Allah dan menjauhkan-Nya dari semua keburukan."
********
Firman Allah Swt.:
{قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ}
Allah berfirman, "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, "Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan." (Al-Baqarah: 33)
Zaid ibnu Aslam mengatakan, Adam menyebutkan semua nama, antara lain: "Kamu Jibril, kamu Mikail, dan kamu Israfil," dan nama semua makhluk satu persatu hingga sampai pada nama burung gagak.
Mujahid mengatakan, sehubungan dengan firman-Nya: Allah berfirman, "Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini" (Al-Baqarah: 33) Menurutnya, yang disebut adalah nama burung merpati, burung gagak, dan nama-nama segala sesuatu. Diriwayatkan hal yang semisal dari Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, dan Qatadah.
Setelah keutamaan Adam a.s. tampak jelas oleh para malaikat karena dia telah menyebutkan nama-nama segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya, (sedangkan para malaikat tidak menge-tahuinya), maka Allah berfirman kepada para malaikat: Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan? (Al-Baqarah: 33)
Dengan kata lain, Allah bermaksud 'bukankah Aku sudah menjelaskan kepada kalian bahwa Aku mengetahui yang gaib, yakni yang Lahir dan yang tersembunyi".
Makna ayat ini sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى}
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Thaha: 7)
Sama juga dengan firman-Nya yang menceritakan perihal burung Hudhud di saat ia berkata kepada Nabi Sulaiman, yaitu:
{أَلا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ * اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ}
agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan. Allah, tiada Tuhan Yang disembah kecuali Dia, Tuhan yang mempunyai 'Arasy yang besar. (An-Naml: 25-26)
Menurut pendapat yang lain sehubungan dengan makna firman-Nya: dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Makna ayat ini tidaklah seperti apa yang kami sebutkan di atas.
Sehubungan dengan pendapat ini Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya, "Wa a'lamu ma tubduna wama kuntum taktumun," bahwa makna yang dimaksud ialah 'Aku mengetahui rahasia sebagaimana Aku mengetahui hal-hal yang lahir'. Dengan kata lain, Allah mengetahui apa yang tersembunyi di balik hati iblis, yaitu perasaan takabur dan tinggi diri.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan ucapan para malaikat yang disitir oleh firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. (Al-Baqarah: 30) hingga akhir ayat. Hal inilah yang dimaksudkan dengan apa yang mereka lahirkan. Sedangkan mengenai firman-Nya:  dan (Aku mengetahui) apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Maksudnya, apa yang disembunyikan oleh iblis di dalam hatinya berupa sifat takabur.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan As-Sauri. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, dan Qatadah me-ngatakan bahwa yang dimaksud adalah ucapan para malaikat yang mengatakan, "Tidak sekali-kali Tuhan kami menciptakan suatu makhluk melainkan kami lebih alim dan lebih mulia di sisi-Nya daripada dia."
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Disebutkan bahwa termasuk di antara apa yang dilahirkan oleh mereka (para malaikat) ialah ucapan mereka.”Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan mengalirkan darah?" Sedangkan di antara apa yang mereka sembunyikan ialah ucapan mereka di antara sesamanya, yaitu "tidak sekali-kali Tuhan kita menciptakan suatu makhluk kecuali kita lebih alim dan lebih mulia daripadanya". Tetapi akhirnya mereka mengetahui bahwa Allah mengutamakan Adam di atas diri mereka dalam hal ilmu dan kemuliaan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dalam kisah para malaikat dan Adam, bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sebagaimana kalian tidak mengetahui nama-nama benda-benda ini, maka kalian pun tidak mempunyai ilmu. Sesungguhnya Aku hanya bermaksud menjadikan mereka agar membuat kerusakan di bumi, dan hal ini sudah Kuketahui dan telah berada di dalam pengetahuan-Ku. Akan tetapi, Aku pun menyembunyikan dari kalian suatu hal, yaitu bahwa Aku hendak menjadikan di bumi itu orang-orang yang durhaka kepada-Ku dan orang-orang yang taat kepada-Ku." Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, telah ditetapkan oleh Allah melalui firman-Nya:
{لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ}
Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama. (As-Sajdah: 13, Hud: 119)
Sedangkan para malaikat belum mengetahui dan belum mengerti hal ini. Ketika mereka melihat apa yang telah dianugerahkan Allah kepada Adam berupa ilmu, akhirnya mereka mengakui kelebihan Adam atas diri mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling utama sehubungan dengan masalah ini ialah pendapat Abbas, yaitu yang mengatakan bahwa makna firman-Nya: dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan.... (Al-Baqarah: 33) Artinya "Aku, di samping pengetahuan-Ku tentang hal yang gaib di langit dan di bumi, mengetahui apa yang kalian lahirkan melalui lisan kalian dan apa yang kalian sembunyikan di dalam diri kalian. Maka tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Ku. Rahasia dan terang-terangan kalian bagi-Ku sama saja, tidak ada bedanya, semuanya Kuketahui." Hal yang mereka lahirkan melalui lisan mereka adalah ucapan mereka yang mengatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya?" Apa yang mereka sembunyikan ialah hal-hal yang tersimpan di dalam diri iblis (yang pada asalnya adalah dari kalangan malaikat pula), yaitu menentang Allah dalam perintah-perintah-Nya dan bersikap takabur, tidak mau taat kepada-Nya.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa pengertian ini diperbolehkan, mengingat perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang Arab, "Qutilal jaisyu wahuzimu (pasukan itu banyak yang terbunuh dan terpukul mundur)." Padahal sesungguhnya yang terbunuh hanya satu orang atau sebagian dari pasukan, dan yang terpukul mundur (kalah) hanyalah satu orang atau sebagian dari pasukan. Tetapi dalam pemberitaannya disebutkan bahwa yang terbunuh dan yang terpukul mundur adalah semua pasukan. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
{إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ}
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) (Al-Hujurat: 4)
Sesungguhnya yang melakukan panggilan seperti itu hanyalah seseorang dari kalangan Bani Tamim, bukan semuanya.
Menurut Ibnu Jarir, demikian pula pengertian makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33)

Al-Baqarah, ayat 34

{وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (34) }
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kalian kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur, dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Hal ini merupakan penghormatan yang besar dari Allah Swt. buat Adam dan dapat dilimpahkan kepada keturunannya, yaitu ketika Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia telah memerintahkan kepada para malaikat untuk bersujud menghormati Adam. Kenyataan ini diperkuat pula oleh banyak hadis yang menunjukkan bahwa hal tersebut benar-benar terjadi. Antara lain ialah hadis mengenai syafaat yang telah disebutkan di atas dan hadis yang mengisahkan Nabi Musa a.s., yaitu:
"رَبِّ، أَرِنِي آدَمَ الَّذِي أَخْرَجَنَا ونفسَه مِنَ الْجَنَّةِ"، فَلَمَّا اجْتَمَعَ بِهِ قَالَ: "أَنْتَ آدَمُ الَّذِي خَلَقَهُ  اللَّهُ بِيَدِهِ، وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَأَسْجَدَ لَهُ مَلَائِكَتَهُ"
Wahai Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku Adam yang telah mengeluarkan diri kami dan dirinya sendiri dari surga. Ketika Musa telah bersua dengannya, Musa berkata, "Engkaukah Adam yang telah diciptakan oleh Allah dengan tangan kekuasaan-Nya dan Dia meniupkan sebagian dari roh-Nya kepadamu dan memerintahkan kepada para malaikat-Nya untuk bersujud kepadamu?"
Hadis secara lengkap akan diketengahkan kemudian, insya Allah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hal berikut. Pada awalnya iblis itu merupakan suatu golongan dari kalangan para malaikat, mereka dikenal dengan sebutan jin. Iblis diciptakan dari api yang sangat panas, yakni jin yang berada di antara para malaikat, nama aslinya adalah Al-Haris; pada mulanya ia ditugaskan sebagai salah seorang penjaga surga. Tetapi malaikat semuanya diciptakan dari nur yang berbeda dengan golongan iblis tadi. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa jin yang disebut di dalam Al-Qur'an diciptakan dari nyala api, yakni dari lidah api yang paling ujungnya bila menyala. Sedangkan manusia diciptakan dari tanah liat. Makhluk yang mula-mula menghuni bumi adalah jin, lalu mereka membuat kerusakan, mengalirkan darah, dan sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain. Maka Allah mengirimkan kepada mereka iblis bersama sejumlah pasukan dari para malaikat. Mereka yang diutus melakukan tugas ini dari kalangan makhluk yang dikenal dengan nama jin. Iblis bersama para pengikutnya dapat menumpas makhluk jin hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau di berbagai lautan dan ke puncak-puncak bukit. Setelah iblis dapat melakukan tugas tersebut, akhirnya dia merasa tinggi diri, dan mengatakan, "Aku telah melakukan sesuatu hal yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun." Allah mengetahui hal itu yang tersimpan di balik hati iblis, sedangkan para malaikat yang bersamanya tidak mengetahui hal itu. Lalu Allah Swt. berfirman kepada para malaikat yang pernah diutus-Nya bersama iblis, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi itu." Maka para malaikat menjawab-Nya, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, seperti kerusakan yang pernah dilakukan oleh makhluk jin dan banyaknya darah mengalir karena perbuatan mereka? Padahal sesungguhnya kami diutus untuk menumpas mereka." Kemudian Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." yakni "Aku mengetahui apa yang tersimpan di balik hati iblis hal-hal yang tidak kalian ketahui, yaitu sifat ta-abur dan tinggi diri. Lalu Allah memerintahkan agar dihadapkan kepada-Nya tanah liat untuk menciptakan Adam, kemudian tanah itu dihadapkan kepada-Nya. Maka Allah menciptakan Adam dari tanah liat, yakni tanah liat yang baik, berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk dan berbau tidak enak. Sesungguhnya pada mulanya dari tanah, kemudian menjadi tanah liat yang diberi bentuk; Allah menciptakan Adam dari tanah liat itu dengan tangan kekuasaan-Nya sendiri. Adam didiamkan tergeletak selama empat puluh malam berupa jasad, sedangkan iblis selama itu selalu mendatanginya dan memukulnya dengan kaki, maka tubuh Adam mengeluarkan suara (seperti suara tembikar yang dipukul). Hal inilah yang disebut di dalam firman-Nya:
{مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ}
dari tanah kering seperti tembikar. (Ar-Rahman: 14)
Yakni berbentuk sesuatu yang berongga dan tidak berisi. Kemudian iblis memasuki mulutnya dan keluar dari duburnya, lalu masuk dari dubur dan ke luar dari mulutnya. Selanjutnya iblis mengatakan, "Kamu bukanlah sesuatu untuk dibunyikan dan karena apakah kamu diciptakan. Seandainya aku menguasaimu, niscaya aku dapat membinasakanmu; dan seandainya kamu dapat menguasaiku, niscaya aku akan membangkang terhadapmu." Ketika Allah meniupkan ke dalam tubuhnya sebagian dari roh-Nya hal ini dilakukan mulai dari bagian kepalanya, maka tidak sekali-kali sesuatu dari tiupan itu mengalir dalam tubuhnya melainkan berubah menjadi daging dan darah. Ketika tiupan sampai pada bagian pusar, maka Adam memandang ke arah tubuhnya dan ia merasa kagum dengan apa yang ia lihat pada tubuhnya. Lalu Adam bangkit berdiri akan tetapi tidak mampu. Hal inilah yang dimaksud oleh firman-Nya:
{وَكَانَ الإنْسَانُ عَجُولا}
Manusia bersifat tergesa-gesa. (Al-Isra: 11); Maksudnya terburu-buru, tidak mempunyai kesabaran dalam menghadapi kesukaran dan juga kedukaan. Setelah peniupan roh ke dalam tubuhnya telah selesai, maka Adam bersin, lalu mengucapkan alhamdulillahi rabbil 'alamina (segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam) melalui ilham dari Allah Swt., maka Allah berfirman menjawabnya, "Semoga Allah mengasihani kamu, hai Adam." Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat yang bersama dengan iblis tadi secara khusus, bukan seluruh malaikat yang berada di langit, "Sujudlah kalian kepada Adam!" Maka mereka semuanya sujud, kecuali iblis; ia membangkang dan takabur karena di dalam dirinya telah muncul sifat takabur dan tinggi diri. Iblis berkata, "Aku tidak mau sujud karena aku lebih baik daripada dia dan lebih tua serta asalku lebih kuat. Engkau telah menciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah liat. Sesungguhnya api lebih kuat daripada tanah liat." Setelah iblis menolak sujud kepada Adam, maka Allah menjauhkannya dari seluruh kebaikan dan menjadikannya setan yang terkutuk sebagai hukuman atas kedurhakaannya. Kemudian Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruh benda, yaitu nama-nama yang dikenal oleh manusia, misalnya manusia, binatang, bumi, dataran rendah, laut, gunung, keledai, serta lain-lainnya yang serupa dari kalangan makhluk hidup dan selainnya. Kemudian Allah mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat yang tadinya bersama iblis, yakni mereka yang diciptakan dari api yang sangat panas, lalu Allah berfirman kepada mereka: Sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu. (Al-Baqarah: 31) Maksudnya, jelaskanlah kepadaku nama semua benda itu. Dalam firman selanjutnya disebutkan: jika kalian memang orang-orang yang benar. (Al-Baqarah: 31) Yakni jika memang kalian mengetahui mengapa Aku menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Ketika para malaikat mengetahui bahwa Allah murka terhadap mereka karena mereka berani mengatakan hal yang gaib —padahal tiada yang mengetahui perkara gaib selain Allah semata— dan mereka tidak mempunyai pengetahuan mengenai-nya, lalu mereka berkata: Mahasuci Engkau. (Al-Baqarah: 32) Kalimat ini mengandung makna menyucikan Allah, bahwa tiada seorang pun yang mengetahui hal yang gaib kecuali hanya Dia semata. Dalam kalimat selanjutnya para malaikat mengatakan, "Kami bertobat kepada-Mu." tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. (Al-Baqarah: 32) Kalimat ini mengandung makna kebersihan diri mereka dari pengetahuan mengenai hal yang gaib, tiada yang kami ketahui melainkan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami seperti apa yang telah Engkau ajarkan kepada Adam. Kemudian Allah berfirman kepada Adam: Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini. (Al-Baqarah: 33) Allah memerintahkan kepada Adam agar menyebut nama semua benda itu. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, "Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian." (Al-Baqarah: 33) Hai para malaikat yang khusus. bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi. (Al-Baqarah: 33) sedangkan selain Aku tiada yang mengetahuinya. dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Aku mengetahui semua yang kalian lahirkan dan mengetahui semua yang kalian sembunyikan, Aku mengetahui rahasia seperti Aku mengetahui hal yang terang-terangan. Makna yang dimaksud ialah bahwa Allah mengetahui apa yang disembunyikan oleh iblis di dalam hatinya, yaitu perasaan takabur dan tinggi hati.
Pendapat ini garib (aneh), di dalamnya terdapat berbagai hal yang masih perlu dipertimbangkan, bila dibahas memerlukan keterangan yang cukup panjang. Penyandaran kepada Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh sebuah kitab tafsir yang cukup terkenal.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Nabi Saw.; ketika Allah telah rampung dari menciptakan apa yang Dia sukai, lalu Dia berkuasa di 'Arasy. Kemudian Allah menjadikan iblis sebagai raja di langit dunia. Dia berasal dari suatu jenis malaikat yang dikenal dengan sebutan jin; sesungguhnya iblis dinamakan 'jin' karena ia menjabat sebagai penjaga surga. Dengan demikian, di samping sebagai raja di langit dunia, ia pun sekaligus sebagai penjaga surga. Hal ini membuatnya merasa besar kepala, lalu dia mengatakan, "Tidak sekali-kali Allah memberiku tugas ini melainkan karena aku mempunyai kelebihan di atas para malaikat." Ketika iblis mulai congkak dan Allah melihat apa yang tersembunyi di dalam diri iblis itu, maka Allah berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30) Maka malaikat berkata, "Wahai Tuhan Kami, apakah yang terjadi pada khalifah itu?" Allah menjawab, "Kelak dia mempunyai keturunan yang suka membuat kerusakan di bumi dan saling mendengki serta sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain." Para malaikat bertanya, "Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (Al-Baqarah: 30) Artinya, Allah mengetahui apa yang tersimpan di dalam benak iblis. Kemudian Allah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi untuk mengambil tanah liat. Tetapi bumi berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari kamu agar kamu tidak mengurangiku atau membuatku menjadi buruk." Maka Malaikat Jibril kembali tanpa mengambilnya, dan ia berkata, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya bumi meminta perlindungan kepada-Mu," maka Aku beri dia perlindungan. Lalu Allah mengutus Malaikat Mikail, dan bumi meminta perlindungan pula darinya, maka Ia memberinya perlindungan. Akhirnya Malaikat Mikail kembali dan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Malaikat Jibril. Pada akhirnya Allah mengirimkan malaikat maut, dan bumi meminta perlindungan darinya, tetapi malaikat maut berkata, "Dan aku pun berlindung kepada Allah bila aku kembali, sedangkan perintah Allah belum aku laksanakan." Lalu ia mengambil tanah liat dari muka bumi dan mengambilnya secara acak bukan hanya dari satu tempat saja, lalu ia campur jadi satu, ada yang merah, ada yang putih, dan ada yang hitam. Karena itu, keturunan Adam bermacam-macam warna kulitnya. Malaikat maut membawanya naik dalam bentuk tanah liat yang sebelumnya hanya berupa tanah. Tanah liat ialah tanah yang sebagian melekat pada sebagian yang lainnya (lengket). Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat:
{إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ * فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ}
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan padanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kalian bersujud kepadanya. (Shad: 71-72)
Allah menciptakan Adam dengan tangan kekuasaan-Nya sendiri agar iblis tidak takabur terhadapnya dan dapat dikatakan, "Apakah kamu berani takabur kepada orang yang Kujadikan dengan tangan kekuasaan-Ku sendiri, sedangkan Aku sendiri tidak takabur terhadapnya karena menciptakannya sebagai manusia." Saat itu Adam masih berupa tubuh dari tanah liat selama empat puluh tahun sejak hari diciptakan, yaitu hari Jumat. Kemudian para malaikat. melewatinya dan mereka terkejut tatkala melihatnya. Yang paling terkejut di kala melihatnya ialah iblis. Lalu iblis melewatinya dan memukulnya, maka keluarlah suara dari tubuh Adam sebagaimana suara tembikar bila dipukul, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:
{مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ}
dari tanah kering seperti tembikar. (Ar-Rahman: 14)
Iblis mengatakan, "Untuk tujuan apakah kamu diciptakan?" Lalu ia masuk dari mulut dan keluar dari duburnya. Kemudian iblis berkata kepada para malaikat, "Janganlah kalian takut kepada makhluk ini, karena sesungguhnya Tuhan kalian Mahaperkasa, sedangkan makhluk ini berongga. Jika aku dapat menguasainya, niscaya dia benar-benar akan kubinasakan." Setelah sampai waktu peniupan roh yang dikehendaki oleh Allah, maka Allah berfirman kepada para malaikat, "Maka apabila Kutiupkan padanya sebagian dari roh (ciptaan)-Ku, maka sujudlah kalian kepadanya" Ketika roh mulai ditiupkan padanya dan roh masuk mulai dari kepalanya, maka Adam bersin, lalu para malaikat berkata, ucapkanlah alhamdulillah," maka Adam mengucapkan alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Allah menjawabnya dengan ucapan, "Semoga Tuhanmu mengasihani kamu." Ketika roh sampai pada kedua matanya, maka Adam dapat melihat buah-buhan surga. Ketika roh sampai pada perutnya, timbullah selera makannya, lalu ia melompat sebelum roh sampai pada kedua kakinya karena tergesa-gesa ingin memetik buah surga. Yang demikian itu dikisahkan melalui firman-Nya:
{خُلِقَ الإنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ}
Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. (Al-Anbiya: 37)
Kemudian semua malaikat sujud kepada Adam, kecuali iblis; ia menolak, tidak mau ikut bersama-sama para malaikat yang sujud. Iblis membangkang dan takabur, dia termasuk orang-orang yang kafir. Allah berfirman kepada iblis, "Mengapa kamu tidak mau bersujud kepada makhluk yang Kuciptakan dengan tangan kekuasaan-Ku sendiri, ketika Kuperintahkan kamu melakukannya?" Iblis menjawab, "Aku lebih baik daripada dia, aku tidak akan bersujud kepada manusia yang Engkau ciptakan dari tanah liat" Lalu Allah berfirman kepadanya:
{أَنْ تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ}
Turunlah kamu dari surga itu, karena tidak layak bagi kamu berlaku takabur di dalamnya; maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina. (Al-A'raf: 13)
As-sigar artinya hina. Lalu Allah Swt. berfirman: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. (Al-Baqarah: 31) Kemudian Allah mengemukakan benda-benda itu kepada para malaikat, lalu Allah berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kalian memang orang-orang yang benar. (Al-Baqarah: 31) bahwa Bani Adam gemar membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah. Maka para malaikat berkata: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Allah berfirman, "Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, "Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan?" (Al-Baqarah: 32-33); Ucapan para malaikat yang disitir oleh firman-Nya, yaitu: Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya. (Al-Baqarah: 30) merupakan apa yang mereka lahirkan. Sedangkan yang disebut di dalam firman-Nya: dan (aku mengetahui) apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Maksudnya, Allah mengetahui apa yang disembunyikan oleh iblis dalam hatinya yaitu perasaan tinggi diri (sombong).
Isnad yang sampai kepada para sahabat tersebut berpredikat masyhur di dalam kitab tafsir As-Saddi, tetapi di dalamnya terdapat banyak hadis israiliyat; barangkali sebagian di antaranya disisipkan, padahal bukan perkataan para sahabat, atau mereka mengambilnya dari sebagian kitab-kitab terdahulu.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak mengetengahkan banyak riwayat dengan sanad yang sama, lalu ia mengatakan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat diterima dengan syarat Imam Bukhari.
Tujuan utama pengetengahan riwayat-riwayat ini untuk menjelaskan bahwa tatkala Allah Swt. memerintahkan kepada para malaikat untuk sujud kepada Adam, maka iblis dimasukkan ke dalam kisah ini; karena sekalipun iblis bukan berasal dari unsur malaikat, tetapi ia dapat menyerupai mereka dan dapat melakukan hal-hal yang dilakukan oleh para malaikat. Karena itulah iblis dimasukkan ke dalam khitab para malaikat dan menerima celaan karena menentang perintah Allah. Masalah ini akan dibahas secara panjang lebar —insya Allah— dalam tafsir firman-Nya:
{إِلا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ}
kecuali iblis, dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. (Al-Kahfi: 50)
Karena itulah Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Khallad ibnu Ata, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Sebelum melakukan kedurhakaan, pada mulanya iblis itu termasuk golongan malaikat, dikenal dengan nama 'Azazil. Ia termasuk penduduk bumi, juga sebagai golongan malaikat yang sangat kuat ijtihadnya dan paling banyak ilmunya. Karena itulah hal tersebut mendorongnya bersikap takabur. Dia berasal dari suatu kabilah yang dikenal dengan nama makhluk jin."
Di dalam riwayat dari Khallad, dari Ata, dari Tawus atau dari Mujahid, dari Ibnu Abbas atau lainnya disebutkan riwayat yang semisal.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Abbad (yakni Ibnul Awwam), dari Sufyan ibnu Husain, dari Ya’la ibnu Muslim, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Pada mulanya iblis bernama 'Azazil, termasuk golongan malaikat yang terhormat dan memiliki empat buah sayap, kemudian menjadi iblis sesudah peristiwa tersebut."
Sunaid meriwayatkan dari Hajyaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Pada awalnya iblis termasuk malaikat yang terhormat dan paling disegani kabilahnya, dia ditugaskan sebagai penjaga surga dan mempunyai kekuasaan di langit dunia, juga mempunyai kekuasaan di bumi."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ad-Dahhak dan lain-lain-nya, dari Ibnu Abbas.
Saleh maula Tau-amah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya di antara para malaikat terdapat suatu kabilah (golongan) yang dikenal dengan nama jin. sedangkan iblis termasuk dari kalangan mereka. Iblis menguasai kawasan antara langit dan bumi, lalu ia durhaka kepada Allah, maka Allah mengutuknya menjadi setan yang laknat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Qatadah mengatakan dari Sa'id ibnul Musayyab bahwa iblis itu pada mulanya adalah pemimpin para malaikat langit dunia.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Addi ibnu Abu Addi, dari Auf, dari Al-Hasan yang menceritakan, "Iblis itu sama sekali bukan termasuk golongan malaikat, dan sesungguhnya iblis itu asalnya dari golongan jin; seperti Adam, asalnya dari golongan manusia."
Sanad riwayat ini berpredikat sahih, dari Al-Hasan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Syahr ibnu Hausyab mengatakan, iblis itu adalah berasal dari golongan jin yang diusir oleh para malaikat Sebagian dari malaikat ada yang menawannya, lalu membawanya ke langit. Demikian riwayat Ibnu Jarir.
Sunaid ibnu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Yahya, dari Musa ibnu Numair dan Usman ibnu Sa'id ibnu Kamil, dari Sa'id ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Dahulu para malaikat memerangi jin, dan iblis —yang saat itu masih kecil— tertawan, lalu iblis hidup bersama para malaikat dan ikut beribadah dengan mereka. Ketika para malaikat diperintahkan sujud kepada Adam, mereka sujud, kecuali iblis, ia membangkang." Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: kecuali iblis, dia adalah dari golongan jin. (Al-Kahfi: 50)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sinan Al-Bazzar, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Syarik, dari seorang lelaki, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan: Allah menciptakan suatu makhluk (Adam), lalu Dia berfirman, "Sujudlah kalian kepada Adam!" Tetapi mereka berkata, "Kami tidak mau melakukannya." Maka Allah mengirimkan api kepada mereka, dan api itu membakar mereka. Kemudian Allah menciptakan makhluk lainnya dan berfirman: Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. (Shad: 71) Lalu Allah berfirman, "Sujudlah kalian kepada Adam!" Tetapi mereka menolak, maka Allah mengirimkan api kepada mereka, dan api itu membakar mereka. Kemudian Allah menciptakan mereka, lalu berfirman, "Sujudlah kalian kepada Adam!" Mereka menjawab, "Ya," dan iblis termasuk di antara mereka yang menolak, tidak mau sujud kepada Adam.
Riwayat ini garib (aneh) dan hampir dapat dikatakan tidak sah sanadnya, mengingat di dalamnya terdapat seorang perawi yang namanya tidak disebutkan; hal seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai hujah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Hayyan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Buraidah sehubungan dengan makna firman-Nya: ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34) Yakni termasuk orang-orang yang membangkang, akhirnya mereka dibakar oleh api.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34) Yang dimaksud dengan kafir ialah orang yang durhaka.
Sehubungan dengan makna ayat ini As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dengan orang-orang kafir ialah mereka yang belum diciptakan oleh Allah saat itu, tetapi baru ada jauh sesudah masa itu.
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa iblis sejak semula diciptakan oleh Allah ditakdirkan berbuat kekufuran dan kesesatan, tetapi beramal seperti amalnya para malaikat; kemudian Allah menjadikannya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan-Nya sejak semula, yaitu kafir, sebagaimana dinyatakan oleh firman-Nya: ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kalian kepada Adam!" (Al-Baqarah: 34) Karena taat kepada Allah, maka dilakukan sujud kepada Adam. Allah memuliakan Adam dengan memerintahkan para malaikat-Nya bersujud kepadanya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa sujud ini merupakan penghormatan dan salam serta memuliakan, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman Allah Swt.:
{وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا}
Dan ia menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan Yusuf berkata, "Wahai ayahku, inilah takbir mimpiku yang dahulu itu, sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.” (Yusuf: 100)
Di masa lalu hal ini memang diperbolehkan di kalangan umat-umat terdahulu, tetapi dalam agama kita hal ini telah di-mansukh. Mu'az mengatakan hadis berikut:
قَدِمْتُ الشَّامَ فَرَأَيْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَعُلَمَائِهِمْ، فَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُسْجَدَ لَكَ، فَقَالَ: "لَا لَوْ كُنْتُ آمِرًا بَشَرًا أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا"
Ketika aku tiba di negeri Syam, kulihat mereka sujud kepada uskup-uskup dan ulamanya. Maka engkau, wahai Rasulullah, adalah orang yang lebih berhak untuk disujudi. Lalu Rasul Saw. bersabda, "Tidak, seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan kepada wanita agar sujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami atas dirinya."
Pendapat ini dinilai rajih oleh Ar-Razi.
Sebagian ulama mengatakan bahwa sujud tersebut hanya ditujukan kepada Allah Swt., sedangkan Adam sebagai kiblat (arah)nya, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ}
Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (Al-Isra: 78)
Akan tetapi, pengertian kias ini masih perlu dipertimbangkan, dan yang paling kuat adalah pendapat pertama tadi, yaitu yang mengatakan bahwa sujud kepada Adam sebagai penghormatan dan salam serta memuliakannya. Hal ini termasuk taat kepada Allah Swt. karena Allah memerintahkannya.
Pendapat ini dinilai kuat oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya, sedangkan dua pendapat lainnya dinilainya lemah, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa Adam dianggap sebagai kiblatnya, mengingat hal ini tidak menggambarkan sebagai suatu kehormatan. Pendapat yang kedua ialah yang mengatakan bahwa sujud tersebut berupa tunduk, bukan membungkukkan badan dan meletakkan dahi di tanah; tetapi pendapat ini pun dinilai lemah oleh Ar-Razi.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur, dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34) Musuh Allah alias iblis dengki terhadap Adam a.s. karena kehormatan yang telah diberikan oleh Allah Swt kepada Adam, dan ia berkata, "Aku berasal dari api, sedangkan dia dari tanah." Hal tersebut merupakan permulaan dosa besar, yaitu takabur iblis —musuh Allah— karena tidak mau sujud kepada Adam a.s.
Menurut kami, di dalam sebuah hadis sahih telah disebutkan:
"لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ"
tidak dapat masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat sifat takabur sekalipun seberat biji sawi.
Di dalam hati iblis terdapat sifat takabur, kekufuran, dan keingkaran yang mengakibatkan dirinya terusir dan dijauhkan dari rahmat Allah dan dari sisi-Nya. Sebagian ahli i'rab mengartikan firman-Nya, "Wa-kana minal kafirin," maksudnya 'jadilah dia (iblis) termasuk golongan orang-orang yang kafir karena menolak untuk bersujud'. Perihalnya sama dengan firman Allah Swt lainnya, yaitu:
{فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ}
maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hud: 43)
{فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ}
yang menyebabkan kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 35)
Seorang penyair mengatakan:
بِتَيْهَاءَ قَفْرٌ وَالْمَطِيُّ كَأَنَّهَا قَطَا الْحُزْنِ قَدْ كَانَتْ فِرَاخًا بُيُوضُهَا ...
Di padang yang tandus, sedangkan unta kendaraan itu seakan-akan seperti burung qata yang kembali menjadi anak yang baru ditetaskan dari telurnya.
Menurut Ibnu Faurak, bentuk lengkap dari ayat tersebut ialah bahwa iblis itu menurut ilmu Allah tergolong ke dalam orang-orang yang kafir. Pendapat ini dinilai kuat oleh Al-Qurtubi. Dalam pembahasannya Al-Qurtubi menyebutkan suatu masalah; dia mengatakan bahwa ulama kita mengatakan, "Orang yang ditampakkan oleh Allah Swt. beberapa karamah dan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam melalui tangannya, hal tersebut bukan merupakan bukti yang menunjukkan kewaliannya." Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat sebagian orang dari kalangan ahli sufi dan golongan Rafidah. Kemudian Al-Qurtubi mengemukakan alasan yang memperkuat pendapatnya itu, "Kami tidak dapat memastikan terhadap orang yang dapat melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam, bahwa dia dapat memenuhi Allah melalui imannya. Orang yang bersangkutan sendiri tidak dapat memastikan bagi dirinya akan hal tersebut. Dengan kata lain, predikat kewalian masih belum dapat dipastikan hanya karena perkara tersebut."
Menurut pendapat kami memang ada sebagian ulama yang menyimpulkan bahwa hal yang khariq (bertentangan dengan hukum alam) itu adakalanya keluar dari orang yang bukan wali, bahkan keluar dari orang yang berpredikat pendurhaka, juga orang kafir. Sebagai dalilnya ialah sebuah hadis yang menyatakan perihal Ibnu Sayyad, dia mengatakan dukh (kabut) ketika Rasulullah Saw. menyembunyikan sesuatu masalah terhadapnya, yakni firman-Nya:
{فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ}
Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata. (Ad-Dukhan: 10)
Juga melalui hal-hal yang dilakukannya, yaitu bahwa tubuhnya (Ibnu Sayyad) menjadi membesar hingga memenuhi jalan bila sedang marah, hingga Abdullah ibnu Umar memukulnya. Juga banyak hadis yang menceritakan perihal Dajjal yang banyak melakukan hal-hal yang khariq. Antara lain dia memerintahkan kepada langit untuk menurunkan hujan, maka langit pun segera menurunkan hujan; dan bila ia memerintahkan kepada bumi untuk mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, maka bumi pun segera mengeluarkan tumbuh-tumbuhan. Hal khariq lainnya yang dapat dilakukan oleh Dajjal ialah perbendaharaan bumi selalu mengikutinya bagaikan laron. Disebut pula bahwa Dajjal membunuh seorang pemuda, kemudian menghidupkannya kembali, masih banyak hal lain dari perkara-perkara yang ajaib dilakukan oleh Dajjal.
Yunus ibnu Abdul A’la As-Sadfi pernah bercerita kepada Imam Syafii, bahwa Al-Lais ibnu Sa'd pernah mengatakan, "Apabila kalian melihat seorang lelaki berjalan di atas air dan terbang di udara, maka janganlah  kalian  teperdaya  sebelum  kalian  mengemukakan   perkaranya ke dalam penilaian Al-Qur'an dan sunnah." Imam Syafii mengatakan bahwa Al-Lais rahimahullah memakai kata qasr dalam ungkapannya, yaitu: "Bahkan apabila kalian melihat seorang lelaki dapat berjalan di atas air dan terbang di udara, janganlah kalian teperdaya oleh sikapnya itu sebelum kalian mengemukakan perkaranya ke dalam penilaian Al-Qur'an dan sunnah."
Ar-Razi dan lain-lainnya meriwayatkan pendapat kalangan para ulama sehubungan dengan masalah berikut, yaitu: Apakah yang diperintahkan sujud kepada Adam hanya khusus malaikat yang ada di bumi, ataukah umum mencakup semua malaikat, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit? Masing-masing dari kedua pendapat tersebut didukung oleh segolongan ulama yang menyetujui pendapatnya.
Akan tetapi, makna lahiriah ayat menunjukkan pengertian umum, karena di dalamnya disebutkan:
{فَسَجَدَ الْمَلائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ * إِلا إِبْلِيسَ}
Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali Iblis. (Al-Hijr: 30-31)
Alasan-alasan yang telah dikemukakan dalam pembahasan ini memperkuat pengertian yang menunjukkan makna umum (mencakup semua malaikat).

Al-Baqarah, ayat 35-36

{وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (35) فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ (36) }
Dan Kami berfirman, "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kalian sukai, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula, dan Kami berfirman, "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
Allah Swt. berfirman memberitakan kehormatan yang dianugerahkan-Nya kepada Adam, sesudah memerintahkan kepada para malaikat agar bersujud kepadanya, lalu mereka sujud kepadanya kecuali iblis; bahwa Dia memperbolehkan baginya surga untuk tempat tinggalnya di mana pun yang dikehendakinya. Adam boleh memakan makanan yang dia sukai dengan leluasa, yakni dengan senang hati, berlimpah, dan penuh dengan kenikmatan.
وَرَوَى الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُوَيه، مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى الدَّامَغَانِيِّ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ الْفَضْلِ، عَنْ مِيكَائِيلَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍ: قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ؛ أَرَيْتَ آدَمَ، أَنَبِيًّا كَانَ؟ قَالَ: "نَعَمْ، نَبِيًّا رَسُولًا كَلَّمَهُ اللَّهُ قِبَلا فَقَالَ: {اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ} "
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Muhammad ibnu Isa Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami Saiamah ibnul Fadl. dari Mikail, dari Lais, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Zar yang menceritakan hadis berikut: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu Adam, apakah dia seorang nabi?" Rasul Saw. menjawab, "Ya, dia seorang nabi lagi rasul, Allah berbicara dengannya secara terang-terangan, dan Allah berfirman, 'Diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini'."
Surga yang ditempati oleh Adam ini masih diperselisihkan, apakah surga yang di langit atau surga yang di bumi? Kebanyakan ulama berpendapat yang pertama, yakni surga yang di langit. Al-Qurtubi meriwayatkan dari golongan mu'tazilah dan Qadariyah suatu pendapat yang mengatakan bahwa surga tersebut ada di bumi. Mengenai pembahasan masalah ini secara rinci, insya Allah akan dikemukakan dalam tafsir surat Al-A'raf.
Konteks ayat menunjukkan bahwa Siti Hawa diciptakan sebelum Adam memasuki surga, hal ini telah dijelaskan oleh Muhammad ibnu Ishaq dalam keterangannya: Ketika Allah telah selesai dari urusan-Nya mencaci iblis, lalu Allah kembali kepada Adam yang telah Dia ajari semua nama-nama itu, kemudian berfirman, "Hai Adam, sebutkanlah nama benda-benda itu," sampai dengan firman-Nya, "Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana" (Al-Baqarah: 31-32).
Muhammad ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, "Setelah itu ditimpakan rasa kantuk kepada Adam, menurut keterangan yang sampai kepada kami dari kaum ahli kitab yang mempunyai kitab Taurat, juga dari kalangan ahli ilmu selain mereka yang bersumber dari Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Kemudian Allah mengambil salah satu dari tulang iga sebelah kirinya dan menambal tempatnya dengan daging, sedangkan Adam masih tetap dalam keadaan tidur, belum terbangun. Lalu Allah menjadikan tulang iganya itu istrinya —yaitu Siti Hawa— berupa seorang wanita yang sempurna agar Adam merasa tenang hidup dengannya.
Ketika tidur dicabut darinya dan Adam terbangun, ia melihat Siti Hawa telah berada di sampingnya, lalu ia berkata —menurut apa yang mereka dugakan, tetapi Allah-lah Yang lebih mengetahui kebenarannya—, "Oh dagingku, darahku, dan istriku," lalu Adam merasa tenang dan tenteram bersamanya. Setelah Allah mengawinkannya dan menjadikan rasa tenang dan tenteram dalam diri Adam, maka Allah berfirman kepadanya secara langsung:
{يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ}
Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 35)
Menurut pendapat lain, penciptaan Siti Hawa terjadi sesudah Adam masuk surga, seperti yang dikatakan oleh As-Saddi dalam salah satu riwayat yang diketengahkannya dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat. Disebutkan, setelah iblis diusir dari surga dan Adam ditempatkan di dalam surga, maka Adam berjalan di dalam surga dengan perasaan kesepian karena tiada teman hidup yang membuat dia merasa tenang dan tenteram dengannya. Kemudian Adam tidur sejenak. Setelah terbangun, ternyata di dekat kepalanya terdapat seorang wanita yang sedang duduk. Allahlah yang telah menciptakannya dari tulang iga Adam. Lalu Adam bertanya kepadanya, "Siapakah kamu ini?" Hawa menjawab, "Seorang wanita." Adam bertanya, "Mengapa engkau diciptakan?" Hawa menjawab, "Agar kamu merasa tenang dan tenteram bersamaku." Para malaikat bertanya kepada Adam seraya menguji pengetahuan yang dicapai oleh Adam, "Siapakah namanya hai Adam?" Adam menjawab, "Dia bernama Hawa." Mereka bertanya lagi, "Mengapa dinamakan Hawa?" Adam menjawab, "Sesungguhnya dia dijadikan dari sesuatu yang hidup." Allah Swt. berfirman: Hai Adam, diamilah olehmu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 35)
***********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ}
Dan janganlah kamu berdua dekati pohon ini. (Al-Baqarah: 35)
Hal ini merupakan pilihan dari Allah Swt. dan sengaja dijadikan-Nya sebagai ujian buat Adam. Para ulama berbeda pendapat mengenai jenis pohon ini.
As-Saddi mengatakan dari orang yang mendapat kisah dari Ibnu Abbas, bahwa pohon yang dilarang oleh Allah didekati Adam adalah pohon anggur.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, As-Saddi, Asy-Sya'bi, Ja'dah ibnu Hubairah, dan Muhammad ibnu Qais.
As-Saddi mengatakan dalam salah satu riwayatnya dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah kamu berdua dekati pohon ini. (Al-Baqarah: 35) bahwa pohon tersebut adalah pohon anggur. Tetapi orang-orang Yahudi menduga pohon tersebut adalah pohon gandum.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Samurah Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr (yaitu Abu Umar Al-Kharraz), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pohon yang dilarang bagi Adam a.s. mendekatinya ialah pohon gandum.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah dan Ibnul Mubarak, dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari seorang ahlul ilmi, dari Hajjaj, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan Bani Tamim, bahwa Ibnu Abbas pernah berkirim surat kepada Abul Jalad untuk menanyakan tentang pohon yang dimakan oleh Adam dan pohon tempat Adam bertobat. Lalu Abul Jalad membalas surat Ibnu Abbas yang isinya mengatakan, "Engkau menanyakan kepadaku tentang pohon yang dilarang Nabi Adam mendekatinya ialah pohon gandum, dan engkau menanyakan kepadaku tentang pohon tempat Nabi Adam bertobat di bawahnya ialah pohon zaitun."
Demikian pula yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri, Wahab ibnu Munabbih, Atiyyah Al-Aufi, Abu Malik, Muharib ibnu Disar dan Abdur Rahman ibnu Abu Laila. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari sebagian penduduk Yaman dari Wahab ibnu Munabbih yang pernah mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum. Akan tetapi, satu biji daripadanya di dalam surga sama dengan kedua paha sapi, lebih lembut daripada zubdah dan rasanya lebih manis daripada madu.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Husain, dari Abu Malik, sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu dekati pohon ini. (Al-Baqarah: 35) Pohon tersebut adalah pohon kurma.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu dekati pohon ini. (Al-Baqarah: 35) Pohon tersebut adalah pohon tin. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Ibnu Juraij.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, bahwa pohon tersebut bila dimakan oleh seseorang, maka orang yang bersangkutan akan mengalami hadas, sedangkan hadas tidak layak di dalam surga.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abdur Rahman ibnu Mihran yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Wahab ibnu Munabbih berkata, "Setelah Allah menempatkan Adam dan istrinya di dalam surga, lalu Dia melarangnya memakan buah tersebut Buah tersebut berasal dari suatu pohon yang ranting-rantingnya lebat sekali hingga sebagian darinya bersatu dengan yang lain. Buah pohon tersebut dimakan oleh para malaikat karena mereka ditakdirkan kekal. Pohon inilah yang dilarang Allah dimakan oleh Adam dan istrinya."
Keenam pendapat di atas merupakan tafsir dari pohon tersebut. Imam Al-Allamah Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar dalam hal ini ialah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Swt. telah melarang Adam dan istrinya untuk memakan buah dari suatu pohon di dalam surga, tetapi bukan seluruh pohon surga, dan ternyata Adam dan istrinya memakan buah yang terlarang baginya itu. Kami tidak mengetahui jenis pohon apa yang terlarang bagi Adam itu secara tertentu, karena Allah tidak memberikan suatu dalil pun bagi hamba-hamba-Nya yang menunjukkan hal tersebut, baik di dalam Al-Qur'an maupun di dalam sunnah yang sahih. Ada pula yang mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum, pendapat yang lain mengatakan pohon anggur, dan pendapat yang lainnya lagi mengatakan pohon tin. Memang, mungkin saja salah satu di antaranya ada yang benar, tetapi hal ini merupakan suatu ilmu yang tidak membawa manfaat bagi orang yang mengetahuinya, dan jika tidak mengetahuinya tidak akan membawa mudarat.
Hal yang sama dikuatkan pula oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya dan kitab-kitab lainnya, yakni pendapat yang memisterikan nama pohon yang terlarang itu, dan inilah pendapat yang benar.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا}
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu. (Al-Baqarah: 36)
Dapat diinterpretasikan bahwa damir yang terdapat di dalam firman-Nya, "'Anha," kembali ke surga. Atas dasar i'rab ini berarti makna ayat ialah lalu keduanya dijauhkan oleh setan dari surga, demikianlah menurut bacaan Asim (yakni fa-azalahuma).
Dapat juga diartikan bahwa damir tersebut kembali kepada matkur yang paling dekat dengannya, yaitu asy-syajarah. Dengan demikian, berarti makna ayat seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan dan Qatadah ialah 'maka setan menggelincirkan keduanya disebabkan pohon tersebut'. Pengertiannya sama dengan makna firman-Nya:
يُؤْفَكُ عَنْهُ مَنْ أُفِكَ}
Dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan. (Adz-Dzariyat: 9)
Maksudnya, dipalingkan oleh sebab Rasul dan Al-Qur'an orang yang dipalingkan. Karena itu, dalam ayat selanjutnya Allah berfirman:
{فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ}
dan keduanya dikeluarkan dari keadaan semula. (Al-Baqarah: 36)
Yakni dari semua kenikmatan, seperti pakaian, tempat tinggal yang luas, rezeki yang berlimpah, dan kehidupan yang enak.
**********
{وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ}
dan Kami berfirman, "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang dilentukan. (Al-Baqarah: 36)
Yaitu tempat tinggal, rezeki, dan ajal. Yang dimaksud dengan ila hin ialah waktu yang terbatas dan yang telah ditentukan, kemudian terjadilah kiamat.
Ulama tafsir dari kalangan ulama Salaf —seperti As-Saddi dengan sanad-sanadnya, Abul Aliyah, Wahab ibnu Munabbih, dan lain-lainnya— dalam pembahasan ini telah mengetengahkan kisah-kisah israiliyat yang menceritakan tentang ular dan iblis. Dijelaskan di dalamnya bagaimana iblis dapat memasuki surga dan menggoda Adam. Hal ini insya Allah akan dijelaskan secara rinci dalam tafsir surat Al-A'raf; kisah yang akan disebutkan di dalam tafsir surat Al-A'raf jauh lebih panjang daripada yang ada dalam surat ini (Al-Baqarah).
Ibnu Abu Hatim sehubungan dengan hal ini mengatakan:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ إِشْكَابَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبة، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ رَجُلًا طُوَالا كَثِيرَ شَعْرِ الرَّأْسِ، كَأَنَّهُ نَخْلَةٌ سَحُوق، فَلَمَّا ذَاقَ الشَّجَرَةَ سَقَطَ عَنْهُ لِبَاسُهُ، فَأَوَّلُ مَا بَدَا مِنْهُ عَوْرَتُهُ، فَلَمَّا نَظَرَ إِلَى عَوْرَتِهِ جَعَلَ يَشْتَد فِي الْجَنَّةِ، فَأَخَذَتْ شَعْرَه شجرةٌ، فَنَازَعَهَا، فَنَادَاهُ الرَّحْمَنُ: يَا آدَمُ، مِنِّي تَفِرُّ! فَلَمَّا سَمِعَ كَلَامَ الرَّحْمَنِ قَالَ: يَا رَبِّ، لَا وَلَكِنِ اسْتِحْيَاءً"
telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan ibnu Isykab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk seorang lelaki yang berperawakan sangat tinggi lagi berambut lebat, seakan-akan sama dengan pohon kurma yang rindang. Ketika dia memakan buah (terlarang) itu, maka semua pakaiannya tertanggalkan darinya, dan yang mula-mula kelihatan dari bagian anggota tubuhnya adalah kemaluannya. Ketika Adam melihat aurat tubuhnya, maka ia berlari di dalam surga dan rambutnya menyangkut pada sebuah pohon hingga menjebolnya. Lalu Tuhan yang Maha Pemurah memanggilnya, "Hai Adam, apakah engkau lari dari-Ku?" Ketika Adam mendengar firman Allah Yang Maha Pemurah, lalu ia berkata, "Wahai Tuhanku, aku tidak lari, tetapi aku merasa malu."
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula:
حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَكَمِ الْقُومَشِيُّ سَنَةَ أَرْبَعٍ وَخَمْسِينَ وَمِائَتَيْنِ، حَدَّثَنَا سُلَيْمُ بْنُ مَنْصُورِ بْنِ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَمَّا ذَاقَ آدَمُ مِنَ الشَّجَرَةِ فَرَّ هَارِبًا؛ فَتَعَلَّقَتْ شَجَرَةٌ بِشَعْرِهِ، فَنُودِيَ: يَا آدَمُ، أفِرارًا مِنِّي؟ قَالَ: بَلْ حَيَاء مِنْكَ، قَالَ: يَا آدَمُ اخْرُجْ مِنْ جِوَارِي؛ فَبِعِزَّتِي لَا يُسَاكِنُنِي فِيهَا مَنْ عَصَانِي، وَلَوْ خَلَقْتُ مِثْلَك مِلْءَ الْأَرْضِ خَلْقًا ثُمَّ عَصَوْنِي لَأَسْكَنْتُهُمْ دَارَ الْعَاصِينَ"
telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Ahmad ibnul Hakam Al-Qurasyi pada tahun 254, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Mansur ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, dari Sa'id ibnu Sa'id, dari Qatadah, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Setelah Adam memakan buah terlarang itu, maka ia lari dan ada sebuah pohon yang terkait pada rambutnya, kemudian diseru, "Hai Adam, apakah Engkau lari dari-Ku?" Adam menjawab, "Tidak, melainkan karena malu kepada-Mu." Allah berfirman, "Hai Adam, keluarlah kamu dari sisi-Ku, demi keagungan-Ku, Aku tidak akan menempatkan di dalamnya (surga) orang yang durhaka kepada-Ku. Seandainya Aku menciptakan makhluk yang semisal denganmu sepenuh bumi, lalu mereka durhaka kepada-Ku, niscaya Aku akan menempatkan mereka di tempat tinggal orang-orang yang durhaka (neraka)."
Hadis ini berpredikat garib, di dalam sanadnya terdapat inqita', bahkan i'dal antara Qatadah dan Ubay ibnu Ka'b r.a.
Al-Hakim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Bakuwaih, dari Muhammad ibnu Ahmad ibnun Nadr, dari Mu'awiyah ibnu Amr, dari Zaidah, dari Ammar ibnu Abu Mu'awiyah Al-Bajali, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan, "Tidak sekali-kali Adam tinggal di dalam surga melainkan hanya antara salat Asar sampai dengan tenggelamnya matahari." Kemudian Al-Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi ternyata Syaikhain tidak mengetengahkannya.
Abdur Rahman ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab tafsir-nya, telah menceritakan kepada kami Rauh, dari Hisyam, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Adam tinggal di dalam surga hanya selama sesaat di siang hari. Satu saat tersebut sama lamanya dengan 130 tahun hari-hari dunia.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas yang mengatakan bahwa Adam keluar dari surga pada pukul sembilan atau pukul sepuluh; ketika keluar, Adam membawa serta sebuah tangkai pohon surga, sedangkan di atas kepalanya memakai mahkota dari dedaunan surga yang diuntai sedemikian rupa merupakan untaian daun-daunan surga.
As-Saddi mengatakan bahwa Allah berfirman: Turunlah kalian semua dari surga itu. (Al-Baqarah: 38) Maka turunlah mereka, sedangkan Adam turun di India dengan membawa Hajar Aswad dan segenggam dedaunan surga, lalu ia menaburkannya di India, maka tumbuhlah pepohonan yang wangi baunya. Sesungguhnya asal mula wewangian dari India itu adalah dari segenggam dedaunan surga yang ikut dibawa turun oleh Adam. Sesungguhnya Adam menggenggamnya hanya terdorong oleh rasa penyesalan-nya karena ia dikeluarkan dari surga.
Imran ibnu Uyaynah meriwayatkan dari Ata ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Adam diturunkan di Dahna, salah satu wilayah negeri India.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Ata, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Adam diturunkan di suatu daerah yang dikenal dengan nama Dahna, terletak di antara Mekah dan Taif.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Adam diturunkan di India, sedangkan Siti Hawa di Jeddah; dan iblis di Dustamisan yang terletak beberapa mil dari kota Basrah, sedangkan ular diturunkan di Asbahan. Demikianlah riwayat Abu Hatim.
Muhammad ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Qais, dari Az-Zubair ibnu Addi, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Adam diturunkan di Safa, dan Hawa diturunkan di Marwah.
Raja ibnu Salamah mengatakan bahwa Adam a.s. diturunkan, sedangkan kedua tangannya diletakkan pada kedua lututnya seraya menundukkan kepalanya. Iblis diturunkan, sedangkan jari jemari tangannya ia satukan dengan yang lainnya seraya mengangkat kepalanya ke langit.
Abdur Razzaq mengatakan bahwa Ma'mar pernah mengatakan, telah menceritakan kepadanya Auf, dari Qasamah ibnu Zuhair, dari Abu Musa, "Sesungguhnya ketika Allah menurunkan Adam dari surga ke bumi, terlebih dahulu Dia mengajarkan kepadanya membuat segala sesuatu dan membekalinya dengan buah-buahan surga. Maka buah-buahan kalian ini berasal dari buah-buahan surga, hanya bedanya buah-buahan yang ini berubah, sedangkan buah-buahan surga tidak berubah."
قَالَ الزُّهْرِيُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هُرْمُزَ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم: "خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا"
Az-Zuhri meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Hurmuz Al-A'raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik hari yang terbit matahari padanya adalah hari Jumat. Pada hari Jumat Adam diciptakan, pada hari Jumat pula ia dimasukkan ke dalam surga, dan pada hari Jumat pula ia dikeluarkan darinya. (Riwayat Imam Muslim dan Imam Nasai)
Ar-Razi mengatakan, menurut sepengetahuannya di dalam ayat ini terkandung makna peringatan dan ancaman yang besar terhadap semua perbuatan maksiat bila ditinjau dari berbagai segi. Antara lain ialah bahwa orang yang menggambarkan kejadian yang dialami oleh Nabi Adam hingga ia dikeluarkan dari surga hanya karena telah melakukan kekeliruan yang kecil, niscaya ia sangat malu terhadap perbuatan maksiat. Seorang penyair mengatakan:
يَا نَاظِرًا يَرْنُو بِعَيْنَيْ رَاقِدٍ وَمُشَاهِدًا لِلْأَمْرِ غَيْرَ مُشَاهِدِ ...
تَصِلُ الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ وَتَرْتَجِي ... دَرَجَ الْجِنَانِ وَنَيْلَ فَوْزِ الْعَابِدِ ...
أَنَسِيتَ رَبَّكَ حِينَ أَخْرَجَ آدَمًا ... مِنْهَا إِلَى الدُّنْيَا بِذَنْبٍ وَاحِدِ ...
Wahai orang bermata yang memandang dengan pandangan terpejam seperti orang tidur; dan wahai orang yang menyaksikan suatu perkara, padahal dia tidak menyaksikannya. Dosa-dosa dihubungkan dengan dosa-dosa lainnya, tetapi engkau mengharapkan untuk menaiki tangga surga dan meraih keberuntungan ahli ibadah. Apakah engkau telah lupa kepada Tuhanmu yang mengeluarkan Adam dari surga ke dunia karena hanya melakukan satu dosa?
Ibnul Qasim mengatakan:
ولكننا سبي العدو فهل ترى ... نعود إلى أوطاننا ونسلم
Tetapi kita adalah tawanan musuh, maka apakah kita dapat kembali ke tanah air kita dalam keadaan selamat, menurutmu?
Ar-Razi meriwayatkan dari Fathul Mausuli yang pernah mengatakan bahwa kita ini pada awalnya adalah kaum penghuni surga, kemudian kita ditawan oleh iblis ke dunia. Maka tiadalah yang kita alami selain kesusahan dan kesedihan sebelum kita dikembalikan ke rumah tempat kita dahulu dikeluarkan.
Apabila ada yang mengatakan, "Jika surga tempat Adam dikeluarkan berada di langit, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama, maka mengapa iblis dapat memasukinya, padahal dia telah diusir darinya untuk selama-lamanya, sedangkan pengertian untuk selama-lamanya itu apakah tidak bertentangan dengan kisah tersebut?" Sebagai jawabannya dapat dikatakan, "Memang pemikiran seperti inilah yang dijadikan dalil bagi orang yang mengatakan bahwa surga yang dahulunya ditempati oleh Adam berada di bumi bukan di langit, seperti yang kami jelaskan secara rinci dalam permulaan kitab kami Al-Bidayah Wan Nihayah.
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut jumhur ulama mengemukakan berbagai jawaban, antara lain: Iblis memang dilarang masuk surga bila memasukinya secara baik-baik. Jika dia memasukinya dengan mencuri-curi dan menyusup dengan cara yang hina, tiada yang mencegahnya. Karena itu, ada sebagian dari mereka yang mengatakan sebagaimana apa yang disebut di dalam kitab Taurat, bahwa iblis masuk ke dalam surga melalui mulut ular yang ia masuki terlebih dahulu (lalu ular itu masuk ke dalam surga).
Menurut sebagian ulama, dapat pula diinterpretasikan iblis menggoda keduanya (Adam dan Hawa) dari luar pintu surga. Sebagian yang lainnya mengatakan bahwa iblis menggoda keduanya dari bumi, sedangkan keduanya masih berada di dalam surga di langit. Demikian menurut Az-Zamakhsyari dan lain-lainnya.
Al-Qurtubi dalam pembahasan ini mengetengahkan banyak hadis tentang kisah ular dan membunuhnya serta penjelasan mengenai hukumnya, dan ternyata pembahasan yang dikemukakannya itu baik lagi berfaedah.

Al-Baqarah, ayat 37

{فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (37) }
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Menurut suatu pendapat, ayat ini merupakan tafsir dan penjelasan dari ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi." (Al-A'raf: 23)
Hal ini diriwayatkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, Qatadah, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Khalid ibnu Ma'dan, Ata Al-Khurrasani, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Abu Ishaq As-Subai'i meriwayatkan dari seorang lelaki Bani Tamim yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada Ibnu Abbas, lalu bertanya kepadanya, "Kalimat-kalimat apakah yang diberikan kepada Adam oleh Tuhannya?" Ia menjawab, "Ilmu mengenai ibadah haji."
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Rafi yang mengatakan bahwa ia telah menerima riwayat ini dari seorang yang pernah mendengar dari Ubaid ibnu Umair. Riwayat lain menyebutkan, telah menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ubaid ibnu Umar yang mengatakan bahwa Adam berkata, "Wahai Tuhanku, dosa yang telah kulakukan itu merupakan suatu hal yang telah Engkau pastikan terhadap diriku sebelum Engkau menciptakan diriku, atau sesuatu yang aku buat-buat dari diriku sendiri." Allah berfirman, "Tidak, bahkan itu adalah sesuatu yang Aku takdirkan atas dirimu sebelum kamu diciptakan." Adam berkata, "Maka sebagaimana Engkau telah memastikannya atas diriku, karenanya ampunilah diriku ini." Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa yang demikian itulah makna dari firman-Nya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. (Al-Baqarah: 37)
As-Saddi meriwayatkan dari orang yang menerimanya dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 37) Disebutkan bahwa Adam a.s. berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menciptakan diriku dengan tangan kekuasaan-Mu sendiri?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Dan Engkau telah meniupkan sebagian dari roh (ciptaan)-Mu kepadaku?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Dan ketika aku bersin, Engkau mengucapkan, 'Semoga Allah merahmatimu.' Dan rahmat-Mu selalu mendahului murka-Mu?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Dan Engkau telah memastikan terhadap diriku bahwa aku akan melakukan hal ini?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Bagaimanakah pendapat-Mu jika aku bertobat? Apakah Engkau akan mengembalikan diriku ke dalam surga?" Allah menjawab, "Ya."
Hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, Sa'id ibnu Jubair, dan Sa'id ibnu Ma'bad, dari Ibnu Abbas. Asar ini diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini berpredikat sahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Demikian penafsiran As-Saddi dan Atiyyah Al-Aufi.
Ibnu Abu Hatim dalam bab ini telah meriwayatkan sebuah hadis yang serupa dengan hadis ini. Untuk itu dia mengatakan bahwa:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِشْكَابَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبة، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ آدَمُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ: أَرَأَيْتَ يَا رَبِّ إِنْ تبتُ ورجعتُ، أَعَائِدِي إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَذَلِكَ قَوْلُهُ: {فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ}
telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnu Isykab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Adam a.s. berkata, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah jika aku bertobat dan kembali? Apakah Engkau akan mengembalikan diriku ke surga?" Allah menjawab, "Ya." Yang demikian itulah makna firman-Nya, "Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya."
Hadis ini berpredikat garib ditinjau dari sanad ini, di dalamnya terdapat inqita.'
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. (Al-Baqarah: 37) Disebutkan bahwa sesungguhnya setelah melakukan kesalahan, Adam berkata, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah jika aku bertobat dan memperbaiki diriku?" Allah berfirman, "Kalau begitu, Aku akan memasukkan kamu ke surga." Hal inilah yang dimaksudkan dengan pengertian 'beberapa kalimat'.
Termasuk ke dalam pengertian 'beberapa kalimat' ialah perkataan Adam yang disitir oleh firman-Nya:
{رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri; dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya paslilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (Al-A'raf: 23)
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid yang mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa yang dimaksud dengan 'beberapa kalimat' ialah seperti berikut:
اللَّهُمَّ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي إِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِينَ، اللَّهُمَّ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَارْحَمْنِي، إِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ. اللَّهُمَّ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرحيم
Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, Mahasuci Engkau dengan memuji kepada-Mu. Wahai Tuhanku,sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka berilah ampun bagi diriku, sesungguhnya Engkau sebaik-baik penerima tobat. Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, Mahasuci Engkau dengan memuji kepada-Mu. Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka rahmatilah diriku, sesungguhnya Engkau sebaik-baik pemberi rahmat. Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, Mahasuci Engkau dengan memuji kepada-Mu, wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka berilah ampunan kepadaku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
****************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 37)
Yakni sesungguhnya Dia menerima tobat orang yang bertobat dan kembali kepada-Nya. Makna ayat ini sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya:
{أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ}
Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya. (At-Taubah: 104)
{وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا}
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 11)
{وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا}
Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya. (Al-Furqan: 71)
Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allah Swt. mengampuni semua dosa dan menerima tobat orang yang bertobat. Demikianlah sebagian dari kelembutan Allah kepada makhluk-Nya dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya; tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.

Al-Baqarah, ayat 38-39

{قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (38) وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (39) }
Kami berfirman, "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Allah Swt menceritakan tentang peringatan yang ditujukan kepada Adam dan istrinya serta iblis ketika mereka diturunkan dari surga. Yang dimaksud ialah anak cucunya, bahwa Allah kelak akan menurunkan kitab-kitab dan mengutus nabi-nabi serta rasul-rasul (di kalangan mereka yang akan memberi peringatan kepada kaumnya masing-masing). Demikianlah menurut penafsiran Abul Aliyah; dia mengatakan bahwa petunjuk tersebut dimaksudkan adalah para nabi dan para rasul, serta penjelasan-penjelasan dan keterangan-Nya (melalui ayat-ayat-Nya).
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud dengan petunjuk dalam ayat ini ialah Nabi Muhammad Saw.; sedangkan menurut Al-Hasan, petunjuk artinya Al-Qur'an. Kedua pendapat ini sahih, sedangkan pengertian pendapat Abul Aliyah lebih umum.
Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku —yakni orang yang mau menerima apa yang diturunkan oleh Allah melalui kitab-kitab-Nya dan apa yang disampaikan oleh rasul-rasul-Nya— niscaya tidak ada kekhawatiran atas diri mereka dalam menghadapi nasib di hari akhirat nanti.
Tidak pula mereka bersedih hati terhadap perkara-perkara duniawi yang terlewatkan oleh mereka. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى}
Allah berfirman.”Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)
Menurut Ibnu Abbas r.a., makna yang dimaksud ialah dia tidak sesat di dunia dan tidak celaka di akhirat. Allah Swt. telah berfirman:
{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (Thaha: 124)
Perihalnya sama dengan yang dikatakan dalam ayat yang sedang kita bahas sekarang, yaitu:
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 39)
Artinya, mereka kekal di dalamnya, tiada jalan keluar bagi mereka dari neraka karena mereka menjadi penghuni yang abadi.
Ibnu Jarir dalam bab ini mengetengahkan sebuah hadis yang ia kemukakan dari dua jalur periwayatan, dari Abu Salamah dan Sa'id ibnu Yazid, dari Abu Nadrah Al-Munzir ibnu Malik ibnu Qit'ah, dari Abu Sa'id (nama aslinya Sa'd ibnu Malik ibnu Sinan Al-Khudri) yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَمَّا أَهْلُ النَّارِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهَا فَإِنَّهُمْ لَا يَمُوتُونَ فِيهَا وَلَا يَحْيَوْنَ، لَكِنَّ أَقْوَامًا أَصَابَتْهُمُ النَّارُ بِخَطَايَاهُمْ، أَوْ بِذُنُوبِهِمْ فَأَمَاتَتْهُمْ إِمَاتَةً، حَتَّى إِذَا صَارُوا فَحْمًا أذنَ فِي الشَّفَاعَةِ"
Adapun ahli neraka yang menjadi penghuni tetapnya, maka mereka tidak pernah mati di dalamnya, tidak pula hidup (karena mereka selamanya di azab terus-menerus). Tetapi ada beberapa kaum yang dimasukkan ke dalam neraka karena dosa-dosa mereka, maka mereka benar-benar mengalami kematian; dan apabila mereka sudah menjadi arang, maka baru diizinkan beroleh syafaat.
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini melalui hadis Syu'bah, dari Abu Salamah dengan lafaz yang sama.
Penyebutan ayat yang menerangkan penurunan untuk yang kedua kalinya ini karena berkaitan dengan makna yang berbeda dengan pengertian yang ada pada ayat pertama. Sebagian ulama menduga bahwa ayat yang kedua ini merupakan taukid dan pengulangan yang mengukuhkan makna ayat pertama, perihalnya sama dengan ucapan, "Berdirilah, berdirilah!"
Ulama lainnya mengatakan bahwa penurunan yang pertama ini mengisahkan penurunan dari surga ke langit dunia, sedangkan penurunan yang kedua adalah dari langit dunia ke bumi. Akan tetapi pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi.

Al-Baqarah, ayat 40-41

{يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ (40) وَآمِنُوا بِمَا أَنزلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ (41) }
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian; dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut (tunduk). Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan ape yang ada pada kalian (Taurat) dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa.
Allah berfirman seraya memerintahkan kepada kaum Bani Israil untuk masuk Islam dan mengikuti Nabi Muhammad Saw. dan menggerakkan perasaan mereka dengan menyebutkan kakek moyang Israil, yaitu Nabi Allah Ya'qub a.s.
Seakan-akan ayat ini mengatakan, "Hai anak-anak hamba yang saleh lagi taat kepada Allah, jadilah kalian seperti kakek moyang kalian dalam mengikuti perkara yang hak." Perihalnya sama dengan perkataan, "Hai anak orang yang dermawan, berdermalah!" Atau, "Hai anak yang pemberani, majulah menentang para penyerang!" Atau, "Hai anak orang yang alim, tuntutlah ilmu!" Dan lain sebagainya. Ayat lain yang semakna dengan ayat ini ialah firman-Nya:
{ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا}
(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (Al-Isra: 3)
Israil adalah Nabi Ya'qub sendiri, sebagai dalilnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنِ بَهْرَامٍ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوشب، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ قَالَ: حَضَرَتْ عِصَابَةٌ مِنَ الْيَهُودِ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمْ: "هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ إِسْرَائِيلَ يَعْقُوبُ؟ ". قَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُمَّ اشْهَدْ "
telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Bahram, dari Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Abdullah ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Segolongan orang-orang Yahudi datang menghadap kepada Nabi Saw., lalu Nabi Saw. berkata kepada mereka, "Tahukah kalian bahwa Israil adalah Ya'qub?" Mereka menjawab, "Ya Allah, memang benar." Nabi Saw. berkata, "Ya Allah, saksikanlah."
Al-A'masy meriwayatkan dari Ismail ibnu Raja', dari Umar maula Ibnu Abbas, dari Abdullah ibnu Abbas, disebutkan bahwa Israil itu artinya sama dengan perkataanmu Abdullah (hamba Allah).
*************
Firman Allah Swt.:
{اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ}
Ingatlah kalian akan nikmat-Ku yang telah Aku turunkan kepada kalian. (Al-Baqarah: 40)
Mujahid mengatakan bahwa nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka (kaum Bani Israil) selain dari apa yang telah disebutkan ialah dipecahkan batu besar buat mereka hingga mengeluarkan air untuk minum mereka, diturunkan kepada mereka manna dan salwa, dan mereka diselamatkan dari perbuatan Fir'aun dan bala tentaranya.
Abul Aliyah mengatakan bahwa nikmat Allah tersebut ialah Dia menjadikan dari kalangan mereka banyak nabi dan rasul, dan diturunkan kepada mereka kitab-kitab samawi.
Menurut pendapat kami, pendapat terakhir ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Musa a.s. yang disitir oleh firman-Nya:
{يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}
Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20)
Yakni di zamannya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian. (Al-Baqarah: 40) Yaitu cobaan-Ku yang ada pada kalian, juga yang telah Aku turunkan kepada nenek moyang kalian ketika mereka diselamatkan dari kejaran Fir'aun dan kaumnya.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ}
Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian. (Al-Baqarah: 40)
Maksudnya, janji-Ku yang telah Aku bebankan di atas pundak kalian terhadap Nabi Saw.; bila dia datang kepada kalian, niscaya Aku akan menunaikan apa yang telah Aku janjikan kepada kalian. Janji tersebut ialah kalian bersedia mempercayai Nabi Saw. dan mengikutinya. Maka sebagai imbalannya Aku akan menghapuskan semua beban dan belenggu-belenggu yang berada di pundak kalian karena dosa-dosa kalian yang ada sejak kakek moyang kalian.
Menurut Al-Hasan Al-Basri, janji tersebut adalah yang disebutkan di dalam firman-Nya: {وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لأكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلأدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku beserta kalian, sesungguhnya jika kalian mendirikan salat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kalian bantu mereka dan kalian pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosa kalian. Dan sesungguhnya kalian akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. (Al-Maidah: 12)
Sedangkan ulama lainnya mengatakan, janji tersebut adalah yang diambil oleh Allah atas diri mereka di dalam kitab Taurat, bahwa Allah kelak akan mengutus seorang nabi yang besar dan ditaati oleh semua bangsa dari kalangan Bani Ismail; nabi yang dimaksud adalah Nabi Muhammad Saw. Barang siapa yang mengikutinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan memasukkannya ke dalam surga serta memberikan kepadanya dua pahala.
Ar-Razi mengetengahkan banyak berita gembira yang disampaikan oleh nabi-nabi terdahulu mengenai kedatangan Nabi Muhammad
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Penuhilah janji kalian kepada-Ku" (Al-Baqarah: 40) yaitu janji Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah agama Islam dan mereka diharuskan mengikutinya.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian" (Al-Baqarah: 40), artinya "niscaya Aku rida kepada kalian dan akan memasukkan kalian ke dalam surga".
Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi, Ad-Dahhak, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
************
Firman Allah Swt.:
{وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ}
Dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut (tunduk). (Al-Baqarah: 40)
Yakni takutlah kalian kepada-Ku, demikian pendapat Abul Aliyah, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut" (Al-Baqarah: 40), yakni takutlah kalian bila Aku nanti menurunkan kepada kalian apa yang pernah Aku turunkan kepada kakek moyang kalian di masa silam, yaitu berupa berbagai macam siksaan dan azab yang telah kalian ketahui sendiri, antara lain ialah kutukan dan azab Lainnya.
Apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat ini mengandung pengertian perpindahan dari targib (anjuran) kepada tarhib (peringatan). Allah menyeru mereka dengan ungkapan anjuran dan peringatan, barangkali mereka mau kembali ke jalan yang hak dan mengikuti Rasul Saw. serta mengambil nasihat dari Al-Qur'an dan larangan-larangannya, serta mengerjakan perintah-perintahnya dan percaya kepada berita-berita yang disampaikannya. Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.
Karena itu, maka Allah Swt. berfirman pada ayat selanjutnya, yaitu melalui firman-Nya:
{وَآمِنُوا بِمَا أَنزلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ}
Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat). (Al-Baqarah: 41)
Yang dimaksud adalah Al-Qur'an, yakni kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang ummi dari kalangan bangsa Arab. Di dalamnya terkandung berita gembira dan peringatan serta pelita yang memberi penerangan dan mengandung perkara yang hak dari Allah Swt.; serta membenarkan apa yang ada sebelumnya, yaitu kitab Taurat dan Injil.
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat). (Al-Baqarah: 41) Allah Swt. mengatakan, "Hai golongan ahli kitab, berimanlah kalian kepada Al-Qur'an yang telah Aku turunkan; di dalamnya terkandung keterangan yang membenarkan apa yang ada pada kalian." Dikatakan demikian karena mereka menjumpai nama Nabi Muhammad Saw. tercantum di dalam kitab-kitab mereka, yaitu kitab Taurat dan Injil.
Telah diriwayatkan dari Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah hal yang semisal.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ}
Dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. (Al-Baqarah: 41)
Menurut sebagian ulama ahli i'rab (Nahwu) mengatakan bahwa bentuk lengkap ayat ialah awwala fariqin kafirin bihi (golongan pertama yang kafir kepadanya), atau kalimat yang semakna.
Menurut Ibnu Abbas r.a., janganlah kalian merupakan orang pertama yang kafir kepadanya, mengingat pada kalian terdapat pengeta-uan mengenainya yang tidak dimiliki oleh selain kalian.
Abul Aliyah mengatakan, janganlah kalian menjadi orang pertama yang kafir kepada Muhammad Saw., yakni dia sejenis dengan kalian karena dia mempunyai Al-Kitab (Al-Qur'an); maka janganlah kalian kafir kepadanya sesudah kalian mendengar kerasulannya. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa damir bihi merujuk kepada Al-Qur'an yang telah disebut dalam kalimat sebelumnya, yaitu bima anzaltu (apa yang telah Aku turunkan). Tetapi kedua pendapat tersebut (yang mengatakan bahwa damir kembali kepada Muhammad Saw. dan Al-Qur'an) kedua-duanya benar, mengingat satu sama lain saling menguatkan. Dengan kata lain, orang yang kafir kepada Al-Qur'an berarti sama saja kafir kepada Nabi Muhammad Saw. Orang yang kafir kepada Nabi Muhammad Saw. berarti sama saja dengan kafir kepada Al-Qur'an.
Adapun mengenai firman-Nya, "Awwala kafirin bihi," artinya orang pertama yang kafir kepadanya dari kalangan Bani Israil, mengingat banyak orang yang kafir kepadanya lebih dahulu daripada mereka, yaitu dari kalangan orang-orang kafir Quraisy dan lain-lainnya dari kalangan orang-orang Arab.
Sesungguhnya makna yang dimaksud dari kalimat 'hanya kaum Bani Israil sebagai orang pertama kafir kepadanya', mengingat orang-orang Yahudi Madinah merupakan orang pertama dari kalangan Bani Israil yang diajak berbicara oleh Al-Qur'an. Kekafiran mereka berarti menyimpulkan bahwa mereka adalah orang pertama kafir kepadanya dari kalangan ahli kitab.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا}
Dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (Al-Baqarah: 41)
Maksudnya, janganlah kalian menukar iman kepada ayat-ayat-Ku dan percaya kepada Rasul-Ku (Nabi Muhammad Saw.) dengan harta keduniawian dan kelezatannya, karena sesungguhnya harta duniawi itu dinilai sedikit tak ada artinya lagi fana (bila dibandingkan dengan pahala di akhirat yang kekal dan abadi).
Pengertian ini diungkapkan oleh Abdullah ibnul Mubarak melalui riwayatnya yang menyebutkan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Jabir, dari Harun ibnu Yazid yang telah menceritakan bahwa Al-Hasan (yakni Al-Basri) pernah ditanya mengenai makna firman-Nya, "Samanan qalila” (harga yang sedikit atau rendah), bahwa yang dimaksud adalah dunia berikut segala isinya.
Ibnu Luhai'ah mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair, sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (Al-Baqarah: 41) Sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat-ayat Allah ialah Kitab-Nya yang diturunkan-Nya kepada mereka, sedangkan yang dimaksud dengan harga yang sedikit ialah duniawi dan kesenangannya.
Menurut As-Saddi, makna 'janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit' ialah janganlah kalian mengambil keinginan yang sedikit dan janganlah kalian menyembunyikan asma Allah; ketamakan tersebut adalah harganya.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (Al-Baqarah: 41) Yakni janganlah kalian menerima upah atasnya. Abul Aliyah mengatakan, bahwa hal ini telah tertera dalam kitab terdahulu yang ada pada mereka, yaitu: "Hai anak Adam, ajarkanlah ilmu dengan cuma-cuma sebagaimana kamu mempelajarinya secara cuma-cuma."
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah janganlah kalian menukar penjelasan, keterangan, dan menyiarkan ilmu yang bermanfaat di kalangan manusia dengan cara menyembunyikannya dan memutarbalikkan kenyataan, dengan tujuan agar kalian tetap lestari dalam menguasai keduniawian yang sedikit lagi rendah dan pasti lenyap dalam waktu yang dekat itu.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan sebuah hadis dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَرُحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"
Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang seharusnya diniatkan untuk memperoleh rida Allah, lalu ia mempelajarinya hanya untuk memperoleh sejumlah harta duniawi, niscaya ia tidak dapat mencium bau surga kelak di hari kiamat.
Mengajarkan ilmu dengan imbalan upah, jika orang yang bersangkutan telah beroleh gaji, tidak boleh baginya mengambil upah sebagai imbalannya. Diperbolehkan baginya mengambil gaji dari baitul mal dalam jumlah yang cukup untuk keperluan dirinya dan orang-orang yang berada di dalam tanggungannya.
Tetapi jika dia tidak memperoleh suatu gaji pun dari baitul mal, sedangkan tugas mengajarnya telah menyita banyak waktu hingga ia tidak dapat mencari nafkah, maka kedudukannya sama dengan orang yang tidak menerima gaji (yakni boleh mengambil upah). Apabila dia tidak menerima gaji, maka ia diperbolehkan mengambil upah mengajar, menurut pendapat Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan jumhur ulama. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam hadis sahih Bukhari, dari Abu Sa'id, mengenai kisah orang yang disengat binatang berbisa, yaitu sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ"
Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil atas sesuatu jasa ialah Kitabullah.
Demikian pula sabda Nabi Saw. dalam kisah wanita yang dilamar (dinikahi), yaitu:
زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ"
Aku nikahkan kamu dengan dia dengan imbalan mengajarkan Al-Qur'an yang kamu kuasai (hafalannya).
Hadis Ubadah ibnus Samit yang menceritakan bahwa Ubadah ibnus Samit pernah mengajarkan sesuatu dari Al-Qur'an kepada seorang lelaki dari kalangan ahli suffah, lalu lelaki tersebut menghadiahkan sebuah busur kepadanya. Kemudian Ubadah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai hal itu, maka beliau bersabda:
إِنْ أَحْبَبْتَ أَنْ تُطَوَّقَ بِقَوْسٍ مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهُ" فَتَرَكَهُ
Jikalau kamu kelak suka dibelit oleh busur api neraka, maka terimalah. Lalu Ubadah menolak hadiah itu. (Hadis riwayat Abu Daud)
Hadis semisal diriwayatkan pula melalui Ubay ibnu Ka'b secara marfu. Seandainya hadis ini sahih, maka pengertian yang dimaksud menurut kebanyakan ulama —antara lain ialah Abu Umar ibnu Abdul Bar— bahwa Abu Ubadah mengajar demi mengharapkan pahala Allah, maka tidak boleh baginya menukar pahala Allah dengan busur tersebut Jika seseorang sejak pertama mengajar biasa menerima upah, maka ia diperbolehkan menerima upah, seperti yang telah dinyatakan di dalam hadis orang yang disengat binatang berbisa dan hadis Sahl mengenai wanita yang dilamar tadi.
*******
Firman Allah Swt:
{وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ}
Dan hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa. (Al-Baqarah: 41)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Amr Ad-Dauri, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail (seorang pendidik), dari Asim Al-Ahwal, dari Abul Aliyah, dari Talq ibnu Habib yang mengatakan bahwa pengertian takwa itu ialah hendaknya kami mengamalkan ketaatan kepada Allah karena mengharapkan rahmat Allah atas dasar nur (petunjuk) dari Allah. Hendaknya kamu meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah atas dasar nur dari Allah karena takut terhadap siksa Allah.
Makna firman-Nya, "Dan hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa" (Al-Baqarah: 41) ialah bahwa Allah mengancam mereka terhadap perbuatan yang sengaja mereka lakukan, yaitu menyembunyikan perkara yang hak dan menampakkan hal yang bertentangan dan menentang Rasul Saw.

Al-Baqarah, ayat 42-43

{وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (42) وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (43) }
Dan janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kalian sembunyikan yang hak itu, sedangkan kalian mengetahui. Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.
Allah Swt berfirman melarang orang-orang Yahudi melakukan hal yang biasa mereka kerjakan di masa lalu, misalnya mencampuradukkan antara perkara yang hak dengan perkara yang batil, memulas perkara yang batil dengan perkara yang hak, menyembunyikan perkara yang hak dan menampakkan perkara yang batil. Allah Swt. berfirman:
{وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kalian menyembunyikan yang hak itu, sedangkan kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 42)
Allah Swt. melarang mereka dari kedua perkara tersebut secara bersamaan, dan memerintahkan mereka agar menampakkan perkara yang hak dan menjelaskannya. Karena itu, Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil" (Al-Baqarah: 42), yakni janganlah kalian memalsukan yang hak dengan yang batil, yang benar dengan kedustaan.
Abul Aliyah mengatakan. makna firman-Nya.”Janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil" (Al-Baqarah: 42) artinya janganlah kalian mencampuri yang hak dengan yang batil, dan tunaikanlah nasihat kepada hamba-hamba Allah dari kalangan umat Muhammad Saw.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Qatadah mengatakan bahwa firman-Nya, "Janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil" (Al-Baqarah: 42), yakni janganlah kalian campur adukkan Yahudi dan Nasrani dengan Islam, sedangkan kalian mengetahui bahwa agama Allah itu adalah agama Islam; agama Yahudi dan agama Nasrani itu adalah bid'ah, bukan dari Allah. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kalian sembunyikan perkara yang hak, sedangkan kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 42) Artinya, janganlah kalian menyembunyikan apa yang ada pada kalian mengenai pengetahuan tentang Rasul-Ku dan apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), sedangkan kalian menemukan hal tersebut termaktub pada sisi kalian melalui apa yang kalian ketahui dari kitab-kitab yang ada di tangan kalian. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abul Aliyah.
Mujahid, As-Saddi, Qatadah, dan Ar-Rabi' Ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan janganlah kalian sembunyikan perkara yang hak" (Al-Baqarah: 42), yakni Nabi Muhammad Saw.
Menurut pendapat kami, lafaz taktumu dapat dianggap majzum, dapat pula dianggap mansub. Dengan kata lain, artinya menjadi "janganlah kalian menyatukan antara ini dan itu (hak dan batil)." Perihalnya sama dengan perkataan, "La ta-kulis samaka watasyrabal labana (janganlah kamu makan ikan serta minum susu)."
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa di dalam mushaf Ibnu Mas'ud disebutkan wataktumunal haqqa artinya 'sedangkan kalian ketika menyembunyikan perkara yang hak itu', wa antum ta'lamuna, yakni 'dalam keadaan mengetahui perkara hak tersebut'.
Boleh pula diartikan 'sedangkan kalian mengetahui akibat perbuatan tersebut, yaitu berakibat mudarat yang besar atas umat manusia'. Mudarat yang besar tersebut ialah mereka sesat dari jalan hidayah yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka jika mereka menempuh jalan kebatilan yang kalian tampakkan kepada mereka, tetapi kalian pulas dengan semacam perkara yang hak agar dapat diterima oleh mereka. dan juga kalian warnai dengan penjelasan dan keterangan. Begitu pula kebalikannya, yaitu menyembunyikan yang hak dan mencampuradukkannya dengan yang batil.
************
Firman Allah Swt.:
{وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}
Dan dirikanlah salat, tunaikan zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (Al-Baqarah: 43)
Muqatil mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang ditujukan kepada orang-orang ahli kitab, "Dan dirikanlah salat," merupakan perintah Allah kepada mereka agar mereka salat bersama Nabi Saw. Firman-Nya, "Dan tunaikanlah zakat," merupakan perintah Allah kepada mereka agar mereka menunaikan zakat, yakni menyerahkannya kepada Nabi Saw. Firman Allah Swt., "Dan rukuklah kalian bersama orang-orang yang rukuk," merupakan perintah Allah kepada mereka agar melakukan rukuk (salat) bersama orang-orang yang rukuk (salat) dari kalangan umat Muhammad Saw. Singkatnya, jadilah kalian bersama-sama mereka dan termasuk golongan mereka.
Ali ibnu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan zakat ialah taat dan ikhlas kepada Allah Swt.
Waki' meriwayatkan dari Abu Janab, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan tunaikanlah zakat," yakni harta yang wajib dizakati, menurut Ibnu Abbas adalah dua ratus hingga lebih.
Mubarak ibnu Fudalah meriwayatkan dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan tunaikanlah zakat," bahwa makna yang dimaksud ialah zakat merupakan fardu yang tiada gunanya amal perbuatan tanpa zakat dan salat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syai-bah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abu Hayyan At-Taimi, dari Al-Haris Al-Akli sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan tunaikanlah zakat," bahwa yang dimaksud ialah zakat fitrah.
******
Firman Allah Swt.:
{وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}
Dan rukuklah kalian bersama orang-orang yang rukuk. (Al-Baqarah: 43)
Maksudnya, jadilah kalian bersama orang-orang mukmin dalam amal perbuatan mereka yang paling baik, salah satunya dan paling khusus serta paling sempurna ialah salat.
Banyak kalangan ulama menyimpulkan dalil ayat ini akan wajibnya salat berjamaah. Masalah ini —insya Allah— akan kami terangkan dengan panjang lebar dalam kitab kami Al-Ahkamul Kabir. Al-Qurtubi mengetengahkan berbagai masalah mengenai salat berjamaah dan imamah, ternyata pembahasannya itu cukup baik.

Al-Baqarah, ayat 44

{أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ (44) }
Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?
Allah Swt. berfirman, "Apakah layak bagi kalian, hai orang-orang ahli kitab, bila kalian memerintahkan manusia berbuat kebajikan yang merupakan inti dari segala kebaikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri dan kalian tidak melakukan apa yang kalian perintahkan kepada orang-orang untuk mengerjakannya, padahal selain itu kalian membaca kitab kalian dan mengetahui di dalamnya akibat apa yang akan menimpa orang-orang yang melalaikan perintah Allah? Tidakkah kalian berakal memikirkan apa yang kalian lakukan terhadap diri kalian sendiri, lalu kalian bangun dari kelelapan kalian dan melihat setelah kalian buta?"
Pengertian tersebut diungkapkan oleh Abdur Razzaq dari Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri. (Al-Baqarah: 44) Pada mulanya kaum Bani Israil memerintahkan orang lain taat kepada Allah, takwa kepadanya, dan mengerjakan kebajikan; kemudian mereka bersikap berbeda dengan apa yang mereka katakan itu, maka Allah mengecam sikap mereka. Makna yang sama diketengahkan pula oleh As-Saddi.
Ibnu Jurairj mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan," bahwa orang-orang ahli kitab dan orang-orang munafik selalu memerintahkan orang lain untuk melakukan puasa dan salat, tetapi mereka sendiri tidak melakukan apa yang mereka perintahkan kepada orang-orang untuk melakukannya. Maka Allah mengecam perbuatan mereka itu, karena orang yang memerintahkan kepada suatu kebaikan, seharusnya dia adalah orang yang paling getol dalam mengerjakan kebaikan itu dan berada paling depan daripada yang lainnya.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri," yakni meninggalkan diri kalian sendiri dalam kebajikan itu. Firman Allah Swt.: Padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir? (Al-Baqarah: 44) Yakni kalian melarang manusia berbuat kekufuran atas dasar apa yang ada pada kalian, yaitu kenabian dan perjanjian dari kitab Taurat, sedangkan kalian meninggalkan diri kalian sendiri. Dengan kata lain, sedangkan kalian sendiri kafir terhadap apa yang terkandung di dalam kitab Taurat yang di dalamnya terdapat perjanjian-Ku yang harus kalian penuhi, yaitu percaya kepada Rasul-Ku. Ternyata kalian merusak perjanjian-Ku yang telah kalian sanggupi dan kalian mengingkari apa yang kalian ketahui dari Kitab-Ku.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu 'apakah kalian memerintahkan orang lain untuk masuk ke dalam agama Nabi Muhammad Saw. dan lain-lainnya yang diperintahkan kepada kalian untuk melakukannya —seperti mendirikan salat— sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri?'.
Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Jarir, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Aslam Al-Harami, telah menceritakan kepada kami Makhlad ibnul Husain, dari Ayyub As-Sukhtiyani, dari Abu Qilabah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? (Al-Baqarah: 44); Abu Darda pernah mengatakan, seseorang masih belum dapat dikatakan sebagai ahli fiqih yang sempurna sebelum dia membenci orang yang menentang Allah, kemudian ia merujuk kepada dirinya sendiri, maka sikapnya terhadap dirinya sendiri jauh lebih keras (ketimbang terhadap orang lain).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa orang-orang Yahudi itu apabila datang kepada mereka seseorang menanyakan sesuatu yang tidak mengandung perkara hak, tidak pula risywah (suap), mereka memerintahkan dia untuk mengerjakan hal yang hak. Maka Allah berfirman: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir? (Al-Baqarah: 44) Makna yang dimaksud ialah Allah Swt. mencela mereka atas perbuatan itu dan memperingatkan mereka akan kesalahannya yang menyangkut hak diri mereka sendiri; karena mereka memerintahkan kepada kebaikan, sedangkan mereka sendiri tidak mengerjakannya. Bukanlah pengertian yang dimaksud sebagai celaan terhadap mereka karena mereka memerintahkan kepada kebajikan, sedangkan mereka sendiri tidak melakukannya, melainkan karena mereka meninggalkan kebajikan itu sendiri. Mengingat amar wa'ruf/hukumnya wajib atas setiap orang alim, tetapi yang lebih diwajibkan bagi orang alim ialah melakukannya di samping memerintahkan orang lain untuk mengerjakannya, dan ia tidak boleh ketinggalan.
Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh Nabi Syu'aib a.s. yang disitir oleh firman-Nya:
 {وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ}
Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kalian darinya, aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku berlawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (Hud: 88)
Melakukan amar ma'ruf dan melakukan perbuatan makruf hukumnya wajib, masing-masing dari keduanya tidak gugur karena tidak melakukan yang lain. Demikianlah pendapat yang paling sahih dari kedua golongan ulama, yaitu ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang berbuat maksiat tidak boleh melarang orang lain untuk melakukannya. Pendapat ini lemah, dan lebih lemah lagi mereka memegang ayat ini sebagai dalil mereka, karena sesungguhnya tidak ada hujah bagi mereka dalam ayat ini.
Tetapi pendapat yang sahih mengatakan bahwa orang yang alim harus memerintahkan amar ma'ruf, sekalipun dia sendiri tidak mengerjakannya; harus melarang perbuatan yang mungkar, sekalipun dia sendiri mengerjakannya.
Malik ibnu Rabi'ah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair berkata, "Seandainya seseorang tidak melakukan amar ma'ruf, tidak pula nahi munkar karena diharuskan baginya bersih dari hal tersebut, niscaya tiada seorang pun yang melakukan amar ma'ruf, tidak pula nahi munkar." Malik berkata, "Dan memang benar, siapakah orangnya yang bersih dari kesalahan?"
Menurut kami, dalam keadaan demikian (orang yang bersangkutan adalah seorang yang alim) ia tercela, sebab meninggalkan amal ketaatan dan mengerjakan maksiat, karena dia adalah seorang yang alim dan pelanggaran yang dilakukannya atas dasar pengetahuan, mengingat tidaklah sama antara orang yang alim dengan orang yang tidak alim. Untuk itu, banyak hadis yang mengancam orang yang melakukan hal tersebut. Imam Abul Qasim At-Tabrani di dalam kitab Mu'jamul Kabir telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Ma’la Ad-Dimasyqi dan Al-Hasan ibnu Ali Al-Umri; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sulaiman Al-Kalbi, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Tamimah Al-Hujaimi, dari Jundub ibnu Abdullah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَثَلُ الْعَالِمِ الَّذِي يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَلَا يَعْمَلُ بِهِ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ وَيَحْرِقُ نَفْسَهُ"
Perumpamaan orang alim yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain, sedangkan dia sendiri tidak mengamalkannya, sama dengan pelita; ia memberikan penerangan kepada orang lain, sedangkan dirinya sendiri terbakar.
Hadis ini bila ditinjau dari sanad ini berpredikat garib.
Hadis kedua diketengahkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya:
حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ هُوَ ابْنُ جُدْعَانَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ شِفَاهُهُمْ تُقْرَض بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ. قَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ " قَالُوا: خُطَبَاءُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا مِمَّنْ كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ، وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ؟
telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid (yaitu ibnu Jad'an), dari Anas ibnu Malik r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Di malam aku diisrakan, aku bersua dengan suatu kaum yang bibir mereka digunting dengan gunting-gunting api, lalu aku bertanya, "Siapakah mereka itu?" Mereka (para malaikat) menjawab, "Mereka adalah tukang ceramah umatmu di dunia, dari kalangan orang-orang yang memerintahkan orang lain untuk mengerjakan ketaatan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri, padahal mereka membaca Al-Qur'an. Maka tidakkah mereka berpikir?"
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya, juga di dalam kitab tafsirnya yang bersumber dari Al-Hasan ibnu Musa, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Yunus Ibnu Muhammad Al-Muaddib dan Al-Hajjaj ibnu Minhal, keduanya menerima hadis ini dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Yazid ibnu Harun, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التُّسْتَرِيُّ بِبَلْخٍ، حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ قَيْسٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ثُمَامَةَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى أُنَاسٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ وَأَلْسِنَتُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ. قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ " قَالَ: هَؤُلَاءِ خُطَبَاءُ أُمَّتِكَ، الَّذِينَ يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ.
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim At-Tusturi di Balakh, telah menceritakan kepada kami Makki ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Qais, dari Ali ibnu Yazid, dari Sumamah, dari Anas yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Di malam aku diisrakan aku bersua dengan orang-orang yang bibir dan lidah mereka digunting dengan gunting-gunting dari api, lalu aku bertanya, "Siapakah mereka itu, hai Jibril?" Jibril menjawab, "Mereka adalah tukang ceramah umatmu yang memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan ketaatan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri."
Hadis ini diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya dan Ibnu Abu Hatim serta Ibnu Murdawaih melalui hadis Hisyam Ad-Dustuwai, dari Al-Mugirah yakni Ibnu Habib menantu Malik ibnu Dinar, dari Malik ibnu Dinar, dari Sumamah, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan:
لَمَّا عُرِجَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ تُقْرض شِفَاهُهُمْ ، فَقَالَ: "يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ " قَالَ: هَؤُلَاءِ الْخُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ؛ أَفَلَا يَعْقِلُونَ؟
Ketika Rasulullah Saw. dibawa mikraj, beliau bersua dengan suatu kaum yang bibir mereka diguntingi, lalu beliau bertanya, "Hai Jibril, siapakah mereka itu?" Jibril menjawab, "Mereka adalah tukang khotbah dari kalangan umatmu, mereka memerintahkan orang lain untuk mengerjakan kebajikan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri. Maka tidakkah mereka berpikir?"
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad, disebut bahwa:
حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، قَالَ: قِيلَ لِأُسَامَةَ -وَأَنَا رَدِيفُهُ-: أَلَا تُكَلِّمُ عُثْمَانَ؟ فَقَالَ: إِنَّكُمْ تُرَون أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ. إِنِّي لَا أُكَلِّمُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ مَا دُونُ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا -لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنِ افْتَتَحَهُ، وَاللَّهِ لَا أَقُولُ لِرَجُلٍ إِنَّكَ خَيْرُ النَّاسِ. وَإِنْ كَانَ عَلَيَّ أَمِيرًا -بَعْدَ أَنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ، قَالُوا: وَمَا سَمِعْتَهُ يَقُولُ؟ قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: "يُجَاء بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ بِهِ أَقْتَابُهُ ، فَيَدُورُ بِهَا فِي النَّارِ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيُطِيفُ بِهِ أهلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ مَا أَصَابَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ"
telah menceritakan kepada kami Ya’la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Wail yang telah menceritakan bahwa pernah dikatakan kepada Usamah yang saat itu aku membonceng padanya, "Mengapa engkau tidak berbicara kepada Usman?" Usamah menjawab, "Sesungguhnya kalian berpandangan bahwa tidak sekali-kali aku berbicara kepadanya melainkan aku akan memperdengarkannya kepada kalian. Sesungguhnya aku akan berbicara dengannya mengenai urusan antara aku dan dia tanpa menyinggung suatu perkara yang paling aku sukai bila diriku adalah orang pertama yang memulainya. Demi Allah, aku tidak akan mengatakan kepada seorang pun bahwa engkau adalah sebaik-baik orang, sekalipun dia bagiku adalah sebagai amir, sesudah aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda." Mereka bertanya, "Apakah yang telah engkau dengar dari beliau?" Usamah menjawab bahwa dia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Kelak di hari kiamat ada seorang lelaki yang didatangkan, lalu dicampakkan ke dalam neraka, maka berhamburanlah isi perutnya, lalu berputar-putar seraya membawa isi perutnya ke dalam neraka sebagaimana keledai berputar dengan penggilingannya. Maka penghuni neraka mengelilinginya dan mengatakan, "Hai Fulan, apakah gerangan yang telah menimpamu? Bukankah kamu dahulu memerintahkan kepada kami untuk berbuat yang makruf dan melarang kami dari perbuatan yang mungkar?" Lelaki itu menjawab, "Dahulu aku memerintahkan kalian kepada perkara yang makruf, tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya; dan aku melarang kalian melakukan perbuatan yang mungkar, tetapi aku sendiri mengerjakannya."
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadis yang semisal melalui hadis Sulaiman ibnu Mihran, dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ يُعَافِي الْأُمِّيِّينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا لَا يُعَافِي الْعُلَمَاءَ"
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Sayyar ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah memaafkan orang-orang yang ummi di hari kiamat dengan pemaafan yang tidak Dia lakukan terhadap ulama.
Di dalam suatu asar dijelaskan bahwa Allah memberikan ampunan bagi orang yang bodoh sebanyak tujuh puluh kali, sedangkan kepada orang yang alim cuma sekali. Tiadalah orang yang tidak alim itu sama dengan orang yang alim. Allah Swt. telah berfirman:
{قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ}
Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Az-Zumar: 9)
Di dalam bab autobiografi Al-Walid ibnu Uqbah, Ibnu Asakir meriwayatkan sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"إِنَّ أُنَاسًا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَطَّلِعُونَ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَيَقُولُونَ: بِمَ دَخَلْتُمُ النَّارَ؟ فَوَاللَّهِ مَا دَخَلْنَا الْجَنَّةَ إِلَّا بِمَا تَعَلَّمْنَا مِنْكُمْ، فَيَقُولُونَ: إِنَّا كُنَّا نَقُولُ وَلَا نَفْعَلُ"
Sesungguhnya ada segolongan orang dari kalangan penduduk surga melihat segolongan orang dari kalangan penduduk neraka, lalu mereka bertanya, "Apakah sebabnya hingga kalian masuk neraka? Padahal demi Allah, tiada yang memasukkan kami ke surga kecuali apa yang kami pelajari dari kalian." Ahli neraka menjawab, "Sesungguhnya dahulu kami hanya berkata, tetapi tidak mengamalkannya."
Ibnu Jarir At-Tabari meriwayatkan hadis ini dari Ahmad ibnu Yahya Al-Khabbaz Ar-Ramli, dari Zuhair ibnu Abbad Ar-Rawasi, dari Abu Bakar Az-Zahiri Abdullah ibnu Hakim, dari Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi dari Al-Walid ibnu Uqbah, kemudian Ibnu Jarir mengetengahkan hadis ini.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata, "Hai Ibnu Abbas, sesungguhnya aku hendak melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar." Ibnu Abbas bertanya, "Apakah kamu telah melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Aku baru mau melakukannya." Ibnu Abbas berkata, "Jika kamu tidak takut nanti akan dipermalukan oleh tiga ayat dari Kitabullah, maka lakukanlah." Lelaki itu bertanya, "Apakah ayat-ayat tersebut?" Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri? (Al-Baqarah: 44) Lalu dia berkata, "Apakah engkau mampu melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas berkata, "Ayat yang kedua ialah firman-Nya: 'Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.' (Ash-Shaff: 2-3) Apakah kamu mampu melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, "Dan ayat yang ketiga ialah ucapan seorang hamba saleh —yaitu Nabi Syu'aib a.s.— yang disitir oleh firman-Nya: 'Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kalian darinya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan (Hud: 88) Apakah kamu mampu melakukan apa yang terkandung dalam ayat ini?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Maka Ibnu Abbas berkata, "Mulailah dari dirimu sendiri!" Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya.
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدَانُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحَرِيشِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خِرَاش، عَنِ الْعَوَّامِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ [سَعِيدِ بْنِ] الْمُسَيَّبِ بْنِ رَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ دَعَا النَّاسَ إِلَى قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ وَلَمْ يَعْمَلْ هُوَ بِهِ لَمْ يَزَلْ فِي ظِلِّ سُخْطِ اللَّهِ حَتَّى يَكُفَّ أَوْ يَعْمَلَ مَا قَالَ، أَوْ دَعَا إِلَيْهِ"
Imam Tabrani meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abdan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Khirasy, dari Al-Awwam ibnu Hausyab, dari Al-Musayyab ibnu Rafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa menyeru kepada orang lain untuk berucap atau beramal, sedangkan dia sendiri tidak mengamalkannya, maka ia terus-menerus berada di bawah naungan murka Allah sebelum berhenti atau mengamalkan apa yang telah dia ucapkan atau mengamalkan apa yang telah dia serukan.
Dalam sanad hadis ini terkandung ke-daif-an (kelemahan).
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan, sesungguhnya dia benar-benar tidak menyukai bercerita karena tiga ayat, yaitu firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri? (Al-Baqarah: 44); Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. (Ash-Shaff: 2-3) Juga firman Allah Swt. menyitir kata-kata yang diucapkan oleh Nabi Syu'aib, yaitu: Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kalian darinya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (Hud: 88)

Al-Baqarah, ayat 45-46

{وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ (45) الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (46) }
Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu amal berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Allah Swt. berfirman seraya memerintahkan hamba-hamba-Nya agar mereka dapat meraih kebaikan dunia dan akhirat yang mereka dambakan, yaitu menjadikan sabar dan salat sebagai sarananya. Demikian yang dikatakan oleh Muqatil Ibnu Hayyan dalam tafsir ayat ini, yaitu: "Minta tolonglah kalian untuk memperoleh kebaikan akhirat dengan cara menjadikan sabar dalam mengerjakan amal-amal fardu dan salat sebagai sarananya."
Pengertian sabar menurut suatu pendapat yang dimaksud adalah puasa, menurut apa yang di-nas-kan oleh Mujahid. Al-Qurtubi dan lain-lainnya mengatakan, karena itulah maka bulan Ramadan dinamakan "bulan sabar", seperti yang disebutkan oleh salah satu hadis.
قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ جُرَيّ بْنِ كُليب، عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي سَلِيمٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ".
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Jaryu ibnu Kulaib, dari seorang lelaki Bani Tamim, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Puasa adalah separo dari kesabaran.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan sabar ialah menahan diri terhadap perbuatan-perbuatan maksiat. Karena itu, dalam ayat ini dibarengi dengan menunaikan amal-amal ibadah; dan amal ibadah yang paling tinggi ialah salat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hamzah ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Umar ibnul Khattab r.a. yang mengatakan bahwa sabar itu ada dua macam, yaitu sabar di saat musibah; hal ini baik. Dan yang lebih baik daripada itu ialah sabar terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Hal yang semisal diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri dengan perkataan Umar r.a.
Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Ibnu Luhai'ah, dari Malik ibnu Dinar dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan, "Sabar itu merupakan pengakuan seorang hamba kepada Allah bahwa musibah yang menimpanya itu dari Allah dengan mengharapkan rida Allah dan pahala yang ada di sisi-Nya. Adakalanya seseorang mengeluh, padahal ia tetap tegar dan tak terlihat darinya kecuali hanya sabar belaka."
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian. (Al-Baqarah: 45) Yang dimaksud dengan sabar ialah dalam melakukan hal-hal yang diridai oleh Allah, dan ketahuilah baliwa salat itu merupakan amal taat kepada Allah.
Mengenai firman-Nya, "Was salati (dan salat)," karena sesungguhnya salat merupakan penolong yang paling besar untuk memperteguh diri dalam melakukan suatu perkara, seperti yang diungkapkan oleh ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ}
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an), dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain). (Al-Ankabut 45)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ، عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الدُّؤَلِيِّ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ أَخُو حُذَيْفَةَ، قَالَ حُذَيْفَةُ، يَعْنِي ابْنَ الْيَمَانِ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Ikrimah ibnu Ammar, dari Muhammad ibnu Abdullah Ad-Du-ali yang menceritakan bahwa Abdul Aziz (saudara Huzaifah) mengatakan bahwa Huzaifah ibnul Yaman r.a. pernah mengatakan: Rasulullah Saw. bila mengalami suatu perkara (cobaan), maka beliau selalu salat.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Muhammad ibnu Isa, dari Yahya ibnu Zakaria, dari Ikrimah ibnu Ammar, seperti yang akan disebutkan nanti.
وَقَدْ رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ، مِنْ حَدِيثِ ابْنِ جُرَيج، عَنْ عِكْرِمة بْنِ عَمَّارٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ أَبِي قُدَامَةَ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ الْيَمَانِ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ فَزِعَ إِلَى الصَّلَاةِ
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Juraij, dari Ikrimah ibnu Ammar, dari Muhammad ibnu Abu Ubaid ibnu Abu Qudamah, dari Abdul Aziz ibnul Yaman, dari Huzaifah yang menceritakan: Rasulullah Saw. bila mengalami suatu perkara, maka beliau bersegera melakukan salat.
Sebagian dari mereka meriwayatkan hadis ini dari Abdul Aziz —anak saudara lelaki Huzaifah, dan dikatakan saudara Huzaifah— secara mursal dari Nabi Saw.
Muhammad ibnu Nasr Al-Marwazi meriwayatkan di dalam Kitabus Salat:
حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ عُثْمَانَ أَبُو مَسْعُودٍ الْعَسْكَرِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ: قَالَ عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ: قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الدُّؤَلِيُّ: قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ: قَالَ حُذَيْفَةُ: رَجَعْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْأَحْزَابِ وَهُوَ مُشْتَمِلٌ فِي شَمْلَةٍ يُصَلِّي، وَكَانَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى .
telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Usman Al-Askari, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah yang mengatakan bahwa Ikrimah ibnu Ammar, Muhammad ibnu Abdullah Ad-Du-ali, dan Abdul Aziz semuanya menceritakan bahwa Huzaifah telah menceritakan hadis berikut: Aku kembali kepada Nabi Saw. pada malam (Perang) Ahzab, sedangkan Nabi Saw. ketika itu menyelimuti dirinya dengan jubah tebal dalam keadaan melakukan salat. Dan beliau bila menghadapi suatu perkara (besar) selalu salat.
وَحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ سَمِعَ حَارِثَةَ بْنَ مُضَرِّبٍ سَمِعَ عَلِيًّا يَقُولُ: لَقَدْ رَأَيْتَنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ وَمَا فِينَا إِلَّا نَائِمٌ غَيْرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي ويدعو حتى أصبح
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Ishaq yang pernah mendengar dari Hariqah ibnu Mudarrib, bahwa ia pernah mendengar sahabat Ali r.a. menceritakan hadis berikut: Sesungguhnya aku di malam Perang Badar melihat kami semua (pasukan kaum muslim) tiada seorang pun melainkan tertidur kecuali Rasulullah Saw. yang selalu salat dan berdoa hingga subuh.
Ibnu Jarir mengatakan, telah diriwayatkan dari Rasulullah Saw. bahwa beliau bersua dengan Abu Hurairah yang sedang tengkurap di atas perutnya, lalu beliau bersabda, "Apakah perutmu sakit?" Abu Hurairah menjawab, "Ya." Maka Nabi Saw. bersabda:
"قُمْ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ شِفَاءٌ"
Berdirilah dan salatlah, karena sesungguhnya salat itu adalah penawar (obat penyembuh).
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Fadl dan Ya'qub ibnu Ibrahim; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Uyaynah ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, bahwa Ibnu Abbas mendapat berita belasungkawa atas kematian saudaranya yang bernama Qasim, sedangkan ketika itu ia dalam suatu perjalanan. Maka ia mengucapkan kalimah istirja' (inna lillahi wa inna ilaihi raji'un), kemudian menjauh dari jalan dan mengistirahatkan unta kendaraannya, lalu salat dua rakaat. Dalam salatnya itu ia melakukan duduk dalam waktu yang cukup lama, kemudian bangkit dan berjalan menuju unta kendaraannya, lalu membacakan firman-Nya: Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu amat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Al-Baqarah: 45)
Sunaid telah mengatakan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, mengenai firman-Nya: Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian. (Al-Baqarah: 45) Kedua hal tersebut merupakan sarana untuk memperoleh rahmat Allah, sedangkan damir yang terkandung di dalam firman-Nya, “In-naha lakabirah" kembali kepada salat, yakni sesungguhnya salat itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Demikian yang di-nas-kan oleh Mujahid dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa damir tersebut kembali kepada apa yang ditunjukkan oleh konteks kalimat, yaitu wasiat akan hal tersebut. Perihalnya sama dengan firman Allah Swt. dalam kisah Qarun, yaitu:
{وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلا يُلَقَّاهَا إِلا الصَّابِرُونَ}
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, "Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar.'''' (Al-Qashash: 80)
Demikian pula dalam firman Allah Swt.:
{وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ * وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ}
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat 34-35)
Maksudnya, tiada yang layak menerima wasiat ini kecuali orang-orang yang sabar, dan tiada yang dianugerahi dan diilhaminya kecuali orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.
Berdasarkan kedua hipotesis tersebut, maka firman Allah Swt.”Innaha lakabirah" artinya sesungguhnya hal itu benar-benar merupakan masyaqat yang besar.”Illa 'alal khasyi'in" artinya kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan khasyi'in ialah orang-orang yang percaya kepada Al-Kitab yang diturunkan oleh Allah Swt. Menurut Mujahid, artinya orang-orang yang benar-benar beriman. Menurut Abul Aliyah, arti 'kecuali bagi orang-orang yang khusyuk' ialah orang-orang yang takut.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, makna 'kecuali bagi orang-orang yang khusyuk' ialah orang-orang yang rendah diri.
Ad-Dahhak mengatakan, makna firman-Nya, "Innaha lakabirah," ialah sesungguhnya hal tersebut benar-benar berat kecuali bagi orang-orang yang tunduk, patuh, taat kepada-Nya, takut kepada pembalasan-Nya, serta percaya kepada janji dan ancaman-Nya.
Pengertian yang terkandung di dalam ayat ini mirip dengan apa yang disebutkan di dalam salah satu hadis, yaitu:
"لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ"
Sesungguhnya engkau telah menanyakan sesuatu yang berat, dan sesungguhnya hal itu benar-benar mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ialah 'hai para ulama ahli kitab (Yahudi), jadikanlah sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan sebagai penolong kalian; dirikanlah salat, mengingat salat dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar, mendekatkan diri kepada rida Allah, dan berat dikerjakannya kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yaitu orang-orang yang rendah diri, berpegang teguh kepada ketaatan, dan merasa hina karena takut kepada-Nya. Demikian menurut Ibnu Jarir. Akan tetapi, menurut pengertian lahiriah ayat, sekalipun sebagai suatu khitab dalam konteks peringatan yang ditujukan kepada kaum Bani Israil, sesungguhnya khitab ini bukan hanya ditujukan kepada mereka secara khusus, melainkan pengertiannya umum mencakup pula selain mereka.
***********
Firman Allah Swt.:
{الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ}
(yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (Al-Baqarah: 46)
Ayat ini merupakan kelengkapan dari makna yang terkandung pada ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa salat atau wasiat ini benar-benar berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya. (Al-Baqarah: 45-46)
Artinya, mereka meyakini bahwa mereka pasti dihimpun dan dihadapkan kepada-Nya di hari kiamat kelak.
وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (Al-Baqarah: 46)
Yakni semua urusan mereka kembali kepada kehendak-Nya. Dia memutuskannya menurut apa yang dikehendaki-Nya dengan adil. Mengingat mereka percaya dan yakin kepada adanya hari kemudian dan hari pembalasan, maka mudahlah bagi mereka melakukan amal-amal ketaatan dan meninggalkan hal-hal yang mungkar.
Adapun mengenai firman-Nya:
{يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ}
yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya. (Al-Baqarah: 46)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab itu adakalanya menamakan dengan sebutan zan (dugaan), dan syak (ragu) dengan sebutan zan pula. Perihalnya sama dengan istilah zulmah (kegelapan) yang adakalanya mereka sebut dengan istilah sidfah, dan diya (terang) disebut pula sidfah; serta al-mugis (penolong) disebut sarikh, dan mustagis (orang yang minta tolong) disebut pula dengan istilah sarikh. Masih banyak contoh lain yang serupa, yaitu isim-isim yang digunakan untuk nama sesuatu dan juga sebagai nama lawannya, seperti yang dikatakan oleh Duraid ibnus Simmah:
فَقُلْتُ لَهُمْ ظُنُّوا بِأَلْفَيْ مُدَجَّجٍ ... سَرَاتُهُم فِي الفَارسِيِّ المُسَرَّدِ
Maka kukatakan kepada mereka bahwa mereka merasa yakin akan kedatangan dua ribu personel pasukan yang bersenjata lengkap, orang-orang yang berkecukupan dari kalangan pasukan berada dalam barisan pasukan berkuda yang lengkap peralatannya.
Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka merasa yakin kalian akan kedatangan dua ribu personel pasukan yang bersenjatakan lengkap. Umair ibnu Tariq mengatakan:
بِأنْ يَعْتَزُوا قَوْمِي وأقعُدَ فِيكُمُ ... وأجعلَ مِنِّي الظنَّ غَيْبًا مُرَجَّمَا
Maka jika mereka mengambil pelajaran dari kaumku, dan aku duduk di antara kalian, niscaya aku jadikan suatu hal yang yakin sebagai perkara gaib yang tiada kenyataannya.
Yakni aku anggap perkara yang yakin sebagai perkara gaib berdasarkan dugaan belaka. Ibnu Jarir mengatakan bahwa syawahid (bukti-bukti) tersebut diambil dari syair-syair orang-orang Arab dan pembicaraan mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa lafaz zan (dugaan) banyak dipakai di kalangan mereka untuk menunjukkan pengertian yakin dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya. Dan keterangan yang telah kami sebutkan di atas sudah cukup bagi orang yang diberi taufik untuk memahaminya; di antaranya ada pula firman Allah Swt.:
{وَرَأَى الْمُجْرِمُونَ النَّارَ فَظَنُّوا أَنَّهُمْ مُوَاقِعُوهَا}
Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya. (Al-Kahfi: 53)
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Mujahid, bahwa semua lafaz zan yang ada di dalam Al-Qur'an menunjukkan makna yakin, misalnya zanantu dan zannu (aku yakin dan mereka yakin). Telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al-Jabari, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa semua lafaz zan di dalam Al-Qur'an menunjukkan makna ilmu (pengetahuan/yakin). Sanad riwayat ini berpredikat sahih.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya. (Al-Baqarah: 46) Menurutnya, lafaz zan di sini menunjukkan makna yakin.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal dengan perkataan Abul Aliyah telah diriwayatkan dari Mujahid, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari ibnu Juraij, mengenai makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya. (Al-Baqarah: 46) Yakni mereka yakin bahwa mereka pasti akan menemui Tuhan mereka. Perihalnya sama dengan makna yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya:
{إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلاقٍ حِسَابِيَهْ}
Sesungguhnya aku yakin bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. (Al-Haqqah: 20)
Maksudnya, dia merasa yakin akan hal tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Menurut kami, di dalam kitab sahih disebutkan sebuah hadis yang mengatakan:
"أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أَلَمْ أُزَوِّجْكَ، أَلَمْ أُكْرِمْكَ، أَلَمْ أُسَخِّرْ لَكَ الْخَيْلَ وَالْإِبِلَ، وَأَذَرْكَ تَرْأَسُ وَتَرَبَّعُ؟ فَيَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَفَظَنَنْتَ أَنَّكَ مُلَاقِيَّ؟ فَيَقُولُ: لَا. فَيَقُولُ اللَّهُ: الْيَوْمَ أَنْسَاكَ كَمَا نَسِيتَنِي".
bahwa di hari kiamat kelak Allah Swt. berfirman kepada seorang hamba: "Bukankah Aku telah mengawinkanmu, bukankah Aku telah memuliakanmu, bukankah Aku telah menundukkan bagimu kuda dan unta, dan Aku biarkan kamu memimpin dan berkuasa?" Hamba itu berkata, "Memang benar." Allah Swt. berfirman, "Apakah engkau meyakini bahwa engkau akan menemui-Ku?" Hamba tersebut menjawab, "Tidak." Maka Allah berfirman, "Pada hari ini Aku melupakanmu seperti kamu dahulu melupakan-Ku."
Pembahasan ini akan diketengahkan dengan panjang lebar, insya Allah, dalam membahas tafsir firman-Nya:
{نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ}
Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. (At-Taubah: 67)

Al-Baqarah, ayat 47

{يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ (47) }
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian dan (ingatlah) bahwasanya Aku telah melebihkan kalian atas segala umat.
Allah Swt. mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada kakek moyang mereka yang terdahulu; dan keutamaan yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka, yaitu diutus-Nya rasul-rasul dari kalangan mereka, diturunkan kitab-kitab kepada mereka, dan diutamakan-Nya mereka atas segala umat pada zaman-nya, seperti yang disebut oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَلَقَدِ اخْتَرْنَاهُمْ عَلَى عِلْمٍ عَلَى الْعَالَمِينَ}
Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka dengan pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa. (Ad-Dukhan: 32)
{وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain." (Al-Maidah: 20)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, sehubungan dengan tafsir firman-Nya: dan (ingatlah) bahwasanya Aku telah melebihkan kalian atas segala umat. (Al-Baqarah: 47) Disebutkan bahwa keutamaan tersebut berkat apa yang telah diberikan-Nya kepada mereka berupa kerajaan, rasul-rasul, dan kitab-kitab; hingga mereka berada di atas semua umat di masanya, karena sesungguhnya tiap-tiap zaman itu mempunyai umatnya masing-masing. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan Ismail ibnu Abu Khalid. Makna ayat ini memang wajib ditafsirkan berdasar pengertian tersebut, mengingat umat sekarang ini (umat Nabi Muhammad Saw.) lebih utama daripada mereka, karena berdasarkan firman Allah Swt. yang berkhitab kepada umat ini, yaitu:
{كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ}
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. (Ali Imran: 110)
Di dalam kitab-kitab Musnad dan kitab-kitab Sunnah disebutkan sebuah hadis dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَنْتُمْ تُوفُونَ سَبْعِينَ أُمَّةً، أَنْتُمْ خَيْرُهَا وَأَكْرَمُهَا عَلَى اللَّهِ".
Kalian dapat mengimbangi tujuh puluh umat, kalianlah yang paling baik dan paling mulia menurut Allah.
Hadis-hadis yang menceritakan hal ini cukup banyak, disebutkan dalam tafsir firman-Nya:
{كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ}
Kalian adalah umat yang terbaik, yang dilahirkan untuk manusia. (Ali Imran: 110)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud ialah keutamaan yang dimiliki mereka adalah berkat suatu kelebihan yang dimiliki mereka diatas umat manusia lainnya, hal ini bukan berarti mereka adalah yang paling utama secara mutlak. Demikian pendapat Ar-Razi, tetapi pendapatnya ini masih perlu dipertimbangkan.
Menurut pendapat lainnya, mereka diutamakan di atas umat yang lainnya karena dari kalangan mereka banyak nabinya. Demikian riwayat Al-Qurtubi di dalam kitab tafsirnya, tetapi pendapatnya ini masih perlu dipertimbangkan, karena pengertian 'alamin bersifat umum mencakup nabi-nabi yang sebelum dan sesudah mereka. Nabi Ibrahim —kekasih Allah— adalah sebelum mereka, sedangkan beliau lebih afdal daripada semua nabi mereka. Nabi Muhammad yang sesudah mereka adalah lebih utama daripada semua makhluk, beliau adalah penghulu Bani Adam di dunia dan akhirat secara mutlak.

Al-Baqarah, ayat 48

{وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ (48) }
Dan jagalah diri kalian dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun, dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan ditolong.
Setelah Allah Swt. mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada mereka pada ayat pertama, kemudian hal itu diiringi dengan peringatan yang menyatakan akan kekuasaan pembalasan Allah terhadap mereka kelak di hari kiamat. Untuk itu Allah Swt. berfirman, "Dan jagalah diri kalian dari (siksa) pada hari kiamat." Kemudian disebutkan pada ayat selanjutnya, "(yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun," yakni tiada seorang pun yang dapat menolong orang lain. Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
{وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى}
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (Al-An'am: 164)
{لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ}
Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. (Abasa: 37)
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا}
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. (Luqman: 33)
Hal ini merupakan kedudukan paling jelas, mengingat disebutkan bahwa seorang ayah dan anaknya masing-masing dari kedua belah pihak tidak dapat menolong pihak yang lain barang sedikit pun.
********
Firman Allah Swt.:
{وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ}
dan (begitu pula) tidak diterima syafaat darinya. (Al-Baqarah: 48)
Yakni dari orang-orang kafir. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
{فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ}
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberi syafaat. (At-Muddatstsir 48)
Firman Allah Swt kepada penghuni neraka:
{فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِينَ * وَلا صَدِيقٍ حَمِيمٍ}
Maka kami tidak mempunyai pemberi syafaat seorang pun, dan tidak pula mempunyai teman yang akrab. (Asy-Syu'ara: 100-101)
********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ}
Dan tidak diambil darinya suatu tebusan pun. (Al-Baqarah: 48)
Maksudnya, tidak diterima darinya suatu tebusan pun; seperti pengertian yang terdapat pada ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الأرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ}
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seorang pun di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. (Ali Imran: 91)
{إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ أَنَّ لَهُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لِيَفْتَدُوا بِهِ مِنْ عَذَابِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَا تُقُبِّلَ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menebusi diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih. (Al-Maidah: 36)
{وَإِنْ تَعْدِلْ كُلَّ عَدْلٍ لَا يُؤْخَذْ مِنْهَا}
Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusan pun, niscaya tidak akan diterima darinya. (Al-An'am: 70)
Demikian pula dalam firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
{فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَلا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا}
Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kalian dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempal kalian ialah neraka. Dan nerakalah tempat berlindung kalian (Al-Hadid: 15)
Melalui ayat ini Allah memberitahukan bahwa mereka tidak mau beriman kepada Rasul-Nya, tidak mau mengikuti apa yang telah diembankan oleh Allah kepadanya, dan mereka menemui Allah di hari kiamat dalam keadaan masih tetap dalam kekafiran. Maka sesungguhnya tidak bermanfaat bagi mereka pertolongan seorang karib pun, dan tidak diterima pula syafaat dari seseorang yang berkedudukan, serta tidak dapat diterima dari mereka suatu tebusan pun sekalipun tebusan itu berupa emas sepenuh bumi, seperti yang diungkapkan oleh Allah dalam ayat lainnya:
{مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلا خُلَّةٌ وَلا شَفَاعَةٌ}
sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. (Al-Baqarah: 254)
{لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلا خِلالٌ}
yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan. (Ibrahim: 31)
Sunaid meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Hajjaj, telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij, dari Mujahid yang mengatakan bahwa sabahat Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Wala yukhazu minha 'adlun." 'Adlun artinya pengganti, yang dimaksud ialah tebusan.
As-Saddi mengatakan, "adlun artinya yang sepadan, maksudnya ialah 'seandainya dia datang dengan membawa emas sepenuh bumi untuk menebus dirinya (dari neraka), niscaya tidak dapat diterima'. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah mengenai firman-Nya, "Wala yuqbalu minha 'adlun," bahwa yang dimaksud dengan 'adlun ialah tebusan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang serupa telah diriwayatkan dari Abu Malik, Al-Hasan, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah bercerita kepada kami As-Sauri, dari Al-A’masy, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari sahabat Ali r.a. dalam suatu hadis yang panjang, yang di dalamnya disebut bahwa as-sirfu dan al-'adlu sama artinya dengan amal sunnah dan amal fardu. Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Walid ibnu Muslim, dari Usman ibnu Abul Atikah, dari Umair ibnu Hani'. Tetapi pendapat ini garib (aneh) dalam kaitannya dengan makna ayat ini.
Pendapat pertama mengenai tafsir ayat ini merupakan pendapat paling kuat, mengingat ada sebuah hadis yang mengukuhkannya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Dia mengatakan:
حَدَّثَنِي نَجِيح بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حَكِيمٍ، حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَمْرو بْنِ قَيْسٍ الْمُلَائِيِّ ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ -مِنْ أَهْلِ الشَّامِ أَحْسَنَ عَلَيْهِ الثَّنَاءَ -قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْعَدْلُ؟ قَالَ: "الْعَدْلُ الْفِدْيَةُ"
telah menceritakan kepadaku Nujaih ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu Hakim, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Amr ibnu Qais Al-Mala-i, dari seorang lelaki dari kalangan Bani Umayyah yang tinggal di negeri Syam. Disebutkan bahwa pernah ditanyakan kepada Rasulullah Saw.: "Wahai Rasulullah, apakah arti al-'adl itu?" Beliau menjawab, "Al-'adl artinya tebusan."
********
Firman Allah Swt.:
{وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ}
Dan tidaklah mereka akan ditolong. (Al-Baqarah: 48)
Dengan kata lain, tiada seorang pun yang marah karena demi membela mereka, kemudian ia menolong dan menyelamatkan mereka dari siksa Allah; seperti yang disebutkan di atas, bahwa tiada seorang kerabat dan tiada seorang yang berkedudukan pun yang belas kasihan kepada mereka dan tidak diterima suatu tebusan pun dari mereka. Semuanya itu ditinjau dari segi belas kasihan. Dengan kata lain, tiada seorang pun dari kalangan mereka yang dapat menolong dirinya sendiri, tidak pula dari kalangan orang luar. Pengertiannya sama dengan firman Allah Swt.:
{فَمَا لَهُ مِنْ قُوَّةٍ وَلا نَاصِرٍ}
Maka sekali-kali tiada bagi manusia itu suatu kekuatan pun dan tidak (pula) seorang penolong. (At-Thariq: 10)
Dengan kata lain, Allah Swt. tidak mau menerima tebusan —tidak pula syafaat— yang diajukan untuk membela orang yang kafir kepada-Nya. Tiada seorang penyelamat yang dapat menyelamatkan seseorang dari azab-Nya. Tiada seorang pun yang dapat menyelamatkan diri dari siksa-Nya dan tiada seorang pun yang dapat memberikan perlindungan dari azab-Nya. Hal ini sama dengan apa yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ}
Dialah Yang melindungi dan tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, (Al-Mu’minun: 88)
{فَيَوْمَئِذٍ لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ * وَلا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ}
Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya. (Al-Fajr: 25-26)
{مَا لَكُمْ لَا تَنَاصَرُونَ * بَلْ هُمُ الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُونَ}
Mengapa kalian tidak saling tolong-menolong? Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri. (Ash-Shaffat: 25-26)
{فَلَوْلا نَصَرَهُمُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ قُرْبَانًا آلِهَةً بَلْ ضَلُّوا عَنْهُمْ}
Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) tidak dapat menolong mereka. Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka? (Al-Ahqaf: 28)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mengapa kalian tidak tolong-menolong?" (Ash-Shaffat 25). Yakni, mengapa kalian pada hari ini tidak saling menolong dari azab Kami? Mustahillah bagi kalian untuk dapat melakukan hal tersebut pada hari ini.
Ibnu Jarir berkata sehubungan dengan takwil firman-Nya: dan tidaklah mereka akan ditolong. (Al-Baqarah: 48) Bahwa pada hari itu tiada seorang pun yang dapat menolong mereka, sebagaimana tiada seorang pun yang dapat memberikan syafaat kepadanya. Tidak dapat diterima dari mereka tebusan, tidak pula syafaat; hari itu tidak berlaku lagi kasih sayang, dan pudarlah semua suap dan perantara, lenyaplah tolong menolong dan bantu membantu dari kaum, karena semua hukum kembali kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahaadil yang di hadapan-Nya, tiada manfaatnya lagi para perantara dan para penolong. Dia memberikan balasan suatu keburukan dengan balasan yang semisal dan membalas amal kebaikan dengan balasan yang berlipat ganda.
Pengertian ayat ini sama dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ* مَا لَكُمْ لَا تَنَاصَرُونَ* بَلْ هُمُ الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُونَ}
Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya, "Mengapa kalian tidak tolong-menolong?" Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri. (Ash-Shaffat: (24-26)

Al-Baqarah, ayat 49-50

{وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ (49) وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ (50) }
Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kalian dari Fir'aun dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepada kalian siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak kalian yang laki-laki dan membiarkan hidup anak kalian yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhan kalian. Dan (ingatlah) ketika Kami belah laut untuk kalian, lalu Kami selamatkan kalian dan Kami tenggelamkan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya, sedangkan kalian sendiri menyaksikan.
Allah Swt. berfirman, "Ingatlah, hai Bani Israil, akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian, yaitu ketika Kami selamatkan kalian dari Fir'aun dan pengikut-pengikutnya yang telah menimpakan kepada kalian siksaan yang berat-berat." Maksudnya, Aku selamatkan kalian dari mereka, dan Aku luputkan kalian dari tangan kekuasaan mereka, karena kalian mengikut kepada Nabi Musa a.s. Fir'aun dan bala tentaranya di masa lalu mendatangkan dan menguasakan serta menimpakan kepada kalian siksaan yang paling buruk.
Pada mulanya Fir'aun bermimpi tentang hal yang sangat mengejutkan dirinya dan membuatnya ngeri. Dia melihat api keluar dari Baitul Muqaddas, lalu api tersebut memasuki semua rumah orang-orang Qibti (Egypt) di negeri Mesir, kecuali rumah-rumah kaum Bani Israil. Takbir mimpi tersebut menyatakan bahwa kelak kerajaan Fir'aun akan lenyap di tangan salah seorang lelaki dari kalangan Bani Israil. Setelah Fir'aun mendapat takbir tersebut, kemudian dilaporkan kepadanya bahwa orang-orang Bani Israil meramalkan akan munculnya seorang lelaki dari kalangan mereka yang kelak akan berkuasa di kalangan mereka dan mengangkat nasib mereka. Demikian yang disebutkan di dalam hadis Al-Fulun, seperti yang akan dijelaskan nanti pada tempatnya. yaitu dalam tafsir surat Thaha, insya Allah.
Maka pada saat itu juga Fir'aun yang terkutuk itu memerintahkan agar setiap bayi laki-laki yang baru lahir di kalangan Bani Israil harus dibunuh, dan membiarkan hidup bayi-bayi perempuan. Lalu dia memerintahkan pula agar kaum lelaki orang-orang Bani Israil ditugaskan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat lagi hina.
Di dalam ayat ini siksaan ditafsirkan (dijelaskan) dengan penyembelihan bayi-bayi lelaki mereka, sedangkan dalam surat Ibrahim memakai ungkapan alaf, yaitu dalam firman-Nya:
{يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ ويُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ}
Mereka menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih dan mereka menyembelih anak-anak laki-laki kalian serta membiarkan hidup anak-anak perempuan kalian. (Ibrahim: 6)
Tafsir mengenai pengertian ini akan dijelaskan nanti dalam permulaan surat Al-Qashash, insya Allah.
Makna yasumunakum ialah menguasakan kepada kalian, yakni menimpakan kepada kalian. Demikian pendapat Abu Ubaidah, menurutnya sama dengan perkataan, "Samahu khittatu khasfin.'" Dikatakan demikian bila seseorang telah dikuasai oleh siksaan yang berat menimpa dirinya. Amr ibnu Kalsum, salah seorang penyair, mengatakan:
إِذَا مَا الْمُلْكُ سَامَ النَّاسَ خَسْفًا ... أَبَيْنَا أَنْ نُقِرَّ الْخَسْفَ فِينَا ...
Apabila raja menimpakan siksaan yang berat kepada orang-orang, maka kami memberonlak sebagai protes kami karena kami menolak siksaan menimpa diri kami.
Menurut pendapat lain, arti yasumunakum ialah terus-menerus menyiksa kalian; sama halnya dengan kata-kata saimatul ganam yang diambil dari makna terus-menerus menggembalakan ternak kambing. Demikian yang dinukil oleh Al-Qurtubi.
Sesungguhnya dalam ayat ini dikatakan: Mereka menyembelih anak kalian yang laki-laki dan membiarkan hidup anak kalian yang perempuan. (Al-Baqarah: 49) Tiada lain hal tersebut hanyalah sebagai tafsir dan penjelasan dari siksaan yang menimpa mereka, yang disebutkan pada kalimat sebelumnya, yaitu: mereka menimpakan kepada kalian siksaan yang seberat-beratnya. (Al-Baqarah: 49). Ayat-ayat tersebut merupakan tafsir atau penjelasan dari firman sebelumnya, yaitu: Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian. (Al-Baqarah: 47)
Adapun yang terdapat di dalam surat Ibrahim, yaitu ketika Allah Swt. berfirman:
{وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ}
Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah. (Ibrahim: 5)
Yakni pertolongan-pertolongan dan nikmat-nikmat-Nya kepada mereka, maka sangat sesuailah bila dikatakan dalam firman selanjutnya: mereka menyiksa kalian dengan siksa yang pedih dan mereka menyembelih anak-anak laki-laki kalian seria membiarkan hidup anak-anak perempuan kalian. (Ibrahim: 6)
Dalam surat ini lafaz az-zabah (penyembelihan) di-'ataf-kan kepada lafaz yasumunakum untuk menunjukkan makna berbilangnya nikmat dan pertolongan Allah Swt. kepada kaum Bani Israil.
Fir'aun merupakan isim 'alam untuk nama julukan bagi seorang raja kafir dari bangsa Amaliq dan lain-lainnya (di negeri Mesir). Seperti halnya 'Kaisar', isim alam untuk julukan bagi setiap raja yang menguasai negeri Romawi dan Syam yang kafir; dan 'Kisra' julukan bagi Raja Persia, 'Tubba' julukan bagi raja negeri Yaman yang kafir, 'Najasyi' julukan bagi raja yang menguasai negeri Habsyah, dan 'Batalimus' nama julukan bagi Raja India.
Menurut suatu pendapat, nama Fir'aun yang hidup sezaman dengan Nabi Musa a.s. adalah Al-Walid ibnu Mus'ab ibnur Rayyan. Menurut pendapat lainnya bernama Mus'ab ibnur Rayyan, dia termasuk salah seorang keturunan dari Amliq ibnul Aud ibnu Iram ibnu Sam ibnu Nuh; sedangkan nama kunyah-nya ialah Abu Murrah. Ia berasal dari Persia, yaitu dari Istakhar. Apa pun asalnya dia, semoga laknat Allah atas dirinya.
************
Firman Allah Swt.:
{وَفِي ذَلِكُمْ بَلاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ}
Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 49)
Menurut Ibnu Jarir, makna ayat ialah bahwa apa yang telah Kami lakukan terhadap kalian, yakni Kami selamatkan kakek moyang kalian dari apa yang mengungkung diri mereka akibat siksaan Fir'aun dan bala tentaranya, hal tersebut merupakan cobaan besar bagi kalian dari Tuhan. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan nikmat yang besar bagi kalian.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah Swt.: merupakan cobaan yang besar dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 49) Yang dimaksud dengan cobaan ialah nikmat.
Mujahid mengatakan bahwa firman Allah Swt., "Merupakan cobaan yang besar dari Tuhan kalian," artinya nikmat yang besar dari Tuhan kalian.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah, Abu Malik, dan As-Saddi serta lain-lainnya. Asal makna lafaz al-bala ialah cobaan, tetapi adakalanya cobaan itu ditujukan untuk kebaikan sama halnya dengan keburukan, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً}
Dan Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). (Al-Anbiya: 25)
{وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ}
Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk agar mereka kembali (kepada kebenaran) (Al-A'raf: 168)
Ibnu Jarir mengatakan, makna cobaan untuk keburukan kebanyakan dipakai kata balautuhu, abluhu, bala-an; sedangkan untuk kebaikan dipakai kata ublihi, ibla-an, dan bala-an. Zuhair ibnu Abu Salma mengatakan dalam salah satu bait syairnya:
جَزَى اللَّهُ بِالْإِحْسَانِ مَا فَعَلا بكُم ... وَأَبْلَاهُمَا خَيْرَ البلاءِ الَّذِي يَبْلُو
Semoga Allah membalas dengan kebajikan atas apa yang telah dilakukan oleh keduanya terhadap kalian, dan semoga Allah mencoba keduanya dengan sebaik-baik cobaan yang diberikan-Nya.
Di dalam syair ini kedua sisi pengertian digabungkan menjadi satu, karena penyair bermaksud 'semoga Allah memberikan kenikmatan kepada keduanya dengan nikmat yang paling baik yang diberikan-Nya untuk menguji hamba-hamba-Nya'.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dari firman-Nya, "Pada yang demikian itu terdapat cobaan," merupakan isyarat yang ditujukan kepada siksaan yang pernah mereka alami di masa silam, yakni siksaan yang hina, seperti anak-anak lelaki mereka disembelih dan anak-anak perempuan mereka dibiarkan hidup. Al-Qurtubi mengatakan bahwa hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. Dikatakannya sesudah dia mengetengahkan pendapat pertama tadi, selanjutnya dia mengatakan bahwa menurut jumhur ulama isyarat ini ditujukan kepada penyembelihan dan yang semisal dengannya, sedangkan pengertian bala dalam ayat ini untuk keburukan, yang artinya ialah bahwa peristiwa penyembelihan anak-anak tersebut merupakan hal yang tidak disukai dan sebagai ujian.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ}
Dan (ingatlah) ketika Kami belah laut untuk kalian, lalu Kami selamatkan kalian dan Kami tenggelamkan (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya, sedangkan kalian sendiri menyaksikan. (Al-Baqarah: 50)
Makna ayat, yaitu: Sesudah Kami selamatkan kalian dari Fir'aun dan bala tentaranya, lalu kalian berangkat bersama Musa a.s., dan Fir'aun pun berangkat pula mengejar kalian, maka Kami belahkan laut buat kalian. Hal ini diberitakan oleh Allah Swt. secara rinci yang akan di-kemukakan pada tempatnya, dan yang paling panjang pembahasannya ialah dalam surat Asy-Syu'ara, insya Allah.
Fa anjainakum, yakni Kami selamatkan kalian dari mereka dan Kami halang-halangi antara kalian dan mereka; lalu Kami tenggelamkan mereka, sedangkan kalian sendiri menyaksikan hal tersebut, agar hati kalian lebih tenang dan lega serta lebih meyakinkan dalam menghina musuh kalian.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abu Ishaq Al-Hamdani, dari Amr ibnu Maimun Al-Audi sehubungan dengan firman-Nya, "Dan (ingatlah) ketika Kami belah laut untuk kalian," sampai dengan firman-Nya, "sedangkan kalian menyaksikan." Bahwa tatkala Musa berangkat bersama kaum Bani Israil, beritanya terdengar oleh Fir'aun. Maka Fir'aun berkata, "Janganlah kalian mengejar mereka sebelum ayam berkokok (waktu pagi hari)." Akan tetapi, demi Allah, pada malam itu tiada seekor ayam jago pun yang berkokok hingga pagi hari. Lalu Fir'aun memerintahkan agar didatangkan ternak kambing, lalu kambing-kambing itu disembelih. Fir'aun berkata, "Aku tidak akan mengambil hatinya sebelum berkumpul di hadapanku enam ratus ribu orang Qibti." Ternyata sebelum dia mengambil hati kambing-kambing yang telah disembelih itu telah berkumpul di hadapannya enam ratus ribu orang Qibti.
Ketika Musa sampai di tepi laut, maka berkatalah kepadanya salah seorang dari sahabatnya yang dikenal dengan nama Yusya' ibnu Nun, "Manakah perintah Tuhanmu?" Musa berkata, "Di hadapanmu," seraya mengisyaratkan ke arah laut. Lalu Yusya' ibnu Nun memacu kudanya ke arah laut hingga sampai di tempat yang besar ombaknya, kemudian ombak menepikannya dan ia kembali (ke tepi), lalu bertanya lagi, "Manakah perintah Tuhanmu, hai Musa? Demi Allah, engkau tidaklah berdusta, tidak pula didustakan." Yusya' ibnu Nun melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali. Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Musa dan memerintahkan kepadanya agar memukul laut dengan tongkatnya. Musa a.s. memukulkan tongkatnya, ternyata laut terbelah, dan tersebutlah bahwa setiap belahan itu pemandangannya sama dengan bukit yang besar.
Kemudian Musa berjalan bersama orang-orang yang mengikutinya, lalu Fir'aun dan bala tentaranya mengejar mereka melalui jalan yang telah ditempuh mereka. Tetapi ketika Fir'aun dan semua bala tentaranya telah masuk ke laut, maka Allah menenggelamkan mereka dengan menangkupkan kembali laut atas diri mereka. Karena itu, disebutkan di dalam firman-Nya: Dan Kami tenggelamkan Fir'aun dan para pengikutnya, sedangkan kalian sendiri menyaksikan. (Al-Baqarah: 50)
Hal yang sama dikatakan pula oleh bukan hanya seorang ulama Salaf, seperti yang akan dijelaskan nanti pada tempatnya.
Di dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa hari tersebut adalah hari yang jatuh dalam bulan Asyura. Sebagaimana Imam Ahmad meriwayatkan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: "مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَ؟ ". قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ ، فَصَامَهُ مُوسَى، عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ". فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمَرَ بِصَوْمِهِ.
telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abdullah ibnu Sa'id ibnu Jubair, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Rasulullah Saw. tiba di Madinah dan beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa pada had Asyura. Maka beliau bersabda, "Hari apakah sekarang yang kalian melakukan puasa padanya?" Mereka menjawab, "Ini adalah hari yang baik, ini adalah hari ketika Allah Swt. menyelamatkan Bani Israil dan musuh mereka, maka Musa melakukan puasa padanya." Lalu Rasulullah Saw. bersabda, "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian." Kemudian Rasulullah Saw. puasa dan memerintahkan (para sahabat) agar melakukan puasa di hari itu.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur periwayatan dari Ayub As-Sukhtiyani dengan lafaz yang semisal.
وَقَالَ أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا سَلَّامٌ -يَعْنِي ابْنَ سُلَيْمٍ-عَنْ زَيْدٍ العَمِّيّ عَنْ يَزِيدَ الرَّقَاشِيِّ عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " فَلَقَ اللَّهُ الْبَحْرَ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ "
Abu Ya’la Al-Mausuli meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abur Rabi', telah menceritakan kepada kami Salam (yakni Ibnu Sulaim), dari Zaid Al-Ama, dari Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas r.a. yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Allah membelah laut bagi kaum Bani Israil pada hari Asyura.
Hadis ini daif ditinjau dari sanad ini, karena sesungguhnya Zaid Al-Ama orangnya berpredikat daif, sedangkan gurunya, yaitu Zaid Ar-Raqqasyi, lebih daif lagi darinya.

Al-Baqarah, ayat 51-53

{وَإِذْ وَاعَدْنَا مُوسَى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ (51) ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (52) وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (53) }
Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat sesudah) empat puluh malam, lalu kalian menjadikan anak lembu (sembahan kalian) sepeninggalnya dan kalian adalah orang-orang yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahan kalian, agar kalian bersyukur. Dan (ingatlah) ketika Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan (antara yang benar dan yang salah), agar kalian mendapat petunjuk.
Allah Swt. berfirman, "Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian, Kumaafkan kalian ketika kalian menyembah anak lembu setelah kepergian Musa untuk memenuhi janji Tuhannya setelah masa janji tersebut telah tiba, yaitu empat puluh malam." Hal ini disebutkan di dalam surat Al-A'raf melalui firman-Nya:
{وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ}
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waklu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi). (Al-A'raf: 142)
Menurut suatu pendapat, tiga puluh malam itu adalah bulan Zul Qa'dah, sedangkan yang sepuluh malam tambahannya jatuh pada bulan Zul Hijjah. Hal ini terjadi setelah kaum Bani Israil selamat dari kejaran Fir'aun dan pasukannya, dapat menyeberangi laut dengan selamat.
Firman Allah, "Waiz ataina musal kitaba." Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah kitab Taurat.
Walfurqan, yakni keterangan dan penjelasan yang membedakan antara perkara yang hak dan perkara yang batil, dan dapat membedakan antara jalan hidayahnya dan kesesatan.
La'allakum tahtaduna, agar kalian mendapat petunjuk. Hal ini pun terjadi sesudah mereka diselamatkan dari laut, seperti yang ditunjukkan oleh konteks ayat dalam surat Al-A'raf tadi, juga karena firman-Nya:
{وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الأولَى بَصَائِرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ}
Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat agar mereka ingat. (Al-Qashash: 43)
Menurut suatu pendapat, huruf wawu yang ada pada lafaz walfurqan merupakan huruf zaidah (tambahan). Makna yang dimaksud ialah "Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) yang membedakan antara yang hak dan yang batil". Akan tetapi, pendapat ini garib. Menurut pendapat lainnya lagi, memang memakai huruf 'ataf, sekalipun makna keduanya sama; seperti juga yang terdapat pada perkataan seorang penyair:
وَقَدَّمَتِ الْأَدِيمَ لِرَاقِشِيهِ ... فَأَلْفَى قَوْلَهَا كَذِبًا وَمَيْنَا ...
Ia menyerahkan kulit itu kepada orang yang akan mengukirnya, maka ternyata si pengukir menjumpai perkataannya penuh dengan kedustaan dan bualan.
Penyair lainnya mengatakan:
أَلَا حَبَّذَا هِنْدٌ وَأَرْضٌ بِهَا هِنْدُ ... وَهِنْدٌ أَتَى مِنْ دُونِهَا النَّأْيُ وَالْبُعْدُ ...
Aduhai Hindun, seandainya di suatu daerah ada Hindun, dan Hindun yang pasti akan datang kepadanya orang yang jauh dan orang yang bertempat tinggal jauh darinya.
Al-kazibu dan al-mainu pengertiannya sama, yaitu dusta; begitu pula annayu dan al-bu'du menunjukkan makna yang sama, yaitu jauh. Salah seorang penyair bernama Antrah mengatakan:
حُيِّيتَ مِنْ طَلَلٍ تَقَادَمَ عَهْدُهُ ... أَقْوَى وَأَقْفَرَ بَعْدَ أُمِّ الْهَيْثَمِ ...
Aku teringat kepada suatu peninggalan yang telah lama, yang kini kelihatan kosong dan sepi sepeninggal Ummu Haisam.
Lafaz Iqfar di-ataf-kan kepada lafaz iqwa, sedangkan makna kedua-nya sama saja.

Al-Baqarah, ayat 54

{وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (54) }
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai Kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri sendiri karena kalian telah menjadikan anak lembu (sesembahan kalian), maka bertobatlah kepada Tuhan yang menjadikan kalian dan bunuhlah diri kalian. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menjadikan kalian; maka Allah akan menerima tobat kalian. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang."
Dalam ayat ini disebutkan sifat penerimaan tobat dari Allah Swt. atas kaum Bani Israil yang menyembah anak lembu.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri kalian sendiri karena kalian telah menjadikan anak lembu (sesembahan kalian)." (Al-Baqarah: 54) Musa a.s. mengatakan demikian untuk mengingatkan mereka kepada apa yang telah mereka lakukan, yaitu menyembah anak sapi seperti yang dilakukan oleh pendahulu mereka. Kisah mereka dinyatakan dalam ayat lainnya, yaitu melalui firman-Nya:
{وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا}
Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun berkata, "Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami...." (Al-A'raf: 149) hingga akhir ayat. Yang demikian itulah yang dimaksud oleh Musa a.s. ketika ia mengatakan seperti apa yang disitir oleh firman-Nya: Hai kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri kalian sendiri karena kalian telah menjadikan anak lembu (sesembahan kalian). (Al-Baqarah: 54)
Abul Aliyah dan Sa'id ibnu Jubair serta Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan mengenai makna firman-Nya: Maka bertobatlah kalian kepada Tuhan yang menjadikan kalian. (Al-Baqarah: 54) Yakni kepada Pencipta kalian.           
Menurut kami, di dalam firman-Nya, "Ila bari-ikum" (kepada Tuhan yang menciptakan kalian) terkandung isyarat yang menunjukkan bahwa dosa mereka teramat besar. Dengan kata lain, bertobatlah kalian kepada Tuhan yang menciptakan kalian, karena kalian telah menyembah selain Dia bersama-Nya.
Imam Nasai, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Yazid ibnu Harun, dari Al-Asbag ibnu Zaid Al-Wariq, dari Al-Qasim ibnu Abu Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan, "Allah Swt. berfirman bahwa sesungguhnya tobat yang harus dilakukan oleh mereka ialah dengan cara hendaknya setiap orang dari mereka (yang menyembah anak lembu) membunuh orang yang dijumpainya tanpa memandang apakah dia orang tua atau anaknya. Dia harus membunuhnya dengan pedang tanpa mempedulikan siapa yang dibunuhnya di tempat tersebut. Maka Allah menerima tobat mereka yang menyembunyikan dosa-dosanya dari Musa dan Harun, tetapi kemudian ditampakkan oleh Allah Swt., lalu mereka mengakui dosa-dosanya dan mau melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Allah memberikan ampunan kepada si pembunuh dan si terbunuh."
Hadis ini merupakan sebagian dari hadis Al-Futun, yang akan dijelaskan nanti secara lengkap -—insya Allah— dalam tafsir surat Thaha.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Abdul Karim ibnul Haisam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, bahwa Abu Sa'id telah menceritakan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Musa a.s. berkata kepada kaumnya yang disitir oleh firman-Nya:  Maka bertobatlah kalian kepada Tuhan yang menjadikan kalian, dan bunuhlah diri kalian. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menjadikan kalian; maka Allah akan menerima tobat kalian. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 54) Musa a.s. menyampaikan perintah Tuhannya kepada kaumnya, hendaknya mereka membunuh diri mereka sendiri. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Musa a.s. memanggil orang-orang yang menyembah anak lembu, lalu mereka duduk, sedangkan orang-orang yang tidak ikut menyembah anak lembu berdiri, kemudian mereka mengambil pisaunya masing-masing dan dipegang oleh tangan mereka. Setelah itu terjadilah cuaca yang gelap gulita, lalu sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lainnya. Ketika gelap lenyap dari mereka, ternyata orang-orang yang terbunuh berjumlah tujuh puluh ribu orang. Semua orang yang terbunuh dari kalangan mereka diterima tobatnya, dan semua orang yang masih hidup diterima pula tobatnya.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Al-Qasim ibnu Abu Murrah, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair dan Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan bunuhlah diri kalian sendiri. (Al-Baqarah: 54) Sebagian dari mereka bangkit melabrak sebagian yang lain dengan pisau, lalu sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain; seseorang tidak mempunyai belas kasihan terhadap kerabatnya, tidak pula terhadap orang lain. Hingga Musa a.s. mengisyaratkan dengan kain jubahnya, barulah mereka melemparkan semua senjata yang ada di tangannya; ternyata jumlah mereka yang terbunuh ada tujuh puluh ribu orang. Sesungguhnya Allah menurunkan wahyu kepada Musa, "Hentikanlah, sudah cukup bagimu!" Yang demikian itu terjadi di saat Musa a.s. mengisyaratkan dengan kain jubahnya (untuk menghentikan mereka).
Ali r.a. meriwayatkan hal yang semisal.
Qatadah mengatakan bahwa Musa a.s. memerintahkan kepada kaumnya untuk melakukan hal yang sangat berat, lalu mereka bangkit dan saling menyembelih dengan pisau-pisau yang tajam, sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain. Ketika pembalasan Allah telah cukup menimpa mereka, maka barulah pisau-pisau itu terjatuh dari tangan mereka dan berhentilah pembunuhan di kalangan mereka; lalu Allah menerima tobat orang-orang yang masih hidup dari kalangan mereka, dan yang terbunuh dianggap sebagai mati syahid.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka tertimpa kabut yang sangat gelap, lalu sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain; setelah itu lenyaplah cuaca gelap yang menyelimuti mereka, kemudian tobat mereka baru diterima.
As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: dan bunuhlah diri kalian sendiri. (Al-Baqarah: 54) Bahwa orang-orang yang menyembah anak lembu saling membunuh dengan orang-orang yang tidak menyembahnya, dan orang-orang yang gugur dari kedua belah pihak dianggap sebagai mati syahid. Ketika orang-orang yang terbunuh banyak sekali —hingga hampir semuanya binasa— saat itu jumlah mereka yang terbunuh ada tujuh puluh ribu orang. Kemudian Musa dan Harun berdoa kepada Allah, "Wahai Tuhan kami, Engkau telah membinasakan Bani Israil. Wahai Tuhan kami, sisakanlah, sisakanlah." Lalu Allah memerintahkan kepada mereka agar menjatuhkan senjatanya masing-masing dan menerima tobat mereka. Tersebutlah bahwa orang-orang yang gugur dari kedua belah pihak dianggap sebagai mati syahid, sedangkan orang-orang yang masih hidup diampuni dosa-dosanya. Yang demikian itu dinyatakan dalam firman-Nya: Maka Allah akan menerima tobat kalian. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 54)
Az-Zuhri mengatakan, tatkala Bani Israil diperintahkan membunuh diri mereka sendiri, maka mereka berperang; dan Musa a.s. ada bersama mereka. Lalu pedang-pedang pun berlaga dan mereka saling menusuk dengan pisau belati, sedangkan Musa a.s. berdoa mengangkat kedua tangannya. Ketika sebagian dari mereka berhenti sejenak, maka mereka berkata, "Wahai Nabi Allah, berdoalah kepada Allah untuk kami." Lalu mereka memegang kedua lengan Nabi Musa a.s. dan menopang kedua tangannya (agar terus berdoa). Keadaan mereka masih terus dalam keadaan berperang; ketika Allah menerima tobat mereka, maka barulah tangan mereka berhenti, tidak lagi saling membunuh di antara sesamanya, dan semua senjata mereka lemparkan. Sedangkan Musa a.s. dan kaum Bani Israil merasa sedih melihat mereka yang terbunuh dari kalangan mereka sendiri. Lalu Allah Swt. berfirman kepada Musa a.s., "Apakah yang membuatmu sedih? Orang yang terbunuh dari kalangan mereka, mereka hidup di sisi-Ku dengan diberi rezeki; dan orang-orang yang masih hidup, sesungguhnya Aku telah menerima tobatnya." Maka bergembiralah Nabi Musa a.s. dan kaum Bani Israil karena hal tersebut. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dengan sanad yang jayyid, dari Az-Zuhri.
Ibnu Ishaq mengatakan, "Ketika Musa kembali kepada kaumnya dan membakar anak lembu itu, lalu menaburkan debunya di laut, kemudian ia berangkat bersama sebagian kaum yang dipilihnya menuju kepada Rabbnya; lalu mereka disambar petir, kemudian dihidupkan kembali. Kemudian Musa a.s. meminta kepada Tuhannya tobat bagi kaum Bani Israil atas dosa mereka yang menyembah anak lembu. Maka Allah Swt. menolaknya kecuali jika mereka membunuh diri mereka sendiri."
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, "Telah sampai kepadaku suatu kisah yang menyatakan bahwa kaum Bani Israil berkata kepada Musa, 'Kami akan teguh kepada perintah Allah.' Lalu Musa memerintahkan kepada orang yang tidak ikut menyembah anak lembu untuk membunuh orang yang menyembahnya. Kemudian mereka yang menyembah anak lembu duduk di suatu tanah lapang, lalu kaum yang tidak menyembah anak lembu menghunus pedangnya masing-masing dan membunuh mereka yang menyembahnya. Maka kaum wanita dan anak-anak berdatangan kepadanya, menangis seraya meminta maaf buat mereka. Lalu Allah menerima tobat dan maaf mereka; maka Allah memerintahkan kepada Musa agar mereka menjatuhkan pedangnya masing-masing (menghentikan pembunuhan)."
Abdur Rahman ibnu Zaid Ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika Musa kembali kepada kaumnya, di antara kaumnya terdapat tujuh puluh orang kaum laki-laki yang memisahkan diri mereka bersama Harun tidak ikut menyembah anak lembu. Maka Musa berkata kepada mereka, "Berangkatlah kalian ke tempat yang telah dijanjikan oleh Tuhan kalian!" Mereka menjawab, "Hai Musa, tiada jalan untuk bertobat." Musa menjawab, "Tidak." Bunuhlah diri kalian, hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menjadikan kalian; maka Allah akan menerima tobat kalian. (Al-Baqarah: 54) Lalu mereka menghunus pedang, pisau belati, kapak, dan senjata lainnya. Kemudian Allah mengirimkan kabut kepada mereka, lalu mereka mencari-cari dengan tangannya masing-masing dan sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain. Saat itu seseorang menjumpai orang tua dan saudaranya, lalu ia membunuhnya tanpa ia ketahui. Di dalam kegelapan itu mereka saling menyerukan, "Semoga Allah mengasihani hamba yang bersikap sabar terhadap dirinya hingga memperoleh rida Allah." Orang-orang yang gugur dalam peristiwa itu adalah orang-orang yang mati syahid, sedangkan orang-orang yang masih hidup diterima tobatnya. Kemudian Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam membacakan firman-Nya: Maka Allah akan menerima tobat kalian. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 54)

Al-Baqarah, ayat 55-56

{وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ (55) ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (56) }
Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang," karena itu kalian disambar halilintar, sedangkan kalian menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur.
Allah Swt. berfirman, "Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian, yaitu Aku hidupkan kembali kalian sesudah kalian mati tertimpa halilintar, ketika kalian meminta sebelumnya agar dapat melihat-Ku secara terang-terangan, padahal hal tersebut tidak akan mampu kalian lakukan dan tidak pula bagi orang-orang seperti kalian." Demikian menurut tafsir yang dikatakan oleh Ibnu Juraij.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, makna jahratan ialah terang-terangan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman, dari Abbad ibnu Ishaq, dari Abul Huwairis, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami dapat melihat Allah dengan terang" (Al-Baqarah: 55). Yang dimaksud dengan lafaz jahrah ialah terang-terangan. Dengan kata lain, kami baru mau beriman kepadamu bila kami dapat melihat Allah dengan terang.
Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Hatta narallaha jahratan." Yang dimaksud dengan jahratan ialah 'iyanan (terang-terangan tanpa aling-aling).
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas. Mereka yang mengatakan demikian berjumlah tujuh puluh orang, yaitu mereka yang dipilih oleh Nabi Musa a.s.; lalu mereka berangkat bersama Nabi Musa. Ar-Rabi' ibnu Anas melanjutkan kisahnya, bahwa mereka hanya mendengar kalam saja, lalu mereka berkata: Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang. (Al-Baqarah: 55) Kemudian mereka mendengar suara pekikan yang dahsyat, akhirnya mereka mati semua.
Marwan ibnul Hakam, ketika sedang berkhotbah di atas mimbar Mekah, antara lain mengatakan bahwa makna as-sa'iqah ialah suara pekikan yang dahsyat dari langit.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: karena itu kalian disambar halilintar. (Al-Baqarah: 55) Menurutnya, yang dimaksud dengan as-sa'iqah ialah api (yang turun dari langit).
Urwah ibnu Ruwayyim mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sedangkan kalian menyaksikannya. (Al-Baqarah: 55) Sebagian dari mereka disambar halilintar, sedangkan sebagian yang lainnya melihat peristiwa tersebut. Kemudian mereka yang tersambar halilintar itu dihidupkan kembali, lalu sebagian yang lainnya tersambar halilintar.
As-Saddi mengatakan bahwa firman-Nya, "Karena itu, kalian disambar halilintar" (Al-Baqarah: 55), lalu mereka mati. Maka berdirilah Nabi Musa seraya menangis dan berdoa kepada Allah serta mengatakan, "Wahai Tuhanku, apakah yang akan kukatakan kepada Bani Israil jika aku kembali menemui mereka, sedangkan Engkau telah binasakan orang-orang terpilih dari mereka." Musa berkata pula yang disitir oleh firman-Nya:
{لَوْ شِئْتَ أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ وَإِيَّايَ أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِنَّا}
Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? (Al-A'raf: 155)
Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Musa a.s. yang isinya mengatakan bahwa mereka yang tujuh puluh orang itu termasuk orang-orang yang menyembah anak lembu. Setelah itu Allah menghidupkan mereka; mereka bangkit dan hidup seorang demi seorang, sedangkan sebagian dari mereka melihat sebagian yang lain dalam keadaan dihidupkan. Yang demikian itu adalah makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Sesudah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 56)
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa kematian mereka itu merupakan hukuman bagi mereka, kemudian mereka dihidupkan kembali sesudah mati untuk menunaikan ajal (sisa umur)nya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnul Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq yang mengatakan bahwa tatkala Musa kembali kepada kaumnya dan ia melihat apa yang mereka kerjakan, yaitu menyembah anak lembu, dan ia mengatakan apa yang telah dikatakannya kepada saudaranya (Harun), juga kepada Samiri, lalu ia membakar patung anak lembu itu dan menaburkan abunya ke laut, kemudian ia memilih tujuh puluh orang lelaki yang terbaik dari kalangan kaumnya. Ia berkata kepada mereka, "Berangkatlah kalian ke tempat yang telah dijanjikan oleh Allah, bertobatlah kalian kepada Allah atas apa yang telah kalian perbuat, dan mohonlah tobat kepada-Nya atas orang-orang yang kalian tinggalkan di belakang kalian dari kalangan kaum kalian. Berpuasalah kalian, bersucilah, dan bersihkanlah pakaian kalian."
Kemudian Musa a.s. berangkat membawa mereka menuju Bukit Tursina pada waktu yang telah dijanjikan oleh Allah kepadanya. Musa tidak pernah datang kepada-Nya kecuali dengan seizin dan restu dari-Nya.
Menurut riwayat yang sampai kepadaku, ketujuh puluh orang itu di saat mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Musa dan mereka berangkat untuk menjumpai Allah, mereka berkata kepada Musa, "Hai Musa, mohonkanlah bagi kami kepada Tuhanmu agar kami di-perkenankan dapat mendengar kalam Tuhan kami." Musa menjawab "Baiklah."
Ketika Musa mendekati bukit tersebut, maka datanglah awan yang menaunginya hingga menutupi seluruh bukit, lalu Musa mendekat dan masuk ke dalam awan tersebut, setelah itu ia berkata kepada kaumnya, "Mendekatlah kalian." Musa a.s. apabila diajak bicara oleh Allah, maka memancarlah dari keningnya nur yang cemerlang, tiada seorang pun dari Bani Adam yang mampu memandangnya; maka Allah membuat hijab (penutup) bagi nur tersebut. Lalu kaum pun mendekat. Ketika mereka masuk ke dalam awan tersebut, mereka menyungkur sujud dan mereka mendengar suara Allah yang sedang berbicara kepada Musa a.s. memerintah dan melarangnya dengan ucapan, "Lakukanlah," atau "Janganlah kamu lakukan."
Ketika Allah Swt. selesai berbicara kepada Musa, tersingkaplah awan tersebut, dan Musa menghadap ke arah mereka; ternyata mereka berkata kepada Musa a.s., seperti yang disitir oleh firman-Nya: Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang. (Al-Baqarah: 55) Maka mereka tertimpa oleh gempa dahsyat —yaitusa'iqah— hingga mereka mati semuanya. Lalu Musa a.s. bangkit meminta tolong kepada Tuhannya dan berdoa, memohon kepadanya seraya berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{رَبِّ لَوْ شِئْتَ أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ [وَإِيَّايَ] }
Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. (Al-A'raf: 155)
Mereka benar-benar tidak mengerti, apakah Engkau membinasakan orang-orang yang berada di belakangku dari kalangan Bani Israil karena perbuatan orang-orang yang bodoh dari kalangan kami? Dengan kata lain, sesungguhnya hal ini merupakan kebinasaan bagi mereka. Aku memilih tujuh puluh orang terbaik dari kalangan mereka agar aku kembali nanti bersama mereka, sedangkan sekarang tiada seorang pun dari mereka yang tersisa. Apakah yang menjadi bukti bagiku buat mereka agar mereka mau percaya kepadaku dan beriman kepadaku sesudah peristiwa ini? Sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau.
Musa a.s. terus-menerus memohon kepada Tuhannya dan memina hingga Allah mengembalikan roh mereka kepada mereka, lalu Musa a.s. memohon kepada Allah ampunan dan tobat bagi Bani Israil yang telah menyembah anak sapi. Maka Allah berfirman, "Tidak, kecuali jika mereka membunuh diri mereka sendiri." Demikianlah menurut konteks (lafaz) yang diketengahkan oleh Muhammad ibnu Ishaq.
Ismail ibnu Abdur Rahman As-Saddi Al-Kabir mengatakan, "Setelah kaum Bani Israil tobat dari menyembah anak lembu dan Allah menerima tobat mereka dengan cara sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada mereka, lalu Allah memerintahkan kepada Musa agar datang membawa semua orang dari kalangan Bani Israil untuk memohon maaf kepada Allah atas penyembahan mereka terhadap anak lembu. Musa a.s. mengadakan suatu perjanjian dengan mereka, lalu memilih tujuh puluh orang dari kalangan mereka, yaitu orang-orang yang ditunjuknya secara tertentu. Kemudian ia berangkat bersama mereka untuk meminta maaf kepada Allah. Hingga akhir hadis."
Konteks hadis ini memberikan pengertian bahwa khitab yang terdapat di dalam firman berikut ditujukan kepada Bani Israil, yaitu: Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Hai Musa, kami tidak akan beriman sebelum kami melihat Allah dengan terang." (Al-Baqarah: 55)
Makna yang dimaksud ialah, mereka yang tujuh puluh orang tersebut yaitu yang dipilih oleh Musa a.s. dari kalangan mereka. Kebanyakan ulama tafsir tidak meriwayatkan kisah ini selain dari Ismail ibnu Abdur Rahman sendiri.
Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya menilai garib kisah yang menceritakan perihal ketujuh puluh orang tersebut, yaitu setelah mereka dihidupkan kembali oleh Allah, mereka berkata, "Hai Musa, sesungguhnya kamu tidak sekali-kali meminta sesuatu kepada Allah melain-kan Dia memberimu, maka doakanlah semoga Allah menjadikan kami sebagai nabi-nabi-Nya." Kemudian Musa a.s. berdoa memohon hal itu kepada Allah, dan Allah memperkenankan doanya.
Riwayat ini sangat garib, mengingat di masa Nabi Musa tidak ada nabi lain kecuali Harun, kemudian Yusya' ibnu Nun. Kaum ahli kitab keliru pula dalam dakwaan mereka yang mengatakan bahwa mereka yang tujuh puluh orang itu telah melihat Allah Swt dengan terang-terangan. Karena sesungguhnya Musa yang diajak bicara oleh Allah Swt sendiri pernah meminta hal tersebut, tetapi ditolak, mana mungkin hai tersebut diperkenankan bagi mereka.
Pendapat kedua mengenai makna ayat ini disebutkan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dalam tafsir ayat ini, bahwa tatkala Musa kembali dari sisi Tuhannya kepada kaumnya dengan membawa lauh-lauh yang padanya termaktub kitab Taurat, maka ia menjumpai mereka sedang menyembah anak lembu. Maka ia memerintahkan kepada mereka agar membunuh diri mereka sendiri dan mereka melakukannya, lalu Allah menerima tobat mereka. Musa berkata kepada mereka, "Sesungguhnya lembaran-lembaran ini berisikan Kitabullah, di dalamnya terkandung urusan kalian yang diperintahkan oleh Allah dan larangan-Nya yang harus kalian jauhi." Mereka bertanya, "Siapakah yang mau percaya kepada omonganmu itu? Tidak, demi Allah, kecuali jika kami dapat melihat Allah dengan terang hingga Allah sendirilah yang menyerahkannya kepada kami, lalu Dia berfirman, 'Inilah Kitab-Ku, maka ambillah oleh kalian!' Maka mengapa Allah tidak mau berbicara kepada kami sebagaimana Dia berbicara kepadamu, hai Musa?" Abdur Rahman ibnu Zaid membacakan firman-Nya: Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang. (Al-Baqarah: 55) dan melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Allah murka, lalu terjadilah halilintar sesudah tobat mereka, kemudian mereka disambar oleh halilintar itu hingga semuanya mati. Setelah itu Allah menghidupkan mereka kembali. Abdur Rahman Ibnu Zaid membacakan firman-Nya: Setelah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 56) Musa a.s. berkata kepada mereka, "Ambillah Kitabullah ini!" Mereka menjawab, "Tidak." Musa a.s. berkata, "Apakah yang telah menimpa kalian?" Mereka menjawab, "Kami mengalami mati, kemudian kami dihidupkan kembali." Musa a.s. berkata, "Terimalah Kitabullah ini." Mereka menjawab, "Tidak." Maka Allah mengirimkan malaikat, lalu malaikat mencabut bukit dan mengangkatnya di atas mereka. Konteks riwayat ini menunjukkan bahwa mereka dikenakan taklif (paksaan) untuk mengamalkan kitab itu sesudah mereka dihidupkan kembali.
Al-Mawardi meriwayatkan dua pendapat sehubungan dengan masalah ini: Pertama, taklif (paksaan) tersebut tidak ada, mengingat mereka telah menyaksikan perkara tersebut secara terang-terangan, sehingga terpaksa mereka mempercayainya. Kedua, mereka dikenakan taklif agar tiada seorang pun yang berakal melainkan terkena taklif. Al-Qurtubi mengatakan bahwa pendapat yang kedua inilah yang benar, karena kesaksian mereka terhadap perkara-perkara yang menakjubkan bukan berarti menggugurkan taklif dari pundak mereka, mengingat kaum Bani Israil memang telah menyaksikan banyak perkara besar yang bertentangan dengan hukum alam. Akan tetapi, sekalipun demikian mereka tetap dikenakan taklif dalam hal tersebut.

Al-Baqarah, ayat 57

{وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنزلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (57) }
Dan Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.
Setelah Allah Swt. menyebutkan perihal murka yang Dia hapuskan terhadap mereka, maka Allah kembali mengingatkan mereka akan limpahan nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepada mereka. Untuk itu Allah berfirman:
{وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ}
Dan Kami naungi kalian dengan awan. (Al-Baqarah: 57)
Al-gamam adalah bentuk jamak dari gamamah; dinamakan demikian karena gamamah menutupi langit, artinya awan putih. Mereka dinaungi oleh awan agar terhindar dari sengatan panas matahari padang pasir yang sangat terik itu. Imam Nasai dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam hadis Al-Futun, bahwa mereka dinaungi oleh awan ketika berada di padang pasir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ar-Rabi' ibnu Anas, Abul Mijlaz, Ad-Dahhak, dan As-Saddi hal yang semisal dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas.
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wazallalna 'alaikumul gamama," bahwa hal ini terjadi di padang pasir; mereka dinaungi oleh awan tersebut hingga terhindar dari teriknya matahari. Ibnu Jarir dan lain-lainnya mengatakan bahwa awan tersebut lebih sejuk dan lebih baik daripada awan biasa.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syiblun, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya ini, bahwa yang dimaksud dengan awan di sini bukanlah awan yang Allah datangkan dengannya kelak di hari kiamat, melainkan awan yang khusus hanya bagi mereka. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Al-Musanna ibnu Ibrahim, dari Abu Huzaifah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Sauri dan lain-lainnya, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.
Seakan-akan dimaksudkan —hanya Allah yang mengetahui— bahwa awan tersebut bukanlah seperti awan yang ada pada kita, melainkan jauh lebih indah dan lebih semerbak serta lebih baik pemandangannya.
Sunaid di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan Kami naungi kalian dengan awan. (Al-Baqarah: 57) Bahwa awan tersebut lebih sejuk dan lebih semerbak baunya daripada awan biasa. Awan inilah yang Allah datang dengan memakainya, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
{هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ}
Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al-Baqarah: 210)
Awan inilah yang para malaikat datang dengan membawanya dalam Perang Badar. Ibnu Abbas mengatakan, awan tersebutlah yang menaungi mereka (Bani Israil) ketika di padang pasir.
******************
Firman Allah Swt.:
{وَأَنزلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ}
dan Kami turunkan kepada kalian manna. (Al-Baqarah: 57)
Keterangan para ahli tafsir berbeda-beda sehubungan dengan hakikat dari manna ini. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa manna turun pada mereka di pohon-pohon, lalu mereka menaikinya dan memakannya dengan sepuas-puasnya.
Mujahid mengatakan bahwa manna adalah getah. Ikrimah mengatakan bahwa manna ialah sesuatu makanan yang diturunkan oleh Allah kepada mereka seperti hujan gerimis.
As-Saddi mengatakan bahwa mereka berkata, "Hai Musa, bagaimanakah kami dapat hidup di sini tanpa ada makanan?" Maka Allah menurunkan manna kepada mereka. Manna itu turun, lalu terjatuh pada pohon zanjabil (jahe).
Qatadah mengatakan bahwa manna turun di tempat mereka berada seperti turunnya salju, bentuknya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis daripada madu; manna turun kepada mereka mulai dari terbitnya fajar hingga matahari terbit. Seseorang dari mereka mengambil sekadar apa yang cukup bagi keperluannya di hari itu. Apabila ia mengambil lebih dari itu, maka manna menjadi busuk dan tidak tersisa. Akan tetapi, bila hari yang keenam tiba —yakni hari Jum’at— maka seseorang mengambil kebutuhannya dari manna untuk hari itu dan hari besoknya, mengingat hari besoknya adalah hari Sabtu. Karena hari Sabtu merupakan hari libur mereka, tiada seorang pun yang bekerja pada hari itu untuk penghidupannya, hal ini semua terjadi di daratan.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa manna adalah minuman yang diturunkan kepada mereka (kaum Bani Israil), rupanya seperti madu; mereka mencampurnya dengan air, lalu meminumnya.
Wahb ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai manna. Ia menjawab bahwa manna adalah roti lembut seperti biji jagung atau seperti dedak.
Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Jabir, dari Amir (yaitu Asy-Sya'bi) yang mengatakan bahwa madu kalian ini merupakan sepertujuh puluh dari manna. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa manna adalah madu.
Telah disebutkan di dalam syair Umayyah ibnu Abu Silt seperti berikut
فَرَأَى اللَّهُ أَنَّهُمْ بِمَضِيعٍ ... لَا بِذِي مَزْرَعٍ وَلَا مَثْمُورَا ...
فَسَنَاهَا عَلَيْهِمُ غَادِيَاتٍ ... وَتَرَى مُزْنَهُمْ خَلَايَا وَخُورَا ...
عَسَلًا نَاطِفًا وَمَاءً فُرَاتًا ... وحليبا ذا بهجة مرمورا
Allah melihat bahwa mereka berada di tempat yang tandus, tiada tanaman dan tiada buah-buahan. Maka Dia menyirami mereka dengan hujan, dan mereka melihat hujan yang menimpa mereka berupa tetesan madu dan air yang jernih serta air susu yang murni lagi cemerlang.
An-natif artinya cairan, sedangkan al-halibul mazmur artinya susu yang murni lagi jernih. Tujuan utama dari semuanya dapat disimpulkan bahwa ungkapan para ahli tafsir mengenai hakikat manna berdekatan dan tidak terlalu jauh. Di antara mereka ada yang menafsirkannya sebagai minuman. Akan tetapi, kenyataannya hanya Allah yang mengetahui; dapat disimpulkan bahwa manna adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka, baik berupa makanan atau minuman atau lainnya, yang dihasilkan tanpa susah payah.
Manna yang dikenal ialah 'jika dimakan dengan sendirinya, maka merupakan makanan dan manisan; jika dicampur dengan air, maka merupakan minuman yang enak; jika dicampur dengan lainnya merupakan jenis yang lain'. Akan tetapi, hal ini semata bukanlah makna yang dimaksud oleh ayat. Sebagai dalilnya ialah sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari.
قَوْلُ الْبُخَارِيِّ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ عبد الملك، عن عمر بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ".
Imam Bukhari telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair ibnu Hurayyis, dari Sa'id ibnu Zaid r.a. yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Jamur kam’ah berasal dari manna: airnya mengandung obat penawar bagi mata.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Abdul Malik (yaitu Ibnu Umair) dengan lafaz yang sama. Jama'ah mengetengahkan hadis ini di dalam kitabnya masing-masing —kecuali Abu Daud— melalui berbagai jalur dari Abdul Malik alias Ibnu Umair dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui riwayat Al-Hakam, dari Al-Hasan Al-'Urni dari Amr ibnu Hurayyis dengan lafaz yang sama.
قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ أَبِي السَّفَرِ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلان، قَالَا حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَامِرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْعَجْوَةُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَفِيهَا شِفَاءٌ مِنَ السُّمِّ، وَالْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
Imam Turmuzi meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah ibnu Abus Safar dan Mahmud ibnu Gailan; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amri, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ajwah (buah kurma masak) berasal dari surga, di dalamnya terkandung obat penyembuh dari keracunan; dan jamur kam’ah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi (penyakit) mata.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Turmuzi, kemudian dia mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Kami tidak mengetahuinya melainkan melalui hadis Muhammad ibnu Muhammad ibnu Amr; jika tidak demikian, berarti dari hadis Sa'id ibnu Amr dari Muhammad ibnu Amr. Di dalam bab ini diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Zaid dan Abu Sa'id serta Jabir, menurut Imam Turmuzi.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan pula di dalam kitab tafsirnya melalui jalur lain dari Abu Hurairah. Untuk itu dia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ أَحْمَدَ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَسْلَمُ بْنُ سَهْلٍ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا طَلْحَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ".
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Hasan ibnu Ahmad Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Aslam ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu Abdur Rahman, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a. telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jamur kam’ah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi penyakit mata.
Hadis ini berpredikat garib bila ditinjau dari sanad ini, dan Talhah ibnu Abdur Rahman ini adalah As-Sulami Al-Wasiti, dijuluki dengan sebutan Abu Muhammad. Menurut pendapat lain, dia adalah Abu Sulaiman Al-Muaddib; dan Al-Hafiz Abu Ahmad ibnu Abdi mengatakan sesuatu tentang dirinya. Dia meriwayatkan dari Qatadah banyak riwayat yang tidak dapat diikuti (dipakai).
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: الْكَمْأَةُ جُدَرِيُّ الْأَرْضِ، فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ، وَالْعَجْوَةُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهِيَ شِفَاءٌ مِنَ السُّمِّ".
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abu Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa para sahabat Nabi Saw. mengatakan, "Kam’ah merupakan akar yang ada di dalam tanah." Maka Nabi Saw. bersabda: Kam’ah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi (penyakit) mata. Dan ajwah berasal dari surga, ia mengandung obat penawar untuk racun.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Muhammad ibnu Basysyar dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Gundar, dari Syu'bah ibnu Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Abdul A’la, dari Khalid Al-Hazza, dari Syahr ibnu Hausyab, tetapi hanya kisah mengenai kam’ah saja.
Imam Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan pula melalui hadis Muhammad ibnu Basysyar, dari Abu Abdus Samad ibnu Abdul Aziz ibnu Abdus Samad, dari Matar Al-Waraq, dari Syahr kisah mengenai ajwah yang ada pada Imam Nasai, dan kisah mengenai keduanya (kam’ah dan ajwah) pada Ibnu Majah.
Jalur periwayatan ini munqati (terputus) antara Syahr ibnu Hausyab dan Abu Hurairah, karena sesungguhnya Syahr ibnu Hausyab belum pernah mendengar riwayat hadis dari Abu Hurairah.
Sebagai buktinya ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Nasai dalam Bab "Walimah", di dalam kitab Sunannya:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ الدِّرْهَمِيِّ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَنْم، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ يَذْكُرُونَ الْكَمْأَةَ، وَبَعْضُهُمْ يَقُولُ  جُدَرِيُّ الْأَرْضِ، فَقَالَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
dari Ali ibnul Husain Ad-Dirhami, dari Abdul A’la, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur Rahman ibnu Ganam, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar (menemui mereka) yang saat itu mereka sedang membicarakan tentang kam’ah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa kam’ah adalah akar yang ada di dalam tanah. Maka Nabi Saw. bersabda: Kam’ah berasal dari manna yang airnya mengandung obat bagi (penyakit) mata.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Sa'id dan Jabir, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ إِيَاسٍ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ وَالْعَجْوَةُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهِيَ شِفَاءٌ مِنَ السُّمِّ"
telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Jabir ibnu Abdullah dan Abu Sa'id Al-Khudri; keduanya mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat bagi mata. Dan 'ajwah berasal dari surga, ia mengandung obat untuk keracunan.
Imam Nasai mengatakan pula di dalam Bab "Walimah",
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ جَعْفَرِ بْنِ إِيَاسٍ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَجَابِرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Sa'id dan Jabir, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya merupakan obat penawar bagi (penyakit) mata.
Kemudian hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Al-A'masy, dari Abu Bisyr, dari Syahr, dari Jabir dan Abu Sa'id dengan lafaz yang sama.
Keduanya —yakni Ibnu Majah dan Imam Nasai— meriwayatkannya pula; Imam Nasai meriwayatkannya dari hadis Jarir, sedangkan Ibnu Majah dari hadis Sa'id ibnu Salamah, keduanya dari Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id, menurut riwayat Nasai. Sedangkan hadis Jabir menyebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat penyembuh bagi mata.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dari Ahmad ibnu Usman, dari Abbas Ad-Dauri, dari Lahiq ibnu Sawab, dari Ammar ibnu Raziq, dari Al-A'masy; seperti halnya ibnu Majah dan Ibnu Murdawaih juga berkata:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ الدُّورِيُّ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنِ الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي يَدِهِ كَمَآتٌ، فَقَالَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ".
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Abbas Ad-Dauri.  Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnur Rabi', telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar menjumpai kami, sedangkan di tangan beliau tergenggam kam’ah, lalu beliau bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat penawar bagi mata.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Nasai, dari Amr ibnu Mansur, dari Al-Hasan ibnur Rabi' dengan lafaz yang sama. Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dari Abdullah Ibnu Ishaq, dari Al-Hasan ibnu Salam, dari Ubaidillah ibnu Musa, dari Syaiban, dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama. Demikian pula Imam Nasai, ia telah meriwayatkan dari Ahmad ibnu Usman ibnu Hakim, dari Ubaidillah ibnu Musa.
Telah diriwayatkan melalui hadis Anas ibnu Malik r.a. seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Murdawaih.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا حَمْدُونُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا حَوْثَرَةُ بْنُ أَشْرَسَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ شُعَيْبِ بْنِ الْحَبْحَابِ عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَدَارَؤُوا  فِي الشَّجَرَةِ الَّتِي اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَحْسَبُهُ الْكَمْأَةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ، وَالْعَجْوَةُ من الجنة، وفيها شفاء من السم"
Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hamdun ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Juwairah ibnu Asyras, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Syu'aib ibnul Habhab, dari Anas, bahwa para sahabat Rasulullah Saw. bersegera melihat suatu pohon yang dicabut dari tanah karena pohon itu sudah tidak tegak lagi, maka sebagian dari mereka mengatakan, "Kami kira kam’ah." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung kesembuhan bagi (penyakit) mata. Dan 'ajwah berasal dari surga, di dalamnya terkandung kesembuhan dari keracunan.
Pokok hadis ini terpelihara melalui riwayat Hammad ibnu Salamah. Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkan melalui jalurnya sesuatu dari hadis ini.
Diriwayatkan dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ibnu Abbas hal yang sama seperti apa yang diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam Bab "Walimah"-nya:
عَنْ أَبِي بَكْرٍ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيِّ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْنٍ الخَرّاز، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ الْحَدَّادِ، عَنْ عَبْدِ الْجَلِيلِ بْنِ عَطِيَّةَ، عَنْ شَهْرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
dari Abu Bakar Ahmad ibnu Ali ibnu Sa'id, dari Abdullah ibnu Aun Al-Kharraz, dari Abu Ubaidah Al-Haddad, dari Abdul Jalil ibnu Atiyyah, dari Abdullah ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat bagi mata.
Seperti yang Anda ketahui sendiri, hal yang diperselisihkan adalah terletak pada Syahr ibnu Hausyab.
Menurut kami, Syahr ibnu Hausyab menghafal dan meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur yang semuanya telah disebutkan di atas, dan memang dia mendengarnya dari sebagian sahabat, sedangkan sebagian yang lain diterimanya dari orang lain. Semua sanad yang disandarkan kepadanya berpredikat jayyid, dan dia tidak bermaksud dusta dalam hal ini. Pokok hadis terpelihara dari Rasulullah Saw., seperti yang disebutkan di atas melalui riwayat Sa'id ibnu Zaid r.a.
Mengenai salwa, disebutkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, bahwa salwa adalah sejenis burung yang mirip dengan burung samani yang biasa mereka makan.
As-Saddi mengatakan dalam kisahnya yang ia ketengahkan dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas r.a.; juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat Nabi Saw., bahwa salwa adalah burung yang mirip dengan burung samani.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad ibnu Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Khalid, dari Jahdam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa salwa adalah burung samani.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Ikrimah, dan Ar-Rabbi' ibnu Anas.
Diriwayatkan dari Ikrimah, salwa adalah sejenis burung seperti burung yang kelak ada di surga, bentuknya lebih besar daripada burung pipit atau sama dengannya.
Qatadah mengatakan bahwa salwa adalah sejenis burung yang berbulu merah yang datang digiring oleh angin selatan. Seorang lelaki dari kalangan mereka menyembelih sebagian darinya dalam kadar yang cukup untuk keperluan hari itu; dan apabila ia melampaui batas dalam pengambilannya, maka daging burung itu membusuk dan tak tersisa. Tetapi jika ia berada di hari yang keenam (yakni hari Jumat), maka ia mengambil bagian untuk keperluan hari itu dan hari esoknya, yakni hari keenam dan hari ketujuhnya. Karena hari yang ketujuh atau hari Sabtu merupakan hari libur mereka, tiada seorang pun yang bekerja di hari itu dan tiada seorang pun yang mencari sesuatu padanya.
Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa salwa adalah burung yang gemuk seperti burung merpati, burung-burung tersebut datang kepada mereka dengan berbondong-bondong dari Sabtu ke Sabtu yang lainnya, kemudian mereka mengambil sebagian darinya.
Di dalam riwayat yang lain dari Wahb disebutkan bahwa kaum Bani Israil meminta kepada Musa a.s. agar diberi daging, lalu Allah berfirman, "Aku benar-benar akan memberi mereka makan berupa daging yang paling sedikit didapat di muka bumi." Kemudian Allah mengirimkan angin kepada mereka, lalu berjatuhanlah salwa di ternpat tinggal mereka; salwa tersebut adalah samani yang berbondong-bondong terbang setinggi tombak. Mereka menyimpan daging burung samani itu untuk keesokan harinya, tetapi daging itu membusuk dan roti pun menjadi basi.
As-Saddi mengatakan bahwa tatkala Bani Israil memasuki padang Sahara, mereka berkata kepada Musa a.s., "Bagaimana kami dapat tahan di tempat seperti ini? Di manakah makanannya?" Maka Allah menurunkan manna kepada mereka. Manna turun kepada mereka berjatuhan di atas pohon jahe. Sedangkan salwa adalah sejenis burung yang bentuknya mirip dengan burung samani, tetapi lebih besar sedikit.
Seseorang dari mereka bila menangkap burung salwa itu terlebih dahulu mereka melihatnya. Jika burung yang ditangkapnya itu gemuk, maka mereka menyembelihnya; tetapi jika kurus, mereka melepa-kannya; jika telah gemuk, maka burung itu baru ditangkap. Mereka berkata (kepada Musa a.s.), "Ini makanannya, manakah minuman-nya?" Maka Allah memerintahkan kepada Musa a.s. untuk memukulkan tongkatnya pada sebuah batu besar. Setelah batu itu dipukul dengan tongkatnya, memancarlah dua belas mata air yang mengalir, hingga tiap-tiap puak dari Bani Israil mempunyai mata airnya sendiri-sendiri. Mereka berkata lagi, "Ini minuman, maka manakah naungannya?" Mereka dinaungi oleh awan, dan mereka berkata lagi, "Ini naungan, manakah pakaiannya?" Tersebutlah bahwa pakaian mereka tahan lama dan tidak robek-robek. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: Dan Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa. (Al-Baqarah: 57)
{وَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ}
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, "Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” Lalu memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (Al-Baqarah: 60)
Telah diriwayatkan dari Wahb ibnu Munabbih dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam hal yang semisal dengan apa yang telah diriwayatkan oleh As-Saddi.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang menceritakan, "Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan bahwa Allah menciptakan bagi mereka di padang pasir pakaian yang anti robek dan anti kotor."
Ibnu Juraij mengatakan, "Seorang lelaki (dari kalangan mereka) apabila mengambil manna dan salwa dalam jumlah lebih dari keperluan seharinya, maka manna dan salwa itu membusuk. Hanya saja pada hari Jumat mereka mengambil makanan dalam jumlah lebih karena untuk hari Sabtunya, dan pada pagi hari Sabtu makanan tersebut tidak rusak."
Ibnu Atiyyah mengatakan bahwa salwa adalah sejenis burung, menurut kesepakatan ulama Mufassirin. Kelirulah Al-Huzali yang mengatakan dalam bait syairnya bahwa salwa itu adalah madu. Hal ini terbukti melalui perkataannya dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
وَقَاسَمَهَا بِاللَّهِ جَهْدًا لَأَنْتُمُ ... أَلَذُّ مِنَ السَّلْوَى إِذَا مَا أَشُورُهَا ...
Dan dia bersumpah secara sungguh-sungguh dengan menyebut asma Allah, bahwa kalian benar-benar lebih lezat daripada salwa (madu) apabila dipetik dari sarangnya.
Al-Huzali menduga bahwa salwa itu adalah madu.
Al-Qurtubi mengatakan, pengakuan yang mendakwakan adanya kesepakatan (bahwa salwa adalah sejenis burung) tidak sah, karena Muwarrij —seorang ulama bahasa dan tafsir— mengatakan bahwa salwa adalah madu. Kemudian ia mengemukakan dalilnya dengan berpegang kepada perkataan Al-Huzali tadi. Ia menjelaskan, memang demikianlah sebutannya di dalam dialek Kinanah, mengingat madu merupakan minuman yang lezat; termasuk ke dalam pengertian ini ialah 'ainun silwan (mata air yang menyegarkan).
Al-Jauhari mengatakan bahwa salwa adalah madu. Ia mengatakan demikian berdalilkan ucapan Al-Huzali tadi. Sulwanah artinya kharzah (sebuah wadah). Mereka mengatakan, apabila dituangkan air hujan, lalu diminum oleh seseorang yang sedang dimabuk asmara, maka ia akan lupa kepada segala-galanya. Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan:
شَرِبْتُ عَلَى سُلْوَانَةٍ مَاءَ مُزْنَةٍ ... فَلَا وَجَدِيدِ الْعَيْشِ يَا مَيُّ مَا أَسْلُو ...
Aku telah meminum air hujan dari wadah sulwanah, demi kehidupan yang baru, hai Mai, aku tidak dapat berlupa diri.
Nama air yang diminum dengan memakai wadah tersebut adalah sul-wan. Sebagian orang mengatakan bahwa sulwan merupakan obat penawar yang dapat menyembuhkan karena lupa kepada kesedihan. Para tabib menamakannya dengan sebutan mufarrij.
Mereka mengatakan bahwa salwa adalah bentuk jamak, bentuk tunggalnya pun sama; sama halnya dengan samani yang bentuk tunggal dan jamaknya sama. Tetapi dapat pula dikatakan salwa adalah bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya adalah waili.
Imam Khalil mengatakan bahwa salwa bentuk tunggalnya adalah silwatun, lalu Imam Khalil mengetengahkan sebuah syair:
وَإِنِّي لَتَعْرُونِي لِذِكْرَاكِ هِزَّةٌ ... كَمَا انْتَفَضَ السَّلْوَاةُ مِنْ بلل القطر ...
Sesungguhnya aku benar-benar tergetar bila mengingatmu, seperti seekor burung salwa yang mengibaskan air hujan dari tubuhnya.
Imam Kisai mengatakan bahwa salwa adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamaknya adalah salawa. Semua pendapat di atas telah dinukil oleh Al-Qurtubi.
**********
Firman Allah Swt.:
{كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ}
Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 57)
Perintah dalam ayat ini mengandung makna ibahah (boleh), pengarahan, dan sebagai anugerah.
Sedangkan mengenai firman-Nya:
{وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ}
Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Al-Baqarah: 57)
Makna yang dimaksud dengan ayat sebelumnya yaitu 'Kami perintahkan mereka untuk memakan rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka, dan hendaklah mereka beribadah (kepada-Nya)', seperti pengertian yang terdapat pada ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ}
Makanlah oleh kalian dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhan kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Nya. (Saba': 15)
Akan tetapi, mereka (Bani Israil) menentang dan kafir, sehingga jadilah mereka orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri, padahal mereka telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri semua tanda kebesaran Allah yang jelas, mukjizat-mukjizat yang pasti, dan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam.
Dari keterangan ini tampak jelas keutamaan para sahabat Nabi Muhammad Saw. yang berada di atas semua sahabat nabi-nabi lainnya dalam hal kesabaran, keteguhan, dan ketegaran mereka yang tidak pernah surut. Padahal mereka selalu bersamanya dalam semua perjalanan dan peperangan, antara lain ialah dalam Perang Tabuk yang situasinya sangat panas dan melelahkan. Sekalipun demikian, mereka tidak pernah meminta kepada Nabi Saw. mengadakan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam dan hal-hal yang aneh, padahal hal tersebut amatlah mudah bagi Nabi Saw. Hanya ketika rasa lapar sangat melemahkan tubuh mereka, mereka meminta kepada Nabi Saw. agar makanan yang mereka bawa diperbanyak. Untuk itu mereka mengumpulkan semua makanan yang ada pada mereka, lalu terkumpullah makanan yang jumlah keseluruhannya sama dengan tinggi seekor kambing yang sedang duduk istirahat. Kemudian Nabi Saw. berdoa agar makanan tersebut diberkahi, ternyata akhirnya mereka dapat memenuhi semua wadah makanan yang mereka bawa.
Demikian pula ketika mereka memerlukan air, Nabi memohon kepada Allah Swt., lalu datanglah awan yang langsung menghujani mereka. Akhirnya mereka minum dan memberi minum ternak mereka hingga dapat memenuhi wadah air minum yang mereka bawa. Kemudian mereka melihat keadaan hujan tersebut, ternyata hujan tidak melampaui batas pasukan kaum muslim bermarkas.
Hal ini jelas lebih utama dan lebih sempurna, yang menunjukkan keikhlasan mereka dalam mengikuti Nabi Saw., padahal Allah berkuasa untuk memenuhi apa yang diminta oleh Rasulullah Saw. buat pasukan kaum muslim yang mengikutinya saat itu.

Al-Baqarah, ayat 58-59

{وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنزيدُ الْمُحْسِنِينَ (58) فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنزلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (59) }
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman, "Masuklah kalian ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya —yang banyak lagi enak— di mana yang kalian sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah, "Bebaskanlah kami dari dosa," niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik." Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik.
Allah berfirman mencela mereka karena mereka membangkang, tidak mau berjihad dan tidak mau memasuki Tanah Suci Baitul Maqdis, yaitu ketika mereka baru tiba dari negeri Mesir bersama Nabi Musa a.s. Mereka diperintahkan memasuki Tanah Suci Baitul Maqdis yang merupakan tanah warisan dari Israil, leluhur mereka. Mereka diperintahkan memerangi orang-orang Amaliqah yang kafir yang ada di dalamnya. Tetapi mereka membangkang, tidak mau memerangi mereka; dan mereka menjadi lemah dan patah semangat (pengecut). Maka Allah menyesatkan mereka di Padang Sahara tandus sebagai hukuman buat mereka, seperti yang dijelaskan di dalam surat Al-Maidah.
Karena itu, menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, tanah yang dimaksudkan adalah Baitul Maqdis; seperti yang dinaskan oleh As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, Abu Muslim Al-Asfahani serta yang lainnya. Allah Swt. telah berfirman mengisahkan ucapan Musa a.s., yaitu:
{يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الأرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}
Hai kaumku, masuklah ke tanah suci yang telah ditentukan oleh Allah bagi kalian, dan janganlah kalian lari ke belakang. (Al-Maidah: 21)
Menurut ulama tafsir lainnya, tanah suci tersebut adalah Ariha. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abdur Rahman ibnu Zaid, tetapi jauh dari kebenaran, mengingat Ariha bukan tujuan perjalanan mereka, melainkan yang mereka tuju adalah Baitul Maqdis.
Pendapat lain yang lebih jauh lagi dari kebenaran adalah yang mengatakan bahwa negeri tersebut adalah negeri Mesir, seperti yang diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya.
Pendapat yang benar adalah pendapat pertama tadi, yaitu yang mengatakan Baitul Maqdis. Hal ini terjadi ketika mereka keluar dari Padang Sahara sesudah tersesat selama empat puluh tahun bersama Yusya' ibnu Nun a.s. Kemudian Allah memberikan kemenangan kepada mereka atas Baitul Maqdis pada sore hari Jumat. Pada hari itu perjalanan matahari ditahan (oleh Allah) selama sesaat hingga mereka beroleh kemenangan.
Setelah mereka beroleh kemenangan, maka Allah memerintahkan mereka untuk memasuki pintu gerbang Baitul Maqdis seraya bersujud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka berupa kemenangan dan pertolongan, hingga negeri mereka dapat direbut dari tangan musuh dan mereka diselamatkan dari Padang Sahara dan tersesat jalan di dalamnya.
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud. (Al-Baqarah: 58) Makna yang dimaksud ialah sambil rukuk.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan masukilah pintu gerbangnya sambil sujud. (Al-Baqarah: 58) Yakni sambil membungkuk rukuk melalui pintu yang kecil.
Imam Hakim meriwayatkan hadis ini melalui hadis Sufyan dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula melalui hadis Sufyan, yakni As-Sauri dengan lafaz yang sama, hanya di dalam riwayatnya ditambahkan, "Maka mereka memasukinya dengan mengesotkan pantat mereka ke tanah."
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka diperintahkan bersujud pada wajah mereka ketika memasukinya. Akan tetapi, pendapat ini dinilai jauh dari kebenaran oleh Ar-Razi.
Telah diriwayatkan dari sebagian mereka bahwa makna yang di-maksud dengan bersujud dalam ayat ini ialah tunduk, mengingat sulit untuk diartikan menurut hakikatnya.
Khasif meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa pintu tersebut letaknya berhadapan dengan arah kiblat.
Ibnu Abbas, Mujahid, As-Saddi, Qatadah, dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa Babul Hittah adalah salah satu pintu gerbang masuk ke kota Eliya Baitul Maqdis.
Ar-Razi meriwayatkan dari sebagian ulama, bahwa yang dimaksud dengan pintu tersebut ialah salah satu dari arah kiblat.
Khasif mengatakan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa mereka lalu memasukinya dengan cara miring pada lambung mereka.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Azdi, dari Abul Kanud, dari Abdullah ibnu Mas'ud. Dikatakan kepada mereka, "Masuklah kalian ke pintu gerbangnya dengan bersujud." Ternyata mereka memasukinya dengan menengadahkan kepala mereka, bertentangan dengan apa yang diperintahkan kepada mereka.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَقُولُوا حِطَّةٌ}
dan katakanlah, "Bebaskanlah kami dari dosa." (Al-Baqarah: 58)
Menurut Imam Sauri, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna lafaz hittah, artinya ialah 'ampunilah dosa-dosa kami'.
Diriwayatkan dari Ata, Al-Hasan, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas hal yang semisal.
Menurut Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, makna kalimat qulu hittah ialah ucapkanlah oleh kalian bahwa perkara ini adalah perkara yang hak seperti apa yang diperintahkan kepada kalian!
Menurut Ikrimah, maknanya ialah ucapkanlah oleh kalian, "Tidak ada Tuhan selain Allah."
Al-Auza'i meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah berkirim surat kepada seseorang yang tidak ia sebutkan namanya. Ia menanyakan tentang makna firman-Nya, "Qulu hittah." Lelaki itu menjawab suratnya yang isinya mengatakan bahwa makna kalimat tersebut ialah 'akuilah oleh kalian dosa-dosa kalian'.
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan, makna yang dimaksud ialah gugurkanlah dari kami dosa-dosa kami.
***********
{نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنزيدُ الْمُحْسِنِينَ}
niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 58)
Ayat ini merupakan jawab amar-nya. Dengan kata lain, apabila kalian mengerjakan apa yang Kami perintahkan kepada kalian, niscaya Kami ampuni dosa-dosa kalian dan akan Kami lipat gandakan pahala kebaikan bagi kalian.
Pada kesimpulannya dapat dikatakan bahwa mereka diperintahkan untuk berendah diri kepada Allah Swt. di saat mereka beroleh kemenangan, hal tersebut direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan ucapan. Hendaknya mereka mengakui semua dosa mereka serta memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa tersebut, bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat-Nya saat itu, dan bersegera melakukan perbuatan-perbuatan yang disukai oleh Allah Swt., sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
{إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ * وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا * فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا}
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat. (An-Nasr: 1-3)
Sebagian sahabat menafsirkan banyak berzikir dan memohon ampun bila beroleh kemenangan dan pertolongan. Akan tetapi, Ibnu Abbas r.a. menafsirkannya sebagai ucapan belasungkawa kepada Nabi Saw. yang menandakan bahwa ajal beliau telah dekat, dan penafsiran ini diakui oleh Khalifah Umar r.a. Tetapi tidaklah bertentangan bila ditafsirkan bahwa Allah Swt. memerintahkan hal tersebut bila kaum muslim beroleh kemenangan dan pertolongan Allah serta manusia berbondong-bondong memasuki agama Allah Swt. Ayat ini juga merupakan belasungkawa kepada roh Nabi Saw. yang sudah dekat saat wafatnya. Karena itu, tampak Rasul Saw. begitu rendah diri sekali di saat beroleh kemenangan.
Disebutkan dalam suatu riwayat, ketika Nabi Saw. berhasil memperoleh kemenangan atas kota Mekah, beliau memasukinya dari celah yang tertinggi; sedangkan beliau tampak benar-benar penuh dengan rasa rendah diri kepada Tuhannya, sehingga disebutkan bahwa janggut beliau benar-benar menyentuh pelana bagian depannya sebagai tanda syukur kepada Allah Swt. atas karunia tersebut. Kemudian ketika memasuki kota Mekah, beliau langsung mandi (dan wudu), lalu salat delapan rakaat; hal itu dilakukannya di waktu duha. Maka sebagian ulama mengatakan bahwa salat tersebut adalah salat duha, sedangkan sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa salat tersebut adalah salat kemenangan.
Untuk itu, imam dan amir —bila beroleh kemenangan atas suatu negeri— disunatkan salat sebanyak delapan rakaat di negeri tersebut pada permulaan dia memasukinya, seperti yang dilakukan oleh Sa'd ibnu Abu Waqqas r.a. ketika memasuki kota Iwan Kisra. Dia salat delapan rakaat di dalamnya.
Menurut pendapat yang sahih, dalam salatnya itu hendaklah dilakukan salam pada setiap dua rakaatnya sebagai pemisah. Menurut pendapat lain, salat dilakukan hanya dengan sekali salam untuk seluruh rakaatnya.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ}
Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 59)
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدي، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ مَعْمَر، عَنْ هَمَّام بْنِ مُنَبّه، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "قِيلَ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ: {ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ} فَدَخَلُوا يَزْحَفُونَ عَلَى اسْتَاهِهِمْ، فَبَدَّلُوا وَقَالُوا: حِطَّةٌ: حَبَّةٌ فِي شَعْرَةٍ"
Imam Bukhari meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Ibnul Mubarak, dari Ma'mar, dari Hamman ibnu Munabbih, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dikatakan kepada Bani Israil, "Masukilah pintu gerbangnya sambil sujud. Dan katakanlah, 'Ampunilah dosa-dosa kami.” Ternyata mereka memasukinya dengan mengesot, dan mereka mengganti (ucapannya), lalu mereka mengatakan, "Habbah fi sya'rah" (biji dalam rambut).
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Muhammad ibnu Ismail ibnu Ibrahim, dari Abdur Rahman dengan lafaz yang sama secara mauquf. Diriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Ubaid ibnu Muhammad, dari Ibnul Mubarak sebagian darinya secara musnad, sehubungan dengan firman-Nya, "Hittah." Disebutkan bahwa mereka menggantinya dengan ucapan lain, yaitu habbah (biji-bijian).
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ هَمَّام بْنِ مُنَبه أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ: {وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ} فَبَدَّلُوا، وَدَخَلُوا الْبَابَ يَزْحَفُونَ عَلَى اسْتَاهِهِمْ، فَقَالُوا: حَبَّةٌ فِي شَعْرَةٍ ".
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih; dia pernah mendengar Abu Hurairah r.a. menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah berfirman kepada kaum Bani Israil, "Masukilah pintu gerbangnya sambil sujud dan katakanlah, 'Ampunilah dosa kami," niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian" (Al-Baqarah: 58). Maka mereka mengganti perintah itu dan mereka memasukinya dengan mengesot, lalu mereka mengatakan.”Habbah fi sya'rah."
Hadis ini berpredikat sahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Ishaq ibnu Nasr; dan oleh Imam Muslim, dari Muhammad ibnu Rafi'; dan oleh Imam Turmuzi, dari Abdur Rahman ibnu Humaid, semuanya meriwayatkan hadis ini melalui Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, perubahan yang dilakukan mereka menurut apa yang telah diceritakan kepadaku dari Saleh ibnu Kaisan, dari Saleh maula Tau-amah, dari Abu Hurairah, juga dari orang yang tidak aku curigai, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"دَخَلُوا الْبَابَ -الَّذِي أُمِرُوا أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ سُجَّدًا-يَزْحَفُونَ عَلَى اسْتَاهِهِمْ، وَهُمْ يَقُولُونَ: حِنْطَةٌ فِي شُعَيْرَةٍ"
Mereka memasuki pintu gerbang —yang mereka diperintahkan untuk memasukinya sambil sujud— dengan mengesot, seraya mengucapkan "Hintah fi sya'irah"
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ، وَحَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم: "قال اللَّهُ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ: {ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ}
Imam Abu Daud meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh dan telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Sa'id Al-Khudri r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Allah berfirman kepada Bani Israil, "Masukilah pintu gerbang-nya sambil bersujud, dan katakanlah, 'Ampunilah dosa kami,' niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian."
Kemudian Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Musafir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, dari Hisyam hadis yang semisal. Demikian Abu Daud meriwayatkan hadis ini secara menyendiri dengan lafaz yang sama di dalam Kitabul Huruf secara ringkas,
قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْذِرِ القَزّاز، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي فُدَيْكٍ، عَنْ  هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: سِرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ، أجَزْنا فِي ثَنِيَّةٍ يُقَالُ لَهَا: ذَاتُ الْحَنْظَلِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مَثَلُ هَذِهِ الثَّنِيَّةِ اللَّيْلَةَ إِلَّا كَمَثَلِ الْبَابِ الَّذِي قَالَ اللَّهُ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ: {ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ}
Ibnu Murdawaih meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnul Munzir Al-Qazzaz, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Abu Fudaik, dari Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang menceritakan: Ketika kami berjalan bersama Rasulullah Saw. di malam hari dan kami berada di penghujung malam, kami melewati sebuah celah (lereng) yang dikenal dengan nama Zatul Hanzal, Rasulullah Saw. bersabda: Tiada perumpamaan yang lebih tepat bagi celah ini di malam ini melainkan seperti pintu yang disebut Allah dalam kisah kaum Bani Israil, "Masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah, 'Ampunilah dosa kami,' niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian."
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Al-Barra sehubungan dengan makna firman-Nya:
{سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ}
Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata. (Al-Baqarah: 142)
Yang dimaksud dengan manusia tersebut adalah orang-orang Yahudi. Karena pernah diperintahkan kepada mereka, "Masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud," yakni sambil rukuk. Dikatakan kepada mereka, "Dan katakanlah, 'Ampunilah dosa kami,' yakni dengan ampunan yang seluas-luasnya. Ternyata mereka memasukinya dengan mengesot, lalu mereka mengatakan, "Hintatun hamra fiha sya'irah" (gandum merah di dalamnya terdapat sehelai rambut). Yang demikian itu disebutkan di dalam firmanNya: Lalu orang-orang yang zalim menggami perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 59)
As-Sauri meriwayatkan dari As-Saddi, dari Abu Sa'd Al-Azdi, dari Abul Kanud, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan firman-Nya: Dan katakanlah, "Hittah." (Al-Baqarah: 58) Ternyata mereka mengatakan, "Hintah habbah hamra fiha sya'irah" (gandum bijinya merah, di dalamnya terdapat sehelai rambut). Maka Allah menurunkan firman-Nya: Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 59)
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Sesungguhnya mereka (Bani Israil) mengatakan, 'Huttan sam'anan azbatan mazabba'." Terjemahannya menurut bahasa Arab ialah 'biji gandum merah berlubang, di dalamnya terdapat rambut hitam'. Yang demikian itu dikisahkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya: Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 59)
As-Sauri meriwayatkan pula dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud. (Al-Baqarah: 58) Yang dimaksud dengan bersujud ialah sambil rukuk melalui sebuah pintu kecil, tetapi ternyata mereka memasukinya dengan mengesot. Mereka katakan hintah. Yang demikian itu dinyatakan oleh firman-Nya: Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 59)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ata, Mujahid, Ikrimah, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Yahya ibnu Rafi'.
Kesimpulan dari apa yang telah dikatakan oleh Mufassirin dan ditunjukkan oleh konteks ayat dapat dikatakan bahwa mereka mengganti perintah Allah yang menganjurkan kepada mereka untuk berendah diri melalui ucapan dan sikap. Mereka diperintahkan memasukinya dengan bersujud, ternyata mereka memasukinya dengan mengesot yakni dengan menggeserkan pantat seraya menengadahkan kepala. Mereka diperintahkan mengucapkan kalimat 'hiltah yakni hapuskanlah dari kami dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami. Tetapi mereka memperolok-olokkan perintah tersebut, lalu mereka mengatakannya hintah fi sya'irah.
Perbuatan tersebut sangat keterlaluan dan sangat ingkar. Karena itu, Allah menimpakan kepada mereka pembalasan dan azab sebab kefasikan mereka yang tidak mau taat kepada perintah-Nya. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{فَأَنزلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ}
Sebab itu kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik. (Al-Baqarah: 59)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa setiap sesuatu yang disebut di dalam Kitabullah dengan ungkapan ar-rijzu artinya azab. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Abu Malik, As-Saddi, Al-Hasan, dan Qatadah; semua menyatakan bahwa ar-rijzu artinya azab.
Abul Aliyah mengatakan ar-rijzu artinya murka Allah. Asy-Sya'bi mengatakan ar-rijzu adakalanya ta'un dan adakalanya dingin yang membekukan. Sa'id ibnu Jubair mengatakan, ar-rijzu artinya ta'un.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ -يَعْنِي ابْنَ أَبِي وَقَّاصٍ-عَنْ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ، وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، وَخُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، قَالُوا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الطَّاعُونُ رجْز عَذَابٌ عُذِّب بِهِ من كان قَبْلَكُمْ"
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Ibrahim ibnu Sa'd (yakni Ibnu Abu Waqqas), dari Sa'd ibnu Malik dan Usamah ibnu Zaid serta Khuzaimah ibnu Sabit. Mereka semua mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Penyakit ta'un merupakan azab yang telah ditimpakan kepada orang-orang sebelum kalian.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai melalui hadis Sufyan As-Sauri dengan lafaz yang sama. Asal hadis di dalam kitab Sahihain berasal dari hadis Habib ibnu Abu Sabit, yaitu:
"إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا"
Apabila kalian mendengar adanya penyakit ta'un di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Hingga akhir hadis.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: أَخْبَرَنِي يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنِ ابْنِ وَهْبٍ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَامِرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ وَالسَّقَمَ رجْز عُذِّب بِهِ بَعْضُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ"
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la, dari Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar hadis berikut dari Amir ibnu Sa'd ibnu Abu Waqqas, dari Usamah ibnu Zaid, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya penyakit dan wabah ini merupakan azab yang pernah ditimpakan kepada sebagian umat dari kalangan orang-orang sebelum kalian.
Asal hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri dan hadis Malik, dari Muhammad ibnul Munkadir serta Salim ibnu Abu Nadr, dari Amir ibnu Sa'd dengan lafaz yang semisal.

Al-Baqarah, ayat 60

{وَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ (60) }
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!" Lalu memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.
Allah berfirman, "Ingatlah kalian kepada nikmat yang telah Kulimpahkan setelah Aku memperkenankan doa nabi kalian, yaitu Musa. Di kala ia meminta air minum kepada-Ku buat kalian hingga Aku mudahkan memperoleh air itu, dan Aku keluarkan air itu dari batu yang kalian bawa. Aku pancarkan air darinya buat kalian sebanyak dua belas mata air, bagi tiap-tiap suku di antara kalian terdapat mata airnya sendiri yang telah diketahui. Makanlah salwa dan manna, dan minumlah air ini yang telah Kupancarkan tanpa jerih payah dan usaha kalian; dan sembahlah oleh kalian Tuhan yang telah menundukkan hal tersebut."
{وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ}
Dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (Al-Baqarah: 60)
Yakni janganlah kalian membalas air susu dengan air tuba, kenikmatan kalian balas dengan kedurhakaan, karena akibatnya nikmat itu akan dicabut dari kalian.
Para Mufassirin membahas kisah ini secara panjang lebar dalam pembicaraan mereka, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. Disebutkan bahwa di hadapan mereka diletakkan sebuah batu berbentuk empat persegi panjang, lalu Allah memerintahkan Musa a.s. supaya memukul batu itu dengan tongkatnya. Lalu Musa memukulnya dengan tongkatnya, maka memancarlah dua belas mata air; pada tiap-tiap sudut batu tersebut memancar tiga buah mata air. Kemudian Musa memberitahukan kepada tiap-tiap suku itu mata airnya masing-masing buat minum mereka. Tidak sekali-kali mereka berpindah ke tempat yang lain melainkan mereka menjumpai hal tersebut, sama halnya dengan kejadian yang pernah terjadi di tempat yang pertama. Kisah ini merupakan suatu bagian dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abu Hatim, yaitu hadis mengenai fitnah-fitnah yang cukup panjang.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan, dijadikan buat mereka sebuah batu yang besarnya sama dengan kepala banteng, lalu batu itu dimuat di atas sapi jantan. Apabila mereka turun istirahat, mereka meletakkan batu itu dan Musa memukul batu itu dengan tongkatnya, maka memancarlah dua belas mata air. Apabila mereka berangkat meneruskan perjalanan, mereka mengangkut batu itu ke atas punggung seekor sapi jantan, lalu airnya berhenti dengan sendirinya.
Usman ibnu Ata Al-Khurrasani meriwayatkan dari ayahnya, bahwa kaum Bani Israil mempunyai sebuah batu, dan Nabi Harun yang selalu meletakkannya, sedangkan Nabi Musa yang memukul batu itu dengan tongkatnya.
Qatadah mengatakan bahwa batu tersebut berasal dari Bukit Tur, merekalah yang mengambil batu tersebut dan yang memikulnya (ke mana pun mereka pergi). Apabila mereka turun istirahat, Nabi Musa a.s. memukul batu itu dengan tongkatnya (agar keluar air darinya).
Az-Zamakhsyari mengatakan, menurut suatu pendapat batu tersebut adalah granit berukuran satu hasta kali satu hasta. Menurut pendapat lain, bentuknya sebesar kepala manusia. Menurut pendapat lainnya lagi batu tersebut berasal dari surga yang tingginya sepuluh hasta, sama dengan tinggi Nabi Musa a.s.; sedangkan batu tersebut mempunyai dua cabang yang kedua-duanya menyala dalam kegelapan, dan selalu dibawa di atas punggung keledai.
Menurut pendapat yang lain, batu tersebut dibawa turun oleh Nabi Adam a.s. dari surga, lalu diwarisi secara turun-temurun hingga sampai ke tangan Nabi Syu'aib, lalu Nabi Syu'aib menyerahkan batu itu bersama tongkatnya kepada Musa a.s.
Menurut pendapat yang lainnya, batu tersebutlah yang pernah membawa lari pakaian Nabi Musa a.s. ketika sedang mandi. Lalu Malaikat Jibril berkata kepada Musa a.s., "Angkatlah batu itu, karena sesungguhnya pada batu itu terdapat kekuatan dan engkau mempunyai mukjizat padanya." Kemudian Nabi Musa a.s. membawanya pada pikulannya.
Az-Zamakhsyari mengatakan, dapat pula diartikan bahwa huruf Alif lam pada lafaz al-hajar bermakna liljinsi, bukan lil’ahdi. Dengan kata lain dikatakan, "Pukullah sesuatu benda yang disebut batu!"
Diriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa Nabi Musa a.s. tidak diperintahkan memukul sebuah batu secara tertentu. Al-Hasan mengatakan, penafsiran seperti ini lebih menonjolkan mukjizat dan lebih menggambarkan tentang kekuasaan mukjizat. Disebutkan bahwa Nabi Musa a.s. memukul batu, lalu memancarlah mata air darinya, setelah itu dia memukulnya lagi, maka berhentilah airnya dan kering. Kemudian mereka (Bani Israil) mengatakan, "Jika Musa kehilangan batu ini, niscaya kita akan kehausan." Maka Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Musa a.s. yang memerintahkan agar berbicara kepada batu tersebut. Batu itu akan memancarkan air tanpa menyentuhnya dengan tongkat, dengan harapan mereka kelak mau percaya dan mengakuinya.
Yahya ibnun Nadr mengatakan bahwa ia pernah berkata kepada Juwaibir, "Bagaimanakah tiap-tiap suku mengetahui mata air untuk minumnya?" Juwaibir menjawab, "Nabi Musa a.s. meletakkan batu tersebut, lalu masing-masing suku diwakili oleh seseorang dari kalangannya. Kemudian Nabi Musa a.s. memukul batu itu, maka memancarlah dua belas mata air. Tiap-tiap mata air memancar ke arah masing-masing wakil tersebut, selanjutnya tiap-tiap lelaki memanggil sukunya untuk mengambil air dari mata airnya masing-masing."
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ketika Bani Israil berada di padang pasir, Musa membelah batu untuk mereka menjadi mata air.
As-Sauri meriwayatkan dari Sa'id, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi di Padang Sahara; Musa memukul batu untuk mereka, maka memancarlah dari batu itu dua belas mata air, masing-masing suku meminum dari satu mata air.
Mujahid mengatakan seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Kisah ini mirip dengan kisah yang ada di dalam surat Al-A'raf, hanya kisah yang ada di dalam surat Al-A'raf diturunkan di Mekah. Oleh karena itu, pemberitaan tentang mereka memakai damir gaib, mengingat Allah Swt. mengisahkan kepada Rasul-Nya apa yang telah mereka perbuat. Adapun kisah yang ada di dalam surat ini —yakni Al-Baqarah— diturunkan di Madinah. Untuk itu, khitab yang ada padanya langsung ditujukan kepada mereka (orang-orang Yahudi Madinah). Di dalam surat Al-A'raf diberitakan melalui firman-Nya:
{فَانْبَجَسَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا}
Maka memancarlah darinya dua belas mata air. (Al-A'raf: 160)
Yang dimaksud dengan inbijas ialah permulaan memancar, sedangkan dalam ayat surat Al-Baqarah disebutkan keadaan sesudahnya, yakni meluapnya air tersebut dalam pancarannya. Maka sesuailah bila dalam ayat yang sedang kita bahas ini disebut istilah infijar, sedangkan dalam ayat surat Al-A'raf disebut dengan memakai inbijas. Di antara kedua ungkapan terdapat perbedaan ditinjau dari sepuluh segi lafzi dan maknawi. Hal tersebut disebutkan dengan panjang lebar oleh Az-Zamakhsyari di dalam kitab tafsirnya dengan ungkapan tanya jawab. Memang apa yang diketengahkannya itu mendekati kebenaran.

Al-Baqarah, ayat 61

{وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نَصْبِرَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الأرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ}
Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Hai Musa, kami tidak sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayur, mentimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya." Musa berkata, "Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kalian ke suatu kota, pasti kalian memperoleh apa yang kalian minta."
Allah berfirman, "Ingatlah kalian akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian di kala Aku menurunkan manna dan salwa kepada kalian sebagai makanan yang baik, bermanfaat, enak, dan mudah. Ingatlah ungkapan keluhan serta kebosanan kalian terhadap apa yang telah Kami limpahkan kepada kalian, dan kalian meminta kepada Musa menggantinya dengan makanan yang bermutu rendah, seperti sayur mayur dan lain-lainnya yang kalian minta."
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka terlanjur terbiasa dengan hal tersebut, maka mereka tidak sabar terhadap makanan manna dan salwa. Mereka teringat kepada kehidupan sebelumnya yang biasa mereka jalani. Mereka merupakan kaum yang biasa memakan kacang adas, bawang merah, sayur-sayuran, dan bawang putih (vegetarian). Lalu mereka berkata: Hai Musa, kami tidak sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, mentimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya. (Al-Baqarah: 61)
Sesungguhnya mereka mengatakan satu jenis makanan karena makanan yang mereka konsumsi hanyalah manna dan salwa saja, setiap harinya hanya itu saja yang mereka makan.
Al-buqul (sayur mayur), al-qissa (mentimun), al-'adas (kacang adas), dan al-basal (bawang merah), semuanya sudah dikenal. M-ngenai al-Jum menurut qiraat Ibnu Mas'ud disebut sum dengan memakai huruf sa yang artinya ialah bawang putih. Hal yang sama ditafsirkan oleh Mujahid di dalam riwayat Lais ibnu Abu Salim, dari Ibnu Mas'ud, bahwa al-Jum artinya saum (bawang putih). Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Sa'id ibnu Jubair.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Rafi', telah menceritakan kepada kami Abu Imarah (yakni Ya'qub ibnu Ishaq Al-Basri), dari Yunus, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wafumifta." Menurut Ibnu Abbas artinya bawang putih, dan di dalam bahasa kuno disebutkan fummu lana yang artinya 'buatkanlah roti untuk kami'.
Ibnu Jarir mengatakan, apabila hal tersebut benar, maka lafaz fumiha termasuk di antara huruf-huruf yang ada penggantian di dalamnya, seperti perkataan mereka, "Waqa'ufi 'asuri syarrin (mereka terjerumus di dalam kemelut keburukan)," dikatakan 'afur syarrin (huruf sa diganti menjadi fa). Contoh lainnya ialah asafi diucapkan menjadi asasi, magafir diucapkan menjadi magasir, dan lain sebagainya yang serupa; di mana huruf fa diganti menjadi sa, dan huruf sa diganti menjadi fa, karena makhraj keduanya berdekatan.
Ulama lainnya mengatakan bahwa al-fum artinya gandum yang biasa dipakai untuk membuat roti.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la secara bacaan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb secara bacaan, telah menceritakan kepadaku Nafi' ibnu Abu Na'im, bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah ditanya mengenai firman-Nya wajumiha: "Apakah yang dimaksud dengan fumiha?" Ibnu Abbas menjawab, "Gandum." Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan, "Bukankah kamu pernah mendengar ucapan Uhaihah ibnul Jallah yang mengatakan dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
"Dahulu aku adalah orang yang paling berkecukupan secara pribadi, akulah yang mula-mula melakukan penanaman gandum di Madinah.”
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Muslim Al-Juhani, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Rasyid ibnu Kuraib, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Wa-fumiha." Disebutkan bahwa al-Jum adalah gandum menurut dialek Bani Hasyim. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ali ibnu Abu Tal-hah dan Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas; juga oleh Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa al-Jum artinya gandum.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Mujahid dan Ata mengenai firman-Nya, "Wajumiha." Keduanya mengatakan, yang dimaksud ialah rotinya.
Hasyim meriwayatkan dari Yunus, dari Al-Husain dan Husain, dari Abu Malik mengenai firman-Nya, "Wafumiha," bahwa Jum artinya gandum. Pendapat ini dikatakan oleh Ikrimah, As-Saddi, Al-Ha-san Al-Basri, Qatadah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya.
Al-Jauhari mengatakan bahwa al-Jum artinya gandum. Ibnu Duraid mengatakan, al-Jum artinya sunbulah (bulir gandum).
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Ata dan Qatadah, bahwa al-Jum ialah segala jenis biji-bijian yang dapat dijadikan roti. Sebagian ulama mengatakan bahwa al-Jum adalah kacang hums menurut dialek Syamiyah, dan orang yang menjualnya disebut fami yang diambil dari kata Jumi setelah diubah sedikit.
Imam Bukhari mengatakan, sebagian ulama mengatakan bahwa Jum artinya segala jenis biji-bijian yang dapat dimakan.
**********
Firman Allah Swt.:
{قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ}
Musa berkata, "Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al-Baqarah: 61)
Di dalam ungkapan ayat ini terkandung teguran dan celaan terhadap permintaan mereka yang meminta jenis-jenis makanan yang rendah ini, padahal mereka sedang dalam kehidupan yang menyenangkan dan memiliki makanan yang enak lagi baik dan bermanfaat.
*********
Firman Allah Swt.:  
{اهْبِطُوا مِصْرًا}
Pergilah kalian ke suatu kota (Al-Baqarah: 61)
Demikianlah bunyinya dengan di-tanwi'n-kan serta ditulis dengan memakai alif pada akhirnya menurut mushaf para Imam Usmaniyah. Qiraat inilah yang dipakai oleh jumhur ulama. Ibnu Jarir mengatakan, "Aku tidak memperbolehkan qiraat selain dari qiraat ini, karena semua mushaf telah sepakat membacanya demikian."
Ibnu Abbas mengatakan, ihbitu misran artinya 'pergilah kalian ke suatu kota'.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadis Abu Sa'id Al-Baqqal (yaitu Sa'id ibnul Mirzaban), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari As-Saddi, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah didapati di dalam qiraat Ubay ibnu Ka'b dan Ibnu Mas'ud bacaan ihbitu misra, yakni tanpa memakai tanwin, yang artinya 'pergilah kalian ke negeri Mesir'.
Kemudian diriwayatkan dari Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa keduanya menafsirkan hal tersebut sebagai negeri Mesir tempat Fir'aun berkuasa. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Abul Aliyah dan Ar-Rabi', dari Abul A'masy.
Ibnu Jarir mengatakan, dapat pula diinterpretasikan makna yang dimaksud ialah negeri Mesir Fir'aun menurut qiraat orang yang mem-fathah-kannya (tanpa tanwin). Dengan demikian, berarti hal ini termasuk ke dalam Bab "Ittiba' dalam Menulis Mushaf, seperti yang dilakukan terhadap firman-Nya, "Qawariran qawarira," kemudian di-waqaf-kan bacaannya.
Permasalahannya terletak pada makna misra, apakah makna yang dimaksud adalah Mesir negerinya Fir'aun, atau salah satu negeri (kota) secara mutlak? Pendapat yang mengatakan bahwa kota tersebut adalah negeri Mesir masih perlu dipertimbangkan. Tetapi yang benar ialah suatu kota secara mutlak, seperti yang disebut oleh riwayat Ibnu Abbas dan lain-lainnya.
Berdasarkan pengertian ini makna ayat adalah seperti berikut "Musa berkata kepada mereka, 'Apa yang kalian minta itu bukanlah merupakan hal yang sulit, bahkan hal tersebut banyak didapat di kota mana pun yang kalian masuki, dan tidaklah pantas bagi kalian meminta kepada Allah Swt. hal yang serendah itu lagi banyak didapat'." Karena itulah maka Musa berkata kepada mereka yang disitir oleh firman-Nya:
{أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ}
Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kalian ke suatu kota, pasti kalian memperoleh apa yang kalian minta. (Al-Baqarah: 61)
Ma sa-altum artinya apa yang kalian minta; dan mengingat permintaan mereka itu termasuk ke dalam kategori keterlaluan dan sangat buruk, maka bukan merupakan suatu keharusan untuk diperkenankan.

Al-Baqarah, lanjutan ayat 61

{وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (61) }
Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.
Firman Allah Swt.:
{وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ}
Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan. (Al-Baqarah: 61)
Yakni ditimpakan dan ditetapkan kepada mereka menurut hukum syara' dan takdir. Dengan kata lain, mereka terus-menerus dalam keadaan hina; siapa pun yang bersua dengan mereka, pasti menghina dan mencemoohkan mereka. Dan ditimpakan kepada mereka kenistaan di samping kehinaan yang selalu menyertai mereka di mana pun mereka berada.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka adalah orang-orang yang terkena jizyah.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Al-Hasan dan Qatadah sehubungan dengan firman-Nya, "Waduribat 'alaihimuz zillatu" bahwa mereka membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.
Ad-Dahhak mengatakan, ditimpakan kepada mereka zillah, yakni kenistaan.
Al-Hasan mengatakan bahwa Allah menjadikan mereka hina, mereka tidak mempunyai harga diri lagi dan menjadikan mereka berada di bawah kekuasaan kaum muslim. Umat ini (umat Nabi Muhammad Saw.) menjumpai mereka, sedangkan orang-orang Majusi menarik jizyah dari mereka.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi mengatakan bahwa al-maskanah artinya kemiskinan. Sedangkan menurut Al-Aufi artinya membayar kharraj (pajak), dan menurut Ad-Dahhak artinya jizyah.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ}
serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. (Al-Baqarah: 61)
Menurut Ad-Dahhak, makna ayat ini ialah mereka berhak mendapat murka dari Allah. Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, murka dari Allah menimpa diri mereka. Sedangkan Sa'id ibnu Jubair mengatakan, mereka berhak mendapat murka Allah.
Ibnu Jarir mengatakan, mereka pergi dan kembali dengan membawa murka dari Allah. Lafaz ba-a ini tidak disebutkan melainkan dalam keadaan selalu dihubungkan adakalanya dengan kebaikan atau keburukan. Dikatakan sehubungan dengan pengertian ini ba-a fulanun bizambihi yang artinya si Fulan kembali dengan membawa dosanya. Bentuk mudari'-nya yabu-u bihi, sedangkan bentuk masdar-nya bau-an dan bawa-an. Termasuk ke dalam pengertian lafaz ini firman lain-nya yang mengatakan:
{إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ}
Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri. (Al-Maidah: 29)
Artinya, kamu kembali dengan memikul kedua dosa itu dan pergi dengan membawa keduanya pula, dan jadilah kedua dosa tersebut berada di atas pundakmu, sedangkan aku terbebas darinya.
Dari semua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila mereka kembali, maka mereka kembali seraya membawa murka Allah di pundak mereka; dan jadilah mereka orang-orang yang ditim-pa oleh murka dari Allah, serta mereka berhak untuk mendapat murka dari-Nya.
*************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ}
Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. (Al-Baqarah: 61)
Makna ayat ini seakan-akan mengatakan bahwa pembalasan yang Kami timpakan kepada mereka berupa nista, kehinaan, dan kemurkaan yang selalu menimpa mereka, sebagai akibat dari sifat angkuh mereka yang tidak mau mengikuti perkara yang hak, mereka juga kafir kepada ayat-ayat Kami serta menghina para pemangku syariat, yaitu para nabi dan pengikut-pengikutnya. Mereka terus-menerus menghina para nabi dan pengikut-pengikutnya hingga sampai berani membunuhnya. Maka tiada dosa yang lebih besar daripada apa yang telah mereka lakukan itu; mereka kafir terhadap ayat-ayat Kami dan berani membunuh para nabi tanpa alasan yang dibenarkan.
Karena itulah di dalam sebuah hadis yang telah disepakati kesahihannya disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"الْكِبْرُ بَطَر الْحَقِّ، وغَمْط النَّاسِ"
Takabur itu ialah menentang perkara yang hak dan meremehkan orang lain.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: كُنْتُ لَا أَحْجُبُ عَنِ النَّجْوى، وَلَا عَنْ كَذَا وَلَا عَنْ كَذَا قَالَ: فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَالِكُ بْنُ مُرَارَةَ الرَّهَاوِيُّ، فَأَدْرَكْتُهُ مِنْ آخِرِ حَدِيثِهِ، وَهُوَ يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ قُسِمَ لِي مِنَ الْجَمَالِ مَا تَرَى، فَمَا أُحِبُّ أَنَّ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ فَضَلني بِشِرَاكَيْنِ فَمَا فَوْقَهُمَا أَفَلَيَسَ ذَلِكَ هُوَ الْبَغْيُ؟ فَقَالَ: "لَا لَيْسَ ذَلِكَ مِنَ الْبَغْيِ، وَلَكِنَّ الْبَغْيَ مَنْ بَطَرَ -أَوْ قَالَ: سَفِهَ الْحَقَّ-وغَمط النَّاسَ".
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari ibnu Aun, dari Amr ibnu Sa'id, dari Humaid ibnu Abdur Rahman yang menceritakan bahwa Ibnu Mas'ud pernah menceritakan hadis berikut; dia adalah orang yang tidak pernah terhalang-halangi dari semua pembicaraan yang rahasia, tidak pula dari ini dan itu. Pada suatu hari ia datang menemui Rasulullah Saw. yang saat itu Malik ibnu Mararah Ar-Rahawai berada di hadapannya, lalu ia menjumpai akhir pembicaraan yang dikatakan oleh Malik yang mengatakan demikian, "Wahai Rasulullah, aku telah mendapat bagian ternak unta seperti yang engkau lihat sendiri, maka aku tidak suka bila ada seseorang dari kalangan mereka mempunyai bagian yang lebih dariku dua ekor ternak atau lebih. Akan tetapi, bukankah perasaan ini disebut sombong?" Rasulullah Saw. menjawab: Tidak, hal itu bukan termasuk sifat sombong, tetapi sombong itu ialah angkuh atau meremehkan perkara yang hak dan merendahkan orang lain.
Yaitu menolak perkara yang hak, meremehkan orang lain, menghina mereka, dan merasa besar diri terhadap mereka.
Oleh karena itu, tatkala Bani Israil melakukan hal-hal yang telah mereka lakukan —seperti ingkar terhadap ayat-ayat Allah dan berani membunuh nabi-nabi mereka— maka Allah menimpakan kepada mereka kemurkaan-Nya yang tak dapat dihindarkan lagi, dan Allah menimpakan kepada mereka kehinaan di dunia yang berlanjut sampai kepada kehinaan di akhirat, sebagai balasan yang setimpal buat mereka.
Abu Darda At-Tayalisi meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Abu Ma'mar, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa dahulu setiap hari orang-orang Bani Israil membunuh sebanyak tiga ratus orang nabi, kemudian mereka mendirikan pasar sayur-mayur mereka di petang harinya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا أَبَانُ، حَدَّثَنَا عَاصِمٌ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ -يَعْنِي ابْنَ مَسْعُودٍ-أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ قَتَلَهُ نَبِيٌّ، أَوْ قَتَلَ نَبِيًّا، وَإِمَامُ ضَلَالَةٍ وَمُمَثِّلٌ مِنَ الْمُمَثِّلِينَ"
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Asim, dari Abu Wa-il, dari Abdullah ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang paling keras mendapat azab di hari kiamat ialah seorang lelaki yang dibunuh oleh seorang nabi atau yang membunuh nabi, dan imam kesesatan serta seseorang dari kalangan orang-orang yang gemar mencincang (membunuh secara kejam).
***********
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ}
Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (Al-Baqarah: 61)
Ayat ini merupakan 'Illat (penyebab) lain yang mengakibatkan mereka menerima pembalasan tersebut, yaitu mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. Mereka durhaka karena melakukan hal-hal yang dilarang dan berlaku kelewat batas karena melampaui batasan-batasan yang diperbolehkan dan yang diperintahkan.

Al-Baqarah, ayat 62

{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) }
Sesungguhnya orang-orang yang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Setelah Allah Swt. menyebutkan keadaan orang-orang yang menentang perintah-perintah-Nya, melanggar larangan-larangan-Nya, berlaku kelewat batas melebihi dari apa yang diizinkan, serta berani melakukan perkara-perkara yang diharamkan dan akibat azab yang menimpa mereka, maka Allah mengingatkan melalui ayat ini, bahwa barang siapa yang berbuat baik dari kalangan umat-umat terdahulu dan taat, baginya pahala yang baik. Demikianlah kaidah tetapnya sampai hari kiamat nanti, yakni setiap orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, maka baginya kebahagiaan yang abadi. Tiada ketakutan bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, tidak pula mereka bersedih hati atas apa yang telah mereka lewatkan dan tinggalkan. Makna ayat ini sama dengan firman lainnya, yaitu:
{أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ}
Ingatlah, sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yunus: 62)
Seperti yang dikatakan oleh para malaikat kepada kaum mukmin di saat menghadapi kematiannya yang disitir oleh firman-Nya seperti berikut:
{إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنزلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ}
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan kami ialah Allah,'" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), "Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian." (Fushshilat: 30)
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ العَدني، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيح، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: قَالَ سَلْمَانُ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِ دِينٍ كُنْتُ مَعَهُمْ، فذكرتُ مِنْ صَلَاتِهِمْ وَعِبَادَتِهِمْ، فَنَزَلَتْ: {إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Bapakku, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Umar Al-Adawi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Salman r.a. pernah menceritakan hadis berikut: Aku pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang pemeluk agama yang dahulunya aku salah seorang dari mereka, maka aku menceritakan kepada beliau tentang cara salat dan ibadah mereka. Lalu turunlah firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian," hingga akhir ayat.
As-Saddi mengatakan bahwa firman-Nya yang mengatakan: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal saleh.... (Al-Baqarah: 62) diturunkan berkenaan dengan teman-teman Salman Al-Farisi. Ketika ia sedang berbincang-bincang dengan Nabi Saw., lalu ia menyebutkan perihal teman-teman yang seagamanya di masa lalu, ia menceritakan kepada Nabi berita tentang mereka. Untuk itu ia mengatakan, "Mereka salat, puasa, dan beriman kepadamu serta bersaksi bahwa kelak engkau akan diutus sebagai seorang nabi." Setelah Salman selesai bicaranya yang mengandung pujian kepada mereka, maka Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Hai Salman, mereka termasuk ahli neraka." Maka hal ini terasa amat berat bagi Salman. Lalu Allah menurunkan ayat ini.
Iman orang-orang Yahudi itu ialah barang siapa yang berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s., maka imannya diterima hingga Nabi Isa a.s. datang. Apabila Nabi Isa telah datang, sedangkan orang yang tadinya berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s. tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikut kepada syariat Nabi Isa, maka ia termasuk orang yang binasa.
Iman orang-orang Nasrani ialah barang siapa yang berpegang kepada kitab Injil dari kalangan mereka dan syariat-syariat Nabi Isa, maka dia termasuk orang yang mukmin lagi diterima imannya hingga Nabi Muhammad Saw. datang. Barang siapa dari kalangan mereka yang tidak mau mengikut kepada Nabi Muhammad Saw. dan tidak mau meninggalkan sunnah Nabi Isa serta ajaran Injilnya sesudah Nabi Muhammad Saw. datang, maka dia termasuk orang yang binasa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair.
Menurut kami riwayat ini tidak bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 62). Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa sesudah itu diturunkan oleh Allah firman berikut:
{وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran: 85)
Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas ini merupakan suatu pemberitahuan bahwa tidak akan diterima dari seseorang suatu cara dan tidak pula suatu amal pun, kecuali apa yang bersesuaian dengan syariat Nabi Muhammad Saw. sesudah beliau diutus membawa risalah yang diembannya. Adapun sebelum itu, setiap orang yang mengikuti rasul di zamannya, dia berada dalam jalan petunjuk dan jalan keselamatan.
Orang-orang Yahudi adalah pengikut Nabi Musa a.s., yaitu mereka yang berpegang kepada kitab Taurat di zamannya. Kata al-yahud diambil dari kata al-hawadah yang artinya kasih sayang, atau berasal dari kata at-tahawwud yang artinya tobat, seperti yang dikatakan oleh Musa a.s. dalam firman-Nya:
{إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ}
Sesungguhnya kami kembali kepada Engkau. (Al-A'raf: 156)
Maksudnya, kami bertobat kepada Engkau. Seakan-akan mereka dinamakan demikian pada asal mulanya karena tobat dan kasih sayang sebagian mereka kepada sebagian yang lain.
Menurut pendapat yang lain, nama Yahudi itu dinisbatkan (dikaitkan) dengan Yahuda, nama anak tertua Ya'qub.
Abu Amr ibnul Ala mengatakan, disebut demikian karena mereka selalu bergerak di kala membaca kitab Taurat.
Ketika Nabi Isa diutus, kaum Bani Israil diwajibkan untuk mengikuti dan menaatinya. Sahabat-sahabat Nabi Isa dan pemeluk agamanya dinamakan Nasrani karena mereka saling menolong di antara sesama mereka. Mereka disebut pula Ansar, seperti yang dikatakan oleh Nabi Isa a.s. dalam firman-Nya:
{مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ}
Siapakah yang akan menjadi penolong untuk (menegakkan agama) Allah! Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab, "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah." (Ali Imran: 52)
Menurut pendapat yang lain, mereka dinamakan demikian karena pernah bertempat tinggal di suatu daerah yang dikenal dengan nama Nasirah. Demikian menurut Qatadah dan Ibnu Juraij, serta diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas.
Nasara adalah bentuk jamak dari nasran, sama halnya dengan lafaz nasyawa bentuk jamak dari lafaz nasywan, dan sukara bentuk jamak dari lafaz sakran. Dikatakan Nasranah untuk seorang wanita Nasrani. Salah seorang penyair mengatakan, "Dan seorang wanita Nasranah yang tidak pernah ibadah."
Ketika Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw. sebagai pemungkas para nabi dan rasul kepada semua anak Adam secara mutlak, maka diwajibkan bagi mereka percaya kepada apa yang disampaikannya, taat kepada perintahnya, dan mencegah diri dari apa yang dilarangnya. Mereka adalah orang-orang yang beriman sebenar-benarnya. Umat Nabi Muhammad Saw. dinamakan kaum mukmin karena banyaknya keimanan mereka dan keyakinan mereka yang sangat kuat, mengingat mereka beriman kepada semua nabi yang terdahulu dan perkara-perkara gaib yang akan datang.
Mengenai orang-orang Sabi-in, para ulama berbeda pendapat mengenai hakikat mereka. Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa mereka (yakni orang-orang Sabi-in) adalah suatu kaum antara Majusi, Yahudi, dan Nasrani; pada hakikatnya mereka tidak mempunyai agama. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.
Telah diriwayatkan dari Ata dan Sa'id ibnu Jubair hal yang semi-sal dengan pendapat di atas.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Abusy Sya'sa (yakni Jabir ibnu Zaid), Ad-Dahhak, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan bahwa Sabi-in adalah suatu sekte dari kalangan ahli kitab, mereka mengakui kitab Zabur. Karena itu, Imam Abu Hanifah dan Ishaq mengatakan bahwa tidak mengapa dengan sembelihan mereka dan menikah dengan mereka.
Hasyim meriwayatkan dari Mutarrif, "Ketika kami sedang bersama Al-Hakam ibnu Atabah, lalu ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Basrah bercerita kepadanya, dari Al-Hasan yang mengatakan tentang orang-orang Sabi-in, bahwa sesungguhnya mereka itu sama dengan orang-orang Majusi. Kemudian Al-Hakam berkata, 'Bukankah aku pun telah mengatakan hal yang sama kepada kalian?'."
Abdur Rahman ibnu Mahdi meriwayatkan dari Mu'awiyah ibnu Abdul Karim, bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan menceritakan tentang orang-orang Sabi-in. Dia mengatakan bahwa mereka adalah suatu kaum yang menyembah malaikat.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Al-Hasan yang menceritakan, "Diberitakan kepada Ziad bahwa orang-orang Sabi-in salat menghadap ke arah kiblat, mereka salat lima waktu. Ziad bermaksud membebaskan mereka dari pungutan jizyah, tetapi sesudah itu dia mendapat berita bahwa mereka menyembah malaikat."
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan, telah sampai berita kepadanya bahwa orang-orang Sabi-in adalah suatu kaum yang menyembah malaikat, percaya kepada kitab Zabur, dan salat menghadap ke arah kiblat. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya yang mengatakan bahwa orang-orang Sabi-in adalah suatu kaum yang tinggal di sebelah negeri Irak. Mereka kaum yang suka menangis, beriman kepada semua nabi serta puasa selama tiga puluh hari setiap tahunnya, dan mereka salat menghadap negeri Yaman setiap harinya sebanyak lima kali.
Wahb ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai Sabi-in. Ia menjawab bahwa mereka hanya mengenal Allah semata, tidak mempunyai syariat yang diamalkan, tidak pula berbuat kekufuran.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdur Rahman ibnu Zaid pernah berkata, "Sabi-in adalah pemeluk suatu agama yang tinggal di Mausul. Mereka mengatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tetapi mereka tidak mempunyai amal, kitab, dan nabi kecuali hanya ucapan 'tidak ada Tuhan selain Allah'." Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan pula bahwa mereka tidak beriman kepada rasul. Karena itulah orang-orang musyrik mengatakan kepada Nabi Saw. dan para sahabatnya, bahwa Nabi Saw. dan sahabatnya adalah orang-orang Sabi-in. Orang-orang musyrik menyerupakan Nabi Saw. dan para sahabatnya dengan mereka dalam hal ucapan 'tidak ada Tuhan selain Allah'.
Al-Khalil mengatakan bahwa Sabi-in adalah suatu kaum yang agamanya menyerupai agama Nasrani, hanya kiblat mereka mengarah kepada datangnya angin selatan; mereka menduga bahwa dirinya berada dalam agama Nabi Nuh a.s.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, dan Ibnu Abu Nujaih, bahwa mereka adalah suatu kaum yang agamanya merupakan campuran antara agama Yahudi dan agama Majusi; sembelihan mereka tidak boleh dimakan, dan kaum wanitanya tidak boleh dinikahi.
Al-Qurtubi mengatakan, yang tersimpul dari pendapat mereka menurut apa yang disebut oleh sebagian ulama yaitu mereka adalah orang-orang yang mengesakan Tuhan dan meyakini akan pengaruh bintang-bintang, bahwa bintang-bintang tersebutlah yang melakukannya. Karena itulah Abu Sa'id Al Astakhri mengeluarkan fatwa bahwa mereka adalah orang kafir. Ia katakan demikian ketika Al-Qadir Billah menanyakan kepadanya tentang hakikat mereka.
Ar-Razi memilih pendapat yang mengatakan bahwa Sabi-in adalah suatu kaum yang menyembah bintang-bintang, dengan pengertian bahwa Allah telah menjadikannya sebagai kiblat untuk ibadah dan doa, yakni Allah menyerahkan pengaturan urusan alam ini kepada bintang-bintang tersebut. Selanjutnya Ar-Razi mengatakan bahwa pendapat ini dinisbatkan kepada orang-orang Kasyrani yang didatangi oleh Nabi Ibrahim a.s. untuk membatalkan pendapat mereka dan memenangkan perkara yang hak.
Pendapat Mujahid dan para pengikutnya serta pendapat Wahb ibnu Munabbih menyatakan bahwa Sabi-in adalah suatu kaum bukan pemeluk agama Yahudi, bukan Nasrani, bukan Majusi, bukan pula kaum musyrik. Sesungguhnya mereka adalah suatu kaum yang hanya tetap pada fitrah mereka, tiada agama tetap yang menjadi panutan dan pegangan mereka. Karena itulah maka kaum musyrik memperolok-olokkan orang yang masuk Islam dengan sebutan Sabi, dengan maksud bahwa dia telah menyimpang dari semua agama penduduk bumi di saat itu.
Sebagian ulama mengatakan, Sabi-in adalah orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah seorang nabi pun.
Pendapat yang paling kuat di antara semuanya hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Al-Baqarah, ayat 63-64

{وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (63) ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَكُنْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ (64) }
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkatkan gunung (Tursina) di atas kalian (seraya Kami berfirman), "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepada kalian dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kalian bertakwa." Kemudian kalian berpaling setelah (adanya pe-janjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas kalian, niscaya kalian tergolong orang-orang yang rugi.
Allah Swt. berfirman mengingatkan Bani Israil akan apa yang telah Dia ambil dari mereka berupa janji-janji dan ikrar untuk beriman hanya kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya, dan mau mengikuti rasul-rasul-Nya. Allah menceritakan bahwa ketika Dia mengambil janji dari mereka, maka Dia angkat gunung itu di atas mereka agar mereka mau mengakui apa yang disumpahkan kepada mereka, mengambilnya dengan sekuat tenaga, dan bertekad untuk melaksanakannya. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
{وَإِذْ نَتَقْنَا الْجَبَلَ فَوْقَهُمْ كَأَنَّهُ ظُلَّةٌ وَظَنُّوا أَنَّهُ وَاقِعٌ بِهِمْ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka), "Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepada kalian, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kalian menjadi orang-orang yang bertakwa." (Al-A'raf: 171)
Ath-Thur artinya gunung, sesuai dengan apa yang ditafsirkan dalam ayat surat Al-A'raf ini. Hal ini dinaskan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya; pendapat ini sudah jelas.
Tetapi menurut suatu riwayat yang dikatakan dari Ibnu Abbas, tur ialah bukit yang mempunyai tetumbuhan, sedangkan bukit yang tidak ada tetumbuhannya bukan dinamakan tur.
Di dalam hadis futun disebutkan dari Ibnu Abbas, "Ketika mereka menolak untuk taat, maka diangkat di atas mereka bukit tersebut dengan maksud agar mereka mau menurut."
As-Saddi mengatakan, "Ketika mereka membangkang untuk sujud, maka Allah memerintahkan kepada gunung untuk runtuh menimpa mereka. Lalu mereka melihat gunung tersebut telah menutupi mereka, akhirnya mereka jatuh tersungkur bersujud. Tetapi mereka hanya sujud dengan separo tubuh mereka, sedangkan separo yang lainnya melihat ke arah gunung tersebut. Akhirnya Allah kasihan kepada keadaan mereka, lalu mengembalikan gunung tersebut ke tempatnya, menjauhi mereka." Para ulama mengatakan, "Demi Allah, tiada suatu sujud yang lebih disukai oleh Allah selain sujud yang menyebabkan azab diangkat dari mereka (orang-orang Bani Israil), padahal mereka melakukan sujud seperti itu." Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya, "Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat bukit itu di atas kalian" (Al-Baqarah: 63).
Al-Hasan mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 63) Yang dimaksud adalah kitab Taurat.
Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa biquwwah artinya dengan taat. Menurut Mujahid, biquwwah artinya mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan quwwah ialah kesungguhan; jika tidak, niscaya Aku akan melemparkan bukit ini kepada kalian. Akhirnya setelah diancam demikian mereka mau memegang apa yang diberikan kepada mereka.
Abul Aliyah dan Ar-Rabi' mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya. (Al-Baqarah: 63) Artinya, bacalah dan amalkanlah apa yang terkandung di dalam kitab Taurat.
***********
Firman Allah Swt.:
{ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ}
Kemudian kalian berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah. (Al-Baqarah: 64)
Allah Swt. berfirman bahwa setelah adanya perjanjian yang telah dikukuhkan dan diagungkan itu, lalu kalian berpaling darinya, kalian menyimpang dan melanggarnya.
{فَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ}
maka kalau tidak ada karunia dan rahmat-Nya atas kalian. (Al-Baqarah: 64)
Yakni kalau Allah tidak menerima tobat kalian dan tidak mengutus nabi-nabi dan rasul-rasul kepada kalian.
{لَكُنْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
niscaya kalian tergolong orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 64)
disebabkan kalian merusak perjanjian tersebut, yakni kalian akan rugi di dunia dan di akhirat.



No comments

Tafsir Jalalain

Tafsir Ibnu Katsir

Back to top